fakultas teologi universitas kristen satya wacana salatiga … · 2018-01-05 · 4. ibu pdt dr....
TRANSCRIPT
i
Faktor-faktor Penyebab Perpecahan GMIH
( Studi Sosio Teologis Terhadap Perpecahan GMIH )
Program Studi Teologi
Tugas Akhir
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam
bidang Teologi (S.Si.Teol)
Oleh
Esterlita Jai
712012035
FAKULTAS TEOLOGI
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena kasih anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis.
Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tuntunan dan penyertaanNya
yang tidak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani masa
pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan Tugas
Akhir dengan baik.
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratanuntuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si. Teol). Tugas Akhir ini
disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu sinode GMIH
terkhususnya jemaat Imanuel Mamuya, yang mana menjadi tempat penelitian
penulis, untuk lebih memahami konflik yang terjadi di GMIH. Penulis juga
berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna referensi atau
sekedar menambah pengetahuan jemaat mengenai konflik perpecahan GMIH.
Dalam seluruh rangkaian penulisan ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh
dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar penulis juga dapat
terus dikembangkan menjadi lebih baik.
Penulis
vii
Daftar Isi
Halaman Judul ..................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ............................................................................................................ ii
Pernyataan Tidak Pelagiat ................................................................................................. iii
Persetujuan Akses ............................................................................................................... iv
Pernyataan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis ............................... v
Kata Pengantar ................................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................................. vii
Ucapan Terima Kasih ....................................................................................................... viii
Motto .................................................................................................................................... xi
Abstrak ................................................................................................................................ xii
1. Pendahuluan ............................................................................................................... xiii
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1-6
2. Resolusi Konflik ............................................................................................................... 7
2.1 Pengertian Konflik ......................................................................................................... 7
3. Sejarah Berdirinya Jemaat ........................................................................................... 17
4. Faktor Yang Ikut Mendukung Perpecahan Jemaat Imanuel Mamuya ................... 19
4.1 Relasi Antara Anggota Jemaat Imanuel Mamuya Pasca Perpecahan ............ 21
4.2 Hubungan Antar Gereja dan Negara dalam Hal PemerintahTobelo .............. 22
4.3 Intervensi terhadap permasalahan Gereja termasuk Universitas
Halmahera .......................................................................................................................... 23
4.4 OtoritasSinodeTerhadap Permasalahan Gereja ................................................ 23
4.5 Ada Keperhakan Jemaat Terhadap Pendeta ..................................................... 25
5. Kesimpulan ..................................................................................................................... 27
DaftarPustaka
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, untuk kasih
karunia dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan yang telah digariskan dalam
dunia perguruan tinggi pada umumnya dan Fakultas Teologi UKSW pada
khususnya, guna memperoleh gelar kesarjanaan.
Dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut serta
membantu dan memberikan sukungan kepada penulis. Ucapan terima kasih secara
khusus disampaikan kepada:
1. Bapak Dr. David Samiyono, dan Bapak Pdt. Gunawan Y. A. Suprabowo,
D.Th selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah membantu
dan membimbing penulis hingga dapat diselesaikan skripsi ini.
2. Bapak Tony Tampake, selaku pembaca pertama penulis.
3. Bapak Pdt. Simon Julianto, selaku pembaca kedua penulis.
4. Ibu Pdt Dr. Retnowati, selaku wali studi penulis selama menempuh
pendidikan di Fakultas Teologi UKSW.
5. Staff Tata Usaha Fakultas Teologi UKSW Salatiga yang telah banyak
direpoti penulis selama penulis berkuliah, terima kasih banyak.
6. Kedua orangtua penulis yaitu Alm. Papa Yoab Jai walaupun sudah
meninggal, terima kasih, dan Mama Wise Y. Tutuarima yang tak pernah
bosan memberikan dukungan baik berupa materi maupun dorongan moral
serta dukungan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
ix
7. Adek penulis Priskilia M. Jai dan Alerci Jai, yang selalu memberikan
dukungan.
8. Untuk nenek dan tete (Yuliana Bani, dan Chornelius Jai) yang tidak
pernah bosan mendengar keluh kesah penulis dalam menulis skripsi, dan
selalu memberikan semangat untuk cepat lulus agar supaya cepat
mencalonkan diri menjadi Vikaris.
9. Untuk nenek Yuliana Ui, Terima kasih sudah mendidik sampai penulis
menyelesaikan skripsi.
10. Untuk keluarga Mama ade Tin, muda Pambe, muda Agu, muda Atus,
muda Mengs, made Nanci, muda Keus, muda Eni, muda Ocan, muda
Kardi. Nan, Kak Nin, Ike Dewi, Mimi, Chelsea, Oliv, Yel-yel, Nasa,
Kardi, Kristian, Nadol, Yandri, Mey, Onal, Westi, An, Isa, Akira, Alferdo,
Tiara , terima kasih sudah menjadi motivasi dalam menyelesaikan skripsi,
walaupun agak lama dalam mencapai S.Si Teol.
11. Untuk Tua Opi, Tua Son, Tua Emi, Tua Ot, Made Ris, Made Oce, pade
Fence, Kak Ian, Kak Erik, Kak Jein, Wita, Wiwin, Christy, Marsel,
Aurelya, Nani, yang selalu memberikan dukungan untuk segera
menyelesaikan skripsi.
12. Untuk Eka Papua, Ros Dara, Sanny Nakamnanu, Sandi Liwan, Desi N.
Gultom, terima kasih untuk perjuangan kita bersama-sama selama kurang
lebih 5 tahun, dan terima kasih yang selalu memberikan dukungan dalam
menyelesaikan skripsi demi mendapatkan S.Si Teol.
13. Putri Pa, Ivonny Here, Thina Babua, terima kasih sudah membantu dalam
menyesaikan Skripsi. Suskes untuk masing-masing kalian.
x
14. Seluruh mahasiswa angakatan 2012 FTEOL UKSW yang luar biasa dan
tidak bisa disebutkan satu persatu.
15. Dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantuk penulis menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu, penulis mengharapkan masukan, saran maupun kritikan atas penulisan skripsi
ini. Besar harapan bahwa skripsi ini dapat berguna bagi banyak pihak.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung dan membantu penulisan skripsi ini sampai selesai. Tuhan
Yesus memberkati kita semua.
xi
MOTTO
Yesaya 41:10
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab
Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;
Aku akan memengang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa
kemenangan.
Nyanyian
Tak usah ku takut, Sbab Kau sertaku, tak usah ku bimbang Kau di
dalamku, tak usah ku cemas, Kau penghiburku saat ku lemah Kau kuatku.
“Pergi untuk di bentuk, pulang untuk
menjadi berkat”
1
ABSTRAK
Penelitian ini mengangkat tentang eksistensi Gereja Masehi Injili di
Halmahera (GMIH) yang sedang mengalami perpecahan, karena konflik
kepengurusan ganda. Konflik kepengurusan di tingkat sinode ini, turut serta
mempengaruhi dan melibatkan kedidupan di jemaat-jemaat.Terjadi pro-kontra di
jemaat-jemaat GMIH. Ada jemaat yang memilih tetap setia dengan pengurusan
lama, maupun ada jemaat yang memilih ikut dengan pengurusan yang baru,
sampai saat ini belum ada perdamaian, dengan alasan, jika kepengurusan sinode
GMIH dan GMIH Pembaharuan sudah berdamai, barulah mereka bergabung dan
berdamai dari antara kedua belah pihak. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan terjadinya perpecahan GMIH, berdasarkan teori Galtung.
Kehadiran gereja di tengah-tengah dunia ini tidak terlepas dari konteks di mana ia
berada. Tentu kehadiran eksistensi yang sangat dipengaruhi dunia sekitarnya.
Ketepurukan disebabkan oleh para pemimpin gereja yang telah kehilangan
integritas dan komitmen pelayanannya. Akibat lain adalah terjadinya
penyelewengan keuangan (dana pensiun) gereja, kondisi seperti itulah,
sekelompok warga GMIH lain yang mengharuskan GMIH dibaharui. Meskipun
ada yang harus menjadi korban karena tindakan kekerasan, penganiyaan,
pengusiran, cacimaki dan hujatan dari sesame warga GMIH.Tentu saja dengan
tindakan seperti yang terjadi di salah satu jemaat Imanuel Mamuya, yang di
harapkan para pemimpin gereja sadar dan berubah, agar “perahu” yang bernama
GMIH itu tidak tenggelam.
Kata Kunci: Gereja, pemimpin gereja, pelayanan.
2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Halmahera Utara adalah pulau terbesar yang terdapat di Maluku Utara.
Penduduk Halmahera Utara terdiri dari beberapa suku: suku Kao, suku Pagu, suku
Modole, Boeng, Towiloko, Tobelo Galela, dan Loloda. Secara administrasi
pemerintahan, Kabupaten Halmahera Utara terdiri dari sembilan Kecamatan,
yakni: Kecamatan Loloda Utara, Kecamatan Morotai Utara, Kecamatan Morotai
Selatan, Kecamatan Morotai Barat, Kecamatan Galela, Kecamatan Kao, dan
Kecamatan Malifut.1 Masyarakat yang tinggal di Halmahera Utara dapat
dikatakan memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan yang lain. Walaupun
mereka berasal dari suku dan agama yang berbeda-beda, tetapi masyarakat
Halmahera Utara khususnya di Tobelo dapat mempertahankan kerukunan di
antara masyarakat dalam bersosialisasi.2
Van Dijken adalah orang pertama yang merintis pekabaran injil di Halmahera
(1866 - 1900). Pada tahun 1873 Ia ditahbiskan menjadi zendeling berwewenang
penuh sebagai seorang penginjil. Dalam usahanya, Ia mendapatkan bantuan besar
dari isterinya, seorang Kristen dari Ternate bernama Soentpiet. Namun demikian,
pada tahun 1867 Van Dijken sempat pindah ke tepi danau. Di situ ia membangun
rumah yang namanya “Duma.” Beberapa bulan kemudian terjadilah bencana
banjir besar yang membawa akibat gerakan ke agama Kristen. Van Dijken
menafsirkan bencana itu sebagai tanda murka Allah atas ketegaran hati orang
yang sudah selama empat tahun mendengar pemberitaan Firman, namun tidak
juga mau bertobat. Sebagian orang Galela, memberi tanggapan positif atas
imbauan untuk bertobat. Tujuh puluh orang bergabung dengan Van Dijken
Gereja Masehi Injili di Halmahera (Maluku Utara) biasanya disingkat GMIH.
GMIH adalah sebuah kelompok gereja Protestan di Indonesia, yang berada di
wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, yang terdiri dari 353 buah pulau.
Dari pulau-pulau itu, yang terbesar adalah pulau Halmahera. Gereja ini tumbuh
1 Ruddy Tindage, Damai yang Sejati :Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan
Komunikasi, (Jakarta: YAKOMA-PGI, 2006), 6. 2 Ebin Eyzer Danius, Hubungan Kristen – Islam pasca konflik di Halmahera dan implikasinya
bagi upaya pembangunan jemaat, (Tobelo: Tesis Universitas Halmahera, 2008), 1.
3
dari pekerjaan misionaris dari Gereja Reformasi Belanda, menjadi gereja otonom
pada tahun 1949. Gereja ini diatur sesuai dengan model “Presbiterial Sinodal”.
Gereja ini berpusat juga terkait dengan “Thologcal Seminary” di ujung Pandang
atau Sulawesi Selatan.3
Pada tahun 1999 Halmahera Utara diperhadapkan dengan konflik eksternal,
maka tepatnya pada tahun 2013 Halmahera Utara, khususnya masyarakat GMIH
harus kembali merasakan konflik. Salah satu mahasiswa yang melakukan
penelitian, maka hasil penelitian yang penulis lakukan, akan terlihat bahwa
konflik sudah dimulai ketika dilangsungkan pemilihan Badan Pekerja Harian
Sinode GMIH (BPHS) dalam sidang sinode di Dorume, terjadi penggelambungan
suara.4 Berawal dari konflik inilah, kini semakin terus berkembang dan menjadi
kompleks ketika kelompok pembaharuan mengeluarkan 28 poin, yang diajukan ke
BPHS Sinode GMIH. Konflik internal yang terjadi mengakibatkan hubungan
antar jemaat tidak lagi terjalin dengan baik. Jika ada jemaat yang telah beralih ke
Sinode Pembaharuan maka ada kemungkinan jemaat mempersalahkan sinode
GMIH, dan sebaliknya, konflik tersebut telah merugikan jemaat, karena pada
akhirnya mereka harus memilih salah satu sinode dan itu telah menciptakan
hubungan yang kurang baik.
Dari konflik yang terjadi, tim dari Sinode GMIH sedang mengupayakan
rekonsiliasi, namun harapan akan terciptanya perdamaian belum berhasil sampai
saat ini. Permasalahan semakin rumit, ketika sinode GMIH melaksanakan sidang
sinode istimewa (SSI), dan memecat para pendeta yang telah bergabung dalam
Sinode Pembaharuan. Konflik yang terjadi dalam tubuh GMIH saat ini,
membutuhkan sebuah upaya perdamaian yang lebih menyentuh setiap pribadi
yang terlibat dalam permasalahan ini, sehingga ada ketebukaan dari masing-
masing pihak. Sekarang usaha yang telah dilakukan untuk perdamaian adalah
lewat forum seperti lokakarya, rapat terbuka dan sejenisnya. Rekonsiliasi yang
dilakukan seperti itu hanya akan dihadiri oleh pemimpin gereja atau orang penting
3 End, Th. V. D. & Weitjens, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia 1993. 4 Rober J. Schreiter, C.PP.S. Rekonsiliasi Pembangunan Tatanan Masyarakat baru. (Ende:
Nusa Indah 2001), 28.
4
dalam sinode, dan jarang melibatkan jemaat langsung. Pertemuan yang
dilaksanakan di Kota Manado merupakan salah satu upaya perdamaian. Peserta
yang hadir dalam pertemuan itu adalah enam orang perwakilan dari sinode GMIH,
yaitu enam orang perwakilan dari Sinode Pembaharuan, dan seorang perwakilan
dari PGI yang bertugas sebagai mediator. Namun setelah pertemuan di Manado
dan para peserta kembali ke kota Tobelo, tidak lagi didampingi oleh tim PGI
sebagai perantara. Keputusan yang telah disepakati di Manado tidak dapat
sepenuhnya dilaksanakan.
Jumat 5 Juli 2013 (kira-kira pukul 15 : 30 WIT), sejumlah warga gereja
mendatangi kantor sinode GMIH, dan kediaman atau rumah dinas sinode GMIH
dan juga rumah dinas sekertaris Umum sinode GMIH. Adapun maksud dari
kedatangan itu bukannya untuk bertamu, tetapi melakukan demonstrasi. Muatan
orasi yang disampaikan adalah menurut duet kepemimpinan yakni ketua sinode
dan sekertaris umum sinode, untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai
anggota Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) periode 2012-2017. Mereka tidak
hanya orasi sopan, tetapi juga ada teriakan cacian dan makian yang dilontarkan
oleh para pendemo kebanyakan perempuan, yang di tujukan kepada ketua sinode.
Hal itu dilakukan tepatnya di depan rumah dinas ketua sinode. Pertanyaan
reflektif yang dapat di ajuakan adalah mengapa warga jemaat tidak lagi menaruh
hormat kepada para pemimpin mereka.? Hal ini tempatnya berada di luar akal
sehat mereka. Dalam kenyataannya, warga jemaat dan bahkan masyarakat
umumnya begitu menghargai dan menaruh hormat yang amat dalam terhadap
figur seorang pendeta. Kini rasa hormat terhadap figur sang pendeta benar-benar
telah berada di titik nadir. Memang dilihat secara sepintas, kenyataan ini punya
nuansa politik yang cukup kental. Artinya para pendemo yang tidak lain dari
warga gereja mereka melakukan demontrasi dan memalang kantor sinode, karena
mereka kecewa dengan para petinggi gereja politik yang mereka mainkan. warga
menilai hal ini tidak pantas dan tidak patut di pertotonkan di depan publik.
Konflik yang sedang terjadi di GMIH saat ini dirasakan oleh warga jemaat
Imanuel Mamuya. Tidak hanya terjadi perpecahan dalam jemaat itu sendiri, tetapi
5
lebih kekerasan fisik ataupun non-fisik yang sudah di alami jemaat Imanuel
Mamuya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka penulis mengajukan
satu pertanyaan sebagai rumusan masalahnya:
1. Apa yang menjadi faktor perpecahan GMIH ?
2. Apa implikasi Sosio Teologis bagi warga jemaat ?
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya perpecahan GMIH.
2. Mendeskripsikan implikasi Sosio Teologis terhadap perpecahan GMIH
bagi keluarga warga jemaat.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah pertama secara praktis
memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya menangani konflik di GMIH.
Kedua secara teoritis dapat menyumbangkan pemikiran baru bagi pemimpin
GMIH dalam menjalankan tugas dan perannya atau tanggung jawab di gereja,
keluarga dan masyarakat dalam perspektif teori konflik organisasi khususnya
gereja.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang akan di gunakan ialah deskriptif- analitis. dengan
mengumpulkan data dilakukan motode kualitatif, yaitu wawancara, dan
kemudian akan dianalisa untuk menunjang apa yang telah penulis paparkan dalam
6
bab sebelumnya. Penulis juga akan melakukan penelitian lapangan berupa
observasi partisipatif dan turun langsung di jemat Imanuel Mamuya dan melalui
wawancara dengan masyarakat setempat. Wawancara ditujukan kepada beberapa
pendeta dan jemaat yang bisa mewakili kedua sinode. Penelitian ini akan di
fokuskan kepada Jemaat GMIH Imanuel Mamuya dan jemaat baru Imanuel
Mamuya.
1.5.1. Pengumpulan data
Pada konteks ini peneliti menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagai sumber data, melalukan pengumpulan data menilai kualitas data, analisa
data dan membuat kesimpulan atas temuan.5
Tempat penelitian yang akan dilakukan berlokasi di GMIH bagian Halmahera
Utara. Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah pendeta majelis dan
jemaat Imanuel Mamuya.
1.5.2. Analisa Data
Data penelitian berupa informasi factor-faktor yang menyebabkan perpecahan
GMIH, dikelompokan, dianalisa berdasarkan teori-teori yang digunakan agar
dapat tepat sasaran dan relevan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh
penulis.6
2. Resolusi Konflik
2.1 Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configure yang
berarti saling memukul. Menurut Antonius, konflik adalah suatu tindakan salah
5 Robert K. Yin. Studi Kasus Desain dan Metode. (Jakarta: Raja Grafiando Persada,
2002), 1-36. 6 Sumardi Suryabarata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
18-26.
7
satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau menggangu pihak lain
dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan
antar pribadi.7Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir
pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi
sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada
persamaan8. Menurut Scannel konflik adalah suatu hal alami dan normal yang
timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu9.
A. Konflik Menurut Dahrendorf
Menurut Dahrendorf ada berbagai hal yang menyebabkan terjadinya konflik.
Misalnya ada konflik yang disebabkan oleh perbedaan nilai, konflik yang berbasis
kepada kepentingan. Ada juga konflik yang disebabkan oleh kurangnya daya
alam. 10
Dahrendorf mengembangkan pemikiran bahwa wewenanglah menjadi
sumber permasalahan sebenarnya. Menurutnya wewenang merupakan hubungan
supra dan subordinasi, suatu hubungan atas dan bawah. Unsur atas selalu
diperkirakan sebagai komando yang mengendalikan perilaku bawah.11
Wewenang
merupakan suatu hubungan yang sah. Jika seseorang tidak tunduk kepada orang
yang berwenang, maka ia akan mendapatkan sangsi tertentu. Demikian wewenang
tidak bisa digeneralisasikan, wewenang biasanya berada dalam ruang lingkup
kelompok tertentu12
. Karena jika berada dalam ruang lingkup perserikatan lain,
maka wewenang organisasi terntentu tidak berlaku lagi.
Dahrendorf membedakan wewenang dari kekuasaan oleh apa yang secara
kasar dapat ditujukan sebagai unsur legitimasi; dan wewenang harus diartikan
sepenuhnya sebagai wewenang yang terbatas, sebagai pembagian dan
pelaksanaannya dalam perserikatan yang dikordinasi secara memaksa.
7 Antonius, Empowerment, Stress dan Konflik (Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002) , 175.
8 Bunyamin Mafuth, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun generasi dan
kewarganegaraan, (Universitas Pendidikan Indonesia, 2005), 47. 9 Scannell, The Big Book of Conflict Resolution Games, (United States of America:
McGraw- Hill Companies, Inc 2010), 2. 10
Litaay Theofransus, “ Mengelola Konflik dalam Konteks Human Security dan
Pengetahuan Lokal”, Theofanus Litaay. Et. Al., Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga:
Satya Wacana Peace Centre-SWCU. 2011), 47-48 11
Dahrendorf, ibid, 205-212 12
Dahrendorf, ibid, 210
8
Posisi yang dominan cenderung memiliki kepentingan yang berlawanan
dengan posisi yang dituduhkan. Posisi yang dominan selalu ditandai dengan
kepentingan untuk mempertahankan dan memelihara struktur sosial yang
melestarikan wewenang mereka. Sebaliknya posisi yang ditudukkan memiliki
kepentingan untuk mengubah kondisi sosial yang ada.13
Kepentingan kelompok
yang berkuasa adalah mempertahankan nilai-nilai yang merupakan ideologi yang
mengesahkan kekuasaan mereka, sedangkan kepentingan kelompok yang
ditudukkan merupakan ancaman terhadap ideologi ini dan ancaman terhadap
hubungan sosial yang menutupinya. 14
Orang yang berada dalam posisi
memegang wewenang pun akan bertindak sesuai dengan kepentingannya.
Individu akan merasakan perannya yang diharapkan sesuai dengan posisinya
tersebut. Kepentingan ini disebut oleh Dahrendorf dengan kepentingan
tersembunyi.15
Sebaliknya kepentingan nyata merupakan formulasi dari isu-isu
yang menggerakkan pertentangan kelompok secara struktural, atau dalam kata
lain kepentingan nyata merupakan suatu realitas-realitas yang ada dalam benak
orang yang memegang posisi dominan atau orang yang berada dalam posisi yang
ditudukkan dalam suatu perserikatan.16
Lebih lanjut lagi Dahrendorf berpendapat bahwa orang-orang yang
mempunyai wewenang yang sama dipersatukan oleh suatu rasa kebersamaan yang
menyebabkan mereka tidak menjadi sekelompok orang yang kacau.17
Akan tetapi,
tidak semua kolektivitas atau kumpulan orang-orang adalah kelompok. Kelompok
adalah orang-orang yang berhubungan dan berkomunikasi secara teratur, dan
mempunyai struktur yang dapat dikenal. Tapi ada juga kumpulan orang-orang
yang tidak mempunyai struktur tapi mempunyai kepentingan yang sama dan
perilaku yang sama, yang sewaktu-waktu dapat membentuk kelompok sendiri.
Kelompok yang kedua inilah yang disebut sebagai kelompok semu.18
13
Ibid., 217-218 14
Ibid ., 219 15
Ibid., 220 16
Ibid., 221 17
Ibid., 221-223 18
Ibid., 240-245
9
Sementara kelompok lain adalah kelompok kepentingan merupakan bentuk
sebenarnya dari pertentangan kelompok. Kelompok kepentingan ini memiliki
struktur organisasi yang jelas, berbeda dengan kelompok semu. Hubungan antara
kedua jenis kelompok ini adalah kelompok semu merupakan sumber perekrutan
anggota bagi kelompok-kelompok kepentingan.19
Dalam kelompok kepentingan
inilah kelompok semu menjadi suatu kelompok yang teratut.
Dahrendorf mengidentifikasikan kelompok dominan setidaknya dalam
lima poin, yaitu 20
:
1. Kelompok dominan merupakan kelompok minoritas yang jumlahnya lebih
sedikit dari kelompok yang ditudukkan.
2. Kelompok yang dominan biasanya memiliki sejumlah kekayaan khusus
yang mana pemiliknya dinyatakan sebagai orang penting bagi kelompok
tertentu, sehingga berhasil mendapatkan dan mempertahankan posisi
kekuasaannya.
3. Kelompok penguasa memiliki kultur bersama dan terorganisir dengan
lebih baik.
4. Tiap perserikatan memiliki kelompok dominannya masing-masing. Jadi
kelompok dominan bukanlah kelompok tunggal.
5. Kelompok penguasa juga menentukan kultur individu tetapi pengaruhnya
tidak sebesar dinamika dan perserikatan dimana kelas-kelas yang berkuasa
itu berasal.
Mengenai kelompok yang ditudukkan menurut Dahrendorf mereka tidak
harus merupakan suatu kelompok mayoritas dalam suatu perserikatan. Anggota-
anggotanya pun tidak terikat dengan kekayaan atau sebuah kultur bersama seperti
kelompok penguasa. Unsur pengikat mereka adalah kepentingan. Dalam setiap
19
Ibid., 247-248 20
Ibid., 262-263
10
kelompok masyarakat, menurut Dahrendorf juga memiliki kelompok yang
ditudukkan-nya sendiri, seperti kelompok yang berkuasa.21
Hunt and Metcalf membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal
conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal).
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri sendiri, misalnya
ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya
masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik
intrapersonal ini bersifat psikologi, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik
dapat menggangu bagi kesehatan psikologi atau kesehatan mental (mental
hygiene) individu yang bersangkutan konflik. Konflik interpersonal ialah konflik
yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial,
seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara.
Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam
sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup
conflict). 22
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah internal) maupun
dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa
perselisihan, dan munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau
lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai
kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai
penghalang dalam menggangu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
B. Konsep-konsep Rekonsiliasi
Dalam upaya penanganan konflik, ada berbagai macam istilah yang digunakan
seperti “resolusi konflik”, “managemen konflik”, dan penyelesaian konflik”. Cara
yang digunakan pun ada berbagai macam, seperti mediasi, arbitrasi, dan tim
pencari fakta. Dari semua istilah dan cara tersebut, salah satu istilah yang sering
21
Ibid., 263 22
Scannell, The Big Book of Conflict Resolution Games, (United States of America:
McGraw- Hill Companies, Inc 2010), 2.
11
digunakan kalangan akademisi dalam penanganan konflik adalah alternative
dispute resolution atau sering disingkat dengan ADR. Umumnya kalangan
akademik Indonesia menerjemahkannya menjadi “pilihan penyelesaian
sengketa”.23
Istilah ADR merujuk kepada berbagai bentuk penanganan konflik atau
sengketa, seperti nogosiasi, mediasi, tim pencari fakta, dan arbitrasi. Lalu di
manakah posisi rekonsiliasi dalam ADR? Untuk menjawab pertanyaan ini ada
baiknya berangkat dari apa yang dikemukakan Kovach tentang ADR. Menurut
Kovach ADR terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu24
:
1. Adjudicative, yaitu berbasis pada sistem yang legal dan ada pihak ketiga
yang mengambil keputusan. Adjudicative terdiri dari beberapa cara, yakni
arbitrasi, private judging, dan tim pencari fakta.
2. Evaluasi dapat didefenisikan sebagai situasi advokat mempresentasikan
versi mereka tentang kasus pihak ketiga yang menilai kelemahan dan
kekuatan dari kasus yang dipresentasikan.
3. Proses kombinasi dan hybrids. Mengingat karena kelebihan ADR adalah
fleksibilitas, maka dapat memodifikasi masing-masing proses untuk
mencapai resolusi.
1. Rekonsiliasi Menurut Beberapa Ahli
Geiko Muller- Fahrenholz tidak memberikan defenisi secara eksplisit apa itu
rekonsiliasi. Ia menjelaskan apa itu rekonsiliasi melalui beberapa sisi dari
rekonsiliasi. Sisi pertama adalah pengampunan. Ia berusaha menjelaskan bahwa
pengampunan merupakan hal yang tidak gampang untuk di lakukan. Geiko
Muller- Fahrenholz apa itu rekonsiliasi dari sudut pandang teologis. Ia memang
mengakui bahwa dalam Alkitab manusia tidak terlibat secara aktif dalam proses
23
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
(Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2011), 10-11 24
Kimberlee K. Kovach, Mediation Principles and Practice. (St. Paul: West Group.
2004), 9-8
12
rekonsiliasi. 25
Menurut Fahrenholz Alkitab memahami pengampunan sebagai
suatu proses yang mencakup baik perilaku kejahatan dan korban, seperti yang
ditulis oleh Fahrenholz:
Pengampunan itu terjadi ketika pelaku meminta maaf dan si korban
memberikannya. Kedua belah pihak diubah dalam perjumpaan ini. Terjadilah
sebuah penyembuhan yang meretas jalan bagi suatu kerja sama yang lebih baik di
antara pihak–pihak yang berseteru. Lebih baik sekedar kata atau gerek-gerik,
pengampunan merupakan suatu proses perjumpaan, proses penyembuhan, proses
penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati untuk masa depan.26
Pendapatnya ini sangat berbeda dengan yang dikemukakan oleh Robert J
Schreiter. Menurut Schreiter, pengampunan hanya bersifat satu sisi saja, yakni
korban. Baginya korban juga merupakan manusia berdosa yang menerima
pengampunan dari Tuhan. Jadi sepatutnya si Korban mengampuni pelaku
kejahatan, karena ia sudah terlebih dahulu menerima pengampunan.27
Fahrenholz berpendapat bahwa privatisasi dan vertikalisasi pengampunan
dapat mengakibatkan hubungan horizontal menjadi terabaikan28
, dalam arti
pengampunan menjadi suatu hubungan pribadi antar manusia dengan Tuhan.
Karena pengampunan menjadi suatu masalah pribadi antar manusia dengan
Tuhan, maka orang cenderung enggan untuk meminta maaf. Jika tidak ada
permintaan maaf, maka pengampunan tidak akan terjadi.
Resolusi konflik yang dalam bahasa inggris adalah conflict resolution
memiliki makna yang berbeda-beda menurut parah ahli yang fokus meneliti
tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine adalah (1)
tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau
penghilangan permasalahan29
. Weitzman dalam Morton & Coleman
25
Geiko Muller – Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya memecahkan Spiral Kekerasan dalam
Masyarakat (Maumere: Ledalero. 2005), 7 26
Ibid., 8-9 27
Robert J. Schreiter, Reconciliatian: Mission in a Changing Sosial Order (New York:
Orbit Books & Massachusetts: Boston Teological Institutes, 199) 2,59 28
Ibid., 26 29
Levine, Getting to Resolution, Turning Conflict into Collaboration, (Prentice Hall,
New York, 1998), 3.
13
mendefinisikan tentang resolusi sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah
bersama (solve a problem together).30
Menurut Mindes, resolusi konflik
merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan
merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan
keterampilan dan penilaian untuk negosiasi, kompromi serta mengembangkan
rasa keadilan31
. Menurut Fisher et al, resolusi konflik adalah usaha menangani
sebab-sebab konflik di antara kelompok-kelompok yang berseteru32
. Sebagai
suatu proses sosial yang sifatnya dinamis, konflik sangat rentan terhadap
pengaruh-pengaruh yang berasal dari berbagai aspek. Sifatnya yang dinamis
cenderung membuat konflik dapat dikelola untuk mencapai suatu resolusi.
Resolusi tersebut merupakan suatu keadaan dimana kepentingan yang mengalami
pergeseran dapat bertemu dan menetapkan kesepakatan bersama.33
Berdasarkan pemaparan teori menurut para ahli tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara
individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain
secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang
lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik. Masing-masing
pihak-pihak yang berkonflik diberi kesempatan untuk memecahkan masalah , oleh
mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil.
Dalam penjabaran konsep ini, penulis mendasarkan tulisannya pada pendapat
Johan Gultong mengenai resolusi konflik. Menurut Galtung, resolusi konflik
dibagi pada tiga tahapan yaitu peacemaking, peacekeeping, dan peace building.34
Peacemaking merupakan sebuah strategi upaya dalam mengakhiri sebuah
kekerasan penyebab konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antara
pihak yang bertikai, misalnya pengadaan sebuah perjanjian tertulis yang
30
Morton & Coleman, The handbook of Conflict Resolution, (Weveland Press, Inc,
Illinois, 2000), 89. 31
Mindes. Teaching Young Children Social Studies. (United State of America, 1006), 24. 32
Fisher et al, Mengelola Konflik, keterampilan dan Strategi, Resolusi Konflik berbasis
Kearifan Lokal. (Terjemahan Global Pustaka Utama, Jogjakarta, 2001), 7. 33
Implementasi Model Pembelajaran Resolusi Konflik Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas. (Disertasi (tidak diterbitkan) (Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung , 2005), 28 34
http://digilib.unila.ac.id/2253/16/BAB%202.pdf. Dikunjungi pada tanggal 30 Mei
2017, Pukul 18.56 WIB
14
melibatkan mediator. Peacekeeping adalah proses penjagaan keamanan dengan
pengakuan masing-masing pihak terhadap perjanjian dan berusaha untuk selalu
menjaganya sebagai sebuah perisai dalam penyelesaian konflik yang terjadi
selanjutnya. Peace building adalah proses pengimplementasian perubahan atau
rekonstruksi sosial, politik maupun ekonomi demi tercapainya transformasi
negative peace (the absence of war) menjadi positive peace dimana semua lapisan
masyarakat akan merasakan keadilan sosial, kesetaraan, dan kesejahteraam
ekonomi.
Penjelasan di atas sesuai juga dengan pendapat Ronald Paris yang
mendefenisikan peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding sebagai berikut:
“peacemaking is the attempt to resolve an ongoing conflict, aither by peaceful
means such as mediation and negotiation, or, if necessary, by the authorization of
an international military force to impose settlement to the conflict. Peacekeeping
is the deployment of a lightly armed, multinational contingen of military
personnel for non-enforcement purposes, such as the observation of ceasefire35
.
Peacebuilding is action undertaken at the end of a civil conflict to consolidate
peace and prevent a recurrence of fighting. A peace building mission involves the
deployment of military and civilian personel from several international agencies,
with a mandate to conduct peacebuilding in a country that is just emerging from a
civil war.”
Menurut John W. Burtom pada intinya, teori resolusi konflik
mengedepankan prinsip-prinsip bahwa36
:
1. Konflik tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena politik militeristik
namun juga harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial.
2. Konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linier, sangat
bergantung pada dinamika lingkungan konflik.
35
Paris Ronald. Resolusi Konflik, (Jogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 93 36
W, Burton John. Conflict: Resolution and Provention, (London: Macmilan and New
York: St. Martins Press, 1990), 187.
15
3. Sebab-sebab konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variable tunggal
dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariate melainkan harus dilihat
sebagai fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
4. Resolusi konflik hanya diterapkan secara optimal jika dikombinasikan
dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan.
Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (konflik resolution)
akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutama setelah kasus Afrika Selatan
dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (Truth and reconciliation
commission), dianggap cukup berhasil. Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai
bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik. Dalam hal ini, rekonsiliasi
diperlukan agar persoalan-persoalan pascakonflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi
dapat disejajarkan pengertiannya dengan upaya transformasi konflik, yaitu
bagaimana mengubah konflik menjadi damai.37
Pada bagian ini akan dibahas teori-teori resolusi konflik khususnya teori
mengenai rekonsiliasi. Umumnya, para peneliti dengan praktis di bidang resolusi
konflik menganggap peran masa lalu dalam perkembangan skenario konflik
adalah sangat penting. Meskipun demikian, sejarah masa lalu banyak
mempengaruhi persepsi dan pengalaman individu/kolektif terhadap konflik.
Resolusi konflik sebagai kajian keilmuan merupakan hal yang bisa dikatakan
baru. Pada awal setiap konflik terjadi dalam suatu masyarakat selalu cenderung
berujung pada kekerasan antar pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Oleh karena
itu, resolusi konflik merupakan kajian keilmuan yang baru. Menurut Morton
Deutsch resolusi konflik merupakan sekumpulan teori dan penyelidikan yang
bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi
terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik.38
Prof. Dr. Alo Liliweri berpendapat bahwa resolusi konflik bertujuan
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang
37
http://digilib.unila.ac.id/2253/16/BAB%202.pdf, dikunjungi pada tanggal 30 Mei 2017,
Pukul 18.59 WIB 38
Morton Deutsch, The resolution of conflict, (Nusamedia, 2016), 420.
16
relatif dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.39
Jadi
resolusi konflik adalah tentang bagaimana menghadapi konflik, bagaimana
menyelesaikannya, bagaimana mengatasinya, bagaimana mengelolanya dan
mungkin bagaimana menghilangkan konflik. Resolusi konflik merupakan istilah
yang lebih komprehensif yang menyiratkan bahwa akar terdalam yang merupakan
sumber dari konflik adalah ditangani dan diubah. Hal ini berarti bahwa perilaku
kekerasan, sikap bermusuhan tidak lagi dan struktur konflik telah berubah menuju
arah perubahan dan penyelesain konflik dengan baik.
3. Hasil Penelitian
3.1 Sejarah berdirinya Jemaat
Berbicara tentang masuknya Injil di jemaat Imanuel Mamuya, maka pertama-
tama kita harus bertolak dari sejarah masuknya Injil di Halmahera. Berdasarkan
sejarah bahwa Injil mula-mula masuk di Halmahera bukan dari Desa Duma,
melainkan di Desa Mamuya oleh seorang Saudagar Portugis yang bernama
“Gonzalvo Veloso tahun 1534”. Pada saat itu di pulau Halmahera bagian Utara
tepatnya pantai Utara Moro, penduduk yang beragama kafir diganggu oleh orang-
orang yang beragama Islam. Kolano (Kepala Desa), mengajukan keluhan kepada
orang bangsa Portugis yang ada di Kota Ternate untuk meminta bantuan.
Pengaduan tersebut disambut dan diterimanya, dengan satu perjanjian Kolano atau
Kepala Desa, beserta seluruh masyarakat yang beragama kafir harus menerima
agama baru yang dibawa oleh orang bangsa Portugis.40
Kepala Suku atau Kepala
Desa tersebut bernama Yoao yang disebut raja sebagai yang pertama di kerajaan
Moro.41
39
Prof. Dr. Alo Liliweri, Prasangka dan konflik; komunikasi lintas budaya masyarakat
multikultural, (LKiS, Edisi : Cet. 2, Tahun : 2009) , 288-289. 40
T.R Wawancara, Tobelo: 20 Oktober 1999, (Pastor RK Tobelo). 41
Mahiku Renal. Wawancara, Mamuya 8 Mei 2017. (Pimpinan Jemaat Imanuel
Mamuya).
17
Dalam hubungannya dengan hal teresebut diatas. Mangany menulis dalam
bukunya yang dikutip oleh Renal Mahiku:.42
Penduduk Halmahera Utara yang masih kafir diserang oleh orang yang
sudah memeluk agama Islam. Agaknya dari Halmahera Barat bagian
Jailolo, seorang kepada suku dari Halmahera Utara meminta bantuan
dari bangsa Portugis terhadap serangan dari yang beragama Islam.
Permintaan bantuan ini diterima oleh bangsa Portugis dengan satu
ketentuan bahwa kepala suku Halmahera Utara wajib menerima agama
baru yang dibawa oleh bangsa Portugis
Masuknya Kepala Suku/ Kepala Desa menjadi Kristen dapat dipastikan,
bahwa betapa besar pengaruh agama Kristen terhadap kehidupan masyarakat pada
saat itu. Sebagaimana dikatakan oleh tua-tua jemaat bahwa, ketika itu yang
sempat menerima agama Kristen, dan dibaptis sebanyak 3.000 orang di kecamatan
Galela. Rupanya, fakta ini ada kesejajaran. Dengan laporan gereja rumah Katolik,
yang walaupun sangat berlebih-lebihan dapatlah dikatakan bahwa pada tahun
1570 jumlah orang Kristen di Halmahera kurang lebih 80.00 orang. Demikian
dalam laporan resmi kepada raja Philip II, dari tahun 1588 jumlah orang Kristen
di Maluku sebanyak 150.000 orang dan di dalam penganiayaan yang terjadi antara
tahun 1560-1570 tercatat sebanyak 60.000 orang menjadi martir.
Dari data diatas, menunjukan adanya perkembangan agama Kristen Di
Halmahera dalam perhitungan jumlah cukup mengembirakan. Sayangnya hal ini
tidak disertai dengan upaya penataan kehidupan orang-orang Kristen dengan baik,
sehingga Agama Kristen yang baru diterima oleh orang-orang kafir tidak berakar
dan mendarah daging pada setiap orang yang telah menerimanya. Lagi pula dalam
hal-hal tertentu sikap dan kepribadian orang bangsa Portugis tidak mencerminkan
nilai-nilai Injili dengan menampilkan cara-cara kebengisan dan kehidupan tidak
senonoh. Akibatnya penduduk merasa tidak senang sehingga mengadakan suatu
rahasia untuk mengusir dan menentang orang-orang yang berkebangsaan Portugis.
Itu berarti agama baru yang dibawanya juga menjadi sasaran. Akhirnya orang-
orang Kristen dan para pekabar bangsa Portugis menjadi korban. Seperti Pendeta
Simon Vas meninggal karena terbunuh dalam tragedi ini. Dialah orang pertama
di Indonesia yang meninggal sahid yang terjadi di pulau Halmahera.
42
Mahiku Renal. Skripsi Memanusiakan Manusia (Tidak Diterbitkan). 11.
18
Hal lain merupakan tragedi pahit yang dialami oleh orang-orang Kristen di
Halmahera, yaitu atas desakan Sultan Ternate dalam hubungannya dengan
perluasan kesultanan melalui pengislaman daerah sekitarnya. Pada tahun 1560
terjadilah pembataian yang keji. Beribu-ribu orang Kristen dibunuh dan beribu
pula yang jatuh imannya.43
Hal ini senada pula dengan ungkapan beberapa tua-tua
jemaat, bahwa di Mamuya juga pernah terjadi pembunuhan dan penyiksaan besar-
besaran terhadapa orang Kristen, yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam
atas perintah Sultan Ternate. Salah satu bukti sejarah adalah kuburan seorang
pendeta/pastor gereja Roma Katolik yang berasal dari bangsa Portugis yang masih
ada di desa Mamuya hingga saat ini.44
Kejadian-kejadian inilah merupakan
penyebab kegagalan para misionaris bangsa Portugis. Dalam menyingkirkan
agama Kristen di tengah-tengah kehidupan orang kafir terjadi di pulau Halmahera,
termasuk di desa Mamuya. Namun perlu dicatat bahwa, usaha yang telah
dilakukan oleh para misionaris bangsaPortugis juga merupakan benih Injil bagi
pekabaran Injil di kemudian hari.
Setelah orang-orang bangsa Portugis mengalami kegagalan baik itu dalam
usahanya untuk mempertahankan maupun dalam usaha pekabaran Injil, maka
kedudukan mereka digantikan oleh Belanda atau VOC. Merekapun membuka
usaha pekabaran injil yang baru di Halmahera, bertempat di desa Duma. Usaha
tersebut dilakukan oleh Hendrik Van Diken pada tahun 1866, namun usaha yang
dilakukan pada tahun 1866, tidak sempat menjamah sampai di Desa Mamuya.
Jadi dapat dikatakan bahwa penginjilan di Desa Mamuya bukan dilakukan oleh
para Zending di Barat , melainkan oleh guru-guru Injil pribumi yang berasal dari
kota Ambon. Penginjilian pertama kali dilakukan oleh guru Noya, pada tahun
1919. Berikutnya, pada tahun 1920 ia mendirikan sekolah Kristen. Orang-orang
pertama kali menjadi Kristen dan dibaptis di Desa Mamuya ada lima orang yaitu:
Wowa (nama baptis Paulus Gogasa), Partin (nama baptis Tabita), Muane (nama
baptis Rahel), Dolo (nama baptis Cia), dan Marifu (nama baptis Maria). Pada
masa guru Noya bekerja, banyak penduduk belum menerima Injil. Baru pada
masa guru Theis Selong pada tahun 1927-1939, Injil mulai berkembang dengan
43
Magany, Bahtera Injil Di Halmahera. (Ambon 1984), 78. 44
R. T dan O. S. Wawancara : 24 Oktober 1999.
19
pesat. Banyak orang kafir bahkan orang-orang yang beragama Islam yang
menerima Injil bersedia untuk dibaptis.
Dalam usaha menata kehidupan kekristenan, maka pada tahun 1929 diangkat
dua orang yaitu Paulus Gogasa dan Abraham Dawile, sebagai majelis jemaat yang
pertama. Pada masa inilah kehidupan organisasi gereja mulai ditata dengan baik.
Berbagai upaya dan kerja keras yang dilakukan untuk kemajuan Injil. Satu hal
yang perlu dicatat sebagai faktor pendukung berkembangnya Injil di Desa
Mamuya ialah ketika Jepang berkuasa, mereka tidak mempersulit kedudukan
orang Kristen yang ada di Desa Mamuya. Hanya saja diakui bahwa ada juga
tindakan kekerasan tertentu yang dilakukan oleh serdadu Jepang terhadap
masyarakat.
4. Analisa Masalah
4.1 Faktor Yang ikut Mendukung Perpecahan Jemaat Imanuel Mamuya
Julianus Mojau dalam kesimpulan buku yang ditulisnya “Sejarah
Pembaharuan GMIH” mengatakan “pembaharuan adalah wujud dari kemajuan
iman. Itulah sebabnya setiap masalah melawan pembaharuan adalah melawan
kemajuan iman. Apalagi di tengah-tengah pembaharuan sosial-budaya, ekonomi
dan politik masa kini…”.45
mencermati pernyataan Julianus Mojau, peneliti
mengambil posisi untuk bersepakat dengan kesimpulan yang dibuat oleh Julianus
Mojau. Namun, yang menggelitik penelitian adalah “ kemajuan iman” siapa?
Jemaat GMIH? Rasanya Julianus Mojau terlalu memaksakan kesimpulan ini.
Pertanyaan itu mengkonfirmasi pikiran peneliti tentang topik yang dikaji oleh
Julianus Mojau dalam buku kecilnya (Sejarah Pembaharuan GMIH), tentang: “5
Juli 2013: Saat Tuhan menegur Para Pemimpin UmatNya”. Topik ini dibahas
panjang lebar tentang keberatan sekretariat Pembaharuan akan tindakan Ketua
Sinode (secara pribadi namun seolah-olah dikatakan mewakili lembaga), yang
tidak mendukung salah satu calon dari dua calon warga GMIH yang ikut
45
Mojau, Julianus. Sejarah Pembaharuan GMIH. (Tobelo, GMIH, 2014), 126.
20
“meramaikan” suskesi Gubernur Maluku Utara waktu itu. Pertanyaannya adalah
apakah Tuhan sedang menegur Ketua Sinode (Pdt Anton Piga), atau Tuhan
sedang menegur dua orang calon Gubernur yang nota bene adalah warga GMIH,
karena membuat Ketua Sinode bingung untuk menentukan pilihan? Pertanyaan
terkahir ini tentu sulit untuk dijawab. Namun yang jelas jemaat Imanuel Mamuya
terpecah pasca suksesi pemilihan Gubernur Maluku Utara.
Sidang Sinode Istimewa (SSI) dilakukan pada tanggal 6-8 September 2013.
Dalam laporan persidangan (Dokumen Hasil Sidang Sinode GMIH di Tobelo,
2013), tercatat tiga nama sebagai peserta persidangan dari Jemaat Imanuel
Mamuya, yakni: Pnt. P. Dawile, Pnt. R. Kotabajo, Pnt. N. Dawile, Dkn. Y. Yaga.
Dan tua-tua jemaat Bpk. C. Jai, Bpk. S. Seleky, Bpk. S. Gosango, Bpk. B.
Kotabajo. Keberangkatan kedelapan “elite” untuk mengikuti SSI, menurut Pnt. P.
Dawile adalah “atas kesepakatan majelis jemaat dan jemaat. Tujuannya adalah
untuk mengetahui permasalahan apa yang dibicarakan dalam SSI atau apa yang
dibahas dalam persidangan tersebut”.
Sesuai persidangan, kedelapan utusan tersebut kembali ke Imanuel Mamuya
dan mensosialisasikan hasil persidangan tersebut. Melihat materi sosialisasi yang
disampaikan oleh para utusan tersebut, terdapat kesan bahwa para utusan tidak
lagi menempatkan posisi sebagai utusan yang mencermati permasalahan yang
dibahas dalam SSI posisi netral. Kedelapan “utusan” tersebut kemudian
mengambil sikap sebagai pendukung SSI, tanpa sepengetahuan Jemaat Imanuel
Mamuya. Realitas ini memperlihatkan bahwa makna “utusan” sebagai yang netral
dalam mengikuti SSI menjadi tidak berarti lagi.
Argumentasi “makna utusan tidak bermakna lagi” dikarenakan hasil diskusi
dengan kedelapan “utusan” ini pada waktu penelitian tampak bahwa mereka telah
memposisikan diri sebagai pendukung SSI ketika hadir dalam Sidang Sinode
Istimewa tersebut. Jadi kedelapan utusan tidak hadir dalam kapasitas sebagai
utusan yang “netral,” namun telah terkontaminasi ketika mengikuti sidang.
Hasilnya ketika keedelapan utusan ini kembali ke jemaat Imanuel Mamuya.
Laporan (atau sosialisasi) yang dilakukan dalam ibadah Rumah Tangga (ibadah
keluarga), tampak telah menyimpang dari tujuan awal mengikuti SSI.
21
Dua topik yang disosialisaikan adalah: a). Penyimpangan pengelolaan
keuangan oleh BPHS hasil Sidang Sinode di Dorume pada tahun 2012, serta hal-
hal khusus yang dilakukan oleh Ketua Sinode; b). Penyelewengan atau
penyimpangan pengelolaan keuangan dan realitas Ketua Sinode yang berpolitik.
Pola sosialisasi yang dilakukan oleh “para utusan” ini tidak mampu menarik
perhatian anggota jemaat secara keseluruhan. Buktinya berdasarkan data yang
dihimpun dari Sekertaris Jemaat (Pnt. N. Dawile) yang biasanya dipanggil Pak
Nelman, ditemukan bahwa anggota jemaat yang mendukung SSI sampai dengan
penelitian ini dilakukan adalah sebanyak 73 Kepala Keluarga (KK).46
Melihat upaya yang dilakukan oleh para utusan ketika kembali ke jemaat
Imanuel Mamuya, tampak bahwa ada upaya yang sistematis dilakukan untuk
membangun opini pada warga jemaat bahwa kepungurusan BPHS periode 2007-
2017 dan 2012-2017 telah melakukan kesalahan serius. Pola sosialisasi yang
dilakukan oleh “para utusan” menimbulkan permasalahan pada tingkat jemaat.
Meminjam perspektif Emile Durkheim bahwa pada sistem sosial (termasuk
agama) hanya akan seimbang jika nilai-nilai bersama masih diyakini dalam
masyarakat.47
Sosialisasi hasil SSI oleh “para utusan” diyakini mengakibatkan
ketidaknyamanan pada tatanan sosial jemaat Imanuel Mamuya. Dikatakan
demikian, sebab setelah sosialisai dilakukan, warga jemaat terpecah ke dalam
kubu-kubu atau kelompok-kelompok pendukung, baik pendukung BPHS Dorume,
maupun pendukung BPHS versi SSI. Bahkan berdasarkan hasil wawancara
dengan Pdt. R. Mahiku, diketahui bahwa warga jemaat Imanuel Mamuya terbagi
dalam dua kelompok;48
“Di dalam jemaat Imanuel Mamuya terpecah karena ada dukungan-
dukungan dari sidang sinode yang dilakukan di Dorume, sehingga para
utusan yang di utus dari jemaat Imanuel Mamuya juga ikut teribat
dalam GMIH Pembaharuan. Sebelum terpecah, mereka membagi-
46
Bersadarkan data survey yang dilakukan peneliti 73 KK ini tersebar dalam 3
Lingkungan Pelayanan yang ada dalam Wilayah Pelayanan Imanuel Mamuya. Dengan demikian,
maka data ini sebenarnya mengkonfirmasi pernyataan Kepala Badan Litbang dan Statistik GMIH
(Pnt. N. Dawile) bahwa yang terpecah bukanlah jemaat, namun Rumah Tangga yang berpindah
mendukung BPHS versi SSI 2013 dan BPHS hasil Sidang Sinode Dorume tahun 2012. 47
Durkheim Emile, The Elementary Froms Of Religious Life: (New York, The
Free Press, Macmillan Publishing, 1965). 48 Wawancara dengan Pdt. R. Mahiku, tanggal 8 Mei 2017.
22
bagikan kepada jemaat 28 poin atau dosa yang dilakukan oleh ketua
sinode GMIH. Mereka lakukan ini agar supaya jemaat-jemaat juga ikut
percaya atas 28 dosa atau poin yang dilakukan oleh ketua sinode
GMIH. Diharapkan mereka juga mengikuti utusan-utusan yang ikut
dalam sidang sinode di Dorume”
Berdasarkan data yang dihimpun dari kantor gereja Imanuel Mamuya,
keseluruhan anggota jemaat Imanuel Mamuya berjumlah 929 jiwa dengan jumlah
Kepala Keluarga sebanyak 203 KK.
4.2 Relasi Antar Anggota Jemaat Imanuel Mamuya Pasca Perpecahan
Berdasarkan deskripsi yang telah dilakukan, hal menarik yang dapat
dipelajari adalah bahwa nilai-nilai keseimbangan masyarakat tidak selalu bersifat
tetap, namun berada dalam kondisi yang penuh konflik. Terjadinya konflik ini
dapat saja merusak tatanan nilai yang telah ada, namun dapat pula
mentransformasikan nilai-nilai bersama yang telah ada sebagai kohesifitas sosial.
Bisa terjadi juga di dalam konflik tersebut terdapat “ domba-domba yang
bingung” akibat keributan yang terjadi.
Dalam kebingungan itu “domba-domba” terus berupaya mencari perlindungan
pada mereka yang memiliki otoritas. Dalam proses “mencari” perlindungan atau
keteduhan itu, diakui bahwa ada “domba” yang berhasil mendapatkan lahan
terbaik yang kemudian diakui sebagai keabsahan yang dapat menaugi kepentingan
dan kebutuhan. Ada juga “domba” yang mencari namun tidak menemukan lahan
hijau akhirnya lari atau keluar dari lingkungan nilai bersama dan berdiam di
wilayah yang mungkin tak bertuan, dan dapat saja domba-domba yang sedang
kebingungan ini saling menyerang satu sama lain.
Analogi “domba-domba yang kebingungan,” menurut hemat peneliti dapat
digunakan untuk mengolaborasi akibat konflik kepentingan elit yang terjadi di
GMIH, nampak pada jemaat Imanuel Mamuya. Dikatakan “domba-domba yang
kebingungan” maksudnya adalah ketika sudah terjadinya konflik ada dari
sebagian jemaat yang binggung untuk mengikuti sinode Pembaharuan, dan
bertahan tetap dalam sinode lama.
23
Bagi peneliti, keputusan 203 Kepala Keluarga yang tidak terlibat dan
memihak pada salah satu “calon” adalah keputusan menarik, walaupun agak
“menggelitik” jika ditempatkan dalam perspektif Gereja dalam pola pelayanan
atau penatalayanan rapi dan tersistematis. Dikatakan menggelitik sebab jika
ditempatkan dalam struktur gereja apalagi para pendeta juga ikut terkotak-kotak,
maka pertanyaan adalah siapakah yang berhak atau dapat mengklaim 203 Kelapa
Keluarga ini sebagai anggota jemaat mereka? Bukankah mereka sedang berada
dalam kondisi “tanpa status”? Itulah realitas domba-domba yang kebingungan.
203 KK itu dapat dikatakan sedang menampar dengan keras terhadap para
pelayan (pendeta) GMIH yang berkonflik. Implikasi pendeta yang berkonflik itu
mengusik ketenangan domba-domba yang kebingungan.
Hasil wawancara dengan Pnt. P. Dawile, tanggal 14 Mei 2017 tentang realitas
yang terjadi di jemaat Imanuel Mamuya, pada intinya mengatakan bahwa:49
“Sekarang terlihat keadaan aman, karena tidak sama seperti pertama
terjadinya konflik. Dari antara kedua belah pihak sudah saling sapa
satu dengan yang lain, jikalau ada kegiatan orang meninggal dari
kedua belah pihak saling mendatangi ke rumah keluarga yang
meninggal. Di jemaat Imanuel Mamuya terjadi kekacauan pada saat
selesai ibadah Minggu di gereja. Ada sekelompok orang yang
memberontak dengan pedang. Kami dari jemaat SSI tidak bisa
menangani karena kami terus diancam dan bahkan ditindas kalau
mereka melakukan pembangunan gedung gereja kita di usir dari
jemaat tersebut”.
Sekalipun setiap informasi kunci mengatakan bahwa “mereka tidak
menganggap yang lainnya sebagai musuh”, namun realitas keseharian kehidupan
warga jemaat, pasca perpecahan ini mengakibatkan pola interaksi tidak lagi
berjalan dengan baik.
49
Wawancara dengan Pnt. P. Dawile, tanggal 14 Mei 2017
24
4.2 Hubungan Antar Gereja dan Negara Dalam Hal Pemerintah Kota
Tobelo
Menurut peneliti dalam wawancara dengan jemaat Imanuel Mamuya
mengatakan, bahwa pemerintah bekerja sama dengan sinode untuk
mempersatukan antara kedua belah pihak, antara lain adalah para pegawai negeri.
Pemerintah Tobelo bertindak kepada pegawai negeri, termasuk pegawai negeri
yang masuk dalam GMIH Pembaharuan. Mereka harus balik dalam satu gereja,
kalau tidak mereka akan memindahkan para pegawai negeri ke tempat yang lain,
tetapi dalam jemaat yang bertahan dalam sinode lama, akan tetap bertahan dalam
tempat kerja mereka. Sehingga dari tindakan ini pemerintah Tobelo bekerja sama
dengan sinode, agar bisa menyatukan antara kedua belah pihak, karena
kebanyakan yang mengikuti sinode pembaharuan adalah para pegawai negeri ke
tempat lain.
4.3 Intervensi Pemerintah Terhadap Permasalahan Gereja Termasuk
Universitas Halmahera
Ketika peneliti melakukan wawancara kepada salah satu alumni Universitas
Halmahera (Uniera), ia mengatakan bahwa pada tahun 2013, mahasiswa Uniera
dan Rektor Uniera membuat 28 dosa atau poin, yang menyangkut pelanggaran-
pelaranggaran yang dilakukan oleh ketua sinode GMIH. Salah satunya berisi
korupsi terhadap uang-uang jemaat yang ada di GMIH. Rektor juga memberikan
28 poin kepada mantan bupati Halmahera Utara yang waktu itu adalah H.
Namotemo. Rektor Uniera, menganggap bahwa H. Namotemo mempunyai
dukungan yang sangat banyak, ketika mencalonkan diri dalam pemilihan
Gubernur. Pada kesempatan inilah rektor Uniera mengambil kesempatan, untuk
memberikan 28 poin kepada mantan bupati. Sehingga pada nantinya, H.
Namotemo membagi-bagikan kepada jemaat-jemaat yang ada di Halmahera.
Pada tahun 2013 diadakan Sidang Majelis Sinode yang diadakan di Desa
Weda, Halmahera Tengah. Ada sebagian mahasiswa Uniera, yang mengikuti
Sidang Majelis Sinode ada juga yang tidak mengikuti. Sebagian dari mahasiswa
Uniera mengikuti dalam maksud untuk mamastikan ketua sinode korupsi uang
25
jemaat ataukah memang tidak sama sekali. Tetapi dari beberapa mahasiswa dari
Uniera bersama Rektor, tidak mengikuti Sidang Majelis Sinode yang diadakan di
Desa Weda, Halmahera Tengah. Pada saat Sidang Majelis sedang berlangsung,
sebagian mahasiswa Uniera bertanya langsung kepada ketua sinode. Pada saat itu
juga, ketua sinode menunjukan bukti-bukti penyetoran dari jemaat-jemaat ke
sinode. Setelah ketua sinode menunjukkan bukti penyetoran jemaat kepada
mahasiswa Uniera, maka timbul pertanyaan, demikian ; kenapa sebagian dari
mahasiswa tidak hadir dalam sidang majelis sinode di Desa Weda? Padahal
mereka yang membuat 28 dosa atau poin kepada ketua sinode GMIH.
4.4 Otoritas Sinode Terhadap Permasalahan Gereja
Gereja dalam hal ini pemimpin sinode hasil sidang sinode di Desa Dorume,
harus menyadari posisi sebagai pengambilan keputusan ditingkat kepemimpinan
sinode, supaya bisa melihat momentum pemilihan kepada daerah ada ruang
politik. Mengambil posisi sebagai pangkal moralitas, umat diharapkan netral pada
posisinya dan mampu menyoroti setiap persoalan yang muncul kepermukaan,
terutama apabila terjadi kekerasan fisik maupun kekerasan psikis. Jika
kepemimpinan sinode tidak dapat memposisikan diri sebagai pangkal moral umat,
maka tentu hal ini akan menjadi pertanyaan di setiap elemen masyarakat yang
ada. Ada apa dengan mereka? Apa alasan mereka mau terlibat secara terang-
terangan di momen politik praktis? Bukankah lembaga keumatan yang dipimpin
punya kode etik yang rentan terhadap citra mereka. Tentu sangat mengherankan
jika mereka dengan tanpa merasa bersalah terlibat secara langsung di arena politik
praktis. Jika ini dilakukan untuk kepentingan diri, maka etika diabaikan oleh
karena perebutan kekuasaan, maka dapat dikatakan menduduki kepemimpinan
sinode hanya sebagai ajang prestasi untuk memuluskan hasrat kekuasaan. Bahkan
ini juga terjadi dalam agenda-agenda sidang sinode dari periode ke periode di
Gereja Masehi Injili di Halmahera. Memilih ketua sinode pun harus dilalukan
dengan lobi-lobi.
26
4.5 Ada Keperhakan Jemaat Terhadap Pendeta (hubungan emosional)
Sebagai warga jemaat Imanuel Mamuya yang sudah terpecah menjadi dua,
jemaat yang mengikuti sinode pembaharuan, mempunyai hubungan yang
emosional kepada pendeta dan ketua sinode GMIH. Sebagian jemaat yang sudah
mengikuti sinode pembaharuan, memiliki emosional akan pendeta yang sebagai
pimpinan jemaat Imanuel Mamuya. Pendeta tidak mengadakan pertemuan antara
kedua belah pihak, untuk membicarakan perdamaian. Begitu juga pimpinan
sinode GMIH yang korupsi akan uang-uang sinode GMIH. Bukan hanya korupsi,
tetapi yang mereka menyoroti pimpinan sinode GMIH terlibat dalam pencalonan
Wakil Gubernur. Mereka katakana bahwa kalau sudah menjadi seorang pelayan
tidak boleh lagi mencalonkan diri pada bidang politik, apalagi menjadi Wakil
Gubernur Maluku Utara. Padahal beliau sudah dipercayakan oleh warga jemaat
GMIH yang ada di Halmahera, untuk bertanggung jawab sebagai ketua sinode.
Melihat hal tersebut, menurut penulis jika dikaji dari Teori Rekonsiliasi
menurut Galtung yang dibagi dalam tiga tahapan yaitu peacemaking,
peacekeeping, dan peace building:
1) Jika dilihat dari tahap Peacemaking, konflik yang terjadi di jemaat Imanuel
Mamuya sudah mempunyai komunikasi dari antara kedua belah pihak. Ketika
dari jemaat GMIH lama ada keluarga yang meninggal, jemaat Pembaharuan
mendatangi keluarga yang berduka, sehingga dari situ mereka sudah
mempunyai komunikasi yang baik.
2) Peacekeeping tahap ini ketika dilihat dari perpecahan yang ada di jemaat
Imanuel Mamuya dari kedua belah pihak belum ada perjanjian dalam
menyelesaikan konflik. Akibat sampai saat ini belum ada perdamaian antara
GMIH lama dan GMIH Pembaharuan yang ada di jemaat Imanuel Mamuya.
Jika dari atasan-atasan atau pendeta-pendeta baik GMIH lama dan GMIH
Pembaharuan sudah ada perdamaian, tentu jemaat Imanuel Mamuya akan
berdamai pula dengan kedua belah pihak.
3) Tahap Peace building jika dilihat konflik yang terjadi di jemaat Imanuel
Mamuya, sampai saat ini dari kedua belah pihak belum sampai ke tahap ini,
27
karena mereka sudah melakukan pertemuan untuk membicarakan
perdamaian, tetapi belum ada perubahan sampai saat ini.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diformulasikan
sebagai berikut: terpecahnya jemaat Imanuel Mamuya diakibatkan oleh dua hal,
yakni: a). Konflik kepentingan elit yang terjadi pada tingkat Sinode GMIH
berimplikasi pada dukungan anggota jemaat pada elit tertentu hasil Sidang Sinode
Istimewa. Dukungan ini tampak atas dasar kesamaan kepentingan , baik
kepentingan politik-administrasi-merujuk pada status sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS), maupun kepentingan kekeluargaan merujuk pada menguatnya
persaudaraan dalam sistem klan; dan b). Perilaku elit ditingkat jemaat yang
tidak netral. Hal ini merujuk pada kesepakatan jemaat mengutus 8 orang “elit”
mereka dalam Sidang Sinode Istimewa sebagai utusan. Sekembalinya “para
utusan” ini, pola sosialisai yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban
mereka kepada jemaat sudah tidak lagi netral, artinya telah memihak keputusan
SSI sehingga berimplikasi pada hilangnya kepercayaan anggota jemaat dan
perpecahan.
Konflik yang dimulai dari Sinode Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH)
juga berdampak pada jemaat-jemaat terkhususnya pada jemaat Imanuel Mamuya.
Konflik tersebut tidak hanya membuat terjadinya perpecahan gereja, tetapi juga
kekerasan fisik yang terjadi di jemaat Imanuel Mamuya. Kekerasan dimulai ketika
dari pihak pembaharuan, memulai pembangunan gedung gereja baru. Tetapi yang
bertahan dalam sinode lama mempunyai komitmen bahwa, tidak ada lagi
pembangunan gedung gereja yang baru. Hanya satu gereja yang ada di Desa
Mamuya, yaitu gereja Imanuel mamuya. Selain dari, ketika sedang dibangun
fondasi gereja, pada saat itu dari pembaharuan sedang bekerja, dari jemaat yang
bertahan di GMIH lama mereka membokar dan membakar peralatan gereja yang
mereka sudah persiapkan. Jemaat yang masih pertahan dalam sinode lama, karena
28
tidak menyetujui akan pembangunan gedung gereja, maka dari itu mereka
melempari rumah-rumah warga jemaat sampai hancur, karena dari pembaharuan
sudah tidak mampu dengan tindakan yang dilakukan oleh warga jemaat, maka
dari itu mereka harus keluar dari Desa Mamuya.
Selain itu, dampak yang timbul dari perpecahan jemaat mengakibatkan
harmoni sosial menjadi rusak atau tidak harmonis lagi. Interaksi antar anggota
jemaat juga terkait dengan pimpinan jemaat menjadi tidak harmonis. Masing-
masing saling mencurigai, senyum yang dipaksakan, dan tegur-sapah menjadi
sekedar “basa-basi” belaka. Anggota jemaat terjebak dalam pengkotakan sebagai
pendukung BPHS SSD, pendukung BPHS SSI. Pengkotakan ini menambah
rumit pola interaksi antara mereka. Tegur-sapa dan senyum merupakan ungkapan
keterpaksaan akibat pernah hidup bersama sebagai orang bersaudara. Namun tidak
lagi setulus yang pernah ada pada waktu-waktu sebelum perpecahan.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan analisa dan kesimpulan di atas, maka beberapa hal yang
diformulasikan sebagai ekomendasi penelitian ini adalah:
Bagi kelembagaan GMIH, BPHS disarankan untuk lebih giat berupaya dalam
memberi pemahaman di Dorume tahun 2012. Memperbaiki dan meningkatkan
pola komunikasi yang baik dan martabat dengan semua pihak terutama dengan
jemaat-jemaat. Perlu dengan arif dan bijaksana mengelola konflik yang terjadi
pada tingkat elit dan tidak meneruskan konflik tersebut ke tingkat jemaat dalam
rangka menarik dukungan jemaat untuk melegitimasi kepentingan elit.
Bagi BPHS Pembaharuan, disarankan untuk menahan diri. Pembaharuan
gereja memang perlu dilakukan, namun waktunya perlu dipersiapkan dengan
matang, sehingga tidak terkesan ditunggangi secara politik. Tuhan (mungkin)
sedang menegur GMIH, namun teguran itu perlu dimaknai sebagai
mempersiapkan diri memperbaharui kehidupan bergereja. Berilah kesempatan
bagi BPHS SSD untuk bekerja dan membuktikan diriTanggal 5 Juli 2013
kalaupun dipahami sebagai “saat Tuhan menegur para pemimpin umat-Nya”,
namun tidak perlu meradikal dalam bentuk mekanisme SSI sebab “hari
29
penghakiman” perlu disesuaikan dengan mekanisme gereja yang telah
melembaga.
Bagi para pelayan (pendeta dan mejelis) di Mamuya, disarankan untuk tidak
ikut terkontaminasi konflik pada tingkat elit (sinode) tetapi perlu memposisikan
diri sebagai pelayan yang menyuarakan suara kenabian. Berhentilah mendukung
elit dan kelompok tertentu, sebab realitasnya jemaat Imanuel Mamuya telah
terpecah dan masing-masing kelompok merindukan sentuhan kasih dari seorang
pelayan. Belajarlah dari jemaat yang mengambil posisi netral dalam konflik
perpecahan ini. Sebagai pelayan yang tahu dan taat asas presbiterial sinodal,
penting sekali untuk menempatkan posisi tak berkepentingan dengan konflik elit,
sebab yang perlu “diselamatkan” adalah jemaat dan bukan elit. Itulah konsekuensi
panggilan anda sebabagi pelayan Yesus Kristus.
Jemaat Imanuel Mamuya, harus melakukan pertemuan lagi untuk
membicarakan tentang perdamaian dan bergabung menjadi satu lagi. Dari
pertemuan itu, pendeta harus bertindak untuk membicarakan tentang perdamaian
antara kedua belah pihak.
Bagi anggota jemaat, disarankan untuk berbesar hati dan kembali saling
memaafkan sebagai “orang bersaudara.” Hidup sebagai “orang bersaudara” adalah
hidup dengan kekuatan nilai dan norma bersama yang diikat oleh rasa
kebersamaan, dan kekeluargaan. Anggota jemaat perlu bersatu hati dan
mengambil sikap resistensi bagi pendeta yang terkontaminasi kepentingan elit
yang berkonflik. Dengan sikap ini, elit akan belajar untuk tahu diri, sebab mereka
ditolak oleh jemaatnya.
30
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Antonius, Empowerment, Stress dan Konflik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002
Aritonang J.S, & De Jonge, C. Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah
Antonius, Empowerment, Stress dan Konflik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Eklesiologi, cet. 6, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Buletin, GMIH SANGKAKALA, Edisi Khusus. 2014.
Bunyamin Mafuth, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun generasi dan
kewarganegaraan, (Universitas Pendidikan Indonesia), 2005
Coser, L. The Function Of Social Conflict. New York: The Free Press, 1956.
Durkheim Emile, The Elementary Froms Of Religious Life: New York,
The Free Press, Macmillan Publishing, 1965.
Dahrendorf, R. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah analisa-
Kritik. Jakarta: Rajawali, 1986.
Ebin Eyzer Danius, Hubungan Kristen – Islam pasca konflik di Halmahera dan
implikasinya bagi upaya pembangunan jemaat, (Tobelo: Tesis
Universitas Halmahera), 2008
End, Th. V.Den. & Weitjens, J Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1993.
Fisher et al, Mengelola Konflik, keterampilan dan Strategi, Resolusi Konflik
berbasis Kearifan Lokal. Terjemahan Global Pustaka Utama, Jogjakarta,
2001
Geiko Muller – Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya memecahkan Spiral Kekerasan
dalam Masyarakat (Maumere: Ledalero). 2005
31
Harian : Radar Halmahera, 16 Juni 2014 “Gereja Pusat GMIH Kembali
Memanas”
Ihalauw, John J. O. I. Bangunan Teori. Edisi 3 Milenium. Salatiga: Universitas
Kristen Satya Wacana. 2004.
Johnson, P. D. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 2. Jakarta: Gramedia, 1990.
Kuper, A & Kuper, J. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial : PT Raja Grafindo Persada,
2008.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
1997.
Lederach, P. J. Transformasi Konflik. Yogyakarta : Duta Wacana University
Press, 2005.
Liliweri Alo, Prasangka dan konflik; komunikasi lintas budaya masyarakat
multicultural
Litaay Theofransus, “ Mengelola Konflik dalam Konteks Human Security dan
Pengetahuan Lokal”, Theofanus Litaay. Et. Al., Buku Bacaan Pendidikan
Perdamaian (Salatiga: Satya Wacana Peace Centre-SWCU). 2011
Levine, Getting to Resolution, Turning Conflict into Collaboration, (Prentice Hall, New
York, 1998
Malo, Manasse. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Karunika. 1986.
Mahiku Renal. Wawancara, Mamuya 8 Mei 2017. (Pimpinan Jemaat Imanuel
Mamuya).
Magany, Bahtera Injil Di Halmahera. (Ambon 1984).
Mindes. Teaching Young Children Social Studies. (United State of America),
2006
Mojau, Julianus. Sejarah Pembaharuan GMIH. Tobelo, GMIH, 2014
Mahiku Renal. Skripsi Memanusiakan Manusia (Tidak Diterbitkan).
32
Morton & Coleman, The handbook of Conflict Resolution, (Weveland Press, Inc, Illinois,
2000),
Moleong, L. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2006.
Noyce, Gaylord, Tanggungjawab Etis Pelayan Jemaat, BPK Gunung Mulia,
Jakarta. 2007
Nordholt, Schulte. Metodologi dan Metodik Sosiologi. Salatiga: LPIS Satya
Wacana. 1973.
R. T dan O. S. Wawancara : 24 Oktober 1999.
T.R Wawancara, Tobelo: 20 Oktober 1999, (Pastor RK Tobelo).
Suwondo, Kutut, Gereja Dan Kemajemukan : Gereja Dalam Konflik Dengan
Agama-Agama Lain; Jalan Baru Menuju Terbentuknya “Civil Society”:
Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, Bunga Rampai Pemikiran.
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002.
Soetrisno, Loekman, Konflik Sosial:Studi Kasus Indonesia, Tajidu
Press,Yogyakarta,2003
Scannell, The Big Book of Conflict Resolution Games, (United States of America:
McGraw- Hill Companies, Inc 2010
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta:
PT. Grafindo Persada. 2011
Internet
http://digilib.unila.ac.id/2253/16/BAB%202.pdf. Dikunjungi pada tanggal 30 Mei
2017, Pukul 19.03 WIB
http://digilib.unila.ac.id/2253/16/BAB%202.pdf, dikunjungi pada tanggal 30 Mei
2017, Pukul 19.04 WIB