fs fix cover & kata pengantar
DESCRIPTION
fieldstudyTRANSCRIPT
MAKALAH FIELD STUDY
Disusun oleh :
Kelompok 19
Eka Ulfatul Fitriani (1310211001)
Alfiah (1310211019)
Iin Intansari (1310211030)
Ita Rosita (1310211064)
Rahajeng Darayani Adzahana (1310211083)
Pembimbing :
drg. Nunuk Nugrohowati, MS
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya kami dapat menyelesaikan laporan Field Study ini dan tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada koordinator Field Study dan dosen-dosen pembimbing, serta pihak puskesmas yang telah membantu sehingga terselesaikannya laporan ini.
Laporan ini kami buat sebagai hasil dari kunjungan ke Kelurahan Pondok Cina dalam rangka menjalani program Field Study FK UPN Veteran Jakarta yang mana di dalamnya kami melakukan upaya promosi kesehatan bertemakan
Pencegahan dan Penanggulangan Diare dalam bentuk penyuluhan kepada perwakilan ibu-ibu
tiap RW Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok.
Demikian Laporan Field Study ini kami buat, mohon maaf jika terdapat kekurangan dalam penyusunan laporan dan pengolahan data. Semoga dapat memenuhi syarat penilaian dari program Field Study.
Jakarta, 6 Desember 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit diare hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia,
dimana setiap tahunnya kejadian kasus diare sekitar 4 miliar, dengan jumlah kematian
sebesar 2,2 juta per tahun (Arvelo et al., 2010). Sebanyak 6% kematian yang disebabkan
diare, sebagai akibat dari konsumsi air yang berasal dari sumber air yang tidak aman,
sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, perilaku yang buruk dan praktek kebersihan
makanan (Masangwi et al.,2010). Di Indonesia penyakit diare juga masih menjadi masalah
di bidang kesehatan. Angka kesakitan diare sekitar 15-43% tiap tahun. Dari jumlah tersebut
60-80% diderita oleh anak balita. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor
penyebab antara lain virus, bakteri, parasit, jamur, alergi makanan, minuman maupun obat-
obatan serta faktor penyebab lainnya seperti keadaan gizi, hiegine dan sanitasi, sosial
budaya, musim dan sosial ekonomi. (Winarno & Sundari, 1996). Di Indonesia diare
merupakan salah satu penyebab kematian pada anak diantaranya karena infeksi rotavirus
(Umam, 2012). Hasil Riskesdas 2007 bahwa diare merupakan penyebab kematian bayi
tertinggi yaitu 42 % dibanding Pneumonia sebesar 24 %. Pada golongan umur 1-4 tahun
sebanyak 25,2 % kasus kematian disebabkan diare dan 15,5 % disebabkan oleh pneumonia.
Kejadian diare pada setiap balita per tahunnya adalah 1,6-2 kali kejadian. Diperkirakan
kejadian diare sebanyak 40 juta setiap tahunnya dengan jumlah kematian 200.000-400.000
balita. Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa telah terjadi KLB diare di 15 provinsi dengan
penderita berjumlah 8.443 orang, dengan jumlah kematian 209 orang atau Case Fatality Rate
(CFR) 2,48 % (Subagyo, 2012). Diare selalu masuk dalam 10 besar masalah kesehatan dan
penyakit yang terjadi pada seluruh puskesmas di Indonesia bersama Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) (Achmadi, 2008). Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih 2
menjadi penyebab utama kematian dan menyumbangkan sekitar 33 % total kematian semua
kelompok umur. Masalah ini disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
masyarakat dalam memelihara kesehatan lingkungan misalnya pembuangan kotoran, air
limbah, pembuangan sampah dan penyediaan air bersih, yang akan berpengaruh terhadap
kondisi kesehatan khususnya tingginya masalah penyakit infeksi pencernaan diantaranya
penyakit diare (Slamet, 2004). Setiap hari lebih dari 5000 balita meninggal dunia
dikarenakan infeksi penyakit ini, penyebab utamanya yaitu tidak baiknya kondisi sanitasi.
Diare adalah penyakit berbasis lingkungan yang sering berhubungan dengan air, dan sering
disebut water borne disease atau penyakit bawaan air. Gambaran dari transmisi penyakit ini
adalah siklus faecal oral dimana siklus ini dikenal dengan five fs yaitu fingers, fields, fluids,
foods and files yang berhubungan dengan lingkungan (Bartram, 2008). Cara dan tempat
penyimpanan air bersih yang tidak benar di daerah sulit air dapat menyebabkan kontaminasi
dan berhubungan dengan kejadian diare. Kebiasaan tidak melakukan cuci tangan sebelum
makan dan sesudah buang air besar dapat menjadi risiko diare dengan meningkatkan tingkat
kematian lebih dari 40 % (Shrestha et al., 2006). Berkembangnya penyakit diare berkaitan
dengan perilaku hidup sehat. Transmisi penularan diare secara fecal oral melalui tangan, air,
tanah, makanan dan minuman dapat diputus dengan sanitasi lingkungan yang baik, perilaku,
peningkatan pengetahuan dan tersedianya sumber air yang memenuhi syarat kesehatan
(Soemirat, 2011). Penyakit diare merupakan penyakit berpotensi terjadi penularan secara
besar-besaran dan menimbulkan KLB. Terjadinya penyakit yang diketahui atau diduga
disebabkan oleh infeksi atau infestasi parasit, melampaui jumlah wajar atau tidak selayaknya
ada di tempat dan waktu tertentu dikatagorikan sebagai KLB. Ancaman terjadinya KLB
terwujud bila didukung populasi manusia yang rentan, penyebab penyakit dan adanya
mekanisme penularan penyakit secara besar-besaran misalnya kontaminasi sumber air dan
populasi vektor yang membengkak (Bres, 1995).
Maka dari itu, penting dilakukan suatu upaya intervensi terhadap tingkat pengetahuan di
lini dasar terlebih dahulu, yakni lingkungan rumah. Intervensi dilakukan dalam bentuk
promosi kesehatan. Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1114/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah,
promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri
sendiri, serta mengembangkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh,
untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai social budaya setempat
dan didukung kebijakan public yang berwawasan kesehatan. (Kemenkes RI, 2011).
Kami melakukan kegiatan fieldstudy tanggal 2 Desember 2015, kami melakukan upaya
promosi kesehatan bertemakan Pencegahan dan Penanggulangan Diare dalam bentuk
penyuluhan kepada perwakilan ibu-ibu tiap RW Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji,
Depok.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud Diare beserta perilaku / kebiasaan yang dapat menyebabkan
penyakit diare?
1.2.2. Bagaimana cara penanganan pasien diare yang dapat dilakukan di lingkungan rumah
tangga?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Mengidentifikasi hubungan kejadian diare dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada
masyarakat Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok.
1.3.2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pengetahuan, pencegahan dan penanganan
terhadap diare pada masyarakat Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok.
1.3. Manfaat Penelitian
1.3.1. Bagi Mahasiswa/i
Sebagai proses dalam menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang diare
serta penanganan diare dalam rumah tangga.
1.3.2. Bagi Masyarakat
Peneliti mengharapkan bahwa dari hasil penelitian ini masyarakat bisa mendapatkan
informasi mengenai penyakit diare beserta penanganannya didalam rumah tangga
sehingga masyarakat bisa lebih siaga dan sigap apabila anggota keluarganya terkena
penyakit diare.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep diare
2.1.1. Definisi Diare
Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak
normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian ilmu
kesehatan anak FK UI, 1998).Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang
tidak normal atau tidak seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran
serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan
tanpa lender darah. (Aziz, 2006).Diare dapat juga didefinisikan sebagai suatu kondisi
dimana terjadi perubahan dalam kepadatan dan karakter tinja, atau tinja cair dikeluarkan
tiga kali atau lebih perhari. (Ramaiah,2002).Diare merupakan salah satu gejala dari
penyakit pada sistem gastrointestinal atau penyakit lain diluar saluran pencernaan.
(Ngastiyah, 2003). Jadi diare adalah buang air besar yang frekuensinya lebih dari 3 kali
sehari dengan konsistensi tinja yang encer.
2.1.2. Klasifikasi Diare
Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :
a. Diare akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja
yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare yang berlangsung
kurang dari 14 hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan
banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare akut dapat
dibedakan dalam empat kategori, yaitu: (1) Diare tanpa dehidrasi, (2) Diare dengan
dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat badan, (3) Diare dengan
dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari berat badan, (4) Diare
dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%.
b. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari
diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.
c. Diare kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-
infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang
menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008), diare kronik
adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2 minggu lebih.
2.1.3. Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor Infeksi
1. Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare
pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi: (a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya. (b) Infeksi virus:
Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus
dan lain-lain. (c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides),
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur
(candida albicans).
2. Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis
Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya.
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang
terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
Malabsorbsi lemak3. Malabsorbsi protein
c. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare
terutama pada anak yang lebih besar.
e. Faktor Pendidikan
Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP ke
atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik
pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah.
Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin baik
tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.
f. Faktor pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai pendidikan
yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani.
Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi
ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga
mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit.
g. Faktor umur balita
Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur 12-24
bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.
h. Faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi lingkungan. Dua
faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak
sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian
penyakit diare.
i. Faktor Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan
dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi
dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini
disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi
yaitu baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk = <70 dengan BB per TB.
j. Faktor sosial ekonomi masyarakat
Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare.
Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli
yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang
memenuhi persyaratan kesehatan.
k. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi
Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak
dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada
kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan
kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat
makan dan dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri
Etamoeba colli, salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta
parasite yaitu cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan).
l. Faktor terhadap Laktosa (susu kalemg)
Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi yang
tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI
penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Menggunakan botol
susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI
mengandung antibody yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab
diare seperti Sigella dan V.Cholerae.
2.1.4. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler.
Diare terjadi jika bahan yang secara osmotic dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa
larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut didalamnya
akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa
larutan hipertonik, air, dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler kedalam
lumen usus sampai osmolaritas dari usus sama dengan cairan ekstraseluler dan
darah,sehingga terjadi pula diare.
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul
karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Akibat rangsangan mediator abnormal
misalnya enterotoksin, menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan
sekresi klorida disel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Diare mengakibatkan terjadinya:
(1) Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi,
asidosis metabolik dan hypokalemia.
(2) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai
akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang
sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila
tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
(3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan yang berlebihan karena diare dan
muntah. Kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut
bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam
bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah
menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan, sehingga akibat
hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat menyebabkan kejang dan koma
(Suharyono, 2008).
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare
pula.
Patogenesis diare akut adalah:
(a) Masuknya jasad renik yang msih hidup kedalam usus halus setelah berhasil melewati
rintangan asam lambung.
(b) Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus halus.
(c) Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin Diaregenik).
(d) Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Patogenesis Diare kronis: Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah
infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.
2.1.5. Patofisiologi
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis),
bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit (Biardia, Lambia). Beberapa
mikroorganisme pathogen ini me nyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi
enterotoksin atau cytotoksin Penyebab dimana merusak sel-sel, atau melekat pada
dinding usus pada gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal oral
dari satu klien ke klien lainnya. Beberapa
kasus ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang
terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang
tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus
berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat
toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi
diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik.
Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang
mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan
gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi.
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi:
(a) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya).
(b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran
bertambah).
(c) Hipoglikemia,
(d) Gangguan sirkulasi darah.
2.1.6. Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat,
nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin
disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan
karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya
defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat
yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah
dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut
meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita
telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin tampak. Berat
badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung,
selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan
yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan
berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan
hipertonik. (Mansjoer, 2009)
Table 2.1
Penentua
n Derajat
Dehidrasi
WHO No
Tanda dan
Gejala
Dehid
rasi
Ringa
n
Dehi
drasi
Seda
ng
Dehidrasi Berat
1 Keadaan
Umum
Sadar
,
gelisa
h,
haus
Geli
sah,
men
gant
uk
Mengantuk, lemas,
anggota gerak dingin,
berkeringat, kebiruan,
mungkin koma, tidak
sadar.
2 Denyut nadi Norm
al
kuran
g dari
120/
menit
Cep
at
dan
lema
h
120-
140/
men
it
Cepat, haus, kadang-
kadang tak teraba,
kurang dari 140/menit
3 Pernafasan Norm
al
Dala
m,
mun
gkin
cepa
t
Dalam dan cepat
4 Ubun-ubun
besar
Norm
al
Cek
ung
Sangat cekung
5 Kelopak mata Norm
al
Cek
ung
Sangat cekung
6 Air mata Ada Tid Sangat kering
ak
ada
7 Selaput lendir Lemb
ab
Ker
ing
Sangat kering
8 Elastisitas kulit Pada
pencu
bitan
kulit
secar
a
elasti
s
kemb
ali
secar
a
norm
al
La
mba
t
Sangat lambat (lebih
dari 2 detik)
9 Air seni
warnanya tua
Norm
al
Ber
kur
ang
Tidak kencing
2.1.7. Epidemiologi
Penyebab diare ditinjau dari host, agent dan environment, yang diuraikan sebagai berikut:
a. Host
Menurut Widjaja (2004), bahwa host yaitu diare lebih banyak terjadi pada balita, dimana
daya tahan tubuh yang lemah/menurun system pencernaan dalam hal ini adalah lambung
tidak dapat menghancurkan makanan dengan baik dan kuman tidak dapat dilumpuhkan
dan betah tinggal di dalam lambung, sehingga mudah bagi kuman untuk menginfeksi
saluran pencernaan. Jika terjadi hal demikian, akan timbul berbagai macam penyakit
termasuk diare.
b. Agent
Agent merupakan penyebab terjadinya diare, sangatlah jelas yang disebabkan oleh faktor
infeksi karena faktor kuman, malabsorbsi dan faktor makanan. Aspek yang paling banyak
terjadi diare pada balita yaitu infeksi kuman e.colli, salmonella, vibrio chorela (kolera)
dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebih dan patogenik (memanfaatkan
kesempatan ketika kondisi lemah) pseudomonas. (Widjaja, 2004).
c. Environment
Faktor lingkungan sangat menentukan dalam hubungan interaksi antara penjamu (host)
dengan faktor agent. Lingkungan dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu
lingkungan biologis (flora dan fauna disekitar manusia) yang bersifat biotik:
mikroorganisme penyebab penyakit, reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan),
vector pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang pembawa sumber bahan makanan,
obat, dan lainnya. Dan juga lingkungan fisik, yang bersifat abiotic: yaitu udara, keadaan
tanah, geografi, air dan zat kimia. Keadaaan lingkungan yang sehat dapat ditunjang oleh
sanitasi lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan dan kebiasaan masyarakat untuk
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pencemaran lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan agent yang berdampak pada host (penjamu) sehingga mudah untuk timbul
berbagai macam penyakit, termasuk diare.
2.1.8. Cara Penularan
Menurut junadi, purnawan dkk, (2002), bahwa penularan penyakit diare pada balita
biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena:
(1) Menelan makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air).
(2) Beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut : (a) Tidak
memadainya penyediaan air bersih, (b) kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air
oleh tinja, (c) penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.
Cara penularan penyakit diare adalah Air (water borne disease), makanan (food borne
disease), dan susu (milk borne disease). Menurut Budiarto (2002) bahwa secara umum
faktor resiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya penyakit diare yaitu
faktor lingkungan (tersedianya air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah,
pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi
saluran pencernaan, alergi, malabsorbsi, keracunan, imunodefisiensi, serta sebab-sebab
lain. Sedangkan menurut Sutono (2008) bahwa pada balita faktor resiko terjadinya diare
selain faktor intrinsic dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu dan
pengasuh balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat
bergantung pada lingkungannya. Dengan demikian apabila ibu balita atau ibu pengasuh
balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare pada balita
tidak dapat dihindari. Diakui bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya diare tidak berdiri
sendiri, tetapi sangat kompleks dan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berkaitan satu sama lain, misalnya faktor gizi, sanitasi lingkungan,
keadaan social ekonomi, keadaan social budaya, serta faktor lainnya. Untuk terjadinya
diare sangat dipengaruhi oleh kerentanan tubuh, pemaparan terhadap air yang tercemar,
system pencernaan serta faktor infeksi itu sendiri. Kerentanan tubuh sangat dipengaruhi
oleh faktor genetik, status gizi, perumahan padat dan kemiskinan.
2.1.9. Pencegahan Diare
Pengobatan diare dengan upaya rehidrasi oral, angka kesakitan bayi dan anak balita yang
disebabkan diare makin lama makin menurun. Menurut Suharti (2007), bahwa kesakitan
diare masih tetap tinggi ialah sekitar 400 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu jalan pintas
yang sangat ampuh untuk menurunkan angka kesakitan suatu penyakit infeksi baik oleh
virus maupun bakteri. Untuk dapat membuat vaksin secara baik, efisien, dan efektif
diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kekebalan tubuh pada umumnya terutama
kekebalan saluran pencernaan makanan.
1. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI
saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada
makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini. Menurut Supariasa dkk (2002), bahwa
ASI adalah makanan bayi yang paling alamiah, sesuai dengan kebutuhan gizi bayi dan
mempunyai nilai proteksi yang tidak bisa ditiru oleh pabrik susu manapun. Tetapi pada
pertengahan abad ke-18 berbagai pernyataan penggunaan air susu binatang belum
mengalami berbagai modifikasi. Pada permulaan abad ke-20 sudah dimulai produksi
secara masal susu kaleng yang berasal dari air susu sapi sebagai pengganti ASI. ASI steril
berbeda dengan sumber susu lain, susu formula, atau cairan lain disiapkan dengan air
atau bahan-bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja tanpa
cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya
bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan ini disebut disusui
secara penuh. Menurut Sulastri (2009), bahwa bayi-bayi harus disusui secara penuh
sampai mereka berumur 4-6 bulan, setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI
harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih). ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibody dan zat-zat lain
yang dikandungnya, ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang
baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap
diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.
2. Makanan pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Menurut Supariasa dkk (2002) bahwa pda masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan
pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun
penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping
ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan
pendamping ASI diberikan. Untuk itu menurut Shulman dkk (2004) bahwa ada beberapa
saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih
baik, yaitu (1) perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan
pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih.
Berikan makanan lebih sering (4x sehari), setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua
makanan yang dimasak dengan baik, 4 - 6x sehari, teruskan pemberian ASI bila mungkin.
(2) Tambahkan minyak, lemak, gula, kedalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energy.
Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan
sayuran berwarna hijau kedalam makanannya. (3) Cuci tangan sebelum menyiapkan
makanan dan menyuapi anak, suapi anak dengan sendok yang bersih. (4) Masak atau
rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan
dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa untuk melakukan pola perilaku hidup
bersih dan sehat dilakukan beberapa penilaian antara lain :
(1) penimbangan balita. Apabila ada balita pertanyaannya adalah apakah sudah ditimbang
secara teratur keposyandu minimal 8 kali setahun,
(2) Gizi, anggota keluarga makan dengan gizi seimbang,
(3) Air bersih, keluarga menggunakan air bersih (PAM, sumur) untuk keperluan sehari-
hari,
(4) Jamban keluarga, keluarga buang air besar dijamban/WC yang memenuhi syarat
kesehatan,
(5) Air yang diminum dimasak terlebih dahulu,
(6) Mandi menggunakan sabun mandi,
(7) Selalu cuci tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun,
(8) Pencucian peralatan menggunakan sabun,
(9) Limbah,
(10) Terhadap faktor bibit penyakit :
(a) Membrantas sumber penularan penyakit, baik dengan mengobati penderita maupun
carrier atau dengan meniadakan reservoir penyakit,
(b) Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik ditempat umum maupun dilingkungan
rumah,
(c) Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat memperbaiki dan memelihara
kesehatan,
(d) Terhadap faktor lingkungan, mengubah atau mempengaruhi faktor lingkungan hidup
sehingga faktor-faktor yang tidak baik dapat diawasi sedemikian rupa sehingga tidak
membahayakan kesehatan manusia.
2.1.10. Penatalaksaan
Prinsip penatalaksanaan diare menurut RI antara lain dengan rehidrasi, nutrisi,
medikamentosa,
(a) Dehidrasi, diare cair membutuhkan pengganti cairan dan elektrolit tanpa melihat
etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah yang telah hilang
melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui
keringat, urin, pernafasan, dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui
tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat
dehidrasi serta berat masing-masing anak atau golongan umur,
(b) Nutrisi. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk
menghindari efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare
akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi gizi
anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni pasien segera diberikan
makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energy dan protein,
makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah
dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI
diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan, pemberian
vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup,
(c) Medikamentosa. Antobiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, obat-
obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium,
adsorben seperti norit, kaolin, attapulgit, anti muntah termasuk prometazin dan
kloropomazin.
Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga yaitu
rencana pengobatan A, B, dan C yang diuraikan sebagai berikut:
a. Rencana pengobatan A
Rencana pengobatan A digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi
diare dirumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang
dianjurkan seperti oralit, makanan cair, air matang. Gunakanlah larutan untuk anak seperti
dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 2.2 kebutuhan
Oralit Per
Kelompok
Umur Umur
(Tahun)
3 jam pertama
atau tidak
haus atau
sampai tidak
gelisah lagi
Selanjutnya
tiap kali
mencret
<1 1 ½ gelas ½ gelas
1-5 3 gelas 1 gelas
>5 6 Gelas 4 Gelas
b. Rencana pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang dengan
cara 3 jam pertama diberikan 75ml/kg BB, berat badan anak tidak diketahui, berikan
oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:
Tabel 2.3
Umur <1
Tahun
1 – 5
Tahun
>5
tahun
Jumlah
oralit 300 600 1200
Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan
ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200ml air
masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian
pilih rencana A, B, dan C untuk melanjutkan.
c. Rencana pengobatan C
Rencana pengobatan C digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat berat. Pertama-
tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik
maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana
pengobatan yang sesuai.
2.1.11. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah:
a. Pemeriksaan tinja
b. Makroskopis dan mikroskopis
c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga
terdapat intoleransi gula.
d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan pH
dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut
ASTRUP (bila memungkinkan).
f. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam
serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasite
secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
2.1.12. Penanganan Diare
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare adalah masalah
kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi ini bila tidak segera diatasi
dapat membawa bahaya terutama bagi balita dan anak-anak. Bagi penderita diare ringan
diberikan oralit, tetapi bila dehidrasi berat maka perlu dibantu dengan cairan intravena
atau infus. Hal yang tidak kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan tubuh
adalah pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare pemasukan makanan
akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu makan dan kehilangan makanan secara
langsung melalui tinja atau muntah dan peningkatan metabolisme selama sakit. (sitorus,
2008).
2.1.13. Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai
macam komplikasi seperti:
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik
c. Hypokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia,
perubahan pada elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase karena kerusakan
vili mukosa usus halus.
f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami
kelaparan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam kegiatan fieldstudy pada tanggal 2 Desember 2015, kami melakukan serangkaian
kegiatan penyuluhan di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok. Kami
melakukan penyuluhan di kantor Kelurahan selama satu jam dengan peserta sebanyak 23
orang. Kegiatan dimulai dengan perkenalan diri, kemudian kami lakukan bina suasana
dengan para peserta penyuluhan. Setelah suasana kondusif, kami memberikan lembar
kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta sebelum dilakukan penyuluhan.
Setelah semua peserta sudah selesai menjawab kuesioner, kami membagikan leaflet
kepada para peserta dan mempresentasikan materi dengan powerpoint dan poster.
Setelah presentasi materi berakhir kami melakukan diskusi dan tanya jawab dengan para
peserta peyuluhan, kemudian, kami membagikan kuesioner yang sama kepada para
peserta untuk mengetahui tingkat pengetahuan mereka setelah penyuluhan.
Promosi Kesehatan
1. Bina Suasana
untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendorong anggota penyuluhan untuk mau
menerapkan pengetahuan yang mereka dapat melalui penyuluhan, kami melakukan bina
suasana kelompok di kantor Kelurahan Kecamatan Beji, Kelurahan Pondok Cina, Depok.
2. Pemberian Materi
Kami menyampaikan materi tentang pencegahan dan penanggulangan diare dengan
menggunakan media poster, leaflet, powerpoint dan video. Kami menggunakan poster
dan leaflet dari Departemen Kesehatan RI tentang diare dan juga menampilkan video
pada akhir materi. Selain itu kami juga melakukan interaksi dengan tanya jawab langsung
terhadap peserta penyuluhan.
3. Kuesioner
Kuesioner berisikan karakteristik responden berupa nama, umur, jenis kelamin dan
tingkat pendidikan responden; dan sembilan pernyataan mengenai pengetahuan diare
dimana para peserta dapat memilih apakah pernyataan tersebut benar atau salah.
Data yang kami dapatkan berupa data primer hasil kuesioner peserta. Data tersebut kami
olah ke dalam SPSS 17.0 untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat pengetahuan para
peserta sebelum dan sesudah penyuluhan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pre-Test dan Post-Test
Nama Responden Nilai Pre-Test Nilai Post-Test
Siti Komariah 9 9Napsiah 3 7Amiyati 5 7Rumyanih 8 8Rusyanih 7 8Rita Ningsih 8 9Siti Salbiah 8 9Titin 8 9Rusiyanah 6 8Nurimah 8 9Nini 9 9Dede Armanih 8 5Suyati 8 8Lissy 7 7Mariamah 7 7Parisin 8 9Siti Nurseha 8 9Sriyanti 9 8Choiriah 9 9Marwani 7 8Tati Elawati 6 7Yunita 8 9Ais Rahayu 6 7JUMLAH RESPONDEN 23
Tabel 4.1 Hasil nilai pre-test dan post-test
4.2 Statistik Deskriptif
4.2.1 Rata-rata
Untuk data tak berkelompok:
Rata-rata nilai pre-test : 7,39
Rata-rata nilai post-test : 8,04
Kesimpulan : terdapat peningkatan nilai rata-rata dari hasil 7,39 pada pre-test dan 8.04 pada post-test, hal ini menunjukkan terjadi peningkatan nilai ataupun pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan
4.2.2 Median
Responden berjumlah 23 (ganjil) sehingga rumus yang digunakan adalah rumus median untuk data ganjil.
Nilai Pre-Test Nilai Post-Test3 55 76 76 76 77 77 77 87 88 88 88 88 88 98 98 98 98 98 99 99 99 99 9
Table 4.2 Hasil pre-test dan post-test setelah data diurutkan dari terkecil ke data terbesar.
Median pada nilai pre-test = 8
Median pada nilai post-test = 8
4.2.3 Modus
Modus = Nilai dengan frekuensi terbanyak
Nilai Pre-Test Nilai Post-Test3 55 76 76 76 77 77 77 87 88 88 88 88 88 98 98 98 98 98 99 99 99 99 9
Tabel 4.3 Hasil pre-test dan post-test
Modus dari data pre-test = 8
Modus dari data post-test = 9
Kesimpulan = terdapat perbedaan dan peningkatan nilai modus dari data nilai pre-test dan post-test, hal ini menandakan terjadi peningkatan pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan.
4.2.4 Hasil SPSS
4.3 Statistik Analitik
4.3.1 Uji Normalitas
Hipotesis :Ho = data berdistribusi normal H1 = data tidak berdistribusi normal
Asumsi :nilai signifikan / P-Value < 0,05 ; maka Ho ditolak.nilai signifikan / P-Value > 0,05 ; maka Ho diterima.
Responden berjumlah 23 maka table yang dilihat adalah Shapiro-Wilk.
Sig. untuk pre-test : 0.002 < 0,05; maka Ho ditolak
Sig. untuk post-test : 0.001 < 0.05; maka Ho ditolak
Kesimpulan : data tidak berdistribusi normal
Karena data tidak normal, dilakukan transformasi data.
Statistics
pre_test post_test
N Valid 23 23
Missing 1 1Mean 7.39 8.04Median 8.00 8.00Mode 8 9
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
pre_test .273 23 .000 .839 23 .002post_test .250 23 .001 .805 23 .000
a. Lilliefors Significance Correction
4.3.2 Transformasi Data
Pre test Post Test
9.00 9.00
3.00 7.00
5.00 7.00
8.00 8.00
7.00 8.00
8.00 9.00
8.00 9.00
8.00 9.00
6.00 8.00
8.00 9.00
9.00 9.00
8.00 5.00
8.00 8.00
7.00 7.00
7.00 7.00
8.00 9.00
8.00 9.00
9.00 8.00
9.00 9.00
7.00 8.00
6.00 7.00
8.00 9.00
6.00 7.00
Table 4.4 Hasil transformasi data
Uji Normalitas:
Hipotesis :Ho = data berdistribusi normal H1 = data tidak berdistribusi normal
Asumsi :nilai signifikan / P-Value < 0,05 ; maka Ho ditolak.nilai signifikan / P-Value > 0,05 ; maka Ho diterima.
Hasil uji normalitas : data tidak berdistribusi normalKesimpulan : Data tetap tidak normal setelah ditransformasi, sehingga tidak dapat diuji dengan uji parametrik ( uji t dependen). Maka data akan diuji dengan uji non parametrik ( uji wilcoxon ).
4.3.3 Uji Wilcoxon
Hipotesis :Ho = tidak terdapat perbedaan pengetahuan antara hasil nilai pre-test dengan nilai post-testHi = terdapat perbedaan pengetahuan antara hasil nilai pretest dengan nilai
posttest
Asumsi :nilai signifikan / P-Value < 0,05 ; maka Ho ditolak.nilai signifikan / P-Value > 0,05 ; maka Ho diterima.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
pre_test1 .273 23 .000 .839 23 .002post_test1 .250 23 .001 .805 23 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Test Statisticsb
post_test - pre_test
Z -2.529a
Asymp. Sig. (2-tailed)
.011
a. Based on negative ranks.b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Signifikan / P-Value = 0.011 < 0,05 Ho diterima
Kesimpulan : tidak terdapat perbedaan pengetahuan antara hasil nilai pretest dengan nilai posttest
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari analisis yang dilakukan antara antara nilai pretest dengan nilai posttest dapat
disimpulkan bahwa nilai keseluruhan pengetahuan peserta terhadap penyakit diare tergolong
kurang sebelum dilakukan penyuluhan namun terjadi peningkatan pengetahuan setelah
dilakukan penyuluhan.
5.2 Saran
Meningkatkan kegiatan penyuluhan mengenai penyakit diare dengan bantuan dokter atau
para kader puskesmas, tentang cara penularan, pencegahan, gejala, dan cara
menanggulangi penyakit diare pada balita dengan tepat. Penyuluhan mengenai
pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat juga perlu ditingkatkan agar masyarakat
mengetahui perilaku umum kebersihan secara benar.
Perlu ditingkatkan pengetahuan ibu dengan memasyarakatkan oralit atau pengganti oralit
sewaktu balita terkena penyakit diare dan memberikan penerangan tentang cara
pembuatan cairan pengganti oralit yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak
(larutan gula dan garam).
Meningkatkan kerjasama lintas sektoral dan lintas program dalam penyediaan sarana air
bersih untuk keperluan masyarakat.
Penulis juga menyarankan untuk tokoh masyarakat setempat, dalam hal ini ketua RW
atau ketua RT untuk mengatur kerja bakti lingkungan minimal diadakan seminggu satu
kali dan mengadakan kegiatan desinfeksi sumur bila terdapat sumur yang tercemar.
Mengajak atau menganjurkan agar tokoh masyarakat setempat, pemuka agama, ketua
RW dan ketua RT untuk meningkatkan penyebaran informasi kepada masyarakat luas
dan pemberian contoh perilaku hidup bersih agar masyarakat setempat dapat ikut
berpartisipasi dalam pencegahan dan penanganan penyakit diare.