hermeneutika dalam pandangan intelektual indonesia

19

Click here to load reader

Upload: idrus-abidin

Post on 05-Jul-2015

3.120 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

HERMENEUTIKA

DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA.

Sumber : idrusabidin.blogspot.com

PENDAHULUAN

Tradisi interpretasi kitab suci adalah sesuatu yang mapan dalam diskursus

keagamaan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari upaya masing-masing pemeluk agama

untuk memahami lebih baik kandungan kitab suci masing-masing. Dalam sejarah Yunani

kuno, hermeneutika dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami

buku-buku sastra dan teks-teks keagamaan. Lalu sesuai perkembangannya, kaum Yahudi

juga memanfaatkannya dalam rangka menginterpetasi Perjanjian Lama. Hal serupa juga

belakangan diikuti oleh teolog Kristen dan berupaya memberdayakan hermenutika dalam

diskursus Bibel studies. Dalam tradisi Kristen inilah berkembang wacana hermeneutika

dari pase teologi menuju pase rasionalisasi dan kajian filosofis. Lalu dengan kajian yang

dikembangkan oleh Friedrich Schliermacher, hermeneutika menjadi kajian bernuansa

filsafat yang dari sisi teoritis dimanfaatkan untuk memahami berbagai teks dari beragam

bentuk.

Dalam wacana keislaman, kajian hermeneutika mulai mendapatkan apresiasi

dari beberapa ilmuan Muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan

dari teori hermeneutika. Munculnya ilmuan seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,

Nashr Hamid Abu Zaid, dll sangat berperan dalam mentransformasikan kajian

hermeneutika terhadap qur’anic stadies. Melalui merekalah dunia Islam mulai mengenal

tradisi interpretasi Bibel dari para ahli hermeneutika seperti Friedrich Schliermacher,

Habermas, Wilhem Dilthey, Paul Ricour, hingga Gadamer.

Dalam lingkup Indonesia, hadirnya kajian Hermeneutika di tingkat universitas

juga merupakan penomena baru sehingga muncul perdebatan di kalangan intelektual

Muslim mengenai keabsahan hermeneutika sebagai alat interpretasi, baik dari pihak pro

maupun pihak yang kontra. Makalah ini berupaya mendiskripsikan dan menganalisa

faktor-faktor yang diperdebatkan oleh intelektual Muslim Indonesia seputar keabsahan

hermeneutika sebagai media penafsiran teks-teks al-Qur‟an.

Page 2: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIKA.

Setidaknya terdapat tiga istilah penting yang perlu disandingkan dalam upaya

untuk melihat wacana yang digunakan oleh para ahli dalam mendekati pemaknaan teks

kitab suci. Dalam tradisi Islam, tafsir dan ta‟wil adalah dua peristilahan yang lahir dan

berkembang dalam sejarah interpretasi al-Qur‟an. Keduanya sering disandingkan dalam

rangka menggambarkan hasil penelusuran terhadap makna sebuah ayat dalam al-Qur‟an.

Di samping itu, dalam tradisi Kristen, hermeneutika merupakan media interpretasi yang

digunakan untuk mengungkap makna-makna yang terkandung dalam Bibel.

Ta‟wil adalah kata benda yang terderivasi dari bentuk kata kerja lampau awwala

yang berarti kembali kepada kondisi semula (sebenarnya). Dari sisi literalnya, kata ta‟wil

mengandung makna ; menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, menjelaskan,

menggambarkan dan menerjemahkan. Sementara berdasarkan penelusuran terhadap

penggunaan kata ini dalam al-Qur‟an yang terulang sebanyak 17 kali ditemukan makna-

makna seperti :

Pemecahan makna sesuatu yang bersifat simbolik seperti mimpi atau penjelasan

tentang hasil akhir dari sebuah proses. Makna ini ditemukan pada akhir pertemuan

Yusuf dengan kelurganya kembali, saat di mana Yusuf telah menjadi pejabat

penting di lingkup kerajaan Mesir ketika itu. Di hadapan ayahnya ia mengatakan,

sebagaimana pemaparan al-Qur‟an, “inilah maksud (ta‟wil) mimpiku

sebelumnya”.(QS Yusuf : 100 )

Berita-berita mengenai kejadian sebuah perkara sebelum perkara tersebut terjadi

secara faktual. Makna ini digunakan pada surah Yusuf terkait dengan ta‟wil

mimpi sahabat yang ikut bersamanya dalam penjara (QS. Yusuf : 37). Senada

dengan makna ini, kisah pertemuan dua hamba yang shaleh, Musa dan Khidir.

Ketika itu, Khidir merusak perahu, membangun kembali tembok yang runtuh, dan

membunuh anak kecil. Perbuatan demikian tidaklah lazim dalam horizon

pemikiran nabi Musa sehingga mengajukan keberatan kepada Khidir. Setelah

dijelaskan dengan seksama oleh Khidir, Musa pun mengerti dan tidak lagi

Page 3: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

merasakan adanya keganjilan yang dirasakan sebelumnya. Di sini, Khidir

menggunakan kata ta‟wil sebgai penjelasan dari perbuatannya tersebut. Sehingga

dalam pengertian ini, ta‟wil dimaknai sebagai sebuah upaya pengungkapan

makna-makna yang tersembunyi di balik sebuah perbuatan nyata.

Menyertai sesuatu dengan tindakan pengaturan dan perbaikan agar sampai ke

maksud dan tujuan akhirnya. Dalam hal ini, firman Allah seperti, “Itulah yang

lebih baik dan lebih utama ta‟wilnya (akibatnya) bagimu”. (QS. Al-Israa : 35).1

Sedangkan kata tafsir, dari sisi etimologi berarti penjelasan dan penerangan.

Kata ini merupakan hasil pengembangan lebih lanjut dari kata al-fasr yang bermakna

penjelasan dan pengungkapan sesuatu. Selain itu, mufassir juga melihat bahwa kata tafsir

berasal dari kata al-safar yang mengandung arti perpindahan dan perjalan. Dalam kamus

leksikal dikatakan bahwa al-fasr bermakna penerangan dan pengungkapan sesuatu yang

tersembunyi. Dalam tradisi Arab sendiri, kata ini mengadung dua bentuk penggunaan.

Dari satu sisi, kata ini digunakan untuk menunjukkan makna pengungkapan sesuatu

secara nyata. Sedang dari sisi yang lain, kata ini mengandung pengungkapan makna

sesuatu yang abstrak seperti dalam hal mimpi.

Jika melihat bagaimana penggunaan kata al-fasr sebagaimana terdapat dalam

kamus leksikal klasik, Lisan al-Arab ditemukan bahwa arti dasarnya adalah pengamatan

dokter terhadap air. Sedang kata al-tafsirah digunakan untuk menunjuk air kencing yang

digunakan sebagai media oleh dokter untuk meganalisa jenis penyakit yang diderita oleh

seorang pasien. Dengan demikian, dalam kata al-fasr ditemukan dua unsur penting, yaitu

air sebagai objek penelitian dan aktifitas penelitian sendiri yang dilakukan oleh sang

dokter. Dalam materi safara, ditemukan banyak arti yang tersimpul pada makna

perpindahan dan perjalanan. Dari makna ini muncul kata penampakan dan penyingkapan.

Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh disebut musafir karena mereka melepas

penutup hidungnya ketika telah sampai ke tempat tujuan. Kata asfara al-qaum berarti

bahwa sebuah kelompok telah tiba pada waktu pagi. Dari kata ini muncul pula kata safir,

yaitu utusan, atau pun dalam bahasa moderen disebut sebagai duta. Di samping itu,

1 Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an, ( Yogyakarta :

LKiS ), cet.1, th.2001, hal.308-311.

Page 4: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

makna al-safar yang berarti buku dan kata al-Safarah yang bermakna para pencatat amal

kebaikan juga ditemukan dalam al-Qur‟an. Kata pertama muncul dalam firman Allah,

“Bagaikan himar yang membawa buku-buku”. Sedang kata kedua muncul pada firman-

Nya, “Berada di tangan malaikat pencatat (amal kebaikan) yang mulia lagi berbakti”.2

Adapun makna tafsir dari sisi terminologisnya, maka dikatakan bahwa tafsir

adalah sebuah cabang ilmu yang menjadi media utama dalam memahami Kitabullah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berupaya menjelaskan hikmah-hikmah dan

ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya.3 Senada dengan makna ini, sebagian

sarjanan al-Qur‟an memberikan batasan berupa, sebuah ilmu yang mempokuskan

pembahasannya seputar perkataan yang terdapat dalam al-Qur‟an dari aspek kandungan

makna (dilalah) yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan batas-batas kemampuan

nalar manusia.4

Jika ditelusuri pembahasan sajana al-Qur‟an terkait kedua kata ini maka

ditemukan bahwa terjadi beragam pandangan dalam masalah ini. Terdapat ulama yang

memandang bahwa kedua istilah tersebut sama saja. Sementara sarjana lain mengatakan,

tafsir lebih umum dibanding ta‟wil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam analisa aspek

lahiriah bahasa sementara ta‟wil diberdayakan pada aspek makna. Sebagian mengatakan

bahwa tafsir merupakan penegasan tentang maksud Allah di balik firman-firman-Nya,

sedang ta‟wil merupakan penentuan salah satu makna terkuat dan terpilih dari sekian

makna yang ada. Ada yang memandang bahwa tafsir sangat terkait dengan riwayat dan

ta‟wil terkait dengan rasio (dirayah).5

Sementara itu, hermeneutika dalam sejarahnya dinisbatkan kepada Dewa Yunani

Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari yang maha Dewa yang

ditujukan kepada manusia. Karena pesan-pesan Dewa masih dalam koridor bahasa langit,

maka dibutuhkan apaya penerjemahan dan penafsiran ke dalam bahasa bumi yang

2 Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur‟an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an, ( Yogyakarta :

LKiS ), cet.1, th.2001, hal.304-306. 3 Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur‟an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1,

th.1987, hal.25 4 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1, th.1987,

hal.88. 5 Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Qur‟an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1, th.1999, hal.198

Page 5: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

dipahami oleh manusia.6 Mengingat profesi utama Hermes adalah memintal maka kata

ini dikaitkan dengan padanan yang sama dalam bahasa latin, yaitu tegere. Hasil dari

pemintalan dalam bahasa latin ini adalah textus atau teks. Dan teks merupakan isu sentral

dalam kajian hermeneutika.7

Dalam perkembangannya, hermeneutika dipraktekkan

dalam lingkup wilayah Yunani dalam rangka menggali makna dan peran teks-teks sastra

yang berasal dari masyarakat Yunani Kuno. Sekali pun demikian, kata hermenutika

sendiri nanti ditemukan pada karya Plato (429-347 SM) Pollitikos, Efinomis, Definitione

dan Timues.

Hingga zaman moderen, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam

definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya. Masing-

masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimanan dipahami oleh

para penggiatnya. Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis,

saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.

A. Hermeneutika sebagai teori penafsiran Bibel.

Pemahaman paling pertama dan masih tersebar luas tentang hermeneutika adalah

masih merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Jika melihat buku-buku

yang terbit pada abad ke-17, ditemukan bahwa muatan kata Bibel masih seputar

interpretasi kitab suci. Buku yang dianggap muncul terkait dengan hermeneutika

dalam pengertian ini adalah buku Dannhauer pada tahun 1654 yang berjudul

hermeneutica sacra sive methodus exponemdarum sacrarum litterarum. Setelah

terbitanya buku dannhauer ini, istilah tersebut berkembang dengan cepat terutama

di wilayah Jerman.

Di Inggris dan di Amerika penggunaan kata hermeneutika mengikuti arah

kecenderugnan umum dalam menunjuk penafsiran Bibel. Pertama kali kata ini

digunakan oleh Oxford English Dictionary pada tahun 1737 dengan makna,

“bersikap bebas dengan tulisan suci, sama halnya dengan tidak diperkenankan

menggunakan bebrapa metode selain hermeneutika sebagaiamana seharusnya.

6 Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah

Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004. 7

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, ( Jakarta :

Paramadina ), cet.1, th.1996, hal.125.

Page 6: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

B. Hermeneutika sebagai metodologi filologis.

Pada abad ke-18 filologi klasik berkembang bersamaan dengan rasionalisme.

Keduanya mempuyai pengaruh besar terahadap hermeneutika. Ketika itu

muncullah metode kritik historis dalam teologi. Dalam metode ini ditegaskan

bahwa interpretasi Bibel dengan menggunakan displin hermeneutika juga bisa

dimanfaatkan untuk membaca teks-teks lainnya. Dengan pengembangan ini,

metode-metode hermeneutika Bibel secara esensial menjadi sinonim dengan teori

interpretasi sekuler seperti filologi klasik. Setidaknya dari pencerahan hingga

masa sekarang metode interpretasi Bibel tidak dapat dipisahkan dengan filologi.

C. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.

Schleiermacher berusaha memodifikasi ulang hermeneutika hingga menjadi

sebuah ilmu atau seni pemahaman. Ia mencurahkan seluruh energi intelektualnya

untuk maksud tersebut dan berhasil hingga batas-batas tertentu. Ia berusaha

melampaui persfektif hermeneutika yang bersifat teologi filologi dangan berupaya

menghadirkan hermeneutika sistematis-koheren. Yaitu sebuah ilmu yang

mendiskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.

D. Hermeneutika sebagai pondasi bagi filsafat.

Wilhelm Dilthey adalah seorang pemikir filsafat besar pada abad ke-19 di

samping sebagai penulis biografi Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika

sebagai dasar bagi upaya memahami semua ilmu yang mempokuskan diri untuk

memahami seni, aksi, dan tulisan manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup

manusia berupa hukum, karya sastra, maupun kitab suci membutuhkan

pemahaman historis. Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha

mengarahkan kritiknya ke dalam ruang lingkup psikologis. Namun karena

psiklogi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya terhambat sejak awal.

Di dalam hermeneutikalah Dilthey menemukan dasar yang lebih humanis dan

historis bagi usahanya untuk memformulasikan metodologi humanistik yang

nyata bagi semua upaya pendekatan filosofis.

E. Hermeneutika sebagai fenomenologi dan pemahaman eksistensial.

Page 7: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

Dalam menghadapai persolan ontologis, Martin Heidegger meminjam metode,

Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenoligi ini pada cara keberadaan

sehari-hari manusia di dunia. Hermeneutika dalam konteks ini tidaklah mengacu

pada ilmu atau kaedah interpretasi, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya

tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Haidegger mengindikasikan

bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model dasar keberadaan manusia.

F. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.

Paul Ricoeur mendefinisakan hermeneutika yang mengacu kembali kepada

penafisran tekstual sebagai elemen penting dalam hermeneutika. Ia mengatakan,

“yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah

yang menata sebuah penafsiran. Dengan kata lain, sebuah interpretasi teks

partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan sesuatu yang dianggap

sebuah teks.8

Dalam kajian hermeneutika, terdapat beberapa ahli yang ikut terlibat dan

mengembangkan wacana ini secara luas. Tokoh-tokoh dan peranannya dalam

hermenutika bisa kita telusuri seperti berikut :

1. Hermeneutika Friedrich Schliermacher. ( 1768 – 1834).

Dalam kajian hermeneutika yang bersifat filosofis, Friedrich Schliermacher

dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Ia dianggap berjasa

mengembangkan tradisi hermeneutika dari wilayah teologi menuju wilayah

filsafat. Ketika berada di wilayah filsafat inilah, hermeneutika bisa menjangkau

seluruh teks dan tidak hanya sebatas teks kitab suci semata yang berlandaskan

pada tradisi gereja katolik.9

Menurut Abu Zaid, pijakan hermeneutika Friedrich Schliermacher adalah bahwa

teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mengembangkan ide

pengarang kepada pembaca. Dalam sisi kebahsaan, ia merujuk kepada lingusitik

dengan beragam perangkat-perangkat yang dimulikinya. Sedang dari aspek psikis,

ia merujuk ide subyektif pengarang. Hubungan kedua hal tersebut adalah

8 Richard E. Palmer, Hermeneutika :Teori Baru Mengenai Interpretasi, ( Yogyakarta : Pusataka

Pelajar ), cet.2, th.2005. 9 Adnin Armas, Metodologi Bibel ( Jakarta : Gema Insani Press), hal. 63-67.

Page 8: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

merupakan interaksi dialektis dalam pandangan Friedrich Schliermacher.10

Untuk

dapat menyelami makna teks, seorang hermeneut hendaknya memiliki dua

kompetensi, yaitu kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses

wilayah budaya saat teks tersebut ditulis. Ketika seseorang hanya berangkat dari

aspek lingsuistik semata, kejelasan makna suatu bahasa tidaklah bisa dipahami

mengingat manusia tidak mengenal bahasa yang tidak tunduk kepada pemaknaan

tertentu. Demikian pula jika hanya memandang sisi kebudayaan saja, pemaknaan

tidak bisa benar karena kompleksitas sisi budaya yang melingkupi tidak bisa

ditangkap secara sempurna.11

2. Hermeneutika Wilhem Dilthey (1833 – 1911).

Dilthey adalah merupakan pelanjut dari Schliermacher. Keduanya yakin bahwa

seorang penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulisnya sendiri. Sekali

pun dilthey dipandang terpengaruh dengan Schliermacher, tetapi dilthey tetap

memilikii penekanan tersendiri dalam mendekati pemaknaan teks. Jika

Schliermacher menegaskan penafsiran secara komprehensif, Dilthey menekankan

aspek sejarah. Bagi Dilthey, Schliermacher kurang mempertimbangkan aspek

sejarah untuk merokontruksi makna lebih baik dari yang dipahami oleh

pengarangnya sendiri.12

3. Hermeneutika Emilio Betti ( 1890 – 1968 )

Seabagai pelanjut dari pemikir hermeneutika sebelumnya kontribusi Betti bisa

terlihat pada upaya menawarkan teori hermeneutika yang komprehensif. Ia juga

teoritikus hermeneutika pertama yang mendirikan institusi khusus untuk mengkaji

isu-isu penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Institut

tersebut ia dirikan di Universitas Roma, Italia.13

4. Gadamer ( 1990 – 1998 )

10

Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara

Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.15 11

Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara

Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.16. 12

Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah

disampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. 13

Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah di

sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.8-9.

Page 9: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan

menekankan pada subyek yang menafsirkan. Dalam mempertanyakan bagaimana

memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu

Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang

menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan

mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan

menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis

teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk

mempelajari mengenai subyek dalam teks itu sendiri. 14

Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang merupakan

penilaian awal yang tidak bisa dihindar karena merupakan takdir, di mana tidak

memiliki pilihan. Penilaian awal adalah hal yang mustahil dipisahakan menurut

Gadamer mengingat manusia harus menerimanya sebagai bagian dari perjalanan

hidup seseorang.

Karenannya, sebagaimana dikutip oleh Malki Ahmad dari Budi Hadirman,

hermeneutika Gadamer merupakan hermeneutika ontologis. Yaitu sebuah rasio

pemahaman yang tidak bisa diukur oleh ruang, waktu dan tempat karena ia

berhubungan dengan historitas yang selalu berubah-ubah. Karena itulah, obyektif

adalah hal yang masih absurd dan nihilis. Baginya, tidak ada kebenaran obyektif

sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu.15

HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN PENGERITIKNYA

Kalangan intelektual yang kontra terhadap hermeneutika berasumsi bahwa Bibel

memang memiliki sejumlah permasalahan yang membuatnya pantas untuk dicecar

dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan hermeneutis. Problema pertama adalah terkait

dengan teks Bibel yang tidak memiliki bahasa standar. Hal ini terjadi akibat tidak adanya

dokumen Bibel yang original. Akibatnya Bibel yang beredar di tengah penganut Kristen

14

Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon.

http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/. 15

Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah

Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004.hal.35.

Page 10: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

sangatlah beragam. Denga mengutif Metzger, Adian Husaini menunjukkan keragaman

Bibel dalam bahasa Yunani (Greek) yang hingga kini berjumlah sekitar 5000 manuskrip

teks Bibel dalam bahasa Greek yang berbeda antara satu dengan lainnya. 16

Karena tidak

ada seorang pun yang kini sebagai native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk

memahami bahasa Hebrew itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan

bahasa untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew. Dan bahasa yang dapat memberikan

harapan untuk dapat mengunakap bahasa Hebrew itu tidak lain adalah bahasa Arab,

karena bahas Arab masih hidup hingga hari ini. Kita mengetahui bahwa bahasa Arab

yang hidup hingga hari ini karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur‟an itu sendiri.

Jadi al-Qur‟an lah yang menyelamatkan bahasa Arab. Sedang dalam kasus Bibel, mereka

harus menyelamatkan dulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bibel. Karena

tidak adanya bahasa asal Bibel maka wajarlah para teolog Yahudi dan Kristen mencari

jalan dan metodologi untuk memehami kembali Bibel melalui hermeneutika. Dalam hal

ini, hermeneutika dapat membantu karya terjemahan, lebih-lebih lagi jika bahasa asalnya

sudah tidak ditemukan lagi.17

Selain permasalahan di atas, kenyataan bahwa dalam

Kristen otoritas pendeta sebagai pemegang monopoli interpretasi Bibel makin

memperuncing permasalahan. Sehingga Gereja dengan pendetanya menjadi sebuah

lembaga yang bertanggung jawab secara penuh terhadap pemaknaan Bibel.

Problem lain yang muncul dalam tradisi Kristen, menurut kalangan kontra

hermeneutik adalah hubungan antara Bibel dengan sains modern. Dengan menelaah

perkembagan berbagai genre dalam interpretasi herneneutis Bibel, Adian

mendiskripsikan peroblema yang terjadi antara penafsiran literal dengan penafsiran

alegoris terkait dengan masalah kosmologi. Menurut asumsi kaum literal, ayat-ayat Bibel

terkait dengan alam semesta seharsunya diartikan secara literal. Selain itu, dasar-dasar

kosmologi haruslah diambil dari konsep Bibel itu sendiri. Dengan adanya otoritas kuat

penganut ajaran literalis dalam gereja yang begitu kuat, maka dalam sejarah pernah

terjadi ketegangan antara sains dengan doktrin literalis Bibel. Tercatat Galileo Galilei

16

Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban

Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.9 17

Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur‟an Memerlukan Hermeneutika ?, dalam Majalah Pemikiran dan

Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.48-49.

Page 11: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

(1564-1642) dihukum oleh pihak otoritas gereja akibat dari temuannya berupa, matahari

sebagai pusat galaksi dan bukanlah bumi yang berperan sebagai pusat tata surya.18

Sebagai sikap anti terhadap kekuasaan gereja, keberadaan Hermeneutika yang

pada awalnya diterapkan untuk mencari makna asli di balik kata-kata Bibel, kini menjadi

senjata ampuh bagi teolog liberal untuk menegaskan perlawananya terhadap otoritas

gereja pada masa pertengahan. Liberalisasi yang dikuatkan oleh semangat hermeneutika

modern tersebut tampak dalam upaya yang dilakukan oleh Friedrich Schliermacher

(1768-1834). Baginya faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk

memahami makna suatu teks , di samping faktor gramatikal.19

Di lain pihak, Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan sikap kontra terhadap

hermeneutika juga disebabkan karena faktor muatan nilai yang dikandungnya. Dengan

mengutip Werner, ia menyebutkan tiga hal yang berpengaruh terhadap keberadaan

hermeneutika sebagai sebuah konsep atau teori interpetasi. Ketiganya adalah pertama

millaeu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat

Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan

berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi yang dimaksud. Ketiga milleu

masyarakat Eropa pada zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan

dan membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.20

Berangkat dari ketiga

faktor tersebut, Zarkasyi berusaha mendeskripsikan pengaruh pandangan hidup

(worldview) terhadap tiga pase perkembagan hermeneutika, yaitu : pertama dari

motologi Yunani menuju teologi Yahudi dan Kristen. Kedua, dari teologi Kristen yang

problematik menuju gerakan rasionalisasi dan filsafat. Ketiga, dari hermeneutika filosofis

menjadi filsafat hermeneutika.

Setelah deskripsi di atas, Zarkasyi menyimpulkan bahwa heremeneutika dengan

kedua genrenya, alegoris dan gramatikal adalah metode pemahaman yang merupakan

produk kebudayaan Yunani. Karenanya dipandang tidak bebas nilai. Ketika masuk dalam

18

Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban

Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.13. 19

Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban

Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.14. 20

Zarkasyi, Hamid Fahmi, Menguak nilai Di Balik Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan

Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.18.

Page 12: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

ranah penafsiran Bibel pada fase awal, hermeneutika tidaklah mendapatkan resistensi

karena memang tradisi Bibel belum memiliki mekansime interpretasi tersendiri ketika itu.

Namun setelah hermeneutika diberlakukan, perpecahan terjadi dalam internal Kristen.

Walaupun perpecahan tersebut tidaklah mewakili sikap resistensi mutlak terhadap

hermeneutika, tetapi hal itu lebih menunjukkan kepada fakta bahwa pemikiran Plato dan

Aristoteles ketika itu sangat mendominasi teologi Kristen. Bahkan pertentangan ini

melahirkan dua kelompok besar dalam agama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik.

Realitas di atas dipandang oleh Zarkasyi sebagai bukti bahwa hermeneutika

tidak bisa diadopsi begitu saja tetapi perlu diadapsi ke dalam realitas teologi Kristen.

Mengigat mekanisme tersebut tidak ada dalam tradisi Kristen maka dengan cepat kajian

hermeneutika secara teologis berubah menjadi kajian filsafat. Dalam diskursus filsafat

inilah nilai-nilai barat dengan mekanisme pembaratannya mengisi pemaknaan baru

terhadap herneneutika. Karena keluar dari frame teologi dan bukan lagi teori interpretasi

kitab suci maka penggunaan hermeneutika dapat merusak sendi-sendi agama. Hal ini

terbukti dengan mendudukan teks Bibel sebagai sama dengan berbagai teks lainnya,

bahkan dipandang tidak lagi bisa dianggap pedoman dalam mengartikulasikan keimanan

Kristen.

Pada permaslahan yang sama, Adnin Armas menegaskan bahwa kehadiran

hermeneutika dalam iklim peradaban Barat didominasi oleh konstruk ilmu yang skeptik.

Karena itulah konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang sebuah makna,

kandungan, dan teori hermeneutika selalu mengalami perubahan. Perubahan demikian

dianggap sebagai sebuah penyempurnaan dari upaya menyelami makna menjadi lebih

baik dan lebih objektif. Friedrich Schliermacher, pendiri teologi protestan modern,

misalnya teori-teorinya tentang hermeneutika dimodifikasi oleh Wilhem Dilthey, Hans-

Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Hal demikian tidak

terjadi secara ekstrim dalam tradisi tafsir. Sekalipun penafsir belakangan hadir dengan

beragama karya yang berbeda, namun tetap saja hal-hal yang sudah mapan tidak disentuh

dan tetap disepakati. Penyaliban Nabi Isa sebagai contoh. Tidak ada seorang penafsir pun

Page 13: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

mengatakan bahwa Isa mati di tiang salib. Demikian pula kesepakatan mereka bahwa

tidak boleh wanita Muslimah kawin dengan lelaki non Muslim.21

Sedang sikap intelektual kontra hermeneutika memandang upaya hermeneutika

yang dilakukan oleh sarjana Muslim telah menjadi gugatan baru dalam wacana keislaman

moderen. Upaya memandang berbagai teks sebagai kitab yang memiliki penulis,

termasuk di dalamnya al-Qur‟an telah diwacanakan oleh Muhammad Arkoun dan Nasr

Hamid Abu Zaid. Muhammad Arkoun memandang bahwa formulasi mushaf utsmani

telah dijadikan sebagai wilayah yang steril dan tidak dapat disentuh oleh siapa pun oleh

penguasa ketika awal pembentukannya dulu. Padahal formulasi ini hanyalah sebuah hasil

konstruk sosial budaya ketika itu dan tidak sama sekali sakral. Bagi Arkoun, al-Qur‟an

merupakan hasil tokoh-tokoh historis yang mengangkat statusnya sebagai kitab suci.

Adapun status kewahyuan al-Qur‟an itu sendiri hanya bisa dikenal manusia lewat edisi

dunia. Al-Qur‟an dalam edisi dunianya inilah yang dianggap oleh Arkoun sebagai telah

dimodifikasi, revisi dan substitusi.22

Demikian pula pandagan Nasr Hamid Abu Zaid, ia melihat al-Qur‟an telah

menjadi bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks yang manusiawi terjadi sejak

al-Qur‟an samapai kepada Rasulullah saw. Dalam asumsi Nasr Hamid, al-Qur‟an lahir

dalam konstruk budaya dan setting sosial tertentu selam lebih dari dua puluh tahun.

Karenanya, al-Qur‟an dianggap sebagai produk budaya yang sangat kuat nuansa

kemanusiawiannya. Dalam hal ini, al-Qur‟an telah diturunkan dari posisi sakralnya

sebagai wahyu dan dianggap sebagai konstruk manusia layaknya pendapat Muhammad

Arkoun. Hanya saja bahasa yang digunakan oleh Nasr Hamid lebih halus dan tampak

lebih ilimiah disbanding penggambaran Arkoun.

Selain dua pemikir Arab Kontemporer di atas, Fazlur Rahman juga ditengarai

terpengaruh oleh metodologi hermenutika dalam kajiannya. Gerak ganda yang menjadi

landasan teoritis penafsiran Fazlur Rahman dianggap dipengaruhi oleh pemikiran Emilio

Betti. Gerak ganda yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman itu adalah upaya pembacaan al-

21

Adnin Armas, Tafsir al-Qur‟an atau Hermeneutika al-Qur‟an, dalam Majalah Pemikiran dan

Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.42. 22

Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur‟an. (Makalah di

sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.20

Page 14: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

Qur‟an dengan menerobos masa lalu, kemudian mentransfernya kembali ke masa kini.

Inilah gerak ganda yang ia maksudkan dan memandangnya sebagai metodologi paling

tepat dalam mendekati pemaknaan al-Qur‟an. Bahkan ia menganggap bahwa kesalahan

para mufassir sebelumnya karena pendekatan yang mereka lakukan hanya bersifat

parsial. Fazlur Rahman memetakan hubungan teks dengan pembacanya sebagai

hubungan dialektis. Yaitu makna muncul setelah dipertemukan dengan pikiran pembaca.

Ia menolak kalau teks hanya bisa dipahami oleh pembaca semata, sebagaimana

penolakannya bahwa teks mampu memberikan pemahaman kepada pembaca secara

otonom. Ia sangat menekankan makna asal sebuah teks. Karenanya ia sangat melihat

betapa pentingnya mengetahui sosio historis al-Qur‟an dalam mengungkap hal tersebut.

HERMEUNETIKA DALAM PANDANGAN PENDUKUNGNYA

Bagi para pengusung teori-teori hermeneutika sebagai salah satu alat bantu

dalam mengungkap historis dan sosio politik sekaligus aspek psikologis al-Qur‟an,

berasumsi bahwa tafsir, ta‟wil dan hermeneutika sebagai ilmu interpteasi kitab suci

adalah sama.23

Persamaannya terletak pada fakta bahwa sarjana al-Qur‟an yang dinilai

memiliki kompetensi dalam ranah penafsiran adalah mereka yang mapan dalam ilmu

sejarah al-Qur‟an dan gramatika serta sastra arab.24

Hal ini tentu sama dengan fokus

kajian hermeneutika yang menjadikan bahasa sebagai medium teks dan sejarah yang

menjelaskan proses kreatif lahirnya teks dalam sebuah milleu. Seabagai wujud persamaan

hermeneutika dan tafsir, setidaknya dalam aspek bahasa, Sumaryono menulis, “disiplin

ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutikm adalah ilmu tafsir kitab

suci. Sebab karya yang mendapatkan isprisai ilahi seperti al-Qur‟an, kitab taurat, kitab-

23

Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta‟wil dan Hermeneutika, dalam “http://anismasduki.

blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html” Diakses pada hari Senin,3 Agustus

2009. 24

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta :

Paramadina), cet.1, th.1996, hal.136.

Page 15: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

kitab veda, dan upasihad supaya dapat dimengerti memrlukan interpertasi atau

hermeneutik.25

Hermeneutika yang berkembang dalam tradisi filsafat modern dipandang maju

lebih jauh dalam aspek metodologis dibanding jangkauan tafsir yang berkembang dalam

tradisi Islam.26

sekalipun, dalam asumsi intelektual pro hermeneutic, ini tidak bisa

diartikan sebagai wujud keunggulan hermeneutika atas tradisi tafsir dalam diskursus

keislaman. Karena hal demikian hanyalah terkait dengan perbedaan tradisi dan

metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang dalam sejarah dan filsafat

yang berbeda.

Dalam tradisi Islam, al-Qur‟an dipandang sebagai kalam Allah yang diwahyukan

sehingga outensititasnya disepakati oleh kaum Muslim. Sementara dalam lingkup

kristiani, kemunculan dan peran hermeneutika berbeda denga apa yang berlaku dalam

ranah keislaman. Al-Qur‟an dengan posisi tersebut di atas menjadi standar dalam aspek

hukum, etika dan seluruh aspek hidup seorang Muslim. sementara di pihak lain, Bibel

bukanlah firman tuhan langsung, tetapi hanyalah catatan tentang sejarah tuhan Yesus.

Karenanya, Bibel tidaklah dijadikan standar hokum sehingga bebas ditafsirkan dan

diterjemahkan. Jika para ahli hermeneutika Barat mengawali kajiannya dalam aspek

keaslian teks Bibel, maka bagi Muslim hal itu telah final. Jika praktek hermeneutika

dibarat diuapayakan untuk mencari makna yang lebih baik, maka dalam diskursus al-

Qur‟an, tidak ada makna yang lebih baik selain makna yang dikehendaki oleh Allah swt27

Namun, sekalipun berbeda, baik al-Qur‟an dan Bibel tetap saja harus dihadapkan

dengan pertanyaan-pertanyaan hermeneutis menyangkut penafsiran dan pengungkapan

makna-makna yang dianggap masih asing dan perlu penjelasan tentang inti pesan yang

dikandungnya.

Al-Qur‟an yang diyakini berlaku sepanjang zaman dan pada berbagai tempat

juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ummat Muslim. hanya saja dalam asumsi pro

25

E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius), th.1999,

hal.41. 26

Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir 27

Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir

Page 16: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

hermenetika, dari segi pemahaman dan pelaksanaan klaim tersebut tetap menuntut

pembuktian di satu sisi, dan di sisi lain, manusia punya pilihan untuk menentukan sikap

dan pilihannya sendiri. Dalam ruang seperti inilah lingkaran hermenetik terjadi, yatu

manakala al-Qur‟an dan pembeacanya terlibat secara intens. Dalam proses ini al-Qur‟an

terkadang berposisi sebagai subyek yang menentukan dan di saat lain ia berposisi sebagai

objek yang sedang dikaji. Dalam posisi terakhir ini, al-Qur‟an diharapkan mampu

menjawab berbagai klaim-klaim kebenaran yang dikandungnya.28

Dalam asumsi pro hermeneutika, hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur‟an

tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan yang absolut, karena ia lahir dari rasio

manusia yang memiliki keterbatasan. Ketika sebuah penalaran diabsolutkan maka ia telah

menyamai bahkan menandingi al-Qur‟an itu sendiri. Sebaliknya pun demikian, bagi

Muslim, jika pesan al-Qur‟an tidak diabsolutkan maka bisa saja terjatuh kedalam

nihilisme. Karenanya, produk pemahan manusia terhadap al-Qur‟an merupakan

penghubung antara yang absolut dengan yang relative. Karenanya Hamid Abu Zaid

mmepertanyakan, bagaimana mungkin makna obyektif al-Qur‟an dapat dicapai ? Apakah

mengugkap maksud Tuhan dengan segala keabsolutan-Nya termasuk dalam jangkauan

manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasnnya. Tidak ada dari kedua genre

penafsiran (tafsir bi al-ma‟tsur dan tafsir bi al-ra‟yi) berkeyakinan demikian.29

Dalam lapngan hermenutika al-Qur‟an, Hasan hanafi lah yang dikenal pertama

kali melontarkannya dalam wacana keislaman. Hal yang dianggap paling menonjol

dalam hermeneutika hanafi adalah muatan ideologisnya yang sarat dengan maksud-

maksud praksis.dalam pandagan hanafi, hermeneutika bukanlah sekedar ilmu interpretasi

dan teori pemahaman semata, tetapi ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari

tingkat perkataan sampai ke tingkat kenyataan, dan lugas sampaii praksis serta juga

tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.30

28

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta :

Paramadina), cet.1, th.1996, hal.139. 29

Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara

Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.7 30

Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin “Hermeneutika Al-

Qur‟an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1, th.2003, hal.60-61.

Page 17: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

Upaya pendekatan al-Qur‟an dengan disiplin hermeneutic seperti yang dilakukan

oleh Nasr Hamid Abu Zaid akhirnya menjadi wacana di antara para pemerhati dan

pengkertik hermeneutika. Dengan adanya resistensi sejumlah ulama dari da‟erah ketika

kedatangannya ke Indonesia, Abu Zaid pun urung untuk tampil di beberapa forum yang

telah direncanakan. Kondisi demikian membuat pemerhati hemeneutik mengemukakan

gugatan. Apa yang sesungguhnya mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung

Abu Zayd? Di mana letak yang membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para

penyerang itu adalah jika dialog takwil dan hermeneutika akan memelintir makna takwil

sebenarnya. Dalam bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi

dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan

berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna.

Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan

antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang

diakomodasi oleh dalil yang kuat”. Sebuah kekhawatiran yang tidak seharusnya terjadi.

Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi makna) telah ada dan masuk dalam

kajian semantik yang sudah ada prosedur dan batasan-batasannya. Memang garis batas

antara strukturalisme semantik dengan hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang

tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik

lebih kepemahaman isi. Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat

telaah interpretif phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih

dikenal sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik

Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau hermeneutik

phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006). Dalam sejarah intelektual Islam

klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan secara lebih berani

– daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan metode ini – oleh tokoh-

tokoh linguistik semisal Al Farra‟, Al Jahidl, Qadli Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain

dalam teori-teori mereka laiknya “al qashdu”, “ma‟nal ma‟na”, “majaz”, “nadlm” dan

sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah Al „Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru

Page 18: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

mengapresiasi temuan-temuan pakar bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai

elemen progresif yang mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke public.31

KESIMPULAN.

Berdasarkan papran di atas, bisa disimpulkan bahwa hermeneutika yang menjadi

ajang diskusi antara kedua belah pihak masih berada seputar keabsahan dan

kepantasannya untuk dijadikan landasan metodologis interpretasi. Tampaknya istilah

tafsir, ta‟wil dan hermeneutika tidaklah dipermasalahakan oleh kalangan pro

hermneutika. Sehingga kata hermeneutika yang digunakan selalu sinonim dengan istilah

ta‟wil dalam wacana keislaman. Hal demikian diangap bermasalah bagi kalangan kontra

hermeneutika. Sejumlah permaslahan menjadi landasan penolakan ini. Mulai dari aspek

keoutentikan al-Qur‟an dengan bahasa aslinya yang masih terjaga hingga saat ini sampai

pada kultur budaya yang membentuk tafsir serta ta‟wil tidak pernah meragukan aspek

historisnya dan linguistiknya sebagai mampu untuk menerjemahkan kehendak Tuhan

tanpa harus terbebani dengan budaya dan konstruk sosial yang melingkupi setiap

penafsir. Wallahu a‟lam.

Oleh kerenanya, jelas bahwa diskusi seputar hermeneutika dan tafsir al-Qur‟an

tetap harus terus berdialektika hingga masing-masing mampu untuk menujukkan sisi-sisi

yang pantas untuk digunakan untuk merekonstruksi kembali bagunan pemikiran Islam

kontemporer.

31 Anis Masduki, Menggagas interaksi positif tafsir dan hermeneutika, http://anismasduki.

blogspot.com /2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html

Page 19: HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA.

Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an,

(Yogyakarta : LKiS ), cet.1, th.2001.

-------------------------------, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan

Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1,

th.2004.

Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ),

cet.1, th.1987.

Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), cet.3,

th.2006.

Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1,

th.1999, hal.198

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta

: Paramadina ), cet.1, th.1996.

Richard E. Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar ), cet.2, th.2005.

Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an ( Jakarta : Gema Insani Press),

cet.1, th.2004.

----------------, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an,

(Makalah disampaikan di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam).

E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit

Kanisius), th.1999, hal.41.

Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin

“Hermeneutika Al-Qur‟an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1,

th.2003.

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, ( Jakarta : Khairul Bayan ), no.1,

th.2004.

Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon.

http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/.

Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta‟wil dan Hermeneutika, dalam

“http://anismasduki. blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-

dan.html”