herbisida alami
DESCRIPTION
Herbisida AlamiTRANSCRIPT
HERBISIDA ALAMI
Air Kelapa
Alat : Jerigen ukuran 10 Lt, Pisau
Bahan : Air kelapa 5 Lt, Ragi 20 – 30 butir, Bawang putih 300 gr (diiris), Roundap 1 Lt
Cara Pembuatan:
Bahan dicampur dan dimasukan kedalam jerigen. Simpan selama 30 hari. Setiap 2 hari tutup jerigen
dibuka untuk mengeluarkan gas.
Gus Bensol 11
G (garam, U (Urea), S (Sabun Colek), Ben (Bensin) dan Sol (Solar). Kemudian angka 11,
artinya semua bahan dengan perbandingan 1 (Kg) : 1 (Kg) : 1 (Wadah) : 1 (Liter) : 1 (Liter).
Alur G 12
Alur G 12, terbuat dari Al (Air Laut) 12 liter, Ur (Urea) 2 kg dan G (salah satu nama Herbisida
kontak) sebanyak 1 liter. Semua bahan dicampur dan kemudian dimasak hingga mendidih. Bahan ini
dipraktekkan pada lahan jagung.
Hervit Top 13
Hervit Top 13, berbahan Her (herbisida) 1 liter, Vit (Vitsin) 250 gram atau satu kantong dan Top
(Toak Pahit) sebanyak 3 liter. Semua bahan dicampur dan bisa digunakan langsung sebagaimana
biasanya.
Heragur AH5
Berbahan Ragi, Urea, Air Hujan dan Herbisida dengan perbandingan Ragi Tape (1 kantong), Urea (1
kg), Herbisida (R) 1 liter dan Air Hujan sampai dengan 5 liter. Semua bahan dicampur dan diaduk
sampai merata kemudian diperam dalam wadah yang kedap sinar dan disimpan selama 1
minggu. Racun rumput ini agar mudah mengingat bahan pembuatnya maka disebut Heragur AH5
sebagai maksudnya Her (herbisida), Rag (Ragi Tape), Ur (Urea) dan AH (Air Hujan) serta 5
maksudnya menjadi 5 liter.
Air Kakao (Air Fermentasi Kakao)
Bahan – bahannya Air Kakao, Sabun Colek, Urea dan Herbisida kontak (seperti G..). Cara dan
resepnya yaitu, memasak air biasa yang dicampur sabun colek (setengah kg) sambil terus diaduk
sampai rata atau larut dan mendidih. Setelah itu dicampurkan bahan-bahan lain seperi Urea ( 1 kg),
Herbisida (5 liter) dan Air Kakao (15 liter) dan diaduk hingga merata. Penggunaan racun rumput ini
ebanyak 200 ml untuk satu tangki Sprayer 16 literan. Biasa digunakan sebagai racun rumput kontak
untuk sawah. Kelemahan racun rumput ini adalah jika digunakan dengan Sprayer berbahan logam
akan mudah korosi atau berkarat.
Agar memudahkan mengingat maka penulis member nama resep ini dengan Arkosur H 515,
maksudnya Arko (Air Kakao), S (Sabun Colek), Ur (Urea), H (Herbisida) dan 515 (5 liter herbisida
dibandingkan 15 liter air kakao).
PEMANFAATAN SENYAWA ALELOPATI
Saat ini kebutuhan dan penggunaan herbisida kimia sintetis untuk tanaman perkebunan sangat tinggi.
Dalam rangka mendukung gerakan pertanian organik di Indonesia, diperlukan herbisida organik yang
efektif berskala komersial yang dapat menekan pertumbuhan gulma terutama pada tanaman
perkebunan lada.
Ada tiga jenis rumput yaitu masing-masing Dicanthium annulatum Stapf.,
Cenchruspennisetiformis Hochest and Sorghum halepense Pers., yang bersifat alelopatik dan mampu
berperan dan potensial sebagai bioherbisida (Javaid dan Anjum 2006). Dilaporkan pula bahwa
ekstrak terna dan akar dengan air dari ketiga jenis rumput tadi mampu menekan perkecambahan
gulma Parthenium
hysterophorus L. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa ekstrak terna dari rumput D. annulatum
Stapf., dan C. pennisetiformis Hochest mempunyai daya bunuh yang lebih kuat terhadap gulma P.
hysteriporus dibandingkan dengan S. halepense.
Beberapa jenis senyawa alelopati yang cukup potensial antara lain berasal dari ekstrak tumbuhan
alang-alang (Imperata cylindrica), akasia (Acacia mangium), jagung (Zea mays) dan pinus (Pinus
merkussi). Penggunaan senyawa alelopati dari keempat tumbuhan cukup prospektif karena relatif
mudah didapat, murah dan dengan jumlah biomas yang cukup memadai.
Ekstrak ini bisa didapat dari semua bagian alang-alang mulai dari akar, batang dan bagian lainnya.
Namun menurut penelitian, allelopathy paling banyak ditemukan pada bagian akarnya dan ekstrak
tersebut akan banyak jumlahnya jika akar yang digunakan banyak pula (http://www.pemanfaatan-
allelopathy -alang-alang.html 19 September
2011)
Alang-alang
Tumbuhan alang-alang merupakan gulma yang sangat merugikan petani lada di Kabupaten Beltim.
Namun demikian, alang-alang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioherbisida yang cukup
efektif dan potensial.
Ekstrak Rhizome alang-alang dan daun akasia mampu menekan panjang tunas jagung
(http://4m3one.wordpress.com. 21 desember 2010) . Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa eksudat
rhizome alang-alang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan gulma daun lebar. Namun
demikian, penggunaan ekstrak rhizome alang-alang perlu dibatasi mengingat ekstrak alang-alang
tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman semusim (http://hasanuzzaman.
weebly.com/allelopathy. pdf. 5 Juni 2011).
Akasia
Telah dilaporkan bahwa dari hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak alelopati dari daun, kulit
batang dan akar dari akasia (Acacia
mangium Wild) berpengaruh negatif terhadap perkecambahan benih kacang hijau (Phaseolus radiatus
L) dan benih jagung (Zea mays). Selanjutnya ditambahkan pula bahwa daya hambat senyawa
alelopati yang ada di Acacia mangium Wild pada benih jagung lebih tinggi dibanding pada benih
kacang hijau (Febian Tetelay 2003 dalam http://www.irwantoshut.com . 21 September 2011).
Selanjutnya dilaporkan pula bahwa allelokimia yang berasal dari ekstrak Imperata cylindrica dan A.
mangium mungkin bekerja mengganggu proses fotosintesis atau proses pembelahan sel. Penekanan
pertumbuhan dan perkembangan karena ekstrak alang-alang dan akasia ditandai dengan penurunan
tinggi tanaman, penurunan panjang akar, perubahan warna daun
(Dari hijau normal menjadi kekuning-kuningan) serta bengkaknya akar
(http://id.wikipedia.allelopati/wiki/2009).
c. Jagung (Zea mays )
Informasi mengenai daya hambat pertumbuhan yang disebabkan oleh senyawa alelopati yang ada di
jagung masih sangat terbatas. . Dalam sebuah laporan dinyatakan bahwa ekstrak akar jagung dapat
digunakan untuk menghambat gulma melalui peningkatan aktivitas enzim katalase dan peroksidase.
Dilaporkan pula bahwa sisa tanaman jagung mengandung lima jenis senyawa asam fenolat penyebab
alelopati yaitu asam verulat, as pkoumarat, asam siringat, asam vanilat, dan asam hidroksibenzoat
potensial untuk menekan gulma (Guenzi dan Mc Calla 1966).
d. Pinus
Dari beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon pinus menunjukkan tidak ada
pertumbuhan tanaman herba, hal tersebut diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah
mengeluarkan zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut diperkuat dengan
hasil uji efektivitas ektrak daun pinus menunjukkan bahwa senyawa alelopati yang terdapat dalam
ekstrak daun pinus dapat menghambat perkecambahan benih Amaranthus viridis
(http://digilib.upi.edu/pasca/available. 29 September 2011). Lebih lanjut Noguchi et al. 2009
melaporkan pula bahwa ektrak metanol daun pinus merah dapat menghambat pertumbuha akar dan
batang tanaman seledri (Lepidium sativum), selada (Lactuca sativa), alfalfa (Medicago sativa), dan
gandum hitam (Lolium multiforum), Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada
daun pinus merkusii mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan
gulma yang dapat menganggu pertumbuhan produksi tanaman pangan antara lain tanaman padi. Salah
satu gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi adalah Echinochloa colonum dan
Amaranthus viridis.
Pinus merkusii memiliki saluran resin yang dapat menghasilkan suatu metabolit sekunder bersifat
alelopati. Alelokimia pada resin tersebut termasuk pada kelompok senyawa terpenoid, yaitu
monoterpen α-pinene dan β-pinene dan senyawa tersebut diketahui bersifat toksik baik terhadap
serangga maupun tumbuhan (Taiz dan Zeiger, 1991).. Selain itu, senyawa tersebut merupakan bahan
utama pada pembuatan terpentin. Monoterpen (C–10) merupakan minyak tumbuh-tumbuhan yang
terpenting yang juga bersifat racun (Sastroutomo 1990).
UJI EKSTRAK DAUN GULMA BABADOTAN (Ageratum conyzoides L.) TERHADAP
PERKECAMBAHAN DAN PERTUBUHAN GULMA Chromolena odorata L.
PENDAHULUAN
Gulma merupakan tumbuhan yang tidak dikehendaki keberadaannya dan menimbulkan kerugian
sehingga perlu dikendalikan (Monaco, 2002). Pengendalian gulma merupakan suatu usaha untuk
mengubah keseimbangan ekologis yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma, tetapi tidak
berpengaruh negatif terhadap tanaman budidaya (Sukman dan Yakup, 2002). Pengendalian gulma
dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan bahan kimia (herbisida). Herbisida dapat
dibagi menjadi herbisida sintetik dan herbisida organik (bioherbisida). Penggunaan herbisida sintetik
dapat menimbulkan berbagai masalah, yaitu biaya penyediaan herbisida yang mahal, pencemaran
lingkungan, penurunan kadar organik tanah, dan gulma menjadi toleran terhadap jenis herbisida
tertentu. (Duke et. al, 1993).
Alternatif lain agar terhindar dari masalah tersebut dengan menggunakan bioherbisida yaitu berasal
dari tumbuhan yang mengandung senyawa alelopat yang dapat menghambat atau mematikan
pertumbuhan tanaman sekitar. Bioherbisida ini ramah lingkungan karena tidak mengandung bahan
berbahaya, tidak meninggalkan residu atau mencemari tanah sehingga aman bagi manusia maupun
hewan, dan telah banyak digunakan dalam sistem pertanian organik (Anonim, 2009).
Babadotan (Ageratum conyzoides L.) merupakan salah satu gulma yang dapat berpotensi sebagai
bioherbisida karena mempunyai senyawa alelopat. Potensi ini dapat dilihat dari indikasi dominannya
babadotan dibandingkan gulma lain dalam suatu lahan (Sukamto, 2007). Muhabbibah (2009) telah
melakukan penelitian tentang potensi ekstrak basah daun dan batang babadotan terhadap persentase
perkecambahan gulma Mimosa pudica dalam petridish selama sembilan hari, didapatkan hasil bahwa
konsentrasi ekstrak 15% berpengaruh menekan paling besar terhadap laju perkecambahan pada
spesies Mimosa pudica dibandingkan konsentrasi yang lain ( 0, 2,5, 5 dan 10% ).
Khairiyati (2013) telah melakukan penelitian tentang potensi alelopati ekstrak daun kering
Calopogonium mucunoides terhadap perkecambahan dan pertumbuhan gulma Paspalum conjugatum
Berg. dan Cyperus kyllingia. Penelitian ini dilakukan selama empat minggu, menggunakan pelarut
aquades dengan masing-masing konsentrasi ekstrak yaitu ( 0, 2, 6, 18, dan 54%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun Calopogonium mucunoides dengan konsentrasi rendah
(2, 6, 18 %) sudah berpengaruh nyata terhadap perkecambahan, pertumbuhan dan meningkatkan
persentase kematian anakan gulma Paspalum conjugatum dan Cyperus kyllingia. Sedangkan
konsentrasi 54% kurang efektif karena hanya sedikit terjadi peningkatan persentase penurunan
perkecambahan dan pertumbuhan maupun persentase kematian gulma. Selain itu, ekstrak terlalu
kental dan membutuhkan daun Calopogonium mucunoides sebagai pengendali dalam jumlah yang
banyak, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu meningkatkan konsentrasi yang lebih tinggi.
Gulma sasaran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gulma Chromolaena odorata yang
merupakan gulma yang dominan dan merugikan di lahan perkebunan. Chromolaena odorata banyak
ditemukan di perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, jambu mente dan sebagainya (Muniappan dan
Marutani, 1988).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh alelopat ekstrak daun Ageratum
conyzoides terhadap perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolaena odorata, dan menentukan
konsentrasi optimum alelopat ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides yang dapat menghambat
perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolaena odorata.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Laboratorium Botani dan di Rumah Kasa
Kebun Biologi FMIPA Universitas Riau.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji gulma Chromolena odorata, daun Ageratum
conyzoides, aquades, tanah top soil, dan formalin 4%. Sedangkan alat yang digunakan adalah blender,
kertas saring, timbangan digital, polibag (35 x 40 cm), handsprayer, ayakan tanah, kertas label,
penggaris dan alat tulis.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak daun Ageratum conyzoides 5 % yaitu ditimbang daun Ageratum conyzoides
sebanyak 25 g bubuk daun kering kemudian direndam dengan 500 ml akuades selama 24 jam dalam
suhu ruang, campuran tersebut kemudian disaring. Cara yang sama juga dilakukan untuk konsentrasi
ekstrak 10 % dari 50 g berat kering daun, 15 % dari 75 g berat kering daun dan 20 % dari 100 g berat
kering daun. Kontrol dibuat dengan menggunakan akuades tanpa penambahan ekstrak.
Persiapan Media
Tanah top soil dikeringanginkan, lalu diayak. Tanah yang sudah diayak kemudian disterilisasikan
dengan menyemprotkan formalin 4% dan diinkubasi selama 3 hari. Setelah itu, tanah
dikeringanginkan selama 7 hari, kemudian dimasukkan ke dalam polibag (35 x 40 cm). Polibag-
polibag tersebut diletakkan di kebun Biologi FMIPA, Universitas Riau.
Pengumpulan Biji Gulma
Biji gulma Chromolaena odorata diambil dari gulma yang tumbuh liar di daerah sekitar Panam.
Biji dikumpulkan dari gulma yang telah masak dengan tanda berwarna kekuningan atau coklat, biji
dikeluarkan dari buah dan direndam dalam air. Biji yang tenggelam diambil dan digunakan pada
penelitian.
Penyemaian Biji Gulma
Polibag yang telah berisi tanah disiram hingga kapasitas lapang, kemudian biji gulma Chromolaena
odorata disebarkan merata diatas permukaan tanah, masing-masing 20 biji dalam polibag.
Perlakuan Penelitian
Pemberian ekstrak daun Ageratum conyzoides dengan cara penyemprotan dilakukan pada jam 10 pagi
dimulai pada saat penanaman. Penyemprotan pada biji sebanyak 10 mL dilakukan sampai biji gulma
dan tanah di sekitar biji lembab, sedangkan untuk penyemprotan anakan gulma sebanyak 20 mL
dilakukan merata ke seluruh daun dan juga tanah. Pemberian ekstrak selanjutnya dilakukan setiap 3
hari sekali selama 4 minggu waktu pengamatan dengan total 11 kali perlakuan (Khairiyati, 2013;
Murtini, 2013)
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan secara rutin pada saat tidak diberikan perlakuan untuk menjaga kelembaban
tanah dan dilakukan penyiangan untuk membersihkan tumbuhnya gulma lain yang tidak diinginkan.
Pemanenan Gulma
Pemanenan anakan gulma Chromolaena odorata, dilakukan pada saat akhir minggu keempat setelah
penanaman biji. Pemanenan anakan gulma dilakukan dengan merobek masing-masing polibag dan
mengeluarkan gulma secara hati-hati. Tanah yang melekat dibersihkan dengan air. Kemudian anakan
gulma diletakkan beberapa menit di atas kertas koran untuk menyerap air yang tersisa.
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati meliputi saat muncul kecambah, persentase perkecambahan, kecepatan
perkecambahan, jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, berat akar, berat basah dan persentase
kerusakan anakan gulma.
Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis dengan menggunakan Analysis Of
Variante (ANOVA) One Way. Apabila hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata,
diuji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multi Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Data dianalisis
dengan menggunakan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Perkecambahan Chromolena odorata L.
Hasil uji DMRT menunjukkan, waktu muncul kecambah yang lambat dan penurunan persentase
perkecambahan gulma mulai terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 10%, sedangkan penurunan
kecepatan perkecambahan mulai terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 5%. dan semakin tinggi
konsentrasi ekstrak maka kemampuan perkecambahannya semakin menurun. Penghambatan
perkecambahan yang terjadi pada gulma Chromolena odorata tertinggi terlihat pada konsentrasi
ekstrak daun 20%, yaitu mampu menurunkan persentase perkecambahan Chromolena odorata
mencapai 73,2 % dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan parameter perkecambahan Chromolena
odorata L. terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkecambahan Chromolena odorata L. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun Ageratum
conyzoides L.
Konsentrasi
Ekstrak
Saat Muncul Kecambah
(Hari)
Persentase
Perkecambahan (%)
Kecepatan Perkecambahan
(Biji/hari)
0% 3.2 a 77 c 0.55 c
5% 4.4 ab 37 b 0.26 b
10% 5.0 ab 28 ab 0.20 ab
15% 6.0 bc 25 ab 0.18 ab
20% 7.6 c 15 a 0.11 a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji
lanjut DMRT taraf 5%
Penurunan kemampuan perkecambahan biji gulma Chromolena odorata diduga karena adanya
senyawa alelopat dalam ekstrak daun Ageratum conyzoides. Menurut Master (2012) bahwa alelopat
mampu menurunkan perkecambahan biji dan memperlambat waktu perkecambahan, karena senyawa
alelopat mengakibatkan terjadinya penghambatan aktivitas enzim-enzim yang melakukan degradasi
cadangan makanan dalam biji sehingga energi tumbuh yang dihasilkan sangat rendah dan dalam
waktu lebih lama akan menurunkan potensi perkecambahan. Sastroutomo (1990) menyatakan bahwa
mekanisme alelopati antara lain menghambat aktivitas enzim. Menurut Fitter dan Hay (1991)
alelopati dapat menyebabkan terjadinya degradasi enzim dari dinding sel, sehingga aktivitas enzim
menjadi terhambat atau mungkin menjadi tidak berfungsi. Hambatan fungsi enzim α amylase dan ß
amylase pada degradasi karbohidrat, enzim protease pada degradasi protein, enzim lipase pada
degradasi lipida dalam benih menyebabkan energi tumbuh yang dihasilkan selama proses
perkecambahan menjadi sangat sedikit dan lambat, sehingga proses perkecambahan menurun dan
waktu munculnya kecambah semakin lambat.
Biji gulma Chromolena odorata L. yang diberikan ekstrak daun Ageratum conyzoides dengan
konsentrasi tinggi sebagian mengalami penghambatan untuk berkecambah, sehingga hanya sedikit
yang mampu berkecambah. Hal ini menandakan bahwa ekstrak dari daun gulma Ageratum
conyzoides sangat mempengaruhi perkecambahan biji gulma Chromolena odorata. Wirakusumah
(2003) menyatakan bahwa alelopati yang dihasilkan tanaman dapat memberikan pengaruh yang
bersifat merusak, menghambat, dan merugikan bagi tanaman dilingkungan sekitarnya.
b. Pertumbuhan Chromolena odorata L.
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang nyata pada perlakuan
konsentrasi ekstrak daun Ageratum conyzoides L. terhadap pertumbuhan anakan gulma Chromolena
odorata L. Hasil pengamatan parameter pertumbuhan anakan gulma Chromolena odorata L. dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pertumbuhan Chromolena odorata L. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun Ageratum
conyzoides L
Konsentrasi
Ekstrak
Jumlah
Daun
Tinggi Tanaman
(cm)
Berat Akar (g) Panjang Akar
(cm)
Berat Basah
(g)
0% 4.12 b 2.48 c 0.17 c 2.20 c 0.34 c
5% 3.66 b 1.98 bc 0.13 bc 1.90 bc 0.26 b
10% 3.48 b 1.94 ab 0.12 b 1.58 abc 0.22 b
15% 3.32 b 1.58 ab 0.10 ab 1.34 ab 0.22 b
20% 2.16 a 1.42 a 0.08 a 96 a 0.12 a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji
lanjut DMRT taraf 5%
Hasil uji DMRT menunjukkan adanya respon terhadap peningkatan konsentrasi ekstrak daun
Ageratum conyzoides terhadap pertumbuhan anakan gulma. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun
Ageratum conyzoides yang diberikan, mengakibatkan pertumbuhan gulma Chromolena odorata.
Penghambatan tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak daun 20%, rerata penurunan pertumbuhan
anakan gulma Chromolena odorata yaitu sebesar 64,70 % dibandingkan kontrol. Pertumbuhan anakan
gulma Chromolena odorata dengan perlakuan ekstrak daun Ageratum conyzoides dapat dilihat pada
Gambar 1.
Mekanisme pengaruh alelokimia yang dapat menghambat pertumbuhan gulma Chromolena odorata
L. melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, menurut Einhellig (1995) proses tersebut
diawali di membran plasma dengan terjadinya perubahan struktur, modifikasi saluran membran, atau
hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion
dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan
berikutnya diduga terjadi pada saat proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta
aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada
terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan sasaran.
Tanaman Ageratum conyzoides diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid,
alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Kamboj dan
Saluja, 2008). Menurut Sukamto (2007) bahwa kemampuan alelopati daun Ageratum conyzoides
sebagai alelopati diidentifikasi karena adanya 3 phenolic acid yaitu gallic acid, coumalic acid dan
protocatechuic acid. Adanya senyawa fenol pada daun Ageratum conyzoides dapat menghambat
pertumbuhan gulma. Hal ini sesuai dengan Einhellig (1995) yang menyatakan bahwa senyawa fenol
dan derivatnya akan mempengaruhi beberapa proses penting seperti pembelahan sel, penyerapan
mineral, keseimbangan air, respirasi, fotosintesis, sintesis protein, klorofil dan fitohormon. Menurut
Wattimena (1987) gangguan mitosis oleh senyawa fenol disebabkan karena fenol merusak benang-
benang spindel pada saat metafase. Hambatan pembelahan sel oleh senyawa alelokimia ekstrak daun
Ageratum conyzoides dapat pula melalui gangguan aktivitas hormon tumbuhan seperti sitokinin yang
berperan dalam memacu pembelahan sel. Menurut Ardi (1999) bahwa adanya senyawa alelokimia
berupa fenol akan menghambat aktivitas sitokinin. Hambatan ini menyebabkan pembelahan sel pada
bagian meristem pucuk terganggu sehingga menghambat pertumbuhan tinggi gulma Chromolena
odorata. Hambatan pertumbuhan tinggi gulma Chromolena odorata. berpengaruh menurunkan berat
basah karena organ yang menyerap air dan hasil fotosintesis lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan
pendapat Alfandi dan Dukat (2007) bahwa pertumbuhan tinggi tanaman berpengaruh terhadap berat
basah tanaman. Senyawa alelokimia pada ekstrak daun Ageratum conyzoides. cenderung memberikan
pengaruh terhadap penurunan berat basah gulma Chromolena odorata pada konsentrasi 5 %.
c. Kerusakan Anakan Gulma Chromolena odorata L.
Berdasarkan hasil uji DMRT dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun Ageratum
conyzoides berpengaruh nyata pada kerusakan anakan gulma Chromolena odorata. Hasil pengamatan
persentase kerusakan anakan gulma dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Persentase Kerusakan Anakan Gulma Chromolena odorata L. pada berbagai
konsentrasi ekstrak daun Ageratum conyzoides L.
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji
lanjut DMRT taraf 5%
Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa persentase kerusakan yang terjadi pada
anakan gulma meningkat seiring bertambahnya tingkat konsentrasi ekstrak daun Ageratum
conyzoides. Peningkatan persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata berbeda nyata
dimulai pada konsentrasi ekstrak 15 %, namun pada konsentrasi ekstrak 5 % sudah menunjukkan
adanya peningkatan persentase kerusakan apabila dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan
persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata terjadi pada konsentrasi ekstrak 20%, yaitu
mencapai 46.66 %.
Kerusakan pada anakan gulma mulai terjadi pada minggu ketiga, yaitu terjadi perubahan warna daun
yang semula hijau berubah menjadi kekuningan, hal ini merupakan gejala dari klorosis. Klorosis
merupakan suatu keadaan abnormal yang terjadi pada daun akibat kekurangan klorofil, sehingga dapat
menghambat proses fotosintesis. Jika proses fotosintesis pada tumbuhan terhambat, maka
pembentukan glukosa yang merupakan produk dari fotosintesis juga akan terhambat, glukosa
dibutuhkan dalam proses respirasi sel yang bertujuan untuk menghasilkan energi yang akan
digunakan untuk aktivitas sel dan kehidupan sel. Aktivitas sel akan terhenti jika energi didalam sel
tidak dihasilkan. Klorosis dapat juga terjadi akibat masuknya senyawa alelopat yang terkandung
dalam ekstrak daun Ageratum conyzoides bersama air. Salah satu dari fungsi air bagi tumbuhan
adalah menjadi bahan dasar bagi reaksi-reaksi biokimia. Molekul air dapat berinteraksi secara
)%( Persentase Kerusakan
Ekstrak Konsentrasi
0% 0.00 a
5% 6.60 ab
10% 18.33 ab
15% 28.83 bc
20% 46.66 c
langsung sebagai komponen reaktif dalam proses metabolisme didalam sel tumbuhan. Beberapa
reaksi didalam tumbuhan yang melibatkan air secara langsung sebagai komponen reaksi adalah
fotosintesis. Jika tumbuhan kekurangan air, maka proses fotosintesis tidak berjalan, sehingga tidak
akan dihasilkan glukosa dan klorofil didalam kloroplas tidak terpakai, sebab dalam proses fotosintesis
yang bertugas menyerap energi cahaya matahari untuk menggerakan sintesis molekul makanan dalam
kloroplas adalah klorofil, hal ini mengakibatkan klorofil terdegradasi (Larasati, 2011).
Gejala kerusakan gulma Chromolena odorata selain klorosis dan nekrosis yaitu terjadinya kelayuan
pada gulma. Menurut Yusuf (2011) bahwa layu merupakan gejala sekunder yang disebabkan karena
adanya gangguan dalam berkas pengangkutan atau adanya kerusakan pada susunan akar yang
menyebabkan penguapan dengan pengangkutan air tidak seimbang. Pada penelitian ini gejala
kelayuan pada anakan gulma mulai terlihat pada konsentrasi 10 % ekstrak. Semakin tinggi
kandungan senyawa alelopati yang terakumulasi dalam tanah menyebabkan terjadinya perbedaan
potensial air antara larutan dalam tanah dan jaringan gulma. Air yang berada dalam jaringan gulma
akan keluar, sehingga mengakibatkan gulma menjadi layu.
Pengaplikasian ekstrak daun Ageratum conyzoides sebagai bioherbisida ini apabila dilihat dari sistem
kerjanya tergolong sistemik yaitu cara kerja ekstrak daun Ageratum conyzoides ditranslokasikan
keseluruh tubuh atau bagian jaringan gulma, mulai dari daun sampai keperakaran atau sebaliknya dan
tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara menganggu
proses fisiologi jaringan tersebut lalu dialirkan kedalam jaringan tanaman gulma dan mematikan
jaringan sasaran seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai keperakaran. Efek terjadinya hampir sama
merata keseluruh bagian gulma, mulai dari bagian daun sampai perakaran, sehingga proses
pertumbuhan juga terjadi sangat lambat dan rotasi pengendalian dapat lebih lama atau panjang (Purba,
2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Ageratum
conyzoides berpengaruh nyata menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan serta meningkatkan
persentase kerusakan pada anakan gulma Chromolena odorata. Konsentrasi ekstrak daun 20%
merupakan konsentrasi optimum yang dapat menghambat perkecambahan, pertumbuhan serta
meningkatkan persentase kerusakan anakan gulma Chromolena odorata berturut-turut sebesar 73,2
%, 64,70 % dan 46,66 %. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapat maka disarankan melakukan
uji alelopat dari ekstrak daun gulma Ageratum conyzoides terhadap jenis gulma berdaun lebar,
berdaun sempit dan jenis teki lain untuk mengetahui potensi alelopat dari ekstrak daun gulma
Ageratum conyzoides tersebut.
LAPORAN PRAKTIKKUM ILMU GULMA
“PENGARUH EKSTRAK JENGKOL TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA”
1.1 Latar Belakang
Menurut Prof Bill, gulma adalah tumbuhan yang salah tempat. Beliau menyatakan ada 2 pengertian
yaitu : a) tumbuhan ruderal; b) tumbuhan liar. Sedangkan Mangun sukardjoe (1983), menyatakan
bahwa gulma adalah tumbuhan yang mempunyai nilai (-) atau merugikan kepentingan manusia baik
langsung maupun tidak langsung. Kemudian Soeryani (1988) mengemukan bahwa gulma adalah
sebagai tumbuhan yang peranan, poetnsi, dan hakikat kehadriannya tidak / belum diketahui.
Sehingga secara subjektif, gulma dapat didefenisikan sebagai berikut :
1) Tumbuhan yang tidak dikehendaki manusia;
2) Semua tumbuhan yang tumbuh selain tanaman yang dibudidayakan ;
3) Tumbuhan yang masih belum diketahui manfaatnya;
4) Tumbuhan yang mempunyai nilai (-) terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung;
5) Tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan.
Dari berbagai pengertian gulma tersebut dapat juga diketahui pengaruh negatif gulma terhadap
aktivitas tertentu dalam kehidupan, yaitu :
1. Dapat mengakibatkan kerugian terhadap tanaman yang dibudidaya
2. Biaya lebih tinggi, baik itu biaya herbisida mapun buruh
3. Dampak sosial
4. Dampak lingkungan
5. Berkurangnya hasil baik secara kuantitas dan kualitas
6. Gulma akam mengeluatkan zat alelopati yang dapat menganggu tanaman
7. Gulma akan bisa menjadi inang sementara bagi hama dan patogen
8. Gulma dapat mengganggu tata guna air, yakni aliran air dapat terhambat, biji –biji gulma ikut
mengalir ( penyebaran biji gulma)
9. Mengganggu saat panen
10. Mengganggu estetika ( mengurangi nilai keindahan)
Maka secara umum dengan kehadiran gulma ini akan meningkatkan biaya petani, karena
pengendaliannya. Saat ini pengendalian gulma masih terbatas sejauh dengan pemanfaatanya yang
belum diketahui. Namum tidak jarang para peneliti yang memanfaatkan gulma sebagai pengendalian
hayati bagi serangga hama ataupun patogen. Misalnya sebagai pestisida nabati, fungisisda nabati dan
lain-lain.
Didalam pengaruh negatif gulma telah singgung mengenai zat alelopati. Zat alelopati ini bisa
saja dihasilkan oleh gulma atau produk tanaman tertentu misalnya akar, batang, daun atau buah ( kulit
buah). Contohnya tanaman jengkol. Jengkol atau jering dalam bahasa latin Pithecollobium Jiringa
atau Pithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara, termasuk yang
digemari di Malaysia, Thailand dan Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat yang seharinya
dikonsumsi ±100 ton. Jengkol termasuk tanaman polong-polongan. Buahnya berupa polong dan
bentuknya gepeng berbelit, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat
mengilap. Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15 m, dengan ranting menggantung.
Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan satu kelenjar atau lebih dan
berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung tumpul 1,5-5 x 1-2,5
cm. Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung ranting dalam malai.
Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari luar berambut. Benang sari
banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi tabung. Bakal buah
berambut, bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau menggulung dalam 1-
2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm. Biji 1-10 mengkilap
berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak sempurna (Steenis; 1975). Jengkol
dapat menimbulkan bau tidak sedap setelah diolah dan diproses oleh pencernaan.
Bau ini timbul karena adanya kandungan asam-asam amino yang terkandung di dalam biji jengkol.
Asam amino itu didominasi oleh asam amino yang mengandungunsur Sulfur (S). Ketika terdegradasi
atau terpecah-pecah menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan berbagai
komponen flavor yang sangat bau, karena pengaruh sulfur tersebut. Salah satu gas yang terbentuk
dengan unsur itu adalah gas H2S yang terkenal sangat bau.Tetapi dalam hal ini yang berkaitan dengan
pengendalian gulma adalah alelopat yang dikandung oleh jengkol, yakni pada kulit jengkol.
Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam kulit
jengkol (terpenoid, saponin, asam fenolat serta alkaloid) ampuh untuk melindungi tanaman dari
serangan hama. Unsur tannin dan flavanoid dalam kulit jengkol ternyata sama ampuhnya dengan
tannin pada tumbuhan berkayu dan herba yang berfungsi untuk memproteksi diri dari hama. Dengan
adanya kandungan tannin ini, kulit jengkol kemudian memiliki potensi untuk digunakan sebagai
pestisida alami setelah diracik bersama tumbuhan lainnya. Pemanfaatan limbah kulit jengkol masih
jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu dekomposisi kulit buah
jengkol selama 5 hari dapat menurunkan nyata beberapa parameter pertumbuhan empat jenis gulma
penting, yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus iria (rumput menderong), Cynodon
dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera sessilis (kremah) (Enni Suwarsi, 2002).
Artinya kandungan alelopat dalam kulit jengkol mampu menghambat pertumbuhan gulma
tertentu. Hal inilah yang mendasari penulis untuk membuktikan hal tersebut dengan melakukan
percobaan (praktikkum) yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Jengkol Terhadap Pertumbuhan
Gulma”.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum ini yaitu untuk mengidentifikasi gulma yang tumbuh pada lahan berkstrak
jengkol, serta mengetahui efek pemebrian ekstrak jengkol terhadap pertumbuhan gulma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jengkol dan Kandungannya
Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui memiliki senyawa bioaktif antara lain alkaloid,
terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang berfungsi sebagai insektisida dan repelen
(Campbell, 1933, Burkill, 1935). Sedikitnya sudah ada 2000 tumbuhan dari berbagai famili yang
dilaporkan dapat berpengaruh buruk pada organisme pengannggu tanaman (Grainge dan Ahmed,
1988; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya tedapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif
terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Jengkol merupakan tanaman yang memiliki tinggi 5-15
m, dengan ranting menggantung. Tanaman ini memiliki tangkai daun utama dan poros sirip dengan
satu kelenjar atau lebih dan berambut. Bentuk daun elips atau bulat telur terbalik miring dengan ujung
tumpul 1,5-5 x 1-2,5 cm.Bunga beraturan, berbilangan lima. Bongkol berbunga 15-25 pada ujung
ranting dalam malai. Kelopak bergigi sampai berlekuk. Tabung mahkota berbentuk corong, dari luar
berambut. Benang sari banyak, panjang lebih kurang 1 cm; tangkai sari pada pangkal bersatu menjadi
tabung. Bakal buah berambut, bertangkai, merah. Polongan bulat silindris, seringkali bengkok atau
menggulung dalam 1-2 puntiran, diantara biji seringkali menyempit, panjang 6-12 cm, lebar 1 cm.
Biji 1-10 mengkilap berwarna hitam dengan selumbung biji putih atau ros yang tidak sempurna
(Steenis; 1975).
Pemanfaatan limbah kulit jengkol masih jarang dilakukan, meskipun telah ada beberapa penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui dekomposisi dari kulit jengkol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa waktu dekomposisi kulit buah jengkol selama 5 hari dapat menurunkan nyata beberapa
parameter pertumbuhan empat jenis gulma penting, yaitu Echinochloa crussgalli (jajagoan), Cyperus
iria (rumput menderong), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan Alternanthera sessilis (kremah)
(Enni Suwarsi, 2002).
Dari hasil penelitian (Rahayu dan Pukan,1998) diungkapkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam
kulit jengkol yaitu alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat.
2.2 Gulma dan Ekstrak Kulit Jengkol
Gulma merupakan bagian dari kehidupan pertanian sehari-hari. Dengan adanya gulma ini, petani jadi
menyisihkan sebagian dana dan tenaga untuk menyingkirkannya. Memang gulma merupakan tanaman
yang kontrofersial, meskipun harus tergantung dari segi mana meninjaunya. Petani dalam suatu sistem
pertanian ingin mencapai hasil yang menguntungkan dan maksimal. Sehingga pada anggapannya
untuk mencapai tujuan itu lahan harus selalu bersih dan bebas dari
gulma. Penurunan hasil dari gulma dapat mencapai 20 – 80% bila gulma tidak
disiangi (Moenandir, 1993).
Ada beberapa cara pengendalian gulma diantaranya pengendalian secara
kimia yang dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Herbisida berarti suatu
senyawa kimia yang digunakan sebagai pengendali gulma tanpa mengganggu
tanaman pokok. Dengan semakin pesatnya penggunaan herbisida kimia lama
kelamaan menimbulkan efek negatif bagi tumbuhan, maka petani berusaha untuk
mendapatkan senyawa-senyawa yang baru yang berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida yang
dapat dikomersialkan. Dalam pembuatan herbisida ini yang menjadi masalah adalah mahalnya biaya
pembuatan dan registrasi herbisida serta terbatasnya sumber-sumber bahan baku yang tersedia. Selain
itu penggunaan herbisida kimia secara terus menerus akan mengakibatkan resistennya suatu gulma
tertentu. Untuk itu perlu dicari alternatif lain seperti halnya dengan penggunaan senyawa alelopati
sebagai bioherbisida (Sukman, 1995).
Berdasarkan uji senyawa kimia, ternyata kulit jengkol
yang didekomposisi selama lima hari banyak mengandung senyawa penghambat,
yaitu berbagai macam asam lemak rantai panjang dan fenolat (Enni dan Krispinus,
1998), Dua golongan senyawa ini termasuk kedalam senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan tumbuhan lain (Enni, 1998 cit Einhellig, 1995).
Penelitian mengenai potensi kulit buah jengkol sebagai herbisida alami pada
pertanaman padi sawah telah dilakukan pada lahan pertanian di Semarang. Dalam
penelitian tersebut sawah yang tergenang air setinggi 5 cm ditebarkan dengan kulit
jengkol yang telah diiris melintang setebal 1 cm sebanyak 1 kg per meter persegi.
Dari penelitian ini terbukti kulit jengkol dapat menekan pertumbuhan gulma
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Tempat : lahan percobaan fakultas pertanian, universitas jambi
Waktu : praktikum ini dilaksanakan mulai dari tanggal sampai dengan 2012
3.2 Alat dan Bahan
Cangkul per kelompok masing-masing 1 buah
Gunting
Lesung ( gilingan kulit jengkol) 1 buah
Pisau atau parang
Plastik ukuran 5 kg
Tali rapiah 1 rol kecil
Baskom besar 1 buah
Penggerus (untuk menggerus tumbukan kulit jengkol dalam lesung)
Kulit jengkol 1 kg
Air 5 liter per kosentrasi tiap kelompok
3.3 Langkah Kerja
1. Siapkan lahan berukuran 120cm x 100cm. Kemudian bersihkan dan buat hingga membentuk
bedengan, ini dilakukan oleh tiap-tiap kelompok.
2. Lahan diolah dengan menggeburkan tanahnya.
3. siapkan kulit jengkol sebanyak 1 kg, tumbuk menggunakan lesung hinga halus ( alelopati nya
keluar).
4. Tiap kelompok mengambil tumbukan kulit jengkol sesuai konsentrasinya, yaitu;600g,500g, 400g,
300g,200g,dan 100g. Tiap-tiap konsentrasi diberi volume air 5 liter.
5. Ekstrak kulit jengkol tersebut direndam dalam volume air tersebut dan dibiarkan selama 2 minggu.
6. Seteah ekstrak jengkol siap, segera aplikasikan ke petakan yang telah diolah ( digemburkan) dan
yang diberi label A. Label A untuk petakan yang diberi ekstrak jengkol sebelum gulma tumbuh.
Sedangkan B untuk petakan yang diaplikasi ekstrak jengkol setelah 10 hari pengolahan petakan atau
10 hari setelah aplikasi ke petakan A.
7. Petakan dibiarkan selama seminggu dan diamati tiap perubahan serta perbedaan petak A dan B.
Catat jumlah gulma yang ada pada masing-masing petakan.
8. Petelah 10 hari, di beri ektrak jengkol dengan konsentrasi yang sama dengan petakan A.
9. Amati gulma yang tumbuh dan hitung pula jumlahnya pada masing-masing petakan.
10. Buatlah laporannya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Tabel pengamatan
No Jenis gulma Jumlah gulma Keterangan
Petakan A Petakan B
P.I P.II P.I P.II
1 A 137 152 181 209
2 B - - 17 21
3 Mimosa pudica 46 37 93 102
4 Teki—tekian 156 177 359 405
5 Paspalum
conjugatum Berg
6 11 10 17
6 Meniran 3 7 15 21
7 Belimbing tanah 1 3 2 7
Jumlah 349 387 677 782
Keterangan :
P.I : Pengamatan I ( aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung setelah lahan diolah).
P.II : Pengamatan II ( aplikasi ekstrak kulit jengkol 10 hari setelah lahan diolah).
A dan B : Jenis gulma berdaun lebar yang belum diidentifkasi jenisnya.
Petakan A : Petakan dengan aplikasi ekstrak kulit jengkol langsung setelah lahan diolah
Petakan B : Petakan dengan aplikasi ekstrk kulit jengkol
4.2.1 Pembahasan
Berdasarkan data yang didapat dari lapangan mengenai pertumbuhan gulma dengan disertai aplikasi
ekstrak kulit jengkol dapat pula diketahui bahwa melihat dari jumlah P.I dan P.II pada sebelum gulma
tumbuh ( petakan A) dan setelah gulma tumbuh (Petakan B). Ternyata gulma jumlah gulma yang
tumbuh pada petakan A lebih sedikit dibandingkan gulma yang tumbuh di petakan B. Tetapi gulma
yang tumbuh pada petak perlakuan justru berbanding terbalik dengan control perlakuan. Pada control
perlakuan gulma yang tumbuh jauh lebih sedikit, tidak banyak gulma yang tumbuh. Seharusnya pada
control gulma lebih banyak agar perbedaan aplikasi ekstrak jengkol dengan non-aplikasi ekstrak
jengkol terlihat jelas adanya pengaruh ekstrak jengkol sebagai alelopati pengahambat pertumbuhan
gulma. Tetapi ada beberapa hal yang terjadi dilapangan yang tidak sesuai dengan dugaan. Yakni
gulma pada petakan B justru menjadi lebih subur setelah diberi ekstrak kulit jengkol.
Kemungkinan besar pemberian ekstrak jengkol pada petakan B ini, yang bekerja dari ekstrak kulit
jengkolnya adalah auksin. Sementara alelopati nya tidak bekerja. Juga dapat dikarenakan pada
pengaplikasian ekstrak kulit jengkol yang disiram dipermukaan tanah, tidak tercampur dengan tanah.
Sehinggga tidak diserap akar dan tidak tersimpan. Ampas-ampas ekstak kulit jengkol juga tertabur
diatas petakan B. Sedangkan pada Petakan A gulma yang tumbuh memang jauh lebih sediki. Dan hal
ini benar menunjukan benar adanya pengaruh alelopati ekstrak jengkol yang diaplikasikan sebelum
gulma tumbuh. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena pada petakan B aplikasi ekstrak kulit jengkol
langsung diberikan setelah tanah diolah, sehingga ekstrak tersebut tersimpan didalam tanah, dan biji-
biji gulma yang ada didalam tanah sulit untuk tumbuh.
Di galangan antar petakan banyak didominasi gulma berdaun sempit, jika dibandingkan
dengan petakan yang ada beberapa gulma yang tumbuh adalah gulma berdaun lebar. Hal tersebut
terjadi, kemungkinan besar karena bentuk cekatan—cekatan antara petakan satu dengan yang lainnya
agak cekung, sehingga ketika hujan kandungan air di galangan dengan di petakan berbeda. Bisa saja
di galangan kandungan airnya lebih banyak, dan terus dalam keadaan lembab (berair) biasanya gulma
yang tumbuh dalam keadaan tanah berkandungan air tinggi dan terdapat pada tempat terbuka adalah
jenis gulma yang berdaun sempit. Contohnya pada galangan di persawahan, banyak gulma berdaun
sempit yang mendominasi. Dipetakan juga kebanyakan gulma berdaun sempit, namun ada sebagian
yang berdaun lebar.
Namun secara ketidaksesuaian keadaan dilapangan dengan dugaan awal serta tujua
kemungkinan besar disebabkan mulai dari pengolahan ekstrak kulit jengkol yang tidak sesuai
prosedur. Pembuatan ekstrak kulit jengkol tidak sekaligus, sehingga ada sebagian kulit jengkol yang
sudah agak kering, dan membuat kandungan alelopati nya berkurang. Kemudian dari aspek
konsentrasi pemberian ekstrak kulit jengkol. Perhitungan yang kurang tepat membuat salah satu
perlakuan pada percobaan ini justru menjadi galat. Karena perbandingan jumlah gulma yang tumbuh
pada konsentrasi 200g justru lebih banyak dibandingkan konsentrasi 100g. Seharusnya pada
konsentrasi 200g gulma yang tumbuh lebih sedkit daripada konsentrasi 100g.
Selanjutnya pada pengolahan tanahnya, tanah yang akan diaplikasi pada petakan B tidak
duegmburkan terlebih dahulu. Sehingga ekstrak kulit jengkol tidak tersimpan didalam tanah. Dan
justru mengalir kebawah (galangan) dan itu juga dapat menyebabkan gulma yang tumbuh digalangan
menjadi lebih subur, kemungkinan karena pengaruh auksin dari ekstrak kulit jengkol tersebut.