h ,661 s ,661 mxuqdo :$6,$1
TRANSCRIPT
e-ISSN : 2502-5198p-ISSN : 2355-9969
Akreditasi: 780/Akred/P2MI-LIPI/08/2017
jurnal WASIAN
Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora linn.) di Habitat Alaminya
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering Sekunder di Halmahera Timur
PPengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta
PPotensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang bernilai Ekonomi di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat
JURNAL WASIAN Vol. 7 No. 2 Manado, Desember 2020
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO
JURNAL WASIAN
Alamat Redaksi:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, IndonesiaTelepon: 0431-7242949
E-mail: [email protected]: http://manado.litbang.menlhk.go.id atau http://balithut-manado.org
Wahana Informasi Penelitian KehutananMedia for Information in Forestry Research
Vol. 7 No. 2, Desember 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN: 2355-9969
i
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO
Jurnal WASIAN VOL. 7 No. 2 Hal 73-151 Manado
Desember 2020
ISSN e-ISSN: -2502-5198 p-ISSN: 2355-9969
ISSN
ii
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
SUSUNAN REDAKSI
Ketua (Editor in Chief) Ir. Martina A. Langi, M.Sc., Ph.D.
Konservasi dan Restorasi Hutan
Universitas Sam Ratulangi
Anggota (Members) Wawan Nurmawan, S.Hut, M.Si.
Ekologi Hutan, Universitas Sam Ratulangi
Ir. Josephus I. Kalangi, M.S.
Klimatologi, Universitas Sam Ratulangi
Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.
Silvikultur
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.
Ilmu Kayu dan Teknologi Hasil Hutan
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Margaretta Christita, S.Hut, M.Sc.
Mikrobiologi
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Anita Mayasari, S.Hut, M.Si.
Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Ady Suryawan, S.Hut, MIL.
Biologi Konservasi
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado
Mitra Bestari (Peer reviewer) Prof. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.
Pemuliaan Tanaman Hutan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Ir. J.S. Tasirin, M.Sc.F., Ph.D.
Ekologi Konservasi Sumberdaya Hutan
Universitas Sam Ratulangi
Hasnawir, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
Konservasi Sumber Daya Hutan
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Makassar
Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.
Konservasi Satwa Liar, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Hengki Walangitan, M.P.
Sosial Ekonomi Kehutanan
Universitas Sam Ratulangi
Dr. Ir. Mahfudz, M.P.
Silvikultur
Pusat Data Informasi, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
Dr. Ir. Terry M. Frans, M.Si.
Entomology Hutan, Universitas Sam Ratulangi
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.
Silvikultur dan Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang,
Institut Pertanian Bogor
Fabiola Baby Saroinsong, S.P., M.Si., Ph.D.
Ekologi Lanskap dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, Universitas Sam Ratulangi
Prof. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA
Mikologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si.
Konservasi Sumber Daya Hutan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si.
Biometrika Hutan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Dr. Ir. Ronggo Sadono
Biometrika Hutan
Universitas Gadjah Mada
Rini Pujiarti, S.Hut., M.Agr., Ph.D.
Teknologi Hasil Hutan
Universitas Gadjah Mada
Dr. Ganis Lukmandaru, S.Hut., M.Agr.
Teknologi Hasil Hutan
Universitas Gadjah Mada
Dr. Tatang Tiryana, S.Hut., M.Sc.
Inventarisasi Hutan, Biometrika Hutan, Perencanaan
Pengelolaan Hutan
Institut Pertanian Bogor
Dwiko B. Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
Kebijakan dan Manajemen Hutan
Universitas Gadjah Mada
Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si.
Kebijakan Kehutanan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi,
Kebijakan, dan Perubahan Iklim
Dr. Iwan Saskiawan
Mikrobiologi
Pusat Penelitian Biologi LIPI
iii
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
Penanggung Jawab
Mochlis, S.Hut.T., M.P.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Pimpinan Redaksi Pelaksana (Managing editor)
Lulus Turbianti, S.Hut
Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama
Anggota Redaksi Pelaksana (Members)
Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.
Rinna Mamonto
Desain Tata Letak (Layout Editor)
Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., M.T.
Harwiyadin Kamma
Sekretariat (Secretariat)
Agus Purwanto, S.AB., M.I.L., M.Sc.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi JURNAL WASIAN mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 7 No. 2,
Desember 2020:
Prof. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P.
(Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan)
Dr. Ir. Hengki Walangitan, M. P.
(Program Studi Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi)
Dr. Ir. Ronggo Sadono
(Universitas Gadjah Mada)
Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si.
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim)
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.
(Silvikultur dan Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang, Institut Pertanian Bogor)
Dr. Ir. Mahfudz, MP
(Pusat Data dan Informasi KLHK)
Dwiko B. Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
(Universitas Gadjah Mada)
Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si.
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)
Dr. Iwan Saskiawan
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Prof. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)
v
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
DAFTAR ISI
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap
Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora Linn.) di Habitat Alaminya
The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw Tree (Helicteres isora Linn.)
Fruit Productivity in the Natural Habitat
Dani Pamungkas dan Siswadi ............................................................................................... 73-86
Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering
Sekunder di Halmahera Timur
Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland Secondary Forest
in East Halmahera
Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin ........................................................ 87-101
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya
Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on Germination Percentage
of Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq))
Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad ........................................ 103-109
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan
Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta
Socio Demographic Factors and Work Performance of Forest Workers
in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar, KPH Yogyakarta
Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto............................................... 111-120
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai Ekonomi
di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with Economic Value
in Belitong Island, The Province of Bangka Belitung
Ivan Permana Putra .................................................................................................................. 121-135
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai
di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat
Conflict Mapping of Gunung Ciremai National Park
in Cisantana Village, Cigugur, Kuningan, West Java
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah ......................................................................................... 137-151
vi
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, DESEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya
UDC: 232.412.2
Dani Pamungkas¹ dan Siswadi²
(¹Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Kupang;2 Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru)
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang
Terhadap Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules
(Helicteres isora Linn.)
di Habitat Alaminya
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 83 - 86
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan teknik pemangkasan di dua kondisi naungan yang
berbeda terhadap produktivitas buah tanaman kayu ules.
Rancangan yang digunakan adalah petak terbagi (split plot
design) dengan dua faktor perlakuan yaitu dua kondisi
naungan (ternaung dan terbuka) sebagai petak utama dan
teknik pemangkasan sebagai sub petak. Hasil penelitian
menunjukkan naungan memiliki peran penting dalam
produksi buah dan teknik pemangkasan cabang berpengaruh
terhadap jumlah tunas dan buah, serta terdapat interaksi antar
perlakuan yang nyata terhadap jumlah buah. Tumbuhan pada
tempat terbuka menghasilkan karakteristik buah yang lebih
baik pada panjang buah (46,94 mm), diameter buah (6,41
mm), berat buah paska panen (0,94 g), berat buah kering oven
(0,89 g) dan kadar air yang lebih rendah (5,57 %)
dibandingkan pada tempat yang ternaung sebesar 44,16 mm;
5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g; 6,95 %, berturut-turut untuk panjang
buah, diameter buah, berat buah paska panen, berat buah
kering oven dan kadar air.
.
UDC: 892.9
Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin
(Institut Pertanian Bogor)
Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada
Hutan Lahan Kering Sekunder di Halmahera Timur
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 87 - 101
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model
alometrik biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder
Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk
membandingkan akurasi model-model alometrik lokal
tersebut dengan model-model alometrik lain yang umum
digunakan dalam pendugaan biomassa hutan sekunder.
Pengukuran biomassa pohon dilakukan secara destruktif
terhadap 18 pohon jenis campuran (dengan kisaran
diameter 5,4 – 36,9 cm) di hutan sekunder. Sampel-
sampel dari tiap bagian pohon (batang, cabang, ranting,
dan daun) dianalisis di laboratorium untuk menentukan
biomassa tiap pohon contoh. Model-model alometrik
disusun menggunakan analisis regresi non-linier, yang
kemudian dibandingkan dengan model-model alometrik
lain. Penelitian ini menunjukkan bahwa biomassa pohon
jenis campuran di lokasi penelitian dapat diduga secara
akurat menggunakan model M7 yang menggunakan
peubah diameter, tinggi dan kerapatan kayu. Model
alometrik lokal tersebut lebih akurat dibandingkan
dengan model-model alometrik lain yang umum
digunakan untuk pendugaan biomassa hutan tropis.
Alternatifnya, model M3 yang menggunakan peubah
diameter dan tinggi juga dapat digunakan ketika data
kerapatan kayu tidak tersedia.
UDC: 232.312
Arif Irawan1,3*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan
Fuad Muhammad4
(1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Diponegoro; 2Taman Nasional Wakatobi
; 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Manado; 4Departemen Biologi Fakultas
Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro)
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan
Ekstraksi Terhadap Daya Kecambah Benih Langusei
(Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 103 - 109
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai
terhadap daya kecambah benih Langusei. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap
yang disusun dengan pola faktorial. Faktor pertama
adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang
dibedakan berdasarkan kategori warna buah: 1) Buah
berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-
kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4) Buah
berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua
adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri dari : 1)
Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2)
Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam, dan 3)
Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasakan
buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk
menghasilkan daya kecambah benih Langusei yang
optimal adalah pada kondisi buah pra-masak (warna buah
oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan
perlakuan ektraksi yang digunakan adalah direndam
selama 24 jam.
vii
UDC: 922.2
Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet
Riyanto
(Universitas Gadjah Mada)
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja
Pemanenan Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH
Yogyakarta
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 111 - 120
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi kondisi
sosio-demografi pekerja pada pemanenan daun kayu putih
dan menganalisis standar prestasi kerja pemanenan di KPH
Yogyakarta. Survei terhadap 100 sampel pekerja digunakan
untuk mengetahui karakteristik sosial demografi sedangkan
pengamatan mendalam dilakukan terhadap 3 pekerja yang
berbeda karakteristiknya untuk mengetahui prestasi kerja.
Kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan pemanenan
daun kayu putih dilihat dari delapan karakteristik yaitu
umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan, mata
pencaharian, dan kepemilikan lahan. Pekerja memiliki usia
rata-rata 58 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.Tingkat
pendidikan yang dimiliki pekerja didominasi oleh lulus
Sekolah Dasar (SD) sebesar 64 %. Jumlah tanggungan
setiap rumah tangga pekerja rata-rata 4 orang, dengan mata
pencaharian utama sebagai petani. Rata-rata kepemilikan
lahan pekerja pada kegiatan pemanenan daun kayu putih
seluas 0,17 ha. Prestasi kerja pemanenan orang normal
dalam menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih
di KPH Yogyakarta adalah sebesar 72,23 kg/jam.
.
UDC: 892.53
Ivan Permana Putra
(Institut Pertanian Bogor)
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai
Ekonomi di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2019, Hal 121 – 135
Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi awal
terkait taksonomi jamur pangan liar di Pulau Belitong
beserta karakter biologinya. Eksplorasi jamur dilakukan
sebanyak 2 kali pada tahun 2018 – 2019 dengan
opportunistic sampling method. Data pemanfaatan jamur
liar dikoleksi untuk melengkapi deskripsi dari jamur yang
ditemukan. Sejumlah 5 jamur pangan liar bernilai ekonomi
yang dilaporkan pada penelitian ini adalah : Amanita sect.
caesarea (kulat pelandok), Heimioporus sp. (kulat pelawan),
Hygrocybe cf. conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat
sukatan), dan Volvariella sp. (kulat sawit). Tiga jenis dari
jamur yang diketahui merupakan jamur pembentuk
ektomikoriza yakni kulat pelandok dengan Schima wallichii,
kulat pelawan dengan Tristaniopsis merguensis, dan kulat
sukatan yang belum diketahui dengan jelas inangnya.
Sementara itu, 2 jamur lainnya merupakan jamur saprofit.
Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum
Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4 famili.
Heimioporus sp. diketahui merupakan jamur yang
memiliki harga jual yang paling tinggi dibandingkan
dengan 4 jamur lainnya sehingga memiliki prospek yang
baik untuk dilanjutkan ke tahapan kultivasi. Upaya
konservasi tanaman yang menjadi inang jamur pembentuk
ektomikoriza perlu menjadi perhatian penting di Pulau
Belitong.
UDC: 913
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah
(Balai Penelitian dan PengembanganTeknologi
Agroforestry)
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di
Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, Desember 2020, Hal 137 - 151
Tujuan penelitian ini adalah melakukan pemetaan konflik,
menjelaskan gaya para pihak dalam berkonflik dan
mengetahui pilihan-pilihan cara penyelesaiannya.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2017 di
wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yakni
di Desa Cisantana, Kabupaten Kuningan. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik partisipatory rural appraisal
(PRA), wawancara, pengamatan lapangan, dokumentasi,
dan diskusi kelompok terfokus. Metode penelitian yang
digunakan adalah Rapid Land Tenure Assesment (RaTA)
dan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konflik yang dominan
terjadi di TNGC adalah perubahan status hutan yang
berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi masyarakat
sekitar TNGC. Ada 8 (delapan) aktor dominan yang terlibat
yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Alam Lestari,
Perhutani, TNGC, Swasta (CV Mustika, Asuransi),
pemerintah desa serta pemerintah daerah (Dinas
Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Setiap stakeholder
mempertanyakan aksesibilitas mereka dalam mengelola
bumi perkemahan Palutungan. Masyarakat Desa Cisantana
merasa yang paling dirugikan. Dalam berkonflik, masing-
masing pihak memiliki gaya sengketa yang berbeda. KTH
Rimba Alam Lestari, Perhutani, TNGC dan CV Mustika
memilih gaya sengketa berkompromi. KTH Rimba Alam
Lestari dan TNGC juga menerapkan gaya kolaborasi,
sementara pemerintah daerah memilih gaya menghindar.
Sebaliknya pemerintah desa dan pihak asuransi bergaya
akomodasi. Para stakeholder difasilitasi dan dimediasi
untuk mengusulkan izin pengelolaan Patulungan (parkir),
serta izin pengelolaan Ipukan (pemandu wisata), sehingga
mendapatkan legalitas pengelolaan dan pengakuan. Dalam
hal ini, peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik
sangat diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik.
viii
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 No.2, DECEMBER 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
The abstract may be reproduced without permission or charge
UDC: 232.412.2
Dani Pamungkas¹ dan Siswadi²
(1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Kupang; 2Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru)
The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw
Tree (Helicteres isora Linn.) Fruit Productivity in the
Natural Habitat
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, December 2020, Page 73 - 86
The research aimed for gaining information on the effect of
pruning on screw tree fruit productivity in the natural habitat
under two shade conditions on fruit productivity. Split plot
design was employed with two factors which were two shade
conditions (shaded under trees and open) as a main plot and
the pruning techniques as a sub plot. Pruning techniques had
affected significantly on the number of shoots and fruits, and
there was an interaction between treatments to the number of
fruits. Shade conditions had an important role on fruit
production. Plants grew under open space had better fruit
characteristics on fruit length (46,94 cm), fruit diameter
(6,41 mm), post-harvest fruit weight (0,94 g), oven-dried fruit
weight (0,89 g) and lower water content (5,57 %), compared
to under shaded space 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g
and 6,95 %, respectively for fruit length, fruit diameter, post-
harvest fruit weight, oven-dried fruit weight and fruit water
content.
.
UDC: 892.9
Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin
(Institut Pertanian Bogor)
Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland
Secondary Forest in East Halmahera
Jurnal Wasian
Vol.7 No.2, December 2020, Page 87 - 101
This study aimed to develop allometric biomass models for
mixed-species trees in a secondary forest of East Halmahera,
North Maluku, and to compare their accuracies with some
other allometric biomass models that commonly used for
estimating biomass of secondary forests. The tree biomass
measurement was conducted by using a destructive sampling
of 18 mixed-species trees (with diameter range of 5,4 – 36,9
cm) in a secondary forest. The samples of each tree
component (stem, branch, twig, and leaf) were analyzed in a
laboratory to determine the biomass of each sample tree.
Allometric models were developed by using a non-linear
regression analysis, which were then compared with other
allometric models. This study revealed that the biomass of
mixed-species trees in the study area could be estimated
accurately using the M7 model that used diameter, height,
and wood density variables. Such local allometric model
was more accurate than other allometric models
commonly used for estimating tropical forest biomass.
Alternatively, the M3 model that used diameter and height
variables could also be used when wood density data was
not available.
UDC: 232.312
Arif Irawan1,3*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan
Fuad Muhammad4
(1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Diponegoro; 2Taman Nasional Wakatobi; 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Manado; 4Departemen Biologi Fakultas
Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro)
Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on
Germination Percentage of Langusei (Ficus minahassae
(Teysm.et.Vr.) Miq))
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, December 2020, Page 103 - 109
This study aims to determine the level of fruit maturity and
the appropriate extraction treatment for the germination
of Langusei seeds. The experimental design used in this
study was a complete randomization design which is
arranged in a factorial pattern. The first factor is the
classification of the level of seed maturity based on fruit
color categories: 1) Orange-brown fruit, 2) Orange-
reddish fruit, 3) Red fruit, and 4) Red-black fruit, while the
second factor is the fruit extraction treatment which
consists of: 1) Extraction with dry wind treatment for 24
hours, 2) Extraction with drying treatment for 12 hours,
and 3) Extraction with water treatment for 24 hours. The
results showed that the fruit maturity level and the
appropriate extraction treatment to produce optimal
Langusei seed germination were in the (orange-brown
and orange-reddish fruit) (mature fruits prior to ripening)
which was soaked in water for 24 hours.
ix
UDC: 922.2
Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet
Riyanto
(Universitas Gadjah Mada)
Socio Demographic Factors and Work Performance of
Forest Workers in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar,
KPH Yogyakarta
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, December 2020, Page 111 - 120
This study aims to identify the socio-demographic conditions
of forest workers in cajuput leaves harvesting and to analyze
the standards performance of harvesting in FMU
Yogyakarta. A survey of 100 samples of workers were used
to determine socio-demographic characteristics, while in-
depth observations were made on 3 workers with different
characteristics to determine work performance. The socio-
demographic conditions of workers in the cajuput leaf
harvesting are seen from eight characteristics, namely age,
gender, education, number of dependents, livelihoods, and
land ownership. Workers have an average age of 58 years
old and are male. The level of education possessed by
workers is dominated by graduating from elementary school
(SD) by 64 %. The average number of dependents per
worker household is 4 people, with the main livelihood being
farmers. The average land ownership of workers in cajuput
leaf harvesting is 0.17 ha. The work performance of
harvesting for normal people in the FMU Yogyakarta is
72.23 kg / hour.
UDC: 892.53
Ivan Permana Putra
(Institut Pertanian Bogor)
The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with
Economic Value in Belitong Island, The Province of Bangka
Belitung
Jurnal WASIAN
Vol 7 No.2, December 2020, Page 121 - 135
This research aimed to provide the basic taxonomical
information of wild edible mushroom in Belitong island as
well as the biological characters. Observations were
conducted 2 times in 2018 – 2019 using opportunistic
sampling method. The utilization data of wild edible
mushroom were collected to complete the macrofungi
description in this study. A number of 5 edible wild
mushrooms with th eeconomic value reported in this study
were: Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus
sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong),
Phylloporus sp. (kulat sukatan), and Volvariella sp. (kulat
sawit). Three species of fungi are ectomycorrhizal forming
fungi, namely kulat pelandok with Schima wallichii, kulat
pelawan with Tristaniopsis merguensis, and kulat sukatan
which host is still unclear. Meanwhile the rest are
saprophytic macrofungi. All wild edible mushrooms are
members of the phylum Basidiomycota which are divided
into 2 orders and 4 families. Heimioporus sp. is known to be
the highest selling price mushroom compared to the others,
which indicated the
potential prospect to proceed to the cultivation stage. In
addition, conservation management of plants that are hosts
of ectomycorrhizal fungi need to be an important concern
on Belitong Island.
UDC: 913
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah
(Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry)
Conflict Mapping of Gunung Ciremai National Park in
Cisantana Village, Cigugur, Kuningan, West Java
Jurnal WASIAN
Vol.7 No.2, December 2020, Page 137 - 151
The purpose of this study is to conflict mapping, explain
conflict style of stakeholder and choices of conflict
resolution. This study was conducted in February 2017 in
Cisantana Village, Kuningan Regency. Data were
collected through participatory rural appraisal;
interviews, field observation, documentation and focus
group discussions. The study method was used Rapid Land
Tenure Assessment (RaTA) and Dispute Style Analysis
(AGATA). The results showed that the dominant conflict in
TNGC was the change of forest status which affected the
economic activities of the community around TNGC, that
involved eight dominant actor. In a conflict, the
stakeholder has a different style of dispute. The
stakeholders was facilitated and mediated to propose a
permit to manage Patulungan (parking management), and
a permit to manage Ipukan (tourism guide). In this case,
the role of outsiders who do not have a conflict relationship
is needed in order to realize conflict resolution.
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
73
PENGARUH NAUNGAN POHON DAN TEKNIK PEMANGKASAN CABANG TERHADAP
PRODUKTIVITAS BUAH TANAMAN KAYU ULES (Helicteres isora Linn.)
DI HABITAT ALAMINYA
THE EFFECT OF TREE SHADE AND PRUNING TECHNIQUES ON SCREW TREE
(Helicteres isora Linn.) FRUIT PRODUCTIVITY IN THE NATURAL HABITAT
Dani Pamungkas¹* dan Siswadi²
¹Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang
Jl. Alfons Nisnoni No. 7 (Belakang) Airnona, Kota Raja, Kupang, Nusa Tenggara Timur 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Jl. Ahmad Yani, KM. 28, 7, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
*Email: [email protected]
Diterima: 8 Januari 2020; Direvisi: 21 Februari 2020; Disetujui: 17 Juli 2020
ABSTRAK
Kayu ules (Helicteres isora Linn.) merupakan salah satu tumbuhan perdu dengan batang utama sejumlah 5 – 15 batang
yang distribusi alaminya dapat dijumpai di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan
berpotensi sebagai tanaman obat. Buah kayu ules adalah materi utama yang dimanfaatkan sebagai bahan obat
tradisional atau jamu. Hingga saat ini, belum ada informasi produktivitas buah kayu ules di bawah naungan dan
terbuka. Kondisi di lapangan menunjukkan ada perbedaan jumlah produksi bunga dan buah di bawah kedua kondisi
naungan tersebut serta jumlah batang utamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan teknik
pemangkasan di dua kondisi naungan yang berbeda terhadap produktivitas buah tanaman kayu ules. Rancangan yang
digunakan adalah petak terbagi (split plot design) dengan dua faktor perlakuan yaitu dua kondisi naungan (ternaung
dan terbuka) sebagai petak utama dan teknik pemangkasan sebagai sub petak. Hasil penelitian menunjukkan naungan
memiliki peran penting dalam produksi buah dan teknik pemangkasan cabang berpengaruh terhadap jumlah tunas dan
buah, serta terdapat interaksi antar perlakuan yang nyata terhadap jumlah buah. Tumbuhan pada tempat terbuka
menghasilkan karakteristik buah yang lebih baik pada panjang buah (46,94 mm), diameter buah (6,41 mm), berat buah
paska panen (0,94 g), berat buah kering oven (0,89 g) dan kadar air yang lebih rendah (5,57 %) dibandingkan pada
tempat yang ternaung sebesar 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g; 6,95 %, berturut-turut untuk panjang buah, diameter
buah, berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air.
Kata kunci: kayu ules, teknik pemangkasan, naungan pohon, kualitas buah
ABSTRACT
Screw tree (Helicteres isora Linn.) is a shrub species with 5 to 15 main stems where the natural distribution can be
found in South Timor Tengah (TTS) regency of East Nusa Tenggara (NTT) province and it is potential as a medicinal
plant. The fruits are the main material harnessed for traditional medicine or jamu. Recently, little is known on fruit
productivity of screw tree under shaded and open area. At the field showed that there were differences on fruit and
flower production under two shade condition and the main stems. The research aimed for gaining information on the
effect of pruning on screw tree fruit productivity in the natural habitat under two shade conditions on fruit
productivity. Split plot design was employed with two factors which were two shade conditions (shaded under trees
and open) as a main plot and the pruning techniques as a sub plot. Pruning techniques had affected significantly on
the number of shoots and fruits, and there was an interaction between treatments to the number of fruits. Shade
conditions had an important role on fruit production. Plants grew under open space had better fruit characteristics on
fruit length (46,94 cm), fruit diameter (6,41 mm), post-harvest fruit weight (0,94 g), oven-dried fruit weight (0,89 g)
and lower water content (5,57 %), compared to under shaded space 44,16 mm; 5,73 mm; 0,87 g; 0,81 g and 6,95 %,
respectively for fruit length, fruit diameter, post-harvest fruit weight, oven-dried fruit weight and fruit water content.
Keywords: kayu ules, pruning technique, tree shade, fruit quality
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
74
PENDAHULUAN
Obat-obatan tradisional atau jamu telah menjadi
budaya dan sebagai salah satu bagian dari
pemanfaatan biodiversitas Indonesia yang memiliki
potensi untuk dikembangkan. Akan tetapi hingga
saat ini pemanfaatannya masih mengalami pasang
surut, di antara penyebabnya adalah belum semua
dokter merekomendasikan jamu dengan alasan tidak
adanya bukti ilmiah (Purwaningsih, 2013). Selain itu,
permasalahan dalam industri obat-obatan tradisional
adalah pemenuhan bahan baku. Sebanyak 42 %
pasokan tanaman obat untuk industri obat tradisional
di Indonesia diperoleh melalui eksploitasi dari
regenerasi alam, sedangkan sisanya dihasilkan dari
budidaya, untuk memenuhi permintaan sekitar 1.000
ton/tahun (Pribadi, 2015). Pemanenan secara terus
menerus tanpa disertai upaya budidaya dapat
menimbulkan resiko kepunahan bagi spesies
tumbuhan obat.
Helicteres isora, yang memiliki nama
perdagangan kayu ules, adalah salah satu tumbuhan
obat yang digunakan sebagai bahan baku jamu di
Indonesia. Tumbuhan ini memiliki nilai penting
karena buah, akar dan kulit batangnya berpotensi
sebagai obat. Penelitian tentang kayu ules telah
berkembang dalam konteks potensi obat yang
diperoleh melalui kulit batang (Jain et al., 2014;
Vikrant & Arya, 2011) dan akarnya (Sharma &
Chaudhary, 2016). Di India buah kayu ules dapat
digunakan untuk menyembuhkan diare, perut
kembung (Kumar & Singh, 2014; Loganayaki et al.,
2013) dan pengobatan diabetes (Chandirasegaran et
al., 2016). Di Indonesia, bagian tanaman kayu ules
yang paling banyak dimanfaatkan adalah buahnya,
dan telah dimanfaatkan sebagai salah satu komponen
jamu komersil dengan merek “Tolak Angin” yang
diproduksi oleh Sidomuncul (Cunningham et al.,
2018). Akan tetapi, potensi tanaman kayu ules di
Nusa Tenggara Timur (NTT) belum termanfaatkan
dengan baik dalam pengertian peningkatan
produktivitas buahnya. Selama ini masyarakat hanya
memanen buahnya tanpa melakukan perlakuan
khusus.
Secara morfologi, tanaman tanaman kayu ules
termasuk dalam perdu dan dapat mencapai tinggi
berkisar antara 2 – 4 m. Buah tanaman memanjang
memiliki lima folikel yang tersusun secara spiral atau
terpuntir, saat muda buahnya berwarna hijau dan saat
tua berwarna coklat (Brink & Escobin, 2003).
Tumbuhan ini memiliki batang utama yang cukup
bervariasi berjumlah 7 – 9 batang dalam satu rumpun,
dan sebaran alaminya dijumpai di Desa Bosen
kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT
(Siswadi et al., 2018).
Budidaya tanaman kayu ules untuk pemanfaatan
buahnya juga telah dilakukan, namun masih sangat
terbatas informasinya seperti penelitian oleh Ferdousi
et al. (2014) tentang perkecambahan biji kayu ules
dan stek batang. Penelitian terbaru oleh Pamungkas et
al. (2019) mengenai budidaya melalui stek batang
menghasilkan rekomendasi bahwa terdapat 6 kelas
diameter yang memiliki potensi untuk sumber stek
batang. Namun demikian, informasi tersebut belum
mencakup topik tentang peningkatan produktivitas
tumbuhan kayu ules yang ada di habitat alaminya.
Upaya peningkatkan produktivitas tanaman kayu ules
pernah dilakukan oleh Siswadi et al. (2018) melalui
penjarangan (thinning) batang dalam satu rumpunnya
dan pemupukan dengan menggunakan NPK untuk
melihat produktivitasnya dalam menghasilkan buah.
Penjarangan berat, yaitu meninggalkan 3 batang
utama dalam satu rumpun, menunjukkan
produktivitas terbaik dibandingkan dengan
penjarangan sedang dan kontrol. Penjarangan
ditujukan untuk mengurangi kompetisi antar batang
dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada seperti
cahaya, air dan nutrisi. Akan tetapi, teknik
peningkatan produktivitas buah pada tanaman kayu
ules perlu dilakukan dengan metode lain agar dapat
dijadikan pembanding dengan metode penjarangan.
Upaya peningkatan produktivitas suatu tanaman
juga dapat dilakukan dengan metode pemangkasan
(pruning). Pada beberapa penelitian, perlakuan
pemangkasan telah mampu meningkatkan
produktivitas serta kualitas buah suatu komoditi
seperti Vitis vinivera (Abdel-Mohsen, 2013), Punica
granatum (Sharma & Singh, 2018), Capsicum
annuum (Sukmawati & Numba, 2018) dan Prunus
persica (Lesičar et al., 2016). Akan tetapi, informasi
mengenai teknik-teknik peningkatan produktivitas
buah kayu ules melalui pemangkasan pada tumbuhan
kayu ules di bawah kondisi naungan pohon dan
terbuka masih sangat terbatas. Terkait keterbatasan
informasi tersebut, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh naungan pohon
dan perbedaan teknik pemangkasan cabang dalam
meningkatkan produktivitas buah kayu ules.
METODE PENELITIAN
Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di plot habitat alami
tumbuhan kayu ules di Dusun Mesak Anen, Desa
Bosen, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
75
Tengah Selatan (TTS) NTT dengan koordinat lokasi
S 09o 42ʹ 34,1ʺ dan E 124o 18ʹ 03,5ʺ dan elevasi ± 691
m diatas permukaan laut, seperti tersaji pada Gambar
1. Berdasarkan informasi dari masyarakat, lokasi
penelitian merupakan lokasi perladangan masyarakat
yang telah lama ditinggalkan, sehingga pada
umumnya kayu ules tumbuh bersamaan. Di lokasi
ini, tanaman kayu ules tumbuh alami dan
mengelompok dengan luas area ± 0,5 ha.
Sebagian tanaman tumbuh dibawah naungan
pohon dan sebagian lainnya di tempat terbuka.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah
dilakukan oleh Umroni et al. (2015), menunjukkan
bahwa pohon yang menaungi tanaman kayu ules
terdiri dari jenis timo (Timosius sericeus), johar
(Cassia siamea), kabesak (Acacia leucophloea),
nanum (Ficus variegate) dan fokko (Gyrocars
(Cassia siamea), kabesak (Acacia leucophloea),
nanum (Ficus variegate) dan fokko (Gyrocarpus
americanus) dengan indeks nilai penting (INP)
masing-masing 49,7 %, 45,16 %, 28,13 %, 16,99 %
dan 11,22 %. Tumbuhan kayu ules yang dijumpai
umumnya memiliki tinggi antara 2 – 4 m dengan
jumlah batang utama diatas permukaan tanah antara 7
– 12 batang, serta telah mengalami fase pembungaan
dan produksi buah, yang telah lama dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk dijual.
Suhu udara di lokasi penelitian saat penerapan
perlakuan pada tanaman kayu ules, berkisar antara
29o C – 38o C, dengan kelembaban antara 55 % – 69
%. Penelitian dilakukan dari bulan November 2018
hingga September 2019.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini
berupa gunting stek, kaliper digital, penggaris, label,
plastik klip, spidol permanen, GPS dan lux meter.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian
ini berupa tanaman kayu ules yang tumbuh di habitat
alaminya dan buah kayu ules.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua faktor perlakuan
yang dirancang dengan rancangan petak terbagi (split
plot design) dengan petak utama, perlakuan naungan
dan sub petak, perlakuan teknik pemangkasan.
Perlakuan naungan pada tumbuhan kayu ules yang
menjadi sampel adalah tumbuhan yang ternaungi
oleh tajuk pohon yang ada disekitar kayu ules;
Gambar 1. Peta lokasi plot habitat alami tumbuhan kayu ules di Desa Bosen
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
76
sedangkan yang tanpa naungan yaitu tumbuhan kayu
ules yang tumbuh ditempat terbuka. Perlakuan teknik
pemangkasan cabang meliputi 5 teknik; kombinasi
dua faktor perlakuan ini disajikan pada Tabel 1.
Perlakuan naungan merupakan naungan pohon
dominan dari beberapa jenis yang tumbuh pada
lokasi penelitian dengan kerapatan tajuk yang
beragam. Intensitas cahaya diukur di bawah naungan
pohon pada beberapa kondisi kerapatan, begitu juga
pada lokasi tanpa naungan (Tabel 2). Pada lokasi
penelitian, tumbuhan kayu ules merupakan tumbuhan
perdu yang memiliki rumpun dengan jumlah batang
antara 5 – 15 batang. Pada saat musim berbunga dan
berbuah, organ generatif tersebut muncul pada tiap
nodus yang umumnya masih terdapat daun yang
belum gugur. Setiap nodus dapat memiliki jumlah
buah 2 – 4 buah.
Tabel 1. Kombinasi perlakuan antara kondisi naungan dengan teknik pemangkasan
Faktor Perlakuan 1 Faktor Perlakuan 2
1. Terbuka (N0) 1. Kontrol atau tanpa pemangkasan (P0)
2. Pemangkasan semua cabang hingga meninggalkan batang utama (P1)
3. Pemangkasan ujung cabang sepanjang 30 cm (P2)
4. Pemangkasan setengah batang utama (P3)
5. Pemangkasan semua ujung cabang hingga nodus ketiga (P4)
2. Ternaung (N1) 1. Kontrol atau tanpa pemangkasan (P0)
2. Pemangkasan semua cabang hingga meninggalkan batang utama (P1)
3. Pemangkasan ujung cabang sepanjang 30 cm (P2)
4. Pemangkasan setengah batang utama (P3)
5. Pemangkasan semua ujung cabang hingga nodus ketiga (P4)
Tumbuhan yang digunakan dalam penelitian
dipilih secara purposive, kemudian tiap batang
ditandai dengan label yang menunjukkan teknik
pemangkasan. Teknik pemangkasan tersebut
dilakukan pada satu individu yang memiliki batang
utama lebih dari lima batang, sehingga satu individu
kayu ules menerima perlakuan 5 teknik
pemangkasan. Pada lokasi ternaung dipilih 20
tumbuhan kayu ules, dan setiap tumbuhan dilakukan
5 teknik pemangkasan. Pemilihan jumlah dan
perlakuan yang sama juga diterapkan pada tumbuhan
di lokasi terbuka. Total pengamatan sebanyak 200
batang (Gambar 2). Penentuan sampel tumbuhan
pada perlakuan ternaung dilakukan pada kisaran
intensitas cahaya yang telah diukur sebelumnya agar
kisaran intensitas cahaya dibawah naungan dapat
terwakili. Penerapan 5 perlakuan pemangkasan
berbeda pada satu individu yang sama dimaksudkan
agar 5 teknik pemangkasan tersebut diterima oleh
individu dengan umur yang sama.
Gambar 2. Pemangkasan cabang kayu ules (Helicteres isora)
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
77
Pengamatan Karakter Tanaman dan Analisis
Data
Pengumpulan data
Karakter pengamatan meliputi jumlah bunga,
jumlah tunas, jumlah buah dan dimensi buah.
Pengamatan pada dimensi buah mencakup diameter
buah yang diukur pada ujung, tengah dan pangkal,
panjang buah, berat buah paska panen, berat buah
kering oven dan kadar air buah. Data berat buah
kering oven diperoleh melalui pengeringan buah
yang dilakukan menggunakan oven elektrik
(Memmert) pada suhu 60o C (Depkes, 2008), selama
48 jam. Parameter kadar air buah dihitung menurut
persamaan umum (Yuliah, 2017):
Pengumpulan data dilakukan pada waktu yang
berbeda. Jumlah tunas dan bunga dilakukan pada
bulan Maret 2019, yaitu 4 bulan setelah pemberian
perlakuan pemangkasan cabang pada November
2018. Sedangkan jumlah buah serta pengukuran
dimensinya dilakukan pada bulan September 2019,
yaitu 10 bulan setelah pemberian perlakuan. Untuk
pengumpulan data intensitas cahaya dilakukan
menggunakan 2 buah luxmeter di tujuh titik pada dua
kondisi naungan (di bawah naungan dan terbuka)
dengan waktu yang berurutan sejak pukul 06.00 –
10.00. Sensor lux meter ditempatkan pada titik
pengukuran selama beberapa detik hingga
menunjukkan angka yang konstan.
Analisis data
Data hasil pengamatan pada pemangkasan P3
tidak ikut dianalisis, namun nilai rata-rata tetap
ditampilkan hanya untuk di bawah naungan sebagai
pembanding dengan perlakuan lainnya tanpa
penggunaan notasi huruf. Analisis keragaman
(Analysis of variance/ ANOVA)) digunakan untuk
menguji perbedaan hasil antar perlakuan yang
diterapkan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata
dilanjutkan dengan uji berganda DUNCAN
(Duncan’s Multiple Range Test/DMRT). Data
persentase dilakukan transformasi ke Arcsin sebelum
dilakukan analisis statistik. Model linear rancangan
split plot dengan rancangan acak lengkap sebagai
berikut (Bogidarmanti & Darwo, 2019):
Y𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝛾𝑖𝑘 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖jk
Keterangan:
Y𝑖𝑗𝑘 : Pengamatan faktor naungan taraf ke-i, faktor
pemangkasan taraf ke-j, dan ulangan ke-k.
𝜇 : Rataan umum.
𝛼𝑖 : Pengaruh utama naungan taraf ke-i.
𝛽𝑗 : Pengaruh utama pemangkasan taraf ke-j.
𝛾𝑖𝑘 : Komponen acak dari faktor naungan.
(𝛼𝛽)𝑖𝑗 : Pengaruh komponen interaksi antara faktor
naungan dan faktor pemangkasan.
𝜀𝑖jk : Galat (pengaruh acak) pada faktor naungan
ke-i, faktor pemangkasan ke-j, dan ulangan
ke-k.
Untuk mengetahui apakah dimensi buah tanaman
kayu ules memiliki korelasi terhadap berat buah,
maka dilakukan analisis korelasi menurut persamaan
berikut (Sumadi & Siahaan, 2011):
Y = a + bX
Keterangan:
Y : Berat buah tanaman kayu ules
X : Dimensi buah (panjang, diameter ujung,
diameter tengah dan diameter pangkal
buah)
a : Konstanta
b : Koefisien regresi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas Cahaya
Lokasi penelitian tumbuhnya ules secara alami
terbagi menjadi dua yaitu lokasi yang terbuka dan
ternaungi. Intensitas cahaya pada tegakan alami kayu
ules berkisar antara 9,9 % hingga 59,9 %. Hasil
pengambilan data intensitas cahaya tersaji pada Tabel
2.
Intensitas cahaya pada lokasi tumbuh kayu ules
yang terbuka berkisar antara 9.320 lux – 96.800 lux.
Sedangkan pada kondisi ternaung, intensitas cahaya
berkisar antara 1.050 lux – 43.100 lux. Kedua kondisi
ini memiliki kemiripan dengan intensitas cahaya di
bawah tegakan tanaman dengan famili Sapindaceae
di Kebun Raya Purwodadi dengan intensitas
minimum 20.000 lux dan intensitas maksimum
100.000 lux, dengan suhu lingkungan antara
27 – 34 oC dan kelembaban relatif antara 65 – 75 %
(Danarto, 2020). Pohon-pohon di lokasi pengamatan
kayu ules memiliki diameter batang lebih dari 20 cm
dengan tinggi pohon antara 5 – 12 m. Pohon timo
(Timonius sericeus), dan Johar (Cassia siamea)
memiliki tajuk dengan bentuk globular (membulat),
sedangkan kabesak (Acacia leucophloea), nanum
(Ficus variegate) dan fokko (Gyrocarpus
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
78
americanus) memiliki bentuk tajuk menyebar (Booth
1989). Tajuk pohon-pohon tersebut menutupi
tegakan kayu ules sehingga mempengaruhi intersepsi
cahaya matahari yang kemudian berpengaruh
terhadap intensitas cahaya.
Tabel 2. Intensitas cahaya pada kondisi di bawah naungan pohon dan terbuka menggunakan luxmeter
Range Pengukuran Lux
Meter
Kondisi Terbuka
(lux)
Kondisi di Bawah Naungan
(lux)
Intensitas Cahaya
(%)
20.000
20.000
20.000
50.000
50.000
20.000
20.000
1.495 x 10
1.412 x 10
1.279 x 10
955 x 100
968 x 100
1.065 x 10
932 x 10
592 x 10
517 x 10
766 x 10
180 x 100
431 x 100
105 x 10
127 x 10
39,6
36,6
59,9
18,8
44,5
9,9
13,6
Keterangan: Angka pada luxmeter yang dibaca pada kisaran pengukuran 20.000 nilainya x 10 dan 50.000 x 100
Jumlah Tunas, Bunga dan Buah
Hasil analisis keragaman menunjukkan perlakuan
naungan hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah
buah (Tabel 3). Teknik pemangkasan mempengaruhi
secara nyata terhadap jumlah tunas dan buah, serta
terdapat interaksi antar perlakuan yang nyata
terhadap jumlah buah.
Tabel 3. Analisis sidik ragam untuk jumlah tunas, bunga dan buah
Sumber Variasi Derajat
Bebas
Jumlah Tunas Jumlah Bunga Jumlah Buah
RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05
Petak utama
Naungan 1 6,34ns 0,86 148,37 ns 0,32 1114,13* 0,006
Galat 19 163,53 143,75 117,12
Anak petak
Pemangkasan 4 518,90* 0,001 49,51 ns 0,26 708,83* 0,001
Interaksi 4 45,81 ns 0,62 17,56 ns 0,70 439,97* 0,005
Galat 114 78,88 37,10 95,82
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05.
RK = Rerata kuadrat.
Batang yang tumbuh di tempat terbuka dengan
pemangkasan setengah batang utama (P3), tidak
memberikan hasil pada produksi bunga dan buah
(Tabel 4), hal ini diperkirakan bahwa batang yang
menerima teknik pemangkasan P3 pada tempat
terbuka mengalami pemulihan yang lebih lama dalam
membentuk cabang baru sehingga berimplikasi
terhadap pembentukan bunga dan buah. Teknik
pemangkasan P2 pada kondisi ternaung memiliki
jumlah buah yang lebih banyak (19,11) dibandingkan
dengan teknik lainnya. Sedangkan pada kondisi
intensitas cahaya penuh, teknik pemangkasan P2
menghasilkan jumlah buah yang tidak signifikan
terhadap teknik pemangkasan lainnya.
Faktor naungan, dalam hal ini adalah ketersediaan
cahaya sebagai sumber energi utama untuk
fotosintesis dapat bertindak sebagai faktor pembatas
dalam produksi buah. Pemangkasan cabang kayu ules
di bawah kondisi terbuka mampu meningkatkan
penerimaan cahaya oleh daun kayu ules yang
Gambar 3. Buah muda kayu ules (kiri) dan buah kayu ules matang (kanan)
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
79
sebelumnya tertutup, dan dimanfaatkan untuk
fotosintesis serta berimplikasi pada meningkatnya
produktifitas buah. Hal ini dapat diakibatkan karena
adanya peningkatan laju fotosintesis oleh daun yang
tersisa setelah pemangkasan. Peningkatan laju
fotosintesis pada jenis perdu seiring dengan
peningkatan intensitas cahaya hingga level yang
optimum juga dilaporkan oleh Xia et al. (2014) pada
tiga jenis perdu Zizipus jujube, Periploca sepium, dan
Securinega suffruticosa. Peningkatan laju fotosintesis
biasanya mengikuti peningkatan konduktansi stomata
(stomatal conductance) yang pada akhirnya
berdampak pada efisiensi penggunaan air (water use
efficiency) (Jutamanee & Onnom, 2016) dan absorpsi
karbondioksida. Sedangkan pada kondisi ternaung,
pemangkasan mungkin hanya memberikan perbedaan
yang kecil dalam hal penetrasi dan tangkapan cahaya
oleh daun kayu ules yang berpengaruh terhadap
produksi buah yang pada akhirnya juga berpengaruh
terhadap kapasitas fotosntesis tanaman kayu ules.
Penelitian oleh Siswadi et al. (2018) pada
tumbuhan kayu ules dengan penerapan penjarangan
berat menunjukkan peningkatan produksi buah
hingga 23 % dibandingkan dengan tumbuhan yang
tidak mendapatkan penjarangan. Selain itu, pola
pembentukan tunas baru setelah pemangkasan juga
ditunjukkan dalam penelitian oleh Hariyadi (2011)
yaitu pada tanaman jarak pagar (Jathropa curcas)
menunjukkan pola yang sama yaitu bahwa
pemangkasan mampu menghasilkan tunas primordia
lateral selama pertumbuhan jarak pagar.
Tabel 4. Nilai rata-rata jumlah tunas, bunga dan buah
Perlakuan Jumlah Tunas Jumlah Bunga Jumlah Buah
Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka
P0 18,94 cd 20,95 d 11,86 a 13,11 a 8,78 ab 15,33 bcd
P1 13,40 bc 10,68 ab 10,50 a 12,33 a 1,33 a 16,60 cd
P2 17,50 cd 19,05 cd 12,19 a 16,00 a 19,11 d 16,00 cd
P3 10,61 ab 5,05 a 17,83 - 6,00 -
P4 18,75 cd 19,50 cd 11,94 a 12,75 a 5,33 a 10,00 abc
Keterangan: Hasil yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada α 0,05. Perlakuan
untuk jumlah bunga dan buah tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak
menggunakan notasi huruf.
Hilangnya tunas apikal karena pemangkasan
menyebabkan dominasi pertumbuhan pada meristem
apikal menjadi terhenti sehingga ada peralihan
pertumbuhan untuk membentuk tunas lateral
(Juwarman et al., 2016). Dominasi tunas apikal juga
dipengaruhi oleh keseimbangan hormon auksin-
sitokinin (Auxin-cytokinin balance); auksin tambahan
yang diberikan pada tunas apikal yang terpotong
dapat menghambat pertumbuhan tunas lateral, namun
sitokinin tambahan yang diberikan secara langsung
pada tunas lateral mampu memacu pertumbuhan
tanaman (Atwell et al., 1999), dengan demikian
auksin memiliki peran sebagai inhibitor tunas lateral
yang menghambat pertumbuhannya (Hartmann et al.,
2010).
Pembentukan bunga tidak dipengaruhi secara
nyata oleh dua variabel kondisi naungan dan teknik
pemangkasan. Namun demikian, perbedaan pola
pembentukan bunga dapat dilihat terutama pada
variabel naungan (Tabel 4), yaitu bahwa pada kondisi
terbuka, tumbuhan kayu ules cenderung
menghasilkan rata-rata jumlah bunga yang lebih
banyak dibandingkan pada kondisi ternaung.
Terhambatnya pembentukan bunga karena intensitas
cahaya yang rendah juga ditunjukkan pada beberapa
jenis tanaman budidaya seperti Plukenetia volubilis
yang merupakan jenis Amazonia (Cai, 2011).
Tanaman jenis ini menunjukkan respon berupa
terhambatnya inisiasi pembentukan bunga dan buah
yang berakibat pada rendahnya massa buah.
Berat Buah Paska panen, Kering Oven dan Kadar
Air Buah
Berdasarkan analisis keragaman pada Tabel 5
menunjukkan bahwa perlakuan kondisi naungan
(ternaung dan terbuka) menjadi faktor terpenting
dalam memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap berat buah paska panen, berat buah kering
oven dan kadar air buah, namun tidak untuk
perlakuan teknik pemangkasan.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
80
Tabel 5. Analisis sidik ragam untuk berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air buah
Sumber Variasi Derajat
bebas
Berat Buah Paska Panen Berat Buah Kering Oven Kadar Air Buah
RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05
Petak utama
Naungan 1 0,12* 0,04 0,14* 0,03 33,88* 0,00
Galat 19 0,02 0,02 0,14
Anak petak
Pemangkasan 4 0,05ns 0,09 0,05 ns 0,08 1,03 ns 0,14
Interaksi 4 0,04 ns 0,21 0,03 ns 0,19 0,51 ns 0,43
Galat 114 1,02 0,02 0,54
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05
RK = Rerata kuadrat
Kondisi naungan nyata mempengaruhi berat buah
paska panen dan kering oven hanya pada perlakuan
pemangkasan P0 (kontrol) (tabel 6), namun pola berat
buah kayu ules pada tempat terbuka pada teknik
pemangkasan lainnya cenderung lebih tinggi dari
pada pada tempat ternaung. Kadar air yang
terkandung pada buah kayu ules yang dihasilkan di
tempat terbuka juga lebih rendah dibandingkan
dengan di tempat ternaung, hal ini mengindikasikan
bahwa tumbuhan kayu ules yang tumbuh di tempat
terbuka mampu menghasilkan biomassa buah yang
lebih berat dengan kadar air yang rendah
dibandingkan tumbuhan kayu ules yang tumbuh di
tempat ternaung. Indikasi ini juga tercatat pada
penelitian oleh (Ekawati et al., 2010) yang
menunjukkan bahwa produktivitas tanaman sayuran
lebih tinggi dengan kadar air yang lebih rendah pada
tempat yang terbuka dibandingkan pada tempat
ternaung. Hasil tersebut juga diperkuat dengan hasil
penelitian oleh (Lobos et al., 2013) pada tanaman
Vaccinium corymbosum dimana kadar air buah
semakin menurun seiring meningkatnya intensitas
cahaya. Atwell et al. (1999) mengatakan bahwa
naungan secara umum dapat menurunkan kualitas
buah, sebagai contoh adalah pada tanaman apel
dimana naungan yang meneruskan sinar matahari
hanya sebesar 8 % dapat menurunkan produktivitas
hingga 80 %.
Tingginya kadar air pada buah kayu ules yang
dihasilkan oleh tumbuhan kayu ules di tempat yang
ternaung dapat juga diakibatkan adanya peningkatan
kandungan air melalui xylem menuju buah (Xylem
water contribution to fruit growth). Hal ini dijelaskan
melalui penelitian yang dilakukan oleh Hanssens et
al. (2015) pada tanaman tomat bahwa aliran masuk
xylem (xylem influx) menuju buah tercatat berkisar
30,4 % dibandingkan di bawah kondisi dengan
intensitas cahaya yang tinggi, xylem influx tercatat
sebesar 20,7 %. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa xylem influx juga akan
mempengaruhi kualitas buah tomat menjadi rendah
karena kandungan solid total pada buah tomat
menjadi rendah. Pola pada penelitian tersebut dapat
juga dilihat tabel 6, bahwa buah kayu ules yang
tumbuh di bawah naungan cenderung memiliki kadar
air yang lebih tinggi dengan berat kering oven yang
cenderung lebih rendah jika dibandingkan buah kayu
ules yang diproduksi di bawah tempat yang terbuka.
Selain itu, kadar air buah kayu ules yang dihasilkan
di tempat terbuka dengan metode pemangkasan yang
berbeda menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan, yang mungkin dapat diartikan bahwa
kadar air buah kayu ules dari tempat terbuka memiliki
variasi kadar air yang rendah.
Tabel 6. Nilai rata-rata berat buah paska panen, berat buah kering oven dan kadar air
Perlakuan Berat buah paska panen (g) Berat buah kering oven (g) Kadar air (%)
Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka Ternaung Terbuka
P0 0,83 ± 0,22 ab 0,99 ± 0,15 c 0,77 ± 0,21 ab 0,96 ± 0,14 c 7,25 ± 1,10 c 5,71 ± 0,51 a
P1 0,88 ± 0,14 abc 0,99 ± 0,19 bc 0,82 ± 0,12 abc 0,94 ± 0,18 bc 6,88 ± 0,44 bc 5,72 ± 0,19 a
P2 0,92 ± 0,17 abc 0,90 ± 0,11 abc 0,86 ± 0,15 abc 0,85 ± 0,10 abc 6 43 ± 0,61 b 5,48 ± 0.56 a
P3 0,95 ± 0,05 - 0,88 ± 0,05 - 6,94 ± 0,20 -
P4 0,80 ± 0,28 a 0,84 ± 0,10 ab 0,74 ± 0,26 a 0,79 ± 0,09 ab 7,08 ± 1,34 bc 5,32 ± 0,47 a
Keterangan: Nilai rata – rata ± SD. Hasil yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
nyata. Perlakuan P3 tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak menggunakan notasi
huruf.
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
81
Naungan pohon dapat mengurangi tingkat radiasi
aktif fotosintesis (photosynthetically active radiation/
PAR) yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
kebutuhan fotosintesis. Rendahnya PAR dapat
mengakibatkan laju fotosistesis menjadi rendah yang
berakibat pada produksi buah, hal ini yang
memungkinkan menjadi penyebab rendahnya bobot
buah kayu ules paska panen dan kering oven yang
dihasilkan di tempat ternaung. Pengaruh intensitas
cahaya yang optimum dapat meningkatkan bobot
buah juga dilaporkan oleh Lobos et al. (2013) pada
tanaman Vaccinium corymbosum, tanaman ini
merupakan jenis toleran naungan (shade tolerant),
yaitu masih mampu tumbuh dan memiliki
produktivitas meski dibawah naungan. Dengan
intensitas cahaya sebesar 74 %, V. corymbosum
mampu menghasilkan bobot buah 6,83 kg/tanaman
dibandingkan di bawah intensitas cahaya yang
rendah sebesar 29 % dengan bobot 4,19 kg/tanaman.
Selain itu, buah V. corymbosum juga menunjukkan
kadar air yang lebih rendah pada intensitas cahaya
yang tinggi, yang menunjukkan trend yang sama
pada buah tanaman kayu ules.
Dalam konteks obat tradisional atau jamu, kadar
air merupakan salah satu komponen penting dalam
penentuan standar mutu suatu bahan baku dalam
menghasilkan suatu produk (Nurhayati & Andayani,
2014). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini,
diketahui bahwa buah kayu ules dengan kadar air
rendah adalah yang dihasilkan dari tumbuhan kayu
ules di tempat terbuka. Meskipun demikian, perlu
dilakukan kajian lebih lanjut terkait intensitas cahaya
yang optimal dalam menghasilkan buah kayu ules
dengan kadar air yang lebih baik. Hingga saat ini
belum diketemukan literatur yang membahas tentang
pemanfaatan buah kayu ules sebagai bahan baku
dengan tujuan komersil, kecuali untuk keperluan
penelitian, dimana kayu ules yang digunakan sebagai
sampel diolah dalam bentuk bubuk (Muthukumar et
al., 2012), yang mengindikasikan bahwa sampel
harus dalam keadaan kering agar dapat dimanfaatkan
dan diuji.
Dimensi Buah Kayu Ules
Tabel 7 menunjukkan hasil analisis keragaman
antara perlakuan naungan dan teknik pemangkasan
terhadap dimensi buah kayu ules. Perlakuan naungan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter
ujung buah, diameter tengah buah, diameter pangkal
buah dan diameter buah secara keseluruhan.
Sedangkan teknik pemangkasan tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap dimensi buah.
Interaksi antara dua perlakuan menunjukkan
perbedaan yang nyata hanya pada panjang buah.
Hasil analisis keragaman pada Tabel 7 juga
mengindikasikan bahwa faktor naungan memiliki
peran yang penting dalam mempengaruhi kategori
diameter buah kayu ules.
Tabel 7. Analisis sidik ragam untuk dimensi buah kayu ules
Sumber
Variasi
Derajat
Bebas
Panjang Buah Diameter Ujung
Buah
Diameter Tengah
Buah
Diameter Pangkal
Buah
Rerata
Keseluruhan
Diameter Buah
RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05 RK p<0,05
Petak utama
Naungan 1 135,41ns 0,17 22,99* 0,001 4,39* 0,001 3,05* 0,001 9,86* 0,001
Galat 19 59,19 0,06 0,17 0,11 0,08
Anak petak
Pemangkasan 4 95,84 ns 0,22 0,25 ns 0,28 0,05 ns 0,89 0,10 ns 0,75 0,27 ns 0,40
Interaksi 4 175,68 0,04* 0,45 ns 0,08 0,49 ns 0,13 0,25 ns 0,41 0,41 ns 0,22
Galat 114 62,12 0,19 0,25 0,25 0,27
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 0,05; ns = tidak berbeda nyata pada taraf 0,05
RK = Rerata kuadrat
Gambar 4 menunjukkan diagram perbandingan
dimensi buah dengan berbagai teknik pemangkasan
pada dua kondisi naungan. Naungan secara nyata
mempengaruhi dimensi buah kayu ules terutama
terhadap diameter buah. Tumbuhan kayu ules di
tempat ternaung memiliki dimensi buah (diameter
ujung, tengah, pangkal dan keseluruhan) yang lebih
rendah dibanding buah yang dihasilkan pada tempat
terbuka. Hal ini mengindikasikan bahwa naungan
mampu berperan sebagai faktor pembatas dalam
penentuan ukuran dimensi buah kayu ules. Hasil
tersebut juga mengindikasikan bahwa tumbuhan kayu
ules dapat dikategorikan sebagai tumbuhan toleran
naungan. Meskipun dengan intensitas cahaya yang
rendah, tumbuhan kayu ules masih mampu tumbuh
dan memproduksi buah meski dengan kualitas yang
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
82
kurang baik. Akan tetapi, belum diketahui secara
pasti apakah intensitas cahaya yang masuk memiliki
pengaruh secara langsung terhadap diameter buah
kayu ules. Pembentukan dan perkembangan buah
dapat terjadi melalui pemanfaatan nutrisi oleh
tumbuhan yang dihasilkan melalui proses
fotosintesis. Menurut Ruan et al., (2012),
pembentukan awal bunga sangat bergantung pada
nutrisi-nutrisi yang tersimpan pada batang dan akar
yang ditransfer melalui xylem, hingga daun-daun
yang muncul dari tunas vegetatif berkembang hingga
memiliki kemampuan fotosintesis. Setelah itu, proses
perkembangan buah memperoleh nutrisi utama dari
ketersediaan fotosintat (photoassimilates) dan nutrisi
lainnya yang dihasilkan melalui proses fotosintesis
yang ditransfer melalui floem.
Kondisi naungan menjadi faktor yang
penting terhadap dimensi buah kayu ules
(Gambar 4), hal ini menunjukkan pola yang
sama terhadap parameter lain yang telah dibahas
sebelumnya. Pola tersebut juga dilaporkan dari
beberapa studi terkait ketersediaan cahaya
terhadap dimensi buah seperti pada Prunus
persica (Lesičar et al., 2016). Intensitas cahaya
yang diterima oleh tumbuhan kayu ules dapat
dimanfaatkan secara baik sebagai sumber energi
untuk memproduksi buah yang berkualitas.
Meskipun demikian, tumbuhan kayu ules yang
tumbuh pada lokasi ternaung tetap mampu
memproduksi buah namun dengan kualitas yang
tidak sebaik di tempat terbuka, hal ini dapat
menunjukkan bahwa tanaman kayu ules masih
mampu tumbuh dengan baik di bawah naungan
dan masih mampu memproduksi buah, sehingga
dapat dikategorikan sebagai tanaman semi
toleran.
Gambar 5 menunjukkan sebuah pola bahwa
panjang buah dan diameter buah keseluruhan hanya
memiliki pengaruh yang rendah terhadap
peningkatan berat massa buah baik pada tempat yang
ternaung maupun tempat yang terbuka, yang
ditunjukkan dengan nilai R2 yang rendah. Pada
tempat terbuka dan ternaung, nilai korelasi
menunjukkan R2 < 0,7 hal ini menunjukkan terdapat
beberapa variabel penting lainnya yang mungkin
mempengaruhi berat buah selain dimensi buahnya.
Sebagai contoh, dalam konteks fotosintesis, Lobos et
al. (2012) menjelaskan bahwa peningkatan intensitas
cahaya memiliki korelasi yang kuat terhadap
parameter laju asimilasi CO2 dan kandungan klorofil
a dan b pada tanaman V. corymbosum, namun
memiliki hubungan yang tidak kuat dengan
konduktansi stomata dan potensi air xylem. Adanya
hubungan yang rendah tersebut, Lobos et al., (2012)
menduga adanya pengaruh lain dari pengairan yang
diberikan sama seperti kontrol sehingga tidak ada
pembeda. Oleh karena itu, di masa mendatang perlu
dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan
variabel penting tersebut yang memiliki potensi
pengaruh terhadap bobot buah tanaman kayu ules
dengan perlakuan yang belum pernah dilakukan
dalam penelitian ini, seperti pengaruh kerapatan
tumbuhan kayu ules di habitat alaminya. Jarak tanam
pernah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap
kualitas buah pada jenis Capsicum annum pada
parameter berat buah, volume buah dan
produktivitasnya per tanaman (Aminifard et al.,
2012).
a ab b b
c c c c
b b
b b b a b b
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
83
a
ab abc bc bc bc a
ab c
c a a ab ab
b b a ab
Gambar 4. Grafik perbandingan dimensi buah kayu ules yang tumbuh di bawah naungan dan tempat terbuka.
Diagram dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Perlakuan P3
tidak dimasukkan dalam analisis statistik sehingga tidak menggunakan notasi huruf
b a ab a
a b ab ab
c c bc bc a a b a
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
84
KESIMPULAN
Kondisi naungan dan teknik pemangkasan cabang
pada tanaman kayu ules mempengaruhi jumlah tunas
dan produksi buah. Tanaman kayu ules yang tumbuh
pada tempat terbuka menghasilkan buah lebih banyak
dengan kadar air buah rendah dan ukuran buah lebih
baik. Dimensi buah terhadap berat buah kayu ules
mempunyai korelasi rendah (R2 < 0,7). Tumbuhan
kayu ules dapat dikategorikan ke dalam jenis semi
toleran, untuk peningkatan kualitas produksi buah di
tempat ternaung pada habitat alaminya, pengurangan
kerapatan kanopi pohon penaung perlu dilakukan
agar sinar matahari dapat dijangkau oleh tumbuhan
kayu ules.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
tingkat intesitas cahaya yang diperlukan secara
optimum oleh tumbuhan kayu ules di lokasi yang
berbeda sebagai perbandingan dan kerapatan
tumbuhan kayu ules di habitat alaminya. Selain itu,
apabila tumbuhan kayu ules ini akan dikembangkan,
maka kondisi naungan menjadi faktor utama yang
perlu diperhatikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
International Centre for Research in Agroforestry
(ICRAF) yang telah mendukung kegiatan penelitian.
Terima kasih disampaikan juga kepada Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (BPPLHK) Kupang atas dukungan
teknis pada penelitian ini. Secara personal, ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Oktofianus
Tanopo, Lemuel Toto dan Ibrahim Toto yang telah
membantu kegiatan pengambilan data, serta kepada
Aziz Umroni dan Heny Rianawati yang telah
memberikan masukan terkait analisis data.
KONTRIBUSI
Dani Pamungkas dan Siswadi berperan sebagai
kontributor utama dalam artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Mohsen, M. A. (2013). Application of various
pruning treatments for improving productivity and fruit
quality of crimson seedless grapevine. World Journal
of Agricultural Sciences, 9(5), 377–382.
Aminifard, M. H., Aroiee, H., Ameri, A., & Fatemi, H.
(2012). Effect of plant density and nitrogen fertilizer on
growth, yield and fruit quality of sweet pepper
(Capsicum annum L.). African Journal of Agricultural
Reseearch, 7(6). https://doi.org/10.5897/ajar10.505
Atwell, B. J., Kriedemann, P. E., & Turnbull, C. G. N.
(eds.) (1999). Plants in action : adaptation in nature,
performance in cultivation. South Yarra, Victoria:
Macmillan Education Australia.
Bogidarmanti, R., & Darwo. (2019). Application of
silviculture techniques to improve productivity of
binuang bini plant (Octomeles sumatrana Miq.) as an
alternative plant in community forest. The 2nd
International Conference on Tropical Silviculture:
Forest Research and Innovation for Sustainable
Development. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, (p 1-10).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/394/1/012022
Brink, M., & Escobin, R. P. (2003). Plant resources of
South-East Asia. Leiden, The Netherlands: Backhuys
Publishers.
Cai, Z. Q. (2011). Shade delayed flowering and decreased
photosynthesis, growth and yield of Sacha Inchi
(Plukenetia volubilis) plants. Industrial Crops and
Products, 34(1), 1235–1237.
Chandirasegaran, G., Elanchezhiyan, C., Ghosh, K., &
Sethupathy, S. (2016). Determination of antidiabetic
Gambar 5. Grafik korelasi antara diameter buah dan panjang buah terhadap berat buah kering oven kayu
ules pada dua kondisi naungan yang berbeda
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan…
(Dani Pamungkas dan Siswadi)
85
compounds from Helicteres isora fruits by oral glucose
tolerance test. Journal of Applied Pharmaceutical
Science, 6(02), 172–174.
Cunningham, A. B., Ingram, W., Brinckmann, J. A., &
Nesbitt, M. (2018). Twists, turns and trade: A new look
at the Indian Screw tree (Helicteres isora). Journal of
Ethnopharmacology, 225, 128–135.
Danarto, S. A. (2020). Penaksiran riap biomassa dan riap
karbon pada famili sapindaceae di Kebun Raya
Purwodadi. Jurnal Sylva Lestari, 8(2), 241–254.
Depkes, R. I. (2008). Farmakope Herbal Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ekawati, R., Susila, A. D., & Kartika, J. G. (2010).
Pengaruh naungan tegakan pohon terhadap
pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman
sayuran indigenous. Jurnal Hortikultura Indonesia,
1(1), 46–52.
Ferdousi, A., Rahman, M. O., & Hassan, M. A. (2014).
Seed germination behaviour of six medicinal plants
from Bangladesh. Bangladesh Journal of Plant
Taxonomy, 21(1), 71–76.
Hanssens, J., De Swaef, T., & Steppe, K. (2015). High light
decreases xylem contribution to fruit growth in tomato.
Plant, Cell & Environment, 38(3), 487–498.
https://doi.org/10.1111/pce.12411
Hariyadi, H. (2011). Pengaruh pemangkasan batang dan
cabang primer terhadap laju fotosintesis dan produksi
jarak pagar (Jatropha curcas L.). Indonesian Journal of
Agronomy, 39(3).
Hartmann, H. T., Kester, D. E., Davies, F. T., & Geneve,
R. L. (eds.) (2010). Hartmann & Kester’s Plant
Propagation: Principles and Practices. Prentice Hall.
Jain, A., Sinha, P., & Desai, N. S. (2014). Estimation of
flavonoid, phenol content and antioxidant potential of
indian screw tree (Helicteres isora L.). International
Journal of Pharmaceutical Sciences and Research,
5(4), 1320.
Jutamanee, K., & Onnom, S. (2016). Improving
photosynthetic performance and some fruit quality
traits in mango trees by shading. Photosynthetica,
54(4), 542–550.
Juwarman, J., Astiningrum, M., & Suprapto, A. (2016).
Upaya peningkatan kuantitas daun murbei (Morus
alba) dengan macam pupuk nitrogen dan tinggi
pemangkasan. Vigor: Jurnal Ilmu Pertanian Tropika
dan Subtropika, 1(1), 23–30.
Kumar, N., & Singh, A. K. (2014). Plant profile,
phytochemistry and pharmacology of Avartani
(Helicteres isora Linn.): A review. Asian Pacific
Journal of Tropical Biomedicine, 4, S22–S26.
Lesičar, J., Šindrak, Z., Šic Žlabur, J., Voća, S., &
Skendrović Babojelić, M. (2016). Influence of fruit
thinning and summer pruning on the yield and fruit
quality of peach cultivar 'Royal Gem'. Agriculturae
Conspectus Scientificus, 81(3), 155–159.
Lobos, G. A., Retamales, J. B., Hancock, J. F., Flore, J. A.,
Cobo, N., & Del Pozo, A. (2012). Spectral irradiance,
gas exchange characteristics and leaf traits of
Vaccinium corymbosum L. “Elliott” grown under
photo-selective nets. Environmental and Experimental
Botany, 75, 142–149.
https://doi.org/10.1016/j.envexpbot.2011.09.006
Lobos, G. A., Retamales, J. B., Hancock, J. F., Flore, J. A.,
Romero-Bravo, S., & Del Pozo, A. (2013).
Productivity and fruit quality of Vaccinium
corymbosum cv. Elliott under photo-selective shading
nets. Scientia Horticulturae, 153, 143–149.
Loganayaki, N., Siddhuraju, P., & Manian, S. (2013).
Antioxidant activity and free radical scavenging
capacity of phenolic extracts from Helicteres isora L.
and Ceiba pentandra L. Journal of Food Science and
Technology, 50(4), 687–695.
Muthukumar, T., Christy, A. M. V., Ramya, R.,
Malaisamy, M., Sivaraj, C., Arjun, P., Raaman, N., &
Balasubramanian, K. (2012). Antioxidant and
anticancer activity of Helicteres isora dried fruit
solvent extracts. Journal of Academia Industrial
Research, 1(3), 148–152.
Nurhayati, C., & Andayani, O. (2014). Teknologi mutu
tepung pisang dengan sistem spray drying untuk
biskuit. Jurnal Dinamika Penelitian Industri, 25(1),
31–41.
Pamungkas, D., Siswadi, S., & Manurung, G. E. S. (2019).
Studi propagasi vegetatif tanaman obat kayu ules
(Helicteres isora Linn.) melalui stek batang. Jurnal
Penelitian Kehutanan Faloak, 3(1), 29–42.
Pribadi, E. R. (2015). Pasokan dan permintaan tanaman
obat Indonesia serta arah penelitian dan
pengembangannya. Perspektif, 8(1), 52–64.
Purwaningsih, E. H. (2013). Jamu, obat tradisional asli
Indonesia: pasang surut pemanfaatannya di Indonesia.
EJournal Kedokteran Indonesia, 85–89.
Ruan, Y.-L., Patrick, J. W., Bouzayen, M., Osorio, S., &
Fernie, A. R. (2012). Molecular regulation of seed and
fruit set. Trends in Plant Science, 17(11), 656–665.
https://doi.org/10.1016/j.tplants.2012.06.005
Sharma, D. P., & Singh, N. (2018). Effect of rejuvenation
pruning on the growth, productivity and disease
incidence in declining trees of pomegranate (Punica
granatum L.) cv. Kandhari Kabuli. Journal of Applied
and Natural Science, 10(1), 358–362.
Sharma, V., & Chaudhary, U. (2016). Pharmacognostic and
phytochemical screening of Helicteres isora roots.
Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research,
9(2), 96–101.
Siswadi, Umroni, A., Pamungkas, D., & Manurung, G. E.
S. (2018). Pengaruh pemupukan dan penjarangan
terhadap produktivitas buah kayu ules (Helicteres
isora) di desa Bosen, Timor Tengah Selatan, Nusa
Tenggara Timur. dalam Mindawati, N., Suharti, S.,
Prameswari, D., Kuntadi, Setio, P (eds)Seminar Hasil
Penelitian KANOPPI: Optimalisasi Pengelolaan Hutan
Berbasis Agroforestri Untuk Mendukung Peningkatan
Produktivitas Kayu Dan HHBK, Serta Pendapatan
Petani, 45–54. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan.
Sukmawati, S., & Numba, S. (2018). Pengaruh
Pemangkasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Berbagai Varietas Cabai Merah (Capsicum annuum
L.). AGROTEK, 2(1), 45–53.
Sumadi, A., & Siahaan, H. (2011). Pengaturan kerapatan
tegakan bambang berdasarkan hubungan antara
diameter batang dan tajuk. Jurnal Penelitian Hutan
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:73-86 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5617
86
Tanaman, 8(5), 259–265.
Umroni, A., Pamungkas, D., Tanopo, O., & Manurung, G.
E. S. (2015). Aspek ekologi kayu ules (Helicteres Isora
L.) sebagai tanaman obat di desa Bosen: penyangga
cagar alam mutis kabupaten Timor Tengah Selatan.
dalam Njurumana, G. N. D., Raharjo, S. A. S., Riwu,
K. M. L., Kurniawan, H. dan Hidayatullah, M. (eds).
Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa
Tenggara, (p 45–57). Kupang: Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kupang.
Vikrant, A., & Arya, M. L. (2011). A review on anti-
inflammatory plant barks. International Journal of
PharmTech Research, 3(2), 899–908.
Xia, J. B., Zhang, G. C., Zhang, S. Y., Sun, J. K., Zhao, Y.
Y., Shao, H. B., & Liu, J. T. (2014). Photosynthetic and
water use characteristics in three natural secondary
shrubs on shell islands, Shandong, China. Plant
Biosystems, 148(1), 109–117.
https://doi.org/10.1080/11263504.2013.878407.
Yuliah, Y., Suryaningsih, S., & Ulfi, K. (2017). Penentuan
kadar air hilang dan volatile matter pada bio-briket dari
campuran arang sekam padi dan batok kelapa. Jurnal
Ilmu dan Inovasi Fisika, 1(1), 51–57.
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
87
MODEL ALOMETRIK UNTUK ESTIMASI BIOMASSA POHON PADA
HUTAN LAHAN KERING SEKUNDER DI HALMAHERA TIMUR
ALLOMETRIC MODELS FOR ESTIMATING TREE BIOMASS OF DRYLAND SECONDARY
FOREST IN EAST HALMAHERA
Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana* dan Muhdin
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB),
Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680, Indonesia
Telp./Fax. (0251) 8621244, *Email: [email protected]
Diterima: 6 Agustus 2020; Direvisi: 1 September 2020; Disetujui: 7 Desember 2020
ABSTRAK
Pendugaan biomassa hutan sekunder diperlukan untuk mendukung pengurangan emisi karbon dioksida melalui
peningkatan cadangan karbon hutan. Umumnya, biomassa hutan diduga secara tidak langsung menggunakan model-
model alometrik biomassa pohon yang disusun berdasarkan pengambilan sampel destruktif dari sejumlah pohon contoh.
Ketersediaan model-model alometrik biomassa untuk hutan sekunder di Indonesia masih terbatas, khususnya untuk
ekosistem hutan sekunder di bagian timur Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model alometrik
biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk membandingkan akurasi
model-model alometrik lokal tersebut dengan model-model alometrik lain yang umum digunakan dalam pendugaan
biomassa hutan sekunder. Pengukuran biomassa pohon dilakukan secara destruktif terhadap 18 pohon jenis campuran
(dengan kisaran diameter 5,4 – 36,9 cm) di hutan sekunder. Sampel-sampel dari tiap bagian pohon (batang, cabang,
ranting, dan daun) dianalisis di laboratorium untuk menentukan biomassa tiap pohon contoh. Model-model alometrik
disusun menggunakan analisis regresi non-linier, yang kemudian dibandingkan dengan model-model alometrik lain.
Penelitian ini menunjukkan bahwa biomassa pohon jenis campuran di lokasi penelitian dapat diduga secara akurat
menggunakan model M7 yang menggunakan peubah diameter, tinggi dan kerapatan kayu. Model alometrik lokal tersebut
lebih akurat dibandingkan dengan model-model alometrik lain yang umum digunakan untuk pendugaan biomassa hutan
tropis. Alternatifnya, model M3 yang menggunakan peubah diameter dan tinggi juga dapat digunakan ketika data
kerapatan kayu tidak tersedia. Model-model alometrik lokal dari penelitian ini dapat memperkaya ketersediaan model-
model alometrik biomassa untuk ekosistem hutan sekunder di bagian timur Indonesia.
Kata kunci: hutan sekunder, jenis campuran, model alometrik, pengambilan sampel destruktif, REDD+
ABSTRACT
Biomass estimation of secondary forests is required to support the emission reduction of carbon dioxide through an
enhancement of forest carbon stocks. Commonly, forest biomass is indirectly estimated using tree biomass allometric
models that are developed based on a destructive sampling of sample trees. The availability of biomass allometric models
for secondary forests in Indonesia is still limited, particularly for secondary forest ecosystems in eastern Indonesia. This
study aimed to develop allometric biomass models for mixed-species trees in a secondary forest of East Halmahera,
North Maluku, and to compare their accuracies with some other allometric biomass models that commonly used for
estimating biomass of secondary forests. The tree biomass measurement was conducted by using a destructive sampling
of 18 mixed-species trees (with diameter range of 5,4 – 36,9 cm) in a secondary forest. The samples of each tree
component (stem, branch, twig, and leaf) were analyzed in a laboratory to determine the biomass of each sample tree.
Allometric models were developed by using a non-linear regression analysis, which were then compared with other
allometric models. This study revealed that the biomass of mixed-species trees in the study area could be estimated
accurately using the M7 model that used diameter, height, and wood density variables. Such local allometric model was
more accurate than other allometric models commonly used for estimating tropical forest biomass. Alternatively, the M3
model that used diameter and height variables could also be used when wood density data was not available. The local
allometric models from this study can enrich the availability of biomass allometric models for secondary forest
ecosystems in eastern Indonesia.
Keywords: allometric model, destructive sampling, mixed-species, REDD+, secondary forest
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
88
PENDAHULUAN
Salah satu tantangan dalam pengelolaan hutan
alam di Indonesia adalah pemulihan ekosistem hutan
sekunder yang luasnya mencapai 37,8 juta ha (31,3 %)
dari total luas kawasan hutan (MoEF, 2018).
Pemulihan ekosistem hutan sekunder tidak hanya
dapat meningkatkan produktivitas hasil kayu,
melainkan juga dapat meningkatkan cadangan karbon
(van Breugel et al., 2011) dalam upaya pengurangan
emisi gas rumah kaca melalui mekanisme Reducing
emissions from Deforestation and forest degradation
and the role of conservation, sustainable management
of forests, and enhancement of forest carbon stocks
(REDD+).
Penerapan mekanisme REDD+ memerlukan data
dan informasi mengenai potensi biomassa dan
cadangan karbon hutan secara akurat pada tingkat
regional dan nasional (Stas et al., 2017). Namun
pengukuran biomassa dan cadangan karbon hutan
secara langsung melalui pengambilan sampel
destruktif (destructive sampling) sulit dilakukan pada
skala luas, karena memerlukan sumberdaya (biaya,
waktu, dan tenaga) yang tinggi serta dapat merusak
tegakan hutannya. Umumnya, pendugaan biomassa
tegakan dilakukan secara tidak langsung
menggunakan model-model alometrik biomassa
pohon. Model alometrik biomassa merupakan model
statistika untuk menduga biomassa pohon berdasarkan
diameter dan/atau tinggi pohon (Ketterings et al., 2001;
Kuyah et al., 2012) serta kerapatan kayu sebagai
peubah penting dalam pendugaan biomassa di hutan
tropis (Chave et al., 2014). Oleh karena itu, untuk
mendukung pendugaan biomassa dan cadangan
karbon yang akurat diperlukan pengembangan model-
model alometrik biomassa untuk berbagai jenis pohon
dan lokasi tempat tumbuh (Basuki et al., 2009).
Model-model alometrik biomassa pohon belum
banyak dikembangkan untuk wilayah timur Indonesia,
yaitu Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara,
dan Papua (Anitha et al., 2015; Krisnawati et al.,
2012). Penggunaan model-model alometrik biomassa
pohon yang dibuat untuk wilayah barat Indonesia
dapat memberikan nilai dugaan biomassa yang kurang
akurat (underestimate atau overestimate) jika
diterapkan pada wilayah bagian timur Indonesia (Stas
et al., 2017). Hal ini disebabkan oleh tingginya
perbedaan keanekaragaman hayati dan karakterisitik
ekosistem hutan antara wilayah barat dan timur
Indonesia, yang ditandai oleh garis Wallace (Anitha et
al., 2015). Oleh karena itu, pendugaan biomassa hutan
di wilayah timur Indonesia memerlukan model-model
alometrik biomassa yang sesuai dengan karakteristik
vegetasi dan tipe ekosistem hutannya. Penggunaan
model-model alometrik biomassa yang spesifik dapat
memberikan nilai dugaan biomassa yang lebih akurat
sesuai dengan kondisi tempat tumbuh atau tipe hutan
(Stas et al., 2017), serta mengurangi ketidakpastian
dalam pendugaan biomassa dan cadangan karbon
hutan (Anitha et al., 2015; Chave et al., 2014).
Pengembangan model-model alometrik biomassa
untuk jenis pohon dan/atau tipe hutan di wilayah timur
Indonesia masih relatif terbatas dalam hal sebaran
lokasi dan cakupan jenis pohonnya. Model-model
alometrik biomassa yang sudah dikembangkan di
Maluku adalah untuk jenis pala (Mardiatmoko et al.,
2016) dan jenis-jenis pohon di hutan karst sekunder
Pulau Seram (Stas et al., 2017). Model-model
alometrik yang tersedia di Papua adalah untuk marga
Instia spp. (Maulana & Pandu, 2011a) dan marga
Pometia spp. (Maulana & Pandu, 2011b). Oleh karena
itu, pengembangan model-model alometrik untuk
wilayah timur Indonesia masih diperlukan karena
beragamnya jenis pohon dan tipe ekosistem hutan.
Salah satu wilayah timur Indonesia yang
memerlukan ketersediaan model-model alometrik
biomassa adalah Halmahera Timur di Maluku Utara,
yang didominasi oleh hutan alam sekunder dengan
beragam jenis pohon. Selain model alometrik
biomassa yang dikembangkan oleh Stas et al. (2017),
belum ada model alometrik lokal untuk pendugaan
biomassa hutan sekunder di Halmahera Timur. Ketika
model alometrik lokal tidak tersedia, alternatifnya
adalah menggunakan model alometrik lokal dari
Ketterings et al. (2001) dan Stas et al. (2017) serta
model alometrik global dari Chave et al. (2014).
Namun model-model alternatif tersebut belum tentu
akurat jika digunakan untuk pendugaan biomassa
hutan sekunder di Halmahera Timur. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menyusun model-model
alometrik biomassa pohon jenis campuran di hutan
sekunder Halmahera Timur, Maluku Utara, serta untuk
membandingkan akurasi model-model alometrik lokal
tersebut dengan model-model alometrik lain yang
umum digunakan dalam pendugaan biomassa hutan
sekunder.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di areal hutan lahan kering
sekunder di wilayah kerja IUPHHK-HA PT
Mahakarya Agra Pesona (PT MAP) pada petak G14,
G15, dan H15 (Gambar 1). Secara administrasi, areal
perusahaan hutan ini terletak di Kecamatan Wasile
Utara, Wasile Tengah dan Wasile Timur, Kabupaten
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
89
Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Secara
geografis areal perusahaan ini terletak pada koordinat
bujur antara 128o 09ʹ 54ʺ dan 128o 32ʹ 2,4ʺ BT serta
koordinat lintang antara 1o 12ʹ 57,6ʺ dan 1o 29ʹ 9,6ʺ LS.
Luas areal kerja PT MAP adalah 36.860 ha dengan
topografi lapangan didominasi kelerengan datar seluas
15.551 ha (42,19 %), kelerengan sedang seluas 11.396
ha (30,92 %), kelerengan landai seluas 7.168 ha
(19,45 %), kelerengan curam seluas 2.670 ha (7,24 %)
dan kelerengan sangat curam seluas 75 ha (0,20 %).
Jenis tanah di PT MAP didominasi oleh Typic
Eutrudepts dan Lithic Eutrudepts yang luasnya
mencapai 24.815 ha (67,32 %) dari keseluruhan total
areal (MAP, 2018). Tipe penutupan lahan di areal PT
MAP adalah hutan bekas tebangan (logged over area),
yang sebagian besar (67,88 %) merupakan ekosistem
hutan alam tropika basah sekunder. Jenis vegetasi
dominan di areal PT MAP adalah mersawa
(Anisoptera sp., 24,5 %), nyatoh (Palaquium sp.,
11 %), dan bintangor (Calophyllum inophyllum, 8,4 %)
(MAP, 2018).
Gambar 1. Sebaran lokasi pengukuran pohon-pohon contoh di areal hutan lahan kering sekunder yang dikelola
oleh IUPHHK-HA PT Mahakarya Agra Pesona, Halmahera Timur
Prosedur Penelitian
Pemilihan pohon contoh
Pemilihan jenis-jenis pohon contoh didasarkan
atas informasi komposisi jenis pohon dari hasil
inventarisasi hutan oleh PT MAP, yang terdiri dari 20
jenis pohon dan 19 famili. Penentuan pohon contoh
dilakukan dengan metode purposive sampling dengan
kriteria: keterwakilan kelas diameter, keterwakilan
jenis-jenis pohon, kemudahan akses jalan, alokasi
tenaga kerja perusahaan, dan ketersediaan biaya.
Jumlah pohon contoh yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 18 pohon dengan diameter
berkisar antara 5,4 dan 36,9 cm yang terdiri dari 14
jenis pohon seperti tercantum pada Tabel 1. Jenis-jenis
pohon tersebut mewakili 11 dari 19 famili (58 %) yang
ada di PT MAP. Penggunaan jumlah pohon (n) yang
relatif sedikit dalam penyusunan model-model
alometrik juga dilakukan oleh Brown et al. (1995)
dengan n=8, Ketterings et al. (2001) dengan n=29,
Ebuy et al. (2011) dengan n=12, dan Stas et al. (2017)
dengan n=25.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
90
Tabel 1. Jenis dan jumlah pohon contoh pada setiap kelas diameter
Jenis pohon Nama lokal Famili Kelas diameter (cm)
5–9 10–19 20–29 30–40
Anisoptera spp. Mersawa Dipterocarpacea 1
Anthocephalus spp. Samama Rubiaceae 1
Calophyllum inophyllum Bintangor Clusiaceae 1 1
Canarium sp. Kenari Burseraceae 1
Diospyros celebica Mologotu Ebenaceae 1
Dracontomelon spp. Buarao Anacardiaceae 1
Eugenia aromaticum Cengkeh hutan Myrtaceae 1
Eugenia sp. Gosale Myrtaceae 2 Koordersiodendron
pinnatum Bugis Anacardiaceae 1
Octomeles sumatrana Binuang Tetramelaceae 1
Palaquium sp. Nyatoh Sapotaceae 1 1
Pometia pinnata Matoa Sapindaceae 1 1
Syzygium sp. Jambu-jambu Myrtaceae 1
Vatica spp. Hiru Dipterocarpacea 1
Jumlah 5 5 4 4
Penebangan dan pengukuran pohon contoh
Pada setiap pohon contoh dilakukan pengukuran
diameter setinggi dada (D), yaitu pada ketinggian 1,3
m di atas permukaan tanah. Pohon-pohon contoh
tersebut kemudian ditebang pada bagian pangkal
sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Setelah
pohon rebah dilakukan pengukuran panjang pohon
untuk memperoleh data tinggi total pohon contoh yang
akurat sebagaimana umumnya dilakukan dalam
penelitian-penelitian sebelumnya (Ketterings et al.,
2001; Stas et al., 2017). Selain itu dilakukan
pemisahan fraksi-fraksi batang, cabang, ranting, dan
daun, yang kemudian dikumpulkan secara terpisah
dan ditimbang berat basahnya menggunakan
timbangan gantung yang dipikul oleh dua orang
(Gambar 2).
Dari setiap fraksi pohon contoh yang telah
ditimbang, kemudian dilakukan pengambilan sampel
fraksi-fraksi pohon untuk analisis biomassa di
laboratorium (BSN, 2011). Pada fraksi batang,
pengambilan sampel dilakukan pada pangkal batang
(25 % dari total panjang), tengah batang (50 % dari
total panjang), dan ujung batang (75 % dari total
panjang). Pada ketiga bagian batang tersebut dibuat
piringan (disk) batang setebal 2 – 5 cm (Picard et al.,
2012), dan selanjutnya diambil sampel berbentuk
kubus (masing-masing berukuran 2 x 2 x 2 cm)
sebanyak tiga buah dari setiap piringan sehingga
diperoleh sembilan sampel kubus untuk tiap pohon
contoh. Sampel-sampel kubus tersebut ditimbang
berat basahnya menggunakan timbangan digital.
Selain sampel fraksi batang, dilakukan juga
pengambilan dan penimbangan sampel-sampel fraksi
cabang, ranting, dan daun masing-masing sebanyak
250 gram (BSN, 2011).
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
91
Gambar 2. Proses pengukuran pohon contoh di lapangan: (a) penebangan dan pembagian batang, (b) pemisahan
sortimen batang, (c) pemisahan fraksi daun, (d) penimbangan fraksi batang, dan
(e) penimbangan fraksi cabang dan ranting
Perhitungan biomassa pohon contoh
Sampel-sampel dari setiap fraksi pohon contoh
dianalisis di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, melalui
proses pengeringan menggunakan oven bersuhu 70 ˚C
untuk sampel daun dan bersuhu 105 ˚C untuk sampel
batang, cabang, dan ranting hingga mencapai berat
kering konstan. Sampel-sampel yang sudah
dikeringkan kemudian ditimbang untuk memperoleh
data berat kering sampel setiap fraksi pohon contoh.
Kerapatan kayu (wood density) ditentukan melalui
pengukuran volume sampel-sampel kubus
menggunakan prinsip archimedes, dimana volume
merupakan perbedaan antara permukaan cairan
sebelum dan sesudah pencelupan (Picard et al., 2012;
Puc-Kauil et al., 2020).
Berdasarkan data berat basah total (Bbt, kg), berat
basah sampel (Bbs, g), dan berat kering sampel (Bks, g),
biomassa (B, kg) suatu pohon contoh dihitung sebagai
berikut (Picard et al., 2012):
ks bt
bs
B BB
B
= (1)
Kerapatan kayu (, g/cm3) tiap sampel kubus dari
fraksi batang ditentukan berdasarkan data berat kering
sampel (Bks, g) dan volume kering sampel (Vks, cm3)
dengan rumus (Picard et al., 2012):
ks
ks
B
V = (2)
Nilai-nilai dari sembilan sampel kubus (sebagai
ulangan) dari tiap pohon contoh dihitung nilai rata-
ratanya untuk memperoleh data kerapatan kayu
masing-masing pohon contoh, yang digunakan
sebagai salah satu peubah penduga dalam model
alometrik biomassa.
Penyusunan model alometrik biomassa
Dalam penelitian ini, penyusunan model alometrik
dilakukan untuk jenis pohon campuran karena lebih
cocok digunakan untuk pendugaan cadangan
biomassa hutan alam yang memiliki keragaman jenis
tinggi (Chave et al., 2014; Ketterings et al., 2001) dan
pendugaan biomassa hutan pada skala luas (He et al.,
2018; van Breugel et al., 2011) dibandingkan dengan
model alometrik biomassa untuk jenis pohon tertentu.
Model alometrik biomassa disusun untuk menduga
biomassa pohon (B, kg) berdasarkan peubah-peubah
diameter setinggi dada (D, cm), tinggi total (T, m), dan
kerapatan kayu (, g/cm3) dari tiap pohon contoh.
Adapun model-model alometrik biomassa yang
dianalisis adalah (Chave et al., 2014; Huy et al., 2016;
Kusmana et al., 2018; Picard et al., 2012):
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
92
M1: bB aD= (3a)
( )M2: expB a bD= (3b)
( )2M3: b
B a D T= (3c)
M4: b cB aD T= (3d)
M5: bB a D= (3e)
M6: b cB a D= (3f)
( )2M7: b
B a D T= (3g)
( )( )2M8: exp lnB a D T= + (3h)
Parameter-parameter model regresi (a, b, c) ditentukan
melalui analisis regresi non-linier menggunakan
metode Generalized Non-linear Least Square (GNLS)
yang efektif untuk mereduksi heteroskedastisitas
ragam sisaan model (Pinheiro et al., 2020). Analisis
regresi non-linier dilakukan menggunakan paket
program nlme (Pinheiro et al., 2020) dalam software
R versi 3.6.3 (R Core Team, 2020), karena paket
program tersebut menerapkan metode GNLS untuk
menghitung parameter model alometrik biomassa
(Dutcă et al., 2019; Huy et al., 2016; Tiryana et al.,
2011).
Berdasarkan hasil analisis regresi model-model
non-linier tersebut, selanjutnya dipilih model
alometrik terbaik dengan kriteria: signifikansi
parameter model (P-value <0.05), nilai Root Mean
Square Error (RMSE) minimum, nilai Akaike’s
Information Criterion (AIC) minimum, nilai Bayesian
Information Criterion (BIC) minimum, dan nilai
koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) maksimum,
yang dihitung dengan rumus-rumus berikut ini
(Burnham & Anderson, 2002; Chave et al., 2014;
Rawlings et al., 1998; Sanquetta et al., 2018; Sileshi,
2014; Tiryana et al., 2011):
( )2
1ˆ
n
i iiy y
RMSEn p
=−
=−
(4a)
( )2 2 1= − + +AIC logLik p (4b)
( ) ( )2 1 logBIC logLik p n= − + + (4c)
( ) ( )
( ) ( )
2
2 1
2
1
ˆ11 =
=
− −= −
− −
n
i iiadj n
i ii
n y yR
n p y y (4d)
Notasi 𝑦𝑖 dan �̂�𝑖 menyatakan nilai biomassa aktual
dan nilai dugaan biomassa, n menyatakan jumlah
pohon contoh, p menyatakan jumlah parameter model,
dan logLik menyatakan nilai kemungkinan maksimum
dari tiap model.
Perbandingan model alometrik biomassa
Untuk mengetahui keakuratan model alometrik
terbaik dilakukan perbandingan dengan model-model
alometrik lain yang telah dikembangkan untuk
pendugaan biomassa pohon di hutan alam, yaitu:
2,62MK: 0,11B D= (5a)
( )MS: exp 1,927 1,837ln 0,905ln 1,164lnB D T = − + + + (5b)
( )0,976
2MC: 0,0673B D T= (5c)
Model MK merupakan model alometrik lokal yang
dikembangkan oleh Ketterings et al. (2001) untuk
hutan sekunder di Jambi, model MS merupakan model
alometrik lokal yang dikembangkan oleh Stas et al.
(2017) untuk hutan karst sekunder di Pulau Seram, dan
model MC merupakan model alometrik global yang
dikembangkan oleh Chave et al. (2014) untuk hutan-
hutan tropis.
Perbandingan keakuratan model-model alometrik
tersebut dilakukan dengan prosedur validasi silang
(cross-validation), yaitu dengan membandingkan nilai
dugaan biomassa dari model-model alometrik dengan
nilai biomassa pohon-pohon contoh hasil pengukuran
yang digunakan untuk penyusunan model alometrik
dalam penelitian ini. Hal ini lazim dilakukan dalam
penelitian biomassa, misalnya oleh Stas et al. (2017),
karena keterbatasan data pengukuran biomassa pohon
contoh (Sileshi, 2014). Tingkat akurasi model-model
alometrik diukur dengan nilai rata-rata bias (Mean
Error, ME), persen bias (Percentage Error, PE), dan
rata-rata mutlak persen bias (Mean Absolute
Percentage Error, MAPE) yang dihitung dengan
rumus-rumus berikut ini (Huy et al., 2016; Sileshi,
2014; Tiryana et al., 2011):
( )1
ˆn
i i
i
ME y y n=
= − (6a)
( ) ( )1
ˆ100n
i i
i
PE ME y y=
= − (6b)
( )1
ˆ100n
i i i
i
MAPE n y y y=
= − (6c)
Semakin kecil nilai ME, PE, atau MAPE maka tingkat
akurasi suatu model alometrik semakin tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Biomassa
Biomassa total pohon di atas permukaan tanah
(terdiri dari batang, cabang, ranting, dan daun) dari
jenis-jenis campuran di hutan sekunder bervariasi
menurut diameter dan tinggi pohon dengan kisaran
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
93
4,93 − 939,51 kg/pohon (Gambar 3a dan 3b).
Biomassa memiliki korelasi positif yang erat dengan
diameter (r = 0,89) dan tinggi pohon (r = 0,94), di
mana biomassa pohon semakin meningkat seiring
bertambahnya diameter dan/atau tinggi pohon.
Bahkan, semakin besar diameter pohon maka nilai-
nilai biomassanya pun semakin beragam (Gambar 3a).
Hal serupa dilaporkan oleh Feldpausch et al. (2012) di
mana pohon-pohon besar umumnya memiliki
keragaman biomassa yang tinggi dibandingkan
dengan pohon-pohon kecil. Namun biomassa
berkorelasi negatif (r = -0,41) dengan kerapatan kayu,
dimana biomassa cenderung menurun jika kerapatan
kayu semakin meningkat (Gambar 1c). Korelasi
negatif juga terjadi pada hubungan antara diameter
dan kerapatan kayu, dimana semakin besar diameter
maka kerapatan kayu cenderung semakin menurun
(Gambar 1d). Hal tersebut disebabkan nilai-nilai
diameter pohon terkecil hingga terbesar berasal dari
14 jenis pohon dengan kerapatan kayu berbeda-beda
(Tabel 2). Sebagai contoh, pada kelas diameter terkecil
(5 – 9 cm, Tabel 1) terdapat jenis Diospyros celebica
dengan kerapatan kayu paling tinggi (0,723 g/cm3,
Tabel 2), sedangkan pada kelas diameter terbesar (30
– 40 cm, Tabel 1) terdapat jenis Octomeles sumatrana
dengan kerapatan kayu paling rendah (0,237 g/cm3,
Tabel 2). Pola hubungan negatif antara kerapatan kayu
dan diameter/biomassa pada jenis-jenis pohon
campuran di hutan sekunder juga ditemukan pada data
hasil penelitian Stas et al. (2017). Untuk jenis-jenis
pohon di lokasi penelitian, kerapatan kayu berkisar
antara 0,237 – 0,723 g/cm3 dengan rata-rata 0,459
g/cm3 dan simpangan baku 0,132 g/cm3 (Tabel 2).
Rata-rata kerapatan kayu tersebut hampir sama
dengan rata-rata kerapatan kayu untuk jenis-jenis
pohon hutan sekunder di Panama sebesar 0,496 g/cm3
(van Breugel et al., 2011). Walaupun korelasi antara
kerapatan kayu dan biomassa tidak terlalu erat
dibandingkan dengan korelasi antara diameter/tinggi
dan biomassa, tetapi peubah kerapatan kayu tersebut
potensial digunakan sebagai salah satu peubah bebas
(selain diameter dan tinggi pohon) dalam model
alometrik biomassa pohon jenis campuran (Chave et
al., 2014). Basuki et al. (2009) menunjukkan bahwa
peranan peubah kerapatan kayu bersifat nyata pada
model-model alometrik untuk kelompok jenis
campuran tetapi tidak nyata pada model-model
alometrik untuk tingkat genus.
Gambar 3. Pola hubungan antara (a) diameter dan biomassa, (b) tinggi dan biomassa, (c) kerapatan kayu dan
biomassa, serta (d) diameter dan kerapatan kayu
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
94
Tabel 2. Kerapatan kayu dari jenis-jenis pohon di hutan sekunder
Nama latin Nama lokal Kerapatan kayu (g/cm3)
Anisoptera spp. Mersawa 0,535
Anthocephalus spp. Samama 0,386
Calophyllum inophyllum Bintangor 0,433
Canarium sp. Kenari 0,400
Diospyros celebica Mologotu 0,723
Dracontomelon spp. Buarao 0,353
Eugenia aromaticum Cengkeh hutan 0,348
Eugenia sp. Gosale 0,673
Koordersiodendron pinnatum Bugis 0,345
Octomeles sumatrana Binuang 0,237
Palaquium sp. Nyatoh 0,446
Pometia pinnata Matoa 0,512
Syzygium sp. Jambu-jambu 0,486
Vatica spp. Hiru 0,542
Biomassa tersimpan pada bagian-bagian batang,
cabang, ranting, dan daun dengan proporsi yang
cenderung bervariasi menurut diameter pohonnya
(Gambar 4), karena perbedaan karakteristik
pertumbuhan tiap jenis pohon. Bagian batang
menyimpan paling banyak biomassa, yaitu rata-rata
sebesar 82,8 % (71,8 – 98,0 %), sedangkan sisanya
tersimpan pada cabang sebesar 7,8 % (1,2 – 16,2 %),
ranting sebesar 3,7 % (0 – 9,1 %), dan daun sebesar
5,8 % (0,2 – 22,3 %) (Gambar 4). Proporsi biomassa
batang yang lebih tinggi tersebut disebabkan
sedikitnya percabangan pada pohon-pohon contoh,
sehingga dimensi tajuknya pun relatif kecil. Arsitektur
pohon-pohon contoh seperti itu menyebabkan
proporsi biomassa batang yang lebih besar daripada
komponen lainnya (cabang, ranting, dan daun). Rata-
rata proporsi biomassa batang dari penelitian ini
(82,8 %) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
proporsi biomassa batang jenis-jenis pohon di hutan
dipterokarpa Kalimantan Timur sebesar 67 % (Basuki
et al., 2009). Hal ini dimungkinkan karena perbedaan
karakteristik dan arsitektur pohon di lokasi penelitian
dan di hutan dipterokarpa. Dalam penelitian ini,
pohon-pohon contoh umumnya berukuran kecil
(diameter <40 cm) dengan tajuk yang masih
berkembang, sedangkan pohon-pohon contoh dalam
penelitian Basuki et al. (2009) tidak hanya berukuran
kecil melainkan juga berukuran besar (diameter >40
cm) dengan dimensi tajuk yang lebih besar. Perbedaan
proporsi biomassa batang akibat perbedaan arsitektur
pohon juga dilaporkan oleh He et al. (2018), dimana
jenis-jenis pohon dengan tinggi total lebih besar
cenderung memiliki proporsi biomassa batang lebih
besar dibandingkan dengan jenis-jenis pohon dengan
tinggi total lebih kecil. Tingginya biomassa pada
batang dimungkinkan karena hasil fotosintesis
sebagian besar tersimpan pada batang pohon.
Gambar 4. Proporsi biomassa pada batang, cabang,
ranting, dan daun pohon jenis campuran
Model Alometrik Biomassa
Berdasarkan hasil analisis regresi non-linier
diperoleh nilai-nilai koefisien setiap model alometrik
beserta nilai-nilai uji statistiknya seperti tercantum
pada Tabel 3. Pada setiap model (kecuali model M6),
semua koefisien bersifat nyata (P-value <0,05) yang
berarti bahwa peubah-peubah bebas dalam model
(diameter, tinggi, atau kerapatan kayu) mampu
menjelaskan keragaman biomassa pohon dengan baik
(R2adj >85 %). Model alometrik terbaik adalah M7,
karena semua koefisien model bersifat nyata (P-value
<0,05), nilai RMSE terkecil, nilai koefisien
determinasi (R2adj) tertinggi, serta nilai AIC dan BIC
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
95
relatif kecil. Walaupun AIC dan BIC model M7 bukan
nilai terkecil, tetapi perbedaan nilainya tidak terlalu
jauh (<10) dibandingkan dengan model yang memiliki
AIC dan BIC terkecil (model M8). Burnham &
Anderson (2002) menyatakan bahwa dua model
dikategorikan berbeda secara signifikan apabila
memiliki perbedaan nilai AIC dan/atau BIC ≥10.
Model M7 memenuhi asumsi kenormalan sisaan
karena nilai-nilai sisaan model sebagian besar berada
di sekitar garis lurus (Gambar 5a) dan dipertegas
dengan nilai uji Shapiro-Wilk (P-value = 0,655) yang
menunjukkan bahwa sisaan menyebar normal. Model
M7 juga memenuhi asumsi kehomogenan ragam
sisaan karena nilai-nilai sisaan tersebar acak di sekitar
nilai nol (Gambar 5b).
Tabel 3. Nilai-nilai parameter, simpangan baku, dan uji-uji statistik dari model-model alometrik
Model Parameter SE P-value AIC BIC RMSE R2adj
M1 A 0,122 0,0363 0,0039 180,11 183,67 95,91 0,883
B 2,456 0,1030 0,0000
M2 A 14,971 3,7539 0,0011 201,66 205,23 104,60 0,861
B 0,115 0,0092 0,0000
M3 A 0,077 0,0261 0,0090 175,09 178,66 67,15 0,943
B 0,874 0,0363 0,0000
M4 A 0,079 0,0301 0,0187 176,59 181,04 70,84 0,936
B 1,893 0,2104 0,0000
C 0,716 0,2632 0,0157
M5 A 0,147 0,0465 0,0061 181,68 185,24 78,24 0,922
B 2,672 0,1090 0,0000
M6 A 0,133 0,0369 0,0026 177,31 181,77 80,56 0,917
B 0,479 0,2396 0,0636
C 2,557 0,1074 0,0000
M7 A 0,076 0,0211 0,0021 165,99 169,56 37,11 0,982
B 0,963 0,0322 0,0000
M8 A -2,865 0,0412 0,0000 164,94 167,61 49,34 0,969
Gambar 5. Kenormalan sisaan (a) dan kehomogenan ragam sisaan (b) dari model M7
Model M7 merupakan model alometrik yang
menggunakan tiga peubah bebas, yaitu diameter,
tinggi, dan kerapatan kayu. Hal ini berarti bahwa
untuk memperoleh nilai dugaan yang akurat dari
biomassa pohon jenis-jenis campuran di hutan
sekunder, tidak cukup hanya menggunakan peubah
diameter dan tinggi pohon melainkan juga peubah
kerapatan kayu yang bervariasi antar jenis pohon
sehingga menyebabkan keragaman biomassa
pohonnya (Henry et al., 2010; Ketterings et al., 2001).
Penambahan peubah kerapatan kayu (selain diameter
dan tinggi pohon) untuk meningkatkan akurasi model
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
96
alometrik juga dilakukan oleh Ketterings et al. (2001),
Basuki et al. (2009), Henry et al. (2010), Chave et al.
(2014), Stas et al. (2017), dan Kusmana et al. (2018).
Chave et al. (2014) dan Kuyah et al. (2012)
membuktikan bahwa model alometrik yang
menggunakan peubah kerapatan kayu menghasilkan
nilai dugaan biomassa yang lebih akurat dibandingkan
dengan model alometrik yang tidak menggunakan
peubah kerapatan kayu. Temuan serupa dilaporkan
oleh van Breugel et al. (2011), dimana penambahan
peubah kerapatan kayu pada model alometrik dapat
meningkatkan akurasi pendugaan biomassa pada level
plot contoh di hutan sekunder.
Berbeda dengan model M7 dan M8, model M1 dan
M2 hanya menggunakan peubah diameter.
Dibandingkan dengan model M7, kedua model
tersebut memiliki nilai AIC dan BIC yang lebih besar
dengan perbedaan nilai AIC/BIC ≥10, sehingga kedua
model tersebut dapat dinyatakan berbeda signifikan
dari model M7 (Burnham & Anderson, 2002). Selain
itu, nilai RMSE model M1 dan M2 yang cukup tinggi
(96 – 105 kg) menunjukkan bahwa penyimpangan
nilai dugaan biomassanya cukup besar. Hal ini berarti
bahwa pendugaan biomassa pohon jenis campuran
yang hanya menggunakan peubah diameter kurang
akurat, karena diameter hanya menjelaskan
keragaman biomassa pohon sebesar 86 – 88 % (Tabel
3). Rendahnya akurasi model alometrik yang hanya
menggunakan peubah diameter juga dilaporkan oleh
Puc-Kauil et al. (2020) dalam pendugaan biomassa
hutan tropis sekunder. Walaupun demikian, model M1
dan M2 tersebut lebih praktis digunakan karena hanya
memerlukan data diameter pohon yang relatif mudah
diukur di lapangan. Bahkan sebagian besar (82 %) dari
model-model alometrik biomassa pohon yang telah
dikembangkan di Indonesia hanya menggunakan
peubah diameter pohon, sedangkan sisanya
menggunakan peubah diameter dan tinggi pohon
(Krisnawati et al., 2012).
Sumber keragaman biomassa lainnya disebabkan
oleh keragaman tinggi pohon atau kerapatan kayu. Hal
ini terlihat dari model-model yang menggunakan dua
peubah, yaitu model M3 dan M4 yang menggunakan
peubah diameter dan tinggi serta model M5 dan M6
yang menggunakan peubah diameter dan kerapatan
kayu. Selain diameter, penambahan peubah tinggi
(pada model M3 dan M4) atau kerapatan kayu (pada
model M5 dan M6) mampu menjelaskan keragaman
biomassa pohon sebesar 92 – 94 % (Tabel 3). Namun
penambahan peubah tinggi atau kerapatan kayu
menyebabkan model-model alometrik tersebut kurang
praktis digunakan, karena tinggi pohon dan kerapatan
kayu relatif sulit diukur di lapangan dibandingkan
dengan diameter pohon. Diantara keempat model
dengan dua peubah bebas, model M3 memiliki nilai-
nilai statistik yang lebih baik (yakni nilai-nilai
AIC/BIC dan RMSE terkecil serta R2adj terbesar) dan
tidak berbeda signifikan dari model M7 karena selisih
nilai AIC/BIC <10 (Burnham & Anderson, 2002).
Dengan demikian, model M3 dapat digunakan sebagai
model alternatif untuk pendugaan biomassa selain
model M7. Penggunaan model alometrik yang
menggunakan peubah diameter dan tinggi (seperti
model M3) juga disarankan oleh Rutishauser et al.
(2013) untuk mengurangi ketidakpastian dalam
pendugaan biomassa hutan.
Perbandingan Model-model Alometrik
Dibandingkan dengan model-model alometrik
lainnya (Tabel 4), model M7 merupakan model
alometrik lokal yang paling akurat karena nilai
biasnya paling kecil (PE=0,70 % dan
MAPE=14,96 %), tetapi model M3 relatif kurang
akurat (PE=-1,26 % dan MAPE=20,71 %). Model
alometrik lokal lainnya yang cukup akurat adalah
model MS (PE=1,44 % dan MAPE=25,10 %), karena
model tersebut disusun berdasarkan data pengukuran
biomassa hutan sekunder di Pulau Seram (Stas et al.,
2017) yang kondisi ekosistemnya tidak jauh berbeda
dengan hutan sekunder di Halmahera Timur. Model
M7 dan MS memberikan nilai dugaan biomassa yang
mendekati nilai biomassa aktual pada berbagai
diameter pohon (Gambar 6a dan 6b). Namun model
alometrik lokal MK terbukti tidak akurat (PE=35,97 %
dan MAPE=30,91 %) dan memberikan nilai dugaan
yang lebih besar (overestimate) dibandingkan dengan
nilai biomassa aktual pada berbagai diameter pohon
(Gambar 6c). Hal ini dimungkinkan karena model
tersebut disusun untuk hutan sekunder di Pulau
Sumatera (Ketterings et al., 2001) yang kondisi
ekosistem hutannya berbeda dengan wilayah timur
Indonesia. Stas et al. (2017) juga membuktikan bahwa
model MK tersebut memberikan bias yang tinggi
(57,1 %) jika digunakan untuk menduga biomassa
hutan sekunder di Pulau Seram.
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
97
Tabel 4. Nilai-nilai rata-rata bias (ME) dan persen bias (PE) dari model-model alometrik biomassa pohon
Model alometrik ME PE (%) MAPE (%)
M7 (Model terbaik dari penelitian ini) 1,75 0,70 14,96
M3 (Model alternatif dari penelitian ini) -3,15 -1,26 20,71
MK (Ketterings et al., 2001) 90,18 35,97 30,91
MC (Chave et al., 2014) 2,97 1,18 14,38
MS (Stas et al., 2017) 3,60 1,44 25,10
Berbeda dengan model-model alometrik lokal
tersebut, model MC merupakan model alometrik
global yang disusun oleh Chave et al. (2014)
berdasarkan data pengukuran biomassa pohon pada
berbagai lokasi dan kondisi ekosistem hutan tropis.
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa model MC
lebih akurat (PE=1,18 % dan MAPE=14,38 %)
dibandingkan dengan model alometrik lokal MS dan
MK, dimana nilai dugaan biomassa dari model MC
mendekati nilai biomassa aktual pada berbagai
diameter pohon (Gambar 6d). Stas et al., (2017) juga
membuktikan bahwa model MC dapat memberikan
akurasi pendugaan yang cukup tinggi (bias 7,7 %). Hal
ini menunjukkan bahwa model alometrik global yang
disusun oleh Chave et al. (2014) tersebut mampu
memberikan akurasi yang cukup baik untuk
pendugaan biomassa hutan sekunder di wilayah timur
Indonesia, khususnya di Halmahera Timur dan Pulau
Seram.
Gambar 6. Perbandingan simpangan nilai-nilai dugaan biomassa antara model M7 dan (a) model M3,
(b) model MS, (c) model MK, dan (d) model MC
Penerapan Model Alometrik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model
M7 merupakan model alometrik lokal yang paling
akurat digunakan untuk pendugaan biomassa hutan
sekunder di Halmahera Timur, khususnya di areal
konsesi PT MAP. Dalam penerapannya, model M7
memerlukan data hasil pengukuran diameter, tinggi,
dan kerapatan kayu. Peubah diameter dan tinggi
pohon lazim diukur dalam kegiatan inventarisasi
hutan untuk pendugaan volume tegakan. Namun
peubah kerapatan kayu tidak lazim diukur dalam
kegiatan inventarisasi hutan karena tidak diperlukan
untuk pendugaan volume tegakan. Selain itu, untuk
memperoleh data kerapatan kayu diperlukan teknik
pengukuran dan analisis sampel kayu di laboratorium
yang tidak umum dilakukan oleh perusahaan-
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
98
perusahaan kehutanan. Alternatifnya, data kerapatan
kayu dapat diperoleh dari hasil-hasil penelitian
(seperti Tabel 2) ataupun pangkalan data (database)
kerapatan kayu seperti DRYAD Global Wood Density
(GWD) (Zanne et al., 2009). Bahkan, Flores dan
Coomes (2011) menyarankan untuk menggunakan
nilai-nilai kerapatan kayu dari pangkalan data GWD
karena jumlah sampelnya lebih besar daripada
pangkalan data lokal yang jumlah sampelnya relatif
sedikit. Untuk jenis-jenis pohon di Indonesia, data
kerapatan kayu dapat diperoleh dari pangkalan data
ICRAF (2020). Akan tetapi, untuk menentukan nilai
kerapatan kayu suatu jenis pohon diperlukan
identifikasi jenis-jenis pohon selama kegiatan
inventarisasi hutan. Hal ini tidak selalu mudah
dilakukan karena keterbatasan pengenal jenis pohon di
lapangan (van Breugel et al., 2011), yang seringkali
hanya mengetahui nama lokal yang cenderung
berbeda-beda antar daerah sehingga menyulitkan
dalam penentuan nama ilmiahnya. Ketika tidak semua
jenis pohon diketahui nilai kerapatan kayunya,
beberapa peneliti (misalnya, Rutishauser et al., 2013;
Stas et al., 2017) menggunakan nilai rata-rata
kerapatan kayu dari jenis, genus, atau marga pohon-
pohon yang diketahui. Penggunaan nilai rata-rata
kerapatan kayu yang tidak spesifik untuk jenis pohon
tertentu kemungkinan dapat menyebabkan bias
pendugaan dari suatu model alometrik yang perlu
diteliti lebih lanjut.
Apabila data kerapatan kayu untuk model M7 sulit
diperoleh, alternatifnya adalah menggunakan model
M3 yang dapat menjelaskan keragaman biomassa
pohon sebesar 94 % melalui peubah diameter dan
tinggi pohon. Walaupun model M3 kurang akurat
dibandingkan dengan model M7, tetapi model M3
lebih praktis digunakan karena tidak memerlukan data
kerapatan kayu melainkan hanya data diameter dan
tinggi pohon yang dapat diperoleh dari kegiatan
inventarisasi hutan. Masalah yang mungkin dihadapi
di lapangan adalah pengukuran tinggi total pohon
yang lebih sulit dibandingkan dengan pengukuran
diameter, terutama di hutan-hutan tropis dengan
kanopi tertutup (Réjou-Méchain, Tanguy, Piponiot,
Chave, & Hérault, 2017). Basuki et al. (2009)
melaporkan bahwa tinggi total pohon lebih sulit
diukur daripada tinggi bebas cabang karena umumnya
pohon-pohon di hutan dipterokarpa bertajuk lebat.
Kesulitan utama dalam pengukuran tinggi pohon
umumnya adalah menentukan titik pengukuran yang
tepat pada bagian atas pohon yang terhalang tajuk
(Hunter, Keller, Vitoria, & Morton, 2013). Namun
pada hutan sekunder, pengukuran tinggi total pohon
relatif lebih mudah dilakukan karena kondisi tegakan
umumnya tidak terlalu rapat, sehingga memungkinkan
pengukur dapat menentukan puncak pohon dengan
tepat. Walaupun demikian, akurasi pengukuran tinggi
pohon sangat tergantung pada keterampilan teknisi
dan jenis alat ukurnya. Pengukuran tinggi pohon di
hutan tropis seharusnya dilakukan oleh teknisi-teknisi
terampil dan berpengalaman agar akurasi datanya
tinggi (Larjavaara & Muller-Landau, 2013).
Penggunaan alat-alat ukur tinggi pohon berbasis
teknologi laser juga memungkinkan pengukuran
tinggi pohon secara cepat dan akurat (Larjavaara &
Muller-Landau, 2013; Rutishauser et al., 2013). Selain
melalui pengukuran di lapangan, tinggi total pohon
dapat juga diperoleh dari model hubungan tinggi dan
diameter pohon yang disusun berdasarkan hasil
pengukuran sejumlah pohon contoh yang mewakili
keragaman kondisi tegakan (Magnussen, Kleinn, &
Fehrmann, 2020; Quentin Molto, Rossi, & Blanc,
2013), seperti yang dikembangkan oleh Feldpausch et
al. (2011) dan Q Molto et al. (2014).
Seperti halnya model-model alometrik lokal pada
umumnya, model M7 atau M3 dari penelitian ini
memiliki beberapa keterbatasan dalam
penggunaannya. Pertama, model-model alometrik
tersebut hanya cocok digunakan untuk menduga
biomassa pohon berdiameter 5 – 37 cm sesuai dengan
rentang diameter pohon contoh yang digunakan dalam
penyusunan modelnya. Oleh karena itu, model-model
alometrik tersebut seharusnya tidak digunakan untuk
pendugaan biomassa pohon berdiameter >37 cm
karena akan menyebabkan bias nilai dugaan
biomassanya (Quentin Molto et al., 2013). Kedua,
model M7 atau M3 hanya cocok digunakan pada hutan
sekunder dengan komposisi jenis pohon seperti di
lokasi penelitian (Tabel 1). Model M7 atau M3 juga
disusun berdasarkan jumlah pohon contoh yang relatif
sedikit, karena keterbatasan sumberdaya (biaya, waktu,
dan tenaga) dan ijin penebangan dari perusahaan,
sehingga kemungkinan belum dapat mewakili
keragaman biomassa pohon pada lokasi lain.
Penggunaan model alometrik lokal pada wilayah lain
yang berbeda kondisi ekosistem hutannya dapat
menyebabkan bias yang tinggi seperti ditunjukkan
oleh model MK (Tabel 4).
Selain menghasilkan model alometrik lokal M7
atau M3, penelitian ini membuktikan juga bahwa
model alometrik global dari Chave et al. (2014) cukup
akurat digunakan untuk pendugaan biomassa pohon di
hutan sekunder (Tabel 4). Hal ini dimungkinkan
karena Chave et al. (2014) menggunakan pohon
contoh yang banyak (n=4004) dan mewakili beragam
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
99
kondisi vegetasi hutan primer dan sekunder di daerah
tropis, sub-tropis, dan savana. Oleh karena itu, model
alometrik global dari Chave et al. (2014) dapat
menjadi solusi untuk pendugaan biomassa hutan
sekunder ketika dihadapkan pada keterbatasan
sumberdaya (biaya, waktu, dan tenaga) untuk
mengembangkan model-model alometrik lokal.
Namun seperti halnya model M7, dalam penerapannya
model Chave et al. (2014) juga memerlukan data
diameter, tinggi, dan kerapatan kayu.
KESIMPULAN
Model-model alometrik lokal yang dikembangkan
dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menduga
biomassa pohon jenis campuran di hutan sekunder
Halmahera Timur. Model M7 dapat digunakan untuk
menduga biomassa pohon secara akurat dengan
menggunakan peubah diameter, tinggi, dan kerapatan
kayu yang bervariasi antar jenis pohon. Jika kerapatan
kayu sulit diperoleh, maka model M3 yang hanya
menggunakan peubah diameter dan tinggi pohon
dapat digunakan walaupun nilai dugaannya kurang
akurat. Model-model alometrik lokal lain (MK dan
MS) cenderung kurang akurat, terutama jika model
alometrik tersebut disusun untuk kondisi ekosistem
hutan yang berbeda. Adapun model alometrik global
(MC), yang disusun berdasarkan data pengukuran
biomassa pohon pada berbagai lokasi dan kondisi
ekosistem hutan tropis, mampu memberikan akurasi
pendugaan biomassa yang cukup baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT
MAP yang telah memberikan ijin penelitian dan
bantuan teknis selama proses pengumpulan data di
lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada mitra bestari (reviewer) yang telah
memberikan komentar dan saran berharga untuk
perbaikan isi artikel ini.
KONTRIBUSI
Mujahidah Sylviari Zaenal (sebagai penulis
pertama) berperan mengumpulkan data dan menulis
naskah; Tatang Tiryana (penulis korespondensi)
berperan merumuskan ide/topik penelitian,
menganalisis data dan menulis naskah; serta
Mujahidin (penulis anggota) berperan menulis naskah.
Ketiga penulis membaca dan menyetujui naskah akhir
hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anitha, K., Verchot, L. V., Joseph, S., Herold, M., Manuri,
S., & Avitabile, V. (2015). A review of forest and tree
plantation biomass equations in Indonesia. Annals of
Forest Science, 72(8), 981–997.
https://doi.org/10.1007/s13595-015-0507-4
Basuki, T. M., van Laake, P. E., Skidmore, A. K., & Hussin,
Y. A. (2009). Allometric equations for estimating the
above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp
forests. Forest Ecology and Management, 257(8), 1684–
1694. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2009.01.027
Brown, I. F., Martinelli, L. A., Thomas, W. W., Moreira, M.
Z., Cid Ferreira, C. A., & Victoria, R. A. (1995).
Uncertainty in the biomass of Amazonian forests: An
example from Rondônia, Brazil. Forest Ecology and
Management, 75(1), 175-189.
https://doi.org/10.1016/0378-1127(94)03512-U
BSN. (2011). SNI 7725: 2011 Penyusunan Persamaan
Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan
Berdasar Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest
Carbon Accounting). Jakarta: Badan Standarisasi
Indonesia (BSN).
Burnham, K. P., & Anderson, D. R. (2002). Model Selection
and Multimodel Inference: a Practical Information-
Theoretic Approach. New York: Springer-Verlag.
Chave, J., Réjou-Méchain, M., Búrquez, A., Chidumayo, E.,
Colgan, M. S., Delitti, W. B. C., & Vieilledent, G. (2014).
Improved allometric models to estimate the
aboveground biomass of tropical trees. Global Change
Biology, 20(10), 3177–3190.
https://doi.org/10.1111/gcb.12629
Dutcă, I., McRoberts, R. E., Næsset, E., & Blujdea, V. N. B.
(2019). A practical measure for determining if diameter
(D) and height (H) should be combined into D2H in
allometric biomass models. Forestry: An International
Journal of Forest Research, 92(5), 627-634.
https://doi.org/10.1093/forestry/cpz041
Ebuy, J., Lokombe, J., Ponette, Q., Sonwa, D., & Picard, N.
(2011). Allometric equation for predicting aboveground
biomass of three tree species. Journal of Tropical Forest
Science, 23(2), 125–132.
Feldpausch, T. R., Banin, L., Phillips, O. L., Baker, T. R.,
Lewis, S. L., Quesada, C. A., & Lloyd, J. (2011). Height-
diameter allometry of tropical forest trees.
Biogeosciences, 8(5), 1081–1106.
https://doi.org/10.5194/bg-8-1081-2011
Feldpausch, T. R., Lloyd, J., Lewis, S. L., Brienen, R. J. W.,
Gloor, M., Monteagudo Mendoza, A., & Phillips, O. L.
(2012). Tree height integrated into pantropical forest
biomass estimates. Biogeosciences, 9(8), 3381–3403.
https://doi.org/10.5194/bg-9-3381-2012
Flores, O., & Coomes, D. A. (2011). Estimating the wood
density of species for carbon stock assessments.
Methods in Ecology and Evolution, 2(2), 214–220.
https://doi.org/10.1111/j.2041-210X.2010.00068.x
He, H., Zhang, C., Zhao, X., Fousseni, F., Wang, J., Dai, H.,
& Zuo, Q. (2018). Allometric biomass equations for 12
tree species in coniferous and broadleaved mixed forests,
Northeastern China. PLOS ONE, 13(1), e0186226.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0186226
Henry, M., Besnard, A., Asante, W. A., Eshun, J., Adu-Bredu,
S., Valentini, R., & Saint-André, L. (2010). Wood
density, phytomass variations within and among trees,
and allometric equations in a tropical rainforest of Africa.
Forest Ecology and Management, 260(8), 1375–1388.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2010.07.040
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:87-101 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5948
100
Hunter, M., Keller, M., Vitoria, D., & Morton, D. (2013).
Tree height and tropical forest biomass estimation.
Biogeosciences, 10(12), 8385–8399.
https://doi.org/10.5194/bg-10-8385-2013
Huy, B., Kralicek, K., Poudel, K. P., Phuong, V. T., Khoa, P.
V., Hung, N. D., & Temesgen, H. (2016). Allometric
equations for estimating tree aboveground biomass in
evergreen broadleaf forests of Viet Nam. Forest Ecology
and Management, 382, 193–205.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.10.021
ICRAF. (2020). Tree functional attributes and ecological
database: Wood density. Retrieved November 25,
2020, from World Agroforestry (ICRAF)
http://db.worldagroforestry.org//wd
Ketterings, Q. M., Coe, R., van Noordwijk, M., Ambagau’,
Y., & Palm, C. A. (2001). Reducing uncertainty in the
use of allometric biomass equations for predicting
above-ground tree biomass in mixed secondary forests.
Forest Ecology and Management, 146(1), 199–209.
https://doi.org/10.1016/S0378-1127(00)00460-6
Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., & Imanuddin, R. (2012).
Monograf: Model-Model Alometrik untuk Pendugaan
Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan
di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Kusmana, C., Hidayat, T., Tiryana, T., Rusdiana, O., &
Istomo. (2018). Allometric models for above- and
below-ground biomass of Sonneratia spp. Global
Ecology and Conservation, 15, e00417.
https://doi.org/10.1016/j.gecco.2018.e00417
Kuyah, S., Dietz, J., Muthuri, C., Jamnadass, R., Mwangi, P.,
Coe, R., & Neufeldt, H. (2012). Allometric equations for
estimating biomass in agricultural landscapes: I.
Aboveground biomass. Agriculture, Ecosystems &
Environment, 158, 216–224.
https://doi.org/10.1016/j.agee.2012.05.011
Larjavaara, M., & Muller-Landau, H. C. (2013). Measuring
tree height: a quantitative comparison of two common
field methods in a moist tropical forest. Methods in
Ecology and Evolution, 4(9), 793-801.
https://doi.org/10.1111/2041-210X.12071
Magnussen, S., Kleinn, C., & Fehrmann, L. (2020). Wood
volume errors from measured and predicted heights.
European Journal of Forest Research, 139(2), 169–178.
https://doi.org/10.1007/s10342-020-01257-9
MAP. (2018). RKUPHHK-HA dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi Berbasis IHMB Periode Tahun 2018–
2027. Jakarta: MAP (PT Mahakarya Agra Pesona).
Mardiatmoko, G., Kastanya, A., & Hatulesila, J. W. (2016).
Persamaan allometrik pala (Myristica fragrans Houtt)
untuk pendugaan biomassa atas tanah pada lahan
agroforestri guna mendukung program REDD+ di
Maluku. Jurnal Makila, 9(1), 97–107.
Maulana, S. I., & Pandu, J. (2011a). Persamaan-persamaan
allometrik genera Instia sp. untuk pendugaan total
biomassa atas tanah pada kawasan hutan tropis Papua.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(4),
275–284.
Maulana, S. I., & Pandu, J. (2011b). Persamaan-persamaan
allometrik untuk pendugaan total biomassa atas tanah
pada genera Pometia di kawasan hutan tropis Papua.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 8(4),
288–298.
MoEF. (2018). The State of Indonesia's Forests 2018.
Jakarta: MoEF (Ministry of Environment and Forestry).
Molto, Q., Hérault, B., Boreux, J.-J., Daullet, M., Rousteau,
A., & Rossi, V. (2014). Predicting tree heights for
biomass estimates in tropical forests – a test from French
Guiana. Biogeosciences, 11(12), 3121–3130.
https://doi.org/10.5194/bg-11-3121-2014
Molto, Q., Rossi, V., & Blanc, L. (2013). Error propagation
in biomass estimation in tropical forests. Methods in
Ecology and Evolution, 4(2), 175–183.
https://doi.org/10.1111/j.2041-210x.2012.00266.x
Picard, N., Saint-André, L., & Henry, M. (2012). Manual for
Building Tree Volume and Biomass Allometric
Equations: from Field Measurement to Prediction.
Rome: FAO/CIRAD.
Pinheiro, J., Bates, D., DebRoy, S., & Sarkar, D. (2020).
nlme: Linear and Nonlinear Mixed Effects Models: R
package version 3.1-148. Retrieved from
https://CRAN.R-project.org/package=nlme
Puc-Kauil, R., Ángeles-Pérez, G., Valdéz-Lazalde, J.,
Reyes-Hernández, V., Dupuy-Rada, J., Schneider, L., . . .
García-Cuevas, X. (2020). Allometric equations to
estimate above-ground biomass of small-diameter
mixed tree species in secondary tropical forests.
[Allometric equations to estimate above-ground
biomass of small-diameter mixed tree species in
secondary tropical forests]. iForest - Biogeosciences and
Forestry, 13(3), 165–174.
https://doi.org/10.3832ifor3167-013
R Core Team. (2020). R: A language and environment for
statistical computing. Vienna, Austria: R Foundation for
Statistical Computing. Retrieved from URL
https://www.R-project.org/
Rawlings, J. O., Pantula, S. G., & Dickey, D. A. (1998).
Applied Regression Analysis: A Research Tool (Second
ed.). New York: Springer.
Réjou-Méchain, M., Tanguy, A., Piponiot, C., Chave, J., &
Hérault, B. (2017). biomass: an r package for estimating
above-ground biomass and its uncertainty in tropical
forests. Methods in Ecology and Evolution, 8(9), 1163–
1167. https://doi.org/10.1111/2041-210x.12753
Rutishauser, E., Noor’an, F., Laumonier, Y., Halperin, J.,
Rufi’ie, Hergoualc’h, K., & Verchot, L. (2013). Generic
allometric models including height best estimate forest
biomass and carbon stocks in Indonesia. Forest Ecology
and Management, 307, 219–225.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2013.07.013
Sanquetta, C. R., Dalla Corte, A. P., Behling, A., de Oliveira
Piva, L. R., Péllico Netto, S., Rodrigues, A. L., &
Sanquetta, M. N. I. (2018). Selection criteria for linear
regression models to estimate individual tree biomasses
in the Atlantic Rain Forest, Brazil. Carbon Balance and
Management, 13(1), 25. https://doi.org/10.1186/s13021-
018-0112-6
Sileshi, G. W. (2014). A critical review of forest biomass
estimation models, common mistakes and corrective
measures. Forest Ecology and Management, 329, 237–
254. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2014.06.026
Stas, S. M., Rutishauser, E., Chave, J., Anten, N. P. R., &
Laumonier, Y. (2017). Estimating the aboveground
Model Alometrik Untuk Estimasi Biomassa Pohon…
(Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin)
101
biomass in an old secondary forest on limestone in the
Moluccas, Indonesia: Comparing locally developed
versus existing allometric models. Forest Ecology and
Management, 389, 27–34.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2016.12.010
Tiryana, T., Tatsuhara, S., & Shiraishi, N. (2011). Empirical
models for estimating the stand biomass of teak
plantations in Java, Indonesia. Journal of Forest
Planning, 16(Special_Issue), 177–188.
https://doi.org/10.20659/jfp.16.Special_Issue_177
van Breugel, M., Ransijn, J., Craven, D., Bongers, F., & Hall,
J. S. (2011). Estimating carbon stock in secondary
forests: Decisions and uncertainties associated with
allometric biomass models. Forest Ecology and
Management, 262(8), 1648–1657.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2011.07.018
Zanne, A., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D., Ilic, J., Jansen,
S., Lewis, S., & Chave, J. (2009). Global Wood Density
Database. Retrieved from
https://datadryad.org/stash/dataset/doi:10.5061/dryad.2
34.
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…
(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)
103
PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN PERLAKUAN EKSTRAKSI
TERHADAP DAYA KECAMBAH BENIH LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
EFFECT OF FRUIT MATURITY AND EXTRACTION TREATMENT ON GERMINATION
PERCENTAGE OF LANGUSEI (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq))
Arif Irawan1*, Iwanuddin2, Jafred E Halawane3 dan Fuad Muhammad4
1Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro
Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 5, Semarang Kode Pos 50241 Tel. (024) 8453635 *E-mail: [email protected] 2Taman Nasional Wakatobi
Jl. Dayanu Iksanuddin No.71 Kota Baubau-Sulawesi Tenggara 93724 3Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado, Sulawesi Utara 95259
Telp. +62 85100666683 4Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang Semarang Kode Pos 50275
Diterima: 2 September 2020; Direvisi: 9 Oktober 2020; Disetujui: 23 November 2020
ABSTRAK
Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara flora endemik Sulawesi yang
keberadaannya semakin langka. Usaha untuk menjaga keberadaan jenis Ficus minahasae dengan mengetahui
informasi teknik budidaya jenis langusei khususnya mengenai teknik perkecambahan yang sesuai perlu menjadi
perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai
terhadap daya kecambah benih langusei. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak lengkap yang
disusun dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah klasifikasi tingkat kemasakan benih yang dibedakan berdasarkan
kategori warna buah : 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna
merah, dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri
dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur selama 12 jam,
dan 3) Ektraksi dengan perlakuan rendam air selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemasakan
buah dan perlakuan ekstraksi yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah benih langusei yang optimal adalah
pada kondisi buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang
digunakan adalah direndam selama 24 jam.
Kata kunci: daya kecambah, ekstraksi, kemasakan buah, langusei
ABSTRACT
Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) is one of the endemic flora of Sulawesi which existence is increasingly
threatened. Attempts to maintain the existence of Ficus minahassae species by understanding the cultivation techniques
of the langusei species, especially regarding the appropriate germination techniques, need to be addressed. This study
aims to determine the level of fruit maturity and the appropriate extraction treatment for the germination of langusei
seeds. The experimental design used in this study was a complete randomization design which is arranged in a
factorial pattern. The first factor is the classification of the level of seed maturity based on fruit color categories: 1)
Orange-brown fruit, 2) Orange-reddish fruit, 3) Red fruit, and 4) Red-black fruit, while the second factor is the fruit
extraction treatment which consists of: 1) Extraction with dry wind treatment for 24 hours, 2) Extraction with drying
treatment for 12 hours, and 3) Extraction with water treatment for 24 hours. The results showed that the fruit maturity
level and the appropriate extraction treatment to produce optimal langusei seed germination were in the orange-brown
and orange-reddish fruit (mature fruits prior to ripening) which was soaked in water for 24 hours.
Keywords: extraction, ficus, fruit maturity, germination percentage, Langusei.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397
104
PENDAHULUAN
Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan
wallaceae yang memiliki arti penting karena di
dalamnya terdapat banyak jenis-jenis flora endemik,
langka serta unik. Langusei (Ficus minahassae
(Teysm.et.Vr.) Miq) merupakan salah satu diantara
flora endemik Sulawesi yang tersebar di Pulau
Sulawesi bagian utara, kepulauan Sangir dan Talaud.
Tanaman ini dapat dijumpai di hutan-hutan primer,
terutama di sepanjang sungai, sampai dengan
ketinggian lokasi 135 dari permukaan laut. Pitopang
et al., (2008) menyatakan bahwa pohon Ficus
minahassae berukuran kecil, batang mengeluarkan
getah warna putih, batangnya sering ditutupi rapat
oleh buah yang panjang dan rapat menyerupai
janggut yang tergantung. Seperti fungsi Ficus pada
umumnya, langusei juga memiliki kemampuan
menyimpan cadangan air pada musim penghujan
dengan baik dan mengeluarkannya pada musim
kemarau secara teratur.
Keberadaan Langusei menjadi penting bagi
Sulawesi Utara karena bersama fauna tarsius telah
dijadikan maskot provinsi ini. Selain itu Mogea
(2002) juga menyampaikan bahwa Ficus minahassae
diketahui merupakan salah satu habitat satwa kuskus,
monyet/yaki, dan buahnya merupakan makanan
satwa hutan. Langusei oleh masyarakat Sulawesi
Utara juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat
yang biasa digunakan untuk membantu proses
kehamilan dan bersalin (Kaunang dan Samuel, 2017).
Lebih lanjut diketahui bahwa daun langusei juga
digunakan sebagai antirematik dan dapat
menyembuhkan bisul dan memar (Olowa et al.,
2012).
Berdasarkan hasil penelitian Simbala (2007)
diketahui bahwa langusei merupakan salah satu jenis
tanaman yang semakin langka keberadaannya, hasil
pengamatan yang dilakukan dikawasan Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBW)
menyatakan bahwa jenis ini sudah semakin sulit
ditemukan (hanya terdapat pada lokasi tertentu
misalnya di Hutan Tumokang dan Hutan G. Kabila).
Yanengga et al. (2015) juga menyatakan bahwa
berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan,
Ficus minahassae berada pada 3 tingkatan jumlah
individu terendah yang ditemukan dari penghitungan
9 (sembilan) jenis Ficus di kawasan Taman Hutan
Raya Gunung Tumpa. Lebih lanjut juga disampaikan
bahwa penyebaran kelompok Ficus berdasarkan
tingkat tumbuh secara umum menunjukkan bahwa
angka tertinggi terdapat pada fase pohon dan tiang,
sedangkan angka terendah pada fase sapihan diikuti
oleh semai. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan adanya kesulitan jenis Ficus untuk
beregenerasi secara alami. Usaha untuk menjaga
keberadaan jenis Ficus minahassae selayaknya perlu
menjadi perhatian, hal ini berkaitan dengan terus
meningkatnya degradasi lahan dan deforestasi yang
tentunya sangat mempengaruhi keberadaan dan
kelestarian Ficus minahassae. Mengantisipasi
permasalahan tersebut, salah satu tindakan yang
dapat dilakukan adalah mengetahui informasi
budidaya jenis Langusei khususnya mengenai teknik
perkecambahan yang sesuai. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kemasakan buah optimal
dan perlakuan ekstraksi yang sesuai terhadap daya
kecambah benih langusei.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Mei
Tahun 2019 di Persemaian Permanen BPDASHL
Tondano Kima Atas yang berada di komplek kantor
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado, Provinsi Sulawesi
Utara.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buah langusei yang berasal dari Desa Kima
Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Peralatan
yang digunakan berupa bak tabur, media pasir, label,
dan alat tulis.
Prosedur Kerja
Buah langusei yang digunakan dalam penelitian
ini adalah buah yang diunduh langsung dari pohon
yang terdapat di sekitar kawasan wisata air terjun
Kima Atas. Buah dipisahkan berdasarkan tingkat
kemasakan dan selanjutnya diekstraksi menggunakan
beberapa perlakuan. Klasifikasi tingkat kemasakan
benih dibedakan berdasarkan kategori warna buah
(oranye-kecokelatan; oranye-kemerahan; merah; dan
merah-kehitaman). Buah tersebut selanjutnya
diekstraksi menggunakan beberapa perlakuan seperti
ekstraksi kering (kering angin dan penjemuran) dan
ekstraksi basah berupa perendaman. Ekstraksi kering
dilakukan dengan mengeringkan buah terlebih dahulu
dengan kondisi kering angin selama 24 jam dan
dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam untuk
menghilangkan air dan kandungan minyak yang
terdapat pada buah. Setelah kondisi kering, buah
disaring untuk memisahkan antara daging buah dan
benih langusei. Sedangkan untuk perlakuan
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…
(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)
105
perendaman dilakukan dengan merendam buah
dalam air selama 24 jam dan selanjutnya setelah
daging hancur benih dipisahkan menggunakan
saringan kain untuk mendapatkan benihnya. Setiap
perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali dengan
masing-masing ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap
ulangan ditabur pada bak plastik dan selanjutnya
dilakukan pengamatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah acak lengkap yang disusun dengan pola
faktorial dengan faktor pertama adalah klasifikasi
tingkat kemasakan benih yang dibedakan
berdasarkan kategori warna buah : 1) Buah berwarna
oranye-kecokelatan, 2) Buah berwarna
oranye-kemerahan, 3) Buah berwarna merah, dan 4)
Buah berwarna merah-kehitaman, sedangkan faktor
kedua adalah perlakuan ekstraksi buah yang terdiri
dari : 1) Ektraksi dengan perlakuan kering angin
selama 24 jam, 2) Ektraksi dengan perlakuan jemur
selama 12 jam, dan 3) Ektraksi dengan perlakuan
rendam air selama 24 jam. Setiap perlakuan diulang
sebanyak 3 (tiga) kali dengan masing-masing
ulangan terdiri dari 50 benih. Setiap ulangan ditabur
pada bak plastik dan selanjutnya dilakukan
pengamatan daya kecambah benihnya dengan rumus:
Keterangan :
∑KN = Jumlah benih yang berkecambah normal
N = Jumlah benih yang ditabur
Analisis Data
Hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis
ragam dan untuk melihat perbedaan signifikansi
dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range
Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui
bahwa interaksi perlakuan tingkat kemasakan buah
dan perlakuan ekstraksi memberikan pengaruh yang
nyata terhadap daya berkecambah benih langusei
(Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
kemasakan buah dan perlakuan awal sebelum benih
Langusei disemai sangat mempengaruhi kemampuan
berkecambah benih langusei tersebut.
Gambar 1. (a) Buah langusei yang masih melekat pada tangkai buah, (b) Perlakuan tingkat kemasakan benih
Langusei berdasarkan warna buah, 1) Buah berwarna oranye-kecokelatan; 2) Buah berwarna
oranye-kemerahan; 3) Buah berwarna merah; dan 4) Buah berwarna merah-kehitaman, (c) Benih
Langusei setelah diektraksi, 1) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna
oranye-kecokelatan; 2) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna
oranye-kemerahan; 3) Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah; dan 4)
Benih langusei setelah diektraksi berasal dari buah berwarna merah-kehitaman.
(1) (2) (3) (4)
(c) (b) (a)
(1) (2) (3) (4)
(a)
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397
106
Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi terhadap
daya berkecambah benih langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
Sumber Variasi Derajat
Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Tingkat kemasakan buah 3 6.630,56 2.210,19*
Perlakuan ekstraksi 2 9.908,22 9.908,22*
Interaksi 6 6.715,78 1.119,29*
Galat 24 482,67 20,11
Total 35 23.737,22
Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95 %
Uji lanjut untuk mengetahui daya kecambah
terbaik dari pengaruh interaksi tingkat kemasakan
buah dan perlakuan ekstraksi benih ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Uji lanjut pengaruh interkasi tingkat
kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi
terhadap daya kecambah benih langusei
(Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) No Perlakuan Daya
berkecambah
(%)
1. Oranye-kecokelatan*rendam 82,67 a
2. Oranye-kemerahan*rendam 78,00 ab
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Oranye-kemerahan*kering angin
Oranye-kecokelatan*jemur
Merah*kering angin
Merah*rendam
Merah-kehitaman*kering angin
Oranye-kemerahan*jemur
Oranye-kecokelatan*kering angin
Merah-kehitaman*rendam
72,67 bc
65,33 cd
64,67 d
64,00 d
60,67 d
52,67 e
48,00 e
48,00 e
11.
12.
Merah*jemur
Merah-kehitaman*jemur
2,67 f
0,00 f
Keterangan : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama
dalam suatu kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa daya
kecambah tertinggi dari interaksi perlakuan tingkat
kemasakan buah dengan perlakuan ekstraksi
dihasilkan dari buah langusei berwarna
oranye-kecokelatan dengan perlakuan ekstraksi
direndam selama 24 jam, walaupun hasil tersebut
secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan
buah langusei berwarna oranye-kemerahan dengan
perlakuan ekstraksi rendam selama 24 jam. Lestari
dan Surahman (2012) menyatakan bahwa tingkat
kemasakan buah berpengaruh nyata terhadap
viabilitas benih. Benih yang telah masak secara
fisiologis biasanya dihasilkan dari buah yang telah
masak secara morfologi. Ningsih (2012) menyatakan
bahwa proses pematangan fisiologis pada buah dan
benih biasanya terjadi secara bersamaan, sehingga
waktu matangnya buah biasanya bersamaan dengan
waktu matangnya benih. Penentuan tingkat
kemasakan buah bervariasi tergantung pada jenisnya
(Wulananggraeni et al., 2016). Tingkat kemasakan
buah (masak fisiologis) penting diketahui guna
menentukan waktu panen buah yang tepat, karena
waktu pemanenan sangat mempengaruhi vigor dan
viabilitas benih (Surahman et al., 2012). Salah satu
kriteria yang sering digunakan dalam menentukan
tingkat kemasakan buah adalah warna kulit buah
(Sutan, 2015). Tingkat warna buah berkaitan erat
dengan proses pemasakan buah atau benihnya
(Yuniarti et al., 2016).
Langusei memiliki karakteristik waktu
kemasakan buah yang tidak seragam, dalam satu
tangkai biasanya terdapat beberapa rumpun buah, dan
setiap rumpun buah tersusun atas beberapa polong
buah yang masih muda hingga buah yang telah tua.
Seymour et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat
kemasakan fisiologis pada setiap tanaman bervariasi
bahkan dalam satu pohon juga bervariasi. Tingkat
kemasakan buah langusei dapat dilihat dari Gambar
1. Buah pra-masak ditandai dengan warna kulit buah
oranye-kecoklatan dengan kulit agak keras,
selanjutnya buah berubah menjadi oranye-kemerahan
dengan kulit buah sedikit lunak, kemudian berubah
menjadi warna merah dan terakhir menjadi warna
merah-kehitaman dengan kulit buah yang sangat
lunak. Setyowati dan Fadli (2015) menyatakan
bahwa perubahan warna yang tejadi pada buah
disebabkan peningkatan produksi gula dan kadar air
pada daging buah sehingga buah berubah menjadi
lunak. Lebih lanjut disampaikan bahwa terjadinya
perubahan warna pada buah disebabkan karena
menurunnya kadar klorofil disertai dengan
meningkatnya kadar karotenoid dan antosianin. Sutan
(2015) menambahkan bahwa perubahan warna kulit
juga sejalan dengan terjadinya perubahan sifat fisik
dan kimia yang terjadi pada buah baik kulit maupun
pada daging buah. Perubahan fisik yang dapat dilihat
secara visual adalah perubahan warna, sedangkan
perubahan fisik yang harus dirasakan dengan
menggunakan panca indera diantaranya adalah
kekerasan. Selanjutnya Sutan (2015) juga
menyatakan bahwa faktor kekerasan daging buah
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…
(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)
107
sangat dipengaruhi oleh tingginya protopektin pada
kulit buah yang tinggi, sedangkan pada kulit buah
yang lunak protopektin sudah terombak menjadi
pektin.
Buah langusei dengan warna oranye-kecokelatan
pada dasarnya masih merupakan buah kategori
pra-masak karena masih memiliki kulit buah sedikit
keras. Berdasarkan hasil ini dapat terlihat bahwa
benih langusei telah memasuki masa masak secara
fisiologis sejak buah pada kondisi pra-masak (warna
oranye-kecokelatan). Masak fisiologis akan
menentukan waktu pengunduhan dan kualitas buah
yang dipanen (Perotti et al., 2014). Pada tingkatan ini,
benih telah memiliki cadangan makanan yang cukup
dan juga pembentukan embrio secara sempurna.
Cadangan makanan dalam benih merupakan bahan
yang akan dihidrolisis selama perkecambahan dan
ditransfer ke poros embrio untuk pertumbuhan semai
(Setyowati dan Fadli, 2015). Buah yang dipanen
tepat waktu atau pada saat masak fisiologis akan
menghasilkan benih yang berkualitas lebih baik
dibandingkan dengan buah yang dipanen pada awal
dan akhir masak fisiologis (Aminah dan Siregar,
2019).
Kondisi masaknya benih sebelum masaknya buah
pada benih Langusei juga terjadi pada benih lain
seperti benih tembesu dan salam. Junaidah et al.
(2014) menyatakan buah tembesu yang muda
(berwarna hijau) memiliki daya vigor yang lebih baik
dibandingkan benih yang berasal dari buah tembesu
yang matang dan tingkat kematangan buah yang
lebih lanjut berpotensi menurunkan kemampuan
benih untuk berkecambah. Sedangkan Setyowati dan
Fadli (2015) menyatakan bahwa untuk keperluan
benih salam (Syzygium polyanthum), buah dapat
dipanen pada tingkat kematangan pra-matang dengan
ciri warna buah hijau kemerahan. Walaupun terdapat
juga benih yang masak fisiologis bersamaan dengan
masaknya buah seperti yng terjadi pada benih kepuh
(Sterculia foetida Linn.) (Sudrajat et al., 2011); dan
jarak pagar (Lestari dan Surahman, 2012). Nilai daya
berkecambah buah Langusei pra-masak yang lebih
baik dibandingkan kondisi buah masak dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah
perubahan fisiologis tanaman selama proses
pemasakan benih. Beberapa teori umumnya
mengaitkan adanya perubahan kondisi fisiologi
selama proses pemasakan benih yang dapat berbeda
intensitasnya antar jenis tumbuhan, seperti dalam hal
penurunan kadar air, ketersediaan enzim dan aktivitas
metabolisme yang dapat meningkatkan ataupun
menurunkan kemampuan benih untuk berkecambah
(Schmidt, 2000).
Metoda ekstraksi benih dari buah ditentukan oleh
karakteristik dari masing-masing buah (Yuniarti et
al., 2013). Lebih lanjut disampaikan bahwa metoda
ekstraksi benih akan mempengaruhi mutu fisik dan
fisiologis benih yang dihasilkan. Benih langusei
terdapat dalam polong buah yang dilapisi cairan
berminyak yang sulit dipisahkan jika tanpa perlakuan
ekstraksi. Perlakuan ekstaksi rendam air selama 24
jam merupakan perlakuan ekstraksi yang sesuai
untuk benih langusei terutama jika dibandingkan
dengan perlakuan ekstraksi jemur. Perlakuan sejenis
juga sesuai dengan benih Macaranga gigantea
(Susanto et al., 2016) dan Piper aduncum (Susanto et
al., 2018).
Interaksi perlakuan ekstraksi jemur dengan buah
warna merah dan merah-kehitaman memberikan nilai
persen terendah dibandingkan perlakuan interaksi
lainnya. Setyowati (2009) menyatakan bahwa apabila
ditinjau dari kondisi kadar air, biji pra-masak
mempunyai kadar air awal yang lebih tinggi dari
pada biji masak. Yuniarti et al. (2016) menyatakan
bahwa buah trema yang masih belum masak
fisiologis (warna hijau) mempunyai kadar air buah
dan kadar air benih paling tinggi kemudian nilainya
menurun pada warna buah coklat hingga titik nilai
terendah pada buah berwarna hitam. Buah langusei
dengan warna merah dan merah-kehitaman diduga
memiliki kandungan kadar air yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan buah berwarna
oranye-kecoklatan dan oranye-kemerahan. Perlakuan
penjemuran yang dilakukan terhadap buah Langusei
berwarna merah dan merah-kehitaman
mengakibatkan benih berada dibawah kadar air kritis
sehingga benih sudah tidak mampu berkecambah.
Benih langusei dapat dikategorikan benih yang
peka terhadap pengeringan sehingga pengeringan
cepat (langsung dibawah sinar matahari) akan
menurunkan daya berkecambah benih dibandingkan
pengeringan secara perlahan (kering angin). Benih
langusei merupakan benih yang membutuhkan kadar
air yang tinggi untuk dapat berkecambah secara
optimal. Benih dengan karakteristik tersebut
merupakan salah sau ciri yang dimiliki benih
reklsitran atau semi rekalsitran, hal ini disebabkan
karena benih dengan kategori tersebut akan
mengalami penurunan daya kecambah apabila terjadi
penurunan kadar air benih. Berjak dan Pammenter
(2013) menyatakan bahwa benih rekalsitran
merupakan benih yang memiliki kadar air tinggi,
hanya dapat disimpan dalam jangka waktu yang
pendek (berkisar dari beberapa hari hingga beberapa
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:103-109 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5397
108
bulan, tergantung dari jenisnya), sangat mudah
terhidrasi, tidak tahan dengan pengeringan yang
intensif dan sensitif terhadap suhu rendah. Hasil dari
penelitian benih Langusei yang menunjukan bahwa
daya kecambah dari perlakuan penjemuran yang
lebih rendah pada setiap perlakuan tingkat
kemasakan mengindikasikan penurunan kadar air
benih yang disebabkan perlakuan penjemuran
berpengaruh terhadap daya kecambahnya. Yuniarti et
al. (2016) juga menambahkan bahwa benih
rekalsitran tidak tahan terhadap pengeringan dan
disimpan pada temperatur rendah. Halimursyadah
(2012) juga menjelaskan bahwa secara struktural
kadar air tinggi diperlukan untuk mempertahankan
struktur sel benih rekalsitran. Perlakuan ekstraksi
penjemuran cenderung lebih sesuai untuk
benih-benih ortodok yang tidak mengharuskan kadar
air benih yang tinggi untuk berkecambah. Yuniarti et
al. (2013) menyatakan bahwa metode ekstraksi benih
yang terbaik untuk benih krasikarpa sebagai benih
ortodok yaitu dengan cara pengeringan seed drier
selama 4 jam atau dengan cara penjemuran sinar
matahari selama 3 hari. Sedangkan Arifin et al.
(2018) menyatakan bahwa perlakuan cara ekstraksi
kering dengan penjemuran selama dua hari untuk
menghilangkan daging buah yang menempel pada
biji jabon merah menghasilkan daya berkecambah
yang rendah yaitu 27,25 %. Lebih lanjut disampaikan
bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar
air yang terkandung dalam benih jabon merah yang
diekstraksi dengan cara penjemuran selama dua hari.
Jabon merah diketahui juga merupakan salah satu
jenis benih yang tergolong benih rekalsitran atau
semirekalsitran (Yudohartono, 2013). Surahman et
al. (2012) menyatakan bahwa metode pengeringan
seringkali merupakan faktor yang sangat kritis pada
tahap pengolahan benih, karena memberikan resiko
yang tinggi terhadap kemunduran benih. Pendugaan
karakterisik benih Ficus minahassae yang dihasilkan
dalam penelitian ini juga sejalan dengan yang
disampaikan oleh (Effendi, 2012) mengenai
karakteristik benih sejenis yaitu benih nyawai (Ficus
variegata Blume) yang tidak dapat disimpan lama
atau tergolong jenis semi rekalsitran.
KESIMPULAN
Tingkat kemasakan buah dan perlakuan ekstraksi
yang sesuai untuk menghasilkan daya kecambah
benih langusei yang optimal adalah pada kondisi
buah pra-masak (warna buah oranye-kecokelatan dan
oranye-kemerahan) dengan perlakuan ektraksi yang
digunakan adalah direndam selama 24 jam.
SARAN
Perlu dilakukan uji coba lebih lanjut untuk
mengetahui kandungan kadar air dan daya simpan
optimal benih langusei.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Kepala BP2LHK Manado, Mochlis, S.Hut.T, MP,
Manajer Persemaian Permanen BPDASHL Tondano
Kima Atas, Prayitno, S.Hut serta petugas persemaian
Eky Kaeng dan Opa (Agustinus Pangeke).
KONTRIBUSI
Arif Irawan berperan sebagai kontributor utama,
serta Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad
Muhammad berperan sebagai kontributor anggota
dalam artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, A., & Siregar, N. (2019). Pengaruh waktu
pengunduhan dan warna kulit buah terhadap daya
berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi (Melia
azedarach Linn). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,
7(1), 21-30.
Arifin, Wardah, & Irmasari. (2018). Uji mutu benih jabon
merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil)
pada berbagai cara ekstraksi benih. Jurnal Warta
Rimba, 6(1), 32-38.
Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2013). Implications of the
lack of desiccation tolerance in recalcitrant seeds.
Frontiers in Plant Science, 4, 1–9.
Effendi, R. (2012). Kajian keberhasilan pertumbuhan
tanaman nyawai (Ficus variegata Blume) di KHDTK
Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 9(2), 95 – 104.
Halimursyadah. (2012). Pengaruh kondisi simpan terhadap
viabilitas dan vigor benih Avicennia marina
(Forsk.)Vierh. pada beberapa periode simpan. Jurnal
Agrotropika, 17(2), 43-51.
Junaidah, Sofyan, A., & Nasrun. (2014). Pengaruh tingkat
kemasakan buah terhadap potensi dan perkecambahan
benih tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Galam,
VII(1), 1-7.
Kaunang, E, N, S., & Semuel, M, Y. (2017). Botanical and
phytochemical constituents of several medicinal plants
from mount Klabat North Minahasa. Journal of
Medicinal Plants Studies, 5(2), 29-35.
Lestari, Y, K., & Surahman, M. (2012). Perkecambahan
benih pada berbagai tingkat kemasakanbuah beberpa
aksesi jarak pagar. Jurnal Agrivigor, 9(2), 122-134.
Mogea, J, P. (2002). Preliminary studi on the palm flora of
the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi,
Indonesia. Biotropia, 18, 1-20.
Ningsih, E, T. (2012). Pengaruh Tingkat Kematangan Buah
Terhadap Daya Berkecambah Benih. Skripsi tidak
diterbitkan, Politeknik Negeri Lampung.
Olowa, L, F., Torres, M, A, J., Aranico, E, C., & Demayo,
C, G. (2012). Medicinal plants used by the higaonon
tribe of rogongon, Iligan City, Mindanao, Philippines.
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi…
(Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad)
109
Advances in Environmental Biology, 6(4), 1442-1449.
Perotti, V, E., Moreno, A., & Podesta, F. (2014).
Physiological aspect of fruit ripening. Mitochondrion,
17, 1–6.
Pitopang, R., Khaeruddin, I, Tjoa, A., Burhanuddin, I, F.
(2008). Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di
Sulawesi. Palu (ID): UNTAD Press.
Schmidt, L. (2000). Pedoman Penanganan Benih Tanaman
Hutan tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen
Kehutanan.
Setyowati, N. (2009). The effect of seed maturity,
temperature and storage period on vigor of Picrasma
javanica Bl. seedling. Biodiversitas, 10(1), 50–53.
Setyowati, N., & Fadli, A. (2015). Penentuan tingkat
kematangan buah salam (Syzgium polyanthum
(WIGHT) WALPERS) sebagai benih dengan uji
kecambah dan vigor biji. Widyariset, 1(1), 31–40.
Seymour, G, B., Ostergaard, L., Chapman N, H., Knapp, S.,
& Martin, C. (2013). Fruit development and ripening.
Annu. Rev. Plant Biol. 64, 219–241.
Simbala, H, E, I. (2007). Keanekaragaman Kloristik dan
Pemanfaatannya sebagai Tanaman Obat di Kawasan
Konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Disertasi tidak diterbitkan, IPB, Bogor.
Sudrajat, D, J., Nurhasybi, & Syamsuwida, D. (2011).
Teknologi untuk memperbaiki perkecambahan benih
kepuh (Sterculia foetida Linn.). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 8(5), 301-314.
Surahman,M., Murniati,E., & Nisya, F, N. (2012).
Pengaruh tingkat kemasakan buah, metode ekstraksi
buah, metode pengeringan, jenis kemasan, dan lama
penyimpanan pada mutu benih jarak pagar (Jatropha
curcas). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 18(2), 73-78.
Susanto, D., Ruchiyat, D., Sutisna, M., & Amirta, R.
(2016). Flowering, fruiting, seed germination and
seedling growth of Macaranga gigantea. Biodiversitas,
17(1), 192-199.
Susanto, D., Sudrajat., Suwinarti, W., & Amirta, R. (2018).
Seed germination and cutting growth of Piper aduncum.
Earth and Enviromental Science, 144, 1-7.
Sutan, S, M. (2015). Karakteristik sifat fisik-kimia buah
manggis pada beberapa umur panen. Jurnal Teknologi
Pertanian Andalas, 19(2), 7-44
Wulananggraeni, R., Damanhuri., & Purnamaningsih, S, L.
(2016). Pengaruh perbedaan tingkat kemasakan buah
pada 3 genotip mentimun (Cucumis sativus L.)
terhadap kualitas benih. Jurnal Produksi Tanaman, 4(5),
332-341.
Yanengga, A., Langi, M, A., Kainde, R, P., & Nurmawan,
W. (2015). Penyebaran Ficus spp. di hutan Gunung
Tumpa, Provinsi Sulawesi Utara. Cocos, 6(3), 1-8.
Yudohartono, T, P. (2013). Potensi dan penanganan benih
jabon merah (Anthocephalus Macrophyllus Roxb.) dari
provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman,.6(1),
21–27.
Yuniarti, N., Kurniaty, R., Danu, & Siregar, N. (2016).
Mutu fisik, fisiologis, dan kandungan biokimia benih
trema (Trema orientalis linn. blume) berdasaran tingkat
kemasakan buah. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,
4(2), 53-65.
Yuniarti, N., Megawati, & Leksono, B. (2013). Pengaruh
metode ekstraksi dan ukuran benih terhadap mutu
fisik-fisiologis benih Acacia crassicarpa. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(3), 129 – 137.
Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016). Karakteristik
benih kayu bawang (Azadirachta excelsa
(Jack)Jacobs).terhadap tingkat pengeringan dan ruang
penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(2),
105–112.
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…
(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)
111
KARAKTERISTIK SOSIO DEMOGRAFI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA
PEMANENAN DAUN KAYU PUTIH DI RPH NGLIPAR, KPH YOGYAKARTA
SOCIO DEMOGRAPHIC FACTORS AND WORK PERFORMANCE OF FOREST
WORKERS IN CAJUPUT LEAF HARVESTING AT RPH NGLIPAR, KPH YOGYAKARTA
Ratih Madya Septiana*, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto
Departemen Manajemen hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Jl. Agro No. 1 Bulaksumur, Sleman 55281; *Email: [email protected]
Diterima: 4 November 2019; Direvisi: 20 Februari 2020; Disetujui: 11 Desember 2020
ABSTRAK
Kegiatan pemanenan kayu putih merupakan aktivitas teknis kehutanan pada pengusahaan hasil hutan non kayu.
Produktivitas pemanenan daun kayu putih sangat dipengaruhi oleh aspek kapasitas sumber daya manusia maupun aspek
biofisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi kondisi sosio-demografi pekerja pada pemanenan daun kayu
putih dan menganalisis standar prestasi kerja pemanenan di KPH Yogyakarta. Survei terhadap 100 sampel pekerja
digunakan untuk mengetahui karakteristik sosial demografi sedangkan pengamatan mendalam dilakukan terhadap 3
pekerja yang berbeda karakteristiknya untuk mengetahui prestasi kerja. Kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan
pemanenan daun kayu putih dilihat dari delapan karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan,
mata pencaharian, dan kepemilikan lahan. Pekerja memiliki usia rata-rata 58 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
Tingkat pendidikan yang dimiliki pekerja didominasi oleh lulus Sekolah Dasar (SD) sebesar 64 %. Jumlah tanggungan
setiap rumah tangga pekerja rata-rata 4 orang, dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Rata-rata kepemilikan
lahan pekerja pada kegiatan pemanenan daun kayu putih seluas 0,17 ha. Prestasi kerja pemanenan orang normal dalam
menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih di KPH Yogyakarta adalah sebesar 72,23 kg/jam.
Kata kunci : sosio-demografi, pemanenan, kayu putih
ABSTRACT
Cajuput leaf harvesting is a technical forest activity of non-timber forest products. The productivity of cajuput leaf
harvesting is strongly influenced by aspects of human resource capacity and biophysical aspects. This study aims to
identify the socio-demographic conditions of forest workers in cajuput leaves harvesting and to analyze the standards
performance of harvesting in FMU Yogyakarta. A survey of 100 samples of workers were used to determine socio-
demographic characteristics, while in-depth observations were made on 3 workers with different characteristics to
determine work performance. The socio-demographic conditions of workers in the cajuput leaf harvesting are seen from
eight characteristics, namely age, gender, education, number of dependents, livelihoods, and land ownership. Workers
have an average age of 58 years old and are male. The level of education possessed by workers is dominated by
graduating from elementary school (SD) by 64 %. The average number of dependents per worker household is 4 people,
with the main livelihood being farmers. The average land ownership of workers in cajuput leaf harvesting is 0.17 ha.
The work performance of harvesting for normal people in the FMU Yogyakarta is 72.23 kg / hour.
Keywords: socio demographic, harvesting, forest
PENDAHULUAN
Kayu putih (Melaleuca cajuput) merupakan salah
satu tanaman hutan serbaguna yang daun dan
rantingnya dapat diolah menjadi minyak kayu putih.
Kandungan cineol di dalamnya diakui sebagai bahan
obat tradisional tingkat dua. Cineol memiliki banyak
khasiat, antara lain memberikan efek mukolitik
(mengencerkan dahak), melegakan pernafasan, anti
inflamasi dan menurunkan kerusakan kasus paru
obstruktif kronis dengan baik seperti pada kasus
pasien dengan asma dan rhinosinusitis (Agustina &
Suharmiati, 2017; Sudradjat, 2020).
Produksi minyak kayu putih di Indonesia pada
tahun 2014 sebesar 450 – 500 ton/tahun (BPS, 2017),
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532
112
sedangkan produksi minyak kayu putih dunia
mencapai 6.000 ton/tahun (Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI, 2019). Produksi minyak
kayu putih di Provinsi Maluku dan Papua masing-
masing mencapai 21 ton/tahun, sedangkan di Jawa
mencapai 300 ton/tahun (BPS, 2017). Indonesia
merupakan salah satu pengimpor terbesar minyak
kayu putih di dunia, mengingat kebutuhan domestik
minyak kayu putih adalah 1.500 ton/tahun, masih
belum dapat dicukupi dari produksi dalam negeri.
Salah satu daerah hutan penghasil minyak kayu
putih di Jawa adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) Yogyakarta. Luas hutan kayu putih yang
dipanen daunnya diperkirakan 3.600 ha dengan
produksi daun sebanyak 4.163 ton/tahun atau 1,16 ton
per ha/tahun. Produksi minyak kayu putih yang
dihasilkan adalah sebanyak 39.323 liter/tahun dengan
rendemen sebesar 1 % (Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
2019). Minyak kayu putih memberikan kontribusi
pendapatan asli daerah (PAD) yang tiap tahun terus
meningkat sejalan dengan peningkatan produksi dan
harga pasar minyak kayu putih. Pada tahun 2004
kontribusi pada PAD Yogyakarta sebesar Rp 3,5
milyar, meningkat menjadi Rp 9,8 milyar pada tahun
2019 (DLHK, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa
potensi kayu putih yang tinggi selama ini telah
menjadi komoditas utama dari usaha yang dilakukan
KPH Yogyakarta. Sebagai komoditas utama dari KPH
Yogyakarta kualitas dan kuantitas produk kayu putih
menjadi sangat penting. Hal ini sangat berhubungan
dengan kegiatan pemanenan daun kayu putih,
terutama sumberdaya manusia pekerjanya.
Pemanenan daun kayu putih merupakan salah satu
elemen penting dalam teknis produksi hasil hutan
minyak kayu putih. Dalam pelaksanaannya, kegiatan
ini harus mampu mengintegrasikan antara aspek
biofisik dan aspek sumberdaya manusia. Kedua aspek
tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang harus
dipertimbangkan, agar kegiatan pengelolaan hutan
yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan
ekologi, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial
budaya. Sumberdaya manusia yang secara langsung
terlibat dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih
adalah para pekerja. Menurut Blumberg & Pringle
(1982) kemampuan melaksanakan kerja mengacu
pada kemampuan kognitif seorang pekerja sehingga
terkait dengan tingkat pengetahun pekerja, keahlian,
kecerdasan, serta kondisi fisik seperti umur, kondisi
keseshatan, ketahanan, stamina dan kemampuan
motoris.
Salah satu masalah yang muncul dalam kegiatan
pemanenan daun kayu putih adalah rendahnya kualitas
sumber daya manusia pemetik daun kayu putih yang
berakibat pada rendahnya produktivitas dan juga
rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.
Pertumbuhan ekonomi di desa sekitar hutan yang
lambat menyebabkan banyak generasi muda lebih
memilih mencari pekerjaan di kota besar. Hal ini
berdampak pada ketersediaan tenaga kerja di sektor
kehutanan. Sedangkan bagi masyarakat sekitar hutan
yang tidak memiliki pendidikan formal dan tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup,
lebih memilih tetap tinggal di desa dan mencari mata
pencaharian berbasis sumberdaya alam yang ada. Hal
ini berdampak pada standar pekerja yang dibutuhkan
tidak dapat dipenuhi, karena ketersediaan tenaga kerja
yang terbatas, termasuk keterampilan yang dimiliki.
Karakteristik sosio demografi para pekerja dalam
kegiatan pemanenan daun kayu putih akan sangat
mempengaruhi produktivitas dan kualitas minyak
kayu putih yang dipanen (Bjerkan, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengindentifikasi
kondisi sosio-demografi pekerja pada pemanenan
daun kayu putih dan 2) menganalisis standard prestasi
kerja pemanenan daun kayu putih di KPH Yogyakarta.
Beberapa penelitian tentang sosio demografi dalam
pengelolaan hutan sudah dilakukan, akan tetapi belum
berfokus pada pekerja, terutama pekerja di kegiatan
pemanenan daun kayu putih (Leão et.al.,2017;
Nakajima et.al., 2017). Penelitian diharapkan
memberikan pertimbangan dalam menyusun
kebijakan penataan sumberdaya manusia, dan
membuat strategi yang tepat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan RPH
Nglipar, BDH Karangmojo, KPH Yogyakarta yang
terletak di Kabupaten Gunungkidul. Lokasi penelitian
merupakan hutan negara yang memiliki fungsi
produksi dengan jenis tanaman kayu putih. Lokasi ini
dipilih karena memiliki potensi tanaman kayu putih
yang terluas di KPH Yogyakarta. Pengumpulan data
dilakukan pada bulan April sampai dengan Oktober
2016.
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…
(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)
113
Gambar 1.Peta lokasi penelitian Sumber : (BPS Provinsi DIY, 2017)
Metode dasar yang digunakan untuk menjawab
tujuan yang pertama adalah metode survei. Qomariah,
(2017) mengatakan bahwa metode survei merupakan
metode yang menggunakan tipe pendekatan penelitian
pada populasi yang besar. Salah satu keuntungan
utama dari penelitian survei adalah memungkinkan
pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar.
Pada metode survei, akan digambarkan karakteristik
sosio-demografi pekerja kegiatan pemanenan daun
kayu putih dengan memilih responden yang mewakili.
Responden yang dipilih merupakan pekerja dalam
kegiatan pemanenan daun kayu putih dengan jumlah
yang mewakili populasi pekerja di RPH Nglipar.
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 100
orang dari total 500 pekerja di RPH Nglipar atau
intensitas sampling sebesar 20 %. Kegiatan survey ini
dilakukan dengan wawancara langsung responden
dengan instrumen kuesioner yang terstruktur. Analisis
data dilakukan dengan menyajikan deskripsi statistik
tentang kondisi sosio-demografi responden.
Sedangkan metode yang digunakan dalam
menjawab tujuan kedua adalah pengamatan standar
prestasi kerja menggunakan metode Time Study.
Untuk pengamatan ini dipilih tiga pekerja pemetik
daun yang mewakili kondisi yang berbeda,
berdasarkan umur dan jarak rumah dari tempat kerja.
Ketiganya melakukan pekerjaan terkait elemen-
elemen kegiatan pemanenan daun kayu putih sehingga
diperoleh prestasi kerja pemanenan daun kayu putih
dengan satuan kg daun/hari orang kerja (kg/HOK).
Dalam penelitian ini 1 HOK = 7 jam kerja.
Pengukuran elemen-elemen pekerjaan dilakukan
dengan mencatat waktu yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan sebagai berikut: menuju lokasi
dari tempat tinggal, pembuatan tali dari bambu untuk
mengikat daun, pemotongan daun termasuk ranting
yang berdiameter kecil, pengikatan daun, dan
pelangsiran daun menuju pinggir jalan. Selain itu
dilakukan wawancara mendalam dengan key informan
dari KPH Yogyakarta untuk memperoleh gambaran
tentang strandar pekerja yang dibutuhkan, proses
rekruitmen dan sistem kerja yang digunakan. Data
yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara
deskriptif dan sistematis. Data tersebut kemudian
diinterpretasi yang terkait dengan kegiatan pemanenan
daun kayu putih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosio-Demografi Pemetik Daun
Kayu Putih
Umur pekerja
Umur merupakan salah satu variabel sosio-
demografi yang berpengaruh terhadap produktivitas
seorang pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pada
umumnya, tenaga kerja yang berumur tua mempunyai
tenaga fisik yang lemah dan terbatas, sebaliknya
tenaga kerja yang berumur muda mempunyai
kemampuan fisik yang kuat (Kozová et al., 2018;
Lokasi : Penelitian RPH
Nglipar
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532
114
Wilmsen, 2015). Di dalam analisis sosio-demografi,
struktur umur penduduk dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a. Kelompok umur muda, dibawah 15 tahun
b. Kelompok umur produktif, usia 15 – 64 tahun
c. Kelompok umur tua, mulai usia 65 tahun ke atas.
Struktur umur penduduk dikatakan muda apabila
proporsi penduduk umur muda sebanyak 40 % atau
lebih sementara kelompok umur tua kurang atau sama
dengan 5 %. Sebaliknya suatu struktur umur penduduk
dikatakan tua apabila kelompok umur mudanya
sebanyak 30 % atau kurang sementara kelompok umur
tuanya lebih besar atau sama dengan 10 %. Dari hasil
penelitian ini diketahui struktur umur responden
pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih
disajikan dalam tabel sebutkan nomor Tabel 1. Pekerja
pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar termasuk
dalam struktur umur tua.
Distribusi umur pekerja didominasi oleh kelompok
umur produktif, yaitu 15 sampai 64 tahun dengan rata
-rata umur responden 58 tahun. Secara fisik,
kemampuan seseorang untuk bekerja dapat diukur
dengan usia. Artinya, orang yang bekerja dalam usia
kerja dapat dikatakan sebagai tenaga kerja atau man
power (Markowski-Lindsay et al., 2016). Kondisi
umur yang masih produktif akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar kepada seseorang
untuk bekerja dengan baik dan maksimal (Arora-
Jonsson, 2004).
Tabel 1. Distribusi umur pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar Umur (Tahun) Jumlah Pekerja (Orang) Persentase (%)
< 15 0 0
15 – 64 68 68
> 65 32 32
Jumlah 100 100
Dengan mayoritas pekerja berusia produktif maka
mengindikasikan bahwa secara fisik responden
memiliki kemungkinan lebih besar untuk
menghasilkan pendapatan maksimal. Selain itu
seseorang pada usia produktif akan lebih termotivasi
untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan
keluarga mereka, sebab tuntutan menanggung anak
usia sekolah menjadi motivasi utama mereka dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Jenis Kelamin
Jumlah responden laki-laki yang bekerja sebagai
pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih
adalah 84 %. Sisanya sebanyak 16 % merupakan
perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerja
pemanenan daun kayu putih lebih didominasi oleh
kaum laki-laki dibandingkan dengan kaum
perempuan. Andersen et al., (2014) menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria
dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah,
ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi,
sosiabilitas atau kemampuan belajar. Di sisi lain ada
pakar yang menyatakan adanya perbedaan jenis
kelamin dapat mempengaruhi tingkat produktivitas
seseorang (Agarwal, 2015; Arora-Jonsson, 2004;
Nyantakyi-Frimpong, 2017). Secara umum, tingkat
produktivitas laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
dimiliki oleh perempuan seperti fisik yang kurang
kuat, dalam bekerja cenderung menggunakan
perasaan atau faktor biologis seperti harus cuti ketika
melahirkan. Namun dalam keadaan tertentu terkadang
produktivitas perempuan lebih tinggi dibanding laki-
laki, misalnya pekerjaan yang membutuhkan
ketelitian dan kesabaran. Dalam pekerjaan yang
membutuhkan proses produksi perempuan biasanya
lebih teliti dan sabar. Kegiatan pemanenan daun kayu
putih, ketelitian dan kesabaran tidak terlalu
dibutuhkan, karena semua bagian yang dipanen akan
dimanfaatkan.
Tingkat Pendidikan
Tabel 2 menunjukan bahwa sebagian besar
responden yang merupakan pekerja dalam kegiatan
pemanenan daun kayu putih memiliki tingkat
pendidikan yang cukup rendah. Umumnya responden
dalam penelitian ini adalah responden dengan jenjang
pendidikan dasar terutama Sekolah Dasar (SD).
Sebanyak 64 % responden berpendidikan SD, 16 %
tidak sekolah, 15 % berpendidikan SMP, 4 % SMA,
dan 1 % hingga mencapai Perguruan Tinggi. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk menjadi
pekerja dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih
tidak harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Pekerjaan pemetik daun kayu putih merupakan
pekerjaan sektor informal yang umumnya dilakukan
oleh mereka yang pendidikanya rendah (Lind-Riehl et
al., 2015; Weiss et al., 2012). Pekerjaan sektor
informal biasanya menghasilkan pendapatan yang
rendah, tetapi bukan berarti produktivitasnya juga
rendah. Yang penting dalam kegiatan pemetikan daun
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…
(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)
115
kayu putih adalah pengetahuan dan pengalaman kerja
dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih.
Tabel 2. Distribusi tingkat pendidikan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar
Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tidak Sekolah 16 16
Tamat SD 64 64
Tamat SMP 15 15
Tamat SMA 4 4
Perguruan Tinggi 1 1
Jumlah 100 100
Pengetahuan mengenai cara memungut atau
memanen daun kayu putih tidak didapatkan dalam
kegiatan belajar mengajar atau pendidikan secara
formal seperti di sekolah maupun di perguruan tinggi.
Pengetahuan tersebut diperoleh secara informal
melalui petugas di RPH Nglipar yang membawahi
pekerja pemanenan daun kayu putih, yaitu seorang
Mandor. Pekerja yang tergabung dalam kelompok tani
mendapatkan pelatihan tentang kegiatan pemanenan
daun kayu putih dan mendapatkan sertifikat dari hasil
pelatihan tersebut.
Lamanya seseorang bekerja pada pekerjaan yang
sama atau sejenisnya akan mengakibatkan lebih
banyak tahu dan terampil dalam melaksanakan tugas-
tugasnya, sehingga produktivitas meningkat. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Özden et al. 2011 yang
mengatakan bahwa pengalaman kerja juga diduga
memiliki pengaruh nyata terhadap produktivitas
pekerja. Bahwa semakin lama seorang pekerja bekerja
dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih maka
orang tersebut tentu semakin lihai dalam melakukan
kegiatan pemungutan daun. Pekerja yang telah
berpengalaman akan lebih mengerti tentang kondisi
lahan kayu putih yang dimiliki sehingga tentu
produktivitasnya akan lebih tinggi dibanding dengan
pekerja yang baru.
Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan responden yang bekerja dalam
kegiatan pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar
disajikan pada Tabel 3. Tabel tresebut menunjukkan
jumlah tanggungan keluarga pemetik daun kayu putih
umumnya antara 4 – 6 orang per rumah tangga.
Menurut Permadi et al. (2018) apabila terdapat kurang
dari 4 orang jumlah anggota keluarga maka
dikategorikan sebagai keluarga kecil, 4 – 6 orang
dikategorikan keluarga sedang dan lebih dari 6 orang
dikatakan keluarga besar.
Tabel 3.Jumlah tanggungan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar
Jumlah Tanggungan (Jiwa) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 – 3 48 48
4 – 6 47 47
> 6 5 5
Jumlah 100 100
Semakin banyak jumlah tanggungan seorang
pekerja pemanenan maka akan semakin besar tingkat
ketergantungan pekerja tersebut terhadap hutan.
Seorang pekerja yang memiliki tanggungan akan
merasa bahwa pekerjaan mereka akan sangat berharga
dan menjadi sangat penting, karena penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan tersebut akan digunakan
untuk menghidupi anggota keluarga yang menjadi
tanggungan mereka. Jumlah anggota keluarga akan
menentukan tingkat curahan jam kerja dan hasil yang
dikerjakan (Mutenje et al., 2011; Stanislovaitis et al.,
2015). Besarnya jumlah tanggungan akan
mempengaruhi keputusan seseorang untuk
menentukan berapa lama dia akan bekerja hal ini
disebabkan semakin banyak anggota keluarga yang
menjadi tanggungannya maka akan semakin banyak
pula kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya.
Lamanya waktu bekerja dapat meningkatkan
pendapatan keluarga sehingga dapat meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan anggota keluarga. Hal
ini terbukti bahwa dari hasil penelitian diketahui
pekerja dengan jumlah tanggungan keluarga yang
lebih banyak memiliki pekerjaan sampingan sebagai
buruh tani maupun buruh non tani.
Mata pencaharian
Seluruh responden dalam kegiatan pemanenan
daun kayu putih di RPH Nglipar mencurahkan
sebagian besar waktunya untuk menjadi petani
sebagai pekerjaan pokoknya. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya mereka mengusahakan
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532
116
tanaman pangan bukan hanya lahan milik di desa
tetapi juga tumpangsari di lahan hutan negara yang
ditanami kayu putih. Namun demikian, terdapat 46 %
responden yang mempunyai pekerjaan sampingan
ketika pendapatan menjadi petani tersebut kurang
mencukupi kebutuhan. Responden dengan pekerjaan
sampingan terbanyak yaitu sebagai buruh non tani
seperti buruh bangunan, buruh proyek, dan lain-lain.
Sejalan dengan penelitian Fujiwara et al. (2017) dan
Thoms (2008) yang mengatakan bahwa para petani
dapat memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tentu memiliki status
masing-masing baik terhadap tenaga kerja laki-laki
maupun perempuan. Sebuah pekerjaan dijalani
seseorang bertujuan untuk memperbaiki keadaan
perekonomian orang tersebut.
Tabel 4. Pekerjaan sampingan pekerja pemanenan daun kayu putih di RPH Nglipar
Pekerjaan Sampingan Jumlah (Orang) Persentase (%)
Buruh Tani 12 12
Buruh Non-Tani 25 25
Pedagang 5 5
PNS 0 0
Pensiunan 1 1
TNI / Polri 0 0
Wiraswasta 0 0
IRT 0 0
Jasa 3 3
Jumlah 46 46
Luas Lahan Kelola
Sebagian besar pendapatan rumah tangga pekerja
dalam kegiatan pemanenan daun di RPH Nglipar
maupun masyarakat pedesaan berasal dari kegiatan
usaha tani yang membutuhkan lahan sebagai faktor
produksi utama. Luas kepemilikan lahan
mencerminkan tingkat kesejahteraan seseorang,
karena hal tersebut akan menentukan besarnya
pendapatan rumah tangganya (Smith & Hudson,
2017). Karena mahalnya harga lahan maka lahan yang
dimiliki oleh pekerja pada umumnya berasal dari
warisan keluarga meskipun ada beberapa pekerja yang
memiliki lahan dengan cara membeli.
Menurut Butler et al. (2014), luas lahan pertanian
adalah jumlah tanah sawah, tegalan dan pekarangan
yang diusahakan selama 1 tahun dan dihitung dalam
satuan hektar. Luas lahan pertanian digolongkan
dalam 4 kelompok yaitu:
a. Sangat sempit : < 0,25 ha
b. Sempit : 0,25 – 0,49 ha
c. Sedang : 0,50 – 1,00 ha
d. Luas : > 1,0 ha
Para pekerja mengelola dua jenis lahan, yaitu lahan
milik yang ada di desa dan lahan hutan negara dengan
tumpangsari tanaman kayu putih. Rata-rata luas lahan
milik para pekerja adalah 0,17 ha yang dimanfaatkan
untuk sawah tadah hujan dan pekarangan. Sedang di
kawasan hutan negara, selain tanaman pokok kayu
putih, pekerja juga memanfaatkan untuk menanam
ketela, kacang dan kedelai. Sebanyak 81 orang (81 %)
responden memiliki total luas lahan kurang dari 0,25
ha dengan rata-rata total luas lahan seluruh responden
tersebut adalah 0,11 ha. Sebanyak 15 orang (15 %)
responden memiliki total luas lahan berkisar antara
0,25 hingga 0,49 ha dengan rata-rata total luas lahan
0,38 ha. Kemudian diketahui 4 orang (4 %) responden
memiliki total luas lahan pada kisaran antara 0,5
hingga 0,99 ha dengan rata-rata total luas lahan 0,62
ha. Tidak ditemukan satupun responden yang
memiliki total luas lahan kepemilikan > 1 ha. Seluruh
responden mempunyai lahan garapan di kawasan
hutan. Rata-rata luas lahan hutan negara yang dikelola
adalah 0,35 ha. Dengan demikian total rata-rata lahan
yang diusahakan responden seluas 0,52 ha.
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…
(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)
117
Tabel 5. Luas lahan kelola pekerja di RPH Nglipar
Status Lahan Responden (orang) Total (Ha) Rata-Rata (ha) Persentase (%)
Lahan Milik 100 17,44 0,17 33
• < 0,25 Ha 81 - - 81
• 0,25 – 0,49 Ha 15 - - 15
• 0,50 – 0,99 Ha 4 - - 4
Lahan Hutan Negara 100 34,92 0,35 67
Jumlah 52,36 0,52 100
Prestasi Pekerja Pemanenan Daun Kayu Putih
Untuk mengetahui prestasi kerja pemanenan daun
kayu putih dilakukan pengamatan, pengukuran dan
penghitungan prestasi kerja pemanenan dari tiga orang
pekerja. Mereka berada pada usia produktif yang
semuanya laki-laki dan berada pada tiga lingkungan
biofisik kerja yang berbeda. Responden 1 dan 3 sudah
bekerja memanen daun kayu putih lebih dari 10 tahun,
sedangkan responden 2 baru terlibat dalam
pemanenan daun kayu putih selama 2 tahun.
Responden 1 dan 3 melakukan pemanenan daun kayu
putih pada tegakan lama, atau tegakan yang setiap
tahun sudah dipanen. Sedangkan responden 2
melakukan pemanenan daun kayu putih pada tegakan
yang pertama kali dipanen. Pemilihan lokasi senada
dengan yang disampaikan oleh Hedge, (2016) bahwa
lokasi kerja sangat berdampak pada prestasi kerja
seorang pekerja.
Responden pertama melakukan pemanenan di
Tegakan petak 30 dengan kelerengan 16 % yang
masuk dalam kriteria agak curam berdasarkan
Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah, 1986. Jarak langsir paling jauh
yang ditempuh adalah 32 meter. Suhu pada petak
tersebut adalah 36 ºC. Responden kedua melakukan
pungutan daun di tegakan yang pertama kali dipanen.
Tegakan ini memiliki umur 4 tahun. Tegakan muda ini
memiliki tinggi 4 meter. Pada tegakan ini, kegiatan
pemungutan daun tidak bisa dilakukan secara
langsung, akan tetapi pohon kayu putih harus ditebang
terlebih dahulu menggunakan gergaji. Pemanenan
dilakukan dengan meninggalkan tonggak setinggi 110
cm di atas tanah. Hal ini dilakukan agar pemanenan
tahun berikutnya dapat dilakukan dengan lebih
mudah. Tegakan ini terdapat di petak 30 dengan
kelerengan -1 %. Jarak langsir paling jauh yang
ditempuh adalah 32 meter. Suhu pada petak tersebut
adalah 38 ºC. Responden ketiga melakukan pungutan
daun di tegakan tua, pada petak 41 dengan kelerengan
14 %. Jarak langsir paling jauh yang ditempuh adalah
54 meter. Suhu pada petak tersebut dapat mencapai 45
ºC. Temperature menjadi salah satu faktor lingkungan
yang fundamental mempengaruhi prestasi kerja
(Moses, 2016).
Tabel 6. Hasil pengamatan prestasi kerja pemanenan daun kayu putih
Karakteristik Pekerja Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3
Umur (tahun) 57 25 63
Pengalaman kerja (tahun) >10 2 >10
Karakteristik biofisik lingkungan pekerjaan
No Petak 30 30 41
Umur tegakan saat dipanen Tua Muda Tua
Kondisi kelerengan Agak curam (16%) Agak curam (16%) 14%
Suhu (0C) 36 38 45
Jarak langsir (m) 32 32 54
Hasil Pengukuran
Waktu Total (menit) 8,4 12,35 8,52
Volume (Kg) 15 15 15
Berdasarkan total waktu elemen kerja pemanenan
daun kayu putih, diperoleh waktu rata-rata yang
diperoleh responden 1 sebesar 8,4 menit, responden 2
sebesar 12,35 menit dan responden 3 sebesar 8,52
menit. Responden kedua memiliki waktu rata-rata
yang lebih besar karena responden dua melakukan
pemanenan daun kayu putih pada tegakan muda yang
memerlukan waktu untuk kegiatan penebangan pohon
kayu putih. Elemen kerja menuju lokasi paling lama
adalah responden 3 karena jarak rumah menuju lokasi
yang sangatlah jauh.
Setelah mengetahui nilai waktu rata-rata (WR)
maka dapat menghitung nilai waktu normal yang
dibutuhkan. Untuk mengetahui besarnya waktu yang
dibutuhkan oleh orang normal, harus diketahui nilai
rating factor dari setiap responden. Rating factor
(performance rating/speed rating) diaplikasikan
untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari
pengukuran kerja akibat kecepatan kerja seorang
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532
118
pekerja yang berubah-ubah. Rating factor pada
penelitian ini menggunakan standar Westinghouse.
Westinghouse rating system mempertimbangkan
empat faktor dalam mengevaluasi produktivitas
pekerja, yaitu: skill (keahlian), effort (usaha),
condition (kondisi lingkungan kerja) dan consistency
(konsistensi) (Cevikcan & Kilic, 2016).
Tabel 7 menunjukkan bahwa dilihat dari keahlian,
ketiga responden termasuk dalam keahlian B1 dan B2
yang berarti ahli (excellent). Hal ini dilihat dari nilai
keahlian yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan
orang normal, yaitu 0,08 dan 0,11. Responden 1 dan
responden 3 lebih ahli sebesar 11 % diatas orang
normal, sedangkan responden 2 memiliki keahlian 8
% lebih tinggi dibanding orang normal. Walapun
begitu tingkat keahlian responden 2 lebih rendah
sebesar 3 % dibanding responden 1 dan 3. Hal ini
menunjukan responden 1 dan 3 jauh lebih
berpengalaman dibandingkan responden 2 dalam
pemanenan daun kayu putih. Usaha dari ketiga
responden dalam pada kategori yang sama di level B1
(excellent), tetapi lebih tinggi 10 % dibanding usaha
yang dilakukan oleh orang pada umumnya.
Tabel 7. Nilai Rating Factor pada responden
Aspek
Responden 1 Responden 2 Responden 3
Kode sistem
Westinghouse Nilai
Kode sistem
Westinghouse Nilai
Kode sistem
Westinghouse Nilai
Keahlian B1 0,11 B2 0,08 B1 0,11
Usaha B1 0,1 B1 0,1 B1 0,1
Kondisi D 0 C 0,02 D 0
Konsistensi E -0,02 C 0,01 E -0,02
Total 0,19 0,21 0,19
Kondisi lokasi kerja terbaik pada areal yang
dipanen oleh responden 2, dengan topografi datar,
suhu tidak terlalu tinggi dan jarak dari rumah menuju
lokasi lebih dekat. Kondisi ini dapat dilihat dari kode
C, yang berarti bahwa lingkungan kerja responden 2
termasuk kategori bagus (good). Konsistensi pekerja
dalam pemanenan daun kayu putih paling tinggi
adalah responden 2, yang termasuk dalam level C
(good) atau lebih besar 1 % diatas orang normal.
Sedangkan responden 1 dan 3 memiliki konsistensi
kerja yang lebih rendah dibandingkan orang normal
karena sebesar 2 % karena memiliki nilai (-). Level
konsistensi responden 1 dan 3 termasuk kategori
cukup (fair). Konsistensi yang dinilai tidak hanya pada
responden tetapi juga tegakan yang mempengaruhi.
Tegakan yang ada memiliki keragaman yang tinggi,
bahkan pada petak yang sama dan umur yang sama.
Tegakan kayu putih memiliki kerapatan tinggi dengan
ranting kecil, ada yang memiliki kerapatan tinggi
dengan ranting yang besar dan ada yang memiliki
kerapatan rendah. Pada tegakan dengan kerapatan
tinggi dan terdiri dari ranting kecil maka pemungutan
daun lebih cepat dan mudah. Sebaliknya pada tegakan
dengan kerapatan tinggi dan ranting besar maka
responden harus memangkas rating yang besar
terlebih dahulu untuk memanen daunnya. Hal ini
menyebabkan waktu pemungutan daun kayu putih
menjadi lebih lama tetapi responden mendapatkan
hasil sampingan kayu bakar. Pada tegakan kerapatan
sedikit, akan lebih cepat, tetapi hasil yang diperoleh
juga sedikit. Hal inilah yang menyebabkan konsistensi
yang diperoleh responden 1 dan 3 dibawah rata-rata
orang normal. Nilai rating factor pada setiap
responden dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 8. Prestasi kerja responden dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih
Nilai Responden 1 Responden 2 Responden 3
Waktu Rata-rata(menit) 8,40 12,35 8,52
Waktu normal (menit) 10,00 14,94 10,14
Waktu standar (menit) 14,00 20,91 14,19
Volume pekerjaan (Kg) 15,00 15,00 15,00
Prestasi Kerja standard (kg/jam) 64,27 43,04 63,42
Prestasi kerja standard (Kg/ hari) 449,89 301,28 443,94
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja…
(Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto)
119
Nilai waktu normal yang diperoleh untuk reponden
1 sebesar 10 menit, responden 2 sebesar 14,94 menit,
dan responden 3 sebesar 10,14 menit. Responden 2
memiliki nilai waktu normal paling tinggi karena nilai
waktu rata-rata yang tinggi. Untuk menghitung waktu
standar yang ada memerlukan nilai allowance. Pada
kondisi lingkungan kerja yang dipandang ekstrem,
FAO menyarankan untuk memberikan tambahan
waktu (allowance) yang lebih besar, disarankan untuk
memberikan allowance 20 – 40 % dari konsumsi
waktu normal. Penggunaan nilai allowance sesuai
dengan FAO karena nilai allowance yang ada secara
aktual terlalu tinggi, sehingga terlalu membebani nilai
waktu standar. Hal ini terjadi karena pekerjaan yang
berat sehingga responden sering beristirahat atau
istirahat dalam waktu yang lama. Berdasarkan hasil
perhitungan nilai waktu standar responden 1 adalah 14
menit, responden 2 adalah 20,91 menit dan responden
3 adalah 14,19 menit.
Nilai prestasi kerja standar diperoleh dari waktu
standar dan volume pekerjaan. Volume pekerjaan ini
setiap responden adalah 15 kg. Volume pekerjaan ini
merupakan berat rata-rata yang dihasilkan oleh
responden. Hasil yang diperoleh adalah responden 1
sebesar 65,27 kg/jam, responden 2 sebesar 43,04
kg/jam dan responden 3 sebesar 63,42 kg/jam. Nilai
prestasi kerja standar yang terbesar pada responden 1
dan terendah pada responden 2. Waktu standard yang
dibutuhkan orang normal dalam menyelesaikan
pekerjaannya sebesar 15 kg, yaitu 12,46 menit.
Sehingga prestasi kerja standar orang normal dalam
menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih
di KPH Yogyakarta adalaha sebesar 66,83 kg/jam atau
467,81 kg/hari.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
kondisi sosio demografi pekerja pada kegiatan
pemanenan daun kayu putih memiliki usia rata-rata 58
tahun, berjenis kelamin laki-laki, memiliki tingkat
pendidikan minimal lulus Sekolah Dasar (SD) sebesar
64 % dan memiliki jumlah tanggungan rata-rata 4
orang. Rata-rata kepemilikan lahan pekerja pada
kegiatan pemanenan daun kayu putih seluas 0,17 ha.
Prestasi kerja standar orang normal dalam
menyelesaikan pekerjaan pemanenan daun kayu putih
di KPH Yogyakarta adalah sebesar 66,83 kg/jam atau
467,81/hari.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Balai
KPH Yogyakarta yang telah bersedia menjadi lokasi
penelitian dan membantu dalam proses pengambilan
data.
KONTRIBUSI
Ratih Madya Septiana berperan sebagai
kontributor utama, serta Nunuk Supriyanto dan Slamet
Riyanto berperan sebagai kontributor anggota dalam
artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, B. (2015). The power of numbers in gender
dynamics: illustrations from community forestry groups.
Journal of Peasant Studies, 42(1).
https://doi.org/10.1080/03066150.2014.936007.
Agustina, Z. A., & Suharmiati, S. (2017). Pemanfaatan
Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendra Linn)
sebagai Alternatif Pencegahan Kasus Infeksi Saluran
Pernafasan Akut di Pulau Buru. Jurnal Kefarmasian
Indonesia, 7(2).
https://doi.org/10.22435/jki.v7i2.5654.120-126.
Andersen, H.-E., Reutebuch, S. E., McGaughey, R. J.,
d’Oliveira, M. V. N., & Keller, M. (2014). Monitoring
selective logging in western Amazonia with repeat lidar
flights. Remote Sensing of Environment, 151, 157–165.
https://doi.org/10.1016/j.rse.2013.08.049.
Arora-Jonsson, S. (2004). Relational dynamics and
strategies: Men and women in a forest community in
Sweden. Agriculture and Human Values, 21(4), 355–
365. https://doi.org/10.1007/s10460-003-1222-6
Bjerkan, A. M. (2011). Health, environment, safety culture
and climate – analysing the relationships to occupational
accidents. Journal of Risk Research, Volume 13(445–
477).
Blumberg, M; Pringle, C. D. (1982). The missing
Opportunity in Organizational Research: Some
Implications for a Theory of Work Performance.
Academy of Managemen Review, 7(4), 560–569.
BPS Provinsi DIY. (2017). Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Dalam Angka 2017.
Butler, B. J., Markowski-Lindsay, M., Snyder, S.,
Catanzaro, P., Kittredge, D. B., Andrejczyk, K.,
Dickinson, B. J., Eryilmaz, D., Hewes, J. H., Randler,
P., Tadle, D., & Kilgore, M. A. (2014). Effectiveness of
Landowner Assistance Activities: An Examination of
the USDA Forest Service’s Forest Stewardship
Program. Journal of Forestry, 112(2).
https://doi.org/10.5849/jof.13-066.
Cevikcan, E., & Kilic, H. S. (2016). Tempo rating approach
using fuzzy rule based system and westinghouse method
for the assessment of normal time. International Journal
of Industrial Engineering : Theory Applications and
Practice, 23(1).
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. (2019). Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah, 2(3).
https://doi.org/10.24912/jmts.v2i3.7886.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:111-120 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5532
120
Fujiwara, T., Awang, S. A., Widayanti, W. T., Septiana, R.
M., Hyakumura, K., & Sato, N. (2017). Socioeconomic
Conditions Affecting Smallholder Timber Management
in Gunungkidul District, Yogyakarta Special Region,
Indonesia. Small-Scale Forestry.
https://doi.org/10.1007/s11842-017-9374-1
Hedge, A. (2016). Ergonomic Workplace Design for Health,
Wellness, and Productivity. In Ergonomic Workplace
Design for Health, Wellness, and Productivity.
https://doi.org/10.1201/9781315374000.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2019).
KLHK Dorong Pengembangan Usaha Minyak Kayu
Putih Di Lahan Perhutani.
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2253.
Kozová, M., Dobšinská, Z., Pauditšová, E., Tomčíková, I.,
& Rakytová, I. (2018). Network and participatory
governance in urban forestry: An assessment of
examples from selected Slovakian cities. Forest Policy
and Economics, 89, 31–41.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2016.09.016.
Leão, T.C.C., Lobo, D., & Scotson, L. (2017). Economic
and Biological Conditions Influence the Sustainability
of Harvest of Wild Animals and Plants in Developing
Countries. Ecological Economics, 140, 14–21.
Lind-Riehl, J., Jeltema, S., Morrison, M., Shirkey, G.,
Mayer, A. L., Rouleau, M., & Winkler, R. (2015).
Family legacies and community networks shape private
forest management in the western Upper Peninsula of
Michigan (USA). Land Use Policy, 45.
https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2015.01.005.
Markowski-Lindsay, M., Catanzaro, P., Milman, A., &
Kittredge, D. (2016). Understanding Family Forest Land
Future Ownership and Use: Exploring Conservation
Bequest Motivations. Small-Scale Forestry, 15(2).
https://doi.org/10.1007/s11842-015-9320-z.
Moses, G. L. (2016). Fundamental aspects of temperature
classification. EI Electrical Insulation Conference
Materials and Application, EIC 1962.
https://doi.org/10.1109/EIC.1962.7456051.
Mutenje, M. J., Ortmann, G. F., & Ferrer, S. R. D. (2011).
Management of non-timber forestry products extraction:
Local institutions, ecological knowledge and market
structure in South-Eastern Zimbabwe. Ecological
Economics, 70, 454–461.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2010.09.036.
Nakajima, T., Shiraishi, N., Kanomata, H., & Matsumoto,
M. (2017). A method to maximise forest profitability
through optimal rotation period selection under various
economic, site and silvicultural conditions. New Zealand
Journal of Forestry Science, 47(1).
Nyantakyi-Frimpong, H. (2017). Agricultural
diversification and dietary diversity: A feminist political
ecology of the everyday experiences of landless and
smallholder households in northern Ghana. Geoforum,
86. https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2017.09.003.
Özden, S, Nayir, I., Göl, C., Ediş, S., & Yilmaz, H. (2011).
Health problems and conditions of the forestry workers
in Turkey. African Journal of Agricultural Research,
6(27), 5884–5890.
https://doi.org/10.5897/AJAR11.505.
Permadi, D. B., Burton, M., Pandit, R., Race, D., Ma, C.,
Mendham, D., & Hardiyanto, E. B. (2018). Socio-
economic factors affecting the rate of adoption of acacia
plantations by smallholders in Indonesia. Land Use
Policy, 76, 215–223.
https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2018.04.054.
Qomariah, L. N. (2017). Metode Penelitian Survey. In
Progress in Physical Geography (Vol. 14, Issue 7).
Pustaka LPJES.
Smith, H.E., & Hudson, M.. (2017). Livelihood
diversification : The role of charcoal production in
Southern Malawi. Energy for Sustainable Developmen,
36, 22–36.
Stanislovaitis, A., Brukas, V., & Mozgeris, G. (2015). Forest
owner is more than her goal: a qualitative typology of
Lithuanian owners. Scandinavian Journal of Forest
Research, 30(5).
https://doi.org/10.1080/02827581.2014.998706.
Sudradjat, S. E. (2020). Minyak Kayu Putih, Obat Alami
dengan Banyak Khasiat: Tinjauan Sistematik. Jurnal
Kedokteran Meditek, 26(2).
https://doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v26i2.1843.
Thoms, C. A. (2008). Community control of resources and
the challenge of improving local livelihoods: A critical
examination of community forestry in Nepal. Geoforum,
39(3), 1452–1465.
https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2008.01.006.
Weiss, G., Gudurić, I., & Wolfslehner, B. (2012). Review of
forest owners’ organizations in selected Eastern
European countries. www.fao.org/forestry.
Wilmsen C, B. D. (2015). Working in the shadows: Safety
and health in forestry services in southern Oregon.
Journal of Forestry, 113(3), 315–324.
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
121
POTENSI BEBERAPA JAMUR PANGAN LIAR YANG BERNILAI EKONOMI
DI PULAU BELITONG, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
THE POTENCY OF SOME WILD EDIBLE MUSHROOMS WITH ECONOMIC VALUE
IN BELITONG ISLAND, THE PROVINCE OF BANGKA BELITUNG
Ivan Permana Putra
Divisi Mikologi, Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor
Gedung Biologi, Jalan Agatis, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 16680
E-mail : [email protected]
Diterima: 22 Oktober 2020; Direvisi: 29 Oktober 2020; Disetujui: 25 Desember 2020
ABSTRAK
Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu tempat eksotik dengan keragaman hayati
yang belum terinventarisasi dengan optimal. Salah satu plasma nutfah yang belum terdata dengan baik di Pulau
Belitong adalah ragam jamur dan potensi pemanfaatannya. Jamur merupakan produk kehutanan non kayu yang sering
dicari oleh penduduk lokal Pulau Belitong saat merambah untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Selain
dikonsumsi, jamur-jamur liar tersebut juga diperjual belikan, sehingga merupakan salah satu komoditas musiman yang
penting bagi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi awal terkait taksonomi jamur
pangan liar di Pulau Belitong beserta karakter biologinya. Eksplorasi jamur dilakukan sebanyak 2 kali pada tahun 2018
– 2019 dengan opportunistic sampling method. Data pemanfaatan jamur liar dikoleksi untuk melengkapi deskripsi dari
jamur yang ditemukan. Sejumlah 5 jamur pangan liar bernilai ekonomi yang dilaporkan pada penelitian ini adalah :
Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong),
Phylloporus sp. (kulat sukatan), dan Volvariella sp. (kulat sawit). Tiga jenis dari jamur yang diketahui merupakan
jamur pembentuk ektomikoriza yakni kulat pelandok dengan Schima wallichii, kulat pelawan dengan Tristaniopsis
merguensis, dan kulat sukatan yang belum diketahui dengan jelas inangnya. Sementara itu, 2 jamur lainnya merupakan
jamur saprofit. Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4
famili. Heimioporus sp. diketahui merupakan jamur yang memiliki harga jual yang paling tinggi dibandingkan dengan
4 jamur lainnya sehingga memiliki prospek yang baik untuk dilanjutkan ke tahapan kultivasi. Upaya konservasi
tanaman yang menjadi inang jamur pembentuk ektomikoriza perlu menjadi perhatian penting di Pulau Belitong.
Kata kunci: jamur pangan liar, ekonomi, Belitong, keberlanjutan
ABSTRACT
Belitong Island, The Province of Bangka Belitung is one of the exotic places with the biodiversity which has not been
optimally inventoried. One of the potential germplasm that has not been recorded properly on Belitong Island is the
mushrooms diversity and their potential uses. Mushroom are known as non-timber forestry product that is often sought
after by local ethnic of Belitong Island and used as food. Apart from being consumed, these wild mushrooms are also
traded, so they are one of the important seasonal commodities for the local community. This research aimed to provide
the basic taxonomical information of wild edible mushroom in Belitong island as well as the biological characters.
Observations were conducted 2 times in 2018 – 2019 using opportunistic sampling method. The utilization data of wild
edible mushroom were collected to complete the macrofungi description in this study. A number of 5 edible wild
mushrooms with th economic value reported in this study were: Amanita sect. caesarea (kulat pelandok), Heimioporus
sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf. conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan) and Volvariella sp. (kulat
sawit). Three species of fungi are ectomycorrhizal forming fungi, namely kulat pelandok with Schima wallichii, kulat
pelawan with Tristaniopsis merguensis, and kulat sukatan which host is still unclear. Meanwhile the rest are
saprophytic macrofungi. All wild edible mushrooms are members of the phylum Basidiomycota which are divided into
2 orders and 4 families. Heimioporus sp. is known to be the highest selling price mushroom compared to the others,
which indicated the potential prospect to proceed to the cultivation stage. In addition, conservation management of
plants that are hosts of ectomycorrhizal fungi need to be an important concern on Belitong Island.
Keywords : wild edible mushroom, economic, Belitong, sustainability
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
122
PENDAHULUAN
Jamur merupakan organisme non fotosintetik dan
memiliki daerah jelajah yang luas sehingga mampu
tersebar pada berbagai macam tipe habitat mulai dari
daerah alami ataupun tempat yang bersinggungan
dengan kegiatan antropogenik (Putra, et al., 2017;
2018; 2019a; 2019b). Data mengenai keragaman
jamur masih terus diperbaharui hingga saat ini. Dari
total estimasi keseluruhan 1.500.000 jamur yang ada
di dunia (Blackwell, 2011), sampai saat ini diketahui
sebanyak 70.000 – 140.000 jamur yang telah
didokumentasikan (Hawksworth, 2001; Blackwell,
2011). Berdasarkan informasi jumlah jamur yang
telah diketahui tersebut, diperkirakan sebanyak 2000
jenis jamur merupakan kelompok yang aman untuk
dikonsumsi dan 700 diantaranya juga digunakan
sebagai agen terapi medis (Lima et al., 2012).
Informasi pemanfaatan jamur liar yang dapat
dikonsumsi tersebut umumnya juga bersumber dari
pengetahuan lokal jamur (etnomikologi) dari
berbagai masyarakat lokal di seluruh dunia.
Di Indonesia, sebagain besar jamur pangan liar
(JPL) merupakan kelompok yang tumbuh liar baik di
hutan ataupun di sekitaran pemukiman (Putra 2020a;
2020b; 2020c; Putra & Khafazallah, 2020). Namun
penelitian mengenai keragaman dan pemanfaatan
jamur liar masih belum dilakukan dengan optimal
karena hingga saat ini belum ditemukan adanya
daftar lengkap spesies jamur-jamur asal Indonesia.
Laporan terkait eksplorasi dan upaya kultivasi JPL
termasuk kelompok ektomikoriza sebagian besar
masih berasal dari negara empat musim. Yun & Hall
(2004) melaporkan bahwa beberapa jamur
ektomikoriza populer yang bisa dimakan di seluruh
dunia adalah Tuber melanosporum, Tuber magnatum,
Tricholoma matsutake, Boletus edulis, Cantharellus
cibarius, dan Amanita caesarea. Jamur pembentuk
ektomikoriza tersebut memiliki hubungan erat
dengan inangnya baik dalam proses pembentukan
simbiosis, manajemen nutrisi dan unsur hara hingga
pembentukan tubuh buah jamur (Putra 2020d).
Berbagai macam tanaman diketahui mampu
bersimbiosis dengan jamur pembentuk ektomikoriza
diantaranya kelompok, Fagaceae, Myrtaceae,
Fabaceae, Dipterocarpaceae dan Pinaceae (Neves et
al., 2012; Montoya et al., 2019). Jamur pangan liar
diketahui memiliki hubungan erat yang lama dengan
manusia dengan kontribusi dampak biologis serta
ekonomis, serta merupakan salah satu sumber nutrisi
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai
belahan dunia (Das, 2010; Osarenkhoe et al., 2014;
Semwal et al., 2014; Lazo et al., 2015;
Alvarez-Farias et al., 2016). Jamur ini telah beberapa
kali dilaporkan memiliki kandungan tinggi protein,
mineral, vitamin, serat (Murugkar & Subbulakshmi,
2005; Ergon et al., 2012; Bakir et al., 2018) dan
rendah akan kalori serta lemak sehingga baik untuk
kesehatan (Lima et al., 2012; Wang et al., 2014).
Karena potensinya ini, JPL merupakan salah satu
sumber daya alam yang seringkali dicari oleh
masyarakat lokal ketika merambah dan menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari oleh berbagai etnis
di Indonesia (Al ulya et al., 2017; Khastini et al.,
2018; Khastini et al., 2019; Putra & Khafazallah,
2020). Informasi tersebut secara kolektif menjadi
pengetahuan tradisional yang diwariskan selama
bergenerasi dan merupakan salah satu sumber
referensi yang perlu diinventarisasi dan diwariskan
ke generasi mendatang. Upaya pencatatan dan
koleksi informasi jamur perlu dilakukan secara lebih
masif terutama pada tempat-tempat yang belum
banyak ditemukan laporannya.
Pulau Belitong merupakan salah satu wilayah
yang belum memiliki data inventarisasi jamur yang
baik. Salah satu laporan ilmiah mengenai jamur asal
Pulau belitong dilaporkan oleh Putra (2020b) namun
tidak mencakup JPL yang diperjual belikan oleh
masyarakat. Selain itu, Putra & Khafazallah (2020)
juga melaporkan potensi singkat dari jamur pelawan
asal Belitong yang memiliki nilai ekonomi tinggi,
namun dengan data yang sangat minim. Desa Kelubi
merupakan bagian dari Kecamatan Manggar di Pulau
Belitong yang didominasi oleh suku melayu dan
merupakan salah satu pemasok JPL untuk pengumpul
jamur. Hingga saat ini, laporan ilmiah mengenai
identitas taksonomi JPL di Pulau Belitong masih
sangat terbatas. Sehingga perlu dilakukan
inventarisasi dan karakterisasi jamur guna
merumuskan langkah yang tepat untuk konservasi
dan upaya pemanfaatan lebih lanjut. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi
taksonomi JPL di Pulau Belitong beserta karakter
biologinya.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2018
(Oktober) dan 2019 (Juni) di Desa Kelubi (Gambar
1), Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur
(Beltim), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dengan melibatkan beberapa masyarakat lokal dan
mengikuti musim pencarian jamur. Eksplorasi jamur
dilakukan dengan opportunistic sampling method
merujuk pada penjelasan O’Dell et al. (2004).
Pencatatan jenis tumbuhan dominan dilakukan pada
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
123
kelompok jamur pembentuk ektomikoriza dan
saprofit. Kondisi agroklimat di lokasi penelitian saat
ekplorasi mendukung perkembangan dan
pembentukan tubuh buah jamur. Curah hujan di
Pulau Belitung cenderung meningkat setiap tahunnya
yakni rata-rata 3000 mm/tahun (Narulita &
Marganingrum, 2017), dengan kelembapan relatif
76 % dan suhu udara 27 °C di lokasi penelitian.
Tubuh buah jamur diobservasi langsung di lapangan
atau dibungkus dengan amplop karton untuk
karakterisasi lebih lanjut jika diperlukan. Deskripsi
jamur dilakukan dengan menggunakan karakter
makroskopik dengan merujuk pada penjelasan Putra
et al. (2018) dengan modifikasi. Parameter
makroskopik pada berbagai fase tumbuh (jika ada)
yang dicatat meliputi : cara tumbuh, bentuk tubuh
buah, hygrophanous (perubahan tingkat kebasahan),
warna tudung (cap ) ketika tubuh buah muda dan tua,
diameter cap, bentuk atas dan bawah pada cap,
permukaan cap, tepian cap, margin (tepian) cap,
tingkat kebasahan, tipe himenofor (lamela, pori,
gerigi) meliputi : cara menempel pada tangkai (stipe),
jarak antar baris, dan margin. Karakter lain yang
diobservasi adalah bentuk stipe, warna stipe (ketika
muda dan tua), permukaan stipe, posisi penempelan
pada cap, tipe penempelan stipe pada substrat,
penampang stipe, keberadaan rhizomorph, tudung
parsial, tudung universal, tekstur tubuh buah, bau,
rasa serta informasi penggunaannya sebagai bahan
pangan (dikonsumsi atau tidak) melalui diskusi
dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan
informasi mengenai pemanfaatan jamur yang
ditemukan. Jamur diidentifikasi hingga ke tingkat
genus dan spesies (jika memungkinkan) dengan
karakteristik makroskopis menggunakan beberapa
acuan identifikasi diantaranya Arora (1986), Rokuya
et al. (2011), Desjardin et al. (2016), dan Putra &
Khafazallah (2020). Pemberian nama hingga ke level
spesies diberikan penanda cf (confer) yang merujuk
kepada karakter terdekat jamur yang diidentifikasi
pada identitas taksonomi tertentu dan mengikuti
aturan indexfungorum. Informasi terkait potensi
ekonomi, beberapa dokumentasi, dan harga jual
jamur didapatkan dari masyarakat lokal dan media
sosial yang dimanfaatkan untuk transaksi JPL.
Gambar 1. Desa Kelubi, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, Pulau Belitong
(Sumber : diolah dari googlemaps 2020)
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
124
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejumlah 5 jenis JPL yang bernilai ekonomi
berhasil diidentifikasi dan dipertelakan pada tulisan
ini. Seluruh jamur tersebut merupakan anggota dari
filum Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo
dan 4 famili (Tabel 1). Jamur-jamur tersebut adalah:
Amanita sect. caesarea (kulat pelandok),
Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf.
conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan),
dan Volvariella sp. (kulat sawit). Seluruh jamur
(kecuali kulat sawit) ditemukan pada hutan kerangas
yang merupakan tipe hutan dominan di Pulau
Belitong (Tabel 3). Sebagian besar jamur yang
ditemukan pada penelitian ini tumbuh di dekat
tumbuhan dari famili Myrtaceae. Oktavia (2012)
melaporkan bahwa kelompok ini mendominasi
vegetasi hutan kerangas di Belitong karena
kemampuan adaptasinya yang baik pada daerah yang
memiliki pH rendah dan miskin hara. Jamur-jamur
yang ditemukan pada penelitian ini merupakan JPL
yang diperjual belikan (Tabel 2) dan dicari oleh
masyarakat lokal pada musim hujan di Pulau
Belitong. Seluruh jamur tersebut dijual secara
langsung, melalui berbagai media sosial, dan juga di
pasar tradisional.
Tabel 1. Posisi taksonomi beberapa JPL bernilai ekonomi di Pulau Belitong
Tabel 2. Informasi beberapa JPL bernilai ekonomi di Pulau Belitong
Tabel 3. Data vegetasi dominan pada lokasi tumbuh jamur
Sebagian besar jamur tersebut merupakan
kelompok pembentuk ektomikoriza dan sisanya
adalah saprofit. Penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa mikobion pembentuk
ektomikoriza diketahui memiliki peranan penting
terhadap tumbuhan inangnya terutama untuk
Filum Kelas Ordo Famili Spesies
Basidiomycota Agaricomycetes Agaricales Agaricacease Amanita sect. caesarea
Hygrophoraceae Hygrocybe cf. conica
Pluteaceae Volvariella sp.
Boletales Boletaceae Heimioporus sp.
Phylloporus sp.
Nama lokal Spesies Bagian/fase tubuh buah yang dimakan Harga (Rupiah)
Kulat pelandok Amanita sect. caesarea
Semua bagian, semua fase tubuh
buah, namun fase muda lebih disukai Basah : 30.000 - 35.000/Kg
Kulat tiong Hygrocybe cf. conica
Semua bagian, fase dewasa tubuh
buah Basah : 15.000 - 20.000/Kg
Kulat sawit Volvariella sp. Semua bagian, fase telur lebih disukai Basah : 15.000 - 20.000/Kg
Kulat pelawan Heimioporus sp. Semua bagian, semua fase tubuh buah
Basah : 200.000 - 500.000/Kg
Kering : 1 - 4 juta /Kg
Kulat sukatan Phylloporus sp. Semua bagian, semua fase tubuh buah Kering : 400.000 - 500.000/Kg
Nama lokal Nama Ilmiah Famili Jenis jamur Gaya hidup jamur
Seruk Schima wallichii Theaceae Kulat pelandok Ektomikoriza
Pelawan
Tristaniopsis
merguensis Myrtaceae Kulat pelawan, kulat sukatan
Ektomikoriza
Batang sawit Elaeis guineensis Arecaceae Kulat sawit Saprofit
Betor Calophyllum spp. Clusiaceae Kulat pelandok Ektomikoriza
Samak
Syzygium
lepidocarpa Kurz. Myrtaceae Kulat pelandok
Ektomikoriza
Gelam
Malaleuca
leucadendron L. Myrtaceae Kulat pelandok
Ektomikoriza
Keremunting
Rhodomyrtus
tomentosa Myrtaceae Kulat pelandok
Ektomikoriza
Karet Hevea brasiliensis Euphorbiaceae Kulat tiong
Masih belum jelas
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
125
mensuplai air dan hara mineral yang tidak tersedia
bebas pada kondisi tanah tertentu (Brundrett, 2004).
Sebaliknya, sebagai kompensasi atas simbiosis yang
saling menguntungkan, jamur sebagai organisme
heterotrof mendapatkan karbon sekitar 8 – 17 % dari
hasil fotosintesis tumbuhan inangnya (Hobbie &
Hobbie 2006). Tumbuhan juga berkontribusi dalam
menciptakan iklim makro yang memiliki peranan
penting dalam proses pembentukan tubuh buah jamur
baik ektomikoriza ataupun saprofit. Hingga saat ini,
seluruh jamur yang ditemukan pada penelitian ini
belum dibudidayakan oleh masyarakat Belitong,
sehingga masih bergantung pada ketersediaannya di
alam. Masing-masing jamur pada tulisan ini memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Laporan ini
merupakan tulisan pertama mengenai keragaman JPL
bernilai ekonomi di Pulau Belitong. Berikut
merupakan jamur yang dipertelakan beserta
informasi terkait lainnya.
Amanita sect. caesarea
Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat pelandok’ dan
tumbuh berkelompok pada lantai hutan di dekat
sistem perakaran Schima wallichii atau yang dikenal
sebagai ‘batang seruk’ oleh masyarakat
lokal Belitong (Gambar 2A;C) dan juga di sekitaran
tanaman kehutanan lainnya (Tabel 3). Jamur ini
memiliki bentuk tubuh buah berupa tudung,
berlamela, dan bertangkai. Tudung berwarna putih
pada bagian tepi dengan kuning kecoklatan yang
lebih dominan pada fase tubuh buah muda (Gambar
2A;B;D;F) dan berwarna putih dominan dengan
menyisakan sedikit warna putih pada bagian tengah
saat dewasa (Gambar 2C). Tudung berbentuk
setengah mangkuk terbalik pada saat muda dan
melebar saat dewasa (rata) dengan bagian tengah
yang memiliki tonjolan (umbo) (Gambar 2C). Tepian
tudung rata dengan margin sedikit bergelombang.
Tipe himenofor jamur ini berupa lamela yang
berwarna putih (Gambar 2B;D) yang merupakan
salah satu karakter utama dari kelompok ini, lamela
bebas/tidak menempel pada tangkai, jarak antar baris
medium, dan margin rata (entire). Tangkai berbentuk
silindris berwarna putih, dilengkapi cincin pada
bagian atas (superior) (Gambar 2F), permukaan halus,
memiliki volva dengan tipe kaus kaki (Gambar 2F),
dan menempel ke tudung pada posisi tengah. Tekstur
tubuh buahnya berdaging tanpa bau yang khas. Jamur
ini umumnya hanya dijual basah dan dibungkus
dengan plastik dengan berbagai ukuran berat
(Gambar 2E). Jamur ini umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan pangan (Gambar 7A;B) oleh
masyarakat lokal dengan jenis masakan khas
Belitong.
Gambar 2. Amanita sect. caesarea (kulat pelandok) pangan liar Pulau Belitong. A: Tubuh buah muda.
B: Cincin pada posisi atas (panah). C: Tubuh buah dewasa dengan tudung yang telah merekah
(bar : 1 cm). D: Tubuh buah yang telah dicuci dan siap dimasak. E: Jamur yang siap untuk dijual.
F: Volva dengan bentuk kaus kaki.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
126
Genus Amanita memiliki keragaman yang tinggi
terutama di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia,
Thailand, India, Singapura, dan bagian selatan
Tiongkok (Li & Cai, 2014; Thongbai et al., 2016;
Tang et al., 2017). Saat merambah, jamur ini
biasanya ditemukan oleh masyarakat lokal di
Belitong di lantai hutan di sekitaran berbagai macam
tanaman, diantaranya adalah Schima wallichii atau
dalam bahasa lokal disebut sebagai ‘batang seruk’.
Amanita diketahui merupakan kelompok jamur
pembentuk ektomikoriza dengan berbagai macam
tanaman kehutanan. Hingga saat ini tercatat sebanyak
11 spesies, subspesies, dan varietas dari A. caesarea
di seluruh dunia
(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,
diakses pada 01 Agustus 2020). Observasi lebih
lanjut dengan menggunakan karakter mikroskopik
dan pendekatan molekuler diperlukan untuk
mengkonfirmasi identitas yang lengkap terkait
taksonomi ‘kulat pelawan’ sehingga secara temporer
ditempatkan pada ‘sect’ caesarea pada tulisan ini. Di
Indonesia, laporan genus Amanita yang
komprehensif dan dilengkapi dengan kunci
identifikasi hanya pernah dilaporkan oleh Boedjin
pada tahun 1951, namun tidak ditemukan data
mengenai deskripsi A. caesarea. Hampir sebagian
besar genus Amanita merupakan jamur yang beracun
dan tersebar di seluruh belahan dunia (Lima et al.,
2012), dengan sedikit bagian dari kelompok ini yang
bisa dikonsumsi (Boa, 2004). Sehingga diperlukan
pengetahuan, ketelitian, dan pengalaman yang baik
untuk merambah jamur ini. Masyarakat lokal di
Belitong umumnya membedakan jenis jamur ini dari
kelompok jamur lain yang terlihat mirip dan beracun
adalah mengamati keberadaan volva yang sangat
besar pada bagian basal dari ‘kulat pelandok’.
Tripathy et al. (2014) melaporkan bahwa A. caesarea
merupakan salah satu JPL yang banyak dikonsumsi
di daerah Odisha (India) karena kandungan nutrisi
dan antioksidannya yang tinggi.
Hygrocybe cf. conica
Jamur ini disebut sebagai ‘kulat tiong’ oleh
masyarakat Belitong dan tumbuh secara soliter
(Gambar 3A) atau berkelompok pada lantai hutan
kerangas dan di sekitar pohon karet dengan gaya
hidup saprofit. Jamur ini memiliki tubuh buah berupa
tudung, berlamela, dan memiliki tangkai. Tudung
berwarna oranye kecoklatan hingga merah cerah dan
memudar seiring perkembangannya (Gambar 3A;2B).
Tudung berbentuk payung meninggi (conic) pada
saat muda dan melebar saat dewasa (hampir rata)
dengan gurat halus berupa lingkaran benang halus
pada seluruh tepian tudung (Gambar 3B). Tudung
memiliki eksudat berupa gel sehingga terlihat licin
dan mengkilap sebelum dikoleksi. Tepian tudung rata
dengan margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor
jamur ini berupa lamela dan berwarna oranye pucat
hingga kecoklatan (Gambar 3B), lamela bebas/tidak
menempel pada tangkai, jarak antar baris medium,
dan margin rata (entire). Tangkai berbentuk silindris
dengan bentuk sedikit melebar, berwarna coklat
hingga oranye pada bagian atas dan putih ke arah
basal, tanpa dilengkapi cincin, permukaan halus
hingga sedikit kasar, tanpa volva, dan menempel ke
tudung pada posisi tengah (Gambar 3B;C). Tekstur
tubuh buah berdaging tanpa bau yang khas. Jamur ini
hanya dijual pada kondisi segar dan dibungkus
dengan dengan berbagai ukuran berat (Gambar 3D).
Jamur ini dikonsumsi (Gambar 7C) oleh masyarakat
lokal dengan olahan jenis masakan tertentu.
Genus Hygrocybe memiliki persebaran yang luas
dan bisa ditemukan di banyak kontinen dengan iklim
dan vegetasi yang beragam (Halbwachs et al., 2013;
Silva-Filho et al., 2019). Cara hidup dari jamur ini
hingga saat ini masih belum bisa dijelaskan dengan
baik. Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan
bahwa Hygrocybe hidup sebagai saprofit, namun
Seitzman et al. (2011) juga menemukan beberapa
jenis Hygrocybe yang memiliki gaya hidup biotrof
dan membentuk ektomikoriza. Jamur ini umumnya
ditemukan oleh masyarakat lokal di Belitong tumbuh
pada serasah di lantai hutan yang kering ataupun
pada daerah yang berlumut. Seitzman et al. (2011)
mengasumsikan bahwa lumut merupakan salah satu
inang dari Hygrocybe dalam membentuk simbiosis
ektomikoriza, namun hal tersebut masih perlu
dibuktikan lebih lanjut. Hingga saat ini tercatat
sebanyak 23 spesies, subspesies, dan varietas dari
Hygrocybe conica di seluruh dunia
(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,
diakses pada 01 Agustus 2020). Di Indonesia,
Hygrocybe telah dilaporkan sebelumnya dari Taman
Nasional Ujung Kulon (Putra et al,. 2017) dan
Kalimantan Tengah (Putra & Khafazallah, 2020).
Sama halnya seperti masyarakat lokal Belitong,
masyarakat adat di Tamiang Layang, Kalimantan
Tengah juga mengkonsumsi Hygrocybe conica dan
menyebutkan sebagai ‘kulat siung’ (Putra &
Khafazallah, 2020). El et al. (2014) melaporkan
bahwa H. conica merupakan jenis JPL yang memiliki
kandungan antioksidan yang tinggi sehingga
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan campuran
obat oleh beberapa suku lokal di Malaysia.
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
127
Heimioporus sp.
Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat pelawan’
(diambil dari nama tumbuhan inangnya) dan tumbuh
berkelompok pada lantai hutan di dekat sistem
perakaran pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis).
Jamur ini memiliki bentuk tubuh buah berupa tudung,
berpori, dan bertangkai. Jamur ini merupakan
kelompok Agarics (istilah non taksonomi untuk
jamur berdaging) yang berpori (Bolet). Tudung
berwarna merah hingga merah keunguan dengan
permukaan sedikit berserabut (Gambar 4A;C).
Tudung berbentuk setengah mangkuk terbalik pada
semua fase tubuh buah. Tepian tudung rata dengan
margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor jamur
ini berupa pori yang berwarna kuning cerah (Gambar
4B), pori berdaging dengan pola perlekatan yang bisa
dilepas. Tangkai berbentuk silindris berwarna sama
dengan permukaan tudung, memiliki benang fibril
berwarna hitam, tanpa cincin pada dan volva, dan
menempel ke tudung pada posisi tengah (Gambar
4B). Tekstur tubuh buah berdaging dengan bau yang
khas seperti langu. Jamur ini umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan pangan (Gambar 7D) oleh masyarakat
lokal dengan jenis masakan khas Belitong. Jamur ini
juga dijual dalam keadaan basah dan kering (Gambar
4B; D) dengan harga yang sangat mahal (Tabel 2).
Hal ini dikarenakan rasa dan aroma dari jamur ini
yang sangat khas dan belum bisa dibudidayakan
hingga saat ini.
Genus Heimioporus tersebar mulai daerah
subtropis hingga tropis seperti Amerika, Australia,
Belize, Tiongkok, Jepang, Malaysia, Indonesia,
Papua Nugini dan beberapa tempat lainnya (Halling
et al., 2015; Zeng et al., 2018). Di Indonesia, laporan
mengenai keberadaan jamur ini hanya berasal dari
Bangka Belitung, walaupun dimungkinkan juga
tumbuh pada daerah lain yang memiliki distribusi
pohon pelawan seperti Pulau Kalimantan. Karena
gaya hidupnya berupa ektomikoriza yang obligat
terhadap tanaman pelawan, maka hingga saat ini
kulat pelawan belum bisa dibudidayakan. Hal ini
mengindikasikan perlunya konservasi hutan pelawan
di Pulau Belitong untuk menjaga kelestarian baik
tumbuhan pelawan dan juga ‘kulat pelawan’. Jamur
ini merupakan salah satu jenis favorit yang dicari
oleh masyarakat lokal di Pulau Belitong saat
merambah. Rich (2011) melaporkan bahwa jamur ini
mengandung protein tinggi, rendah lemak, mineral,
serat pangan, biotin, dan vitamin C. Hingga saat ini
tercatat sebanyak 23 spesies, subspesies, dan varietas
dari genus Heimioporus di seluruh dunia
(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,
Gambar 3. Hygrocybe cf. conica (kulat tiong) pangan liar di Pulau Belitong (Bar : 1 cm). A: Tubuh buah muda
dengan warna merah cerah (Bar : 1 cm). B: Tubuh buah dewasa dengan tudung yang telah merekah
dan warna merah pada tudung memudar. C: Pengemasan jamur untuk dijual. D: Jamur yang siap
dijual.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
128
diakses pada 01 Agustus 2020). Tasuruni (2012)
mencoba mengidentifikasi jamur pelawan dengan
menggunakan karakter morfologi dan molekuler
(ITS), namun hanya berkerabat dekat/satu klade
dengan H. retrisporus (tingkat homologi dan
kekerabatan rendah) sehingga nampaknya diperlukan
gen tambahan untuk menganalisis identitas
taksonominya hingga ke level spesies yang akurat.
Hal ini menyebabkan identitas terkini kulat pelawan
yang digunakan hanya sampai level genus yakni
Heimioporus sp. Eksplorasi dan identifikasi yang
diikuti dengan analisis filogenetik dengan kombinasi
berberapa gen memiliki peluang besar untuk
menemukan spesies-spesies baru dari Heimioporus
terutama di daerah tropis (Zeng et al., 2018).
Phylloporus sp.
Jamur ini dikenal sebagai ‘kulat sukatan’ dan
tumbuh berkelompok pada serasah (Gambar 5A) di
dekat kulat pelawan (Tabel 3). Jamur ini memiliki
bentuk tubuh buah berupa tudung, berpori, dan
bertangkai. Tudung berwarna coklat gelap dengan
bintik-bintik menyerupai sisik, bagian atas berbentuk
hampir rata dengan tepian sedikit terangkat, dan
menunjukkan ciri dari kelompok Boletales, namun
berbeda pada bentuk himenofornya. Permukaan
tudung sedikit kasar dengan tepian dan margin
tudung rata. Jamur ini memiliki tipe himenofor
berupa lamela (Gambar 5A) dengan tipe penempelan
adnate (menempel dengan jarak yang sempit).
Tangkai berbentuk silinder dengan ukuran yang
konsisten hingga ke bagian basalnya (Gambar 5B).
Tangkai berwarna coklat krem, tanpa cincin,
permukaan sedikit bertepung, menempel ke tudung
pada posisi tengah, tipe penempelan pada substrat
berupa basal tomentum (bagian bawah tangkai
langsung menempel pada substrat dengan miselium
yang lebih sedikit daripada rhizomorph), dan tidak
berongga (padat). Jamur ini dimanfaatkan sebagai
bahan pangan (Gambar 7E) oleh masyarakat lokal
dengan jenis masakan khas Belitong. Jamur ini hanya
dijual dalam keadaan kering (Gambar 5C;D).
Spesies dari Phylloporus diketahui merupakan
jamur pembentuk ektomikoriza dengan berbagai
tanaman kehutanan seperti kelompok Fabaceae,
Dipterocarpaceae, Fagaceae, Myrtaceae, dan
Pinaceae (Neves et al., 2012; Montoya et al., 2019).
Jamur ini seringkali ditemukan oleh masyarakat lokal
di Belitong tumbuh di dekat Heimioporus sp., namun
observasi lebih lanjut diperlukan apakah kedua jamur
ini bersimbiosis dengan Tristaniopsis merguensis.
Neves et al. (2012) melaporkan bahwa banyak dari
spesies Phylloporus yang dideskripsikan berasal dari
Malaysia dan Australia. Hingga saat ini tercatat
sebanyak 125 spesies, subspesies, dan varietas dari
genus Phylloporus di seluruh dunia
(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,
diakses pada 01 Agustus 2020). Di Indonesia,
Gambar 4. Heimioporus sp. (kulat pelawan) pangan liar di Pulau Belitong (Bar : 1 cm). A: Bagian atas tudung.
B: Himenofor yang berwarna kuning. C: Gurat pada bagian atas tudung dan permukaan tangkai.
D: Tubuh buah jamur yang telah dikeringkan.
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
129
sebelumnya telah dilaporkan beberapa spesies
Phylloporus yakni P. pumilus dan P. bogoriensis
(Neves et al., 2012; Montoya et al., 2019). Sebagian
besar spesies dari kelompok Boletaceae merupakan
jamur yang bernilai ekonomi penting dan digunakan
sebagai bahan pangan atau obat (De Silva et al., 2012)
dan juga mampu mengakumulasi berbagai macam
mineral dan besi (Dimitrijevic et al., 2015). Namun
hingga saat ini belum ditemukan laporan terkait
analisis kandungan nutrisi dan bahan bioaktif dari
genus Phylloporus.
Volvariella sp.
Jamur ini memiliki nama lokal ‘kulat sawit’ dan
tumbuh berkelompok pada bekas bonggol ataupun
batang sawit yang telah mati. Jamur ini memiliki
bentuk tubuh buah berupa tudung, berlamela, dan
bertangkai. Tudung berwarna hitam pada bagian
tengah dengan warna coklat pudar pada bagian
tepinya (Gambar 6A). Tudung berbentuk setengah
mangkuk terbalik pada saat muda dan merekah
hingga hampir rata saat dewasa. Tepian tudung rata
dengan margin sedikit bergelombang. Tipe himenofor
jamur ini berupa lamela yang berwarna coklat merah
muda (Gambar 6B), lamela bebas/tidak menempel
pada tangkai, jarak antar baris medium, dan margin
rata. Tangkai berbentuk silindris berwarna krem,
permukaan halus, tanpa cincin pada, memiliki volva
Gambar 5. Phyllophorus sp. (kulat sukatan) pangan liar di Pulau Belitong. A: Himenofor berupa lamela
dengan warna kuning tua (A-B Dok : Oktan DN). B: Permukaan atas tudung. C: Proses
pengeringan tubuh buah jamur (Bar : 1 cm). D: Tubuh buah yang telah kering dan siap untuk
dijual.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
130
yang merupakan salah satu karakter dari jamur ini,
dan tangkai menempel ke tudung pada posisi tengah.
Tekstur tubuh buah berdaging tanpa bau yang khas.
Jamur ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
pangan oleh masyarakat lokal dengan jenis masakan
khas Belitong. Jamur ini umumnya dijual dalam
keadaan basah (Gambar 6C) atau tubuh buah yang
sudah direbus atau dalam bahasa lokal ‘dicelor’
(Gambar 6B). Fase tubuh buah yang dikonsumsi
umumnya pada kondisi muda di mana tudung belum
merekah sempurna.
Volvariella merupakan jamur yang memiliki
persebaran luas dari daerah tropis hingga subtropis di
seluruh dunia. Jamur ini merupakan salah satu dari 5
jamur yang paling banyak dibudidayakan (Chang &
Miles, 2004). Volvariella umumnya tumbuh liar pada
sekam padi, bonggol sawit, dan batang tanaman sawit
(Apetorgbor et al., 2015). Masyarakat lokal di
Belitong umumnya merambah jamur ini di sekitar
perkebunan sawit selama sepanjang tahun karena
kelompok jamur ini memiliki gaya hidup saprofit,
sehingga tidak bergantung kepada inang tumbuhan
tertentu. Jenis lain dari jamur ini juga dilaporkan
tumbuh di pohon sagu dan merupakan jamur
endemik dari Papua dan telah dikultivasi (Abbas et
al., 2012; 2013). Volvariella diketahui memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi seperti protein, mineral,
asam folat, dan antioksidan (Sadli et al., 2018; Sudha
et al., 2019). Hingga saat ini tercatat sebanyak 142
spesies, subspesies, dan varietas dari genus
Volvariella di seluruh dunia
(http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp,
diakses pada 01 Agustus 2020). Putra & Khafazallah
(2020) melaporkan bahwa banyak etnis/suku di
Indonesia yang memanfaatkan jamur liar ini sebagai
bahan pangan sehari-hari.
Valuasi biomassa jamur liar JPL dari hutan/satuan
luas hutan perlu dilakukan untuk mengetahui nilai
rupiah yang bisa didapatkan oleh masyarakat di
sekitar kawasan hutan Pulau Belitong. Hal ini
merupakan salah satu alternatif penggerak roda
ekonomi masyarakat lokal di Belitong. Namun upaya
pemanfaatan jamur liar di alam juga perlu diimbangi
dengan kebijakan pelestarian hutan dan jenis-jenis
tanaman yang ada, supaya produksi tubuh jamur
secara alami dapat terjaga dan berkelanjutan.
Tindakan pemantauan terhadap biomassa jamur yang
dipanen juga perlu dilakukan secara periodik untuk
Gambar 6. Volvariella sp. (kulat sawit) pangan liar di Pulau Belitong. A: Tubuh buah muda dengan tudung
yang belum merekah. B: Tubuh buah jamur yang telah direbus. C: Jamur yang dijual tanpa direbus
terlebih dahulu.
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
131
mengetahui kapasitas produksi dari alam. Dari aspek
pasca panennya, hingga saat ini, hanya jamur
‘pelawan’ dan jamur ‘sukatan’ yang telah dilakukan
pengawetan sederhana oleh masyarakat ataupun
pengumpul jamur dengan cara dikeringkan sinar
matahari. Metode ini tentunya masih memiliki
kekurangan, sehingga peran instansi pemerintahan
terkait sangat diperlukan untuk diseminasi teknik
preservasi yang lebih efektif dan efisien seperti
pengeringan dengan oven dan vakum. Hal ini
tentunya diharapkan akan membuat kualitas tubuh
buah jamur kering tetap terjaga dan dengan jangka
waktu simpan yang lebih lama. Sementara itu, untuk
jamur lainnya yang dijual segar, masyarakat lokal
menjualnya secara langsung ataupun melalui media
sosial. Jika tidak terjual, umumnya jamur tersebut
dikonsumsi oleh mereka sendiri. Upaya
pendampingan preservasi jamur dan pengolahannya
menjadi bentuk produk sekunder belum begitu
populer dilakukan di Pulau Belitong. Dengan adanya
diversifikasi produk, diharapkan nilai ekonomi jamur
yang diperoleh tetap terjaga ataupun bertambah
ketika dijual. Bentuk kegiatan yang memungkinkan
salah satunya adalah usaha mikro kecil dan
menengah yang memiliki potensi besar karena Pulau
Belitong juga merupakan salah satu destinasi wisata
populer di Indonesia.
Selain bergantung kepada ketersediaan jamur di
alam, pendekatan lainnya yang dapat dilakukan
adalah dengan penelitian lebih lanjut terhadap
seluruh jamur yang dilaporkan pada tulisan ini,
terutama kaitannya terhadap peluang kultivasinya di
masa mendatang. Beberapa jamur yang memiliki cara
hidup ektomikoriza merupakan simbion yang obligat
terhadap inang tumbuhannya (tidak bisa
dibudidayakan), namun beberapa lainnya merupakan
mikobion fakultatif sehingga berpeluang untuk
dibudidayakan (Kumla et al., 2012). Sementara itu,
jamur yang bersifat saprofit umumnya mudah
dibudidayakan namun tetap diperlukan uji awal
terkait optimasi media tumbuhnya. Hingga saat ini
belum ditemukan adanya laporan upaya kultivasi
jamur-jamur yang dilaporkan pada penelitian ini di
Pulau Belitong. Kolaborasi antara peneliti,
pemerintah setempat, dan masyarakat diperlukan
untuk mewujudkan hal tersebut. Jika jamur-jamur
tersebut berhasil dibudidayakan, tentunya hal ini
akan membuat ketersediannya stabil sepanjang tahun
sehingga terjadi keseimbangan antara ketersediaan
dan permintaan pasar. Beberapa pengumpul jamur
menginformasikan bahwa jamur pelawan juga dijual
ke luar Pulau Belitong, seperti Jakarta. Namun,
observasi lebih lanjut terkait karakteristik jamur juga
perlu dilakukan terkait tubuh buah yang diproduksi
dari alam dan hasil budidayanya. Hal ini perlu
dilakukan untuk menjamin kualitas jamur yang sama
dengan tubuh buahnya di alam.
Upaya konservasi tanaman yang merupakan
inang dari jamur ektomikoriza, seperti pohon
pelawan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk
menjaga keberlangsungan hidup dari jamur-jamur
tersebut di Pulau Belitong. Tanaman pelawan hingga
saat ini hanya dilaporkan persebarannya di
Kepulauan Bangka-Belitung (Babel) dan memiliki
peranan penting dalam aspek etnobiologi masyarakat
lokal di daerah tersebut (Akbarini, 2016). Dari
beberapa wilayah yang ada di Babel, hanya
Kabupaten Bangka Tengah yang telah diketahui
mencanangkan program konservasi pohon pelawan
guna keberlanjutan dan pemanfaatannya (Akbarini,
2016). Jamur pembentuk ektomikoriza telah
diketahui memiliki peranan penting dalam membantu
tumbuhan inangnya untuk mencari hara dan nutrisi
lebih baik karena daya jelajahnya yang luas dengan
ukuran hifa yang jauh lebih kecil dibandingkan akar
paling kecil dari tanaman (Boroujeni &
Hemmatinezhad, 2015). Hal ini juga diperkuat
dengan kondisi tanah di Pulau Belitong yang
cenderung memiliki pH rendah (Oktavia et al., 2014)
sehingga beberapa unsur hara penting yang
dibutuhkan oleh tanaman tidak tersedia dengan bebas
di tanah. Helbert et al., (2019) melaporkan bahwa
pohon pelawan (Tristaniopsis spp.) yang
mendominasi hutan sekunder di Pulau Bangka
merupakan fitobion utama dari berbagai jenis jamur
pembentuk ektomikoriza (56 jenis jamur dari famili
Thelephoraceae, Russulaceae, dan Clavulinaceae)
dan belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Jamur-jamur tersebut berpeluang besar untuk
dideskripsikan sebagai spesies baru dan menambah
catatan diversitas jamur di Indonesia. Selain itu,
mereka juga berasumsi bahwa tumbuhan ini juga
merupakan tempat ‘berlindung sementara’ (bunker)
bagi fungi ektomikoriza saat terjadi kerusakan hutan
ataupun kondisi yang tidak menguntungkan. Karena
konsekuensinya sebagai organisme heterotrof, jamur
pembentuk ektomikoriza menggantungkan kebutuhan
karbonnya dari pasokan hasil fotosintesis tumbuhan.
Hal inilah yang menjadikan simbiosis mutualistik
antara keduanya perlu dijaga dengan baik supaya
tidak terjadi eksploitasi tubuh buah jamur yang
berlebihan sebagai akibat nilai komersial yang
dimilikinya. Salah satu ren kegiatan konservasi
terkini yang banyak dilakukan adalah melalui
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
132
kegiatan ekowisata. Saat ini kegiatan ekowisata di
Pulau Belitong telah dilakukan terutama sejak
dibentuknya geopark, namun masih terfokus kepada
hewan tarsius. Konsep ekowisata JPL pembentuk
ektomikoriza dengan tanaman inangnya ataupun
jamur saprofit di Pulau Belitong tentunya juga
merupakan salah satu potensi daya tarik wisatawan di
masa mendatang.
KESIMPULAN
Sebanyak 5 JPL bernilai ekonomi asal Pulau
Belitong dilaporkan pada penelitian ini yakni :
Amanita sect. caesarea (kulat pelandok),
Heimioporus sp. (kulat pelawan), Hygrocybe cf.
conica (kulat tiong), Phylloporus sp. (kulat sukatan),
dan Volvariella sp. (kulat sawit). Heimioporus sp.
diketahui merupakan jamur yang memiliki harga jual
yang paling tinggi dibandingkan dengan jamur
lainnya. Tiga jenis dari jamur yang dilaporkan
merupakan jamur pembentuk ektomikoriza (kulat
pelandok, kulat pelawan, dan kulat sukatan) dan 2
lainnya merupakan jamur yang hidup secara saprofit.
Seluruh jamur tersebut merupakan anggota filum
Basidiomycota yang terbagi ke dalam 2 ordo dan 4
famili. Jamur-jamur tersebut berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut dalam tahap kultivasi dan
analisis nutrisinya di masa mendatang. Upaya
konservasi tanaman yang menjadi inang jamur
pembentuk ektomikoriza dan vegetasi hutan pada
ekosistem tumbuh jamur saprofit perlu menjadi
perhatian penting di Pulau Belitong.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
pengelola Kemantauan Keppak dan seluruh
masyarakat lokal Belitong yang telah membantu
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, B., Listyorini, F.H. & Martanto, E.A. (2012).
Karakteristik Jamur Sagu (Volvariella sp.) Endemik
Papua. Jurnal Natur Indonesia, 13(2), 168-173.
http://dx.doi.org/10.31258/jnat.13.2.168-173.
Abbas, B., Listyorini, F. H., Martanto, E. A., & Renwarin,
Y. (2013). Pertumbuhan Jaringan Stipe dari Jamur
Sagu (Volvariella sp.) Endemik Papua dalam Kultur in
vitro. Jurnal Natur Indonesia, 14(3), 184-190.
http://dx.doi.org/10.31258/jnat.14.3.184-190.
Akbarini, D. (2016). Pohon Pelawan (Tristaniopsis
merguensis): Spesies Kunci Keberlanjutan Hutan
Taman Keanekaragaman Hayati Namang – Bangka
Tengah. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 9(1),66-73.
http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v9i1.3500.
Al ulya, A.N., Leksono, S.M. & Khastini, R.O. (2017).
Biodiversitas dan potensi jamur Basidomycota di
Kawasan Kasepuhan Cisungsang, Kabupaten Lebak,
Banten. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 10(1),9-16.
http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v10i1.4513.
Álvarez-Farias, Z., Diaz-Godinez, G., Teller-Tellez, M.,
Villegas, E., & Acosta-Urdapilleta M.L. (2016).
Ethnomycological knowledge of wild edible
mushrooms in Tlayacapan, Morelos. Mycosphere,
7(10), 1491–1499.
http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/si/3b/1.
Apetorgbor, A. K., Apetorgbor, M. M., & Derkyi, N. S. A.
(2015). Comparative Studies on Growth and Yield of
Oil Palm Mushroom, Volvariella Volvacea (Bull. Ex.
Fr.) Sing. on Different Substrates. Greener Journal of
Gambar 7. Olahan masakan JPL oleh masyarakat lokal Pulau Belitong. A: Gulai (gangan) kering kulat
‘pelandok’ (Dok : Renita). B: Tumis terasi (belacan) kulat ‘pelandok’. C: Tumis kering kulat
‘tiong’ (Dok: Venica). D: Gulai kulat pelawan (Dok: Ramadani). E: Gulai kering kulat ‘sukatan’
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
133
Agricultural Sciences, 5(5), 177–189.
http://dx.doi.org/10.15580/gjas.2015.5.071115091.
Arora, D. (1986). Mushrooms Demystified. USA: Teen
Speed Press.
Bakır, T. kan, Boufars, M., Karadeniz, M., & Ünal, S.
(2018). Amino acid composition and antioxidant
properties of five edible mushroom species from
Kastamonu, Turkey. African Journal of Traditional,
Complementary and Alternative Medicines, 15(2),
80-87. http://dx.doi.org/10.21010/ajtcamv15i2.10.
Blackwell, M. (2011). The Fungi: 1, 2, 3 … 5.1 million
species? American Journal of Botany, 98(3), 426-438.
http://dx.doi.org/10.3732/ajb.1000298.
Boa, E. (2004). Wild Edible Fungi: A Global Overview of
Their Use and Importance to People. Rome : FAO.
Boedijn, K.B.(1951): Notes on Indonesian
Fungi. Sydowia, 5: 317 - 327.
Boroujeni, D. S., & Hemmatinezhad, B. (2015). Review of
Application and Importance of Ectomycorrhiza Fungi
and their Role in the Stability of Ecosystems.
Biosciences Biotechnology Research Asia, 12(1),
153-158. doi:10.13005/bbra/1646.
Brundrett, M. (2004). Diversity and classification of
mycorrhizal associations. Biological Reviews, 79(3):
473-495.
http://dx.doi.org/10.1017/s1464793103006316.
Chang, S.T & Miles, P. (2004). Cultivation techniques. In:
Chang, S.T.,Miles, P. (Eds.), Mushroom, Cultivation,
Nutritional Value andMedicinal Effect and
Environmental Impact. NewYork: CRS Press.
Das, K. (2010). Diversity and conservation of wild
mushrooms in Sikkim with special reference to
Barsey Rhododendron Sanctuary. NeBio, 1: 1-13.
De Silva, D. D., Rapior, S., Fons, F., Bahkali, A. H., &
Hyde, K. D. (2012). Medicinal mushrooms in
supportive cancer therapies: an approach to
anti-cancer effects and putative mechanisms of action.
Fungal Diversity, 55(1), 1–35.
http://dx.doi.org/10.1007/s13225-012-0151-3.
Desjardin, D. E., Wood, M., & Stevens, F. A.
(2016). California mushrooms: The comprehensive
identification guide. Portland: Timber Press.
Dimitrijevic, M. V., Mitic, V. D., Cvetkovic, J. S.,
Stankov Jovanovic, V. P., Mutic, J. J., & Nikolic
Mandic, S. D. (2015). Update on element content
profiles in eleven wild edible mushrooms from family
Boletaceae. European Food Research and
Technology, 242(1), 1-10.
http://dx.doi.org/10.1007/s00217-015-2512-0.
EL, C., Sia, C.M., Khoo, H.,E., Chang, S.,K., & Yim,
H.S. (2014). Antioxidative properties of an extract of
Hygrocybe conica, a wild edible mushroom.
Malaysian Journal of Nutrition, 20. 101-111.
Ergon, P.G., Ergonul, B., Kalyoncu, F., & Akata, I.
(2012). Fatty Acid Compositions of Five Wild Edible
Mushroom Species Collected from Turkey.
International Journal of Pharmacology, 8(5),
463–466. http://dx.doi.org/10.3923/ijp.2012.463.466.
Halbwachs, H., Karasch, P. & Griffith, G. (2013). The
diverse habitats of Hygrocybe – peeking into an
enigmatic lifestyle. Mycosphere, 4(4), 773–792.
http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/4/4/14.
Halling, R. E., Fechner, N., Nuhn, M., Osmundson, T.,
Soytong, K., Arora, D., & Hibbett, D. (2015).
Evolutionary relationships of Heimioporus and
Boletellus (Boletales), with an emphasis on Australian
taxa including new species and new combinations in
Aureoboletus, Hemileccinum and Xerocomus.
Australian Systematic Botany, 28(1), 1.
http://dx.doi.org/10.1071/sb14049.
Hawksworth, D.L. (2001). The magnitude of fungal
diversity: the 1.5 million species estimate revisited.
Mycological Research, 105(12),1422–1432.
http://dx.doi.org/10.1017/s0953756201004725.
Helbert, Turjaman, M., & Nara, K. (2019).
Ectomycorrhizal fungal communities of secondary
tropical forests dominated by Tristaniopsis in Bangka
Island, Indonesia. PLOS ONE, 14(9).
http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0221998.
Hobbie, J.E., & Hobbie, E.A. (2006). 15N in symbiotic
fungi and plants estimates nitrogen and carbon flux
rates in arctic tundra. Ecology, 87: 816-822.
doi:10.1890/0012-9658(2006)87[816:NISFAP]2.0.
CO;2
Khastini, R.O., Wahyuni, I. & Saraswati, I. (2018).
Ethnomycology of Bracket Fungi in Baduy Tribe
Indonesia. Biosaintifika: Journal of Biology &
Biology Education, 10(2), 424–432.
http://dx.doi.org/10.15294/biosaintifika.v10i2.14082.
Khastini, R. O., Wahyuni, I., Lista, L., & Saraswati, I.
(2019). Inventory and utilization of macrofungi
species for food in Cikartawana inner Baduy Banten.
Biodidaktika, Jurnal Biologi dan pembelajarannya,
14(1), 7-13.
http://dx.doi.org/10.30870/biodidaktika.v14i1.4838.
Kumla, J., Bussaban, B., Suwannarach, N., Lumyong, S.,
& Danell, E. (2012). Basidiome formation of an
edible wild, putatively ectomycorrhizal fungus,
Phlebopus portentosus without host plant. Mycologia,
104(3), 597–603. http://dx.doi.org/10.3852/11-074.
Lazo, C., Kalaw, S.P., & De Leon, A.M. (2015).
Ethnomycological Survey of Macrofungi Utilized by
Gaddang Communities in Nueva Vizcaya,
Philippines. Current Research in Environmental &
Applied Mycology, 5(3), 256–262.
http://dx.doi.org/10.5943/cream/5/3/8.
Li, F., & Cai, Q. (2014). Amanita heishidingensis, a new
species of Amanita sect. Lepidella from China.
Mycological Progress, 13(4).
http://dx.doi.org/10.1007/s11557-014-1008-9.
Lima, A.D., Costa F.R., Carvalho, G., Novaes, M.R, &
Percário, S. (2012). Poisonous mushrooms: a review
of the most common intoxications. Nutricion
Hospitalaria. 27(2):402-408.
DOI:10.1590/s0212-16112012000200009.
Montoya, L., Garay-Serrano, E. & Bandala, V.M. (2019).
Two new species of Phylloporus (Fungi, Boletales)
from tropical Quercus forests in eastern Mexico.
MycoKeys, 51, 107–123.
http://dx.doi.org/10.3897/mycokeys.51.33529.
Murugkar, D. & Subbulakshmi, G. (2005). Nutritional
value of edible wild mushrooms collected from the
Khasi hills of Meghalaya. Food Chemistry, 89(4),
599-603.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:121-135 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.6109
134
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.03.042.
Narulita, I., & Marganingrum, D. (2017). Analisis Curah
Hujan, Perubahan Tutupan Lahan, dan Penyusunan
Kurva IDF untuk Analisis Peluang Banjir: Studi
Kasus Das Cerucuk, Pulau Belitung. Jurnal
Lingkungan dan Bencana Geologi, 8(2), 57-69.
DOI: http://dx.doi.org/10.34126/jlbg.v8i2.
Neves, M. A., Binder, M., Halling, R., Hibbett, D., &
Soytong, K. (2012). The phylogeny of selected
Phylloporus species, inferred from NUC-LSU and
ITS sequences, and descriptions of new species from
the Old World. Fungal Diversity, 55(1), 109–123.
http://dx.doi.org/10.1007/s13225-012-0154-0.
O'Dell, T., Lodge, D.J., Mueller, G.M. (2004).
Approaches to sampling macrofungi. (In): G. M.
Mueller, G. Bills, M. S. Foster (eds) Biodiversity of
Fungi: Inventory and Monitoring Methods. San Diego:
Elsevier Academic Press. 163-168.
Oktavia, D. (2012). Komposisi Vegetasi Dan Potensi
Tumbuhan Obat Di Hutan Kerangas Kabupaten
Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Skripsi tidak diterbitkan, IPB, Bogor.
Oktavia, D., Setiadi, Y., & Hilwan, I. (2014). Sifat fisika
dan kimia tanah di hutan kerangas dan lahan pasca
tambang timah Kabupaten Belitung Timur. Jurnal
Silvikultur Tropika, 5(3),149-154.
Osarenkhoe, O. O., John, O. A., & Theophilus, D. A.
(2014). Ethnomycological Conspectus of West
African Mushrooms: An Awareness Document.
Advances in Microbiology, 4(1), 39–54.
http://dx.doi.org/10.4236/aim.2014.41008.
Putra, I.P., Mardiyah, E., Amalia, N.S., & Mountara, A.
(2017). Ragam jamur asal serasah dan tanah di Taman
Nasional Ujung Kulon Indonesia. Jurnal Sumberdaya
Hayati, 3(1), 1-7.
Putra, I.P., Sitompul, R., & Chalisya, N. (2018). Ragam
Dan Potensi Jamur Makro Asal Taman Wisata
Mekarsari Jawa Barat. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi,
11(2),133–150.
http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v11i2.6729.
Putra, I.P., Nasrullah, M.A., & Dinindaputri, T.A.
(2019a). Study on Diversity and Potency of Some
Macro Mushroom at Gunung Gede Pangrango
National Park. Buletin Plasma Nutfah, 25(2), 1-14.
http://dx.doi.org/10.21082/blpn.v25n2.2019.p1-14.
Putra, I.P., Amelya, M.P., Nugara, N.H., & Zamia, H.Z.
(2019b). Notes of Some Macroscopic Fungi at IPB
University Campus Forest: Diversity and Potency.
Biota, 12(2), 57-71.
https://doi.org/10.20414/jb.v12i2.192.
Putra,I.P.(2020a). Record On Macroscopic Fungi At IPB
University Campus Forest : Description And Potential
Utilization. IJOSE, 4(1):1-11.
Putra, I.P. (2020b). Catatan Beberapa Jamur Makro di
Pulau Belitong : Deskripsi dan Potensinya.
Bioeduscience, 4(1),
11–20.https://doi.org/10.29405/j.bes/4111-204416.
Putra, I.P. (2020c). Kasus keracunan Inocybe sp. di
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi Di Era
Pandemi Covid 19. Jurusan Biologi, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar. 6(1), 148-153.
DOI: https://doi.org/10.24252/psb.v6i1.15727
Putra, IP. (2020d). Politik Simbiosis Fungi dan Tumbuhan.
Pro-life, 7(2), 144-156.
Putra, I.P., & Hafazallah, K. (2020). Catatan Komunitas
Pemburu Jamur Indonesia : Kolaborasi Lintas
Profesi dan Generasi Mengenai Etnomikologi
Jamur-Jamur Indonesia. Sukabumi: Haura
Publishing.
Rich, R. (2011). Kajian terhadap Jamur Pangan Pelawan
(Boletus sp.) khas Indonesia sebagai sumber potensial
pangan fungsional. Skripsi tidak diterbitkan, IPB,
Bogor.
Rokuya, I., Yoshio, O., & Tsugia, H. (2011). Fungi of
Japan. Japan: Yama-Kei Publishers.
Sadli. (2018). Phytochemical screening of Volvariella
Volvacea (straw mushroom) extract from Aceh’s local
cultivation. Jurnal Natural, 18(1), 32–37.
http://dx.doi.org/10.24815/jn.v18i1.9228.
Seitzman, B. H., Ouimette, A., Mixon, R. L., Hobbie, E.
A., & Hibbett, D. S. (2011). Conservation of
biotrophy in Hygrophoraceae inferred from combined
stable isotope and phylogenetic analyses. Mycologia,
103(2), 280–290. http://dx.doi.org/10.3852/10-195.
Semwal, K.C., Stephenson, S.L., Bhatt, V.K., & Bhatt,
R.P. (2014). Edible mushrooms of the North western
Himalaya, India: a study of indigenous knowledge,
distribution and diversity. Mycosphere, 5(3),440–461.
http://dx.doi.org/10.5943/mycosphere/5/3/7.
Silva-Filho, A.G.S., Bottke, C.C., Baseia, I.G., Cortez,
V.G., & Wartchow, F. (2019). Morphological
description and new records of Hygrocybe conica var.
conica and H. nigrescens var. brevispora
(Hygrophoraceae) in Brazil. Hoehnea, 46(3),
e012019. https://doi.org/10.1590/2236-8906-01/2019.
Sudha, A., Geetha, P. & Rajesh, M. (2019). Antioxidant
Properties of Paddy Straw Mushroom [Volvariella
volvacea (Bull. ex Fr.)] Sing. International Journal of
Current Microbiology and Applied Sciences, 8(02),
3031–3036.
http://dx.doi.org/10.20546/ijcmas.2019.802.355.
Tang, L.-P., Lee, S.-S., Zeng, N.-K., Cai, Q., Zhang, P., &
Yang, Z. L. (2017). Notes on Amanita section
caesareae from Malaysia. Mycologia, 1–11.
http://dx.doi.org/10.1080/00275514.2017.1394789.
Tasuruni, D. (2012). Analisis Morfologi dan Sekuen ITS
rDNA Jamur Edible Ektomikoriza Pelawan dan
Struktur Ektomikorizanya. Tesis tidak diterbitkan,
IPB, Bogor.
Thongbai, B., Tulloss, R., Miller, S., Hyde, K., Chen, J.,
Zhao, R., & Raspé, O. (2016). A new species and four
new records of Amanita (Amanitaceae;
Basidiomycota) from Northern Thailand. Phytotaxa,
286(4), 211–231.
doi:http://dx.doi.org/10.11646/phytotaxa.286.4.1
Tripathy, S.S, Rajoriya, A., & Gupta, N. (2014). Nutritive
properties and antioxidative activity of Amanita
caesarea and A. loosii wild edible mushrooms from
Odisha. International Journal of Innovative Drug
Discovery, 4(3):124-129.
Wang, X.-M., Zhang, J., Wu, L.-H., Zhao, Y.-L., Li, T.,
Li, J.-Q., & Liu, H.-G.(2014). A mini-review of
chemical composition and nutritional value of edible
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai…
(Ivan Permana Putra)
135
wild-grown mushroom from China. Food Chemistry,
151,279-285.
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.11.062
Yun, W., & Hall, I. R. (2004). Edible ectomycorrhizal
mushrooms: challenges and achievements. Canadian
Journal of Botany, 82(8), 1063–1073.
http://dx.doi.org/10.1139/b04-051.
Zeng, N.-K., Chai, H., Liang, Z.-Q., Tang, L.-P., Xue, R.,
& Yang, Z. L. (2018). The genus Heimioporus in
China. Mycologia, 110(6), 1110–1126.
http://dx.doi.org/10.1080/00275514.2018.1512303.
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
137
PEMETAAN KONFLIK TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DI DESA CISANTANA,
CIGUGUR, KUNINGAN, JAWA BARAT
CONFLICT MAPPING OF GUNUNG CIREMAI NATIONAL PARK IN CISANTANA VILLAGE,
CIGUGUR, KUNINGAN, WEST JAVA
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah*
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201
Telp. (0265) 771352; Fax. (0265) 775866; *Email: [email protected]
Diterima: 29 Juli 2019; Direvisi: 14 Februari 2020; Disetujui: 28 Desember 2020
ABSTRAK
Pengetahuan mengenai konflik dan gaya para pihak yang berkonflik sangat diperlukan, guna mendapatkan solusi yang
efektif dan efisien dalam upaya penyelesaiannya. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pemetaan konflik,
menjelaskan gaya para pihak dalam berkonflik dan mengetahui pilihan-pilihan cara penyelesaiannya. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Februari 2017 di wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yakni di Desa Cisantana,
Kabupaten Kuningan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik partisipatory rural appraisal (PRA), wawancara,
pengamatan lapangan, dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus. Metode penelitian yang digunakan adalah Rapid
Land Tenure Assesment (RaTA) dan Analisis Gaya Bersengketa (AGATA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konflik yang dominan terjadi di TNGC adalah perubahan status hutan yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi
masyarakat sekitar TNGC. Ada 8 (delapan) aktor dominan yang terlibat yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba
Alam Lestari, Perhutani, TNGC, Swasta (CV Mustika, Asuransi), pemerintah desa serta pemerintah daerah (Dinas
Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Setiap stakeholder mempertanyakan aksesibilitas mereka dalam mengelola bumi
perkemahan Palutungan. Masyarakat Desa Cisantana merasa yang paling dirugikan. Dalam berkonflik, masing-masing
pihak memiliki gaya sengketa yang berbeda. KTH Rimba Alam Lestari, Perhutani, TNGC dan CV Mustika memilih
gaya sengketa berkompromi. KTH Rimba Alam Lestari dan TNGC juga menerapkan gaya kolaborasi, sementara
pemerintah daerah memilih gaya menghindar. Sebaliknya pemerintah desa dan pihak asuransi bergaya akomodasi.
Para stakeholder difasilitasi dan dimediasi untuk mengusulkan izin pengelolaan Patulungan (parkir), serta izin
pengelolaan Ipukan (pemandu wisata), sehingga mendapatkan legalitas pengelolaan dan pengakuan. Dalam hal ini,
peran pihak luar yang tidak ada hubungan konflik sangat diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik.
Kata kunci: gaya konflik, masyarakat, pemetaan, stakeholder, Gunung Ciremai
ABSTRACT
The purpose of this study is to conflict mapping, explain conflict style of stakeholder and choices of conflict
resolution. This study was conducted in February 2017 in Cisantana Village, Kuningan Regency. Data were collected
through participatory rural appraisal; interviews, field observation, documentation and focus group discussions. The
study method was used Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) and Dispute Style Analysis (AGATA). The results
showed that the dominant conflict in TNGC was the change of forest status which affected the economic activities of
the community around TNGC, that involved eight dominant actor. In a conflict, the stakeholder has a different style of
dispute. The stakeholders was facilitated and mediated to propose a permit to manage Patulungan (parking
management), and a permit to manage Ipukan (tourism guide). In this case, the role of outsiders who do not have a
conflict relationship is needed in order to realize conflict resolution.
Keywords: conflict style,community, mapping, stakeholder, Ciremai Mountain
PENDAHULUAN
Konflik adalah sesuatu yang biasa ada dalam
kehidupan masyarakat. Selama masyarakat masih
memiliki kepentingan, keinginan, dan cita-cita,
konflik senantiasa “mengikuti”. Oleh karenanya
kemungkinan terjadi benturan-benturan kepentingan
antara individu dengan kelompok, atau kelompok
dengan kelompok niscaya terjadi dalam masyarakat.
Awang (2007) berpendapat pemikiran “siapa yang
menangani kekuasaan, dialah yang memegang
pengetahuan (knowledge is power)” merupakan awal
munculnya konflik; awalnya knowledge itu netral,
tetapi kemudian menjadi keberpihakan, tergantung
pada kemampuan menggunakan knowledge tersebut.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
138
Sementara, Harun & Dwiprabowo (2014)
berpendapat bahwa konflik merupakan respon atas
isu tertentu dalam mempertahankan dan
meningkatkan kepentingan individu atau kelompok.
Konflik merupakan suatu hubungan sosial yang
dimaknai sebagai keinginan untuk memaksakan
kehendaknya pada pihak lain. Namun demikian,
konflik juga bisa menjembatani suatu persoalan
menjadi solusi bersama, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Muspawi (2014) bahwa manajemen
konflik tidak hanya merugikan pihak yang berkonflik
melainkan mendatangkan hikmah dan manfaat bagi
yang bersangkutan.
Pada umumnya masyarakat masih memegang
teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya
lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan
masyarakat, sehingga model penyelesaian konflik
idealnya disesuaikan dengan kondisi wilayah dan
budaya setempat. Untuk itu keterbukaan dan
keseriusan dalam mengurai akar permasalahan
konflik dan komunikasi yang baik, jujur dan dapat
dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan
juga merupakan salah satu cara penanganan konflik
(Sriyanto, 2007). Hal ini senada dengan pendapat
dari Astri (2012) yaitu dalam menentukan langkah
penyelesaian konflik di suatu daerah hendaknya
mencermati dan menganalisis paradigma lokal dan
obyektifitas agar berada didalam bingkai kondisi,
nilai dan tatanan kehidupan masyarakat setempat.
Sebagaimana hasil penelitian dari Zainuddin (2016)
yang menemukan perbedaan sumber konflik di dua
daerah sehingga berbeda dalam penyelesaian
konfliknya. Penyelesaian konflik antar organisasi
masyarakat di kota Medan yang disebabkan oleh
faktor ekonomi dan persinggungan perasaan
dilakukan dengan menekankan aspek hubungan,
sementara di kota Surakarta disebabkan oleh ideologi
keagamaan penyelesaian konfliknya dilakukan
dengan menekankan pada aspek nilai.
Gaya berkonflik yang umumnya diterapkan oleh
para pihak yang berkonflik diantaranya adalah gaya
menghindar (avoiding), gaya mengakomodasi
(accommodating), gaya kompromi (compromising)
gaya kompetisi (competing) serta gaya kolaborasi
(collaborating) (Pasya & Sirait, 2011). Gaya
menghindar pada umumnya efektif digunakan pada
situasi dan kondisi yang teramat rumit dan tidak
memungkinkan adanya upaya penyelesaian yang
dapat dilakukan, serta tidak mengharapkan adanya
sengketa. Gaya menghindar diantaranya ditunjukkan
dengan mengubah topik penyebab sengketa,
menghindari diskusi tentang sengketa, tidak ingin
membangun komitmen, dan/atau berprilaku tidak
jelas. Gaya mengakomodasi pada umumnya efektif
digunakan pada situasi dan kondisi dimana peluang
untuk mewujudkan kepentingan berada di posisi
rendah, yang ditunjukkan dengan mendahulukan
kepentingan pihak lain (lawannya). Gaya kompromi
pada umumnya efektif digunakan pada situasi dan
kondisi dimana para pihak merasa tujuan akhir bukan
merupakan bagian terpenting, sementara diperlukan
jalan keluar meskipun enggan untuk bekerja sama.
Pada gaya kompromi masing-masing pihak yang
berkonflik saling memberi dan satu sama lain tidak
ada yang merasa menang maupun kalah, dengan
tujuan menghindari kerusakan hubungan dan tatanan
sosial. Gaya kompetisi adalah kebalikan dari gaya
kompromi, efektif digunakan pada situasi dan kondisi
membutuhkan keputusan yang cepat, sementara
jumlah keputusan terbatas bahkan hanya tersedia satu
keputusan. Gaya kompetisi diantaranya terlihat dari
gaya pihak berkonflik yang agresif, egois, menekan
pihak lain, dan berprilaku non kooperatif. Sementara
itu gaya kolaborasi umumnya efektif pada situasi dan
kondisi dimana pihak-pihak yang berkonflik
memiliki keseimbangan kekuatan (power balance)
dan memiliki ketersediaan waktu dan energi yang
cukup untuk mewujudkan penyelesaian konflik
secara terpadu. Gaya kolaborasi ditunjukkan dengan
saling peduli terhadap masing-masing kepentingan
pihak, terjalin komunikasi yang empatik, saling
menghargai dan berusaha memuaskan satu sama lain.
Lahan merupakan sumber utama bagi banyak
sektor, sehingga alokasi lahan melibatkan persaingan
dan perebutan kekuasaan (Hogl et al., 2016; Sahide
et al., 2016). Sementara itu, Awang (2007)
menerangkan bahwa konflik sumberdaya hutan
merupakan satu hubungan antara dua atau lebih
pihak-pihak yang tidak sepaham baik ditandai
dengan kekerasan atau tidak, didasarkan pada
perbedaan-perbedaan yang nyata dan yang dirasakan
dalam hal pengetahuan, peraturan, kepentingan dan
pemanfaatan, sehingga sering menimbulkan
kerusakan. Maka dalam konflik sumberdaya alam,
sebenarnya semua pihak menang kecuali hutan itu
sendiri. Menurut Bonsu, Dhubháin, & O’Connor
(2019) konflik terkait hutan secara inheren mengikuti
dimensi subtantif, prosedural dan hubungan dari
situasi konflik sumber daya alam, dimana substansi
dari sebagian besar konflik berpusat pada pandangan
yang berbeda dari para pemangku kepentingan
tentang peran hutan dan pada konflik yang saling
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
139
bertentangan yang ditempatkan oleh tumpang tindih
bidang kebijakan.
Munculnya konflik lahan sebenarnya memberikan
dampak positif dan negatif dalam prospek
pembangunan kawasan hutan selanjutnya. Yasmi
(2009) menjelaskan bahwa konflik kehutanan
memberikan dampak negatif, seperti mempercepat
deforestasi, hubungan yang buruk, dan menimbulkan
resiko sosial yang tinggi. Sementara itu dampak
positif dari konflik kehutanan yaitu menciptakan
peluang berpartisipasi dalam pengelolaan hutan,
memungkinkan negosiasi dan merangsang
pembelajaran untuk semua pihak yang bersengketa.
Konflik kehutanan memerlukan penanganan yang
efektif, agar dapat memunculkan dampak positif
yaitu adanya peluang untuk menggerakkan segala
sesuatu yang menjadikan pengelolaan hutan
berkembang. Oleh karena itu diperlukan fasilitasi dan
manajemen konflik yang tepat untuk mencegah
eskalasi konflik.
Salah satu penyebab konflik dan tantangan dalam
reformasi kepemilikan lahan di Indonesia di
antaranya adalah banyak kepentingan dengan minat
yang berbeda (Maryudi et al., 2016; Riggs et al.,
2016). Isu konflik sektor kehutanan hingga 10 tahun
terakhir juga masih marak, salah satu konflik yang
pernah dikaji adalah konflik di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang dikaji oleh
Marina & Dharmawan (2011) bahwa penyebab
konflik disebabkan oleh empat sumber perbedaan,
yaitu perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai, dan
akuan hak kepemilikan, untuk itu diperlukan proses
mediasi dan mediator untuk mengakomodasi
keinginan pihak-pihak yang berkonflik. Kemudian
dilanjutkan oleh Hakim, Murtilaksono & Rusdiana
(2016) bahwa dalam penyelesaian konflik di TNGHS
terdapat 3 (tiga) agenda yang harus dilakukan secara
bertahap dimana satu sama lain saling berhubungan,
yakni agenda tenurial dan lingkungan, agenda
pembangunan wilayah terhadap kebijakan
penggunaan lahan dan fisik tutupan lahan, serta
agenda mitigasi yang merupakan konsekuensi
terhadap apapun yang diputuskan atau disepakati
pada kedua agenda sebelumnya. Konflik yang sering
terjadi di Kawasan Taman Nasional Bantimurung
antara pemerintah dan masyarakat adalah konflik
mengenai tata batas kawasan dan konflik yang terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan hutan
(Kadir et al., 2013). Selain konflik dengan
masyarakat, seiring dengan adanya otonomi daerah
konflik juga muncul antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam pengelolaannya seperti
yang terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat,
belum lagi ada tekanan dari dunia internasional
(Bank Dunia dan IMF) dan juga Lembaga atau NGO
internasional (Kausar, 2010).
Konflik sumberdaya alam juga terjadi di wilayah
TNGC yang terletak di Kabupaten Kuningan dan
Majalengka, tetapi sejauh ini belum ada studi yang
menganalisis atau memetakan konflik di TNGC.
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan pemetaan konflik, menjelaskan gaya para
pihak dalam berkonflik serta mengetahui pilihan-
pilihan cara penyelesaian konflik yang dapat
dilakukan. Pengetahuan mengenai gaya para pihak
yang berkonflik ini sangat diperlukan, guna mencari
solusi yang efektif dam efisien dalam penyelesaian
konflik nantinya.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2017 di
wilayah TNGC, tepatnya di Desa Cisantana,
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi
Jawa Barat. Secara geografis, TNGC terletak pada
koordinat 1080 28ʹ 0ʺ BT – 1080 21ʹ 3ʺ BT dan 60 50ʹ
25ʺ LS – 60 58ʹ 26ʺ LS. Berdasarkan wilayah
administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk
ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan
(bagian timur) dan Kabupaten Majalengka (bagian
barat) dengan luas ± 15.518,23 ha. Kawasan TNGC
memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit, dan
bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian
mencapai 3.078 mdpl.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
140
Gambar 1. Peta lokasi Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
partisipatory rural appraisal (PRA), yakni dengan
melakukan wawancara, observasi/pengamatan, studi
dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus/focus
group discussion (FGD) (Gamin, 2017). PRA
merupakan salah satu teknis pengumpulan data yang
umumnya digunakan dalam perencanaan
pembangunan bersama masyarakat. Dalam penelitian
ini, PRA bermanfaat sebagai metode perencanaan
penyelesaian konflik dengan melibatkan masyarakat
dan pemangku kepentingan dalam mencari
solusi/penyelesaian konflik (Gamin, 2017).
Penentuan informan awal dengan purposive
sampling, selanjutnya informan ditentukan dengan
teknik snowball sampling, yaitu untuk menentukan
informan berikutnya berdasarkan informasi informan
sebelumnya. Informan yang terjaring dalam
penelitian ini sebanyak 21 (dua puluh satu) orang.
Penelusuran informan berhenti pada informan ke-21
(dua puluh satu), setelah data yang terkumpul jenuh
(jawaban informan berulang kembali/sama dengan
informan sebelumnya) (Sugiyono, 2010). Keabsahan
data dilakukan dengan trianggulasi sumber dan
teknik, yaitu mengecek data ke sumber data lainnya,
data hasil wawancara dicek dengan hasil observasi
dan dokumentasi (Sugiyono, 2010). Data yang
diambil terdiri dari sejarah perubahan fungsi kawasan
dan pengelolaan hutan TNGC oleh negara dan
masyarakat, persepsi masyarakat dan pengelola
TNGC, serta aktor konflik dan gaya sengketa para
pihak.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah
penilaian sistem penguasaaan tanah secara
cepat/Rapid Land Tenure Assesment (RaTA). RaTA
digunakan untuk memotret masalah tenurial secara
lebih jelas, baik akar masalah maupun pihak-pihak
yang terlibat, serta mengakomodir kemajemukan
klaim dari berbagai pihak dan alasan klaim (Gamin,
2017).
Langkah kerja yang dianjurkan Gamin (2017): (1)
Mempelajari seluruh data dan menyusun deskripsi
kasus; (2) Mengidentifikasi peristiwa apa saja yang
membangun kasus tersebut; (3) Menyusun seluruh
peristiwa secara kronologis; (4) Mempelajari masing-
masing peristiwa, kemudian menuangkan ke dalam
deskripsi peristiwa; (5) Mengidentifikasi orang/pihak
yang terlibat dalam setiap peristiwa, dengan
melengkapi identitas setiap orang/pihak tersebut; (6)
Melengkapi dengan melekatkan dokumen pendukung
pada setiap peristiwa dan/atau orang (peta, salinan
dokumen, surat keterangan, photo dan seterusnya).
Analisis Data
Selanjutnya data yang telah diidentifikasi,
dianalisis dengan AGATA. Analisis ini digunakan
untuk mengetahui sikap atau posisi seseorang atau
pihak baik perorangan maupun kelompok atau
organisasi dalam menghadapi sengketa (Gamin,
Kartodihardjo, Kolopaking, & Boer, 2014). Dalam
penelitian ini, respon para pihak dalam berkonflik
(gaya aktor berkonflik) ditabulasi secara kualitatif,
kemudian dipetakan model gaya penyelesaian
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
141
konfliknya seperti terlihat pada Gambar 2. Peta gaya
bersengketa para pihak inilah yang akan menjadi
dasar dalam penyelesaian konflik.
Gambar 2. Gaya Sengketa pihak berkonflik
Sumber : Pasya & Sirait, 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Konflik
TNGC merupakan salah satu hutan negara yang
memiliki keanekaragaman hayati dengan
karakteristik dominan ekosistem hutan hujan
pegunungan di Pulau Jawa. TNGC ditunjuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19
Oktober 2004, dengan luas 15.518,23 ha. Sebelum
ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan hutan
Gunung Ciremai merupakan hutan produksi dan
hutan lindung yang telah mengalami deforestasi dan
degradasi. Deforestasi dan degradasi tersebut
mengakibatkan menurunnya fungsi ekosistem seperti
fungsi ekologi sebagai habitat satwa, fungsi lindung
sistem hidrologi, dan fungsi sosial ekonomi bagi
masyarakat. Dalam upaya pemulihan kembali fungsi-
fungsi ekosistem terdegradasi tersebut, diperlukan
kegiatan restorasi di TNGC (Gunawan dan
Subiandono, 2013). Perubahan status kawasan hutan
lindung menjadi taman nasional menyebabkan sistem
pengelolaan kawasan juga berubah. Upaya penetapan
ini seringkali ditentang oleh masyarakat sekitar
kawasan karena dianggap mengganggu kepentingan
dan hajat hidup masyarakat lokal, karena
pemanfaatan kawasan pada hutan lindung bisa
dilakukan di semua kawasan, sementara pada taman
nasional hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan
(Alviya, 2006). Kondisi inilah yang seringkali
menimbulkan konflik. Konflik perlu dimaknai
sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan
masyarakat, untuk itu harus diakui keberadaannya,
dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi
perubahan positif. Awang (2007) berpendapat bahwa
dalam tata kelola sumberdaya alam (dalam hal ini
hutan) terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan
seperti: (1) mengelola konflik, yakni lebih
memperjelas masalah-masalah tenurial, jangan
dihapus tetapi dikelola/dibangun solusinya; (2)
Membuat kejelasan kepastian hukum; zonasi, resort,
komoditas, pembebasan lahan, dan seterusnya; (3)
Membuat perencanaan partisipatif dan pemanfaatan
yang berkeadilan; (4) Membangun dan memerkuat
kelembagaan baru; (5) membangun program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) Desa
Konservasi; (6) Memastikan kebijakan harus sesuai
dengan penerapan di lapangan; serta (7) selalu
melakukan monitoring, dan evaluasi. Pasya & Sirait
(2011) menjelaskan juga bahwa informasi yang
penting mencakup sejarah terjadinya sengketa, akar
perbedaan kepentingan yang membuat beberapa
pihak bersengketa, serta gaya para pihak menghadapi
sengketa (conflict style) diperlukan guna
penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.
Desa Cisantana terbentuk pada tahun 1950. Pada
tahun tersebut, kawasan hutan Gunung Ciremai
Kompetisi
(Competing)
Kompromi
(compromising)
Menghindar
(avoiding)
Mengakomodasi
(accommodating)
Kolaborasi
(Collaborating)
Kerjasama (Cooperativeness)
Ketegasan
(Assertivenes)
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
142
ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan
lindung. Pada mulanya masyarakat desa tidak
mempermasalahkannya, namun ketika terjadi
peristiwa DI/TII yang menyebabkan kebakaran besar
di desa, masyarakat kehilangan lahan garapannya.
Hal tersebut menyebabkan masyarakat memasuki
hutan untuk menggarap lahan guna memenuhi hajat
hidupnya. Walaupun tidak memiliki
sertifikat/pengakuan tanah secara tertulis, masyarakat
lokal memahami bagaimana bentuk tradisional
pengelolaan sumberdaya hutan mereka. Dengan
prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan
berkelanjutan, mereka mampu berdikari atas
penghidupan mereka. Namun demikian, prilaku
masyarakat desa tidak dapat didukung oleh
pemerintah, maka dalam kurun waktu yang tak lama
kemudian, akses masyarakat terhadap lahan dan
hutan pun dibatasi.
Pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai
ditetapkan sebagai hutan produksi yang
pengelolaannya diserahkan pada Perhutani.
Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung ke
hutan produksi membawa dampak yang nyata
terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung
Ciremai dimana yang semula vegetasi hutan alam,
berubah menjadi vegetasi dengan tujuan produksi
yang mayoritas ditanami pohon pinus. Dalam upaya
melibatkan masyarakat desa agar tidak terjadi
konflik, Perhutani mengembangkan beberapa
program seperti kegiatan tumpang sari berupa
tanaman sayuran dan beberapa tanaman perkebunan
disela-sela tegakan hutan pinus.
Kemudian, pada tahun 2003, sebagian kelompok
hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani
dialihfungsikan sebagai kawasan hutan lindung
melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 195/Kpts-
II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan
Sebagian Kelompok Hutan Produksi. Maksud
pengalihfungsian tersebut adalah untuk
mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai
akibat kegiatan produksi. Setahun kemudian,
pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19
Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok
hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai
seluas + 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten
Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
Perubahan status kawasan tentunya
mengakibatkan terjadinya pengalihan pengelolaan
kembali yaitu dari Perhutani kepada TNGC. Hal ini
berdampak pada aksesibilitas masyarakat Desa
Cisantana yang sebelumnya dapat menggarap lahan
di wilayah hutan produksi, menjadi tidak dapat
menggarap lahan dengan leluasa di dalam hutan,
karena berdasarkan aturan, pemanfaatan kawasan
pada taman nasional hanya dapat dilakukan di zona
pemanfaatan saja. Disinilah dimulainya konflik
antara masyarakat desa dengan pengelola TNGC.
Pihak TNGC kemudian melakukan upaya untuk
menyelesaikan konflik dengan memberi bantuan bibit
domba kepada masyarakat desa, sebagai kompensasi
karena petani tidak dapat melakukan kegiatan bertani
secara intensif di dalam kawasan TNGC. Tidak
berhenti disitu saja, pada tahun 2007, masyarakat
desa bersama-sama dengan pengelola TNGC
melakukan survai untuk mencari wilayah yang dapat
dijadikan wisata alam. Dari hasil survei ditemukan
air terjun di daerah Ipukan yang kemudian dibangun
wana wisata Ipukan oleh pengelola TNGC bersama
masyarakat.
Pada tahun 2012, masyarakat desa tidak
membuka lahan lagi di kawasan TNGC. Mereka
beralih mata pencaharian, dari petani menjadi
pemberi jasa (guide) wisata. Mereka menata
kehidupan ekonominya dengan mencari alternatif
selain menggarap lahan diantaranya dalam
pengelolaan potensi alam berupa air terjun dan wisata
alam, seperti bumi perkemahan (buper), jalur
pendakian gunung, dan lainnya. Setahun kemudian,
pembukaan wana wisata Ipukan sebagai bentuk
kemitraan masyarakat Desa Cisantana dan TNGC
dilakukan. Masyarakat resmi bermitra dengan
pengelola TNGC dalam mengelola wana wisata di
blok Ipukan, dan sebagai bentuk keseriusan
masyarakat mengelola lahan, maka dibentuklah
Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Alam Lestari.
Kawasan TNGC juga memiliki potensi wisata dan
masyarakat menginginkan dapat dilibatkan
mengelola wisata tersebut. Sejak tahun 2016 dengan
pengaturan resort tematik dari pihak TNGC kegiatan
pengelolaan wisata sudah dilakukan.
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
143
Tabel 1. Sejarah perubahan fungsi kawasan dan pengelolaan hutan TNGC No Tahun Peristiwa
1 Era Kolonial Belanda Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan
lindung
2 1950 Pembentukan Desa Cisantana
3 1960 Terjadi peristiwa DI/TII; terjadi kebakaran besar di desa
4 1978 Kawasan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya
diserahkan kepada Perhutani.
Perhutani mengembangkan beberapa program yang melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan hutan, salah satu programnya adalah kegiatan tumpang sari berupa tanaman
sayuran di bawah tegakan hutan pinus.
Masyarakat sekitar kawasan hutan diberi kewenangan oleh Perhutani untuk mengolah
lahan di sela-sela pohon pinus dengan tanaman sayuran ataupun perkebunan.
5 1985-1988 Mayarakat desa mulai menggarap lahan milik Perhutani dengan menanam sayuran dan
pinus (bibit dari Perhutani), dengan jangka waktu 3 tahun. Masing-masing KK diberi
lahan seluas 0,3 ha.
6 2003 Sebagian kelompok hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dialihfungsikan sebagai
kawasan hutan lindung melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 195/Kpts-II/2003 tanggal
4 Juli 2003 tentang Penunjukkan sebagian kelompok hutan produksi, dengan tujuan
untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai.
7
2004 TNGC ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan
lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 ha yang terletak di
Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
Terjadi pengalihan pengelolaan dari Perhutani kepada Taman Nasional Gunung Ciremai.
Direktorat Jenderal PHKA menunjuk BKSDA Jawa Barat II dengan surat SK Dirjen
PHKA No. SK 140/IV/Set-3/2004 tentang Penunjukan BKSDA Jabar II selaku Pengelola
TN Gunung Ciremai. Dilakukan sosialiasi tentang Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Petani meminta waktu
3 tahun untuk menggarap lahan.
CV Mustika mengadakan survai untuk mengelola wisata Ipukan dengan izin TNGC.
8 2007 Masyarakat Desa Cisantana melakukan survei air terjun Ipukan.
9 2008 Pihak TNGC melakukan permberdayaan masyarakat Desa Cisantana dengan pemberian
domba sebanyak 20 ekor.
10 2009 TNGC mengeluarkan kebijakan petani tidak boleh melakukan pertanian intensif di
kawasan TNGC.
11 2010 TNGC dan masyarakat membuat kesepakatan tidak lagi beraktivitas pertanian di dalam
kawasan. Akhir tahun TNGC mengadakan operasi gabungan.
12 2011 Lahan yang masih digarap masyarakat hanya tersisa 2 ha, masyarakat tidak boleh
menanam lagi tetapi TNGC masih memperbolehkan memanen tanaman MPTS.
13 2012 Zonasi TNGC telah dilaksanakan dan disahkan melalui Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.171/IV-SET/2012 tanggal 28
September 2012 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan
dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan keputusan tersebut TNGC
memiliki zonasi seluas +- 15.500 ha yang terdiri dari : Zona Inti (5.799,04 Ha), Zona
Rimba (1.496,33 Ha), Zona Pemanfaatan (324,14 ha), Zona Rehabilitasi (7.646,35 ha),
Zona Religi, Budaya dan Sejarah (16,69 ha) serta Zona Khusus (12,00 ha).
14 2012 Masyarakat tidak ada lagi yang menggarap lahan di dalam kawasan.
15 2013 Pembukaan wana wisata Ipukan sebagai bentuk kemitraan dan TNGC.
16 2014 Kawasan TNGC ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.3684/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 8 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan
TNGC seluas 14.841,30 ha di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi
Jawa Barat, dimana tercantum bahwa dalam beberapa hal masih terdapat hak-hak pihak
ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini dikeluarkan dari kawasan hutan
sesuai peraturan perundangan.
KTH Rimba Alam Lestari melibatkan masyarakat Desa Cisantana untuk mengelola
wisata Ipukan.
17
2016
Dikeluarkan keputusan Kepala Balai TNGC Nomor SK.74/BTNGC/2016 tanggal 27
April 2016 tentang Pembentukan Nama Resort, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Resort
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, pengelolaan kawasan khususnya pada
resort wilayah berubah menjadi resort tematik menjadi 3 Resort, yaitu: Resort
Perlindungan dan Pengamanan Hutan, resort Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem,
dan Resort Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
144
No Tahun Peristiwa
Pengelolaan wisata oleh KTH. KTH memperoleh omzet 3000 tiket per bulan, harga per
tiket Rp 15.000,- dengan rincian: ( PNBP : Rp 5.000,- , asuransi : Rp 500,-, kas desa
: Rp 1.500,- dan pengelola : Rp 8.000,-)
Sumber: Data primer, 2017
Perbedaan Persepsi Masyarakat dan Pemerintah
dalam Pengelolaan TNGC
Konflik tenurial di TNGC juga tak terlepas dari
persepsi masyarakat dan pemerintah. Umumnya
persepsi yang dimiliki individu/suatu kelompok
berbeda dengan individu/kelompok lainnya karena
pengaruh berbagai faktor, seperti pengalaman, latar
belakang, lingkungan tempat tinggal, motivasi, dan
lainnya (Satriani, Golar & Ihsan, 2013). Dalam
mengelola kawasan konservasi pemerintah seringkali
menghadapi perbedaan persepsi, kepentingan, tata
nilai dan akuan hak dengan masyarakat
(Purwawangsa, 2017). Hakim, Aldianoveri, Bangsa,
& Guntoro (2018) dalam kajiannya mengenai konflik
tenurial di Cagar Biosfer Bromo Jawa Timur,
menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek yang
melatar belakangi terjadinya konflik, antara lain
adalah tuntutan ekonomi, tumpang tindih kebijakan,
pemahaman yang salah akan status tanah, mis-
informasi dan komunikasi, disharmonisasi hubungan
komponen masyarakat, penegakan hukum, dan
kualitas pendidikan masyarakat.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan
persepsi antara masyarakat dan pemerintah yang
mengelola TNGC dalam menginterpretasikan TNGC.
Persepsi tersebut meliputi status lahan, pengelolaan
lahan, Buper Ipukan dan juga mengenai aksesibilitas
ekonomi dari TNGC. Masing-masing pihak bertindak
sesuai dengan persepsinya, sementara persepsi
diantara pihak tersebut bisa jadi berlawanan,
sehingga menimbulkan konflik tenurial. Untuk itu
diperlukan pemahaman persepsi pada masing-masing
pihak dalam penyelesaian konflik.
Terkait dengan status lahan dan pengelolaan,
masyarakat merasa berhak turut mengelola hutan
dalam kawasan TNGC, sekalipun mereka
mengetahui bahwa TNGC adalah lahan milik negara.
Mereka merasa sebagai warga negara Indonesia yang
telah lama bermukim di wilayah tersebut, berhak
pula mencari rejeki dari hutan. Masyarakat petani
pernah mendapat izin kelola lahan seluas 0,3
ha/petani. Program ini dimulai sejak tahun 1960-an
dengan tumpangsari, berlanjut dengan
pengembangan prosperity approach di dalam
kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial tahun 1984
dan di luar kawasan hutan melalui Pembangunan
Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) pada
tahun 1994, hingga penerapan Pengelolaan Hutan
Bersama/Berbasis Masyarakat (PHBM) dari tahun
2001 hingga kini. Ketika masyarakat desa mendapat
izin kelola lahan, mereka merasa mendapatkan
peluang untuk semakin memperluas akses
pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan, sehingga
membuka lahan lagi ke dalam hutan. Terlebih
masyarakat juga merasa sudah banyak mengeluarkan
biaya dan tenaga untuk mengelola lahan di TNGC.
Hal ini memberikan dampak kerusakan hutan,
dimana lahan hutan semakin terbuka. Sementara itu,
pemerintah merasa memiliki kewajiban dan hak
mengelola kawasan TNGC termasuk mengatur
aksesibilitas masyarakat sekitar kawasan agar terjaga
kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam lainnya.
Dalam upaya melaksanakan kewajibannya,
pemerintah melakukan beberapa kali perubahan
peruntukan kawasan Gunung Ciremai.
Terkait dengan pengelolaan buper Ipukan juga
ada perbedaan persepsi dimana masyarakat merasa
berhak mengelola karena secara adminitratif
lokasinya berada di Desa Cisantana, namun menurut
pengelola TNGC buper ini sudah masuk ke dalam
zona pemanfaatan. Masyarakat juga ingin turut serta
dalam pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan
wisata, namun pihak TNGC menginginkan adanya
aturan main yang tidak bertentangan dengan
perundangan yang sudah ditetapkan.
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
145
Tabel 2. Persepsi masyarakat dan pengelola TNGC
No Persepsi tentang Masyarakat TNGC
1 Status lahan TNGC adalah lahan milik
negara
Kawasan Gunung Ciremai merupakan kawasan
hutan negara termasuk lahan yang masuk
wilayah administrasi Desa Cisantana
Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa
Barat
2 Pengelolaan lahan di
TNGC
Masyarakat merasa berhak
mengakses dan mengelola
lahan TNGC meskipun sudah
ada perubahan
Negara berhak mengelola kawasan TNGC
dengan melakukan beberapa kali perubahan
peruntukan dalam rangka menjaga kelestarian
hayati dan ketersediaan air
3 Buper Ipukan Secara adminitratif berada di
Desa Cisantana Kecamatan
Cigugur Kabupaten Kuningan
Jawa Barat, sehingga
masyarakat merasa berhak pula
mengelolanya
Lokasinya sudah masuk dalam zona
pemanfaatan, yang dalam pengelolaannya
diatur kembali sesuai dengan peraturan
perundang- undangan
4 Aksesibilitas peluang
ekonomi lainnya di TNGC
Masyarakat mendapat peluang
dalam bidang pemanfaatan jasa
lingkungan dan wisata alam
Pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan
wisata alam tetap harus mempertimbangkan
keputusan pemerintah (pihak TNGC)
Sumber: Data primer, 2017
Perbedaan persepsi masyarakat Desa Cisantana
dan pemerintah selaku pengelola TNGC menjadi
sumber konflik yang terjadi di TNGC. Hal ini sejalan
dengan yang dijelaskan oleh Adiwibowo &
Pandjaitan (2012) bahwa umumnya terjadinya
konflik yang melibatkan antara masyarakat dengan
pemerintah dan/atau perusahaan disebabkan oleh
perspektif yang berbeda dalam memandang sumber
daya alam. Disatu sisi masyarakat berada di posisi
lemah yang menuntut mereka dapat bertahan hidup
dengan bergantung pada sumberdaya alam, yang
menurut mereka berlimpah dan berharap dapat
berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya
tersebut. Masyarakat memandang sumberdaya alam
di wilayah TNGC sebagai komoditi ekonomi dan
mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung
lingkungan. Menurut Nurrani & Tabba (2013)
masyarakat yang memiliki persepsi tidak baik sampai
dengan persepsi sedang terkait kelestarian
sumberdaya alam biasanya karena memandang hutan
sebagai sumber penghidupan dari sisi ekonomi
sehingga pemanfaatan sebesar-besarnya demi
peningkatan penghasilan tanpa memikirkan
keberlangsungannya.
Pemanfaatan lahan di wilayah TNGC dengan
tanaman pertanian berakibat menurunkan fungsi daya
dukung lingkungan dan rusaknya keseimbangan
keseluruhan ekosistem hutan, dan akhirnya akan
berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat luas
terutama terkait dengan persediaan air. Sementara
pemerintah melihat wilayah Gunung Ciremai sebagai
wilayah konservasi dan tangkapan air terbesar di
Jawa Barat harus dikelola dengan bijak. Melihat
persepsi yang berbeda pada masing-masing pihak,
maka diperlukan upaya pemecahan masalah yang
memberikan “win-win solution” bagi kedua belah
pihak dan atau pihak-pihak lainnya yang
berkepentingan. Seperti yang terjadi pada kasus
konflik lahan antara masyarakat dan TNI AD di
Setrojenar Kecamatan Buluspesantren Kabupaten
Kebumen atas kepemilikan lahan. Penyelesaian
dilakukan melalui pendekatan aspek legalitas, aspek
sosial dan aspek ekonomi. Aspek legalitas
resolusinya adalah melalui putusan hakim secara
legal, dari aspek sosial dilakukan melalui rekonsiliasi
dan mediasi antara TNI dan masyarakat, sementara
dari aspek ekonomi memberikan ganti rugi lahan
pertanian agar masyarakat tetap bisa bertani dan
kepentingan TNI untuk keamanan tetap terwujud
(Negara et al., 2019). Demikian pula dengan konflik
yang terjadi di TNGC, berbagai upaya penyelesaian
konflik pun dilakukan.
Obyek Konflik
Obyek yang menjadi konflik antara pengelola
TNGC dengan masyarakat Desa Cisantana yang
terkoordinir dalam KTH Rimba Alam Lestari terletak
di zona pemanfaatan (eks PHBM), tepatnya di Bukit
Ipukan. Areal tersebut termasuk pada wilayah
administrasi Desa Cisantana Kecamatan Cigugur
Kabupaten Kuningan.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
146
Luas wilayah Bukit Ipukan yang dikelola oleh
KTH Rimba Alam Lestari adalah + 6 ha. Secara
administrasi, di sebelah Utara, Bukit Ipukan
berbatasan dengan TNGC, di sebelah Timur
berbatasan dengan lembah Citenggirang TNGC, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun
Palutungan, dan di sebelah Barat dengan zona
rehabilitasi TNGC. Potensi wisata di blok Ipukan
adalah bumi perkemahan, air terjun, pertemuan satwa
liar, obyek penelitian pemandangan landscape, dan
lain-lain. Bukit Ipukan berada di Zona Pemanfaatan,
maka dapat dikatakan bahwa kemungkinan tidak
akan menimbulkan konflik baru. Namun, kini sedang
dilakukan pembukaan objek baru di Ipukan yaitu air
terjun Cipayung yang lokasinya berada dalam Zona
Rehabilitasi. Perlu disadari hal ini merupakan bibit
konflik yang kemungkinan dikemudian hari dapat
menjadi konflik. Sementara itu menurut Awang
(2007) suatu konflik dalam tata kelola sumberdaya
alam, jangan diabaikan melainkan dikelola/dibangun
solusinya. Selanjutnya harus dipastikan bahwa
kebijakan yang diputuskan harus sesuai dengan
penerapan di lapangan serta selalu melakukan
monitoring dan evaluasi.
Aktor Konflik dan Gaya Sengketa Para Pihak
Jaya & Hatma (2011) menjelaskan bahwa dalam
resolusi konflik perlu dilakukan pemetaan terhadap
semua aktor yang terlibat dalam konflik, yang
selanjutnya dideskripsikan posisi serta peran masing-
masing aktor dalam hubungan/jaringan antar aktor
tersebut. Kemudian langkah berikutnya menentukan
siapa yang menjadi aktor kunci dan aktor pendukung.
Gunawan & Subiandono (2013) mengidentifikasi
ada 13 pemangku kepentingan dalam pengelolaan
TNGC yang meliputi Balai TNGC, BAPPEDA,
Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Perhutani, Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Perikanan, PDAM
(Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kota
Cirebon), Badan Pengelola Lingkungan Hidup
Daerah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
Masyarakat Desa yang berbatasan dengan TNGC,
Swasta (Pengguna air dan Pengusaha jasa wisata)
serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para
pemangku ini memiliki peran dan kepentingan yang
berbeda-beda. Sementara terkait dengan Objek dan
Daya Tarik Taman Wisata Alam (ODTWA) di Zona
Pemanfatan TNGC diidentifikasi terdapat 15 pihak
yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Identifikasi para pihak dalam konflik ODTWA TNGC No Nama Pihak Peran / Kepentingan Terhadap Obyek Tuntutan Keterangan
1 Perhutani Menjaga kawasan hutan lindung Terwujud hutan
lindung lestari
tidak terpenuhi
2 TNGC Menjaga kawasan hutan konservasi Menjangkau seluruh
kawasan
belum terpenuhi
(SDM kurang,
Kawasan luas)
3 KTH Rimba Alam
Lestari
Mengelola ODTWA di zona pemanfaatan
seluas 6 ha
Akses untuk mencari
rejeki
Belum terpenuhi
secara optimal
4 Pemerintah Desa Memberikan dukungan kepada masyarakat
untuk mengelola ODTWA Ipukan
Mendapatkan
pemasukan guna
pembangunan desa
Belum terpenuhi
secara optimal
5 PDAM Pemanfaatan air di blok Ipukan Pemanfaatan
sumberdaya air
Terpenuhi
6 PPGC Mengelola pendakian Gunung Ciremai Akses untuk mencari
rejeki
Belum terpenuhi
secara optimal
7 Asuransi Memperolah pendapatan dari tiket Income untuk
perusahan
Belum terpenuhi
8 Dinas Pariwisata Berkepentingan ingin mengembangkan
daerah wisata di Kab. Kuningan
Menambah PAD Belum terpenuhi
9 Dinas Perhubungan Berkepentingan Ingin mendapatkan income
dari retribusi parkir
Menambah PAD Belum terpenuhi
10 KPA Cirebon Berperan mempromosikan ODTWA Ipukan
melalui media sosial dan dari mulut ke mulut
Pemasaran tersebar
luas
Belum terpenuhi
11 CV Mustika Berperan mengelola ODTWA lainnya di
kawasan zona pemanfaatan TNGC
Income untuk
perusahan
Belum terpenuhi
12 Tri Pusaka Berperan mengelola ODTWA lainnya di
kawasan zona pemanfaatan TNGC
Income untuk
perusahan
Belum terpenuhi
13 PD Aneka Usaha Berperan mengelola ODTWA lainnya di
kawasan zona pemanfaatan TNGC
Income untuk
perusahan
Belum terpenuhi
14 Pertamina Berkepentingan ingin bekerja sama
mengidentifikasi herpetofauna
Income untuk
perusahan
Belum terpenuhi
15 Pengendali Berperan sebagai mediator antara masyarakat Terjalin komunikasi Belum terpenuhi
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
147
No Nama Pihak Peran / Kepentingan Terhadap Obyek Tuntutan Keterangan
Ekosistem Hutan Dusun Palutungan Desa Cisantana dengan
pihak TNGC
yang baik secara optimal
Sumber: Data primer, 2017
Berikut peta konflik yang terjadi di TNGC (Gambar 3). Tampak hubungan pada masing-masing pihak yang
berkepentingan terhadap TNGC.
Gambar 3. Peta konflik pada zona pemanfaatan TNGC
Pemetaan Gaya Bersengketa
Sampai saat penelitian dilakukan, masyarakat
sekitar TNGC mengakui dan menerima bahwa
keberadaan TNGC sebagai hutan negara dan
Perhutani yang mewakili negara untuk mengelola
hutan. Kondisi ini merupakan suatu faktor
pendukung dalam penyelesaian konflik yang ada,
sebagaimana juga dijelaskan oleh Ambarwati,
Sasongko, & Therik (2018) bahwa pengakuan
masyarakat terhadap wilayah hutan menjadi faktor
pendukung dalam mencari upaya penyelesaian
konflik dan diajak bekerjasama dalam pengelolaan
hutan. Penyelesaian konflik memerlukan informasi
pola/gaya sengketa masing-masing aktor konflik.
Ada beberapa model dalam manajemen konflik
seperti integrasi, kepatuhan/kewajiban, kompromi,
dominasi, dan gaya menghindar. Gaya manajemen
konflik secara integrasi dinilai akan lebih baik dalam
memperbaiki hubungan pihak-pihak yang berkonflik.
Walaupun selain melihat pihak yang terlibat
pemilihan manajemen konflik juga sangat tergantung
pada tingkatan konflik itu sendiri (Lu & Wang,
2017). Pasya & Sirait (2011) menjelaskan bahwa
terdapat 5 macam gaya bersengketa para pihak, yaitu
menghindar, mengakomodasi, kompromi, kompetisi,
dan kolaborasi . Lebih lanjut Pasya & Sirait (2011)
menerangkan bahwa dasar AGATA adalah
keseimbangan antara ketegasan (assertiveness)
versus kerjasama (cooperativeness). Pada
assertiveness, yang dilihat adalah semakin tinggi
(ditandai dengan sikap agresif, egois, menekan pihak
KTH Rimba
Alam Lestari
TNGC
Dinas
Pariwisata
Dinas
Perhubungan
KPA Cirebon
PDAM
Perhutani
CV Mustika
PD Aneka Usaha
Tri Pusaka
PPGC
Pertamina
Keterangan:
: netral
: berhubungan
: berkonflik
A
B C
D
A:
Isu konflik:
perubahan
fungsi hutan;
Solusi: Izin
Buper
Palutungan
B:
Isu konflik: dobel
pengelola Buper
Palutungan.
Solusi: KTH kelola
parkir
C:
Isu konflik:
1. perubahan
fungsi hutan
2. obyek
wisata baru di
ipukan yang
berada di
zona
rehabilitasi;
Solusi:
1. Izin kelola
Ipukan
2. belum ada;
revisi zonasi
D:
Isu konflik:
aturan retribusi
Solusi:
belum ada;
lakukan
komunikasi
untuk
mengeluarkan
aturan tertulis
dengan
memperhatikan
kepentingan
kedua belah
pihak
Pemdes
Asuransi
E
E:
Isu konflik: Izin KTH perorangan
(bersifat lemah secara hukum)
Solusi: belum ada;
dibadanhukumkan dalam bentuk
Koperasi
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
148
lain, dan berprilaku non kooperatif) atau semakin
rendahnya sikap mementingkan diri/kelompok
sendiri tanpa melanggar hak pihak lain (ditandai
dengan sikap mengubah topik penyebab sengketa,
menghindari diskusi tentang sengketa, tidak ingin
membangun komitmen, dan/atau berprilaku tidak
jelas). Sementara pada cooperativeness yang dilihat
adalah semakin tinggi (ditandai dengan sikap saling
peduli terhadap masing-masing kepentingan pihak,
terjalin komunikasi yang empatik, saling menghargai
dan berusaha memuaskan satu sama lain).
Gambar 4. Gaya sengketa pihak berkonflik di TNGC, diadopsi dari Pasya & Sirait ( 2011)
Pada Gambar 4 terlihat bahwa pihak TNGC dan
KTH Rimba alam Lestari memilih untuk bergaya
kolaborasi, yaitu dicirikan dengan adanya saling
memperhatikan kepentingan antar pihak,
komunikasinya empati, dan berusaha saling
memuaskan satu sama lain, dengan tidak diburu
waktu (tersedia waktu dan energi yang cukup untuk
menangani konflik terpadu). Selain itu juga bergaya
kompromi dengan pihak Perhutani dan CV Mustika
yang dicirikan dengan adanya tindakan bersama
dalam mengambil jalan tengah saling memberi walau
sebenarnya para pihak enggan bekerjasama namun
pada saat yang bersamaan diperlukan segera jalan
keluar. Sementara itu, pihak Dinas Pariwisata dan
Dinas Perhubungan bergaya sengketa menghindar,
yaitu dicirikan dengan tidak mau membicarakan
topik sengketa yang ada dan lebih memilih berprilaku
tidak jelas. Pemerintah Desa tampak lebih banyak
mengakomodir kepentingan masyarakat Desa
Cisantana (KTH Rimba Alam Lestari). Demikian
pula dengan pihak Asuransi yang berkepentingan
mengakomodir kegiatan pengelolaan Ipukan melalui
tiket pengunjung.
Mekanisme Penyelesaian Konflik
Pasya dan Sirait (2011) menjelaskan bahwa
bilamana terdapat gaya pihak yang menunjukkan
gaya-gaya kompromi, akomodasi dan kolaborasi,
maka modal sosial yang dimiliki oleh pesengketa
setidaknya cukup untuk memulai mediasi. Apabila
gayanya adalah kompetitif (bersaing) dan/atau
agitatif (menyerang), maka perlu membangun
kepercayaan timbal balik (mutual trust) semua pihak
yang bersengketa. Selain itu diperlukan juga
meyakinkan para pihak bahwa manfaat bersama yang
diperoleh melalui perundingan. Sementara, bila gaya
para pihak adalah menghindar, maka perlu
melakukan intensifikasi sengketa secara konstruktif,
yakni dalam kesempatan terpisah ada pihak yang
mengajak semua pihak untuk mau dan bersedia
menyampaikan pendapatnya atas
ketidaksepahaman/perbedaan yang dimiliki. Selain
itu, berupaya meyakinkan para pihak bahwa
perbedaan tersebut harus saling diutarakan dalam
suatu kesempatan bersama yang kondusif sehingga
semua pihak mau hadir dan bertemu.
Kompetisi: -
Kolaborasi:
- TNGC
- KTH
Mengakomodasi:
- Pemdes
- Asuransi
Menghindar:
- Dinas Pariwisata
- Dinas Perhubungan
Kompromi:
- Perhutani
- TNGC
- KTH
- CV Mustika
Kerjasama
Ketegasan
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
149
Gambar 5. Hasil kajian alur pegambilan keputusan penyelesaian konflik di TNGC, diadopsi dari Pasya & Sirait ( 2011)
Berdasarkan gaya bersengketa para pihak yang
terkait dengan konflik tenurial yang terjadi di
kawasan TNGC (Gambar 5), maka dengan gaya
akomodasinya, pemerintah desa mengadakan
pertemuan antara perhutani, pengelola TNGC, CV
Mustika, serta pesanggem dari Desa Cisantana yang
masing-masing bergaya sengketa kolaborasi dan
kompromi. Hasil pertemuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Isu konflik dalam hal ini adalah perubahan status
yang menyebabkan terjadinya pertentangan atau
konflik tenurial antara petani penggarap
(pesanggem) dengan pengelola TNGC.
Perubahan status Gunung Ciremai yang terjadi
beberapa kali, memberikan ruang transisi kepada
masyarakat setempat, dimana pada saat Gunung
Ciremai masih sebagai hutan produksi, Perhutani
sebagai pengelola membuat kebijakan memberi
peluang kepada masyarakat setempat untuk
berpartisipasi dalam beberapa kegiatan
pengelolaan hutan. Diantaranya dengan program
prosperity approach di dalam kawasan hutan
tahun 1984 dan di luar kawasan hutan melalui
PMDHT pada tahun 1994, hingga penerapan
program PHBM. Masyarakat
penggarap/pesanggem meminta tenggang waktu
selama 3 (tiga) tahun untuk menggarap lahan
2. Pihak TNGC memberikan peluang kepada
masyarakat setempat untuk mengelola Buper
Palutungan. Namun, karena kemudian diserahkan
pada pihak swasta (CV Mustika) maka kedua
belah pihak berkompromi agar KTH
diperbolehkan mengelola parkir di Buper
Palutungan. Sebagai gantinya, pihak TNGC
Kompetisi/Agitasi:
Masyarakat Desa Cisantana
dengan TNGC perihal perubahan
status hutan terkait dengan
aksesibilitas masayarakat Desa
Konstruktif
Destruktif
Mediasi
Arbitrasi
Litigasi
Pemetaan partisipatif Penguatan status lahan
Penegakan hukum
Melakukan upaya De-
eskalasi: membangun
mutual trust
Kolaborasi
-TNGC
-KTH (dulu
Pesanggem)
Akomodasi -Pemerintah Desa
-Asuransi
Kompromi -Perhutani
-TNGC
-KTH (dulu Pesanggem)
-CV. Mustika
Upaya penyadaran
konflik
Menghindar
-Dinas Pariwisata -Dinas Perhubungan
Negosiasi
Fasilitasi
-aturan restribusi
-revisi zonasi
-izin kelola dalam
kelembagaan
koperasi
Izin Buper
Palutungan
KTH kelola parkir
Izin kelola Ipukan
-Perhutani -TNGC
-CV Mustika
-KTH (dulu Pesanggem)
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
150
memberikan lokasi wisata Ipukan untuk dikelola
oleh KTH.
3. Pihak TNGC bersedia memberikan retribusi
parkir kepada pemerintah daerah (dalam hal ini
Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan) dengan
syarat pemerintah daerah turut berkontribusi
memfasilitasi ruang parkir di luar kawasan.
Dalam hal ini pihak pemda mengambil gaya
sengketa menghindar; belum bereaksi/belum
memberikan aturan yang pasti perihal retribusi
parkir di kawasan wisata alam TNGC.
4. Pembukaan objek wisata baru di Ipukan (air
terjun Cipayung yang berada di zona rehabilitasi)
harus mendapatkan perhatian khusus dan segera
ditangani agar kedepan tidak menimbulkan
konflik. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan revisi terhadap zonasi yang sudah ada.
5. Izin kelola pada KTH masih bersifat perorangan,
sehingga sifatnya secara hukum lemah. Untuk itu
KTH perlu dilegalkan dalam bentuk koperasi dan
dapat bersinergi dengan pemdes dalam
pengembangannya.
KESIMPULAN
Konflik yang dominan terjadi di TNGC adalah
berakar pada perubahan status fungsi hutan dari
produksi ke fungsi lindung dan kemudian fungsi
konservasi, yang berakibat pada perubahan pihak
yang berwenang melakukan pengelolaan kawasan
hutan. Sejarah panjang pengelolaan hutan di kawasan
tersebut pada akhirnya berdampak terhadap kegiatan
perekonomian masyarakat sekitar TNGC. Beberapa
aktor dominan yang terlibat adalah masyarakat petani
Desa Cisantana (KTH), pemerintah desa, Perhutani,
TNGC, CV Mustika, Swasta dan Pemerintah Daerah
(Dinas Perhubungan dan Dinas Pariwisata). Masing-
masing pihak mempersoalkan aksesibilitas mereka
dalam mengelola buper Palutungan. Masyarakat
petani merasa yang paling dirugikan karena tidak
diberi kesempatan bertanam lagi di lahan TNGC dan
tidak dilibatkan dalam pengelolaan B
uper. Sementara CV Mustika memiliki izin secara
sah oleh pemerintah untuk mengelola buper. Selain
itu, pemerintah desa juga merasa berhak menerima
pemasukan dari buper, karena lokasi buper berada
dalam administrasi desanya.
Dalam berkonflik, masing-masing pihak memiliki
gaya sengketa yang berbeda. Dengan gaya
akomodasinya, pemerintah desa mengadakan
pertemuan antara Perhutani, pengelola TNGC, CV
Mustika, dan pesanggem dari Desa Cisantana yang
masing-masing bergaya sengketa kolaborasi dan
kompromi. Masing-masing pihak tersebut, difasilitasi
dan dimediasi untuk mengusulkan (1) izin kelola
Patulungan di bagian kelola parkir, serta (2) izin
Kelola Ipukan, sebagai guide pariwisata, sehingga
mendapatkan legalitas pengelolaan sekaligus
pengakuan. Dalam hal ini, peran pihak luar yang
tidak ada hubungan konflik seperti Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
LSM lingkungan atau pihak akademisi sangat
diperlukan agar terwujud penyelesaian konflik. Bagi
pihak yang bergaya sengketa menghindar, perlu
melakukan komunikasi intensif antara kedua belah
pihak agar menyadari adanya konflik dan/atau
merubah gaya sengketanya menjadi berkompromi.
Selain itu konflik yang belum muncul ke permukaan,
seperti lokasi wisata baru yang terletak di zonasi
rehabilitasi dan izin KTH yang bersifat individu,
hendaknya segera ditangani, agar dikemudian hari
tidak muncul menjadi konflik besar.
Perlu disampaikan pula, bahwa paper ini
memiliki kelemahan, yakni belum detil menjelaskan
cara pengukuran penempatan aktor dalam kuadran
gaya berkonflik. Untuk itu diharapkan, ada kajian
lebih lanjut untuk memvalidasi metode analisis gaya
berkonflik menjadi lebih terukur.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry dan Balai Pendidikan dan Pelatihan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kadipaten atas
bantuan sarana dan prasarananya, serta staf TNGC
dan masyarakat Desa Cisantana yang telah bersedia
berpartisipasi dalam penelitian.
KONTRIBUSI
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah berperan
sebagai kontributor utama dalam artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S., Pandjaitan, N.. Zainuddin, S., & Soetarto,
E., (2012) Kontestasi dan konflik memperebutkan emas
di Poboya. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2),
145–159.
Alviya, I. (2006). Penetapan hutan lindung Gunung
Ciremai menjadi taman nasional dan dampaknya bagi
masyarakat sekitar kawasan. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, 3(2), 87–94.
Astri, H. (2012). Penyelesaian konflik sosial melalui
penguatan kearifan lokal. Jurnal Aspirasi, 2(2), 151–
162.
Awang, S. A. (2007). Politik Kehutanan Masyarakat.
Yogyakarta: Center for Critical Social Studies (CCSC).
Pemetaan Konflik Taman Nasional Gunung Ciremai di…
(Maria Palmolina dan Eva Fauziyah)
151
Bonsu, N. O., Dhubháin, Á. N., & O’Connor, D. (2019).
Understanding forest resource conflicts in Ireland: A
case study approach. Land Use Policy, 80, 287–297.
Endah Ambarwati, M., Sasongko, G., & M.A Therik, W.
(2018). Model dinamika konflik tenurial pada kawasan
huta (Case in BKPH Tanggung KPH Semarang).
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2), 112-120
Gamin, G., Kartodihardjo, H., Kolopaking, L. M., & Boer,
R. (2014). Menyelesaikan konflik penguasaan kawasan
hutan melalui pendekatan gaya sengketa para pihak di
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lakitan. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, 11(1), 71–90.
Gamin. (2017). Bahan Ajar Pemetaan Konflik Tenurial:
Rapid Land Tenure Assesment (RaTA). Kadipaten:
Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Gunawan, H., & Subiandono, E. (2013). Kondisi biofisik
dan sosial ekonomi dalam konteks restorasi ekosistem
Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal
Rehabilitasi Hutan, 1(1),17–37.
Hakim, L., Aldianoveri, I., Bangsa, I. K., & Guntoro, D. A.
(2018). Peran dan dampak konflik tenurial bagi
pemgelolaan keanekaragaman hayati di kawasan Cagar
Biosfer di Jawa Timur. Jurnal Hutan Tropis, 6(1), 43–
51.
Hakim, N., Murtilaksono, K., & Rusdiana, O. (2016).
Konflik penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak Kabupaten Lebak. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, 4(2), 128–138.
Harun, M. K., & Dwiprabowo, H. (2014). Model resolusi
konflik di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi
Model Banjar. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi
Kehutanan, 11(4), 265–280.
Hogl, K., Kleinschmit, D., & Rayner, J. (2016). Achieving
policy integration across fragmanted policy domains.
Forest Agricultur Climate dan Energy, 34, 299–414.
Jaya, I., & Hatma, P. (2011). Resolusi konflik dalam kerja
pengembangan masyarakat. Jurnal Dakwah UIN Sunan
Kalijaga, 12(1), 1–16.
Kadir, A., Nurhaedah, M., & Purwanti, R. (2013). Konflik
pada kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan upaya
penyelesaiannya. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan, 10(3), 186–198.
Kausar. (2010). Konflik kepentingan dibalik konservasi di
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Provinsi
Jambi. Indonesian Journal of Agricultural Economics (
IJAE ), 2(1), 132–149.
Lu, W., & Wang, J. (2017). The influence of conflict
management styles on relationship quality: The
moderating effect of the level of task conflict.
International Journal of Project Management, 35,
1483–1494.
Marina, I., & Dharmawan, H. (2011). Analisis konflik
sumberdaya hutan di kawasan konservasi. Sodality:
Jurnal Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia, 05(01), 90–96.
Maryudi, A., Citraningtyas, E. R., Purwanto, R. H.,
Sadono, R., Suryanto, P., Riyanto, S., & Siswoko, B.
D. (2016). The emerging power of peasant farmers in
the tenurial conflicts over the uses of state forestland in
Central Java, Indonesia. Forest Policy and Economics,
67, 70–75.
Muspawi, M. (2014). Manajemen konflik (upaya
penyelesaian konflik dalam organisasi). Jurnal
Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 16(2),
41–46.
Negara, Y. C., Tippe, S., & Wahyudi, B. (2019). Resolusi
konflik lahan di Kecamatan Buluspesantren Kabupaten
Kebumen. Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, 5(1),
59–86.
Nurrani, L., & Tabba, S. (2013). Persepsi dan tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam
Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi
Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi
Kehutanan, 10(1), 61–73.
Pasya, G., & Sirait, M. T. (2011). Analisa Gaya
Bersengketa (AGATA): Panduan Ringkas untuk
Membantu Memilih bentuk Penyelesaian Sengketa
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: The Samdhana
Institute.
Purwawangsa, H. (2017). Instrumen kebijakan untuk
mengatasi konflik di kawasan hutan konservasi. Jurnal
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 4(1),
28–47.
Riggs, R. A., Sayer, J., Margules, C., Boedhihartono, A.
K., Langston, J. D., & Sutanto, H. (2016). Forest tenure
and conflict in Indonesia: Contested rights in Rempek
Village, Lombok. Land Use Policy, 57, 241–249.
Sahide, M. A. K., Maryudi, A., Supratman, S., & Giessen,
L. (2016). Is Indonesia utilising its international
partners? The driving forces behind forest management
units. Forest Policy and Economics, 69, 9–20.
Satriani, S., Golar, G., & Ihsan, M. (2013). Persepsi dan
sikap masyarakat terhadap penerapan program
pemberdayaan di sekitar Sub Daerah Aliran Sungai
Miu (kasus Program SCBFWM di Desa Simoro
Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi). Jurnal Warta
Rimba, 1(1), 1–10.
Sriyanto, A. (2007). Penyelesaian konflik berbasis budaya
lokal. Ibda: Jurnal Studi Islam dan Budaya, 5(2), 286–
301.
Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Yasmi, Y., Guernier, J., and C.J.P. (2009). Positive and
negatif aspects of forestry conflict: Lessons from a
decentralized forest management in Indonesia.
International Forestry Review, 11(1), 98-110
Zainuddin, D. (2016). Analisis penanganan konflik antar
organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara (Medan)
dan Jawa Tengah (Surakarta). Jurnal Hak Asasi
Manusia, 7(1), 11–20.
Jurnal WASIAN Vol.7 No.2 Tahun 2020:137-151 ISSN: 2502-5198
E ISSN: 2355-9969
DOI: 10.20886/jwas.v7i2.5393
152
,
ISI VOLUME 7
Nomor 1
Muhammad Abdul Qirom dan Acep Akbar
Model Volume Kelompok Jenis Pohon Pada Hutan Rawa Gambut
di IUPHHK PT. Tingang Karya Mandiri, Kalimantan Tengah
The Volume Model of Tree Species Group in Peat Swamp Forest
at Logging Concession Area of Tingang Karya Mandiri, Central Kalimantan 1
Agung Wahyu Nugroho dan Heru Dwi Riyanto
Studi Intensitas Cahaya di Sempadan Sungai Hutan Produksi Jati
KHDTK Cemoro Modang
Study of Light Intensity in Riparian Zone of Teak Production Forest
in KHDTK Cemoro Modang 15
Baharinawati W. Hastanti dan Freddy J. Hutapea
Analisis Tingkat Kerentanan Terhadap Banjir Bandang Berdasarkan
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan di Wasior,
Teluk Wondama, Papua Barat
Analysis of Vulnerability Levels to The Flash Flood Based
on Social Economic and Institutional Factors in Wasior, Teluk Wondama, West Papua 25
Fajar Lestari dan Beny Rahmanto
Toksisitas Ekstrak Bahan Nabati Dalam Pengendalian Hama
Achatina fulica (Ferussac, 1821) Pada Tanaman Nyawai (Ficus variegata (Blume))
The Plants Extract Toxicity Againts Achatina fulica (Ferussac, 1821)
in Nyawai Ficus variegata (Blume) 39
Tri Sulistyati Widyaningsih, Eva Fauziyah, dan Devy Priambodo Kuswantoro
Pengolahan dan Nilai Tambah Bambu di Tasikmalaya, Jawa Barat
Processing and Added Value of Bamboo in Tasikmalaya, West Java 51
Naning Yuniarti
Teknik Invigorasi Pada Benih Nyamplung(Calophyllum inophyllum L.)
Selama Penyimpanan
The Invigoration Techniques of Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Seeds
During The Storage 65
Nomor 2
Dani Pamungkas dan Siswadi
Pengaruh Naungan Pohon dan Teknik Pemangkasan Cabang Terhadap
Produktivitas Buah Tanaman Kayu Ules (Helicteres isora Linn.) di Habitat Alaminya
The Effect of Tree Shade and Pruning Techniques on Screw Tree (Helicteres isora Linn.)
Fruit Productivity in the Natural Habitat 73
Mujahidah Sylviari Zaenal, Tatang Tiryana dan Muhdin
Model Alometrik untuk Estimasi Biomassa Pohon Pada Hutan Lahan Kering
Sekunder di Halmahera Timur
Allometric Models for Estimating Tree Biomass of Dryland Secondary Forest
in East Halmahera 87
Arif Irawan, Iwanuddin, Jafred E Halawane dan Fuad Muhammad
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah dan Perlakuan Ekstraksi Terhadap Daya
Kecambah Benih Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq)
Effect of Fruit Maturity and Extraction Treatment on Germination Percentage
of Langusei (Ficus minahassae (Teysm.et.Vr.) Miq) 103
Ratih Madya Septiana, Nunuk Supriyanto dan Slamet Riyanto
Karakteristik Sosio Demografi dan Produktivitas Pekerja Pemanenan
Daun Kayu Putih di RPH Nglipar, KPH Yogyakarta
Socio Demographic Factors and Work Performance of Forest Workers
in Cajuput Leaf Harvesting at RPH Nglipar, KPH Yogyakarta 111
Ivan Permana Putra
Potensi Beberapa Jamur Pangan Liar yang Bernilai Ekonomi
di Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
The Potency of Some Wild Edible Mushrooms with Economic Value
in Belitong Island, The Province of Bangka Belitung 121
Maria Palmolina dan Eva Fauziyah
Teknik Invigorasi Pada Benih Nyamplung(Calophyllum inophyllum L.)
Selama Penyimpanan
The Invigoration Techniques of Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Seeds
During The Storage 137
INDEKS PENULIS VOLUME 7
A
Akbar, Acep 1
F
Fauziyah, Eva 51, 137
H
Halawane, Jafred E 103
Hastanti, Baharina W. 25
Hutapea, Freddy J. 25
I
Irawan, Arif 103
Iwanuddin 103
K
Kuswantoto, Devy Priambodo 51
L
Lestari, Fajar 39
M
Muhammad, Fuad 103
Muhdin 87
N
Nugroho, Agung Wahyu 15
P
Palmolina, Maria 137
Pamungkas, Dani 78
Putra, Ivan Permana 121
Q
Qirom, Muhammad Abdul 1
R
Rahmanto, Benny 39
Riyanto, Heru Dwi 15
Riyanto, Slamet 111
S
Septiana, Ratih Madya 111
Siswadi 78
Supriyanto, Nunuk 111
T
Tiryana, Tantang 87
W
Widyaningsih, Tri Sulistyati 51
Y
Yuniarti, Nanin 65
Z
Zainal, Mijahidh Sylviari 87
INDEKS KATA KUNCI VOLUME 7
A
Achatina fulica (Ferussac, 1821) 39
Akurasi 1
Anyaman 51
B
Bahan nabati 39
Bambu 51
Banjir bandang 25
Belitong 121
Benih 63
C
Cahaya 15
Calophyllum inophyllum L 63
D
Daya kecambah 103
E
Ekonomi 25,121
Ekstraksi 103
G
Gaya konflik 137
Gunung Ciremai 137
H
Hutan sekunder 87
Hutan produksi jati 15
I
Invirogasi 63
J
Jamur pangan liar 121
Jenis campuran 87
K
Kayu 1
Kayu Putih 111
Kayu ules 73
Keberlanjutan 121
Kelembagaan 25
Kemasakan buah 103
Kerentanan 25
Konsentrasi 39
L
Kualitas buah 73
Langusei 103
M
Masyarakat 137
Model alometrik 87
N
Naungan pohon 73
Nilai tambah 51
Non anyaman 51
Non-linear 1
Nyamplung 63
P
Pemanenan 111
Pemetaan 137
Pengambilan sampel destruktif 87
Pengolahan 51
R
REDD+ 87
Rekalsitran
S
Sempadan sungai 15
Sosial 25
Sosio demografi 111
T
Teknik pemangkasan 73
Toksisitas 39
V
Viabilitas 63
JURNAL WASIAN Wahana Informasi Penelitian Kehutanan
VOL. 7 NO. 2, Desember 2020 e-ISSN: 2502-5198, p-ISSN:2355-9969
Pedoman Penulisan
1. Jurnal Wasian adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Manado. Jurnal ini menerbitkan tulisan dari hasil penelitian bidang kehutanan.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 1,5 spasi
pada kertas A4, minimal 10 halaman dan maksimal 16 halaman. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong
3 cm. Tidak menggunakan fasilitas page break.
3. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris); nama penulis (tanpa
gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa
inggris dan 250 kata dalam bahasa indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5
kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan
penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; kesimpulan; saran; ucapan terima kasih; daftar pustaka
(hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 12 kata, hindari kata "analisis", "studi", "pengaruh")
Penulis l1 dan Penulis 22 1Nama instansi/lembaga Penulis 1
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2Nama instansi/lembaga Penulis 2
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
(jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja)
E-mail penulis 1 dan 2:
Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4- 5 kata/frasa
Abstract: Abstract in english (max. 200 words) Keywords: 4 - 5 words/phrase
PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi keterbaruan, justifikasi ilmiah, kontribusi terhadap perkembangan IPTEK,
kepentingan/manfaat dari penelitian, dan diakhiri dengan rumusan masalah dan atau hipotesis serta tujuan
penelitian.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian berisi waktu penelitian, lokasi penelitian dan metode yang digunakan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil harus menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, serta merupakan hasil analisis di wilayah penelitian
yang relevan dengan tema sentral kajian. Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus pada interpretasi dari
hasil yang diperoleh dan bukan merupakan pengulangan dari bagian hasil
Subbab
……….
KESIMPULAN
Kesimpulan adalah intisari pembahasan yang menjawab permasalahan/tujuan penelitian, ditulis singkat dan jelas.
Kesimpulan bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan
SARAN
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Jumlah minimal pustaka acuan sesuai PerKa LlPl No. 04lE|2012 tentang Pedoman Karya Tulis llmiah, jumlah
minimal pustaka acuan untuk artikel hasil penelitian adalah 10 pustaka, sedangkan untuk artikel review sejumlah
25 pustaka. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun
terakhir (80 %) dan diutamakan lebih banyak dari pustaka primer (80%). Pustaka acuan dengan kategori primer
adalah artikel-artikel yang dipublikasikan pada berkala ilmiah, baik di jurnal nasional maupun internasional.
Sumber pustaka dituliskan dengan mengikuti tatacara (style) yang dikeluarkan oleh APA (American
Psychological Association)
4. Abstrak ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya
temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
5. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman
sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut.
a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar
diletakkan di bawah gambar.
b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.
c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel
sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.
d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif.
e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi
Contoh Penyajian Tabel:
Tabel 1. Matriks SMORPH
Bentuk lereng Sudut kelerengan (%)
A
(0-15 %)
B
(15-25 %)
C
(25-45 %)
D
(45-65 %)
E
(>65 %)
Cembung Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang
Datar Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi
Cekung Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
Keterangan :
Kerentanan Longsor Rendah = Stable (stabil)
Kerentanan Longsor Sedang = Caution (waspada)
Kerentanan Longsor Tinggi = Unstable (tidak stabil)
6. Cara penulisan ramus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan menggunakan
fasilitas FORMULA pada Microsoft Word Contoh :
𝐵𝑛 = 𝑉𝑛 × 𝐵𝐽𝑛
7. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun.
Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah
titik dua. Untuk rujukan tiga penulis atau lebih menyebutkan nama akhir penulis pertama diikuti dengan et al.
Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya.
Contoh :
• Buiter (2007:459) berpendapat bahwa...
• Fatimah & Daryono (1997) menunjukkan adanya...
• Rauste et al. (2006) menyimpulkan bahwa...
• Tingkat keberhasilan perbanyakan jati dengan kultur jaringan ……… (Suhartati dan Nursamsi, 2007)
• Maya (2009) berpendapat bahwa...
8. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya dan dicantumkan juga dalam daftar
pustaka. Contoh:
Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan:
Yunandar (2011) berpendapat bahwa...
Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka:
Yunandar. (2011). Pemetaan kondisi karang tepi (fringging reef) dan kualitas air pantai angsana
Kalimantan Selatan. Jurnal Bumi Lestari, 11(1),50-57.
9. Daftar pustaka ditulis berurut secara alphabet dari penulis dengan urutan penulisan sebagai berikut :
a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota penerbit. Nama penerbit.
Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (ed.) di belakang namanya. Ditulis (eds.) jika editornya lebih
dari satu orang.
Nei, M. (1987). Moleculer Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.
Tjitrosoepomo, G. (1994). Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama pengarang. tahun. Judul tulisan/karangan. dalam
Nama editor, Judul buku (halaman). Kota penerbit: Nama penerbit.
Loeb, R. E. (2009). Biogeography of invasive plant species in Urban Park Forests, dalam Kohli, R.
K., S. Jose, Singh, H. P., Batish D. R. (eds.), Invasive Plants and Forest Ecosystems (p. 105-132).
United States of America: CRC Press.
c. Format rujukan dari artikel dalam Prosiding ditulis: Nama pengarang. tahun. Judul tulisan/karangan.
dalam nama editor, nama pertemuan (halaman). Kota penerbit. Nama penerbit.
Kusmana, C., Asrinata, S. P., & Djamhuri, E. (2013). The effect of submersion and fruit treatment to
seed germination and Initial Growth of Bintaro (Cerbera Manghas Linn) Seedling. dalam Langi, M.,
Tasirin, J. S., Walangitan, H., dan Masson, G. (eds), International Conference
“Forest And Biodiversity” (p.03-16). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado.
d. Format rujukan dari artikel dalam jurnal: Nama pengarang. Tahun. Judul tulisan/karangan. Nama jurnal,
Volume (nomor), halaman
Pitopang, R., & Gradstein, R. (2004). Herbarium Celebense (CEB) dan peranannya dalam menunjang
penelitian taksonomi tumbuhan di Sulawesi. Jurnal Biodiversitas, 5(1), 36-41.
e. Format rujukan dari Thesis/Desertasi: Nama pengarang. Tahun. Judul. Nama Universitas, Kota.
Rosi, A. G. 2014. Implementasi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pada Unit KPH
Produksi Model Poigar. Thesis tidak diterbitkan, UGM, Yogyakarta.
Pengiriman Artikel
1. Artikel yang dikirim berupa softcopy ke ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JWAS
2. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta,
belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya dengan cara mengisi blanko
Klirens Etik yang dapat diperoleh dari website di atas.
3. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari luar instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado sebaiknya disertai dengan surat
pengantar dari instansi/institusinya.
4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan
dikembalikan.
Alamat Jurnal Wasian:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado 95259, Provinsi Sulawesi Utara,
Indonesia
Telp. (0431) 7242949
e-mail: [email protected]
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN MANADO