hubungan antara phbs tatanan rumah
DESCRIPTION
hubungan antara PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosisTRANSCRIPT
-
HUBUNGAN ANTARA STRATA PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DAN SANITASI RUMAH DENGAN
KEJADIAN LEPTOSPIROSIS
(Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
Rizka Auliya NIM. 6450408117
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
-
ii
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang September 2012
ABSTRAK
Rizka Auliya. Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis. (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012) XIV + 95 halaman + 27 tabel + 2 gambar + 15 lampiran Leptospirosis merupakan penyakit di daerah banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi saat pasca banjir. Candisari merupakan daerah yang jarang mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian leptospirosis tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian. Kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya PHBS dan Sanitasi Rumah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis (Studi kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012). Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi penelitian adalah penderita leptospirosis di Kecamatan Candisari (kasus) dan bukan penderita (kontrol). Sampel berjumlah 66 responden. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, dan luxmeter.. Data dianalisis dengan rumus uji Chi-square. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga (p=0,003,OR=4,667), kondisi selokan (p=0,001,OR=5,290), keberadaan tikus (p=0,001,OR=6,107), keberadaan air menggenang (p=0,001,OR=6,133), sarana pembuangan limbah (p=0,003,OR=4,600), sarana pembuangan sampah (p= 0,002,OR=5,400) dan tidak ada hubungan antara intensitas cahaya (p=0,323), keberadaan hewan peliharaan (p=0,084) dengan kejadian leptospirosis. Saran yang diajukan adalah diharapkan pasien memperbaiki PHBS dan sanitasi rumah agar tidak menjadi sumber dan wahana penularan penyakit leptospirosis. Kata Kunci : Leptospirosis, Sanitasi Rumah, Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga. Kepustakaan : 30 (1999-2011)
-
iii
Public Health Departement Sport Science Faculty
Semarang State University September 2012
ABSTRACT
Rizka Auliya. Relationship Between the Strata of Healthy and Clean Life Behavior (PHBS) Order Household and House Sanitary with Leptospirosis Incidence (Case Study in Candisari District Semarang City in 2012) XIV + 95 pages + 27 tables + 2 figure + 15 appendices
Leptospirosis is a disease in flooded areas because of the high incidence of this disease at post-flood. Candisari is an area that rarely experiences flooding, but a region that has a high incidence of leptospirosis in 2009-2011, namely 41 cases and 5 deaths. Incidence of leptospirosis is influenced by several factors, the main strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household and house sanitation. The purpose of this study was to determine the relationship between the strata PHBS order household and house sanitary with the incidence of leptospirosis (case study in Candisari District Semarang City in 2012).
This study used a case-control approach. The study population was patients with leptospirosis in the Candisari district (cases) and not the patients (controls). The sample amounted to 66 respondents. The instruments used were questionnaires, observation sheets, and luxmeter. Data were analyzed by chi-square formula.
The result showed that there is a relationship between the strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household (p = 0.003, OR = 4.667), the condition of the sewers (p = 0.001, OR =5.290), presence of mice (p = 0.001, OR = 6.107), presence of stagnant water (p = 0.001, OR = 6.133),cesspool disposal facilities (p = 0.003, OR = 4.600), waste disposal facilities (p = 0.002, OR = 5.400) and no correlation between the intensity of light (p = 0.323), presence of pets (p = 0.084) with the incidence of leptospirosis.
The suggestions are the patient expected to improve PHBS and house sanitary in order not to be a source and vector for transmission of leptospirosis. Kata Kunci : Leptospirosis, House Sanitation, Strata of Healthy and Clean Life Behavior. Kepustakaan : 30 (1999-2011)
-
iv
PENGESAHAN
Telah disidangkan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, skripsi atas:
Nama : Rizka Auliya
NIM : 6450408117
Judul : Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan
Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di
Kecamatan Candisari Kota Semarang)
Pada hari : Rabu
Tanggal : 21 November 2012
Panitia Ujian:
Ketua, Sekretaris,
Drs. H. Harry Pramono, M.Si . ` Dr. dr. Oktia Woro KH, M. Kes. NIP.19591019.198503.1.001 NIP. 19591001.198703.2.001 Dewan Penguji Tanggal
Ketua, Eram Tunggul P., S.KM., M.Kes ___________ NIP. 19740928.200312.1.001
Anggota, Arum Siwiendrayanti, S.KM, M.Kes ___________ (Pembimbing Utama) NIP. 19800909.200501.2.002
Anggota, Sofwan Indarjo, S.KM, M.Kes ___________ (Pembimbing Pendamping) NIP. 19760719.200812.1.002
-
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
Dahulukan Allah, maka Allah akan mendahulukanmu dalam segala urusan.
Masyarakat akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya serta
lingkungannya (Juli Soemirat Slamet, 2002:5).
PERSEMBAHAN:
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Ibuku tercinta (Ibu Sadiyah).
2. Adik dan Kakakku (Oyik dan Naila).
3. Keluarga Besarku
4. Almamaterku Unnes
-
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan
karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul Hubungan antara Strata PHBS
Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis
(Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012) dapat
terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini,
dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang, atas ijin penelitian.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang, atas persetujuan penelitian.
3. Pembimbing I, Ibu Arum Siwiendrayanti, S.KM., M.Kes., atas bimbingan,
arahan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Pembimbing II, Bapak Sofwan Indarjo, S.KM., M.Kes., atas bimbingan, arahan
serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dosen Penguji Proposal Skripsi, Bapak Eram Tunggul Pawenang, S.KM.,
M.Kes., atas saran dan masukkan dalam perbaikan skripsi ini.
6. Dosen-dosen dan karyawan di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, atas bimbingan dan
bantuannya.
7. Kepala Kesbangpolinmas Kota Semarang , Bapak Drs. Bambang Sukono, MM,
atas ijin penelitian.
-
vii
8. Kepala Kantor Kecamatan Candisari Kota Semarang, Bapak Budi Tjahyanto,
S.H., M.Hum, atas ijin penelitian di wilayah tersebut.
9. Ibu (Sadiyah), adik (Oyik), Kakak (Naila), atas doa, pengorbanan, kasih
sayang dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Muhammad Ulya, atas bantuan doa, tenaga, pikiran, pengorbanan serta
motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
11. Sahabat sekaligus teman diskusi (Dwina, Wiwin, Madya Feni, Evy, Nunung)
atas bantuan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman Kos 8, atas doa, dukungan serta motivasinya dalam
penyusunan skripsi ini.
13. Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2008, atas bantuan
serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda
dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya
selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Semarang, September 2012
Penyusun
-
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ................................................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PENGESAHAN .................................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
1.5 Keaslian Penelitian ......................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11
-
ix
2.1 Leptospirosis .................................................................................................. 11
2.2 Sanitasi Rumah ............................................................................................. 26
2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis ............... 34
2.4 PHBS Tatanan Rumah Tangga ..................................................................... 36
2.5 Kerangka Teori .............................................................................................. 42
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 43
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43
3.2 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 44
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ..................................................................... 44
3.4 Variabel Penelitian ......................................................................................... 44
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel .................................. 45
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 48
3.7 Sumber Data Penelitian .................................................................................. 52
3.8 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 53
3.9 Teknik Pengambilan Data ............................................................................. 53
3.10 Prosedur Penelitian ....................................................................................... 54
3.11 Teknik Analisis Data ..................................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................ 60
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 60
4.2 Hasil Penelitian ............................................................................................ 60
4.2.1 Karakteristik Responden .............................................................................. 60
4.2.2 Analisis Univariat Variabel Penelitian ......................................................... 63
4.2.3 Hasil Analisis Bivariat ................................................................................. 68
-
x
4.2.4 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat .......................................................... 77
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... 78
5.1 Pembahasan .................................................................................................. 78
5.1.1 Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dengan Kejadian
Leptospirosis ................................................................................................ 78
5.1.2 Hubungan antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis ........... 80
5.1.3 Hubungan antara Intensitas Cahaya dengan Kejadian Leptospirosis .......... 81
5.1.4 Hubungan antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis ......... 82
5.1.5 Hubungan antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian
Leptospirosis ............................................................................................... 84
5.1.6 Hubungan antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian Leptospirosis
.................................................................................................................... 85
5.1.7 Hubungan antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian Leptospirosis
.................................................................................................................... 87
5.1.8 Hubungan antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Leptospirosis
.................................................................................................................... 89
5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ............................................................ 91
5.2.1 Hambatan Penelitian ................................................................................... 91
5.2.2 Kelemahan Penelitian ................................................................................. 91
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 92
6.1 Simpulan ........................................................................................................ 92
6.2 Saran ............................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94
LAMPIRAN ......................................................................................................... . 96
-
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1: Keaslian Penelitian................................................................................. 8
Tabel 1.2: Matrik Perbedaan Penelitian .................................................................. 9
Tabel 2.1: Strata PHBS di Rumah Tangga ............................................................. 40
Tabel 2.2: Strata Kelompok
(RT,RW,DESA/KELURAHAN,KECAMATAN,KABUPATEN/KOTA) ............ 41
Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ........................... 45
Tabel 3.2: Perhitungan Sampel ............................................................................... 50
Tabel 3.3: Tabel 2 x 2 Penentuan OR ..................................................................... 57
Tabel 4.1: Distribusi Responden menurut Umur .................................................... 61
Tabel 4.2: Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin ....................................... 62
Tabel 4.3: Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan .............................. 62
Tabel 4.4: Distribusi Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Responden ................ 63
Tabel 4.5: Distribusi Kondisi Selokan Responden ................................................. 64
Tabel 4.6: Distribusi Intensitas Cahaya dalam Rumah Responden ........................ 64
Tabel 4.7: Distribusi Keberadaan Tikus di Rumah Responden .............................. 65
Tabel 4.8: Distribusi Keberadaan Hewan Peliharaan Responden ........................... 66
Tabel 4.9: Distribusi Keberadaan Air Menggenang di Rumah Responden ............ 66
Tabel 4.10: Distribusi Sarana Pembuangan Limbah Responden ............................ 67
Tabel 4.11: Distribusi Sarana Pembuangan Sampah Responden............................ 68
Tabel 4.12: Tabulasi Silang antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dengan
Kejadian Leptospirosis ............................................................................................ 69
-
xii
Tabel 4.13: Tabulasi Silang antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis
.............................................................................................................. 70
Tabel 4.14: Tabulasi Silang antara Intensitas Cahaya dengan Kejadian Leptospirosis
.............................................................................................................. 71
Tabel 4.15: Tabulasi Silang antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis
.............................................................................................................. 72
Tabel 4.16: Tabulasi Silang antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian
Leptospirosis ........................................................................................................... 73
Tabel 4.17: Tabulasi Silang antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian
Leptospirosis ........................................................................................................... 74
Tabel 4.18: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian
Leptospirosis ........................................................................................................... 75
Tabel 4.19: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian
Leptospirosis ........................................................................................................... 76
Tabel 4.20: Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Menggunakan Uji Chi-Square ... 77
-
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Kerangka Teori................................................................................... 42
Gambar 3.1: Kerangka Konsep ............................................................................... 43
-
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Permohonan Sebagai Responden Penelitian ...................................... 96
Lampiran 2: Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ....................................... 97
Lampiran 3: Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi ..................................... 98
Lampiran 4: Daftar Responden Kasus .................................................................... 105
Lampiran 5: Daftar Responden Kontrol .................................................................. 106
Lampiran 6: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian Tiap Variabel .............................. 107
Lampiran 7: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ..................................................... 123
Lampiran 8: Output SPSS Analisis Bivariat dengan Uji Chi-Square ..................... 125
Lampiran 9: Surat Tugas Pembimbing ................................................................... 133
Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian dari Fakultas .................................................... 134
Lampiran 11: Surat Ijin Peminjaman Alat .............................................................. 135
Lampiran 12: Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas ..................................... 136
Lampiran 13: Surat Ijin Penelitian dari Kecamatan Candisari ................................ 138
Lampiran 14: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ................................ 139
Lampiran 15: Dokumentasi Penelitian .................................................................... 140
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki
curah hujan yang tinggi. World Health Organization (WHO) menyebutkan
kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1
kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar
antara 10100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2012).
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Indonesia sebagai
negara tropis merupakan negara dengan kejadian Leptospirosis yang tinggi serta
menduduki peringkat ketiga di dunia dibawah China dan India untuk mortalitas.
Penyakit bersumber tikus yang pernah dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah
diantaranya adalah penyakit Pes dan Leptospirosis. Leptospirosis telah
mengakibatkan kematian penduduk di beberapa kabupaten atau kota seperti di
Semarang, Demak, Pati, Klaten dan Purworejo (Buku Saku Kesehatan 2011 Prov.
Jateng : 40 - 41).
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi
bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang
menyerang hewan dan manusia. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan
oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira yang biasanya masuk melalui
conjunctiva atau kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh, infeksi dapat pula terjadi
-
2
apabila seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin
tikus atau hewan lain seperti anjing, kucing dll yang sakit leptospirosis dalam
waktu yang lama (Muliawan, 2008: 64).
Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai
2,516,45%. Dan di provinsi Jawa Tengah angka kematian leptospirosis
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kejadian dan angka kematian
leptospirosis di Jawa Tengah tahun 2007 adalah 67 kejadian dan 6 kematian,
tahun 2008 adalah 231 kejadian dan 15 kematian, tahun 2009 adalah 232 kejadian
dan 14 kematian, tahun 2010 adalah 133 kejadian dan 14 kematian, dan pada
tahun 2011 adalah 153 kejadian dan 30 kematian (Profil Kesehatan Indonesia
2010, Kepmenkes RI Tahun 2011). Angka kejadian dan kematian leptospirosis di
Jawa Tengah mulai tahun 20082011 yang paling tinggi adalah di Kota Semarang
yaitu sebanyak 151 kejadian dengan 4 kematian, 235 kejadian dengan 9
kematian, 70 kejadian dengan 6 kematian, dan 60 kejadian dengan peningkatan
kasus kematian sebanyak 22 kematian (Buku Saku Data Kasus dan Kematian
Leptospirosis Jateng 2012 ). Bila dilihat dari data, selama tahun 20082011
kejadian leptospirosis di Kota Semarang mengalami penurunan. Namun pada
angka kematian yang terjadi mengalami peningkatan yang pesat pada tahun 2011.
Pada umumnya, penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang banyak
terjadi di daerah rawan banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi setelah
banjir tersebut surut. Kawasan rob yang memiliki kasus leptospirosis tinggi di
Kota Semarang misalnya Kecamatan Semarang Utara. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sunaryo dari Loka Litbang P2B2 Banjarnegara tentang zona
kerawanan leptospirosis di Kota Semarang menunjukan hasil yang berbeda untuk
-
3
daerah yang jarang banjir. Daerah Candisari merupakan daerah yang jarang
mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian
leptospirosis yang tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian.
Dan pada tahun 20082010 kejadian leptospirosis yang juga tinggi berada di
daerah Tembalang yang merupakan daerah yang juga jarang terjadi banjir
(Rekapitulasi Bulanan Kasus Leptospirosis Kota Semarang Tahun 2012). Dengan
demikian, fenomena kejadian leptospirosis bukan hanya terjadi di kawasan rob
saja, melainkan sudah merambat ke daerah yang jarang banjir di Kota Semarang.
Menurut petugas Puskesmas Kagok bagian penyakit Leptospirosis, hal ini
disebabkan oleh banyaknya populasi tikus yang terinfeksi bakteri leptospira yang
bermigrasi dari daerah yang rawan banjir ke daerah yang jarang banjir seperti
Candisari. Dan penyakit Leptospirosis dapat terjadi hanya dengan adanya tikus
yang terinfeksi Leptospira, air menggenang dan kontak manusia dengan air
menggenang yang terinfeksi oleh Leptospira dari air kencing tikus tersebut. dari
hal tersebut maka banyaknya kejadian Leptospirosis di daerah jarang banjir dapat
terjadi.
Di wilayah kota Semarang, tercatat kecamatan Candisari sebagai wilayah
terpadat dengan angka kepadatan 14.089 jiwa/km2. Di kecamatan Candisari, air
tanah dan permukaan air dangkal mencapai 10-20 meter. Hal ini berpotensi
menimbulkan genangan air luas mencapai 1-25 hektare utamanya di kelurahan
Kaliwiru. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 28 Juli 2012
di beberapa kelurahan (Jomblang, Karanganyar Gunung, Kaliwiru dan Tegalsari)
yang merupakan kelurahan dengan keberadaan kasus Leptospirosis di kecamatan
-
4
Candisari, mendapatkan hasil bahwa kondisi sanitasi di daerah tersebut perlu
diperhatikan. Hal tersebut terlihat dari kondisi rumah-rumah yang sangat
berhimpitan dan masih sedikitnya tempat sampah di tiap-tiap rumah sehingga
menimbulkan banyaknya sampah yang dibuang sembarangan di sekitar rumah
maupun selokan. Warga juga menyatakan bahwa saat musim hujan, selokan di
sekitar rumah mereka sering meluap karena tidak tertutup dan berukuran kecil.
Keterbatasan tempatlah yang membuat mereka tidak dapat membuat selokan yang
lebih besar. Terbatasnya tempat juga menyebabkan rumah-rumah mereka
dibangun dengan kondisi seminimal mungkin sehingga kondisi di dalam rumah
terlihat cukup gelap walaupun saat siang hari. Hal- hal tersebut yang menjadi
kemungkinan sebagai faktor-faktor penularan Leptospirosis.
Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang sangat berhubungan
dengan lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berperan dalam kejadian
leptospirosis adalah sanitasi rumah. Sanitasi rumah dapat dikatakan baik apabila
memenuhi salah satu kriteria rumah sehat yaitu memenuhi persyaratan
pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air
bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan
tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan
dan penghawaan yang cukup (Rusmini, 2011:86).
Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian
Leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan. Pada penelitian Dwi Sarwani
(2005) mendapatkan hasil bahwa beberapa faktor lingkungan fisik yang
-
5
merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat
pengumpulan sampah (Odd Ratio = 1,2 dengan 95% CI 0,6-2,7), kondisi selokan
(Odd Ratio = 5 dengan 95% CI 2,3-10,6). Faktor lingkungan biologik yang
merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam
rumah (Odd Ratio = 38,1 dengan 95% CI 8,6169,8).
Faktorfaktor lingkungan termasuk kedalam beberapa indikator dari PHBS
tatanan rumah tangga. Selain faktor lingkungan, faktorfaktor lain yang ikut
berpengaruh pada kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah
tangga. PHBS tatanan rumah tangga dilakukan untuk memberdayakan anggota
rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS dengan baik,
memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya penyakit
dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan
kesehatan masyarakat (Pedoman Program PHBS Tatanan Rumah Tangga Tahun
2010). Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan
strata PHBS dalam rumah tangga, tingkatan strata tersebut antara lain sehat
pratama, sehat madya, sehat utama dan sehat paripurna.
Tingkatan strata PHBS Tatanan Rumah Tangga menentukan bagaimana
kondisi PHBS dalam keluarga. Penentuan strata PHBS Tatanan Rumah Tangga
merupakan program pemerintah yang telah dilakukan oleh Puskesmas. Untuk itu
perlu diketahui hubungannya dengan kejadian Leptospirosis agar bisa lebih
ditingkatkan keefektifannya di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti
ingin melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan
Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis
-
6
1.2 Rumusan Masalah
Menurut penelitian terdahulu, faktor lingkungan merupakan faktor yang
sangat berperan dalam kejadian leptospirosis utamanya adalah sanitasi rumah
yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus di dalam
rumah, keberadaan air yang menggenang di dalam rumah, sarana pembuangan air
limbah dan sarana pembuangan sampah. Faktorfaktor lingkungan tersebut
termasuk ke dalam beberapa indikator dari PHBS tatanan rumah tangga. Selain
faktor lingkungan tersebut, faktorfaktor lain yang ikut berpengaruh pada
kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah tangga. Indikator
tersebut antara lain KIA dan gizi, gaya hidup, dan upaya kesehatan masyarakat.
Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan strata
PHBS dalam rumah tangga.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Adakah
hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan
kejadian leptospirosis?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian
leptospirosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dengan
kejadian leptospirosis.
2. Mengetahui hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis.
-
7
3. Mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian
leptospirosis.
4. Mengetahui hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.
5. Mengetahui hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian
leptospirosis.
6. Mengetahui hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan
kejadian leptospirosis.
7. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian
leptospirosis.
8. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian
leptospirosis.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama
kuliah di bidang Kesehatan Lingkungan dalam bentuk penelitian ilmiah mengenai
hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan
kejadian leptospirosis.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Sebagai sarana pemberian informasi yang nantinya dapat dijadikan
masukan dalam bidang sosial-ekonomi dengan memasyarakatkan bahwa strata
PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah berhubungan dengan kejadian
leptospirosis, sehingga masyarakat dapat mencegah kejadian leptospirosis.
-
8
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Judul Peneliti
An
Nama Peneli
ti
Tahun dan
Tempat Peneliti
an
Ranca ngan
Peneliti An
Variabel Penelitian Hasil Penelitian
(1) (2) (3) (4) (5) (6) Faktor Risiko Ling kungan Yang Berpe ngaruh Terha dap Kejadian Leptospirosis Berat
Dwi Sarwa ni Sri Rejeki
Tahun 2005, di Rumah Sakit Dr. Kariadi Sema rang.
Meng gu nakan metode Obser vasio nal dengan rancang an kasus kontrol
Variabel bebas : Kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai Variabel terikat : Kejadian leptospirosis.
Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat pengumpulan sampah OR = 1,2 95% CI 0,6-2,7; curah hujan >= 177,5 mm OR=5,7; 95% CI 1,9-17,3; kondisi selokan < 2,0 meter OR=5; 95% CI 1,8-15,7. Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar OR=38,1; 95% CI 8,6169,8.
-
9
(1) (2) (3) (4) (5) (6) Analisis Faktor Faktor yang Berhubung an dengan Penyakit Leptospiro sis Di Puskesmas Kedungmundu 2011
Taufik Ari Pambudi
Tahun 2011 di Puskesmas Kedungmundu
Analitik observasional dengan desain kasus kontrol
Variabel Bebas : Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air Variabel Terikat : Kejadian Leptospirosis
Variabel yang berhubung an dengan kejadian leptospiro sis adalah pekerjaan OR=7,765 ; 95% CI 0,85270,752, kebersihan diri OR=7,3,685 ; 95% CI 1,062-12,771, riwayat adanya luka OR=5,6 ; 95% CI 1,52320,492, keberadaan tikus OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771, riwayat kontak dengan air kotor OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771, kebersihan rumah OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771.
Perbedaan penelitian dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel
1.2 tentang matrik perbedaan penelitian di bawah ini :
Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian
No Perbedaan Penelitian Rizka Auliya Penelitian Dwi
Sarwani Penelitian Taufik Ari Pambudi
(1) (2) (3) (4) (5) 1. Judul
Penelitian Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Dan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis.
Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat
Analisis Faktor Faktor yang Berhubungan Penyakit Leptospirosis Di Puskesmas Kedungmundu 2011
2. Tempat Kecamatan Candisari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
Puskesmas Kedungmundu
3. Rancangan Penelitian
Menggunakan metode observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol.
Menggunakan metode Observasional dengan rancangan kasus kontrol
Analitik observasional dengan desain kasus kontrol
-
10
(1) (2) (3) (4) (5) 4. Variabel
Bebas Strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus, keberadaan air yang menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah.
Kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai
Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air
5. Teknik sampling
Sistem random sampling sampling
Sistematik random sampling
Simple random sampling
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Candisari Kota Semarang.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus 2012.
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini dibatasi lingkup teorinya pada strata PHBS tatanan rumah
tangga dan sanitasi rumah sebagai pemicu munculnya vektor tikus yang kemudian
menghubungkannya dengan kejadian Leptospirosis.
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Leptospirosis
2.1.1 Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri yang
berbentuk spiral dari genus leptospira patogen, menyerang hewan dan manusia.
Definisi zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan
dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya (Depkes RI, 2005:1)
Bakteri zoonosis sebagai aspek penyebab leptospirosis. Dari aspek
transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonosi (host to host
transmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja.
Penyakit ini bebas berkembang di alam, di kalangan hewan liar maupun domestik,
dan manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut
termasuk golongan anthropozoonosis. Gambaran klinis penyakit leptospirosis
pada manusia meliputi: demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus, dan ada tanda
tanda kerusakan pada ginjal (Depkes RI,2005:1).
2.1.1.1 Etiologi
Mikroorganisme penyebab leptospirosis termasuk dalam genus Leptospira
(L), famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales yang terdiri dari 2 spesies yaitu L.
interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen,
saprofit). Jenis Leptospira interrogans yang mampu menginfeksi manusia antara
lain adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pamona, L. grippotyphosa, L.
javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. autumnalis, L. bataviae, L.
-
12
tarrasovi, L. panama, L. andamana, L. shemonai, L. ranarum, L. bufonis, L.
copenhageni, L. australis, L. cynopteri. Jenis yang paling sering menginfeksi
manusia adalah L. icterohaemorrhagiae dengan tikus sebagai reservoirnya, L.
canicola dengan anjing sebagai reservoirnya, dan L.pamona dengan sapi dan babi
sebagai reservoirnya (Djoni Djunaedi, 2007:20).
2.1.1.2 Epidemiologi
Leptospira yang hidup dalam tubuh hewan yang menjadi sumber penular
leptospirosis berada di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus merupakan vektor
yang utama penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira
akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel
tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus akan ikut mrngalir dalam filtrat urin.
Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang, masa puncak insidens
dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor
yang mempengaruhi kelangsunga hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis
insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Untuk dapat berkembang biak,
leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang
lembab, hangat, dan pH air tanah yang netral (Aru W. Sudoyo, dkk., 2006:1845).
Bakteri Leptospira tetap hidup pada air tergenang selama beberapa
minggu. Ketika orang meminum air tersebut, berenang atau mandi di dalamnya,
atau mengkonsumsi makanan yang tercemar, maka dapat timbul infeksi pada
orang tersebut. Orang yang sering berkontak dengan air yang tercemar oleh urin
tikus mempunyai risiko terbesar untuk terinfeksi (Muliawan, 2008:65).
-
13
2.1.1.3 Patogenesis
Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau makanan
yang terkontaminasi denga leptospira. Selaput mukosa dan kulit yang terluka
merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira patogenik. Setelah
masuknya bakteri ini, terjadi infeksi yang tersebar di seluruh tubuh termasuk
cairan serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul lesi pada tempat masuk. Gerak
yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme
masuknya Leptospira di tempat tersebut, yang secara normal terlindung (Rusmini,
2011:86-88).
Leptospira secara cepat dieliminasi dari semua jaringan tubuh hospes,
kecuali pada otak, mata, dan ginjal. Leptospira yang bertahan hidup pada otak dan
mata tidak memperbanyak diri, akan tetapi pada ginjal, bakteri ini berkembang
biak di dalam tubuli kontorta dan dikeluarkan ke dalam urin. Leptospira bertahan
di dalam hospes selama bermingguminggu hingga berbulanbulan, dan pada
rodensia bakteri ini dapat dikeluarkan melalui urin sepanjang hidup hewan
tersebut (Muliawan, 2008:67).
2.1.1.4 Patologi
Perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis
terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal
dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.
-
14
Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Selain
di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat
masuk pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang
merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi
leptospirosis. Organorgan yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah (Aru W. Sudoyo, dkk.,2006:1845).
2.1.1.5 Morfologi
Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan
panjang 525 m, disertai spiral halus yang lebarnya 0,10,2 m. Salah satu ujung
organisme seringkali bengkok, membentuk kait. Bentuk yang demikian
menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur atau
berbelok. Leptospira dapat dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28
30C (Muliawan, 2008:65).
2.1.1.6 Struktur
2.1.1.6.1 Struktur Umum
Leptospira memiliki ciri umum yang berbeda dari bakteri lainnya. Sel
bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3 5 lapis, atau disebut
juga envelop. Di bawah membran luar ini terdapat lapisan peptidoglikan yang
fleksibel dan helical, serta membran sitoplasma. Kedua lapisan ini meliputi isi
sitoplasma dari sel. Struktur yang dikelilingi membran luar tersebut, secara
kolektif dinamakan silinder protoplasmik.
Ciri khas Spirochaeta adalah lokasi flagelanya, yang terletak diantara
membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut sebagai flagella
-
15
periplasmik. Leptospira memiliki flagella periplasmik, masing masing
berpangkal pada setiap ujung sel. Ujung bebas flagella periplasmik berjalan ke
arah pusat sel, tetapi tidak bertumpang tindih seperti Spirochaeta lainnya.
Leptospira berbeda denga spirochaeta lainnya, karena tidak mempunyai zat
glikopid tetapi memiliki asam diaminopimelat sebagai pengganti ornitin pada
bahan peptidoglikannya (Muliawan, 2008:67).
2.1.2 Cara Penularan Bakteri Leptospira
Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira melalui kontak dengan air,
tanah (lumpur), dan tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan hewan
penberita leptosirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui
selaput lendir (mukosa) mata, hidung, atau kulit yang lecet dan kadang kadang
melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oelh urin tikus
yang telah terkontaminasi oleh Leptospira (Depkes RI, 2005:8).
Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang
bersama dengan proses infeksi pada semua resevoar Leptospira. Namun
masuknya kuman secara kuantitatif berbeda, bergantung kepada agen, host dan
lingkungan. Melalui cara lain dapat saja terjadi yaitu melaui permukaan mukosa,
misalnya melalui abrasi, mukosa, saluran hidung atau konjungtiva. Kuman
Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya
demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi
pada organ tersebut. Masa inkubasi dari leptospirosis 419 hari, ratarata 10 hari.
Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (Depkes RI, 2005:8).
-
16
Gambaran klinis akan bervariasi bergantung dari kondisi manusianya,
spesies hewan, dan umurnya. Kuman ini beberapa hari akan tinggal pada organ
seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem
imunitas tubuh akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan ginjal,
serta berada si tubular ginjal (Depkes RI, 2005:8).
Orang dengan profesi tertentu seperti petani yang mengerjakan sawah,
petugas rumah potong hewan, dokter hewan yang menangani ternak, mempunyai
kecenderungan besar terinfeksi bakteri. Tikus yang mempunyai kesempatan
bergerak luas melampaui batasbatas kepemilikian lahan merupakan sumber
penularan yang potensial (Soeharsono, 2002:41).
2.1.3 Resevoar Penular
Hewanhewan yang menjadi sumber penularan adalah rodent (tikus), babi,
sapi, kambing, domba, kuda, kucing, anjing, serangga, burung, insektivora
(landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat berperan sebagai karier dari
Leptospira (Rusmini, 2011:43-44).
2.1.4 Gejala Klinis
Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dai infeksi
subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan yang berat dan
berpotensi fatal yaitu penyakit weil (weils disease atau weils syndrome). Karena
variasi klinik penyakit ini luas, maka penyakit ini biasanya mirip dengan infeksi
dengue, malaria ringan atau berat, demam typhoid, hepatitis virus, infeksi
hantavirus, sepsis atau penyakit demam lainnya (Rusmini, 2011:89).
-
17
Selain pembagian gambaran klinis diatas, Soeharyo Hadisaputro, 2002,
Iskandar Z; Nelwan RHH, Suhendro, dkk, 2002, membagi leptospirosis menurut
perjalanan penyakitnya menjadi 3 fase yaitu:
2.1.4.1 Fase Pertama
Pada masa leptospiremia akan dijumpai leptospira dalam darah, timbul
keluahan sakit kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri otot hebat
terutama pada paha, betis yang diikuti dengan hiperaestesia. Beberapa penderita
mengeluh nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Keluhan batuk dan
sakit dada dijumai pada hampir semua kasus, sedangkan batuk darah sangat jarang
ditemukan.
Tanda fisik dianggap khas adalah conjuctival suffusion, pertama kali
timbul pada hari ke 3 (tiga) atau ke 4 (empat), yang disertai dengan sklera mata
berwarna kuning dan adanya photophpbia. Tanda lain dapat berupa kemerahan
pada kulit berbentuk makula, makulopapula ataupun urtikaria, dan perdarahan
kulit. 25% kasus dapat dijumpai penurunan kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan
oliguria yang kadang juga dijumpai splenomegelia, hepatomegali, atau
limfadenopatia.
2.1.4.2 Fase Kedua (Fase Immune)
Pada fase immune, ditandai kembali dengan munculnya gejala demam
yang tidak melebihi 39C, berlangsung selama 13 hari, kadangkadang timbul
antibodi dalam sirkulasi darah. Pada fase ini kadangkadang dijumpai adanya
iridlosiklitis, neuritis optik, mielitis, encephalitis, serta neurophati perifer.
-
18
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran
klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, dapat terjadi gangguan fungsi
ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
2.1.4.3 Fase Ketiga (Fase Convalescent)
Pada fase ini terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan pulihnya
kesadaran, ikterus menghilang, tekanan darah menjadi normal kembali, serta
perbaikan produksi urin. Fase ini terjadi bila pada minggu kedua sampai minggu
keempat degan petogenesis yang masih belum jelas, demam, serta nyeri otot
masih dijumpai, yang kemudian berangsurangsur hilang.
2.1.5 Penyebab Penyakit (Agent)
Bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral
termasuk dalam ordo spirochaetales dalam famili trepanometaceae. Bentuk spiral
denga pilinan yang rapat dengan ujung ujungnya yang bengkok seperti dari
bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan
berputar sepanjang sumbunya, maju, mundur maupun melengkung karena
ukurannya yang sangat kecil. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop
medan gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan
dapat hidup dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut,
air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Depkes RI,
2005:6).
Sifat dari bakteri Leptospira adalah spirochaeta yang bergelung rapat
sekali, berukuran 0,1 m x 0,6 m sampai 0,3 m x 20 m. Amplitudo hilikel
sekitar 0,1 sampai 0,15 m dan panjang gelombang sekitar 0,5 m, pada ujung
-
19
selnya baik pada salah satu maupun keduanya biasanya terikat pada semacam kait.
Dua filamen aksial (flagella periplasmik) dengan insersi polar terletak pada ruang
perplasmik. Struktur protein flagella sangat komplek, leptospira memperlihatkan
dua bentuk yang berbeda dalam pergerakannya, translatasi dan nontranslatasi.
Leptospira dapat diwarnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Bakteri ini bersifat
aerobik obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28C30C dan pH 7,2
80. Menghasilkan katalase dan oksidase, tumbuh pada media sederhana yang kaya
dengan vitamin (vit B2 dan B12 adalah faktor pertumbuhan), asam lemak rantai
panjang, dan garam amonium. Asam lemak rantai panjang digunakan sebagai
sumber karbon tunggal dan metabolisme oleh oxidase (Depkes RI, 2005:6).
Leptospira relatif mudah dikultur dalam kondisi aerobik, suhu 28C30C.
Genus leptospira dibagi dalam 2 spesies, yaitu L. interrogans (patogen) dan L.
biflexa, mengandung strain saprofitik yang diisolasi dari lingkungan. L. biflexa
dibedakan dari L. interrogans dengan melihat pertumbuhan pada suhu 13C
(Depkes RI, 2005:6).
Kedua spesies tersebut di atas, L interrogans dan L.biflexa dibagi dalam
sejumlah serovar yang telah ditetapkan dalam aglutinas setelah absorbsi silang
dengan antigen homolog. Jika pada uji ulangan selalu terdapat lebih dari 10% titer
homolog pada sekurangkurangnya satu dari dua antisera, maka pada dua strain
tersebut dnyatakan sebagai dua serovar yang berbeda (Depkes RI, 2005:6).
2.1.6 Faktor Risiko Manusia Terinfeksi Bakteri Leptospirosis
1. Petani dan peternak serta tukang potong hewan
2. Penangkap/penjerat hewan
-
20
3. Dokter/mantri hewan
4. Penebang kayu, pekerja selokan dan perkebunan
5. Berenang di sungai
6. Bersampan
7. Kemping
8. Berburu/kegiatan di hutan
9. Anjing piaraan dan hewan ternak
10. Genangan air hujan
11. Lingkungan tikus
12. Banjir (Aru W. Sudoyo, 2007:1824)
2.1.7 Diagnosis klinis dan diagnosis banding
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis tidak
sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan seseorang, kondisi
lingkungan dan lain-lain.
2.1.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,
jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan
liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Keluhan-
keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu : demam mendadak, keadaan umum
lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata
-
21
semakin lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah
betis dan paha (Rusmini,2011:103).
2.1.7.2 Pemeriksaan fisik
Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik,demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala
klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu :
hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal, hipotensi, ronki paru
dan adanya diatesisi hemoragik (Rusmini, 2011:104-105).
2.1.7.3 Pemeriksaan laboratorium
2.1.7.3.1 Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk
menentukan diagnosis leptospirosis. Yang termasuk pemeriksaan laboratorium
umum yaitu pemeriksaan darah, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan fungsi
hati
2.1.7.3.2 Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri
leptospira dapat secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau
antigennya dan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap
bakteri leptospira dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur,
mikroskopis, inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.
Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen merupakan
diagnosis pasti leptospirosis. Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung
-
22
harus dikorelasikan dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat
pajanan dan faktor risiko lain.
2.1.7.4 Pemeriksaan Langsung
Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan mikroskopik dan
immunostaining, pemeriksaan molekuler, biakan, dan inokulasi hewan percobaan
2.1.7.5 Pemeriksaan tidak langsung/serologi
Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum
disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu 20-
250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi
antara lain Microscopic Agglutination Test (MAT), Macroscopic Slide
Agglutination Test (MSAT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan
Uji Serologi Penyaring
2.1.8 Tikus
2.1.8.1 Klasifikasi Tikus
Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia
(hewan menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk
menggolongkannya ke dalam ordo rodensia (hewan yang mengerat), subordo
Myormorpha, famili amauridae, dan sub famili Murinae.
2.1.8.2 Biologi
Anggota muridae ini dominan di sebagian kawasan di dunia. Potensi
reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik adalah gigi
serinya beradaptasi untuk mengerat.
-
23
Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing
sepasang. Gigi seri ini secara cepat akan tumbuh memanjang sehingga merupakan
alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan graham.
Karakterisitik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya. Semua
rodensia komersal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis rodensia
adalah Rattus norvegicus, Rattus diardi, Mus muculus. Rattus norvegicus (tikus
got) berperilaku menggali lubang di tanah, dan hidup di lubang tersebut.
sebaliknya Rattus diardi (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tapi di semak-semak
atau di atap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk
kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada bantalan
telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada rodensia penggali
bantalan telapak kakinya halus. Mus muculus selalu berada di dalam bangunan
rumah, sarangnya bisa ditemui didalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak
penyimpanan atau laci.
2.1.8.3 Kebiasaan-Kebiasaan Tikus
Tikus mempunyai penglihatan yang buruk, tetapi mempunyai panca indera
seperti pencium yang tajam, meraba, mendengar. Pada malam hari, tikus bergerak
dipandu kumis yang panjang peka terhadap sentuhan. Tikus senang dengan bau
harum khususnya yang berasal dari makanan manusia. Kebiasaan lain misalnya
senang di tempat-tempat penyimpanan makanan. Kesukaan mencari makanan
adalah di tempat sampah, lemari, selokan dan dapur. Umur hidup seekor tikus
rata-rata mencapai 1 tahun dan pembiakan cepat terjadi selama musim hujan,
apabila terdapat banyak makanan dan tempat untuk berlindung.
-
24
2.1.9 Pengobatan penderita/tersangka
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti doxycycline, ampicilin, amoxicillin, penicillin, dan
erithromycin yang sebaiknya diberikan pada hari munculnya gejala klinis, karena
pengobatan setelah hari kelima sakit tidak akan banyak menolong. Pemberian
doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi terjadinya leptospirosis
(Rusmini, 2011:109).
2.1.10 Pengendalian leptospirosis di masyarakat
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi
faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran dapat
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk di
sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder
yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian.
Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak
terjadi kontak leptospira pada manusia yang meliputi :
2.1.10.1 Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.
Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja
pemotongan hewan, petugas survei di hutan, pekerja tambang, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang telah
-
25
terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah
bekerja, terutama pekerja laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci
alat - alat kerja dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan
deterjen.
2.1.10.2 Melindungi sanitasi air minum penduduk.
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan
dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi
asam dengan pemakaian pupuk / bahan-bahan kimia, sehingga jumlah dan
virulensi leptospira berkurang.
2.1.10.3 Pemberian Vaksinasi.
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan
memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja
risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi
pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan efektif untuk mencegah
leptospirosis (Dharmajono, 2002:7).
2.1.10.4 Pencegahan dengan antibiotik.
Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara intramuskuler
dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain
leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk
pencegahan.
2.1.10.5 Pengendalian hospes perantara leptospira
Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
-
26
pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator
rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya
dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah busuk dibuang.
2.1.10.6 Usaha promotif
Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana
antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar dan epidemi
leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa leptospirosis merupakan
zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama, oleh karena
itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan / kedokteran,
dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat. Pokok-
pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor
risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti kebiasaan
mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping
pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.
2.2 Sanitasi Rumah
2.2.1 Definisi
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada
pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat (Mukono, 2000:155).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, yang
dimaksud dengan rumah yaitu bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan merupakan kelompok
-
27
rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan (Mukono, 2000:155).
2.2.2 Kriteria Rumah Sehat
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan, dan
ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi
yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah
dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga,
bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan,
cukup sinar matahari pagi, terlindunginya makanan dan minuman dari
pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul
karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, persyaratan garis
sempadan jalan konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar,
dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir (Dinkes Provinsi
Jawa Tengah, 2005: 24).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan bahwa
persyaratan kesehatan rumah tinggal yaitu:
-
28
2.2.2.1 Bahan Bangunan
A. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:
1) Debu total tidak lebih dari 150 g m3
2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam
3) Timah hitam tidak lebih dari 300 mg/kg
B. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme pathogen.
2.2.2.2 Komponen dan Penataan Ruang Rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai
berikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
b. Dinding:
Ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk
pengaturan sirkulasi udara. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan
mudah dibersihkan.
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
d. Bumbungan rumah yang memiliki ketinggian 10 meter atau lebih harus
dilengkapi dengan penangkal petir.
e. Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang
keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, ruang bermain
anak.
-
29
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.
2.2.2.3 Pencahayaan
Pencahayaan alami yaitu berasal dari sinar matahari yang masuk ke dalam
rumah dan atau pencahayaan buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
2.2.2.4 Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar antara 16C sampai 30C
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
d. Pertukaran udara = 5 kaki kubik per menit per penghuni
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam
f. Konsentrasi gas formaklehid tidak melebihi 120 mg/m3
2.2.2.5 Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari
luas lantai.
2.2.2.6 Binatang Penular Penyakit
Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah.
2.2.2.7 Air
a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari.
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air
minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
30
2.2.2.8 Tersedianya Sarana Penyimpanan Makanan yang Aman
2.2.2.9 Limbah
a. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran
terhadap permukaan tanah serta air tanah.
2.2.2.10 Kepadatan Hunian
Luas rumah minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
orang.
2.2.3 Faktor Kondisi Sanitasi Rumah yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis
Kondisi sanitasi rumah berpengaruh terhadap terjadinya leptospirosis.
Sanitasi rumah merupakan segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar
rumah. Beberapa aspek kondisi sanitasi rumah yang berkaitan dengan kejadian
leptospirosis meliputi : kondisi selokan, karakteristik genangan air, sarana
pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah, kejadian banjir, keberadaan
tikus di dalam rumah, kepadatan hunian, tempat penyediaan makanan di dalam
rumah, serta intensitas cahaya di dalam rumah.
2.2.3.1 Kondisi Selokan
Kondisi selokan yang digunakan untuk mengalirkan limbah rumah tangga
harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : tidak ada genangan air di sekitar
rumah akibat luapan dari selokan, saluran tertutup atau diresapkan dan kondisi
selokan lancar tidak tersumbat (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:24).
2.2.3.2 Karakteristik genangan air
-
31
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia
produktif dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang padat
penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air
maupun lingkungan kumum. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat
genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia (Depkes RI,
2003).
2.2.3.3 Sarana pembuangan air limbah
Air limbah rumah tangga disalurkan pada tempat pembuangan limbah
yang telah tersedia di setiap rumah masing masing tanpa menimbulkan bau tidak
sedap dan pencemaran lingkungan (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009).
2.2.3.4 Sarana pembuangan sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan
sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis.
Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus. Jarak rumah
yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat
masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari
500 m dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih
besar dibanding yang lebih dari 500 m (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:26).
2.2.3.5 Kejadian banjir
Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah
beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembapan tinggi (Depkes
-
32
RI, 2003). Leptospirosis berhubungan dengan musim hujan, dan musim hujan
inilah yang sering menyebabkan banjir di beberapa wilayah.
2.2.3.6 Keberadaan tikus di dalam rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah
(Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus). Ada
tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah yang ditandai dengan ada tidaknya
lubang tikus atau kotoran tikus.
2.2.3.7 Keberadaan hewan peliharaan
Selain pada tikus, Leptospira juga dapat menginfeksi hewan lain seperti
sapi, anjing, kuda, kambing, domba dan babi. Meskipun pada hewan- hewan
tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi. Seperti Canicola pada anjing dan
Pomona pada babi dan sapi.
2.2.3.8 Kepadatan hunian
Menetapkan luas rumah, jumlah dan ukuran ruangan harus disesuaikan
dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi
kelebihan jumlah penghuni rumah. Rumah yang dihuni oleh banyak orang dan
ukuran luas rumah tidak sebanding dengan jumlah orang maka akan
mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan
penyakit dan infeksi (Dinkes Prov Jateng, 2005).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
828/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas
bangunan yang optimum adalah 2,5-3 m2 untuk tiap orang (tiap anggota
-
33
keluarga). Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
rumah. Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan
jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dikategorikan
menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m2) dengan ketentuan anak
-
34
gelombang-gelombang elektromagnetik dan karena itu cahaya mempunyai energi
(Soekidjo Notoatmodjo, 2007:170-171).
Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah
menggunakan luxmeter, yang diukur pada pukul 09.00-15.00 WIB dan membagi
beberapa titik pengukuran dengan jarak antara titik sekitar 1 meter, dilakukan
dengan tinggi luxmeter kurang lebih 85 cm diatas lantai dan posisi photo cell
menghadap sumber cahaya, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan
bila < 60 lux. Menurut WHO, kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi
syarat kesehatan untuk berbagai keperluan khusus untuk pencahayaan dalam
rumah adalah 60-120 lux (Dinkes Prov Jateng, 2005).
2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis
2.3.1 Umur
Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Berdasarkan data
prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak
menggambarkan risiko spesifik umur. Leptospirosis diketahui terjadi pada semua
umur berkisar antara balita sampai lansia ( 1 tahun sampai lebih dari 65 tahun).
Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Menurut
rekapitulasi bulanan data kesakitan tingkat puskesmas se-Kota Semarang tahun
2010, penderita leptospirosis berumur 14 tahun sebanyak 3 penderita, umur 514
tahun sebanyak 8 penderita, umur 1544 tahun sebanyak 22 penderita, umur 45
54 tahun sebanyak 2 penderita, umur 5564 tahun sebanyak 3 penderita dan yang
berumur 65 tahun sebanyak 2 penderita. Dan penderita leptospirosis terbanyak
-
35
pada umur 15-44 tahun dengan penderita sebanyak 22 penderita (Depkes RI,
2006:8, Dinkes Kota Semarang, 2010).
2.3.2 Status Gizi
Daya tahan tubuh bagi penderita leptospirosis dapat didukung oleh status
gizi yang baik. Hal ini disebabkan karena status gizi yang baik adalah parameter
yang baik untuk mendeteksi bahwa proses metabolisme gizi dalam keadaan
normal. Metabolisme gizi yang normal adalah syarat terpenuhinya berbagai
kebutuhan fisiologis tubuh untuk bertahan hidup (survival), termasuk kemampuan
imunologi tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi. Status gizi bagi pasien
leptospirosis memiliki pengaruh nyata terhadap daya tahan tubuhnya. Hal ini
disebabkan status gizi yang baik adalah proteksi yang baik untuk melawan virus
patogen dalam tubuh. Sistem imunologi yang didukung sepenuhnya oleh protein
tubuh, akan memberikan pertahanan maksimal dan mengurangi efek kerusakan
jaringan akibat infeksi virus dan bakteri oleh tubuh. Interaksi antara infeksi
termasuk penyakit leptospirosis dan gizi didalam tubuh seseorang dikemukakan
sebagai suatu peristiwa sinergik, selama terjadinya infeksi status gizi akan
menurun dan dengan menurunnya status gizi orang tersebut menjadi kurang
resisten terhadap infeksi. Respons imun menjadi kurang efektif dan kuat ketika
seseorang mengalami gizi kurang.
2.3.3 Status Ekonomi
Faktor yang turut menjadi risiko terjadinya leptospirosis adalah tingkat
ekonomi, yang dapat digambarkan dengan besarnya penghasilan. Besarnya
penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidupnya,
-
36
termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat
tidak terpenuhi maka dapat melemahkan daya tahan tubuh, sehingga mudah
terserang suatu penyakit (Indan Entjang, 2000:24).
Derajat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Masyarakat miskin
biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit. Derajat
kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena
sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Untuk menjamin akses penduduk
miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan kebijakan Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini berganti nama
menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Peserta program
Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu, yang terdaftar dan
memiliki kartu sehingga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
2.4 PHBS Tatanan Rumah Tangga
2.4.1 Pengertian PHBS di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota
rumah tangga agar mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih sehat
serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Pedoman Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga, Dinkes Prov. Jateng, 2010).
2.4.2 Tujuan PHBS di Rumah Tangga
Tujuan PHBS di rumah tangga antara lain adalah sebagai berikut:
2.4.2.1 Tujuan Umum
Meningkatnya rumah tangga sehat di Kabupaten/ Kota
-
37
2.4.2.2 Tujuan Khusus
1. Meningkatnya pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah
tangga untuk melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
2. Anggota rumah tangga berperan aktif dalam gerakan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) di masyarakat.
2.4.2.3 Manfaat PHBS di Rumah Tangga
Manfaat PHBS di Rumah Tangga adalah sebagai berikut :
2.4.2.3.1 Bagi Rumah tangga itu sendiri
1) Setiap anggota keluarga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.
2) Anak tumbuh sehat dan cedas
3) Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat
4) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat difokuskan untuk memenuhi
kebutuhan gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk peningkatan
pendapatan keluarga.
2.4.2.3.2 Bagi masyarakat
1) Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat.
2) Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah
kesehatannya.
3) Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
4) Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber
Masyarakat (UKBM) seperti posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan,
tabungan ibu bersalin (tabulin), arisan jamban, kelompok pemakai air,
ambulans desa dan lain-lain.
-
38
2.4.2.3.3 Bagi Pemerintah Kota / Kabupaten
1) Peningkatan prosentase Rumah Tangga sehat menunjukkan kinerja dan citra
Pemerintah Kabupaten / Kota yang baik.
2) Biaya yang tadinya dialokasikan untuk menanggulangi masalah-masalah
kesehatan dapat dialihkan untuk pengembangan lingkungan yang sehat dan
penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau.
3) Kabupaten / Kota dapat dijadikan pusat pembelajaran bagi daerah lain dalam
pengembangan PHBS di Rumah Tangga.
(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi
Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).
2.4.3 Indikator Penilaian PHBS Tatanan Rumah Tangga
Indikator PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu alat ukur atau
merupakan suatu petunjuk yang membatasi fokus perhatian untuk menilai
keadaan atau permasalahan kesehatan di rumah tangga. Indikator PHBS tatanan
rumah tangga diarahkan pada aspek program prioritas yaitu KIA, Gizi, Kesehatan
Lingkungan, Gaya Hidup, dan Upaya Kesehatan Masyarakat.
Indikator PHBS tatanan rumah tangga yang digunakan di Jawa Tengah
terdapat 16 variabel, yang terdiri dari 10 indikator Nasional dan 6 indikator lokal
Jawa Tengah. Indikator indikator tersebut adalah sebagai berikut :
2.4.3.1 Indikator Nasional
1. Bagi ibu hamil apakah pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga/petugas
kesehatan
-
39
2. Bagi rumah tangga yang memiliki bayi, apakah bayinya mendapat ASI
ekslusif selama usia 0 sampai 6 bulan
3. Anggota rumah tangga mengkonsumsi beranekaragam makanan dalam
jumlah cukup untuk mencapai gizi seimbang
4. Anggota rumah tangga menggunakan/memanfaatkan air bersih
5. Anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat
6. Anggota rumah tangga menempati ruangan rumah minimal 9 m2 per orang
7. Anggota rumah tangga menggunakan lantai rumah kedap air
8. Anggota rumah tangga melakukan aktifitas fisik/olahraga
9. Anggota rumah tangga tidak merokok
10. Anggota rumah tangga menjadi peserta JPK (Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan)
2.4.3.2 Indikator lokal Jawa Tengah
1. Penimbangan Balita
2. Anggota rumah tangga membuang sampah pada tempat yang semestinya
3. Anggota rumah tangga terbiasa mencuci tangan sebelum makan dan sesudah
BAB
4. Anggota rumah tangga menggosok gigi minimal 2 kali sehari
5. Anggota rumah tangga tidak minum miras dan tidak menyalahgunakan
narkoba
6. Anggota rumah tangga melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)
minimal seminggu sekali. (Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Tatanan Rumah Tangga, Dinkes Prov. Jateng, 2010).
-
40
2.4.4 Peran Anggota Rumah Tangga
1. Menerapkan PHBS di rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari
2. Mengajak anggota rumag tangga lain untuk ber-PHBS melalui kelompok
dasawisma
3. Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat terkait PHBS seperti
posyandu, gerakan PSN dan sebagainya.
4. Menjadi kader untuk memberdayakan anggota rumah tangga di masyarakat
bekerjasama tim ditinggat desa melalui penyuluhan perorangan, penyuluhan
kelompok dan penyuluhan massa.
(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi
Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).
2.4.5 Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga
Tingkatan strata tersebut antara lain sehat pratama, sehat madya, sehat
utama dan sehat paripurna. Strata rumah tangga dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Strata PHBS Di Rumah Tangga
Strata Kriteria
Sehat Pratama (Warna Merah) Sehat Madya (Warna Kuning) Sehat Utama (Warna Hijau) Sehat Paripurna (Warna Hijau)
Apabila nilai rumah tangga antara 0 s/d 5
Apabila nilai rumah tangga antara 6 s/d 10
Apabila nilai rumah tangga antara 11 s/d 15
Apabila nilai rumah tangga adalah 16
-
41
Tabel 2.2 Strata Kelompok (RT,RW, DESA/KELURAHAN, KECAMATAN,
KABUPATEN/KOTA)
Strata Kriteria
Sehat Pratama (Warna Merah) Sehat Madya (Warna Kuning) Sehat Utama (Warna Hijau) Sehat Paripurna (Warna Hijau)
Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna
mencapai 0 s/d 24,4% Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai
strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna mencapai 24,5 s/d 49,4%
Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna
mencapai 49,5 s/d 74,4% Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai
strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna mencapai 74,5% atau lebih
-
42
2.5 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005, Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009,
Kepmenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, Djoni Djunaedi 2007, Mukono 2000, Soekidjo Notoatmodjo 2007, Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Dinkes Prov. Jateng 2010.
Strata PHBS tatanan rumah tangga
Keberadaan Bakteri leptospira
Sarana pembuangan sampah
Intensitas cahaya dalam rumah
Kepadatan hunian
Keeradaan hewan peliharaan
Keberadaan tikus dalam rumah
Kejadian Leptospirosis
Status gizi Umur Status ekonomi
Keberadaan air menggenang
Kondisi selokan
Kejadian banjir
Sarana pembuangan air limbah
Kejadian kontaminasi genangan air
Kejadian infeksi leptospira pada manusia melalui luka, mukosa, dan konjungtiva
-
43
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Strata PHBS tatanan rumah tangga Kondisi selokan Intensitas cahaya di dalam rumah Keberadaan tikus di dalam rumah Keberadaan hewan peiharaan Keberadaan air yang menggenang Sarana pembuangan air limbah Sarana pembuangan sampah
Kejadian Leptospirosis
Variabel Pengganggu :
Umur Status ekonomi Kejadian banjir
Variabel Bebas : Variabel Terikat :
-
44
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dengan kejadian
leptospirosis.
2) Ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis.
3) Ada hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian leptospirosis.
4) Ada hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.
5) Ada hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian
leptospirosis.
6) Ada hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan kejadian
leptospirosis.
7) Ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian
leptospirosis.
8) Ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian
leptospirosis.
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian
Pada dasarnya metode penelitian yang akan digunakan adalah metode
penelitian observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol, yaitu suatu
penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari
dengan menggunakan retrospektif (Soekidjo, 2005:150).
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Strata PHBS tatanan rumah tangga, yaitu suatu tingkatan perilaku hidup
bersih dan sehat dalam setiap rumah tangga yang telah ditetapkan oleh dinkes
-
45
setempat yang meliputi beberapa strata rumah tangga antara lain sehat pratama,
sehat madya, sehat utama, dan sehat paripurna. Dan sanitasi rumah yaitu usaha
kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap tempat
tinggal untuk tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
Dan sanitasi rumah tersebut meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya,
keberadaan tikus, keberadaan hewan peliharaan, keberadaan air yang
menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah.
3.4.2 Variabel Terikat
Kejadian leptospirosis di kecamatan Candisari Kota Semarang.
3.4.3 Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu tidak diteliti, tetapi dikendalikan dengan cara
restriksi/dihilangkan. Variabel-variabel tersebut adalah umur, status ekonomi,
kejadian banjir.
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Nama Variabel
Definisi Operasional
Alat Cara Ukur