gereja blenduk semarang
TRANSCRIPT
Nama : Yessy Supandi
NIM : 09/292117/PSA/02132
Manajemen Sumber Daya Arkeologi: Laporan Kuliah Lapangan Di Gereja Blaenduk, Kawasan Kota Lama Semarang
Kota lama Semarang telah menjadi satu obyek yang sangat menarik untuk
diamati. Sejarah mencatat, bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke
Indonesia adalah Portugis, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda.
Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun
rumah dan pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat
dengan pelabuhan. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-
bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis
dengan negara asal mereka. Dari era ini pulalah mulai berkembang arsitektur kolonial
Belanda di Indonesia. Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam membangun
rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi
bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan
kenyamanan di dalam bangunan. Bangunan Karya Thomas Karsten menjadi bukti
adanya upaya memperhitungkan permasalahan iklim, lingkungan dan budaya dalam
bangunan kolonial Belanda. Pada saat itu pelabuhan Semarang telah menjadi
pelabuhan penting dan terkenal, sehingga banyak kapal dagang asing berlabuh di
sana. Pedagang Cina mendarat sekitar permulaan abad 15, Portugis dan Belanda pada
permulaan abad 16, dari Malaysia, India, Arab dan Persia pada permulaan abad 17.
Para pendatang tersebut membuat pemukiman-pemukiman etnis masing-masing.
Orang-orang Belanda dan Melayu mendirikan permukimannya di muara Kali
Semarang, orang-orang Cina bermukim di sekitar Simongan dan perkampungan Jawa
di sepanjang Kali Semarang. Semarang selanjutnya menjadi basis militer dan pusat
perdagangan Belanda. Wilayah kota Semarang berkembang pesat pada pertengahan
abad 18 dengan membangun banyak bangunan perkantoran dan fasilitas sosial. Kota
Semarang semakin berkembang dan banyak jalan-jalan baru dibangun pemerintah
Belanda. Dan salah satu kawasan yang saat ini menjadi peninggalan pemerintahan
Kolonial Belanda adalah Kawasan Kota Lama Semarang.
Kawasan Kota Lama Semarang merupakan cikal bakal terbentuknya Kota Semarang,
yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dan kekhasan kawasan dilihat dari aspek
fisiknya. Kawasan Kota Lama memiliki banyak bangunan dengan arsitektur bergaya
Eropa yang bisa menjadi salah satu aset wisata. Kawasanan Kota Lama Semarang,
dahulu merupakan kawasan permukiman Belanda yang terencana dengan baik dan
dilengkapi dengan sarana dan prasarana kota yang lengkap. Seiring
perkembangannya, kawasan tersebut mengalami pergeseran fungsi yang dulu
memiliki fungsi vital sebagai pusat kota sekarang terbengkelai dan tidak produktif
lagi karena penurunan aktivitas ekonomi. Akibatnya, kini kawasan tersebut menjadi
kawasan mati, terlebih karena kawasan tersebut sebagian besar berfungsi sebagai
perkantoran dan pergudangan yang hanya aktif setengah hari. Penurunan juga terjadi
pada fisik bangunan yang makin lama makin rusak tak terawat, karena faktor usia
bangunan dan pengaruh alam. Upaya-upaya pelestarian yang dilakukan oleh
pemeritah sampai saat ini masih belum dapat menghidupkan kembali kawasan Kota
Lama.
Sebagian besar bangunan kuno di kawasan Kota Lama tentunya memiliki gaya
arsitektur kolonial, dimana kawasan tersebut dahulu merupakan permukiman orang
Belanda. Meskipun bentuk bangunan kuno tidak banyak berubah dari awal
pembangunan, namun kondisi bangunan-bangunan kuno tersebut banyak yang tidak
terawat dan rusak, kecuali sebagian besar bangunan kuno yang ada di koridor utama
Jl. Letjend Suprapto masih cukup terawat.
Salah satu bangunan yang menjadi obyek sangat menarik di Kawasan ini
adalah Gereja Blenduk.
Gereja Blenduk merupakan salah satu
identitas kota Semarang yang terletak di Jalan Letjen
Suprapto 32 Semarang. Gereja ini dibangun pada
tahun 1753 dan dirancang oleh dua orang arsitektur
yaitu HPA De Wilde dan W. Westmas dengan gaya
Pseudo Baroque, yaitu gaya arsitektur Eropa abad 17-
19 M. Mulai dipakai sebagai tempat kebaktian
dengan pendeta pertamanya Johannes Wihelmus
Swemmelaar pada tahun 1753. Di antara bangunan lain di sekitarnya, bangunan ini
dapat dikatakan paling menawan dengan dua buah menara lonceng di bagian depan,
simetris di sisi kanan dan kiri, dan atap berbentuk kubah terbuat dari logam. Atap
berbentuk kubah (setengah lingkaran/ blenduk) inilah yang kemudian membuat orang
menyebutnya dengan sebutan Gereja Blenduk. Pintu masuk berupa pintu kayu
dengan dua buah daun pintu. Ada dua macam jendela pada gereja ini, yang pertama
jendela dengan dua buah daun krepyak, dan yang kedua terbuat dari kaca patri yang
berwarna-warni.
Luas bangunan sekitar 400 meter persegi yang terdiri dari bangunan induk dan empat
sayap bangunan seperti tanda silang/salib model Yunani dengan pilar-pilar besar pada
bagian luarnya. Ruang gereja terdiri dari ruang jemaat dan ruang konsistori (ruang
rapat majelis gereja). Gereja Blenduk sempat diperbaiki pada tahun 1756, 1787 dan
1794. Perombakan pada tahun 1894 membuat bentuk bangunan seperti sekarang ini.
gambar 3 jendela berdaun krepyak gambar 4 jendela berdaun kaca patri
gambar 1 Gereja Blenduk
gambar 2 atap berbentuk kubah
Saat ini Gereja Blenduk masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah warga jemaat
GPIB Immanuel Semarang.
Bagian interior bangunan semua masih asli termasuk kursi jemaat yang
berjumlah 450 buah. Terdapat juga sebuah orgel besar bergaya baroque abad 18 M
yang sangat indah dengan pipa-pipa nadanya.
Orgel ini dibuat oleh P. Farwangler dan Hummer
dan merupakan alat musik yang sangat antik dan
Indonesia hanya mempunyai 2 buah dan salah
satunya di GPIB
Immanuel Gambir
Jakarta. Namun sayangnya orgel tersebut saat ini sudah
tidak dapat dipergunakan lagi dan tidak ada ahli
khususnya di Indonesia yang dapat memperbaikinya.
Perlengkapan lain yang juga menarik perhatian adalah
tangga melingkar, mimbar gereja dan lonceng gereja.
Tangga melingkar yang terbuat dari besi tempa berukir
ini digunakan untuk menuju tempat alat-alat musik, namun
sekarang ini tidak boleh dipergunakan lagi. Pada salah satu bagian anak tangganya
terdapat tulisan Plettriji den Haag yang kemungkinan merupakan merk atau nama
perusahaan pembuatnya. Mimbar khotbah memiliki keistimewaan yaitu berposisi
mengambang dengan tiang penyangga berbentuk segi delapan beraturan. Dan di
bagian atasnya terdapat batang besi yang menyatu ke tembok untuk menggantung
bagian atas mimbar. Lonceng gereja berjumlah 3 buah dengan ukuran yang berbeda,
namun dua di antaranya tidak dapat ditemukan lagi di gereja ini. Di belakang gereja
terdapat gedung pastori yang dipergunakan sebagai tempat tinggal pendeta.
gambar 6. tangga melingkar
gambar 5. Orgel Baroque
gambar 7. Mimbar khotbah gambar 8. Pastori
Secara keseluruhan Gereja Blenduk masih terawat dengan baik. Bagian-
bagian bangunan belum terlihat pernah dirombak dalam waktu dekat ini. Di bagian
luar gereja juga terdapat tanaman-tanaman hias yang hijau dan tertata dengan rapi.
Gereja ini juga dibangun dengan mempertimbangkan sirkulasi udara yang baik. Hal
ini ditunjukkan dengan dibuatnya lubang udara/ ventilasi berbentuk lingkaran pada
tembok bagian bawah di beberapa bagian dan di dalam gereja ini tidak dipasang AC.
Meskipun demikian suasana di dalam gereja tidak terasa panas karena bangunan
dibuat dengan plafon yang tinggi, dan jendela dan ventilasi yang cukup.
Banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri telah menjadikan Gereja
Blenduk sebagai salah satu tujuan wisata yang mengandung nilai sejarah dan dan
keindahan. Banyak juga para remaja dan pemuda yang menjadikannya latar belakang
untuk mengambil foto seperti yang penulis saksikan ketika berkunjung ke sana.
Daftar Pustaka
Manik, Ully, 2008, Wawasan: Gereja Blenduk, Bangunan Kuno Tanpa Mistis,
Semarang
Tim Pengelola Gereja Blenduk, Sekilas Blenduk
Sunarimahingsih, Yulita Titik, 1995, Sistem Visual di Kawasan Pusat Kota Lama
Studi Kasus Kawasan Pusat Kota Lama Semaran
http://loenpia.net/blog/2007/05
MANAJEMEN SUMBER DAYA ARKEOLOGI
LAPORAN KULIAH LAPANGAN DI GEREJA BLENDUK, KAWASAN
KOTA LAMA SEMARANG
Disusun Oleh:Yessy Supandi
09/292117/PSA/02132
PASCA SARJANA ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010