georesearch hmtg annual proceeding periode 2012-2013

237
GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTER HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTER HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA Periode 2012-2013 Publikasi Khusus Special Publication

Upload: bumi-gadjahmada

Post on 30-Mar-2016

334 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Georesearch diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa Teknik Geologi dengan riset ilmiah serta mengumpulkan riset tersebut dalam bentuk Proceeding sehingga riset ilmiah yang telah dilakukan oleh mahasiswa dapat dibukukan dan menjadi motivasi bagi mahasiswa yang lain untuk melakukan riset.

TRANSCRIPT

Page 1: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTERHIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS GADJAH MADA

GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTERHIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS GADJAH MADA

Periode 2012-2013

Publikasi KhususSpecial Publication

Page 2: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

Publikasi Khusus Special Publication

Periode 2012 – 2013

GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTER HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

Page 3: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

ii

Hak Cipta © 2013 Departemen Penelitian dan Pengembangan Semua bagian dari karya tulis dalam buku ini telah dipublikasikan dalam konferensi/lomba tingkat regional/nasional/internasional. Pengutipan tanpa pemberian sitasi yang benar akan dianggap plagiasi dan mendapat sanksi intelektual yang berlaku. Buku ini tidak boleh diperbanyak melalui rekaman elektronik (pindai), fotokopi, penyalinan, atau sejenisnya tanpa izin dari Departemen Penelitian dan Pengembangan, HMTG FT UGM. GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013 (Edisi Perdana) Program Geology Student Research Center Diterbitkan oleh Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Kompleks Fakultas Teknik, UGM Yogyakarta www.hmtg.ugm.ac.id

Page 4: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

iii

Pelindung Dr. Sugeng Sapto Surjono Penasihat Salahuddin Husein, Ph.D. Penanggung Jawab Rhyno Senbyla Sesesega Dewan Redaksi Ketua Yan Restu Freski Anggota Syayidu Guntur Ma’arif Triyanto Juli Prasetyo

Kevina Ekawati Risa Silmi Lestari M. Anzja Chabbani Ista’la Ahmad Faiz Mubarok

Alamat:

Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Kompleks Fakultas Teknik, UGM Yogyakarta

www.hmtg.ugm.ac.id

Page 5: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

iv

KATA SAMBUTAN Ucapan selamat dan ungkapan apresiasi yang besar sepatutnya saya alamatkan kepada Departemen Penelitian dan Pengembangan HMTG FT UGM, atas kerja keras dan langkah panjangnya dalam upaya menerbitkan GeoResearch ini. Berawal dari harapan dan mimpi akan adanya satu dokumentasi resmi atas prestasi ilmiah para mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM, GeoResearch hadir bukan hanya untuk mewujudkan harapan dan mimpi tersebut. GeoResearch ini membawa harapan dan mimpi yang lebih besar dari hanya sekedar alat dokumentasi, yaitu sebagai alat pendorong bangkitnya iklim penelitian ilmiah mandiri di kalangan mahasiswa dalam wadah HMTG. Sehingga kelak, pada edisi berikutnya, saya ingin sekali tidak lagi melihat kategori KP (Kategori Profesional; yaitu makalah yang ditulis oleh dosen dengan dibantu mahasiswa peneliti) dalam daftar makalah yang dihimpun GeoResearch. Sudah selayaknya seluruh makalah merupakan KM (Kategori Mahasiswa; dimana makalah ditulis oleh mahasiswa peneliti yang disupervisi oleh dosen pembimbing), karena memang itulah semangat sesungguhnya yang dibawa oleh GeoResearch ini. Bila saat ini kita tengah memegang dan membolak-balikkan halaman demi halaman GeoResearch ini, sadarilah bahwa yang tengah kita baca ini adalah lembaran-lembaran semangat juang rekan-rekan kita yang berlapis-lapis dalam mengejar ujung dari rasa ingin tahu (curiosity) akan hal-hal yang menarik minat mereka dalam bidang Geologi. Rasa ingin tahu merupakan fondasi dari ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu hanya akan tersemai baik dalam lingkungan yang menghargai ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu hanya akan tumbuh subur dalam udara yang mengapresiasi jerih payah para peneliti. Sehingga, saya dengan sepenuh hati mengucapkan selamat kepada para mahasiswa yang namanya telah masuk ke dalam GeoResearch edisi ini. Inilah salah satu wujud apresiasi lingkungan kampus ini kepada anda. Dan bagi mahasiswa lain, bulatkan tekad dan semangat untuk membajakan niat agar nama kalian ada di edisi GeoResearch berikutnya. Saya percaya, Departemen Penelitian dan Pengembangan HMTG dan dibantu oleh seluruh staf Dosen Teknik Geologi FT UGM akan membantu mewujudkan harapan anda tersebut. Selalu ada langkah pertama yang terasa sulit dalam hal apa pun. Namun percayalah, akan ada langkah kedua dan ketiga yang terasa mudah. "Sesungguhnya dibalik kesulitan, selalu menunggu kemudahan". Januari 2014 Sekbid Akademik Jurusan Teknik Geologi Salahuddin Husein, Ph.D.

Page 6: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

v

KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas sukses terkumpulnya dan diterbitkannya berbagai karya tulis mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM dalam bentuk publikasi khusus GeoResearch HMTG Annual Proceeding untuk Periode Penulisan 2012-2013. Pembuatan prosiding ini bertujuan sebagai upaya dokumentasi prestasi mahasiswa dalam perannya sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi: melakukan penelitian yang diwujudkan dalam bentuk makalah. Makalah yang dihimpun dalam prosiding ini telah dipublikasikan secara oral maupun poster dalam konferensi, seminar, dan kompetisi setingkat daerah, nasional atau internasional. Harapan kami, mahasiswa dapat melihat bentuk makalah sekelas profesional maupun mahasiswa di berbagai konsentrasi studi yang disajikan dalam prosiding ini, untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam penulisan makalah selanjutnya. Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh dosen dan mahasiswa yang telah turut membantu mengumpulkan makalah yang kami sajikan dalam buku ini. Desember 2013 Dewan Redaksi GeoResearch HMTG Annual Proceeding

Page 7: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

vi

Periode 2012 – 2013

KATA SAMBUTAN

iv

KATA PENGANTAR

v

DAFTAR ISI

vi

SDE 1 Accelerating Methane Production in the Reaction Between Methanogen Bacteria and Coal: A Pilot Project for Optimizing Biologically Enhanced Coal Bed Methane KM; Mohamad Amin Ahlun Nazar, Jasmin Jyalita, Ahmad Zakariya Al Ansori, Sarah Sausan, Gusti Faisal Ismawan.

1

SDE 2 Karakteristik Reservoir Geothermal

KM; Muhammad Destrayuda, Ruth Amelia, Nanda Ayu Safira Mariska

13

SDE 3 Kendali Stratigrafi dan Struktur Gravitasi pada Rembesan

Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara KP; Salahuddin Husein, Jasmin Jyalita, Moch. Azis Qosim Nursecha

21

SDMGK 1 Karakteristik Bentonit Boyolali Sebagai Liner Tempat Pembuangan

Akhir Sampah KM; Fahmi Hakim, I Wayan Warmada, Wawan Budianta, Fraga Luzmi Fahmi, Dian Yesy Fatimah

39

SDMGK 2 Utilization of Yogyakarta Clay as A Landfill Liner

KM; Fraga Luzmi Fahmi, Fahmi Hakim 49

SDMGK 3 Ore and Alteration Mineralogy of Paningkaban-Cihonje Gold Prospect,

Gumelar District, Banyumas Regency, Central Java: A New Dicovery of Carbonate Base Metal Gold Epithermal Deposit KM; Fahmi Hakim, Arifudin Idrus, Jochen Kolb, Peter Appel

59

SDMGK 4 Ore and Alteration Mineralogy of Muara Bungo Gold Prospect, Jambi

Province: Implication for Deposit Genesis KM; Fahmi Hakim, Arifudin Idrus, Indra Sanjaya

71

GL 1 Community Empowerment Program of Landslide Hazard in Sepanjang

Village KM; Erwandi Yanto, Arkanu Andaru, Rudianto, I Gde Budi Indrawan, and Wahyu Wilopo

79

GL 2 Geological Disaster Mitigation, Early Warning System Landslide

Disaster, Auto Soil The Transmission Shifts Detector Wireless KM; Alfredo Di Stefano, Anarita Widyaningrum, Muhammad Faqih Alfyan, Aditya Sapta Nugraha

87

Page 8: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

vii

GL 3 Early Warning System Bencana Tanah Longsor, Detektor Pergeseran Tanah Otomatis Berbasis Ekstensometer, Mikrokontroler, dan Sistem Peringatan SMS KM; Alfredo Di Stefano, Ahmad Zakariya Al Ansori, Astika Prassidha, Aditya Sapta Nugraha, Anita Purba Nilam Hapsari, Wawan Budianta

93

GL 4 Aplikasi Peta Geologi Skala Detail Daerah Tenggara Gunung Ijo, Kulon

Progo, D.I.Y., Sebagai Penunjang Master Plan Kandidat Geowisata Unggulan Indonesia KM; Muhamad Rizki Asy’ari, Sarah Sausan, Ario Geger, Rezky Destrio Nugroho, Hanief Hamzah Purwandono

99

GD 1 Pemanfaatan Citra Digital Elevation Model (DEM) untuk Studi Evolusi Geomorfologi Gunung Api Merapi Sebelum dan Setelah Erupsi Gunung Api Merapi 2010 KM; Yustian Ekky Rahanjani, Agung Setianto, Srijono

109

GD 2 Pengaruh Kompetensi Batuan Terhadap Kerapatan Kekar Tektonik

yang Terbentuk pada Formasi Semilir di Daerah Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta KM; Budi Santoso, Yan Restu Freski, Salahuddin Husein

123

GD 3 Karakteristik Kekar Tiang pada Lava Andesit di Daerah Randubang,

Wonogiri, Jawa Tengah KM; Aditya Pratama, Fahmi Hakim

131

GD 4 Analisis Pembelokan Aliran Sungai Opak Saat Bermuara di Samudra

Hindia KM; Yan Restu Freski, Darmadi

141

GD 5 Pengembangan Kawasan Hutan Bakau dalam Perspektif

Morfodinamika Muara Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta KM; Yan Restu Freski, Srijono

149

GD 6 Mekanisme Pembentukan Spit pada Muara Sungai Opak dalam

Morfodinamika Pesisir Selatan Pulau Jawa berdasarkan Analisis Citra Multi-temporal KP; Srijono, Yan Restu Freski

155

GD 7 Mekanisme Abrasi Pesisir di Kawasan Pantai Depok, Bantul, Daerah

Istimewa Yogyakarta KM; Yan Restu Freski, Srijono

163

GD 8 Perkembangan Karstifikasi Formasi Sentolo di Timur Sungai Progo

Daerah Istimewa Yogyakarta KP; Srijono, Budi Santoso, Fajar Setiyawan, Christina Putri Widyaningtyas

171

SS 1 Penentuan Formasi Batuan Sumber Gununglumpur di Sekitar

Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera KP; Moch. Indra Novian, Peter Pratistha Utama, Salahuddin Husein

179

Page 9: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

viii

SS 2 Biostratigrafi Nannofossil Gampingan, Lintasan Gunung Temas,

Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah KM; Yohannes Ardhito, Akmaluddin

193

SS 3 The Sand-rich Tide Dominated Delta Model of Bangko Formation in

“AB” Area Using High-resolution Sequence Stratigraphy and Ichnofacies Analysis KM; Mohamad Amin Ahlun Nazar, Alfredo Di Stefano, Ananyamatya Bella Talita, Jarot Setyowiyoto, Kirandra Ferari Budi Prasodjo

210

SS 4 Facies Study by Using Extended Markov Chain Method: Case Study on

Sambipitu-Oyo Formation, Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY KM; Sarah Sausan, Octa Fiandani Putra

221

Keterangan singkatan SDE : Sumberdaya Energi SDMGK : Sumberdaya Mineral dan Geokimia GL : Geologi Lingkungan GD : Geologi Dinamik SS : Sedimentologi dan Stratigrafi KM : Kategori Mahasiswa KP : Kategori Profesional

Page 10: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

1

SDE 1 - ACCELERATING METHANE PRODUCTION IN THE REACTION BETWEEN METHANOGEN

BACTERIA AND COAL: A PILOT PROJECT FOR OPTIMIZING BIOLOGICALLY ENHANCED COAL BED

METHANE

Mohamad Amin Ahlun NAZAR*, Jasmin JYALITA*, Ahmad Zakariya Al ANSORI**, Sarah SAUSAN**, Gusti Faisal ISMAWAN*

* Geological Engineering Department Universitas Gadjah Mada

** American Association of Petroleum Geologists - Universitas Gadjah Mada Student Chapter

Best Paper in Indonesian Petroleum Association - IPA13-SE-126 37th Annual Convention & Exhibition, Jakarta, May 2013

ABSTRACT There are some challenging ideas that being pursued by a student research group in UGM. First, to accelerate methane production in CBM field, second, so it could gain more economical value with faster Break Event Point and third, to extend the life of a brown CBM field. Some pilot laboratory researches was conducted to make this big picture happen. This project was called “Biologically Enhanced Coal Bed Methane”. In this paper the newest result from the research project will be revealed, it was simulating the natural condition of CBM formation water in lab, in order to prove the method could run in nature.

Coal bed methane (CBM) is a type of natural gas with 100% methane content produced by coal reservoir. It is also known as an unconventional energy.This experimental research focus as the pilot project to develop the second method by using methanogen bacteria from cow rumen which have lower price and easier to gather than other sources. Coal, rumen, and water are reacted in the sealed tube that simulate natural condition of formation water. The coal used in this experiment originally came from North Kutai Sub Basin, Indonesia. High volatile bituminous samples, BE and E2, were used in this experiment because it was proven as the best in generating methane than other coal samples in reaction between coal and cow rumen. The natural condition of CBM were simulated by using oven to maintain and applying 3 salinity condition, fresh, brackish, and saline. Methane from the tube was then calculated using the gas chromatograph in the every three days. After the laboratory procedure, production of methane was analyzed by using linier regression of each data chart to find the best/mostoptimum formation condition in terms of salinity and temperature for rumen BECBM method to be applied, which resulted methanogen bacteria fits the brackish water the most, while temperature does not really affect the rate of methane formation.

INTRODUCTION Coal bed methane (CBM) is a type of natural gas that has 100% methane content produced by a coal reservoir. CBM is generated through the petrification and coalification process of coal. In the 20th century, CBM appeared to be a rising alternative energy to petroleum gas. Indonesia has 337 TCF of CBM resources (Stevens and Sani, 2001). CBM production can be enhanced by using several methods. This research is the pilot project to develop the enhancement method with methanogen bacteria.

Page 11: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

2

Previous Researches on Biologically Enhanced Coal Bed Methane (BECBM) BECBM is a new method to accelerate methane production by using bacteria. This method nowadays develops in limited progress. First idea to improve the methane production by utilizing methanogen bacteria was pointed out by Jones et al. (2008) using rare methanogen bacteria from modern wetland sediment with following conclusion: a. Sub-bituminous samples from different locations (Alaska, Texas, Wyoming, and

Pennsylvania) were used and reacted with bacteria. b. The samples that came from non-gas-producing reserves produce the most methane

gas. Continued in this research, Savitry (2010) proved that cow rumen is a source of methanogen bacteria with the following conclusion: a. Bacteria from cow rumen can be used to generate biogenic methane in the laboratory

at a temperature of 39°C and by using fresh water as the medium. b. The coal samples vary from low grade to medium grade; high volatile bituminous, low

volatile bituminous, semi anthracite, and sub bituminous B and C. The high volatile bituminous sample produces the most methane. It also has more liptinite and exudatinite macerals than the other samples do.

In this research, cow rumen is selected as source of methanogen because it is easy to gather, has a low economic price, and a good potential to be developed as large source of methanogen. Utilizing the animal husbandry to produce cow rumen instead of milk and meat is also an advantage because the company can support and empower local communities. The main ideas of this research are: 1. To simulate the natural conditions of the formation water and prove that methanogen

from cow rumen can react in the natural state. 2. To find the best temperature and salinity that is suitable for microbial enhancement

using cow rumen. Kutai Basin as the Source of Coal The coal samples used in this experiment originally came from the Kutai Basin (Figure 1) supported by PT. Kaltim Prima Coal, Indonesia. The Kutai Basin is located in the east of Borneo Island (Indonesia). This basin is classified as a coal and petroleum basin. Rock formations in the North Kutai Basin are products of the ancient Sangatta Delta (Sadinan et al., 1994). This deltaic deposit contains a series of coals that are used in the research. The coal properties are as follows (KPC, 2007): Total Moisture % as received 10.5 Proximate Analysis % air dried basis

Moisture 5.0 Ash 5.0 Volatile Matter 41.0 Fixed Carbon 49.0

Calorific Value kcal/kg Air dried 7100 Gross as received 6689 Net as received 6389 HGI 46 Abrasion Index, mg steel/kg coal 10

Page 12: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

3

Ultimate Analysis (daf) % Carbon 80.0 Hydrogen 5.50 Nitrogen 1.60 Sulfur 0.67 Oxygen 12.2 Sulfur (adb) % 0.60 Chlorine (adb) % < 0.01 Phosphorus (db in coal) % 0.009

Ash Fusion Temperature (oC) Reducing Initial Deformation 1200 Spherical 1230 Hemispherical 1300 Flow 1350

Ash Analysis (% in ash) SiO2 56.0 Al2O3 24.5 Fe2O3 9.5 CaO 1.70

Methanogen Bacteria & Microbial Methanogenesis Methanogen is a diverse group of organisms that can be found in an anaerobic environment, such as anaerobic sludge digester, the wood of trees, sewage, rumen, black mud, and black sea sediments. Methane is a product of the organism’s metabolism, which utilizes carbon dioxide and hydrogen (Sirohi et al., 2010, see Table 1). In general, methanogen bacteria can be found in many environments, such as wetlands that produce marsh gas, marine sediments, hot springs, hydrothermal vent, and groundwater.

The biogenic gas formed in nature by bacteria is from the activity of methanogen or anaerobic bacteria. This process begins with the anaerobe fermentation of organic material, breaking the organic polymers in the coal, forming organic acids and alcohol. Additions of hydrogen (H2) through the fermentation process convert the latter material into format and acetate. On the last stage, the methanogen bacteria and actrotopic bacteria consume the format and acetate, and methane and carbon dioxide are formed as side products. Figure 2 illustrates the process. Water Classification The chemical content of the water is widely used to separate this difference. According to Gorrel (1958), water is divided based on the Total Dissolve Solid (TDS) parameter into: fresh water (0 to 1,000 ppm); brackish water (1,000 to 10,000 ppm); salty water (10,000 to 100,000 ppm); and brine water (greater than 100,000 ppm).

The TDS parameter is used in this experiment to separate the water type from fresh water, brackish water, and saline water. Hydrochemical analysis of groundwater is done using the trilinier diagram (Piper, 1944), which compares the water used in the experiment and the natural water conditions. Natural Condition of CBM Co-Produced Water Information regarding the natural coal conditions is gathered from three sources: 1. Ferron CBM (from Rice, 2003)

The characteristic of formation water is Na-Cl-HCO3 type with total dissolved solids ranging from 6300–43000 mg/l that derive from the evaporite dissolution or from mixing with saline brine.

Page 13: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

4

The pH condition of the water is relatively neutral, and the temperature of the water depends on the reservoir depth from the surface, and ranges from 17.6–30.1°C.

2. Illinois Basin (from Strapoc et al., 2008)

This basin has a significant microbial activity, which produces microbial methane. The water condition that supports the system has a pH of 7.4–8.79 with total

dissolved solids ranging from 0.59–12.08 g/L and the temperature ranging from 16–17.4°C.

According to the DOE (1994), the molar composition of seawater is: H2O 53.6; Cl- 0.546; Na+ 0.469; Mg2+ 0.0528; SO2-4 0.0282; Ca2+ 0.0103; K+ 0.0102; CT 0.00206; Br- 0.000844; BT 0.000416; Sr2+ 0.000091, and F- 0.000068. We assume that the TDS parameter and the ionic composition of the seawater used in the experiment represent the saline and brackish water in the CBM to co-produce the water. Figure 3 shows the trilinier piper plot of seawater.

METHODS The sample used in this experiment is the BE sample from pit E2, which, from the proximate and ultimate analysis, is categorized as high volatile bituminous. The BE sample was crushed into powder in the laboratory using sterilized martyr and heated at 150°C for 10 min to reduce the moisture from coal powder. Sample E2 was not heated to maintain the original condition from the field. Rumen gathered from cows was used as a source of methanogen bacteria (see Figure 4). After extraction of the rumen from the cow, the rumen was filtered through filter paper in the laboratory to ensure that no organic and cellulose material was included in the reaction, so that the reaction would be purely between coal and methanogen bacteria. The proportion of coal:water:rumen is 1:4:5, which was formulated from the volume-mass-density relationship. Table 2 shows the variation of temperature and salinity in the experiment.

RESULTS From the data above, we know that the reaction between the methanogen from the cow rumen and coal could happen at different salinities and temperatures. This fact is an advantage for its development in the future.

The methane that occurs in this experiment is expected from the methanogenic reaction between coal and bacteria from cow rumen. At first, the bacteria will react with the organic content of coal so microbial fermentation occurs. While this fermentation occurs, the bacteria breaks the chemical bonds in the coal, decomposing the coal into several basic chemical compounds, such as CH3COOH, H2, format, and acetate. This compound later reacts with methanogen acetrophic, and H2 consumes the bacteria, producing methane and CO2 as described in the following reaction: CH3COOH (Bacteria) CH4 + CO2 4H2 + CO2 (Bacteria)CH4 + 2H2O Figure 2b illustrates the proposed process for producing methane in this experiment. Figure 5 explains the results from the experiments, while Figure 6 shows the linear relationship of the methane concentration for a period of 19 days (which suggests it is unsuitable for a longer duration). The E2 and BE samples, as illustrated, show the highest “rate of methane concentration growth” in salinity of brackish water for the given temperature, while the lowest rate is in the saline water. Although the samples were

Page 14: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

5

examined and controlled every day, the E2-04 (fresh water with 39°C temperature) sample showed an exception due to an unknown error. The relationship between salinity and “rate of concentration growth” (as shown by the gradient in Figure 7) in the E2 and BE samples is illustrated on Figure 7. The E2 data reflect the coal in the natural condition, and from Figure 7, we know that brackish water is the best condition for the microbial enhanced CBM method.

Salinity that affects the methane production is interpreted as the inability of bacteria to adapt in a high salinity environment. From the results, we can state that the methanogen bacteria fit the brackish water the best.

According to Harris et al. (2008), bacteria require nutrition to grow and produce methane as part of their metabolism. This research also shows that methanogen bacteria require a balance in nutrition as provided by the brackish salinity level. A high salinity concentration may harden the bacteria to diffuse methane as their inability to adapt.

The gradient from Figure 6 shows that temperature only affects the methane production slightly. From the trend lines (of the given temperature, 34°C and 39°C), we can see that the methane concentration decreases as the temperature rises.

CONCLUSIONS CBM is a type of natural gas with 100% methane content produced by coal reservoir. In this research, it is proven that methanogen bacteria (contained in cow rumen), in addition to the coal formation, can enhance CBM production. The experiment using two samples – E2 and BE – proves that under certain conditions (due to the salinity and temperature); methanogen bacteria can improve CBM production.

The methane production reaction is the fermentation of organic material by bacteria in the cow rumen. This fermentation then produces methane, CO2, and H2O. To complete the reaction, the coal and cow rumen need to be mixed with water. The water used in this research is of different salinities (to simulate the variation of formation water), ranging from fresh to brackish to saline water. The salinity is determined using TDS and Piper principles before the reaction. These tests also show the water composition. Besides the salinity, the natural temperature is also divided into 34°C and 39°C, based on the suitable temperature for bacteria to live, in.

From the results, we can see that the methane production (as shown by Figure 7) peaked in the samples with brackish salinity. The most methane production is caused by the perfect situation for the bacteria to live in while the temperature does not cause any significant changes or improvements in methane production. From this statement, it can be concluded that BECBM from cow rumen is suitable for its formation with brackish salinity and a temperature of 34°C temperature. Note that this method is only valid for time range of 19 days.

DISCUSSION CBM is an abundant source of energy for the future. However, it has short life span from 7–10 years, while natural gas can be produced for 20–30 years. It occurs because coal generates a limited amount of absorbed gas in the coal instead of releasing it in huge amounts from its pores as in natural gas. As in Langmuir (1916), the process of coal generation is called desorption. The desorption process of methane in coal requires several basic parameters, volume, and pressure. If both the parameters exceed the results from Langmuir, the methane will be desorbed. This is why CBM has a short life span.

This pilot project shows that several cases of decreasing CBM production can be handled by adding methanogen bacteria to them. Bacteria from cow rumen that is easy to gather and has a low price can adapt in the natural conditions of formation water to

Page 15: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

6

produce methane. Therefore, is it possible for this method to produce methane at an economic rate if it is applied in the CBM field?

SUGGESTIONS 1. A longer time range is needed in future research to ensure the stability of the methane

production pattern and that this method is valid for a long CBM production time. 2. Besides biologically enhanced CBM, the authors hope that the next research can

involve other substrates or materials that accelerate the methane production, such as chemical mixtures like formate and carbonate.

3. Further research is still needed to complete the data from this research, so that it can be developed in the CBM field as a new enhanced CBM practical method.

ACKNOWLEDGMENTS Sponsorship from PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA and PT. KALTIM PRIMA COAL; guidance from Dr. Donatus Hendra Amijaya (GED UGM), Mr. Ferian Anggara, H.T. Sudibyo; support from Dr. Salahuddin Husein, (Faculty Advisor of AAPG UGM SC), Dr. Sugeng Sapto Surjono (Head of GED UGM), Adrienne Pereira (AAPG Asia Pacific), and Geovanni C. Kaeng (AAPG Asia Pacific) are acknowledged.

REFERENCES DEPARMENT OF ENERGY USA (DOE), 1994, Handbook of Methods for the Analysis of the Various Parameters of the Carbon Dioxide System in Sea Water, 2, ORNL/CDIAC-74. FLORES, R.M., RICE, C.A., STRICKER, G.D., WARDEN, A., ELLIS, M.S., 2008, Methanogenic Pathways of Coal-Bed Gas in the Powder River Basin, United States: the Geologic Factor. International Journal of Coal Geology, Vol 76, 52-75. GORREL, H.A. 1958. Classification of Formation Waters Based on Sodium Chloride Content, Bull. American Association of Petroleum Geologists, vol 42., p. 2513 HARRIS, S.H., SMITH, R.L., BARKER, C.E., 2008, Microbial and Chemical Factors Influencing Methane Production in Laboratory Incubations of Lowrank Subsurface Coals. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 34-45. JONES, E.J.P., VOYTEK, M.A., WARWICK, P.D., CORUM, M.D., COHN, A., BUNNELL, J.E., CLARK, A.C., OREM, W.H., 2008, Bioassay for Estimating the Biogenic Methane-Generating Potential of Coal Samples. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 138-150. KANDUC, T., MARKIC, M., ZAVŠEK, MCINTOSH, J., 2011, Carbon Cycling in the Pliocene Velenje Coal Basin, Slovenia, Inferred from Stable Carbon Isotope. International Journal of Coal Geology. Doi:10.1016/j.coal.2011. 08.008. KALIM PRIMA COAL (KPC), 2007, Melawan a Indicative Coal Quality, http://www.kpc.co.id. LANGMUIR, I, 1916, The Constitution and Fundamental Properties of Solids and Liquids. Journal of the American Chemical, 38: 2221-95. Doi:10.1021/ja02268a002. PIPER, A.M., 1944, A Graphic Procedure in the Geochemical Interpretation of Water Analyses. American Geophysical Union Transactions, 25, 914-923.

Page 16: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

7

RICE, C.A., 2003, Production Waters Associate with the Ferron Coalbed Methane Fields, Central Utah: Chemical and Isotopic Composition and Volume. International Journal of Coal Geology, Vol 56: 141-169. SADINAN, W.S., IMANHARDJO, D.N, KUNTO, T.W., 1994, The Ancient Sangatta Delta: New Insight to the Middle Miocene Northern Kutai Basin Deltaic Systems, East Kalimantan. Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty Third Annual Convention, October 1994. SAVITRY, C.D., 2010, Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah – Sedang untuk Menghasilkan Gas Metana dengan Menggunakan Bakteri Metanogen. Universitas Gadjah Mada, Unpublished, Yogyakarta. SIROHI, S. K., PANDEY, N., SINGH, B., PUNIYA, A. K., 2010, Rumen Methanogens: a Review. Indian Journal of Microbiology, Vol 50, No 3: 253-262. Doi: 10.1007/S12088-010-0061-6. STEVENS, S.H., AND SANI, K., 2001, Coalbed Methane Potential of Indonesia: Preliminary Evaluation of a New Natural Gas Source. Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty Eight Annual Convention, 2001. STRAPOC, D., MASTALERZ, M., SCHIMMELMANN, A., DROBNIAK, A., HEDGES, S., 2008, Variability of Geochemical Properties in a Microbially Dominated Coalbed Gas System from the Eastern Margin of the Illinois Basin, USA. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 98-110.

TABLE 1 Different properties of methanogen in rumen (after Sirohi et al., 2010).

Page 17: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

8

TABLE 2 Samples and variables in the experiment.

Figure 1 - (a) The location of Borneo Island and Kute Basin, Indonesia. (b) Coal face in the

field.

Page 18: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

9

Figure 2 - (a) The microbial methanogenesis process (after Zinder, 1993 in Flores, et al.,

2008); (b) The proposed process of methane formation in this research.

Figure 3 - Trinilier piper diagram of water with different properties and data tables. (a) The sea water composition (After DOE, 2010); (b & c) the trilinier diagrams and TDS parameter plot of three CBM co-produced water data; (b) Data diagram from Rice (2003); (c) Data from Strapoc et al. (2008) and from Kanduc, et al. (2011). The main objective for this data is to consider which parameters will be used to simulate the natural condition of coal formation water in the experiment.

Page 19: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

10

Figure 4 - The experiment processes in the farm and laboratory. From upper left side in clockwise rotation: gathering rumen from the cow; filtering the rumen; coal samples E2 and BE; the coal weight measurement; the gas chromatograph to measure the methane concentration; reaction tubes in the oven; reacting the coal powder, rumen, and water; “ingredients” used in the reaction.

Page 20: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

11

Fig

ure

5 -

Dat

a fr

om

th

e ex

per

imen

t, s

ee e

xpla

nat

ion

in p

arag

rap

h.

Page 21: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

12

Figure 6 - The linear graph and mathematical formula of each sample. Diagonal lines show the rate of methane production formed by certain samples and temperature.

Figure 7 - The rate of methane concentration growth (gradient from Figure 6) vs. salinity from samples BE and E2.

Page 22: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

13

SDE 2 - KARAKTERISTIK RESERVOIR GEOTHERMAL

Muhammad DESTRAYUDA*, Ruth AMELIA*, Nanda Ayu Safira MARISKA*

*Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Yogyakarta, 55281

Dipresentasikan dalam bentuk poster pada Seminar Nasional Jurusan Kimia Fakultas MIPA

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 18 Mei 2013

ABSTRACT There are many problems in energy demand, especially when dealing with fossil fuel as main resource of energy in the world. As the fossil fuel quantity decreases, the demand for energy increases. This problem leads to a new solution for renewable energy which can fulfill the need of energy and also eco-friendly. One example to a renewable energy is geothermal, energy that comes from the heat generated by the earth itself. To know how a geothermal system works, we need to know the characteristics of the reservoir rocks which contain fluid to generate the generator inside the powerplant. In this paper, we will give simple, brief, and clear description and explanation about the characteristics of geothermal reservoir rocks. Kata Kunci: characteristic, energy, geothermal, reservoir, rocks.

PENDAHULUAN

Energi geothermal adalah salah satu jenis energi yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang sebagai sumber daya alternatif. Menurut etimologinya, geothermal berasal dari kata Yunani “Geo” yang berarti bumi dan “Thermal” berarti suhu. Pemanfaatan energi panas bumi dilakukan dengan menangkap panas di bawah kerak bumi untuk menjadikannya sebagai sumber daya energi yang dihasilkan oleh magma. Magma yang bisa berupa intrusi inilah yang nantinya akan memanaskan air di sekitarnya sehingga menghasilkan uap panas. Uap panas tersebut dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin yang akan memutar generator sehingga menghasilkan energi untuk memenuhi kebutuhan yang ada, seperti listrik.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi hampir tidak menimpulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Selain itu, hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal. Ini mampu memproduksi secara terus-menerus selama 24 jam sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi karena tingkat ketersediaan yang sangat tinggi, yaitu di atas 95%. Tenaga listrik panas bumi dapat langsung dimanfaatkan untuk kegiatan usaha pemanfaatan energi atau fluida.

Indonesia yang merupakan daerah dengan potensi geothermal yang sangat besar karena merupakan pertemuan dari 2 sirkum besar di dunia, yakni Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Namun sayangnya, pemanfaatan geothermal ini belum dimanfaatkan secara maksimal karna sumber daya manusia yang belum mencukupi dan juga dukungan teknologi yang terbatas. Padahal geothermal itu sendiri bisa menjadi salah satu energi alternatif terhadap kebutuhan energi yang semakin besar ini.

Page 23: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

14

Gambar 1. Lokasi Lapangan Lapangan Panas Bumi di Indonesia (Sumber : LIPI , 2005)

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang kami gunakan dalam pengerjaan paper ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka. Metode ini digunakan dengan mengambil beberapa literatur dan jurnal yang nantinya menjadi dasar penulisan paper dan pembahasan mengenai geothermal ini.

Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa literatur dan jurnal yang berkaitan dengan geothermal, hidrogeologi, dan alterasi hidrotermal.

Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer sebagai media sumber, analisis, dan penyimpanan data; serta alat tulis.

Prosedur Prosedur ini merupakan langkah kerja yang telah kami lakukan selama pembuatan pengerjaan paper ini. Prosedur ini dapat terbagi menjadi beberapa sub prosedur, diantaranya : 1. Penentuan topik dan judul

Topik yang dibahas adalah mengenai energi terbarukan yakni panas bumi (geothermal) dengan mengambil spesifikasi dari aspek reservoir. Ini menjadi dasar pembuatan judul yakni Karakteristik Reservoir Geothermal. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat dan pengetahuan dasar para saintis muda dalam mengembangkan energi terbarukan ini.

2. Pengumpulan data dari literatur yang terkait Data yang digunakan adalah data berupa literatur dan jurnal yang terkait dengan topik yang telah dipilih. Data ini akan bersinergi dan dikomparasikan agar mendapatkan sifat dinamis, sehingga pemikiran dan kesimpulan yang dihasilkan dapat berkembang.

3. Pembuatan abstrak Abstrak dimaksudkan untuk memberi gambaran secara umum atau garis besar dari isi paper yang telah dibuat. Abstrak ini menjadi dasar pengembangan dalam pembuatan paper ini.

4. Pengumpulan data Pengumpulan data ini dilakukan kedua kalinya untuk mendapatkan sumber data dan referensi yang lebih banyak sehingga dapat dibandingkan antara satu data dengan yang lainnya.

5. Analisis data dari berbagai sumber Setelah pengumpulan data dilakukan, lalu dilakukan tahap analisis data. Tahap ini meliputi hasil dan pembahasan yang tertera dalam paper ini. Di

Page 24: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

15

tahap inilah literatur dan jurnal diperlukan menjadi dasar pemikiran yang lebih baik dalam pembuatan paper ini.

6. Kesimpulan Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan yang bisa menjadi suatu pedoman bagi para saintis untuk mengembangkan energi yang dibahas dalam paper ini.

7. Penerbitan Penerbitan dilakukan dalam acara Seminar Nasional Kimia UGM 2013 dengan cara display poster dan presentasi dari paper yang telah dibuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Geothermal sebagai suatu sistem dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi bersih, ramah lingkungan, dan terbarukan. Sistem Geothermal dapat diklasifikasikan berdasar keseimbangan sistem, suhu sistem, tipe fluida, dan batuan sumber yang ada pada suatu reservoir geothermal. Berdasarkan keseimbangan sistem, sistem geothermal dapat dibagi menjadi sistem dinamis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konveksi) dan sistem statis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konduksi). Berdasarkan suhu sistem, geothermal dibagi menjadi sistem suhu tinggi (apabila suhu sistem >1500 C) dan sistem suhu rendah (apabila suhu sistem <1500 C). Berdasarkan tipe fluida geothermal dibagi menjadi sistem dominan cairan (fluid-dominated) dan dominan gas (gas-dominated). Berdasarkan batuan sumber atau reservoirnya, sistem geothermal dibagi menjadi sistem asal batuan sedimen dan sistem asal batuan volkanik, bagian ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab ini.

Gambar 2. Skema Sistem Geothermal Ideal

(Sumber : http://ptbudie.files.wordpress.com)

Gambar 3. Geothermal Reservoir dan Daur Hidrologi

(Sumber : http://taman.blogsome.com)

Batuan reservoir geothermal dapat berasal dari segala jenis batuan, namun yang paling umum berasal dari batuan vulkanik atau batuan sedimen silisiklastik, sedangkan batuan beku dan metamorf harus lapuk terlebih dahulu untuk dapat mengalirkan fluida yaitu air yang akan menjadi uap yang digunakan sebagai sumber energi. Hal ini didasarkan pada karakteristik reservoir geothermal yaitu: permeabilitas dan porositas batuan, konduktivitas termal batuan, tipe alterasi batuan, ada tidaknya struktur geologi, dan sifat air yang dihasilkan reservoir.

Permeabilitas dan Porositas Batuan

Permeabilitas batuan dapat didefenisikan sebagai kemampuan batuan untuk melewatkan air, sedangkan porositas adalah jumlah pori pada batuan yang berbanding terbalik terhadap volume total batuan dan dikontrol oleh bentuk dan susunan butir pada batuan, ukuran butir batuan, dan derajat sementasi atau kompaksi. Permeabilitas dan porositas sangat terkait pada volume air yang terkandung didalam batuan dan sifat batuan saat berinteraksi dengan air. Batuan reservoir yang baik harus memiliki tingkat porositas

Page 25: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

16

dan permeabilitas yang cukup tinggi, sehingga dapat mengalirkan dan menyimpan air sebagai sumber uap yang akan dimanfaatkan untuk memutar turbin pada generator.

Tabel 1. Rentang Besaran Porositas pada Batuan (Sumber : http://arifpanduwinata.blogspot.com)

Batuan yang dimaksud adalah akuifer, yaitu tubuh batuan yang dapat menyimpan dan mengalirkan air yang cukup berarti dibawah kondisi permukaan dengan nilai Konduktivitas Hidrolika >5x103 m/hari (Suharyadi, 1984). Selain reservoir geotermal, sistem geotermal juga membutuhkan suatu batuan penutup atau cap rock yang berfungsi untuk mencegah kalor menyebar sehingga uap tidak terbentuk secara optimal. Batuan ini identik dengan akuiklud pada istilah hidrogeologi, yaitu tubuh batuan yang dapat menyimpan air namun tidak dapat mengalirkan air dalam jumlah cukup berarti. Nilai Konduktivitas Hidrolika antara 10-4 – 10-6 bagi lapisan setengah kedap air dan Konduktivitas Hidrolika sebesar <10-6 bagi lapisan kedap air (Suharyadi, 1984)

Konduktivitas Thermal

Yang dimaksud dengan konduktivitas hidrolika adalah perbandingan antara kecepatan aliran air terhadap landaian hidrolika yang bisa diidentikkan dengan kelerengan. Konduktivitas termal batuan adalah panas laten yang dapat disimpan oleh batuan yang dinyatakan pada persamaan

Q = m. c. ΔT

yang dapat diubah menjadi

Q = . V. c. ΔT

dengan Q adalah kalor laten, adalah massa jenis, V adalah volume batuan, c adalah kapasitas jenis batuan, dan ΔT adalah beda suhu batuan terhadap suhu pada titik tertentu.

Page 26: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

17

Tabel 2. Nilai konduktivitas berdasarkan jenis batuan (Sumber : http://ptbudie.files.wordpress.com)

Batuan yang menjadi reservoir yang baik harus memiliki konduktivitas termal yang besar sehingga dapat menyimpan panas yang cukup untuk memanaskan air menjadi uap.

Tipe Alterasi Batuan

Tipe alterasi pada batuan reservoir hidrotermal berkisar pada jenis alterasi tipe propilitik – argilik/ argilik lanjut (Nicholson, 1993, p.19-24). Alterasi tipe propilitik disebabkan oleh fluida hidrotermal yang memiliki suhu tinggi mengubah mineral pada batuan yang dikandungnya menjadi mineral sekunder berupa klorit atau epidot pada suhu yang cukup rendah dibawah 1500 C.

Tabel 3. Tipe Alterasi Hidrotermal (Sumber : reinesin.blogspot.com)

Jenis alterasi ini menandakan letak batuan reservoir yang berada tidak terlalu dekat pada sumber panas seperti magma sehingga besar kemungkinan jenis sistem hidrothermal

Page 27: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

18

adalah sistem didominasi oleh cairan (liquid-dominated). Sedangkan jenis alterasi argilik/argilik lanjut dipengaruhi oleh fluida hidrotermal yang mengubah mineral pada batuan menjadi mineral sekunder berupa kaolin, haloysite, dan mineral lempung lainnya pada suhu diatas 2000 C. Tipe alterasi ini sangat berguna didalam menentukan berapa suhu sistem sehingga dapat ditentukan berapa besar jumlah uap air yang dapat diambil dan apa sifat fluida yang diperoleh.

Sifat Air yang Dihasilkan Reservoir

Sifat air dapat berupa pH, salinitas, kelimpahan ion, suhu air, dan kandungan gas. pH mencerminkan tingkat keasaman air pada batuan reservoir sebagai akibat interaksi air dengan suhu tinggi terhadap mineral dalam batuan yang dapat terlarut atau bereaksi menyebabkan perubahan pH air. Besarnya nilai pH bergantung pada faktor salinitas, suhu, dan kelimpahan ion.

Salinitas air sangat bergantung pada garam – garam terlarut didalam air. Garam tersebut dapat bersifat asam atau basa dan akan sangat berpengaruh terhadap pH air. Kelarutan garam – garam didalam air akan dipengaruhi suhu air. Jika suhu air tinggi, maka kelarutan garam – garam dalam air juga akan ikut bertambah. Jika suhu air bertambah, maka kelimpahan ion didalam air juga akan ikut bertambah. Kegunaan mempelajari sifat air yang dihasilkan oleh reservoir, sebagai salah satu karakteristik reservoir, adalah untuk melihat pengaruh sifat air pada umur mesin dan peralatan pada pembangkit saat digunakan. Jika pH air terlalu asam, maka kemungkinan komponen mesin pembangkit mengalami korosi akan semakin besar, begitu juga jika pH terlalu basa.

Hal ini juga berlaku pada suhu air. Jika suhu air begitu tinggi dan material generator tidak memadai, maka korosi akan semakin mungkin terjadi.

Struktur Geologi

Karakteristik reservoir yang terakhir adalah keberadaan struktur geologi yang “memotong” batuan reservoir. Yang dimaksud sebagai struktur geologi yang “memotong” reservoir adalah rekahan pada batuan sehingga memungkinkan terjadinya migrasi dari uap air yang dihasilkan oleh pemanasan air dari sumber panas tertentu sehingga uap air ini dapat digunakan menjadi sumber energi. Struktur geologi dapat berupa patahan yang “memotong” batuan ataupun kekar yang terbentuk akibat tektonik atau karena peregangan saja. Karakteristik ini mencerminkan kondisi tektonik dari daerah yang mengandung batuan reservoir sehingga dapat diperkirakan apakah reservoir yang akan dimanfaatkan layak atau tidak untuk dijadikan sumber energi geothermal. Hal ini dikarenakan keberadaan struktur geologi juga mencerminkan tingkat bahaya dari pengembangan daerah tersebut menjadi pembangkit energi. Sehingga reservoir yang baik seharusnya telah “terpotong” struktur geologi yang sebaiknya sudah tidak aktif atau pergerakannya sangat minim yang memungkinkan adanya pergerakan uap air dari bawah permukaan menuju permukaan dan tidak akan mengganggu aktivitas pembangkit energi dalam jangka waktu tertentu selama pembangkit energi digunakan.

KESIMPULAN

Geothermal adalah salah satu dari sekian banyak energi terbarukan ramah lingkungan

yang bisa dikembangkan di Indonesia. Aspek yang ditekankan yakni reservoir dapat

diindentifikasi dari permeabilitas dan porositas batuan, konduktivitas termal batuan, tipe

alterasi batuan, ada tidaknya struktur geologi, dan sifat air yang dihasilkan reservoir.

Page 28: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

19

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami dedikasikan kepada : 1. Tuhan Yang Maha Kuasa 2. Ir. Pri Utami, M.Sc., Ph.D, ahli geothermal, Dosen Teknik Geologi UGM 3. Keluarga dan teman-teman yang telah membantu dan mendukung dalam

pengerjaan paper ini.

DAFTAR PUSTAKA

BEST, MYRON G. 2003. Igneous and Metamorphic Petrology. Italia : Blackwell Publishing

EDWARDS, L.M, G.V CHILINGGAR, DKK. 1982. Handbook of Geothermal Energy. Houston : Gulf

Publishing Company

NICHOLSON, KEITH. 1993. Geothermal Fluids, Chemistry and Exploration Techniques. Berlin :

Springer Verlag,Inc.

SUHARYADI. 1984. Diktat Kuliah Geohidrologi (Ilmu Air Tanah). Yogyakarta : Jurusan Teknik

Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

TODD, DAVID KEITH. 1995. Groundwater Hidrology. Canada : John Wiley and Sons, Inc.

Page 29: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

20

Page 30: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

21

SDE 3 - KENDALI STRATIGRAFI DAN STRUKTUR GRAVITASI PADA REMBESAN HIDROKARBON

SIJENGGUNG, CEKUNGAN SERAYU UTARA

Salahuddin HUSEIN*, Jasmin JYALITA**, Moch. Azis Qosim NURSECHA**

*) Staf Pengajar - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, email: [email protected]

**) Mahasiswa - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2013

SARI

Cekungan Serayu Utara merupakan salah satu dari dua cekungan yang menyusun Jawa Tengah. Di Cekungan ini, banyak dijumpai rembesan hidrokarbon (minyak dan gas bumi) di permukaan, sebagai salah satu tanda aktifnya sistem petroleum. Meski demikian, kompleksitas geologi yang dimiliki cekungan ini membuatnya dikenal sebagai “terra incognita” dalam dunia eksplorasi migas di Pulau Jawa. Sebagai salah satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan titik tolak pendekatan dalam mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur penting dalam sistem petroleum. Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mempelajari faktor-faktor geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon di Desa Sijenggung, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di permukaan, rembesan tersebut terjadi pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data-data geologi permukaan, berupa data stratigrafi dan struktur geologi.

Penurunan Cekungan Serayu Utara sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) di Miosen Awal mempengaruhi pengendapan Formasi Rambatan, yang diisi oleh perselingan serpih, napal, dan tuff. Kandungan material volkaniklastik halus diduga berasal dari volkanisme Waturanda di Busur Volkanik Serayu Selatan. Mekanisme pengendapan litologi Rambatan tersebut terpengaruh kondisi cekungan yang terus menurun, menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi (soft sediment deformation) akibat luncuran gravitasi di lereng cekungan.

Memasuki Miosen Akhir, busur volkanik Jawa Tengah berpindah ke cekungan belakang busur, menghasilkan endapan-endapan vulkaniklastika kasar yang berselingan dengan klastika halus laut pada formasi-formasi Halang, Tapak, dan Pemali.

Deformasi yang dominan pada Formasi Rambatan adalah luncuran gravitasi (gravity sliding) ke arah utara-timurlaut dalam rejim ekstensional, yang secara lokal menghasilkan sesar anjak pada bagian ujung luncuran (toe- thrusting). Selanjutnya, saat aktifitas volkanisme menjadi dominan di Cekungan Serayu Utara, pembebanan tubuh gunungapi (volcanic load) juga menghasilkan deformasi luncuran gravitasi ke arah lateral, terutama bergerak ke arah selatan-baratdaya, yang tidak hanya bekerja pada dormasi-formasi Neogen Akhir tetapi juga mempengaruhi Formasi Rambatan yang lebih tua.

Page 31: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

22

Rembesan hidrokarbon di Desa Sijenggung pada Formasi Rambatan yang memiliki potensi sebagai batuan penyimpan (reservoar) dan batuan penyekat (seal) sekaligus, diduga melalui mekanisme pecahnya batuan penyekat (seal failure). Hal ini terjadi karena rendahnya kualitasnya litologi penyekat yang rendah akibat deformasi luncuran gravitasi, sehingga hidrokarbon dapat mencapai permukaan.

Kata kunci: rembesan hidrokarbon, Formasi Rambatan, struktur luncuran gravitasi, Sijenggung, Serayu Utara.

PENDAHULUAN

Cekungan Serayu Utara merupakan salah satu dari dua cekungan yang membentuk Jawa Tengah. Melimpahnya rembesan hidrokarbon pada lokasi ini menandakan bahwa dengan tatanan struktur geologi dan stratigrafi yang sedemikian rupa, terdapat sistem petroleum aktif yang bekerja pada Cekungan Serayu Utara. Satyana et al. (2007) menyebut Cekungan Serayu Utara sebagai terra- incognita, yaitu daerah dengan kondisi geologi yang belum dikenal baik dalam eksplorasi migas, yang memicu munculnya banyak pendapat berbeda mengenai kondisi geologi daerah setempat.

Sebagai salah satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan titik tolak pendekatan dalam mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur penting dalam sistem petroleum. Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mempelajari faktor-faktor geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di permukaan, rembesan tersebut terjadi pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Tengah. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data-data geologi permukaan, berupa data stratigrafi terukur (outcrop measured section) dan struktur geologi.

GEOLOGI REGIONAL

Fisiografi orogenik Jawa Tengah dibentuk oleh dua jalur pegunungan utama, yaitu Zona Serayu Selatan dan Zona Serayu Utara (Gambar 1). Dalam sejarah geologinya, kedua jalur pegunungan tersebut juga berperan sebagai cekungan sedimenter.

Zona Serayu Selatan berkembang dari daerah hulu aliran Sungai Bogowonto (sebelah utara Kota Purworejo) di sebelah timur dimana hingga lembah Sungai Citanduy (sebelah selatan Kota Majenang) di sebelah barat. Secara umum, Zona Serayu Selatan melampar relatif timur-barat dengan bentuk melengkung ke arah utara. Batas fisiografi sebelah timur zona ini tidak begitu tegas, dimana mereka bergabung dengan ujung utara Pegunungan Kulon Progo yang melampar berarah utara-timurlaut – selatan-baratdaya serta tertutup oleh endapan volkanik G. Sumbing. Batas fisiografi sebelah barat cukup tegas, dengan adanya lembah sempit bentukan erosi vertikal Sungai Cikawung yang menjadi batas zona ini dengan Zona Bogor yang masih memiliki fisiografi serupa dengan Zona Serayu Selatan. Van Bemmelen (1949) membagi Zona Serayu Selatan menjadi dua, bagian timur dan bagian barat, yang dipisahkan oleh dataran rendah Jatilawang pada aliran Sungai Serayu. Kedua bagian Serayu Selatan tersebut memiliki hubungan geometris susun genteng tumpuk kiri (left- stepping en echelon), memberikan kesan adanya sesar geser sinistral regional berarah timur-barat yang mempengaruhi keduanya. Bagian barat memiliki panjang 60 km dan lebar 15 km serta pelamparan berarah baratlaut-tenggara. Bagian timur melampar timur-barat dengan panjang 115 km dan lebar mencapai 35 km, dimana bagian tengah zona ini tersingkap batuan dasar pra-Tersier di daerah Karangsambung.

Page 32: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

23

Zona Serayu Utara berkembang lebih sederhana bila dibandingkan dengan Zona Serayu Selatan. Zona Serayu Utara hanya terdiri dari satu jalur pegunungan berarah timur-barat, dengan geometri melengkung membuka ke arah selatan, dan kedua ujungnya ditempati oleh gunungapi Kuarter. Ujung bagian timur dimulai dari penjajaran G. Sumbing dan G. Sindoro berarah baratlaut- tenggara, yang dilanjutkan dengan kehadiran kompleks volkanik Dieng ke arah barat- baratlaut. Ujung barat Zona Serayu Utara ditandai dengan kehadiran G. Slamet.

Stratigrafi regional dan deformasi tektonik kedua zona Serayu tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya (Gambar 2, 3). Zona Serayu Selatan memiliki batuan-batuan pra-Tersier dan Paleogen yang tersingkap ke permukaan di daerah Karangsambung. Kompleks Luk-Ulo yang berumur Kapur Akhir, serta Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan yang berumur Paleogen, terbentuk oleh proses longsoran gravitasional laut dalam pasca kolisi antara Sundaland dan lempeng kontinen mikro Jawa Timur (Hall, 2012), dimana fragmen aneka bahan (batuan metamorfik, batuan beku, batuan sedimen laut) bercampur-bancuh dalam massa dasar batulempung. Terdapat perkembangan karakter sedimentasi yang menarik dari matrix-dominated pada Kompleks Luk-Ulo dan Formasi Karangsambung menjadi lebih fragment-dominated pada Formasi Totogan (Asikin, dkk., 1992b). Hal ini dapat mengindikasikan semakin mendangkalnya lingkungan sedimentasi dan semakin kuatnya pengangkatan Karangsambung saat Paleogen Akhir.

Memasuki Oligosen Akhir, Jawa Tengah diduga mengalami segmentasi tektonik busur volkanik yang telah dimulai semenjak Eosen Tengah (Hall, 2012), dengan berkembangnya busur volkanik di Zona Serayu Selatan dan terbentuknya peregangan cekungan belakang busur di Zona Serayu Utara. Volkanisme Serayu Selatan ditandai dengan pengendapan Formasi Gabon di tepi selatan (van Bemmelen (1949) menganggap breksi volkanik Gabon sebagai bagian dari Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah) dan Formasi Waturanda di bagian tengah Zona Serayu Selatan. Formasi Gabon tersusun atas breksi andesit, setempat tuf lapili, lava, dan lahar, dimana sebagian besar litologi tersebut telah mengalami alterasi (Asikin dkk., 1992a). Sedangkan Formasi Waturanda terdiri atas batupasir vulkanik di bagian bawah, mengandung sisipan napal tufan, dan berubah menjadi breksi andesit di bagian atas.

Ke arah utara, Formasi Rambatan mulai diendapkan semenjak Miosen Awal di lingkungan lereng cekungan belakang busur yang labil, menutupi kelompok sedimen gravitasional Wora-wari yang lebih dahulu terbentuk saat Oligosen Akhir akibat pembukaan cekungan belakang busur Serayu Utara (kelompok Wora-wari dimasukkan dalam Formasi Totogan oleh Condon dkk., 1996). Formasi Rambatan terdiri dari batupasir karbonatan dan konglomerat dengan perselingan serpih, napal, dan tuff. Meskipun Condon dkk. (1996) menempatkan perkembangan Formasi Rambatan dimulai Miosen Awal, Lunt et al. (2009) menduga umur dari Formasi Rambatan lebih muda, yaitu Miosen Tengah (N10-N15).

Memasuki Miosen Tengah, volkanisme Serayu Selatan berkurang intensitasnya, yang kemungkinan disebabkan oleh efek rotasi berlawanan arah jarum jam yang dialami oleh Sundaland yang mempengaruhi proses subduksi di selatan Jawa saat itu. Pada masa ini, batugamping terumbu Formasi Kalipucang menutupi tinggian volkanik Formasi Gabon (Asikin dkk., 1992a), dan batulempung gampingan Formasi Penosogan berkembang di bagian yang lebih dalam di Busur Vulkanik Serayu Selatan. Napal dan tuf masih dijumpai menyisip dalam Formasi Penosogan (Asikin dkk., 1992a,b). Ke utara, Formasi Penosogan menjemari dengan Formasi Rambatan yang masih terus diendapkan selama Miosen Tengah.

Page 33: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

24

Miosen Akhir ditandai perkembangan busur vulkanik ganda (double-arc) di Jawa Tengah, dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan yang bersamaan munculnya vulkanisme Serayu Utara (Gambar 3). Secara umum, pada periode ini, batupasir vulkanik Formasi Halang mendominasi kedua zona. Fraksi kasar dan fragmen vulkanik disumbangkan oleh Formasi Peniron di Zona Serayu Selatan dan Formasi Kumbang untuk Zona Serayu Utara (Asikin dkk., 1992b; Condon dkk., 1996). Pada periode ini, dapat dianggap bahwa cekungan belakang busur Serayu Utara telah berubah menjadi busur vulkanik.

Perubahan konfigurasi tektonik regional diduga kembali terjadi pada kala Pliosen, ditandai dengan berhentinya aktifitas vulkanisme Serayu Selatan dan berkurangnya intensitas vulkanisme Serayu Utara (Gambar 3). Hall (2012) mengaitkannya dengan fase akhir rotasi Sundaland. Pada masa tectonic quiescence ini, sedimentasi batupasir gampingan Formasi Tapak berlangsung di kedua zona Serayu. Fragmen moluska banyak dijumpai dalam Formasi Tapak (Asikin dkk., 1992a; Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996). Lunt et al. (2009) menempatkan awal sedimentasi Tapak di Miosen Akhir (N17). Semakin ke atas, Formasi Tapak semakin menghalus. Di daerah Serayu Utara, anggota Tapak yang tersusun atas napal dan batulempung gampingan dinamakan Formasi Kalibiuk, dan nama Formasi Kaliglagah bagi yang mengandung lignit (Djuri dkk., 1996). Pada periode tectonic quiescence Pliosen inilah proses perlipatan di zona Serayu Selatan dan Serayu Utara berlangsung intensif.

Plistosen ditandai dengan reaktifasi Busur Vulkanik Serayu Utara, dengan serangkaian aktifitas vulkanisme di lingkungan darat oleh Ligung, Mengger, Gintung dan Linggopodo untuk bagian barat (Djuri dkk., 1996), dan vulkanisme Ligung, Damar, dan Kaligetas untuk bagian timur (Condon dkk., 1996). Vulkanisme Plistosen tersebut dilanjutkan dengan vulkanisme Holosen oleh Jembangan, Dieng, Sumbing, dan Sindoro untuk bagian timur (Condon dkk., 1996), dan vulkanisme Slamet untuk bagian barat (Djuri dkk., 1996). Tingginya aktifitas vulkanisme Kuarter di Zona Serayu Utara tersebut diduga menghasilkan volcanic load yang besar yang dapat memicu pengangkatan isostatik Zona Serayu Selatan sebagai proses deformasi paling akhir dan yang paling berperan menghasilkan bentukan fisiografi yang tampak saat ini di kedua zona tersebut (Gambar 3). Pada periode ini, akibat pengangkatan isostatik yang intensif, bagian inti Zona Serayu Selatan mengalami proses denudasi yang paling besar hingga menyingkapkan batuan-batuan pra-Tersier dan Paleogen di Karangsambung.

Sistem petroleum yang bekerja di Zona Serayu Utara tersusun atas elemen-elemen berupa batuan induk yang berumur Miosen Awal, batuan reservoar dari Formasi Rambatan dan Halang, batuan penyekat intra- formasi Rambatan dan Formasi Tapak, serta jebakan hidrokarbon berupa antiklin dan sesar anjak. Petroleum play yang dapat berlaku ialah konsep toe-thrusting yang berhubungan dengan pengangkatan Neogen, sistem antiklin yang terinversi, serta sistem terumbu pada horst cekungan tersebut (Satyana, 2007).

GEOLOGI DESA SIJENGGUNG

Berdasarkan peta geologi daerah Banjarnegara dan Pekalongan (Condon dkk., 1996), lokasi penelitian terdiri dari lima formasi, yaitu Formasi Tapak, Kumbang, Halang, Rambatan, serta anggota batuan gunungapi Jembangan dan intrusi-intrusi diorit. Litologi yang mendominasi lokasi penelitian meliputi serpih, napal, batupasir gampingan, batupasir tufan, konglomerat, breksi andesit, lava andesit, tuf, batugamping terumbu, serta batuan beku seperti diorit hasil intrusi. Dari sini, diketahui bahwa litologi- litologi penyusun daerah penelitian berumur Miosen Awal hingga Pleistosen akhir (Condon dkk., 1996).

Page 34: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

25

Struktur geologi yang dijumpai pada lokasi penelitian didominasi oleh sesar-sesar naik yang berarah baratlaut – tenggara serta sesar geser sinistral berarah utara timurlaut – selatan baratdaya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengungkap mekanisme terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data geologi permukaan, berupa stratigrafi dan struktur geologi. Jalur Kali Pekacangan dipilih karena selain di jalur tersebut terdapat rembesan hidrokarbon, di lembah sepanjang aliran sungai tersebut banyak tersingkap batuan-batuan yang menyusun elemen sistem petroleum Serayu Utara.

Data stratigrafi diperoleh dengan melakukan metode penampang terukur, dengan alat bantu tongkat Jacob dan meteran tali. Koreksi kemiringan topografi terhadap ketebalan stratigrafi terukur langsung dilakukan di lapangan dengan bantuan busur protaktor dan kompas geologi. Sampel batuan diambil secara sistematik pada bagian yang mewakili unit litologi yang tengah diukur.

Data struktur geologi diperoleh di lapangan dengan dua tahapan, yaitu: (i) identifikasi jenis struktur dan geometrinya, dan (ii) identifikasi kinematika struktur dengan mengamati pergeseran lapisan batuan. Data struktur yang telah direkam di lapangan tersebut kemudian dicantumkan pada peta kerja yang telah digambarkan sebaran litologinya. Gabungan dari data struktur dan sebaran litologi tersebut memungkinkan pembagian unit-unit struktur (kompartemen struktur) untuk memudahkan analisis kinematika keseluruhan.

Sintesis data stratigrafi dan struktur geologi dibuat untuk memperoleh pemahaman proses-proses geologi yang mengontrol sedimentasi. Selanjutnya sintesis tadi akan ditelaah dalam perspektif proses tektonostratigrafi regional sehingga hubungan antara daerah penelitian dengan Cekungan Serayu Utara dapat dibangun dalam perspektif ruang dan waktu. Tahap terakhir adalah menentukan sistem petroleum yang bekerja di daerah penelitian dan hubungannya dengan sistem petroleum yang bekerja secara regional di Cekungan Serayu Utara. Pada tahap terakhir ini juga ditentukan mekanisme penyebab terjadinya rembesan dalam sistem petroleum di daerah penelitian.

REKONSTRUKSI STRATIGRAFI KALI PEKACANGAN

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, lokasi penelitian terletak pada bagian barat Cekungan Serayu Utara. Pada lokasi penelitian (khususnya pada lintasan Kali Pekacangan), ditemui paket-paket struktur slump hasil luncuran gravitasi dengan arah kemiringan yang berubah-ubah secara intensif. Analisa paleontologi kemudian dilakukan untuk mengetahui umur sebenarnya dari Formasi Rambatan tersebut.

Berdasarkan data paleontologi berupa foraminifera plangtonik dan foraminifera bentonik, didapatkan kisaran umur dan lingkungan pengendapan batuan di daerah penelitian. Untuk jalur Kali Pekacangan (Formasi Rambatan), terdapat dua sampel analisa paleontologi yaitu sampel AJ 2 dan AJ 13. Umur tertua yang dijumpai pada lokasi penelitian yaitu pada Formasi Rambatan adalah pada zona N12 – N18 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii A dan B (Bolli), sedangkan umur termuda pada zona N19 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella dehiscens (Parker & Jones).

Selain pada Formasi Rambatan, analisa paleontologi juga dilakukan pada Formasi Tapak yang beranggotakan napal dan batugamping terumbu. Satu sampel paleontologi

Page 35: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

26

yang dianalisa menunjukkan umur N19 – N23 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii cultrate (d’Orbigny).

Struktur sedimen yang dominan berkembang pada lokasi penelitian adalah laminasi paralel, laminasi konvolut, gradasi normal, flute cast, slump, dan bioturbasi. Struktur load cast juga berkembang pada lokasi penelitian ini, khususnya dijumpai pada batupasir dengan sementasi yang kuat. Laminasi dapat terbentuk dari pengendapan partikel berukuran halus dari suspensi dan transportasi traksi pasir pada kondisi yang sama (Boggs, 2006). Gradasi normal dapat timbul akibat penurunan kekuatan aliran selama sedimentasi, tetapi pada umumnya dari dispersi butir dan buoyancy effect yang biasa terjadi pada endapan dengan konsentrasi sedimen yang rendah. Flute cast pada daerah ini terbentuk akibat erosi pada serpih (yang kemudian terisi oleh batupasir) dengan bentuk memanjang. Struktur sedimen tersebut digunakan dalam penentuan arah arus saat pengendapan unit-unit batuan tersebut terjadi. Berdasarkan struktur flute-cast pada batupasir tufan Rambatan di dekat jembatan Kali Pekacangan Desa Sijenggung, arah sedimentasi diamati berarah ke timurlaut. Struktur slump terbentuk akibat luncuran gravitasi melalui suatu bidang gelincir. Struktur ini terbentuk dalam skala besar yang dapat ditemui hampir di sepanjang lintasan Kali Pekacangan. Struktur bioturbasi yang dijumpai pada lokasi penelitian berupa ichnofasies Nereites (Gambar 6). Ichnofasies Nereites dicirikan oleh fosil jejaknya yang didominasi oleh cetakan horizontal, baik hanya dengan bentuk memanjang maupun bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Fosil jejak tersebut mengindikasikan lingkungan pengendapan laut dalam. Struktur terakhir ialah load cast yang terbentuk akibat pembebanan oleh batupasir (material sedimen berukuran kasar) pada serpih di Formasi Rambatan. Struktur sedimen tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan top dan bottom dari lapisan batuan.

Shale yang ditemui pada Formasi Rambatan didominasi oleh shale yang berwarna hitam (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa satuan batuan tersebut kaya akan material organik, sehingga lingkungan pengendapan bersifat reduktif.

Selain shale, lokasi penelitian juga tersusun atas litologi berupa batupasir karbonatan, batupasir tufan, serta batugamping.

Lingkungan pengendapan pada lokasi ini adalah berupa laut dalam dengan pengendapan turbidit dan gravity gliding yang menyebabkan melimpahnya struktur slump (Gambar 5).

TEKTONIK GRAVITASI DAN KAITANNYA DENGAN STRUKTUR

GEOLOGI DESA SIJENGGUNG

Struktur geologi utama yang menyusun daerah penelitian tidak hanya murni karena tenaga endogenik yang mengompresi maupun meregangkannya, melainkan juga akibat tenaga gravitasi. Pada Miosen Awal, mulai terjadi pengangkatan di Busur Vulkanik Serayu Selatan akibat aktivitas magmatisme Andesit Tua yang berumur Oligo-Miosen, dan terbentuknya Cekungan Belakang Busur Serayu Utara. Tataan tektonik busur vulkanik ini menyebabkan terbentuknya lereng yang mengarah ke utara menuju dalaman Serayu Utara. Kondisi ini mempengaruhi sedimentasi Formasi Rambatan yang tengah berlangsung di Cekungan Serayu Utara, menyebabkan sebagian besar dari sedimen Rambatan yang terendapkan di tepi selatan Serayu Utara tergelincir (gravity gliding) menuju ke arah utara.

Proses tersebut melakukan sedimentasi ulang (reworking) yang menghasilkan struktur slump. Pengukuran stratigrafi permukaan di lintasan Kali Pekacangan menunjukkan adanya ciri-ciri proses reworking dari sedimen yang telah terendapkan sebelumnya. Di samping itu, perubahan arah kemiringan lapisan batuan yang sangat

Page 36: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

27

intensif dalam jarak yang tidak terlalu jauh mengindikasikan beberapa unit struktur slump yang terbentuk akibat luncuran gravitasi.

Meskipun struktur sedimen menunjukkan arah sedimentasi ke utara- timulaut, namun struktur geologi di lokasi penelitian justru menunjukkan serangkaian sesar naik ke arah selatan-baratdaya (Gambar 7, 8). Struktur demikian diduga terbentuk akibat luncuran sedimen Formasi Rambatan untuk kedua kali yang terjadi kala Miosen Akhir. Pada saat itu, pengendapan Formasi Rambatan telah berakhir dan digantikan oleh sedimentasi vulkaniklastik Formasi Halang yang didominasi oleh batupasir tuf dengan fragmen lapili. Kehadiran Formasi Halang menunjukkan perubahan tataan tektonik Jawa Tengah, dimana Cekungan Serayu Utara berubah fungsi dari cekungan belakang busur

menjadi busur vulkanik (Gambar 2, 3). Kondisi demikian menghasilkan pengangkatan di Zona Serayu Utara yang menghasilkan perubahan arah kelerengan cekungan sedimenter di sana. Bila sebelumnya kelerengan sedimentasi di daerah Sijenggung diduga berarah ke utara-timurlaut menuju deposenter Serayu Utara, maka dengan perubahan tataan tektonik yang ditandai oleh naiknya Serayu Utara tersebut menyebabkan terbentuknya kelerengan sedimentasi ke arah selatan-baratdaya. Hal ini menyebabkan batuan Formasi Rambatan mengalami tektonik gravitasi untuk kedua kalinya, dimana sebagian besar mereka menjadi meluncur ke arah selatan-baratdaya mengikuti kemiringan cekungan sedimenter yang baru. Hasil akhir dari proses ini tampak dari penampang geologi Kali Pekacangan menunjukkan beberapa sesar naik yang diduga merupakan bagian sesar anjak (toe-thrust) bentukan dari beberapa paket slump akibat gravity gliding (Gambar 7, 8).

Di lokasi penelitian, Formasi Rambatan dijumpai telah tersingkap ke permukaan, dan Formasi Halang dan Formasi Tapak yang menutupinya telah tererosi dengan ditandai banyak bongkah-bongkah batupasir vulkanik Halang di sepanjang jalur Sungai Pekacangan. Hal ini menunjukkan adanya pengangkatan daerah penelitian kembali untuk ketiga kalinya pada kala awal Plistosen, setelah pengendapan Formasi Tapak. Pengangkatan tektonik ketiga inilah yang diduga bertanggungjawab terhadap mekanisme rembesan hidrokarbon di daerah penelitian.

REMBESAN GAS BUMI DI KALI PEKACANGAN

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, rembesan hidrokarbon merupakan indikasi awal adanya suatu sistem petroleum aktif yang menyusun suatu lokasi. Terjadinya rembesan hidrokarbon di permukaan menunjukkan adanya kebocoran dalam sistem petroleum, baik secara langsung dari batuan induk maupun dari batuan penyimpan (reservoar) melalui jalur-jalur yang dibentuk struktur geologi maupun tatanan stratigrafi suatu daerah.

Menurut Gluyas (2003) pembentukan rembesan hidrokarbon terdiri dari tiga fase yang meliputi: (i) pecahnya batuan penyekat atau tudung (seal failure) akibat deformasi tektonik, (ii) migrasi tersier (tertiary migration) dari batuan penyimpan menuju permukaan melalui bidang patahan, dan (iii) penguapan di permukaan (dissipation near the surface).

Rembesan gas bumi di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung terjadi pada Formasi Rambatan yang beranggotakan batupasir dengan selingan serpih, napal, dan tuf. Formasi ini memiliki kualitas yang cukup baik pada perlapisan batupasir tuf sebagai batuan penyimpan (reservoar). Batuan penyekat yang menutupinya ialah serpih dari Formasi Rambatan itu sendiri (penyekat intra- formasional). Di bagian atasnya, dijumpai batupasir vulkanik Formasi Halang yang juga berpotensi sebagai batuan reservoar.

Page 37: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

28

Melihat tataan stratigrafi dan struktur geologi yang berkembang secara lokal, terjadinya rembesan gas bumi Sijenggung dapat dikelompokkan karena terangkatnya batuan reservoar ke permukaan, sehingga hidrokarbon yang seharusnya menempuh migrasi sekunder dari batuan reservoar Formasi Rambatan menuju batuan reservoar Formasi Halang, dapat melalui batuan penyekat yang telah pecah (mekanisme pertama: seal failure) akibat pengangkatan tektonik yang ketiga (awal Plistosen), untuk kemudian merembes melalui patahan menuju permukaan (mekanisme kedua: tertiary migration), dan membentuk rembesan (mekanisme ketiga: dissipation near surface).

KESIMPULAN

1. Perubahan dan dinamika tektonik busur gunungapi mempengaruhi sedimentasi yang terjadi di Cekungan Serayu Utara. Cekungan Serayu Utara merupakan cekungan belakang busur pada rentang Miosen Awal hingga Miosen Tengah, dan kemudian berubah menjadi busur vulkanik semenjak Miosen Akhir.

2. Daerah penelitian mengalami tiga kali pengangkatan tektonik: (i) pengangkatan Serayu Selatan pada Miosen Awal, (ii) pengangkatan pertama Serayu Utara pada Miosen Akhir, dan (iii) pengangkatan kedua Serayu Utara pada awal Plistosen.

3. Pengangkatan pertama dan kedua mempengaruhi sedimentasi Formasi Rambatan dengan membentuk unit-unit struktur slump, dengan mekanisme luncuran gaya-berat (gravity gliding).

4. Akibat gravity gliding yang terjadi pada daerah penelitian, terbentuklah struktur toe-thrust faults beserta endapan yang berkarakter turbidit pada Formasi Rambatan.

5. Formasi Rambatan di lokasi penelitian tersusun atas serpih, batulempung, dan batupasir gampingan. Umur tertua yang dijumpai pada Formasi Rambatan di lokasi penelitian adalah pada zona N12–N18 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii A dan B (Bolli), sedangkan umur termuda pada zona N19 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella dehiscens (Parker & Jones). Dari jenis litologinya, formasi ini berpotensi untuk menjadi reservoar dan batuan segel intra-formasional.

6. Pengangkatan tektonik Serayu Utara yang ketiga menyebabkan tersingkapnya Formasi Rambatan ke permukaan dan memicu terjadinya rembesan hidrokarbon Sijenggung.

7. Rembesan hidrokarbon di Sijenggung terjadi melalui tiga tahapan mekanisme: (i) pecahnya batuan penyekat akibat pengangkatan tektonik ketiga, (ii) rembesan melalui patahan, dan (iii) menguap di permukaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Jurusan Teknik Geologi FT UGM yang telah mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian dan memberi kesempatan untuk mempresentasikan dalam seminar nasional. Ungkapan terima kasih juga ditujukan Bapak Moch. Indra Novian, M.Eng. yang telah mendampingi observasi dan berdiskusi di Banjarnegara.

DAFTAR PUSTAKA

ASIKIN, S., A. HANDOYO, B. PRASTISTHO, DAN S. GAFOER (1992a). Peta Geologi Lembar Banyumas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. ASIKIN, S., A. HANDOYO, H. BUSONO, DAN S. GAFOER (1992b). Peta Geologi Lembar Kebumen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Page 38: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

29

BOGGS, S. JR., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy: Fourth Edition, Pearson Education, Inc., New Jersey, 662p. CONDON, W.H., L. PARDYANTO, K.B. KETNER, T.C. AMIN, S. GAFOER, DAN H. SAMODRA (1996). Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. DJURI, M., H. SAMODRA, T.C. AMIN, DAN S. GAFOER (1996) Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. GLUYAS, J. AND R. SWARBRICK (2003) Petroleum Geoscience, Blackwell Publishing. New Jersey. HALL, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean. Tectonophysics, 570–571, pp. 1–41 LUNT, P., G. BURGON, A. BAKY (2009) The Pemali Formation of Central Java and equivalents: Indicators of sedimentation on an active plate margin, Journal of Asian Earth Sciences, 34, pp. 100-113. SATYANA, A.H. (2007) Central Java, Indonesia – a “Terra Incognita” in Petroleum Exploration: New Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum Implications, Proceedings of Indonesian Petroleum Association 31st Annual Convention and Exhibition, Jakarta.

VAN BEMMELEN, R.W. (1949) The Geology of Indonesia Vol. IA, Martinus Nijhoff. Belanda.

Page 39: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

30

Gambar 1. Fisiografi Zona Serayu.

Gambar 2. Tektonostratigrafi Kenozoikum Zona Serayu (dikompilasi dari Asikin dkk., 1992a; Asikin dkk., 1992b; Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996; Lunt et al., 2009; Hall, 2012). Formasi Pemali yang seumur dengan Formasi Tapak tidak dimasukkan karena sebarannya menempati Zona Bogor.

Page 40: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

31

Gambar 3. Diagram rekonstruksi evolusi geologi Zona Serayu berdasarkan tektonostratigrafinya (lihat Gambar 2). Tanpa skala. Pada Oligosen Akhir (b) cekungan belakang busur terbentuk di Zona Serayu Utara, dengan pengendapan gaya-berat Wora-Wari terbentuk di bagian tepi selatannya. Pada Miosen Awal (c) naiknya genang laut memicu terendapkannya Formasi Rambatan menutupi Wora-Wari. Proses re-sedimentasi akibat gaya-berat menghasilkan banyak struktur slump.

Page 41: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

32

Gambar 3 (lanjutan). Pada Miosen Tengah (d) proses magmatisme Serayu Selatan berhenti,

diduga terganggu oleh proses rotasi Sundaland yang baru berjalan. Jawa Tengah

mulai mengalami pemendekan (shortening). Kondisi genang laut maksimum

(highstand) mendorong pertumbuhan batugamping terumbu Formasi Kalipucang.

Pada Miosen Akhir (e) terbentuk dua busur vulkanik (double-arc) di Zona Serayu,

dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan dan munculnya vulkanisme Serayu

Utara. Beban dari tubuh gunungapi Serayu Utara menekan Formasi Rambatan dan

Wora-Wari sehingga mereka bergerak ke arah luar dari tepi cekungan. Akibat rotasi

dan shortening, Karangsambung mulai terangkat dan terlipat.

Page 42: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

33

Gambar 3 (lanjutan). Pada Pliosen (f) terjadi perubahan tataan subduksi akibat proses rotasi

Sundaland yang kembali berlanjut dan disertai pemendekan/kompresi. Sekali lagi

magmatisme dan vulkanisme Jawa Tengah berhenti, dan pengendapan Formasi

Tapak berlangsung. Karangsambung dan Wora-Wari terus terangkat. Pada Plistosen

(g) vulkanisme Serayu Utara kembali aktif. Beban dari tubuh gunungapi kembali

menekan Formasi Rambatan dan Wora-Wari sehingga mereka bergerak naik ke arah

selatan. Lembah Serayu (Zona Serayu sensu-stricto) terbentuk diantara tinggian

Karangsambung dan Wora-Wari. Perkembangan selanjut kala Holosen ditandai

dengan intensitas denudasi yang sangat tinggi, baik di Serayu Selatan maupun di

Serayu Utara. Di Karangsambung, erosi menyingkapkan Formasi Karangsambung

sebagai inti dari antiklin. Sedangkan di Wora-Wari, erosi menyingkapkan Formasi

Rambatan (seperti di daerah penelitian), bahkan hingga ke batuan Wora-Wari.

Page 43: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

34

Gambar 4. (Kiri) Perselingan shale dan batupasir karbonatan yang menyusun Formasi Rambatan pada tempuran Kali Pekacangan, kamera menghadap ke timur. (Kanan) Struktur sedimen load cast, laminasi konvolut, dan laminasi paralel pada batupasir Formasi Rambatan.

Gambar 5. Kondisi litologi dan struktur geologi Kali Pekacangan

Page 44: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

35

Gambar 6. (Atas) penampang panorama singkapan di utara tempuran Kali Pekacangan, di daerah Asinan. (Kiri) Struktur sedimen laminasi konvolut dan paralel. (Kanan) Fosil jejak pada batupasir Formasi Rambatan yang digunakan sebagai salah satu penentu top-bottom lapisan batuan.

Page 45: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

36

Ga

mb

ar

7. P

ena

mp

an

g g

eolo

gi j

alu

r 1

(K

ali

Pek

aca

ng

an

)

Page 46: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

37

Gambar 8. Penampang geologi jalur 2 (Tempuran Kali Pekacangan)

Page 47: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

38

Page 48: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

39

SDMGK 1 - KARAKERISTIK BENTONIT BOYOLALI SEBAGAI LINER TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

SAMPAH

Fahmi HAKIM*, I Wayan WARMADA, Wawan BUDIANTA, Fraga Luzmi FAHMI, dan Dian Yesy FATIMAH

Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

*email: [email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Salah satu aspek yang perlu didekati dalam pengelolaan persampahan adalah aspek teknik yaitu mengenai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ramah lingkungan, yaitu menggunakan metode sanitary landfill. Oleh karena itu dibutuhkan liner yang dapat mencegah terjadinya hal itu. Dalam penelitian ini, salah satu bahan liner yang murah dan banyak terdapat di alam adalah lempung, terutama dari jenis bentonit. Namun tidak semua lempung dapat digunakan sebagai liner. Oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi dari lempung tersebut. Sampel bentonit untuk penelitian diperoleh dari lima titik yang terletak di Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian terdiri dari 7 sampel bentonit dengan sifat fisik yang berbeda. Bentonit ini terdapat pada Anggota Banyuurip, Formasi Kerek. Berdasarkan hasil uji karakteristik geoteknik berupa uji plastisitas-kompetensi, ukuran butir, dan permeabilitas, semua sampel bentonit ini memiliki nilai yang memenuhi syarat sebagai liner. Kemudian uji mineralogi yang dilakukan yaitu uji CEC dan XRD. Dimana dari hasil uji XRD, terdapat komposisi mineral lempung berjenis bentonit yang cukup dominan seperti nontronite dan stevensite, serta mineral lain berupa kaolinite, lizardite, carlosturanite, surite, kalsit dan kuarsa. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-A merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai permeabilitas yang paling rendah. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Bentonit Boyolali dari daerah Simo, Karanggede, dan Wonosegoro memiliki potensi yang baik sebagai liner tempat pembuangan sampah akhir.

Kata kunci: Landfill, Leachete, Liner, Bentonit Boyolali

PENDAHULUAN

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat tahun 2008, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2% yang dibakar sebesar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar 53,3%. (Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil, 2001). Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada di Indonesia, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping (JICA and PT. Arconin. Report on Solid Waste Data in Indonesia). Salah satu hasil dari dekomposisi sampah tersebut adalah leachate sampah yang berupa cairan. Apabila rembesan leachate sampai ke lapisan tanah dan mengalir masuk ke dalam air tanah maka akan mencemari kualitas air tanah. Padahal sebagian

Page 49: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

40

besar masyarakat kita masih menggunakan air sumur (yang berasal dari air tanah) sebagai sumber air bersih. Oleh sebab itu, tindakan yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara membuat TPA yang aman terhadap lingkungan.

Sampah-sampah yang dibuang di TPA yang belum didesain yang aman terhadap lingkungan dapat menyebabkan leachate atau limbah cair yang dihasilkan dari sampah tersebut dapat langsung masuk ke air tanah yang kemudian akan membahayakan manusia dan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tanah tersebut. Salah satu cara membuat TPA yang aman terhadap lingkungan adalah dengan mencegah merembesnya leachate ke air tanah, dengan cara dasar dari tempat pembuangan sampah harus dibuat kedap atau tidak tembus air. Konsep yang dinamakan sanitary landfill ini merupakan sistem TPA yang paling modern saat ini (Gambar 1). Sedangkan jenis lapisan yang umum dipakai sekarang ini pada sanitary landfill di negara maju adalah dengan menggunakan bahan geosintetik yang mahal, namun dalam hal ini perlu diteliti mengenai lempung lokal berjenis bentonit yang bisa dipakai sebagai clay liner. Lempung merupakan bahan yang murah, banyak terdapat dialam dan memiliki nilai permeabilitas rendah, sehingga cocok digunakan sebagai liner. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan potensi bentonit untuk menjadi clay liner tempat pembuangan akhir sampah (TPA) dilihat dari karakteristik geoteknik dan komposisi mineralogi.

Gambar 1. Konsep sanitary landfill dengan menggunakan bentonit sebagai liner

GEOLOGI

Menurut Pringgoprawiro (1983), Stratigrafi daerah penelitian berada pada Zona Kendeng yang mana merupakan bagian dari Formasi Kerek. Formasi ini tersiri dari perselingan antara lempung, napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Akhir (N10 – N18) pada lingkungan laut dangkal. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 – 3000 meter. Formasi ini terdiri dari 3 anggota: Anggota Banyuurip, Anggota Sentul dan Batugamping Formasi Kerek. Sedangkan daerah penelitian termasuk Anggota Banyuurip yang tersusun oleh perselingan antara napal lempungan, napal, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter (de Genevreye & Samuel, 1972). Pada bagian tengah perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen Tengah bagian tengah – atas). Pada daerah penelitian, perselingan antara napal lempungan, lempung dan batupasir tufaan dijumpai secara luas dengan ketebalan bervariasi ulai dari 5 cm hingga 50 cm (Gambar 2.a). Geomorfologi daerah penelitian merupakan daerah perbukitan landai dengan kontrol struktur geologi. Sungai merupakan salah satu agen dalam proses ekshumasi batuan yang berumur tua di daerah penelitian (Gambar 2.b). Jenis struktur yang banyak

Page 50: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

41

dijumpai struktur berupa sesar naik, sesar turun/ekstensional (Gambar 2.c), sesar geser mendatar, serta lipatan. Di bagian utara daerah penelitian (Gambar 2.d) ditemukan indikasi batuan telah terlipat dan mungkin terbalik dengan dijumpai dip batuan yang hampir tegak (90°).

Gambar 2. a. Perselingan antara napal lempungan, lempung dan batupasir tufaan pada B-01 b. Sungai (aliran air permukaan) sebagai agen ekshumasi batuan berumur tua

pada B-03-04 c. Sesar ekstensional pada daerah penelitian pada B-03-04 d. Dip batuan yang hampir tegak pada Formasi Kerek di B-05

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, jenis lempung yang ingin diketahui karakteristiknya diperoleh dari lima titik yang terletak di Kecamatan Simo, Karanggede, dan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian terdiri dari 7 sampel lempung dengan sifat fisik yang berbeda. Dimana pada lokasi pengambilan sampel B-03-04 dan B-06-07 diambil 2 lempung sekaligus dalam satu lokasi namun dengan karakteristik berbeda. Jenis lempung yang dicari adalah yang memiliki swelling capacity yang baik yaitu dari jenis bentonit. Hampir di setiap lokasi pengambilan sampel dijumpai lempung dengan karakteristik yang serupa dengan bentonit. Lokasi Pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3.

Dalam penelitian ini sampel lempung yang diambil akan dilakukan 2 metode pengujian, yaitu uji karakteristik geoteknik dan uji komposisi mineralogi. Uji karakteristik geoteknik meliputi analisis distribusi ukuran butir, uji permeabilitas, serta uji plastisitas dan konsistensi. Sedangkan uji komposisi mineralogi meliputi uji CEC (Cation Exchange

Page 51: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

42

Capacity) dan analisis XRD (X-Ray Diffraction). Menurut Murray, et al, (1992), sampel yang layak menjadi liner adalah harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. koefisien peremeabilitas ≤ 1,0 10-9 m/s 2. persentase silt/clay >10% dan gravel <30% 3. memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai Plasticity Index (PI) ≤ 65%

Gambar 3. Peta lokasi pengambilan sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Geoteknik

1. Analisis Ukuran Butir Analisis ini dilakukan untuk mengelompokkan distribusi ukuran butir dari batuan yang di sampel. Menurut ASTM (1996), untuk butir penyusun tanah dan batuan dapat dibagi menjadi beberapa ukuran, dari lempung sampai kerikil. Untuk ukuran butir kasar, seperti pasir sampai kerikil, digunakan metode ayakan. Selanjutnya, butiran yang berukuran halus, seperti lanau sampai lempung akan diuji dengan metode hidrometer. Pada akhirnya, material sedimen yang berukuran lanau-lempung yang akan dimanfaatkan sebagai liner. Dengan menggunakan metode tersebut, maka dapat diketahui perbandingan ukuran butir tanah, mulai dari silt/clay yang paling kecil, hingga gravel yang paling besar. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, maka sampel diperoleh data distribusi ukuran butir. Dari hasil tersebut, diperoleh persentase silt/clay yang cukup melimpah dan jauh diatas 10%, serta nilai gravel yang kurang dari 30%, maka seluruh sampel lempung dapat dikatakan baik dan layak digunakan sebagai liner berdasarkan kriteria oleh Murray,et al, (1992).

Page 52: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

43

2. Koefisien Permeabilitas Karakteristik geoteknik yang kedua adalah koefisien permeabilitas. Koefisien permeabilitas dicari dengan melakukan pengujian permeabilitas untuk mengetahui sifat lempung dalam meloloskan air. Menurut Craig (1994), semua jenis tanah bersifat lolos air. Sedangkan lempung dalam praktek dianggap bersifat tidak lolos air atau secara garis besar koefisien permeabilitas lempung kecil. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat lempung yang baik untuk penggunaan liner dalam pengujian permeabilitas ini adalah yang memiliki nilai koefisien permeabilitas kurang atau sama dengan dengan 1,0 10-9 m/s. Dari ketujuh sampel yang diuji terlihat satu sampel yaitu BL-007 yang hampir memenuhi syarat dari Murray et al., (1992) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Penyebab yang diketahui adalah pada sampel BL-007 dijumpai campuran berupa mineral lempung berjenis kaolinite yang menurut beberapa penelitian jika tercampur dalam kondisi yang tepat mampu menurunkan koefisien permeabilitas dan swelling capacity bentonit.

Tabel 1. Hasil uji distribusi ukuran butir dan uji permeabilitas

3. Plastisitas dan Konsistensi

Menurut Brand and Brenner (1981) dan Craig (1994), perubahan jumlah kandungan air pada lempung mempengaruhi perubahan plastisitas (pelunakan dan kekenyalan). Karakter plastisitas lempung dapat diidentifikasi dengan batas-batas konsistensi atau dikenal sebagai batas-batas Atterberg (Atterberg Limits). Atterberg memberikan cara dalam membagi kedudukan fisik lempung pada kadar air tertentu, dengan kadar air pada kedudukan padat, semi padat, plastis dan cair. Masing-masing kedudukan kadar airnya dipisahkan oleh batas susut, batas plastis dan batas cair. Uji batas cair (Liquid Limit (LL), yaitu dengan menguji nilai kadar air pada batas antara keadaan cair dan plastis. Jika kadar air terus berkurang, maka butiran-butiran menjadi mendekat satu sama lain sampai kedudukan pada batas plastis (Plastic Limit) (PL). Batas plastis merupakan kadar air tanah pada kedudukan antara plastis dan semi padat. Pada pengurang kandungan air tanah selanjutnya akan dijumpai batas dimana butiran-butiran tidak dapat mendekat satu sama lain dan volume tidak terubah dan lempung menjadi retak-retak. Kadar air pada kedudukan ini disebut batas susut (Shrinkage Limit) (SL). Selisih antara LL dan PL disebut Plasticity Index (PI). Plasticity Index merupakan interval kadar air dimana lempung tetap dalam kondisi plastis. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat lempung yang baik untuk penggunaan liner dalam pengujian plastisitas dan konsistensi ini adalah yang memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai PI ≤ 65%. Dari ketujuh sampel yang diuji hampir

No. Sampel

Density (gr/cm3)

Gravel (%)

Sand (%)

Silt/Clay (%)

Debit rata-rata (q) ( cm3/s)

Koefisien permeabilitas

(k20)

BL-001-A 2,52 0,00 87,52 12,48 0,08667 4,6 x 10-7 m/s

BL-002-A 2,53 0,00 24,07 75,93 0,05600 4,2 x 10-8 m/s

BL-003-A 2,60 0,00 9,76 90,24 0,07333 9,7 x 10-8 m/s

BL-004-A 2,62 0,00 2,87 97,13 0,02667 1,4 x 10-8 m/s

BL-005-A 2,62 0,74 16,09 83,17 0,01600 2,1 x 10-8 m/s

BL-006-A 2,60 0,00 30,85 69,15 0,07200 7,6 x 10-8 m/s

BL-007-A 2,62 0,00 59,84 40,16 0,00333 1,8 x 10-9 m/s

Page 53: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

44

seluruhnya memenuhi syarat untuk digunakan sebagai liner tempat pembuangan sampah (Tabel 2).

Karakteristik Mineralogi

1. Cation Exchange Capacity (CEC)

Pengukuran CEC digunakan untuk penafsiran awal kandungan lempung yang mengembang dari tanah lempung. Nilai CEC yang tinggi menandakan persentase dari mineral lempung. Jika tanah lempung tersusun secara signifikan jenis lempung yang mengembang, maka akan menyebabkan penambahan atau pengurangan nilai konduktivitas hidraulik. Dari hasil uji CEC yang didapatkan maka kandungan mineral lempung yang hadir cukup banyak sekitar 23,47 - 47,78 (me/100g). Nilai CEC yang cukup tinggi menandakan bahwa sampel lempung pada daerah penelitian didominasi oleh mineral lempung berjenis bentonit/smektit.

Tabel 2. Hasil uji plastisitas dan konsistensi serta uji CEC

2. X-Ray Diffraction (XRD) Disamping pengukuran CEC, perlu diketahui juga jenis-jenis mineral lempung terutama jenis bentonit pada sampel lempung. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui jenis minerla lempung ini adalah analisa XRD (X-Ray Diffraction). Analisa XRD (X-ray Diffraction) dilakukan pada sampel tidak terorientasi (keseluruhan batuan) dan sampel terorientasi (pecahan lempung). Dari hasil analisis XRD didapatkan bahwa jenis lempung yang selalu hadir pada setiap sampel adalah bentonit dengan jenis nontronite (Gambar 4 dan 5). Pada sampel BL-003 dijumpai juga bentonit berjenis stevensite (Gambar 4). Bentonit ini yang membuat nilai CEC pada sampel menjadi tinggi. Hal ini berarti kandungan bentonit sangat melimpah pada masing-masing sampel. Selain mineral lempung berjenis bentonit, dijumpai juga mineral lempung lain seperti kaolinite, lizardite, carlosturanite, dan surite. Mineral lain yang muncul adalah kuarsa dan kalsit yang merupakan mineral umum penyusun batuan sedimen.

No. Sampel Liquid Limit (LL)

Plastic Limit (PL)

Plasticity Index (PI)

Natural Water

Content (wN)

Liquidity Index (LI)

CEC (me/100 g)

BL-001-A - - - - - 47,78

BL-002-A 52,91 % 31,89 % 21,02 % 43,41 % 0,55 36,64

BL-003-A 52,51 % 29,76 % 22,75 % 26,86 % -0,13 27,04

BL-004-A 51,57 % 23,23 % 28,34 % 25,75 % 0,09 23,47

BL-005-A 52,34 % 27,65 % 24,69 % 21,89 % -0,23 31,51

BL-006-A 53,60 % 27,96 % 25,63 % 22,79 % -0,20 33,98

BL-007-A 54,53 % 26,94 % 27,59 % 20,29 % -0,24 30,13

Page 54: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

45

Gambar 4. Grafik XRD dari sampel BL-003 dan BL-005

(bentonit yang dijumpai berjenis nontronite dan stevensite)

Page 55: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

46

Gambar 5. Grafik XRD dari sampel BL-006 dan BL-007

(bentonit yang dijumpai berjenis nontronite)

Page 56: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

47

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis uji karakterstik geoteknik meliputi uji distribusi ukuran butir, uji koefisien permeabilitas, serta uji plastisitas dan konsistensi, sampel bentonit Boyolali secara umum memiliki nilai koefisien permeabilitas yang kecil yaitu di kisaran 9,7x10-8 - 1,8x10-9 m/s, serta memiliki nilai Liquid Limit (LL) 51,57 - 54,53% dan nilai Plasticity Index (PI) 21,02-28,34 %. Sedangkan dari uji komposisi mineralogi uji CEC serta analsisis XRD, memperlihatkan bahwa seluruh sampel lempung Boyolali yang diteliti dalam penelitian ini didominasi oleh mineral lempung dengan nilai CEC 23,47 - 47,78 (me/100g). Sedangkan jenis lempung yang hadir merupakan grup smektit (bentonit) berjenis nontronite dan sedikit stevensite. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-A merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai koefisien permeabilitas yang paling rendah (1,8x10-9 m/s). Secara umum seluruh sampel bentonit Boyolali ini layak dan baik untuk digunakan sebagai liner tempat pembuangan sampah. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari nilai koefisien permeabilitas yang lebih kecil (≤ 1,0 10-9 m/s) baik mengenai pencampuran yang tepat antara bentonit dengan material lain (misal kaolin) maupun dengan melakukan proses kompaksi.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM., 1996, Annual Book of ASIM Standards. Section 4, Volume 04.08. Soil and Rock: American Society for Testing and Materials. BRAND, E.W. DAN BRENNER, R.P., 1981. Soft Clay Eng, Elsevier Scientific Publishing Company. CRAIG, R. F., 1994, Soil Mechanics, Fifth Ed., GB: Chapman and Hall Press. DE GENEVRAYE, P., DAN SAMUEL, L., 1972. Geology of the Kendeng zone (Central and East Java). In: Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, 1st Annual Convention, hal. 17–30. DITJEN TPTP, 2001, Data dan Informasi Umum, Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan, Jakarta: Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil. JICA DAN PT. ARCONIN, 2008, Report on Solid Waste Data in Indonesia, JICA and PT. Arconin. MURRAY, E. J., RIX, D. W. DAN HUMPHREY. R. D. 1992. Clay Linings to Landfill Sites. Quarterly Journal of Engineering Geology, 25, 3714176. PRINGGOPRAWIRO, H., 1983, Biostratigrafi dan Paleografi Cekungan Jawa Timur Utara-Suatu Pendekatan Baru-Abstrak Disertasi Doktor, ITB, Bandung (tidak dipublikasikan)

Page 57: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

48

Page 58: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

49

SDMGK 2 - UTILIZATION OF YOGYAKARTA CLAY AS A LANDFILL LINER

Fraga Luzmi FAHMI* and Fahmi HAKIM*

* Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada

Presented in Geoscience Student Competition 2012, Geophysic Department, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

ABSTRACT

One of the challenges faced by the urban management was handling the problem of urban solid waste. Engineering aspect that needed to be approached in waste management was sanitary landfill method which is landfill (TPA) was environmentally friendly. However, this method has leachate common obstacles that can contaminate groundwater. Clay liner can be a material to support environmentally landfill that prevented groundwater contamination at surrounding landfill area. A local clay as a clay liner was the cheap solution. This study focused on Yogyakarta’s clay, that was taken in Godean and Seyegan, Sleman, which was became the object of research. The sample was based on 3 different sample types of clay with different physical properties taken from different location. The clay liner quality was determined by geotechnical and mineralogical laboratory test. The geotechnical characteristics of plasticity-competency test, grain size and permeability, clay was used to measure physical and engineering properties of clay liner. The result showed the sample was contain enough clay size material (55,76% - 77,55%) with plasticity index 19,38% - 20,05% and liquid limit 46,36% - 55,36%. The permeability of sample 1 showed the best result, 3,5 10-9 m/s. Then, based on mineralogical test the CEC, XRD, and SEM test, the clay mineral composition was determined. The clay mineral composition mainly composed of smectite, caolinite, illite, and quartz. Depend on the laboratory testing, samples YKC-1 and YKC-3 are potentially considerable because the samples contains quite a lot of smectite minerals that have swelling capacity. From the results of this study concluded Yogyakarta clay from Godean, Sleman has good potential as a landfill clay liner.

Key words: waste, landfill, leachate, liner, Yogyakarta clay

INTRODUCTION

One of the challenges faced by urban managers is handling waste. According to the Central Statistics Agency (BPS) in 2008, about 384 cities rise 80.235,87 tonnes of waste every day. Handling of waste transported and disposed to landfill is equal to 4,2%, being burned was 37,6%, which is dumped into the river was 4,9% and untreated amounted to 53,3%. (Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil, 2001). One of the aspects that need to be approached in waste management is an aspect of technique, which is closely related to the activity of this research is the final disposal. The experts recommend that the management of the landfill using sanitary landfill system, however, of the many existing landfill in Indonesia, generally using a system controlled open dumping or dumping (JICA and PT. Arconin. Report on Solid Waste Data in Indonesia). One of the results from decomposition of waste is liquid waste leachate. If the leachate seepage into the soil and flow into the ground water, it will contaminate the ground water quality. Though most of the people we are still using well water (from groundwater) as a source of clean water. Therefore, action needs to be done is how to create an environmentally safe landfill.

Page 59: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

50

BACKGROUND AND CONCEPTS

Based on SNI 13-1990-F about the Procedure for Urban Waste Management Techniques, waste defined as solid material, consisting of organic and inorganic substances that are considered useless and should be managed so as not to harm the environment and protecting development investments. Waste that is a by product of human activity has led to a very complex problem, among others the issue of aesthetics and comfort, is a nest or a gathering place for a variety of animals can be vectors of disease, causing pollution air, water and soil, and then causing clogging canals or drainage of waste water (Tchobanoglous, 1993 or Damanhuri and Padmi, 2006). The increase in urban population cause urban waste problem. Waste problem generally occurs in every city in Indonesia, including the increased complexity of the problem of waste as a logical consequence of city population growth, increasing population density requires improved better methods/patterns of waste management and other issues (Tchobanoglous, 1993 or Damanhuri and Padmi, 2006). The composition of waste includes percentage of components of waste that can be physically distinguished between organic waste, paper, plastics, metals and others. The composition of this waste can be used as consideration to determine the feasibility of waste management options in particular recycling and composting as well as the possible use of landfill gas as an alternative energy (Darmasetiawan, 2004).

Operational techniques of waste management include covering the basics container planning, collection, removal, transport, processing, and disposal of waste in landfill (Damanhuri and Padmi, 2006). TPA is a place where waste reached the final stage in its management, starting from the source, collection, removal/ transportation, processing and disposal. Management of the existing waste management has an impact on the load that is too heavy at the landfill both in terms of land requirement and the burden of environmental pollution. Generally, the final processing of waste is done on the landfill is landfilling process (accumulation), and mostly done by open dumping that causes environmental problems such as odor, contamination of ground water, the onset of smoke, and so on. For example, in Yogyakarta, the method has been carried out in controlled landfill dump site Piyungan Yogyakarta (Simon, WA, 2007). One of cause of the pollution of the environment is contaminated by leachate or liquid leachate from landfill waste in the disposal site. The leachate will seep into the soil and consequently the surrounding soil will contaminated by leachate. If the leachate seepage into the soil and then flow into the ground water, it will contaminate the ground water quality. Though most of the people we are still using well water (from groundwater) as a source of clean water. Therefore, action needs to be done is how to create a secure landfill on the environment, particularly contamination by leachate. To prevent leakage of leachate into groundwater, the base of landfills should be made impermeable to water. Layer type commonly used in developed countries is geosynthetic. Schematic drawing liner in the landfill can be seen in Figure 1.

A few studies have been conducted to examine the compacted clay, and used for landfill liner (Obrike, et.al, 2009; Sudjianto, 2008; Met, et.al, 2004). We conducted research mainly on clay in Yogyakarta, precisely in Godean. Geologically, this area has investigated potentially significant amount of clay derived from the weathering of igneous intrusive (Ikhlas, 2006).

Page 60: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

51

Figure 1. Schematic drawing of liner on the landfill

Figure 2. Advanced development of liner on the landfill to manage gas and liquid on

waste.

Page 61: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

52

RESEARCH METHOD

For detailed information, method of research can be shown below.

GEOTECHNICAL PROPERTIES 1. Grain Size Analysis

At this stage it will be done by grouping grain size distribution of soil. According to ASTM (1996), for soil constituent grains can be divided into several sizes, from clay to gravel. For coarse grain size, such as sand to gravel, use a sieve method. Furthermore, fine grain size, such as silt to clay will be tested with a hydrometer method. At the end, from the soil sample, silt-clay material considered to be used as a liner.

This method compared the soil grain size, ranging from the smallest size, silt/clay, to the largest gravel. Based on the results of laboratory analysis, the sample grain size distribution of the data obtained as follows (Figure 4, Figure 5, and Figure 6):

Mineralogy Testing

Clay Sampling

Laboratory Analysis

Geotechnical Testing

Data Analysis and Conclusion

Figure 3. Flow chart of research method

Grain size analysis

Permeability

Atterberg Limits

Plasticity and consistency

Liquid Limit

(LL)

Plastic Limit

(PL)

Plasticity Index

(PI)

CEC (cation exchange capacity)

XRD (X-Ray Diffraction)

SEM (scanning electron

microscope)

Page 62: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

53

Figure 4. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-1.

Figure 5. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-2.

Figure 6. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-3.

Page 63: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

54

Table 1. Grain size distribution of test results

From these results, obtained percentage of silt / clay are relatively

abundant and well above 10%, and the value of gravel that is less than 30%, then the entire clay sample can be good and fit for use as a liner based on the criteria by Murray, et al, (1992) .

2. Coefficient of Permeability

At this stage the permeability testing will be conducted to determine the nature of the clay for escape the water. According to Craig (1994), all types of soil are water escapes. While clay is considered to be in practice did not pass the water or have a small permeability coefficient based on Murray et al. (1992).

According to Murray et al. (1992) terms a good clay liner for use in testing the permeability is the permeability coefficient has a value less than or equal to 1.0 × 10-9 m/s. From the three samples tested, no one meet the terms of Murray et al, (1992). The cause is known is that clays tested have not done compaction so that the water can still pass through the pores. So, to get better feasibility needs higher compaction of clay material.

Table 2. Grain size distribution of test results

3. Plasticity and Consistency

According to Brand and Brenner (1981) and Craig (1994), changes in the water content in the clay affect the plasticity changes (softening and suppleness).

Plasticity clay characters can be identified with the boundaries of consistency otherwise known as Atterberg Limit. Atterberg Limit provides a way to divide the physical position of clay at certain moisture content, the water content on solid footing, semi-solid, plastic and liquid. Each position of the water level is separated by the shrinkage limit, plastic limit and liquid limit. Test the liquid limit (LL), by testing the water content at the boundary between the liquid and plastic state. If water levels continue to decrease, the grains become closer to one another until the notch on the plastic limit (PL) plastic limit is the water content of the soil at the position between the plastic and semi-solid. On further reduction of soil water content will be found within which the grains could not get

Sample No.

Spesific gravity

Gravel Sand Silt/ Clay

YKC-1 2,69 16,28% 11,99% 71,73%

YKC-2 2,68 8,47% 35,76% 55,76%

YKC-3 2,62 0,00% 22,45% 77,55%

Sample No.

Average Recharge (q)

Correction factor (Rt)

Coefficient of Permeability (k20)

YKC-1 0,00333 cm3/s 0,838 3,5 10-9 m/s

YKC-2 0,00867 cm3/s 0,838 1,1 10-8 m/s

YKC-3 0,00667 cm3/s 0,838 1,7 10-8 m/s

Page 64: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

55

close to each other, and the volume is not altered and clay into the cracks. Levels of water in the position are referred to as shrinkage limit (SL). Difference between LL and PL are called plasticity index (PI). Plasticity index is the interval where the water content of clays remains in a state of plastic. According to Murray et al. (1992) terms clay good for use in testing liner plasticity and consistency is of value liquid limit (LL) ≤ 90% and has a value of ≤ 65% PI. All of the three samples that tested are qualified as a landfill liner.

Table 3. Plasticity and consistency test results

MINERALOGY

1. Cation Exchange Capacity (CEC)

Cation Exchange Capacity (CEC) measurements are used for early interpretation of the content an expanding clay in soil. The CEC measurements may be used for a preliminary assessment of the swelling clay mineral content of clayey soils where high CEC values may indicate the presence of clay minerals. If the clay is composed of clay types significantly expands, it will be possible to increase or decrease the value of hydraulic conductivity. From CEC test obtained, results clay mineral content is relatively abundant, from 12.40 to 16.40 (me/100g). This indicates the sample in this study within contains abundant clay minerals.

Table 4. CEC test result

2. X-Ray Diffraction (XRD)

Besides the CEC measurements, XRD (X-ray Diffraction) was analyzed to determine the type of clay minerals in the clay samples. Analysis of XRD (X-ray Diffraction) was conducted on a sample oriented not (whole rock) and oriented samples (clay fraction). Sample YKC-1 contains kaolinite, smectite, and quartz. Sample YKC-2 contains kaolinite and quartz. Sample YKC-3 contains kaolinite, quartz, illite, smectite. Smectite is expected because of the ability to expand. Thus, sample YKC-1 and YKC-3 have clay mineral composition suitable for landfill liner.

Sample No.

Liquid Limit (LL)

Plastic Limit (PL)

Plasticity Index (PI)

Natural Water Content (wN)

Liquidity Index (LI)

YKC-1 46,36% 26,98% 19,38% 34,77% 0,40

YKC-2 69,00% 28,74% 40,26% 30,95% 0,05

YKC-3 55,56% 35,51% 20,05% 43,74% 0,41

Sample No. CEC (me/100 g)

YKC-1 15,60

YKC-2 12,40

YKC-3 16,40

Page 65: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

56

Figure 6. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction of sample YKC-1

Figure 7. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction of sample YKC-2

Figure 8. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction on a sample YKC-3

3. Scanning Electron Microscope (SEM)

The Analysis of SEM (Scanning Electron Microscope) was used to test the clay mineral content of the sample. Types of minerals have been obtained from XRD analysis. So this analysis gives an overview of the shape of the surface of clay minerals. So that we can know the relationship between surface texture of clay with its geotechnical properties. From the appearance of the SEM, clay texture look less flat and only slightly visible clay structure. They sheet structure of clay mineral cannot be shown due to limitation of SEM apparatus. SEM appearance shows the influence of clay minerals are exposed to water can fill the voids between the

Page 66: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

57

grains in the soil. The more clay mineral content can reduce the value of the coefficient of permeability and prevent the infiltration of leachate into the rocks.

Figure 9. Scanning electron micrograph of YKC-1 sample

Figure 10. Scanning electron micrograph of YKC-2 sample

Figure 11. Scanning electron micrograph of YKC-3 sample

Page 67: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

58

CONCLUSION AND RECOMMENDATION

The results of geotechnical analysis and mineralogical test based on grain size distribution, the coefficient of permeability, plasticity and consistency, and XRD analysis, showed that all of clay Yogyakarta samples studied in this study are suitable and considered as a landfill liner.

Utilization of Yogyakarta clay as a liner would be better if given a higher pressure to make the coefficient of permeability becomes smaller and minimize seepage of leachate.

Yogyakarta clays useful as landfill liner can also be used as a substitute or complement of geotextile materials that are more expensive. Compacted clay liner can also be applied to both manufacturing as well as planning a new landfill liner landfill cover to replace the landfill that are not able to accommodate waste.

REFERENCES

DITJEN TPTP, DEP. KIMPRASWIL, 2001, Data dan Informasi Umum, Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan, Jakarta: Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil. DAMANHURI, E., AND PADMI, T, 2006, Pengelolaan Sampah, Bandung: Institut Teknologi Bandung. DARMASETIAWAN, M., 2004, Sampah dan Sistem Pengelolaannya, Jakarta: Ekamitra Engineering. IKHLAS, 2006, Geologi dan kaitannya terhadap Genesa Pembentukan Kaolin di Gunung Ngampon Desa Margodadi Kecamatan Sayegan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi S-1 Jurusan Teknik Geologi, UGM, Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, FT UGM. JICA AND PT. ARCONIN, 2008, Report on Solid Waste Data in Indonesia, JICA and PT. Arconin. MET, AKGÜN AND TÜRKMENOĞLU, 2004, Environmental geological and geotechnical investigations related to the potential use of Ankara clay as a compacted landfill liner material, Turkey, Journal Environmental Geology, Volume 47, Number 2, 225-236 OBRIKE, OSADEBE AND OMONIYI, 2009, Geotechnical analysis of two Nigerian soils for use as clay liners, Bulletin of Engineering Geology and the Environment, Volume 68, Number 3, 2009, p.417-419 SUDJIANTO, A.T., 2008, Perilaku Rembesan Leachate Pada Dasar Clay Liner di LPA Supit Urang Kota Malang, Jurnal Teknik Sipil, Volume 8 No. 2, 2008, p.148 – 158 SIMON, W.A., 2007, Pemrosesan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan Melalui Usaha Daur Ulang dan Pengomposan, Thesis pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Lingkungan, ITB, Bandung SNI 13-1990-F, tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan TCHOBANOGLOUS, G, THIESEN, H, AND VIGIL, S, 1993, Integrated Solid Waste Management – Engineering Principles and Management Issues, New York: Mc-Graw Hill Book Co. Inc.

Page 68: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

59

SDMGK 3 - ORE AND ALTERATION MINERALOGY OF PANINGKABAN-CIHONJE GOLD PROSPECT, GUMELAR DISTRICT, BANYUMAS REGENCY,

CENTRAL JAVA: A NEW DISCOVERY OF CARBONATE BASE METAL GOLD EPITHERMAL DEPOSIT

Fahmi Hakim1, Arifudin Idrus1, Jochen Kolb2 & Peter Appel2

1 Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

2Geological Survey of Denmark and Greenland (GEUS)

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering,

Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT

The research area is located in Cihonje and Paningkaban Village, Gumelar District,

Banyumas Regency, Central Java Province. The research area is found by many artisanal

and small-scale gold miners (ASGM) are operating in that area. Based on that, researchers

wanted to know the types of deposits that produce gold. In the research area there are

several lineament which is estimated a fault line with the relative direction north-south,

east-west, northwest-southeast and northeast-southwest. Host rock of the mineralization

are turbidite volcaniclastic sedimentary rocks of Miocene Halang Formation, consist of

interlayered sandstone and siltstone with occurences of breccia diatreme. There are 3

zones of alteration: chlorite/smectite (sub-propylitic neutral pH) zone, chlorite/smectite-

quartz-carbonate±zeolite (sub-propylitic alkaline pH) zone, illite/smectite-dickite-

carbonate-quartz±chlorite (argillic) zone. Hydrothermal alteration zones that show high

mineralization with the set of ore minerals such as native gold, electrum, native silver,

chalcopyrite, sphalerite, galena, arsenopyrite, cubanite, and tennantite is generally found

in the argillic alteration zone. Hydrothermal structures were identified as en echelon

tension gash vein and diatreme breccia. Various types of vein textures are present, such as

massive, cockade, banded, bladed carbonate, drussy cavities, and saccharoidal. Something

interesting about this study is almost all of gangue minerals present are carbonate and

minor quartz with a high grade of gold (until 83 g/t Au). Based on the data and

comparison to existing models, it indicates that the ore deposits types present in the

research area is typical of low sulphidation epithermal especially carbonate base metal

gold mineralization system.

Keywords: Alteration, Carbonate, Gold, Low Sulphidation Epithermal, Carbonate

Basemetal Gold

INTRODUCTION The research area is located in Cihonje and Paningkaban Village, Gumelar District, Banyumas Regency, Central Java Province. The research area is located in UTM coordinate:

Page 69: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

60

9179000-9181500 and 278000-281000 (Figure 1). The research area is found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) are operating in that area. Based on that, researchers wanted to know the types of deposits that produce gold. In this study, there are five (5) analysis method used in the laboratory, the first is petrological observations of handspecimen sample, petrographic analysis of thin section, analysis of ore microscopy (mineragraphy), XRD analysis, and geochemical analysis of ore. The samples were examined in this study amounted to 44 samples for petrographic analysis, 29 samples for ore microscopy analysis, 8 samples for XRD analysis, and 8 samples of ore for geochemical analysis (FA-AAS). Mineralogical analysis such petrography, ore microscopy, and XRD was carried out at Department of Geological Engineering FT-UGM and for geochemical analysis was carried out at Intertek Laboratory, Jakarta.

RESULT AND DISCUSSION

Geology

In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction north-south, east-west, northwest-southeast and northeast-southwest. Geological structures that can be identified are joint, left step of strike slip fault, thrust fault, normal fault, and folds (syncline and anticline). Then the rocks in the area of research consists of four main unit of lithologies, from the oldest to youngest are interlayered of sandstone and siltstone, tuff, calcareous sandstone, and limestone. The geological map of research area can be seen in Figure 2.

Figure 1. Index and Topographic Map of Research Area

Page 70: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

61

1. Interlayered of Sandstone and Siltstone Unit

This rock unit is the oldest the study area. This unit is categorized into the Miocene Halang Formation. This unit have largely been having intense alteration (Fig.3.1). The freshrock has characteristics that are gray, compact like andesite, contain rich of feldspar (Fig.3.2). This rock unit is the hostrock of mineralization. According Djuri, et al. (1996) the age of magmatism was Late Miocene. Meanwhile, according to Kastowo (1975), the age of magmatism was Late Miocene - Early Pliocene. In general, activities of magmatism occurred before the Tapak Formation sedimented in Pliocene. In some location like in center of ASGM area and surrounding area, the rocks have intense alteration from subpropylitic to argillic alteration. The intensity of alteration is likely to vary from strong to weak alteration. Commonly, the rocks with weak alteration found in subpropylitic zones and for strong alteration found in argillic alteration zone (Fig.3.3).

2. Tuff Unit

This rock unit is younger than interlayered of sandstone and siltstone unit. This rock unit is categorizes into Upper Miocene of Kumbang Formation. This rock unit was still fresh (Fig.3.4). Tuff was estimated as lithocap of the mineralization process.

3. Calcareous Sandstone Unit

This rock unit consist of small amount volcaninc breccia at the bottom and calcareous sandstone at the middle and top. This rock unit is categorizes into Pliocene Tapak Formation. These lithologies are not yet altered.

4. Limestone Unit

This rock unit is the youngest of study area. This unit categorizes into Limestone Member of Tapak Formation. This rock unit consist of clastic limestone which had a good karstification. These lithologies are not yet altered too.

Page 71: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

62

Figure 2. Geological Map and Profile of Research Area

Page 72: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

63

Fig.3.1. Strong Argillic Alteration of Sandstone Fig.3.2. Fresh Rock of Sandstone

Fig.3.3. Altered Sandstone (Subpropylitic) Fig.3.4. Fresh Rock of Tuff

Fig.3.5. Dilational Vein showing a paragenetic

sequence (Banded-Cockade-Massive-Bladed)

Fig.3.6. Massive Vein Which Rich of Gold, Pyrite,

and Base Metal (Sample: PWT-S.1)

Fig.3.7. Bladed Carbonate Texture Fig.3.8. Tuff Fragment in Diatreme Breccia

Page 73: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

64

Alteration

Mineralization at study area formed by dilational ore environment as a jog caused by sinistral movement on two strike-slip fault with N-S direction (en echelon vein type). Dilation vein shown by some stage of gangue and vein deposition (Fig.3.5). Alteration that occurs in the study area is divided into 3 main alteration zones are Sub-propylitic (neutral pH) alteration zone, Sub-propylitic (alkaline pH) alteration zone, and Argillic alteration zone. Alteration map and profile of research area can be seen in Figure 4.

1. Sub-propylitic (neutral pH) alteration zone

This zone is located on the outermost of the alteration zone. This zone is characterized by a wide distribution and the presence of chlorite-smectite minerals with small amounts of carbonate mienerals (calcite). Hydrothermal fluid dominantly by meteoric water, so the pH was neutralized. Petrographic observations of several thin sections are generally have weak altered. This alteration only change the rock matrix into chlorite-smectite (Fig.6.1). Primary texture of the original rock still visible. There are calcite veins with a thickness about 0.3-1 cm. Ore minerals found in this zone like pyrite and hematite (oxidized mineral).

2. Sub-propylitic (alkaline pH) alteration zone

This alteration zone are usually located on the outside of the argillic zone. This zone was characterized by a high amount of alteration minerals such as smectite-chlorite, quartz and carbonate minerals (Fig.6.2) with small amount of zeolite group like heulandite, chabazite, and stilbite/epistilbite (from XRD). The spread of this alteration in the study area is not too large, just at the edge of the argillic alteration zone. The high of pH due to the influence of bicarbonate waters (CO2 -rich water). Generally, the rock in this zone indicated a medium-strong level altered, where the texture, structure and origin of rocks constituent minerals hard to be recognized anymore. In this alteration zones found that the ore minerals like pyrite, marcasite, and hematite (oxidized).

3. Argillic alteration zone

This alteration zone characterized by high abundance of clay minerals such as illite/smectite, illite, smectite, and dickite. Carbonate, adularia, quartz and chlorite also frequently be found (Fig.6.3). The early stage of mineralization formed at neutral-high pH characterized by alteration mineralogy such as quartz, chlorite and carbonate, and the late stage characterized by dickite formed by mixing acid sulfate water. From petrographic observations of thin section of the rocks which had argillic alteration characterized by strong altered and pervasive. The original texture and composition of the rock can’t be recognize anymore. There are variety texture and structure of carbonate±adularia-quartz veins (Fig.6.4) such as massive vein, banded, cockade, bladed carbonate, saccharoidal, comb, drussy cavities, and sheeted vein with thickness about 1-40 cm associated with ore minerals such as pyrite, arsenopyrite, chalcopyrite, sphalerite, galena, native gold native silver, electrum, tennantite, marcasite, cubanite, and covellite. Massive vein contain rich of gold and base metal ore (Fig.3.6), but bladed carbonate just rich in precious metal ore (Fig.3.7). From XRD analysis type of carbonate vein present are calcite, dolomite and ankerite. Diatreme breccia was found near this alteration zone. Diatreme breccia/fluidized breccia in this research area characterized by milled matrix of pyrite and clay with sericite altered. Tuff and accretionary lapili are well milled in fragments composition (Fig.3.8). The term of diatreme breccia is the same with phreatomagmatic breccia (Corbett and Leach, 1998).

Page 74: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

65

Figure 4. Alteration Map of Research Area

Figure 5. Alteration Profile of Research Area

Page 75: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

66

Ore Mineralogy, Ore Geochemistry and Paragenetic Sequence

A number of ore minerals found in the observation of polishes sections. The abundance of the ore minerals vary depending on their alteration type and their alteration zone. Argillic zone show high amount of ore mineralization. Ore minerals that can be identified in ore microscopy observations are pyrite (Py), arsenopyrite (Apy), chalcopyrite (Cp), sphalerite (Sph), galena (Gn), native gold (Au), native silver (Ag), electrum (El), tennantite (Ten), marcasite (Mrc), cubanite (Cub), and hematite (Hem), covellite (Cv) as a supergene ore mineral. From the microscopic observation was found the presence of copper bearing sulfide minerals such as chalcopyrite, cubanite, and supergene minerals like covellite (Fig.7.1). The presence of chalcopyrite as a exsolution in sphalerite (chalcopyrite disease), seen in sample PWT 18 and PWT 12, indicates that the deposit are formed at relatively high temperature (~≥ 300ºC). The first stage of ore mineralization is the presence of pyrite and arsenopyrite which an euhedral texture. Euhedral texture of arsenopyrite showing that arsenopyrite formed early at stage 2 until stage 3 and then followed by

Figure 6. Petrography Sample

Page 76: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

67

deposition of base metal (galena and sphalerite) ore which associated with gold and copper sulphide. Visible gold is present as free gold in ore microscopy samples of PWT 18, PWT 12 and the high amount of gold seen in PWT-S1 (Fig.7.2). The late stage of mineralization characterized by hematite as supergene/oxidized mineral (Fig.7.4). The paragenetic sequence of ore mineralization can be seen in Table 1. From data FA-AAS in several vein, vein in Stage 3.2 has the highest base metal / precious metal content. The highest grade of gold was 83 ppm and silver was 114 ppm in PWT-12 (Table 2) Grade of gold and silver is not too much different. The grade of base metal especially Pb and Zn also high too.

From the gangue mineralogy, ore mineralogy and ore geochemistry analysis and then compared with existing models (Figure 8) the deposit were present in the study area is typical of carbonate base metal gold epithermal system. The term of carbonate base metal gold refers to Corbett (1998, 2004, and 2005).

Figure 7. Ore Microscopy Sample

Page 77: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

68

Table 1. Paragenetic Sequence of Mineralization at Study Area

Table 2. Geochemical Ore of Several Samples

ELEMENTS Au Cu Pb Zn Ag As VeinTexture Stage

PPM % % % PPM %

PWT.12 83 0.39 8.79 6.55 114 0.06 Massive 3.2

PWT.19 29.4 0.16 1.46 3.63 34 0.05 Massive 3.2

PWT.20 0.696 <0.01 0.16 0.16 <5 0.22 Banded 3.1

PWT.F.1 0.091 <0.01 0.02 0.02 <5 <0.01 Disseminated -

PWT.7.B 6.28 0.45 3.04 1.75 65 0.08 Bladed 3.2

PWT.8 3.89 0.02 0.24 0.14 8 0.03 Sheeted 3.2

PWT.9 13.1 0.02 0.29 0.56 10 0.01 Sheeted 3.2

PWT.3.A 0.992 <0.01 <0.01 <0.01 <5 0.01 Banded 3.1

Page 78: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

69

Figure 8. Carbonate Base Metal Gold Style (Corbett, 2004)

CONCLUSION

Host rock of the mineralization are turbidite volcaniclastic sedimentary rocks of Miocene Halang Formation, consist of interlayered sandstone and siltstone with occurences of diatreme breccia. Mineralization at study area formed by dilational ore environment as a jog caused by sinistral movement on two strike-slip fault with N-S direction (en echelon vein type). There are 3 zones of alteration: chlorite/smectite (sub-propylitic neutral pH) zone, chlorite/smectite-quartz-carbonate±zeolite (sub-propylitic alkaline pH) zone, illite/smectite-dickite-carbonate-quartz±chlorite (argillic) zone. Hydrothermal alteration zones that show high mineralization with the set of ore minerals such as native gold, electrum, native silver, chalcopyrite, sphalerite, galena, arsenopyrite, cubanite, and tennantite is generally found in the argillic alteration zone. Hydrothermal structures were identified as en echelon tension gash vein and diatreme breccia. Various types of vein textures are present, such as massive, cockade, banded, bladed carbonate, drussy cavities and saccharoidal. Something interesting about this study is almost all of gangue minerals present are carbonate (calcite, dolomite, ankerite) and minor quartz with high grade of gold (until 83 g/t Au). The Mineralization of gold and base metal most frequently found in stage 3 especially in massive and bladed vein texture. of sulfide Based on the data and comparison to existing models, it indicates that the ore deposits types present in the research area is typical of low sulphidation epithermal especially carbonate base metal gold mineralization system.

REFERENCES

CORBETT, G.J., 2004. Epithermal and porphyry gold – geological models. Proceedings PACRIM Congress 2004, Adelaide. pp. 15-23. CORBETT, G.J., 2005. Epithermal Au-Ag deposit types – implications for exploration: Proexplo Conference Peru May 2005, published on CD.

Page 79: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

70

CORBETT, G.J., DAN LEACH, T.M., 1998. Southwest Pasific Rim Gold-Copper Systems: Structure, Alteration, and Mineralization. Colorado: Bookcrafters. DJURI, M., SAMODRA, H., AMIN T.C., AND GAFOER, S., 1996. Geological Map Sheet of Purwokerto-Tegal, scale 1:100.000. Centre of Geological Research and Development, Bandung. KASTOWO, 1975. Geological Map Sheet of Majenang, scale 1:100.000. Centre of Geological Research and Development, Bandung.

Page 80: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

71

SDMGK 4 - ORE AND ALTERATION MINERALOGY OF MUARA BUNGO GOLD PROSPECT, JAMBI PROVINCE:

IMPLICATION FOR DEPOSIT GENESIS

Fahmi HAKIM1, Arifudin IDRUS1 & Indra SANJAYA2

1 Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia 2Department of Geological Engineering, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Diterima tanggal 15 November 2013

Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering, Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT

The research area is located in Pelepat area, Muara Bungo regency, Jambi province. The research area is found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) are operating in several mainly river in that area. Based on that, researchers wanted to know the types of deposits that produce gold. In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction northwest-southeast and from that, most of major rivers in the study area has a relatively northwest-southeast direction like a Tengkulak river. The research area composed by two lithological units. There are diorite and andesite intrusions units. Rocks that were around the andesite intrusion zone generally altered and having mineralization. From the field study, there are 3 zones of alteration: propylitic, argillic, and phyllic. Mineralogy analysis included the observation petrology of handspecimen samples, petrographic analysis of the thin section and ore microscopy (mineragraphy) for polished section. From petrographic observations in some samples, the type of alteration found in the study area can be divided into three: the propylitic, argillic and phyllic alterations. There are also found alteration, which leads to transitional phyllic to potassic alteration. Hydrothermal alteration zones that show high copper-gold ore mineralization is generally found in the phyllic alteration zone. Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of veins are present, such as D vein (dominant), a bit of C and M vein type. Something interesting about this study is the discovery of some hydrothermal alteration mineral assemblage mainly phyllic and transition to potassic (secondary biotite) and the set of sulfide minerals such as chalcopyrite, bornite, digenite, and oxide mineral such as magnetite (high temperature (~≥ 400°C). It indicates that the ore deposit types present in the study area is typical of porphyry Cu-Au deposit.

Keywords: Mineralization, Copper-gold ore, Phyllic to potassic alteration, Porphyry Cu-Au, Muara Bungo.

INTRODUCTION

The research area is located in Pelepat area, Muara Bungo regency, Jambi province.The study area which are along the Tengkulak River can be categorized into hilly cut sharp/steep in morphological unit’s (Figure 1). This unit have slope beetween 56 to 140%. (Van Zuidam, 1985). The research area was found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) were operating in several mainly river in that area. Pohan (2005) reported that the area have an indication and potency of gold deposit such as Gambir river,

Page 81: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

72

Mangkuang River, Tambangcucur and Benit River. Based on that, Researchers wanted to know the types of deposits that produce gold.

METHODS OF RESEARCH

The research method is divided into two stages. The stages include field work and laboratory analysis. The field work includes detailed geological mapping, alteration mapping and systematic sampling from surface rock. There are three (3) mineralogical analysis method used in the laboratory, the first is petrological observations of handspecimen sample, petrographic analysis of thin section observations for identifier of alteration minerals and analysis of ore microscopy (mineragraphy) to determine the types of ore mineralogy and its paraganesis. Mineralogical analysis was carried out at the Laboratory of Mineral Resources, Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University. The samples were examined in this study amounted to 16 samples for petrography analysis and 20 samples for ore microscopy analysis. This method can provide initial conclusions about the type of deposits that exist in this research area.

RESULT AND DISCUSSION

In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction northwest-southeast and from that, most of major rivers in the study area has a relatively northwest-southeast direction like a Tengkulak river. Then the rocks in the area of research consist of two main lithologies, the first is a diorite unit and andesite intrusion unit is younger (Figure 2).

The diorite unit is occupying about 80% of the study area. Diorite rocks in the target area have largely been having intense alteration Commonly, diorite with weak alteration found in propylitic zones and for strong alteration found in argillic and phyllic alteration zone.

The andesite unit has a less extensive than diorite, which is about 20% in the

research area. Andesite outcrops found in the center of the research area and it’s in the

Figure 2. Index and Topographic Map of Study Area

Page 82: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

73

mineralization zone. Alteration that develops in these lithologies is propylitic, argillic and phyllic.

Figure 2. Geological Map of Study Area

Figure 3. a. Diorite with strong alteration

b. Diorit with weak alteration

c. Andesite intrusion which cut diorite in PS-11

d. Andesit intrusion which cut diorite in PS-14

Page 83: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

74

The rocks in the research area had varying intensity of alteration from weak to strong (total) and pervasive. (Figure 3). The research area is divided into 3 zones of alteration: propylitic, argillic, and phyllic (Figure 4). Propylitic alteration zone is located on the outside of the phyllic alteration zone. This zone is characterized by a wide distribution and the presence of aggregate minerals like epidote, chlorite and a little of sericite quartz, and carbonate mienerals (calcite). Petrographic observations of several thin sections are generally have medium to strong altered and pervasive. It was difficult to know primary texture of the original rock, because the primary mineral is transformed into secondary minerals such as opaque minerals, epidote, chlorite, sericite, calcite, and quartz with crystal size <0.03-4 mm (Figure 5a). There are calcite veins with a thickness about 0.3-1 mm. Key mineral of propylitic alteration zones are chlorite and epidote which is always present and is observed from petrographic observation. Sericite sometimes present but not abundant. In this alteration zones found that the presence of fine grain pyrite and a little chalcopyrite.

Argillic alteration zone is characterized by the presence of clay minerals are abundant such as kaolinite, smectite and illite. The spread of argillic alteration in the study area is not too large and is local only. In the study area, argillic alteration found in Tengkulak river that are fault zones or lineaments. Generally, the rock which have argillic alteration indicate a very strong level altered, where the texture, structure and origin of rocks constituent minerals can’t be recognized anymore (figure 5b). In this alteration zones found that the presence of fine grain pyrite.

Figure 4. Alteration Map of Study Area

Page 84: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

75

Whereas the phyllic alteration characterized by the presence of a relatively abundant sericite, pyrite, quartz and minor minerals such as chlorite, illite and rutile (Beane and Titley, 1981). This alteration zone is usually located on the outside of the potassic zone. In the research area of alteration is found in locations with very high fracture intensity (look map of alteration). Mostly rocks which altered to phyllic alteration have quartz-vein stockworking. The appearance of detail obtained from petrographic observations where the thin seciton of the rocks which had phyllic alteration have characteristics altered to pervasive and powerful, it does not show the original texture of the rock and it’s composed of secondary minerals such as sericite, quartz, clay minerals, opaque (pyrite), and a little epidote and chlorite with crystal size are about <0.03-1 mm (Figure 5c). There are quartz veins and ore with the thickness are 0.03-1 mm, and there are intersecting. Sulphide minerals that were found are pyrite and chalcopyrite. Oxide mineral like magnetite and hematite were found too. There are uniqueness to the PS10 sample, that showing potassic alteration direction, it is characterized by the discovery of secondary minerals such as ortochlase (K-feldspar) and secondary biotite (Figure 5d) with a little sulphide mineral like bornite and digenite (Figure 6a).

Figure 5. Petrography Sample

Page 85: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

76

A number of ore minerals found in the observation of polishes sections. The abundance of the ore minerals vary depending on their alteration type and their alteration zone. Ore minerals that can be identified in ore microscopy observations are chalcopyrite (Cp), pyrite (Py), magnetite (Mag), hematite (Hem), malachite (Mal), covellite (Cv), digenite (Dg), bornite (Bn), gold (Au), and ilmenite (Ilm). From the microscopic observation was found the presence of copper bearing sulfide minerals such as chalcopyrite, bornite, digenite (Figure 6a) and supergene minerals like covellite (Figure 6b). The presence of chalcopyrite and bornite (even though rarely) in the samples, indicated that the deposit are formed at relatively high temperature (~≥ 400ºC). Generally, these sulfide minerals present in the phyllic alteration zone to potassic. Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of veins are present, such as D vein (disseminated pyrite dominant), a bit of C (chalcopyrite) and M (magnetite) vein type. The sulphide mineral are chalcopyrite, bornite, digenite, and oxide mineral are magnetite and hematite. It indicates that the ore deposit types present in the study area is typical of porphyry Cu-Au deposit. Visible gold is present as free gold in ore microscopy samples of PS-14 (Figure 6c). Detailed exploration including systematic drilling, detailed subsurface geophysical surveys, and ore geochemical surveys are needed to determine the model of deposit type. Calculation and evaluation of detailed exploration will determine whether this type of deposit to be mined economically or not.

Figure 6. Ore Microscopy Sample

Page 86: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

77

CONCLUSION

The rocks in the area of research consists intrusive igneous rocks such as diorite and andesite. Both of them were altered and mineralized. The type of alteration in this study area is divided into 3 zones: argillic, propylitic and phyllic zone. Several sample show phyllic transition to potassic alteration which the presence of alteration minerals such as secondary biotite and k-feldspar. It is also found hipogen ore minerals such as bornite, chalcopyrite, digenite and magnetite, that indicates formed at high temperature (~≥ 400°C). Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of vein are present, such as D vein (disseminated pyrite dominant), a bit of C vein (chalcopyrite) and M vein (magnetite). Based on the data above, it can be concluded that the type of ore deposit were present in the study area is typical of porphyry Cu-Au deposit.

REFERENCES

BEANE, R.E., TITLEY, S.R., 1981, Porphyry Copper Deposit, Part II: Hydrothermal Alteration and Mineralization, Economic Geology, 75th Anniversary Volume, p. 235-269.

EVANS, A. M., 1993, Ore Geology and Industrial Mineral. 3rd Edition, Blackwell Scientific Publication, London.

POHAN, M.P., 2005, Pendataan dan Evaluasi Bahan Galian Pada Bekas Tambang dan Wilayah Peti Di Daerah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Kolokium Hasil Lapangan, ESDM.

VAN ZUIDAM, R.A., 1985, Aerial Photo- Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping, ITC, Enschede, The Netherlands.

Page 87: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

78

Page 88: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

79

GL 1 - COMMUNITY EMPOWERMENT PROGRAM OF LANDSLIDE HAZARD IN SEPANJANG VILLAGE

Erwandi YANTO, Arkanu ANDARU, RUDIANTO, I Gde Budi INDRAWAN, and Wahyu WILOPO

Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Diterima tanggal 15 November 2013

Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering, Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT

Sepanjang village, which is located in Tawangmangu, Central Jawa, Indonesia, is very prone area to landslides. The area is characterized by a steep sloped morphology and a thick residual soil of weathered volcanic and alluvial materials. A community empowerment program has been initiated and implemented to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard. The program involves multiple stakeholders and includes socialization of the landslide hazard, identifications of landslide zone and evacuation points through mapping, installations of warning signs around high susceptibility landslide areas and installations of evacuation route signs, installations of drainage systems and vegetative slope cover to prevent soil erosion and landslide, and evacuation drills in the events of landslide hazard. The program has led to improvement of the community awareness of and response to the landslide hazard indicated by the improved score of quiz given during the program. A landslide susceptibility zone map has been developed and updated regularly by the local community. Lastly, a landslide hazard response team comprising well-trained villagers and the community leader has been established to monitor regularly the identified landslide zone, to give early warning of landslide hazard, and to provide a fast response in the events of landslide hazard.

Key words: community empowerment program, evacuation, hazard response team, landslide.

INTRODUCTION Sepanjang village, which is located in Tawangmangu, Central Jawa, Indonesia, is very prone area to several types of landslides, such as rock fall, debris flow, and debris fall (Fig.1). Loss of live and property repeatedly occurs due to the lack of the awareness and knowledge of the community and local government to the geological hazard.

A community empowerment program was initiated and implemented by the students and staff of Universitas Gadjah Mada in early 2013. The objective was to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard. The program was set to be a multidisciplinary approach, led by students of geological engineering department, and supported by students of various departments, such as medical, agricultural, law, dentistry, forestry, and political departments. This paper describes the successful community empowerment program, which is applicable to other geological hazard-prone areas, particularly in Indonesia.

Page 89: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

80

GEOLOGY Sepanjang Village consists mostly of steep slopes, which are covered by a thick residual soil of weathered volcanic and alluvial materials. According to Sampurno dan Samodra (1997), the volcanic materials are of Sidoramping Lava Formation (Qvsl) comprising of porphyritic andesite lava, while the Alluvial deposits (Qlla) consists of andesite, basalt, and small amount of pumice- volcanic sand mixtures. The area is controlled by strike-slip and reverse faults with NW-SE, W-E, and N-S orientations. The faults are hardly exposed due to alteration and soil cover.

Fig.1. Location of Sepanjang Village.

Fig.2. Typical rockfall hazard.

Page 90: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

81

LANDSLIDE The types of landslide which often occurs in Sepanjang village are rock fall, debris flow, and debris fall (Dwikorita, 2005). Rock fall often occurs from steep and fracture rock slopes and is triggered by rock mining activities conducted by local community (Fig.2). Debris flow occurs in area with relatively gentler slopes covered by thick residual soils, where the water contents increase significantly during the rainy seasons. Meanwhile, debris slide often occurs after earthquake events. A typical tension crack develops due to the landslide is shown in Fig.3. The landslides have forced the local community to abandon their houses (Fig.4).

Fig. 3. Typical tension crack develops in soil slope.

Fig.4. Typical steep slope and abandoned houses.

COMMUNITY EMPOWERMENT PROGRAM

Socialization The first stage of the implementation of the community empowerment program was to give information related to the program and landslide hazard to the community through socialization.

Fig.5. Public education of landslide hazard for the adults.

Fig.6. Public education of landslide hazard for the children through fun games.

The socialization was set to be conducted to two main groups of the community, i.e., the adults and children. Separation was needed because the two groups had different levels of understanding and required different approaches. The adults were given a general knowledge related to the landslide (i.e., types, controlling factors, impact, and mitigation of

Page 91: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

82

landslides) in formal and informal forums (Fig.5). The community was given quizzes of general knowledge related to landslide and the mitigation prior to and after the socialization. Meanwhile, the socialization to the children was conducted in schools through various fun games, such as Ular Tangga (snake trails), Tas Siaga Bencana (disaster alert bags), and Kentongan (bamboo drum) (Fig.6).

Mapping of Landslide Susceptibility Areas and Evacuation Routes As a part of the program, the community, particularly the adults, was given knowledge of basic landslide mapping (Fig.7). The knowledge included how to read the map contour, how to understand the map legend, and how to develop a map of areas susceptible to landslide hazard.

Fig. 7. Public education of basic mapping of landslide susceptibility.

Subsequently, the community was trained to develop landslide zoning in the village based on the susceptibility levels (Fig.8). The lowest susceptibility zones were marked in green, the moderate susceptibility zones were marked in yellow, while the highest susceptibility zones were marked in red. The green zone was generally characterized by gentle slopes (< 30º ), a less than 2 m thick soil cover, and a dense vegetation with strong roots. The yellow zone was characterized by moderate slopes (30º-45º), less vegetation, soil cracks, and various symptomps of landslide, such as slope creeping and seepage. The red zone was characterized by steep slopes (> 45º ) and frequent events of small scale landslides. In addition, the landslide symptoms in the red zone, such as slope creeping and slumping, and cracks in house walls, were more severe than those in the yellow zone.

Page 92: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

83

Fig.8. Landslide susceptibility map developed during the program.

In addition to the mapping of the landslide prone areas, the community was also trained to determine evacuation routes and points. The maps of landslide susceptibility and evacuation routes were updated regularly following regular monitoring of the village.

Upon completion of the mapping, landslide warning and evacuation route signs were installed at several points in the village to always remind the community of the potential hazard and evacuation routes in the events of disaster (Fig.9).

Page 93: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

84

Fig.9. Installation of landslide warning sign by the local community.

Installation of Drainage System and Slope plantation Installation of drainage system and slope plantation were conducted by the local community during the program. One of the controling factors of debris flow or landslide is the increase of soil water content and sebsequent reduction of soil strength. The increase in soil water content can be controlled by installing a drainage system. In addition, vegetation also remove soil water through transpiration process. The vegetation roots may enhance mechanically the soil slope stability by anchoring the unstable surficial soil into the deeper stable layer or bedrock (Mattia et al., 2005).

Disaster Response Team and Evacuation Drill In addition to increase the community awareness of the landslide hazard, the objective of the community empowerment program was to enable the community to independently respond to the landslide hazard. A landslide hazard response team was then established to monitor regularly the identified landslide zones, to give early warning of landslide hazard, and to provide fast response in the events of landslide hazard. The team, which was essentially representative of the National Disaster Management Agency, was led by the community leader and comprised of well-trained villagers, where each of them had a specific job and responsibility.

Fig.10. Medical response team helping the survivors during the evacuation drill.

Page 94: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

85

An evacuation drill was conducted to enable the community to be ready physically and mentally in the event of emergency due to the landslide disaster (Fig.10). During the drill, the community was evacuated through the evacuation routes to the predetermined evacuation points. The medical team of the disaster response team was trained by medical staff from a local hospital to help the survivors. While some pre-selected members of the response team evacuated the community to the evacuation points, other members, which were supported by the community living in unaffected areas, provided logistics.

CONCLUSION The relatively high level of community participation, the improved score of quizzes given after the socialization, the ability to identify symptoms of landslide and to develop maps of landslide susceptibility areas and evacuation routes, as well as the update, and the establishment of the disaster response team were positive indicators of the success of the implemented community empowerment program, which was expected to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard.

To date, the program has been continuously and closely monitored to ensure the sustainability of the implemented program. Fortunately, rock falls, which were often triggered by mining activities, have not been occurred since the implementation of the program. The number of debris flow occurrence has reduced significantly most likely due to installation of drainage system and soil slope plantation, which limits the increase in soil water content and subsequent the reduction of soil strength.

REFERENCES MATTIA, C., BISHETTI, G., AND GENTILE, F. 2005. Biotechnical characteristics of root systems of typical Mediterranean species. Plant and Soil, 278(1), pp. 23-32. KARNAWATI, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya., Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. SAMPURNO DAN SAMODRA, H. 1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo-Jawa Edisi Kedua, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Page 95: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

86

Page 96: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

87

GL 2 - GEOLOGICAL DISASTER MITIGATION, EARLY WARNING SYSTEM LANDSLIDE DISASTER,

AUTO SOIL THE TRANSMISSION SHIFTS DETECTOR WIRELESS

Alfredo Di STEFANO1*, Anarita WIDYANINGRUM1, Muhammad Faqih ALFYAN1 , Aditya Sapta NUGRAHA2

1 Geological Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University 2Electrical Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University

*Corresponding author : [email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Saat ini, Internet menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila internet dapat dikembangkan menjadi komponen penting dalam mitigasi bencana. Indonesia memiliki banyak daerah yang berpotensi mengalami longsor. Tanah longsor dari tahun ke tahun selalu merugikan bagi masyarakat, baik dari segi material dan immaterial. Hal ini dapat dicegah dengan membuat sistem peringatan dini dengan teknologi berbasis internet. Sistem peringatan dini juga dapat mendidik masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat dalam mengembangkan sistem peringatan dini. Secara umum, metode yang digunakan adalah tahap lapangan dan tahap bengkel. Observasi lapangan adalah untuk mengetahui kondisi geologi termasuk geomorfologi, kemiringan dan tata guna lahan. Sedangkan tahap bengkel adalah pembuatan alat dan simulasi. Konsep sistem peringatan dini adalah dengan menggunakan potensiometer sebagai Sensor Mekanik dan Tiltmeter untuk sensor kemiringan. Sensor mekanik memiliki tuas penarik kawat yang ditanam pada kedalaman tertentu. Ketika terjadi gerakan tanah, tuas penarik kawat akan tertarik dan akan diubah menjadi tegangan oleh sensor potensiometer . Sementara tilt sensor bekerja ketika ada perubahan dalam kemiringan lokasi pemasangan detektor dibuat dan dibaca dalam Minimum Sistem Pengolahan Data ATMEGA 32 sebagai menentukan apakah tanah dianggap sebagai suatu kegiatan atau tanah longsor. Setiap data yang disimpan MMC (Memory Card Micro). Jika gerakan tanah dianggap sebagai tanah longsor, sirene akan diaktifkan dan modul Wireless Xbee Pro 900 XSC Prima akan mengirim pesan melalui internet ke lokasi sekitar bencana sehingga masyarakat memiliki waktu untuk mengungsi. Kata kunci : Tanah Longsor , Potensiometer , Sistem Minimum ATMEGA 32 , Wireless

PENDAHULUAN

Gerakan tanah atau yang dikenal dengan tanah longsor adalah salah satu peristiwa geologi berupa pergerakan massa/tubuh tanah dengan berbagai jenis gerakan. Gerakan tanah ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu gaya penahan dan gaya pendorong. Gaya penahan berkaitan dengan kepadatan tanah dan kekuatan batuan. Sedangkan gaya pendorong berkaitan dengan kandungan air dalam tanah, sudut kelerengan, beban dan densitas tanah atau batuan. Apabila gaya pendorong lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan,

Page 97: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

88

maka akan terjadi ketidakseimbangan sehingga dapat menyebabkan gerakan tanah atau tanah longsor. Terjadinya tanah longsor dapat dipicu oleh beberapa hal seperti tingginya curah hujan, kemiringan lereng yang terjal, tanah yang kurang padat, batuan dasar yang tidak terlalu kuat, tata guna lahan, getaran, pengikisan atau erosi dan penambahan beban.

Indonesia memiliki karakteristik daerah yang didominasi oleh topografi tinggian dan rendahan, curah hujan yang tinggi dan berada pada jalur cincin api (ring of fire). Beberapa hal tersebut menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana tanah longsor. Telah tercatat bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 918 lokasi rawan bencana tanah longsor yang mengancam kehidupan manusia serta kerugian material yang tidak sedikit. Sampai saat ini juga masih banyak kejadian tanah longsor yang menelan banyak korban jiwa. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena sekitar 60% daratan di wilayah Indonesia merupakan daerah rentan longsor dan daerah yang rentan longsor tersebut terus menerus mendapat gangguan untuk pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan (BNPB, 2011).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini terutama dalam bidang komunikasi berkembang begitu pesat. Salah satu contoh adalah perkembangan internet dan teknologi wireless yang saat ini telah lazim digunakan oleh masyarakat luas. Di masa depan, teknologi ini akan menjadi kebutuhan standar seiring dengan perkembangan teknologi yang lain di masa mendatang. Dengan begitu, pemanfaatan internet dan wireless dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang seperti peringatan dini tanah longsor seperti yang dibahas dalam gagasan ini. Terlebih Indonesia mencanangkan diri menjadi cyber country pada tahun 2030, dimana seluruh kawasan di Indonesia telah memiliki akses internet wifi, (Menkominfo, 2012).

Gagasan ini diangkat sebagai salah satu upaya optimistik dan visioner yakni dengan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin demi kebermanfaatan masyarakat Indonesia. Dengan semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dalam pemanfaatannya, gagasan ini akhirnya diangkat. Selain itu, gagasan ini diharapkan mampu stimulus seluruh masyarakat Indonesia khususnya para pemuda dan pemudi untuk terus mengembangkan inovasinya di bidang teknologi. Tidak hanya di bidang mitigasi bencana, gagasan ini diharapkan mampu menjadi semangat untuk pengembangan teknologi di bidang lainnya.

Pengembangan teknologi dalam bidang bidang mitigasi bencana akan difokuskan kepada tanah longsor. Untuk mengurangi dampak negatif tanah longsor yang ditimbulkan baik berupa kerugian secara material maupun korban jiwa, maka diperlukan suatu alat yang secara otomatis memberikan tanda atau sinyal jika akan terjadi bencana tanah longsor. Alat tersebut dapat memberikan peringatan dini sehingga masyarakat dapat melakukan evakuasi dini untuk menghindari daerah yang rentan terjadi bencana tanah longsor. Dengan sistem peringatan dini yang bekerja secara otomatis tersebut diharapkan dapat mencegah adanya korban jiwa maupun kerugian material akibat bencana tanah longsor.

Dengan menggunakan detektor pergeseran tanah otomatis yang menggunakan sistem peringatan melalui transmisi wireless dan internet, diharapkan bencana tanah longsor dapat dihindari lebih dini dan menjadi solusi tepat pengembangan alat deteksi dini tanah longsor.

TINJAUAN PUSTAKA

Geologi dan Gerakan Tanah

Longsor adalah salah satu jenis gerakan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan serta kajian pada beberapa teori gerakan tanah. Gerakan tanah merupakan suatu gerakan

Page 98: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

89

menuruni lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batun penyusun lereng tersebut.

Proses Terjadinya Gerakan Tanah

Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak, namun belum mengalami pergerrakan. Lereng yang dikategorikan sebagai lereng yang rentan bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah atau batuan panyusun yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dipastikan kapan gerakan itu akan terjadi (gambar 1)

Berikut skema tahapan terjadinya gerakan tanah :

Gambar 1 : Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati, 2005)

Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila terdapat pemicu gerakan. Pemicu gerakan tersebut berupa proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng yang semula siap bergerak menjadi mulai bergerak. Pemicu tersebut umumnya berupa hujan, getaran-getaran ataupun aktivitas manusia pada lereng, seperti penggalian, pemotongan, pembebanan berlebilah ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada saluran atau kolam dan sebagainya.

Pemicu Gerakan Tanah

Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memibu gerakan tanah dapat berupa : hujan, getaran, aktivitas manusia

Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

Page 99: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

90

KOMPONEN ALAT

Secara garis besar perangkat keras (gambar 2) maupun lunak dari komponen alat antara lain:

1. Modul detektor longsor 2. Sirine mini 3. Program komputer berbahasa C untuk monitoring retakan tanah dan kemiringan

dengan peringatan dini sirine dan pengirim data wireless

Gambar 2 : Perangkat Keras Sistem Peringatan Dini

Sementara itu, program dan situs untuk data logging di website sedang dalam proses pengembangan.

Sistem yang sudah dikembangkan terdiri dari:

1. Sensor Jarak

Sensor jarak untuk pengukuran rekahan tanah adalah potensiometer sebagai pembagi tegangan. Potensiometer yang digunakan berdimensi panjang 8 cm, sehinga bisa mengukur jarak 0-8 cm dengan error sebesar 3,7% (hasil pengamatan data kalibrasi). Dengan pemanfaatan ADC (Analog to Digital Converter) pada mikrokontroller yang dipakai, data analog berupa jarak 0-8 cm ini bisa dikonversi ke data digital 8-bit menjadi 0-1011. Data inilah yang akan diproses pada mikrokontroler.

Ketidaklinearan hubungan jarak dengan nilai ADC diatasi dapat diatasi dengan penghitungan rumus persamaan hubungan tidak linear dengan pendekatan regresi pangkat dua. Dimana untuk potensiometer yang dipakai diperoleh hubungan (gambar 3) :

r = jarak rekahan; X = nilai digital pembacaan potensiometer

2. Sensor Kemiringan

Sensor kemiringan digunakan untuk pendeteksian gejala longsor di samping rekahan tanah, yaitu amblasnya tanah.

Untuk sementara ini sensor kemiringan yang digunakan adalah simple tilt meter berbasis air raksa. Sensor kemiringan ini akan aktif jika badan sensor miring, tanpa bisa diakses besaran derajat kemiringannya. Pengaturan derajat pemicu aktifnya sensor

Page 100: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

91

dilakukan secara mekanis yaitu dengan pengaturan kemiringan pemasangan sensor pada badan perangkat.

Kedepannya akan dikembangkan accelerometer dan atau gyrometer sebagai sensor kemiringan. Dengan sensor jenis ini, data derajat kemiringan dapat dibaca dan diolah dengan mikrokontroler. (Gambar 3a)

3. Main Board

Mainboard yang digunakan adalah modul keluaran dari Arduino berbasis mikrokontroler ATMEGA 328. Dengan fitur ADC, pin I/O dan kapasitas program yang ada, modul mikrokontroler ini sudah mencukupi untuk digunakan sebagai pusat pengolah data (gambar 3b).

4. Media Komunikasi

XBee Wireless Communication Module (chip antenna) XB24-ACI-001 adalah salah satu varian dari modul wireless yang dikembangkan oleh Neo Robotics dengan fitur yang cukup lengkap. Suatu informasi berupa data dalam bentuk tulisan, suara atau paket data dapat dikirim menggunakan media modul wireless ini yang nantinya akan memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan bencana tanah longsor yang akan terjadi. Modul ini mendukung kecepatan data hingga 115kbps. Ini memiliki berbagai ruangan dari 30 meter dan outdoor RF line-of-sight jarak hingga 100 meter. (Gambar 3c)

5. Antar-Muka

Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).

A B

C D

Gambar 3 : Pemasangan Simple Tilt Sensor (A); Main Board berbasis ATMEGA328 (B);

Modul GSM-GPRS (C); Unit antar muka (D)

KETERCAPAIAN TARGET LUARAN

Karena setiap daerah mempunyai kondisi geologi yang berbeda jenis dan kompleksitasnya, standarisasi aplikasi sistem alat ini juga berkesesuaian dengan kondisi geologi daerah yang akan dipasang.

Page 101: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

92

Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).

Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).

KESIMPULAN

Sistem peringatan dini sangat diperlukan untuk menghadapi bencana yang mengancam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, peringatan dini adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Keadaan kritis, waktu yang sempit dan keselamatan masyarakat merupakan hal-hal yang membutuhkan peringatan dini. Dengan adanya gagasan untuk mengembangkan alat detektor tanah longsor menggunakan transmisi wireless dan internet, diharapkan dapat mengurangi resiko akibat bencana tanah longsor melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang bekerja pada alat tersebut dapat membantu masyarakat untuk melakukan evakuasi dini sebelum longsor benar-benar terjadi. Kedepannya, Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi pilot project dalam hal mitigasi bencana khususnya mitigasi bencana tanah longsor berbasis teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

ABRAMSON L.W, LOE T. SI., SHARMA S., DAN BOYCE G.M. 1996. Slope Stability and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, New York.

CLAYTON, C.R.I, MATTHEWS, M.C. DAN SIMONS, N.E. 1995. The Site Investigation, Second Edition, Blackwell Science.

FATHANI, T.F. AND NAKAMURA, H. 2005. A new method for Estimating the Shear Stength parameters at the Critical Slip Surface. Journal of the Japan landslide Society. Vol.42, No.2. 159-168.

JAPAN LANDSLIDE SOCIETY. 1996. Landslides in Japan (The Fifth Revision)-National Conference of Landslide Control

KARNAWATI, D. 2005. Bencana alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi FT UGM.

KARNAWATI, D. DAN FATHANI, T.F. 2001. Pemasangan dan Sosialisasi Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Bagi Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Situbondo. Laporan Akhir.

Tanah Longsor di Ambon, 4 Orang Tewas. Kompas. http://regional.kompas.com/read/2011/07/31/13065322/Tanah.Longsor.di.Ambon.4. Orang.Tewas

Page 102: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

93

GL 3 - EARLY WARNING SYSTEM BENCANA TANAH LONGSOR, DETEKTOR PERGESERAN TANAH

OTOMATIS BERBASIS EKSTENSOMETER, MIKROKONTROLER DAN SISTEM PERINGATAN SMS

Alfredo Di Stefano1*, Ahmad Zakariya Al Ansori1, Astika Prassidha1, Aditya Sapta Nugraha2,

Anita Purba Nilam Hapsari2, Wawan Budianta1

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*Corresponding author : [email protected]

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41, Yogyakarta, September 2012 dan memperoleh predikat Best Student Oral Presentation

ABSTRAK

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Bencana longsor tersebut memberikan dampak bagi masyarakat, baik berupa kerugian material maupun korban jiwa. Hal ini terjadi akibat kurang optimalnya sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang selaras dengan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah pilihan bijak yang cukup mendesak untuk diterapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sistem peringatan dini bencana tanah longsor yang juga mengikutsertakan peran masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tahap lapangan dan tahap bengkel. Tahap lapangan meliputi pengamatan karakteristik kondisi geologi, geomorfologi, kelerengan dan tata guna, sedangkan tahap bengkel berupa pembuatan alat dan simulasi. Konsep sistem peringatan dini ini adalah dengan menggunakan sensor mekanik berupa Ekstensometer dan sensor kemiringan berupa Simple Tilt Sensor di lokasi yang rawan longsor pada kedalaman tertentu. Ekstensometer terdapat kawat penarik tuas yang dikaitkan pada suatu tiang pada kedalaman tertentu sebagai sensor deteksi tanah longsor, sedangkan sensor kemiringan akan bekerja apabila terjadi amblesan pada lokasi pemasangan alat detektor. Apabila terjadi tanah longsor, kawat penarik tuas akan tertarik dan akan ditransformasikan menjadi tegangan oleh sensor potensiometer. Pengolahan data dilakukan di Minimum System ATMEGA 32 sebagai penentu apakah aktivitas tanah dianggap sebagai tanah longsor atau tidak. Setiap data pergeseran tanah disimpan pada media MMC (Micro Memory Card) Storage. Jika aktivitas tanah dianggap sebagai tanah longsor, maka sirine akan diaktifkan dan modul GSM (Global System for Mobile) SIM300C akan diperintahkan untuk mengirim SMS (Short Message Service) kepada Petugas atau Masyarakat sekitar.

Kata Kunci : Tanah Longsor, Ekstensometer, Minimum System ATMEGA 32, Sirine, SMS (Short Message Service)

PENDAHULUAN

Bencana gerakan massa tanah merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yang oleh masyarakat umum lebih dikenal sebagai bencana longsor. Bencana tanah longsor terutama terjadi setelah hujan ataupun segera setelah gempabumi terjadi. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena sekitar 60%

Page 103: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

94

daratan di wilayah Indonesia merupakan daerah rentan longsor dan daerah yang rentan longsor tersebut terus menerus mendapat gangguan untuk pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan.

Sejak 2001 hingga saat ini tercatat telah terjadi lebih dari 45 peristiwa bencana longsor di berbagai daerah yang berbeda dan telah memakan korban meninggal dunia sebanyak 1736 jiwa dan rumah rusak atau tertimbun sebanyak 4064 rumah. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.

Sebagai contoh bencana tanah longsor yang terjadi di Indonesia, diantaranya adalah yang terjadi di daerah Ambon pada tanggal 31 Juli 2011 yang memakan korban hingga 4 orang, kemudian di Minahasa pada tanggal 4 September 2011 yang menelan 1 korban. Dan terakhir adalah yang terjadi di daerah Sorong Barat pada tanggal 15 September 2011 yang merenggut 2 orang. (kompas.com, diakses pada tanggal 20 September 2011)

Mengapa banyak korban yang jatuh akibat adanya longsor? Hal ini dikarenakan proses tanah longsor tersebut berlangsung secara cepat dan mendadak. Hal ini menyebabkan para korban untuk berlari menyelamatkan diri. Oleh karena itu, diperlukan suatu media atau alat yang dapat mendeteksi lebih dini mengenai adanya kemungkinan bencana tanah longsor.

Untuk meminimalisasi jumlah korban ataupun untuk memberikan antisipasi dini terhadap tanah longsor, maka diperlukan alat yang secara otomatis memberikan tanda atau sinyal kepada masyarakat untuk segera melakukan evakuasi dari daerah yang rawan bencana. Otomatisasi alat ini diharapkan agar sebelum bencana tanah longsor tersebut terjadi, masyarakat dapat melakukan penyelamatan terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian material akibat bencana tersebut.

Dengan menggunakan detektor pergeseran tanah otomatis berbasis ekstensiometer, mikrokontroler dan sistem peringatan SMS diharapkan bencana tanah longsor dapat diantisipasi lebih dini dan menjadi pilot project solusi pengembangan alat deteksi dini tanah longsor.

TINJAUAN PUSTAKA

Geologi dan Gerakan Tanah

Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan serta kajian pada beberapa teori gerakan tanah (Varnes, 1978) gerakan tanah merupakan suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batun penyusun lereng tersebut.

Definisi di atas menunjukkan bahwa massa yang bergerak dapat berupa massa tanah, massa batuan ataupun pencampuran antara massa tanah dan batuan penyusun lereng. Apabila massa yang bergerak tersebut didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui bidang pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut diartikan sebagai longsoran tanah.

Proses Terjadinya Gerakan Tanah

Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak, namun belum mengalami pergerrakan. Lereng yang dikategorikan sebagai

Page 104: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

95

lereng yang rentan bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah atau batuan panyusun yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dipastikan kapan gerakan itu akan terjadi (gambar 1)

Berikut skema tahapan terjadinya gerakan tanah :

Gambar 1 : Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati, 2005)

Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila terdapat pemicu gerakan. Pemicu gerakan tersebut berupa proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng yang semula siap bergerak menjadi mulai bergerak. Pemicu tersebut umumnya berupa hujan, getaran-getaran ataupun aktivitas manusia pada lereng , seperti penggalian, pemotongan, pembebanan berlebilah ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada saluran atau kolam dan sebagainya.

Pemicu Gerakan Tanah

Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa : hujan, getaran, aktivitas manusia

Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

KOMPONEN ALAT

Secara garis besar perangkat keras (gambar 2) maupun lunak dari komponen alat antara lain:

1. Modul detektor longsor 2. Sirine mini 3. Program komputer berbahasa C untuk monitoring retakan tanah dan kemiringan

dengan peringatan dini sirine dan SMS

Page 105: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

96

Gambar 2 : Perangkat Keras Sistem Peringatan Dini

Sementara itu, program dan situs untuk data logging di website sedang dalam proses pengembangan.

Sistem yang sudah dikembangkan terdiri dari:

1. Sensor Jarak

Sensor jarak untuk pengukuran rekahan tanah adalah potensiometer sebagai pembagi tegangan. Potensiometer yang digunakan berdimensi panjang 8 cm, sehinga bisa mengukur jarak 0-8 cm dengan error sebesar 3,7% (hasil pengamatan data kalibrasi). Dengan pemanfaatan ADC (Analog to Digital Converter) pada mikrokontroller yang dipakai, data analog berupa jarak 0-8 cm ini bisa dikonversi ke data digital 8-bit menjadi 0-1011. Data inilah yang akan diproses pada mikrokontroler.

Ketidaklinearan hubungan jarak dengan nilai ADC diatasi dapat diatasi dengan penghitungan rumus persamaan hubungan tidak linear dengan pendekatan regresi pangkat dua. Dimana untuk potensiometer yang dipakai diperoleh hubungan (gambar 3) :

r = jarak rekahan; X = nilai digital pembacaan potensiometer

Gambar 3 : Grafik perbandingan pembacaan jarak real dengan hasil regresi

Page 106: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

97

2. Sensor Kemiringan Sensor kemiringan digunakan untuk pendeteksian gejala longsor di samping rekahan tanah, yaitu amblasnya tanah.

Untuk sementara ini sensor kemiringan yang digunakan adalah simple tilt meter berbasis air raksa. Sensor kemiringan ini akan aktif jika badan sensor miring, tanpa bisa diakses besaran derajat kemiringannya. Pengaturan derajat pemicu aktifnya sensor dilakukan secara mekanis yaitu dengan pengaturan kemiringan pemasangan sensor pada badan perangkat.

Kedepannya akan dikembangkan accelerometer dan atau gyrometer sebagai sensor kemiringan. Dengan sensor jenis ini, data derajat kemiringan dapat dibaca dan diolah dengan mikrokontroler.

3. Main Board

Mainboard yang digunakan adalah modul keluaran dari Arduino berbasis mikrokontroler ATMEGA 328. Dengan fitur ADC, pin I/O dan kapasitas program yang ada, modul mikrokontroler ini sudah mencukupi untuk digunakan sebagai pusat pengolah data (gambar 4b).

4. Media Komunikasi

Modul GSM yang digunakan adalah SIM900C dengan kemampuan untuk pengiriman dan penerimaan data suara, sms dan paket data internet via GPRS. Selain itu juga menggunakan sirine untuk menyampaikan pesan (gambar 4c).

5. Antar-Muka

Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 4d).

A B

C D

Gambar 3 : Pemasangan Simple Tilt Sensor (A); Main Board berbasis ATMEGA328 (B);

Modul GSM-GPRS (C); Unit antar muka (D) Karena setiap daerah mempunyai kondisi geologi yang berbeda jenis dan kompleksitasnya, standarisasi aplikasi sistem alat ini juga berkesesuaian dengan kondisi geologi daerah yang akan dipasang.

Page 107: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

98

Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa : Hujan, Getaran, Aktivitas manusia

Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

KESIMPULAN

Sistem peringatan dini bencana tanah longsor, detektor pergeseran tanah otomatis berbasis ekstensometer, mikrokontroler dan sistem peringatan SMS ini adalah salah satu solusi yang sangat berpotensial untuk dapat dikembangkan pada masa depan dalam menanggulangi dan meminimalisasi korban ketika menghadapi bencana alam khususnya tanah longsor. Didukung dengan kemampuannya secara digital, kemasannya yang relatif praktis, ringan, dan dapat potensinya untuk diintegrasikan dengan alat-alat lain maupun dikembangkan secara lebih lanjut, membuat alat ini diharapkan dapat menjadi salah satu harapan pada masa yang akan datang. Namun, tetap diperlukan tahap pemetaan lapangan untuk memperkirakan daerah-daerah yang memiliki kerawanan yang cukup tinggi tanah longsor.

DAFTAR PUSTAKA

ABRAMSON L.W, LOE T. SI., SHARMA S., DAN BOYCE G.M. 1996. Slope Stability and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, New York.

CLAYTON, C.R.I, MATTHEWS, M.C. DAN SIMONS, N.E. 1995. The Site Investigation, Second Edition, Blackwell Science.

FATHANI, T.F. AND NAKAMURA, H. 2005. A new method for Estimating the Shear Stength parameters at the Critical Slip Surface. Journal of the Japan landslide Society. Vol.42, No.2. 159-168.

JAPAN LANDSLIDE SOCIETY. 1996. Landslides in Japan (The Fifth Revision)-National Conference of Landslide Control

KARNAWATI, D. 2005. Bencana alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi FT UGM.

KARNAWATI, D. DAN FATHANI, T.F. 2001. Pemasangan dan Sosialisasi Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Bagi Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Situbondo. Laporan Akhir.

Tanah Longsor di Ambon, 4 Orang Tewas. Kompas. http://regional.kompas.com/read/2011/07/31/13065322/Tanah.Longsor.di.Ambon.4. Orang.Tewas (diakses pada tanggal 20 September 2011)

Page 108: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

99

GL 4 - APLIKASI PETA GEOLOGI SKALA DETAIL DAERAH TENGGARA GUNUNG IJO, KULON PROGO,

D.I.Y., SEBAGAI PENUNJANG MASTER PLAN KANDIDAT GEOWISATA UNGGULAN INDONESIA

Muhamad Rizki ASY’ARI, Sarah SAUSAN, Ario GEGER, Rezky Destrio NUGROHO, Hanief

Hamzah PURWANDONO

Mahasiswa Strata 1 Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2 Sleman Yogyakarta 55284

Penulis korespondensi: [email protected]

Lolos didanai oleh Dikti sebagai PKM-AI 2013

ABSTRAK Keragaman fenomena geologi hasil pertumbukan tiga lempeng utama dunia di Indonesia menjadikan negara ini kaya akan potensi wisata geologi atau geowisata. Salah satu daerah yang menyimpan keindahan geologi adalah daerah Kulon Progo, DIY dengan fenomena gunung api laut purba bernama Gunung Ijo. Daerah unggulan tersebut terutama di bagian Tenggaranya di mana terdapat Waduk Sermo dan Kali Biru yang menambah kecantikan pemandangan pegunungan. Oleh karena itu, dilakukan pemetaan geologi skala detail 1:25.000 selama Juli-Agustus 2012 untuk memetakan potensi titik-titik geowisata di bagian Tenggara Gunung Ijo.

Dari hasil pemetaan, daerah Gunung Ijo dapat dibagi menjadi zona Pusat Erupsi, Proksimal, dan Distal. Telah dipetakan dua belas titik-titik geowisata terbaik yaitu empat untuk masing-masing zona dengan data lengkap meliputi koordinat, morfologi, litologi, struktur geologi dan juga sisi menarik secara geologi dan analisis kelayakan sebagai titik kunjungan geowisata. Diharapkan hasil pemetaan titik potensial wisata geologi ini dapat dimanfaatkan pemerintah Kabupaten Kulon Progo sebagai master plan peninjauan kandidat geowisata unggulan Indonesia ini. Kata kunci: geowisata, Kulon Progo, gunung api purba Ijo, pemetaan geologi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara geologi, Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari hasil manifestasi pergerakan tiga lempeng bumi. Salah satu manifestasi dari dinamika aktivitas lempeng tersebut adalah adanya penunjaman lempeng/subduksi yang berperan besar dalam pembentukan Pulau Jawa. Manifestasi dari subduksi itu sendiri akan membentuk rangkaian gunungapi yang ada di pulau tersebut. Rangkaian gunungapi ini merupakan suatu kajian yang menarik dalam membahas dinamika vulkanisme yang terjadi serta menyajikan pemandangan yang berpotensi untuk menjadi tujuan wisata geologi yang menarik.

Van Bemmelen (1949), Dalam Geology of Indonesia, membahas mengenai geologi pulau Jawa secara umum dan kondisi fisiografis Pulau Jawa yang dibagi dalam tujuh satuan geomorfik. Salah satunya adalah Zona Depresi Jawa Tengah. Pada Zona Depresi Jawa Tengah bagian selatan terdapat morfologi kubah (dome) yang menurut Van

Page 109: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

100

Bemmelen (1948) dulunya merupakan salah satu dataran yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan. Plato ini lalu mengalami pengangkatan (uplift) sehingga membentuk kubah (dome) yang relatif berbentuk persegi panjang.

Secara geologi, daerah Kulon Progo menarik untuk dikunjungi, karena pada daerah tersebut tersingkap produk-produk dari aktivitas vulkanisme purbakala yang tercermin dari pola rekaman batuan yang ada. Hingga saat ini telah tercatat ada tiga gunungapi purbakala yang pernah aktif di daerah ini, salah satunya adalah Gunung Ijo. Gunung Ijo merupakan gunungapi purbakala yangberada di bagian paling selatan dan berumur lebih muda dibandingkan Gunung Gadjah, dan lebih tua dibandingkan Gunung Menoreh. Produk-produk yang dihasilkan, dinamika pembentukan daerah, serta panorama-panorama yang memukau di terutama di tenggara Gunung Ijo dengan wisata Waduk Sermo dan Kali Biru ini dapat menjadi suatu perhatian menarik untuk menjadi sarana wisata berbasis keilmuan di bidang geologi. Dewasa ini sudah mulai berkembang lokasi-lokasi geowisata di Indonesia, khususnya Pulau Jawa seperti Karangsambung dan Gunungapi Purba Nglanggran.

Dalam rangka mewujudkan daerah tenggara Gunung Ijo sebagai daerah geowisata unggulan, diperlukan sebuah infomasi geologi yang dapat tercermin dalam peta geologi. Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah dengan tingkat kualitas yang tergantung pada skala peta yang digunakan dan menggambarkan informasi sebaran, jenis dan sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur, tektonika, fisiografi dan potensi sumber daya mineral serta energi yang disajikan dalam bentuk gambar dengan warna, simbol, dan corak atau gabungan ketiganya (SNI13-4691-1998). Diharapkan dengan adanya peta geologi dengan skala detail daerah Tenggara Gunung Ijo dapat memberikan informasi yang diaplikasikan untuk membuat master plan lokasi geowisata unggulan Indonesia di daerah tersebut.

Sehingga, rumusan penelitian ini adalah adanya suatu peta potensi wisata detail untuk daerah kandidat geowisata unggulan yang selanjutnya akan digunakan dalam master plan geowisata. Daerah yang diteliti adalah gunung purba Ijo, Kulon Progo, DIY. Sedangkan, tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan titik-titik potensi geowisata secara detail dalam peta geologi skala 1:25.000 di daerah Tenggara Gunung Ijo, Kulon Progo, DIY. Manfaat dari penelitian ini adalah membantu untuk mengungkap potensi geowisata Kulonprogo sehingga dapat dikembangkan dengan baik menunjang wisata yang sudah ada di daerah tersebut yaitu waduk Sermo dan Kali Biru, sehingga menambah pendapatan Kabupaten Kulon Progo, masyarakat sekitar sekitar, dan menambah atraksi geowisata Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang dilakukan berupa pemetaan geologi detail skala 1:25.000 yang mengacu pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk., 1995) di daerah Tenggara Gunung Ijo, Kecamatan Wates dan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Kegiatan Pemetaan dilaksanakan pada 28 Juli – 14 Agustus 2012. Area kerja pemetaan terbagi dalam 5 kapling berukuran 4 km x 5 km yang saling bertampalan. Kegiatan yang dilakukan adalah memetakan urutan dan persebaran jenis batuan, bentang alam, serta struktur geologi yang terdapat di setiap kapling dengan membuat stasiun pengamatan yang tersebar secara merata di daerah penelitian. Peralatan utama yang digunakan adalah palu geologi, kompas, dan GPS.. Proses pembuatan Peta Geologi dengan menggunakan aplikasi komputer, yaitu ArcGIS, Corel Draw, dan Global Mapper. Lalu dilakukan analisa laboratorium berupa analisa petrografi untuk melakukan koreksi terhadap penamaan batuan dan analisa paleontologi untuk menentukan umur pembentukan batuan. Setelah peta geologi selesai dibuat, dilakukan delineasi zona gunung api menjadi tiap bagian, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Dari masing-masing zona tersebut

Page 110: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

101

diambil beberapa lokasi menarik yang berpotensi untuk menjadi daerah Geowisata di sebelah tenggara Gunung Ijo.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemetaan geologi yang dilakukan, daerah Gunung Ijo bagian tenggara tersusun atas beberapa batuan yang meliputi batuan beku masif, batuan vulkanik, batuan sedimen silisiklastik, dan batuan sedimen karbonatan. Urutan batuan penyusun daerah ini dimulai dari yang berumur paling tua adalah xenolith batuserpih, andesit, lava andesit, breksi andesit, breksi piroklastik andesit. Batugamping grainstone, packstone, dan wackestone, serta endapan pasir- berangkalan (lihat Gambar 1). Struktur geologi yang didapatkan pada daerah ini berupa sesar diperkirakan, sesar normal, sesar normal diperkirakan, sesar geser sinistral, dan sesar geser sinistral diperkirakan. Kemiringan perlapisan batuan relatif ke arah tenggara – selatan.

Gambar 1. Peta potensi geowisata (skala diperkecil) yang merupakan hasil modifikasi dari

peta geologi daerah tenggara Gunung Ijo skala 1:25000.

Page 111: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

102

Sejarah geologi daerah ini menunjukkan bahwa batuan beku dan vulkanik yang merupakan produk dari Gunung Ijo memiliki umur Oligosen Tengah – Miosen Tengah. Produk batuan tersebut terbentuk pada lingkungan darat. Kemudian berdasarkan pengamatan kandungan fosil, batuan-batuan karbonat yang terbentuk memiliki umur Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Lingkungan pengendapannya berada pada lingkungan laut, yaitu pada zona neritik luar hingga batial atas. Selanjutnya setelah Pliosen Awal terjadi proses tektonik yang menyebabkan daerah ini mulai terangkat ke permukaan dan mengalami proses eksogenik hingga saat ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa lokasi yang potensial pada tiap zona gunung api (lihat Gambar 1) yang terangkum dalam tabel-tabel berikut ini:

Tabel 1. Lokasi potensial geowisata pada zona pusat erupsi gunungapi purba.

Zona Pusat Erupsi Gunungapi Purba Kapling/STA 1/1 1/90 4/52 4/56

Koordinat 400881, 9134544

401799, 9134840

399754, 9133509

400811, 9133876

Morfologi Perbukitan

berlereng terjal Perbukitan

berlereng terjal Perbukitan

berlereng terjal Perbukitan

berlereng terjal

Litologi Xenolith

batuserpih Batuan beku

alterasi Andesit Andesit

Struktur geologi

Kekar - - Kekar

Sisi menarik secara geologi

Fragmen batuserpih

dalam massa batuan beku, batuserpih masih utuh

Batuan beku andesit

teralterasi sempurna menjadi

hampir 100% kuarsa

Pertambangan andesit yang

bisa didapatkan andesit yang

segar

Andesit berupa lava yang

tersingkap dengan segar

Kelayakan menjadi

lokasi wisata

Singkapan segar, dipinggir

jalan dengan akses yang

mudah

Singkapan segar, terletak

di dekat Waduk Sermo.

Berada di pinggir jalan dan menjadi daerah tambang rakyat.

Lokasi berada di pinggir jalan dan mudah diakses.

Foto (Lampiran)

Foto 1 Foto 2 Foto 3 Foto 4

Tabel 2. Lokasi potensial geowisata pada zona proksimal gunungapi purba.

Zona Proksimal Gunungapi Purba Kapling/STA 2/95 3/9 4/14 5/57

Koordinat 404105, 9136649

403801, 9133226

401942, 9130550

397366, 9130876

Morfologi Perbukitan berlereng

sedang

Perbukitan berlereng

sedang

Perbukitan berlereng

sedang

Perbukitan berlereng landai

Litologi Andesit Breksi

piroklastikandesit dan andesit

Napal Breksi andesit

Struktur Geologi

- - Kekar -

Sisi menarik secara

Kenampakan bentang alam

Kenampakan breksi

Terdapat konkresi

Kenampakan bukit yang

Page 112: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

103

geologi sekitar, berupa perbukitan

kars dan Waduk Sermo.

piroklastik andesit yang

diterobos oleh intrusi.

limonit/hematit dalam napal.

terisolasi dengan batuan

penyusun breksi andesit

Kelayakan menjadi

lokasi wisata

Berada pada zona tracking

wisata Kali Biru.

Lokasi mudah dijangkau.

Singkapan segar, dipinggir jalan dengan akses yang mudah.

Lokasi mudah dijangkau dan

memiliki panorama yang

indah Gambar

(Lampiran) Foto 5 Foto 6 Foto 7 Foto 8

Tabel 3. Lokasi potensial geowisata pada zona distal gunungapi purba.

Zona Distal Gunungapi Purba Kapling/STA 2/26 2/30 2/71 3/20

Koordinat 404661, 9134530

404379, 9133347

406434, 9135864

403812, 9132490

Morfologi Perbukitan

Kars berlereng sedang - landai

Perbukitan kars berlereng

landai

Tubuh sungai musiman

Perbukitan kars berlereng

sedang – landai

Litologi

Batugamping dan breksi piroklastik

andesit

Batugamping Batugamping dan endapan

sungai

Batugamping

Struktur Geologi

- Sesar Turun Kekar -

Sisi menarik secara geologi

Adanya kontak antara breksi

piroklastik andesit

denganbatugamping

Kenampakan bidang hanging

wall sesar turun yang

besar dan ideal pada

batugamping.

Adanya fosil jejak Aulichnites

penciri zona paparan laut.

Pembentukan mangan pada batugamping yang sempat

menjadi lokasi penambangan

Kelayakan menjadi

lokasi wisata

Lokasi mudah dijangkau

karena berada tepat di pinggir

jalan raya.

Lokasi cukup mudah

dijangkau dan suasana

perbukitan yang hijau dan

segar.

Lokasi mudah dijangkau

karena dekat dengan jalan

raya.

Lokasi mudah di jangkau dan

pemandangan sekitar yang

indah.

Gambar (Lampiran)

Foto 9 Foto 10 Foto 11 Foto 12

Pembagian zona gunung api dilakukan berdasarkan aspek morfogenesa yang mengacu pada karakteristik litologi penyusun batuan gunungapi. Bogie dan Mackenzie (1998, dalam Bronto, 2006) membagi zona gunung api menjadi empat zona, yaitu zona pusat (central), proksimal, medial, dan distal (Gambar 2). Namun umumnya zona proksimal dan medial menjadi satu kesatuan zona jika produk-produknya sulit dibedakan.

Page 113: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

104

Gambar 2. Pembagian zona gunungapi beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie &

Mackenzie, 1998, dalam Bronto, 2006). Secara garis besar, daerah penelitian dibagi kedalam tiga zona gunungapi. Masing-

masing zona dipilih empat kandidat lokasi yang potensial yang dapat dijadikan geowisata, yaitu:

1. Zona pusat erupsi gunungapi purba Zona ini secara umum tersusun oleh batuan beku masif yang merupakan

hasil dari pembekuan magma dan lava (magma yang mencapai permukaan). Pada zona ini dapat dijumpai xenolith (fragmen batuan di dalam batuan lain) batuserpih di dalam batuan andesit yang merupakan hasil dari terobosan magma andesitik pada batuserpih yang sebelumnya terbentuk lebih dulu. Lalu adanya batuan andesit yang teralterasi (terubah) menjadi batuan beku akibat proses hidrotermal. Dijumpai pula kenampakan batuan andesit serta lava andesit yang mengalami kekar pendinginan. Batuan-batuan tersebut masih segar sehingga mineral-mineral yang terkandung dalam batuan dapat terlihat dengan jelas.

2. Zona proksimal gunungapi purba Zona ini secara umum tersusun oleh lava andesit yang juga

telahmengalami breksiasi serta batuan piroklastik andesit. Sisi geologi yang menarik di daerah ini adalah kenampakan bentang alam yang indah yang mengelilingi Waduk Sermo serta kenampakan bukit-bukit terisolir yang juga merupakan produk dari gunungapi. Selain itu dijumpai intrusi andesit yang menerobos batuan piroklastik andesit yang kontaknya jelas terlihat. Pada lokasi perbatasan dengan zona distal, dijumpai adanya napal dengan konkresi-konkresi limonit.

3. Zona distal gunungapi purba Zona ini tersusun oleh litologi berupa batuan karbonat yang umumnya

tersusun oleh varian dari batugamping dan napal serta endapan-endapan sungai yang berukuran pasir hingga berangkal. Sisi geologi yang menarik di zona ini antara lain adalah kontak antara batuan piroklastik andesit dengan batugamping, dengan kontak berupa ketidakselarasan yang dicirikan adanya fragmen-fragmen batuan piroklastik di dalam batugamping. Lalu adanya kenampakan bidang sesar yang sangat besar berupa hanging wall pada batugamping. Dijumpai fosil-fosil jejak Aulichnites pada batugamping yang merupakan penciri dari lingkungan sublitoral (zona paparan pada laut dangkal). Kemudian adanya bukit gamping yang mengandung mineral bijih, yaitu mangan yang sempat dijadikan area penambangan baik oleh masyarakat setempat maupun perusahaan tambang.

Page 114: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

105

Dari penjabaran diatas, dapat diketahui bahwa zona-zona gunungapi di tenggara Gunung Ijo menyimpan banyak potensi geowisata yang bagus untuk dikembangkan. Oleh karena itu dibutuhkan tindak lanjut dari pemerintah setempat untuk membangun infrastruktur lokasi-lokasi yang potensial agar dapat menjadi potensi geowisata unggulan di Indonesia.

KESIMPULAN

Dari hasil pemetaan geologi, analisis lokasi pengamatan, serta hasil diskusi dapat diperoleh kesimpulan bahwa daerah penelitian dapat dibagi ke dalam tiga zona gunungapi, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Setiap zona gunungapi memiliki beberapa potensi geowisata yang sangat menarik untuk dikaji di bidang geologi khususnya kegunungapian serta dinikmati keindahannya. Dibutuhkan pengembangan infrastruktur lebih lanjut agar lokasi yang potensial dapat menjadi lokasi geowisata unggulan.

DAFTAR PUSTAKA

BRONTO. SUTIKNO. 2006. “Fasies Gunung Api dan Aplikasinya”. Bandung: Pusat Survei Geologi. RAHARDJO, W., SUKANDARRUMIDI, DAN ROSIDI, H.M. 1995. “Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1:100.000”. Bandung: Direktorat Geologi.

VAN BEMMELEN, R.W. 1949.The Geology of Indonesia, Vol. 1 A. Amsterdams. Government Printing Office.

LAMPIRAN

Foto 2. Batuan beku yang mengalami

alterasi menjadi kuarsa. Foto 1. Xenoliths batuserpih di dalam

batuan beku.

Xenolith batuserpih

Batuan beku yang teralterasi

Page 115: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

106

Foto 3. Singkapan andesit yang

dijadikan penambangan.

Foto 4. Lava andesit yang mengalami

pengkekaran

Foto 5. Kenampakan Waduk Sermo

yang dikelilingi oleh perbukitan

vulkanik

Foto 6. Intrusi andesit yang

menerobos breksi piroklastik

andesit.

Foto 7. Konkresi limonit (bintik

hitam) pada napal

Foto 8. Kenampakan perbukitan

terisolir.

Kekar pendinginan

Lava andesit

Andesit

Waduk Sermo

Breksi piroklastik andesit

Intrusi Andesit

kekar

napal konkresi limonit

Perbukitan terisolir

Page 116: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

107

Foto 9. Kontak antara breksi

piroklastik andesit dengan

batugamping.

Foto 10. Kenampakan hanging wall

dari sesar turun.

Foto 11. Kenampakan fosil jejak Aulichniites pada batugamping.

Foto 12. Lokasi penambangan batugamping yang kaya akan

kandungan mangan.

batugamping

breksi piroklastik andesit

kontak batuan

Hanging wall

Fosil jejak Aulichnites Batugamping yang

kaya akan kandungan mangan

Timbunan mangan hasil penambangan

Page 117: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

108

Page 118: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

109

GD 1 - PEMANFAATAN CITRA DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) UNTUK STUDI EVOLUSI

GEOMORFOLOGI GUNUNG API MERAPI SEBELUM DAN SETELAH ERUPSI GUNUNG API MERAPI 2010

Yustian Ekky Rahanjani1), Agung Setianto2) , Srijono3)

1,2,3)Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Jl. Grafika no 2 Yogyakarta 55281 Telp (0274)-513668

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Informatika 2012 UPN ”Veteran” Yogyakarta, 30 Juni 2012

ABSTRAK

Gunung api Merapi adalah satu dari gunungapi teraktif di dunia. Erupsi G.Merapi sepanjang 26 Oktober hingga 4 November 2010 menyebabkan banyak korban dan perubahan morfologi yang signifikan di sekitar tubuh gunung api. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perubahan morfologi karena erupsi. Daerah penelitian berada di lereng selatan G.Merapi, khususnya pada bagian channel dan overbank Kali Gendol. Maksud dari penelitian evolusi geomorfologi G. Merapi ini adalah mengetahui perubahan geomorfologi yang terjadi akibat erupsi G. Merapi 2010 . sedangkan tujuan penelitian ini adalah menganalisis kondisi geologi setelah erupsi G. Merapi 2010, perubahan pola kontur setelah erupsi G. Merapi 2010, dan perubahan pola penyaluran setelah erupsi G. Merapi 2010.

Pada penelitian ini, kami menggunakan DEM pada tanggal 6 Oktober 2010 dan 9 November 2010 untuk membandingkan dan menganalisis kondisi sebelum dan setelah erupsi. Penelitian mengombinasikan hasil pengolahan data Digital Elevation Model (DEM) multitemporal, yaitu DEM sebelum erupsi dan DEM sesudah erupsi dan data lapangan berupa data litologi dan morfologi untuk menganalisis peta geomorfologi, mendeterminasi perubahan elevasi, peta pola penyaluran sebelum dan setelah erupsi, , dan peta kontur sebelum dan setelah erupsi. Setelah itu, dibuat analisis perubahan jarak kontur pada tiap satuan geomorfologi, analisis fluktuasi perubahan elevasi pada tiap satuan geomorfolgi, dan analisis perubahan azimuth aliran sungai pada tiap satuan geomorfologi.

Berdasarkan hasil pengolahan DEM dan data lapangan, daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan litologi yaitu Satuan Kubah Lava dan Satuan Piroklastik. Kemudian, daerah penelitian juga dapat dibagi menjadi 6 satuan geomorfologi pada DEM sesudah erupsi, yaitu Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat, Satuan Perbukitan Berlereng Curam, dan Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam. Dari hasil analisis pola kontur dan pola aliran sungai didapat bahwa arah displacement sesuai kontur menurun pada model tidak sepenuhnya sama dengan arah displacement material erupsi G. Merapi. Hal ini dikarenakan massa jenis yang tidak rata akibat transportasi material tersebut, faktor morfologi asal, dan rekayasa manusia (rumah-rumah penduduk yang menjadi barrier aliran piroklastik).

Kata Kunci : DEM, Morfologi, Gunung api Merapi

Page 119: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

110

PENDAHULUAN

Gunung api aktif merupakan objek geologi yang dinamis. Keberadaannya memiliki kontribusi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya baik positif maupun negatif. Dampak positif dari gunung api dirasakan dalam jangka waktu yang panjang sedangkan dampak negatif gunung api dapat dirasakan dalam waktu sekejap. Hal ini terbukti dari erupsi Gunung api Merapi yang terjadi pada rentang waktu 26 Oktober hingga 4 November lalu yang menelan hampir 300 korban jiwa hanya dalam waktu kurang dari 10 hari (Utomo, dkk, 2011). Oleh karena itu, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi warga yang tinggal di lereng gunung api sebab bahaya yang mengancam mereka dapat terjadi sewaktu-waktu.

Hasil dinamika gunung api akibat vulkanisme di permukaan tampak pada ekspresi deformasi morfologi. Jika terjadi erupsi dengan intensitas yang cukup signifikan, terjadi pula perubahan morfologi yang berpengaruh pada berbagai hal.

Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi yang lebih terpadu untuk mengetahui secara lebih rinci perubahan morfolgi tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan Digital Elevation Model (DEM) untuk mendeliniasi litologi dan morfologi setelah erupsi Gunung api (G) Merapi 2010 untuk dianalisis lebih jauh mengenai kondisinya dan genesanya.

Maksud dari penelitian evolusi geomorfologi G. Merapi ini adalah mengetahui perubahan geomorfologi yang terjadi akibat erupsi G. Merapi 2010 sedangkan tujuan penelitian ini adalah menganalisis kondisi morfologi setelah erupsi G. Merapi 2010, perubahan pola kontur setelah erupsi G. Merapi 2010, dan perubahan pola penyaluran setelah erupsi G. Merapi 2010.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara keilmuan dan kepraktisan. Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah penelitian mengenai morfodinamika pada bentang alam vulkanik. Sedangkan secara kepraktisan, penelitian ini memperkenalkan teknologi DEM untuk menganalisis perubahan morfologi dan menyediakan data dasar untuk berbagai keperluan.

TINJAUAN PUSTAKA

Lokasi penelitian terletak di wilayah yang meliputi lereng selatan G.Merapi. Lokasi ditentukan melalui interpretasi citra DEM untuk mendeliniasi pelamparan hasil erupsi. Pada titik terjauh di utara, daerah penelitian dibatasi oleh koordinat (438913,5;9167589,5) dan di selatan dibatasi oleh koordinat (438913,5;9154878,4). Sedangkan di timur dibatasi oleh koordinat (434955,5;9161233,5) dan di barat dibatasi oleh koordinat (442872,3;9161233,5), dengan sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) meliputi Desa Glagaharjo, Kepuharjo, Umbulharjo, Hargobinangun, dan Purwobinangun hingga puncak G.Merapi, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 2.1). Daerah penelitian dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dalam waktu kurang lebih 45 menit dari kampus Teknik Geologi UGM ke arah utara melalui Jalan Kaliurang dan Jalan Monjali.

Menurut Hendrayana, 1993 (dalam Nasution, 1999), G.Merapi dibagi ke dalam tiga satuan geomorfologi, yaitu Satuan morfologi puncak G. Merapi, satuan morfologi lereng G.Merapi, dan satuan morfologi kaki G.Merapi. Menurut MacDonald and Partners (1984 dalam Nasution, 1999), endapan G.Merapi tersusun atas Formasi Sleman, Formasi Yogyakarta, Endapan Vulkanik Merapi Tua, dan Endapan Vulkanik Merapi Muda yang tersusun oleh tuf, lanau, pasir, kerikil, breksi, aglomerat. Semakin tua, endapan tersebut semakin kompak. Sedangkan struktur geologi yang ada pada daerah penelitian adalah

Page 120: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

111

sesar Opak (Van Bemmelen, 1970). Daerah penelitian masuk pada Endapan Vulkanik Merapi Tua dan Muda serta Formasi Sleman.

DEM adalah model digital yang menampilkan permukaan topografi atau terrain. DEM sering juga disebut sebagai Digital Terrain Model (DTM). DEM biasanya dikembangkan dengan metode penginderaan jauh, bahkan juga dikembangkan dengan data survei lapangan. DEM sering digunakan dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) (Murniati, 2009). DEM adalah bagian dari ranah penginderaan jauh sebagai citra nonfoto. Untuk mengetahui perubahan morfologi, diperlukan DEM mulitemporal, yaitu DEM sebelum (6 Oktober 2010) dan setelah erupsi (9 November 2010). Kemudian dari kedua DEM tersebut, dijelaskan perbedaan parameter-parameter yang sesuai dengan dasar teori yang dijelaskan berdasarkan tiap-tiap unit morfologi.

Williams dan McBirney (1979) membagi gunung api menjadi 3 zona, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Dari zona pusat erupsi ke zona distal, material piroklastik yang diendapkan berukuran butir semakin halus sedangkan dari zona proksimal ke zona pusat erupsi, pola penyaluran akan berubah dari subparalel menjadi radial. Hal ini menjadi gambaran awal kondisi daerah penelitian.

Pemetaan geomorfologi untuk mengidentifikasi evolusi geomorfologi ini ditekankan pada perubahan aspek morfometri dengan melokalisir kelompok rentang nilai kemiringan lereng yang sama. Pertama kali dihitung nilai kemiringan lereng dengan rumus :

S = ( h / D ) X 100 % (Van Zuidam, 1983) Keterangan: S = Kemiringan lereng (%) h = Perbedaan ketinggian (m) D = Jarak titik tertinggi dengan terendah (m)

Selanjutnya, lereng dikelompokkan menjadi beberapa satuan relief dalam tabel berikut

Tabel 1. Klasifikasi Morfometri (Van Zuidam, 1983)

Untuk memperkirakan arah perubahan geomorfologi, peneliti menggunakan model

pergerakan material dari Hutchinson (1970, dalam Goudie, et. al, 1981) yang dapat

menunjukkan bahwa pergerakan mudslide (mudflow) didominasi oleh pergeseran

translational pada bidang geser (shear plane), karena ada perubahan kecil dalam

kecepatan permukaan dari batas hingga pusat aliran.

Page 121: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

112

Gambar 1. Pola Displacement (Hutchinson, 1970 dalam Goudie, et.al, 1981)

Gambar di atas menunjukkan percobaan Hutchinson untuk menentukan pola displacement sepanjang mudslide dari pantai. Dengan demikian, pola displacement pada area yang lebih luas dapat dianalogikan demikian. Posisi suksesif dari lintasan pasak di atas, dapat dianalogikan dengan pola kontur yang ada. Pola displacement tidak mengarah lurus namun mengarah ke samping.

ESRI (2008) dalam panduan software ArcMap yang terintegrasi dalam ArcGIS 9.3 menjelaskan bahwa raster calculator dalam ekstensi spatial analyst yang ada pada ArcMap dapat digunakan untuk operasi matematis pengurangan nilai raster. Fitur ini dimanfaatkan untuk mengurangi nilai elevasi pada DEM setelah erupsi dengan DEM sebelum erupsi. Perubahan elevasi yang positif di sekitar jalur awan panas (pyroclastic surge) diinterpretasikan sebagai onggokan material piroklastik hasil letusan yang mengubah morfologi gunung api. Sedangkan bagian yang mengalami perubahan elevasi negatif diinterpretasikan sebagai hasil geseran dari hasil erupsi.

Untuk menentukan satuan morfologi, peneliti menggunakan fitur slope pada spatial analyst tab pada ArcMap, dengan memasukkan ukuran cell/pixel yang berpengaruh pada nilai resolusi (ESRI, 2008). Karena klasifikasi oleh fitur tersebut belum memenuhi klasifikasi standar, yaitu klasifikasi Van Zuidam (1983), maka satuan morfologi yang ada diubah sesuai dengan rentang nilai kemiringan lereng pada klasifikasi Van Zuidam (1983) menggunakan raster calculator.

Setelah itu, untuk membuat kontur yang nantinya akan dianalisis, digunakan fitur contour pada surface analyst yang ada dalam spatial analyst tab (Gambar 2). Kemudian, untuk mendeliniasi pola penyaluran dan sungai digunakan ekstensi flow direction sesuai persentase nilai peluang aliran yang diinginkan dan hasil dari flow direction dimasukkan dalam parameter flow accumulation untuk mendeliniasi pola penyaluran yang sebenarnya (Gambar 3 dan Gambar 4).

Page 122: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

113

Gambar 2. Membuat Kontur dari DEM

Gambar 3. Membuat Flow Direction

Gambar 4. Membuat Flow Accumulation

Page 123: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

114

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Pada penelitian ini, diperlukan alat dan bahan sebagai berikut : 1. Alat : palu geologi, lup, kompas geologi, GPS, komputer, software ArcGIS 9.3 dan

Microsoft Office, alat tulis dan buku lapangan. 2. Bahan

a. Citra DEM multitemporal, sebelum (pada tanggal 6 Oktober 2010) dan setelah (pada tanggal 9 November 2010) erupsi G.Merapi untuk analisis perubahan litologi, perubahan pola kontur, dan perubahan pola aliran sungai.

b. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Kaliurang dan Pakem berskala 1:25.000 untuk mengeplot lokasi di lapangan (Bakosurtanal)

TAHAPAN PENELITIAN

Tahapan penelitian terbagi menjadi beberapa tahap yang meliputi tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pengolahan data, tahap interpretasi dan intregrasi data hingga tahap pembuatan laporan. Uraian secara lebih detail mengenai tahapan-tahapan penelitian dapat dilihat sebagai berikut :

1. Kajian Pustaka Mengumpulkan bahan untuk dasar teori dan dasar untuk menentukan hipotesis dan studi geologi regional dan mengumpulkan data sekunder yang lain seperti DEM multitemporal.

2. Pembuatan Proposal dan Interpretasi pra Lapangan Menulis proposal dan kelengkapannya dan mengolah citra DEM multitemporal.

3. Pengumpulan Data Lapangan Pengambilan data geomorfologi khususnya morfometri berupa nilai kemiringan lereng.

4. Kerja Laboratorium Pengolahan dan analisis DEM, dan kompilasi data lapangan dan DEM

5. Penyusunan Laporan

Page 124: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

115

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi litologi

(A)

Page 125: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

116

(B)

Gambar 5. Peta perubahan elevasi (a) dan interpretasi litologi berdasarkan peta perubahan elevasi (b)

Untuk mendeliniasi litologi baru hasil erupsi, peneliti memakai DEM multitemporal, yaitu DEM sebelum erupsi (pada tanggal 6 Oktober 2010) dan DEM setelah erupsi (pada tanggall 9 November 2010). Peneliti mengurangi elevasi DEM setelah erupsi dengan elevasi DEM sebelum erupsi yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 5(a). Selisih elevasi yang bernilai positif ditandai dengan warna merah sedangkan selisih elevasi yang bernilai negatif ditandai dengan warna biru. Bagian di sekitar Kali Gendol yang berwarna merah pudar memiliki kenaikan elevasi yang cukup signifikan hingga di sekitar Bukit Turgo dan Plawangan. Perubahan elevasi positif diasumsikan sebagai onggokan piroklastik hasil letusan yang baru sedangkan bagian yang berwarrna merah dan berasosiasi dengan puncak gunung api diasumsikan sebagai perubahan morfologi karena aktivitas lava sehingga satuan geologi hasil erupsi dapat dideliniasi seperti pada Gambar 5(b).

Interpretasi geomorfologi

Pembagian satuan morfologi dilakukan dengan menggunaka fitur slope pada Spatial Analyst pada software ArcMap. Kemudian diklasifikasikan kembali sesuai dengan klasifikasi Van Zuidam (1983). Daerah penelitian terbagi menjadi enam satuan morfologi yaitu : Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat, Satuan Perbukitan Berlereng Curam, Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam (Gambar 6).

Page 126: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

117

Analisis Perubahan Pola Kontur

Analisis perubahan pola kontur dilakukan dengan mengambil posisi yang berubah pada kontur yang bernilai sama pada tiap-tiap satuan morfologi sebanyak lima titik (Gambar 7a). Kemudian dibuat rerata perubahan jarak titik awal menjadi titik akhir (setelah erupsi) dan dibuat kurva seperti pada Gambar 7 (b). Pada titik yang sama, dilihat pula titik ekstrem pada masing-masing posisi tersebut dan dengan cara yang sama dihasilkan Gambar 7 (c). Dari kurva 7 (b) terlihat dari Satuan Perbukitan Berlereng Curam ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat , nilai jarak antara titik sebelum dan setelah erupsi semakin tinggi namun menjadi semakin rendah ketika mendekati Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah. Sedangkan pada kurva 7 (c) terlihat dari Satuan Perbukitan Berlereng Curam ke arah Satuan Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat terjadi fluktuasi nilai titik ekstrem morfologi. Semakin ke arah landai, nilainya semakin kecil. Kita tahu bahwa semakin ke arah lereng yang lebih landai/semakin jauh dari pusat erupsi, piroklastik aliran akan berkurang massa jenisnya pengurangan material akibat terendapkan dan semakin curam lereng yang dilewati material piroklastik aliran, semakin tidak stabil material yang menumpuk di wilayah tersebut dan akan terus mengalami stabilisasi.

Gambar 6. Peta geomorfologi

Page 127: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

118

Analisis Perubahan Pola Kontur

(a)

(b)

(c)

Gambar 7. Peta pengukuran perubahan kontur (a), kurva pergeseran kontur (b), dan kurva titik ekstrem (c)

Hal yang berbeda dijelaskan pada kurva 7(b) di mana pada titik yang berada pada Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat perubahan horizontalnya paling besar dan makin turun nilainya ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah. Sedangkan fluktuasi perubahan morfologi paling besar justru terjadi pada Satuan Perbukitan Berlereng Curam. Gejala tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Semakin ke arah lereng yang landai,

Page 128: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

119

ruang yang dipakai untuk mengendapkan material piroklastik tersebut semakin lebar namun tidak terdapat barrier sehingga fluktuasi perubahan morfologi secara vertikal semakin kecil. Sedangkan pada satuan geomorfologi yang lebih curam terdapat barrier yang menghalangi suplai material ke bawah. Peneliti menginterpretasikan bahwa barrier ini adalah material piroklastik yang lama yang masih tersisa akibat erupsi terdahulu, sempitnya lembah sungai yang berada di hulu dan juga rumah-rumah penduduk yang mengurangi kecepatan bergeraknya material piroklastik, sehingga fluktuasi perubahan morfologi pada satuan tersebut menjadi tinggi, khususnya penumpukan material di bagian atas. Hal ini yang nantinya akan menyebabkan terjadinya lahar hujan jika di wilayah tertumpuknya material tersebut terjadi hujan (hulu sungai). Hal ini diinterpretasi berdasarkan peta kontur yang dihasilkan di mana semakin ke arah hulu sisi bawah dari ‘gigi kontur’ menjadi semakin menyempit.

Analisis perubahan azimuth aliran sungai

Analisis perubahan azimuth aliran sungai dilakukan dengan mengambil sampel pengukuran sebanyak lima posisi pada tiap satuan morfologi (Gambar 8a). Kemudian dibuat rerata selisih aziumth aliran sungai Dari kurva 8(b) di bawah ini, semakin ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, perubahan azimuth sungai menjadi semakin kecil dan dari Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah menjadi besar kembali. Kondisi demikian dapat dijelaskan sebagai berikut. Suplai material dalam volume yang cukup besar terjadi pertama karena runtuhnya kubah lava yang berubah menjadi aliran material piroklastik. Semakin jauh, energi kinetik aliran piroklastik tersebut akan berkurang karena melandainya lereng dari aliran piroklastik tersebut sehingga arah aliran sungai tersebut berubah hingga mencapai titik stabil pada lereng yang paling landai (tidak ada perubahan/perubahan sangat kecil pada Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah). Semakin kecil energi kinetiknya, semakin kecil pula perubahan nilai azimuth arah aliran sungai karena aliran piroklastik tidak cukup kuat untuk melawan aliran sungai utama, selain dari faktor massa jenisnya yang juga semakin kecil. Sama halnya dengan analisis perubahan kontur, pengukuran tidak dilakukan pada Satuan Dataran dan Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam karena pada Satuan Dataran pelamparannya sangat sempit sedangkan pada Pegunungan Sangat Curam, evolusi geomorfologi didominasi oleh pertumbuhan kubah lava (telah diterangkan di atas). Kondisi kurva juga menegaskan bahwa arah perubahan azimuth aliran sungai relatif ke arah tenggara. Hal ini dilihat dari perubahan azimuth sungai (dalam NE) yang semakin kecil dan berorientasi ke arah selatan searah jarum jam.

Page 129: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

120

(a)

(b)

Gambar 8. Kurva rerata selisih azimuth aliran Sungai Gendol sebelum dan setelah erupsi

KESIMPULAN

Dari analisis yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa :

1. Pola evolusi geomorfologi sebelum dan setelah erupsi berbeda. Hal ini tercermin dari pola-pola penyaluran dan perubahan azimuth sungai. Pada tiap satuan geomorfologi,

Page 130: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

121

pola displacement menjadi berbeda karena pengaruh ketebalan, massa jenis, dan kemiringan lereng pada tiap-tiap satuan geomorfologi. Pola evolusi geomorfologinya memiliki kecenderungan ke arah tenggara.

2. Pola penyaluran sebelum dan setelah erupsi berbeda dalam hal kerapatan aliran sungai, khususnya pada daerah yang dibatasi endapan piroklastik yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

ESRI, 2008, Manual of ArcGIS, ESRI, USA GOUDIE, ANDREW, ANDERSON, MALCOLM, BURT, TIM, LEWIN, JOHN, KEITH, RICHARDS, WHALLEY, BRIAN, WORSLEY, PETER, 1981, Geomorphological Techniques, George Allen & Unwin, London MURNIATI, 2009, Interpretasi Kelurusan Jawa Tengan Menggunakan Data Digital Elevation Model (DEM), Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan NASUTION, IBRAHIM, 1999, Studi Hidrogeologi Kawasan Resapan Lereng Merapi Bagian Selatan untuk Konservasi, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta UTOMO, MULYONO, NOVIARDI, ADITYA, SHOLAHUDDIN, 2011, Letusan Merapi 2010 Sebuah Catatan Jurnalistik, Penerbit Harian Umum Solo Pos dan Harian Jogja VAN BEMMELEN, R.W., 1970, The Geology of Indonesia IA, Martinis Nijhoff, The Hague VAN ZUIDAM, 1983, Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation And Mapping, ITC, Enschede, The Netherlands WILLIAMS, HOWEL, DAN MCBIRNEY, ALEXANDER, R., 1979, Volcanology, Freeman, Cooper and Co., San Fransisco

Page 131: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

122

Page 132: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

123

GD 2 - PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH

PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Budi SANTOSO1*, Yan Restu FRESKI1 dan Salahuddin HUSEIN1

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika no 2, Mlati, Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia

*[email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Rekaman gaya tektonik terekam pada batuan dalam bentuk kekar-kekar ekstensi maupun gerus. Secara kuantitatif, respon batuan terhadap deformasi dapat didekati dari aspek densitas kekar, yang dikontrol oleh sifat kompetensi batuan. Kompetensi batuan dipengaruhi oleh ukuran butir, komposisi, dan tingkat sementasi batuan. Penelitian ini bermaksud menyajikan hubungan antara densitas kekar dan faktor-faktor geologi yang mempengaruhi kompetensi suatu batuan, dengan studi kasus pada batuan volkaniklastik Formasi Semilir yang tersingkap di Piyungan, Bantul, D.I. Yogyakarta.

Area kajian berupa singkapan tebing setinggi 7 meter dan lebar 30 meter. Pada singkapan tersebut, Formasi Semilir yang berumur Miosen Tengah tersusun atas perselingan batupasir bergradasi normal dan batulanau. Ketebalan masing-masing lapisan bervariasi dari 5 cm hingga 400 centimeter. Struktur kekar dijumpai hampir di setiap lapisan dengan kerapatan yang berbeda-beda.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengukuran distribusi kekar secara kuantitatif pada setiap lapisan dengan lebar singkapan 5 meter. Data diolah secara statistik dan diplot ke dalam grafik versus antar aspek yang mempengaruhi kompetensi batuan.

Batuan yang memiliki ukuran butir kasar dan tebal mempunyai tingkat kompetensi tinggi sehingga hanya sedikit merekam kekar. Batuan yang memiliki ukuran butir halus dan tipis mempunyai tingkat kompetensi rendah sehingga dapat merekam kekar dengan rapat. Komposisi volkanik pada Formasi Semilir mempunyai peran dalam tingkat pengelasan antar fragmen (welded structure) yang dapat menambah tingkat kompetensi batuan.

Kata kunci:Densitas Kekar, Formasi Semilir, Kompetensi Batuan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lokasi penelitian berada di sebuah bukit, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Lokasi dapat diakses melalui Jalan Raya Piyungan – Prambanan.Di daerah tersebut terdapat singkapan batuan piroklastik dengan dimensi 20 meter x 30 meter dengan ketebalan lapisan sekitar 7 meter yang memiliki ekspresi kekar yang cukup beragam di setiap lapisannya.

Page 133: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

124

Kekar merupakan rekahan dengan bentukan bidang planar atau lengkung yang tidak terisi dan terbentuk secara alami akibat tarikan yang disebabkan oleh pembebanan (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Kekar yang terdapat pada singkapan daerah penelitian terdiri atas kekar tektonik dan kekar non-tektonik. Kekar yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah kekar tektonik.

Gaya tektonik yang mempengaruhi suatu daerah akan terekam dalam batuan. Batuan merekam gaya tektonik tersebut berdasarkan beberapa variabel yaitu arah gaya, ketebalan lapisan batuan, dan tingkat kompetensi batuan. Uji kompetensi batuan tersebut dilakukan dengan mengukur kerapatan kekar yang terbentuk pada masing-masing lapisan batuan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kompetensi batuan pada singkapan dan efeknya terhadap densitas kekar tektonik yang terekam pada masing-masing lapisan batuan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran stratigrafi satu jalur dan menghitung jumlah kekar tektonikyang terekam pada setiap lapisan. Penghitungan jumlah kekar dibatasi dalam jalur pengukuran selebar 5 meter. Kekar tektonik yang dianalisis meliputi kekar yang memotong lapisan batuan dengan ketebalan minimal 5 cm; kekar menerussecara vertikal; dan mengikuti pola kekar secara umum di sekitarnya. Hasil dari observasi dan tabulasi data di lapangan dilanjutkan dengan analisis laboratorium terhadap karakteristik dan tekstur batuan untuk mengetahui hubungan antara mineralogi dengan tingkat kompetensi batuan terhadap densitas kekar yang terbentuk. Analisis petrografi menggunakan mikroskop polarisasi dengan perbesaran 4x, kecuali pada pengamatan kandungan organik yang menggunakan perbesaran 60x.

HASIL PENELITIAN

Singkapan batuan pada lokasi penelitian (Gambar 2) memiliki total ketebalan 7,07 meter. Litologi penyusunnya terdiri atas lapilli tuff, tuff, dan pyroclastic breccia (Fisher, 1966). Lapilli tuff berada pada lapisan 1 (100 centimeter), lapisan 10 (10 centimeter), dan lapisan 13 (20 centimeter). Lapilli tuff memiliki ciri-ciri warna putih, ukuran butir ash, mud supported, komposisi lapilli dan tuf kasar. Pyroclastic breccia berada di lapisan paling atas yaitu lapisan 17 dengan ketebalan 400 centimeter. Pyroclastic breccia memiliki ciri-ciri warna putih keabu-abuan, ukuran butir fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks pasir, sortasi buruk, grain supported, struktur welded, komposisi fragmen tuf dan litik andesit, komposisi matriks tuf. Sisanya, terdiri dari lapisan tuff yang berlapis dan tebalnya berkisar antara 5-20 centimeter. Ciri-ciri tuff warnanya putih hingga abu-abu, terkadang ada yang berwarna merah akibat oksidasi, berukuran butir ash, mud supported, dan komposisinya berupa abu vulkanik.

Tabulasi data kekar pada setiap lapisan dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah kekar yang terbentuk di lapisan-lapisan lapilli tuff yaitu berjumlah 11 (di lapisan 1, tebal 100 centimeter), 32 (di lapisan 10, tebal 10 centimeter), dan 29 (di lapisan 13, 20 centimeter). Kekar yang terbentuk di pyroclastic breccia berjumlah 9 ( di lapisan 17, tebal 400 centimeter). Jumlah kekar di tuff berkisar antara 24 – 73 dengan kisaran ketebalan lapisan 5-20 centimeter.

Hasil dari tabulasi data kekar dilanjutkan dengan analisis petrografi untuk melihat hubungan data kekar yang terbentuk dengan karakteristik mineralogi dan tekstur batuan. Analisis petrografi dilakukan pada tiga lapisan yang berbeda, yaitu lapisan 1 (lapilli tuff, 100 cm), lapisan 16 (tuff, 20 cm), dan lapisan 17 (pyroclastic breccia, 400 cm).

Page 134: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

125

Lapisan 1 (lapilli tuff) memiliki porositas tipe vuggy yang persebarannya cukup melimpah dan terdapat struktur welded (lihat Gambar 5). Komposisi batuan terdiri dari kuarsa, plagioklas, dan gelas vulkanik. Lapisan 16(tuff) memiliki ciri porositas tipe fracture, terlihat kenampakan bedding fissility, terdapat fracture yang terisi oleh kuarsa, komposisi antara lain; gelas vulkanik, material organik, dan material berukuran abu. Lapisan 17 (Pyroclastic breccia) memiliki ciri grain supported, porositas intergranular dan kurang melimpah, struktur welded, komposisi; kuarsa, plagioklas, ortoklas, dan gelas vulkanik.

PEMBAHASAN

Kekar dapat terbentuk pada batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekuatan batuan terhadap tekanan, tekanan pori, retakan akibat tarikan, dan retakan akibat gaya kompresi (Mandl, 2005). Menurut Van der Pluijm dan Marshak (2004), kekar dapat terbentuk dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu; ketebalan lapisan, litologi (modulus elastisitas batuan), kuat tarikan, tegangan. Faktor ketebalan lapisan dan litologi lebih mudah dianalisis karena terlihat secara kasat mata.

Hubungan Antara Jumlah Kekar dengan Ukuran Butir

Hubungan antara kerapatan kekar dengan litologi diukur melalui tingkat kekakuan (stiffness) melalui nilai elastisitas batuan. Batuan yang lebih kaku akan memiliki nilai elastisitas yang lebih besar (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Pada percobaan Van der Pluijm dan Marshak (2004), tidak dijelaskan secara spesifik pengaruh ukuran butir terhadap kerapatan kekar.

Percobaan ini dilakukan untuk mencari hubungan antara kerapatan kekar dengan ukuran butir batuan. Berdasarkan hasil analisis dari tiga sampel, didapatkan hasil bahwa semakin kasar ukuran butirnya maka jumlah kekar yang terbentuk akan semakin sedikit, hubungan keduanya digambarkan dalam grafik (lihat Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh faktor litologi yang merupakan batuan piroklastik. Ukuran butir yang lebih kasar memiliki tingkat pengelasan (welding) yang lebih tinggi sehingga membuat struktur batuan lebih rapat (Mcphie et. al, 1993)

Hubungan Antara Jumlah Kekar dengan Ketebalan Lapisan

Jarak antar kekar akan semakin rapat bila lapisan batuan semakin tebal, dengan asumsi bahwa semua parameter pengontrol dianggap sama (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Berdasarkan dari tiga sampel batuan dengan ketebalan berbeda yang dianalisis, didapatkan hasil bahwa lapisan 17 yang merupakan lapisan paling tebal memiliki jumlah kekar yang paling sedikit, digambarkan dengan grafik (lihat Gambar 4). Grafik menunjukkan hubungan antara jumlah kekar yang semakin menurun pada lapisan-lapisan yang semakin tebal. Jika dibandingkan dengan teori, maka secara umum teori terbukti benar dan memiliki korelasi dengan hasil penelitian. Hubungan kerapatan kekar dengan ketebalan lapisan yaitu terletak pada refleksi stress shadow, semakin tebal batuan maka kekar yang terbentuk akan semakin panjang mengikuti ketebalan dan stress shadow akan semakin melebar seiring dengan semakin panjangnya kekar.

KESIMPULAN

Dari analisis data yang dilakukan dapat disimpulkan Kerapatan kekar dipengaruhi oleh parameter ukuran butir batuan dan tingkat

pengelasannya, khususnya pada batuan piroklastik. Kerapatan kekar dipengaruhi oleh ketebalan lapisan, semakin tebal lapisan maka

stress shadow akan semakin lebar. Struktur welded mempengaruhi tingkat kompetensi batuan karena struktur

batuan menjadi lebih rapat.

Page 135: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

126

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada selaku

penyelenggara seminar nasional Anggota-anggota AAPG UGM-SC yang turut membantu dalam diskusi selama

penelitian berlangsung

DAFTAR PUSTAKA FISHER, R.V., DAN SCHMINCKE, H-U., Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag, Berlin, 1984. MANDL, G., Rock Joints. Springer-Verlag, Berlin, 2005. MCPHIE, J., DOYLE, M., DAN ALLEN, R., Volcanic Textures : A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks. Codes Key Centre, Tasmania, 1993. VAN DER PLUIJM, B. A., DAN MARSHAK, S., Earth Structure: An Introduction to Structural Geology and Tectonics Second Edition, W. W. Norton and Company, New York. 2004 WILLIAMS, H., TURNER, F.J., DAN GILBERT, C.M., Petrography : an introduction to the study of rocks in thin sections. W.H. Freeman and Company, New York, 1982

Gambar 1. Lokasi Penelitian (dari Google Maps, diakses 13 November 2013 jam 23:55)

Page 136: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

127

Gam

bar

2. S

ket

sa s

ingk

apan

Page 137: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

128

Tabel 1. Kolom Litologi dan hasil tabulasi jumlah kekar pada setiap lapisan

Log Batuan (tidak berskala, tebal total 707cm)

No. Tebal (cm)

Jumlah kekar

Nama Batuan (Fisher, 1966B)

Deskripsi singkat

17 400 9 Pyroclastic breccia Batuan berwarna putih keabu-abuan, ukuran fragmen kerakal dan matriks material piroklastik berukuran pasir, sortasi buruk, grain supported, struktur welded, komposisi fragmen tuf dan andesit, matriks tuf.

16 20 56 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

15 20 49 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

14 20 56 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

13 20 29 Lapilli-tuff Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi tuf kasar.

12 20 40 Tuff Batuan berwarna merah keungu-unguan, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

11 10 73 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

10 10 32 Lapilli-tuff Batuan berwarna merah keungu-unguan, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi tuf kasar.

9 5 41 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

8 10 30 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

7 10 38 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

6 12 41 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf, carbon flakes

5 20 39 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

4 5 58 Tuff Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

3 20 24 Tuff Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf dan carbon flakes.

2 5 57 Tuff Batuan berwarna coklat oksidasi, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

1 100 11 Lapilli-tuff Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi lapili dan tuf kasar.

Page 138: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

129

Gambar 3. Grafik hubungan jumlah kekar dengan ukuran butir

Gambar 4. Grafik hubungan kekar dengan ketebalan lapisan

Page 139: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

130

Lapisan 1 Lapilli tuff

Lapisan 16 Tuff

Lapisan 17 Pyroclastic breccia

//

X

TRO

Gambar 5. Kenampakan petrografi dari sampel

Page 140: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

131

GD 3 - KARAKTERISTIK KEKAR TIANG PADA LAVA ANDESIT DI DAERAH RANDUBANG, WONOGIRI,

JAWA TENGAH

Aditya PRATAMA* dan Fahmi HAKIM

Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

*email: [email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2013

ABSTRAK

Kekar tiang merupakan salah satu bentukan morfologi yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik maupun intrusi. Bentukan kekar tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu batuan yang bersifat panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Daerah penelitian terletak di daerah Randubang,Wonogiri, Jawa Tengah yang termasuk dalam Formasi Mandalika yang berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Batuan yang terdapat pada daerah penelitian adalah lava andesit dan aglomerat. Struktur geologi yang ada di daerah penelitian berupa sesar geser mengiri dengan bidang sesar berarah N35oE/76o dan sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o. Kekar tiang di daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap dan berulang-ulang. Secara umum, kekar tiang memiliki kemiringan yang tegak lurus (90o) dengan bidang pendinginan. Pada daerah penelitian ditemukan bahwa kekar tiang memiliki orientasi kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisar antara 5-75o dengan arah yang bervariasi. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki morfologi yang khas berjenis colonnade dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki dimensi panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter. Berdasarkan kenampakan di lapangan, struktur geologi tersebut tidak berpengaruh dominan terhadap morfologi kekar tiang tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa kekar tiang di daerah penelitian merupakan kekar tiang hasil pendinginan suatu masa lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap pada paleoslope yang cukup curam. Kemiringan yang beragam dari kekar tiang pada daerah penelitian lebih dikontrol oleh aspek paleoslope. Berdasarkan interpretasi arah aliran lava dan paleslope, diperkirakan daerah penelitian merupakan pusat erupsi dari suatu gunungapi purba berbentuk domedengan paleoslope yang curam.

Kata kunci: Kekar tiang, lava andesit, paleoslope, pusat erupsi

PENDAHULUAN

Kekar tiang atau sering disebut collumnar joint merupakan salah satu bentukan morfologi yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik maupun intrusi. Kekar tiang adalah kekar yang berbentuk paralel, kolom prismatik, pada aliran lava atau kadang-kadang pada batuan lain, yang terbentuk akibat hasil dari pendinginan (Bates & Jackson, 1987). Bentukan kekar tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu tubuh batuan yang bersifat panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Kolom-kolom kekar tiang akan memiliki arah yang paralel searah dengan pendinginannya. Pada aliran lava (dianggap tanpa memiliki paleoslope), kekar secara umum akan terbentuk secara

Page 141: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

132

vertikal karena lava akan kehilangan panas dari dalam ke udara dan ke tanah. Pada dike, kolom-kolom kekar tiang dapat berbentuk horizontal. Hal tersebut terjadi karena pendinginannya berasal dari batuan host yang diterobosnya.

Kekar tiang yang terletak di dusun Randubang, Desa Pare, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, memiliki keunikan yang membuat peneliti ingin mengetahui karakteristik dan kontrol pembentukannya berdasarkan data-data geologi yang ada. Keunikan tersebut adalah bentukannya yang tidak vertikal lagi. Jika dilihat secara sekilas kekar tiang tersebut memiliki bentuk yang hampir horizontal. Peneliti ingin mengetahui kontrol geologi yang berpengaruh pada pembentukan kekar tiang di daerah penelitian.Daerah penelitian merupakan areal pertambangan lokal batu andesit yang belum pernah diteliti di dalam suatu riset sebelumnya. Luasan objek penelitian berkisar 250m x 400m. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian

LANDASAN TEORI

Berdasarkan morfologi, kekar tiang dibagi menjadi 2 yaitu tipe colonnade dan tipe entablature (Hamada dan Toramaru, 2012). Tipe colonnade memiliki bentuk kekar yang lurus dan sistematik dengan arah vertikal. Pembentukan kekar tiang ini akan tegak lurus dengan permukaan alirannya. Ketika lava meluncur pada suatu masa air, maka bagian atas dan bawah akan mengalami pendinginan maksimal sehingga akan terbentuk colonnade pada bagian atas dan bawah lava. Pada entablature, karena bagian tengah dari masa lava masih bersifat panas akan membentuk kekar-kekar yang tidak beraturan (Gambar 2) (Spry, 1962).

Daerah Penelitian

Page 142: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

133

Perkembangan yang berulang-ulang dari kolom kekar tiang dapat diidentifikasi dari profil kolomnya. Setiap perulangan dapat memiliki arah yang sedikit berbeda dengan kolom sebelumnya. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan paleoslope dan ketegangannya, yang mana hal tersebut dapat dilihat dari setiap layernya. Pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan ukuran kolom yang kecil sedangkan pendinginan yang relatif lambat akan menghasilkan kolom yang relatif besar. Semakin lama proses pembentukan kekar tiang, maka akan membentuk bentukan heksagonal yang sempurna. Selain itu, bentukan heksagonal yang sempurna juga dikontrol oleh ketebalan dan komposisi lavanya (Ryan & Sammis, 1978 dalam György Hetényi, dkk., 2011).

Gambar 2. Bentukan kekar tiang tipe colonnade dan entablature

pada suatu tubuh lava (Spry, 1962)

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif berupa pengukuran arah kemiringan kekar tiang, pengukuran struktur geologi, serta pengukuran dip/strike batuan. Sedangkan metode kualitatif menggunakan analisis deskriptif dengan mengamati gejala-gejala geologi di lapangan. Dari kedua metode tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik kekar tiang di daerah penelitian serta dapat membuat model genetiknya.

GEOLOGI

Daerah penelitian secara fisiografis termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan. Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Formasi Mandalika yang tersusun oleh lava dasit-andesit, tuf dasit dengan intrusi diorit. Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal (Surono,dkk.,1992 dalam Peta Geologi Regional Lembar Surakarta dan Giritontro).

Berdasarkan pengukuran kelerengan satuan geomorfologi dibagi menjadi 2 yaitu satuan perbukitan vulkanik berlereng curam dan satuan perbukitan vulkanik berlereng sangat curam. Kedua satuan geomorfologi tersebut sangat dikontrol oleh litologinya. Saat terangkat oleh kegiatan tektonik regional, litologi daerah penelitian dan sekitarnya yang merupakan batuan beku dan piroklastik sangat sulit untuk di erosi, sehingga memberikan kenampakan morfologi yang terjal.

Berdasarkan pengamatan dan pemetaan di lapangan, satuan litologi pada daerah penelitian berupa satuan lava andesit dan aglomerat, dimana satuan aglomerat secara stratigrafi berumur lebih tua dari lava andesit. Di sekitar daerah penelitian terdapat satuan breksi tuf yang menumpang di atas lava andesit. Lava andesit memiliki struktur

Page 143: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

134

vesikuler, bertekstur afanitik (ukuran kristal <0,1 mm) dengan komposisi feldspar dan mineral mafik. Di beberapa tempat terdapat urat kalsit dengan arah urat yang acak. Struktur geologi yang mengenai daerah penelitian terdiri dari sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o dan sesar geser mengiri (memotong sesar turun) dengan arah bidang sesar N35oE/76o (Gambar 3).

Gambar 3. Peta geologi dan geomorfologi daerah penelitian dan sekitarnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi dan Dimensi Kekar Tiang

Morfologi kekar tiang di daerah penelitian memiliki jumlah segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter (Gambar 4.a). Bentukan segi 4 dan 5 adalah yang paling banyak dijumpai pada kekar tiang di daerah penelitian. Sudut pada segi-segi kekar tiang di daerah penelitian cenderung teratur dan tidak simetris, namun masih membentuk kolom dengan arah yang relatif sama. Bentukan yang tidak simetris ini dimungkinkan oleh masih terjadinya pergerekan lava di saat proses pembentukan kekar. Hal ini dibuktikan dengan bentukan kekar tiang cenderung memipih searah dengan pergerakan lava.

Dimensi kekar tiang juga berperan penting terhadap interpretasi volume lava yang dikeluarkan tiap satuan periode erupsi lava. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki dimensi panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter (Gambar 4.b). Hal ini menunjukkan volume lava yang dikeluarkan cukup besar pada satu periode

U D

Satuan Perbukitan Vulkanik berlereng sangat curam

Satuan Perbukitan Vulkanik berlereng curam

Page 144: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

135

pendinginan.Secara umum, daerah penelitian mengalami periode erupsi lava dengan volume yang cukup besar dengan periode pendinginan yang relatif lama sehingga membentuk kekar tiang dengan bentukan segi yang baik dan kolom yang panjang.

Gambar 4. a. Morfologi kekar tiang bertipe colonnade dengan segi 3, 4, 5 dan 6 b. Panjang kolom kekar tiang yang cukup besar antara 4-25 meter (lihat truk sebagai

pembanding)

Arah dan Orientasi Kekar Tiang beserta Implikasinya

Kekar tiang bukanlah merupakan struktur geologi, namun bukan berarti pengukuran pada arah dan orientasi kekar tiang tidak memberikan makna. Pengukuran yang dilakukan pada arah (dip direction) dan kemiringan (dip) kekar tiang (terutama pada lava) dapat memberikan implikasi terhadap arah aliran lava dan paleoslope dari suatu lereng gunungapi. Dengan mengukur arah (dip direction) dari kekar tiang maka dapat diperoleh perkiraan dari arah aliran lava dengan asumsi kekar tiang terbentuk tegak lurus dengan arah aliran lava. Dengan demikian kita mampu untuk menganalisis dari mana arah aliran lava dan mencari sumbernya. Begitu juga dengan pengukuran kemiringan dari tubuh kekar tiang. Dengan asumsi kekar tiang terbentuk tegak lurus dengan arah aliran lava, maka kekar tiang yang memiliki kemiringan vertikal (90o) terbentuk pada lereng (slope) yang datar sebagai bidang lava untuk mengalir. Sedangkan kekar tiang yang miring mengimplikasikan bahwa lava mengalir pada bidang yang miring. Cara menganalisis arah aliran lava yaitu dengan mengukur dip direction (arah kemiringan) kekar tiang. Arah aliran lava adalah bertolak belakang dengan arah dip direction (Gambar 5) atau dapat dirumuskan menjadi:

Arah Aliran Lava (N...oE) = Dip Direction Kekar Tiang (N...oE) + N180oE

Sedangkan untuk mengetahui kelerengan bidang mengalirnya lava (slope lereng) yaitu dengan mengukur dip (kemiringan) kekar tiang (Gambar 5). Slope lereng dapat diukur dengan rumus berikut:

Slope Lereng (...o) = 90o- Dip Kekar Tiang (...o)

Page 145: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

136

Gambar 5. Animasi pengukuran dip dan dip direction kekar tiang terhadap interpretasi arah aliran lava dan slope lereng

Daerah penelitian secara umum memiliki kekar tiang yang tidak vertikal dengan arah kemiringan beragam (5-75o). Hipotesis awal dari peneliti adalah lava mengalir secara bertahap pada kelerengan yang cukup curam. Penelitian ini terfokus pada suatu daerah pertambangan andesit di Dusun Randubang yang telah dibuka sejak zaman penjajahan Belanda. Beberapa arah dan orientasi kekar tiang dapat diukur dan dianalisis. Peta lokasi pengukuran data kekar tiang dan interpretasi arah aliran lava dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan pengukuran arah dan kemiringan kekar tiang pada beberapa stasiun pengamatan (STA) di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 6. Peta lokasi STA dan arah aliran lava

Page 146: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

137

Tabel 1. Hasil pengukuran bidang kekar pendinginan beserta perkiraan arah aliran lava

No. STA Dip Direction

(N...oE)

Dip (...o)

Arah Aliran Lava

(N...oE)

Paleoslope Tubuh Lava (...o)

1 180 30 0 60

2 150 18 330 72 155 30 335 60

3.1 120 40 300 50 120 18 300 72

3.2 80 60 260 30 86 60 266 30

3.3 80 60 260 30

4 100 30 280 60 110 29 290 71 120 13 300 77

5 117 7 297 83 6.1 10 55 170 35 6.2 335 60 155 30 6.3 300 75 120 15 6.4 270 74 90 16 7 240 65 60 25 8 225 5 45 85

Dari data pengukuran arah (dip direction) dan kemiringan (dip) dari kekar tiang pada STA 1, arah aliran lava cenderung mengarah ke utara dengan paleoslope 60o. Pada STA 2 dan 3.1 arah aliran lava cenderung mengarah ke barat laut dengan paleoslope tubuh lava yang curam (berkisar antara 50-72o). Pada STA 3.2 dan 3.3 aliran lava mengarah ke barat dengan paleoslope yang landai sekitar 30o. Sedangkan dalam beberapa puluh meter ke barat yaitu pada STA 4 aliran lava juga masih mengarah ke barat, namun dengan paleoslope yang curam (60-70o). Perbedaan paleoslope yang cukup mencolok antara STA 4 dengan STA 3.2 dan 3.3 diperkirakan terjadi akibat deformasi tektonik, yaitu oleh sesar turun yang terdapat diantara 2 stasiun pengamatan tersebut. Kenampakan STA 1-4 di lapangan dapat dilihat pada Gambar 7.a. Kemudian pada STA 5 aliran lava juga masih ke arah barat dengan paleoslope yang sangat curam (83o). Pada STA 6.1 hingga 6.4 kekar tiang cenderung lebih vertikal dengan interpretasi arah aliran lava berubah secara kontras dari arah selatan berangsur-angsur menuju timur dengan paleoslope yang cukup landai (15-35o). Pada STA 6 ini aliran lava seolah-seolah berasal dari satu lokasi dan menyebar ke berbagai arah (Gambar 7.b). Pada STA 6 ini juga ditemukan lava andesit yang masif dengan diameter 10 meter dan banyak terdapat urat kalsit (Gambar 7.c). Pada STA 7 arah lava masih mengarah ke timur-timurlaut dengan paleoslope yang masih landai (25o). Sedangkan pada STA 8 yang terpisah cukup jauh aliran lava mengarah ke arah timur laut dengan paleoslope sangat curam yaitu 85o. Kekar tiang pada STA 8 bisa dikatakan hampir horizontal (Gambar 7.d). Kemungkinan besar aspek tektonik yang mengenai daerah tersebut yaitu sesar geser mengiri membuat lava andesit pada STA 8 menjadi lebih ditekan kearah timurlaut sehingga kekar tiang pun lebih merebah.

Page 147: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

138

Gambar 7. a.Kenampakan kekar tiang di daerah penelitian di STA 1, 2, 3, 4 b.Kekar tiang yang memusat menuju satu arah di STA 6 c.Lava andesit masif dengan urat kalsit yang intensif di STA 6 d.Kenampakan kekar tiang yang rebah (hampir horizontal) di STA 8

Berdasarkan data-data pengukuran arah dan kemiringan kekar tiang yang ada di daerah penelitian, maka diketahui arah pergerakan lava pada daerah penelitian tersebar di 8 arah mata angin. Berdasarkan profil geologinya (Gambar 8), daerah penelitian merupakan daerah pusat erupsi (center of eruption) yang menghasilkan lava andesit dengan volume cukup besar. Dari rekonstruksi terhadap aliran lavanya, maka diperkirakan STA 6 merupakan titik pusat keluarnya lava andesit. Kehadiran lava andesit masif dengan diameter sekitar 10 meter dengan urat kalsit yang intensif pada STA 6 semakin menunjukkan adanya celah sebagai jalur keluarnya magma maupun larutan hidrotermal dilokasi tersebut. Sedangkan data pengukuran dip kekar tiang, menunjukkan bahwa disekitar pusat erupsi memiliki paleoslope yang berkisar antara 15-30o di sekitar pusat erupsi dan semakin menjauh dari pusat kelerengan semakin curam (30-85o). Daerah peneltian pada saat itu dapat dimodelkan sebagai dome yang cenderung datar di bagian atas dan memiliki lereng curam.

Page 148: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

139

Gambar 8. Peta geologi dan sayatan geologi A-B

KESIMPULAN

Kekar tiang di daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap dan berulang-ulang. Dengan asumsi pembentukan kekar tiang adalah tegak lurus dengan permukaan aliran lava, maka arah aliran lava dapat diketahui. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki karakteristik morfologi yang khas berjenis colonnade dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter. Dimensi panjang kolom kekar berkisar antara 4 meter hingga

Page 149: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

140

25 meter. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki orientasi kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisar antara 5-75o dengan arah yang bervariasi. Berdasarkan data pengukuran kekar tiang yang telah dikonversi maka arah aliran lava di daerah penelitian adalah menyebar keluar dari daerah penelitian. Sedangkan kemiringan yang beragam dari kekar tiang di daerah penelitian lebih dikontrol oleh aspek paleoslope dengan sedikit kontrol struktur geologi (sesar). Berdasarkan interpretasi arah aliran lava dan paleoslope, diperkirakan daerah penelitian merupakan pusat erupsi (center of eruption) dari suatu gunungapi purba berbentuk dome dengan paleoslope yang curam.

DAFTAR PUSTAKA

BATES, R.L., & JACKSON, J.A., editors, 1987, Glossary of geology, 3rd edition, American Geological Institute, Alexandria, Virginia, 788 p.

HAMADA, A., & TORAMARU, A., 2012, Factors Controlling Entablature Formation in Columnar Joints: Suggestions from the Analogue Experiments, Japan Geoscience Union Meeting 2012, Chiba Japan.

HETÉNYI, G., TAISNE, B., GAREL, F., MÉDARD, E., BOSSHARD, S., & MATTSSON, H.B., 2011, Scales of Columnar Jointing in Igneous Rocks: Field Measurements and Controlling Factors, Bull Volcanol (2012) 74:457–482, Springer-Verlag 2011.

SPRY, A., 1962,The origin of columnar jointing, particularly in basalt flows. Aust J Earth Sci 8:191–216

SURONO, SUDARNO, I., & TOHA, B., 1992,Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Page 150: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

141

GD 4 - ANALISIS PEMBELOKAN ALIRAN SUNGAI OPAK SAAT BERMUARA DI SAMUDRA HINDIA

Yan Restu FRESKI [1] dan DARMADI [2]

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

2Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

[email protected]

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41,

Yogyakarta, September 2012

ABSTRACT This research idea arises when facing the fact showed by the map. Many rivers in Bantul until Cilacap Regency, Java, Indonesia, have the trend to deflect to the west before come into the ocean. One of them is Opak River in Bantul, Special Region of Yogyakarta, Indonesia. This research aimed to know the factor affecting the deflection of Opak River before it ends in the Indian Ocean and to know the process of deflection of the Opak River on its condition. Methods used in this research were observation, library research, and documentation. The samples were tested in granulometric analysis. It was supported with stereo-microscopic analysis. Observation was focused on sedimentation process. To analyze the data, analytic descriptive was used, that is interpreting the data qualitatively. The result of the research explained that there were many factors that affect the deflection such as wind, wave, longshore current, sedimentation from the river, lithology (rock formation), neo-tectonic setting, and geomorphology. Wind creates the wave that will break and crash the beach. It causes swash and back-swash shaping long-shore drift to the west. The sediment in this natural process moves to the western beach blocking the stream. The rock formation supports the process by its resistance. The formation of the rock both in the East Java and West Java does not support the deflection of rivers in its surrounding. There is a fact about the subduction zone lies along the Java Island and its southern beach. The latter always being uplifted as it belongs to the Eurasian plate. It constructs the geomorphology of the beach in the mouth of Opak River. Keywords: Opak River mouth, deflection, spit bar.

PENDAHULUAN Kajian morfodinamika di permukaan bumi saat ini menjadi kajian yang menarik. Salah satu fenomena geologi tersebut adalah terjadinya pembelokan aliran sungai-sungai ke arah barat di Pulau Jawa saat bermuara di Samudera Hindia. Fenomena ini hanya terjadi di daerah antara Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sampai dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Salah satu contoh dari fenomena tersebut adalah Sungai Opak yang bermuara di sebelah barat Pantai Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Prov. DIY. Keunikan dari Sungai Opak ini adalah morfologi muara yang membelok ke arah barat sebelum bermuara di Samudera Hindia (Gb. 1). Oleh karena itu fenomena ini menarik

Page 151: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

142

untuk dikaji lebih mendalam untuk mengetahui faktor-faktor serta proses yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi.

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Secara astronomi, muara Sungai Opak terbentang dari 8o 0’ 19.75” LS sampai 8o 0’ 41.93” LS dan dari 110o 17’ 23.64” BT sampai 110o 16’ 6.52” BT. Berdasarkan fisiografi yang dibuat oleh Van Bemmelen (1970), daerah penelitian terletak di antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Serayu Selatan. Morfologi daerah penelitian terbagi atas beach ridge/spit bar, point bar, dan sand dune (Hendratno, 2000). Dalam peta geologi lembar Yogyakarta yang dibuat oleh Wartono Rahardjo Sukandarrumidi dan HMD Rosidi (1995), litologi daerah muara Sungai Opak terdiri dari alluvium (Qa) dan endapan volkanik Gunung Merapi Muda (Qmi) (Gb 2) . Litologi daerah muara sungai Opak pada bagian spit bar (bagian selatan muara) terdiri dari endapan pasir hasil sedimentasi laut. Endapan pasir tersebut berwarna abu-abu, yang merupakan hasil dari erupsi Merapi. Pada sisi utara dan timur laut dari muara sungai, litologinya tersusun atas endapan lempung, lanau dan pasir yang merupakan hasil pengendapan dari Sungai Opak. Sedangkan pada sisi timurnya tersususun atas pasir, yang membentuk bentukan sand dune.

PEMBAHASAN

Pembelokan muara sungai Opak disebabkan oleh adanya spit bar yang menghalangi laju aliran Sungai Opak ke Samudra Hindia. Awalnya Sungai Opak bermuara ke selatan, namun karena adanya spit bar kemudian membelok dahulu ke barat sebelum ke selatan. Terdapat berbagai macam faktor yang mengontrol pembelokan muara Sungai Opak. Berdasarkan observasi lapangan, analisa laboratorium, serta data sekunder dapat dijelaskan bahwa terdapat enam faktor yang mempengaruhi pembelokan muara Sungai Opak. Keenam faktor tersebut adalah angin, gelombang dan longshore current, sedimentasi dari Sungai Opak, faktor litologi, setting tektonik, dan geomorfologi. Letak muara Sungai Opak yang berada di daerah selatan garis khatulistiwa menyebabkan daerah ini dilewati angin muson timur dan muson barat. Berdasarkan data angin rata-rata di daerah Cilacap yang diambil oleh PT. Puser Bumi (1993, dalam Triatmodjo, 1999) (tabel 1), angin yang bertiup di daerah selatan Pulau Jawa didominasi dari arah tenggara dan barat. Sesuai Hukum Buys Ballot, hal ini tidak terlepas dari adanya pengaruh gaya coriolis yang membelokkan angin ke arah kiri di belahan bumi selatan dan ke arah kanan di belahan bumi utara. Misalnya pada angin muson timur yang awalnya bertiup dari arah selatan, ketika bergerak ke arah khatulistiwa berubah menjadi arah tenggara. Angin yang bergerak menuju daerah Pantai Selatan Jawa akan mempengaruhi pergerakan gelombang di Samudera Hindia. Hal ini dapat dilihat dari data grafik mawar gelombang dari U.S. Navy Marine Climatic Atlas of The World 3 Indian Ocean (1976, dalam Triatmodjo, 1999) yang menunjukkan bahwa pergerakan gelombang didominasi dari arah selatan, tenggara dan barat daya (Gb. 3). Ketika gelombang ini bergerak menuju pantai Selatan Jawa khususnya daerah muara Sungai Opak maka arah datang gelombang akan menyudut terhadap garis pantai. Hal tersebut dikarenakan adanya gaya coriolis akibat dari rotasi bumi. Pada saat muson timur gelombang akan relatif berarah dari tenggara, sedangkan pada saat muson barat akan bearah relatif dari barat daya. Gelombang yang datangnya menyudut terhadap garis pantai dapat memicu munculnya longshore current. Longshore current adalah arus yang bergerak sejajar garis pantai. Longshore current ini membawa

Page 152: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

143

material sedimen yang di transport sejajar garis pantai (longshore drift). Dalam kasus pembelokan muara Sungai Opak, longshore current menjadi faktor yang paling utama. Pembelokan muara Sungai Opak juga dikontrol oleh adanya sedimentasi oleh Sungai Opak itu sendiri. Sedimentasi ini memberi pasokan pada pembentukan spit bar yang menghalangi aliran Sungai Opak ke Samudra Hindia. Bukti dari adanya kontribusi sedimentasi Sungai Opak ini dapat dilihat dari endapan sedimen yang ditemukan di sisi utara spit bar. Endapan ini dicirikan dengan adanya butiran kerikil dan kerakal (Gb 4). Endapan kerikil dan kerakal ini menjadi penanda endapan Sungai Opak karena sedimen yang diendapkan oleh arus laut tidak mencapai ukuran gravel (maksimal sampai pasir kasar). Maka dapat disimpulkan bahwa ada kontribusi sedimentasi dari Sungai Opak dalam pembentukan spit bar yang menghalangi laju aliran Sungai Opak. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor litologi. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa daerah muara Sungai Opak dan sekitarnya didominasi oleh pasir lepas. Litologi yang berupa pasir ini sangat memudahkan proses-proses dari laut maupun sungai untuk mentransport dan mengendapkan sedimen di depan muara Sungai Opak. Setting tektonik muara sungai Opak yang berada di dekat zona pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia menyebabkan daerah ini mengalami pengangkatan. Dampak dari proses ini adalah majunya garis pantai. Fenomena tersebut turut mempengaruhi pembelokan muara Sungai Opak walaupun tidak cukup signifikan faktor lainnya karena kecepatan pergerakannya yang relatif lebih lambat dari morfodinamika muara sungai. Faktor keenam yang menjadi penyebab pembelokan muara Sungai Opak adalah morfologi. Morfologi daerah muara sungai opak relatif landai Hal ini memudahkan proses sedimentasi terjadi. Proses pembelokan muara Sungai Opak pada dasarnya dikontrol oleh spit bar yang menutupi aliran sungai. Spit bar ini dihasilkan oleh dua proses sedimentasi yaitu sedimentasi dari laut dan sedimentasi dari sungai. Pada sisi utara spit bar, terdapat endapan yang didominasi oleh kerikil dan kerakal (Gb. 4a). Sisi utara mewakili proses sedimentasi asal sungai. Pada sisi tengah dan selatan spit bar tidak ditemukan adanya endapan kerikil dan kerakal. Pada bagian ini didominasi oleh endapan pasir sangat halus sampai sangat kasar (Gb. 4b & 4c). Endapan pada sisi tengah dan selatan spit bar mengindikasikan hasil proses asal laut. Dari uji granulometri yang diambil di bagian tengah spit bar menunjukkan presentase pasir sangat kasar (40,6%), pasir kasar (22,8%), pasir sedang (17,4%), pasir halus (17%), pasir sangat halus (1,5%), lanau (0%), lempung (0%). Nihilnya presentase lempung dan lanau (0%) menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi dikontrol oleh 2 hal yaitu arus yang kuat sehingga lanau dan lempung tidak sempat terendapkan (tersuspensi) dan terjadi penampian (winnowing) oleh arus laut. Dari proses tersebut dapat dirumuskan bahwa proses sedimentasi yang mengontrol adalah proses asal laut karena mekanisme sedimentasi laut berjalan secara lebih kuat dibanding dengan muara Sungai Opak. Data lain dari hasil uji granulometri sampel yang diambil dari endapan Sungai Opak menunjukkan kandungan pasir sangat kasar (7,4%), pasir kasar (29,4%), pasir sedang (40,2%), pasir halus (17,1%), pasir sangat halus (3,2%), lanau 0,6%), lempung (1,3%). Data tersebut mendukung bahwa sampel yang diambil dari bagian utara merupakan hasil dari proses asal sungai karena terdapat kandungan lanau dan lempung.

Page 153: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

144

Dari pengamatan sampel di bawah mikroskop, mineral dominan pada sampel yang diambil di bagian tengah spit bar adalah mineral-mineral mafik (opak) (Gb. 5a). Mineral opak ini mempunyai densitas yang besar (4.5-5.2) sehingga dapat tertransport dengan mudah oleh arus yang kuat (arus laut). Mineral yang dominan terdapat pada sampel yang diambil dari endapan Sungai Opak adalah mineral bening (terang) hingga kuning kecoklat-coklatan seperti kuarsa dan plagioklas (Gb. 5b). Dari pengamatan ini dapat diyakini bahwa sampel endapan sungai mempunyai densitas lebih rendah dan cukup dengan energi lemah-menengah untuk mentransport material tersebut. Energi arus yang lebih lemah ini merupakan arus asal sungai. Proses asal laut merupakan longshore current yang terbentuk akibat arah angin dan gelombang yang menyudut terhadap garis pantai. Ketika angin muson timur bertiup (April–Oktober), gelombang yang terjadi akan berasal dari selatan dan tenggara. Saat angin bergerak mendekati khatulistiwa akan terjadi pembelokan arah angin menjadi ke barat akibat gaya coriolis bumi. Dengan demikian gelombang dominan akan terbentuk dari arah tenggara. Arah gelombang yang datang tersebut menyudut terhadap garis pantai sehingga menyebabkan longshore current yang bergerak dari arah timur ke barat. Longshore current tersebut akan mengangkut sedimen dari timur muara Sungai Opak (Pantai Depok dan sekitarnya) menuju ke arah barat dan diendapakan di depan muara Sungai Opak (Gb. 6). Proses ini merupakan gabungan dari angin muson dan efek coriolis. Proses tersebut juga terjadi pada saat muson barat (Oktober-April). Gelombang yang terjadi pada saat angin muson barat akan berarah dari baratdaya dan menghasilkan longshore drift yang membawa sedimen dari arah barat ke timur. Sedimen tersebut kemudian diendapkan di depan muara Sungai Opak. Proses pada muson barat tidak cukup signifikan karena hanya berasal dari arah angin dominan dalam sistem muson. Di sisi lain proses sedimentasi juga berasal dari Sungai Opak yang mendukung pasokan material pembentuk spit bar. Akibatnya spit bar tersebut terus bertambah dan menebal. Proses-proses geologi yang terjadi di depan muara Sungai Opak tersebut berlangsung dinamis dan terus menerus. Akibatnya aliran Sungai Opak menjadi terhalang oleh spit bar dan berbelok ke arah barat hingga saat ini.

KESIMPULAN

Faktor-faktor yang menyebabkan pembelokan muara Sungai Opak adalah adalah angin, gelombang dan longshore current, sedimentasi dari Sungai Opak, faktor litologi, setting tektonik, dan geomorfologi. Proses pembelokan aliran di muara sungai Opak disebabkan oleh adanya spit bar yang menutupi muara. Akibatnya aliran Sungai Opak menjadi berbelok ke arah barat. Spit bar tersebut terbentuk karena proses dari laut (longshore current) dan sedimentasi oleh Sungai Opak.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendukung terselenggaranya penelitian ini diantaranya, Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM, Dr. Sugeng Sapto Surjono atas penyediaan laboratorium untuk uji granulometri dan studi pustaka di Perpustakaan Jurusan Teknik Geologi UGM. Selain itu, diucapkan terimakasih kepada Dr. Srijono atas

Page 154: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

145

bimbingan dan masukan selama melakukan penelitian dari awal. Diucapkan terimakasih kepada Dr. Munasri (LIPI) atas ijin penggunaan Laboratorium Geoteknik LIPI Bandung.

DAFTAR PUSTAKA BEMMELEN, R.W VAN. 1970. The Geology of Indonesia vol. 1A: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Netherland : The Hague. HENDRATNO, AGUS. 2000. Tesis : Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Yogyakarta : Pascasarjana UGM

RAHARDJO, WARTONO. SUKANDARRUMIDI & H.M.D. ROSIDI. 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. SURJONO, SUGENG S. 2010. Analisis Sedimentologi. Yogyakarta : Pustaka Geo

TIM MORFODINAMIKA PESISIR. 2009. Studi Morfodinamika Wilayah Pesisir Selatan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Cilacap. Yogyakarta : Geospasial Laboratory TIM PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO. 2002. Penyusunan Masterplan Pembangunan Pelabuhan Glagah Karangwuni 2002. Kerja sama Pusat Studi sumberdaya dan Teknologi Kelautan Universitas Gadjah Mada TRIATMODJO, BAMBANG. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta : Beta Offset Tabel 1. Arah angin rata-rata di daerah Cilacap (PT. Puser Bumi, 1993 dengan modifikasi)

Arah Angi

n

Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov Des

N 3.69 1.96 2.09 1.85 1.25 0.89 0.56 0.21 0.33 0.66 0.84 1.76 NE 1.07 0.27 0.81 1.1 2.15 1.56 2.16 1.76 1.76 1.85 1.39 0.86 E 4.68 4.71 6.45 11.5 19.8 24.2 23.9 25.45 23.12 19.1 13.18 7.21

SE 9.92 9.25 20.07

40.7

42.6

46.6

59.1

61.68

64.35

58.4

41.32

20.97

S 6.66 5.51 8.93 3.09 2.14 2.43 1.43 3.03 2.63 2.61 8.95 11.38 SW 11.3 12.8 9.63 3.35 1.97 0.89 0.59 0.2 0.14 0.99 4.21 12.01 W 19.

7 24.2

11.76 6.09 4.23 2.87 1.24 0.74 0.73 0.4 4.18 9.42

NW 16.9 19.9 13.88 9.41 5.26 3.21 1.57 0.28 0.48 1.37 3.56 9.27 AT 25.9 22 12.77 23 20.6 17.4 9.48 6.64 6.45 14.6 22.36 27.12

Page 155: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

146

Gambar 1. Morfologi muara Sungai Opak yang membelok ke barat (Google Earth)

Gambar 2. Peta geologi daearah penelitian (Rahardjo dkk, 1995)

Gambar 3. Diagram mawar gelombang Samudera Hindia (U.S. Navy Marine Climatic

Atlas of The World 3 Indian Ocean 1976, dalam Triatmodjo, 1999).

Page 156: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

147

Gambar 4. Hasil sedimentasi dari sungai (a) dan hasil sedimentasi dari laut (b dan c).

Gambar 5. Sampel dari spitbar (a) dan sampel dari endapan Sungai Opak (b)

Gambar 6. Proses longshore current di Muara Sungai Opak (Google Earth)

Page 157: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

148

Page 158: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

149

GD 5 - PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN BAKAU DALAM PERSPEKTIF MORFODINAMIKA MUARA

SUNGAI OPAK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Yan Restu FRESKI [1] dan SRIJONO [2],

[1] [email protected], Jurusan Teknik Geologi FT UGM [2] Sie Geomorfologi Lab. Geologi Dinamik Jur. Teknik Geologi FT UGM

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41,

Yogyakarta, September 2012

ABSTRAK Pada kenyataannya, terdapat pembelokan aliran Sungai Opak ke barat saat akan bermuara di Samudra Hindia, membentuk wilayah pantai yang kompleks. Di wilayah pantai, terdapat tumbuhan bakau. Saat ini hutan bakau tidak berhubungan dengan air laut secara langsung. Untuk itu, perlu diadakan penelitian yang fokus mengenai pengembangan hutan bakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan hutan bakau pada kondisi morfodinamika muara Sungai Opak. Metode yang digunakan adalah pemetaan persebaran hutan bakau di sekitar muara Sungai Opak dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan pemetaan pembelokan aliran Sungai Opak. Selain itu perlu dilakukan pengukuran salinitas air dengan salinity-meter dan daya hantar listrik pada air di ruas muara dan wilayah hutan bakau. Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan menginterpretasikan secara kualitatif terhadap data yang telah diperoleh. Hutan bakau tidak berhubungan dengan air laut secara langsung. Hutan bakau dipisahkan dari air laut oleh beberapa jenis morfologi. Morfologi yang dimaksud adalah gisik, ruas muara, dan tanggul alam sungai. Gisik mempunyai topografi datar yang berbatasan langsung dengan air laut. Sebaran kawasan hutan bakau memanjang searah dengan tanggul alam sungai. Tanggul alam berada di sebelah utara ruas muara. Di sebelah utara tanggul alam terbentuk cekungan air yang mendukung tumbuh kembangnya hutan bakau. Ada dua fenomena yang terjadi yaitu 1) adanya pembelokan aliran Sungai Opak saat akan bermuara membentuk perairan estuarium dan 2) terjadinya neotektonik (pengangkatan) dengan indikasi terbentuknya tanggul alam. Hutan bakau merupakan kawasan yang mempunyai ekosistem unik sehingga pengembangan kawasan ini menjadi penting. Secara prospektif, kawasan hutan bakau dapat bertahan jika pasokan brackish water konstan. Gejala neotektonik jenis pengangkatan yang kontinu dapat berakibat airnya dapat berubah. Hal itu dapat diatasi dengan mencari alternatif sumber pasokan brackish water sehingga masalah hutan bakau dapat teratasi.

Kata kunci : bakau, morfodinamika, muara, Sungai Opak

PENDAHULUAN

Hutan bakau daerah penelitian terletak di Dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaran hutan bakau meliputi bagian utara ruas estuaria Sungai Opak dengan koordinat 8o0’27.77” LS-

Page 159: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

150

8o0’33.66” LS dan 110o16’45.60” BT-110o 17’08.90” BT. Studi ini mengkaji pengaruh morfodinamika muara Sungai Opak terhadap pengembangan kawasan hutan bakau. Metode penelitian yang digunakan meliputi pemetaan sebaran hutan bakau dan pengujian sampel air di daerah studi dengan parameter daya hantar listrik dan salinitas.

LATAR BELAKANG GEOLOGI Pengembangan hutan bakau di daerah muara Sungai Opak merupakan hal baru yang dilakukan atas kerjasama Pemerintah dan perusahaan dengan masyarakat setempat. Saat ini, baru dilakukan penanaman sebanyak 2 spesies yaitu Avicennia sp. dan Rhizophora sp. tersebar seluas 5 Ha. Pengembangan hutan bakau ini dilakukan karena kecocokan sistem estuaria sebagai lahan bakau sebagai manifestasi interaksi antara perairan air tawar dan perairan air asin. Bakau juga dipilih sebagai salah satu vegetasi perintis yang berfungsi sebagai penghambat erosi horizontal aliran Sungai Opak (Gb. 2b). Permasalahan muncul dari lokasi pengembangan hutan bakau tersebut dalam perspektif geologi. Pengembangan hutan bakau dilakukan di daerah yang sangat dinamis. Pengaruh tersebut berasal dari sistem estuaria Sungai Opak yang dipengaruhi oleh keberadaan spit bar dan sistem tatanan neotektonik. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai keberlanjutan pengembangan hutan bakau dengan morfodinamika muara Sungai Opak tersebut.

MORFODINAMIKA MUARA SUNGAI Sistem estuaria Sungai Opak dapat dibagi dalam beberapa satuan geomorfologi (Gb. 1), yaitu: 1. Satuan Spit bar

Satuan ini merupakan batas antara satuan perairan estuaria dengan laut. Satuan ini membentang dari arah Pantai Depok Kretek (tenggara) ke arah Pantai Samas Sanden (baratlaut). Dimensi panjang satuan ini adalah ± 2,380 km dengan lebar 4 – 5 m. Ketinggian spit bar ± 4 mdapl. Satuan ini tersusun atas material lepas dari volkanik Gunung Merapi yang telah mengalami penampian oleh proses longshore current sehingga tersortasi dengan baik. Satuan ini merupakan bagian sistem estuaria Sungai Opak yang paling dinamis.

2. Satuan Perairan Estuaria Satuan ini merupakan cekungan yang terisi oleh air payau hasil interaksi air sungai dengan air laut. Satuan ini terbentuk akibat terbendungnya aliran Sungai Opak oleh spit bar sehingga aliran sungai tidak langsung masuk ke laut. Satuan ini melebar dengan panjang ± 2,380 km dengan lebar 230 - 320 m.

3. Satuan Dataran Banjir Satuan dataran banjir terletak di sebelah utara satuan perairan estuaria. Satuan ini digunakan sebagai lahan pertanian. Ketinggian dataran banjir berkisar 2 – 3 mdapl. Satuan dataran banjir melampar hingga sejauh 1 km ke utara dari satuan perairan estuaria.

4. Satuan Gumuk Pasir Purba Satuan gumuk pasir purba berada di sebelah utara satuan dataran banjir. Gumuk pasir purba terletak di desa Baros Tirtohargo Kretek Bantul. Satuan ini berperan dalam proses evolusi sistem estuaria Sungai Opak. Keberadaan gumuk pasir purba yang berada 1,5 km dari garis pantai menunjukkan adanya indikasi perkembangan pantai maju.

Air payau (brackish water) terjadi karena ada intrusi air laut ke arah satuan perairan estuaria melalui muara sungai dan rembesan pada spit bar (Gb. 4). Dalam tubuh estuaria,

Page 160: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

151

terjadi sirkulasi arus yang mendistribusikan air asin dalam air tawar sehingga terbentuk air payau yang mengalir.

PENGEMBANGAN HUTAN BAKAU Jenis tanaman bakau yang dikembangkan di wilayah estuaria Sungai Opak adalah Avicennia sp. dan Rhizophora sp. (Setyawan, 2004). Bakau tersebut memiliki perbedaan karakteristik fisiologis yang sesuai dengan cara serta zona habitat dalam suatu sistem perairan payau. Rhizopora sp. memiliki akar jangkar (stilt root) yang mengembang dan berfungsi sebagai penguat pohon dari arus dan gelombang air. Spesies ini berkembang baik dalam perairan yang mempunyai arus cukup kuat. Avicennia sp. memiliki akar nafas yang muncul dari lumpur yang berfungsi sebagai alat eksresi dan respirasi. Spesies ini dapat berkembang baik pada daerah payau yang berarus sedang-lemah. Fungsi bakau dalam pengembangan daerah perairan estuaria Sungai Opak adalah untuk menghambat erosi horizontal pada tanggul alam bagian utara estuaria. Menurut Hendratno (2000), bagian utara sistem estuaria Sungai Opak merupakan dataran banjir muara sungai yang tergenang banjir secara periodik pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian antara rata-rata spit bar (4 mdapl) dengan dataran banjir (1 – 3 mdapl). Hal ini memungkinkan terjadi bencana banjir yang merusak lahan pertanian masyarakat.. Dengan bertahannya tanggul alam, banjir periodik yang terjadi dapat diminimalkan. Selain itu, pengembangan bakau di daerah estuaria Sungai Opak berfungsi sebagai pembangun suatu ekosistem baru yang berdampak positif terhadap keanekaragaman hayati. Jika terjadi pengrusakan hutan bakau, maka akan terjadi hal-hal berikut: 1. Abrasi pantai 2. Mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan 3. Potensi perikanan menurun 4. Kehidupan satwa liar terganggu 5. Sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang

Morfodinamika estuaria Sungai Opak akan berpengaruh pada eksistensi hutan bakau yang tumbuh baru di utara estuaria. Perubahan morfologi daerah tersebut akan mempengaruhi tingkat salinitas dan daya hantar listrik air payau yang dihasilkan. Dari pengujian kadar salinitas dan daya hantar listrik (DHL), air payau di daerah penelitian mengalami perubahan karakteristik berupa penurunan kadar salinitas dan DHL air ke arah sungai (selatan) (Gb. 3). Perairan bakau yang jauh dari arus sungai memiliki salinitas dan DHL yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya air payau yang terjebak saat banjir melimpah hingga satuan dataran banjir. Air payau akan mengalami infiltrasi dan perkolasi menjadi airtanah yang bersalinitas dan DHL normal-tinggi. Berbeda dengan tubuh perairan bakau yang terletak dekat dengan estuaria Sungai Opak memiliki salinitas dan DHL yang kecil. Hal ini membuktikan bahwa sirkulasi air payau di estuaria terjadi sangat intensif dan cepat. Jumlah air tawar sungai yang dikontrol oleh musim mengakibatkan fluktuasi yang dinamis dalam sistem perairan bakau. Bakau membutuhkan salinitas ideal antara 4 -35 o/oo (Djohan, 2000). Salinitas air daerah penelitian berkisar antara <0.01 – 14.5 o/oo (Gb. 3). Dengan demikian, daerah penelitian berpotensi baik untuk pengembangan bakau. Faktor lain yang berperan dalam sistem estuaria bakau adalah faktor neotektonik. Faktor ini tidak berperan aktif dalam morfodinamika estuaria Sungai Opak. Faktor ini bekerja

Page 161: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

152

dalam skala waktu yang lama sehingga tidak begitu tampak sebagai pengontrol sistem estuaria. Padahal faktor ini telah mengubah dan membentuk sistem pantai maju di pantai selatan Pulau Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan gumuk pasir purba di sebelah utara satuan dataran banjir yang diyakini dahulu berdekatan dengan garis pantai seperti gumuk pasir yang terbentuk saat ini di Pantai Parangkusumo Kretek Bantul DIY.

SIMPULAN Daerah estuaria Sungai Opak memiliki prospek yang baik untuk pengembangan hutan bakau. Sistem morfodinamika estuaria Sungai Opak memberikan efek positif kepada lahan tumbuh kembang tanaman bakau. Dengan demikian perlu penataan daerah kepesisiran yang lebih baik dengan menjaga keberlangsungan hutan bakau seiring dinamika muara Sungai Opak.

UCAPAN TERIMAKASIH

Studi ini didukung oleh Jurusan Teknik Geologi UGM dan Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi UGM. Terimakasih diucapkan kepada seluruh pihak yang telah memberi masukan dan membantu secara moral maupun material hingga karya tulis ini dapat diselesaikan.

REFERENSI

DJOHAN, TJUT SUGANDAWATY. 2000. Prospek Pengembangan Mangrove di Pantai Selatan. Workshop Regional Mangrove: STIPER Yogyakarta. HENDRATNO, AGUS. 2000. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis. UGM: Sekolah Pascasarjana Teknik Geologi UGM SETYAWAN, AHMAD DWI DKK. 2004. Mangrove plants in coastal area of Central Java: 3. Horizontal and vertical diagram of vegetation profile. Biodiversitas. Vol 9 no. 4

Gb1. Peta Wilayah Penelitian

Page 162: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

153

Gb 2 (a) Peta sebaran bakau S. Opak, (b) fungsi bakau sebagai penghambat erosi

(kamera menghadap timur)

(a) (b)

Gb 3 (a) Grafik salinitas air daerah penelitian, (b) Grafik daya hantar listrik air daerah penelitian.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

YS-01

YS-02

YS-03

YS-04

YS-05

YS-06

YS-07

YS-08

YS-09

Kad

ar S

alin

itas

(o

/oo

)

Kode Contoh

Grafik Salinitas Air Daerah Penelitian

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

YS-01

YS-02

YS-03

YS-04

YS-05

YS-06

YS-07

YS-08

YS-09

DH

L (u

mh

os/

cm)

Kode Contoh

Grafik Daya Hantar Listrik Air Daerah Penelitian

U

(a)

(b)

Page 163: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

154

Gb 4. Skema aliran air di sistem estuaria Sungai Opak

Page 164: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

155

GD 6 - MEKANISME PEMBENTUKAN SPIT PADA MUARA SUNGAI OPAK DALAM MORFODINAMIKA PESISIR SELATAN PULAU JAWA BERDASARKAN

ANALISIS CITRA MULTI-TEMPORAL

SRIJONO1 dan Yan Restu FRESKI1*

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Bulaksumur Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia

*[email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah merupakan daerah prospek pengembangan wilayah yang mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar. Morfologi muara sungai seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu penelitian mekanisme pembentukan spit terkait morfodinamika pesisir. Kajian ini bertujuan untuk pemantauan dan prediksi dinamika dari waktu ke waktu. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan citra satelit IKONOS dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal). Analisis citra diikuti kajian lapangan. Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit sungai sebagai data sekunder. Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan pasir lepas dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses wash-over dengan panjang ke arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m. Proses wash-over meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada proses asal sungai. Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim dan arah angin muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah hasil dari rangkaian dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang waktu.

Kata kunci: pesisir, muara Sungai Opak, spit.

PENDAHULUAN

Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah yang meliputi Kabupaten Bantul, Provinsi DIY hingga Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, merupakan daerah prospek pengembangan wilayah. Aspek geologi yang terlihat jelas berpengaruh adalah morfologi dataran landai yang melampar hingga ke bagian tengah Pulau Jawa. Pada beberapa tempat terdapat deretan pegunungan resisten seperti Pegunungan Kulon Progo, Karangbolong, dan Nusa Kambangan. Pengembangan wilayah ini mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar sebagai contoh Sungai Opak. Morfologi muara sungai seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu penelitian mekanisme pembentukan spit terkait morfodinamika pesisir.

Penelitian dilakukan di muara Sungai Opak yang terletak di sebelah barat Pantai Depok, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat (49M) 0421221 –

Page 165: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

156

9114331 (gambar 1), pada bulan Oktober - November 2013. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan citra satelit IKONOS dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal). Citra ini dapat diakses melalui software GoogleEarth. Analisis citra diikuti kajian lapangan di sebelah timur estuari Sungai Opak sebagai ground-check, untuk mengetahui bukti-bukti lapangan yang lebih detail. Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit sungai sebagai data sekunder.

Menurut Allen dan Chambers (1998), proses pembentukan spit atau barrier dikontrol oleh mekanisme limpahan air laut (washover/overwash) yang melewati gumuk tertinggi pada spit tersebut. Washover hanya terjadi pada saat terjadi gelombang badai atau pasang tinggi. Proses ini mengendapkan sedimen yang diangkut dari abrasi depan spit ke bagian belakangnya (ke arah laguna). Jenis perkembangan pantai yang dibentuk oleh proses washover adalah pantai retrogradational (Davis dan FitzGerald, 2004).

Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan spit di muara Sungai Opak secara umum meliputi:

Arah dan intensitas angin Gelombang dan arus sepanjang pantai (longshore current) Sedimentasi Sungai Opak Litologi daerah muara sungai Tatanan neotektonik Geomorfologi muara sungai

TATANAN GEOLOGI

Satuan morfologi daerah muara Sungai Opak secara umum terdiri atas satuan spit, satuan perairan estuari, satuan dataran banjir, dan satuan gumuk pasir purba (Freski dan Srijono, 2012) (gambar 2). Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000). Panjang spit mencapai 1.7 km dengan arah kelurusan mengikuti kelurusan garis pantai di Kabupaten Bantul yaitu arah NWW – SEE.

Posisi inlet (pintu muara) berubah-ubah setiap musim (Triatmodjo, 1999; Davis dan FitzGerald. 2004; Surjono, 2001). Pada bulan Oktober – November 2013, posisi inlet berada di ujung perairan estuari bagian timur, tepat berbatasan dengan Pantai Depok.

Litologi di daerah pantai-pantai Bantul didominasi endapan lepas berukuran pasir sedang dan bersortasi baik yang tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000) dan mineral utama terdiri atas mineral magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan campuran mineral hematit berkisar 0-2% volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi, 1999 dalam Surjono, 2001).

HASIL PENELITIAN

Dari citra IKONOS dan Quickbird yang diakses melalui GoogleEarth, didapat pola-pola pertumbuhan spit yang dikontrol oleh sedimen washover yang berbentuk kipas di belakang spit. Citra yang digunakan direkam pada tanggal 7 Maret 2010, 22 April 2010, dan 21 Agustus 2012. Dari pengamatan lapangan tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013, dimensi sedimen washover mencapai panjang tegak lurus pantai 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m (gambar 3). Sedimen washover terbesar terbentuk di bagian ujung timur dari spit.

PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan spit dapat dikelompokkan menjadi faktor aktif dan faktor pasif. Faktor aktif meliputi arah dan intesitas angin, gelombang dan arus sepanjang pantai (longshore current), proses washover dan kecepatan sedimentasi Sungai Opak. Faktor pasif meliputi litologi dan geomorfologi daerah muara sungai. Hasil

Page 166: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

157

analisis citra menunjukkan adanya perubahan bentuk spit yang dinamis dalam skala musim. Pergerakan faktor-faktor aktif tersebut berkorelasi dengan pergantian musim.

Citra IKONOS dan Quickbird menunjukkan perubahan bentuk muara dan spit dari waktu ke waktu. Pada bulan Maret, April, dan Agustus (musim transisi penghujan-kemarau), pembentukan sedimen washover mencapai dimensi panjang 20-50 m dan lebar 30-70 m. Dimensi ini lebih kecil daripada data pengukuran lapangan pada bulan Oktober (musim penghujan) (gambar 4B dan 5A).

Dalam pengamatan citra yang dilakukan, kenampakan spit menunjukkan persebaran ukuran butir sedimen. Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan sedimen yang berukuran butir kasar dan berwarna abu-abu cerah, melampar di bagian belakang spit (berbatasan dengan laguna) sedangkan sedimen yang berukuran butir halus dan berwarna abu-abu gelap, melampar di bagian depan spit (berbatasan dengan laut). Bagian spit yang berwarna abu-abu gelap disusun oleh mineral-mineral mafik seperti magnetit dan ilmenit sedangkan bagian yang berwarna abu-abu muda tersusun oleh material sedimen berupa litik andesit dengan beberapa butir mempunyai senyawa karbonat. Litik andesit berukuran kerikil hingga kerakal. Material berukuran kasar ini berada di bagian ujung lidah setiap sedimen washover (gambar 6). Mekanisme transportasi sedimen kasar ini diawali dengan melewati bagian tertinggi tubuh spit dengan energi dari arus laut. Pada tahap selanjutnya, energi yang membawa butiran berukuran kasar didominasi oleh gaya berat gravitasional (gambar 7).

Pengamatan lapangan pada tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013 merekam perkembangan detail dengan interval mendekati 1 bulan. Pada tanggal 2 Oktober 2013, tercatat telah terbentuk sedimen washover dengan dimensi terbesar di ujung timur. Elevasi spit rata-rata tercatat adalah 3-4 m (Bakosurtanal, 1995). Proses washover dapat mengerosi secara intensif sehingga mampu menurunkan elevasi spit menjadi lebih rendah. Titik ini menjadi bagian terlemah dari spit yang mampu diterobos oleh arus dari sungai (Davis dan FitzGerald, 2004).

KESIMPULAN

Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan pasir lepas dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses washover dengan panjang ke arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m. Proses washover meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada proses asal sungai. Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim dan arah angin muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah hasil dari rangkaian dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang waktu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih diucapkan untuk Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan finansial dan tempat belajar.

REFERENSI [1] ALLEN, G.P. DAN CHAMBERS, J.L.C, Sedimentation in the Modern and Miocene

Mahakam Delta. Indonesian Petroleum Association Symposium, 1998. [2] BAKOSURTANAL, Peta Rupabumi Digital Lembar 1407-543 Dringo. Bogor: Badan

Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1995.

Page 167: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

158

[3] DAVIS, R.A. JR. DAN FITZGERALD, D.M. Beaches and Coasts, Blackwell Publishing, USA, 2004.

[4] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara di Samudra Hindia”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 355-360, 2012.

[5] FRESKI, Y. R. DAN SRIJONO, “Pengembangan kawasan hutan bakau dalam perspektif

morfodinamika muara Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 319-321, 2012.

[6] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.

[7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001.

[8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999.

Gambar 1. Lokasi pengamatan lapangan di daerah muara Sungai Opak (citra IKONOS dan

Quickbird pada GoogleEarth, tertanggal 21 Agustus 2012)

Page 168: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

159

Gambar 2. Satuan geomorfologi daerah muara Sungai Opak. Penarikan batas-batas satuan

didasarkan pada analisis citra IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth.

Gambar 3. Dimensi sedimen washover. Pengukuran ini didasarkan pada pengamatan

lapangan.

Page 169: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

160

Gambar 4. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada analisis citra

IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth.

Page 170: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

161

Gambar 5. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada pengamatan

lapangan.

Page 171: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

162

Gambar 6. Persebaran ukuran butir dan jenis material sedimen berdasarkan analisis rona

citra. Dari analisis citra (A) didapat delineasi (B) meliputi (a) zona basah laut; (b) berm scarp; (c) sedimen dengan dominasi mineral magnetit dan ilmenit berukuran pasir halus-

sedang; (d) sedimen dengan dominasi litik andesit berukuran pasir kasar-kerakal.

Gambar 7. Model pembentukan sedimen washover.

Page 172: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

163

GD 7 - MEKANISME ABRASI PESISIR DI KAWASAN PANTAI DEPOK, BANTUL,

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Yan Restu FRESKI1* dan SRIJONO1

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Bulaksumur Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia

*[email protected]

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Morfodinamika pesisir dipengaruhi oleh aktivitas gelombang. Pada waktu tertentu, gelombang berubah menjadi lebih aktif dan berkembang menjadi arus sepanjang pantai (longshore current) yang menyebabkan abrasi pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi arah dan pola gelombang serta pengaruhnya terhadap morfologi pesisir Pantai Depok. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan lapangan terhadap parameter gelombang yang mencakup proses pembentukan gelombang (plunging), pecah (surging) dan arus balik (rip current). Pengukuran gelombang secara kuantitatif dilakukan dengan mencakup kecepatan arus, gelombang dan angin. Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai. Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara 1- 2.7 m/dt dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current) membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.

Kata kunci: Abrasi, Gelombang, Pantai Depok, Pesisir.

PENDAHULUAN

Komar (1976) menyebutkan proses gelombang pecah (surging) akan berkembang menjadi arus sisa gelombang pecah (surf), arus sapuan (swash) dan arus surut (backwash). Proses akhir dari satu kali periode datangnya gelombang adalah arus balik (rip current). Schiffman (1965, dalam Komar, 1976) menyebutkan bahwa daerah transisi antara surf dan swash adalah daerah tempat arus balik dan surf berikutnya bertemu yang akan terjadi turbulensi kuat. Davis dan FitzGerald (2004) membagi gelombang penyebab arus menjadi 3 yaitu longshore current, rip current, dan undertow current. Rip current dan undertow memiliki arah arus yang sama yaitu arah balik ke laut. Kedua arus ini dibedakan dari posisi arus yaitu rip current terletak secara sporadis sedangkan undertow terletak di semua titik sepanjang pantai tepat di bawah muka air laut rerata. Pada penelitian ini, arus balik yang teridentifikasi termasuk dalam rip current.

Penelitian dilakukan di Pantai Depok, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat (49M) 0421692 – 9114168 (lihat gambar 1), pada bulan September - November 2013. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan lapangan terhadap parameter gelombang yang mencakup proses pembentukan gelombang (plunging), gelombang pecah (surging), dan arus balik (rip current). Hasil pengamatan pola gelombang tersebut dilengkapi dengan pengukuran

Page 173: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

164

kecepatan arus sapuan (swash), arus surut (backwash), dan kecepatan angin sesaat, dengan menggunakan alat currentmeter digital.

TATANAN GEOLOGI

Morfologi dataran pantai secara umum terdiri atas teluk-teluk, berm, berm crest, dan beach scarp. Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000), sedangkan lereng teluk di depan beach scarp berkisar antara 20-30o. Jarak antara garis pantai dengan berm pertama adalah 3-5 m. Menurut Davis dan FitzGerald (2004), pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah tergolong dalam dissipative beach dengan kelerengan yang landai dan dicirikan oleh sand bar/spit.

Litologi penyusun daerah pesisir di Pantai Depok, Bantul didominasi endapan lepas berukuran pasir sedang dan bersortasi baik (Surjono, 2001). Endapan lepas tersebut tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000) dan mineral utama terdiri atas mineral magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan campuran mineral hematit berkisar 0-2% volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi, 1999 dalam Surjono, 2001). Berat jenis mineral magnetit 5.2 dan ilmenit 4.7 (Bonewitz, 2008).

HASIL PENELITIAN

Gelombang mempunyai pola arah datang menyudut terhadap garis pantai secara umum. Gelombang pecah dan menghasilkan arus yang menyapu dataran pesisir antara garis pantai dan berm paling depan, dengan jarak 3-5 m. Arus sisa gelombang pecah ini terakumulasi dalam teluk-teluk pada pesisir yang berukuran panjang 50-100 m dan lebar 20-30 m. Arus ini mempunyai kecepatan berkisar 1-2 m/dt, sedangkan arus balik mempunyai kisaran kecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat tabel 1). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt.

PEMBAHASAN

Letak pesisir di Pantai Depok, Bantul, DIY, yang berada di selatan garis katulistiwa dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia menyebabkan gelombang mempunyai pola arah datang menyudut terhadap garis pantai. Hal ini juga dipengaruhi oleh datangnya angin dan gelombang dominan sesuai musim yang berlangsung (Triatmodjo, 1999; Surjono, 2001; Freski & Darmadi, 2012). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt. Pada bulan Agustus-September, kecepatan angin berkisar antara 3.33-10.094 m/dt dengan arah yang berubah secara gradual dari N316oE – N340oE (Surjono, 2001).

Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November yang bersamaan dengan pergantian angin muson dari timur menjadi dari barat. Implikasi dari arah perubahan arah datang angin ini terwujud pada arah datang gelombang yang menghantam bibir pantai. Posisi bibir pantai di lokasi penelitian menghadap ke arah laut, Selatan-Baratdaya (SSW), atau mempunyai arah kelurusan relatif Baratlaut-Barat (NWW) dan Tenggara-Timur (SEE) (lihat gambar 1).

Angin membangkitkan gelombang (plunging) di Samudra Hindia dengan ketinggian dominan 1-2 m (US Army, PT. Puser Bumi, 1993, dalam Triatmodjo, 1999). Gelombang tersebut pecah (surging) ketika capaian gelombang ke dalam tubuh air terganggu oleh kedalaman air laut yang semakin dangkal ke arah tepi (Komar, 1976; Triatmodjo, 1999; Freski & Darmadi, 2012). Energi gelombang akan terdistribusi secara lateral mengikuti posisi dan bentuk daratan paling depan seperti berm pantai yang menjorok ke arah laut (Davis dan FitzGerald, 2004).

Menurut Kurva Hjulstrøm (Sunborg, 1956 dalam Seibold & Berger, 1996), arus sisa gelombang pecah (surf) dengan kecepatan berkisar 1-2 m/dt mempunyai daya angkut

Page 174: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

165

sedimen lebih kecil dari pada arus balik yang berkecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat gambar 2 dan 3). Hal ini disebabkan oleh perubahan kecepatan yang menurun pada arus sisa gelombang pecah akibat morfologi pesisir yang curam. Kecepatan arus mencapai nilai 0 m/s ketika sesaat sebelum arah arus berubah kembali ke arah laut menjadi arus balik. Arus balik digerakkan oleh gaya berat tubuh air di atas lereng curam pesisir. Dimensi teluk yang sempit sebagai tempat akumulasi arus menjadi pendukung utama turbulensi arus balik. Arus akan terakumulasi pada tekuk dalam teluk yang berasal dari sayap teluk (lihat gambar 4). Titik-titik tempat terbentuknya pusat teluk bersifat sporadis dan tidak dapat ditentukan dengan pasti.

Daya angkut sedimen pada musim kemarau (April-Oktober) mencapai 480000 m3/tahun sedangkan pada musim penghujan (November-Maret) mencapai 405000 m3/tahun (Surjono, 2001). Angka ini tidak menunjukkan daya angkut sedimen pada saat transisi musim seperti menurut pembagian arah angin muson: timur, transisi 1, barat, transisi 2 (Wiratmo, 2013 komunikasi personal). Pada saat transisi muson timur ke barat, arah datang gelombang tidak menyudut terhadap garis pantai secara umum melainkan tegak lurus (Triatmodjo, 1999).

Periode pembentukan gelombang berkisar 10-15 detik. Dari data volumetrik sedimen yang hanyut akibat proses erosional (Surjono, 2001), dapat dihitung kecepatan erosi pada satu kali hempasan arus. Pada musim kemarau (April-Oktober), volume sedimen yang hanyut minimum adalah 0.396 m3/periode gelombang sedangkan pada musim penghujan (November-Maret), terjadi erosi dengan volume 0.469 m3/periode gelombang.

KESIMPULAN

Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai. Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara 1- 2.7 m/s dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current) membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih diucapkan untuk Dr. Wahyu Wilopo (Teknik Geologi UGM) yang telah memberikan fasilitas peralatan pengukuran; Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan finansial dan tempat belajar.

REFERENSI

[1] BONEWITZ, R. L. Rocks and Minerals, the Definitive Visual Guide. 2nd Ed., Dorling Kindersley Limited, Great Britain, 2008.

[2] DAVIS, R. A. DAN FITZGERALD, D. M. Beaches and Coasts. Blackwell Science Ltd, MA, USA, 2004.

[3] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara di Samudra Hindia”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 355-360, 2012.

[4] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.

[5] KOMAR, P. D., Beach Processes and Sedimentation. Prentice Hall, New Jersey. 1999.

Page 175: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

166

[6] SEIBOLD, E. DAN BERGER, W.H. The Sea Floor, An Introduction to Marine Geology, 3rd Ed. Springer, New York. 1996.

[7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001.

[8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999.

Tabel 1. Data Pengukuran Kecepatan Arus Swash dan Backwash (m/dt)

Pengukuran ke-

Kecepatan (m/dt)

Arus swash Arus

backwash 1 1.5 2

2 1.3 1.5

3 1.4 2

4 1.5 2

5 1.5 1.5

6 1.5 2

7 1.2 1.8

8 1.3 2.4

9 1.5 1.8

10 1.5 1.9

11 1.3 1.7

12 1.9 2

13 1.2 1.7

14 1.8 2.5

15 1.4 1.5

16 1.9 2.5

17 1 2.4

18 2 2.7

19 2 2.1

20 1.6 1.8

21 1.5 2.7

22 1.7 2

23 1.4 1.5

24 1.4 1.5

25 1.7 1.8

Rata-rata 1.52 1.972

Nilai Maks 2 2.7

Nilai Min 1 1.5

Page 176: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

167

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan kelurusan garis Pantai Depok. Arah kelurusan NWW-SEE.

Page 177: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

168

Gambar 2. Hubungan kecepatan arus dan ukuran butir yang dilibatkan menurut Hjulstrøm, ditunjukkan oleh kotak daerah abu-abu. Ukuran butir pasir sedang (MS) akan

tererosi dan terbawa arus dengan kecepatan 1-2,7 m/dt.

Gambar 3. Hubungan kecepatan arus swash dan backwash, dalam m/dt. Kecepatan arus swash tidak akan lebih tinggi dari pada kecepatan arus backwash dengan ditunjukkan hasil

plot terletak di atas garis batas rasio.

Page 178: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

169

Gambar 4. Kronologi mekanisme abrasi pesisir di Pantai Depok, dengan arah datang gelombang tegak lurus dengan garis pantai secara umum pada masa transisi angin muson

timur-barat.

Page 179: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

170

Page 180: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

171

GD 8 - PERKEMBANGAN KARSTIFIKASI FORMASI SENTOLO DI TIMUR SUNGAI PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SRIJONO 1), Budi SANTOSO 2), Fajar SETIYAWAN 3), dan Christina Putri WIDYANINGTYAS 4)

1) Lab. Geologi Dinamik Jurusan Teknik Geologi FT UGM, email: sriy_geougm @yahoo.com

2), 3) dan 4) Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM

Dipresentasikan dalam Seminar Rekayasa Teknologi Industri ke-7 Sekolah Tinggi Teknik Nasional Yogyakarta, Desember 2012

ABSTRAK Di sebelah timur Sungai Progo, Yogyakarta, tersingkap batugamping anggota Formasi Sentolo, dan temuan gua. Penelitian bertujuan mengetahui kondisi geologi dan pengaruhnya terhadap perkembangan karstifikasi Formasi Sentolo di daerah sebelah timur Sungai Progo. Metode penelitian adalah pemetaan geologi permukaan, dengan rute utara-selatan yang relatif tegak lurus terhadap jurus perlapisan Formasi Sentolo. Contoh dari gejala karstifikasi dianalisis petrografi. Kesimpulan perkembangan karstifikasi dengan cara membandingkan. Hasil penelitian di timur Sungai Progo, mencakup daerah yang dibatasi Gamplong, Karangnongko, Badegan, dan Pereng. Jurus batuan Formasi Sentolo U700 – 900T, dan kemiringan maksimum 7o. Secara geomorfologi, daerah penelitian disebut kuesta. Batuan dibedakan menjadi dua satuan, yaitu napal, dan batugamping. Batugamping tersusun oleh perselingan batupasir karbonatan dengan batugamping. Secara petrografi, jenis batugamping didominansi packstone, dan selebihnya wackestone. Sebagian batugamping mengalami karstifikasi minor, dicirikan sistem perlubangan, frekuensi jarang, bentuk lubang bervariasi, dan ukuran berkisar 1 – 18 cm. Gua Selarong dan Gua Payaman terbentuk pada batas antara napal dan batugamping, tipe gua horizontal. Lorong gua pendek, berkisar 1 – 5 m, tidak menerus. Hasil observasi menunjukkan kondisi dua gua sudah tidak alami karena proses antropogenik, terkait kepentingan pesona wisata. Pada kompleks Gua Payaman, terbentuk curtain stalactite mengikuti zone kekar, berukuran 20 cm x 1,5 cm, dengan frekuensi jarang. Kata kunci: karstifikasi, batugamping Formasi Sentolo, Gua Selarong, Gua Payaman, curtain stalactite

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Daerah penelitian, di sebelah timur Sungai Progo, selatan jalan raya Yogyakarta – Wates. Daerah ini termasuk wilayah Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1.). Secara geologi, timur Sungai Progo termasuk dalam peta geologi lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk., 1995).

Rahardjo, dkk.(1995) menyatakan daerah penelitian terbentuk oleh batuan Formasi Sentolo yang berumur Tersier terdiri dari napal dan batugamping, serta batuan Kuarter dari Aluvium asal sungai maupun Gunung Merapi. Di daerah sekitar Sungai Serang, batuan pembentuk Formasi Sentolo antara lain batugamping (Selvina, 2012).

Page 181: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

172

Keterdapatan batugamping yang mengalami tektonik berpeluang berkembangnya gejala karstifikasi. Hal ini menarik untuk diteliti. Fisiografi Jawa Tengah bagian timur – selatan dikenal oblong dome Kulonprogo (Van Bemmelen, 1949). Dengan demikian daerah timur Sungai Progo, daerah penelitian termasuk dalam kubah Kulonprogo bagian ujung tenggara. Akibat tektonik, struktur geologi yang terbentuk adalah lipatan, kekar, dan sesar. Struktur geologi memfasilitasi berkembangnya karstifikasi.

Karstifikasi merupakan proses yang khas terjadi hanya pada batugamping, prinsip proses yang terjadi adalah pelapukan kimia, dan pelarutan oleh air meteoric, kemudian dihasilkan bentukan karst. Dalam pandangan petrologi batuan karbonat, karstifikasi merupakan stadium tertentu dari diagenesa. Menurut Longman (1980) diagenesa yang terbentuk di darat tercakup dalam stadia 5 – 8. Karstifikasi berlangsung pada stadia diagenesa 7 – 8, dan jejaknya hanya dapat diidentifikasi melalui mikroskop. Karstifikasi mengahasilkan karst minor, dan karst mayor (Bloom, 1978). Jejak karst minor teramati pada permukaan dan sedikit ke bawah batugamping, sedangkan karst mayor tampak bukit-bukit kerucut dan depresi karst di lapangan.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mengetahui kondisi geologi dan pengaruhnya terhadap perkembangan karstifikasi Formasi Sentolo di daerah sebelah timur Sungai Progo.

METODE PENELITIAN

Bahan penelitian karstifikasi daerah timur Sungai Progo mencakup Peta Rupabumi digital Indonesia (peta RBI) Lembar Wates, Yogyakarta, skala 1:25.000 (Anonim, 2001). Peta Geologi Yogyakarta skala 1:100.000 (Rahardjo, dkk., 1995), contoh batuan untuk analisis petrografi.

Peralatan lapangan baku untuk pemetaan geomorfologi terdiri dari alat GPS, kompas-klinometer, palu batuan, dan kaca pembesar / lup. Selebihnya digunakan kamera untuk dokumentasi, dan mikroskop.

Pemetaan geologi di lapangan untuk mengidentifikasi kekhasan morfologi, batuan - stratigrafi, dan struktur geologi. Data karstifikasi dikumpulkan bersamaan dengan pengulan data batuan. Komposisi batugamping dipastikan dari analisis petrografi dengan acuan klasifikasi menurut Embry, and Klovan (1960). Kriteria analisis petrografi meliputi jenis, struktur, tekstur dan komposisi batuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian di timur Sungai Progo, mencakup daerah yang dibatasi Gamplong, Karangnongko, Badegan, dan Pereng secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 – 4 dan Tabel 1.

Pembahasan

Stratigrafi Jurus batuan Formasi Sentolo U700 – 900T, dan kemiringan maksimum 7o. Batuan utamanya dibedakan menjadi dua, yaitu napal, dan batugamping. Napal yang bersifat tufan merupakan batuan tertua (Santoso, 2012). Napal tufan berwarna putih – keabu-abuan, struktur masif, temuan trace fossil, umur Miosen Atas – Pliosen Awal (N17 – N19).

Asosiasi batupasir karbonatan, batugamping berlapis, dan batugamping silang-siur stratigrafis di atas napal tufan. Asosiasi ini disebut satuan batugamping. Batupasir karbonatan dicirikan oleh ukuran butir maksimum pasir kasar, sortasi baik, struktur perlapisan: laminasi, masiv, silang siur, trace fossil jenis cruziana. Secara petrografi terdiri

Page 182: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

173

dari: mineral karbonat dalam jumlah dominan, biotit, mineral mafik; serta kandungan fosil foraminifera. Batugamping berlapis termasuk packstone (Embry & Klovan, 1971), ketebalan 2 – 5 m Batuan berwarna putih – keabu-abuan, ukuran maksimum kerikil, grain supported, sortasi baik, dengan struktur laminasi, silangsiur minor. Komposisi berupa fragmen moluska, mineral karbonat, fosil foraminifera kecil melimpah, dan mineral opak. tipe porositas interpartikel (Setiawan, 2012, dan Widyaningtyas, 2012). Sebagian mengalami karstifikasi. Temuan batugamping silang siur di bagian selatan daerah penelitian. Batuan berwarna putih – keabu - abuan, ukuran butir pasir halus – kerikil, grain supported, sortasi baik dengan struktur laminasi, silangsiur minor. Komposisi fragmen moluska dan foraminifera kecil melimpah mineral karbonat, dan mineral opak. Mengacu Embry & Klovan (1971), batuan seperti ini termasuk packstone. Tipe porositas interpartikel hasil karstifikasi. Pada bagian daerah lainnya, karstifikasi berkembang pada wackestone (Widyaningtyas, 2012). Struktur Geologi. Pada daerah penelitian, akibat perlipatan kemiringan batuan Formasi Sentolo berarah ke selatan. Selain kemiringan, terbentuk kekar dan sesar (Gambar 2.). Kekar dan sesar ini akan mempengaruhi proses geomorfik dan menyebabkan terjadinya zona – zona lemah, struktur geologi ini bertanggung jawab terhadap karstifikasi pada batugamping. Karstifikasi. Secara geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan kuesta, dikelilingi oleh dataran limpah banjir (Gambar 3.). Lereng kuesta melandai ke selatan sesuai dengan arah kemiringan lapisan batuan Formasi Sentolo. Dari gambaran tersebut dijelaskan napal tufan menempati morfologi rendah, dan batugamping pada morfologi tinggi. Pelapukan, erosi, dan proses antropogenik terjadi pada kuesta.

Khas pada batugamping adalah berkembangnya karstifikasi setelah pelapukan (utamanya pelapukan kimia) berlangsung. Tingkatan karstifikasi baru mencapai pembentukan karst minor yang hanya dapat diidentifikasi pada permukaan sampai sedikit ke bawah permukaan batuan berupa sistem perlubangan, diameter 1 – 18 cm, umumnya 5 – 7 cm, frekuensi jarang, bentuk lubang bervariasi, Pembentukan lubang dominan difasilitasi oleh fracture, selebihnya semata-mata pelarutan batuan. Selain perlubangan, dalam penelitian ini ada temuan Gua Selarong, dan G. Payaman. Fenomena geomorfologi G. Selarong, dan G. Payaman cukup menarik, karena melibatkan proses alami, dan antropogenik (Gambar 4.). Kedua gua terbentuk pada batas antara napal dan batugamping, hal ini pertanda pembentukannya diawali oleh erosi pada dua batuan yang resistensinya berbeda. Tipe dua gua horizontal, panjang lorong gua berkisar 1 – 5 m, pintu/mulut gua yang cenderung setengah elip, berukuran panjang 0,5 -5 m, dan tinggi maksimum 1 m, dan buntu. Pada kompleks G. Payaman, terbentuk beberapa lajur curtain stalactite, saling sejajar mengikuti zone kekar, berukuran 20 cm x 1,5 cm, dengan frekuensi jarang. Kondisi dua gua sudah tidak alami karena proses antropogenik, terkait kepentingan pesona wisata. Gua Selarong, dan G. Payaman merupakan gua wisata di Kabupaten Bantul. Gua Selarong sudah lama menjadi tujuan wisata, karena lokasi tersebut diyakini sebagai tempat persembunyian/pertapaan Pangeran Diponegoro, tahun 1825an, pada waktu menyiapkan peperangan terhadap VOC – Belanda. Pada renovasi gua wisata (proses antropogenik), menjadikan fenomena alami gua sudah minim, tetapi yang tampak menonjol adalah permukaan dinding gua yang halus hasil rekayasa. Gua Payaman baru satu tahun yang lalu ditetapkan sebagai gua wisata, dengan kenampakan rekayasa sangat kuat. Kenampakan yang dimaksud adalah pengerukan napal, dan kemudian sebagian di antaranya dihaluskan dengan penyemenan.

Page 183: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

174

KESIMPULAN

1. Geologi daerah timur Sungai Progo terbentuk susunan napal ditumpangi batugamping dari Formasi Sentolo. Batuan membentuk homoklin miring ke selatan, dan morfologi kuesta.

2. Batugamping menempati topografi tinggi, mengalami karstifikasi pada tingkatan karst minor, membentuk perlubangan. Perlubangan yang besar menghasilkan Gua Selarong dan Gua Payaman, yang disertai proses antropogenik.

DAFTAR PUSTAKA BLOOM, A.L., 1978, Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, EMBRY, AF, AND KLOVAN, JE, 1971, A Late Devonian reef tract on Northeastern Banks Island, Canadian Petroleum Geology Bulletin, NWT, v. 19, p. 730-781. LONGMAN, M.W., 1980, Carbonate Diagenetic Texture from Nearsurface Diagenetic Environments, AAPG Bulletin, v.64 no.4, hal 461 – 487 RAHARDJO, W., SUKANDARRUMIDI, DAN ROSIDI, H.M.R., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, skala 1:100.000, edisi 2,Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. BANDUNG SANTOSO, B., 2012, Peta Geologi Daerah Argodadi Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses) SELVINA, N., 2012, Pemanfaatan Foto Udara untuk Studi Morfologi Formasi Sentolo di Sekitar Sungai Serang, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, tidak dipublikasikan SETIYAWAN, F., 2012, Peta Geologi Daerah Ambarketawang, Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses) VAN BEMMELEN, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1A, Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam WIDYANINGTYAS, C.P., 2012, Peta Geologi Daerah Pajangan, Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses)

Page 184: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

175

Gambar 1. Letak daerah penelitian (Sumber : Citra Google Satelit 2012 dengan modifikasi)

Page 185: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

176

Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian 1 – 6: titik temuan karstifikasi

Gambar 3. Morfologi Cuesta (a) Napal pada daerah penelitian (b) Embrio curtain stalactite

(c) Perlubangan, karst minor (d)

U

Page 186: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

177

Tabel 1. Perkembangan Karstifikasi pada Formasi Sentolo di timur Kali Progo

No. Koordinat UTM

Desa/Dusun Karstifikasi X Y

1. 422268 9136387 Perenggamol

Gejala karstifikasi, karst minor, ciri

perlubangan, ukuran 1 – 4 cm, bentuk

bervariasi, frekuensi jarang.

2. 421483 9134396 Jangkang

Gejala karstifikasi, karst minor , ciri

perlubangan, ukuran 1 – 10 cm, bentuk

bervariasi, frekuensi jarang dan pada tempat

tertentu dijumpai cukup banyak.

3. 421273 9135906 Gunungsalam

Gejala karstifikasi, karst minor, ciri

perlubangan, bentuk bervariasi, ukuran 1 –

18 cm, frekuensi cukup banyak – jarang.

4. 421423 9134058 Jangkang

Gejala karstifikasi, karst minor, ciri

perlubangan, bentuk bervariasi ukuran 1 – 6

cm, frekuensi jarang.

5. 421893 9133020 Sambikerep

Gejala karstifikasi, karst minor, ciri

perlubangan, bentuk bervariasi, ukuran 1 – 6

cm, frekuensi jarang.

6. 418043 9133809 Argorejo

Gejala karstifikasi pada batugamping berupa

curtain stalactite dan gua kecil. Curtain

stalactite pada zona kekar, ukuran 20 cm x

1,5 cm. Frekuensi jarang.

Page 187: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

178

Page 188: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

179

SS 1 - PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER GUNUNGLUMPUR DI SEKITAR PURWODADI

BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA

Moch. Indra NOVIAN, Peter Pratistha UTAMA dan Salahuddin HUSEIN

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Diterima tanggal 15 November 2013

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK

Semburan gunung lumpur telah menarik perhatian orang sejak dulu dan dikaitkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Di daerah Purwodadi dan sekitarnya keberadaan gunung lumpur banyak ditemukan. Secara fisiografi daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Randublatung yang dibatasi di bagian utara oleh Zona Rembang dan di bagian selatan oleh Zona Kendeng. Penelitian dilakukan pada Gunung lumpur (bledug) Kesongo yang terletak di Desa Kesongo dengan koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT dan Gunung lumpur Crewek yang terletak di Desa Crewek dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Beberapa contoh lumpur, batuan dan fragmen batuan seperti foraminiferal grainstone, batupasir karbonatan, fosil tulang invertebrata serta koral diambil dari kedua tempat tersebut untuk dilakukan analisa paleontologi. Kedua gunung lumpur ini mempunyai posisi dan kenampakan morfologi yang berbeda. Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang, berbentuk kubah berdiameter 1,3 km yang terletak di Antiklin Gabus dan menerobos satuan batunapal yang tersingkap di permukaan sekitar gunung lumpur tersebut. Gunung lumpur Crewek berada di dataran, berbentuk bukit kecil dengan diameter kurang dari 100 m dan dikelilingi oleh endapan limpah banjir. Hasil analisa paleontologi pada lumpur dari Kesongo menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktonik yang mempunyai dua kisaran umur yaitu N18-19, N14 dan N7-N9, sedangkan analisa foraminifera besar dari fragmen batuannya menunjukkan umur Miosen Awal–Tengah. Kumpulan fosil dari batunapal menunjukkan kisaran N17-19. Lumpur Crewek menunjukkan kisaran N18, N12 dan N7-8. Dari kumpulan fosil tertua yang terdapat pada masing-masing gunung lumpur maka diperkirakan lumpur di Gunung lumpur Kesongo berasal dari Formasi Tawun bagian bawah dengan fragmen batuan yang diterobos berasal dari Formasi Wonocolo dan Ngrayong, sementara batunapal yang berada di sekitarnya termasuk ke dalam Formasi Mundu. Lumpur pada Gunung lumpur Crewek berasal dari Formasi Tawun.

Kata kunci : gununglumpur, randublatung zone, foraminifera, formasi

PENDAHULUAN

Gunung lumpur (mud volkano/bledug) banyak dijumpai di sekitar Purwodadi hingga menuju ke arah Blora. Fenomena gunung lumpur ini sudah lama terjadi sehingga masyarakat sekitar gunung lumpur sudah terbiasa dan memanfatkan kehadiran fenomena ini. Pemanfaatannya berupa pembuatan garam, penambangan minyak bumi dan pariwisata. Walaupun sudah lama terjadi dan banyak muncul di sekitar Purwodadi namun penelitian mengenai gunung lumpur di daerah ini masih terbatas berbeda dengan Gunung lumpur Sidoarjo (LUSI) yang baru saja terjadi namun sudah banyak penelitian dilakukan

Page 189: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

180

disana seperti Mazzini et al. (2007,2009), Davies et al (2008, 2011), Mori & Kano (2009), Rudolph (2011, 2013) dan lain-lain. Sementara itu penelitian terbaru mengenai gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora dilakukan oleh Satyana dan Asnidar (2008).

Sebagian besar Gunung lumpur di sekitar Purwodadi menempati daerah dataran yang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Randublatung. Dataran ini tertutup oleh endapan limpah banjir Kali Lusi. Hanya sedikit gunung lumpur seperti Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang yang tersusun atas formasi batuan berupa napal.

Penelitian formasi batuan sumber gunung lumpur dilakukan pada empat lokasi yaitu Gunung lumpur Kesongo, Crewek, Kuwu dan Medang Kamulan. Gunung lumpur Kesongo terletak paling timur pada koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT. Gunung lumpur Crewek berada paling selatan dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Gunung lumpur Kuwu berada di sebelah barat dengan koordinat 7o 7’ 3,68” LS – 111o 7’ 18,03” BT dan Gunung lumpur Medang Kamulan terletak di utara dengan koordinat 7o 5’ 54,33” LS – 111o 8’ 49,73” BT. (Gambar 1)

METODE

Dari keempat gunung lumpur diambil beberapa contoh lumpur untuk dianalisa kandungan fosil foraminifera terutama foraminifera planktonik. Kumpulan foraminifera planktonik akan dipakai untuk menunjukkan seberapa tua batuan yang terterobos oleh lumpur. Fragmen batuan yang ikut keluar bersamaan dengan lumpur juga diidentifikasi dan diambil contohnya untuk dilakukan proses preparasi. Fragmen batuan ini akan disayat tipis terutama batuan yang mengandung fosil foraminifera besar. Dengan mengetahui umur batuan yang terbawa bersama lumpur maka formasi batuan yang tertembus oleh lumpur berdasar fragmen batuan juga dapat diidentifikasi.

Formasi batuan yang tertembus lumpur ini juga dapat ditentukan dengan melihat singkapan lapisan batuan yang terpotong oleh gunung lumpur dan melakukan preparasi ayak untuk mengetahui umur batuannya berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktoniknya. Selain pengambilan contoh batuan dan lumpur, dilakukan juga pengamatan kondisi morfologi gunung lumpur dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena masing-masing gunung lumpur mempunyai morfologi yang berbeda.

GEOLOGI REGIONAL

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa gunung lumpur yang menjadi obyek penelitian ini secara fisiografi terletak pada Zona Randublatung yang dibatasi oleh Zona Rembang di sebelah utaranya dan Zona Kendeng di sebelah selatannya (van Bemmelen, 1949). Zona Randublatung merupakan dataran yang terisi olehh endapan berukuran lempung, lanau, pasir hingga kerikil yang berasal endapan limpah banjir Kali Lusi, Kali Wulung dan Kali Bengawan Solo. Di bawah endapan ini pada bagian selatan terdapat Formasi Pucangan dan Klitik sementara di bagian utara dijumpai Formasi Tambakromo dan Selorejo. Secara stratigrafis Zona Randublatung memiliki urutan batuan seperti yang berkembang pada Zona Rembang maupun Zona Kendeng. Adapun urutan stratigrafi Zona Randublatung menurut Datun dkk (1996) ini adalah :

Formasi Tawun Formasi Tawun berisi batulempung dan batugamping dengan sisipan batupasir, batulanau dan kalkarenit. Kandungan fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sicanus, G. diminutus, G. subuqadratus, Globorotalia mayeri, Gl. siakensis, Gl. peripheroronda, Gl. birnagea, Praeorbulina, Hastigerina praesiphonifera, dan Cassigerinella chipolensis yang menunjukkan umur Miosen Awal N7-N8. Kandungan fosil foraminifera bentonik berupa Bulimina, Saracenaria, Nodosaria, Uvigerina, Laticarinina dan Cassidulina yang

Page 190: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

181

menunjukkan lingkungan laut dalam. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi Ngrayong.

Formasi Ngrayong Bagian bawah formasi ini tersusun oleh berupa perselingan batulempung pasiran dengan napal pasiran, bagian tengah oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung pasiran dan bagian atas oleh batugamping dengan sisipan napal. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globorotalia fohsi, Gl. praemenardii, Gl. mayeri, Cycloclypeus indopacificus, C. Inornatus, dan Lepidocylina angulosa yang menunjukkan umur Miosen Awal – Miosen Tengah N8-N12 dengan lingkungan neritik dangkal. Ketebalan formasi ini 100 – 300 m.

Formasi Wonocolo Formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Ngrayong dan tersusun oleh batugamping tipis (Kompleks Platenkalk) pada bagian bawah, sementara pada bagian atas oleh napal dengan sisipan batugamping. Kandungan foraminifera Globorotalia acostaensis, Hastigerina aequilateralis, Globigerina praebulloides, Cycloclypeus indopacificus, dan C. inornatus. Umur formasi ini Miosen Tengah bagian akhir – Miosen Akhir N14-N16 dan terendapkan pada lingkungan neritik dangkal dengan tebal 100 – 300 m. Formasi ini ditutpi secara selaras oleh Formasi Ledok.

Formasi Ledok Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh perselingan batugamping keras dengan lunak kemudian ke arah atas berubah menjadi batugamping glaukonit dengan struktur sedimen berupa silangsiur mangkuk. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globigerinoides extremus, Globorotalia acostaensis, dan Gl. pseudomiocenica yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian atas N16-N18 dan Bulimina, Cibicides, Elphidium, Eponides, Nonion dan Rotalia yang menunjukkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi berkisar antara 100 – 525 m.

Formasi Mundu Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Ledok dan berisi napal tidak berlapis dengan di beberapa tempat pasiran. Kandungan foraminifera Globigerinoides extremus, G. ruber, G. trilobus, Globorotalia tumida, Orbulina universa, Pulleniatina primalis, dan Sphaerodinella dehiscens menunjukkan umur formasi pada Pliosen Awal N18-N19, sedangkan Buliminina, Cibicides, Dentalina, Eponides, Nodosaria, Robulus dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dalam – batial atas. Tebal formasi berkisar 100 – 250 m.

Formasi Selorejo Formasi ini berisi batugamping dengan struktur silang siur di beberapa tempat dan batulempung pasiran-gampingan yang terendapkan selaras di atas Formasi Mundu. Batugamping mengandung foraminifera Globigerinoides fistulosus, Globorotalia acostaensis, Gl. multicamerata, Sphaerodinella dehiscens, dan Pulleniatina obliqueloculata yang menunjukkan umur Pliosen Akhir N19-N20/21, sementara Buliminina, Cibicides, Eponides, Nonion, Robulus, Rotalia dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 200 m.

Formasi Tambakromo Formasi Tambakromo selaras menutupi Formasi Selorejo dan tersusun atas batulempung, napal dan sisipan tipis batugamping. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia tosaensis, Gl. truncatulinoides, Globigerinoides fistulosus, dan Pulleniatina obliqueloculata menunjukkan umur Pliosen Akhir bagian atas – Plistosen, sementara Cibicides, Robulus dan Rotalia beccarii menunjukkan lingkungan pengendapan neritik. Tebal formasi 350 m.

Page 191: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

182

Formasi Kerek Formasi Kerek bagian bawah tersusun oleh napal, batulempung, batupasir gampingan, batulempung gampingan dan batupasir tufan. Bagian atas tersusun oleh batugamping yang di beberapa tempat tufan dengan sisipan napal dan batulempung gampingan. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia acostaensis, Gl. pseudomiocenica, Globigerina praebulloides yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian tengah N16-N17 dan Bulimina, Gyroidina, Nonion dan Uvigerina yang menunjukkan lingkungan neritik dalam. Tebal formasi 825m dan ditindih secara selaras oleh Formasi Kalibeng.

Formasi Kalibeng Formasi ini tersusun oleh napal pejal dan setempat sisipan batupasir tufan-batugamping. Di beberapa tempat pada bagian bawah dan tengah formasi ini diendapkan breksi Anggota Banyak sementara bagian atas diendapkan batugamping Anggota Klitik. Formasi ini selaras menindih Formasi Kerek. Kandungan foraminifera Globorotalia crassaformis, Gl. plesiotumida, Gl. tosaensisdan Pulleniatina obliqueloculata menunjukkan umur Miosen Akhir – Pliosen Awal, sementara Cassidulina, Cibicides, Nodosaria dan Planulina menunjukkan lingkungan neritik dalam – batial atas. Tebal formasi 5000 m.

Anggota Klitik Anggota Klitik tersusun atas batugamping dan sisipan napal. Batugamping di beberapa tempat mengandung koral. Kandungan foraminifera terdiri atas Goborotalia. Tosaensis dan Pulleniatina obliqueloculata yang mencerminkan umur Pliosen Awal, sedangkan kandungan Amphistegina, Cibicides, Discorbis, Eggrella, Elphidium dan Triloculina mencerminkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 40 – 150 m.

Formasi Pucangan Formasi Pucangan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibeng Bagian bawah formasi ini tersusun oleh breksi dan batupasir volkanik dan bagian atas tersusun oleh batulempung yang kaya akan fosil moluska. Pada formasi ini juga dijumpai fosil hominid. Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal dengan lingkungan darat-transisi.

Formasi Kabuh Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Pucangan dan terdiri dari batupasir silangsiur konglomeratan dan lensa-lensa konglomerat. Kandungan fosil moluska dan fragmen vertebrata banyak dijumpai pada formasi ini. Umur batuan Plistosen Tengah dengan lingkungan pengendapan berupa transisi-darat. Tebal formasi 45 – 200 m.

Formasi Notopuro Formasi Notopuro tersusun atas breksi lahar, breksi volkanik, konglomerat dan batulanau volkanik yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kabuh pada Plistosen Akhir. Lingkungan pengendapan darat dengan tebal 30 – 40 m.

Struktur geologi yang berkembang di Zona Kendeng umumnya berupa lipatan asimetris dengan sumbu berarah barat timur dan struktur sesar baik berupa sesar geser sesar naik maupun sesar turun. Sesar geser mempunyai arah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara. Sesar naik dan turun berarah timur barat-timur searah dengan sumbu lipatan. Sesar naik di beberapa tempat berupa sesar sungkup.

Pada Zona Rembang bagian selatan terjadi orogenesa yang relatif lemah pada saat N12. Selanjutnya setelah pengendapan Formasi Mundu terjadi perlipatan dan pensesaran pada saat awal - tengah Plistosen Awal.

Page 192: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

183

GUNUNG LUMPUR

Istilah gunung lumpur merujuk pada suatu kenampakan topografi berbentuk kerucut menyerupai bentuk gunung api yang terbentuk secara alami oleh proses geologi berupa proses pengeluaran sedimen terliquifaksi, fragmen berukuran butir lempung, gas, dan cairan (Istadi et al, 2012). Gunung lumpur dapat terbentuk melalu proses penekanan pada diapir lumpur yang menerobos permukaan bumi atau dasar laut (Istadi et al, 2012). Karakteristik pembentuk gunung lumpur adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, lapisan sedimen penutup yang tebal, kehadiran perlapisan yang plastis di bawah permukaan, suplai gas yang cukup dan potensi hidrokarbon yang tinggi, tekanan formasi abnormal tinggi, pada setting kompresi, seismiksitas tinggi dan kehadiran sesar-sesar.

Karakteristik umum gunung lumpur menurut Gansser (1960 dalam Ridd, 1970) adalah sebagai berikut :

1. Umumnya berasosiasi dengan lapisan sedimen Tersier (dan Kapur Atas) 2. Sedimen umumnya berasal dari sedimen laut 3. Didominasi oleh lapisan plastis dan pelitik 4. Gas dan air formasi kadang hadir 5. Lapisan plastis tertutup oleh lapisan yang lebih kompeten 6. Sinklin yang luas dibatasi secara tajam oleh antiklin akibatnya lapisan sedimen

plastis yang lebih dalam menekan ke atas. 7. Kenaikan tegangan menggerakkan lempung yang plastis pada bagian inti beserta

air garam, gas dan minyak pada banyak tempat. Akibatnya lumpur akan tertekan ke atas seperti bentukan magma, jika keseimbangan permukaan terganggu maka akan terjadi erupsi dan membentuk gunung lumpur.

8. Kebanyakan pusat erupsi terdiri dari beberapa kerucut volkanik. 9. Kerucut yang landai dan terjal dapat hadir bersamaan. 10. Erupsi sebagian periodik, tetapi umumnya tidak teratur. Banyak erupsi besar

terjadi setelah periode tenang yang panjang. 11. Fragmen batuan besar atau kecil yang berasal dari lapisan batuan yang lebih tua

umumnya keluar bersamaan dengan lumpur. 12. Keberlangsungan pusat erupsi tunggal umumnya pendek. 13. Zona diapirik dengan gunung lumpur umumnya beradapada daerah anomali

gravitasi negatif.

DATA DAN PEMBAHASAN

Kenampakan morfologi keempat gunung lumpur berbeda-beda. Gunung lumpur Kesongo terletak di sebelah timur dan berada pada sumbu Antiklin Dungjumbleng. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur 1.295 m, lebar utara-selatan 1.173 m, tinggi 10 m serta luas 1,03 km2. Seluruh kawah terisi oleh lumpur yang sebagian sudah mengeras dan berwarna abu-abu – putih. Pada bagian tepi lumpur sudah ditumbuhi oleh rumput namun pada bagian tengah tidak dijumpai tanaman yang tumbuh disana. Di antara lumpur tersebut dijumpai fragmen batuan maupun fosil berupa batupasir karbonatan, batupasir, foraminiferal grainstone, koral dan tulang belakang dan tempurung kaki invertebrata. Pada sisi timur, utara, barat dan selatan dijumpai beberapa kerucut kecil menyerupai tubuh gunungapi strato kecil yang masih aktif mengeluarkan lumpur (Gambar 2), sementara di bagian selatan tidak dijumpai. Di bagian barat Gunung lumpur Kesongo dijumpai beberapa penambangan hidrokarbon secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar (Gambar 3). Selain itu dijumpai lapisan batuan berupa napal yang diduga berasal dari lapisan insitu yang terterobos oleh Gunung lumpur Kesongo (Gambar 4).

Page 193: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

184

Gunung lumpur Crewek berada di sebelah selatan pada dataran yang dikelilingi oleh endapan Kali Lusi, berada di tepian ruas jalan Kuwu-Crewek dan di tepian pemukiman penduduk. Bentuk gunung lumpur ini kubah bulat dengan panjang utara-selatan 37 m, lebar barat-timur 36 m dengan tinggi kurang dari 10 m dan luasan 1.537 m2. Pada bagian kubah terdapat beberapa kolam lumpur dimana air bersama sedikit lumpur keluar bagai mata air. Kolam lumpur dan bagian tepi dari gunung lumpur diselimuti oleh travertin (Gambar 5). Fragmen batuan yang dijumpai berupa batupasir yang telah mengalami oksidasi, batugamping dan batupasir karbonatan dengan ukuran 1 – 10 mm. Banyak dari fragmen tersebut telah tersemen kembali oleh kalsit.

Gunung lumpur Kuwu berada di utara Gunung lumpur Crewek pada tepi ruas jalan Wirosari-Kuwu dan sudah menjadi salah satu obyek wisata daerah Purwodadi. Gunung lumpur Kuwu mempunyai semburan lumpur yang terbesar diantara gunung lumpur yang ada di Purwodadi-Blora. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur sebesar 610 m dan utara-selatan 362 m. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dengan ukuran 1-2 cm.

Gunung lumpur Medang Kamulan terletak paling utara di daerah penelitian. Gunung lumpur ini berada pada daerah pesawahan dan terdiri dari beberapa pusat erupsi. Satu pusat erupsi membentuk kenampakan seperti gunungapi tipe strato dengan diameter 20-30 m dan tinggi sekitar 8 m. Pusat erupsi lainnya membentuk kubah kecil dan beberapa kolam yang didominasi oleh air. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dan batulempung merah kehitaman. Pada tepian kolam dijumpai genangan-genangan kecil minyak bumi.

Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Globorotalia humerosa humerosa D’Orbigny, Glt. pseudomiocenica Bolli & Bermudez, Gds. ruber (D’Orbigny), Gds.diminutus Bolli, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Glt. peripheroronda Blow & Banner, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Globigerina praebulloides Blow, Glt. tumida (Brady), Glt acostaensis Blow, Glt. miocenicaPalmer, Glt. multicamerata Cushman & Bermudez, Glt. pseudoopima Blow, Gna venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18-N19 (Miosen-Pliosen), berikutnya N14 (akhir Miosen Tengah) dan N7-N9 (Miosen Awal-Tengah).(Gambar 6)

Kandungan foraminifera bentonik contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo terdiri dari Cassidulina subglobosa Brady, Uvigerina peregrina peregrina D’Orbigny, Uvigerina peregrina parvula Cushman, Elphidium advenum Cushman, Bullimina strata mexicana Cushman, Robulus sp., Nodosaria sp., Gyroidina soldanii D’Orbigny, Siphonina pulcra Cushman, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Textulariella simplex Cushman. Kumpulan foraminifera bentonik ini menunjukkan paleobatimetri neritik tengah dan batial atas. Kandungan foraminifera besar pada fragmen batugamping KE1 1 menunjukkan kandungan Miogypsina (Gambar 7), Amphistegina, Operculina, Operculinella dan Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Te5-Tf2 (Miosen Awal – Tengah). Contoh fragmen batuan KE1 2 didominasi oleh Cycloclypeus dan beberapa Amphistegina serta Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Tc-Tf3 (Oligosen – Miosen Akhir). Sedangkan fragmen KE1 3 mengandung Miogypsina, Amphistegina, Operculinella dan Austrotrilina howchini yang mengindikasikan umur Tf1 ( Akhir Miosen Awal).

Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Crewek menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Orbulina bilobata (D’Orbigny), Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis),

Page 194: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

185

Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Glt. fohsi fohsi Cushman & Ellisor, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis disjuncta (Finlay), Glt. tumida (Brady), Glt. miocenica Palmer, Glt. plesiotumida Blow& Banner, Gna venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Seperti halnya pada Gunung lumpur Kesongo maka kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18 (akhir Miosen Akhir), berikutnya N12 (Miosen Tengah)dan N7-N8 (akhir Miosen Awal). (Gambar 8)

Berbeda dengan Gunung lumpur Kesongo, kandungan bentonik foraminifera Gunung lumpur Crewek sedikit sekali. Hanya tiga spesimen dengan tiga spesies yang berbeda yaitu Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Gyroidina soldanii D’Orbigny. Kumpulan ini diinterpretasikan mempunyai paleobatimetri batial atas-tengah.

Contoh batunapal yang menutupi areal di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai kandungan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis seminulina Schwager, Globorotalia multicamerata Cushman & Bermudez, Gds. extremus Bolli dan Glt. miocenica Palmer. Kumpulan foram ini menunjukkan umur N17-N19 (Miosen-Pliosen). Kandungan foraminifera bentonik berupa Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus, Robulus sp., Nodosaria sp., Eponides umbonatus Reuss, Textulariella simplex Cushman, Pullenia quinqueloba (Reuss), Gyroidina soldanii D’Orbigny, Uvigerina peregrina parvula Cushman, Bullimina marginata D’Orbigny, Planulina foveolata D’Orbigny dan Elphidiella hannai (Cushman & Grant). Kandungan foraminifera bentonik ini mengindikasikan paleobatimetri batial atas.

Penarikan umur dari beberapa contoh lumpur diambil dari kisaran umur yang tertua yang ditemukan. Hal ini dilakukan mengingat lumpur pada gunung lumpur terbentuk karena adanya lapisan kaya lumpur mengalami tekanan overburden dari lapisan penutup yang tebal yang kemudian keluar memotong beberapa lapisan batuan di atasnya. Umur fosil yang lebih muda diperkirakan berasal dari batuan-batuan lebih muda yang diterobos oleh lumpur. Struktur pada daerah ini tidak seperti yang berkembang di Zona Kendeng dimana lipatan dan sesar anjak banyak djumpai. Struktur yang berkembang di daerah ini dianggap lebih cenderung menyerupai struktur yang berkembang di Zona Rembang. Akibatnya tidak ada batuan tua di atas batuan yang lebih muda akibat adanya sesar-sesar naik. Sehingga batuan yang menjadi sumber lumpur diperkirakan berasal dari batuan yang tertua yang bisa teramati dari kumpulan fosilnya.

Kumpulan fosil foraminifera planktonik tertua dari Gunung lumpur Kesongo menunjukkan umur N7-N9. Umur ini sebanding dengan umur batuan yang membentuk Formasi Tawun – Ngrayong. Pada Gunung lumpur Crewek kumpulan fosil tertua menunjukkan umur N7-N8 yang sebanding dengan umur batuan pada Formasi Tawun. Formasi Tawun mempunyai kandungan batuan halus seperti batulempung dan batulanau yang cukup dominan. Kandungan batulempung dan batulanau ini yang diinterpretasikan sebagai sumber lumpur pada beberapa gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora.

Fosil-fosil berumur muda dari contoh lumpur(N12, N14 dan N18-N19) menunjukkan batuan-batuan yang termuda yang terterobos oleh lumpur. Berdasarkan kandungan fosil tersebut maka batuan-batuan yang terterobos merupakan batuan penyusun Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok hingga Mundu. Sementara dari fragmen batuanpada Gunung lumpur Kesongo yang mengandung foraminifera besar berumur Miosen Awal – Akhir menunjukkan kesamaan dengan batuan-batuan penyusun Formasi Ngrayong dan Wonocolo. Kedua formasi ini banyak memiliki batugamping dengan

Page 195: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

186

kandungan foraminifera besar yang melimpah. Batuan-batuan ini diduga diterobos oleh lumpur yang berasal dari Formasi Tawun yang terletak di bawah Formasi Wonocolo dan Ngrayong.

Batunapal yang berada di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai umur N17-N19 dan paleobatimetri batial atas-tengah. Umur dan paleobetimetri ini sesuai dengan umur dan paleobatimetri batuan-batuan penyusun Formasi Mundu. Sehingga selain sebagai formasi yang diterobos oleh gunung lumpur, di beberapa tempat Formasi Mundu diperkirakan bertindak sebagai lapisan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar Gunung lumpur Kesongo.

KESIMPULAN

Berdasarkan kandungan foraminifera yang dijumpai dalam lumpur maupun fragmen batuan maka dapat disimpulkan :

1. Batuan sumber gunung lumpur di daerah Purwwodadi-Blora berasal dari Formasi Tawun.

2. Batuan yang terterobos meliputi batuan-batuan dari Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok dan Mundu.

3. Selain sebagai batuan yang diterobos oleh lumpur, batunapal Formasi Mundu juga bertindak sebagai batuan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar gunung lumpur Kesongo.

PUSTAKA

DAVIES, R., MANGA, M., TINGAY, M., AND SWARBRICK, R., 2011, Fluid transport properties and estimation of overpressure at the Lusi mud volcano, East Java Basin, Engineering Geology 121 (2011) 97-99, Elsevier.

DAVIES, R.J., BRUMM, M., MANGA, M., RUBIANDINI, R., SWARBRICK, R., AND TINGAY, M., 2008, The East Java mud volkano (2006 to present): An Earthquake or drilling trigger?, Earth and Planetary Science Letters 272 (2008), 627-638, Elsevier.

ISTIADI, B.P., WIBOWO, H.T., SUNARDI, E., HADI, S., AND SAWOLO, N., 2012, Mud Volcano and Its Evolution, Earth Sciences, Dr. Imran Ahmad Dar (Ed.), ISBN: 978-853-307-861-8, InTech

MAZZINI, A., SVENSEN, H., AKHMANOV, G.G., ALOISI, G., PLANKE, S., MALTHE-SORENSSEN, A., AND

ISTADI, B., 2007, Triggering and dynamic evolution of the Lusi mud volcano, Indonesia, Earth and Planetary Science Letters 261 (2007), 375 - 388, Elsevier.

MAZZINI, A., NERMOEN, A., KROTKIEWSKI, M., PODLADCHIKOV, Y., PLANKE, S., SVENSEN. H.,2009, Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia, Marine and Petroleum Geology 26 (2009), 1751 - 1765, Elsevier.

MORI, J., KANO, Y., 2009, Is the 2006 Yogyakarta Earthquake Related to the Triggering of the Sidoarjo, Indonesia Mud Volcano?, Journal of Geography 118 (3) 492 – 498 2009.

RIDD, M.F., 1970, Mud Volcanoes in New Zealand, The American Association of Petroleum Geologists Bulletin v. 54, No. 4 (April, 1970), P. 601 – 616, 13 Figs.

RUDOLPH, M.L., SHIRZAEI, M., MANGA, M., AND FUKUSHIMA, Y., 2013, Evolution and Future of the Lusi Mud Eruption Inferred from Ground Deformation, Geophysical Research Letters, vol 40,1-4, doi:10.1002/grl.50189.

Page 196: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

187

RUDOLPH, M.L., KARLSTROM, L., AND MANGA, M., 2011, A prediction of the longevity of the Lusi mud eruption, Indonesia, Earth and Planetary Science Letter308 (2011), 124-130, Elsevier, doi:10.1016/j.epsl.2011.05.037.

SATYANA, A.H., AND ASNIDAR, 2008, Mud Diapirs and Mud Volkanoes in Depressions of Java to Madura : Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, Proceedings, Indonesian Petroleum Association, 32nd annual Convention & Exhibition, May 2008, p. 139-158, Jakarta.

VAN BEMMELEN, R. W., 1970, The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of Indonesia and Adjencent Archipelago, 2nd Edition, Goverment Printing Office, The Haque.

Page 197: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

188

Page 198: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

189

Page 199: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

190

Page 200: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

191

Page 201: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

192

Page 202: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

193

SS 2 - BIOSTRATIGRAFI NANNOFOSSIL GAMPINGAN, LINTASAN GUNUNG TEMAS KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, PROPINSI JAWA TENGAH

1Yohannes ARDHITO, 2AKMALUDDIN

1. Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada 2. Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

SARI

Lokasi penelitian berada di daerah Bayat, Klaten, Propinsi Jawa Tengah, tepatnya berada di Gunung Temas. Lokasi dipilih karena merupakan perbukitan dengan litologi berupa batuan sedimen karbonat, dan batuan beku. Perbukitan tersebut terletak di bagian paling timur dari Perbukitan Jiwo, Bayat dan jajaran bagian paling utara dari Pegunungan Selatan. Peneliti menggunakan nannofosil sebagai objek penelitian karena belum pernah dilakukan penelitian yang serupa di daerah penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan zonasi biostratigrafi serta korelasi umur dengan biostratigrafi di lokasi lain pada Formasi yang sama. Metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan zonasi biostratigrafi menggunakan metode zona selang dengan melihat awal kemunculan dan atau akhir kemunculan spesies fosil indeks. Dari data lapangan dapat dibuat peta geologi dengan tujuh satuan batuan yaitu Satuan diorit, Satuan packstone, Satuan perselingan wackestone dengan napal, Intrusi diabas, Satuan packstone dengan sisipan napal, Satuan pasir lempungan, dan Satuan lempung pasiran. Biostratigafi nannofosil gampingan pada Gunung Temas terdiri dari 2 zona yaitu zona NN10 (Zona Discoaster calcaris), dan zona NN 11 (Zona Discoaster quenqueramus)atau ekuivalen dengan umur Tengah - Akhir Miosen Atas. Biostratigrafi nannofosil yang dihasilkan relatif lebih muda dengan Biostratigrafi nannofosil Formasi Oyo di daerah Pegunungan Selatan, yaitu pada Jalur Kali Ngalang.

Kata kunci: Biostratigrafi, Nannofosil, Gunung Temas, Pegunungan Selatan.

PENDAHULUAN

Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya jenis litologi yang tersingkap secara cukup komplek. Selain itu, pada lokasi penelitian tersingkap batuan karbonat yang terletak di bagian paling utara dari jajaran batuan karbonat di pegunungan selatan, yaitu pada Gunung Temas (Gambar 1). Berdasarkan ulasan dari peneliti pendahulu pada daerah tersebut belum pernah dilakukan pembahasan mengenai umur atau biostratigrafi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur batuan dengan menyusun zona biostratigrafi nannofosil, kemudian membandingkan dengan biostratigrafi dari formasi yang sama.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan melengkapi data biostratigrafi nannofossil di Pegunungan Selatan pada daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah tepatnya pada daerah Gunung Temas dan Gunung Lanang yang hingga saat ini belum dilakukan.

Page 203: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

194

Gambar 1. Lokasi Penelitian

GEOLOGI REGIONAL

Geomorfologi daerah penelitian menurut [1], termasuk ke dalam Zona depresi tengah.Tepatnya berada di daerah paling timur dari perbukitan Jiwo Timur, Bayat. Morfologi daerah penelitian terdiri dari dataran alluvial dan perbukitan struktural. Penamaan ini mempertimbangkan dari keadaan daerah penelitian sebenarnya yang merupakan daerah morfologi positif akibat pengangkatan.

Berdasarkan ulasan dari beberapa peneliti pendahulu, Stratigrafi daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Oyo. Pada Formasi tersebut batuan penyusun yang dominan meliputi perselingan Batugamping dengan Napal.

Berdasarkan struktur geologinya daerah penelitian masih termasuk rangkaian struktur geologi Pegunungan Selatan. Menurut Sudarnodalam Hakimi [2] ada 4 pola struktur yang berkembang Kompleks Pegunungan Selatan diantaranya arah Timur laut – Barat daya, arah Utara – Selatan, arah Barat laut – Tenggara, arah Timur – Barat.Pada daerah penelitian memang tidak nampak jelas terdapat data struktur primer, namun ketika dilakukan pemetaan, ditemukan beberapa data struktur yang sesuai dengan pola Timur Laut – Barat Daya.

DATA DAN METODOLOGI

Data yang dihasilkan pada penelitian ini adalah Peta Geologi (Gambar2) yang memiliki sepuluh tujuh batuan (litostratigrafi) yaitu Satuan diorit, Satuan packstone, Satuan perselingan wackestone dengan napal, Intrusi diabas, Satuan packstone dengan sisipan napal, Satuan pasir lempungan, dan Satuan lempung pasiran. Selain itu dilakukan juga pengukuran lintasan stratigrafi untuk mendapatkan conto batuan pada setiap lintasan(Lampiran1, 2). Dari data yang telah didapat, maka data yang terpenting adalah data Nannofosil yang telah diamati dari conto batuan. Data yang digunakan terdiri dari 13 conto batuan pada Gunung Temas.Conto batuan tersebut dipreparasi dengan metode smear kemudian diamati dibawah mikroskop polarisasi yang menggunakan minyak imersi pada lensa objektifnya dengan perbesaran 1000x. Pengamatan setiap slide dilakukan sebanyak 200 medan pandang. Dari hasil pengamatan, pada Gunung Temas berkisar antara 10 – 1000 individu fosil pada tiap conto yang diamati. Data tersebut disusun dalam

Page 204: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

195

tabel distribusi nannofosil. Kemudian untuk menyusun Biostratigrafinya digunakan metode zona selang. Zona tersebut menekankan pada awal kemunculan dan atau akhir kemunculan spesies indeks nannofosil.

Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian

HASIL PENGAMBILAN DATA

Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari 2 jenis batuan, yaitu batuan beku dan batuan sedimen karbonat, satuan tersebut adalah:

a. Satuan diorit

Satuan Diorit ini berada di daerah Gunung Temas tepatnya pada lokasi sekitar penambangan, dengan koordinat 464398 9141438 zona 49S. Satuan ini berupa Intrusi Diorit berwarna hitam dengan kristal yang berukuran cukup halus (<0,5 mm – 1,5 mm), tekstur porfiroafanitik, terlihat kenampakan plagioklas yang tabular pada batu ini. Komposisi berupa hornblende, plagioklas dan mineral opak lain. Keadaan batuan pada satuan ini tidak begitu baik, karena sebagian besar sudah mengalami pelapukan jenis membola. Satuan ini juga mengkontak langsung dengan batuan sedimen diatasnya tanpa adanya efek bakar, namun terdapat bidang erosi dan pembajian lapisan sedimen diatasnya (Gambar 3). Hal ini diinterpretasikan sebagai intrusi karena teksturnya porfiroafanitik dan tidak memiliki struktur vesikuler, selain itu diperkirakan berumur tua karena terdapat bukti bidang erosi yang menunjukkan bahwa batuan tersebut telah tersingkap terlebih dahulu.

Page 205: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

196

b. Satuan packstone

Gambar 3. Satuan packstone yang menumpang diatas Satuan diorit

Satuan ini berada di kawasan Gunung Temas tepatnya pada koordinat 464395 mT dan 9141444 mU. Satuan ini pada bagian bawah langsung kontak dengan batuan beku dengan jenis Diorit dengan jenis kontak non-conformity(Gambar 3). Satuan ini berada pada penambangan batugamping oleh warga. Karakter batuan pada Gunung Temas memiliki kandungan Packstone lebih melimpah dari segi ketebalannya, ketebalan Packstone rata – rata berkisar antara 20 cm – 40 cm, sedangkan untuk napal hanya memiliki ketebalan rata –rata sekitar 5 cm – 10 cm saja, dan pada beberapa lapisan napal tidak terlalu bersifat karbonatan. Hal tersebut terjadi akibat proses diagenesis dengan tipe pelarutan sudah berkembang dengan baik. Pemerian batuan secara makroskopisnya adalah Packstone berwarna putih kekuning – kuningan, dengan ukuran butir pasir halus – pasir kasar (1 mm – 2 mm), sortasi baik, grain supported dengan sedikit kandungan mud karbonat, struktur sedimen yang dominan pada lokasi ini adalah slump, flaser, laminasi, gradasi normal, dan load cast. Komposisi dari batuan ini adalah foram bentonik besar pada bagian dekat kontak dengan batuan beku, kemudian foram planktonik, kalsit dan sedikit kandungan mud karbonat. Sedangkan Napal berwarna putih kecoklat – coklatan, dengan ukuran butir lempung – lanau (<1/256 mm – 1/16 mm), mud supported, dengan struktur sedimen berupa laminasi, dan gradasi normal dari packstone. Komposisinya adalah material sedimen berukuran lempung – lanau, terkadang terlihat kandungan foram planktonik.

c. Satuan perselingan wackestone dengan napal

Satuan ini berada pada bagian tengah dari Gunung Temas, dimulai pada koordinat 464477 mT dan 9141453 mU. Satuan ini berbeda dengan satuan lain secara asosiasi litologinya. Asosiasi litologi pada satuan ini adalah wackestone yang memiliki rata – rata ketebalan antara 20 – 30 cm sedangkan untuk napal hanya 5 – 10 cm saja. Pada bagian tengah dari satuan ini terdapat kontak dengan batuan beku yang memiliki jenis intrusi oleh batuan beku dengan jenis Diabas. Pemerian batuannya adalah Wackestone memiliki warna yang lebih cerah, yaitu putih keabu – abuan, dengan ukuran butir pasir halus – pasir sedang 1/16 mm – 1 mm), sortasi buruk, mud supported, struktur sedimen yang sering muncul adalah gradasi normal dengan napal, namun tidak dijumpai laminasi, kemudian untuk komposisinya terdiri dari butiran foram planktonik, kalsit, dan material karbonat berukuran pasir halus. Kemudian untuk Napal dengan warna abu – abu ke coklat – coklatan, dengan ukuran butir lempung – lanau (<1/256 mm – 1/16 mm), struktur sedimen yang melimpah

Page 206: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

197

adalah laminasi, gradasi normal dari wackestone, dan slump. Sedangkan komposisinya terdiri dari mineral karbonat berukuran lempung – lanau, banyak mengandung mud karbonat, di beberapa lapisan ada yang cukup melimpah fosil foram kecilnya.

d. Satuan diabas

Gambar 4. Satuan diabas (A) yang menembus Satuan perselingan wackestone dengan napal (B), serta inklusif Satuan perselingan wackestone dengan napal (C)

Satuan Batuan ini terdapat disebelah utara dari lokasi penambangan utama pada Gunung Temas, tepatnya pada 464466mT dan 9141645 mU. Berdasarkan kenampakan lapangan, Satuan ini menembus satuan perselingan wackestone dengan napal (Gambar 4). Batuan pada satuan ini berwarna abu – abu kecoklat – coklatan, ukuran kristalnya sedang tekstur porfiroafanitik. Komposisi mineralnya adalah plagioklas, hornblenda, biotit dan mineral opak lain sebagai massa dasar, kenampakan plagioklasnya menjarum dan saling menyusun seperti jari - jari.

e. Satuan packstone dengan sisipan napal

Satuan ini merupakan satuan batuan paling muda. Satuan ini memiliki keberadaan struktur slump semakin dominan. Permerian batuannya adalah Packstone berwarna putih kekuning – kuningan, dengan ukuran butir pasir halus – pasir kasar (1 mm – 2 mm), sortasi baik, grain supported dengan sedikit kandungan mud karbonat, struktur sedimen yang dominan pada lokasi ini adalah flaser, laminasi, gradasi normal, dan load cast. Komposisi dari batuan ini adalah foram bentonik besar pada bagian dekat kontak dengan batuan beku, kemudian foram planktonik, kalsit dan sedikit kandungan mud karbonat. Sedangkan Napal hanya menyisip di beberapa bagian memiliki warna abu – abu ke coklat – coklatan, dengan ukuran butir lempung – lanau (<1/256 mm – 1/16 mm). Sedangkan komposisinya terdiri dari mineral karbonat berukuran lempung – lanau, banyak mengandung mud karbonat, di beberapa lapisan ada yang cukup melimpah fosil foram kecilnya.

f. Satuan pasir lempungan

Satuan ini berada pada daerah sekitar perbukitan dan berada di daerah pemukiman. Endapan ini berisi oleh material pasiran yang dominan sedangkan lempungannya tidak terlalu dominan. Diperkirakan endapan ini berasal dari runtuhan atau jatuhan dari bukit – bukit yang ada disekitar endapan ini.

Page 207: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

198

g. Satuan lempung pasiran

Satuan ini berada pada daerah yang lebih datar, jauh dari perbukitan dan berada pada daerah persawahan. Material pengisi endapan ini lebih dominan berupa lempungan dibandingkan dengan pasiran. Diperkirakan endapan ini sudah hasil dari proses fluvial.

Biostratigrafi

Dari data tabel distribusi yang telah disusun berdasarkan hasil pengamatan setiap lintasan, dengan didasari metode zona selang, maka dibuatlah biostratigrafi pada lintasan Gunung Temas (Lampiran 3).

Penelitian ini mengaku pada Zonasi standar Martini [3]. Sehingga didapatkan zona pertama yaitu Zona NN10 yang dibatasi pada bagian atas oleh kemunculan awal Discoaster quenqueramus. Kemudian zona selanjutnya adalah Zona NN11. Berikut penjelasan mengenai zonasi pada lintasan Gunung Temas:

a. Zona Discoaster calcaris / Zona NN10

Zona ini merupakan zona parsial karena hanya dibatasi oleh kemunculan awal dari spesies Discoaster quenqueramus pada bagian atas. Pemunculan awal spesies Discoasterquenqueramus sebagai datum sesuai dengan datum yang dipilih oleh Martini [3] dalam penentuan batas awal dari Zona NN11 sedangkan Okada & Bukry [4] memiliki pemunculan akhir dari Discoasterberggrenii sebagai penentu batas awal dari Zona CN9 serta Backman et al [5] juga memiliki pemunculan akhir dari Discoasterberggrenii sebagai penentu batas awal CNM16. Pada penamaan zona ini penulis memilih menyamakan dengan Martini [3], karena penentuan batas yang ditentukan oleh Okada & Bukry [4] maupun Backman et al [5] tidak ditemukan oleh penulis, sehingga zona ini dinamakan sebagai Zona Discoastercalcaris. Conto batuan yang mewakili zona ini adalah GT 1, GT 2, GT 4 dan GT 5.

Fosil penciri dari zona ini adalah Discoastercalcaris, dan Discoaster neohamatus.Fosil yang berada bersamaan dengan fosil penciri pada conto batuan pada zona ini antara lain: Amaurolithus amplificus, Angulolithina arca, Coccolithus pelagicus, Cyclococcolithus leptoporus, Cyclococcolithus macintrey, Discoaster brouweri, Discoaster challangeri, Discoaster pansus, Discoaster pentaradiatus, Discoaster variabilis, Hayaster persplexus, Helicosphaera kampteri, Pontosphaera multipora, Rhabdasphaera clavigera, Reticulofenestra minuta, Reticulofenestra minutula, Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolithus abies.

Selain fosil penciri, pada zona ini terdapat fosil rework antara lain: Catinaster coalitus(GT1 – GT4), Coccolithus miopelagicus (GT1, GT4, &GT5), Coronococcolitus niticens (GT2 & GT5), Cyclocargolithus floridanus (GT4 & GT5), Discoaster deflandre (GT1 & GT4), Discoaster druggi (GT1 & GT2), Discoaster hamatus (GT1 – GT5), Sphenolithus moriformis (GT2, GT4 & GT5).

Zona parsial ini dapat dikorelasikan dengan Zona NN10 / Zona Discoaster calcaris[3] atau dengan Zona CN8 / Zona Discoaster neohamatus[4] atau dengan Zona CNM14 / Zona Discoaster bellus hingga Zona CNM15 / Zona Reticulofenestra pseudoumbilica[5]. Umur absolutnya menurut Haq [6] yang menggunakan metode magnetostratigrafi adalah 9.2 - 8.1 juta tahun yang lalu dengan kisaran umur dari zona ini 1.1 juta tahun.

Batas akhir zona ini (NN10) diwakili oleh conto batuan dengan nomor GT 5 kemudian batas awal dari zona setelahnya (NN11) diwakili oleh conto batuan GT 6. Batas ketebalan antara conto batuan GT 5 dengan GT 6 adalah 165 cm, sehingga

Page 208: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

199

batas antara zona NN10 dengan Zona NN11 kemungkinan hanya bisa bergeser antara 165 cm tersebut. Oleh karena itu, nilai ketepatan biozonasinya dapat dinilai cukup baik.

b. Zona Discoaster quenqueramus / Zona NN11 Zona ini merupakan zona parsial karena hanya ditemukan batas bawahnya saja, yaitu kemunculan awal dari spesies Discoasterquenqueramus. Datum berupa kemunculan awal dari spesies Discoasterquenqueramus ini digunakan oleh Martini [3] sebagai batas awal dari zona NN11, sedangkan menurut Okada & Bukry [4] dan Backman et al. [5], datum awal dari Zona CN9 atau CNM16 – 19 yang ekuivalen dengan Zona NN11 adalah pemunculan awal dari Discoasterberggrenii atau pemunculan akhir dari Discoasterneorectus. Martini (1971) dan Okada & Bukry [4] memberi nama zona ini sebagai Zona Discoasterquenqueramus. Sedangkan Backman et al. [5] membagi lagi zona ini hingga 4 zona, yaitu CNM16 / Zona Discoaster berggrenii, CNM17 / Zona Amaurolithus primus, CNM18 / Zona Nicklithus amplificus, dan CNM19 / Zona Discoaster quenqueramus. Conto batuan yang mewakili zona ini adalah GT6, GT7, GT8, GT9, GT11, GT13, GT15, GT16 dan GT 18.

Fosil penciri dari zona ini adalah Discoasterquenqueramus.Fosil yang berada bersamaan dengan fosil penciri pada conto batuan pada zona ini antara lain: Amaurolithus amplificus, Angulolithina arca, Cyclococcolithus leptoporus, Cyclococcolithus macintrey, Coccolithus pelagicus, Discoaster brauweri, Discoaster pentaradiatus, Discoaster variabilis, Hayaster persplexus, Helicosphaera kampteri, Pontosphaera multipora, Reticulofenestra minuta, Reticulofenestra minutula, Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolitus abies, Sphenolitus moriformis.

Selain fosil penciri, pada zona ini terdapat fosil rework antara lain: Catinaster coalitus(GT13), Coccolithus miopelagicus (GT7, GT9, GT15 – GT18), Coronococcolitus niticens (GT6 – GT9, GT13, GT16 – GT18), Cyclocargolithus floridanus (GT6, GT7, GT9, GT13 – GT18), Discoaster deflandre (GT9), Discoaster calcaris (GT6 – GT9, GT13, GT16 – GT18), Discoaster druggi (GT6, GT8, GT9, GT13, GT16, GT18), Discoaster hamatus (GT9), Discoaster neohamatus (GT6 – GT18), Helicosphaera ampliaperta (GT6, GT8), Helicosphaera rhomba (GT6, GT8, GT13), Sphenolithus moriformis (GT6 – GT9, GT13 – GT18).

Berdasarkan pengamatan, pada zona ini terdapat beberapa fosil yang melimpah secara mencolok antara lain: Discoaster brouweri, Discoaster calcaris, Discoaster variabilis, Helicosphaera kampteri, Reticulofenestra minutula, Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolithus abies pada conto batuan GT13, dan Sphenolithus moriformis pada conto batuan GT8 dan GT13. Spesies dengan kelimpahan terbesar dalam zona ini adalah Reticulofenestra pseudoumbilica. Selain itu, dari kelimpahan terbesar beberapa spesies terdapat pada conto batuan GT13 sehingga diinterpretasikan bahwa pada titik tersebut terjadi proses rework. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena sebagian besar fosil pada zona ini adalah fosil rework.

Zona ini dapat dikorelasikan dengan Zona NN11 / Zona Discoaster quenqueramus[3] atau dengan Zona CN9 / Zona Discoaster quenqueramus[4] atau ekuivalen dengan Zona CNM16 – CNM19 [5]. Umur absolutnya menurut Haq [6] yang menggunakan metode magnetostratigrafi adalah 8.1 – 5.4 juta tahun yang lalu dengan kisaran umur dari zona ini 2.7 juta tahun.

Page 209: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

200

DISKUSI

Korelasi Biostratigrafi Pegunungan Selatan

Penyebandingan atau korelasi biostratigrafi dilakukan terhadap beberapa peneliti pendahulu (Gambar 5). Peneliti pendahulu yang telah melakukan penelitian biostratigrafi pada Formasi Oyo adalah Susilo [7] yang menggunakan data nannofosil untuk menyusun biostratigrafinya serta penelitian dilakukan dengan cara MS dan pengambilan sampel secara sistemastis dengan daerah penelitian di Kali Ngalang. Penilitian tersebut menghasilkan umur Formasi Oyo antara NN8 – NN10. Sedangkan telitian penulis memiliki kisaran umur antara NN7 – NN10.

Berdasarkan hasil perbandingan biostratigrafi pegunungan selatan antara telitian penulis dengan telitian peneliti pendahulu [7][8][9][10][11], maka dibandingkan secara stratigrafi dengan hasil yang paling dekat yaitu telitian milik Susilo [7]. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan fasies yang terdapat di lokasi penelitian dengan lokasi penelitian Susilo [7]. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan fasies antara lokasi penelitian dengan lokasi penelitian terdahulu akibat lokasi pengendapannya yang berbeda. Selain itu, berdasarkan korelasi secara umur, penelitian Susilo [7] mencakup umur Formasi Oyo yang lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian penulis merupakan baguan dari formasi oyo yang lebih muda dengan umur yang berada diatas hasil telitian dari Susilo [7]. Pada lokasi penelitian Susilo [7], terjadi perbedaan umur antara nannofosil dengan mikrofossil yang cukup signifikan dengan hasil umur mikrofosil lebih tua daripada nannofosil [7][8], hal ini juga diperkirakan terjadi di lokasi penelitian Penulis. Hal ini terjadi diperkirakan karena fosil foraminifera kecil mengalami rework. Hal ini disimpulkan dari karakter litologi daerah penelitian yang memiliki banyak struktur pengendapan berupa struktur nendatan, yang berarti terjadi runtuhan pada saat pengendapan.

Gambar 5. Korelasi biostratigrafi Pegunungan Selatan

N 17

N15

N11N10

N8

NN4

12.5

13.5

14.2

15.6

8.1

9.2

12

MIO

SE

N

NN11

NN9

NN5

N13

N14

N16

AK

HIR

N9

TE

NG

AH

AW

AL

N7

NN8

N12

NN7

UM

UR

ZO

NA

SI

MA

RT

INI,

19

71

ZO

NA

SI

BL

OW

, 1

96

9

PR

IYA

NT

O,

19

96

(FO

RA

MIN

IFE

RA

PL

AN

KT

ON

)

UM

UR

AB

SO

LU

T

HA

Q,

19

84

PA

RA

MIT

HA

,

19

86

(FO

RA

MIN

IFE

RA

SU

SIL

O,

20

02

(NA

NN

OF

OS

IL

GA

MP

ING

AN

)

PE

NU

LIS

, 2

01

3

(NA

NN

OF

OS

IL

GA

MP

ING

AN

)

KA

DA

R D

., 1

98

6

(FO

RA

MIN

IFE

RA

PL

AN

KT

ON

)

KA

DA

R A

.P.,

19

90

(NA

NN

OF

OS

IL

GA

MP

ING

AN

)

Formasi Sambipitu Formasi Oyo

NN6

NN10

Page 210: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

201

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari pengamatan data, serta pembahasan didapatkan kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis yang lokasinya berada di Gunung Temas dan sekitarnya. Kesimpulan tersebut antara lain:

a. Zonasi Lintasan Gunung Temas dapat dibagi kedalam 2 zona, yaitu: i. Zona Discoaster calcaris yang ekuivalen dengan zona NN10 [3] atau zona CN8 [4]

serta batas akhir dari zona CNM 14 [5] serta ekuivalen dengan pertengahan N16 [12]

ii. Zona Discoasterquenqueramus yang ekuivalen dengan zona NN11 [3] atau zona CN [4] serta batas akhir dari zona CNM 16-19 [5] serta ekuivalen dengan pertengahan N16 – N17 [12].

b. Dari kemunculan zona – zona yang ada di daerah penelitian diperoleh umur dari lokasi penelitian, yaitu mulai dari Miosen Atas bagian tengah hingga akhir. Berdasarkan umur absolut oleh Haq [6] adalah 9,2 juta tahun yang lalu – 5.4 juta tahun yang lalu.

c. Perbandingan biostratigrafi lokasi penelitian dengan pegunungan selatan menunjukkan bahwa lokasi penelitian terendapkan belakangan daripada batuan yang diendapkan di pegunungan selatan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Bapak Sugeng Sapto Suryono selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM, Bapak Indra Novian dan Bapak Sugeng Wijono yang tak henti – hentinya memberi saran dan masukan, serta seluruh pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] BEMMELEN, R.W. VAN, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff, The Hague: 1-732, 1949.

[2] HAKIMI, D.A., HUSEIN, S., SRIJONO, “Indeks Geomorfik Sebagai Morfoindikator Geologi Das. Gobeh, Kabupaten Gunungkidul – DIY” In: Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi – IST Akprind, Yogyakarta, Pp. 38 – 48.

[3] MARTINI, E., “Standard tertiary and quartenary calcareous nannoplankton biozonation”. In : FARRINACCI A. Ed., Proc. 2nd Plank. Conf. Roma, 1970, vol. 2 technoscienza, Roma, 739-785. 1971.

[4] OKADA, H. & BUKRY, D., “Suplementary modification and introduction of code numbers to the low latitude coccolith biostratigraphic zonation (Bukry, 1973; 1975)”. Mar. Micropal., Elsevier Sci. Publ. Co., Amsterdam, 321 -325. 1980.

[5] BACKMAN, J., DKK., Biozonation and biochronology of Miocene through Pleistocene calcareous nannofossils from low and middle latitudes, In:Newslettes on Stratigraphy Vol. 45 Number 3, pp. 221 – 224, Germany: Schweizerbart Science Publishers, 2012.

[6] HAQ, B. U.,Nannofossil biostratigraphy. Benchmark Paper in Geology 78, 386pp.1984

[7] SUSILO, T., Biostratigrafi Nannofosil Gampingan Formasi Oyo Lintasan Kali Ngalang Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (S.T.), Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta, 2002.

Page 211: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

202

[8] PARAMITA, E., Geologi Daerah Nglipar Dan Sekitarnya, Kabupatern Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (S.T.), Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta, 1996.

[9] KADAR, D., 1986, Neogene Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy of The South Central Java Area Indonesia. Geological Research and Development Centre, Special Publication, No. 5, h. 1 – 103.

[10] KADAR, A.P., “Biostratigrafi Nannofosil Miosen Bawah – Miosen Tengah Formasi Sambipitu Serta Korelasinya dengan Biostratigrafi Foraminifera Plangton”. Proceedings PIT XIX IAGI, Bandung, pp 201 – 214, 1990.

[11] PRIYANTO, A. W., Biostratigrafi dan Penentuan Umur Formasi Ngglanggran dan Formasi Oyo Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Kali Ngalang, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (S.T.), Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, 1986.

[12] BLOW, W.H., Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminiferal biostratigraphy. In: Intemational Conference on Planktonic Microfossils, No. 1, 1967, Proceedings, Vol. 1, p. 199-422, Genoa, 1969.

Page 212: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

203

LAMPIRAN1. Kolom Stratigrafi Lintasan Gunung Temas 1 beserta Posisi Conto

Batuan

Page 213: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

204

LAMPIRAN2. Kolom Stratigrafi Lintasan Gunung Temas 2 beserta Posisi Conto

Batuan

Page 214: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

205

LA

MP

IRA

N 3

. Bio

stra

tig

rafi

Lin

tasa

n G

un

un

g T

em

as

Page 215: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

206

LAMPIRAN 4. PLATE 1

Page 216: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

207

LAMPIRAN 5. PLATE 2

Page 217: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

208

Page 218: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

209

SS 3 - THE SAND-RICH TIDE DOMINATED DELTA MODEL OF BANGKO FORMATION IN “AB” AREA

USING HIGH-RESOLUTION SEQUENCE STRATIGRAPHY AND ICHNOFACIES ANALYSIS

Mohamad Amin Ahlun NAZAR1, Alfredo Di STEFANO1*, Ananyamatya Bella TALITA1,

Jarot SETYOWIYOTO1, Kirandra Ferari Budi PRASODJO2

1 Geological Engineering Department, Gadjah Mada University

2 Chevron Pacific Indonesia

Poster exhibitor in Thirty-Seventh Annual Convention and Exhibition Indonesian Petroleum Association, Jakarta, May 2013

ABSTRACT

AB area is located in the most prolific Basin in Indonesia, Central Sumatra Basin. In this location, Bangko Formation has been reevaluated using modern concept and facies model. In this study, 2 core wells and 134 well logs were examined. The method consists of several step (1) core analysis, (2) electrofacies calibration, (3) Hi-resolution sequence stratigraphy correlation, (4) Facies mapping in the Bangko Formation. Core analysis reveals evidence to approve the tidal control: tidal bundles; mud drapes; heterolithic stratification; glauconite; hummocky and through cross bed; wavy and lenticuler sedimentary structure and fluid mud existence within the conglomerate thalweg deposit. Ichnofacies analysis was firstly used in the area and it is give significant result in appearance of Zoophycos, Cruziana, and Skolithos that shows progradation trend in the stratigraphic record. High-resolution sequence stratigraphy correlation within the area result in lateral geometry of depositional facies of the area, they are the Tidal Channel, Tidar Bar, Subtidal Bar, and Shelf Ridges, also accompanied mudstone and siltstone as local seal of the Prodelta, Delta Front and Tidal Flat facies. The facies maps revealing the geometry of the delta itself, it is having funnel shape channel geometry bounded by tidal point bar and tidal flat facies. This channel is prograding and has Tidal Bars on top of it, which were the series of the Channel-Bar-Tidal Flat succession. This bars are built by control of tide and have elongate shape parallel to the sedimentation direction. These data and interpretation are used to build the model of tide dominated delta at Early Miocene age. This comprehensive study offering another reference to approach the Bangko succession as deposit of sand-rich tropic tide dominated delta in Central Sumatra Basin.

INTRODUCTION

Central Sumatra Basin is located in the mid north east side of Sumatra Island, at the edge of Sundaland. This basin is the most prolific basin in Indonesia (Sujanto, 1997). Several uplifted area exist in this basin, they are Rokan, Minas, Beruk, Sembilan, Kubu, and Kampar. Location of the study area is inside the Rokan High, where Early Miocene Bangko Formation has been examined.

The basin in the Early Miocene age having different tectonic regime from today where tectonic quiescence occur formed the sag long-horn basin followed by strike slip faulting, absence of volcanic activity and sea level at the highstand position (Heidrick and Aulia, 1993).

Paleogeographic setting from Early Miocene (Figure 1) concluded that Central Sumatra Basin consists of shallow marine area, hinterland to the east, (Mertosono and

Page 219: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

210

Nayoan, 1974), basement high in several location acted as wave barrier and deeper marine to the west while Willis et al., (2010) explain that Deltaic environment has been transgressed during Miocene to the NE. At this geographic setting, shallow marine with macrotidal-mesotidal environment should be exist.

There are similar geographic settings with present high stand sea level condition; Fly River Delta in Papua New Guinea and Chang Jiang River are one the examples. In this location, sediment transported into wide open Pacific Ocean while tidal current reworks the sediment back into the land. Fly River is one of the area that sediment prograde and and formed delta. Specifically because it is prominent to the sea, this delta is affected and dominated by tides that makes it having a distinct sedimentary environment, the tide dominated delta (see more in Dalrymple and James, 2011). This present delta is the key to the past, where Bangko Formation at the “DR” is suspected having the same tidal control from the open ocean at the Early Miocene.

Laing and Atmodipuro (1990) state that at the Early Miocene age Bangko Formation in “DR” deltaic environment has been developed. Johansen and Semimbar (2010) also report that tide dominated delta environment in Central Sumatra Basin occurred in the early Miocene characterized by tropical climate with sand dominated sediment that occurs by two tier architectures, the first is upper tier consist of fluviotidal and proximal mouth bar and the second is the lower tier that consists of marine bar and mud.

This research aims to develop a facies and depositional environment model of the Early Miocene Bangko formation deltaic succession in “DR” Field, Central Sumatra Basin.

For studying this matter, two core wells and 134 well logs were examined. The study consist of several step (1) core analysis, (2) electrofacies calibration, (3) sequence stratigraphic correlation, (4) facies mapping in “AB”, where the Bangko formation mainly occurs.

STRATIGRAPHY

Central Sumatra Basin’s stratigraphy consists of several grouping. They are Basement, Pematang Group, Sihapas Groups, Petani Group, and Alluvial Formation. Heidrick and Aulia (1993) explain that each group representing the tectonic phase of basin formation and destruction. Rifting phase of the basin is associated with Pematang Group deposition, followed by Sihapas as Sag Phase (post-rift) and Petani Groups that represent Basin Inversion (Barisan Compressional Phase).

According to Wongsosantikno (1976), Sihapas groups divided into Menggala, Bangko, Bekasap, Telisa, and Duri Formation, this study focused on Bekasap and Bangko formation. Bekasap formation is generally composed of massive, fine to coarse grained sandstones with minor, thin shale intercalations, scattered coal seams, and occasional limestone stringers. Only brackish water and shallow marine forams exist within this unit. The equivalent shales in the basin, however, indicate an age of Zone N.6 to lower N.7. Total thickness of the Bekasap Formation may reach 1300 feet or more. Bangko formation is formed in the sag phase (post-rift) sediment and part of the Sihapas Group in Central Sumatra Basin. The Bangko Formation dominantly consists of gray, calcareous shales with fine to medium grained sandstone interbeds. The faunal content and the position of the formation in the section indicate an age equivalent to planktonic foraminiferal zone N.5. Maximum thickness of this unit is over 300 feet. The depositional environment of Bangko Formation is questioned in this paper. The Menggala Formation represents the basal transgressive unit of the Sihapas Group. It consists of conglomeratic sandstones which grade laterally in some places into fine to medium grained sandstones. Thickness of this unit may reach 800 feet and it was probably deposited during earliest Miocene time.

Page 220: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

211

ICHNOFACIES ANALYSIS

Ichnofacies analysis has been done for both 361 and 973 well. The 361 well has depth interval of 679 – 747 ftTVDSS (68ft) covering Baji and Jaga reservoir unit. The 973 well is also covering Baji and Jaga reservoir unit and the upper parts of Dalam reservoir unit. It has depth interval of 692 – 779 ftTVDSS (87ft). Figure 2 give complete detail of this analysis.

The ichnofacies found on this wells are Skolithos ichnofacies, Cruziana ichnofacies, and Zoophycos ichnofacies. Thus the identified ichnogeneras are such as Asterosoma, Chondrites, Conichnus, Cosmorhaphe, Cylindrichnus, Diplocraterion habichi, fugichnia, Gyrolithes, navichnia, Ophiomorpha, Palaeophycus tubularis, Phycosiphon, Planolites, Skolithos, Teichichnus, Thalassinoides, and Zoophycos. The identification of ichnogenera yields the ichnofacies association that will result in the interpretation of depositional environment, water salinity, and also relative sea level change. Skolithos ichnofacies is generally distributed in a sandy shore, while Cruziana ichnofacies usually found at sublittoral zone, and Zoophycos ichnofacies at bathyal zone (Pemberton, 1992). On this observed well, Skolithos ichnofacies is found at Tidal Bar with the presence of Cylindrichnus and Skolithos ichnogenera. Cruziana ichnofacies is identified on Prodelta, Tidal Flat, Subtidal Bar, and predominate in Delta Front. While Zoophycos ichnofacies is restictly found at Prodelta as Cruziana ichnofacies is more likely to be dominant. The ichnogeneras present in Prodelta are Zoophycos, Chondrites, Cosmorhaphe, Thalassinoides, Phycosiphon, Asterosoma, and Diplocraterion habichi.

Skolithos ichnofacies found in two cores consists of Chondrites, Conichnus, Cylindricus, fugichnia, Gyrolithes, navichnia, Ophiomorpha, Palaeophycus tubularis, Planolites, Skolithos, Teichichnus, and Thalassinoides ichnogenera. MacEachern on his paper “Ichnology and Facies Models” (2011) states that skolithos ichnofaces is indicative of high levels of wave or current energy, and developed in clean, well-sorted, loose or shifing substrate. It is shown by the occurrence of Skolithos ichnofacies in Hummocky Cross Stratification within Delta Front facies.

Asterosoma, Chondrites, Cosmorhaphe, Cylindrichnus, Diplocraterion habichi, fugichnia, and Gyrolithes ichnogenera are consisted in Cruziana ichnofacies. This ichnofacies are found in range of depositional condition from long-term moderate-energy levels in shallow water below fair-weather wave base but above storm wave base, to generally low-energy levels in deeper, quieter waters. Cruziana ichnofacies indicates subtidal, poorly sorted or heterolithic, cohessive to semi-cohessive substrates (MacEachern, 2011).

Ichnogeneras grouped in Zoophycos ichnofacies are Zoophycos, Chondrites, Cosmorhaphe, Thalassinoides, Phycosiphon, and Asterosoma. It has a highly variative depositional environment and substrate. Based on the analyzes of two cores, Zoophycos ichnofacies are only found in Prodelta facies. It shows that the substrate are very fine and cohessive.

According to the ichnofacies analyzes data, it is clear that there were a change of sea level. It is also supported by the change of both ichnogenera and substrate. The first change is sea level down that shown by a reversed graduative substrate from Prodelta’s very fine grained substrate to Tidal Channel’s coarse grained substrate. It is also indicated by the only presence of Zoophycos ichnofacies in Prodelta and gradually absence until it is perfectly replaced by the domination of Cruziana ichnofacies. In Tidal Channel, the absence of bioturbation shows that the predominant material on this part are from terrestrial. The following change are sea level rise that shown by the presence of Cylindricus and Skolithos ichnogenera in Tidal Bar facies. This change is also supported by the change of substrate from Tial Bar’s coarse grained substrate to Prodelta’s very fine grained substrate. The identified ichnofacies is also gradually changed from predominant

Page 221: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

212

Skolithos ichnofacies to predominant Cruziana ichnofacies and ended up by the represence oh Zoophycos ichnofacies in Prodelta.

FACIES ASSOCIATION

Based on core description data from the oldest to the youngest rocks, determined 13 facies rocks, named claystone and siltstone facies carbonaceous (M1), bioturbated claystone and siltstone facies (M2), bioturbated wavy or lenticular claystone and siltstone facies (M3), fine-medium grained sandstone facies (S1), coarse-very coarse grained sandstone facies, (S2), crossbedded coarse - very coarse grained sandstone facies (S3), conglomerate facies (S4), bioturbated crossbedded very fine grained sandstone facies (B1), bioturbated very fine grained sandstones facies (B2), bioturbated crossbedded fine grained sandstone facies (B3), bioturbated glauconitic fine-medium grained sandstone facies (B4), bioturbated fine-medium grained sandstone facies (B5), bioturbated crossbedded coarse – very coarse grained sandstone facies (B6).

As for the deposition of core facies associations 4S-5U-61C and 73B in the area AB is divided into facies Prodelta, Delta Front, Distributary Mouth Bar, Channel Tidal, Tidal facies Bar, Tidal Flat, subtidal Bar. Intake of facies association model based on facies model of tidal delta dominated by Dalrymple, (2011) in the James and Dalrymple, (2011), Dalrymple and Choi (2007), Dalrymple et al., (2003) and a model of the association ichnofossil and ichnogenera by MacEachern et al., (2011) in the James and Dalrymple, (2011).

Prodeltafacies associations (PRD) comprises M2. Sedimentary structures are not found, but there are Zoophycos and Cruziana Ichnofasies. Delta Front facies associations (DFT) consists of B3, B1, M3 and M2. Sedimentary structures such as cross humocky Stratification (HCS), through cross bed (TCB), wavy, flasser and lenticular. Tidal bundle also found. Facies associations Distributary Mouth Bar (DMB) consists of B5, B6. Mud deposited with intensive of Delta Front.

Tidal facies Bar Association (TBR) consists of B6 and S1. Current pattern is bimodal (2-way) with a slope in the bedding and sedimentary structures that characterize crossbed change the transition zone between the fluvial-tidal (Dalrymple and Choi, 2007). There is Skolithos Ichnofasies. Tidal channel facies associations (TCL) S2, S3, S4, and M1. The presence of mudstone and siltstone facies massive facies characterizes occurrence of "slack water deposit". There Conichnus ichnogenera (ichnofasiesSkolithos) in sandstones strong cemented identifier flooding surface (FS). Subtidal facies Bar (STB) is characterized by lithofasies B4, and B5 S1. Glauconite is authigenic minerals in areas not exposed and always be under sea water (Selley, 1985), characterizes the Tidal Bar always below sea level, Dalrymple, (2011) in James and Dalrymple (2011).

ELECTROFACIES

Electrofacies calibration from core to well had been conducted. These divide every facies associations into distinct log shapes according to the core. This method also used to develop the correlation style between wells and calibrate the minimum GR value for sand which is set to 120 GAPI as the limit of very fine sand.

From this calibration the tidal channel base showing anomalous GR value which represent the existence of fluid mud forming heterolithic stratification in the facies. This is supported by presence of bimodal between fluid mud deposit and conglomerate in core 4S-61C within the tidal channel facies.

Tidal channel, tidal bar, and tidal flat are continuous succession in tide dominated environment that happen because the rise of sea level. To differentiate this facies the shale break in the GR curve is used. Sedimentological analogue in this shale break is the deposition of slack water deposit when sea level rise.

Page 222: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

213

CORRELATION

There are 24 correlation lines, 11 lines trending NW-SE and 13 lines trending NE-SW (the hypothetical trend of sedimentary dip). Core analysis establish stratigraphic sequence marker with different order (hierarchy) according to correlation method by Posamentier and Allen (1999). The marker are MFS1 (1storde), lies between the Lower Prodelta facies and Shelf ridges; MFS2 (2ndorde), between the tidal bar-tidal flat-delta front facies; MFS3 (1storde), lies between the upper Prodelta Facies; SB Jaga that overlaid by Tidal Channel facies and; SB22, that lies under the two reservoir units. Result of this correlation shows in Figure 3 and fence diagram in figure 4.

From the establishment of the stratigraphic marker, the system tract and parasequence of the succession had been identified. From the MFS 1 and SB Jaga is prograding parasequence that interpreted as High Stand System Tract Deposit. The second sequence is series of fining upward sediment from SB Jaga to MFS3. The low stand system tract is bounded by SB Jaga and TS (transgressive surface). After the TS marker, Transgressive System tract lies above the LST and its ending at the MFS3, after this TST, the second HST lies underneath the SB22 and MFS3.

FACIES MAP

Facies map that had been used in this research is Lithofacies map, it’s described as a map that show geometry of a lithology in one depositional facies (North, F.K., 1990). The explanation will focus on the establishment of sand isolith map beneath the succession that was used to do forward modeling of the delta (Figure 5).

Sandstones are used in the mapping because sedimentological background. In the tide dominated sediments experience extensive reworking of river supply by tidal current (Dalrymple, 2011) because low gradient terrain. This sedimentology factor cause sand will be dominated the deposition in the area and form its geomorphological attribute. This is also supported by Johansen and Semimbar (2010) paradigm that the source sediment in Early Miocene age is coarse grained and dominated by sandstone.

Shelf Ridges facies is the oldest member of sand facies. It is distributed in NW-SE trend and covers all of the “AB”. This sand in general pinching to SW. However, trend of the shelf ridges could not reflect the paleogeography of the area because direction of tidal current may vary with shelf ridge orientation (Dalrymple, 2011).

Tidal channel facies showing distinct geometry in facies map with funnel shape that is became wider from east to west, however, this channel is suspected amalgamated so to differentiate it is uneasy.

Tidal bar and subtidal bar are show elongate feature trending W-E in the area. This trend may and answer to sediment transport within the area because tidal current will create bars aligned parallel to its current direction.

CONCLUSIONS

From this research, it is concluded that tide dominated delta had been exist in the Early Miocen Age. This delta evolved from prodelta as while as self ridges, prodeltaic deposit, channel, tidal bar, tidal flat, delta front, and then prodelta. Several evidences from core, well logs, and facies maps revealed this sedimentary features.

There are 3 informations collected from the core data : facies association, ichnofacies and stratigraphic marker. Core analysis reveals evidence to approve the tidal control: tidal bundles; mud drapes; heterolithic stratification; glauconite; hummocky and through cross bed; wavy and lenticuler sedimentary structure and fluid mud existence within the conglomerate thalweg deposit. Ichnofacies analysis was firstly used in the area

Page 223: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

214

and it is give significant result in appearance of Zoophycos, Cruziana, and Skolithos that shows progradation trend in the stratigraphic record.

REFERENCE

DAWSON, W. C., YARMANTO, SUKANTA, U., KADAR, D., DAN SANGREE, J.B., 1997, Regional Sequence Stratigraphic Correlation in Central Sumatra, Laporan Internal PT. CPI, Rumbai.

HEIDRICK, T. L., DAN AULIA, K., 1996, Petroleum Geology of Indonesia : Principle, Method and Application, Pertamina – BPKKA, Jakarta.

HEIDRICK, T.L., DAN AULIA, K., 1993, A Structural And Tectonic Model Of The Coastal Plains Block, Central Sumatra Basin, Indonesia, Dalam Prosiding Indonesia Petroleum Association 22nd Annual Conference And Exhibition. P 286--319.

JAMES, N.P., DAN DALRYMPLE, R., 2011, Facies Model 4, Geological Association of Canada.

JOHANSEN, S., DAN SEMIMBAR, H., 2010, Sand‐rich, Tide‐dominated Deltaic systems of the Lower Miocene, Central Sumatran Basin, Indonesia, AAPG Hedberg Conference 2010.

KADAR, D., DAN PREECE, R., 2002, Duri Field Biostratigraphy Ecofacies Development, Laporan Internal CPI.

LAING, J.E., DAN ATMODIPURO, B.P., 1992, The Dalam Sandstone : Deeper EOR Potential In The Duri Field, Sumatra, Indonesia, IAGI 21st Annual Convention and Exhibition, Yogyakarta.

NORTH, F.K., 1990, Petroleum Geology, Allen dan Unwin : Jakarta.

POSAMENTIER, H. W., ALLEN, G. P., JAMES, D. P., DAN TESSON, M. 1992. Forced Regressions In A Sequence Stratigraphic Framework: Concepts, Examples, And Exploration Significance. American Association of Petroleum Geologists Bulletin, Vol. 76, pp. 1687–1709. Posamentier, H. W., dan Allen G. P., 1999, Silisiclastic Sequence Stratigraphy Concept and Aplication, Society for Sedimentary Geology, Tulsa, Oklahoma.

SELLEY, R.C., 1985, Ancient Sedimentary Environment and their sub-surface diagnosis, 3rd edition, Cornell University Press, Ithaca, New York.

VAN WAGONER, J. C., MITCHUM, R. M., CAMPION, K. M., DAN RAHMANIAN, V. D., 1990, Siliciclastics Sequence Stratigraphy in Well Logs, Cores & Outcrops : Concepts for High Resolution Correlation of Time & Facies, AAPG Methods in Exploration Series, No. 7, Tulsa, Oklahoma.

WALKER, R.G., DAN JAMES, N.P., 1992, Facies Model: Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada.

WILLIAM, H.H., KELLEY, P.A., JANKS, J.S., CHRISTENSEN, R.M., 1985, The Paleogene Rift Basin Source Rocks Of Central Sumatra, Dalam Prosiding Indonesia Petroleum Association 14th Annual Conference And Exhibition. P 51-70.

WILLIAMS, H. H., DAN EUBANK, R. T., 1995, Hydrocarbon Habitat in The Rift Graben of The Central Sumatra Basin, Indonesia, In Lambiase, J.J. (ed) Hydrocarbon Habitat in Rift Basins, Geological Society Special Publication.

WILLIS, BRIAN, FIFIN, F., BROOKE C.,E., FAIZIL, F., DIAH, H., DANIEL, K., BOBBY, K., 2010, Sequence Stratigraphy of Tide-Influenced Reservoir Sandstones in Minas Field, Indonesia, Dalam Prosiding American Association of Petroleum Geologis Annual Convention and Exhibition 2009.

Page 224: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

215

WONGSOSANTIKO, A., 1976, Lower Miocene. Duri Formation Sands. Central Sumatra Basin, Dalam Prosiding Indonesia Petroleum Association 5th Annual Conference And Exhibition. P 133-151.

Figure 1.Paleogeography of Study area in Early Miocene (after Mertosono and Nayoan,

1974).

Page 225: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

216

Figure 2.Ichnofacies Model of the studied interval

Page 226: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

217

Fig

ure

3.E

xam

ple

of

Stra

tigr

aph

ic C

orr

elat

ion

of

the

area

.

Page 227: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

218

Fig

ure

4. T

he

fen

ce d

iagr

am o

f th

e A

B a

rea

fro

m 5

co

rrel

atio

n li

ne.

Page 228: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

219

Fig

ure

5. M

od

el o

f ti

de

Do

min

ated

del

ta in

Ear

ly M

ioce

ne

age

and

its

san

d d

istr

ibu

tio

n m

ap.

Page 229: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

220

Page 230: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

221

SS 4 - FACIES STUDY BY USING EXTENDED MARKOV CHAIN METHOD: CASE STUDY ON SAMBIPITU-OYO FORMATION, NGALANG RIVER TRACK, NGALANG

VILLAGE, GUNUNG KIDUL, DIY

Sarah SAUSAN, Octa Fiandani PUTRA

Undergraduate Program, Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Indonesia

Had been presented in 41st Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia,

Yogyakarta, September 2012

ABSTRACT Facies study is essential in petroleum science as it provides basic interpretations used in

the early stage of petroleum exploration. Commonly, geologists prefers a qualitative

approach in facies study, i.e. by dividing the raw field log into facies then directly form the

most logical explanation of the data. This method is simple yet very subjective and may be

biased with difference in experience level or basic assumptions. Markov Chain Method, a

statistical method that can predict the probability of next process in a system by knowing

previous process, can provide a more objective interpretation of facies data. This paper

extends the existing Markov Chain Method with Graph-Theory to quantitatively obtain the

end-result that is consistently a statistically most possible interpretation.

The study is conducted on a 1:50 measured section data with length 127,5 m of

Sambipitu-Oyo formation in Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY.

Despite of the great number of facies studies on the area, not a single quantitative

approach has been performed; hence this area is chosen. Eight facies are determined from

the data and then Graph-Extended Markov Chain Method is applied, resulting in a facies

model that shows two distinct depositional environments: turbidite deposit at the earlier

stage and shallow-marine deposit in the later stage. This result agrees with existing

regional data theory of Sambipitu-Oyo formation. Moreover, this method successfully

draws a distinct boundary between two different depositional environments. Hence, it can

be concluded that the Extended Markov Chain Method is reliable in providing a

quantitative and objective foundation of a facies study and the usage of the method will

greatly enhance the interpretation quality in facies study.

Key words: Markov Chain, Graph-Theory, facies study, Sambipitu-Oyo formation.

INTRODUCTION

Facies study is basically a study of rock strata in an area. In a facies study, rock layers are combined into groups based on similarities of lithology, physical, chemical, and/or biological aspects. The units of those distincts characteristics is then called facies, and lithofacies while the physical characteristics is the one being used. The main goal of the facies study is to determine the process underlain and thus determine the depositional environment.

Page 231: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

222

Often, lithofacies group together into assemblages because they represent various types of deposition events that usually occur together in the common depositional environment. For example, submarine fan environtment typically contains canyon, channel, levee, overbank, proximal slope subenvironments which result in its own lithofacies. These then stacked into stratigraphic units because the environments shift through time. These environmental shifts are predictable, which means that the resulting lithofacies successions are equally predictable (Miall, 1981).

While interpreting such sucession of depositional environments or sub-environments of a facies assemblage data, geologists commonly prefers a qualitative approach i.e. by comparing the field data into facies models via more or less a “match-or-not” system, then interpreting the data by using facies model(s) that best explain the facies’ depositional environments. This method is simple, quick, and common. However, the method is subjective and depends heavily on one’s experience level. The interpretation may also be influenced by one’s early knowledge on the regional geology of the study area, hence make a tendency to approach a more or less similar result with literature studies result.

Markov Chain Method, a statistical method that can predict the probability of next process in a system by knowing previous process, can provide a more objective interpretation of facies data. However, the problem with this method that is in the end, the constructed statictical chain paths is again to be subjectively matched into facies model(s). Hence, the quantitativeness level is tried to be elevated by adding Graph-Theory, an algorithm theory that search for the most efficient route of a chain, in the last process of Markov Chain Analysis.

The study is conducted on a 1:50 measured section data by Novian (2005) with length 127,5 m of Sambipitu-Oyo formation in Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY. Despite of the great number of facies studies on the area, not a single quantitative approach has been performed; hence this area is chosen. Eight lithofacies are determined from the data (Table 1) and then Graph-Extended Markov Chain Method is applied.

METHODOLOGY

Markov Chain Method

A Markov process is one in which the probability of the process being in a given state at a particular time may be deduced from knowledge of immediately preceding stage (Harbaugh and Bonham-Carter, 1970 in Miall, 1981). The geological principle that underlies the usability of this statistical method is that depositional environmental cyclicities are predictable, which means that the resulting lithofacies successions are equally predictable.

The analysis starts with a transition count matrix (Table 2), i.e. a two-dimensional array that tabulates the number of times that all possible vertical lithofacies transitions occur in a given stratigraphic sucession. The lower bed transition couplet is given by the matrix row number, whereas the upper bed is by the column number. Two ways to construct the matrix is to record changes in lithofacies or to take lithofacies data for a given vertical length interval. This matrix reflects the raw field data.

The transition count matrix is then mathematically operated to build independent trials matrix, a matrix that assumes the lithofacies change is totally random, by the formula:

Rij XY = Sj Y / (t – Si X)

Page 232: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

223

where:

Rij XY = value from independent trial matrix, row X, column &

Sj Y = total value of column Y

t = total for all rows and columns

Si X = total value for row X

followed by transition probability matrix, a matrix that illustrates the actual probability of lithofacies transitions, by the formula:

Pij XY = fij XY / Si X

where:

Pij XY = value from transition probability matrix row X, column Y

fij XY =value from transition count matrix row X, column Y

Si X = total value on row X

difference matrix (Table 4) is then constructed to eliminate random-change factor from the transition probability matrix, basically by extracting independent trials matrix from transition probability matrix. Positive value implies a real tendency of a transition of one facies into another.

A chain is then constructed from difference matrix to visually ilustrate the transition path of the facies. Several cycle paths can then become visible (Figure 1).

Graph Theory

Graph theory is the study of which mathematical structures are used to model pairwise relations between objects from a certain collections. Graph are represented by drawing a dot or cirrcle for every vertex and drawing an arc between two vertices if connected by an edge. If directed, the direction is indicated by arrow. Graphs are one of the objects of study in discrete mathematics.

In this research, Graph theory is applied to all positive probability values in difference matrix. All facies are represented as dots on a 2-dimensional area connected by probability values. Initial and final path point is determined such that all dots are reached once. Probability of every path is counted backwards (from final point to initial) by using the following formula:

P (A1A2A3...An-1An) = P(A1A2) x P(A2A3) x P(A3A4) x ... x P(An-1An)

Where P (A1A2A3...An-1An) is the probability from A1 to An, n is integer.

RESEARCH RESULT

The result of Graph algorithm application are four patterns of facies change as in Appendix table 4 in which the pattern that connects all available facies with biggest probability is the fourth pattern

F-B-C-D-G-H-E-A-B-F

A graphical representation of above cycle is available in figure 2.

It can be interpreted that in the early stages, the pattern represent a deltaic sequence, firstly by a delta front deposit (based on the interbedding of sandstone and

Page 233: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

224

mudrock) that keeps shallowing-upward. More specifically, it is in the sub-aqueous distributary channel on a delta front or shallower sub-environments (probably distributary mouthbar) where occasional conglomerate and cross-bedded sandstone deposit can be found. In the later stage, the pattern introduces limestone which indicates a shallow-marine environment with an occasional sediment supply that is represented by the sandstones among the limestone deposit. The presence of rudstone indicates a reef building, that is allowed only when the delta’s sediment supply is in a lacking period. Intermittent presence of ash-rich sandstone on both stages and also the fairly significant presence of volcanic materials in almost all facies suggests that an active volcanic activity was occuring around the area which influences the characteristics of the deposit in the study area. the volcanic activity might be the process contribute the most to the delta’s sediment supply; hence, becoming a control factor of the limestone/sandstone presence in the later stage.

From the regional stratigraphy data, Sambipitu formation was deposited in bathial environment with turbidite mechanism (Sutarno, 1976 and Budianto, 1978 in Harijoko, 1994) whereas Oyo formation was deposited in shallow marine that was influenced by volcanic activity. A more detailed interpretation by Novian (2005) on the same measured section data conclude that channel deposit was developed in the beginning with middle-inner shelf bathymetry followed by distributary channel deposit of a delta in the same bathymetry. He further conclude that in general, Sambipitu-Oyo formation was deposited in middle-inner shelf located in the southern side of an active volcano. Reef was formed on the basin margin in times when volcanic deposit cannot reach the place.

Compared to the existing interpretation of the sedimentary environment, especially by Novian (2010) who worked on the same data sheet and interpret the data qualitatively, it can be said that the model constructed by Extended Markov Chain Method is fairly consistent with the actual, conventional direct interpretation from measured section data (and in addition with petrographical and paleontological analysis). Nevertheless, the method offers a much more easier interpretation on a short yet representative model of the area (plus the objectiveness of model construction is guaranteed) rather than a direct subjective work on bulk 127,5 m-long measured section data which may risk in skipping important facies or taking account unnecessary details.

DISCUSSION AND CONCLUSION

The main objective of this research is to try a quantitative determination of a final facies cycle from a series of results coming from conventional Markov chain method. In the end, however, the final result still has to be compared with existing facies models to determine its depositional environment (s). Nevertheless, objectiveness level is guaranteed until the final cycle determination process.

The depositional environment interpretation from the Graph-Theory Extended Markov Chain Method is fairly consistent with the pre-existing regional geology interpretation, which means that the method is fairly reliable in giving a quantitative alternative of building a stratigraphic model of an area with boosted objectiveness level. However, the Extended Markov Chain Method is not intended to replace nor concluding the conventional qualitative method as irrelevant. It is only a tool to enhance the qualitative method in the beginning of the work with a quantitative approach that helps geologists save time in interpreting a long and complex log data.

ACKNOWLEDGEMENTS

We are thankful to Mr. Indra Novian (Geological Engineering UGM) for the permission to use his measured section data and providing advices in the early stage of the research.

Page 234: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

225

REFERENCES

MIALL, A.D., 1981, Principles of Sedimentary Basin Analysis, Springer Verlag, New York, 490p. FINSENSIUS, I., 2002, Stratigraphy dan Sedimentation of Transition Zone Sambipitu- Oyo Formation in Widoro River Track, Ngalang River Track and Kedungkeris River Track, Nglipar, Gunungkidul, DIY. Skripsi Undergraduate Theses of Geological Engineering UGM, Yogyakarta, pp.45-65. HARIJOKO, A., 1994, The Usage of Markov Chain Method for Stratigraphic Analysis of Sambipitu Formation on Putat River Track, Patuk, Gunung Kidul. Undergraduate Theses of Geoloigical Engineering UGM, Yogyakarta, 41p. NICHOLS, GARY. 2009.Sedimentology and Stratigraphy, 2nd Edition. Wiley and Sons Inc. West Sussex.pp. 179-198. NOVIAN, I., 2002, Facies Study by using Markov Chain Analysis on Coal Bearing Strata in Kalingalang around Buyutan, Ngalang Village, Gedang Sari, Gunung Kidul, DIY. Undergraduate Thesis of Geological Engineering UGM, Yogyakarta, 166p. NOVIAN, I., 2010, Stratigraphy dan Sedimentation of Transition Zone Sambipitu-Oyo Formation in Widoro River Track, Ngalang River Track and Kedungkeris River Track, Nglipar, Gunungkidul, DIY.. Master Thesis Teknik Geologi UGM, Yogyakarta, pp.127-184. APPENDIX

Table 1. eight lithofacies in the study area

Facies Description A Repetition of muddy allochem limestone, grading into micritic tuffaceous

sandstone with intercalation of tuffaceous micrte, muddy micrite, allochemic tuffaceous sandstone, and resedimented ash-rich sandstone

B Allochemic conglomerate C Repetition of allochemic tuffaceous sandstone with tuffaceous allochem

limestone D Repetition of micritic tuffaceous sandstone and allochemic tuffaceous

sandstone with intercalation of resedimented ash-rich sandstone E Repetition of micritic tuffaceous sandstone with tuffaceous mudrock or

carbonaceous allochemic mudrock with intercalation of resedimented ash rich sandstone

F Repetition of allochemic tuffaceous sandstone with intercalation of micritic tuffaceous sandstone

G Rudstone H Repetition of allochemic-micritic tuffaceous sandstone-muddly allochem

limestone intercalated with tuffaceous mudrock

Page 235: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

226

Table 2. Transition count matrix

Facies Code A B C D E F G H TOTAL

(i) A 0 1 0 0 2 0 0 0 3 B 0 0 1 1 0 2 0 0 4 C 0 0 0 3 1 0 1 0 5 D 0 1 3 0 4 0 2 0 10 E 2 0 1 5 0 0 0 0 8 F 0 2 0 0 0 0 0 0 2 G 0 0 0 2 0 0 0 1 3 H 0 0 0 0 1 0 0 0 1

TOTAL (j) 2 4 5 11 8 2 3 1 36

Table 3. difference matrix

Facies A B C D E F G H

A -.09 .21 -.15 -.30 .42 -.06 -.09 -.03

B -.09 -.13 .09 -.06 -.25 .44 -.09 -.03

C -.10 -.13 -.16 .25 -.06 -.06 .10 -.03

D -.08 -.05 .11 -.42 .09 -.08 .08 -.04

E .18 -.14 -.05 .23 -.29 -.07 -.11 -.04

F -.06 .88 -.15 -.32 -.24 -.06 -.09 -.03

G -.06 -.12 -.15 .33 -.24 -.06 -.09 .30

H -.06 -.11 -.14 -.31 .77 -.06 -.09 -.03

Greatest probability

Positive probability

Table 4. Graph Theory Counting Results

Pattern 1 Pattern 2

B 1.0000000 B 1.0000000

AB 0.2121212 AB 0.2121212

EAB 0.0378788 EAB 0.0378788

HEAB 0.0292208 DEAB 0.0034965

GHEAB 0.0088548 CDEAB 0.0008572

CGHEAB 0.0009140 BCDEAB 0.0000804

BCGHEAB 0.0000857 FBCDEAB 0.0000709

FBCGHEAB 0.0000756

Pattern 3 Pattern 4

B 1.0000000 B 1.0000000

AB 0.2121212 AB 0.2121212

EAB 0.0378788 EAB 0.0378788

DEAB 0.0034965 HEAB 0.0292208

GDEAB 0.0011655 GHEAB 0.0088548

CGDEAB 0.0001203 DGHEAB 0.0007493

BCGDEAB 0.0000113 CDGHEAB 0.0001837

FBCGDEAB 0.0000100 BCDGHEAB 0.0000172

FBCDGHEAB 0.0000152

Page 236: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

227

Figure 1:Cycle Path Resulted from Markov Chain Method

Figure 2: the facies model of study area resulted from Extended Markov Chain method

Page 237: GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

Departemen Penelitian dan PengembanganHimpunan Mahasiswa Teknik Geologi

Fakultas Teknik - Universitas Gadjah MadaJl. Grafika 2, Yogyakarta, Indonesia 55281

Telp. (0274) 513668, 901380, Fax (0274) 513668www.hmtg.ugm.ac.id

Departemen Penelitian dan PengembanganHimpunan Mahasiswa Teknik Geologi

Fakultas Teknik - Universitas Gadjah MadaJl. Grafika 2, Yogyakarta, Indonesia 55281

Telp. (0274) 513668, 901380, Fax (0274) 513668www.hmtg.ugm.ac.id