hirschsprung disease
DESCRIPTION
bbbTRANSCRIPT
-
HIRSCHSPRUNG DISEASE (HD)
ASRUL MAPPIWALI-FK UNHAS
Pendahuluan
Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen
(90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon
bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion
sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional (SPM, sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang
berlebihan pada kolon yang lebih proksimal ( IKA UI).
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.
(Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006), Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar
1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta (Irwan, 2003).
Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa
neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus
tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran.
-
Walaupun barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum
tetap menjadi gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis
dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan
usus yang aganglionik dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung
rektum bagian distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki innervasi
yang sehat. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat
dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus,
tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan
enterokolitis (Belknap, 2006).
Kontrol Saraf terhadap Fungsi Gastrointestinal
1. Sistem saraf enterik
a. Plexus myentericus Auerbach: mengatur pergerakan (motorik)
b. Plexus submukosa Meissner: mengatur sekresi dan aliran darah lokal
2. Sistem saraf otonom
a. Persarafan parasimpatis: meningkatkan sebagian besar fungsi
gastrointestinal
b. Persarafan simpatis: menghambat sebagian besar fungsi gastrointestinal
-
Apa Itu Sel ganglion. Sel ganglion adalah sel yang terdiri dari massa jaringan
saraf dalam tubuh. Massa ini dikenal sebagai ganglia. Sel-sel itu sendiri terdiri
dari akson dan struktur dendrit yang mengirim dan menerima impuls saraf.
Dua jenis yang paling umum dari sel-sel ganglion yang ditemukan dalam
kelenjar adrenal dan dalam retina mata, meskipun sel juga dapat ditemukan di
-
bagian lain dari sistem saraf. Sel-sel ini membantu mengirimkan informasi ke
seluruh tubuh.
A. Sejarah
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang
aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886)
melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu
diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini
melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan
yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang
berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai
penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-
obatan dan simpatektomi. Namun kedua jenis pengobatan ini tidak
memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah
menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa
absennya ganglion parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-
mukosa, namun saat itu pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli.
Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan
bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan
peristaltik usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang
defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga
Swenson dalam laporannya menerangkan tentang penyempitan kolon distal
yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik dalam
kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen yang
aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan
-
laporan pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat
erat antara defek ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Irwan, 2003).
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan
merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,
melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan
autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan inilah
yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik
dengan preservasi spinkter ani . Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan
bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel
neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-
serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum (Irwan,
2003).
B. Anatomi
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih
panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian
terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih
proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-
otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna
terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Irwan, 2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
-
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot
rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis).
Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut (Irwan, 2003).
C. Etiologi
Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf (ganglia)
mulai terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang panjang. Proses
ini dimulai pada bagian atas dan berakhir di usus besar bagian bawah (dubur).
Pada anak-anak dengan penyakit Hirschsprung, proses ini tidak selesai dan
tidak ada ganglion di sepanjang seluruh panjang dengan dua titik. Kadang-
kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter dari usus besar.
Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat dikaitkan
dengan beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa kelenjar
endokrin neoplasia, sebuah sindrom yang menyebabkan noncancerous Tumors
di lendir membranes dan adrenal glands (terletak di atas ginjal) dan kanker dari
thyroid gland (terletak di bagian bawah leher). Hirschsprung's tidak disebabkan
oleh sesuatu yang tidak ibu selama kehamilan. Dalam beberapa kasus, penyakit
-
ini mungkin warisan, bahkan jika orang tua tidak memiliki penyakit.
Hirschsprung juga 10 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dengan Down
syndrome
D. Patofisiologi
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus Auerbach yang terletak pada
lapisan otot dan pleksus Meisneri pada submukosa. serabut syaraf mengalami
hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterase pada segmen
yang aganglionik. ganguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan kegagalan
peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. obstruksi yang terjadi secara
kronik akan menyeba
bkan distensi abdomen yang sangat besar yang dapat menyebabkan terjadinya
enterokolitis (SPM sardjito). Aganglionis kongenital pada usus bagian distal
merupakan pengertian penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada
anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang
beragam.
A B
Gambar A, memperlihatkan sel-sel syaraf yang normal pada usus, sedangkan
Gambar B memperlihatkan sel syaraf yang hilang pada bagian akhir usus
Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak
ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya.
Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel
ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama
perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu
ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi.
-
Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada
migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast
dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik
distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan
perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik. Komponen
tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor
neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik
menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan
elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada
perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker
yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah
dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi. Terdapat tiga pleksus
neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner),
Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi
dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi,
motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi
mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali
ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini
menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada
pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga
kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan
ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali
dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem
-
kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan
hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan
mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang
tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.
E. Frekuensi
1) United States, Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per 5400-
7200 kelahiran.
2) Internasional, tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia,
walaupun beberapa penelitian internasional melaporkan angka kejadian
sekitar 1 kasus dari 1500 hingga 7000 kelahiran.
3) Mortalitas/Morbiditas
a. Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem
neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal.
b. Penyakit Hirschsprung telah diketahui terkait dengan penyakit dibawah ini:
1. Syndrome Down
2. Syndrom Neurocristopathy
3. Waardenburg-Shah syndrome
4. Yemenite deaf-blind syndrome
5. Piebaldisme
6. Goldberg-Shprintzen syndrome
7. Multiple endocrine neoplasia type II
8. Syndrome central hypoventilation congenital
c. Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan
menyebabkan peningkatan mortalitas sebesar 80%. Mortalitas operative pada
-
prosedur intervensi sangat rendah.
d. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi yaitu kebocoran anastomose
(5%), striktur anastomose (5-10%), obstruksi intestinal (5%), abses pelvis (5),
dan infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang termasuk gejala obstruktif,
inkontinensi, konstipasi kronik, dan enterokolitis, komplikasi ini kebanyakan
didapatkan pada pasien dengan segmen aganglionik yang panjang. Walaupun
kebanyakan pasien akan mendapatkan permasalahan ini setelah operasi,
penelitian jangka panjang telah menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak akan
mengalami perbaikan yang bermakna. Pasien dengan segmen aganglionik yang
panjang terbukti memiliki outcome yang lebih buruk.
4) Ras
Penyakit Hirschsprung tidak memiliki predileksi pada ras tertentu.
5) Jenis Kelamin
Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan,
dengan rasio sekitar 4:1. Akan tetapi, segmen aganglionik yang panjang sering
ditemukan pada pasien perempuan.
6) Umur
Umur dimana pasien didiagnosis memiliki penyakit Hirschsprung semakin
menurun sejak satu abad terakhir. Pada awal tahun 1900, usia median yaitu
203 tahun; mulai tahun 1950 hingga 1970, usian median menjadi 206 bulan.
Saat ini, sekitar 90% pasien dengan penyakit hirschsprung telah dapat
didiagnosis pada masa perinatal.
F. Klasifikasi
Hirschprung Disease diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen
-
agangliosinosisnya, yaitu:
1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati
bagian atas segmen sigmoid.
2. Long segment HD (20%)
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:
1. Total intestinal aganglionosis
2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan
anus (Yoshida, 2004).
G. Gambaran Klinis
Gambaran klinis HD dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai
terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus ,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4%
untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita HD ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling
tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi (Irwan, 2003).
-
2. Anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari
dan biasanya sulit untuk defekasi (Irwan, 2003).
Klinis
Anamnesis
1. Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
Keadaan ini semakin sering ditemukan pada pasien dengan segmen aganglion
yang lebih panjang.
2. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada anak yang mengalami
keterlambatan dalam mengeluarkan mekonium atau pada anak dengan
riwayat konstipasi kronik sejak kelahiran. Gejala lainnya termasuk obstruksi
usus dengan muntah empedu, distensi abdominal, nafsu makan menurun, dan
pertumbuhan terhambat.
3. Ultrasound prenatal yang menunjukkan gambaran adanya obstruksi jarang
ditemukan, kecuali pada kasus dengan melibatkan seluruh bagian kolon.
4. Anak dengan usia yang lebih tua biasanya memiliki konstipasi kronik sejak
kelahiran. Mereka juga dapat menunjukkan adanya penambahan berat badan
yang buruk.
5. Sekitar 10% anak yang datang dengan diare yang disebabkan oleh
enterocolitis, dimana diperkirakan terkait dengan adanya pertumbuhan bakteri
-
akibat stasis. Keadaan ini dapat berkembang menjadi perforasi kolon, yang
menyebabkan sepsis.
6. Pada penelitian yang melibatkan 259 pasien, Menezes et al melaporkan 57%
pasien datang dengan gejala obstruksi intestinal, 30% dengan konstipasi, 11%
dengan enterocolitis, dan 2% dengan perforasi intestinal
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen dan/atau spasme
anus.
2. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan memiliki
gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik yang saksama
dapat membedakan keduanya.
3. Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan. Differensial Diagnosis
dari HD kita harus selalu membandingkan konstipasi, Ileus, Iritable Bowel
Syndrome, dan Gangguan Motilitas Usus.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
2. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan
-
platelet preoperatif.
3. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Abdomen dapat menunjukkan adanya loop usus yang distensi
dengan adanya udara dalam rectum
2. Barium enema
a. Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum
memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada
daerah zona transisi.
b. Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk
menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya perforasi.
c. Foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam
kemudian.
d. Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang
mengalami dilatasi merupakan gambara klasik penyakit Hirschsprung. Akan
tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpretasi dan sering kali
gagal memperlihatkan zona transisi.
e. Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung
adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema
dilakukan
Pemeriksaan lainnya
Manometri anorektal
-
Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internalsphincter
setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak
ditemukan pada pasien penyakit Hirschsprung. Swenson pertama kai
menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan perbaikan akan
tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan.
Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif
palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan
sebanyak 24% dari kasus. Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang
dipertanyakan, manometri anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat.
Karena malformasi kardiak (2-5%) dan trisomy 21 (5-15%) juga terkait dengan
aganglionosis kongenital, pemeriksaan kardiologis dan genetik dianjurkan.
Prosedur
Biopsi Rektal
Diagnosa definitif Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yaitu penemuan
ketidakberaadan sel ganglion. Metode definitif untuk mengambil jaringan yang
akan diperiksa adalah dengan biopsi rektal full-thickness. Spesimen yang harus
diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena aganglionosis
biasanya ditemukan pada tingkat tersebut. Kekurangan pemeriksaan ini yaitu
kemungkinan terjadinya perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan
penggunaan anastesia umum selama prosedur in dilakukan.
Simple suction rectal biopsy
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologis. Mukosa dan submukosa
rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus memotong
-
jaringan yang diinginkan. Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan
mudah dilakukan diatas tempat tidur pasien. Akan tetapi, menegakkan
diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari sampel yang diambil
dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan pada jaringan
yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy. Kemudahan mendiagnosis
telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan asetilkolinesterase, yang
secara cepat mewarnai serat saraf yang hypertrophy sepanjang lamina propria
dan muscularis propria pada jaringan.
Penemuan Histologis
Baik pleksus myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak
ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami
hypertrophy yang terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga
ditemukan sepanjang lamina propria dan muscularis propria. Sekarang ini telah
terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah
digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat
penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan
lebih akurat dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.
H. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada HD. Pada
foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,
meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
-
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi. Daerah transisi merupakan regio dimana ditandari dengan
terjadinya perubahan kaliber dimana kolon yang berdilatasi normal diatas dan
kolon aganglionik yang menyempit dibawah (Yoshida, 2004).
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Irwan, 2003).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka
dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam
barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah
terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid
Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
I. Penatalaksanaan
Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik secepat
dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi yang
sebaik-baiknya (Belknap, 2006).
1. Preoperatif
2. Operatif
Tergantung pada jenis segmen yang terkena. pada hirschprung ultra short
dilakukan miektomi rektum, sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan
long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan
kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave,
Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan
Pull Though satu tahap tanpa kolostomi terlebih dahulu. persiapan operasi
-
meliputi dekompresi kolon dengan irigasi rektum, stabilisasi cairan dan
elektrolit, asam basa serta temperatur, pemberian antibiotik. Perawatan pasca
operasi meliputi dekompresi abdomen dengan tetap memasang pipa
rektum,antibiotik injeksi, stabiltasi cairan dan elektrolit serta asam basa (SPM
sardjito).
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak
terdeteksi,
2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif
dilakukan, dan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan
elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi sistemik,
seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan
jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki peranan utama
dalam penatalaksanaan medis awal. Pembersihan kolon, yaitu dengan
melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang besar dan cairan untuk irigasi.
Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon
secara rutin dan terapi antibiotik propilaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis. Injeksi BOTOX pada sphincter
interna terbukti memicu pola pergerakan usus yang normal pada pasien post-
operatif.
Penanganan operatif
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang
biasanya membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya,
penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak
-
bertum buh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitif dapat
dilakukan.
Standar penatalaksanaan ini dikembangkan pada tahun 1950 setelah laporan
tingginya angka kebocoran dan striktur pada prosedur tunggal yang
dideskripsikan oleh Swenson. Akan tetapi, dengan kemajuan anastesia yang
lebih aman dan monitoring hemodinamika yang lebih maju, prosedur
penarikan tanpa membuat colostomy semakin sering digunakan.
Kontraindikasi untuk prosedur tunggal ini adalah dilatasi maksimal usus bagian
proksimal, entercolitis berat, perforasi, malnutrisi, dan ketidakmampuan
menentukan zona transisional secara akurat.
Untuk neonatus yang pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya zona
transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian proksimal area ini.
Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus dikonfirmasi dengan
biopsi frozen-section. Baik loop atau end-stoma dapat dikerjakan, biasanya
tergantung dari preferensi ahli bedah.
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan
hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3
jenis teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan
Soave. Apapun teknik yang dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi
definitif sangat penting.
Prosedur Swenson
1. Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan
untuk menangani penyakit Hirschsprung
2. Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian anastomosis
oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian distal
Prosedur Duhamel
1. Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
-
modifikasi prosedur Swenson
2. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa
bagian rektum yang aganglionik dipertahankan
3. Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit. Usus
bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal (diantara
rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis dilakukan pada
rektum yang tersisa
Prosedur Soave
1. Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang
mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah
ujung muskuler rektum aganglionik.
2. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang
aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat
anastomosis primer pada anus.
Myomectomy anorectal
1. Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang sangat
pendek, membuang sedikit bagian midline posterior rektal merupakan
alternatif operasi lainnya
2. Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang bermula
sekitar proksimal garis dentate.
3. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup. Pendekatan
laparaskopik sebagai penatalaksanaan penyakit Hirschsprung pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1999 oleh Georgeson. Zona transisi ditentukan
awalnya ditentukan secara laparaskopik, diikuti dengan mobilisasi rektum
dibawah peritoneal. Mukosa transanal diseksi dilakukan, diikuti dengan
mengeluarkan rektum melalui anus dan anastomosis. Hasil fungsional
-
sepertinya sama dengan teknik terbuka berdasarkan hasil jangka pendek
Diet
Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat
mengoptimalkan fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.
Aktivitas
Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara
baik
Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas,
dan mengurangi komplikasi.
Antibiotik
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait
dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes
kultur darah dan sensitivitas.
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi spinkter (Irwan, 2003).
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada
kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta
trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini
dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran
anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,
peritonitis, sepsis dan kematian (Irwan, 2003).
-
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah
yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal (Irwan, 2003).
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan
dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out
dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat
(Irwan, 2003).
Overview
The first report of a patient with Hirschsprung disease (HD) was made in 1691
by Frederick Ruysch, but it was Danish pediatrician Harald Hirschsprung who in
1888 published the classic description of congenital megacolon.[1] HD is
characterized by the absence of myenteric and submucosal ganglion cells
(Auerbach and Meissner plexuses) along a variable length of the distal
gastrointestinal tract.[2]The disease results in decreased motility in the affected
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
bowel segment, lack of propagation of peristaltic waves into the aganglionic
colon, and abnormal or absent relaxation of this segment and of the internal
anal sphincter. (See the images below.)
Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph
showing marked dilatation of the bowel with no gas in the rectum.
Hirschsprung disease. Lateral view from a barium
enema examination depicting the reduced diameter of the rectum and
sigmoid. Hirschsprung disease. Barium enema showing
reduced caliber of the rectum, followed by a transition zone to an enlarged-
caliber sigmoid.
Pathophysiology
javascript:refimgshow(1)javascript:refimgshow(6)javascript:refimgshow(8) -
The congenital absence of ganglion cells in the distal alimentary tract is the
pathologic sine qua non of HD. The aganglionosis present in HD results from a
failure of cells derived from the neural crest to populate the embryonic colon
during development. This failure results from a fundamental defect in the
microenvironment of the bowel wall that prevents ingrowth of neuroblasts.
There are, so far, 11 genetic defects known to be associated with HD, including
mutations to the endothelin-B receptor gene and the tyrosine kinase RET gene,
the latter being responsible for a major role in all forms of HD
susceptibility.[3]Because of the polygenic nature of HD, there is variable
penetrance of the condition, leading to variable manifestations of the disease.
There is variable penetrance even in families with identified genetic
mutations/polymorphisms, suggesting also the presence of environmental
influences and genetic modifiers.
Epidemiology
The incidence of HD has been shown to be approximately 1 case per 5,000 live
births in the United States.[4]
There seems to be a significant variance among ethnic groups, with an
estimated 1.5 cases per 10,000 live births in whites, 2.1 cases per 10,000 live
births in African Americans, and 2.8 cases per 10,000 live births in Asians.
Males are affected more than females by a ratio of 4:1.[4] However, for short-
segment disease, the male-to-female ratio is 4.2-4.4 and for long-segment
disease the female-to-male ratio 1.2-1.9.[5]
As a congenital disorder, HD is manifested mostly within the first several weeks
of life and is diagnosed until age 5 years. Occasionally, patients are diagnosed
only during adulthood.
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
Mortality and morbidity
The polygenic and varied penetrance gene condition of HD determines a wide
range of clinical symptoms, from obstipation immediately after birth to a much
milder picture associated with incomplete evacuation, leading eventually to
distended abdomen, recurrent constipation, and high diaphragm.
Better diagnostic procedures, emphasis on early diagnosis, and improvements
in surgical techniques have contributed to decrease the mortality of individuals
with HD. The greatest morbidity and mortality is observed in children younger
than 1 year, owing to the possible set of Hirschsprung-associated enterocolitis
(HAEC), with a mean incidence of 25%, which can be fatal if not diagnosed and
treated rapidly.
Anatomy
HD is regarded as a neurocristopathy because there is a premature arrest of
the craniocaudal migration of vagal neural crest cells in the hindgut between
the fifth and twelfth week of gestation to form the enteric nervous system. As
a consequence, both intramural ganglion cells in the Meissner (submucosal)
and Auerbach (myenteric) plexuses are absent. The anus is always involved,
and a variable length of distal intestine may also be involved. The aganglionic,
aperistaltic bowel segment effectively prevents the propulsion of the fecal
stream, resulting in dilation and hypertrophy of the normal proximal colon.
Patients can be classified by the extension of the aganglionosis, as follows:
Classic short-segment HD (75% of cases) - Aganglionic segment does not
extend beyond the upper sigmoid
Long-segment HD (20% of cases)
Total colonic aganglionosis (3-12% of cases)
-
Some rare variants are as follows:
Total intestinal aganglionosis (when the whole bowel is involved)
Internal anal sphincter achalasia (previously referred to as ultrashort-segment
HD)
Clinical details
Newborns with HD come to medical attention with the following symptoms:
Delayed passage of meconium (>24 h after birth)
Abdominal distension that is relieved by rectal stimulation or enemas
Vomiting
Neonatal enterocolitis
Older children and adult symptoms are as follows:
Severe constipation
Chronic abdominal distension
Vomiting
Failure to thrive[6]
Children presenting with abdominal distension, explosive diarrhea, vomiting,
fever, lethargy, rectal bleeding, and shock may possibly have developed HAEC.
The greatest risk for HAEC development occurs before the diagnosis of HD has
been made or after the definitive pull-through operation. Children with Down
syndrome also have increased risk for the development of HAEC.
HD occurs as an isolated trait in 70% of patients; it is associated with a
chromosomal abnormality in 12% of cases (>90% trisomy 21) and with
additional congenital anomalies in 18% of cases.[6]
Some associated syndromes are as follows:
Down syndrome
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
Multiple endocrine neoplasia type 2 (MEN2)
Cat eye syndrome
Waardenburg syndrome
Bardet-Biedl syndrome
Differentials
Intestinal Neuronal Dysplasia
Meconium Ileus
Meconium Plug Syndrome Imaging
Pediatric Constipation
Small Left Colon Syndrome
Intervention
The treatment is surgical and is based on the removal or bypass of the poorly
functioning aganglionic bowel, with anastomosis of normally innervated bowel
just above the anus, at a level that prevents further functional obstruction but
at the same time preserves fecal continence.[7] This can be done using a
preliminary colostomy followed by a definitive pull-through procedure or a
definitive single-stage procedure using the 3 common operations: the Soave
pull-through, the Duhamel procedure, and the Swenson procedure. In current
practice, the repair can be done transanally or with the assistance of
laparoscopy.
In general, the treatment plan varies according to the extent of aganglionosis
and the age of the patient. In most cases, this restores nearly normal motility
and enables most affected individuals to have normal bowel function.
http://emedicine.medscape.com/article/410845-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/410969-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/928185-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/937183-overviewjavascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
All children with HD are at risk for postoperative incontinence, enterocolitis,
and obstructive symptoms, regardless of which operation is performed. Every
child should therefore be followed up on a regular basis until at least age 5
years, or longer if they are still having problems at that point.[8]
Preferred technique
A diagnostic evaluation should begin with plain abdominal radiography,
followed by a contrast enema examination of the colon to confirm the
diagnosis of HD. Occasionally, ultrasonographic findings may also suggest the
diagnosis.[9, 10, 11]
Manometry
The rectal manometry is complementary to barium enema examination and
has an accuracy of 75%. It shows an absence of normal relaxation of the
internal sphincter, with a reduction in the intraluminal pressure in the anal
canal when the rectum is distended with a balloon. This technique is more
reliable from day 12 after birth, when the normal rectoenteric reflex is present.
Biopsy
The predictive value of biopsy is essentially 100% in excluding HD if ganglion
cells are present. It can be performed by a rectal suction biopsy or full-
thickness rectal biopsy. The first one eliminates the need for general
anesthesia; however, the latter provides bigger fragments of the submucosal
neural plexus for histological examination. In HD, the biopsy reveals an
absence of ganglion cells, hypertrophy and hyperplasia of nerve fibers, and an
increase in acetylcholinesterase-positive nerve fibers in the lamina propria and
muscularis mucosa. It must be taken well above the anal valves, since ganglion
cells are normally absent in the anal canal.
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
Limitations of techniques
A radiological/ultrasonographic study alone is not a sensitive enough tool to
exclude HD. Manometry, rectal mucosal biopsy, or both are required for an
accurate diagnosis.
Radiography
Radiographs of the neonatal abdomen with Hirschsprung disease (HD) may
show multiple loops of dilated small bowel with air-fluid levels that can usually
be determined to be a distal bowel obstruction. An empty rectum is a common
finding. The classic image is a dilated proximal colon with the aganglionic cone
narrowing towards the distal gut.[6] A cutoff sign in the rectosigmoid region
with an absence of air distally is a useful finding in Hirschsprung-associated
enterocolitis (HAEC). (See the images below.)
Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph
showing marked dilatation of the small bowel with no gas in the rectum.
Hirschsprung disease. Frontal abdominal radiograph
showing marked dilatation of the bowel with no gas in the rectum. In the
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:refimgshow(2)javascript:refimgshow(3) -
sitting position, air-fluid levels in the large bowel are seen.
Hirschsprung disease. Lateral abdominal radiograph shows a very enlarged,
stool-filled sigmoid. No air or stool content is seen in the rectum.
Hirschsprung disease. Plain abdominal radiograph showing
dilatation of the transverse colon and mucosal edema (toxic megacolon).
HD is more definitively diagnosed by means of contrast enema examination,
which can show the presence of a transition zone, irregular contractions,
mucosal irregularity, and delayed evacuation of contrast material, among
other findings. Contrast enemas should be avoided in patients with
enterocolitis because of the risk of perforation.[12] (See the images below.)
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:refimgshow(4)javascript:refimgshow(12) -
Hirschsprung disease. Barium enema technique
shows slow contrast-material infusion. Hirschsprung
disease. Lateral view from a barium enema examination depicting the reduced
diameter of the rectum and sigmoid. Hirschsprung disease.
Barium enema showing reduced caliber of the rectum, followed by a transition
zone to an enlarged-caliber sigmoid. Hirschsprung disease.
Barium enema showing reduced caliber of the rectum, followed by a transition
javascript:refimgshow(5)javascript:refimgshow(6)javascript:refimgshow(7)javascript:refimgshow(8) -
zone to an enlarged-caliber sigmoid. Hirschsprung disease. A
24-hour-delayed radiograph obtained after a barium enema examination
shows retention of barium and stool in the rectum. This is associated with a
dilated stool-filled sigmoid. Hirschsprung disease. Barium
enema showing reduced caliber and length of the large bowel, with no clear
transition zone (total colonic aganglionosis). Hirschsprung
disease. Barium enema showing a reduced-caliber rectum and dilated large-
bowel loops with an irregular mucosal contour (dyskinesia).
Transition zone is the term applied to the region in which a marked change in
caliber occurs, with the dilated, normal colon above and the narrowed,
javascript:refimgshow(9)javascript:refimgshow(10)javascript:refimgshow(11) -
aganglionic colon below; although this is a highly reliable sign of HD, failure to
visualize a transition zone does not rule out the presence of the disease.[13]
The hallmark of the diagnosis is demonstration of the transition zone from the
dilated bowel to the reduced-caliber bowel. Obviously, finding more than 1
sign increases the accuracy in diagnosis. Signs of HD after barium enema
administration include the following:
Transition zone (often subtle during the first week of life)
Abnormal, irregular contractions of aganglionic segment (rare)
Thickening and nodularity of colonic mucosa proximal to transition zone
(rare)
Delayed evacuation of barium
Mixed barium-stool pattern on delayed radiographs
Distended bowel loops on plain radiographs that almost fill after contrast
enema
Question markshaped colon in total colonic aganglionosis
According to the results of one study, the use of the rectosigmoid index
(widest diameter of the rectum divided by the widest diameter of the sigmoid
colon < 1 in HD) can in some cases help to identify HD in patients when the
diagnosis would have been missed by looking at the transitional zone alone.[14]
Degree of confidence
Sensitivity and specificity of a contrast enema in the diagnosis of HD are
reported as being 76% and 97%, respectively,[15] but may be extremely difficult
in total colonic aganglionosis, with a transition zone only being accurately
determined in 25% or less of all colonic aganglionosis patients.[16] Barium
enema is not as sensitive or reliable as rectal suction biopsy in ruling out HD.[17]
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
False positives/negatives
Many studies have documented that a maximum of 10% of neonates with HD
do not have a transition zone on contrast enema.[18] In addition, older children
with a very short aganglionic segment may not demonstrate a transition zone
on contrast enema, particularly if the catheter has been placed above the
transition zone in the rectum. False-positive rates can be as high as 48.5% on
contrast enema, higher in female patients and children younger than 30
days.[19] Finally, the contrast study is not always completely accurate in
identifying the location of the pathologic transition zone, with 12% of cases
having a pathologic transition zone, which is different from the radiological
transition zone.[20]
Computed Tomography
CT scan is not usually indicated.
Magnetic Resonance Imaging
MRI is not usually indicated.
Ultrasonography
Although ultrasonography is not the first-choice imaging tool for diagnosing
Hirschsprung disease (HD), diagnosis is possible with real-time
ultrasonography.[21] Oestreich reported a case of unsuspected HD in a 1-
month-old baby who was taken to a pediatrician for a check-up. A distended
abdomen was noted. Ultrasonography revealed the same pattern that is
observed in a barium enema examination, that is, a dilated sigmoid narrowing
to a narrow rectum.[22]Ultrasonography may also help in determining the
dynamic or adynamic state of fluid- or solid-filled bowel loops.
Degree of confidence
javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer');javascript:showrefcontent('refrenceslayer'); -
The degree of confidence is low because gas-filled bowel loops can make the
diagnosis of HD difficult.