gastroretentive floating

41
COVER

Upload: -fadhi-dsmfrize-combie-fiven

Post on 19-Feb-2016

89 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Biofarmasi

TRANSCRIPT

Page 1: Gastroretentive Floating

COVER

Page 2: Gastroretentive Floating

Kata Pengantar

Page 3: Gastroretentive Floating

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II Tinjauan Teori

1.1 Mekanisme Pencernaan dan Lambung

1.2 Gastroretentive Drug Delivery System

1.3 Floating Drug Delivery System

1.4 Contoh Obat

BAB III Pembahasan

BAB IV Kesimpulan

Daftar Pustaka

Page 4: Gastroretentive Floating

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lambung adalah organ yang memiliki kapasitas penyimpanan dan pencampuran. Bagian

fundus dan badan lambung mampu mengembang untuk mengakomodasi makanan tanpa banyak

meningkatkan tekanan dalam lambung. Selaput lambung tidak memiliki jonjot, tetapi terdiri atas

sejumlah besar terowongan lambung yang memperbesar kapasitas penyimpanan lambung.

Daerah antrum bertanggung jawab atas pencampuran dan penghalusan isi lambung (Siregar dan

Wikarsa, 2008).

Salah satu sediaan dengan pelepasan obat yang dimodifikasi adalah sediaan dengan

pelepasan diperlambat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat sediaan lepas

lambat, salah satunya adalah sediaan yang dirancang untuk tetap tinggal di dalam lambung.

Bentuk sediaan yang dapat dipertahankan di dalam lambung disebut Gastro Retentive Drug

Delivery System (GRDDS).

GRDDS dapat memperbaiki pengontrolan penghantaran obat yang memiliki indeks terapetik

sempit dan diabsorbsi dengan baik di lambung. Beberapa teknik yang termasuk dalam sistem ini

antara lain: sistem penghantaran bioadhesive yang melekat pada permukaan mukosa

(mucoadhesive), sistem penghantaran yang dapat meningkatkan ukuran obat (swelling) sehingga

tertahan di lambung karena tidak dapat melewati pilorus dan sistem penghantaran dengan

mengontrol densitas termasuk floating system dalam cairan lambung (Gohel et al., 2004).

Sistem Mengapung (Floating System) ini pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun

1968, merupakan suatu sistem dengan densitas yang kecil, memiliki kemampuan mengambang

kemudian mengapung dan tinggal di dalam lambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan

Page 5: Gastroretentive Floating

yang dapat ditentukan. Hasil yang diperoleh adalah peningkatan GRT dan pengurangan fluktuasi

konsentrasi obat di dalam plasma .

Sistem mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya perlahan-lahan dari sediaan

yang memiliki densitas yang rendah/Floating Drug Delivery System (FDDS) juga biasa disebut

Hydrodinamically Balanced System (HBS). FDDS/ HBS memiliki densitas bulk yang lebih

rendah daripada cairan lambung. FDDS tetap mengapung di dalam lambung tanpa

mempengaruhi motilitas dan keadaan dari lambung. Sehingga obat dapat dilepaskan pada

kecepatan yang diinginkan dari suatu sistem .

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Gastroretentive Drug Delivery System ?

2. Apa yang dimaksud dengan Floating Drug Delivery System ?

3. Bagaimana mekanisme perjalanan obat dengan Floating Drug Delivery System ?

4. Apa kekurangan dan kelebihan obat dengan mekanisme Floating Drug Delivery System ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari Gastroretentive Drug Delivery System ?

2. Untuk mengetahui definisi dari Floating Drug Delivery System ?

3. Untuk mengetahui mekanisme perjalanan obat dengan Floating Drug Delivery System ?

4. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan obat dengan mekanisme Floating Drug

Delivery System ?

Page 6: Gastroretentive Floating

BAB II

TINJAUAN TEORI

1.1 Anatomi Lambung dan Meknisme Pencernaan

Anatomi Lambung

Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak, fundus, badan

(body), antrum, dan pilori (gambar 2.1). Kardia adalah daerah kecil yang berada pada

hubungan gastroesofageal (gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke

lambung

Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di atas kardia.

Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang berdampingan dengan fundus dan

merupakan bagian terbesar dari lambung. Antrum adalah bagian lambung yang

menghubungkan badan (body) ke pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu

struktur tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan mengandung spinkter

pilorik (Schmitz & Martin, 2008).

Page 7: Gastroretentive Floating

Gambar 2.1 Pembagian daerah anatomi lambung

(Tortora & Derrickson, 2009)

Histologi Lambung.

Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya dengan lapisan

saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa,

muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz & Martin, 2008).

1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan muskularis mukosa.

Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina propia dengan kedalaman yang

bervariasi, dan membentuk sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang

menutupi permukaan dan melapisi lekukan-lekukan tersebut adalah epitel selapis silindris

dan semua selnya menyekresi mukus alkalis. Lamina propia lambung terdiri atas jaringan

ikat longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang

memisahkan mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos (Tortora & Derrickson,

2009).

2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem limfatik,

limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat pleksus submukosa (Meissner)

(Schmitz & Martin, 2008).

3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1) inner oblique, (2) middle

circular, (3) outer longitudinal. Pada muskularis propia terdapat pleksus myenterik

(auerbach) (Schmitz & Martin, 2008). Lapisan oblik terbatas pada bagian badan (body)

dari lambung (Tortora & Derrickson, 2009).

4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos (mesotelium) dan

jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009). Lapisan serosa adalah lapisan paling

luar dan merupakan bagian dari viseral peritoneum (Schmitz & Martin, 2008).

Mekanisme Pencernan

Lambung adalah organ yang memiliki kapasitas penyimpanan dan pencampuran. Bagian

fundus dan badan lambung mampu mengembang untuk mengakomodasi makanan tanpa

banyak meningkatkan tekanan dalam lambung. Selaput lambung tidak memiliki jonjot, tetapi

terdiri atas sejumlah besar terowongan lambung yang memperbesar kapasitas penyimpanan

Page 8: Gastroretentive Floating

lambung. Daerah antrum bertanggung jawab atas pencampuran dan penghalusan isi lambung

(Siregar dan Wikarsa, 2008).

Saluran cerna selalu memiliki daya gerak. Pada sistem pencernaan makanan terdapat dua

daya gerak, yaitu cara digestif dan cara interdigestif. Daya gerak interdigestif dicirikan oleh

pola siklus yang terdiri dari empat fase, yaitu :

Fase I : periode tidak ada kontraksi;

Fase II : periode kontraksi berselang sebentar-sebentar;

Fase III : periode kontraksi tetap pada frekuensi maksimal yang bermigrasi secara distal;

Fase IV : periode transisi fase III ke fase I.

Siklus lengkap yang mencakup keempat fase memiliki durasi rata-rata 90-120 menit pada

manusia dan anjing. Kondisi tertentu seperti pertumbuhan bakteri, ketegangan mental, dan

variasi siang hari atau kombinasinya dapat mempengaruhi durasi masingmasing fase dan

juga siklus total (Chien, 1992).

Setiap sistem lepas lambat yang menghantarkan zat aktif dan didesain untuk tinggal di

dalam saluran cerna selama keadaan puasa hendaknya mampu menghindari kerja fase III.

Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal zat aktif dalam saluran cerna

(Chien, 1992).

Page 9: Gastroretentive Floating

Bentuk sediaan padat dapat tinggal di lambung pada kondisi puasa selama kira-kira 0-120

menit, bergantung pada kedekatan waktu pencernaan aktivitas fase III berikutnya. Selama

fase I, ketika minim kontraksi, cairan atau solid tidak bergerak atau sedikit bergerak di dalam

usus halus. Sebaliknya, pada fase II dan III, aliran bahan dalam pembuluh usus halus menjadi

semakin cepat. Selain itu terjadi pemisahan cairan dan solid; cairan cenderung bermigrasi

selama fase II dan solid selama fase III. Aktivitas motor usus halus selama keadaan puasa

kemungkinan tidak cukup kuat untuk memindahkan solid (Chien, 1992).

Mekanisme pengayaan terjadi pada saat lambung dalam keadaan kenyang dan

dipengaruhi oleh viskositas makanan. Bentuk sediaan cenderung tinggal di daerah antrum

jika solid berukuran besar karena penghalusan makanan terjadi di daerah tersebut.

Sebaliknya, bentuk sediaan unit ganda terdispersi dan dikosongkan bersama dengan makanan

sehingga menunjukkan derajat distribusi yang besar. Total waktu pengosongan lambung

beragam dalam rentang antara 2-6 jam (Chien, 1992).

Mayoritas bentuk sediaan yang diberikan secara oral dalam keadaan puasa akan

dikosongkan dalam waktu 90 menit. Pada saat kondisi kenyang, tablet dan kapsul yang tidak

terdisintegrasi akan tinggal dalam lambung selama 2-6 jam dan baru mulai dikosongkan di

permulaan keadaan puasa, sedangkan bentuk sediaan terdisintegrasi dan partikel-partikel

kecil dikosongkan bersama dengan makanan. Waktu transit total makanan dan bentuk

sediaan dari lambung sampai katup ileosekal manusia kira-kira 3-6 jam dalam keadaan

puasa, dan 6-10 jam dalam keadaan kenyang (Chien, 1992).

1.2 Gastro Retentive Drug Delivery System (GRDDS)

Banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat sediaan lepas lambat, salah

satunya adalah sediaan yang dirancang untuk tetap tinggal/dipertahankan di lambung, yang

disebut dengan gastroretentive drug delivery system (GRDDS). GRDDS dapat memperbaiki

pengontrolan penghantaran obat-obat yang memiliki kriteria: untuk aksi lokal di lambung,

diabsorbsi secara cepat dan baik di lambung, tidak stabil dan terdegradasi di dalam saluran

intestinal/kolon, kelarutannya rendah pada pH alkalis, memiliki waktu eliminasi yang pendek

serta memiliki indeks terapi yang sempit (Rocca et al., 2003).

Page 10: Gastroretentive Floating

Beberapa keuntungan dari GRDDS antara lain: meningkatkan bioavailabilitas, dapat

mengendalikan penghantaran obat dan mengurangi frekuensi pengobatan, mengurangi

fluktuasi konsentrasi obat, meningkatkan selektivitas pada aktivasi reseptor, mengurangi

aktivitas perlawanan dari tubuh, memperpanjang batas waktu konsentrasi efektif,

meminimalkan aktivitas merugikan pada usus besar, serta menempatkan penghantaran obat

yang spesifik (Garg and Gupta, 2008).

Secara umum GRDDS terdiri dari sistem mengembang (swelling), sistem

bioadhesive/mucoadhesive dan sistem mengapung (floating).

1.3 Floating Drug Delivery System (FDDS)

Sistem mengapung pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1968. Floating

system merupakan sistem dengan densitas kecil, yang memiliki kemampuan mengambang

kemudian mengapung serta tinggal di lambung untuk beberapa waktu. Pada saat sediaan

mengapung di lambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat ditentukan.

Hasil yang diperoleh adalah peningkatan gastric residence time dan pengurangan fluktuasi

konsentrasi obat dalam plasma (Chawla et al., 2003).

Sistem mengapung pada lambung berisi bahan aktif yang dilepaskan perlahan-lahan dari

sediaan yang memiliki densitas kecil, disebut floating drug delivery system (FDDS). FDDS

memiliki bulk density yang lebih rendah dari cairan lambung. FDDS tetap mengapung dalam

lambung tanpa mempengaruhi kondisi lambung dan obat dilepaskan perlahan dari sediaan

pada kecepatan yang diinginkan (Anonim, 2003).

Bentuk sediaan sistem mengapung banyak diformulasi dengan menggunakan matriks-

matriks hidrofilik dan dikenal dengan istilah hydrodynamically balanced system (HBS). Hal

tersebut dikarenakan pada saat polimer terhidrasi, terjadi penurunan intensitas akibat matriks

yang mengembang, sehingga menjadi gel penghalang di permukaan bagian luar. Bentuk

sediaan ini diharapkan tetap mengapung selama 3-4 jam dalam lambung tanpa dipengaruhi

oleh kecepatan pengosongan lambung karena densitasnya lebih rendah dari medium dalam

lambung. Polimer yang direkomendasikan untuk formulasi bentuk floating adalah turunan

Page 11: Gastroretentive Floating

selulosa, khususnya hidroksi propil metil selulosa (HPMC) (Moes, 2003). Sistem mengapung

dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Non-Effervescent system

Sistem ini biasanya menggunakan matriks yang memiliki daya

pengembangan tinggi seperti selulosa, jenis hidrokoloid, polisakarida dan polimer

seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat dan polistiren. Salah satu cara

formulasi bentuk sediaan sistem mengapung ini yaitu dengan mencampur zat aktif

dengan gel hidrokoloid. Hidrokoloid akan mengembang ketika kontak dengan cairan

lambung setelah pemberian oral, tinggal dengan bentuk yang utuh dan memiliki bulk

density yang lebih kecil dari kesatuan lapisan luar gel. Struktur gel bertindak sebagai

reservoir obat yang akan dilepaskan perlahan dan dikontrol oleh difusi melalui

lapisan gel (Anonim, 2003).

2. Effervescent system

Sistem ini diformulasi menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti

methocel, polisakarida, kitosan ditambah dengan komponen effervescent, seperti

natrium bikarbonat dan asam sitrat atau asam tartrat. Matriks akan membentuk gel

ketika kontak dengan cairan lambung, kemudian terbentuklah gas karbondioksida

(CO2) yang dihasilkan dari sistem effervescent. Gas tersebut akan terperangkap

dalam gelyfiedhydrocolloid yang mengakibatkan tablet akan mengapung,

meningkatkan pergerakan sediaan, sehingga akan mempertahankan daya

mengapungnya (Anonim, 2003).

1.4 Contoh Obat

Page 12: Gastroretentive Floating

BAB III

PEMBAHASAN

Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matriks

hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balanced system (HBS), karena

saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akibat matriknya mengembang, dan dapat

menjadi gel penghalang di permukaan luar.

Bentuk-bentuk ini diharapkan tetap dalam keadaan mengapung selama tiga atau

empat jam dalam lambung tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung karena

densitasnya lebih rendah dari kandungan 12riteri. Hidrokoloid yang direkomendasikan

untuk formulasi bentuk floating adalah cellulose ether polymer, khususnya

hydroxypropyl methylcellulose (Moes, 2003).

Isi lambung minimal diperlukan untuk mencapai prinsip retensi pengapungan,

tingkat minimal gaya apung (F) juga dibutuhkan untuk menjaga bentuk sediaan

mengapung pada permukaan makanan. Formulasi bentuk sediaan ini harus memenuhi

12riteria sebagai berikut :

1. Harus memiliki struktur yang cukup untuk membentuk sebuah penghalang gel

kohesif.

2. Harus menjaga berat jenis keseluruhan lebih rendah dari isi lambung

(1,004-1,010).

3. Harus larut perlahan sehingga sesuai sebagai reservoir obat.

Pada saat sistem mengambang di isi

lambung terjadi, maka obat dilepaskan perlahan

pada tingkat yang diinginkan dari sistem. Setelah

pelepasan obat, sistem residual dikosongkan dari

lambung. Namun, selain kandungan lambung

minimal yang diperlukan untuk memungkinkan

pencapaian yang tepat dari prinsip retensi apung,

Gambar. skematis dari alat linear

force transmitter device (FTD) (Timmermans & Moës,

1990).

Page 13: Gastroretentive Floating

tingkat gaya apung minimal juga diperlukan untuk menjaga bentuk sediaan apung di

permukaan makanan. Untuk mengukur kinetika gaya apung, dibutuhkan sebuah alat

untuk penentuan bobot yang dihasilkan. Alat tersebut beroperasi dengan mengukur secara

terus menerus gaya yang ekevalen dengan F sebagai fungsi dari waktu yang dibutuhkan

untuk menjaga benda/obat sampai benar-benar tenggelam kedalam cairan (Maheta et al.,

2014), (Timmermans & Moës, 1990).

Secara skematis alat tersebut bekerja Seperti ditunjukkan dalam Gambar. Dimana

pada bagian (1) melakukan fungsi ganda menjaga benda uji (2) di dalam media cairan

yang dipilih (3) transmisi gaya F yang bekerja/bereaksi, baik ke atas atau ke bawah (4),

menuju ke modul pengukuran elektromagnetik (5) yang terhubung di bagian bawahnya

(Timmermans & Moës, 1990).

F = F buoyancy - F gravity = (Df - Ds) gv

Dimana ;

F = total vertical force /total gaya vertikal

Df = fluid densit / densitas cairan

Ds = object density / densitas objek (obat)

v = volume dan,

g = acceleration due to gravity

Gambar. Mekanisme Floating System(Maheta et al., 2014).

Page 14: Gastroretentive Floating

Mekanisme Floating System dibagi menjadi 2 berdasarkan bentuk

sediaan obat :

1. Bentuk sediaan tunggal (Tablet , Kapsul)

Sistem yang seimbang secara hidrodinamis (Hydrodynamically Balance

Systems = HBS) yang dapat berupa tablet atau kapsul, dirancang untuk

memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam saluran cerna (dalam hal ini

di lambung) dan meningkatkan absorpsi. Sistem dibuat dengan menambahkan

2075% b/b hidrokoloid tunggal atau campuran ke dalam formula tablet atau

kapsul. Pada sistem ini akan dicampurkan bahan aktif obat, hidrokoloid (20-

75% dari bobot tablet) dan bahan bahan pembantu lain yang diperlukan (pada

umumnya proses pencampuran ini diikuti dengan proses granulasi),

selanjutnya granul dicetak menjadi tablet atau diisikan ke dalam kapsul.

Setelah dikonsumsi, di dalam lambung, hidrokoloid dalam tablet atau kapsul

berkontak dengan cairan lambung dan menjadi mengembang. Karena

jumlahnya hidrokoloidnya banyak (sampai 75%) dan mengembang maka

berat jenisnya akan lebih kecil dari berat jenis cairan lambung. Akibatnya

sistem tersebut menjadi mengapung di dalam lambung. Karena mengapung

sistem tersebut akan bertahan di dalam lambung, tidak mudah masuk ke dalam

pylorus dan terus ke usus. Hidrokoloid yang mengembang akan menjadi gel

penghalang yang akan membatasi masuknya cairan lambung ke dalam sistem

dan berkontak dengan bahan aktif obat, sekaligus akan mengatur pelepasan

bahan aktif obat dari system terapung itu ke dalam cairan lambung.

Formulasi sediaan tunggal mengalami masalah seperti saling menempel atau

terhambat dalam saluran cerna yang mungkin memiliki potensi bahaya yang

dapat mengiritasi saluran cerna. Sistem ini tidak layak dan irreproducible dan

memperlambat waktu tinggal dalam lambung jika diberikan secara oral.

2. Bentuk sediaan jamak

Page 15: Gastroretentive Floating

Sediaan jamak ini dapat berupa granul atau mikrosfer yang mengandung

komponen polimer yang dapat mengembang saat berkontak dengan cairan

lambung sehingga membentuk koloid penghalang yang mengendalikan

kecepatan penetrasi cairan ke dalam sistem dan kecepatan pelepasan obat dari

sistem sediaan. Adanya udara yang terperangkap dalam polimer yang

mengembang akan menurunkan bobot jenis sehingga mikrosfer dapat

mengapung.

Sistem ini merupakan pilihan yang baik karena dapat mengurangi variabilitas

pada absorbsi dan mengurangi kemungkinan dosis dumping (konsentrasi obat

meningkat sehingga menghasilkan toksisitas obat).

Bahan tambahan yang digunakan untuk formulasi FDDS

Polimer dan bahan tambahan lain yang digunakan untuk formulasi FDDS adalah sebagai

berikut:

1. Hidrokoloid (20% - 75%) : dapat berupa sintetik, anionik atau non-ionik seperti gom

hidrofilik, modifikasi derivat selulosa. Misalnya : Akasia, pektin, kitosan, agar,

kasein, bentonit, veegum, HPMC (K4M, K100M dan K15M), gom gellan (Gelrite®),

Na CMC, MC, HPC.

Bahan matriks yang paling sering digunakan adalah hydroxypropyl methylcellulose

(HPMC) merupakan turunan selulosa yang bersifat hidrofilik yang dapat

mengendalikan pelepasan kandungan obat didalamnya ke dalam medium pelarut.

HPMC dapat membentuk lapisan hidrogel yang kental di sekeliling sediaan

setelah kontak dengan cairan medium pelarut. Gel ini merupakan penghalang fisik

lepasnya obat dari matriks. Proses pelepasan obat dari matriks penghalang dapat

terjadi dengan mekanisme erosi dan difusi.

2. Bahan Lemak inert (5% - 75%): Edible, bahan lemak inert memiliki berat jenis

kurang dari 1 dapat digunakan untuk mengurangi sifat hidrofilik dari formulasi dan

sebaliknya dapat meningkatkan keterapungan. Misalnya : Beeswax (Cera), asam

lemak, lemak alkohol rantai panjang, Gelucires® 39/01 dan 43/01.

3. Bahan effervescent : NaHCO3, asam sitrat, asam tartrat, diNatrium Glisin Karbonat,

Sitroglisin.

Page 16: Gastroretentive Floating

4. Meningkatkan kecepatan pelepasan (5% - 60%) : laktosa, manitol

5. Memperlambat kecepatan pelepasan (5% - 60%) Misalnya : Dikalsium phospat, talk,

magnesium stearat

6. Bahan meningkatkan keterapungan (di atas 80%), misalnya etil selulosa

7. Bahan densitas rendah : serbuk busa polypropilen (Accurel MP 1000®).

Pengaruh Beragam Formulasi Pada Sifat Floating

Banyak hal yang mempengaruhi sifat mengapungnya sediaan FDDS karena

adanya variasi bahan tambahan yang digunakan. Variasi rasio HPMC / carbopol dan

penambahan Mg Stearat menentukan sifat floating. Penambahan Mg Stearat dapat

meningkatkan sifat floating secara signfikan. Namun jumlah hidroksi propil

metalselulosa yang tinggi tidak mempengaruhi kemampuan mengapung secara signifikan.

Rasio HPMC : Carbopol lebih tinggi menunjukkan sifat floating lebih baik.

Formulasi floating menggunakan polimer yang mengembang seperti HPMC

dan HPC tidak menunjukkan reprodusibiltas pada pelepasan dan waktu tinggal karena

pembengkakan sangat bergantung pada isi lambung dan osmolaritas medium dan

formulasi tertentu diamati akan tenggelam pada medium disolusi setelah waktu tertentu.

Lag time floating pada formulasi tersebut = 9 – 30 menit. Kemampuan pembentukan

gel dan kekuatan gel polisakarida bervariasi dari batch ke batch karena variasi pada

panjang rantai dan tingkat substitusi dan situasi ini diperburuk pada formulasi

effervescent dengan gangguan dari struktur gel melalui evolusi CO2 . Pembentuk

gel bereaksi sangat sensitif terhadap perbedaan osmolaritas media pelepasan, dengan

peningkatan pelepasan.

Suatu studi menjelaskan pengaruh tiga bahan pengisi yaitu Mikrokristalin selulosa

(MCC), dikalsium pospat dan laktosa pada sifat floating dari tablet bersalut. Tablet yang

mengandung laktosa mengapung lebih cepat daripada tablet yang mengandung kalsium

pospat (pengisi anorganik). Hal ini dapat dijelaskan karena tablet yang mengandung

laktosa memiliki densitas lebih rendah (1 g/cm3 pada kekerasan 30 N), sedangkan tablet

yang mengandung dikalsium pospat memiliki densitas lebih tinggi (1,9 g/cm3 pada

Page 17: Gastroretentive Floating

kekerasan 30 N).

Laktosa memiliki kelarutan dalam air lebih tinggi dan menunjukkan aktivitas

osmotik dan uptake dari medium lebih cepat pada inti tablet selama penyalutan. MCC,

pengisi yang tidak larut dengan uptake air yang lebih tinggi dan kemampuan

desintegrasi, mengakibatkan robeknya penyalutan dan desintegrasi tablet, CO2 tidak

berakumulasi pada penyalutan dan lepas melalui lapisan film yang robek, sehingga

floating tidak terjadi.

Evaluasi Floating Drug Delivery System

Berbagai parameter yang perlu dievaluasi pengaruhnya terhadap formulasi

gastroretensive floating terutama dapat dikategorikan ke dalam kelas yang berbeda

sebagai berikut :

1. Parameter fisik : ukuran diameter, flexibilitas dan BJ

2. Parameter kontrol : Waktu floating, dissolusi, specific gravity, keseragaman

kandungan dan kekerasan dan friabilitas (jika tablet).

3. Parameter geometrik : Bentuk

4. Parameter fisiologi : Usia, jenis kelamin, postur tubuh dan makanan

5. Tes keterapungan dan pelepasan obat secara invitro dilakukan pada cairan lambung

dan usus buatan, suhu konstan pada 37oC. Pada prakteknya waktu floating

ditentukan oleh alat disentrigator USP mengandung 900 ml 0,1 N HCl sebagai

medium percobaan dipertahankan suhu pada 37oC. Waktu yang dibutuhkan sediaan

HBS untuk mengapung disebut floatation time.

6. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat disolusi USP. Sampel diambil

secara periodik dari medium disolusi, diisi ulang dengan medium baru volume yang

sama setiap kali, dan dianalisa isi obatnya setelah pengenceran yang tepat.

6.1. Uji disolusi modifikasi menurut BP (1993) / USP (1990)

Dayung diletakkan pada permukaan medium disolusi. Hasil

yang diperoleh menunjukkan profil pelepasan disolusi biphasic reproducible

saat kecepatan dayung ditingkatkan dari 70 menjadi 100 rpm dan pH medium

disolusi bervariasi dari 6,0 – 8,0.

Page 18: Gastroretentive Floating

6.2 Uji Disolusi modifikasi menurut Gohel (2004)

Uji disolusi yang dilakukan untuk evaluasi bentuk sediaan floating system

berbeda dengan sediaan konvensional, baik dari segi alat maupun lamanya

proses disolusi. Salah satu metode disolusi untuk sediaan floating yang sangat

baik, seperti yang dipublikasikan oleh Gohel et al., 2004. Dalam uji disolusi

floating ini, digunakan gelas beker yang dimodifikasi dengan menambahkan

suatu saluran tempat sampling yang menempel pada dasar bekerglass. Medium

yang digunakan disesuaikan dengan keadaan dilambung baik pH, jumlah

cairan maupun kecepatan motilitas lambung (Gohel et al., 2004).

Gambar Desain alat disolusi untuk floating (Gohel et al., 2004).

Cara kerja uji disolusi menurut Gohel adalah sebagai berikut :

Tablet dimasukkan ke dalam Bekerglass (dimodifikasi untuk disolusi seperti

pada Gambar 4.1), yang berisi media disolusi larutan HCl pH 3,0 sebanyak

100 mL suhu diatur pada 37±0,5.ºC.

Stirrer dijalankan dengan kecepatan pengadukan 50 rpm selama 5 jam.

Larutan disampling sebanyak 5,0 mL pada waktu tertentu.

Page 19: Gastroretentive Floating

Kadar ditetapkan dengan metode spektrofotometri.

7. Uji Floating

Pengamatan sifat mengembang dan mengapung dilakukan secara visual, dengan cara

tablet dimasukkan dalam beker gelas 100 mL yang berisi larutan HCl pH 3,0

kemudian diamati sifat pengembangan dan pengapungannya selama 5 jam.

Gambar . Uji floating tablet lepas lambat propanolol HCl jam ke-0

Gambar . Uji floating tablet lepas lambat propanolol HCl jam ke-3

Page 20: Gastroretentive Floating

Gambar . Uji floating tablet lepas lambat propanolol HCl jam ke-5

Pada awal pengujian, tablet ke empat formula belum mengapung

(tenggelam) karena baru terjadi proses penetrasi air ke dalam tablet,yang selanjutnya

matriks akan mengembang. Bersamaan dengan pengembangan matriks, juga

terjadi gas yang dihasilkan dari reaksi asam sitrat dan natrium karbonat yang akan

membantu proses pengapungan tablet.

Pada jam ke tiga terlihat tablet pada semua mengembang dan mengapung. Sampai

jam ke 5 (5 jam pengamatan), tablet dari formula I dan II kembali tenggelam,

hal ini kemungkinan karena jumlah matriksnya kurang sehingga proses

pengapungan tidak dapat berlangsung lebih lama.

8. Sistem untuk memeriksa berlanjutnya sifat floating

Sistem untuk memeriksa berlanjutnya sifat floating digunakan keranjang stainless

steel dihubungkan dengan tali logam dan digantungkan pada neraca elektronik

asartorius. Benda yang mengapung dimasukkan pada affixed penangas air yang

ditutup untuk mencegah penguapan air. Gaya mengapung ke atas diukur dengan

neraca dan data ditransmisikan pada PC melalui interfase RS232C menggunakan

program sarto wedge.

Medium uji untuk mengukur kinetika floating menggunakan cairan lambung buatan

(pH 1,2) 900 ml suhu dipertahankan pada 37oC, data diambil pada interval waktu 30

Page 21: Gastroretentive Floating

detik; baseline dicatat dan dibagi dari tiap pengukuran. Keranjang disolusi memiliki

penyangga pada bagian dasarnya untuk mengukur gaya ke bawah.

9. Berat jenis FDDS

Berat jenis FDDS dapat ditentukan dengan metode pemindahan menggunakan

benzen analitik sebagai media pengganti. BJ awal (Bentuk kering) dari sediaan dan

perubahan kekuatan floating dengan waktu harus ditandai sebelum perbandingan

in vivo antara Unit Floating (F) dan unit non floating (NF). Selanjutnya optimalisasi

formulasi floating harus segera direalisasi dalam hal stabilitas dan daya tahan

kekuatan floating yang dihasilkan, sehingga menghindari variasi dalam kemampuan

floating yang mungkin terjadi selama studi in vivo.

10. Uji berat resultan

Alat ukur in vitro telah disusun untuk menentukan kemampuan floating yang

sebenarnya dari sediaan yg mengapung sebagai fungsi dari waktu. Uji ini

mengukur gaya ekivalen dengan gaya F yang dibutuhkan untuk menjaga objek

benar-benar tenggelam dalam cairan. Gaya ini menentukan berat resultan dari

objek ketika tenggelam dan dapat digunakan untuk mengukur kemampuan

mengapungnya atau tak-mengapung.

Besar dan arah gaya dan berat resultan sesuai dengan jumlah vektorial dari

keterapungan (F apung) dan gaya gravitasi (F grav) yang bekerja pada objek

seperti pada persamaan :

F = F apung – F grav

F = d f g V – d s g V = ( d f – d s ) gV

F = (d f – M / V) gV

Dimana;

F = gaya vertikal total (berat resultan objek)

Page 22: Gastroretentive Floating

g = percepatan gravitasi d f = densitas fluid

d s = densitas objek

M = massa objek

V = Volume objek

Gambar. Pengaruh berat resultan selama proses pengapungan pada sediaan

FDDS.

Berat resultan (+) menandakan bahwa gaya F diberikan ke atas dan objek itu

mampu mengambang. Sedangkan berat resultan (-) berarti bahwa gaya F ke

bawah dan benda tenggelam.

Persimpangan dari garis dasar nol oleh kurva berat resultan dari (+) terhadap

nilai-nilai (-) menunjukkan transisi dari bentuk sediaan dari kondisi floating ke

non floating. Perpotongan garis pada sumbu waktu sesuai dengan waktu floating

bentuk sediaan.

11. Metode γ- Scintigraphy

Page 23: Gastroretentive Floating

Pada studi invivo sediaan floating yang tertahan di lambung biasanya ditentukan

dengan gamma scntigraphy atau roentgenography. Penelitian dilakukan

pada subjek manusia muda dan sehat, baik dilakukan pada kondisi berpuasa atau

tidak menggunakan sediaan floating dan non-floating (kontrol). γ- Scintigraphy

merupakan metode evaluasi FDDS yang modern untuk mengevaluasi formulasi

gastroretentive pada sukarelawan sehat. Emisi γ radioisotop dicampurkan ke

dalam CR-DFs (Cathoda Ray direction Finder). Sejumlah isotop stabil mis.

152 Sm dicampurkan ke dalam DF selama pembuatan. Metode ini digunakan

untuk membantu memantau lokasi bentuk sediaan dalam GIT dan dapat

memprediksi dan menghubungkan waktu pengosongan lambung dan lintasan

bentuk sediaan pada GIT.

Kelemahan dari metode ini dapat berupa pasien terkena radiasi pengion,

terbatasnya informasi topografi, teknik resolusi rendah, pemakaiannya sulit dan

persiapan radiofarmasinya mahal.

12. Radiology

Metode ini sebagai evaluasi preklinis dari gastroretentivity. Lebih unggul

dibandingkan γ- Scintigraphy karena lebih sederhana dan lebih murah. Bahan

pengkontras biasanya digunakan Barium sulfat.

13. Gastroscopy

Endoskopi oral menggunakan fiberoptic dan video. Digunakan untuk memeriksa

secara visual efek memperlambat waktu tinggal FDDS dalam lambung.

14. Ultrasonography (USG)

Gelombang ultrasonik merefleksikan secara substansial perbedaan suara melalui

permukaan dan menampilkan organ perut. Karakterisasi meliputi

penilaian lokasi intragastrik dari hidrogel, penetrasi pelarut ke dalam gel dan

interaksi antara dinding lambung dan FDDS selama peristalsis.

15. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Peralatan yang bernilai pada penelitian GIT untuk menganalisis pengosongan

lambung, motilitas dan distribusi intragastrik bahan makanan dan model obat.

Page 24: Gastroretentive Floating

Keuntungan alat ini dapat berupa kontras jaringan lunak tinggi, resolusi spasial

dan temporal yang tinggi, dan tidak menimbulkan radiasi

APLIKASI FDDS

FDDS menawarkan aplikasi untuk obat yang memiliki bioavalabilitas rendah

karena sempitnya daerah absorbsi pada bagian atas GIT. FDDS mempertahankan bentuk

sediaan pada tapak absorbsi dan juga meningkatkan bioavailabilitas. Dapat diringkas

sebagai berikut :

1. Sustained drug delivery

Sistem HBS tetap berada di lambung dalam periode yang lama dan karenanya dapat

melepaskan obat dalam jangka waktu lama. Masalah waktu tinggal di lambung yang

singkat dihadapi dengan formulasi CR oral maka dapat diatasi dengan sistem ini.

Sistem ini memiliki bulk density < 1 , sehingga sistem ini dapat mengapung pada

isi lambung. Sistem ini ukurannya relatif besar sehingga tidak dapat melewati

pilorus.

Misalnya kapsul floating SR nikardipin hidroklorida dikembangkan dan dievaluasi

secara in vivo. Formulasi dibandingkan dengan sediaan kapsul MICARD yg tersedia

di pasaran dengan menggunakan kelinci. Kurva konsentrasi plasma dengan waktu

pada pemberian kapsul floating SR menunjukkan durasi yang lebh lama (16 Jam)

dibandingkan dengan kapsul MICARD konvensional (8 Jam).

2. Penyampaian Obat Pada Tapak Khusus

Sistem ini sangat menguntungkan untuk obat yang khusus diabsorbsi dari lambung

atau bagian proksimal usus halus, seperti Riboflavin dan furosemid.

Misalnya furosemid terutama diabsorbsi dari lambung diikuti oleh duodenum. Telah

dilaporkan bahwa sediaan floating monolitik dengan waktu tinggal di lambung yg

lama dikembangkan dan bioavailabilitas meningkat. Pada sediaan tablet floating AUC

diperoleh sekitar 1,8 x daripada tablet furosemid konvensional.

3. Peningkatan Absorbsi

Page 25: Gastroretentive Floating

Obat yang memiliki bioavailablitas rendah karena tapak absorbsi khusus dari bagian

atas GIT adalah kandidat potensial untuk diformulasikan sebagai FDDS sehingga

memaksimalkan absorbsinya.

Misalnya pada bentuk sediaan floating dapat dicapai peningkatan bioavailabilitas yg

signifikan (42,9%) dibandingkan dengan sediaan tablet LASIX yang tersedia di

pasaran (33,4%) dan produk salut enterik LASIX-long (29,5%).

Keuntungan FDDS

1. Sistem Gastroretentive menguntungkan untuk obat yang diabsorbsi di

lambung Misal : Garam Fero, Antasida

2. Formulasi HBS berguna untuk zat asam seperti aspirin (obat sejenis lainnya) yang

dapat menyebabkan iritasi bila kontak dengan dinding lambung.

3. Pemberian sediaan floating seperti tablet atau kapsul yang dapat

memperpanjang pelepasan obat akan mengakibatkan disolusi obat pada cairan

lambung. Sediaan tersebut melarut dalam cairan lambung sesuai untuk absorbsi

pada usus halus setelah pengosongan isi lambung. Sehingga diharapkan obat akan

sepenuhnya diabsorbsi dari sediaan floating jika tetap dalam bentuk larutan bahkan

pada pH basa dari usus.

4. Ketika ada gerakan usus yang kuat dan waktu tinggal obat yang singkat seperti

keadaan diare, absorbsi obat yang sedikit diharapkan. Pada keadaan seperti ini

mungkin menguntungkan untuk menjaga obat dalam kondisi mengapung pada

lambung untuk mendapatkan respon yang lebih baik.

Kelemahan FDDS :

1. Sistem Floating tidak layak untuk obat-obatan yang memiliki masalah dalam kelarutan

atau stabilitas pada GIT.

2. Sistem ini membutuhkan cairan level tinggi pada lambung untuk penyampaian obat

mengapung dan tersalut dengan baik.

Page 26: Gastroretentive Floating

3. Obat yang diserap secara signifikan di seluruh GIT, hanya yang mengalami

metabolisme lintas pertama kandidat yang diinginkan.

4. Beberapa obat yang termasuk pada sistem floating menyebabkan iritasi pada mukosa

lambung.

Sediaan FDDS

Tabel 1 Obat yang digunakan pada formulasi sediaan FDDS berdasarkan tipe bentuk

sediaan

Tabel 2. Sediaan FDDS yang ada di pasaran

Page 27: Gastroretentive Floating

KESIMPULAN

Dari uraian mengenai Floating Drug Delivery System maka dapat

disimpulkan bahwa FDDS merupakan sediaan yang potensial untuk menahan retensi

lambung, hal ini disebabkan karena floating system merupakan sistem dengan densitas

yang kecil, yang memiliki kemampuan mengembang kemudian mengapung dan tinggal di

lambung untuk beberapa waktu sehingga menyebabkan antara lain:

1. Sistem ini tetap berada di lambung dalam periode yang lama dan karenanya

dapat melepaskan obat dalam jangka waktu lama.

2. Dapat memaksimalkan absorbsi obat yang memiliki bioavailabilitas yang

rendah.

3. Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal ataupun obat yang

diabsorbsi di lambung seperti antasida.

4. Menguntungkan untuk zat asam seperti aspirin (obat sejenis lainnya) yang

dapat menyebabkan iritasi bila kontak dengan dinding lambung.

Page 28: Gastroretentive Floating

Referensi

Chawla, G. (2003). A means to address regional variability in intestinal drug absorption. Pharm tech, 27, 50–68.

Gohel, M. C., Mehta, P. R., Dave, R. K., & Bariya, N. H. (2004). A More Relevant Dissolution Method for Evaluation of a Floating Drug Delivery System. dissolutiontech, 11, 22–26.

Maheta, H., Patel, M., Patel, K., & Patel, M. (2014). Review: An Overview on Floating Drug Delivery System. PharmaTutor, 2(3), 61–71.

Timmermans, J., & Moës, A. J. (1990). How well do floating dosage forms float? International Journal of Pharmaceutics, 62(2–3), 207–216. doi:10.1016/0378-5173(90)90234-U

Page 29: Gastroretentive Floating

BAB IV

KESIMPULAN

Page 30: Gastroretentive Floating

DAFTAR PUSTAKA