hubungan dukungan sosial keluarga dengan stres kerja ......hubungan dukungan sosial keluarga dengan...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN STRES
KERJA PADA PERAWAT DI RSUD. WIROSABAN YOGYAKARTA
OLEH
CHRISTINA MARIANA OKTAVIANTI ADOE
802013706
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN STRES
KERJA PADA PERAWAT DI RSUD. WIROSABAN YOGYAKARTA
Christina Mariana Oktavianti Adoe
Jusuf Tj. Purnomo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga pada
perawat, serta munculnya stres pada perawat. Perawat bekerja untuk merawat dan menjaga
pasien selama 24 jam di rumah sakit sehingga hal tersebut dapat menyebabkan stres kerja.
Stres kerja merupakan interaksi yang muncul antara tuntutan psikologi dengan kontrol dan
dukungan sosial di tempat kerja, dimana tuntutan psikologi tinggi serta kontrol dan dukungan
sosial ditempat kerja rendah (Karasek, dalam Sulsky & Smith, 2005). Metode yang dipakai
dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Kriteria pengambilan sampel dengan teknik
purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada perawat di RSUD. Kota Yogyakarta
dengan jumlah perawat secara keseluruhan berjumlah 227 orang, yang terbagi atas 53 orang
perawat laki-laki dan 174 perawat wanita. Penelitian ini memerlukan sampel sejumlah 145
orang. Alat pengumpulan data berupa kuesioner dukungan sosial keluarga dan stres kerja
yang disusun dengan menggunakan skala Likert. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,
keduanya memiliki r sebesar -0.194 dengan sing=0,013 (p < 0,05) yang berarti kedua variabel
yaitu dukungan sosial keluarga dengan sters kerja memiliki hubungan yang negatif. Hal ini
berarti semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah stres kerja yang dialami.
Kata kunci : Dukungan Sosial Keluarga, Stres Kerja
ii
Abstract
The aim of research to determine the relationship between family social support to
nurses, as well as the emergence of stress in nurses. Nurses work to care for and
maintain the patient for 24 hours in the hospital so that it can cause work stress. Job
stress is emerging interaction between the psychological demands of control and
social support in the workplace, where high psychological demands and control and
low social support at work (Karasek, in Sulsky & Smith, 2005). The method used in
this research is quantitative method. Criteria sampling with purposive sampling
technique. Research was conducted on nurses in hospitals. Yogyakarta the number of
nurses as a whole amounted to 227 people, consisting of 53 male nurses and 174
female nurses. This study requires a sample of 145 people. Data collection tool is
questionnaire of social support of family and work stress were prepared using a
Likert scale. Based on the test results of correlation calculations, both have at -0194
to sing r = 0.013 (p <0.05), which means the two variables: social support of families
with working sters have a negative relationship. This means that the higher the lower
the social support experienced job stress.
Keywords : Family Social Support, Job Stres
1
PENDAHULUAN
Teori stres bermula dari penelitian Cannon (1929) yang kemudian diadopsi
oleh Meyer (1951) yang melatih para dokter untuk menggunakan riwayat hidup
penderita sebagai sarana diagnostik karena banyak dijumpai kejadian traumatik pada
penderita yang menjadi penyebab penyakitnya. Stres kerja merupakan suatu fenomena
universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap
orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap
fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spritual, stres dapat mengancam
keseimbangan fisiologis (Rasmun,2004). Dalam kondisi realitas data empiris stress
kerja dapat mempengaruhi terhadap kinerja karyawan, artinya karyawan perusahaan
pada kondisi lingkungan dan psikologis menentukan terciptanya produktifitas kerja.
Di RSUD Wirosaban perawat dituntut untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan
standart operating procedure (SOP). Dengan adanya tugas yang terspesifikasi dan
target sesuai dengan SOP maka pemenuhan kinerja akan terukur. Kondisi SOP yang
memacu perawat untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya merupakan
langkah pressure yang sangat efektif dalam menumbuhkan dan menyemangati
perawat guna menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan program yang
dicanangkan oleh RSUD Wirosaban.
Stres kerja pada akhir-akhir ini menjadi populer terkait dengan tuntutan
kinerja suatu organisasi, baik di suatu perusahan maupun instansi pemerintah. Perawat
yang terkena stres kerja dan tidak mampu menanggulanginya, cenderung menjadi
tidak produktif. Dengan demikian stres kerja sangat dibutuhkan untuk keperluan
pencapaian target sesuai dengan Prosedur Kerja Tetap (PROTAP) yang telah
ditetapkan. Atas imbasnya terhadap kinerja perawat di dalamnya, maka stres kerja
tampaknya menjadi hal penting untuk diteliti (Winarsunu T, 2008). Menurut Cox
2
(1996), ciri-ciri situasi kerja perawat yang penuh dengan stres, antara lain : 1) bekerja
dengan kebutuhan-kebutuhan yang menimbulkan ancaman : pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan yang tidak sesuai untuk mengatasi masalah
keperawatan, 2) pekerjaan tidak sesuai dengan kebutuhan, 3) situasi dimana perawat
memiliki sedikit kontrol terhadap pekerjaan berlebih, 4) situasi dimana perawat
menerima sedikit dukungan dalam pekerjaan dan diluar pekerjaan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Jones, Huxtable, Hodgson, dan Price
(dalam Oberlechner & Nimgade, 2005) di Inggris, jumlah pekerja yang mengalami
stres meningkat drastis. Hal ini terlihat dari hasil survey mereka yang menunjukkan
bahwa jumlah orang yang menderita stres naik dua kali lipat dari jumlah yang ada
pada tahun 1990 an, yaitu menjadi sekitar 500.000 orang pekerja. Semakin banyaknya
orang yang mengalami stres kerja dapat diakibatkan oleh adanya kemajuan yang
terjadi dalam berbagai bidang, seperti bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini
dikarenakan oleh adanya persaingan yang semakin ketat dalam dunia usaha, yang
secara tidak langsung memberikan beban kerja atau tuntutan yang lebih banyak
kepada para pekerja. Lebih khusus lagi, orang yang bekerja di bidang keuangan
dikabarkan lebih rentan terhadap stres (Webster & Bergman, 1999, dalam
Oberlechner & Nimgade, 2005). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari
Jones, dkk. (dalam Oberlechner & Nimgade, 2005) yang menunjukkan bahwa tingkat
stres yang dialami oleh pekerja di bidang keuangan dua kali lipat lebih tinggi dari
pekerja lainnya.
Dampak dari stres kerja dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu dampak
positif dan dampak negatif. Menurut Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2002)
mengatakan bahwa dampak positif stres kerja adalah peningkatan harga diri,
peningkatan inspirasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik, dan menjadi
3
rangsangan untuk giat bekerja. Adapun menurut Terry Beehr dan John Newman
(1978) dampak negatif dari gejala stress kerja dapat di bagi dalam 3 (tiga) aspek, yaitu
gejala psikologis, gejala psikis dan perilaku yaitu: 1) Gejala psikologi meliputi :
kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi
tidak efektif, mengurung diri, depresi, dan kebosanan , 2) Gejala fisik meliputi :
Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, Meningkatnya detak jantung dan
tekanan darah, Gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan lambung, Mudah
terluka, Mudah lelah secara fisik, Kematian, dan Gangguan pernafasan 3) Gejala
prilaku meliputi : Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas, Penurunan prestasi
dan produktivitas, Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, Perilaku
sabotase, Meningkatnya frekuensi absensi, Perilaku makan yang tidak normal
(kebanyakan atau kekurangan), dan Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko
tinggi, seperti ngebut, berjudi.
Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa stress kerja pada perawat sangat
bervariasi, antara lain seperti tersebut di bawah ini : menurut Ilmi (2005), stresor kerja
pada perawat sesuai urutannya adalah beban kerja berlebih sebesar 82%, pemberian
upah yang tidak adil 58%, kondisi kerja 52%, tidak diikutkan dalam pengambilan
keputusan 45%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mark dan Smith (2011),
mengidentifikasi 6 (enam) sumber stres pada perawat yang bekerja di rumah sakit
yaitu : konflik dengan dokter, diskriminasi, beban kerja yang tinggi, menghadapi
pasien, kematian pasien, dan keluarga pasien. Sementara itu Moustaka dan
Constantinidis (2010), menyimpulkan 7 (tujuh) sumber stres perawat yaitu : Perawat
dihadapkan dengan tugas kerja yang berbeda, bekerja dengan shift, terutama shift
malam, kondisi kerja, situasi terkait stres, penderitaan, dan kematian pasien. Hasil
survei yang dilakukan oleh Dewe (Abraham dan Shanley, 2003) menyimpulkan 5
4
(lima) hal penyebab utama stres kerja pada perawat yaitu : Beban kerja berlebihan,
kesulitan menjalin hubungan dengan staf yang lain, Kesulitan dalam merawat pasien
yang kritis, Berurusan dengan pengobatan atau merawat pasien, dan merawat pasien
yang gagal membaik. Berdasarkan temuan tersebut menyebabkan rendahnya moral,
ketidakpuasan, kinerja yang menurun, dan pengunduran diri pada diri perawat.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andriani & Subekti
(2004), bahwa ada korelasi negatif antara persepsi mengenai kondisi lingkungan kerja
dengan dukungan sosial dengan tingkat stres kerja, yang artinya semakin buruk
persepsi mengenai kondisi lingkungan kerja dan semakin sedikit dukungan sosial
yang diperoleh individu maka semakin tingkat stres kerja yang dialaminya. Sementara
itu, penelitian yang dilakukan oleh Sukma Noor Akbar (2011), semakin positif
keceradan emosi maka akan semakin rendah stres kerja yang dialami oleh perawat
yang bekerja di rumah sakit. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadia
Selvia Revalicha (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi stres perawat
yaitu : kondisi pasien, resiko tertular penyakit, tanggung jawab atas kondisi dan
kesehatan pasien, dan kondisi ruangan tempat perawat bekerja.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres kerja, salah satunya
adalah karakteristik individu. Karakteristik demografi individu memiliki kaitan
dengan stres yang dialami individu terkait dengan pekerjaannya (Gibson, dkk, 2002).
Dalam beberapa penelitian diungkapkan bahwa faktor karakteristik usia, jenis
kelamin, bidang pekerjaan, pengalaman kerja (Wijono, 2006), dan status perkawinan
(Rahmawati, 2008) berpengaruh terhadap tingkat stres kerja. Sementara itu, ada faktor
lain yang mempengaruhi stres kerja adalah faktor dukungan sosial (Smet, 1994).
Dukungan sosial memberikan kontribusi bagi pegawai dalam menghadapi stres.
Dukungan sosial dapat diperoleh dari orang-orang disekitar pegawi sendiri antara lain,
5
keluarga, orang tua, teman, rekan kerja dan lingkungan. Gottlieb (Smet, 1994)
menerangkan bahwa dukungan sosial dapat berupa informasi atau nasehat verbal atau
non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau
didapat dari kehadiran mereka yang mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku
bagi penerima.
Menurut Ross & Altmaier (1994), banyak sekali kerugian yang harus
ditanggung perusahaan akibat adanya stres kerja yang dialami para karyawan. Salah
satu contohnya adalah kinerja karyawan yang menurun. Lebih lanjut, stres kerja juga
dapat menyebabkan turunnya produktivitas perusahaan karena adanya perilaku
membolos (abstenteeism) dari pekerja yang mengalami stres (Rice, 1999). Jadi, stres
kerja dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup individu dan kerugian ekonomi
yang harus ditanggung oleh perusahaan. Oleh karen itu, fenomena stres kerja
merupakan suatu masalah yang penting untuk diteliti.
Beehr dan Newman (dalam Ross & Altmaier, 1994) mengatakan bahwa
terdapat tiga gejala yang muncul ketika seseorang mengalami stres kerja, yaitu, gejala
psikologis, gejala fisik, dan gejala tingkah laku (behavioral). Yang termasuk dalam
gejala psikologis adalah berbagai masalah kognitif dan emosi yang muncul pada
seseorang yang berada dibawah kondisi stres kerja. Salah satu yang gejala psikologis
yang dapat timbul akibat stres kerja adalah ketidakpuasan akan pekerjaan yang
dilakukan (job dissatisfaction). Yang termasuk dalam gejala fisik antara lain adalah
penyakit kardio-vaskular. Menurut Sutherland dan Cooper (1990, dalam Ross &
Altmaier, 1994) penyakit kardio-vaskular (jantung) sering dikaitkan dengan keadaan
kerja yang menyebabkan stres dan hal ini sudah mendapat perhatian dari banyak
peneliti. Selain itu, penyakit saluran pencernaan juga sering dikaitkan dengan stres
kerja. Sedangkan gejala tingkah laku timbul dalam dua kategori. Kategori pertama
6
adalah gejala yang berasal dari individu, seperti menghindari pekerjaan,
mengkonsumsi alkohol berlebihan, menurunnya kinerja dan bersikap agresif terhadap
rekan kerja. Kategori kedua adalah gejala yang muncul dalam organisasi, seperti
perilaku membolos (absenteeism), kecelakaan, dan penurunan produktifitas.
Menurut teori dari Lazarus & Folkman (1984) dan Lazarus (2006)
menjelaskan bahwa stres kerja adalah bentuk stres yang terjadi pada ruang lingkup
pekerjaan, sehingga individu dapat memiliki penilaian akan kondisi lingkungan dan
potensi diri. Potensi yang dimiliki oleh karyawan selalu berubah sesuai dengan
pengalaman kerjanya (Lazarus, 2006). Karyawan diharapkan mencoba untuk
menyesuaikan interaksi kerja diantara diri dan lingkungannya (Lazarus, 2006). Hal ini
disebabkan, tiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menilai sesuatu (Lazarus,
2006). Penilaian masing-masing individu akan tuntutan kerja serta penilaian untuk
mengevaluasi kemampuan dalam menghadapi penyebab stres (stressor) di lingkungan
kerja adalah proses yang pasti dijalani dalam menilai stres kerja (Lazarus, 2006).
Berbagai penelitian tentang stres kerja dan dampaknya telah dilakukan oleh
banyak peneliti di berbagai lapangan pekerjaan, antara lain terhadap partisipan militer
(Dobreva-Martinova, Villeneuve, Strickland, & Matheson, 2002), partisipan guru
(Yahya & Nik Husain, 2007), partisipan perawat dan polisi (Bakker & Heuven, 2006)
dan partisipan bidang keuangan (Oberlechner & Nimgade, 2005). Ross dan Altmaier
(1994) mengungkapkan bahwa terdapat banyak variabel yang dapat mempengaruhi
stres kerja, yang dapat berasal baik dari individu, maupun organisasi. Variabel
individu yang mempengaruhi stres kerja terdiri dari karakteristik pribadi serta respon
dan sumber daya coping. Variabel organisasi yang mempengaruhi stres adalah
karakteristik peran, karakteristik pekerjaan, hubungan interpersonal dalam kerja,
7
struktur dan iklim organisasi, praktek manajemen sumber daya manusia, serta kualitas
fisik dan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan.
Dari seluruh uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
salah satu upaya untuk mengatasi munculnya stres kerja yaitu dukungan sosial
khususnya dukungan sosial dari keluarga karena dukungan tersebut sangat penting
bagi pasien dalam mengurangi kecemasan. Adapun dukungan tersebut diharapkan
berasal dari keluarga, alasannya bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama dan
lingkungan terdekat dengan individu. Dalam hal ini upaya yang dilakukan oleh
keluarga untuk memberikan dukungan semangat dapat menjadi salah satu jalan keluar
yang positif bagi inidividu (Wahyuningsih, 2006). Pada penelitian ini subjek memilih
perawat dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana dukungan sosial keluarga yang
diberikan untuk mengurangi munculnya stres kerja pada perawat. Salah satu rumah
sakit pusat di RSUD Wirosaban, Yogyakarta dan mayoritas perawat di sana adalah
wanita. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 10 November 2013 dengan 10
orang perawat di RSUD Wirosaban, Yogyakarta, diperoleh informasi bahwa perawat
seringkali dilibatkan dalam pekerjaan lembur dengan frekuensi yang cukup tinggi
dalam seminggu, sehingga akan menambah jumlah jam kerja, hal ini menyebabkan
waktu untuk berkumpul dengan keluarga menjadi berkurang. 3 orang perawat
mengaku suami dan anak-anak sangat mendukung pekerjaan yang mereka lakukan,
misalnya suami selalu menjemput mereka saat pulang kerja pada malam hari, dan tiba
di rumah mereka tidak lagi harus mengerjakan pekerjaan keluarga karena sudah
dibantu oleh anak-anak. Suami juga tidak pernah komplain, jika mereka pulang
terlambat. Sementara itu, 5 orang perawat mengaku suami dan anak-anak tidak mau
mengerti dengan pekerjaan mereka. Suami selalu mengeluh jika mereka pulang
terlambat, dan mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyiapkan
8
sarapan, mencuci pakaian, walaupun kondisi mereka sangat lelah dan memicu
terjadinya stres. Mereka jadi sulit tidur, gelisah, dan kurang fokus dalam bekerja.
Penelitian-penelitian yang juga membahas masalah faktor pekerjaan ini juga
telah dilakukan di Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Situngkir (2004) pada
departemen operasi PT Badak NGL Bontang Kalimantan Timur memberikan hasil
yang menyatakan bahwa dari 131 responden yang diteliti, sebesar 25,2% (33 orang)
menganggap bahwa rutinitas kerja mereka membosankan, dan 66,7% dari mereka
mengalami stres tingkat sedang. Penelitian berkenaan dengan faktor intristik
perkejaan yang dilakukan Siswanto (2004) pada 54 orang karyawan bagian produksi
PT Pandu Dayatama, menyatakan bahwa pekerjaan monoton dan beban kerja berlebih
berhubungan dengan stres kerja karyawannya. Selain faktor intrinsik pekerjaan,
menurut Cooper & Davidson (1987 dalam miller, 2000) stres kerja dapat terjadi
karena faktor hubungan/dukungan sosial yang diterima seseorang baik dari rekan
kerja, atasan, maupun bawahan. Kaitan antara hubungan seseorang di tempat kerja
dengan stres kerja adalah dari segi dukungan sosial yang diperolehnya di tempat
kerja. Dukungan sosial ini mernuru “hipotesis penyangga sosial” strategi coping
terhadap stres, dianggap sebagai penunjang yang potensial terhadap pembebas stres
kerja. Meskipun hasil empiris mengenai hipotesis ini masih inkonsisten (Miller,
2000).
Berdasarkan hal-hal yang dipaparan di atas, maka rumusan penelitian ini
Sebagai antara lain: Apakah ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan
munculnya stres kerja pada perawat kesehatan di RSUD. Wirosaban, Yogyakarta?
Adapun tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga
dengan stres kerja pada perawat kesehatan di RSUD. Wirosaban, Yogyakarta.
Penelitian ini akan menguji hubungan dukungan sosial dengan stress kerja. Dukungan
9
sosial dapat mempengaruhi stress kerja perawat wanita rumah sakit RSUD.
Wirosaban, Yogyakarta secara signifikan. Penelitian terdahulu umumnya mengangkat
responden yang bergelut di dunia pendidikan, sedangkan penelitian ini akan
mengangkat responden di yang berbeda dengan karakteristik responden pada
penelitian sebelumnya, responden dalam penelitian ini adalah tenaga medis perawat
wanita yang telah berkeluarga.
STRES KERJA
Definisi stres kerja menurut teori Lazarus & Folkman (1984) dan Lazarus
(2006) mengenai stres. Stres kerja merupakan bentuk stres yang terjadi pada ruang
lingkup pekerjaan, sehingga individu dapat memiliki penilaian akan kondisi
lingkungan dan potensi diri. Potensi yang dimiliki oleh karyawan selalu berubah
sesuai dengan pengalaman kerjanya (Lazarus, 2006). Karyawan diharapkan mencoba
untuk menyesuaikan interaksi kerja diantara diri dan lingkungannya (Lazarus, 2006).
Hal ini disebabkan, tiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menilai
sesuatu (Lazarus, 2006). Penilaian masing-masing individu akan tuntutan kerja serta
penilaian untuk mengevaluasi kemampuan dalam menghadapi penyebab stres
(stressor) dilingkungan kerja adalah proses yang pasti dijalani dalam menilai stres
kerja (Lazarus, 2006). Berdasarkan definisi tersebut, stres kerja dapat diartikan
sebagai hasil interaksi antara individu yang melakukan penilaian terhadap penyebab
stres (stressor) dilingkup pekerjaan. Penilaian dilakukan untuk menilai apakah
lingkungan tersebut membahayakan kesejahteraan dirinya dan mengetahui apakah
dirinya dapat mengatasi kondisi lingkungan .
Versi perluasan dari Skala Stres Keperawatan (ENSS : French, Lenton,
Walters, dan Eyles, 2000) yang didasarkan pada model relasional stres yang
10
dijabarkan oleh Lazarus and Folkman (1984), menjelaskan bahwa ada sembilan
karakteristik yang berkaitan dengan stres kerja khusunya untuk perawat, yaitu :
1. Paparan Kematian dan sekarat (Death and Dying )
Dimana perawat dihadapkan pada situasi mengenai pasien yang sedang sekarat
dan akan mengalami kematian. Hal ini dianggap juga dapat memicu munculnya
stres kerja pada perawat, karena perawat merasa gagal dalam memberikan
bantuan.
2. Konflik dengan dokter (Conflict With Physicians)
Dimana perawat dihadapkan pada situasi mengenai pengobatan pasien dan
membuat keputusan mengenai pasien ketika dokter sedang tidak berada di tempat.
3. Persiapan yang tidak memadai (Inadequate Preparation)
Dimana perawat dihadapkan pada persiapan mental dan fasilitas yang kurang
memadai dan lengkap di tempat kerja. Sehingga perawat merasa kurang maksimal
dalam memberikan pelayanan
4. Masalah dengan rekan kerja (Problems With Peers)
Hubungan sosial yang dimiliki perawat dengan rekan-rekan kerja juga dapat
menimbulkan stres. Dinilai dari kurangnya kesempatan untuk berbagi pengalaman
dengan perawat lainnya.
5. Masalah dengan supervisor / pimpinan (Problems With Supervisors)
Sejauh mana perawat mengalami konfllik, kritik, serta kurangnya dukungan dari
supervisor/pimpinan secara langsung.
11
6. Beban kerja (Workload)
Hal ini mencakup peristiwa stres yang ditimbulkan dari beban kerja perawat yang
berlebih. Termasuk kuantitas tugas, masalah penjadwalan yang kurang sesuai, dan
kurangnya waktu bagi perawat untuk beristirahat.
7. Ketidakpastian tentang pengobatan (Uncertainty Concerning Treatment)
Dalam hal ini perawat berada dalam kondisi merasa tidak cukup terlatih untuk apa
yang harus dilakukan, dan bertanggung jawab dengan pengalaman yang kurang
cukup.
8. Pasien dan keluarga pasien (Patients and Their Families)
Dalam hal ini berkaitan dengan interaksi antara perawat dengan pasien dan
keluarga mereka, dimana perawat memberikan informasi mengenai perkembangan
medis pasien.
9. Diskriminasi (Discrimination)
Dalam hal ini stres kerja pada perawat muncul karena adanya diskriminasi yang
didasarkan pada jenis kelamin, ras, atau etnis.
DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA
Sarafino (2002), dukungan sosial keluarga adalah berbagai macam dukungan
yang diterima oleh seseorang dari orang lain, dapat berupa dukungan emosional,
dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental, dukungan informasi
atau dukungan dari kelompok. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Baron & Byrne
(2000), bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis yang
diberikan oleh teman dan keluarga individu tersebut. Cobb (dalam Sarafino, 1998)
mendefinisikan dukungan sosial keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian
penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan
sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Berdasarkan beberapa
12
tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan atau
dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu yang mampu membuat
individu merasa nyaman, baik secara fisik maupun psikologis sebagai bukti bahwa
mereka diperhatikan dan dicintai.
Cohen and McKay (1984) berpendapat bahwa ada tiga aspek dalam dukungan
sosial keluarga, yaitu :
1. Appraisal Support (Dukungan Penilaian)
Kondisi dimana seseorang merasa dapat bergantung pada lingkungan untuk
mendapatkan petunjuk berupa pemberian arah, nasehat, saran, atau pun umpan
balik mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan.
2. Belonging Support (Dukungan Kepemilikan)
Kondisi dimana individu merasa ia mempunyai orang lain yang dapat memberi
rasa aman dan nyaman pada saat ia menghadapi masa-masa sulit. Atau dapat juga
dikatakan bahwa dukungan ini meliputi ekspresi dari empati, kepedulian, dan rasa
perhatian yang penuh pada seseorang agar ia merasa nyaman, aman, dicintai, dan
merasa menjadi bagian dari kelompok pada saat ia mengalami stres.
3. Tangible Support (Dukungan Nyata)
Merupakan bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi
misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang,
memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain.
13
METODE
PARTISIPAN
Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah
perawat di RSUD Wirosaban Yogyakarta. Mengingat keterbatasan kemampuan,
waktu, dan biaya, maka penulis menggunakan metode purposive sampling dalam
penulisan tugas akhir ini. Kriteria dalam pengambilan sampel ini membutuhkan
tenaga perawat wanita yang sudah berkeluarga dan memiliki masa kerja di atas satu
tahun atau minimal satu tahun masa kerja. Populasi penelitian ini adalah perawat
kesehatan di RSUD. Wirosaban, Yogyakarta yang berjumlah 227 orang, yang terbagi
atas 53 orang perawat laki-laki dan 174 perawat wanita. Dalam hal ini peneliti
menggunakan sampel sebanyak 145 orang responden perawat kesehatan.
INSTRUMEN
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode angket
(kuesioner) yang diberikan langsung pada partisipan. Kuesioner tersebut terdiri dari
dua skala, yaitu skala dukungan sosial keluarga dan skala stres kerja. Teknik ini
memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Dalam pengukurannya, setiap responden
diminta pendapatnya mengenai suatu pernyataan, dengan skala penilaian dari 1
sampai dengan 4. Di skala I tanggapan positif (minimal) diberi nilai paling kecil (1)
dan tanggapan negatif (maksimal) diberi nilai paling tinggi (4). Sedangkan pada skala
II tanggapan positif (maksimal) diberi nilai paling tinggi (4) dan tanggapan negatif
(minimal) diberi nilai paling kecil (1).
14
Skala Dukungan Sosial Keluarga
Skala dukungan sosial keluarga dalam penelitian ini dikembangkan oleh
Cohen & McKay (1984). Skala ini terdiri dari 12 aitem yang dikelompokkan dalam
tiga aspek yaitu Appraisal Support dengan 4 aitem misalnya, “Saya rasa tidak ada
seorang pun yang bisa saya ajak berbagi kekuatiran dan ketakutan terbesar saya”.
Tangible Support dengan 4 aitem missalnya, “Jika saya memutuskan mengganti shift
kerja saya dengan seseorang, saya bisa dengan mudah menemukan seseorang untuk
mau bertukar shift kerja dengan saya”. Belonging Support dengan 4 aitem misalnya,
“Jika saya ingin pergi jalan-jalan, saya akan kesulitan menemukan seseorang untuk
pergi bersama saya”. Model skala ini adalah skala Likert dan memiliki empat
alternatif pilihan yang meliputi pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Sistem penilaian jawaban Sangat Setuju
(SS) = 1, Setuju (S) = 2, Tidak Setuju (TS) = 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) = 4.
Skala Stres Kerja
Skala stres kerja yang digunakan dalam penelitian ini merupakan perluasan
dari skala stres keperawatan (ENSS: French, Lenton, Walters, dan Eyles, 2000). Hal
ini menjelaskan bahwa stres dapat terjadi ketika seorang individu merasakan stres
atau tekanan dari lingkungannya yang membawa dampak negatif kepada individu
tersebut. Skala ini terdiri dari 54 aitem, yang dikelompokkan ke dalam tujuh faktor
yaitu paparan kematian dan sekarat dengan 7 aitem misalnya, “Menunjukkan dan
melakukan prosedur bahwa para pasien mengalami rasa sakit”. Konflik dengan dokter
dengan 5 aitem misalnya, “Kritik dari dokter”. Persiapan yang tidak memadai dengan
3 aitem misalnya, “Merasa cukup siap untuk membantu kebutuhan emosional
keluarga pasien”. Masalah dengan rekan kerja dengan 6 aitem misalnya, “Kurangnya
kesempatan untuk berbicara secara terbuka dengan para rekan kerja lain tentang
15
masalah yang ada di dalam lingkungan atau ruang lingkup kerja”. Masalah dengan
supervisor dengan 7 aitem misalnya, “Perselisihan atau pertentangan dengan seorang
atasan atau pembimbing”. Beban kerja dengan 4 aitem misalnya, “Daftar pegawai
dan daftar penjadwalan yang tidak terduga”. Ketidakpastian tentang pengobatan
dengan 9 aitem misalnya, “Informasi yang tidak memadai dari dokter mengenai
kondisi medis pasien”. Pasien dan keluarga pasien dengan 8 aitem misalnya,
“Keharusan berurusan dengan pasien-pasien yang berperilaku kasar”. Diskriminasi
dengan 3 aitem misalnya, “Kesulitan dalam bekerja dengan para perawat yang
berlainan jenis”. Model skala ini masih menggunakan skala Likert dan memiliki
empat alternatif pilihan yang meliputi jawaban Sangat Stres (SS), Stres (S), Tidak
Stres (TS), dan Sangat Tidak Stres (STS). Sistem penilaian jawaban Sangat Stres (SS)
= 1, Stres (S) = 2, Tidak Stres (TS) = 3, dan Sangat Tidak Stres (STS) = 4.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Seleksi Item dan Reliabilitas
1. Dukungan Sosial keluarga
Berdasarkan pada penghitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala
dukungan sosial keluarga yang terdiri dari 12 item, diperoleh item yang gugur
sebanyak 1 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,339 –
0,597. Untuk menguji reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan
koefisien Alpha pada skala dukungan sosial keluarga sebesar 0,801. Hal ini berarti
skala dukungan sosial keluarga reliabel.
2. Stres Kerja
Berdasarkan pada penghitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala stres
kerja yang terdiri dari 54 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 14 item dengan
koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,341 – 0,586. Untuk menguji
reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada
skala stres kerja sebesar 0,924. Hal ini berarti skala stres kerja reliabel.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas, yaitu:
Uji Normalitas
Pada skor dukungan sosial keluarga memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,1163
dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,227. Sedangkan, pada skala stres
kerja diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,2483 dengan probabilitas (p) atau signifikansi
sebesar 0,258 (p>0,05). Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang
normal.
17
Uji Linearitas
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,1336 dengan sig.= 0,225
(p<0,05) yang menunjukkan dukungan sosial keluarga dengan stres kerja adalah
linear.
Uji Deskriptif
1. Variabel Dukungan Sosial Keluarga
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Dukungan Sosial Keluarga
Interval Kategori Mean N Persentase
33,75 ≤ x ≤ 44
Sangat
Tinggi
37 27,8%
27,5 ≤ x < 35,75 Tinggi 21,95 96 72,2%
19,25 ≤ x < 27,5 Rendah 0 0%
11 ≤ x < 19,25
Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 133 100%
SD = 2,466 Min = 14 Max = 24
Keterangan: x = Dukungan sosial keluarga
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa 37 subjek memiliki skor dukungan sosial
keluarga yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 27,8%, dan 96 subjek
memiliki skor dukungan sosial keluarga yang berada pada kategori tinggi dengan persentase
72,2%. Dan dapat dilihat bahwa tidak ada subjek yang memiliki dukungan sosial keluarga
pada kategori rendah dan sangat rendah, dengan persentase masing-masing 0%. Berdasarkan
rata-rata sebesar 21,95 dapat dikatakan bahwa rata-rata dukungan sosial keluarga berada pada
18
kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 14 sampai
dengan skor maksimum sebesar 24 dengan standard deviasi 2,466.
2. Variabel Stres Kerja
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Stres Kerja
Interval Kategori Mean N Persentase
130 ≤ x ≤ 160
Sangat
Tinggi
3 2,26%
100 ≤ x < 130 Tinggi 10 7,52%
70 ≤ x < 100 Rendah 131,74 90 67,70%
40 ≤ x < 70
Sangat
Rendah
30 22,52%
Jumlah 133 100%
SD = 14,170 Min = 108 Max = 195
Keterangan: x = Stres Kerja
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 3 subjek memiliki skor stres kerja
yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 2,26%, 10 subjek yang
memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 7,52%, 90
subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori rendah dengan persentase
67,70%, dan 30 subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori sangat rendah
dengan persentase 22,52%,. Berdasarkan rata-rata sebesar 131,74, dapat dikatakan bahwa
rata-rata stres kerja subjek berada pada kategori rendah. Skor yang diperoleh subjek
bergerak dari skor minimum sebesar 108 sampai dengan skor maksimum sebesar 195
dengan standard deviasi 14,170.
19
Uji Korelasi
Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel Hasil Uji Korelasi antara Stres Kerja Dengan Dukungan sosial
Correlations
DukunganSosial StresKerja
DukunganSosial Pearson Correlation 1 -.194*
Sig. (1-tailed) .013
N 133 133
StresKerja Pearson Correlation -.194* 1
Sig. (1-tailed) .013
N 133 133
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
dukungan sosial keluarga dengan stres kerja sebesar -0,194 dengan sig. = 0,013 (p < 0.05)
yang berarti ada hubungan yang negatif signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan
stres kerja.
20
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
stres kerja pada perawat RSUD. Wirosaban Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan yang signifikan dan negatif antara dukungan sosial keluarga dengan stres kerja
pada perawat RSUD Wirosaban Yogyakarta. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,
keduanya memiliki r sebesar -0,194 dengan sig. = 0,013 (p < 0.05) yang berarti kedua
variabel yaitu dukungan sosial keluarga dengan stres kerja memiliki hubungan yang negatif.
Dengan kata lain, semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin rendah stres kerja yang
dialami atau sebaliknya.
Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya stres kerja, dukungan sosial
keluarga merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi
rendahnya stres kerja. Jika dilihat sumbangan efektif yang diberikan dukungan sosial
keluarga terhadap stres kerja, dukungan sosial keluarga memberikan kontribusi sebesar
3,76% dan sebanyak 96,24% dipengaruhi oleh faktor lain di luar dukungan sosial keluarga
yang dapat berpengaruh terhadap stres kerja, seperti dukungan sosial, ambiguitas, konflik
peran, dan beban kerja. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial keluarga memberikan kontribusi terhadap stres kerja, sehingga nampak jelas bahwa
dukungan sosial keluarga mempunyai hubungan negatif dengan stres kerja.
Berdasarkan analisi statistik yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan negatif antara dukungan sosial keluarga dengan stres kerja pada tenaga
perawat di RSUD. Wirosaban Yogyakarta. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,
keduanya memiliki r sebesar -0,194 dengan sig. = 0,013 (p < 0,05) yang berarti kedua
variabel dukungan sosial keluarga dengan stres kerja memiliki hubungan yang negatif.
Dengan kata lain, semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin rendah stres kerja yang
dialami atau sebaliknya. \
21
Ada kemungkinan bahwa dukungan sosial dianggap sebagai atribut kepribadian yang
penting bagi perawat saat melakukan serangkaian aktifitas di rumah sakit sehingga
munculnya stres kerja menjadi lebih rendah. Pernyataan ini didukung oleh Cooperr &
Davidson (1987 dalam Miller, 2000) yang mengemukakan bahwa stres kerja dapat terjadi
karena rendahnya faktor hubungan / dukungan sosial yang diterima seseorang baik dari
keluarga, rekan kerja, atasan, atau bawahan. Karyawan yang memiliki dukungan sosial yang
baik akan lebih memiliki nilai kinerja tinggi dan minimnya stres kerja yang ditimbulkan.
Penelitian ini memberikan bukti bahwa dukungan sosial keluarga mempunyai peranan
yang cukup penting terhadap stres kerja pada tenaga perawat di RSUD. Wirosaban.
Berdasarkan hasil korelasi aspek-aspek dukungan sosial keluarga dan stres kerja, maka aspek
dukungan sosial memberikan kontribusi yang efektif sebesar 3,76% dan sebanyak 96,24%
dipengaruhi oleh faktor lain diluar dukungan sosial keluarga yang dapat berpengaruh
terhadap stres kerja, seperti dukungan sosial, ambiguitas, konflik peran, dan beban kerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Jones, Huxtable,
Hodgson, dan Price (dalam Oberlechner & Nimgade, 2005), menyatakan bahwa stres kerja
meningkat drastis dikarenakan kurangnya dukungan sosial yang diperoleh oleh tenaga kerja,
baik itu dari keluarga, rekan kerja, atasan, dan bawahan sehingga hal ini menimbulkan
menurunya kinerja pada karyawan.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah menjelaskan variabel dukungan sosial
keluarga berpengaruh terhadap munculnya stres kerja pada parawat. Namun dalam penelitian
ini ditemukan juga bahwa terdapat partisipan yang memiliki kategori skor dukungan sosial
keluarga rendah sampai sangat rendah dengan stres kerja dalam kategori yang juga rendah
dengan skor 67,70%. Peneliti kemudian melihat dari data demografi partisipan ditemukan
bahwa partisipan yang memiliki skor dukungan sosial keluarga rendah sampai sangat rendah
dengan skor stres kerja yang juga rendah adalah partisipan yang kebanyakan memiliki masa
22
kerja 1-3 tahun. Selain itu partisipan tersebut memiliki rata-rata gaji per bulan sebesar ≤ 2
juta, (2 orang), 2-3,5 juta (8 orang), dan ≥ 5 juta (1 orang dengan kategori dukungan sosial
dan stres kerja yang rendah). Hal ini menunjukkan bahwa kompensasi finansial (gaji)
mempengaruhi kesetiaan perawat pada instansi, kemauan bekerja keras, dan kebanggan
perawat pada instansi sehingga dapat mempengaruhi kinerja perawat
23
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
Terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial keluarga dengan stres kerja pada
perawat kesehatan di RSUD. Wirosaban Yogyakarta. Ini artinya bahwa dukungan sosial
keluarga memberikan kontribusi terhadap stres kerja, dimana apabila adanya dukungan sosial
keluarga yang tinggi maka stres kerja pada perawat akan menurun begitu pula sebaliknya.
KETERBATASAN DAN KELEBIHAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan alat ukur berbahasa Inggris yang sebelumnya telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kekurangan peneliti dalam pengalihan bahasa
berakibat pada reliabilitas dan validitas alat ukur yang mengakibatkan banyaknya aitem yang
gugur terutama untuk alat ukur stres kerja. Penelitian ini juga hanya melibatkan 145
partisipan sehingga kekuatan generalisasi menjadi terbatas. Menurut peneliti hasil penelitian
dengan menggunakan variabel dukungan sosial keluarga dan stres kerja dirasa cukup baik
dan bermanfaat bagi instansi, sehingga melalui penelitian ini instansi dapat lebih
meningkatkan dukungan sosial keluarga yang ada di dalam diri perawat untuk mengurangi
stres kerja pada perawat sehingga tidak mempengaruhi kinerja perawat pada instansi.
.
24
DAFTAR PUSTAKA
Andriani,R dan Subekti,E.M.A. (2004). Pengaruh Persepsi Mengenai Kondisi
Lingkungan Kerja dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Burn Out pada
Perawat IRD RSUD dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Insan.
Arnold, M., Almedia, J. D. Dan Miller, C. (2000). Administering Apache. McGraw-
Hill,. New York.
As‟ad, Mohammad. (1995), Psikologi Industri edisi ke-empat. Yogyakarta : Liberty.
Baron, Robert A. & Donn Byrne (2000). Social Psychology (9th edition). USA: Allyn
& Bacon.
Bart Smet. (1994). Psikologi Kesehatan. Penerbit PT Grasindo.
Bakker, A.B., & Heuven, E. (2006). Emotional dissonance, burnout, and in-role
performance among nurses and police officers. International Journal of Stress
Management, 13, 423-440.
Ballick, M.J. dan P.A. Cox. (1996). Plants, People and Culture: The Science of
Ethnobotany. Scientific American Library. New York.
Beehr, T. A. (1978). Psychologycal Stress In The Workplace. London: Rotledge.
Clark, C. O., J. E. Cole and P. J. Webster, (1999). Indian Ocean SST and Indian
summer rainfall: predictive relationships and their decadal variability.
Cooper, J.M. (ed.) 1990. Classroom Teaching Skill. Lexington. Massachusetts Toronto:
D.C. Heath and Company.
Cooper, C. L. & Davidson, M. (1987). Psychosocial Factors at Wark and Their
Relation to Health. Geneve: Word Health Organization.
Dahlan, M. Sopiyudin, (2013). Statitiska Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
25
Deeter, D.R., dan Ramsey, RP., (1997). Considering Source and Types of Social
Support : A Psychometric Evaluation of the House and Wells (1978)Instrument.
Journal of Personal Selling and Sales Management, Vol. XVII, No.1.1997.
Dessler, Gary. (1997), “Manajemen Personalia”. Jakarta : PT. Erlangga
Dobreva-Martinova, T., Villeneuve, M..,Strickland, L & Matheson, K. (2002).
Occupational stress in the Canadian forces: Its association with individual and
organizational well-being. Canadian Journal of Behavioral Science, 34, 111-121.
Dunseath, J., Beehr, T. A., & King, D. W. (1995). „Job stress– social support buffering
effects across gender, education and occupational groups in a municipal
workforce: implications for EAP‟s and further research‟. Review of Public
Personnel Administration & Society, 15: 60-83.
Eko, S. (2004). “Mengelola Stres Kerja”. Fokus Ekonomi. pp. 121-128. vol.3, no.2,
Agustus.
Edwin B. Fillipo. (1988), “Manajemen Personalia”. Jakarta : PT. Erlangga.
James L Gibson, Jolin M. Ivancevich, James H. Donnelly (1996), Organisasi Perilaku,
Struktur dan Proses, Binarupa Aksara, Jakarta.
Ghozali, Imam. (2006). “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program.
SPSS”.Semarang : Badan Penerbit Undip
James L Gibson, Jolin M Ivanicevich, dan James H Donnely. (1995), Organisasi :
Perilaku, Struktur, dan Proses. Jakarta : PT. Erlangga.
Gibson, Roy (2002). Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi),
Prenhalindo, Jakarta
T Hani Handoko. (1998), Manajemen. Yogyakarta : BPFE.
T Hani Handoko. (2001), Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta : BPFE.
26
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo. (1999). Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan. Manajemen. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta
Isnovijanti,T.(2002). pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Stres Kerja dan Kepuasan
Kerja (Studi kasus: Polres Pati Polda Jateng). Tesis Magister Manajemen
Universitas Diponegoro, Tidak diterbitkan
Rita Johan. (2002), “Kepuasan Kerja Karyawan Dalam Lingkungan Institusi
Pendidikan”. http://www.1.bpkpenabur.or.id/jurnal/01/006-031.pdf.
King, A J C; Peart, M J.(1992). The Satisfaction and Stress of Being a Teacher.
Worklife Report, Journal 8, 6, 12-13
Kreitner dan Kinicki. (2005). Perilaku Organisasi, Buku 1 dan 2, Salemba Empat,
Jakarta
Leonard Lodish, Magid Abraham (1990). Sales Promotion as Strategic
Communacation: The Case of Singapore. The Journal of Product and Brand
Manajement. Singapura: Nanyang Technological University. 2002
Luthans, F. (2002). Organizational Behavior. McGraw-Hill International Book Comp.
Inc. New York
--------------, (2005). Perilaku Organisasi, Edisi Sepuluh, Diterjemahkan oleh : Vivin
Andhika Yuwono; Shekar Purwanti; Th.Arie Prabawati; dan Winong Rosari.
Penerbit Andi, Yogyakarta
-----------. (2006). Perilaku Organisasi 10th. Edisi Indonesia. Yogyakarta : Penerbit
ANDI.
Fuad Mas‟ud. (2002), “40 Mitos Manajemen Sumber Daya Manusia”. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Fuad Mas`ud. (2004). “Survai Diagnosis Organisasional, Konsep & Aplikasi”.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
27
Mangkunegara, Anwar Prabu. Evaluasi Kinerja SDM, PT. Refika Cipta, Bandung,
(2005)
Manning, MR, Jackson, CN, Fusilier, MR. (1996). Occupational Stres, Sosial Support,
and The Cost of Health Care. Academy of Management Vol. 39, No. 3, pp. 738-
750.
Margianti Lulus, (1999). Stres kerja : Latar belakang Penyebab dan Alternatif
Pemecahanannya. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 3 : 71-80,
Surabaya ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Mark, G., & Smith, A.P., 2011. Occupational stress, job characteristics, coping, and the
mental health of nurses. Journal of Health Psychology, Vol 1, No 1, 1-17.
Moustaka, E,. & Constantinidis, T.C. 2010. Sources and effects of work-related stress
in nursing. Health science journal, Vol 4, No 4, 210-216.
Nimran Umar, (1999). Perilaku Organisasi., Citra Media, Surabaya.
Nadia Selvia Revalicha. 2013. Perbedaan Stres Kerja Ditinjau dari Shift Kerja pada
Perawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurna Psikologi Universitas Airlangga
Surabaya.
Oberlechner T, Nimgade A (2005). Work stress and performance among financial
traders. Stress and Health: J. Int. Soc. Invest. Stress, 21(5): 285-293
Parasuraman, Saroj, Jeffrey H. Greenhaus & Cherlyn. (1992). Role Stresors, Sosial
Support, And Well-Being Among Two-Career Couples. Journal of Organizational
Behavior (1986-1998). Juli 1992. 13, 4, ABI/INFORM Global. pp.339
Rasmun. (2004). Stress, koping dan adaptasi teori dan pohon masalah keperawatan.
Jakarta: CV Sagung Seto
Rice, P.L. (1999). Stress and Health. Scarborough : Brooks and Cole Publishing
Company
28
Ross, R. R., & Altmaier, E. (1994). Intervention in occupational stress. Thousand
Oaks, CA: Sage Publications.
Robbins, dan Timothy, J. (2007). Perilaku Organisasi,. Jakarta : Salemba Empat
Sarafino. (2002). Health psychology : biopsychosocial interaction. Fifth Edition
Siagian, Sondang. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia.Cet. 18. Jakarta : Bumi
Aksara
Sugiyono.( 2004). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV. Alfabeta
Suhanto, Edi. (2009). “Pengaruh Stres Kerja dan Iklim Organisasi Terhadap Turnover
Intention dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening” (Studi pada
Bank Internasional Indonesia). Tesis Magister Manajemen Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Sutingkir, P.J. (2004). Gambarn Kejadian Stres dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya Stres pada Pekerja di Departemen Operasi PT Badak NGL Bontang
Kalimantan Timur Taun 2004. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Indonesia: Depok
Sutojo, Siswanto. (2004). Membangun Citra Perusahaan. Damar Mulia Pustaka.
Jakarta.
Sukma, N.A. 2011. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Stres Kerja Pada
Perawat. Jurnal Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Transisca Erma Hendrayani. (2006). Analisis Pengaruh Locus of Control, Dukungan
Sosial, dan Pengalaman Kerja Terhadap Terjadinya Stres Kerja Serta
Pengaruhnya terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada PT. Pupuk Kaltim, Tbk).
Tesis Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
29
Wahyuningsih, Heni Puji. (2006). Etika Profesi Kebidanan Sebuah Pengantar.
Yogyakarta : Fitrimaya
Wexley, dan Yukl, (1992), Perilaku Organisasi dan Psikologi Personil. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Wijono, (2006). Pengaruh Kepribadian Type A dan Peran terhadap Stres Kerja
Perawat Jurnal Kesehatan Insan Vol 8 No. 3 Desember 2006. Surakarta.
Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang: UMM Press.
Yahya & Nik Husain, (2007) stress level and its influencing factors among secondary
school teachers in johor, melaka, negeri sembilan and selangor. Faculty of
Education University Technology Malaysia Skudai Johor. Journal Vol 77, No 2,
139-145.
HYPERLINK "http://www.google.com" www.google.com (tentang sejarah stress)