hak uji peraturan perundang
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia tidak menganut
ajaran pemisahan kekuasaan atau Trias Politika, sehingga dalam Hak Uji Materiil
terhadap Undang-Undang dianggap tidak diperlukan, akan tetapi setelah adanya
perubahan terhadap UUD 1945 kekuasaan legislative bergeser dari tangan
presiden ke DPR, jadi pemisahan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif
dipisahkan secara tegas. Alasan mendasar dari sudut pandang Hukum Tata Negara
keharusan dilakukan Judicial Review atau kontrol judicial terhadap kekuasaan
legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara adalah untuk mencegah
lembaga tersebut melanggar norma-norma konstitusi terutama dalam hal
pembuatan Undang-Undang.
Kekuasaan kehakiman (judicative power) pasca amandemen UUD 1945
telah mengalami perubahan mendasar, sebelum amandemen kekuasaan
kehakiman hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
lainnya, setelah amandemen UUD 1945 kekuasaan tidak hanya dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung , tetapi dilaksanakan bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 (ayat 2) UUD 1945.
Baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
yang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-
hal yang berkaitan dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi itu kewenangannya
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, pembubaran parpol,
perselisihan hasil pemilu, dan sengketa antar lembaga Negara. Khususnya
menyangkut kewenangan untuk menguji Undang-Undang Dasar, kekuasaan
judikatif dalam konstitusi baru telah diberi kewenangan untuk menilai dan
membatalkan jika produk legislatif tersebut materi muatannya melanggar norma-
norma UUD.
1
Dari pemaparan diatas dalam pembahasan selanjutnya, kami akan
mencoba menjelaskan lebih spesifik mengenai Hak Uji Materiil terhadap
peraturan Perundang-Undangan yang diantaranya mengenai macam-macam Hak
Uji, Pengaturan Hak Uji dalam Konstitusi dan UU, Hak uji Materiil di MA, dan
Hak Uji Materiil oleh MK.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Hak Uji
Hak menguji (toetsingsrecht) adalah Hak atau Kewenangan untuk
menguji atau menilai apakah suatu undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya atau tindakan-tindakan pemerintah yang ada
atau akan di undangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar atau Ketentuan-ketentuan lain
yang lebih tinggi dari pada peraturan Perundang-Undangan atau tindakan
pemerintah yang sedang dinilai.1 Pada umumnya, mekanisme pengujian
Hukum ini diterima sebagai cara Negara Hukum modern mengendalikan
dan mengimbangi (check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada
di genggaman para pejabat pemerintah untuk menjadi sewenang-
wenangan. Berikut macam-macam Hak uji adalah:
1. Hak menguji (teotstingrecht atau Review) menurut kontennya adalah:
a. Hak menguji Formal (formele teotsingrecht) adalah wewenang
untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses
pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian
formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas
kompetensi institusi yang membuatnya. Hak menguji formal adalah :
wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-
undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945).
1 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UI Press, 2011), hlm.25.
3
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk
hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan,
atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas.
Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau
Walikota. Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah
(Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh
DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur)
pembentukkannya.
b. Hak menguji material (materiele toestingrecht) adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan
perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi derajatnya, (lex superior derogate lex infriore), serta apakah
suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan
kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain
yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang
dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku
umum. Menurut Prof Harun Alrasid, hak menguji material ialah mengenai
prosedur pembuatan undang-undang, dan hak menguji ialah mengenai
kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak
dengan peraturan yang lebih tinggi.
Menurut Bagir Manan, untuk menjaga agar kaidah-kaidah Konstitusi yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
konstitusional lainnya tidak dilanggar dan disimpangi (baik dalam bentuk
maupun dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam
bentuk tindakan-tindakan pemerintah)perlu adanya badan serta cara
mengawasinya. Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar
4
pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi
Negara ) yaitu:
1) Pengujian oleh badan peradilan (judicial review)
2) Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review)
3) Pengujian oleh pejabat atau badan adminstrasi Negara
(administrative review)2
Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan
peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi
pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
2. Hak Menguji menurut Yurisdiksi (kewenangannya) yaitu :
a. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-
undangan dibawah Undang-Undang, ketentuan mengenai hak uji
materiil dapat kita lihat UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.3
b. Mahkamah Konstitusi
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24C
ayat 1, Mahkamah Konstitusi memiliki empat (4) kewenangan
yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD, (2) memutus sengketa
kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang, (3) memutus pembubaran partai politik, (4)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3. Hak Menguji menurut sistem cara pengujiannya atau konsep pengujian
Undang-Undang yang berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan
kehakiman yaitu:
2 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UI Press, 2011), hlm.24.
3 Siti Fatimah, Praktik Judicial Review di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 11.
5
a. Judicial Review
Adalah untuk menilai sesuai atau tidaknya satu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi secara hirarkis, judicial review tidak dapat
dioperasionalkan tanpa ada peraturan perundang-undangan yang
tersusun secara hirarkis.4
b. Judicial Preview
Adalah statusnya masih sebagai rancangan UU (RUU) dan belum
diundangkan secara resmi sebagai UU maka pengujian atasnya
disebut judicial preview. Dalam sistemPerancis, yang berlaku
adalah judicial preview, karena yang diuji adalah RUU yang sudah
disahkan oleh parlemen, tetapi belum disahkan dan diundangkan
sebagaimana mestinya oleh Presiden. Jika parlemen sudah
memutuskan dan mengesahkan suatu RUU untuk menjadu UU,
tetapi kelompok minoritas menganggap rancangan yang telah
disahkan itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, maka
mereka dapat mengajukan RUU itu untuk diuji
konstitusionalitasnya di la Counseil Constitusionnel atau Dewan
Konstitusi. dewan inilah yang akan memutuskan apakah RUU
bertentangan atau tidak dengan UUD. Jika bertentangan maka
tidak bisa disahkan sebaliknya jika RUU tidak bertentangan maka
dapat disahkan menjadi UU yang bersifat mengikat5
4 Moh.MahfudMD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), Hlm. 127.
5 http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/
6
B. Pengaturan Hak Uji dalam Konstitusi dan UU
1. Mengapa Undang-undang harus diuji
Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat
dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan undang-
undang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang
politik elit” yang bisa jadi hanya diisi oleh para politisi. Walaupun
seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi “ruang-ruang politik
publik”. Dengan dinamika proses yang terjadi dalam ruang politik tersebut
maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan
politik. Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah
undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu
melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD.
Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa.
Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak
konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam
UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil
merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional warga
Negara.
Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu
wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986). Validitas
suatu undang-undang dari sisi materi dan proses pembentukannya akan
diuji dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Mahkamah
Konstitusi (MK).
Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini
diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak
7
kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang
baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK.
Perlu diingat bahwa dalam sistem hukum di Indonesia juga dikenal
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. kewenangan
menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundang-
undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung.
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi
muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap
UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu
undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang
bertentangan dengan materi UUD.
Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji
pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses
pembentukan yang telah diatur dalam UUD. Perbedaan antara keduanya
terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek
yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam undang-undang.
Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan
undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang
sama yaitu UUD.
Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan
adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-
undangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua
aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat
diabaikan begitu saja.
2. Sejarah Singkat Uji Materil Peraturan di Indonesia
Di Indonesia, pengujian terhadap peraturan perundang-undangan
merupakan diskursus hukum yang sudah lama berlangsung. Mulai dari saat
pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1945 sampai
8
dengan amandemen UUD yang dimulai pada tahun 1999, soal uji materil ini
selalu menjadi salah satu topik yang menarik. Persoalan utamanya berkisar pada”
“siapa” yang diberi kewenangan menguji suatu peraturan?
Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya
wewenang menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (saat ini sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004).
Namun, wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk
menguji peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara itu, undang-undang tidaklah dapat
diuji. Padahal hakekat dari judicial review yang dikenal dalam praktek hukum tata
negara secara universal adalah untuk memberikan wewenang pengawasan oleh
lembaga yudikatif kepada pembuat undang-undang. Di sinilah salah satu inti dari
apa yang disebut “checks and balances”.
Selagi amandemen terhadap UUD pada tahun 1999 dilakukan, topik ini
menghangat kembali. Akhirnya pada tahun 2001 (amandemen ketiga), muncul
ketentuan baru dalam UUD yang diamandemen. Ketentuan inilah yang berlaku
pada saat ini.
Di dalam UUD hasil amandemen diatur bahwa wewenang menguji
undang-undang berdasarkan UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan wewenang untuk menguji peraturan di bawah undang-undang
berdasarkan undang-undang, diberikan kepada Mahkamah Agung.
Melalui mekanisme ini, masyarakat luas mempunyai saluran untuk
menguji suatu undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang apabila
dirasakan bertentangan dengan hak asasi manusia serta prinsip-prinsip
konstitusional lainnya. Memang, perlu dicatat bahwa wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung tidaklah bersifat pro-aktif. Mereka hanya dapat
menguji peraturan sesuai dengan wewenangnya, apabila ada permohonan dari
masyarakat yang berkepentingan.
9
3. Bagaimana Pengujian Undang-undang dilakukan
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan
hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji
materil meliputi:
a. Pengajuan permohonan;
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini
dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil,
permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan
konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon
wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan
UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang
akan digunakan dalam persidangan.
Siapa saja yang berhak mengajukan permohonan? Ada empat
kategori yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang,
yaitu:
a. Perorangan warga Negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur
dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat;
d. Lembaga Negara.
b. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
10
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan
melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam
permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka
pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari
setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima
oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi
kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang
menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa
pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.
c. Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi (BRPK);
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap
ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu
paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden. Selain itu,
MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan
pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA
meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang sedang diuji.
d. Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi
kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan
memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.
e. Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat
dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang
pemeriksaan permohonan. Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak
dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan
pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
11
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya
dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
f. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim
melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal
standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini,
hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk
melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu
selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki
permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau
kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib
persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas,
dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan
tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
g. Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim
yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap
permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk
kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta
keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan
permohonan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dalam tahap ini meliputi:
a. Pemeriksaan pokok permohonan;
b. Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
d. Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
12
e. Mendengarkan keterangan saksi;
f. Mendengarkan keterangan ahli;
g. Mendengarkan keterangan keterangan pihak terkait;
h. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau
peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat
dijadikan petunjuk;
i. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan
alat optic atau yang serupa dengan itu.
Setelah pemeriksaan tersebut selesai, maka para pihak diberi
kesempatan menyampaikan secara lisan dan/atau tertulis paling lambat
tujuh hari sejak persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam
persidangan.
Siapa yang mewakili DPR dan Presiden dalam persidangan?
DPR bersama dengan presiden sebagai pembentuk undang-undang
menjadi salah satu pihak dalam persidangan. Posisinya seperti termohon
dalam persidangan umum. Dalam persidangan tersebut, DPR harus
memberikan keterangan, yaitu keterangan resmi DPR baik secara lisan
maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan
dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. DPR dalam hal ini
diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan
dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau
anggota DPR yang ditunjuk. Selanjutnya, kuasa pimpinan yang ditunjuk
tersebut dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia dan/atau
anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan.
Sementara itu, Presiden sebagai mitra DPR dalam membentuk
undang-undang dalam persidangan data memberikan kuasa dengan hak
substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri dan/atau
pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan.
13
h. Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap
hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara
tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka
musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya.
Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil
putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan
suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila
mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian
undang-undang dapat berupa:
a. Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-
undang melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan
UUD;
b. Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-
undang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan
maupun materinya tidak bertentangan dengan UUD;
c. Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
undang-undang tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan,
maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang
yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah
lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta
putusannya bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh
para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali untuk
permusyawaratan hakim. Setiap perkara selalu dilakukan oleh seluruh
hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang, sehingga tidak ada
pembagian perkara kepada majelis-majelis hakim. Sistem ini disebut full
bench. Walau putusan diambil bersama-sama oleh kesembilan hakim,
14
setiap hakim diberi hak untuk menyatakan pernyataan keberatan
(dissenting opinion) atas suatu putusan yang sudah diputuskan bersama-
sama. Pernyataan ini dijadikan bagian tak terpisahkan dari putusan.
Perlu untuk diketahui juga, bahwa pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh
Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang berada dalam proses pengujian
Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-
undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku selama belum
ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan UUD. Terhadap materi muatan ayat, pasal, atau
bagian undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali.
C. Hak Uji Materiil Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam konteks,
demikian MA memiliki posisi strategis terutama bidang hukum dan
ketatanegaraan yang diformat:
(1) Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
(2) Mengadili pada tingkat kasasi;
(3) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan
(4) Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Adapun pengertian hak uji materiil adalah : suatu wewenang untuk
menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-
undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 6
6 Sri Soemantri, Hak Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 5-9
15
Selanjutnya Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih mengatakan
bahwa hak menguji materiil ialah hak menguji dari Mahkamah Agung
untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh suatu lembaga Negara itu melampaui wewenang yang
diberikan kepada lembaga tersebut. Di samping itu hak menguji materil,
meliputi pula hak menguji tentang nilai rohaniah sesuatu peraturan
perundangan yaitu apakah suatu peraturan perundangan yang dibuat oleh
suatu lembaga Negara itu sudah logis dan bermanfaat, sehingga secara
moral dapat dipertanggungjawabkan. 7
Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra memberikan suatu
pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk
menguji apakah suatu peraturan perundangan itu bertentangan yang
tingkatan lebih tinggi. 8
Dari tiga pengertian tersebut, maka apabila pengertian itu dihubungkan
dengan peraturan perundang-undangan tentunya hak menguji materil,
dapat diberi pengertian sebagai berikut, hak menguji materil adalah suatu
hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai suatu peraturan
perundangan itu dari segi isinya, bertentangan dengan atau tidak dengan
peraturan di atasnya. Kemudian berdasarkan pada PERMA No. 1 Tahun
2004 jo. PERMA No. 1 tahun 2011 dijelaskan khususnya dalam pasal 1
ayat (1) bahwa hak uji materil adalah hak Mahkamah Agung untuk
menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi
Mengenai hak uji materil ini diatur dalam Undang-undang No. 14
Tahun 1970 terutama tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman jo.
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 pasal 31 tentang Mahkamah Agung
yang intinya menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk
7 Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut UUD 1945, Gramedia, Jakarta, 1986, Hal. 798 Muhammad Ridwan Indra, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, 1987, Hal. 135.
16
mengadakan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Dari kedua ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa wewenang hak
uji materil ini berada di tangan Mahkamah Agung, terhadap peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang.
Selanjutnya untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang, maka dilihat dari
ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, mengenai sumber-sumber tertib
hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik
Indonesia, sebagai berikut:
- Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Penataran Pelaksanaan lainnya seperti:
Peraturan Menteri
Instruksi Menteri
Dan lain-lain.
Dengan mengetahui tata urutan peraturan perundang-ndangan seperti
tersebut di atas, maka dapat diketahui mengenai peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang itu adalah:
- Peraturan pemerintah
- Keputusan presiden
- Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
Yang dimaksud dengan kata lain-lain itu, meliputi juga seperti peraturan
perundang-undangan seperti:
- Surat keputusan sekretaris Jendral
- Surat keputusan Direktur Jendral
17
- Surat Keputusan Gubernur
- Surat Keputusan Walikotamadya
- Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang bersifat
umum. 9
Sebagai suatu naskah yang singkat, Undang-undang dasar 1945 tidak
mengatur keseluruhan masalah-masalah ketatanegaraan. Oleh karena itu,
pengaturan selanjutnya diserahkan kepada penyelenggara yang lebih
rendah. Demikian pula tentang Mahkamah Agung; selain ketentuan-
ketentuan dalam pasal 24 dan 25. Undang-undang dasar 1945 tidak
mengaturnya termasuk ketentuan-ketentuan mengenai hak menguji
materil. 10
Undang –undang No. 14 Tahun 1979 merupakan hasil dari upaya untuk
melembagakan hak uji materil. Di dalam pasal 26 Undang-undang No. 14
Tahun 1970 tersebut disebutkan bahwa “hak menguji secara materil”
dimiliki oleh Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan
yang derajatnya di bawah undang-undang atau terhadap peraturan
pemerintah (PP) dan seterusnya ke bawah. Ketentuan pasal 26 Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 ini kemudian dikuatkan atau dituangkan lagi
dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti Tap MPR No.
VI/MPR/1973 ( Pasal 11 ), Tap MPR No. III/MPR/1978 ( pasal 11 ) jo
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 (pasal 31).11
Adapun pasal 26 undnag-undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi sebagai
berikut:
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua
peraturan perundang-undangan dan tingkat yang lebih rendah dari
9 Masalah-maslaah yang Dapat Terjadi Sehubungan Dengan Penyelenggaraan Peradilan Hak Uji Materil Indonesia, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia Pendalaman Materi Hukum IV Mahkamah Agung RI, 1993, Kelompok Garuda , Hal. 47.10 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, Liberty, Yogyakarta, Cet. II, 1989, Hal. 64.11 Muhammad Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Disertasi, UGM, 1991, Hal. 617.
18
Undang-undang atas alas an bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang
dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang
bersangkutan.
Mengingat kebutuhan yang semakin penting maka pada tahun 1973 MPR
lewat Tap No. VI/MPR/1973, tentang kedudukan dan hubungan tata kerja
Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau/antar Lembaga-lembaga Tinggi
Negara pasal 11 ayat 4 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung
mempunyai wewenang secara materil menguji adalah sampai peraturan
perundang-undangan yang nilainya mulai di bawah undang-undang : tidak
termasuk undang-undang. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan
dengan ketetapan No. III/MPR/1976 pasal 11 ayat 4 dalam masalah yang
sama.12
Di samping undang-undang tersebut, mengenai hak uji materil ini diatur
lagi dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yang tercantum dalam
pasal 31 yang berbunyi:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-
undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan peraturan perundang-
12 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, op. cit., Hlm. 69.
19
undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh
instansi yang bersangkutan.
Selanjutnya, mengenai wewenang Mahkamah Agung untuk mengadakan
hak uji materil yang diatur dalam undang-undang No. 14 Tahun 1970,
pasal 26 dan undang-undang No. 14 tahun 1985 pasal 31 serta Perma No.
1 Tahun 1993 ini, Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa, dalam
ketentuai pasal 26 Undang-undang No. 14 TAHUN 1970 itu sendiri tidak
mungkin diadakan hak uji materil. Menurut ketentuan tersebut hak
menguji secara materil hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan tingkat
kasasi, artinya harus ada perkara atau gugatan lebih dahulu ke pengadilan.
Dari sudut teknis peradilan pemeriksaan pada tingkat kasasi, baru dapat
dilakukan jika sudah ditempuh peradilan pada tingkat pertama dan/atau
kedua. Jadi, dari sudut ini perkata untuk permohonan hak uji materil harus
disampaikan kepada pengadilan di bawah MA terlebih dahulu, sebab MA
baru dapat memeriksa pada tingkat kasasi jika sudah selesai diperiksa dan
diputus oleh pengadilan tingkat pertama dan/atau tingkat banding.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan pasal tersebut, maka akan terdapat
permasalahan dalam operasionalnya yang didasarkan pada adanya dua
alasan: pertama, MA baru diperbolehkan memeriksa perkara uji materil
jika sudah menempuh secara tuntas peradilan tingkat pertama dan/atau
banding berdasarkan adanya gugatan terhadap sebuah perundang-
undangan. Kedua, peradilan tingkat pertama dan/atau banding tidak akan
memeriksa dan memutus perkara karena menurut UU pemeriksaan dan
pemutusan tentang hal tersebut hanya menjadi wewenanga (kompetensi
absolute) MA. Sehingga hak uji materil terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah UU menurut UU yang berlaku sekarang tidak dapat
dilaksanakan.
Tata cara pengajuan pemohon keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1
tahun 2011 yaitu:
20
1. Permohonan Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan
cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat
kedudukan Pemohon;
2. Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu Peraturan Perundang-
undangan yang diduga bertentangan dengan suatu Peraturan
Perundang-undangan tingkat lebih tinggi;
3. Permohonan keberatan dibuat rangkap sesuai keperluan dengan
menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan
wajib ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah;
4. Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan
permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.
D. HAK UJI MATERIIL DI MK
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
selain MA yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan
politik.13Pengaturan tentang MK sudah diatur tersendiri dalam UU No. 12 Tahun
2003 tentang MK (Mahkamah Konstitusi). Pada pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003
dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk:
1. Mahkamah konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Republik Indonesia
tahun 1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.14
13 Moh. Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 27314 Lihat UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 10
21
2. Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan / atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil
Pembahasan yang akan ditekankan adalah point pertama yaitu pengujian
UU terhadap UUD oleh Mk atau yang disebut (Yudicial Review) atau hak uji
materiil. Hak uji materiil adalah suatu wewenang untuk menguji suatu peraturan
perundang-undangan yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/ atau bagian UU apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Dengan
adanya uji materiil yang dilakukan oleh MK, semua Undang-Undang yang dinilai
bertentangan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu perlunya pelembagaan judicial review
yakni bahwa UU adalah produk politik. Sebagai produk politik sangat mungkin isi
UU bertentangan dengan UUD 1945, misalnya akibat adanya kepentingan
kepentingan politik pemegang suara mayoritas di parlemen atau adanya kolusi
politik antar anggota parlemen, atau adanya intervensi dari tangan pemerintah
yang sangat kuat tanpa menghiraukan keharusan untuk taat asas pada UUD atau
konstitusi.
Dalam Uji Materiil UU maka harus sesuai dengan prosedur. Prosedur MK
dalam menguji UU terhadap UUD 1945 yaitu
1. Kelengkapan Permohonan dan Pendaftaran Permohonan
Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat 1 UU MK, pihak-pihak yang
memenuhi kapasitas sebagai pemohon adalah:
a. Perorangan warga Negara Indonesia.
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang di atur
dalam UU.
c. Badan hukum publik atau badan hikum privat.
d. Lembaga Negara.15
15 Bambang Sutiyoso. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press. 2009. hlm. 33
22
Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan
adalah.permohonan memuat uraian yang jelas dalam bahasa Indonesia dibuat
sebanyak 12 rangkap, yaitu masing-masing 9 buah untuk hakim MK, 1 buah
untuk sekretariat Jendral MKRI, 1 buah untuk MA dan 1 buah untuk Presiden.
Permohonan memuat bagian (i) Identitas dan legal standing pemohon, (ii)
uraian tentang duduk perkara atau dasar permohonan (posita), (iii) pengujian
yang diminta (materiil), (iv) pokok tuntutan yang diminta. Permohonan
tersebut harus sudah dilengkapi dengan alat bukti yang dapat berupa salinan
yang disahkan setelah dibubuhi materai. Salinan atau fotocopy UU yang
diajukan sebagai alat bukti yang menjadi lampiran permohonan harus
merupakan copy UU yang telah diumumkan dalam Lembaran Negara.
Kelengkapan lain di samping alat bukti yaitu pemohon harus melampirkan
kualifikasi pemohon serta bukti kerugian konstitusionalnya. Melampirkan
daftar saksi dan ahli yang akan diajukan disertai keterangan dari yang
bersangkutan.
2. Registrasi Perkara
Apabila berkas permohonan belum lengkap maka panitera hanya akan
memberikan akta penerimaan berkas perkara dan akan diberitahukan kepada
pemohon untuk dilengkapi dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari. Apabila
dalam jangka waktu yang ditentukan berkas belum dilengkapi maka panitera
akan menerbitkan akta bahwa permohonan tidak diregistrasi. Tetapi jika berkas
telah dilengkapi maka panitera akan mencatat dalam register dengan memberi
nomor sesuai urutan perkara. Satu eksemplar salinan permohonan dikirimkan
kepada presiden dan DPR untuk diketahui, salinan permohonan juga
dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan maksud agar menghentikan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dimohon untuk diuji
di Mahkamah konstitusi.
3. Penjadwalan Sidang dan Pembentukan Panel Hakim
Selanjutnya panitera menyampaikan berkas yang sudah diregistrasi
kepada ketua Mahkamah Pasal 28 ayat (4) UU MK memberi kewenangan
23
kepada MK untuk membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri dari
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang tugasnya ditentukan
oleh pleno itu sendiri. Untuk hal-hal yang luar biasa boleh kurang dari 9 orang
dengan batas minimum 7 orang. Tugas panel adalah
1. Melaksanakan pemeriksaan pendahuluan.
2. Memeriksa alat-alat bukti.
3. Memeriksa saksi dan ahli yang secara khusus ditugaskan pleno untuk
dilaksanakan oleh panel.
4. Memberi laporan hasil pemeriksaan pendahuluan, yang menyatakan
kesiapan untuk pemeriksaan pleno.
5. Memberi rekomendasi langkah yang akan dilakukan pleno atas perkara
permohonan yang bersangkutan.
6. Memberi laporan posisi perkara yang telah selesai diperiksa dalam
persidangan pleno.
7. Menyusun (drafting) putusan yang telah selesai dimusyawarahkan dan
telah mencapai keputusan. Apabila semua anggota panel berada dalam
posisi minoritas seluruhnya, maka drafter putusan akan ditunjuk
kembali di antara hakim konstitusi yang turut menyetujui.16
14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, hakim/ketua panel harus
telah menetapkan sidang petama. Jadwal sidang diberitahukan kepada
pemohon paling lambat 3 hari sebelum sidang dimulai.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, hakim/ketua panel harus
telah menetapkan sidang petama. Jadwal sidang diberitahukan kepada
pemohon paling lambat 3 hari sebelum sidang dimulai.dalam pemeriksaan
pendahuluan panel hakim akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, yang
meliputi kewenangan legal standing dan pokok permohonan.
2. Memberi nasihat kepada pemohon dan/atau kuasanya untuk
melengkapi atau memperbaiki permohonan dalam tempo 14 hari.
16 Abdul Latif dan Muhammad Syarif Nuh. Buku Ajar Hukum acara Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media. 2009. hlm. 166
24
3. Mencocokkan alat-alat bukti yang diajukan dan menanyakan perolehan
alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan.
4. Menunda dan/atau melanjutkan pemeriksaan pendahuluan untuk
memeriksa permohonan dan kelengkapan.17
5. Putusan
Putusan diambil berdasarkan Rapat Musyawarah Hakim yang dilakukan
secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah. Kuorum
RPH untuk mengambil keputusan sekurang-kurangnya 7 hakim konstitusi
dibantu panitera dan petugas lain yang disumpah.
Putusan ini akan dibaca/ diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 orang hakim konstitusi
Dengan menelusuri latar belakang pembentukan MK dan risalah-risalah
persidangan PAH 1 MPR. Maka sebagai “pengawal konstitusi” dalam
melaksanakan hak uji perlu dibatasi oleh hal-hal berikut:
1) Dalam membuat putusan MK tidak boleh memuat isi yang bersifat
mengatur. Mk hanya boleh menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya
batal karena bertentangan dengan bagian tertentu di dalam UUD.
Betapapun Mk mempunyai pemikiran yang baik untuk mengatur sebuah
alternatif atas UU atau sebagian isi UU yang dibatalkannya, maka hal itu
tidak boleh dilakukan, sebab urusan mengatur adalah hak lembaga
legislatif.18
2) Dalam membuat putusan Mk tidak boleh memutus batal atau tidak batal
sebuah UU atau sebagian isi Uu yang bersifat terbuka yakni yang oleh
UUD diatribusikan (diserahkan pengaturannya kepada UU. Jika UUD,
misalnya menyatakan bahwa pengaturan pemilihan kepala daerah
(pilkada) harus dilakukan secara demokratis yang ketentuannya diatur
oleh/di dalam UU, maka MK tidak boleh membatalkan seandainya isi UU
tentang pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung atau melalui
17 Ibid. hlm. 16718 Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 100-101.
25
lembaga perwakilan, maka jika Mk melakukan itu, dia sudah memasuki
ranah legislatif yang tidak boleh dilakukan.
3) Dalam membuat putusan MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak
diminta (ultra petita). Jika Mk melakukan maka Mk melanggar prinsip
bahwa MK hanya boleh memutus hal yang secara tegas diminta, MK juga
melanggar asas umum di dalam hukum bahwa setiap permintaan
pemeriksaan harus diuraikan dalam ‘posita’ yang jelas yang juga dimuat di
dalam Peraturan MK sendiri.
4) MK tidak membuat putusan-putusan yang menyangkut kepentingannya
sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ini sesuai
dengan asas nemo judex in causa sua atau nemo judex indoneus in propria
causa yang menyatakan bahwa hakim tidak memeriksa dan memutus atau
menjadi hakim dalam hal yang terkait dengan dirinya.
Putusan Mk bersifat final dan mengikat. Banyak putusan Mk yang dirasa
baik dan adil, ada juga putusan Mk yang kontroversial dan mendapat sorotan
karena dianggap kurang berpihak pada upaya demokratisasi dan penegakan
hukum karena dianggap kurang berpihak, terutama pemberantasan korupsi dan
mafia peradilan.
Karena putusan Mk yang bersifat final dan mengikat maka untuk putusan
MK berkekuatan hukum yang tetap itu terjadi manakala sudah dibacakan putusan,
artinya tidak ada upaya hukum yang dapat dipergunakan untuk melawan putusan
MK.
Dengan demikian, maksud pembentukan mahkamah konstitusi adalah
menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD dan kalau itu ada,
maka MK dapat membatalkannya. Maka sering dikatatakan bahwa MK
merupakan pengawal konstitusi dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas
konstitusi.19
Dapat dikemukakan bahwa MK tampil sebagai lembaga negara yang
independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang mendukung
bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
19 Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. 2010. hlm. 99.
26
BAB III
PENUTUP
27
Simpulan
Hak menguji peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan untuk
menilai atau menguji suatu peraturan perundang-undangan atau tindakan-tindakan
pemerintah bertentangan tidak dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Dasar atau ketentuan yang lebih tinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan perundang-undangan di bawahnya. Di dalam kepustakaan
maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht
ataureview),yaitu:
a. hak menguji formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai,
apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui
cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
b. hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk
menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Adapun Pengaturan mengenai uji material diatur dalam hokum positif yaitu:
1. UU No.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman
2. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 Jo. Ketetapan MPR
No.III/MPR/1978
3. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
4. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993
5. UU Republik Indonesia No.24 Tagun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
6. UU No.5 Tahun 1986
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam konteks, demikian MA memiliki posisi
strategis terutama bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat:
28
- Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;
- Mengadili pada tingkat kasasi;
- Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang;
dan
- Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945. Sebagai penyelenggara kekuasaan kesatuan dalam rangka
mengatur hokum dan keadilan yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga lainnya. Berdasarkan pasal 24 (1) dan (2) UUD 1945 Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk:
a. Menguji UU terhadap UU RI 1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945
c. Memutus pembaharuan partai politik
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum
e. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan wakil
presiden diduga telah melakukan pelanggaran Hukum pengkhiatan
terhadap Negara : korupsi, Penggelapan.
DAFTAR PUSTAKA
29
Sutiyoso, Bambang. 2009. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan
Mahkamah Konstitusi. UII Press: Yogyakarta
Mahfud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amademen
Konstitusi. Rajawali Press: Jakarta
Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Rajawali Press:
Jakarta.
Latif, Abdul dan Muhammad Syarif Nuh . 2009. Buku Ajar Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Kreasi Total Media: Yogyakarta.
UU No. 12 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Huda, Ni’matul, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2011.
Fatimah, Siti, Praktek Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media,
2005
Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
LP3ES, 2007),
http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/
30