gerhana matahari sentral dalam perspektif...
TRANSCRIPT
GERHANA MATAHARI SENTRAL DALAM PERSPEKTIF GEOMETRI
Revisi Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
Astronomi Pengampu : Dr. H. Ahmad Izzuddin,
M.Ag.
oleh:
M. BASTHONI NIM. 1700029035
Konsentrasi : Ilmu Falak
PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
GERHANA MATAHARI SENTRAL
DALAM PERSPEKTIF GEOMETRI
Abstrak
Untuk menguji seberapa akurat sebuah hisab awal bulan kamariyah
bisa dilakukan dengan fenomena gerhana Matahari karena setiap
terjadi gerhana Matahari pasti terjadi konjungsi. Konjungsi
merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan awal bulan
kamariyah. Sejauh ini masih jarang ditemukan detail penjelasan
asal-usul dan algoritma perhitungan gerhana Matahari. Sehingga
kesan yang didapat adalah bahwa algoritma tersebut masih menjadi
misteri dengan bumbu kerumitan tingkat tinggi yang tersembunyi
rapat. Untuk itu dengan berdasar pada kaidah-kaidah dasar
geometri, tulisan ini mencoba menguraikan perhitungan perkiraan
di permukaan Bumi bagian manakah bayangan Bulan jatuh ketika
gerhana Matahari sentral terjadi. Selanjutnya untuk menguji
akurasi algoritma yang digunakan dalam makalah ini, disajikan
perbandingan dengan prediksi gerhana Matahari yang dirilis oleh
NASA yang menggunakan algoritma VSOP87 dan ELP2000-82.
Kajian ini menunjukkan bahwa uraian algoritma perhitungan
gerhana Matahari dalam makalah ini cukup memadai untuk
memprediksi terjadinya gerhana Matahari dan hasilnya cukup dekat dengan prediksi NASA. Jam terjadi puncak gerhana Matahari
Sentral terpaut selisih 5,145 detik. Sementara koordinat jatuhnya
sumbu bayangan Bulan di permukaan Bumi selisihnya juga kecil.
Untuk bujur selisih 51,946 detik busur dan lintang selisih 5 menit
51,02 detik busur.
Kata kunci: Gerhana Matahari Sentral, Geometri
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang gerhana Matahari tidak hanya
berkaitan dengan pelaksanaan ibadah shalat gerhana yang
1
telah disyariatkan oleh agama Islam. Namun juga berkaitan
dengan validitas ilmu hisab yang merupakan hasil dari
penelitian rukyat yang panjang dan berkesinambungan
sehingga menghasilkan data empirik yang menjadi dasar
penyusunan data zij astronomi. Walaupun ilmu hisab adalah
ilmu exact, bukan berarti bisa dipastikan sepenuhnya bahwa
hasil dari ilmu hisab adalah tepat dengan kenyataan hasil
observasi namun masih bersifat hypothesis prediction.
Prediksi perhitungan awal bulan hijriyah diawali
dengan penentuan kapan terjadinya ijtimak atau konjungsi.
Untuk menguji dan verifikasi seberapa akurat sebuah
perhitungan awal bulan bisa dilakukan dengan fenomena
gerhana Matahari karena setiap terjadi gerhana Matahari pasti
terjadi konjungsi. Sehingga selanjutnya bisa diambil
kesimpulan metode hisab mana yang masih layak
dipergunakan dan hisab mana yang ternyata melenceng dari
fakta astronomi dan harus diperbaiki sehingga sesuai dengan
kenyataan hasil observasi. Untuk itu pembahasan tentang
perhitungan prediksi gerhana Matahari cukup penting
dilakukan sebagaimana pentingnya ilmu hisab untuk
penentuan awal bulan hijriyah.
Pokok bahasan penentuan gerhana, secara garis besar
adalah menghitung waktu terjadinya kontak antara Matahari
dan Bulan, yakni kapan Bulan mulai menutupi Matahari dan
lepas darinya pada saat terjadi gerhana Matahari, dan kapan
2
Bulan mulai menutupi bayangan umbra Bumi serta keluar dari
bayangan tersebut pada saat terjadi gerhana Bulan.1
Jean Meeus2 mencoba memadukan algoritma
VSOP873 dan ELP2000-82
4 untuk menentukan angka-angka
elemen Bessel5 digunakan untuk menentukan tempat (bujur,
1 Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Praktis, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2012), 3-4 2 Jean Meeus, lahir pada tahun 1928, belajar matematika di
Universitas Louvain (Leuven) di Belgia, di mana ia menerima gelar
diploma pada tahun 1953. Sejak itu dia menjadi ahli meteorologi di Bandara Brussels. Minatnya secara khusus adalah astronomi bola dan matematika. Dia adalah anggota beberapa asosiasi astronomi dan penulis berbagai karya ilmiah. Dia penulis kedua the Canon of Solar Eclipses (1966), the Canon of Lunar Eclipses (1979) dan the Canon of Solar
Eclipses (1983). Rumus-rumus astronomi-nya untuk Kalkulator (1979 dan 1982) telah banyak diakui oleh astronom amatir dan profesional. Lebit lanjut, karyanya diterbitkan oleh Willmann-Bell, Inc, yakni Astronomical Table of the Sun, Moon and Planets (1983), Elements of Solar Eclipse
195I -2200 (1989) dan Transit (1989). Untuk kontribusinya yang begitu banyak bagi astronomi, makapada tahun 1981 the International Astronomical Union mengumumkan penamaan asteroid 2213 Meeus untuk menghormatinya. Lihat: Jean Meeus, Astronomical Algorithms, (Richmond: Willmann-Bell, Inc., 1991).
3 Teori tentang algoritma penentuan koordinat Matahari ini
dikembangkan oleh Pierre Bretagnon bersama Gerrad Francou pada tahun 1987 dengan berbasis pada teori VSOP82. Lihat: P. Bretagnon, G. Francou, Planetary Theoris in Rectangular and Sperical Variables. VSOP87 Solutions, Astronomy & Astrophysics, 202, (1988): 309
4 Teori tentang algoritma penentuan koordinat Bulan ini
dikembangkan oleh M. Chapront-Touze, J. Chapront pada tahun 1982 yang berbasis pada JPL DE200. Lihat: M. Chapront-Touze, J. Chapront, ELP2000-85: A Semi-Analytical Lunar Ephemeris Adequate for Historical Times, Astronomy & Astrophysics, 190, (1988), 346
5 Dengan mengetahui angka–angka Bessel pada suatu gerhana matahari, maka akan dapat dietahui detail keadaan gerhana di Bumi dari awal hingga akhir. Angka–angka Bessel tersebut berasal dari perpaduan
3
lintang) di Bumi yang terkena garis umbra, lebar garis umbra,
lama maksimum gerhana di tersebut, ketinggian (alitude)
matahari dan azimuth yang diamati dari tempat tersebut dan
lain–lain. Rinto Anugraha secara gamblang mengaplikasikan
algoritma Meeus tersebut untuk perhitungan gerhana Matahari
dalam bukunya Mekanika Benda Langit. Namun demikian
dalam tulisannya tersebut Rinto Anugraha belum menguraikan
asal-usul rumus-rumus Meeus tersebut. Kesan yang didapat
adalah bahwa algoritma tersebut masih menjadi misteri
dengan bumbu kerumitan tingkat tinggi yang tersembunyi
rapat. Hal ini diperkuat pernyataan Meeus dalam bukunya
Astronomical Algorithms bahwa buku Meeus tersebut bukan
buku astronomi umum atau matematika, sehingga pembaca
tidak akan menemukan uraian bagaimana algoritma dan
rumus-rumus dalam buku tersebut diturunkan.6
Untuk itu dengan berdasar pada kaidah-kaidah dasar
geometri, tulisan ini mencoba menguraikan perhitungan
perkiraan di permukaan Bumi bagian manakah bayangan
Bulan jatuh ketika gerhana Matahari sentral terjadi. Namun
tidak membahas tentang perkiraan kapan terjadi gerhana
algoritma VSOP87 (matahari) dan ELP2000–82 (bulan). Angka–angka tersebut dapat dilihat di buku Elements of Solar Eclipses 1951–2200 karya Jean Meeus, maupun Report yang dikeluarkan oleh NASA untuk gerhana matahari di https://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEcat5/beselm.html.
6 Meeus, Astronomical Algorithms, 1.
4
Matahari tersebut.7 Selanjutnya untuk menguji akurasi
algoritma yang digunakan dalam makalah ini, perhitungan
berbasis kaidah dasar geometri tersebut akan dibandingkan
dengan prediksi gerhana Matahari yang dirilis oleh NASA
yang menggunakan algoritma VSOP87 dan ELP2000-82.
B. Pengertian Gerhana Matahari Sentral
Gerhana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
eclipse dan dalam bahasa Arab dikenal dengan kusuf atau
khusuf. Pada dasarnya kedua istilah tersebut dapat
dipergunakan untuk menyebut gerhana Matahari maupun
gerhana Bulan. Hanya saja kata kusuf lebih dikenal untuk
menyebut gerhana Matahari sedangkan kata khusuf untuk
gerhana Bulan.8
Gerhana matahari terjadi ketika Matahari, Bulan dan
Bumi berada pada suatu garis lurus.9 Sedangkan gerhana
Bulan terjadi Matahari, Bumi dan Bulan berada pada suatu
garis lurus. Gerhana Matahari terjadi pada fase bulan baru
(new moon), namun tidak setiap bulan baru akan terjadi
7 Algoritma dan contoh untuk mengetahui perkiraan kapan
terjadi gerhana Matahari bisa dibaca di Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 209-210 dan 217-218.
8 Khazin, Ilmu Falak, 185.
9 Yang dimaksud berada pada garis lurus adalah Matahari dan Bulan berada pada lintang dan bujur astronomis yang sama. Lihat: H.M. Nautical Almanac Office, Explanatory Supplement to The Astonomical Ephemeris and The American Ephemeris and Nautical Almanac, (London: Her Majesty's Stattionery Office, 1961), 214.
5
gerhana Matahari. Sedangkan gerhana Bulan terjadi pada fase
bulan purnama (full moon), namun tidak setiap bulan purnama
akan terjadi gerhana Bulan. Hal ini disebabkan bidang orbit
Bulan mengitari Bumi tidak sejajar dengan bidang orbit Bumi
mengitari matahari (bidang ekliptika), namun miring
membentuk sudut sebesar sekitar 5 derajat. Seandainya bidang
orbit Bulan mengitari tersebut terletak tepat pada bidang
ekliptika, maka setiap bulan baru akan selalu terjadi gerhana
Matahari, dan setiap bulan purnama akan selalu terjadi
gerhana Bulan.10
Pada gerhana sentral sumbu bayangan bulan
mengenai permukaan Bumi (Gambar 1). Pada jenis gerhana
ini, dikenal istilah garis sentral (central line) di mana garis ini
menghubungkan pusat cakram Bulan ke pusat cakram
Matahari.11
C. Algoritma Perhitungan Gerhana Matahari
1. Elongasi sebagai Acuan Awal Perhitungan Gerhana
Matahari
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa
gerhana Matahari terjadi jika Matahari, Bulan dan Bumi
berada dalam satu garis lurus. Kenyataanya jika pusat
10 Rinto Anugraha, Mekanika Benda Langit, (Yogyakarta: Lab.
Fisika Material dan Instrumentasi Jurusan Fisika FMIPA UGM, 2012), 126.
11 Rinto Anugraha, Mekanika Benda Langit, 127.
6
Matahari dan pusat Bulan ditarik garis lurus sebagai
sumbu bayangan maka jatuhnya sumbu tersebut tidak
bisa tepat di pusat Bumi, namun selalu mempunyai jarak
karena Matahari dan Bulan selalu mempunyai elongasi
jika dilihat dari Bumi. Semakin besar elongasi12
maka
semakin jauh pula jatuhnya sumbu dari pusat Bumi
bahkan kemudian sumbu bayangan tersebut tidak
menyentuh bumi.
Gambar 1. Ilustrasi Gerhana Matahari Sentral
Dari elongasi inilah perhitungan gerhana
Matahari dimulai. Ketika terjadi gerhana Matahari maka
saat elongasi mencapai nilai terkecil itulah saat
12 Sudut elongasi berkisar antara 0
o – 180
o. Ketika Bulan dan
Matahari konjungsi maka sudut elongasi 0o, ketika oposisi maka sudut
elongasi 180o. Lihat: Ian Ridpath, Dictionary of Astronomy, (New York:
Oxford University Press, 1997), 147.
7
pertengahan gerhana atau puncak gerhana, karena saat itu
titik pusat Bulan terlihat sangat dekat dengan pusat
Matahari, sehingga piringan Bulan menutup piringan
Matahari lebih luas daripada saat sebelum ataupun
sesudahnya.
2. Data yang Diperlukan untuk Perhitungan
Secara terperinci data yang dibutuhkan dalam
perhitungan gerhana Matahari adalah sebagai berikut
(lihat ilustrasi Gambar 2):
a. Jam (dalam satuan Universal Time atau UT)
b. Equation of time atau Perata waktu (PW)
c. Asensiorekta Matahari (AM) adalah jarak busur
yang dihitung sepanjang lingkaran ekuator mulai
dari titik Aries () sampai dengan titik proyeksi
Matahari (M’) di lingkaran ekuator ( ke M’)
d. Asensiorekta Bulan (AB) adalah jarak busur yang
dihitung sepanjang lingkaran ekuator mulai dari titik
Aries () sampai dengan titik proyeksi Bulan
(B’) di lingkaran ekuator ( ke B’)
e. Deklinasi Matahari (dM) adalah jarak busur yang
dihitung mulai posisi Matahari (M) sampai dengan
titik proyeksi Matahari (M’) di lingkaran ekuator
(M ke M’).
8
f. Deklinasi Bulan (dB) jarak busur yang dihitung
mulai posisi Bulan (B) sampai dengan titik proyeksi
Bulan (B’) di lingkaran ekuator (B ke B’)
g. Jarak Bumi-Matahari dalam satuan jari-jari Bumi
(jM) adalah jarak yang dihitung mulai titik O
sampai dengan M (OM)
h. Jarak Bumi-Bulan dalam satuan jari-jari Bumi (jB)
adalah jarak yang dihitung mulai titik O sampai
dengan B (OB).
i. Jari-jari Matahari dalam satuan jari-jari Bumi (rM)
j. Jari-jari Bulan dalam satuan jari-jari Bumi (rB)
Gambar 2. Ilustrasi data-data perhitungan gerhana
Matahari dalam geometri bola
Berikut ini data-data yang digunakan sebagai
contoh dalam perhitungan gerhana Matahari sentral pada
tanggal 9 Maret 2016. Dalam hal ini yang dijadikan
9
contoh adalah saat pertengahan gerhana atau puncak
gerhana pada jam 1:57:16,645 UT ketika elongasi antara
Matahari dan Bulan mencapai nilai terkecil.13
a. Jam = 1:57:16,645 UT
b. PW = -00° 10' 30,623''
c. AM = 349° 49' 23,989''
d. AB = 349° 44' 40,717''
e. dM = -04° 22' 46,348''
f. dB = -04° 07' 43,402''
g. jM (OM) = 23315,26328 radii
h. jB (OB) = 56,63574086 radii
i. rM = 109,2 radii
j. rB = 0,2731 radii
3. Sudut Elongasi antara Matahari dan Bulan
Sudut elongasi berdasarkan Gambar 2 adalah
sudut yang dibentuk oleh ruas garis OB dan OM yang
kemudian didefinisikan sebagai jarak busur antara titik B
13 Data-data ini digenerate menggunakan algoritma Jean Meeus low accuracy yang merupakan simplifikasi dari teori VSOP87 dan ELP2000 dengan cara memotong beberapa suku dari kedua teori tersebut. Sedangkan data jari-jari Matahari (695.700 km), Bulan (1.736 km) dan Bumi (6.371 km) diperoleh dari data yang dirilis NASA, yaitu dari http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/sunfact.html, http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/moonfact.html dan http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/earthfact.html.
10
ke titik M. Sehingga dengan aturan segitiga bola, jarak
busur BM tersebut bisa dirumuskan sebagai berikut.14
(1)
4. Jarak Jatuh Titik Sumbu Bulan dari Pusat Bumi
Jarak jatuhnya titik sumbu dari pusat Bumi (OA)
dapat diketahui dengan menyelesaikan 3 (tiga) buah
segitiga utama yaitu segitiga MOB, segitiga BOA dan
segitiga MOA (Gambar 3).
Gambar 3. Ilustrasi jatuhnya sumbu bayangan Bulan
(A)
dari pusat Bumi (O)
14 Rumus-rumus dasar atau rumus-rumus pokok segitiga bola dapat digunakan untuk menghitung besaran yang diinginkan, dapat dipadukan dan diuraikan lagi untuk memperoleh bermacam-macam rumus lainnya. Lihat: W.M. Smart, Textbook on Spherical Astronomy, (New York: Cambridge University Press, 1977), 6-12. Lihat juga: Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, (Jakarta: Kemenag RI, 2012), 97-102.
11
Jika jari-jari Bumi bernilai 1, OM adalah jarak
Bumi-Matahari dalam satuan jari-jari Bumi dan OB
adalah jarak Bumi-Bulan juga dalam satuan jari-jari Bumi
serta sudut elongasi diketahui maka jarak MB bisa
dihitung kemudian besar sudut BOA dan jarak OA bisa
diketahui.
Gambar 3 menunjukkan bahwa OM adalah jarak
Bumi-Matahari, OB adalah jarak Bumi-Bulan dan
MOB adalah sudut elongasi. Dengan 3 (tiga) data
tersebut MB (jarak Matahari-Bulan) bisa dihitung dengan
rumus cosinus segitiga planar sebagai berikut:15
(2)
Setelah nilai MB diketahui dengan rumus
persamaan (2) selanjutnya nilai BOA bisa diketahui
dengan proses berikut. Dengan aturan trigonometri dalam
segitiga siku-siku16
, diperoleh persamaan dari Gambar 3
sebagai berikut:
,
(3)
15
Rumus ini diturunkan dari aturan cosinus untuk segitiga planar. Lihat detailnya di: Fred W. Sparks, Plane Trigonometry, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1984), 144-149.
16 Lihat detail teori trigonometri untuk segitiga siku-siku dalam Alfred Monroe Kenyon, Louis Ingold, Trigonometry, (New York: The Macmillan Company, 1919), 7-9.
12
Sementara
Sehingga
Dari persamaan (3) dan (4) diperoleh:
Jika kedua sisi dibagi dengan maka
Sehingga
(5)
Selanjutnya setelah sudut BOA bisa dihitung maka OA
bisa dihitung dengan persamaan (3) sebagai berikut:
(6)
Jika nilai OA>1 maka sumbu bayangan Bulan
tidak menyentuh Bumi karena jari-jari Bumi bernilai 1.
13
Dengan kata lain bahwa jika hasil perhitungan dengan
jam saat elongasi terkecil (tengah gerhana) nilai OA>1
maka gerhana tersebut tidak termasuk gerhana sentral.
Sebaliknya jika OA<1 maka termasuk gerhana sentral.
Jika OA = 1 maka saat itu adalah saat sumbu bayangan
Bulan mulai menyentuh atau meninggalkan Bumi sebagai
indikasi awal atau akhir gerhana.
5. Koordinat Titik Sumbu Bulan di Permukaan Bumi
Koordinat titik sumbu Bulan di permukaan Bumi
disimbolkan dengan titik S pada Gambar 4. Sedangkan
titik B’ adalah proyeksi koordinat Bulan di permukaan
Bumi dan M’ adalah proyeksi koordinat Matahari di
permukaan Bumi.
Gambar 4. Ilustrasi koordinat sumbu Bulan
di permukaan Bumi
14
Koordinat geografis titik S bisa diketahui dengan
menghitung terlebih dahulu sudut SOA, B’OA, M’OA
dan M’OS. Selanjutnya juga perlu dihitung koordinat
geografis titik M’, titik B’ dan azimuth titik B’ dari titik
M’ sebelum akhirnya ditemukan koordinat titik S.
Ilustrasi pada Gambar 4 memberikan informasi
bahwa OS adalah jari-jari Bumi yang bernilai 1 dan
panjang OA juga sudah diketahui dari persamaan (6),
maka diperoleh persamaan :
Sehingga diperoleh besar sudut SOA = 74° 54' 19,986''
Selanjutnya setelah sudut B’OA sudah diketahui
dengan persamaan (5) dan sudut M’OB atau elongasi juga
sudah diketahui dengan persamaan (1), maka:
Sehingga diperoleh
Sementara dari Gambar 4 juga diperoleh rumus bahwa:
Sehingga diperoleh
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa sebelum
penentuan koordinat titik S perlu diketahui terlebih
dahulu koordinat titik M’ dan B’. Jika titik pusat
Matahari (M) ditarik lurus ke permukaan Bumi maka
15
tepat di titik M’, sehingga bisa dirumuskan bahwa lintang
lokasi M’ nilainya sama dengan nilai deklinasi Matahari.
Sedangkan bujur lokasi M’ bisa dihitung dengan
rumus :
Demikian juga jika titik pusat Bulan (B) ditarik
ke permukaan Bumi maka tepat di B’, sehingga lintang
lokasi B’ juga sama dengan nilai deklinasi Bulan.
Sedangkan bujur lokasi B’ adalah bujur titik M’
ditambah selisih asensiorekta Bulan dan Matahari,
sebagaimana formula berikut:
Dalam Gambar 4 tampak bahwa titik M’, B’ dan
S berada pada satu jalur dalam sebuah lingkaran,
sehingga koordinat titik S bisa diketahui berdasarkan
acuan koordinat titik M’, B’ dan jarak M’S (sudut M’OS)
yang semuanya sudah diketahui dalam perhitungan
sebelumnya.
Dalam perspektif permukaan Bumi, ketiga titik
tersebut (B’, M’ dan S) dapat diilustrasikan seperti
Gambar 5, prinsipnya adalah ketiga titik terhubung
16
dalam sebuah lingkaran besar, adapun gambar aktualnya
tidak selalu seperti itu, bisa saja B’ dan S berada di atas
M’, di bawah M’, di kiri M’ dan sebagainya sesuai
kasusnya, namun tetap dalam prinsip yang sama,
sehingga prinsip perhitungan juga sama.
Gambar 5. Ilustrasi koordinat sumbu Bulan (S) dalam
perspektif bola Bumi
Langkah selanjutnya untuk menentukan
koordinat sumbu bayangan Bulan di permukaan Bumi (S)
perlu diketahui azimuth titik B’. Sedangkan azimuth titik
B’ bisa diketahui setelah azimuth M’ diketahui.
Berdasarkan Gambar 5, nilai azimuth M’ dapat
dihitung dengan rumus cosinus segitia bola sebagai
berikut:
17
Cos AzM’ = -tan (dM)/tan(elongasi)
+ sin(dB)/cos (dM)/sin(elongasi)
AzM’ = 17° 22' 31,790''
Karena memakai fungsi cosinus, maka yang
tercakup adalah bilangan 0 – 180 derajat, atau setengah
lingkaran, baik searah jarum jam maupun sebaliknya.
Maka untuk mendapatkan azimuth B’ perlu
diperhatikan selisih antara asensiorekta Bulan (AB) dan
Matahari (AM). Jika AB < AM maka azimut B’ adalah
360 dikurangi hasil perhitungan AzM’, karena titik B’
berada di sebelah kiri titik M’.
AzB’ = 360 – AzM’ (7)
Jika AB > AM maka tidak perlu pengurangan
tersebut, karena B’ berada di sebelah kanan titik M’.
Sehingga:
AzB’ = AzM’ (8)
Karena nilai AB < AM maka rumus yang
digunakan adalah rumus atau persamaan (7), sehingga
didapatkan azimuth B’ sebagai berikut: AzB’ = 360 –
AzM’
AzB’ = 360 – 17° 22' 31,790''
AzB’ = 342° 37' 28,210''
Setelah azimuth M’ dan B’ diketahui maka nilai
lintang titik S bisa diketahui dengan memahami geometri
18
dalam Gambar 5. Dari segitiga bola M’-KU-S pada
Gambar 5 diketahui bahwa:
Sehingga lintang S ( ) bisa dihitung dengan rumus
berikut:
Nilai lintang ( ) ini kemudian dimasukkan dalam
perhitungan mencari selisih bujur antara titik M’ dan titik
S. Selisih bujur tersebut ditambahkan atau dikurangkan
dari bujur M’ maka hasilnya adalah bujur
titik S .
Nilai bujur juga bisa diturunkan dari
persamaan segitiga bola M’-KU-S pada Gambar 5
sebagai berikut:
Sehingga diperoleh rumus selisih bujur λM' dan
titik S sebagai berikut:
19
Setelah nilai selisih bujur diketahui maka bujur S
bisa diketahui dengan ketentuan :
a. Jika AB < AM maka ( ) = ( M’) -
b. Jika AB > AM maka ( ) = ( M’) +
Karena nilai bujur geografis berkisar anatara -180 hingga
180, maka:
a. Jika ( S) < -180 maka = ( S) + 360
b. Jika ( S) > 180 maka = ( S) - 360
Jadi dengan ketentuan tersebut diperoleh nilai
bujur sumbu bayangan Bulan di permukaan Bumi ( S)
S = 148° 46' 44,054'' T
Kesimpulan dari proses perhitungan tersebut
adalah pada jam 1:57:16,645 UT atau 8:57:16,645 WIB
sumbu bayangan Bulan jatuh di permukaan Bumi pada
koordinat 148° 46' 44,054'' BT.
6. Perbandingan dengan Data Gerhana NASA
NASA melalui website resminya di
eclipse.gsfc.nasa.gov secara berkala merilis informasi
prediksi gerhana untuk beberapa puluh tahun ke depan
baik gerhana Matahari maupun gerhana Bulan. Basis data
yang digunakan untuk rilis informasi gerhana tersebut
adalah perpaduan algoritma VSOP87 dan ELP2000/8217
.
17 Fred Espenak, Solar Eclipse Predictions with VSOP87 and
ELP2000/82, dalam https://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEpath/ve82-predictions.html, diakses pada 7 Oktober 2017.
20
Berikut ini disajikan perbandingan hasil
perhitungan NASA dan perhitungan yang diturunkan dari
konsep geometri segitiga datar dan segitiga bola yang
telah diuraikan di atas.
Tabel 1. Data perbandingan perhitungan Gerhana Matahari dengan data NASA
Perbandingan Kontak Jam (UT) Lintang Bujur
Geometri Bola
Tengah
01 : 57 : 16,645 10° 01' 26,978'' U 148° 46' 44,054'' T
NASA 1 : 57 : 11,5 10° 7,3' U 148° 47,6' T
Gerhana Selisih 0 : 0 : 5,145 0° 5' 51,02'' U 0° 0' 51,946'' T
Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk jam terjadi
puncak gerhana Matahari Sentral ada selisih 5,145 detik.
Sementara koordinat jatuhnya sumbu bayangan Bulan di
permukaan Bumi selisihnya juga kecil. Untuk bujur
selisih 51,946 detik busur dan lintang selisih 5 menit
51,02 detik busur.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Uraian algoritma perhitungan gerhana Matahari
di atas memberikan gambaran bahwa rumus yang
diturunkan dengan pendekatan geometri di atas cukup
memadai untuk memprediksi apakah terjadi gerhana
sentral atau non sentral pada rentang waktu terjadinya
gerhana Matahari dan prediksi jatuhnya sumbu Bulan di
permukaan Bumi juga menunjukkan hasil yang cukup
memadai. Untuk prediksi waktu terjadinya puncak
21
gerhana dan bujur geografis jatuhnya sumbu bayangan
Bulan hanya terpaut orde detik dengan perhitungan
NASA sementara untuk nilai lintang bedanya cukup
besar namun tidak sampai orde derajat.
2. Saran
Jika proses perhitungan dilakukan berulang-
ulang dengan mengambil data pada waktu-waktu
sebelum tengah gerhana dan maupun tengah gerhana
sehingga didapatkan waktu di mana nilai OA (jarak
jatunya sumbu bayangan Bulan dengan pusat Bumi)
paling mendekati 1 maka akan diperoleh data waktu dan
koordinat jatuhnya sumbu. Jika data tersebut
digambarkan dalam peta kemudian dihubungkan dengan
sebuah garis maka akan terbentuk gambar lintasan sumbu
gerhana Matahari sentral.
Dalam realitanya gerhana Matahari bukan hanya
merupakan bayangan sumbunya namun bayangan yang
berupa kerucut. Bayangan tersebut ada yang merupakan
inti yang umum disebut umbra dan ada bayangan tepi
yang umum disebut panumbra. Sedang sumbu bayangan
tidak selalu menyentuh Bumi pada setiap gerhana. Untuk
itu perlu kajian lebih lanjut bagaimana memformulasikan
dengan pendekatan geometri sebagaimana diuraikan pada
makalah ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Anugraha, Rinto, Mekanika Benda Langit, (Yogyakarta: Lab. Fisika Material dan Instrumentasi Jurusan Fisika FMIPA UGM, 2012).
Bretagnon, P., G. Francou, Planetary Theoris in Rectangular and Sperical
Variables. VSOP87 Solutions, Astronomy & Astrophysics, 202, (1988).
Chapront, M. -Touze, J. Chapront, ELP2000-85: A Semi-Analytical Lunar
Ephemeris Adequate for Historical Times, Astronomy &
Astrophysics, 190, (1988). Espenak, Fred, Solar Eclipse Predictions with VSOP87 and ELP2000/82,
dalam https://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEpath/ve82-predictions.html, diakses pada 7 Oktober 2017.
H.M. Nautical Almanac Office, Explanatory Supplement to The
Astonomical Ephemeris and The American Ephemeris and Nautical Almanac, (London: Her Majesty's Stattionery Office,
1961). Izzuddin, Ahmad, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah
Kiblat dan Akurasinya, (Jakarta: Kemenag RI, 2012). ---------, Ilmu Falak Praktis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012). Kenyon, Alfred Monroe, Louis Ingold, Trigonometry, (New York: The
Macmillan Company, 1919). Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2004). Meeus, Jean, Astronomical Algorithms, (Richmond: Willmann-Bell, Inc.,
1991). Ridpath, Ian, Dictionary of Astronomy, (New York: Oxford University
Press, 1997). Smart, W.M., Textbook on Spherical Astronomy, (New York: Cambridge
University Press, 1977). Sparks, Fred W., Plane Trigonometry, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,
1984).
24
http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/earthfact.html.
http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/moonfact.html
http://nssdc.gsfc.nasa.gov/planetary/factsheet/sunfact.html.
https://eclipse.gsfc.nasa.gov/SEcat5/beselm.html.
25