hubungan antara kepemimpinan visioner dan...
TRANSCRIPT
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
1
Hubungan antara Kepemimpinan Visioner dan Kesiapan Individu terhadap
Perubahan Organisasi*
(Studi Pada Perusahaan BUMN)
Ayu Amanda, Fakultas Psikologi UI
Wustari L. Mangundjaya, Fakultas Psikologi UI
ABSTRAK
Setiap organisasi harus dan perlu berubah untuk menghadapi tantangan dunia saat ini.
Meskipun demikian, melaksanakan program perubahan organisasi tidak mudah, bahkan
banyak program perubahan organisasi yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan,
bahkan tidak sedikit yang dapat dikatakan gagal (Beer & Nohria, 2000; Burnes, 2002; Kalyal
& Sverke, 2010), dan salah satu sumber kegagalan tersebut adalah karena adanya resistensi
terhadap perubahan. Dalam hal ini, salah satu yang memegang peran penting dalam setiap
perubahan organisasi adalah manusia, karena tanpa adanya dukungan penuh dari individu
maka perubahan tidak akan dapat dilakukan secara efektif (Elving, 2005), sehingga kesiapan
individu untuk berubah diperlukan. Berdasarkan berbagai literatur yang ada, dinyatakan
bahwa pemimpin memegang peran yang penting dalam keberhasilan organisasi, maupun
keberhasilan perubahan organisasi. Pemimpin disini adalah seorang yang Visioner, yaitu
antara lain berperan sebagai Change Agent, maupun penentu arah bagi organisasi
(Nannus,1992). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Kepemimpinan
Visioner dengan Kesiapan Individu untuk berubah. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan
BUMN yang sedang mengalami perubahan dengan jumlah responden 120. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu untuk berubah. Meskipun demikian, hanya
dimensi penentu arah yang memiliki hubungan positif dengan kesiapan individu terhadap
perubahan. Berdasarkan hal tersebut pemimpin yang dapat menentukan arah diperlukan
dalam perubahan organisasi.
Key words: Kepemimpinan Visioner, Kesiapan Individu untuk Berubah, Perubahan
Organisasi.
ABSTRACT
Every organization has to change in order to face the world challengees today. However,
organizational change program is not easy, even there were many organizational change
program that were not succeeded (Beer & Nohria, 2000; Burnes, 2002; Kalyal & Sverke,
2010), and one of the source of failures is the resistance to change. In this regard, individual
(human being) plays an important role in organizational change, as without the full supports
from the employees (individual) , organizational change cannot be done effectively (Elving,
2005), as a result readiness for organizational change is needed. According to literatures, it
was mentioned that leader plays an important role in organizational success as well as in
orgazational change. What it means by leader in here, is Visionary Leader that plays role as
Change Agent aswell as Direction Setter (Nannus, 1992). The objective of this study is to
identify the correlation between Visonary Leadership with Individual Readiness for Change.
This study was done at State-Owned Enterprises (N=120) that at present undertake
organizational change. The results show that Visionary Leadership is positively correlated
with Individual rRadiness for Change. Furthermore, it shows that only dimensions Direction
setting the ones that has positively correlated with the Individual readiness for change. In
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
2
other words, the skills of direction setting in leaders are needed in organizational change.
Keywords: organizational change, readiness to change, visionary leadership
Pendahuluan
Perubahan organisasi tidak dapat dihindarkan oleh setiap perusahaan termasuk pada
perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
organisasi yang berhasil adalah sebuah institusi yang dapat merubah cara dalam menghadapi
persaingan (Robbins, 2002). Perubahan tersebut perlu dilakukan untuk dapat menyesuaikan
posisi organisasi dengan kondisi yang terus menerus berubah. Hal tersebut disebabkan karena
perubahan lingkungan secara dinamis yang membuat organisasi terus menerus dihadapkan
dengan kebutuhan untuk mengimplementasi perubahan, misalnya perubahan strategi, struktur,
proses dan budaya (Armenakis, 1993).
Perubahan dalam organisasi dapat membawa dampak baik pada perusahaan itu
sendiri maupun pada karyawan. Karyawan dalam hal ini adalah orang yang memegang
peranan penting dalam organisasi dan reaksi yang dapat ditimbulkan oleh karyawan pada saat
perubahan organisasi dapat berupa hal yang bersifat positif maupun hal yang bersifat negatif.
Hal ini seperti apa yang dinyatakan oleh Smith (2005) bahwa orang-orang dalam organisasi
dapat menjadi kunci keberhasilan dari sebuah perusahaan maupun menjadi hambatan untuk
mencapai kesuksesan. Untuk itu, berbagai cara perlu dilakukan agar karyawan yang berada
dalam situasi perubahan dapat menerima dan mendukung secara aktif perubahan tersebut.
Dalam hal ini, pemahaman akan proses perubahan perlu dipahami untuk dapat melihat
kesiapan dalam menghadapi perubahan serta reaksi dalam menghadapi perubahan
(Mangundjaya, 2011). Smith (2005) lebih lanjut menambahkan bahwa kegagalan dari
perubahan yang tinggi dapat mencakup kehilangan kredibilitas perusahaan maupun dari
pemimpinnya. Untuk itu, perlu dilakukan perhatian lebih lanjut terhadap kebutuhan invididu
dalam kesiapan untuk berubah. Dalam hal ini, Armenakis (1993) menyatakan bahwa salah
satu faktor yang memiliki peranan dalam efektivitas perubahan organisasi adalah kesiapan
untuk berubah. (Armenakis, 1993; Armenakis, Harris &Field, 1999; Holt, Armenakis, Field
& Harris 2007). Kesiapan ini tidak hanya diperlukan pada organisasi tersebut, tetapi juga
pada sumber daya manusia sehinggadapat dikatakan bahwa sikap dan reaksi manusia
terhadap perubahan akan mempengaruhi efektivitas perubahan itu sendiri baik bagi individu
maupun organisasi (Eales-White dalam Mangundjaya, 2003).
Kesiapan karyawan adalah proses kognitif yang mendorong tingkah laku untuk
mendukung perubahan, dan hal ini dapat terlihat dari anggota organisasi tersebut yang
memiliki keinginan untuk menerima perubahan (Armenakis, 1993, Anderson, 2002). Lebih
lanjut, Armenakis (1993) menyatakan bahwa kesiapan karyawan dipengaruhi oleh pesan yang
disampaikan melalui strategi, atribut dari agen perubahan, hubungan interpersonal dan
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
3
dinamika sosial dari anggota sebuah organisasi. Dalam hal ini, karyawan yang siap dalam
menghadapi perubahan dapat memunculkan tingkah laku yang mendukung dalam perubahan
tersebut. Hal tersebut akan mempermudah perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan
yang ada.
Menciptakan kesiapan individu bukan merupakan hal yang mudah, kegagalan dalam
menciptakan kesiapan dapat mengakibatkan seorang pemimpin menghabiskan waktu dan
energi dalam menghadapi penolakan terhadap perubahan (Smith, 2005). Menciptakan
kesiapan adalah usaha yang proaktif dari seorang agen perubahan untuk mempengaruhi
kepercayaan, sikap, dan tingkah laku dari target perubahan dengan tujuan untuk mendorong
mereka untuk berubah (Applebaum & Wohl,2000; Armenakis,1993;Anderson,2002). Holt,
Armenakis, Field, & Harris (2007) dalam hal ini mendefinisikan kesiapan untuk berubah
sebagai sikap yang komprehensif yang dipengaruhi secara terus menerus oleh konten, proses,
konteks, dan individu. Lebih lanjut, Holt, Armenakis, Field, & Harris, (2007)
mengungkapkan adanya 5 dimensi yang mempengaruhi kesiapan individu yaitu perbedaan,
keyakinan terhadap perubahan, keuntungan organisasi, dukungan atasan, dan kepentingan
individu.
Di sisi lain, efektivitas dari strategi yang mempengaruhi seseorang antara lain
tergantung dari agen perubahan (Armenakis, 1993). Agen perubahan dalam hal ini perlu
mempersiapkan karyawan untuk terbuka dan dapat mengemukakan pendapatnya terhadap
perubahan (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007). Armenakis (1993;Walker, Armenakis, &
Bernerth, 2007) menyatakan bahwa menciptakan kesiapan memerlukan pendekatan proaktif
dari agen perubahan untuk mempengaruhi sikap dan niat sehingga dapat mencapai target
tingkah laku terhadap perubahan. Untuk itu, pemimpin sebagai agen perubahan dari sebuah
organisasi perlu berada dibalik perubahan untuk memastikan kesiapan karyawan (Walker,
Armenakis, & Bernerth, 2007). Armenakis (1993) mengungkapkan bahwa atribut agen
perubahan antara lain adalah kredibilitas, kepercayaan, ketulusan, dan keahlian. Untuk itu,
kesiapan individu terhadap perubahan akan memiliki pengaruh lebih mendalam ketika agen
perubahan tersebut memiliki reputasi yang baik dalam bidang tersebut
(Gist,1987;Armenakis,1993). Agen perubahan sendiri dapat berasal dari luar maupun dari
dalam organisasi (Ivancevich, Konopaske& Matteson, 2006). Dalam hal ini, seorang
pemimpin dapat juga menjadi agen perubahan yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri.
Nannus (dalam Munandar, 2001) mengungkapkan bahwa memimpin adalah mempengaruhi,
membimbing, melatih, bertindak, dan memberikan opini. Lebih lanjut, Sashkin (1993) dalam
bukunya menyebutkan bahwa hal yang paling penting dilakukan oleh seorang pemimpin
adalah memahami sebuah visi.
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
4
Nannus (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa visi merupakan sebuah kebutuhan
perusahaan, karena tanpa visi, karyawan dalam perusahaan akan mengalami kebingungan
atau berkelakuan menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Seorang pemimpin visionerdalam
hal ini memiliki tanggung jawab untuk merencanakan tujuan organisasi, memiliki komitmen
terhadap tujuan tersebut, memberdayakan bawahan untuk bergerak sesuai dengan tujuan yang
telah ditentukan, mendengarkan dan menerima umpan balik yang diberikan, dan
menempatkan organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai potensi terbesarnya
(Nannus,1992). Pada saat organisasi mengalami perubahan, pemimpin visioner harus maju
terlebih dahulu untuk menunjukkan arah baru atau perusahaan akan mengalami kemunduran
atau bahkan hilang (Nannus, 1992).
Nannus (1992) mengemukakan bahwa terdapat 4 hal yang membentuk
kepemimpinan visioner yaitu sebagai penentu arah (direction setter), agen perubahan (change
agent), juru bicara (spokeperson), dan mentor (coach). Keempat dimensi ini secara bersama
menjabarkan tugas dari pemimpin visioner. Lebih lanjut, Nannus (1992) menyatakan bahwa
untuk menjadi pemimpin yang sukses dimulai dengan memiliki visi yang jelas mengenai
masa depan perusahaan dengan memahami bentuk dan fungsi, serta proses dan tujuannya.
Seorang pemimpin visionerharus dapat menyampaikan visi yang dimilikinya dan
menyampaikan makna dari visi tersebut sehingga dapat diterima oleh karyawan. Selain itu,
pemimpin visioner diharapkan dapat membawa pengaruh yang berdampak positif terhadap
karyawan sehingga karyawan siap dalam menghadapi perubahan. Dalam hal ini, pengaruh
dari opini yang dikemukakan oleh pemimpin terhadap orang lain dapat memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah (Armenakis, 2002).
Pemimpin juga perlu mendapatkan kepercayaan dari bawahannya. Salah satu fondasi
dari rasa kepercayaan adalah dengan mengkomunikasikan tujuan dan rencana perubahan
terhadap karyawannya (Smith, 2005). Selain itu, kesiapan dan kapasitas individu serta
organisasi untuk berubah juga didasarkan pada kepercayaan dan saling menghargai (Smith,
2005). Lebih lanjut, Smith (2005) menyatakan bahwa pemimpin dalam perubahan organisasi
perlu bertingkah laku sebagai agen perubahan (change agent), menumbuhkan komitmen dan
rasa akan tantangan terhadap perubahan, dan mengkombinasi hal tersebut, sehingga dapat
mengajak karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang sedang terjadi. Untuk itu,
seorang pemimpin tidak hanya berbicara mengenai perubahan tersebut, tetapi pemimpin juga
perlu menghayati dan menjadi panutan dalam budaya organisasi yang baru. Penelitian ini
bertujuan hendak melihar pengaruh Kepemiminan Visoner dan Kesiapan Individu untuk
berubah pada perusahaan BUMN yang sedang melakukan perubahan organisasi.
Metode
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
5
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat ex post facto field study.
Teknik Sampling dan Karakteristik Sample
Karakteristik responden yang digunakan adalah: a) karyawan tetap dari perusahaan karena
dianggap telah mengenal lingkungan kerjanya lebih baik daripada pegawai kontrak atau
magang, b) karyawan telah bekerja minimal 2 tahun pada perusahaan, c) karyawan yang telah
berada pada divisi saat ini selama 1 tahun. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu menggunakan teknik non-random/non-probability sampling. Sampel yang
digunakan adalah 120 responden yang tersebar pada 2 BUMN.
Alat Ukur Penelitian
Alat ukur yang digunakan adalah Skala Sikap Kepemimpinan Visoner dan Kesiapan
Individu pada perubahan. Hasil uji reabilitas dari alat ukur kepemimpinan visioner dengan
perhitungan cronbach’s alpha adalah 0,988, dan validitas alat ukur kepemimpinan visioner
dengan pearson correlation adalah 0,8.
Alat ukur yng kedua adalah Skala Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi.
Hasil uji reliabilitas menunjukan bahwa skor reabilitas alat ukur kesiapan individu terhadap
perubahan organisasi adalah 0.922. Uji validitas juga dilakukan dengan menggunakan internal
konsistensi pada item. Terdapat satu item yang tidak valid karena memiliki nilai korelasi antar
item yang rendah yaitu r=-0.058. Meskipun demikian, peneliti tetap menggunakan item
tersebut karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika tetap menggunakan item
tersebut.
Norma
Kedua alat ukur baik kepemimpinan visioner, maupun kesiapan individu untuk berubah
dibagi kedalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Penentuan norma alat ukur
kepemimpinan visioner dilakukan dengan menentukan batas skor minimal dan maksimal
setiap kategori ditentukan dengan SD, yaitu skor <4,17 adalah kategori rendah, 4,17-5,25
kategori sedang dan >5,25 kategorinya adalah tinggi.
Metode Analisis Data
Seluruh data yang didapat dalam penelitian ini diolah secara statistik menggunakan SPSS
(Statistical Package for Social Service edisi 17). Selain itu, beberapa teknik digunakan dalam
penelitian ini, yaitu analisis deskriptif, analisis korelasi, dan one-way ANOVA dan T-Test.
Analisis deskriptif digunakan peneliti untuk mendapatkan data mengenai responden
penelitian seperti jabatan, lama bekerja, usia, latar belakang pendidikan dan jenis kelamin.
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
6
Pearson correlation digunakan sebagai analisis korelasi dalam penelitian ini yang bertujuan
untuk melihat hubungan antar variabel yaitu kepemimpinan visionerdan kesiapan individu
untuk berubah. Untuk analisis tambahan, teknik partial correlation digunakan untuk melihat
hubungan antara dua variabel dengan mengontrol dimensi lain yang memiliki kemungkinan
mempengaruhi dimensi yang diukur.
Analisis varians digunakan untuk melihat perbedaan mean dari data demografis
responden yang digunakan dalam penelitian. Teknik one-way ANOVA digunakan untuk
melihat perbedaan mean karakteristik latar belakang pendidikan.Teknik Independent Sample
T-Test digunakan untuk melihat perbedaan mean karakteristik lama bekerja dengan varibel
kesiapan individu dalam perubahan organisasi.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Kepemimpinan Visioner & Kesiapan Individu untuk Berubah
Berdasarkan hasil didapatkan rata-rata (mean) responden memiliki skor 4,71 yang termasuk
dalam kategori pemimpin visioner sedang, dan didapatkan skor mean 4,73 pada kesiapan
individu terhadap perubahan yang dapat dikategorikan bahwa karyawan memiliki tingkat
kesiapan individu terhadap organisasi yang sedang. Lebih lanjut, berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
aspek demografis latar belakang pendidikan dengan kesiapan individu untuk berubah dengan
nilai signifikansi 0,009. Meskipun demikian, terlihat tidak ada hubungan yang signifikan
antara aspek demografis lainnya dengan kesiapan individu terhadap peruabahan organisasi
seperti lama bekerja, jabatan, jenis kelamin, dan usia.
Hubungan Antara Kepemimpinan Visioner dan Kesiapan Individu dalam Perubahan
Organisasi
Tabel 1
Gambaran Korelasi Parsial antara Kepemimpinan Visioner dengan Kesiapan Individu
terhadap Perubahan Organisasi
Variabel Kepemimpinan Visioner r R2 Sig
Kepemimpinan Visioner secara umum 0,704** 0,495 0,000
Juru Bicara 0.114 0.013 0,222
Agen Perubahan 0.101 0.010 0,278
Mentor -0.094 0.009 0,311
Penentu Arah 0.289 0.084 0,002*
*Signifikan pada p<0,05, **nSignifikan pada p<0.01
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
7
Berdasarkan perhitungan statistik diketahui bahwa didapatkan indeks korelasi sebesar
0,704 (p = 0,000, p<0,01). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara
Kepemimpinan Visioner dengan Kesiapan Individu dalam Perubahan Organisasi.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian, dimensi penentu arah memiliki hubungan
yang signifikan dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi. Korelasi dimensi
penentu arah dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi memiliki korelasi yang
positif dengan skor korelasi sebesar 0,289. Korelasi parsial ini memiliki hubungan yang
positif dengan skor r sebesar 0.289 dan skor p sebesar 0.002 dengan p<0.01. Dari hasil
koefisien diketahui nilai R2 sebesar 0.084, yang artinya terdapat 8,4% total varians kesiapan
individu terhadap perubahan organisasi dapat didistribusikan pada varians dimensi penentu
arah.
Gambaran Korelasi Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi dengan
Kepemimpinan Visioner
Tabel 2
Gambaran Korelasi Parsial antara Dimensi Kesiapan Individu Terhadap Perubahan Organisasi
dengan Kepemimpinan Visioner
Dimensi Kesiapan Individu terhadap
Perubahan r R
2 Sig
Perbedaan 0,116 0,013 0,213
Keuntungan organisasi -0,188 0,035 0,043*
Dukungan atasan 0,308 0,095 0,001*
Keyakinan terhadap perubahan 0,824 0,679 0,000*
Keuntungan personal 0,265 0,070 0,004*
*signifikan pada p<0,05
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepemimpinan visioner dengan beberapa dimensi kesiapan individu terhadap perubahan yaitu
dukungan atasan, keuntungan organisasi, keyakinan terhadap perubahan, dan keuntungan
personal. Sedangkan tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi perbedaaan dengan
kepemimpinan visioner.
Pada dimensi keuntungan organisasi terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai
korelasi negatif yaitu -0,188 dengan signifikansi 0,043 (p<0,05) yang berarti 3,5% total
varians kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians keuntungan organisasi pada
kesiapan individu terhadap perubahan organisasi.
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
8
Selanjutnya, korelasi antara kepemimpinan visioner dengan dimensi dukungan atasan
memiliki hubungan positif dengan skor r sebesar 0,308 (p=0.001, p<0.05). Dari koefisien
yang dihasilkan dapat diketahui bahwa nilai R2 sebesar 0.095 sehingga dapat diartikan bahwa
9.5% total varians kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians dukungan atasan
pada kesiapan individu terhadap perubahan organisasi.
Dimensi keyakinan terhadap perubahan juga memiliki korelasi positif sebesar 0,824
(p=0,000, p<0,05). Dari koefisien yang dihasilkan diartikan bahwa 67,9% total varians
kepemimpinan visioner dapat diatribusikan pada varians keyakinan terhadap perubahan.
Lebih lanjut, dimensi terakhir yang memiliki hubungan signifikan adalah dimensi keuntungan
personal dengan nilai korelasi positif 0,265 (p=0,004, p<0,05) yang dapat diartikan bahwa
terdapat 7% total varians kepemimpinan visioner yang dapat diatribusikan pada varians
keuntungan personal pada kesiapan individu terhadap perubahan.
Diskusi dan Kesimpulan
Hasil korelasi hubungan antara kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu terhadap
perubahan organisasi memiliki hubungan yang signifikan (r=0,704, p<0,01). Korelasi antara
kedua variabel dapat dikatakan memiliki korelasi yang tinggi. Peneliti berasumsi bahwa
pemimpin memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi kesiapan bawahannya dan
langkah awalnya adalah dengan mensosialisasikan visi baru yang dimilikinya untuk dapat
dipahami karyawan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Appelbaum,
Steven H., St-Pierre, Normand, & Glavas, William. (1998) yang menyatakan bahwa interaksi
dalam perubahan dengan pemimpin akan memunculkan dampak pada performa individu
maupun perusahaan. Disisi lain, hal ini juga didukung oleh pernyataan Nannus (1992) yang
menyatakan bahwa visi merupakan sebuah kebutuhan perusahaan, karena tanpa visi,
karyawan dalam perusahaan akan mengalami kebingungan atau berkelakuan menyimpang
dari tujuan yang diharapkan. Dengan begitu karyawan dapat memahami perubahan yang
sedang terjadi sehingga ia lebih memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan.
Lebih lanjut, hubungan ini memiliki hubungan yang positif sehingga dapat diartikan
bahwa semakin tinggi pemimpin yang memiliki kepemimpinan visioner maka semakin tinggi
pula kesiapan individu terhadap perubahan organisasi. Hal ini juga didukung dengan teori
yang dikemukakan oleh Kirkpatrick (2011) yang menyatakan bahwa pemimpin yang
memiliki kepemimpinan visioner diharapkan memiliki hasil yang positif terhadap karyawan,
menghasilkan kepercayaan yang tinggi, memiliki komitmen yang tinggi , mendapatkan level
performa yang tinggi dari bawahannya, dan hasil yang tinggi bagi perusahaan itu sendiri. Hal
ini juga sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Smith (2005) bahwa pemimpin
dalam perubahan organisasi perlu bertingkah laku sebagai agen perubahan yang dapat
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
9
memunculkan komitmen dan rasa akan tantangan terhadap perubahan, sehingga dapat
mengajak karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang sedang terjadi. Dalam hal ini,
pengembangan yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kemampuan pemimpin sesuai
dengan dimensi yang dimiliki dalam kepemimpinan visioner.
Disamping itu, gambaran umum kesiapan individu terhadap perubahan organisasi
dalam perusahaan BUMN dapat dikategorikan sedang. Dengan demikian, karyawan BUMN
sudah dapat dikatakan memiliki kesiapan dan memiliki sebuah kemauan untuk menyerahkan
energi secara fisik dan psikologis terhadap perubahan. Peneliti berasumsi bahwa karyawan
masih tergolong memiliki kesiapan terhadap perubahan yang sedang karena masih terdapat
karyawan yang memilih untuk menolak terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan. Hal
ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain informasi yang kurang mengenai
perubahan atau manfaat yang tidak dirasakan oleh karyawan terhadap perubahan yang terjadi.
Lebih lanjut, Galpin (dalam Mangundjaya, 2011) menyatakan bahwa penolakan terhadap
perubahan dapat disebabkan oleh karyawan yang tidak mengetahui adanya perubahan,
karyawan yang tidak dapat melakukan perubahan, dan karyawan yang tidak mau melakukan
perubahan. Selain itu, sosialisasi terhadap perubahan masih kurang dilakukan sehingga tidak
semua karyawan memahami informasi yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan. Untuk
itu, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman yang cukup
terhadap karyawan mengenai perubahan yang terjadi yang dapat dilakukan oleh
pemimpinnya.
Berdasarkan dari hasil penelitian, dapat dilihat hubungan antara dimensi - dimensi
kepemimpinan visioner dengan kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan
signifikansi 0,002 (p<0,01) dan nilai korelasi 0,289. Dimensi penentu arah (direction setter)
memiliki hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif. Peneliti berasumsi bahwa hal
ini dapat dikarenakan bahwa penentu arah adalah peran awal dari seorang pemimpin dalam
menentukan visi baru bagi perusahaan. Pemimpin yang telah memiliki tujuan yang jelas
untuk menjalankan peranannya dalam sebuah perusahaan akan memiliki landasan yang kuat.
Lebih lanjut, pemimpin yang memiliki arahan yang jelas, menarik, dan dipahami oleh
karyawan, akan lebih membuat karyawan memiliki kesiapan terhadap perubahan organisasi.
Hal ini didukung dengan pernyataan Nannus (1992) bahwa seorang pemimpin yang baik
harus dapat menetapkan strategi dalam mencapai tujuannya, yang dapat dikenali oleh orang
lain sebagai perwujudan dari perkembangan secara nyata yang dialami oleh sebuah
organisasi. Untuk itu, seorang pemimpin juga harus dapat membangun visi tersebut secara
menarik sehingga orang yang terlibat dalam organisasi tersebut akan membantu untuk
mewujudkan visinya. Pemahaman akan visi merupakan hal yang penting dilakukan oleh
seorang pemimpin karena dengan visi yang jelas maka dapat menjadi dasar yang kuat dalam
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
10
menjalankan kepemimpinannya. Nannus (1992) juga menambahkan bahwa ketika seorang
pemimpin sukses sebagai penentu arah, maka seorang pemimpin telah berhasil menghasilkan
sebuah visi yang akan membuat seluruh karyawan dalam perusahaan mau membantu untuk
mewujudkannya. Dukungan yang sudah diberikan oleh karyawan akan lebih mempermudah
sebuah perusahaan untuk dapat berubah.
Pada korelasi parsial antara dimensi kesiapan individu terhadap perubahan organisasi
dengan kepemimpinan visioner, ditemukan bahwa terdapat 4 dimensi yang memiliki
hubungan signifikan, yaitu dimensi keuntungan organisasi, dukungan atasan, keyakinan
terhadap perubahan, dan keuntungan personal. Penulis berasumsi bahwa kepemimpinan
visioner adalah bentuk usaha dari pemimpin untuk memberikan dukungan kepada bawahan.
Dalam hal ini, karyawan akan memiliki keyakinan terhadap perubahan yang terjadi dan mau
mendukung secara aktif. Disisi lain, pemimpin visioner berhasil untuk meyakinkan bawahan
untuk dapat memiliki keyakinan akan keterampilan dan yakin akan mampu melaksanakan
tugas yang berhubungan dengan pencapaian perubahan (Armenakis, 1993).
Dilihat dari aspek demografis, terdapat hubungan yang signifikan antara latar
belakang pendidikan responden dengan kesiapan individu terhadap perubahan. Penulis
berasumsi latar belakang pendidikan responden dapat mempengaruhi sejauh mana responden
memahami, menilai, dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat memberikan
penilaian apakah individu tersebut siap dalam menerima perubahan dan mau mendukung
ataupun tidak mendukung perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, selain dari aspek demografis
yaitu latar belakang pendidikan, aspek lain seperti jenis kelamin, jabatan, dan usia tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan individu terhadap perubahan. Lebih
lanjut, dalam penelitian ini, tidak dapat diolah pengaruh dari data demografis seperti usia,
jenis kelamin, lama bekerja, latar belakang pendidikan, dan jabatan, dengan variabel
kepemimpinan visioner. Hal ini disebabkan karena data kontrol pada kuesioner merupakan
data responden, sedangkan alat ukur kepemimpinan visioner merupakan penilaian terhadap
atasan dari responden. Dalam hal ini, data kontrol yang didapatkan tidak mewakili data dari
pemimpin yang diharapkan pada alat ukur kepemimpinan visioner. Untuk itu, data
demografis yang dapat diolah adalah yang dihubungkan dengan kesiapan individu untuk
berubah.
Hasil menunjukkan bahwa dari aspek jenis kelamin, usia, jabatan, lama bekerja,
dan pendikan, aspek yang memiliki hubungan yang signifikan adalah latar belakang
pendidikan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Hanpachern
(1997) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kesiapan individu
terhadap perubahan organisasi dengan jabatan dan lama bekerja. Disisi lain hasil penelitian
ini sejalan dengan Hanpachern (1997) yang menyatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
11
yang signfikan antara kesiapan individu terhadap perubahan organisasi dengan usia dan jenis
kelamin. Sedangkan usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh karena penulis menduga
terdapat aspek lain yang lebih mempengaruhi, salah satunya pemahaman yang cukup akan
perubahan yang terjadi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang terlah
terbukti memiliki hubungan yang signifikan, karena penulis menduga bahwa latar belakang
pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan dari karyawan dalam bereaksi
terhadap perubahan.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan yaitu: Pertama, kuesioner yang tidak
dapat diolah cukup banyak karena beberapa responden tidak mengisi data kontrol yang
dibutuhkan berkaitan dengan lama bekerja di perusahaan dan lama bekerja di divisi saat ini.
Untuk itu, pada penelitian selanjutnya, sebaiknya penyebaran data diawasi secara langsung
oleh peneliti agar kuesioner yang dikembalikan dapat lebih banyak. Selanjutnya, data kontrol
yang didapatkan oleh peneliti merupakan data kontrol dari responden. Hal ini membuat aspek
demografis tidak dapat dihubungkan dengan kepemimpinan visioner, sehingga tidak
didapatkan gambaran tersebut karena jika ingin dihubungkan dengan kepemimpinan visioner,
maka data yang perlu peneliti dapatkan adalah data dari pemimpin tersebut. Untuk penelitian
selanjutnya, bila ingin untuk melihat hubungan antara data demografis dengan variabel
kepemimpinan visioner, maka sebaiknya ditambahkan data kontrol yang menanyakan
mengenai atasan dari responden, seperti jabatan dan jenis kelamin.
Hal yang kedua adalah, perhitungan norma pada kedua alat ukur didasarkan pada
persebaran respon pada responden penelitian. Dengan demikian, norma alat ukur tersebut
hanya dapat digunakan pada populasi penelitian. Untuk penggunaan alat ukur pada populasi
lain, maka perlu disesuaikan norma terlebih dahulu. Dilain sisi, untuk penelitian berikutnya
peneliti memberikan saran untuk mengurangi jumlah item. Hal ini agar responden tidak jenuh
dalam menjawab setiap pertanyaan penelitian sehingga hasil yang didapatkan dapat lebih
mewakili respon dari responden terhadap setiap pernyataan yang diberikan. Hal yang ketiga,
yang juga berhubungan dengan alat ukur, pada penelitian ini pada alat ukur kesipan individu
terhadap perubahan organisasi, terdapat satu item yang dinyatakan tidak validtetapi tetap
disertakan karena tidak berpengaruh secara signifikan. Meskipun demikian, untuk
memperoleh hasil yang lebih optimal, disarankan dalam penelitian lebih lanjut, alat ukur
tersebut disempurnakan kembali.
Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran praktis yang dapat digunakan berkaitan
dengan kepemimpinan visioner dengan kesiapan karyawan terhadap perubahan organisasi,
antara lain yaitu pemimpin perlu mengasah kemampuan kepemimpinan visioner sebagai salah
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
12
satu cara untuk mempersuasi bawahan dalam memiliki kesiapan karyawan terhadap
perubahan. Pelatihan diberikan tidak hanya kepada para pemimpin, namun juga kepada
karyawan perusahaan.
Upaya lain yang dapat meningkatkan kesiapan individu terhadap perubahan adalah
sosialisasi mengenai perubahan perlu dilakukan agar seluruh karyawan dapat memahami dan
mendukung secara aktif perubahan yang sedang terjadi. Selain itu, memaksimalkan aspek
penentu arah dari seorang pemimpin diharapkan lebih dapat meningkatkan kesiapan
karyawan terhadap perubahan organisasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
pemberian pelatihan mengenai kepemimpinan yang antara lain mengenai menyadarkan
bahwa memiliki visi merupakan dasar dalam menjalankan tugas dan juga cara untuk
merancang visi tersebut.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (2002). Readiness for change : An Individual Prespective. Northern Carribbean
University, Business Administration. Jamaica: Lethbridge.
Appelbaum, Steven H., St-Pierre, Normand, & Glavas, William. (1998). Strategic
Organizational Change : The Role of Leadership, Learning, Motivation, and
Production. Management Decision, 289 – 301.
Armenakis, A. A., Harris, S. G., Mossholder, K. W. (1993). Creating Readiness for
Organizational Change. Human relations; 4: 681.
Armenakis, A. A., & Harris, S. G. (2002). Crafting a Change Message to Create
Tranformartional Readiness. Journal Organizational Change Management, Vol. 15
No. 2, -. 169-183.
Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral sciences (7th ed.).
Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education
(6th edition). New York : McGraw-Hill.
Hanpachern, C. (1997). The Extension of the Theory of Margin : a Framework Assessing
Readiness for Change. Proquest Dissertations and Thesis.
Holt, D.T., Armenakis. A. A., Field, H.S., Harris, S. G. (2007). Readiness for Organizational
Change : the systematic development of a scale. Journal of Applied Behavioral
Science; 43; 232.
Ivancevich, J., Konopaske, R., & Matteson, M. (2005). Organizational Behaviour and
Management, Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Kirkpatrick,Shelley A. 2011. Visionary Leadership Theory. London : SAGE Publication.
Kumar, R. (2005). Research Methodology (Vol. Second Edition). London: SAGE Publication.
Mangundjaya, W. (2011). Organisasi : Struktur, Proses, dan Desain, Edisi Kedua. Jakarta:
PT. Swasthi Adi Cita.
Proceedings Seminar Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, September 2012, ISBN: 978-602-17842-0-2.
13
Munandar, A.S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press.
Nanus, B. (1992). Visionary Leadership . San Fransisco, California: Jossey-Bass Inc.
Papalia, Diane, & Olds, Sally Wends, Feldman, Ruth Duskin. (2009). Human Development
(11th edition). New York : Mcgraw-hill.
Robbins, S. (2002). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi (Vol. Edisi Kelima). (N. Mahanani,
Ed., Halida, & D. Sartika, Trans.) Jakarta: Erlangga.
Sashkin, M., & Sashkin, M. (2003). Leadership That Matters. San Fransisco: Berret-Koehler
Publisher Inc.
Singh, Akhilendra K., & Singh, A. P. (2010). Career Stage and Organizational Citizenship
Behavior among Indian Managers. Journal of the Indian Academy of Applied
Psychology ; Vol.36, No.2, 268-275
Smith, Ian. (2005) Achieving Readiness for Organizational change. Library Management ;
Vol. 26. No. 6/7, 408-412
Susanto, Alfonsus B. (2008). Organizational Readiness for Change : A case study on Change
Readiness in Manufacturing Company in Indonesia. International Business and
Tourism Society.
Walker, H.J., Armenakis, A. A., Bernerth, J. B. (2007). Factors Influencing Organizational
Change Efforts : an integrative investigation of change content, context, process, and
individual differences. Journal of change management ; Vol. 20, No.6, 761-733.
www.bumn.go.id diunduh pada tanggal 5 Juni pada pukul 20.35