hak-hak yang terabaikan: suatu tinjauan atas peran negara terhadap perlindungan waktu kerja dan...
DESCRIPTION
Makalah ini disusun untuk diperlombakan dalam Kompetisi Karya Tulis Ilmiah Nasional Sciensational yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan berhasil memperoleh Juara Kedua dalam kompetisi tersebut.TRANSCRIPT
1
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA
SCIENCESATIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
HAK – HAK YANG TERABAIKAN:
Suatu Tinjauan atas Peran Negara terhadap Perlindungan Waktu Kerja dan
Waktu Istirahat Kerja Pekerja/Buruh Pada Sektor Ind ustri Rumah Makan
Oleh:
Margaretha Quina (NPM. 0806342636)
Najmu Laila (NPM. 0806342806)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2011
2
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Kata Pengantar ........................................................................................................ i Daftar Isi ................................................................................................................ ii Ringkasan .............................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................................... 1 B. Rumusan Permasalahan ...................................................................................... 2 C. Konstruksi Gagasan ............................................................................................ 2 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
1. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3 2. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 A. Hukum Ketenagakerjaan Pada Umumnya
1.Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan ........................................................ 4 2. Sifat Hukum Ketenagakerjaan ........................................................................ 4
B. Perlindungan Pekerja/Buruh ................................................................................. 1 Tinjauan Filosofis Terhadap Konsepsi Perlindungan Pekerja/Buruh ............ 5 2. Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh .......................................................... 6 3. Kesehatan Kerja Sebagai Salah Satu Elemen Perlindungan Pekerja/Buruh .. 9
C. Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pekerja/Buruh .................................................. 1. Hak Mendapatkan Waktu Istirahat Yang Layak Sebagai Hak Mendasar Para
Pekerja/Buruh ................................................................................................. 7 2. Pentingnya Pembatasan Waktu Kerja dan Pemberian Waktu Istirahat Bagi
Pekerja/Buruh ................................................................................................. 8 3. Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat di Indonesia ........................... 9
D. Jaminan Kesehatan dan Kaitannya dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia 1. Jaminan Kesehatan Sebagai Bentuk Pemenuhan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja Pekerja/Buruh ..................................................................................... 11 2. Pengaturan Jaminan Kesehatan Bagi Pekerja/Buruh di Indonesia ............... 12 3. Hubungan Pemenuhan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan Jaminan
Kesehatan Pekerja/Buruh ............................................................................. 13 E. Kerangka Konseptual ........................................................................................ 13 BAB III METODE PENELITIAN ........................ ............................................ 14 BAB IV ANALISIS SINTESIS .......................................................................... 15 A. Praktik Pemberian Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Antara Jam Kerja Pada
Pekerja/Buruh Industri Rumah Makan.................................................................. 1. Gambaran Lokasi Penelitian ......................................................................... 15 2. Hasil Temuan ................................................................................................ 15
B. Ketika Das Sein Berbenturan dengan Das Sollen ................................................. 1. Pelanggaran HAM Secara Terang-Terangan ............................................... 21
3
2. Mengapa Hal Tersebut Terjadi? ................................................................... 22 1) Struktur Hukum: Kurangnya Pengawasan dari Pemerintah .................... 23 2) Substansi Hukum: Sanksi yang Tidak Tegas ........................................... 24 3) Budaya Hukum: Kurangnya kepatuhan dan Penerimaan Kultural .......... 24
C. Kemana Kita Harus Melangkah? .......................................................................... 1. Perkuat Pengawasan ..................................................................................... 26 2. Sanksi yang Tegas ........................................................................................ 27 3. Sosialisasi Norma dan Pembinaan Berkelanjutan ....................................... 28
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 30 A. Simpulan ........................................................................................................... 30 B. Rekomendasi ..................................................................................................... 30
4
HAK – HAK YANG TERABAIKAN: Suatu Tinjauan atas Peran Negara terhadap Perlindungan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Kerja Pekerja/Buruh Pada Sektor Ind ustri Rumah Makan.
RINGKASAN
Industri rumah makan merupakan suatu fenomena yang unik dalam hal pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat para Pekerja/Buruh dibandingkan dengan jenis usaha lainnya, mengingat karakteristik jam kerja sektor ini yang justru mencapai puncak kesibukannya di saat sektor lain menikmati waktu istirahat. Temuan lapangan sementara menunjukkan bahwa pemenuhan dan perlindungan terhadap Pekerja/Buruh rumah makan terkait pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat seringkali terabaikan. Meskipun secara sekilas tampaknya sepele, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat berhubungan erat dengan pemenuhan kesehatan kerja yang merupakan hak Pekerja/Buruh, yang berdampak pula pada kinerja dan kesejahteraan Pekerja/Buruh. Patut diakui pula bahwa industri rumah makan begitu banyak jumlahnya sehingga jumlah keseluruhan Pekerja/Buruh yang berhadapan dengan permasalahan ini sangatlah besar, dan di sisi lain keberadaan industri ini dan Pekerjanya merupakan penunjang yang tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari.
Bertolak belakang dari hal di atas, penelitian ini mengangkat tiga permasalahan utama. Pertama, yaitu mengkaji kondisi ketenagakerjaan di Indonesia terkait dengan waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para Pekerja/Buruh pada sentor industri rumah makan. Kedua, merumuskan alasan dari terjadinya ketidaksesuaian antara pengaturan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para Pekerja/Buruh pada sektor industri rumah makan dengan implementasi di lapangan. Dan terakhir, menganalisis langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam meneliti ketiga pokok permasalahan tersebut, Penulis melakukan studi kepustakaan dengan metode yuridis normatif yang bertujuan untuk menemukan solusi atas permasalahan. Dengan beranjak pada pemaparan mengenai hakikat hukum ketenagakerjaan, Penulis menyuguhkan das sollen perlindungan bagi para Pekerja/Buruh. Penulis meninjau pula menganai kesehatan dan keselamatan kerja sebagai salah satu elemen perlindungan Pekerja/Buruh dan kaitannya dengan manajemen waktu kerja dan waktu istirahat yang layak bagi para Pekerja/Buruh, serta jaminan kesehatan dan kaitannya dengan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia.
Dalam bagian analisis-sintetis, Penulis menemukan bahwa dari hasil penelitian di Kota Depok, yaitu di tujuh rumah makan Kategori I yang terdapat di Margo City, Depok Town Square, ITC Depok, serta di sepanjang Jalan Margonda, permasalahan yang sebagian besar dialami Pekerja/Buruh pada industri rumah makan adalah adanya jam kerja yang panjang, waktu istirahat yang tidak terlalu lama serta belum diikutsertakannya perhitungan upah lembur sesuai peraturan yang berlaku. Dari wawancara terhadap para narasumber yang merupakan pegawai berbagai rumah makan yang diteliti, ditemukan berbagai pola pembagian kerja serta variasi waktu kerja dan waktu istirahat yang semuanya menunjukkan bahwa dalam praktik hak atas
5
waktu kerja yang layak dan pemberian waktu istirahat bagi para Pekerja/Buruh pada industri rumah makan kerap kali diabaikan.
Kondisi yang ditemukan Penulis sebenarnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dalam ketentuan yang bersifat imperatif, yang artinya merupakan norma yang harus ditaati secara mutlak dan tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian atau peraturan internal perusahaan. Namun, hal ini tetap diabaikan. Dari hasil kajian penulis, ditemukan tiga alasan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara pengaturan dan praktik pemberian waktu kerja dan waktu istirahat bagi para Pekerja/Buruh di industri rumah makan, yaitu dari segi struktur hukum karena kurangnya pengawasan dari pemerintah, substansi hukum karena sanksi yang tidak tegas, dan budaya hukum karena adanya penerimaan kurtural dari para pihak yang terlibat.
Untuk memecahkan permasalahan ini, Penulis menyarakankan suatu gagasan sinkronisasi dari segi struktur, substansi, dan budaya hukum agar norma hukum terkait dengan waktu kerja dan waktu istirahat kerja dapat berlaku secara efektif di masyarakat. Beberapa solusi yang diajukan adalah dengan memperkuat peran negara dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap Pekerja/Buruh serta memberikan sanksi yang tegas kepada pelanggar. Strategi penerapan dari solusi ini dilakukan dengan memperkuat perangkat pada struktur hukum dengan pengawasan, substansi hukum dengan pengaturan sanksi yang lebih tegas, dan budaya hukum dengan sosialisasi dan pembinaan.
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan industri dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir tidak
dapat disangkal lagi telah menempatkan para Pekerja/Buruh1 sebagai elemen yang
penting dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, sejatinya pembangunan
ketenagakerjaan haruslah berkorelasi positif, bahkan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional. Namun dalam kenyataannya, Pekerja/Buruh
masih menjadi kelompok yang tersubordinasi oleh penguasa dan pengusaha.2 Oleh
karena itu, diperlukan berbagai pengaturan di bidang ketenagakerjaan sehingga hak-
hak dan perlindungan yang mendasar bagi para Pekerja/Buruh dapat terpenuhi.
Salah satu bidang perlindungan yang penting di dalam hukum
ketenagakerjaan adalah perlindungan yang terkait dengan kesehatan kerja
Pekerja/Buruh. Kesehatan kerja merupakan instrumen yang menjaga para
Pekerja/Buruh, perusahaan, lingkungan hidup dan masyarakat sekitar dari bahaya
akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi setiap
Pekerja/Buruh yang wajib dipenuhi oleh perusahaan dan dilindungi oleh Pemerintah.
Ironisnya, tingkat kepedulian pengusaha ataupun pihak-pihak yang terkait dalam
proses produksi terhadap kesehatan kerja di bidang jam istirahat kerja Pekerja/Buruh
masih berada pada level bawah. Apalagi terhadap Pekerja/Buruh yang bekerja pada
sektor industri rumah makan.
Para Pekerja/Buruh yang bekerja pada sektor industri rumah makan
seharusnya mendapatkan perhatian khusus mengingat industri tersebut memiliki
spesifikasi jenis pekerjaan yang dapat dikatakan berbeda dengan sektor usaha lainnya
tekait dengan waktu kerja dan waktu istirahat. Pasalnya, waktu istirahat antara jam
kerja (seperti jam makan pada pukul 12.00 -13.00) pada sektor industri kebanyakan
1 Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja
seperti: buruh, karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya. Dalam hal ini, penulis mempergunakan istilah Pekerja/Buruh dengan mengacu kepada istilah yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2 Tim Pengajar Hukum Perburuhan FHUI, Buku Ajar Seri A: Hukum Perburuhan (Depok: FHUI, 2000), hlm. 9.
7
lainnya, justru merupakan waktu kerja yang sibuk bagi para Pekerja/Buruh di sektor
industri rumah makan. Temuan lapangan sementara menunjukkan bahwa pemenuhan
dan perlindungan terhadap hak tersebut sering terabaikan.
Fenomena ini jarang diperhatikan oleh Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan dan oleh pihak pengusaha sendiri sebagai pelaku usaha. Padahal para
Pekerja/Buruh pada sektor industri rumah makan juga sama-sama manusia yang
secara fisiologis mempunyai kebutuhan yang sama dengan para Pekerja/Buruh di
sektor industri lainnya, yaitu sama-sama memiliki kebutuhan untuk istirahat dan
makan pada waktu yang layak sebagaimana mestinya. Hak untuk menikmati waktu
kerja dan waktu istirahat yang layak adalah hak yang melekat kepada para
Pekerja/Buruh, tanpa dikotak-kotakkan status maupun jenis pekerjaan.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan pemaparan yang diuraikan di dalam latar belakang, masalah
yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya terkait dengan
waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para Pekerja/Buruh pada sektor
industri rumah makan?
2. Bagaimana langkah yang dapat digunakan jika terjadi ketidaksesuaian antara
pengaturan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat para Pekerja/Buruh pada
sektor industri rumah makan dengan implementasi di lapangan?
C. Konstruksi Gagasan/Ide Pokok
Penelitian ini bertitik tolak dari suatu pandangan bahwa waktu bekerja perlu
dibatasi agar Pekerja/Buruh mendapatkan perlindungan untuk mempertahankan dan
mencegah terjadinya penurunan derajat kesehatannya. Bekerja tanpa batas waktu
yang wajar akan sangat merugikan dan melanggar hak asasi Pekerja/Buruh.
Pemberian waktu istirahat yang layak bagi para Pekerja/Buruh, merupakan sebuah
jalan dalam rangka mewujudkan kesehatan dan keselamatan kerja para
Pekerja/Buruh itu sendiri. Hal itu merupakan salah satu usaha untuk menciptakan
kondisi kerja yang kondusif dan menjunjung tinggi harkat dan martabat serta hak
asasi manusia. Artinya, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memberikan
perlindungan terhadap kesehatan para Pekerja/Buruh, yang dalam hal ini difokuskan
8
pada pemberian jam kerja dan jam istirahat bagi para Pekerja/Buruh di sektor
industri rumah makan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Menggambarkan praktik waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para
Pekerja/Buruh pada sektor industri rumah makan.
b. Mengkaji serta menganalisis langkah-langkah apa yang dapat digunakan ketika
terjadi ketidaksesuaian antara pengaturan dengan implementasi mengenai waktu
kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para Pekerja/Buruh pada sektor industri
rumah makan.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi positif terhadap
kebijakan dalam pemberian waktu kerja dan waktu istirahat Pekerja/Buruh.
2. Bagi para pengusaha sektor industri rumah makan, penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan perhatian mereka dan membuat peraturan kerja yang
berorientasi kepada pemenuhan kesehatan kerja para Pekerja/Buruh.
3. Bagi para Pekerja/Buruh, khususnya yang bekerja pada sektor industri rumah
makan, penelitian ini diharapkan akan membangun kesadaran mereka terhadap
hak-hak yang mereka miliki, terkait dengan hak untuk mendapatkan waktu kerja
dan waktu istirahat yang layak.
4. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya penelitian ini dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai Hukum Ketenagakerjaan,
terutama mengenai waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja para
Pekerja/Buruh yang bertumpu pada temuan lapangan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
"Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning sering kali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya?"
– Max Havelaar –
A. Hukum Ketenagakerjaan Pada Umumnya
1. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan
Untuk meninjau mengenai ruang lingkup Hukum Ketenagakerjaan, tentunya
Penulis harus menguraikan pendapat para ahli mengenai definisi dari Hukum
Ketenagakerjaan itu sendiri. Menurut Soetiksno, Hukum Ketenagakerjaan adalah
keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan
seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan
keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan
kerja tersebut.3 Definisi tersebut selaras dengan Iman Soepomo yang mengatakan
bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun
tidak, yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah”.4
Jika mengacu kepada rumusan di dalam UU Ketenagakerjaan, bahwa
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain,5 dapat dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah
segala peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja,
selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi ruang lingkup
Hukum Ketenagakerjaan menjadi lebih luas, tidak hanya berkenaan dengan
hubungan hukum antara Pekerja/Buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja.
2. Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Ditinjau dari sifatnya, terdapat dua macam kaedah hukum, yaitu kaedah
hukum yang bersifat imperatif (dwingend recht atau hukum memaksa) dan kaedah
hukum yang bersifat fakultatif (regelend recht, aanvulend recht atau hukum
3 Soetiksno, Hukum Perburuhan (Jakarta: tanpa penerbit, 1977), hlm. 5. 4 Iman Soepomo (b), Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Jambatan, 1985), hlm 12. 5 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN. No. 39
Tahun 2003, TLN No. 4279, Pasal 1 butir 3.
10
tambahan).6 Menurut Budiono Abdul Rachmad, hukum imperatif adalah hukum yang
harus ditaati secara mutlak, sedangkan hukum fakultatif adalah hukum yang dapat
dikesampingkan (biasanya menurut perjanjian).7
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagian besar Hukum Ketenagakerjaan
bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan fungsi dan tujuan Hukum
Ketenagakerjaan untuk (1) mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam
bidang ketenagakerjaan; dan (2) melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang
tidak terbatas dari pengusaha. Dengan membuat atau menciptakan peraturan yang
bersifat memaksa, diharapkan pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap
para tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.8
B. Perlindungan Pekerja/Buruh
1. Tinjauan Filosofis Terhadap Konsepsi Perlindungan Pekerja/Buruh
Di Indonesia seperti di negara dunia ketiga lainnya, sistem kapitalisme telah
memasuki segala aspek kehidupan.9 Max Weber bahkan mengemukakan bahwa
Kapitalisme adalah orientasi rasional terhadap keuntungan-keuntungan ekonomi.
Dalam sistem kapitalis, Pekerja/Buruh seringkali ditempatkan menjadi pihak yang
dieksploitasi dan menjadi inferior dalam hubungan dengan penguasa dan pengusaha.
Kondisi demikianlah yang menurut Karl Marx sebagai sumber konflik antara kelas
buruh dengan majikan.10
Membicarakan perlindungan terhadap Pekerja/Buruh haruslah bermula dari
pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara Pekerja/Buruh dengan pengusaha
itu sendiri,11 yang dapat dianalisis dengan teori ketidakseimbangan kompensasi yang
6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, edisi 5, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2003), hlm. 32. 7 Budiono Abdul Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm.x. 8 Manulang Sendjun H, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), hlm. 2. 9 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender: Aksi – Interaksi Kelompok Buruh Perempuan
dalam Perubahan Sosial (Jakarta: Buku Kompas, 2005), hlm. 40 10 Terkait dengan hal tersebut menarik juga untuk menyimak pendapat dari Noam Chomsky.
Di dalam bukunya yang berjudul “Profit over People: Neoliberalism and Global Order”, Chomsky mengkritik sistem politik dan sistem ekonomi kapitalisme. Ia juga mengkiritk neoliberalisme, sistem pro-korporasi dalam kebijakan ekonomi dan politik yang kini memicu perang kelas di seluruh dunia. Noam Chomsky, Profit over People: Neoliberalism and Global Order (New York: Seven Stories Press, 2003).
11 A.S. Finawati, “Buruh di Indonesia: Dilemahkan dan Ditindas,” Teropong: Media Hukum dan Keadilan (Vol.III No.5, Februari, 2004), hlm. 4.
11
diperkenalkan oleh M.G Rood. Teori ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa
pemberi kerja (pengusaha) dengan penerima kerja (Pekerja/Buruh), baik secara sosial
ekonomi, tidak mempunyai kedudukan yang sama karena penerima kerja sangat
tergantung pada pemberi kerja.12 Kelemahan inilah yang disebut oleh A.A.G Peters
sebagai kelemahan struktural.13
Oleh karena itu, hukum berfungsi untuk mengkompensasi ketidakseimbangan
kedudukan tersebut dengan memberi hak yang lebih banyak kepada pihak yang
lemah dari pada pihak yang kuat, yang dirasa tepat bagi rasa keadilan umum. Hal
tersebut diwujudkan dalam pembentukan perundang-undangan yang bertujuan untuk
melindungi Pekerja/Buruh sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang lebih lemah
dibandingkan dengan pihak pengusaha.
Sejatinya, perlindungan terhadap mereka yang memiliki kedudukan lemah
ternyata telah menjiwai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam wujud keadilan sosial yang berdasar kekeluargaan14 yang dijabarkan
lebih lanjut di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(untuk selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”), yang diperkuat 17 Konvensi
Ketenagakerjaan Internasional yang diadopsi Pemerintah pada sidang Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organization – ILO). Di antara
17 konvensi tersebut terdapat 8 konvensi dasar ILO, yang memuat hak-hak dan dan
prinsip-prinsip mendasar di tempat kerja. Salah satu diantaranya adalah hak-hak yang
terkait dengan kesehatan kerja.15
2. Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh
Secara teoritis, perlindungan terhadap Pekerja/Buruh mencakup hal-hal
sebagai berikut:16 Pertama, Norma Keselamatan Kerja, yang meliputi: keselamatan
kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses
pengerjaanya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan
12 M.G. Rood, dalam Tim Pengajar Hukum Perburuhan FHUI, op.cit., hlm. 89 – 90. 13 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks
Sosiologi Hukum, Buku III, (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 69. 14 Lihat pendapat DR. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dalam Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hlm. 255.
15 Sulistyowati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 447 – 448.
16 Zainal Asikin (ed) et al. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Cet.4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 76.
12
pekerjaan. Kedua, Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan,
yang meliputi: pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan kerja, dilakukan
dengan mengatur pemberian obat, perawatan tenaga kerja yang sakit. Ketiga, Norma
Kerja, yang meliputi: perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan
waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja perempuan, anak, kesusilaan
ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing yang diakui oleh
pemerintah. Keempat, bagi Pekerja/Buruh yang mendapat kecelakaan dan/atau
menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan
rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya
berhak mendapatkan ganti rugi.
Kesehatan kerja merupakan salah satu elemen perlindungan Pekerja/Buruh.
Menurut Suma’mur, kesehatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan
suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di suatu
perusahaan.17 Kesehatan kerja ini dimaksudkan agar pekerja dan masyarakat sekitar
suatu perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja serta dimungkinkan menikmati
derajat kesehatan setinggi-tingginya18, dijelmakan dalam ketentuan-ketentuan
mengenai waktu kerja, waktu mengaso, dan waktu istirahat.19
C. Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pekerja/Buruh
1. Hak Mendapatkan Waktu Istirahat Yang Layak sebagai Hak Mendasar
Para Pekerja/Buruh
Salah satu hak yang melekat bagi para Pekerja/Buruh adalah hak untuk
mendapatkan waktu istirahat yang layak20, yang tercantum dalam Pasal 7 Konvensi
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.21
17 Helena Purwanto, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Depok: UI Press, 2005), hlm.x. 18 Suma’mur (a), Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Jakarta: Penerbit Gunung
Agung, 1976), hlm. 1. 19 Iman Soepomo (c), op.cit, hlm. 67. 20 Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diberikan
kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya. Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 22-23.
21 Hak-hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi para Pekerja/Buruh dan keluarga mereka, meliputi: (1) kondisi kerja yang aman dan sehat; (2) kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi dan layak dalam pekerjaannya, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; serta (3) istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan yang berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari
13
Pembatasan jam kerja dan pemberian waktu istirahat yang layak telah lama
diatur sebagai suatu standar oleh ILO. Hak atas syarat kerja mencakup hak-hak
turunan sebagai berikut: hak atas pembatasan jam kerja, hak atas istirahat, hak atas
hari libur umum, hak atas libur berkala yang dibayar, serta hak atas kondisi kerja
yang sehat dan aman. 22
2. Pentingnya Pembatasan Waktu Kerja dan Pemberian Waktu Istirahat
bagi Pekerja/Buruh
Kerja yang terus menerus dari suatu otot, meskipun bersifat dinamik selalu
diikuti dengan kelelahan, dan diperlukan isirahat untuk pemulihan. Atas dasar
kenyataan seperti itu, maka waktu istirahat dalam kerja atau sesudah kerja sangat
penting. Hal tersebut diperkuat oleh berbagai penelitian mengenai kesehatan kerja di
bidang jam istirahat kerja buruh, salah satu diantaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Wahyu Ratna Sulistyarini tentang produktivitas kerja karyawan di
CV Sahabat. Dikatakannya bahwa, karyawan CV Sahabat akan bekerja dengan baik
apabila mereka dalam kondisi fisik yang baik, yang mana sangat ditentukan oleh
adanya alokasi jam istirahat yang tepat dan cukup.23
Studi yang dilakukan oleh Sarwo Widodo pun menunjukkan hal yang
demikian. Dalam penelitiannya, Widodo menjelaskan bahwa jam istirahat, termasuk
di dalamnya istirahat antar jam kerja, harus diberikan sesuai dengan beban kerja dan
pada saat yang tepat. Jangan sampai kemudian alokasi jam istirahat yang salah malah
menyebabkan kecelakaan kerja dan menurunnya kesehatan Pekerja/Buruh. Hal
tersebut terkait dengan teori "Domino Kecelakaan” yang dikemukakan oleh HW.
Heinrich yang mengatakan bahwa sebagian besar kecelakaan kerja disebabkan oleh
faktor manusia (unsafe act).24
libur umum. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
22 Dedi Widjajanto, “Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat sebagai Perlindungan Bagi Buruh/Pekerja”, Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009, hlm.112.
23 Wahyu Ratna Sulistyarini, “Pengaruh Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada CV. Sahabat di Klaten,” (Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta, 2006), hlm. 68.
24 Affan Ahmad, “Upaya Mengurangi Kecelakaan di Unit-Unit Kerja Melalui Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja”, Buletin Keselamatan STATUTA (Volume 1 Nomor 1, Agustus – November 2000), hlm. 15.
14
Selain terkait dengan kesehatan Pekerja/Buruh itu sendiri, pemberian waktu
istirahat yang cukup juga menentukan produktivitas kerja.25 Menurut Suma’mur,
pada suatu penelitian terhadap pekerjaan yang biasa, tidak terlalu ringan atau berat,
produktivitas mulai menurun setelah 4 jam bekerja26 karena menurunnya kadar
gula di dalam darah. Istirahat setengah jam sesudah 4 jam kerja terus-menerus
sangat penting artinya. Istirahat pendek yang sering dilakukan lebih baik daripada
melakukan istirahat satu kali dalam waktu yang panjang.27
Faktor pemulihan energi sangat penting diperhatikan karena selama proses
kerja terjadi kelelahan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemulihan
energi adalah istirahat dengan periode dan frekuensi yang sesuai dengan beban
kerja.28 Ketidaksesuaian waktu istirahat dengan beban kerja yang diberikan akan
menyebabkan Pekerja/Buruh berada dalam kondisi yang tidak optimal. Kondisi
yang demikian dapat menyebabkan dampak yang negatif, seperti waktu pengerjaan
yang lebih lama, terjadinya produk cacat, timbulnya kecelakaan kerja, dan
sebagainya.29
3. Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Kerja di Indonesia
Dalam UU Ketenagakerjaan, perlindungan mengenai hak-hak waktu kerja
dan waktu istirahat termasuk ke dalam kelompok perlindungan norma kerja.
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian Pekerja/Buruh yang
berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti),
lembur dan waktu kerja malam hari bagi Pekerja/Buruh wanita. 30
25 Rudy Satrio, “Modul Instrumen HAM Nasional Hak Atas Kesejahteraan”, Jakarta:
Desember 2004, hlm. 12 – 13. 26 Suma’mur (b), Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, Cet.4, (Jakarta: CV Haji
Masagung, 1989), hlm. 23. 27 Sedarmayanti, Sumber Daya Manusia dan Produtivitas Kerja (Bandung: Mandar Maju,
2001), hlm. 12 28 Ibid. 29 Sarwo Widodo, “Penentuan Lama Waktu Istirahat Berdasarkan Beban Kerja Dengan
Menggunakan Pendekatan Fisiologis (Studi Kasus: Pabrik Minyak Kayu Putih Krai)”, (Skripsi Sarjana Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008), hlm 1-2.
30 Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Ketenagakerjaan, waktu istirahat dan cuti meliputi: a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam
1 minggu; c. cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 bulan secara terus menerus;
15
UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap pengusaha wajib memberi
waktu istirahat dan cuti kepada Pekerja/Buruh, salah satunya adalah waktu istirahat
antara jam kerja. Pasal 79 ayat (2) butir a UU Ketenagakerjaan menggariskan bahwa
istirahat antara jam kerja harus diberikan oleh pengusaha kepada Buruh/Pekerja
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus. Waktu istirahat tersebut tidak termasuk waktu istirahat di sela-sela jam
kerja.
Selanjutnya, berdasarkan pasal 78 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan,
lamanya waktu kerja lembur pada hari kerja biasa, maksimum 3 jam per-hari atau
secara kumulatif selama 14 jam per-minggu. Jumlah total waktu kerja yang
diperbolehkan menurut UU Ketenagakerjaan adalah 40 jam/minggu. Perusahaan
yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebih batas waktu tersebut wajib
membayarkan upah lembur. Apabila perusahaan tidak memberikan upah lembur atau
melanggar ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat kerja, maka
perusahaan tersebut bisa terkena sanksi pidana/administratif.31
Setidaknya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam pemberian waktu
kerja dan waktu istirahat. Pertama, Aspek Fisiologis. Dengan waktu tersebut
Pekerja/Buruh dapat melakukan istirahat dengan cukup untuk memulihkan fisik dari
pekerjaan yang monoton. Kedua, Aspek Psikologis. Waktu istirahat dipertimbangkan
pada jam-jam tersebut adalah waktu yang tepat karena bertepatan dengan waktu
makan (siang, pagi dan malam), juga bertepatan dengan waktu-waktu ibadah. Ketiga,
Aspek Sosiologis. Waktu istirahat dapat memberikan kesempatan bagi bekerja untuk
berinteraksi dengan sesama Pekerja/Buruh.
D. Jaminan Kesehatan dan Kaitannya dengan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di Indonesia
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-maisng 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 Tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
31 Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
16
1. Jaminan Kesehatan Sebagai Bentuk Pemenuhan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Pekerja/Buruh
Kesehatan dan keselamatan kerja bagi para Pekerja/Buruh tidak hanya
terbatas pada usaha pencegahan, namun termasuk pula pengamanan atas resiko32
berupa gangguan kesehatan dan keselamatan kerja yang mungkin timbul baik di
masa kini maupun di masa depan. Pembatasan waktu kerja dan pemberian waktu
istirahat merupakan usaha preventif untuk mencegah Pekerja/Buruh dari kelelahan
dan penyakit yang belum terjadi.
Namun ketika Pekerja/Buruh sudah jatuh sakit, tentu harus ada
perlindungan untuk mengamankan resiko kesehatan dan keselamatan kerja yang
diberikan kepada mereka. Salah satunya adalah melalui program jaminan
kesehatan33 yang diberikan oleh pemberi kerja kepada para Pekerja/Buruh. Secara
umum, jaminan kesehatan adalah jaminan terhadap resiko dikeluarkannya ongkos
medis oleh individual. Filosofi dasar dari jaminan kesehatan adalah keadilan sosial,
di mana kesehatan yang dapat memungkinkan Pekerja/Buruh menjalani kehidupan
yang produktif secara sosial dan ekonomi harus dijamin.34
2. Pengaturan Jaminan Kesehatan Bagi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2)35 tentang pekerjaan dan penghidupan
yang layak, Pasal 28H ayat (3)36 mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal
32 Risiko adalah potensi kehilangan atau kerugian. Risiko dapat dibedakan atas tiga (3) hal:
yaitu risiko finansial, risiko operasional dan risiko murni. Etter, I.B., “Safety Committees: The Eyes and Ears of a Good Safety Program”, Safety & Health, (Volume 148 Tahun 1994 No. 5), hlm. 4.
33 Jaminan kesehatan merupakan bagian dari sistem jaminan sosial. Jaminan sosial sendiri memiliki pengertian yaitu sebuah sistem proteksi bagi komunitas khususnya tenaga kerja melalui fungsi manajemen risiko yang antara lain melakukan identifikasi, analisis dan mitigasi risiko untuk penanganan yang efektif terhadap peristiwa-peristiwa sakit, kecelakaan, kematian prematur, pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum usia pensiun dan PHK karena usia pensiun. Bambang Purwoko, “Sistem Jaminan Sosial: Asas, Prinsip, Sifat Kepesertaan dan Tata Kelola Penyelenggaraan di Berbagai Negara”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Sosialisasi Program Jamsostek yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT. Jamsostek pada tanggal 15 Desember 2010 di Hotel Mulya, Jakarta., hlm. 2.
34 George Pickett dan John J. Harlon, Kesehatan Masyarakat Administrasi dan Praktik (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995), hlm. 7
35 Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
36 Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
17
34 ayat (2)37 tentang jaminan sosial bagi masyarakat tidak mampu. Di sini terlihat
bahwa Pemerintah seharusnya berperan dan bertanggung jawab untuk mendorong
terselenggaranya program jaminan sosial itu.38
Sejak Oktober 2004, Indonesia memiliki Undang-undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN).39 Jaminan Kesehatan merupakan bagian dari sistem
ini. Pasal 19 – pasal 28 UU SJSN ini mengatur mengenai Jaminan Kesehatan, yang
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas40, sehingga Jaminan Kesehatan diberikan bagi setiap orang yang telah
membayar iuran.41 Selain itu, UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja juga mewadahi
jaminan kesehatan dalam program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.42
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan berdasarkan UU
Jamsostek melingkupi pencegahan, pelayanan di klinik kesehatan, rumah sakit,
kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi organ tubuh, dan pengobatan, secara
efektif dan efisien. Setiap tenaga kerja yang telah mengikuti program JPK akan
diberikan KPK (Kartu Pemeliharaan Kesehatan) sebagai bukti diri untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.43
3. Hubungan Pemenuhan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan
Jaminan Kesehatan Pekerja/Buruh
Baik pemenuhan kesehatan dan keselamatan kerja maupun jaminan
kesehatan merupakan suatu usaha integral yang saling bergantung satu sama lain
37 Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
38 Sulastomo, Manajemen Kesehatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 302. 39 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 40 Tahun
2004, LN No. 150 Tahun 2004, TLN No. 4456). 40 Pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance dibiayai dari kontribusi/premi
yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Yamil Ch. Agoes Achir, “Jaminan Sosial Nasional Indonesia”, Jurnal Ekonomi Rakyat (Tahun I No. 7, September 2002).
41 Pasal 19 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 42 Perusahaan yang mempunyai pekerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih dan juga
mengeluarkan untuk menggaji pekerjaannya sebesar 1 (satu) juta rupiah untuk setiap bulannya wajib mendaftarkan Pekerja/Buruh yang bekerja padanya dalam program Jamsostek. Sumber: http://www.jamsostek.co.id/ \content /i.php? mid=3&id=16.
43 Website Resmi Jamsostek, “Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan” http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=16, diakses pada 19 Oktober 2011.
18
untuk terpenuhinya kesehatan kerja.44 Kedua hal ini haruslah dilakukan secara
selaras, dengan titik berat pada usaha preventif.45 Kelelahan kerja yang disebabkan
tidak terpenuhinya standar kesehatan dan keselamatan kerja akan menyebabkan
inefisiensi dari pemenuhan jaminan kesehatan itu sendiri.
Selain itu, terdapat limitasi dari resiko yang ditanggung dalam Jaminan
Kesehatan ini, yang menyebabkan tidak terlindunginya kepentingan
Pegawai/Buruh secara utuh karena gangguan kesehatan yang tidak dijamin tersebut
harus ditanggulangi secara mandiri oleh Pegawai/Buruh sekalipun disebabkan
tidak terpenuhinya standar kesehatan dan keselematan kerja.
E. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.46 Di dalam penelitian
ini, dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut.
1. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.47
2. Buruh/Pekerja
Dewasa ini, istilah Buruh telah diganti dengan Pekerja karena istilah lebih
cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah
pihak lain yakni majikan.48 Dalam hal ini, Penulis mempergunakan istilah
Pekerja/Buruh dengan mengacu kepada istilah yang diberikan oleh UU
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pekerja/Buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
44 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia Perubahan
(Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 161. 45 Silalahi menyatakan bahwa cara menanggulangi kesehatan dan kecelakaan kerja adalah
dengan meniadakan unsur penyebab gangguan kesehatan dan kecelakaan dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. Rumendang B. Silalahi, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (Jakarta: Lembaga PPM, 1995), hlm. 89.
46 Soerjono Soekanto (a), Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.132.
47 Indonesia, op.cit. Pasal 1 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 48 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000), hlm. 22.
19
3. Pengusaha
Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan49 menjelaskan pengertian
Pengusaha yakni: (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan50 milik sendiri; (b) orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Industri Rumah Makan
Industri Rumah Makan mencakup kegiatan yang menyediakan jasa
makanan untuk konsumen, baik dilayani maupun swalayan atau diantar.
Termasuk penyiapan dan penyajian makanan untuk dikonsumsi segera dari
restoran, kafetaria, restoran cepat saji, kereta penjaja es krim, kendaraan
bermotor atau tidak bermotor, kereta makan keliling dan penyediaan makanan
dalam kedai pasar. Juga termasuk kegiatan restoran yang terdapat dalam sarana
angkutan, bila dilaksanakan oleh unit ekonomi yang terpisah.51
49 Lihat pula rumusan di dalam Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. 50 Adapun pengertian Perusahaan mengacu pada Pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan: (a)
setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; (b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
51 Definisi tersebut didasarkan kepada pembagian sektor industri yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Industri Rumah Makan termasuk ke dalam Kategori I, lihat: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (a), Buku Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, 2009, hlm. 279 – 281.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif yang bertumpu kepada studi kepustakaan. Tipe penelitian yang
digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif karena memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan
maksud terutama untuk mempertegas hipotesa, memperkuat teori lama, atau untuk
menyusun teori baru.52 Menurut bentuknya, penelitian ini adalah penelitian
prespkriptif sedangkan menurut tujuannya adalah penelitian untuk menemukan
solusi atas permasalahan.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier.53 Bahan hukum primer yang Penulis
pergunakan adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan yang tengah dibahas. Adapun bahan hukum sekunder yang
dipergunakan adalah berbagai literatur seperti buku, artikel, media massa, makalah
serta jurnal ilmiah yang terkait dengan masalah yang tengah dibahas. Bahan
hukum tersier yaitu bahan yang Penulis peroleh dari ensiklopedia, kamus, dan
berbagai bahan yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Metode analisis data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan
karena penelitian ini mencoba untuk membangun atau menghasilkan sebuah teori
dari bawah (induktif). Peneliti mengumpulkan data/informasi, kemudian
mengklasifikasi data berdasarkan kategori-kategori dalam upaya menemukan pola
atas realitas/gejala yang terjadi.54 Selanjutnya, penelitian yang dihasilkan di dalam
penelitian ini berbentuk deskriptif analisis.
52 Soerjono Soekanto (b), op.cit., hlm. 10. 53 Ibid., hlm. 32. 54 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, (Sage
Publication. Inc.: 1994), hlm. 5.
21
BAB IV
ANALISIS – SINTESIS
A. Praktik Pemberian Waktu Kerja dan Waktu Istirahat A ntara Jam Kerja
Pada Pekerja/Buruh Industri Rumah Makan
1. Gambaran Lokasi Penelitian
Sebagai kota penyangga Ibukota, Depok merupakan salah satu kota yang
termasuk ke dalam lokasi padat penduduk. Berdasarkan data Pemerintah Kota
Depok, kepadatan pendudukan kota Depok berjumlah 1.374.522 jiwa, dan sebagian
besar tersentralisasi di daerah jalan Margonda dan sekitarnya.55 Kepadatan penduduk
yang demikian banyak otomatis menyebabkan tingkat kebutuhan penduduk akan
makanan dan rumah makan menjadi semakin tinggi. Hal tersebut ditandai dengan
maraknya rumah makan yang berdiri di Depok, khususnya di sepanjang Jalan
Margonda. Atas dasar itulah Penulis memilih Kota Depok sebagai tempat yang
dijadikan objek penelitian ini.
Rumah makan yang menjadi objek penelitian ini dibatasi hanya pada rumah
makan yang terdapat di Margo City, Depok Town Square, ITC Depok, dan rumah
makan yang berada di sepanjang Jalan Margonda, Depok. Adapun kriteria rumah
makan yang menjadi objek penelitian Penulis adalah rumah makan yang termasuk ke
dalam kategori I berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi di dalam buku, “Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia Tahun 2009.”56
2. Hasil Temuan
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa permasalahan yang sebagian
besar dialami Pekerja/Buruh pada industri rumah makan adalah jam kerja yang
panjang, waktu istirahat yang tidak terlalu lama, serta belum diikutsertakannya
perhitungan upah lembur sesuai peraturan yang berlaku.57 Jam kerja yang panjang
55 Pemerintah Kota Depok, “Demografi Kota Depok Tahun 2005,”
http://www.depok.go.id/profil-kota/demografi, diunduh 1 Oktober 2011. 56 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (a), op.cit. 57 Hasil yang sama juga terungkap dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Ratna Dewi
Wuryandari terkait dengan waktu kerja dan waktu kerja para pekerja yang bekerja di perusahaan waralaba. Lihat: Ratna Dewi Wuryandari, “ Kajian Perlindungan Hak-hak Pekerja Pada Perusahaan Waralaba”, http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,50,naker, diunduh 6 Oktober 2011.
22
dan waktu istirahat pendek ini terjadi karena sebagian besar Pekerja/Buruh yang
diwawancarai adalah pekerja di bagian operasional rumah makan yang
membutuhkan pelayanan yang tinggi. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa waktu
kerja tergantung pada waktu tutupnya rumah makan tersebut. Pekerja/Buruh
mempunyai posisi tawar yang lemah sehingga kondisi jam kerja yang panjang
dirasakan sebagai suatu konsekuensi bekerja pada rumah makan tersebut.
Di sektor industri rumah makan ini waktu istirahat berkisar antara 30 menit
sampai dengan 1 jam sehari dan kebanyakan diberikan jauh setelah waktu makan
siang. Pada beberapa kasus, kendati telah diatur di dalam kontrak kerja, waktu
istirahat di industri rumah makan tidak menentu dan tergantung pada pekerjaannya.
Pada kasus yang lain, para Pekerja/Buruh istirahat pada saat tidak ada pelanggan
dan makan dilakukan secara bergilir.58 Hal ini tentunya menimbulkan
keperihatinan karena dengan waktu kerja mereka yang demikian, jaminan terhadap
waktu istirahat, waktu makan, dan waktu untuk melaksanakan sholat bagi para
Pekerja/Buruh yang beragama Islam menjadi terabaikan.
Hasil temuan selengkapnya akan Penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama, Rumah Makan D’Cost Cabang ITC Depok.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan salah satu
Pekerja/Buruh D’Cost Cabang ITC, Depok, Pekerja/Buruh tersebut mengatakan
bahwa waktu kerja mereka terbagi ke dalam dua shift yaitu shift pertama dari jam
10.00 WIB sampai jam 15.00 WIB, dan shift kedua dari jam 15.00 WIB sampai
jam 20.00 WIB. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, ditemukan fakta lapangan
bahwa para Pekerja/Buruh tersebut bekerja secara terus menerus dari selama 5
jam (yaitu 10.00 – 15.00, dan 15.00 – 20.00) tanpa istirahat.
58 Hal tersebut juga terungkap di dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Tianggur Sinaga
terkait dengan kondisi kerja para Pekerja/Buruh yang bekerja di sektor-sektor ekonomi informal. Lihat: Tianggur Sinaga, “ Studi Hubungan Kerja Pada Usaha-usaha Ekonomi Informal,” http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,56,naker, diunduh 6 Oktober 2011.
23
Kedua, Hoka-Hoka Bento Cabang Depok Town Square
Berdasarkan wawancara Penulis dengan salah seorang Pekerja/Buruh,
diketahui bahwa terdapat 4 shif kerja yang diberlakukan di Hoka-Hoka Bento,
dengan waktu kerja selama 7 jam untuk setiap shiftnya. Shitf pertama dimulai
pada pukul 8.00 – 15.00 WIB, shift kedua pada pukul 15.00 – 21.00 WIB, shift
ketiga pada pukul 16.00 – 23.00 WIB, dan shift terakhir pada pukul 23.00 – 07.00
WIB. Untuk shift terakhir, Pekerja/Buruh tersebut menjelaskan bahwa shift
tersebut hanya diberlakukan untuk para Pekera/Buruh laki-laki.
Fakta menarik yang Penulis temukan adalah dengan jam kerja dan jam
istirahat demikian, para Pekerja/Buruh kerap kali terlambat makan. Hal tersebut
sangat berpengaruh kepada kesehatan para Pekerja/Buruh sehingga banyak
diantara mereka yang mengalami penyakit maag. Keadaan tersebut tentunya amat
memprihatinkan karena kesehatan kerja menjadi terbengkalai.
Ketiga, Pizza Hut Cabang Margo City Depok
Kondisi kerja yang paling baik Penulis temukan di Pizza Hut Cabang
Margo City, Depok. Terdapat kurang lebih 50 Pekerja/Buruh yang bekerja di
rumah makan tersebut. Jam kerja di rumah makan tersebut terbagi ke dalam 4
shift, dengan durasi jam kerja 9 jam untuk masing-masing shift, yaitu (1) shift
pertama dimulai dari pukul 07.00 WIB, (2) shift kedua pukul 09.00 WIB, (3) shift
ketiga pukul 11.00 WIB, dan (4) shift keempat pukul 13.00 WIB. Setelah bekerja
selama 4 – 5 jam, para Pekerja/Buruh mendapatkan waktu istirahat selama satu
jam. Mereka juga diberikan makanan catering dan tempat istirahat khusus untuk
para Pekerja/Buruh, baik yang bertugas sebagai pelayan (mereka menyebutnya
“orang depan”) ataupun para juru masak (“orang belakang”). Selain itu, mereka
juga mendapatkan waktu libur 2 hari selama seminggu yang dapat mereka pilih
pada hari kerja (weekday).
Keempat, Solaria Cabang Margo City Depok lantai 1
Waktu kerja rumah makan Solaria terbagi ke dalam 2 shift dengan waktu
kerja selama 8 jam untuk masing-masing shift. Jatah hari libur satu hari dalam
seminggu yang diberikan pada hari kerja (weekday). Tidak ada pengaturan yang
tegas mengenai waktu istirahat kerja. Waktu istirahat kerja diberikan secara
24
fleksibel dan dilakukan secara bergiliran. Karena tidak disediakan makanan
(catering) bagi para Pekerja/Buruh, mereka harus membeli dan mencari sendiri
makanan di luar rumah makan tersebut. Hal ini dapat menjadi catatan tersendiri
terkait dengan jarak antara rumah makan tempat Pekerja/Buruh bekerja, dengan
tempat dimana mereka makan dan membeli makanan. Tentunya bukan hal yang
mudah untuk mencari makan, makan, dan kembali ke tempat kerja dalam waktu
istirahat yang sebentar.
Kelima, Ramen 21 Margo City Depok
Terdapat 2 shift yaitu shift pertama pada pukul 09.00 – 19.00 WIB dan
shift kedua pada pukul 12.00 – 21.00 WIB (bahkan sering sampai pukul 21.30
WIB). Libur diberikan 1 hari dalam seminggu pada hari kerja selain hari jumat
sampai minggu. Waktu istirahat pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan
(weekend) berbeda. Pada akhir pekan (Sabtu-Minggu), istirahat diberikan selama
1 jam, yaitu diantara pukul 13.00 sampai 15.00 WIB. Sedangkan pada hari kerja
biasa (Senin-Jumat), libur diberikan selama 2 jam, pada kisaran jam yang sama.
Namun demikian, waktu istirahat tersebut kerap tidak dapat dinikmati oleh para
juru masak mengingat keterbatasan personil dan pesanan makanan yang terus
menerus.
Keenam, Baskin and Robins (BnR) Cabang Depok Town Square
Pada satu booth BnR cabang Depok Town Square, terdapat tiga orang
Pekerja/Buruh yang waktu kerjanya dibagi ke dalam tiga shift kerja, yaitu (1)
shift 1 dimulai pada pukul 08.00 – 16.00 WIB, (2) shift 2 pada pukul 12.00 –
20.00 WIB, dan (3) shift 3 pada pukul 13.30 – 21.30 WIB. Istirahat diberikan
kepada Pekerja/Buruh selama satu jam setelah Pekerja/Buruh shift berikutnya
telah datang. Contohnya Pekerja/Buruh pada shift pertama akan beristirahat
ketika Pekerja/Buruh shift kedua datang, yaitu pada pukul 12.00. Begitu pula
dengan waktu Istirahat Pekerja/Buruh berikutnya.
Libur diberikan selama satu hari dalam satu minggu yang harinya dapat
dipilih sendiri oleh Pekerja/Buruh dengan catatan bahwa hari libur tersebut
jatuh pada hari kerja (weekday). Selain libur mingguan tersebut, mereka juga
mendapatkan libur tahunan selama 12 hari, dengan catatan tidak dapat diberikan
25
sekaligus. Artinya, tidak dapat libur selama 12 hari berturut, tetapi dilakukan
pada hari yang berlainan.
Hal yang penting untuk menjadi catatan adalah tidak disediakannya
tempat duduk bagi para Pekerja/Buruh sehingga mereka terpaksa berdiri
sepanjang waktu kerja. Ketika Penulis mengungkapkan keprihatinan Penulis
terhadap kondisi kerja tersebut, mereka hanya mengatakan, “…ya mau gimana
lagi mba, itu kan sudah resiko pekerjaan kami. Kalau capek biasanya kita duduk
selonjoran di lantai, itu juga jangan sampai ketahuan sama manajer.”
Ketujuh, Pecel Lela Cabang Jalan Margonda (1), Depok
Penulis menemukan kondisi yang paling mengkhawatirkan pada rumah
makan Pecel Lela. Di rumah makan tersebut, tidak ada pembagian waktu kerja
berdasarkan shift. Para Pekerja/Buruh laki-laki bekerja dari pukul 11.00 –23.00
WIB malam. Sementara para Pekerja/Buruh perempuan dari pukul 9.00 – 21.00
WIB. Dengan jam kerja lebih dari 12 jam, mereka hanya diberikan waktu
istirahat satu kali selama satu jam, yaitu pada siang hari.
Jumlah Pekerja/Buruh yang bekerja berjumlah 21 orang. Hari kerja 6
hari seminggu dengan waktu libur satu hari pada hari biasa (weekday).
Pekerja/Buruh dapat memilih sendiri hari liburnya pada hari biasa, tapi tidak
diperbolehkan untuk libur pada hari sabtu atau minggu (weekend). Disediakan
tempat istirahat dan makanan catering bagi Pekerja/Buruh.
Berdasarkan pemaparan hasil temuan tersebut, dapat diketahui bahwa, di
dalam praktik hak atas waktu kerja yang layak dan pemberian waktu istirahat bagi
para Pekerja/Buruh pada industri rumah makan kerap kali diabaikan. Penulis
mengkhawatirkan bahwa fenomena ini bagaikan sebuah gunung es, artinya hanya
sedikit yang mencuat ke permukaan sementara keadaan yang sebenarnya adalah
lebih parah. Hal ini tentu saja tidak dapat dibiarkan dan dibenarkan dengan alasan
apapun. Terlebih lagi UU Ketenegakerjaan dengan tegas telah mengatur mengenai
pemberian waktu kerja dan waktu istirahat bagi para Pekerja/Buruh. Aturan
tersebut tentunya tidak dapat dipandang sepele dan tidak dapat dikesampingkan
begitu saja mengingat ada ancaman sanksi pidana dan/atau denda bagi para
pelanggarnya.
26
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
menyatakan:
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”59
Dengan demikian jelas bahwa norma yang terkandung di dalam ketentuan
mengenai waktu kerja dan waktu istirahat antara jam kerja adalah norma yang
bersifat imperatif. Artinya, norma tersebut harus ditaati secara mutlak dan tidak
dapat dikesampingkan oleh perjanjian atau peraturan internal perusahaan.60 Hal ini
sesuai dengan paradigma yang melandasari Hukum Ketenagakerjaan, yakni
perlindungan terhadap Pekerja/Buruh sebagai kompensasi atas ketidaksamaan
kedudukannya dengan pengusaha. Disinilah peran negara, khususnya Pemerintah,
untuk melindungi dan memastikan hukum yang bersifat memaksa tersebut dipatuhi
oleh para pengusaha sehingga Pekerja/Buruh sebagai pihak yang lemah, dapat
dilindungi.
B. Ketika Das Sein Berbenturan dengan Das Sollen
1. Pelanggaran HAM Secara Terang-Terangan
Ketika menganalisis ketidaksesuaian praktik waktu kerja dan waktu
istirahat sebagaimana telah dikemukakan, kita tentunya akan terlibat dalam
diskursus klasik mengenai benturan antara yang sejogjanya terjadi (das sein) dan
kenyataan yang senyatanya terjadi (das sollen).61 Secara yuridis-formal, jaminan
terhadap hak para Pekerja/Buruh, termasuk hak mengenai waktu kerja dan waktu
istirahat – sekalipun oleh berbagai kalangan dianggap belum memadai – telah
diberikan; namun acapkali tersendat di tingkat praktik.
59 Indonesia, op.cit, pasal 187 ayat (1). 60 Lihat: Budiono Abdul Rachmad, op.cit. 61 Dalam konteks yang agak berbeda, Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
mengatakan bahwa sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin hukum mencakup antara lain (1) ajaran yang menentukan apakah yang seyogjanya atau seharusnya dilakukan (perskriptif), maupun (2) yang senyatanya dilakukan (deskriptif) di dalam hidup. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu dan Tata Hukum, Cet.6, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1.
27
Dalam tataran normatif, telah ada pengaturan yang jelas mengenai
pemberian waktu kerja dan waktu istirahat kerja bagi para Pekerja/Buruh.
Persoalan muncul tatkala terjadi kesenjangan diantara produk hukum tersebut
dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Meminjam istilah Aswab Mahasin,
titik soalnya adalah bagaimana mentransformasikan jaminan hak asasi manusia
dari “konstitusionalisme ke kenyataan struktural”, sebab yang nampak terlihat
adalah adanya kesenjangan antara konstitusionalisme di satu pihak dengan
kenyataan struktural di pihak lain.62
Persoalan di bidang Ketenagakerjaan merupakan bentuk paling popular
sekaligus paling memperihatinkan dari pelanggaran Hak Asasi Manusia melalui
cara eksploitasi ekonomi ini. Laporan yang dikeluarkan oleh Lembaga Informasi
dan Kajian Masyarakat (LINK), misalnya, menunjukkan bahwa keadaan
pelanggaran hak-hak Pekerja/Buruh yang amat memprihatinkan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.63 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh
Pekerja/Buruh ini berada dalam spektrum yang luas, mulai dari upah yang sangat
rendah, hingga waktu kerja yang melebih batas.
Waktu kerja yang melebihi batas dengan mengabaikan waktu istirahat
sejatinya merupakan bagian dari praktik eksploitasi ekonomi dan sosial dari para
Pekerja/Buruh. Hal ini tentu saja merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia. Ironisnya, praktik eksploitatif tersebut masih kerap kita temui di tengah
masyarakat dan dilakukan oleh pelaku-pelaku yang terorganisir dan terlembaga
(seperti negara, perusahaan nasional dan multitinasional), maupun eksploitasi yang
tidak terorganisir, tidak terlembaga, dan biasanya tertutup (seperti sektor
perekonomian informal dan industri rumah makan).64
2. Mengapa Hal Tersebut Terjadi?
Dalam tulisan ini, Penulis akan mencoba menggunakan teori efektivitas
sistem hukum menurut Lawrence Friedman sebagai pisau analitis untuk membahas
ketidaksesuaian antara pengaturan dan implementasi pemberian waktu kerja dan
62 Aswab Mahasin, “Hak Asasi Manusia: dari Konstitusionalisme ke Persoalan Struktural”,
dalam Prisma (No. 12 Tahun VIII, Desember 1979), hlm. 4. 63 LINK, “Peristiwa Sebulan Masalah Buruh”, April, Mei, Juli 1991 dalam Eep Saefullah
Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 99. 64 Eep Saefullah Fatah, ibid.
28
waktu istirahat kerja para Pekerja/Buruh yang bekerja di sektor industri rumah
makan. Berdasarkan teori tersebut, efektivitas sistem hukum dibentuk berdasarkan
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.65 Berikut adalah
penjabarannya.
1. Struktur Hukum: Kurangnya Pengawasan dari Pemerintah
Sejak otonomi daerah, pengawasan peraturan perundang-undangan dan
organisasi pengawasan disusun berdasarkan kebutuhan daerah. Kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa, penempatan personil banyak yang tidak sesuai dengan
keahliannya sehingga yang bersangkutan tidak menguasai semua aspek yang
diawasi. Sementara itu, adanya penyederhanaan organisasi pemerintahan di daerah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah, telah menyebabkan terjadi penggabungan tugas-tugas
pemerintahan di daerah, termasuk juga di bidang ketenagakerjaan.
Akibatnya, unit organisasi yang membidangi ketenagakerjaan di banyak
tempat, semakin mengecil, ada yang digabung dengan tugas fungsi pemerintahan
lainnya, dan tidak jarang unit kerja dimaksud dipimpin oleh pejabat yang secara
teknis tidak menguasai substansi ketenagakerjaan. Bahkan ada unit kerja di
kabupaten/kota yang tidak ada pegawai pengawas atau pengawas spesialis.66 Secara
kuantitas aparat pengawas perburuhan sangat terbatas jika dibandingkan dengan
jumlah perusahaan yang harus diawasi, belum lagi di antara pegawai pengawas
tersebut ada yang diberikan tugas ganda yaitu beban tanggung jawab struktural,
misalnya sebagai kepala seksi, kepala bidang dan lain-lain. Demikian juga kualitas
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik yang masih terbatas.
Keterbatasan baik secara kuantitas maupun kualitas dari aparat pengawas
ketenagakerjaan inilah yang menjadi salah satu penyebab pelaksanaan hak-hak
normatif Pekerja/Buruh di Indonesia saat ini yang masih jauh dari harapan.67 Hal ini
berimplikasi pada ketidakpatuhan para pengusaha dalam menaati peraturan
65 Tiga unsur subsistem hukum ini diambil dari Lawrence W. Friedman, American Law. An
Introduction, (New York: W.W. Norton and Company, 1984), juga dalam Lawrence W. Friedman, A History of American Law (New York: Simon and Schuster, 1973).
66 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (b), “Studi Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Kepatuhan Pengusaha Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan”, http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,35,naker, diunduh 6 Oktober 2011.
67 I Dewa Rai Astawa, “Aspek Perlindungan Hukum Hak – Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,” (Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 2006), hlm. 74-75.
29
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, khususnya yang terkait dengan
waktu kerja dan waktu istirahat kerja.
2. Substansi Hukum: Sanksi yang Tidak Tegas
Menurut Roscoe Pound, di dalam masyarakat yang sedang membangun,
selain sebagai sistem pengendalian sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat
rekayasa perubahan sosial atau as a tool of social engineering, yaitu sebagai sarana
yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.68 Di Indonesia, fungsi hukum dalam
pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan pola pikir masyarakat dan sarana
untuk mengkondisikan terjadinya perubahan perilaku warga masyarakat ke tujuan
yang dikehendaki sesuai rumusan tujuan pembangunan.69
Dalam kaitannya dengan hal ini, Penulis menemukan bahwa salah sau faktor
ketidakpatuhan para pengusaha terhadap ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan
adalah sanksi yang tidak tegas dan lemahnya penegakkan hukum. UU
Ketenagakerjaan memang mengatur sanksi administratif dan/atau denda bagi para
pelanggarnya, tetapi ketentuan tersebut tidak dibarengi dengan aturan pelaksanaan
dan sanksi yang tegas. Hal inilah yang kemudian menjadi kendala penegakkan aturan
yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya yang terkait dengan pengaturan
waktu kerja dan waktu istirahat kerja Pekerja/Buruh.
3. Budaya Hukum: Kurangnya Kepatuhan dan Penerimaan Kultural
Dari segi sosiologis, kekuatan keberlakuan hukum dapat dilihat di dalam
efektivitas atau hasil guna kaedah hukum tersebut di dalam kehidupan masyarakat.70
Keseluruhan interaksi antara lembaga-lembaga penegak hukum dan perilaku
masyarakat akan membentuk dan memberikan corak pada budaya hukum.71 Dalam
konteks ini, kurangnya kepatuhan hukum dan penerimaan kultural dari masyarakat
menjadi kendala tersendiri dalam budaya hukum.
68 Roscoe Pound, New Path of the Law (Nebraska: The University of Nebraska Press, 1950),
hlm. 47. 69 Mochtar Kusumaatmadja, Hubungan antara Hukum dan Masyarakat. Landasan Pikiran,
Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum (Jakarta: BPHN dan LIPI, 1976), hlm. 9. 70 Sudikno Mertokusumo, op.cit. 71 Sunaryati Hartono, “Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat terhadap Hukum dan
Lembaga-Lembaga Penegak Hukum,” Majalah Hukum Nasional (No. 2 Tahun 2007), hlm. 2.
30
Di Indonesia, sebagai negara berkembang yang tengah mengalami transisi
demokrasi,72 kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Begitu pula dengan
kesadaran hukum di bidang Hukum Ketenagakerjaan. Selain itu, secara tentatif,
pelanggaran terhadap hak-hak para Pekerja/Buruh ini dikontruksikan oleh kenyataan
ada penerimaan kultural masyarakat atas pelanggaran ini. Para Pekerja/Buruh
menerima bahwa mereka tidak dapat menikmati hak untuk beristirahat sebagaimana
seharusnya kendati pun hak tersebut sebetulnya telah diakomodir di dalam kontrak
kerja mereka. Sudah ada di dalam kontrak tapi ketika pun kenyataannya tidak
dijalankan, para Pekerja/Buruh tetap membiarkannya dengan berfikir bahwa itu
adalah sesuatu yang wajar.
Seorang Pekerja/Buruh dari Hoka-Hoka Bento, misalnya, mengatakan bahwa
ia mengetahui bahwa di dalam kontrak kerja tercantum hak istirahat bagi para
Pekerja/Buruh selama satu jam, namun ketika dalam pelaksanaannya mereka tidak
dapat menikmati hak untuk beristirahat itu mereka mengganggap bahwa hal tersebut
adalah bagian dari konsekuensi pekerjaan mereka.
Permasalahan kultural inilah yang membuat agenda pembangunan dan
perlindungan terhadap Pekerja/Buruh menjadi tidak sederhana dan mudah. Jika
dicermati secara lebih mendalam, kultur ini bermuara pada cara pandang yang
melihat manusia tidak dalam hakikatnya sebagai manusia. Hal tersebut terpola
manakala seorang manusia atau sekelompok orang meletakkan seseorang atau
sekelompok lain tidak dalam kesamaan nilai dan martabat sebagai manusia,
melainkan dikelaskan berdasarkan perbedaan-perbedaan lahiriah. Lebih jauh lagi,
kultur ini mereduksi kemanusiaan seseorang atau sekelompok orang sehingga
manusia hanya diwakili oleh sejumlah artibut artifisial yang melekat padanya.73
Di dalam konteks ini Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa manusia
Indonesia saat ini belum dihargai karena ia manusia, melainkan karena pangkat,
kekayaan, kepintaran, kepakaran, dan sebagainya yang melekat kepada orang
72 Berdasarkan pembagian Samuel P. Huntington mengenai periode demokratisasi suatu
negara, Indonesia termasuk ke dalam negara yang masih berada dalam masa transisi demokrasi. Lihat: Samuel P. Huntington, The Third Wave of Democratization in the Late Tweentieth Century (Norman: University of Oklahoma Press, 1991), hlm. 58.
73 Eep Saefullah Fatah, op.cit, hlm. 119-120.
31
bersangkutan.74 Kultur ini merupakan sebuah kendala serius bagi akselerasi
pembangunan secara umum dan bagi upaya peningkatan keadilan sosial, khususnya
perlindungan terhadap hak-hak Pekerja/Buruh.
C. Kemana Kita Harus Melangkah?
Penulis telah memaparkan bagaimana pemberian jam kerja yang terlalu
lama pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM para Pekerja/Buruh di
industri rumah makan. Ironisnya, pelanggaran HAM tersebut terjadi di tengah-
tengah masyarakat dan hanya sedikit –kalau tidak mau disebut tidak ada- yang
menyadarinya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut? Berikut ini beberapa solusi yang akan Penulis
uraikan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
1. Perkuat Pengawasan
Ketidaksesuaian antara pengaturan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat
kerja Pekerja/Buruh pada sektor industri rumah makan dapat diminimalisir dengan
adanya pengawasan yang efektif dan intensif dari pegawai pengawas
ketenagakerjaan. Campur tangan negara dalam melakukan pengawasan dan
perlindungan terhadap Pekerja/Buruh merupakan sebuah konsekuensi logis dari
semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Hal tersebut menurut Soerjono Soekanto, merupakan salah satu karakter
Negara kesejahteraan.75 Hal tersebut sesuai dengan fungsi Negara modern yang
dirumuskan oleh W. Friedmann yaitu, “as a protector, as disposes of social services,
as industrial manager, as economic controller, and as arbitrator.”76
Untuk meningkatkan pengawasan tersebut, tentunya perlu ada penambahan
pegawai pengawas ketenagakerjaan, terutama pengawas di daerah karena jumlah
pengawas yang ada saat ini dinilai kurang mencukupi. Perlu juga adanya mekanisme
pengawasan ketenagakerjaan dari pusat ke daerah karena semenjak pemberlakuan
otonomi daerah, penyampaian data dari daerah ke pusat tidak berjalan dengan baik.
74 Y.B. Mangunwijaya dalam St. Sularto, ed. Menuju Masyarakat Indonesia Baru: Antisipasi
Terhadap Tantangan Abat XXI (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 144. 75 Soerjono Soekanto (b), Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan
di Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm.54-55. 76 W. Friedmann, Law in Changing Society (London: Stevens & Sons, 1959), hlm. 495.
32
Selain dari segi kualitas, harus ada peningkatan kualitas pengawas melalui berbagai
pendidikan dan latihan. Pengawas juga tidak diberikan tugas-tugas struktural, apabila
memungkinkan dijadikan jabatan fungsional sehingga dapat melaksanakan tugas
secara profesional.
Dalam konteks pengawasan ini, penting juga bagi Pemerintah untuk
melibatkan masyarakat sipil,77 misalnya bekerja sama dengan lembaga swadaya
masyarakat yang berkecimpung di bidang ketenagakerjaan. Pengawasan terhadap
pelaksanaan ketentuan hukum (law enforcement) di bidang ketenagakerjaan akan
menjamin pelaksanaan hak-hak normatif Pekerja/Buruh, yang pada gilirannya
mempunyai dampak terhadap stabilitas usaha. Selain itu pengawasan juga akan dapat
mendidik pengusaha dan Pekerja/Buruh untuk selalu menaati ketentuan dalam
Hukum Ketenagakerjaan.
2. Sanksi yang Tegas
Salah satu kendala yang menyebabkan tidak berjalannya ketentuan dalam
Hukum Ketenagakerjaan adalah ketidakpatuhan masyarakat. Robert Bierstedt
mengatakan bahwa salah satu dasar kepatuhan seseorang terhadap hukum adalah
kebiasaan (habitual).78 Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku karena
sejak kecil mengalami proses sosialisasi sehingga kepatuhan akan kaidah tersebut
telah menjadi sebuah kebiasaan.79
Kepatuhan masyarakat dapat dibentuk melalui paksaan dari kelompok orang
yang memang memiliki wewenang untuk berbuat demikian. Hal tersebut bertolak
pada asumsi bahwa penguasa memiliki monopoli terhadap sarana-sarana paksaan
77 Contohnya Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia
(FNPBI), dan berbagai lembaga swadaya masyarakat atau organisasi Pekerja/Buruh lainnya. Dewasa ini kehadiran masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat telah berperan cukup untuk kuat untuk mengimbangi negara tanpa menghalangi negara untuk menjalankan perannya sebagai peace keeper dan arbitrator. Lihat: Martin Griffith dan Terry O’Callaghan, International Relations: the Key Concept (London dan New York: Routledge, 2002), hlm. 122-123.
78 Menurut Robert Bierstedt terdapat 4 macam hal yang menjadi dasar kepatuhan seseorang terhadap suatu kaidah, yaitu: (1) Indoctrination, (2) Habituation, (3) Utility , dan (4) Group Indentification. Robert Bierstedt, The Social Order (Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd. 1970), hlm. 227.
79 Goffman menyebut proses tersebut sebagai institusionalisasi, yaitu proses pelembagaan dimana manusia hidup menuntut konformitas dari para anggotanya untuk mematuhi aturan-aturan perilaku yang dibutuhkan bagi efisiensi organisasi. Erving Goffman et all, The Goffman Reader (Oxford: Blackwell, 1997), hlm. 265.
33
secara fisik, sebagai dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai ketertiban.80 Disinilah
hukum bekerja untuk membentuk kepatuhan awal masyarakat terhadap suatu kaidah
melalui sanksi yang tegas dan terukur. berfungsi untuk memastikan hukum tersebut
berjalan dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, kepatuhan masyarakat terhadap Hukum Ketenangakerjaan
dapat dibentuk dengan menetapkan sanksi81 yang tegas bagi pelanggarnya. Sanksi
tersebut harus dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan di luar kemauan yang
bersangkutan, dan bersifat memaksa.82 Para pihak yang tidak patuh terhadap
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan harus diberikan hukuman yang tegas
seperti pencabutan izin usaha, denda yang tinggi, bahkan hukuman pidana penjara.
Pemberian sanksi yang tegas ini selain untuk menimbulkan efek jera, juga akan
menimbulkan dampak sosial kepada para pengusaha yang lain sehingga secara
berangsur-angsur diharapkan akan memperbaiki keadaan kerja para Pekerja/Buruh
industri rumah makan.
3. Sosialisasi dan Pembinaan Berkelanjutan
Untuk membentuk budaya hukum juga diperlukan sosialisasi dan pembinaan
yang intensif kepada manajemen perusahaan mengenai pentingnya penerapan jam
kerja dan waktu istirahat yang sesuai peraturan untuk menghindari Pekerja/Buruh
dari kelelahan yang berlebihan. Sosialisasi dan pembinaan ini juga harus diberikan
kepada para Pekerja/Buruh supaya mereka mengetahui dan sadar akan hak-hak yang
mereka miliki.
Dalam sosialisasi juga harus diberikan pengertian bahwa jam kerja panjang
harus diimbangi dengan pemberian vitamin ataupun pemberian insentif yang menarik
sehingga akan memperkuat daya tahan tubuh dan motivasi yang tinggi dari
Pekerja/Buruh dalam meningkatkan produktivitasnya. Tidak dapat dipungkiri kondisi
kesehatan Pekerja/Buruh yang buruk dapat menyebabkan pembengkakan biaya
80 Teori yang demikian dikemukakan oleh Max Weber, yaitu melalui apa yang dinamakan
dengan teori paksaan (dwangtheorie). Soerjono Soekanto (b), op.cit, hlm. 330. 81 Pada hakikatnya, sanksi merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaidah-kaidah kelompok
yang mencakup suatu sistem imbalan (reward) dan hukuman (punishment). Lihat: J.A.A van Doorn dan C.J. Lammers dalam Soerjono Soekanto (a), op.cit., hlm. 331.
82 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi 5, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm. 18.
34
perusahaan akibat biaya kesehatan yang meningkat.83 Jika kedua belah pihak, baik
Pekerja/Buruh maupun penguasaha telah memahami hak dan kewajibannya masing-
masing dan budaya hukum yang baik telah tercipta maka niscaya hubungan industrial
yang harmonis akan tercapai.
83 Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum
(Semarang: Agung Perss, 1989), hlm. 130
35
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap hak-hak Pekerja/Buruh pada industri rumah makan dalam
hal waktu kerja dan waktu istirahat kerja, kerap kali terbaikan. Permasalahan
yang sebagian besar dialami Pekerja/Buruh pada industri rumah makan adalah
jam kerja yang panjang, waktu istirahat yang tidak terlalu lama, serta belum
diikutsertakannya perhitungan upah lembur sesuai peraturan yang berlaku. Hal
tersebut disebabkan karena kurangnya pengawasan dari Pemerintah, sanksi yang
tidak tegas, ketidakpatuhan, dan penerimaan kultural dari masyarakat.
2. Pemberian jam kerja yang terlalu lama pada hakikatnya merupakan pelanggaran
HAM para Pekerja/Buruh di industri rumah makan. Ironisnya, pelanggaran
HAM tersebut terjadi di tengah-tengah masyarakat dan hanya sedikit yang
menyadarinya. Terdapat tiga upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut, yaitu memperkuat pengawasan, memberikan sanksi yang
tegas, dan melakukan sosialisasi serta pembinaan yang berkelanjutan kepada
masyarakat, khususnya Pekerja/Buruh dan pelaku usaha.
B. Rekomendasi
Perlindungan terhadap Pekerja/Buruh merupakan kompensasi atas
ketidakseimbangan kedudukan antara Pekerja/Buruh dengan pengusaha.
Perlindungan tersebut harus dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik
Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna
melindungi para Pekerja/Buruh. Selain itu, pengawasan ketenagakerjaan kepada
industri rumah makan perlu lebih ditingkatkan terutama terkait dengan waktu kerja
dan waktu istirahat. Di samping itu, perlunya adanya sosialisasi dan pembinaan yang
berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya hukum dan kepatuhan masyarakat
terhadap norma-norma hukum ketenagakerjaan.
36
DAFTAR PUSTAKA Buku Asikin, Zainal (ed) et al. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Cet.4. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002. Awaludin, Hamid. Solusi JK: Logis, Spontan, Tegas, dan Jenaka. Jakarta: PT
Gramedia, 2009. Bierstedt, Robert. The Social Order. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd, 1970. Chomsky, Noam. Profit over People: Neoliberalism and Global Order. New York:
Seven Stories Press, 2003. Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. Sage
Publication. Inc.: 1994. Fatah, Eep Saefullah. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994. Friedman, Lawrence W. American Law. An Introduction. New York: W.W. Norton
and Company, 1984. ________________. A History of American Law. New York: Simon and Schuster,
1973. Friedmann, W. Law in Changing Society. London: Stevens & Sons, 1959. Goffman, Erving et all. The Goffman Reader. Oxford: Blackwell, 1997. Griffith, Martin dan Terry O’Callaghan. International Relations: The Key Concept.
London dan New York: Routledge, 2002. Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi: Menyikapi Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2003. Huntington, Samuel P. The Third Wave of Democratization in The Late Tweentieth
Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991 Husni, Lalu. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000 H, Manulang Sendjun. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta, 1995. Irianto, Sulistyowati. Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. JB, Thomson (ed). Habermas: Critical Debate. London: The Macmillan Press, 1982. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Buku Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia, 2009. Kusumaatmadja, Mochtar. Hubungan antara Hukum dan Masyarakat. Landasan
Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum. Jakarta: BPHN dan LIPI, 1976.
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. Manajemen Sumber Daya Manusia Perubahan. Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Edisi 5. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum. Buku III. Jakarta: Sinar Harapan, 1990.
Pickett, George dan John J. Harlon. Kesehatan Masyarakat Administrasi dan Praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995.
37
Pound, Roscoe. New Path of the Law. Nebraska: The University of Nebraska Press, 1950.
Prints, Darwan. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
Purbacara, Purnadi dan Soejono Soekanto. Perihal Kaedah Hukum. Cet.6. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
_________________. Sendi-Sendi Ilmu dan Tata Hukum. Cet.6. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Purwanto, Helena. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok: UI Press, 2005. Rachmad, Budiono Abdul. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999. Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan Produtivitas Kerja. Bandung: Mandar
Maju, 2001. Silalahi, Rumendang B. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
Lembaga PPM, 1995. Soekanto, Soerjono. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangkan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974. _________________. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. Soemitro, Ronny Hanitijo. Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah
Hukum. Semarang: Agung Perss, 1989. Soepomo, Iman. Cet. 7. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan
dan Buruh). Jakarta: Pradnya Paramitha, 1988. _________________. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Jambatan, 1985. _________________. Hukum Perburuhan Undang-undang dan Peraturan–
peraturan. Jakarta: Jambatan, 1972. Soetiksno. Hukum Perburuhan. Jakarta: tanpa penerbit, 1977. Sularto, St. (ed). Menuju Masyarakat Indonesia Baru: Antisipasi Terhadap
Tantangan Abat XXI. Jakarta: Gramedia, 1990. Sulastomo. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Suma’mur. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Penerbit Gunung
Agung, 1976. _____________. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Cet.4. Jakarta:
CV Haji Masagung, 1989. Tim Pengajar Hukum Perburuhan FHUI. 2000. Buku Ajar Seri A: Hukum
Perburuhan. Depok: FHUI. Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalims. New York:
Scribners, 1958. Widanti, Agnes. Hukum Berkeadilan Jender: Aksi – Interaksi Kelompok Buruh
Perempuan dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Buku Kompas. 2005. Jurnal dan Makalah Lainnya Achir, Yamil Ch. Agoes. “Jaminan Sosial Nasional Indonesia.” Jurnal Ekonomi
Rakyat (Tahun I No. 7, September 2002)
38
Ahmad, Affan. “Upaya Mengurangi Kecelakaan di Unit-Unit Kerja Melalui Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.” Buletin Keselamatan STATUTA (Volume 1 Nomor 1, Agustus – November 2000).
Astawa, I Dewa Rai. “Aspek Perlindungan Hukum Hak – Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.” Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 2006.
Etter, I.B. “Safety Committees: The Eyes and Ears of a Good Safety Program” Safety & Health Journal (Volume 148 No. 5, 1994).
Finawati, A.S. “Buruh di Indonesia: Dilemahkan dan Ditindas”, Teropong: Media Hukum dan Keadilan (Vol.III No.5, Februari, 2004).
Mahasin, Aswab. “Hak Asasi Manusia: dari Konstitusionalisme ke Persoalan Struktural.” Prisma (No. 12 Tahun VIII, Desember 1979).
Purwoko, Bambang. “Sistem Jaminan Sosial: Asas, Prinsip, Sifat Kepesertaan dan Tata Kelola Penyelenggaraan di Berbagai Negara”. Makalah dalam Seminar Sehari Sosialisasi Program Jamsostek yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT. Jamsostek pada tanggal 15 Desember 2010 di Hotel Mulya, Jakarta, 2010.
Satrio, Rudy. “Modul Instrumen HAM Nasional Hak Atas Kesejahteraan”, Jakarta: Desember 2004.
Sulistyarini, Wahyu Ratna. “Pengaruh Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada CV. Sahabat di Klaten,” (Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Surakarta, 2006.
Sunaryati Hartono, “Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat terhadap Hukum dan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum.” Majalah Hukum Nasional (No. 2 Tahun 2007).
Widjajanto, Dedi. “Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat sebagai Perlindungan Bagi Buruh/Pekerja”. Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009.
Widodo, Sarwo. “Penentuan Lama Waktu Istirahat Berdasarkan Beban Kerja Dengan Menggunakan Pendekatan Fisiologis (Studi Kasus: Pabrik Minyak Kayu Putih Krai)”. Skripsi Sarjana Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
Artikel, Media Massa, dan Sumber Lainnya Jamsostek, PT. “Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan”
http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=16. Diunduh 19 Oktober 2011
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Kecelakaan Kerja di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008 – 2009.” http://www.depnakertrans.go.id/. Diunduh 6 Oktober 2011.
_________________. “Studi Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan Dan Kepatuhan Pengusaha Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan.” http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,35,naker. Diunduh 6 Oktober 2011.
Pemerintah Kota Depok. “Demografi Kota Depok.” http://www.depok.go.id/profil-kota/demografi. Diunduh 1 Oktober 2011.
39
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Sinaga, Tianggur. “Studi Hubungan Kerja Pada Usaha-Usaha Ekonomi Informal.” http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,56,naker. Diunduh 6 Oktober 2011.
Wuryandari, Ratna Dewi. “ Kajian Perlindungan Hak-hak Pekerja Pada Perusahaan Waralaba.” http://www.depnakertrans.go.id/litbang.html,50,naker. Diunduh 6 Oktober 2011.
Indriani Dyah Setiowati, “MK Kabulkan Permohonan Judicial Review Atas UU Ketenagakerjaan,” http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2004/10/28/brk,20041028-19,id.html, diunduh 8 Oktober 2011.
Hukum Online, “Aktivis Buruh Ajukan Judicial Review atas UU Ketenagakerjaan,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8199/aktivis-buruh-ajukan-judicial-review-atas-uu-ketenagakerjaan, diunduh 8 Oktober 2011.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN.
No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 40
Tahun 2004, LN No. 150 Tahun 2004, TLN No. 4456 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, PP Nomor 14 Tahun 1993, LN Tahun 1993 No. 20, TLN No. 3520
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu. Kepmentransker No. Kep-234/Men/2003.
_________________. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Kepmentransker No. Kep-102/Men/VI/2004.
_________________. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu. Kepmentransker No. Per-15/Men/VII/2005.