hidayatun, maria immaculata . hakekat ruang dalam
TRANSCRIPT
HAKEKAT RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL SEBAGAI SATU BENTUK JAWABAN DARI TATANGAN ALAM
(study tentang arsitektur tradisional vernakular)
Oleh :Ir. Maria I Hidayatun, MA
Staf Pengajar Jurusan arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Kristen Petra Surabaya..
AbstrakRuang dimengerti sebagai sebuah wadah untuk melakukan suatu kegiatan tertentu dan
berguna dengan baik bagi para pelakunya (masyarakat), serta berfungsi dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat tersebut. Suparlan (1996, p. II – 5) menyebutkan bahwa “sebuah satuan tata ruang yang paling baku yang selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun adalah rumah”. Oleh karena itu ruang menjadi satu kebutuhan pokok manusia agar ia dapat melakukan segala kegiatannya dengan baik dalam arti terhindar dari gangguan-gangguan dari lingkungan baik secara fisik maupun non fisik. Hakekat ruang menjadi satu hal yang harus dimengerti dan dipahami sesuai dengan fungsi dan penghuninya. Dengan demikian maka bagaimana ruang itu tercipta akan selalu merupakan cerminan dari kondisi, setting dan waktu dimana ruang itu berada.
Arsitektur tradisional yang tumbuh berdasarkan pada kebutuhan masyarakat setempat yang dilatarbelakangi oleh kondisi dan tantangan dari lingkungan alam dan sosial sekitarnya menjadi satu hal perlu dikaji kembali karena didalamnya terdapat sebuah tatanan ruang yang cenderung untuk tidak berubah dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga dapat dimengerti sebagai ruang yang arif terhadap tantangan alam. Sementara itu pembentukan makna didalam rumah itu “dapat terwujud melalui, pertama, pemosisian dan manipulasi objek di dalam ruang, serta, kedua, lewat tubuh manusia itu sendiri-baik penempatannya dalam ruang, pergerakannya melalui ruang, atau pengeksklusiannya dari suatu ruang, juga dalam interaksi spasial antar pengguna”. Dengan demikian hakekat ruang dalam arsitektur tradisional dapat dimengerti sebagai satu study yang berorientasi pada lokalitas atau yang dinamakan sebagai arsitektur vernakular. Kata kunci : Hakekat, ruang, tradisional dan vernakular.
Pendahuluan.
Manusia sebagai mahluk hidup harus memenuhi berbagai kebutuhan pokok
agar dapat melakukan kegiatan kehidupannya denga baik, aman dan tenang, sehingga
ia dapat menemukan dan merasakan suasana hidup yang seimbang. Seperti yang
dikatakan filsuf Yunani Aristoteles (Bertens, 1992,166) bahwa “manusia adalah zoon
politicon, yang dapat diartikan sebagai mahluk sosial yang selalu ingin bergaul dan
manusia Arsitektur
lingkungan
berkumpul dengan sesamanya (hidup dalam polis), dalam bergaul manusia
menginginkan suasana aman, tenteram, nyaman dan bebas, sehingga ia dapat
berkarya dan bekerja untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan sesamanya”.
Kebutuhan pokok manusia adalah papan, pangan dan sandang, papan dapat
dijelaskan sebagai tempat untuk melindungi dirinya dari segala bahaya dan gangguan
alam sekitar, disamping sebagai tempat untuk beristirahat yang aman (Sudarsono
1986, 27). Sehubungan dengan kebutuhan akan papan inilah, yang kemudian
berkembang dalam sebuah komunitas menjadi sebuah bentuk bangunan yang
dikatakan sebagai arsitektur tradisional.
Bicara tentang arsitektur tradisional sampai saat ini masih merupakan hal yang
sangat menarik. Arsitektur tradisional memang sebuah gejala tentang bagaimana
manusia dapat berdiam dengan tenang terlindung dari gangguan alam (hujan dan
panas) serta bagaimana manusia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam
menjalankan kehidupan sehari-harinya. Ini adalah inti atau hakekat dari arsitektur
tradisonal yang tumbuh dan teruji dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi
berikutnya dalam bentuk tradisi, karena hakekat dari arsitektur tradisional adalah
bagaimana menjawab terhadap tantangan alam1. Beragamnya bentuk arsitektur
tradisional di Indonesia memperlihatkan beragamnya keadaan lingkungan yang
berbeda, ini terlihat bahwa pada saat itu aturan-aturan yang dibuat memperlihatkan
adanya penghargaan terhadap lingkungan.
1 Tradisi merupakan rekaman dari pengetahuan dan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan alam, seperti yang ditulis dalam makalah Eko Prawoto “Rumah yang berdamai dengan Alam” pada Seminar Nasional “ECO Design”, Jur Desain Interior FSD UK Petra, 27 Mei 2008
Tiga sistem yang berkaitan satu dengan yang lainnya yakni sistem lingkungan,
sistem manusia dan sistem bangunan diresapi dalam penataan kelompok hunian,
pengaturan ruang dan penentuan bentuk pada saat itu, seperti contohnya : di Sumba
ada aturan jarak tertentu untuk bentangan atap dari tiang, bila dikaji maknanya adalah
memberi keselarasan dalam lingkungan, keteraturan pada bangunan yang diterima
oleh masyarakat, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kehendak untuk saling
menonjolkan diri perlu dibatasi. Demikian juga dengan larangan menebang pohon pada
musim dan waktu tertentu juga merupakan pencerminan rasa sadar akan perlunya
keseimbangan ekosistem, sehingga belajar dari arsitektur tradisional yang ada di
Indonesia tentunya akan memperkaya wacana dalam menyikapi keadaan kedepan .
Dengan referensi arsitektur tradisional yang selalu berorientasi pada lokalitas,
maka mendalami karakter lingkungan serta mengetahui bagaimana cara-cara
pemecahan masalah yang dihadapi sehubungan dengan kebutuhan akan papan atau
dalam arti ruang akan menjadi satu hal yang perlu dipahami dan dikembangkan guna
menciptakan papan/ruang yang arif terhadap lingkungan. Oleh karena itu kacamata
Vernakular akan menjadi alat yang tepat untuk mengembangkan arsitektur tradisional
guna kepentingan/kebutuhan masa kini.
Hakekat ruang
The aim of our creation, is the art of space, the essence of architecture
(H.P. Berlage , 1908)
Ruang dapat dipahami sebagai satu daerah teritori yang sangat personal,
karena sebuah ruang tercipta didasari oleh pengetahuan dan kebutuhan penghuni dan
dari ruang inilah hakekat/esensi arsitektur itu muncul. Dalam wacana arsitektur
tradisional ruang yang tercipta merupakan ekspresi dari pengetahuan masyarakat
masa lalu dalam upaya hidup laras, menyatu dengan lingkungan alam, dan bahkan
merupakan dialog antara manusia dengan alam. Alam tidak saja dianggap sebagai
musuh yang harus ditaklukan tetapi alam diposisikan sebagai bagian dari kehidupan
manusia itu, oleh karena itu cara-cara tradisional menciptakan sebuah ruang adalah
dengan belajar dari fenomena alam yang terjadi.
aturan
Adat istiadat
kepercayaan Ruang/
ars.
lingkungan
Seperti juga yang dikemukakan oleh Van Romont “ruang adalah tempat hidup
manusia dengan bahagia”. Ruang meliputi semua ruang yang terjadi baik yang dibuat
oleh manusia maupun yang terjadi karena suatu proses alam seperti misalnya gua,
naungan pohon dan sebagainya. Naungan dari panas matahari, angin dan hujan,
tempat berlindung dari gangguan-gangguan dan sebagai tempat melakukan segala
bentuk kegiatan guna aktualisasi diri itu tercermin dalam ruang yang tercipta.
Keindahan dan kebahagian adalah sebagai unsur kenyamanan bagi yang berada
didalamnya maupun bagi yang melihatnya. Keindahan dirasakan oleh panca indera,
sedang kenyamanan dirasakan oleh jiwa.
Kepercayaan dari suatu masyarakat pada masa itu (terutama pada masyarakat
agraris) juga mempengaruhi terbentuknya ruang, pengaruh kekuatan-kekuatan alam
pada umumnya menjadi dasar dari kepercayaan yang terbentuk. Kepercayaan
mengandung ajaran-ajaran serta petunjuk-petunjuk yang harus ditaati oleh masyarakat,
hal ini diwujudkan dalam adat istiadat dan kemudian ditingkatkan menjadi aturan-
aturan yang dipakai sebagai pedoman untuk membuat sebuah bangunan (ruang).
Dengan berbekal adat istiadat dan aturan serta
ditunjang oleh adanya kebutuhan berinteraksi dengan manusia
lain, mereka berupaya menempatkan diri dan mengatur
ruang dengan cara yang sangat berbeda di satu tempat dengan
tempat lainnya (Tuan, 1977:3). Adat istiadat dan aturan menjadi satu hal yang penting
dalam kehidupan masyarakat bisa disebut budaya. Beberapa analisis terhadap
perbedaan budaya, seperti yang dinyatakan oleh ahli pengetahuan sosial Edward T.
Hall, menghasilkan sintesis yang menyatakan bahwa: manusia dengan budaya yang
berbeda memiliki pengertian dan membentuk ruang yang berbeda (Hall, 1966).
Selanjutnya ruang dapat dipahami apabila lingkungan dan kehidupan
masyarakat dapat pula dimengerti. Oleh karena itu ruang dapat dipahami berdasarkan
pada fungsi dan penghuninya, bagaimana ruang itu tercipta akan selalu merupakan
cerminan dari kondisi, setting dan waktu dimana ruang itu berada.
Ruang cerminan jiwa penghuni dan respon terhadap alam.
Indonesia, satu setting dimana dalam posisi geografis terletak di antara 2 benua
dan 2 lautan besar serta dilintasi oleh katulistiwa merupakan negara kepulauan yang
beriklim tropis lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi. Hujan, panas/matahari
dan angin serta laut dan gunung menjadikan alam indonesia banyak ditumbuhi oleh
pohon besar. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa lingkungan akan menjadi
hal yang sangat mempengaruhi terjadinya ruang secara hakiki, maka bagaimana ruang
itu tercipta secara tradisi pada masa lalu akan tetapi tetap arif terhadap lingkungan
alam sekitar serta bagaimana jiwa penghuni tercermin dalam ruang-ruang yang terjadi.
Cerminan jiwa penghuni :
Susunan ruang pada istana/rumah tradisional Jawa yang berasal dari
kepercayaan masyarakat agraris, seperti masyarakat jawa pada umumnya,
meletakan ruang akan mendasarkan pada kepercayaan mereka yang hormat
terhadap alam/menghargai alam. Jiwa petani yang mendasari pada
pembentukan ruang terasa selaras dan logis perpaduan antara demensi-
demensi religius dengan pandangan realistis dan teknis praktis, serta materi.
Susunan ruang memperlihatkan jiwa sang petani, yang terbagi dalam 2
komponen yakni yang bersifat prifat, intim dan sakral disebut “dalem” atau
“petanen” (tempat sang Tani) dan yang luar yang bergaul dengan masyarakat
yang dikatakan “njaba” atau pendopo dan pelataran dan diperuntukkan bagi
umum, tempat anak-anak bermain, untuk perjamuan, serta pertemuan antara
penghuni rumah dan masyarakat. Dalem sebagai ruang sacral dipakai untuk
melakukan upacara inisiasi serta tempat bersemayamnya Dewi Sri sebagai
Sang Tani dan Njaba (luar) sebagai tempat bersosialisasi dengan tamu atau
masyarakat lainnya. Dengan demikian seluruh tatanan ruang mempunyai nilai
budaya yang sangat tinggi. Wilayah dalam dan luar, antara keterbukaan
bermasyarakat dan ketertutupan (keintiman tertutup) keluarga memperoleh
suatu kesatuan yang harmonis dan dialektik luar-dalam antara hidup pribadi
dan kemasyarakatan teracpai sangat seimbang, begitu juga penataan dalem
yang sakral dan pendopo yang profan menunjukan betapa serasi hubungan
vertikal ke Tuhan dan horisontal ke sesama manusia.
Ruang-ruang yang dibangun melayang diatas tanah pada rumah kampung
Naga, Batak, Dayak secara spontan mengungkapkan mental yang sadar akan
dirinya yang merasa di atas dan mengatasi alam. Dalam ruang tersebut
berdiamlah manusia yang tidak mau hanya menyentuh atau terlempar pada
tingkat tanah (alam), tetapi disini terlihat bahwa ada sebentuk harga diri yang
benar-benar harafiah (maupun kiasan) mengatasi alam, sekaligus menghargai
alam karena tidak menguasai permukaan tanah secara serakah. Seperlunya
manusia menggunakan tanah untuk dapat berdiri tanpa harus menutupi
seluruhnya, menunjukan kearifan jiwa.
Gb 1. Pendopo dan pelataran (2) sebagai ruang yang terbuka dan menerima , serta dalem (5) yang tertutup dan sacral menunjukan bagaimana jiwa orang jawa
Respon terhadap alam:
Kondisi iklim tropis lembab memberikan referensi kepada manusia untuk
melakukan satu penyelesaian yang berorientasi pada perubahan musim dan
akibat dari karakter lingkungan. Masih dalam tatanan ruang yang melayang
yang biasa disebut dengan rumah panggung/kolong. Dengan menggangkat
lantai dari atas tanah maka hal ini sangat melindungi dari kelembaban tropika
yang ganas dan mudah membusukkan bahan yang bersifat organic. Udara
dapat bebas mengalir di bawah lantai menjadikan lantai tidak lembab/basah,
sehingga ruang yang berada diatasnya menjadi kering, sebuah penyelesaian
yang berpijak pada potensi local/vernacular.
Gb 2. Rumah kampung Naga, Batak dan Dayak memperlihatkan ruang-ruang yang melayang cerminan dari manusia yang sadar akan dirinya namun arif terhadap alam
Gb3. Panas dan aliran udara mengatasi gangguan alam apabila diselesaikan dengan baik
Ketika musim panas dan hujan silih berganti memaksa manusia untuk mencari
penyelesaian yang arif. Keinginan untuk menciptakan ruang yang nyaman dari
panas, dengan sinar matahari yang penuh di lakukan dengan memberikan
aturan-aturan yang harus ditaati. Di Sumba ada aturan jarak tertentu untuk
bentangan atap diluar dari tiang penyangga atap (emperan/tritis), hal ini
dilakukan karena pemikiran memberi keselarasan dalam lingkungan dan
keteraturan pada bangunan membuat nyaman ruang yang terjadi didalamnya.
Tritis/emperan menyelesaikan masalah air pada saat hujan, yakni agar air yang
jatuh di atap tidak langsung masuk kedalam ruang dan masalah panas pada
saat musim kemarau, yakni agar panas matahari yang dibawa oleh angin
didinginkan dulu diemperan baru kemudian dimasukkan kedalam ruang.
Emperan, serambi, pendopo, bale bengong merupakan ruang-ruang terbuka
yang banyak digunakan di dalam bangunan-bangunan tradisional, diibaratkan
sebuah pohon dengan daun-daunnya yang rindang yang dapat dialiri angin
dengan bebas tanpa halangan membuat ruang yang terbentuk menjadi
nyaman. Demikian pula dengan saung atau gubug-gubug yang ada ditengah
ladang atau sawah, disitulah para petani beristirahat dari pekerjaannya
memacul dan kepanasan karena teriknya matahari, sambil menikmati makan
siang dan melepaskan lelah…. Teduh dan ada angin sepoi-sepoi. Inilah satu
penyelesaikan yang merupakan respon terhadap alam yang bersifat bijak.
Gb 4. Ruang ruang yang medapatkan arus udara yang mengalir dibarengi dengan pendinginan lebih dahulu adalah jawab tepat.
Dibagian lain dari tanah Indonesia yang berada pada dataran tinggi dipuncak
gunung, suku Dhani menyelesaikan ruang dengan penataan yang sangat
sederhana dikarenakan alam yang ganas dengan dinginnya udara sehingga
membutuhkan kehangatan yang tidak disertai dengan angin. Ruang perapian
yang melingkar, kebersamaan dalam ruang yang menjadi tempat untuk
bersosialisasi sekaligus tempat untuk beristirahat. Dinding pembatas yang tebal
yang sekaligus juga berfungsi sebagai atap merupakan sebuah action dari
kondisi alam yang memberikan tantangan yang berat. Ruang yang terbentuk
dengan dinding yang terbuat dari alang-alang merupakan satu penyelesaian
soal dalam hal teknologi yang muncul dari pengetahuan yang berkaulitas tinggi.
Tidak merusak lingkungan, memberikan rasa hangat serta nyaman, sebuah
tradisi yang harus disikapi secara positif.
Gb5. Tata ruang dengan pola-pola terbuka adalah tradisi dari nenek moyang dalam menciptakan papan
Dengan mengkaji ruang-ruang diatas,pemanfaatan potensi local yang sekaligus
pemberdayaan menjadi titik pijak pengembangan arsitektur vernakular.
Penutup
Dari penjelajahan diatas, terutama pada pencarian hakekat ruang dalam
arsitektur tradisional banyak yang dapat dipelajari baik dari harta pengalaman serta
refleksi metodis masyarakat yang serba majemuk dan heterogen untuk dikembangkan
menjadi sebuah kerangka yang tersusun dalam sistematika yang lebih jelas. Manfaat
dan kegunaan untuk pengembangan selanjutnya dengan cara-cara arif dalam bentuk-
bentuk menghargai dan mencintai alam akan menjadi satu tindakan yang penuh
harapan yang cerah dimasa mendatang.
Menjadi sebuah diskusi yang menarik ketika saat ini bangsa ini masih terus
terbuai dengan iming-iming konsep barat yang tidak membumi dan isu globalisasi yang
Gb6. Kebutuhan sederhana dijawab dengan penciptaan ruang yang sederhana pula, tetapi esensi dari ruang tidak diabaikan.
melanda dunia dengan panas yang menglobal, bukankah sebetulnya bangsa ini sudah
mempunyai harta warisan yang berharga dari nenek moyang dimasa lalu.
Ruang, bangunan dan lingkungan/perilaku alam akan menjadi sebuah kesatuan yang
utuh apabila dalam praktek keseharian elemen-elemen alam dapat dihargai dan
dilindungi keberadaanya sehingga keberlangsungannya akan terjamin. Tingkah laku
untuk memciptakan ruang dan bangunan hendaknya tidak melawan terhadap
ekosistem, karena hal ini akan menyedot energy yang luar biasa banyak dan pada
akhirnya bangsa ini akan kehilangan identitas dan nilai-nilai budaya.
Sumber acuan
Budiharjo, Eko, Menuju Arsitektur Indonesia, penerbit Alumni, Bandung. 1983Hall, Edward T, The Silent Language, Anchor Books, Anchor Press, Garden City, New
York. 1973Mangunwijaya, Wastu Citra, penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1988Suparlan, Parsudi. Anthropologi Perkotaan. Diktat kuliah Kajian Perkotaan Universitas
Indonesia Jakarta, 1996.
Soedarsono, Landasan Peraturan Perundang-undangan Bidang perumahan dan Pemukiman, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
Yuan,Yi Fu, Space and Place, The Perspective of Experience, University of Minesota Prees, USA’, 1977