gitowaluyo.files.wordpress.com … · web viewsegala puji bagi allah atas limpahan rahmat, taufiq,...
TRANSCRIPT
MAKALAH
AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Untuk Memenuhi Mata Kuliah Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pembimbing : Drs. H. Wardani
Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Abid Nurhuda 11-01-1340
2. Afifatunnisa 11-01-1341
3. Alfia 11-01-1342
4. Ammi Munawaroh 11-01-1343
5. Gito Waluyo 11-01-1406
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUHAMMADIYAH WATES
YOGYAKARTA
2012
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya sehingga
tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak memberikan inspirasi
kepada penulis sehingga terselesaikanlah tugas makalah ini. walaupun masih banyak
kekurangan, sebagaimana kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, untuk itu kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan oleh penyusun.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasan membantu dalam
proses penyelesaian makalah ini. Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Wardani
selaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya Jawa.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kulon Progo, 31 Januari 2012
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar isi .................................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................1
Latar Belakang..............................................................................................................1
Rumusan Masalah.........................................................................................................2
Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
Bab II Konsepsi Teori............................................................................................................3
Pengertian Agama.........................................................................................................3
Agama dan Budaya.......................................................................................................4
Agama dan Budaya Indonesia......................................................................................5
Proses masuknya Islam Ke Indonesia..........................................................................6
Pertemuan Islam dan budaya Nusantara.......................................................................6
Bab III Studi Kasus................................................................................................................10
Bab IV Analisa dan kesimpulan............................................................................................12
Daftar Pustaka........................................................................................................................15
Daftar Kata Sukar..................................................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai
berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan
ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia
Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah
makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang,
Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13
Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan
Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara
sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi.
Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan
diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang
mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi
perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa
sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya.
Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang
kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian
melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil
mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya
asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan
budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran
Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama
iv
sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang
ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini
sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perbedaan konsep agama dan budaya?
Bagaimana implikasi masuknya Islam terhadap budaya di Indonesia?
Bagaimana proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia?
Bagaimana proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara?
C. Tujuan Penulisan.
Mengetahui perbedaan konsep agama dan budaya
Mengetahui implikasi masuknya Islam terhadap perubahan budaya di Indonesia
Mengetahui proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia
Mengetahui proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara.
v
BAB II
KONSEPSI TEORI
A. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama
dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut
Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam
sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam
pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan
hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya
secara horizontal.1
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam
disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai
Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at
itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama
berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed,
1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai
kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem
keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
1 Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, hal. 71
vi
B. Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan
hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia
dengan belajar.2
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain
cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat
adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan
yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos
kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap
budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada
pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka
memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis
dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu
atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan
saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.3
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses
interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama
tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa
kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-
beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang
tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab
masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa
yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah
kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan
Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga
mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya
(Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi
sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang
ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur
2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 1703 Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, 1992, hlm. 13
vii
masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama.
Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya
dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru
berdasarkan inspirasi agama.
C. Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5
lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.4
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah
mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan
agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah
berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa
tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori
pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung
Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas
Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu
menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia
yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten
bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar
merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India
sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau.5
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama
itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada
waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3
ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut.
Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagii
pengembangan budaya Indonesia.
Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama
membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.
4 Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, 1998, hlm. 77-795 Tule, Philipus, Wilhelmus Julie, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, hlm. 159.
viii
D. Proses masuknya Islam Ke Indonesia
Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita adalah bilamana Islam
masuk ke Nusantara dan siapa yang membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian,
Islam seperti apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama
dan kedua dapat dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai
kepada kita, sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata budaya yang
masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara tersurat menyatakan bahwa
Islam masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si
Nasruddin (misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini
baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah yang menuliskan
para pedagang Islam. yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus
(pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam yang hingga kini
penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari
sudah disinyalir oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia
kurang atau bahkan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap
ulama Indonesia tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu
antara lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis Indonesia
sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.
Mengenai dari mana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan
argumennya masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India,
bahkan ada yang menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam
berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui “perantaraan”
kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi‘ar Islam. Hal ini sesuai dengan
Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian sesampainya di
Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa
ada Wali Songo.
E. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya.
Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang
kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan
ix
Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut
dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan
little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-
bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.6
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang
yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang
menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga
disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan
yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-
unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma,
aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian
melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil
mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.7
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran
Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama
sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang
ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini
sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara
slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam
bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang
merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses 6 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, hal. 13.7 Soejanto Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam modernisasi, kepribadian
budaya bangsa (local genius), hal. 28
x
Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di
dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di
nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam
pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat
misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka,
dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah
asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan
pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban
Cut.8
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten,
Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan
struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa,
sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon
kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri
metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga
terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan
perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya
telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya
dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa.
Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau
perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan
masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di
kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di
berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan
lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
8 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di Indonesia, hlm. 209.
xi
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda
adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan
jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh.
Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian
dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang
memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara
selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran),
upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau
tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di
Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh,
Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah
Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-
upah, tepung tawar, dan Marpangir.
xii
BAB III
STUDI KASUS
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia.
Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga
era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah.
Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat
bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi
dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah Indonesia perjalanan panjang sebagai
sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini.
Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama.
Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan
yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa.
Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri disbanding dengan Islam
lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya
Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang
antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk
membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz
berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan
priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya piker Gertz memang
benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan adanya objektifitas
dalam hasil yang diperoleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari
sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut
pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak spritualitas
yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini,
kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam
dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa,
terlihat ada saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai
sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi. Contoh menarik adalah
peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara
menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi
masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak
kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa
xiii
kedua unsure ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak
meninggalkan akar rumput yang dimilikinya.
Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam
Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa
maupun Islam yang memang diperingati berbarengan Pergantian selambu makam ini menjadi
menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu
menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di
waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambing penyucian diri
seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi
dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para
warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang baru saja
direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh
lainnya.
Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual
pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari
tujuh mata air disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di
tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan
selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam, disinilah bentuk akulturasi itu
muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu
atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci
Islam.
xiv
BAB IV
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi
kemudian muncul mesjid, surau, dan makam. System kasta di dalam masyarakat dihapus, arca
dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian
menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta
melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru, bahkan
pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan Hijriah. Akan tetapi, pada
sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-
kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cunggup makam mengambil bentuk atap
tumpang, seperti mesjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa
sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara mesjid
tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk
dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi
detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal
karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indnesia kala itu, karenanya tercipta
nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua
di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim, menurut penelitian
merupakan benda yang diimpr dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab
pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam
berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak
dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di
pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang
yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan
dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung,
dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan
lain, serta pemukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis
pekerjaan, asal, dan status social.
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan
perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman
xv
ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata
lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang
berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan
adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsure-unsur
kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-unsurnya masih dapat dikenali
dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam
kebudayaan induknya. Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di
Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan
akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam (kemudian juga
kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri
bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah
bagian dari proses menuju akulturasi. Factor pendukung terjadinya akulturasi adalah
kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan
Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan mesjid. Akulturasi juga memicu
kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah
ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk
kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu dipikirkan bagaimana pengembangannya pada masa
kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-
pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa
meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada
dengan menunjukkan kesinambungan. Namun, tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Hasil
akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan
kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus
dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu
dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam
keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia
sendiri.
Hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Persia (Iran)
diduga sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Dari hubungan
perdagangan ini, kemudian berdampak pada pemikiran keagamaan terutama sufisme atau
tasawwuf dengan tarekat-tarekatnya. Selain itu berdampak juga pada unsur-unsur kebuda-
yaan. Beberapa tradisi Syi‘ah dan tarekatnya masih tetap dipelihara oleh kelompok
xvi
masyarakat tertentu di Indonesia. Dalam susastra dan bahasa beberapa karya sastra yang
berbau Sufi dan kosa kata Persia diadopsi pada karya sastra Melayu dan kosa kata dalam
bahasa Indonesia.
Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang belum terekam dalam
kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat pengaruh Persia. Semua ini memerlukan
penelitian dari berbagai disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan
sejarah, antropologi, sosiologi, agama, linguistik, dan kesusasteraan.
Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan beragama di Tanah Air
Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti
ini sudah “tercipta” sejak masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para penyiar agama
melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan dengan budaya setempat,
misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan sarana wayang.
Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di belahan dunia lain, kita lihat
bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian
sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu domba pihak lain.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Pustaka Hidayah: Bandung
Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Paramadina: Jakarta
Badri Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius: Yogyakarta
Hamka, 1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta
Hasan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di Indonesia: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta
Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan Universitas: Jakarta
Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta
Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta
xviii
Daftar Kata Sukar
Arkeologi : (n)1. ilmu tt kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya, spt patung dan perkakas rumah tangga; ilmu purbakala
Fenomenologis : (n) 1. ilmu tt perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yg mendahului ilmu filsafat atau bagian dr filsafat
Interpretasi : (n) 1. pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis thd sesuatu; tafsiran; meng·in·ter·pre·ta·si·kan v menafsirkan; peng·in·ter·pre·ta·si·an n proses, cara, perbuatan meng-interpretasikan; peng·in·ter·pre·ta·si a n orang yg menginterpretasikan
Kausal : (adj) 1. bersifat menyebabkan suatu kejadian; bersifat saling menyebabkan: hubungan -- , hubungan yg bersebab akibat
Kausalitas : (n) 1. perihal kausal; perihal sebab akibat: kalau kita hendak berbuat sesuatu, harus kita perhatikan hukum --
Konsepsi : (n) 1. 1 pengertian; pendapat (paham); 2 rancangan (cita-cita dsb) yg telah ada dl pikiran; 3 Bio percampuran antara inti sel jantan dan inti sel betina; pembuahan benih
Mould : kb. 1 cetakan (for cookies). 2 jamur (on books). -kkt. 1 membentuk (character). 2 mencetak, membentuk (dough). -molding kb. papan hias tembok.
Multikultur : (n) 1. 1 berbagai jenis kultur (tanaman); tumbuhan aneka tanaman; 2 Tan pola pertanaman yg dl suatu urutan musim pd tanah yg sama ditanami beberapa jenis tanaman (msl pd musim kemarau ditanami palawija dan pd musim hujan ditanami padi)
Parsial : (adj) 1. berhubungan atau merupakan bagian dr keseluruhanPraksis : (n)1. praktik (bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia)Prototype : salah satu metode pengembangan perangat lunak yang banyak digunakan.
Dengan metode prototyping ini pengembang dan pelanggan dapat saling berinteraksi selama proses pembuatan sistem. Sering terjadi seorang pelanggan hanya mendefinisikan secara umum apa yang dikehendakinya tanpa menyebutkan secara detal output apa saja yang dibutuhkan, pemrosesan dan data-data apa saja yang dibutuhkan.
Ragam hias stiliran : (penggambaran bentuk-bentuk binatang atau figurative bersifat lambang atau kiasan makna yang dibentuk dari rangkaian ragam hias sulur-suluran jenis tumbuh-tumbuhan yang menjalar dengan sulurnya pada batang pohon lain). Ragam hias tersebut dipergunakan untuk menghias candid an artefak lain seperti benda dari logam dan gerabah.
Zoomorphic : perpaduan antara arsitektur dan biology”
xix