fisiologi kelahiran pada ternak
DESCRIPTION
Ilmu Kebidanan dan KemajiranTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelahiran atau partus adalah proses fisiologik yang berhubungan dengan
pengeluaran foetus dan placenta dari induk. Sebelum partus, induk harus sudah
memperoleh makanan yang cukup dan seimbang supaya pada waktu melahirkan ia tidak
terlampau kurus atau terlampau gemuk.hewan yang bunting harus diberi kesempatan
bergerak yang cukup. Pada dua sampai tiga minggu terakhir sebelum melahirkan
sebaiknya tidak bekerja dan bergerak berlebihan. Hewan tersebut sebaiknya dipisahkan
dari kelompoknya yang ditempatkan pada lingkungan yang bersih, tenang, hangat dan
menyenangkan.
Seorang dokter hewan harus mengenal partus normal sehingga ia segera dapat
mengetahui adanya gejala patologik. Pertolongan kelahiran yang kadang-kadang
diperlukan untuk menyelamatkan foetus atau induk harus dilakukan pada waktu yang
tepat. Waktu partus adalah suatu saat kritis dalam hidup setiap hewan. Waktu tersebut
dapat merupakan suatu periode dimana tidak hanya anak tetapi juga induk dapat
menderita berat sehingga mempengaruhi efisiensi reproduksi dan prduksi hewan tersebut
di masa mendatang. Oleh karena itu periode partus sangat penting bagi peternak yang
mempunyai investasi ekonomis yang besar pada ternaknya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah itu fisiologi kelahiran pada ternak ?
1.2.2 Apa saja gejala menjelang partus pada ternak ?
1.2.3 Bagaimana proses inisiasi partus pada ternak ?
1.2.4 Bagaimana tahap-tahap kelahiran pada ternak ?
1.2.5 Bagaimana terjadinya involusi uterus pada ternak ?
1.2.6 Apakah itu estrus post-partum ?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Memahami pengertian dari fisiologi kelahiran pada ternak
1.3.2 Mengetahui gejala-gejala menjelang partus pada ternak
1.3.3 Mengetahui proses inisiasi partus pada ternak
1.3.4 Mengetahui tahap-tahap kelahiran pada ternak
1 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
1.3.5 Mengetahui terjadinya involusi uterus pada ternak
1.3.6 Memahami estrus post-partum
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca.
berkaitan dengan fisiologi kebuntingan pada ternak sehingga pembaca dapat memahami
proses-proses serta mekanisme yang terjadi selama kelahiran terjadi.
2 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gejala-Gejala Menjelang Partus
Gejala-gejala menjelang partus hampir sama pada semua ternak, tetapi tidak
konstan antara individu ternak dan antara partus yang berurutan. Oleh karena itu gejala-
gejala ini tidak dapat dipakai untuk meramalkan secara tepat waktu partus pada seekor
ternak tertentu tetapi dapat merupakan indikasi yang baik terhadap perkiraan waktu
kelahiran yang diharapkan. Seorang dokter hewan harus mengekang diri dalam
menentukan waktu partus yang tepat.
Waktu perkawinan, jika diketahui sangat membantu dalam mempirkirakan waktu
partus. Pada peternakan yang dikelola secara baik, catatan perkawinan merupakan suatu
keharusan. Segera sebelum melahirkan kebanyakan hewan cenderung memisahkan diri
dari kelompoknya.
Pada sapi dan kerbau, ligament-ligament pelvis, terutama ligament
sacroischiadicus sangat mengendur, menyebabkan penurunan ligament dan urat daging
pada bagian belakang. Relaksasi ligament-ligament pelvis, cervik dan struktur di sekitar
perineum disebabkan oleh oedema dan perubahan dalam serabut kolagen pada jaringan
ikat karena peningkatan estrogen dari placenta dan kelenjar endokrin lainnya seperti
adrenal. Relaxin juga memegang peranan penting. Pada kebanyakan sapi pengenduran
ligament-ligament ini menandakan bahwa partus mungkin akan terjadi dalam waktu 24-
48 jam. Hal yang sama ditemukan pula pada kerbau (Harbers, 1981). Relaksasi ligament
juga jelas terlihat dengan peninggian pangkal ekor. Vulva menjadi sangat oedematous,
melonggar dan mencapai 2 sampai 6 kali ukuran normal.
Ambing membesar dan oedamatous. Pada sapi dara pembesaran ambing dimulai
pada bulan keempat periode kebuntingan. Pada sapi pluripara pembesaran ambing
mungkin tidak nyata 2 sampai 4 minggu sebelum partus. Pada sapi berproduksi susu
tinggi, terutama sapi muda, oedema ambing yang sangat besar dapat mengakibatkan
kesulitan berjalan. Oedema dapat mengembang ke depan pada dasar abdomen sampai
daerah xiphoid dan tebalnya dapat mencapai 5-15 cm. Pada daerah pusar ia dapat
menyerupai hernia umbilicalis. Ia dapat menyebar ke belakang sampai daerah vulva.
Segera sebelum partus sekresi kelenjar susu berubah dari warna dan konsistensi seperti
madu kering menjadi kering menjadi kuning, keruh dan gelap yang disebut dengan
kolostrum. Pada saat ini ambing dan puting susu mengembang sedemikian rupa karena
3 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
kolostrum, sehingga ia dapat keluar sendiri pada sapi-sapi yang mudah diperah. Pada
kerbau oedem pada ambing dan dasar abdomen tidak jelas terlihat (Harbers, 1981)
Suatu lendir putih, kental dan lengket keluar dari bagian cranial vagina mulai
bulan ke tujuh masa kebuntingan. Lendir tersebut makin banyak keluar menjelang
kelahiran. Segera sebelum partus jumlah lendir sangat meningkat dan penyumbat cervix
mencair.
Selama beberapa jam sebelum partus hewan memperlihatkan anorexia dan
ketidaktenangan. Sapi dara memperlihatkan kesakitan abdominal dengan menendang
perutnya, menyentak-nyentakkan kaki, mengibaskan ekor, berbaring dan bangkit kembali.
2.2 Inisiasi Partus
Mekanisme yang tepat mengenai timbulnya kelahiran sesudah suatu masa
kebuntingan tertentu dan khas bagi setiap jenis ternak belum diketahui. Inisiasi kelahiran
disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor-faktor endokrin, neural dan
mekanis.
Dalam waktu satu atau dua minggu sesudah pembuahan, blastosit yang berada
dalam uterus mempengaruhi endometrium sehingga zat luteolitik (PGF2α) tidak
dikeluarkan dan corpus luteum menetap. Corpus luteum merupakan sumber utama
progesterone selama kebuntingan sampai 200 hari pada sapi (Jainudeen an Hafez, 1980).
Sekresi progesterone mempertahankan kebuntingan melalui pengaruhnya terhadap
relaksasi urat daging uterus dan endometrium mulai aktif menghasilkan susu uterus pada
pertiga bagian pertama masa kebuntingan. Progesterone menghambat produksi FSH
sehingga folikel tidak terbentuk dan periode estrus terhenti. Suatu rangsangan neuro-
humoral dari uterus yang bunting menyebabkan sekresi LH secara berkesinambungan
untuk mempertahankan corpus luteum selama masa kebuntingan.
Timbulnya partus, walaupun belum dimengerti sepenuhnya, mungkin disebabkan
oleh peningkatan gradual kadar estrogen dari placenta yang terjadi pada akhir masa
kebuntingan dan penurunan kadar progesterone karena pelepasan PGF2α dari placenta
atau uterus. Pada sapi kadar estrogen meningkat 2 sampai 3,5 kali sejak hari ke 245
sampai partus, sedangkan progesterone di dalam plasma darah menurun dari 19 sampai
16 ng/ml pada bulan terakhir masa kebuntingan menjadi 0,5 sampai 30 ng/ml pada waktu
partus. Relaxin yang dihasilkan dalam jumlah besar pada akhir masa kebuntingan juga
membantu pengenduran struktur-struktur pelvis dan cervix (Egger dan Dracy, 1966).
Kadar estrogen yang meningkat membuat urat daging uterus peka terhadap oxytocin yang
4 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
memegang peranan penting dalam proses partus, khususnya selama tahap pertama dan
kedua perejanan. Akan tetapi kelahiran akan terjadi tanpa hipofisa. Estrogen menstimuler
sekresi PGF2α dari placenta atau uterus. PGF2α juga menstimuler kontraksi miometrium.
Partus mungkin ditimbulkan oleh suatu mekanisme yang menyebabkan penurunan
kadar LH dan progesterone (Labhsetwar et al., 1964, Hunter et al., 1969). Poros hipofisa
adrenal pada foetus ikut berperanan dalam mekanisme yang mengawali partus. Masa
kebuntingan yang berkepanjangan berhubungan dengan defek hipofisa adrenal pada sapi
perah. Sewaktu stress terhadap makin meningkat karena penurunan suplai makanan,
cortisone diproduksi san bersama estrogen berkadar tinggi akan enyebabkan penurunan
kadar LH, regresi corpus luteum dan penurunan kadar kadar progesterone. Estrogen dan
hydrocortisone dalam dosis tinggi mempunyai kesanggupan meluluhkan corpus luteum
kebuntingan. Sangat mungkin kadar hormone-hormone steroid, yaitu kadar estrogen dan
kadar cortisone yang tinggi dan kadar progesterone yang rendah, di samping peningkatan
PGF2α, mengendalikan tahap permulaan dan perkembangan proses partus. Sedangkan
oxytocin mengendalikan terjadinya perejanan. Pelepasan oxitocin dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Kadar oxytocin tidak berubah pada fase permulaan kelahiran, tetapi
meningkat mencapai puncaknya selama pengeluaran foetus, kemudian menurun kembali.
Pelepasan oxytocin ini menyebabkan pelepasan PGF2α dalam jumlah besar dan
meningkatkan potensi kegiatan uterus.
2.3 Tahap-Tahap Kelahiran
Walaupun aktivitas partus merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tetapi
sebagai gambaran deskriptif dapat dibagi atas 3 tahap, yakni tahap pertama (stadium
persiapan, dilatasi), tahap kedua (pengeluaran foetus), dan tahap ketiga (pengeluaran
plasenta).
1. Tahap Pertama
Tahap pertama adalah persiapan untuk kelahiran. Tahap ini ditandai oleh
kontraksi aktif serabut-serabut urat daging longitudinal dan sirkuler pada dinding
uterus dan dilatasi cervix. Kontraksi ini timbul karenapenyingkiran hambatan
terhadap progesterone dan peningkatan kadar estrogen (Gillete dan Holm, 1963).
Oxytocin jarang dilepaskan dari hipofisa sebelum tahap kedua partus hingga dianggap
tidak penting untuk menginduksi partus (Van Dongen dan Hayes, 1966 ). Peristalsis
uterus yang dimulai pada apex cornua uteri diawali oleh kontraksi urat daging sirkuler
yang diserentakkan dengan penyebaran rangsangan kontraksi melalui urat daging
5 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
longitudinal. Kontraksi uterus menangani 90% kegiatan partus dan kontraksi ini
berbanding lurus dengan ketahanan foetus. Aktivitas muskuatur uterus sangat
meningkat satu sampai dua jam sebelum kelahiran. Amplitude prepartum kontraksi
urat daging uterus rata-rata 80 cm H20. Kontraksi uterus mendorong selaput foetus
dan cairannya memasuki cervix yang mengendur. Os cervicalis externa atau lubang
cervix bagian luar cukup merenggang seminggu seelum partus sehingga dapat
dimasuki 2 sampai 4 jari. Cervix sapi dara tetap tertutup rapat sampai satu hari
sebelum partus. Pada tahap pertama partus cervix tidak dikuakkan oleh
allantochorion, melainkan oleh daya kontraksi urat daging longitudinal.-Selama tahap
pertama partus cervix mudah menampung allantochorion yang terdorong ke
dalamnya. Dilatasi os cervicalis inrterna dimulai dari 2 sampai 4 jam setelah os
cervicalis externa mencapai diameter 7,5 sampai 15 cm. dalam kurun waktu 6 sampai
12 jam kemudian seluruh os cervix membuka 15 sampai 17,5 cm dan cervix vagina
merupakan suatu saluran bersambung yang terisi dengan allantochorion.
Selama tahap pertama partus, kontraksi uterus terjadi setiap 10 sampai 15 menit
dan berlangsung 15 sampai 30 detik. Dengan melanjutnya tahap kelahiran, kontraksi
uterus berlangsung lebih sering, lebih kuat, dan lebih lama setiap 3 sampai 5 menit
(Gillete dan Holm, 1963). Kontraksi dimulai pada apex cornua, sedangkan bagian
pangkal uterus tidak berkontraksi, melainkan berdilatasi karena tekanan foetus dan
cairan yang terdorong ke belakang. Pada akhir stadium ini cervix terbuka secara
sempurna.
Tahap pertama partus nampak berlangsung lebih lama pada primipara daripada
pluripara. Menjelang akhir tahap ini allantochorion pecah karena dipaksa melewati
cervix yang berdilatasi ke vagina. Sesudah allantochorion pecah, amnion terdorong ke
dalam cervix, dan foetus karena pemendekan kontraksi uterus dan dilatasi cervix –
berlalu ke dalam cervix dan vagina. Sekali sebagian foetus memasuki pelvis,
rangsangan reflex menimbulkan perejanan yang disebabkan oleh kontraksi urat
daging perut dan diafragma dan penutupan glottis. Tahap kedua akan segera
menyusul.
Presentasi, Posisi dan Postur Foetus
Kedudukan foetus perlu ditentukan secara teliti sewaktu ia memasuki saluran
kelahiran dan pelvis. Deskripsi ini dipakai pada kelahiran normal maupun abnormal.
Presentasi mencakup :
6 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
1. Hubungan antara sumbu spinal foetus terhadap sumbu panjang tubuh induk.
Presetasi dapat longitudinal atau transversal.
2. Bagian foetus yang mendekati atau memasuki rongga pelvis atau saluran
kelahiran. Bagian foetus tersebut adalah anterior dan posterior pada presentasi
longitudinal, dan dorsal atau ventral pada presentasi transversal.
Pada presentasi longitudinal sumbu spinal foetus sejajar dengan sumbu induk,
sedangkan pada presentasi transversal sumbu panjang foetus terletak menyilang atau
tegak lurus terhadap sumbu panjang induk. Pada presentasi longitudinal, bagian foetus
dapat terletak anterior atau kepala muncul terlebih dahulu dan dapat pula terletak
posterior atau bagian ekor foetus muncul terlebih dahulu. Presentasi transversal dapat
menjadi ventral yaitu bagian bawah tubuh foetus menghadap ke luar saluran kelahiran
san dapat terjadi dorsal dengan bagian punggung foetus menghadap keluar.
Gambar 1. Selama tahap pertama terjadi dilatasi servik dan pengeluaran kantung amnion (atas) dan alantois (bawah).
Posisi adalah hubungan antara dorsum atau punggung foetus pada presentasi
longitudinal atau kepala pada presentasi transversal, terhadap sisi pelvis induk, yaitu
sacrum, pubis, ilium kiri atau ilium kanan.
Postur menunjukkan hubungan ekstremitas, yaitu kepala , leher dan kaki, terhadap
tubuh foetus. Ekstremitas tersebut dapat membengkok, lurus, terletak di bawah, di
samping kiri, samping kanan, atau diatas feotus.
7 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
Berbagai kemungkinan presentasi, posisi dan postur dapat terjadi pada foetus yang
memasuki saluran kelahiran pada waktu partus. Kemungkinan-kemungkinan tersebut
dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Kemungkinan Presentasi, Posisi dan Postur Foetus pada Waktu Partus
Presentasi Posisi Postur
Longitudinal anterior Dorso sacral Leher membengkok ke kanan
atau ke kiri
Longitudinal posterior Dorso-ilial dextra
Dorso-ilial sinistra
Dorso-pubis
Flexio kaki depan
Transversal ventral Cephalo – ilial dextra Flexio kaki belakang
Tranversal dorsal Cephalo-ilial sinistra
Pada keadaan normal foetus terletak pada prsentasi longitudinal anterior, posisi
dorsodorsal atau dorsosakral dengan kepala bertumpu pada tulang-tulang metacarpal
dan lutut pada kaki depanyang melurus. Kelahiran dapat pula berlangsung normal bila
foetus berada dalam presentasi longitudinal posterior, posisi dorso-sakral. Kecuali
pada keadaan foetus yang kecil, posisi lainnya berakhir dengan distokia. Presentasi
tranversal jarang terjadi dan kalaupun terjadi selalu berakhir dengan distokia.
Presentasi longitudinal posterior, posisi dorso-sakral dengan kaki-kaki belakang
tertahan atau melurus di bawah tubuh, biasanya disebut letak sungsang.
2. Tahap Kedua
Tahap ini ditandai dengan pemasukan foetus ke dalam saluran kelahiran yang
berdilatasi, ruptura kantung allantois, kontraksi abdominal atau perejanan dan
pengeluaran foetus melalui vulva. Menurut Gillete dan Holm (1963) kontraksi
abdominal hanya terjadi sesudah kaki-kaki foetus berada di dalam cervix atau vagina.
Pemecahan kantung allantois menyebabkan peningkatan kontraksi abdominal secara
tiba-tiba yang bertumpu dengan puncak setiap gelombang kontraksi uterus dengan
ampiltudo 80 sampai 320 cm H2O, rata-rata 180 cm H2O. sesudah pemecahankantung
allantois, amnion didorong menuju cervix dan dapat terlihat vulva sebagai kantung
berisi air. Selama tahap kedua perejanan, uterus berkontraksi 4 sampai 8 kali setiap 10
menit dan berlangsung 80 sampai 100 detik. Perejanan berulang-ulang berlangsung
8 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
terus dan kaki foetus terlihat di vulva. Sewaktu kaki foetus melewati vulva, kantung
amnion pecah. Peningkatan kontraksi abdominal terjadi pada waktu kepala, bahu dan
pinggul foetus memasuki pelvis. Kepala foetus mulai memasuki vulva dan pada saat
ini terjadilah perejanan abdominal yang terkuat dalam proses partus. Pada waktu
kepala didorong ke dalam vulva, dada memasuki saluran pelvis. Sesudah kepala
foetus melewati vulva, induk beristirahat untuk beberapa menit sebelum kembali
merejan dengan kuat sewaktu dada foetus berlalu melewati saluran kelahiran dan
vulva. Pinggul segera menyusul memasuki saluran kelahiran. Sewaktu foetus
memasuki saluran kelahiran dan sewaktu vagina berdilatasi, kadar oxytocin di dalam
darah jugularis lebih tinggi daripada selama tahap pertama dan permulaan tahap
kedua partus (Folley dan knags, 1965; Van Dongen dan Hayes, 1966). Kadar oxytocin
di dalam plasma darah sapi selama tahap kedua partus adalah kira-kira 1000
mikrounit per ml.
Gambar 2. Tahap kedua partus: pengeluaran foetus
Segera sesudah perejanan dimulai biasanya induk berbaring. Kadangkala anak
sapi dapat lahir dari induk yang sedang berdiri. Pada kerbau kebanyakan partus
berlangsung dalam keadaan berdiri (Harbers, 1981). Induk sapi berbaring dan
menumpukan tubuhnya pada sternum. Selama tahap ini, dinding uterus yang
berkontraksi dan memendek memaksa dan mengarahkan foetus ke dalam saluran
kelahiran dan pelvis dan kontraksi abdominal atau perejanan mendorong foetus
melalui saluran kelahiran. Tekanan intrauterine adalah 66 mmHg antara kontraksi
uterus selama tahap kedua, perejanan dan mencapai 170 mm Hg pada waktu kontraksi
abdominal. Jadi jumlah seuruh tekanan pada waktu pembukaan inlet pelvis adalah
sebesar 70 sampai 80 kg atau seberat kekuatan tarikan satu orang terhadap foetus.
Tekanan intra-abdominal yang disebabkan oleh kontraksi urat daging perut dan
difragma serta penutupan glottis adalah sama ke semua jurusan. Uterus perlu untuk
9 Fisiologi Kelahiran pada Ternak
mengarahkan foetus ke jalan yang paling sedikit memiliki rintangan – saluran pelvis.
Foetus yang sehat, dinding perut yang utuh dan uterus yang sehat perlu untuk
kelahiran normal.
Foetus keluar melalui jalur yang berbentuk busur dari rongga perut ke atas ke
dalam dan melalui pelvis dan ke bawah lagi melalui vulva. Arah foetus yang seperti
busur ini sewaktu ia bergerak melalui pelvis menyebabkan perentangan urat-urat
daging dorsal dan pelvis, dan relaksasi linea alba dan urat daging perut. Hal terakhir
tersebut peting untuk memperkecil diameter sakro-pubis pelvis foetus. Bagian depan
foetus yang mengarah ke bawah sewaktu melewatu vulva cenderung mendorong
pelvis foetus tinggi di dalam pelvis induk, dimana diameter bisiliaca lebih besar. Hal
ini membantu mencegah kondisi berhentinya pinggul yang sering ditemukan pada
waktu penarikan dilakukan secara tidal tepat.
Tahap kedua proses kelahiran berlangsung 0,5 sampai 3 atau 4 jam. Pada sapi
yang sudah sering beranak, pada tahap ini hanya memerlukan waktu setengah sampai
satu jam. Primipara membutuhkan waktu yang lebih lama, sampai 3 jam atau lebih.
Fase pengeluaran foetus pada kerbau berkisar antara 23 sampai 60 menit (Mathias,
1981) atau rata-rata 42,5 menit (Harbers, 1981).
Apabila chorda umbilicalis atau tali pusar putus, kedua arteri umbilicalis bersama
dengan urachus berkerut ke dalam rongga abdomen foetus. Dengan kontraksi arteria
tersebut ke dalam jaringan tubuh, terjadi pencegahan perdarahan melalui umbilicus.
Vena umbilicalis menciut, darah keluar dari vena tersebut dan cairan di dalam chorda
umbilicalis keluar, sering dibantu dengan penjilatan induk. Chorda umbilcalis akan
nekrotik, mengering dan luluh dalam waktu 7 sampai 21 hari.
3. Tahap Ketiga
Tahap terakhir proses kelahiran adalah pengeluaran selaput foetus dan involusi
uterus. Pengeluaran selaput foetus secara normal selesai dalam waktu beberapa jam
setelah pengeluaran foetus. Dengan lahirnya foetus, pembuluh darah placenta foetalis
mengempis dan vili mengecil serta menciut. Sesudah pengeluaran foetus uterus tetap
berkontraksi secara kuat selama 48 jam dan melemah tetapi lebih sering sesudah itu
(Gillete dan Holm, 1963). Hal ini penting untuk menghambat perdarahan dan
membantu pengeluaran selaput foetus. Gelombang-gelombang peristaltic dan
kontraksi ini, di samping mengurangi ukuran foetus ke dalam saluran kelahiran,
10
Fisiologi Kelahiran pada Ternak
mungkin sangat mengurangi jumlah darah yang beredar di dalam endometrium.
Pengurangan peredaran darah pada endometrium yang menyebabkan dilatasi atau
relaksasi kripta maternal yang memegang peranan penting dalam pemisahan
trophoblast foetalis dan epitel kripta pada placenta induk. Tidak ada jaringan induk
yang dikeluarkan sesudah partus. Arteria uterina media segera berkontraksi sesudah
partus. Dinding arteria tersebut menebal dan fremitus menghilang walaupun involusi
ke ukurannya yang normal baru terjadi beberapa minggu kemudian. Kontraksi uterus
selama tahap ketiga partus menghasilkan pergerakan dinding uterus dan karunkel
yang membantu membebaskan placenta foetalis. Berat amnion dan bagian allantois di
dalam saluran kelahiran cenderung membantu menanggalkan placenta foetalis dari
uterus. Gerakan menyusu menstimuler pelepasan oxytocin dari hipofisa yang
diperlukan untuk merangsang kontraksi dinding uterus. Kelahiran premature, kembar
dan masa kebuntingan yang singkat sering berhubungan dengan retensio secundinae.
Dalam hal ini infeksi dapat memainkan suatu peranan patologik. Pelepasan foetus
secara normal dapat dikatakan merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan
faktor-faktor mekanik dan hormonal, walaupun mekanisme yang tepat belum
seluruhnya mengerti.
Gambar 3. Tahap ketiga partus: pengeluaran selaput foetus. Nampak kerbau memakan selaput tersebut setelah itu induk menjilati anaknya
Pemisahan placenta merupakan suatu proses yang relative lambat, sehingga tahap
kedua perejanan dapat diperpanjang tanpa membahayakan foetus. Chorda umbilcalis
foestus segera putus sewaktu foetus melewati saluran kelahiran. Lama waktu yang
diperlukan untuk pengeluaran selaput foetus pada sapi secara normal adalah 0,5
sampai 8 jam dan pada kerbau rata-rata 3,5 jam. Makin sehat hewan, makin cepat
selaput foetusnya ke luar. Selaput foetus yang terlapus sering dimakan oleh induk.
Sesudah pengeluaran selaput foetus pada kelahiran normal, cervix mensekresikan
11
Fisiologi Kelahiran pada Ternak
suatu lendir tebal dan lengket yang cenderung menyumbat cervix dan mencegah
pemasukan mikroorganisme ke dalam uterus.
2.4 Involusi Uterus
Involusi atau regresi uteru uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan
waktu yang relative lama. Sesudah pengeluaran selaput foetus berkontraksi dan
peristaltsis uterus berlangsung terus sebagai gelombang-gelombang ritmik yang kuat yang
berkurang secara gradual pada hari keempat. Sel-sel otot uterus yang memendek dari 750
mikron seharis sesudahnya. Dari hari keempat sampai kedelapan hanya ada sedikit
undulasi cornua yang tidak teratur.
Placenta maternalis berinvolusi melalui nekrosa batang karunkel karena
vasokontriksi, infiltrasi lemak, penghilangan karunkel karena infiltrasi lemak, pelarutan,
pengurasan dan pelepasan seluruh lapisan permukaan karunkel yang menjadi bagian
lochia uterus (Gier dan Marion, 1968; dan Gier, 1959). Karunkel dan batangnya
bernekrosa pada hari kelima setelah partus. Peruntuhan karunkel umumnya rampung pada
hari ke 12, meninggalkan suatu permukaan baru dengan pembuluh darah yang menonjol
di tempat bekas batang karunkel bertaut. Karunkel kembali ke ukurannya semula pada
minggu kedua dan ketigamenjelang hari ke 25 sampai 30 setelah partus, epitel telah
menutupi karunkel dan penyembuhan rampung. Karunkel yang mempunyai berat 70 gram
pada 48 jam sesudah partus menciut menjadi 26 gram lima hari kemudian. Walaupun
karunkel telah kembali keukurannya yang normal 30 hari sesudah partus, suatu tumpukan
pembuluh darah besar menetap.
Lochia yang terdapat dalam uterus sapi pada 48 jam pertama sesudah partus
adalah tertinggi kurang lebih 1400 sampai 1600 ml. menjelang hari kedelapan post partus
jumlah lochia berkurang dari 500 ml dan menjelang hari ke 14 sampai ke 18 hanya
beberapa ml lochia yang tertinggal. Jumlah lochia yang dikeluarkan uterus bervariasi.
Kebanyakan primipara mengeluarkan lochia tapi diabsorbsi kembali. Beberapa pluripara
mengeluarkan 800 sampai 2000 ml lochia. Umumnya penguluaran lochia yang terdiri dari
lendir, jaringan, reruntuhan dan darah, dimulai kira-kira 3 sampai 4 hari post partum dan
meningkat sampai hari kesembilan. Reruntuhan ini berwarna coklat kuning muda sampai
merah. Sesudah hari kesembilan sampai kesepuluh postpartum, terdapat peningkatan
jumlah darah yang bercampur dengan lohia, yang mungkin berasal dari permukaan
karunkel. Lochia berdarah yang biasanya terhenti pada hari ke-12. Proses involusi normal
berlangsung aseptic. Akan teteapi penularan mikroorganisme menyebabkan lochia
12
Fisiologi Kelahiran pada Ternak
berwarna putih, putih-kuning ataukelabu yang bersifat mukopurulen menjelang tengahan
akhir masa puerperalis.
Pada palpasi rectal terasa bahwa ukuran uterus menurun gradual antara hari ke-4
dan ke-6 postpartum. Menjelang hari ke-10 uterus yang beronvolusi dapat dibatasi
melalui pemeriksaan rectal. Suatu penurunan nyata ukuran uterus dan peningkatan tonus
uterus terjadi pada hari ke 10 sampai ke 14 bertepatan dengan estrus pertama pada sapi
normal dan pengeluaran banyak lochia pada uterus. Lochia dapatterasa dalam uterus
melalui palpasi rectal pada hari ke 7 sampai 12 postpartum. Selama periode 10 sampai 14
hari postpartum ukuran diameter uterus berkurang dari 12 cm menjadi 7 cm. daya regresi
tercepat adalah dari hari ke-14 sampai 25 post-partum dan menurun antara hari ke-25
sampai hari ke 39. Antara hari ke-40 sampai 50 hanya terjadis edikit perubahan. Berat
uterus yang beregresi adalah 10 kg pada waktu partus, 5 kg pada 6 hari kemudian, 2 kg
pada hari ke 12 dan 1 kg pada hari 25 hari dan 0,7 kg pada 50 hari setelah partus
(Roberts, 1971)
Selama involusi lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel
dan kehilangan sel. Epitel endometrium baik kembali pada 25 sampai 30 hari post-
partum. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30 sampai 40, tetapi secara
histologik, involusi baru benar-benar selesai 50 sampai 60 hari postpartum. Sehubungan
dengan kenyataan ini, seekor sapi induk baru boleh dikawinkan lagi lebih dari 50 sampai
60 hari sesudah partus.
2.5 Estrus Post Partum
Corpus luteum yang lampau beregresi secara cepat. Interval antara partus dan
estrus pertama berkisar antara 30 sampai 72 hari pada sapi perah dan 46 sampai 104 hari
pada sapi potong. Interval ini diperpanjang bila anak disusui dan frekuensi pemerahan
ditingkatka. Pemisahan anak dari induk dapat memperpendek interval ini.ovulasi pertama
postpartum biasanya terjadi terlebih dahulu dari estrus yang pertama yang dapat diamati.
Pada sapi perah yang berproduksi tinggi estrus pertama postpartum umumnya pendek
karena produksi progesterone yang rendah.aktivitas ovarium sesdauh partus lebih sering
terjadi pada ovarium sisi uterus yang tadinya tidak bunting. Kecenderungan ini menurun
apabila interval antara partus dan ovulasi meningkat (Jainudeen dan Hafez, 1980)
13
Fisiologi Kelahiran pada Ternak
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelahiran atau partus adalah proses fisiologik yang berhubungan dengan
pengeluaran foetus dan placenta dari induk. Gejala menjelang partus adalah hewan
cenderung memisahkan diri dari kelompoknya, sacroischiadicus sangat mengendur,
menyebabkan penurunan ligament dan urat daging pada bagian belakang, ambing
membesar dan oedamatous, suatu lendir putih, kental dan lengket keluar dari bagian
cranial vagina mulai bulan ke tujuh masa kebuntingan, lendir tersebut makin banyak
keluar menjelang kelahiran.
Walaupun aktivitas partus merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tetapi
sebagai gambaran deskriptif dapat dibagi atas 3 tahap, yakni tahap pertama (stadium
persiapan, dilatasi), tahap kedua (pengeluaran foetus), dan tahap ketiga (pengeluaran
plasenta).
14
Fisiologi Kelahiran pada Ternak
DAFTAR PUSTAKA
Toelihere, Mozes R. 2010. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: Indonesia
University Press.
Ball, P.J.H., Peters, A.R. 2004. Reproduction in Cattle 3rd edition. United States of America:
Blackwell.
15
Fisiologi Kelahiran pada Ternak