good tourism governance dalam pengelolaan kampung wisata
TRANSCRIPT
GOOD TOURISM GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KAMPUNG
WISATA DI KAWASAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA
GOOD TOURISM GOVERNANCE IN TOURISM VILLAGE MANAGEMENT IN
KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA
Oleh: Isna Khoirul Hidayat dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si., Fakultas Ilmu Sosial UNY,
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam penerapan prinsip Good Tourism
Governance dalam pengelolaan kampung wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta. Desain
penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik analisis data menggunakan teknik
menurut Pohan, mencakup analisis langkah permulaan (pengolahan) dan langkah lanjut (penafsiran).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip good tourism governance dalam pengelolaan kampung
wisata di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta sudah diterapkan, namun penerapannya masih belum
optimal. Hal tersebut terlihat dari: keaktifan dan sinergitas pemangku kepentingan belum sepenuhnya
terwujud, hanya masyarakat tertentu yang aktif berpartisipasi, program pelatihan masih belum
berkelanjutan, manfaat kampung wisata dan kemitraannya belum dirasakan secara luas dan belum
mampu mendorong kepemilikan lokal, aspirasi masyarakat terhenti pada akar rumput, promosi masih
minim dan berdiri sendiri-sendiri, serta pedoman monitoring dan evaluasi kampung wisata masih
sederhana tanpa ada indikator khusus guna mengukur dampak dari kegiatan wisata yang dilakukan.
Prinsip Good Tourism Governance tersebut perlu dioptimalkan apabila kampung wisata di kawasan
Kotagede hendak dijadikan alternatif wisata yang berdaya saing.
Kata kunci: Good Tourism Governance, Kampung Wisata, dan Kotagede
ABSTRACT
This research aimed to understand the application of Good Tourism Governance principles in
tourism village management in Kotagede Kota Yogyakarta. The design of this research was
descriptive research with qualitative approach. The researcher used data analysis technique by
Pohan, include startup step (processing) and advanced step (interpretation). The results showed that
the good tourism governance principle in tourism village management in Kotagede has not optimal
applied yet. First, the synergy between stakeholders has not realized yet and only certain members of
the community which were actively participated. Second, sustainability of training programs has not
reached yet. Third, the benefits of tourism village and it’s partnership has not widely felt and able to
encourage local ownership yet and the community aspirations has been stalled at the grassroots,
Then, the promotional activities was still minimum and carried out independently. Last, the
guidelines for monitoring and evaluation steps was very simple without specific indicators to measure
the impact of tourism activities. The principle of Good Tourism Governance need to be optimized in
Kotagede, so it can be a competitive tourism alternative in Yogyakarta.
Keywords: Good Tourism Governance, Tourism Village, and Kotagede
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
545
PENDAHULUAN
Pertumbuhan sektor pariwisata tentu
tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam
menentukan arah pembangunan nasional
yang terwujud dalam berbagai kebijakan.
Semenjak diundangkannya Undang-Undang
No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
maka pada prinsipnya keseluruhan
kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan
di Indonesia harus mendasarkan diri pada
prinsip dan kaidah yang terdapat pada
Undang-Undang tersebut beserta segenap
peraturan perundangan pelaksanaannya.
Mandat penting yang ditetapkan dalam UU
No. 10 tahun 2009, terutama terkait dengan
penyelenggaraan kepariwisataan di
Indonesia yakni diberikannya kewenangan
kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk menyusun dan menetapkan rencana
induk pembangunan kepariwisataan sesuai
dengan tingkatan kewenangannya.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
menjadi salah satu daerah di Indonesia yang
cukup mampu mengelola kekayaannya
meliputi alam, budaya, sosial, sejarah
maupun pendidikan menjadi wisata yang
berdaya saing. Meskipun dalam
pelaksanaannya diketahui bahwa kegiatan
wisata di DIY masih terpusat di beberapa
wilayah dan kurang terdistribusi. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.
sebagai berikut.
Tabel 1. Data Jumlah Wisatawan di DIY
Tahun 2014-2016
(Sumber: Buku Statistik Kepariwisataan
DIY 2014-2016, diolah)
Kota Yogyakarta sebagai bagian dari
Daerah Istimewa Yogyakarta mengarahkan
pengembangan wisatanya pada beberapa
area. Haryadi Suyuti (Walikota
Yogyakarta) memaparkan bahwa destinasi
baru yang sedang dibangun oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta meliputi area
Kraton, Prawirotaman dan Kotagede.
Adapun ketiga lokasi ini diproyeksikan
menjadi destinasi wisata baru yang
dikembangkan di Kota Yogyakarta.
(Yanuar H., 28 Mei 2017, diakses pada
Liputan6.com hari Senin, 30 Oktober
2017).
Salah satu daya tarik yang potensial
dikembangkan di Kota Yogyakarta adalah
kampung wisata. Kampung wisata sebagai
Obyek Daya Tarik Wisata baru minat
khusus yang berbasis potensi wilayah
kampung memiliki peranan strategis dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekaligus dalam upaya meningkatkan
kunjungan wisatawan (Dorojati & Astuti,
2016:73-86). Pemerintah Kota Yogyakarta
kemudian memperjelas dasar hukum dalam
Kota/ Kab.
Jumlah Wisatawan DIY
(dalam juta orang)
2014 2015 2016
Yogyakarta 5,25 5,62 5,52
Sleman 4,22 4,95 5,94
Bantul 2,71 4,52 5,15
Kulon Progo 0,91 1,29 0,83
Gunung Kidul 3,68 2,64 3,48
TOTAL 16,78 19,02 20,92
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
546
penyelenggaraan dan pengembangan
kampung wisata sekaligus mempertegas
keberadaan kampung wisata dengan
dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta Nomor 3 tahun 2015 tentang
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2015-2025 dan Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 115 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Kampung Wisata.
Hingga saat ini terdapat 17 kampung
wisata di Kota Yogyakarta yang sudah
dikukuhkan oleh pemerintah, namun baru
ada satu kampung wisata yang masuk
kategori mandiri yakni Kampung Wisata
Dipowinatan. Sedangkan lima kampung
wisata masih dalam taraf rintisan dan 11
kampung wisata masuk kategori
berkembang (Putri, 12 Januari 2017,
diakses pada Republika.co.id hari Rabu, 27
September 2017). Adapun klasifikasi
tersebut berdasarkan pada pasal 14
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 115
tahun 2016 yang terdiri dari 3 klasifikasi
kampung wisata yaitu rintisan, berkembang,
dan mandiri. Klasifikasi kampung wisata
dalam hal ini didasarkan pada penilaian
yang dilakukan oleh Tim Penilai Akreditasi
yang dibentuk oleh Dinas Pariwisata Kota
Yogyakarta.
Keberadaan 17 kampung wisata
tersebar di berbagai wilayah di Kota
Yogyakarta, tiga diantaranya yakni berada
di kawasan Kotagede Kota Yogyakarta.
Seperti dipaparkan sebelumnya, kawasan
Kotagede merupakan salah satu kawasan
yang dijadikan prioritas dalam
pengembangan pariwisata oleh Pemerintah
Kota Yogyakarta. Selain terkenal dengan
wisata budaya, sejarah dan heritage
(bangunan), kegiatan wisata Kotagede juga
didukung dengan keberadaan tiga kampung
wisata yang terletak di cakupan wilayahnya.
Ketiga kampung tersebut yaitu Kampung
Wisata Rejowinangun, Kampung Wisata
Prenggan, dan Kampung Wisata Purbayan.
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti dengan bapak Budi
Harto (Ketua Pengelola Kampung Wisata
Purbayan), Ibu Shinta (Koordinator
Komunitas Jelajah Pusaka Kotagede),
Bapak Untung (Ketua Pengelola Kampung
Wisata Rejowinangun) dan Ibu Wiwik
(Ketua Pengelola Kampung Wisata
Prenggan) diketahui bahwa hanya terdapat
dua dari tiga kampung wisata di kawasan
Kotagede yang masih aktif dikelola, yaitu
kampung wisata Prenggan dan kampung
wisata Rejowinangun. Sedangkan kampung
lainnya, yaitu kampung wisata Purbayan
sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi
dikelola sebagai kampung wisata.
Layaknya kampung wisata lainnya,
kampung wisata Prenggan dan
Rejowinangun juga menghadapi sejumlah
permasalahan seperti masalah sumber daya
yang kurang memadai, kesadaran
masyarakat untuk ikut mengelola kampung
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
547
yang masih rendah, pengoranisasian atau
pelembagaan kampung wisata yang belum
baik, ketersediaan fasilitas kampung yang
kurang menunjang aktivitas wisata,
minimnya pemasaran/promosi wisata,
adanya kegiatan wisata lokal yang berdiri
sendiri di luar kampung wisata, kemitraan
yang masih kurang optimal serta rendahnya
kontrol terhadap pengelolaan kampung
wisata itu sendiri.
Upaya pemerintah dalam
menyelesaikan sejumlah permasalahan di
bidang kepariwisataan, termasuk dalam
kaitannya dengan kampung wisata,
menggunakan beberapa pendekatan atau
konsep. Pendekatan yang telah banyak
diterapkan oleh pemerintah diantaranya
Community Based Tourism, Sustainable
Tourism dan Good Tourism Governance.
Good Tourism Governance atau Tata
Kelola Kepariwisataan yang Baik
merupakan konsep yang diadaptasi dari
konsep Good Governance untuk melakukan
pengelolaan di sektor pariwisata.
Pengelolaan sektor pariwisata berdasarkan
konsep ini mengedepankan keterlibatan 3
(tiga) aktor kunci, yaitu pemerintah,
masyarakat dan swasta (Sunaryo, 2013: 77).
Ketiganya memiliki peran yang strategis
dalam pengelolaan kampung wisata,
sehingga sinergitas hubungan ketiganya
menjadi faktor yang menentukan
keberhasilan pengelolaan kampung wisata,
termasuk dalam pengelolaan kampung
wisata di kawasan Kotagede.
Prinsip pengelolaan pariwisata yang
baik oleh Cox (Pitana dan Diarta, 2009:81)
dijelaskan sebagai berikut.
1) Pembangunan dan pengembangan
pariwisata harus didasarkan pada
kearifan lokal dan special local sense
yang merefleksikan keunikan
peninggalan budaya dan keunikan
lingkungan.
2) Preservasi (pemeliharaan), proteksi
(perlindungan), dan peningkatan
kualitas sumber daya yang menjadi
basis pengembangan kawasan
pariwisata.
3) Pengembangan atraksi wisata
tambahan yang mengakar pada
kekhasan budaya lokal.
4) Pelayanan kepada wisatawan yang
berbasis keunikan budaya dan
lingkungan lokal.
5) Pemberian dukungan dan legitimasi
pada pembangunan dan
pengembangan pariwisata jika
terbukti memberikan manfaat positif
tetapi sebaliknya mengendalikan
dan/atau menghentikan aktivitas
pariwisata tersebut jika melampaui
ambang batas (carrying capacity)
lingkungan alam atau akseptabilitas
sosial walaupun di sisi lain mampu
meningkatkan pendapatan
masyarakat.
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
548
Lebih lanjut, Sunaryo (2013:78-81)
memaparkan bahwa tata kelola
kepariwisataan yang baik atau Good
Tourism Governance terdiri dari 10 prinsip.
Prinsip tersebut meliputi prinsip partisipasi
masyarakat terkait, keterlibatan pemangku
kepentingan, kemitraan kepemilikan lokal,
pemanfaatan sumber daya secara berlanjut,
aspirasi masyarakat, daya dukung
lingkungan, monitoring dan evaluasi
program, akuntabilitas lingkungan,
pelatihan masyarakat terkait, serta promosi
dan advokasi nilai budaya lokal.
Adapun permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam pengelolaan kampung
wisata di Kawasan Kotagede Kota
Yogyakarta tercakup dalam beberapa
prinsip Good Tourism Governance
(Sunaryo, 2013:78-81). Adapun kesesuaian
meliputi: 1) kondisi sumber daya yang
kurang memadai dan pengoranisasian
kampung yang belum baik mengarah pada
prinsip pemanfaatan sumber daya berlanjut,
2) rendahnya kesadaran masyarakat
meliputi prinsip partisipasi masyarakat
terkait, 3) ketersediaan fasilitas kampung
kurang menunjang wisata mengacu pada
prinsip daya dukung lingkungan, 4)
minimnya promosi wisata terkait dengan
prinsip promosi dan advokasi nilai budaya
kelokalan, 5) kegiatan wisata lokal berdiri
sendiri di luar kampung wisata terkait
prinsip keterlibatan segenap pemangku
kepentingan, 6) kemitraannya yang kurang
Berdasarkan paparan tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Good Tourism Governance (Sunaryo,
2013:77-81) dalam Pengelolaan Kampung
Wisata di Kawasan Kotagede Kota
Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami secara mendalam penerapan
prinsip Good Tourism Governance dalam
pengelolaan kampung wisata di kawasan
Kotagede Kota Yogyakarta. Pentingnya
dilakukan penelitian ini dikarenakan hasil
dari penelitian dapat memberikan gambaran
terkait kampung wisata, memberikan
masukan, serta rekomendasi kepada seluruh
pemangku kepentingan guna mewujudkan
kampung wisata di Kotagede maupun
kampung wisata di Kota Yogyakarta
sebagai obyek daya tarik wisata unggulan.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kawasan
Kotagede Kota Yogyakarta, khususnya
pada Kampung Wisata Rejowinangun dan
Kampung Wisata Prenggan. Penelitian ini
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
optimal tercakup dalam prinsip kemitraan
kepemilikan lokal, 7) serta rendahnya
kontrol pengelolaan kampung wisata
berkaitan dengan prinsip monitoring dan
evaluasi program.
549
dilakukan pada bulan 6 Februari 2018
hingga bulan 2 Juli 2018.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini yaitu: Kasi
ODTW Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta,
Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan
Kotagede, Lurah Prenggan, Lurah
Rejowinangun, Ketua Pengelola Kampung
Wisata Prenggan dan Rejowinangun,
Koordinator Komunitas Jelajah Pusaka
Kotagede, dan Marketing Supervisor dari
H.S. Silver 800-925.
Data dan Sumber Data
Data Primer diperoleh melalui
wawancara dan observasi di lapangan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari
data dokumen dari aktor yang terlibat yang
didapat di lokasi penelitian.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian
ini yaitu peneliti sendiri, didukung dengan
alat bantu penelitian berupa benda seperti
kertas, pensil atau pulpen, pedoman
wawancara, pedoman observasi, dan
smartphone yang difungsikan sebagai alat
perekam dan kamera. Validasi terhadap
peneliti meliputi validasi terkait
pemahaman metode penelitian yang
digunakan serta wawasan terkait bidang
kepariwisataan, kampung wisata dan good
tourism governance.
Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini
bersifat semi terstruktur, agar alur
pertanyaan dalam wawancara lebih
terarah, jelas dan mudah untuk dipahami
oleh informan yang ditemui.
2. Observasi
Peneliti dalam penelitian ini
melakukan observasi non-partisipatif.
Observasi dilakukan peneliti dengan
mengamati penyelenggaraan lomba
kampung wisata yang diikuti oleh
kampung wisata Prenggan dan
Rejowinangun. Peneliti juga melihat
kondisi fasilitas-fasilitas pendukung
kampung wisata, keaktifan kampung
wisata, dan pemanfaatan berbagai
sumber daya dalam pengelolaan
kampung wisata di kawasan Kotagede.
3. Dokumentasi
dokumen pendukung penelitian yang
digunakan yaitu meliputi Peraturan
Walikota Yogyakarta No. 115 tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Kampung
Wisata, bulletin Kotagede, Data
Monografi Kelurahan Kecamatan
Kotagede tahun 2017, SK Lurah
Prenggan nomor 04/KPTS/
PRENGGAN/2018 dan SK Lurah
Rejowinangun nomor 13/KPTS/RJW/
2014 yang mengatur tentang kampung
wisata, buku sekilas profil kampung
wisata rejowinangun, dan KAK
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
550
(Kerangka Acuan Kerja) fasilitasi
kegiatan ketentraman dan ketertiban
kelurahan Rejowinangun tahun 2017,
serta foto-foto kegiatan kampung wisata.
Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi sumber. Peneliti berusaha
membandingkan data hasil pengamatan
dengan wawancara, membandingkan
keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang
lain, serta membandingkan hasil wawancara
dengan isi dokumentasi.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik analisis data menurut Pohan dalam
Prastowo (2012:238-239). penelitian
kualitatif dengan metode ini mencakup dua
langkah analisis, yaitu langkah permulaan
(proses pengolahan) dan langkah lanjut
(penafsiran).
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Keberhasilan penyelenggaraan tata
kelola kepariwisataan yang baik (good
tourism governance) dapat diukur dari
terlaksananya sepuluh prinsip tata kelola
yang meliputi: keterlibatan pemangku
kepentingan, partisipasi masyarakat terkait,
pelatihan masyarakat terkait, kemitraan
kepemilikan lokal, pemanfaatan sumber
daya secara berlanjut, pengakomodasian
aspirasi masyarakat, daya dukung
lingkungan, akuntabilitas lingkungan,
promosi dan advokasi nilai budaya lokal,
serta monitor dan evaluasi program
(Sunaryo, 2013:78-81). Penerapan
kesepuluh prinsip tata kelola kepariwisataan
yang baik (good tourism governance)
tersebut dalam penyelenggaraan kampung
wisata di Kawasan Kotagede Kota
Yogyakarta yaitu sebagai berikut.
Keterlibatan Segenap Pemangku
Kepentingan
Sunaryo (2013:78) menilai bahwa
para pelaku dan pemangku kepentingan
hendaknya terlibat secara aktif dan
produktif dalam upaya pembangunan
keparwisataan. Pelaku disini meliputi
seluruh pihak yang berpengaruh dan
berkepentingan serta menerima manfaat
dari kegiatan pariwisata. Sesuai dengan
paparan teoritis dari Sunaryo tersebut,
sehingga dalam pengelolaan kampung
wisata di kawasan Kotagede Kota
Yogyakarta para pemangku kepentingan
tentu harus terlibat dalam seluruh proses
demi tercapainya tujuan dalam
penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan
yang baik.
Penerapan prinsip keterlibatan
segenap pemangku kepentingan dalam
Good Tourism Governance (Sunaryo,
2013:78) belum optimal melihat keaktifan
dan sinergitas pemangku kepentingan
belum sepenuhnya terwujud. Penerapan
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
551
prinsip tersebut sejauh ini terhambat oleh
beberapa faktor, seperti terkait minimnya
kontribusi pemerintah lokal, rendahnya
komunikasi pemerintah dengan aktor
lainnya, tidak aktifnya pokdarwis,
keberadaan pelaku wisata lain yang belum
tersinergikan, hingga terkait masalah
keaktifan organisasi pengelola kampung
wisata itu sendiri. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Ardianto
(2016:67) yang juga menyatakan bahwa
keterlibatan pemangku kepentingan masih
belum berjalan optimal dan keterlibatan
masyarakat juga masih minim.
Partisipasi masyarakat Terkait
Sunaryo (2013:78) menyebutkan
bahwa masyarakat hendaknya ikut serta
dalam mengawasi ataupun mengontrol
setiap pembangunan kepariwisataan yang
ada. Keikutsertaan dapat meliputi
keterlibatannya dalam penentuan visi, misi
atau tujuan pembangunan kepariwisataan,
pengidentifikasian potensi daya tarik wisata
beserta upaya pengembangan ataupun
pengelolaannya, hingga partisipasi dalam
pengimplementasian rencana dan program
yang telah disusun sebelumnya.
Peneliti menilai bahwa adanya
partisipasi masyarakat pada kampung
wisata di Kotagede telah dimulai sejak
pembentukan kampung wisata, perencanaan
program, pelaksanaan, hingga keikutsertaan
mengawasi aktivitas pengelolaan kampung
wisata mendukung penelitian Ardianto
(2016:65) yang menjelaskan bahwa bentuk
partisipasi masyarakat dalam mendukung
tata kelola pariwisata meliputi keikutsertaan
masyarakat membangun, memiliki dan
mengelola langsung fasilitas wisata serta
pelayanannya. Selain itu penerapan prinsip
tersebut dalam penyelenggaraan kampung
wisata di kawasan Kotagede juga sesuai
dengan Perwal Yogyakarta No. 115 tahun
2015, dimana pada pasal 5 dijelaskan salah
satu persyaratan teknis penyelenggaraan
kampung wisata yaitu penyelenggaraan
yang harusnya berbasis pada masyarakat.
Secara keseluruhan penyelenggaraan
kampung wisata di Kotagede telah sesuai
dengan prinsip partisipasi masyarakat
terkait. Akan tetapi dalam penerapan
prinsip tersebut masih terkendala beberapa
permasalahan, yakni terkait kegiatan
kampung wisata yang hanya diikuti anggota
masyarakat tertentu, komunitas lokal belum
seluruhnya diikutsertakan, masyarakat
kampung wisata yang cenderung pasif
dalam berpartisipasi, generasi muda yang
juga tidak terlalu dilibatkan, hingga terkait
rendahnya upaya pengawasan kegiatan
kampung wisata oleh masyarakat.
Pelatihan pada Masyarakat Terkait
Pembangunan kepariwisataan secara
berlanjut menurut Sunaryo (2013:80) selalu
membutuhkan pelaksanaan program-
program pendidikan dan pelatihan untuk
membekali pengetahuan dan ketrampilan
serta meningkatkan kemampuan dan
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
552
kapasitas masyarakat sebagai sumber daya
yang potensial. Pelatihan sebaiknya
diarahkan pada topik-topik pelatihan yang
berkaitan dengan wawasan keberlanjutan
pembangunan kepariwisataan. Prinsip
pelatihan pada masyarakat terkait dalam
Good Tourism Governance menurut
Sunaryo (2013:80) dapat diukur dengan
melihat ada atau tidaknya program
pendidikan dan pelatihan masyarakat terkait
kepariwisataan.
Secara keseluruhan prinsip pelatihan
terhadap masyarakat terkait telah terlihat
dari adanya berbagai program pendidikan
dan/atau pelatihan masyarakat terkait
kepariwisataan yang telah diselenggarakan
pada kampung wisata di kawasan Kotagede
Kota Yogyakarta. Berbeda dengan hasil
penelitian dari Ardianto (2016:74) yang
memaparkan bahwa pemerintah daerah
yang dalam hal ini merujuk pada Dinas
Pariwisata Kabupaten Natuna belum
menerapkan program pelatihan bagi
masyarakat terkait, pelatihan
kepariwisataan hanya pernah diberikan
kepada pegawai Dinas Pariwisata dalam
bentuk seminar ataupun workshop.
Adapun program pendidikan dan
pelatihan pada kampung wisata di Kotagede
diselenggarakan baik itu oleh pemerintah
maupun pihak swasta. Walaupun dalam
prakteknya masih terdapat beberapa
kendala dalam penyelenggaraan kegiatan
tersebut, meliputi: kegiatan dari pemerintah
yang cenderung digeneralisasikan, tidak
adanya indikator penilaian hasil ataupun
capaian program di masyarakat, hingga
masalah terkait kegiatan yang belum
dilakukan secara berkala berkelanjutan.
Kemitraan Kepemilikan Lokal
Kemitraan atau partnership dapat
diartikan sebagai hubungan yang terjadi
antara pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat dalam rangka mencapai suatu
tujuan bersama. Sunaryo (2013:78)
menjelaskan bahwa usaha-usaha wisata
sebagai fasilitas penunjang kepariwisataan
seharusnya dapat dikembangkan dan
dipelihara bersama dengan masyarakat
setempat melalui model kemitraan yang
sinergis. Lebih lanjut Sunaryo (2013:78)
juga memaparkan bahwa keterkaitan antara
swasta (pelaku-pelaku usaha) pariwisata
dengan masyarakat setempat harus
diupayakan dalam menunjang kepemilikan
lokal dari berbagai usaha tersebut.
Berdasarkan paparan tersebut maka
indikator ketercapaian dari prinsip
kemitraan kepemilikan lokal menurut
Sunaryo meliputi adanya kemitraan dalam
pengelolaan wisata dan adanya upaya
bersama dalam pengembangan dan
pemeliharaan usaha fasilitas penunjang
wisata.
Prinsip kemitraan kepemilikan lokal
dalam penyelenggaraan kampung wisata di
kawasan Kotagede terlihat jelas dari
berbagai kemitraan dan kerjasama yang
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
553
dilakukan oleh kampung wisata bersama
sejumlah pihak swasta atau pelaku usaha
pariwisata yang ada. Meskipun dalam
prakteknya penerapan prinsip tersebut
masih belum optimal. Hal tersebut
dikarenakan kebermanfaatan ataupun
dampak dari adanya kemitraan belum dapat
dirasakan oleh masyarakat kampung wisata
pada umumnya. Kemitraan juga masih
berupa Corporate Social Responsibility
(CSR) secara umum, dan belum dilakukan
khusus dengan kampung wisata. Kemitraan
disini belum mampu mendorong munculnya
kepemilikan lokal dari berbagai usaha
fasilitas penunjang wisata di Kotagede.
Kondisi kemitraan tersebut berbeda dengan
penelitian dari Ardianto (2016:69) yang
meyebutkan bahwa kemitraan kepemilikan
lokal yang terjadi di Kabupaten Natuna
hanya dengan adanya pasar oleh-oleh yang
disediakan oleh pemerintah dengan sewa
lahan usaha untuk berjualan, dimana
penyediaannya pun masih sangat terbatas.
Pemanfaatan Sumber Daya secara
Berlanjut
Setiap proses pembangunan
hendaknya diarahkan untuk menghasilkan
apa yang telah direncanakan dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia
sebaik mungkin (Jubaedah, Dawud,
Mulyadi, et al, 2008:32). Pembangunan
kepariwisataan seharusnya dapat
menggunakan sumber daya yang
dibutuhkan secara berlanjut, yang artinya
kegiatan-kegiatannya harus menghindari
penggunaan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui secara berlebihan. Program
kegiatan pembangunan kepariwisataan
dalam pelaksanaannya harus menjamin
bahwa sumber daya yang dipergunakan
dapat dipelihara dan diperbaiki (Sunaryo,
2013:79).
Pemanfaatan sumber daya dalam
penyelenggaraan kampung wisata di
Kawasan Kotagede berdasarkan temuan
hasil penelitian meliputi pemanfaatan
sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya budaya, sumber daya minat
khusus dan ditambah dengan sumber daya
modal. Hal tersebut sejalan dengan
pemaparan dari Pitana dan Diarta
(2009:68), yang menjelaskan bahwa sumber
daya dalam pariwisata diartikan sebagai
segala sesuatu yang secara langsung
maupun tidak langsung mempunyai potensi
untuk dikembangkan guna mendukung
pariwisata. Lebih lanjut Pitana dan Diarta
(2009:68) menyampaikan bahwa sumber
daya yang terkait dengan pengembangan
pariwisata umumnya berupa sumber daya
alam, sumber daya budaya, sumber daya
manusia, dan sumber daya minat khusus.
Penyelenggaraan kampung wisata di
Kotagede secara keseluruhan telah
memenuhi prinsip pemanfaatan sumber
daya secara berlanjut. Hal tersebut terlihat
dari bagaimana kedua kampung wisata
dalam memanfaatkan berbagai sumber daya
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
554
yang digunakannya dengan tanpa
mengesampingkan faktor keberlanjutan,
mulai dari pemanfaatan sumber daya alam,
manusia, budaya dan minat khusus, hingga
sumber daya modal. sejalan dengan
penelitian Ardianto (2016:70) yang
menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber
daya di Kabupaten Natuna cukup baik
dimana pemerintah memanfaatkan sumber
daya alam yang tidak berlebihan serta
pembangunan sektor wisata dianggap tidak
merusak lingkungan dan kindahan alam
yang tercipta.
Hambatan yang dihadapi lebih terkait
dengan masalah internal sumber daya
manusia organisasi kampung wisata, terkait
keterbatasan modal yang dimiliki oleh
kampung wisata itu sendiri, dan terkait
pemanfaatan sumber daya budaya yang
masih terkotak-kotak.
Mengakomodasi Aspirasi masyarakat
Aspirasi dan tujuan masyarakat
setempat hendaknya dapat diakomodasikan
dalam program kegiatan kepariwisataan,
agar kondisi yang harmonis antara setiap
komponen pariwisata yang terlibat dapat
diwujudkan dengan baik, mulai dari tahap
perencanaan, manajemen, sampai pada
pemasaran (Sunaryo, 2013:79).
Berdasarkan pemaparan tersebut maka
ketercapaian prinsip mengakomodasi
aspirasi masyarakat dapat dinilai dari ada
atau tidaknya upaya menampung,
menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat.
Sesuai dengan prinsip tersebut, pada
penyelenggaraan kampung wisata di
Kawasan Kotagede sudah terdapat upaya
guna menampung, menyalurkan, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait
kampung wisata. Kegiatan tersebut
dilakukan oleh dua aktor yakni dari
pengelola atau pengurus kampung wisata
itu sendiri serta dari pemerintah. Swasta
belum aktif terlibat dalam kegiatan tersebut
dikarenakan kerjasama yang terjalin dengan
kampung wisata masih bersifat umum dan
keduanya pun masih berdiri sendiri-sendiri
diluar kemitraan yang dilakukan. Sejalan
dengan penelitian Ardianto (2016:71) yang
menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten
Natuna juga telah merekomendasikan
aspirasi masyarakat guna mendukung
pengembangan pariwisata.
Prinsip mengakomodasi aspirasi
masyarakat meskipun telah diterapkan
namun masih kurang optimal. Adapun
penerapan prinsip tersebut terhambat oleh
keaktifan masyarakat setempat dalam
menyampaikan aspirasinya yang masih
tergolong rendah, dimana aspirasi masih
banyak terhenti pada akar rumput dan
belum tersalurkan sepenuhnya sampai pada
pengelola kampung wisata ataupun aktor
pembuat kebijakan.
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
555
Daya Dukung Lingkungan
Sunaryo (2013:79) menjelaskan
bahwa terkait daya dukung (carrying
capacity) lingkungan dalam tata kelola
kepariwisataan yang baik (good tourism
governance), yang harus dijadikan
pertimbangan utama dalam
mengembangkan berbagai fasilitas dan
kegiatan kepariwisataan meliputi daya
dukung fisik, biotik, sosial-ekonomi, dan
budaya. Sunaryo (2013:79) juga
menjelaskan bahwa pembangunan dan
pengembangan harus sesuai dan serasi
dengan batas-batas kapasitas lokal dan daya
dukung lingkungan yang ada.
Prinsip daya dukung lingkungan pada
kampung wisata di kawasan Kotagede telah
sesuai dan terpenuhi. Hal tersebut terlihat
dari bagaimana kondisi fisik, biotik, sosial-
ekonomi, dan kondisi budaya dalam
mendukung penyelenggaraan kampung
wisata dan melibatkan peran serta
pemerintah, swasta, dan masyarakat
setempat. Selain itu dalam kegiatan wisata
yang diselenggarakan pun tidak melampaui
ambang batas dari kapasitas lokal serta daya
dukung lingkungan kampung wisata itu
sendiri. Hal tersebut mendukung penelitian
Ardianto (2016:72) yang menyatakan
bahwa Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna
telah menerapkan pembangunan sektor
pariwisata sesuai dengan kapasitas yang
dimiliki, meliputi kondisi lingkungan yang
cukup aman untuk di datangi, serta
keberadaan budaya lokal yang cukup
menarik.
Akuntabilitas Lingkungan
Perencanaan program pembangunan
kepariwisataan menurut Sunaryo (2013:80)
harus selalu memberi perhatian yang besar
pada kesempatan untuk mendapatkan
pekerjan, peningkatan pendapatan dan
perbaikan kesehatan masyarakat setempat
yang tercermin dengan jelas dalam
kebijakan, program dan strategi
pembangunan kepariwisataan yang ada.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam seperti tanah, air, dan udara harus
menjamin akuntabilitas kinerja yang tinggi
serta memastikan bahwa sumber-sumber
yang ada tidak di eksplorasi secara
berlebihan. Ketercapaian prinsip
akuntabilitas lingkungan dapat diukur
dengan melihat ada atau tidaknya manfaat
bagi kualitas kehidupan dan lingkungan
masyarakat (sosial, ekonomi dan budaya)
serta ada atau tidaknya pemanfaatan sumber
daya yang menjamin kelestarian lingkungan
(alam) dengan tidak dieksploitasi berlebih.
Ketercapaian prinsip tersebut secara
keseluruhan masih belum optimal. Hal ini
dikarenakan dalam kaitannya dengan poin
kebermanfaatan bagi kualitas manusia dan
lingkungan masyarakat, khususnya
menyangkut kebermanfaatan sosial dan
ekonomi, penyelenggaraan kampung wisata
masih belum mampu memberikan pengaruh
yang besar dan luas untuk masyarakat
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
556
sekitar. Hal tersebut terhambat oleh belum
adanya pondasi yang kokoh dan jaringan
kerjasama yang luas dalam
penyelenggaraan kampung wisata, sehingga
aktivitas wisata yang dilakukan oleh
kampung wisata sendiri masih sangat
minim. Disamping itu masyarakat yang
dilibatkan dalam kegiatan kampung wisata
masih terbatas pada masyarakat tertentu.
Hal serupa juga disebutkan oleh Dorojati
dan Astuti (2016:84) dalam penelitiannya
dimana meskipun sudah terdapat organisasi
yang mengelola wisata di kampung wisata
Prenggan, namun belum dirasakan
kebermanfaatan kegiatannya bagi
masyarakat.
Promosi dan Advokasi Nilai Budaya
Kelokalan
Sunaryo (2013:80) menyebutkan
bahwa pembangunan kepariwisataan yang
berlanjut juga membutuhkan program
promosi dan advokasi penggunaan lahan
dan kegiatan yang mampu
merepresentasikan karakter tempat (sense of
place) dan identitas budaya masyarakat
setempat secara baik. Prinsip promosi dan
advokasi budaya lokal dapat diukur dengan
melihat ada atau tidaknya promosi wisata,
yang mana promosi mengedepankan
karakter tempat, nilai masyarakat dan
identitas budaya setempat.
Prinsip promosi dan advokasi nilai
budaya kelokalan belum sepenuhnya
diterapkan. Pada penyelenggaraan kampung
wisata di kawasan Kotagede Kota
Yogyakarta, penerapan prinsip masih
terhambat oleh upaya promosi yang ada
namun minim dilakukan, media promosi
seperti website yang belum dioptimalkan,
dan terbatasnya kerjasama dengan pihak
swasta ataupun pelaku wisata lokal dalam
kaitannya dengan upaya melakukan
promosi bersama. Hasil penelitian tersebut
sedikit mendukung penelitian Ardianto
(2016:53) yang menyatakan bahwa sejauh
ini Dinas Pariwisata telah melakukan upaya
promosi dan pemasaran pariwisata.
Monitoring dan Evaluasi Program
Monitoring dan evaluasi program
merupakan dua kegiatan terpadu dalam
rangka pengendalian suatu program.
Sunaryo (2013:79-80) menyampaikan
bahwa kegiatan monitoring dan evaluasi
dalam program tata kelola kepariwisataan
yang baik (good tourism governance)
mencakup mulai dari kegiatan penyusunan
pedoman, pengembangan indikator atau
batasan dalam mengukur pelaksanaan
monitoring dan evaluasi keseluruhan
kegiatan hingga evaluasi dampak kegiatan
pariwisata. Indikator ketercapaian dari
prinsip ini menurut pemahaman peneliti
meliputi: adanya pengawasan dan evaluasi
program wisata, adanya pedoman
pengawasan dan evaluasi program, serta
adanya batasan atau indikator untuk
mengukur dampak kegiatan wisata.
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
557
Ketercapaian prinsip monitoring dan
evaluasi program dalam penyelenggaraan
kampung wisata di kawasan Kotagede
disesuaikan dengan teori Good Tourism
Governance dinilai masih belum optimal.
Terdapat upaya untuk memonitor dan
mengevaluasi penyelenggaraan kampung
wisata oleh beberapa pihak berdasarkan
pada pedoman-pedoman sederhana. Hal
tersebut mendukung penelitian Ardianto
(2016:73) yang juga memaparkan bahwa
terdapat upaya evaluasi dan monitor
program kegiatan wisata yang dilakukan
oleh pemerintah.
Akan tetapi dalam prakteknya
penyelenggaraan kampung wisata belum
sepenuhnya termonitor dan terevaluasi
secara intensif. Penerapan prinsip tersebut
secara keseluruhan terhambat oleh
minimnya pendataan kegiatan kampung
wisata di Kotagede yang dapat dilaporkan,
rendahnya kesadaran masyarakat untuk
aktif terlibat melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan kampung wisata,
masih sederhananya pedoman yang
digunakan, dan kegiatan pengawasan oleh
pemerintah Kota belum secara khusus
merujuk pada masing-masing kampung
melainkan masih dilakukan secara general.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Prinsip good tourism governance
dalam pengelolaan kampung wisata di
kawasan Kotagede Kota Yogyakarta sudah
diterapkan, namun penerapannya masih
belum optimal. Hal ini dikarenakan
ketercapaian masing-masing prinsip dalam
good tourism governance belum seluruhnya
terpenuhi. Adapun penyelenggaraan
kampung wisata di Kotagede diukur
berdasarkan prinsip Good Tourism
Governance meliputi prinsip keterlibatan
pemangku kepentingan, partisipasi
masyarakat terkait, pelatihan masyarakat
terkait, kemitraan kepemilikan lokal,
pemanfaatan sumber daya secara berlanjut,
aspirasi masyarakat, daya dukung
lingkungan, akuntabilitas lingkungan,
promosi dan advokasi nilai budaya lokal,
serta monitoring dan evaluasi program.
Ketercapaian dari masing-masing prinsip
tersebut belum seluruhnya terpenuhi
dikarenakan sejumlah faktor yang
menghambat penerapannya. Faktor tersebut
meliputi keaktifan dan sinergitas pemangku
kepentingan belum sepenuhnya terwujud,
hanya masyarakat tertentu yang aktif
berpartisipasi, program pelatihan masih
belum berkelanjutan, manfaat kampung
wisata dan kemitraannya belum dirasakan
secara luas dan belum mampu mendorong
kepemilikan lokal, aspirasi masyarakat
terhenti pada akar rumput, promosi masih
minim dan berdiri sendiri-sendiri, serta
pedoman monitoring dan evaluasi kampung
wisata masih sederhana tanpa ada indikator
khusus guna mengukur dampak dari
kegiatan wisata yang dilakukan. Adapun
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
558
pengoptimalan penerapan prinsip Good
Tourism Governance tersebut menjadi
penting apabila kampung wisata di kawasan
Kotagede hendak dijadikan alternatif wisata
yang unggul dan berdaya saing.
Saran
1. Dinas Pariwisata perlu menyusun
pedoman/indikator pengukuran
kampung wisata yang lebih terperinci
dan mengikat, serta menyusun program
pendidikan/pelatihan yang lebih
terfokus dan menyesuaikan kebutuhan
masyarakat.
2. Pemerintah lokal perlu mengkoordinir
pengembangan kampung wisata di
Kotagede kedalam satu kawasan wisata
dan perlu memfasilitasi upaya untuk
menyatukan aktor-aktor pelaku wisata
yang belum bersinergi dengan
kampung wisata.
3. Perlu adanya upaya reorganisasi,
regenerasi dan pengaktifan kembali
organisasi pengelola kampung wisata,
pengaktifan kembali website sebagai
media promosi dan informasi kampung
wisata, serta pembuatan paket-paket
wisata oleh kampung wisata yang
dikemas dengan lebih kreatif dan
inovatif.
4. Kemitraan dengan pihak swasta perlu
ditingkatkan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas.
5. Masyarakat kampung wisata
hendaknya lebih aktif dalam
menyuarakan aspirasinya, kesadaran
masyarakat untuk ikut serta dalam
mengembangkan kampung wisata perlu
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto. (2016). Peran Dinas Pariwisata
dalam Mengembangkan Potensi
Wisata di Kabupaten Natuna.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.
(2017). Buku Statistik
Kepariwisataan DIY 2014. Diunduh
pada hari Senin, 27 November 2017
melalui situs
https://visitingjogja.com/download/s
tatistik-pariwisata/.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.
(2017). Buku Statistik
Kepariwisataan DIY 2015. Diunduh
pada hari Senin, 27 November 2017
melalui situs
https://visitingjogja.com/download/s
tatistik-pariwisata/.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DIY.
(2017). Buku Statistik
Kepariwisataan DIY 2016. Diunduh
pada hari Senin, 27 November 2017
melalui situs
https://visitingjogja.com/download/s
tatistik-pariwisata/.
Dorojati, R. & Astuti, N. D. (2016). Model
Pengorganisasian Masyarakat
dalam Pengelolaan dan
Pengembangan Kampung Wisata
Prenggan Kecamatan Kotagede
Kota Yogyakarta. [versi elektronik].
Jurnal Penelitian Bappeda Kota
Yogyakarta Vol 12, 2016, 73-86.
Diunduh pada hari Senin, 16
Oktober 2017 melalui situs
http://bappeda.jogjakota.go.id/ejurna
l/index.php/jarlit.
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
559
H., Yanuar. (28 Mei 2017). Yogyakarta
Jadikan 3 Lokasi Ini Prioritas
Wisata. Diakses di hari Senin, 30
Oktober 2017 pada situs
http://regional.liputan6.com/read/29
67608/yogyakarta-jadikan-3-lokasi-
ini-prioritas-wisata.
Jubaedah, E., Dawud, J., Mulyadi, D., et al.
(2008). Model Pengukuran Good
Governance di Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Bandung: PKP2A
I – LAN.
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 115
Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Kampung Wisata.
Pitana, I G. & Diarta, I K. S. (2009).
Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian
Kualitatif dalam Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Putri, W. D. (12 Januari 2017). Yogyakarta
Terbitkan Aturan tentang Kampung
Wisata. Diakses di hari Rabu, 27
September 2017 pada situs
http://www.republika.co.id/berita/na
sional/daerah/17/01/12/ojo1y7359-
yogyakarta-terbitkan-aturan-
tentang-kampung-wisata.
Sunaryo, B. (2013). Kebijakan
Pembangunan Destinasi Pariwisata,
Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Gava
Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
10 tahun 2009 tentang
Kepariwisataan.
Good Tourism Governance.... (Isna K.H. dan Sugi Rahayu, M.Pd., M.Si.,)
560