fakultas teknik universitas lampung bandar …digilib.unila.ac.id/22800/12/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
INVERSI 2D DATA GEOLISTRIK UNTUK
MENENTUKAN BIDANG GELINCIR TANAH SEBAGAI
REFERENSI PEMBANGUNAN JALAN LINTAS WAJO - MOROWALI
SULAWESI TENGAH
(Skripsi)
Oleh :
Widya Seto Aji
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRACT
2D INVERSION OF RESISITIVITY DATA
TO DETERMINE LAND SLIDE AS REFERENCE
FOR ROAD CONTRUCTION IN WAJO – MOROWALI
SULAWESI TENGAH
By
WIDYA SETO AJI
Government of Central Sulawesi especially Morowali will make an infrastructure
construction of road construction from Wajo to Morowali. Because of the unstable land structure
in the area, a sliding plane research is needed to do with geophysical exploration methods which
is, resistivity method to prevent the land slide.
Geophysics methods with wenner – slumberger methods was done in the research area
for 11 point, 22 line, and for each of the line using 16 electrode, with electrode spacing is 10
meter. Research area had a resistivity value between 1,4 Ωm to 43651 Ωm, where the lower
resistivity value represent the wet layer and the higher resistivity indicates the dryer layer. Land
slide had a strict relation with the presence of a wet clay in the area with the resistivity value
between 60 Ωmeter to 90 Ωmeter as basement and sandy tuff or clay sand on the layer above in
scale from 5 meter – 15 meter and the thickness from 3 meter – 5 meter.
2D inversion modelling using RES2DINV software with least square inversion filter
which leads the land slide that cut through the road towards the north, where the topography
value in the north of the research area is lower than the south of the research area.
Keyword : Land slide, resistivity, Morowali
ABSTRAK
INVERSI 2D DATA GEOLISTRIK UNTUK
MENENTUKAN BIDANG GELINCIR TANAH SEBAGAI
REFERENSI PEMBANGUNAN JALAN LINTAS WAJO - MOROWALI
SULAWESI TENGAH
Oleh
WIDYA SETO AJI
Pemerintah Sulawesi Tengah tepatnya Kabupaten Morowali akan
melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya dari Wajo menuju Morowali.
Karena struktur tanah di daerah tersebut tidak setabil perlu dilakukan penelitian
bidang gelincir dengan menggunakan metode eksplorasi geofisika, yaitu metode
geolistrik untuk menanggulanginya
Metode geolistrik dengan metoda Wenner-Schulumberger dilakukan di
daerah penelitian sebanyak 11 titik, 22 line, dengan masing-masing line
menggunakan 16 elektroda dan jarak antara elektroda 10 meter. Daerah penelitian
memiliki nilai resistivitas antara 1,4 Ωmeter hingga 43651 Ωmeter, dimana nilai
resistivitas yang lebih rendah mewakili lapisan yang lebih basah dan resistivitas
yang lebih tinggi mengindikasikan lapisan yang lebih kering. Bidang gelincir erat
hubungannya dengan terdapat wet clay di daerah tersebut dengan nilai resistivitas
60 Ωmeter hingga 90 Ωmeter sebagai basement dan sandy tuff atau clay sand
dilapisan atasnya pada kedalaman 5 meter – 15 meter dan memiliki ketebalan 3
meter – 5 meter.
Pemodelan inversi 2D menggunakan software RES2DINV dengan filter
least square inversion yang menunjukan arah bidang gelincir yang memotong
badan jalan ke arah utara, dimana nilai topografi di utara daerah penelitian lebih
rendah dari selatan daerah penelitian.
Kata Kunci : Bidang gelincir, geolistrik, Morowali
INVERSI 2D DATA GEOLISTRIK UNTUK
MENENTUKAN BIDANG GELINCIR TANAH SEBAGAI
REFERENSI PEMBANGUNAN JALAN LINTAS WAJO -
MOROWALI SULAWESI TENGAH
Oleh :
WIDYA SETO AJI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Teknik
Pada
Jurusan Teknik Geofisika
Fakultas Teknik Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis, dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 17
Oktober 1990, merupakan anak ketiga dari pasangan
Bapak Purwawidyana dan Ibu Syamsidar.
Pada tahun 1996, Penulis mengawali pendidikan formal
di TK Al-Azhar Bandar Lampung, kemudian tahun
1997-2003 di Sekolah Dasar Negeri 2 Way halim
Bandar Lampung dan 2003-2006 Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama Negeri 19 Bandar Lampung dan Sekolah Menengah Atas Negeri 8
Bandar Lampung pada tahun 2006-2009. Tahun 2009, Penulis melanjutkan studi
di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geofisika Strata 1 melalui jalur SNMPTN
Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa penulis mengikuti beberapa organisasi baik internal
maupun eksternal kampus antara lain, HIMA BHUWANA (Himpunan mahasiswa
Bhuwana) sebagai kepala biro Danus 2011-2012, anggota HMGI (Himpunanan
Mahasiswa Geofisika Indonesia) periode 2010-2014, anggota AAPG (American
Assosiation Petroleum Geology) periode 2013-2014, anggota SEG-UNILA
(Society of Explroration Geophysics) 2014. Pada tahun 2013 penulis mengikuti
seminar jurnal nasional yang diadakan dikti UNILA sebagai pemakalah. Pada
tahun 2013 penulis juga melaksanakan Kerja Praktek (KP) di pusat survei geologi
(PSG) Bandung selama sebulan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah
menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Seismik Lanjut dengan menggunakan
software HRS.
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT , kupersembahkan
karya pertamaku ini untuk keluarga besar yang selalu
mendukung dan menyayangiku.
Dan untuk sahabat-sahabat yang selalu setia menemani dan
mendukungku.
SANWACANA
Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala serta atas
ridho junjungan kita Nabi Muhammad SAW, skripsi yang berjudul “Inversi 2D
Data Geolistrik Untuk Menentukan Bidang Gelincir Tanah Sebagai
Referensi Pembangunan Jalan Lintas Wajo – Morowali Sulawesi Tengah”
terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi merupakan syarat memperoleh
gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas
Lampung.
Selama penulisan, Penulis banyak menerima bantuan baik ilmu, bimbingan,
petunjuk, materil, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini,
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.Si, selaku dosen Pembimbing Utama
yang telah memberikan ilmu akademik yang luas dan nasihat yang berharga,
bimbingan dan motivasi serta bersedia meluangkan waktu kepada Penulis.
2. Bapak Syamsulijal Rasimeng, S.Si., M.T., selaku dosen Pembimbing Kedua
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga memberikan bimbingan,
kritik dan saran dalam pembuatan karya tulis ini.
3. Bapak Rustadi, S.Si., M.Si., selaku Dekan Fakultas Teknik dan Dosen Penguji
yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam pembuatan karya
tulis ini, serta ilmu pengetahuan yang menambah wawasan Penulis.
4. Bapak Bagus Sapto Mulyatno, M.T., selaku Ketua Jurusan dan Bapak Dr.
Ahmad Zaenudin, M.T., selaku Sekretaris Jurusan Teknik Geofisika yang telah
memberikan kemudahan dalam proses akademik di kampus
5. Bapak Moh. Sarkowi , M.Si., dan Bapak Ordas Dewanto, M.T., selaku dosen
Pembimbing Akademik yang selama ini telah mengarahkan dan membimbing
Penulis.
6. Seluruh dosen atas semua ilmu pengetahuan dan bimbingan moral yang Penulis
peroleh selama perkuliahan.
7. Sahabat yang tiada henti memberi motivasi selama masa perkuliahan Ryan
Tanjung Priseptian, Rahmat, Ade Setiawan, Bima Fajar, Amri, Fernando,
Syayid atas segala waktu, tenaga, nasihat dan pengalaman yang telah dibagi
bersama Penulis.
8. Sahabat-sahabat yang selalu menemani angkatan 2009 atas segala yang kita
lewatkan bersama dan telah banyak membantu selama masa perkuliahan.
9. Seluruh fans wanita di teknik geofisika yang mencintai saya dengan selama ini
kalian semua telah memberikan saya semangat dan kasih sayang.
10. Penjahat-penjahat yang selama ini telah membenci saya, saya ucapkan
banyak terima kasih, karna anda saya jadi lebih kuat dan tegar untuk
menghadapin cobaan yang anda berikan kepada saya.
11. Seluruh mahasiswa Teknik Geofisika Angkatan 2008-2015 atas
kebersamaannya.
12. Seluruh fans pria di teknik geofisika yang merindukan keberadaan saya setiap
harinya yang membuat hidup kita semua menjadi lebih ceria.
13. Seluruh sahabat-sahabat saya diluar sana yang selalu memberikan dukungan
dan motivasi dalam pengerjaan sekripsi saya ini
14. Seorang wanita yang selalu memberikan semangat, nasehat, dan kebahagiaan
diakhir perkuliahan ini, saya ucapkaan banyak terima kasih
15. Keluarga Besar yang selalu mendukung Penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Bandar Lampung, Maret 2014
Penulis
Widya Seto Aji
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. v
I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................... 2
1.3. Batasan Masalah ....................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1.Pendahuluan .............................................................................. 4
2.2.Topografi Daerah Penelitian ...................................................... 5
2.3.Geologi ....................................................................................... 6
2.4.Fisiografi dan Geomorfologi Regional ..................................... 7
2.5.Tektonik Regional .................................................................... 9
2.6.Kerangka Tektonik Sulawesi .................................................... 10
2.7.Perkembangan Tektonik Sulawesi ............................................ 13
III. TEORI DASAR .............................................................................. 17
3.1. Metode Geolistrik ..................................................................... 17
3.2. Tahanan Jenis Batuan ............................................................... 21
3.3. Hukum Ohm .............................................................................. 23
3.4. Konfigurasi Dipole - Dipole ..................................................... 28
ii
3.5. Konfigurasi Dipole-Dipole ....................................................... 29
3.6. Pemodelan 2D ........................................................................... 44
IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 47
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 47
4.2. Alat dan Bahan .......................................................................... 48
4.3. Pengolahan Data ....................................................................... 48
4.4. Diagram Alir Penelitian ............................................................ 50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 51
5.1. Akuisisi Data ............................................................................. 51
5.2. Prosesing Data .......................................................................... 51
5.3. Model 2D Geolistrik dan Cross Section ................................... 52
5.3.1. Lintasan SG01 .............................................................. 52
5.3.2. Lintasan SG02 .............................................................. 55
5.3.3. Lintasan SG03 .............................................................. 57
5.3.4. Lintasan SG04 .............................................................. 59
5.3.5. Lintasan SG05 .............................................................. 61
5.3.6. Lintasan SG06 .............................................................. 63
5.3.7. Lintasan SG07 .............................................................. 66
5.3.8. Lintasan SG08 .............................................................. 68
5.3.9. Lintasan SG09 .............................................................. 70
5.3.10. Lintasan SG10 .............................................................. 72
5.3.11. Lintasan SG11 .............................................................. 75
VI. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 78
6.1. Simpulan ................................................................................... 78
6.2. Saran ......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tahanan Jenis Batuan Beku dan Metamorf ........................................... 17
Tabel 2. Tahanan Jenis Sedimen ......................................................................... 18
Tabel 3. Jadwal Kegiatan .................................................................................... 41
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Topografi Daerah Penelitian ............................................................. 4
Gambar 2. Daerah Penelitian Wajo – Morowali Sulawesi Tengah .................... 5
Gambar 3. Citra Satelit penelitian ...................................................................... 6
Gambar 4. Peta Geologi Daerah Penelitian ......................................................... 7
Gambar 5. Tektono – Stratigrafi Sulawesi .......................................................... 9
Gambar 6. Pola Aliran Arus Dua Elektroda Dengan Polaritas Berlawanan ..... 13
Gambar 7. Konduktifitas Beberapa Larutan Garam Sebagai Fungsi Salinitas ... 16
Gambar 8. Konduktifitas Larutan Nacl Sebagai Fungsi Salinitas ...................... 17
Gambar 9. Susunan Elektroda Pada Konfigurasi Dipole - dipole ...................... 19
Gambar 10. Susunan Elektroda Pada Konfigurasi Wenner ................................ 21
Gambar 11. Susunan Elektroda Pada Konfigurasi Schlumberger ...................... 21
Gambar 12. Kurva Resistivitas Semu Teoritis Untuk Mapping ......................... 23
Gambar 13. Beberapa Tipe Kurva Sonding Sebagai Menentukan kedalaman ... 23
Gambar 14. Teknik Pengukuran Dalam Bentuk Citra 2D Menggunakan
Konfigurasi Wenner dan Schlumberger .............................................................. 25
Gambar 15. Interpretasi Kurva Sonding Schlumberger ..................................... 27
Gambar 16. Interpretasi Kurva Sonding Schlumberger Untuk Kasus Dua Lapis
Jika Kurva Sonding tak Lengkap ......................................................................... 30
Gambar 17. Penampang Lintasan 2D ................................................................. 36
Gambar 18. Editing atau Koreksi Data ............................................................... 36
Gambar 19. Hasil Inversi dan Resistivitas .......................................................... 37
Gambar 20. Diagram Alir ................................................................................... 37
Gambar 21. Lintasan SG 01 A ............................................................................ 39
Gambar 22. Lintasan SG 01 B ............................................................................ 40
Gambar 23. Skema Kedalaman Perlapisan SG 01 ............................................. 41
Gambar 24. Cross Section SG 01 ....................................................................... 42
Gambar 25. Lintasan SG 02 A............................................................................. 43
Gambar 26. Lintasan SG 02 B ............................................................................. 44
Gambar 27. Skema Kedalaman Perlapisan SG 02 .............................................. 45
Gambar 28. Cross Section SG 02 ........................................................................ 47
Gambar 29. Lintasan SG 03 A............................................................................. 48
Gambar 30. Lintasan SG 03 B ............................................................................. 49
Gambar 31. Skema Kedalaman Perlapisan SG 03 .............................................. 50
Gambar 32. Cross Section SG 03 ........................................................................ 51
Gambar 33. Lintasan SG 04 A............................................................................. 52
Gambar 34. Lintasan SG 04 B ............................................................................. 53
Gambar 35. Skema Kedalaman Perlapisan SG 04 .............................................. 54
Gambar 36. Cross Section SG 04 ........................................................................ 55
Gambar 37. Lintasan SG 05 A............................................................................. 57
Gambar 38. Lintasan SG 05 B ............................................................................. 58
Gambar 39. Skema Kedalaman Perlapisan SG 05 .............................................. 59
Gambar 40. Cross Section SG 05 ...................................................................... 60
Gambar 41. Lintasan SG 06 A............................................................................. 62
Gambar 42. Lintasan SG 06 B ............................................................................. 63
Gambar 43. Skema Kedalaman Perlapisan SG 06 .............................................. 54
Gambar 44. Cross Section SG 06 ...................................................................... 54
Gambar 45. Lintasan SG 07 A............................................................................. 55
Gambar 46. Lintasan SG 07 B ............................................................................. 55
Gambar 47. Skema Kedalaman Perlapisan SG 07 ............................................ 56
Gambar 48. Cross Section SG 07 ...............................................................56
Gambar 45. Lintasan SG 08 A............................................................................. 57
Gambar 46. Lintasan SG 08 B ............................................................................. 57
Gambar 47. Skema Kedalaman Perlapisan SG 08 ............................................ 58
Gambar 48. Cross Section SG 08 ...............................................................59
Gambar 45. Lintasan SG 09 A............................................................................. 59
Gambar 46. Lintasan SG 09 B ............................................................................. 60
Gambar 47. Skema Kedalaman Perlapisan SG 09 ............................................ 60
Gambar 48. Cross Section SG 09 ...............................................................61
Gambar 45. Lintasan SG 010 A........................................................................... 61
Gambar 46. Lintasan SG 010 B ........................................................................... 62
Gambar 47. Skema Kedalaman Perlapisan SG 010 .......................................... 63
Gambar 48. Cross Section SG 010 .............................................................63
Gambar 45. Lintasan SG 011 A........................................................................... 64
Gambar 46. Lintasan SG 011 B ........................................................................... 65
Gambar 47. Skema Kedalaman Perlapisan SG 011 .......................................... 66
Gambar 48. Cross Section SG 011 .............................................................66
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sulawesi merupakan pulau yang terletak dibagian tengah Indonesia dan
mempunyai bentuk unik menyerupai huruf ''K'' akibat adanya tumbukan tiga
lempeng (Pacifik, Eruasia, Hindia Australia). Kegiatan tektonik ini
menyebabkan struktur yang sangat rumit dan menghasilkan produk batuan
yang bervariasi dan campur aduk (melange). Jika dilihat dari perbedaan
stratigrafi, struktur maupun perkembangan geologinya Pulau Sulawesi
dibagi menjadi tiga mandala geologi yakni Mandala Sulawesi Barat,
Mandala Banggai-Sula dan Mandala Sulawesi Timur (Hamilton, 1979;
Sukamto 1975a; 1975b; Smith, 1983).
Poin utama dalam pembangunan adalah tersedianya infrastruktur yang
mendukung sepertinya jalan raya. Oleh sebab itu pemerintah Sulawesi
Tengah tepatnya Kabupaten Morowali akan melakukan pembangunan jalan
raya dari Wojo menuju Morowali. Dengan struktur jalan yang sering terjadi
longsor karena struktur tanah yang tidak stabil maka perlu dilakukan
penelitian bidang gelincir tanah untuk menanggulanginya. Bidang gelincir
dapat diidentifikasikan dengan Metode Eksplorasi Geofisika, yaitu Metode
Geolistik. Dimana Metode Geolistrik menggunakan sifat kelistrikan untuk
2
mempelajari bawah permukaan. Bidang gelincir erat hubungannya dengan
terdapatnya wet clay didaerah tersebut. Dengan daerah penelitian yang
dangkal, metode ini cukup efektif untuk memetakan bidang gelincir. Metode
Geolistrik sendiri terbagi atas 3 garis besar yakni metode potensial, Metode
elektromagnetik, dan Metode Radio Frequensi. Berdasarkan sifatnya
Geolistrik terbagi atas metode Aktif dan Metode Pasif. Metode aktif
menggunakan sumber arus yang diinjeksikan ke dalam bumi dan
menangkap beda potensial hasil dari injeksi arus. Metode Pasif adalah
metoda geolistrik yang mempelajari sifat kelistrikan dari sumber alam.
Metoda geolistrik terdiri dari bermacam metoda yang berbeda satu dan
lainnya, baik pada tata cara pengerjaannya, akurasi, kendala dan kriteria
sifat kelistrikan yang digunakan. Penelitian ini memerlukan metode
geolistrik multi chanel di daerah Morowali Sulawesi Tengah yang kemudian
diolah untuk memetakan bidang gelincir tanah pada jalan raya di Morowali.
Data geolistrik akan diolah menggunakan software RES2DINV dengan
konfigurasi elektroda Schlumberger untuk mendapatkan anomali bawah
permukaan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Mengetahui kedalaman dan ketebalan bidang gelincir daerah penelitian
dengan geolistrik 2D untuk keperluan geoteknologi pembangunan jalan
3
1.3. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada pengolahan data geolistrik untuk mendapatkan
nilai resistivitas, analisis bidang gelincir, dan analisis struktur bawah
permukaan secara 2D berdasarkan hasil dari pemodelan RES2DINV di
daerah Morowali, Sulawesi Tengah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kedalaman dan
ketebalan bidang gelincir daerah Morowali dan sekitarnya.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Sulawesi merupakan pulau yang terletak dibagian tengah Indonesia dan
mempunyai bentuk unik menyerupai huruf “K” akibat adanya tumbukan tiga
lempeng (Pacifik, Eruasia, Hindia Australia). Kegiatan tektonik ini
menyebabkan struktur yang sangat rumit dan menghasilkanproduk batuan
yang bervariasi dan campur aduk (mélange). Jika dilihat dari perbedaan
stratigrafi, struktur maupun perkembangan geologinya Pulau Sulawesi dibagi
menjadi tiga mandala geologi yakni mandala Sulawesi Barat, Mandala
Banggai-Sula dan Mandala Sulawesi Timur (Hamilton, 1979; Sukamto,
1975a; 1975b; Smith, 1983).
Jalur Sulawesi Timur merupakan jalur ofiolit dan sedimen trimbrikasi serta
molasse. Pada Lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh
batuan ultramafic (Van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983),
hasburgit dan serpentin hasburgit (Silver dkk, 1983). Sedangkan pada Lengan
Timur Sulawesi (segmen utara) merupakan sekuen ofiolit lengkap, berupa
hasburgit, gabro, sekuen dikediabas dan basalt, yang merupakan hasil dari
tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada Kala Miosen Tengah
5
sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen
pelagos dan klastik yang berhubungan dengan batuan ultramafik (Silver dkk,
1983).
2.2. Topografi Daerah Penelitian
Gambar 1. Topografi Daerah Penelitian
6
Lokasi penelitian geolistrik pada penelitian ini terletak di Kabupaten
Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah seperti yang dapat dilihat pada Gambar
1 dan Gambar 2. Secara geografis daerah penelitian ini terletak pada zona
UTM-X 245700 – 319646 dan UTM-Y 9752081 – 9796108.
Gambar 2. Daerah penelitian geolistrik daerah Wajo-Morowali, Sulawesi
Tengah (Bakosurtanal, 2002).
U
7
Gambar 3. Citra satelit daerah penelitian (Google Earth, 2015).
8
2.3. Geologi
Gambar 4. Peta Geologi Daerah Penelitian
Fisiografi Dan Geomorfologi Regional
9
Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km2
, dan bila digabung
dengan pula-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km2 . Bentuknya
menyerupai huruf k dengan empat cabang atau lengan yang sempit,
dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu di bagian tengah pulau.
Van Bummelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh
bagian, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan
Tenggara, Kepulauan Buton dan Pulau Tukang Besi, Lengan Selatan dan
Sulawesi Tengah. Secara fisiografis tersebut Kabupaten Morowali berada di
Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan
lengan-lengan Sulawesi. Di sebelah timur laut Sulawesi tengah dibatasi oleh
garis baratlaut-tenggara dari Dongala melalui Parigi dan Lemoro sampai
Teluk Tomori. Di sebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut
dari Majene melalui Palopo ke Dongi di Teluk Tomori
2.4. Tektonik Regional
Pulau Sulawesi terletak pada batas tenggara Paparan Sunda, inti benua yang
setabil dari Lempeng Eurasia tenggara (Hutchison, 1989 dalam Coffield dkk,
1993). Pulau ini terbentuk di sepanjang zona tumbukan Neogen antara
Lempeng Eurasia dan fragmen mikro-kontinen yang berasal Lempeng
Australia-India (Hamilton, 1970 dalam Coffiled dkk, 1993). Empat lengan
Sulawesi membentuk propensi megatektonik yang berbeda. Lengan utara
terdiri dari batuan busur vulkanik yang berhubungan dengan subduksi
Lempeng Laut Maluku ke arah barat pada Paleogen Akhir sampai Neogen
(Jezek dkk, 1981 dalam Coffiled dkk,1993). Lengan timur dan tenggara
10
terdiri dari batuan metamorf dan ofiolit yang terobduksi selama Miosen
(Smith dan Silver, 1991; Parkinson, 1991 dalam Coffiled dkk, 1993). Lengan
selatan didominasi oleh batuan vulkanik dan plutonik Miosen dan yang lebih
muda membentuk jalur magmatik (Katili, 1978 dalam Coffiled dkk, 1993).
Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai
Neogen untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan
Kalimantan Tenggara dan Jawa Tengah. Pada Kapur Akhir – Awal Tersier
(Paleosen), Sulawesi Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari
daratan Kalimantan, sebagai bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal
dari benua raksasa Gondwana di selatan yang bergerak ke utara bersama India
dan Mergui, yang kemudian bertumbukan dengan jalur subduksi Luh-Ulo –
Meratus. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi bagian Barat
dan Timur merupakan busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang
merupakan bagian dari satu sistem interaksi konvergen dengan arah subduksi
ke Barat. Dalam hal seperti ini, maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur
magmatiknya seperti yang digambarkan oleh Katili (1984).
Pola tektonik regional saat ini didominasi oleh sesar geser dan sesar anjak.
Sesar Palu-Koro merupakan sesar geser mengiri, terbentang sejauh 750 km
(Tjia, 1973). Arah pergerakan dari sesar ini berhubungan dengan Sistem
Sesar Sorong di Irian Jaya melalui Sesar Balantak, Sesar Matano-Buru
Selatan. Di selatan Sesar Palu-Koro bergabung dengan Sesar Lawanopo,
Sesar Kolaka dan Sesar Kabanea (Simandjuntak, 1993 dalam Priadi, 2000).
Sesar ini membatasi jalur ofiolit pada hanging wall dari mikro-kontinen di
11
foot wall. Sesar Anjak Poso merupakan kontak struktur antara Busur
Metamorf Sulawesi Tengah dan Busur Magmatik Sulawesi Barat (Bemmelen,
1949). Sesar ini mengangkat metamorf tekanan tinggi dari kedalaman zona
Benioff ke atas busurmagmatik pada saat Neogen.
2.5. Kerangka Tektonik Sulawesi
Gambar 5. Tektono-stratigrafi Sulawesi (Calvert and Hall, 2003)
Berdasarkan tektonostratigrafinya, Calvert membagi Sulawesi menjadi 5
provinsi tektonik (Gambar 3), yaitu Busur Magmatik Sulawesi Utara, Busur
Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat, Jalur Metamorf Sulawesi Tengah, Ofiolit
Sulawesi Timur dan fragmen-fragmen mikrokontinen.
Daerah ini dicirikan oleh batuan Tersier Pluto-volkanik berasosiasi dengan
sedimen berumur Tersier dan Kuarter (Sukamto, 1975 dalam Sukamto dan
Simandjuntak, 1981). Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik
dengan batuan dasar “kerak-samudra”, sedangkan Sulawesi Barat justru
12
memperlihatkan kesamaan dengan unsur-unsur “kerak-benua”, yang terdiri
dari batuan sedimen berumur Kapur-Tersier yang terlipat kuat dan diterobos
oleh batuan beku granodiorit dan diorit.(Sukamto, 1978 dalam Sukamto dan
Simandjuntak 1981).
Batuan plutonik terdiri dari batuan granitik – dioritik dari Miosen Akhir –
Pleistosen, batuan volkanik umumnya adalah kalk-alkalin dan sedikit batuan
alkali dengan kisaran umur dari Paleosen – Pleistosen, meskipun gunung api
masih aktif dibagian utara provinsi. Sedimen laut dan volkanoklastik
terendapkan secara berkala selama Paleosen – Holosen. Pada bagian selatan
batuan Tersier diendapkan di atas sikuen tebal dari “flysch” Kapur Akhir.
Sedimen ini memiliki ketebalan lebih dari 2000 m dan terletak di atas
kompleks melange (Sukamto, 1981). Endapan flysch terendapkan secara
menerus dari Kapur Akhir hingga Eosen pada bagian utara dan kemungkinan
hadir sikuen sedimen yang diendapkan pada cekungan depan busur.
Daerah ini disusun oleh ofiolit yang berasosiasi dengan sedimen Pelagic
Mesozoikum dan melange pada bagian timur, dan batuan metamorf pada
bagian barat. Ofiolit secara luas terdiri dari dunit, harzburgit, lerzolit, werhlit,
serpentinit dan sedikit garbo, diabas, basallt, dan diorit (Soeria-Atmaja dkk,
1972 dalam Sukamto dan Simandjuntak, 1981). Sedimen pelagic terdiri dari
karbonat, rijang radiolaria dan lempung merah yang terendapkan pada Jura
hingga Kapur Akhir. Batuan melange tersingkap di bagian tengah tersusun
oleh blok ofiolit, sedimen pelagic dan metamorf, dalam matrik dari lempung
merah red scaly clay (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto dan simndjuntak,
13
1981). Batuan metamorf di bagian barat tersusun oleh bermacam jenis sekis,
dengan beraneka jenis dalam amfibol-epidot, glaukofan-lawsonit atau fasies
greenschist (de Roever, 1974 dalam Sukamto dan simandjuntak, 1981).
Fragmen-Fragmen Mikrokontinen
Fragmen-fragmen benua meliputi Banggai-Sula dan Buton, dipercaya berasal
dari bagian utara lempeng Benua Australia (Pigram dkk, 1985 dalam Priadi,
2000). Fragmen tersebut kemungkinan terpisah dari lempeng benua Australia
saat Jura dan bergeser kearah baratlaut.
Fragmen benua ini dicirikan oleh komplek batuan dasar batuan metamorf
Karbon dan batuan plutonik Perm-Trias, yang terletak dibawah kontinen
Mesozoik yang berasal dari suksesi sedimen yang mengandung ammonites,
belemnites dan pelecypods (Sukamto, 1974 dalam Sukamto dan
Simandjuntak, 1981). Sikuen batuan klastik kasar yang kemungkinan
berumur Trias Akhir dan ditindih secara selaras oleh klastik halus dari Jura
dan batuan karbonat Kapur. Detritus granit dari provinsi ini tersebar hingga
ke Jalur Ofiolit Sulawesi Timur.
2.6. Perkembangan Tektonik Sulawesi
Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat dan timur sangat berkaitan
dengan perkembangan tektonik Banggai-Sula (Sukamto dan Simandjuntak,
1981). Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat juga berhubungan erat
dengan pemekaran selat Makasar. Menurut Hall (2002 dalam Fraser dkk,
14
2003), terdapat dua peristiwa penting pada Tersier di daerah ini, pertama,
rifting dan pemekaran dasar laut pada Paleogen yang menciptakan ruang
untuk pengendapan material klastik yang berasal dari deroofing Kalimantan,
dan yang kedua adalah peristiwa kompresional yang dimulai sejak Miosen,
menyebabkan perkembangan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB) selama
Pliosen Awal. Kompresi ini masih aktif hingga sekarang, menyebabkan
pemendekan yang progresif pada Cekungan Makasar Utara
Kapur Akhir
Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan didaerah
yang luas di sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Sedimen ini ditindih
oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks batuan dasar
metamorf di bagian tengah dan utara. Sedimen umumnya berasosiasi dengan
lava dan piroklastik yang mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari
busur kepulauan vulkanik dan diendapkan di daerah cekungan depan busur
(Sukamto dan Simandjuntak, 1981).
Pada saat yang sama, Daerah Sulawesi Bagian Timur berkembang sebagai
cekungan laut dalam, tempat sedimen pelagic diendapkan sejak zaman Jura di
atas batuan dasar ofiolit. Sangat mungkin jika cekungan laut dalam Kapur ini
dipisahkan oleh sebuah patung dari Daerah Sulawesi Bagian Barat. Palung
tersebut kemungkinan akibat subduksi ke arah barat, tempat Melange
Wasuponda berakumulasi (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto dan
Simandjuntak, 1981). Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di
15
sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di
Sulawesi Bagian Barat diyakini terjadi selama subduksi Kapur ini.
Daerah Banggai-Sula merupakan bagian dari paparan benua sejak
Mesozoikum Awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias Akhir Akhir
hingga Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf zaman karbon
dan plutonik Permo-Trias (Sukamto dan Simandjuntak, 1981).
Paleogen
Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi Bagian Barat berhenti
dibagian selatannya, sementara di bagian utara masih berlanjut hingga Eosen.
Gunung aktif setempat selama Paleosen di bagian selatan dan selama Eosen
di bagian tengah dan utara. Pengendapan batuan karbonat terjadi di daerah
yang luas di selatan selama Eosen hingga Miosen yang mengindikasikan
bahwa bagian daerah tersebut adalah paparan yang setabil.
Sejak Paleosen, Sulawesi Bagian Timur mengalami shoaling dan diendapkan
batuan karbonat air-dangkal. Pengendapan batuan karbonat di daerah ini
berlanjut hingga Miosen Awal.
Di bagian barat Bangga-Sula, sikuen tebal karbonat bersisipan klastik
diendapkan di daerah yang luas. Karbonat ini diendapkan sampai Miosen
Tengah (Sukamto dan Simandjuntak, 1981).
Zona subduksi berkemiringan ke barat yang dimulai sejak zama Kapur
menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat, dan
16
proses shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur begitu pula di daerah
Banggai-Sula (Sukamto dan Simandjuntak, 1981).
17
III. TEORI DASAR
3.1. Metode Geolistrik
Metode pengamatan geofisika pada dasarnya adalah mengamati gejala-
gejala gangguan yang terjadi pada keadaan normal. Gangguan ini dapat
bersifat statik dapat juga bersifat dinamik, yaitu gangguan yang
dipancarkan ke bawah permukaan bumi. Gejala gangguan yang terdapat
pada keadaan normal disebut dengan anomali. Metode Geolistrik
merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik
di dalam bumi dengan cara pendeteksian di permukaan bumi.
Diantaranya meliputi pengukuran potensial, pengukuran arus medan
elektromagnetik yang terjadi baik secara alami maupun akibat injeksi arus
ke dalam bumi. Oleh karena itu metode geolistrik mempunyai banyak
macam, termasuk di dalamnya yaitu: Metode Potensial Diri/Self Potential
(SP), Metode Resistivitas/Tahanan Jenis, Arus Telluric, Magnetotelluric,
Potensial terimbas (Reynold, 1997).
Metode geolistrik resistivitas merupakan salah satu dari metode geolistrik
yang mempelajari sifat resistivitas dari lapisan batuan di dalam bumi.
Pada metode ini arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah
elektroda arus dan dilakukan pengukuran beda potensial melalui dua buah
18
elektroda potensial, hasilnya berupa beda potensial yang terukur pada
elektroda di permukaan. Dari beda potensial yang diukur dapat ditentukan
variasi resistivitas masing-masing lapisan di bawah titik pengukuran
(Reynold, 1997).
Di dalam metode geolistrik resistivitas ini terdapat 2 macam metode dalam
pengambilan datanya, yaitu : metode geolistrik resistivitas mapping dan
metode geolistrik resistivitas sounding. Metode resistivitas mapping
merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari variasi
resistivitas lapisan tanah bawah permukaan secara horizontal. Sedangkan
metode geolistrik resistivitas sounding bertujuan untuk mempelajari
variasi resistivitas batuan di dalam permukaan bumi secara vertikal.
Penggunaan metode geolistrik pertama kali digunakan oleh Conrad
Schlumberger pada tahun 1912. Geolistrik merupakan salah satu metode
geofisika untuk mengetahui perubahan resistivitas lapisan batuan di bawah
permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Dirrect
Current) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus
listrik ini menggunakan 2 buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan
ke dalam tanah dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB
akan menyebabkan aliran arus listrik bisa menembus lapisan batuan lebih
dalam (Damtoro, 2007).
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan
tegangan listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan
tanah diukur dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui dua
19
buah elektroda tegangan M dan N yang jaraknya lebih pendek daripada
jarak elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB diubah menjadi
lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut
berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi pada
kedalaman yang lebih besar.
Menurut Damtoro (2007) dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan
yang bisa ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak
AB yang biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka
diperkirakan dari injeksi ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2.
Umumnya metode geolistrik yang sering digunakan adalah yang
menggunakan 4 buah elektroda yang terletak dalam satu garis lurus serta
simetris terhadap titik tengah, yaitu 2 buah elektroda arus (AB) di bagian
luar dan 2 buah elektroda tegangan (MN) di bagian dalam. Gambar di
bawah ini adalah ilustrasi garis equipotential yang terjadi akibat injeksi
arus ditunjukkan pada dua titik arus yang berlawanan di permukaan bumi.
Gambar 6. Pola Aliran arus Dan Bidang Equipotent ial Antara Dua
Elektroda Arus Dengan Polaritas Berlawanan (Bahri, 2005).
20
Pada Gambar 6 yang menyerupai setengah lingkaran dapat dilihat
sebaran arus pada permukaan akibat arus listrik yang dikirim ke bawah
permukaan. Garis tegas menunjukkan arus yang dikirim mengalami
respon oleh suatu lapisan yang homogen. Sedangkan arus putus-putus
menunjukkan arus normal dengan nilai yang sama. Garis-garis tersebut
disebut dengan garis equipotential. Dimana medan listrik titik sumber di
dalam bumi dianggap memiliki simetri bola (Rosyidah, 2005).
Metode geolistrik lebih efektif jika digunakan untuk eksplorasi y ang
sifatnya dangkal, jarang memberikan informasi lapisan di kedalaman
lebih dari 2000 m atau 4000 m. Kegunaan metode ini untuk mengetahui
karakteristik lapisan bawah permukaan sampai kedalaman 300-500 m,
sangat berguna untuk mengetahui kemungkinan adanya lapisan aquifer
yaitu lapisan batuan yang merupakan lapisan pembawa air. Umumnya
yang dicari adalah confined aquifer yaitu lapisan aquifer yang diapit
oleh lapisan batuan kedap air (misalnya lapisan lempung) pada bagian
bawah dan bagian atas. Confined aquifer ini mempunyai recharge yang
relatif jauh, sehingga ketersediaan air tanah di bawah titik bor tidak
terpengaruh oleh perubahan cuaca setempat. Geolistrik ini dapat
mendeteksi adanya lapisan tambang yang mempunyai kontras resistivitas
dengan lapisan batuan pada bagian atas dan bawahnya. Bisa juga untuk
mengetahui perkiraan kedalaman bedrock untuk fondasi bangunan. Metode
geolistrik juga dapat untuk menduga adanya panas bumi atau geotermal di
bawah permukaan. Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda-elektroda
arus, dikenal beberapa jenis metode geolistrik resistivitas.
21
3.2. Tahanan Jenis Batuan
Tahanan jenis merupakan sifat fisika yang menunjukkan kemampuan material
dalam menghambat aliran arus listrik (Marescot, 2009). Berdasarkan
kemampuan dalam menghantarkan arus listrik, material dikelompokkan
menjadi tiga yaitu konduktor, semikonduktor dan isolator. Konduktor
merupakan material yang dapat menghantarkan arus listrik karena banyak
memiliki elektron bebas, sebaliknya isolator merupakan material yang tidak
dapat menghantarkan arus listrik karena tidak memiliki elektron bebas.
Semikonduktor merupakan material dapat menghantarkan arus listrik, namun
tidak sebaik konduktor. Menurut Telford et al (1976:450), “Secara umum
berdasarkan nilai tahanan listriknya, batuan dan mineral dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:
a. konduktor baik : 10-8
Ωm < ρ < 1 Ωm,
b. konduktor menengah : 1 Ωm < ρ < 107 Ωm,
c. isolator : ρ > 107 Ωm”.
Tabel 1. Tahanan Jenis Batuan Beku dan Batuan Metamorf
Batuan Tahanan Jenis (Ωm)
Granite
Granite porphyry
Feldspar porphyry
Albite
Syenite
Diorite
Diorite porphyry
Porphyrite
Carbonatized porphyry
Quartz porphyry
Quartz diorite
Porphyry (various)
Dacite
3×102 – 10
6
4,5×103(basah) – 1,3×10
6(kering)
4×103(basah)
3×102(basah) – 3,3×10
3(kering)
102 – 10
6
104 – 10
5
1,9×103(basah) – 2,8×10
4(kering)
10 – 5×104(basah) – 3,3×10
3(kering)
2,5×103(basah) – 6×10
4(kering)
3×102 – 3×10
5
2×104 – 2×10
6(basah) –
1,8×105(kering)
60×104
22
Andesite
Diabase porphyry
Diabase (various)
Lavas
Gabbro
Basalt
Olivine norite
Peridotite
Hornfels
Schists
Tuffs
Graphite schists
Slates (various)
Gneiss (various)
Marmer
Skarn
Quartzites (various)
2×104(basah)
4,5×104(basah) – 1,7×10
2(kering)
103(basah) – 1,7×10
5(kering)
20 – 5×107
102 – 5×10
4
103 – 10
6
10 – 1,3×107(kering)
103 – 6×10
4(basah)
3×103(basah) – 6,5×10
3(kering)
8×103(basah) – 6×10
7(kering)
20 – 104
2×103(basah) – 10
5(kering)
10 – 102
6×102 – 4×10
7
6,8×104(basah) – 3×10
6(kering)
102 – 2,5×10
8(kering)
2,5×102(basah) – 2,5×10
8(kering)
10 – 2×108
(Sumber: Telford et al. 1976)
Tabel 2. Tahanan Jenis Batuan Sedimen
Batuan Tahanan Jenis (Ωm)
Consolidated shales
Argillites
Conglomerates
Sandstones
Limestones
Dolomite
Unconsolidated wet clay
Marls
Clays
Alluvium and sands
Oil sands
20 - 2×103
10 - 8×102
2×103 – 10
4
1 – 6,4×108
50 – 107
3,5×102 - 5×10
3
20
3 – 70
1 – 100
10 – 800
4 – 800
(Sumber: Telford et al. 1976)
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 diketahui bahwa batuan beku memiliki nilai
tahanan jenis paling tinggi dan batuan metamorf memiliki nilai tahanan jenis
yang lebih rendah daripada batuan beku namun lebih tinggi daripada batuan
sedimen, sedangkan batuan sedimen memiliki nilai tahanan jenis paling
rendah diantara batuan-batuan tersebut.
23
3.3. Hukum Ohm
Hukum Ohm memberikan gambaran hubungan antara besarnya potensial
listrik (V), kuat arus (I) dan besarnya tahanan listrik suatu penghantar (R),
yang dpat dituliskan sebagai
IRV .= (1)
Sekarang tinjau hubungan antara rapat arus ( J
), medan listrik (
E ) dan
potensial listrik(V), dalam notasi skalar V = r.
E , sehingga:
ER
r
A
VI (2)
Rapat Arus
ER
r
A
IJ (3)
Besaran RA
rmerupakan besaran yang menunjukan karakteristik suatu bahan
penghantar. Besaran ini adalah besaran skalar yang biasa disebut sebagai
konduktivitas listrik bahan.
RA
rσ = (4)
Satuanya adalah 1/Ohm meter. Kebalikan dari konduktivitas adalah tahanan
jenis, yang dituliskan sebagai:
r
RA
σρ =
1= (5)
Dengan satuan ρ adalah Ohm meter.
24
3.4. Hukum Archie
Mekanisme aliran listrik dalam batuan didominasi oleh proses konduksi
elektrolitik (electrolytic conduction) yaitu aliran praktikel bermuatan (ion)
terjadi pada air yang terdapat pada pori-pori batuan termasuk rekahan,
patahan dan shear zone yang berfungsi sebagai larutan elektrolit. Aliran
listrik melalui bagian padat (matriks) batuan umumnya sangat kecil.
Resistivitas batuan sangat dipengaruhi oleh adanya pori-pori dalam batuan
dan karakteristik fluida pengisi pori-pori tersebut. Jika pori-pori batuan berisi
udara, gas atau uap air yang tidak dapat mengalirkan listrik maka resistivitas
batuan tersebut akan sangat tinggi (resistif). Pori-pori dalam batuan
dinyatakan oleh besaran porositas yaitu fraksi atau perbandingan volume
ruang kosong dalam batuan terhadap volume keseluruhan batuan tersebut.
Porositas batuan umumnya dinyatakan dalam bentuk bilangan pecahan
(0,1,0,2 …) atau dalam prosentase (10%,20%,…).
Ion-ion yang mengalirkan arus listrik dihasilkan dari proses pelarutan
(dissosiasi) garam dalam air. Dalam hal ini garam yang dimaksut bukan
hanya NaCl tetapi termasuk jenis garam lainnya yang dapat melepaskan ion
ketika terlarut dalam air seperti KCl, KBr, MgCl2 dan sebagainya. Setiap ion
hanya dapat membawa muatan listrik dalam jumlah tertentu sehingga
semakin banyak ion yang tergantung dalam larutan garam maka semakin
banyak muatan listrik dan arus listrik yang dapat dialirkan. Kandungan ion
ditentukan oleh jumlah garam secara keseluruhan dalam larutan. Salinitas
didefinisikan sebagai jumlah garam (dalam gram) untuk setiap liter larutan.
25
Dengan demikian resistivitas batuan juga merupakan fungsi dari salinitas air
atau larutan yang terkandung dalam pori-pori batuan (air formasi). Salinitas
air formasi menentukankemampuannya mengalirkan listrik yang dapat
dinyatakan pula oleh besaran resistivitas.
Resistivitas formasi batuan ρƒ sebagai fungsi porositas ϕ dan resistivitas air
formasi ρw dinyatakan oleh persamaan atau Hukum Archie yang diperoleh
secara empiric (melalu eksperimen). Persamaan Archie yang
memperhitungkan derajat saturasi adalah sebagai berikut:
ρƒ=ɑ ρw (6)
F=
= ɑ (7)
Dimana ɑ adalah konstanta (0.6 < ɑ <1.0), m adalah konstanta yang disebut
sebagai faktor sementasi (1.3 < m < 2.5) dan F disebut sebagai faktor
formasi. Semakin baik butiran penyusun batuan tersementasi (terutama pada
batuan sedimen) maka faktor sementasi m semakin besar. Hukum Archie
mengasumsikan bahwa seluruh pori-pori batuan terisi oleh air formasi atau
formasi batuan dikatakan dalam keadaan jenuh (saturasi). Persamaan Archie
yang memperhitungkan derajat saturasi adalah sebagai berikut:
ρ ƒ + ɑ ρw (8)
Dimana s menyatakan tingkat saturasi (prosentase pori-pori yang terisi air)
dan n ≈ 2.
Faktor lain yang mempengaruhi resistivitas suatu formasi batuan adalah
temperature. Secara umum resistivitas suatu material pada temperatur T
(dalam ºK) dinyatakan oleh persamaan:
26
ρᵀ = ρo exp (-
) (9)
dimana ρᵀ adalah resistivitas pada 0 ºK, € adalah energi aktivasi dan k adalah
konstanta Boltzman. Besarnya energy aktivasi bergantung pada material
yang ditinjau. Mengingat mekanisme konduksi elektrolitik sangat dominan
maka faktor temperature hanya diperhitungkan pengaruhnya pada resistivitas
air formasi. Peningkatan temperature akan menurunkan viskositas larutan
yang dapat meningkatkan mobilitas ion-ion dalam larutan. Peningkatan
temperatur mengakibatkan penurunan resistivitas air formasi dan dinyatakan
oleh persamaan berikut:
ρt =
(10)
dimana ρt dan ρ18 masing-masing adalah resistivitas air pada ᵼ ºC dan 18 ºC,
ɑ adalah koefisien yang besarnya 0.025/ ºC untuk larutan NaCl. Pengaruh
temperature pada resistivitas batuan dapat diabaikan pada daerah-daerah
yang bukan daerah geothermal. Konduktivitas air formasi σʷ (dalam
siemens/meter) dapat diperkirakan berdasarkan salinitas S(dalam gram/liter)
T(dalam ºC) menggunakan persamaan empiric berikut:
σʷ = (1.17013 + 0.03299 ) (11)
Persamaan (2.7) di atas juga dapat digunakan untuk memperkirakan salinitas
suatu larutan garam berdasarkan harga konduktivitas dan temperaturnya.
Gambar 5 memperlihatkan kurva konduktivitas beberapa larutan garam
sebagai fungsi salinitas, sedangkan gambar 6 menunjukan variasi
konduktivitas larutan NaCl sebagai fungsi salinitas dan temperatur.
27
Gambar 7. Konduktivitas beberapalarutan garam (beserta larutan asam dan
basa sebagai penghasil garam) sebagai fungsi dari salinitas
(Keller,1987).
Gambar 8. Konduktivitas larutan NaCl sebagai fungsi salinitas dan
temperatur (Keller, 1987).
28
3.5. Konfigurasi Dipole-dipole
Konfigurasi Dipole-dipole merupakan salah satu konfigurasi dalam
eksplorasi geolistrik dimana jarak antara elektroda arus dengan jarak antara
elektroda potensial sama. Susunan elektroda pada konfigurasi Dipole-dipole
dapat dilihat pada Gambar 7 berikut:
Gambar 9. Susunan Elektroda pada Konfigurasi Dipole-dipole
(Marescot. 2009)
Pengukuran secara manual dilakukan dengan cara mengubah jarak antara
elektroda arus dengan jarak elektroda potensial atau mengubah jarak na.
Konfigurasi Dipole-dipole dapat mencapai kedalaman yang lebih dalam
dibandingkan dengan konfigurasi Wenner, Schlumberger dan Square, selain
itu konfigurasi ini sangat baik untuk pengukuran CST (Constant Separation
Traversing) (Reynolds. 1997). Pengukuran CST lebih dikenal sebagai
metoda Profiling Horizontal yang digunakan untuk menentukan variasi nilai
tahanan jenis secara horizontal.
Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa jarak r1, r2, r3, dan r4 sebagai
berikut:
(12)
(13)
(14)
(15)
29
Persamaan (12), (13), (14) dan (15) disubstitusikan ke Persamaan faktor
geometri K pada Persamaan (16) sehingga diperoleh faktor geometri K
untuk konfigurasi Dipole-dipole yaitu:
(16)
Persamaan (16) disubstitusikan ke Persamaan (17) sehingga diperoleh nilai
tahanan jenis semu untuk konfigurasi Dipole-dipole seperti Persamaan.
(17)
dimana a merupakan jarak antara dua elektroda arus atau jarak antara dua
elektroda potensial, sementara na merupakan jarak antara spasi elektroda
arus dengan spasi elektroda potensial.
3.6. Konfigurasi Pole-pole
Konfigurasi pole-pole merupakan kofigurasi elektroda elementer dimana
terdapat satu titik sumber arus dan satu titik ukur potensial. Untuk itu salah
satu elektroda arus (C2) dan elektroda potensial (P2) ditempatkan ditempat
yang cukup jauh relatif terhadap C1 dan P1 sehingga pengaruhnya dapat
diabaikan. Pada dasarnya faktor geometri dinyatakan oleh persamaan
umum di atas namun untuk konfigurasi elektroda pole-pole faktor
geometrinya dapat disederhanakan menjadi:
K = 2 π ɑ (18)
dimana ɑ adalah jarak antara C1 dan P1. Untuk memperoleh informasi
mengenai resistivitas pada kedalaman yang berbeda maka pengukuran
dilakukan dengan memvariasikan ɑ. Keuntungan konfigurasi pole-pole
adalah operasi lapangan yang lebih mudah, yaitu hanya perlu memindahkan
elektroda C1 dan P1 saja. Namun konfigurasi pole-pole sangat sensitive
30
terhadap noise karena pengkuran melibatkan elektroda yang saling
berjauhan (C2 dan P2).
3.7. Konfigurasi Pole-dipole
Konfigurasi ini mirip dengan konfigurasi pole-pole, yaitu sumber arus
tunggal tetapi pengukuran beda potensial dilakukan pada elektroda P1 dan
P2 yang membentuk dipole (saling berdekatan) dengan jarak ɑ. Jarak antara
C1 dan P1 divariasikan sebagai kelipatan bilangan bulat (n) dari ɑ. Faktor
geometri konfigurasi elektroda pole-dipole dinyatakan oleh:
K = 2 π n (n + 1) ɑ (19)
Konfigurasi pole-dipole tidak simetris karena posisi sumber arus C1 dapat
berada disebelah kiri atau sebelah kanan dari dipole P1P2 dengan hasil yang
berbeda. Oleh karena itu konfigurasi pole-dipole umumnya digunakan
untuk mengetahui adanya kontras resistivitas secara lateral.
3.8. Konfigurasi Wenner
Konfigurasi ini diambil dari nama Frank Wenner yang mempelopori
penggunanya di Amerika Serikat. Pada konfigurasi Wenner jarak antara
keempat elektroda sama, yaitu ɑ dengan dipole potensial P1P2 berada
ditengah-tengah antara C1 dan C2. Faktor geometri konfigurasi elektroda
Wenner sama dengan faktor geometri konfigurasi elektroda pole-pole, yaitu:
K = 2 π ɑ. Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian
pembacaan tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif
besar karena elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini
31
bisa digunakan alat ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih
kecil. Sedangkan kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi homogenitas
batuan di dekat permukaan yang bisa berpengaruh terhadap hasil perhitungan.
Data yang didapat dari cara konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk
menghilangkan factor non homogenitas batuan, sehingga hasil perhitungan
menjadi kurang akurat (Lilik, 1988).
Gambar 10. Konfigurasi Wenner (Lilik, 1988)
3.9. Konfigurasi Schlumberger
Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya,
sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan
kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak
MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar
dari 1/5 jarak AB.
Gambar 11. Konfigurasi Schlumberger (Lilik, 1988).
32
Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan
pada elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relatif
jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai
karakteristik „high impedance‟ dengan akurasi tinggi yaitu yang bisa
mendisplay tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau
dengan cara lain diperlukan peralatan pengirim arus yang mempunyai
tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Sedangkan keunggulan konfigurasi
Schlumberger ini adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya non-
homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan
nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2. (Lilik,
1988).
3.10. Mapping
Tujuan mapping adalah untuk mengetahui variasi resistivitas secara lateral.
Oleh karena itu teknik mapping dilakukan menggunakan konfigurasi
elektroda tertentu dengan jarak antara elektroda tetap. Seluruh susunan
elektroda dipindah mengikuti suatu lintasan. Berdasarkan hal tersebut
teknik mapping dikenal pula sebagai constant separation traversing (CST)
atau traversing dan kadang-kadang disebut pula sebagai teknik profiling.
Plot resistivitas semu sebagai fungsi posisi titik pengukuran dalam lintasan
tersebut secara kualitatif menggambarkan variasi lateral resistivitas bawah
permukaan. Data yang diperoleh mempresentasikan variasi lateral pada
kedalaman tertentu sesuai dengan jarak antar elektroda yang digunakan,
karena jarak antar elktroda berasosiasi dengan kedalaman jangkauan /
33
kedalamaan investigasi tertentu. Untuk memperoleh informasi yang lebih
lengkap biasanya pengukuran juga dilakukan dengan beberapa jarak antar
elektroda yang berbeda.
Pada dasarnya semua konfigurasi elektroda dapat digunakan untuk
mapping meskipun setiap konfigurasi elektroda memiliki sensitivitas yang
berbeda. Konfigurasi pole-pole, pole-dipole dan dipole-dipole lebih banyak
digunakan untuk mapping karenarelatif lebih sensitif terhadap variasi
lateral. Mengingat jarak antar elektroda yang tetep konfigurasi Wenner
cukup peraktis untuk mapping karena pemindahan posisi titik pengukuran
tidak memerlukan pemindahan seluruh elektroda. Konfigurasi
Schlumberger relative jarang digunakan untuk mapping kurang sensitif
terhadap fariasi lateral, namun ada teknik survey tertentu (head-on) yang
menggunakannya untuk mapping.
Interpretasi data hasil mapping umumnya dilakukan secara kualitatif
terhadap kurva variasi resistivitas semu sebagai fungsi posisi titik
pengukuran pada lintasan. Interpretasi semi-kuantitatif dapat dilakuakn
melalui perhitungan kurva teoritis untuk variasi lateral sederhana misalnya
kontak vertikal atau dike vertikal menggunakan konsep optic sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Gambar 10 memperlihatkan contoh kurva
resistivitas semu teoritis yang berasosiasi dengan kontak vertikal untuk
beberapa konfigurasi elektroda (Telford, 1990). Jika pengukuran dilakukan
pada beberapa lintasan yang tersebar pada suatu daerah maka dapat pula
34
diplot peta kontur resistivitas semu yang juga menggambarkan secara
kualitatif variasi lateral resistivitas pada kedalaman tertentu.
Gambar 12. Kurva restisivitas semu teoritis untuk mapping kontak vertikal
(Telford, 1990).
3.11. Sounding
Istilah sounding diambil dari vertical electrical sounding (VES) yaitu
teknik pengukuran geolistrik yang bertujuan untuk memperkirakan variasi
resistivitas sebagai fungsi dari kedalaman pada suatu titik pengukuran.
Mengingat jarak antar elektroda menentukan kedalaman investigasi maka
pada teknik sounding pengukuran dilakukan dengan jarak antar elektroda
bervariasi. Konfigurasi elektroda yang digunakan umumnya adalah
konfigurasi Wenner dan Schlumberger.
35
Secara kualitatif variasi resistivitas terhadap kedalaman tercermin pada
kurva sounding, yaitu plot resistivitas semu sebagai fungsi dari ɑ (Wenner)
atau ɑ = AB/2 (Schlumberger). Sebagaimana telah dibahas untuk sistem
pengukuran elementer, resistivitas semu pada ɑ kecil mendekati harga
resistivitas lapisan pertama (dekat permukaan) sedangkan pada ɑ cukup
besar resistivitas semu mendekati harga resistivitas lapisan terakhir
(substratum). Variasi resistivitas semu diantara kedua harga asimtotik
tersebut menunjukan adanya lapisan-lapisan lain diantara lapisan dekat
permukaan dengan lapisan substratum. Disamping interpretasi semi-
kuantitatif menggunakan nilai asimtotik, secara lebih kuntitatif dapat
dilakukan perbandingan kurva sounding dengan kurva standar / kurva
teoritis baik secara manual maupun menggunakan computer.
Gambar 11 memperlihatkan empat tipe kurva sounding (konfigurasi
schlumberger, ρɑ vs, AB/2) sesuai dengan variasi resistivitas terhadap
kedalaman untuk kasus tiga lapisan : tipe H, tipe A, tipe K dan tipe Q.
Untuk kasus empat lapisan atau lebih kurva sounding merupakan gabungan
antar beberapa tipe utama tersebut.
Gambar 11 memperlihatkan empat tipe kurva sounding sesuai dengan
variasi resistivitas untuk kasus empat lapisan: tipe A, tipe H, tipe K, tipe Q.
Untuk empat lapisan lebih kurva sounding merupakan gabungan keempat
tipe tersebut.
36
Gambar 13. Beberapa tipe kurva sounding yang menunjukan secara
kualitatif variasi resistivitas sebagai fungsi kedalaman
(Telford, 1990).
3.12. Imaging
Pemilihan konfigurasi elektroda dan teknik pengukuran geolistrik selain
ditentukan berdasarkan tujuan survey juga dibatasi oleh masalah-masalah
teknis di lapangan. Dengan menggunakan peralatan geolistrik digital yang
dikontrol oleh mikroprosesor serta dilengkapi dengan system multi-
elektroda dan multi-core cable pengukuran geolistrik dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Untuk konfigurasi elektroda apapun pengukuran
mapping dengan jarak antar elektroda yang berbeda-beda dapat dilakukan
37
secara cepat sehingga informasi yang diperoleh adalah variasi resistivitas
secara lateral maupun vertikal. Teknik pencitraan ini dikenal pula dengan
istilah teknik tomografi.
Secara horizontal data hasil pengukuran merepresentasikan kondisi di titik
tengah susunan elektroda, sedangkan secara vertikal data tersebut
mempresentasikan kondisi di bawah titik pengukuran pada kedalamaan
yang sesuai dengan jarak antar elektroda. Jika pengukuran dilakukan pada
suatu lintasan maka hasilnya membentuk penampang atau profil 2-D yang
menggambarkan variasi resistivitas semu baik secara lateral (dalam arah
lintasan) maupun vertikal dalam bentuk kontur. Gambar 12 menunjukan
contoh (konfigurasi Wenner dan dipole-dipole) bagaimana data diukur dan
hasilnya diplot pada penampang resistivitas semu yang disebut sebagai
pseudosection. Sekala vertikal dinyatakan dalam bilangan bulat n yang
merupakan kelipatan jarak antar elektroda (ɑ). Untuk memberikan
gambaran mengenai kedalaman secara kualitatif biasanya sekala tersebut
dikonversikan menjadi kedalaman semu (pseudo-depth), yaitu hasil
perkalian (n x ɑ) dengan faktor sekala yang besarnya antara 0,3 – 1.
Interpretasi data hasil teknik pencitraan dilakukan secara kualitatif terhadap
pseudosection terutama untuk memperkiran adanya kontras resistivitas
secara lateral. Interpretasi kuantitatif hanya dapat dilakukan menggunakan
pemodelan / simulasi computer.
38
a.
b.
Gambar 14. Teknik pengukuran dan presentasi data dalam bentuk citra
2D menggunakan konfigurasi elektroda (a) Wenner dan (b)
dipole-dipole (Telford, 1990)
3.13. Sounding dengan konfigurasi Schlumberger
Teknik pengukuran geolistrik yang cukup populer adalah sounding
menggunakan konfigurasi elektroda Schlumberger. Oleh karena itu
beberapa aspek mengenai sounding dengan konfigurasi Schlumberger akan
39
dibahas secara khusus pada sub-sub ini. Beberapa aspek tersebut
diantaranya adalah sifat asimtotik kurva sounding Schlumberger pada
medium dua lapis, yang kemudian digunakan untuk interpretasi semi-
kuantitatif sederhana. Disamping itu akan dibahas interpretasi kuantitatif
kurva sounding dengan metode pencocokan kurva (curve matching) dan
aspek-aspek praktis pengukuran sounding menggunakan konfigurasi
Schlumberger.
Pada konfigurasi Schlumberger elektroda potensial MN dimaksudkan
untuk mengukur medan listrik yang merupakan gradien potensial. Pada
medium homogen medan listrik di titik tengah konfigurasi Schlumberger
yang berjarak ɑ dari dua sumber arus adalah :
E =
(20)
Jika pengukuran dilakukan bukan pada medium homogen maka resistivitas
semu konfigurasi Schlumberger dinyatakan oleh :
ρɑ =
E ρɑ
(
) (21)
Persamaan (22) menyatakan potensial pada jarak r dari sumber arus tunggal
sebesar I pada medium yang terdiri dua lapisan. Pada kasus ini gradient
potensial adalah :
=
( ∑
( (
)
)
) (22)
Gradien potensial di titik tengah konfigurasi Schulmberger yang berjarak ɑ
dari dua elektroda arus adalah persamaan (22) yang dievaluasi pada r = ɑ
dan dikalikan dengan 2 untuk memperhitungkan dua sumber arus identic.
Hasilnya disubtusikan pada persamaan (23) sehingga diperoleh :
40
ρɑ = ρ𝟣( ∑
( (
)
)
) (23)
Interpretasi kualitatif kurva sounding Schlumberger dapat dilakukan
berdasarkan sifat asimtotik sebagaimana dibahas diatas. Interpretasi semi-
kuantitatif sederhana didasarkan pada sifat asimtotik kurva sounding
Schlumberger untuk medium dua lapis dimana lapisan substratum adalah
lapisan sangat resistif atau isolator. Pada kasus tersebut arus akan hanya
mengalir pada lapisan pertama dan pada jarak ɑ yang jauh lebih besar dari
ketebalan lapisan (z) rapat arus akan serba sama / uniform. Arus total pada
jarak ɑ dari sumber arus dapat dihitung melalui integrasi rapat arus yang
melalui permukaan ekuipotensial berbentuk cincin dengan jari-jari ɑ
dengan ketebalan z :
I = ∫ dA = ∫
∫
r dZ dθ (24)
I = 2 π ɑ z J (25)
Berdasarkan hokum Ohm medan listrik di titik tengah konfigurasi
Schlumberger yang berjarak ɑ dari dua sumber arus adalah :
E = 2 ρ1 J E =
(26)
Substitusi persamaan (26) ke persamaan (25) menghasilkan :
ρɑ =
E ρɑ = ρ1
(27)
Kurva sounding adalah plot resistivitas semu ρɑ terhadap jarak antar
elektroda ɑ (atau AB/2) masing-masing dalam sekala logaritmik. Oleh
karena itu persamaan (28) lebih sesuai jika dituliskan sebagai :
Log ρɑ = log ρ1 + log
(28)
41
Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya kurva sounding secara asimtotik
mendekati harga resistivitas lapisan pertama jika ɑ<<z. Harga resistivitas
semu semakin meningkat sesuai dengan meningkatkannya ɑ. Persamaan
(29) dapat pula dituliskan sebagai berikut :
Log ρɑ = log ɑ - log S1 (29)
Dimana S1 = z/ ρ1 adalah konduktansi longitudinal (atau sering disebut
sebagai konduktansi dengan satuan Siemens) yang mengkarakterisasi
lapisan pertama. Segmen kurva sounding dimana ɑ>>z adalah garis lurus
yang membentuk sudut 45º terhadap sumbu horisontal. Pada kurva ini rasio
antara jarak antar elektroda terhadap resistivitas semu adalah konstan dan
menunjukan harga konduktansi :
=
= S1 (30)
Harga konduktansi lapisan pertama dapat pula diperkirakan dari
perpotongan segmen kurva sounding (yang membentuk sudut 45º terhadap
sumbu horisontal) dengan sumbu horisontal dimana ρɑ = 1 Ohm.m.
Dengan asumsi bahwa resistivitas lapisan pertama telah diketahui
berdasarkan asimtot kurva sounding pada ɑ<<z maka ketebalan lapisan
pertama dapat dihitung menggunakan persamaan (3.51). Secara grafis
ketebalan lapisan pertama dapat diperkirakan dari titik belok kurva
sounding sebelum membentuk sudut 45º terhadap sumbu horisontal
sebagaimana diperlihatkan pada gambar 13. Jika pada kurva sounding tidak
terdapat segmen kurva yang menunjukan adanya batuan dasar resistif maka
harga konduktansi dan ketebalan yang diperoleh dari kurva sounding
tersebut adalah harga-harga minimum (Gambar 14).
42
Gambar 15. Interpretasi kurva sounding Schlumberger menggunakan
harga-harga asimtotik untuk kasus dua lapis (Telford,
1990).
Interpretasi semi-kuantitatif sederhana yang didasarkan pada sifat asimtotik
kurva sounding Schlumberger untuk medium dua lapis dapat
dikembangkan untuk kasus yang lebih umum. Tentu saja informasi yang
diperoleh sangat terbatas sesuai dengan karakter pendekatan atau reduksi
banyak lapisan menjadi dua lapisan. Meskipun demikian sebagai
interpretasi awal hasil semi-kuantitatif tersebut memberikan informasi yang
cukup bermanfaat untuk mengetahui karakteristik medium secara global
pada daerah penyelidikan.
Berdasarkan proses geologi dapat diasumsikan bahwa formasi batuan
(terutama batuan sedimen dan batuan vulkanik) selalu terbentuk di atas
suatu batuan dasar (basement) yang umumnya sangat resistif. Oleh karena
itu formasi batuan yang relative lebih konduktif membentuk lapisan
overburden yang dapat diasosiasikan sebagai lapisan pertama pada kasus
43
dua lapis. Batuan dasar resistif dapat dianggap sebagai substratum isolator.
Jika pada kurva sounding terdapat segmen yang membentuk sudut 45º
terhadap sumbu horisontal maka harga konduktansi total seluruh lapisan
overburden dapat diketahui. Sebenernya besaran konduktansi merupakan
satu-satunya informasi yang dapat diperoleh dari pendekatan menggunakan
sifat asimtotik. Sebagai beseran komposit, yaitu hasil perkalian
konduktivitas dengan ketebalan atau hasil bagi ketebalan dengan
resistivitas, terdapat tak-hingga kombinasi resistivitas dan ketebalan yang
menghasilkan konduktivitas yang sama. Oleh karena itu pada data
geolistrik terdapat ambiguitas atau ekivalensi yang berkaitan dengan
konduktansi.
Meskipun demikian, jika resistivitas yang mewakili lapisan overburden
dapat dipilih secara “a priori” (diasumsikan) maka ketebalan total lapisan
overburden tersebut dapat dihitung menggunakan persamaan atau secara
grafis sebagaimana pada kasus dua lapis. Ketebalan total lapisan
overburden yang juga adalah kedalaman batuan dasar resistif merupakan
informasi awal yang cukup berguna pada penyelidikan geolistrik. Pada
kasus dimana pengukuran geolistrik dilakukan pada sejumlah titik sounding
(pada suatu lintasan atau pada suatu area tertentu) maka variasi kedalaman
batuan dasar dapat digambarkan dalam bentuk penampang atau dipetakan.
Jika variasi konduktansi pada daerah pengukuran dianggap berasosiasi
dengan lapisan overburden dengan ketebalan tetap maka variasi
konduktansi tersebut dapat diasosiasikan sebagai variasi resistivitas.
44
Dengan demikian dapat dipetakan daerah-daerah resistif maupun daerah-
daerah konduktif pada daerah survey.
Gambar 16. Interpretasi kurva sounding Schlumberger menggunakan
harga-harga asimtotik untuk kasus dua lapis jika kurva
sounding tak lengkap (Telford, 1990).
3.6. Pemodelan 2D
Hasil pengukuran dilapangan akan menghasilkan beberapa datum yakni yang
berada ditengah potensial seperti gambar di bawah ini, titik tersebut
merupakan hasil pengukuran dan akan saling mengkorelasikan terhadap titik
lain sehingga akan membuat sebuah penampang lintasan 2D.
45
Gambar 17. Penampang Lintas 2D (Geotomo, 2003)
Sebelum melakukan pemodelan 2D maka dilakukan editing atau koreksi data
yang bertujuan untuk mengeliminasi data yang dianggap dapat merusak hasil
inversi, yakni data yang adanya defleksi positif dan negatif yang terlalu
curam seperti gambra di bawah ini
Gambar 18. Editing atau Koreksi Data(Geotomo, 2003)
46
Dalam melakukan pemodelan 2D data geolistrik untuk memudahkan analisis
hasil penelitian, maka dilakukan inversi 2D dengan menampilkan hasil
sebaran resistivitas seperti pada gambar di bawah ini
Gambar 19. Hasil Inversi dan Resistivitas(Geotomo, 2003)
Gambar di atas merupakan perpaduan antara resistivitas semu (sumbu x) dan
kedalaman semu (sumbu y), gambar ketiga dari gambar (8) adalah kedalam
sebenarnya hasil inversi dan resistivitas sebenarnya hasil inversi.
40
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Mei
2015 di Laboratorium Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas
Lampung, Jalan Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung. Jadwal
kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Jadwal Kegiatan.
JADWAL PENELTIAN
Kegiatan
Bulan
1 2 3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi literatur
Input Data
Pengolahan data
Pemodelan 2D
Presentasi Usul
48
4.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Peta Provinsi Sulawesi Tengah
2. 1 perangkat laptop
3. Software yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Global
Mapper 12, Surfer10, Microsoft Office Exel, dan RES2DINV
4.3. Pengolahan Data
Dalam Penelitian ini dilakukakn pengumpulan landasan teori yang dapat
menunjang dalam pengolahan dan analisa serta interpretasi data geolistrik.
Penelusuran dilakukan pada buku-buku referensi dan artikel maupun jurnal
ilmiah.
Adapun langkah-langkah proses pada penelitian ini adalah:
1. Memasukkan data hasil pengukuran lapangan ke dalam data
pemrograman format ascii (format bahasa pemrograman) untuk
melakukan pengolahan menggunakan perangkat komputer.
2. Mengubah format data menjadi format software (RES2DINV.exe) yang
akan digunakan dan konfigurasi pengukuran.
3. Melakukan proses menggunakan software RES2DINV, dimulai dengan
membaca data, melakukan edit dan membuang terhadap titik
pengukuran yang penunjaman terlalu tinggi dan terlalu rendah.
4. Melakukan proses inversi menggunakan metode least-square untuk
mendapatkan hasil cepat untuk melihat hasil pengukuran dan metode
49
inversi robust digunakan untuk mendapatkan detil penampang yang
memiliki model perlampisan curam.
5. Memasukkan data topografi untuk mendapatkan model yang sesuai
dengan ketinggian permukaan sesungguhnya.
6. Menganalisa hasil inversi untuk mendapatkan ketebalan dan kedalaman
bidang gelincir di bawah permukaan.
50
4.4. Diagram Alir Penelitian
Untuk Lebih memahami penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir pada
Gambar 15.
NO
YES
YES
Gambar 20. Diagram Alir Penelitian
Input Data
Mulai
Reformat
Load Data
Editting Data
Least
Square
Inversion
Model 2D Input Topografi
Analisis
Kesimpulan
ascii
78
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini antara lain:
1. Metode geolistrik pada penelitian menggunakan konfigurasi Wenner
Schlumberger dengan 16 elektroda dengan interval 10 meter dan dapat
menganalisis nilai resistivitas dibawah permukaan sekitar 30 meter.
2. Bidang gelincir diindikasikan sebagai wet clay di bawah material dan batu
seperti sandy tuff dan weathering soil / clay sand.
3. Nilai resistivitas wet clay sekitar 60 Ohmmeter sampai 90 Ohmmeter .
4. Bidang gelincir diindikasikan dikedalaman 5 – 15 meter
5. Bidang gelincir diindikasikan berketebalan 3 – 5 meter
6.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian/pengukuran geolistrik lebih lanjut pada area tersebut
untuk mengetahui lebih detail posisi bidang gelincir dan batas-batas patahan di
daerah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar dan Handayani, G., 2004, Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi
Schlumberger untuk Penentuan Tahanan Jenis Batubara, Jurnal
Natur Indonesia.
Bahri. 2005. Hand Out Mata Kuliah Geofisika Lingkungan dengan topik Metoda
Geolistrik Resistivitas, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
ITS, Surabaya.
Calvert,S.J.,Hall,R.,2003. The cenozoic geology of the Lariang and Karama,
Western Sulawesi: New insight into the evolution of Makasar Straits
region, Indonesia., Proceedings Indonesia Petroleum Association (IPA)
30 Annual Convention.
Coffield, D.Q.S. C Bergman, R.A Garard, N. Guritno, N.B. Robinson, J. Talbot,
1993, Tectonic and Stratigraphy Evolution of Kalosi PSC and Associated
Development of a Tertiary Petroleum System, South Sulawesi, Indonesia,
Proc. IPA ke XXII, Jakarta.
Damtoro, J.2007. Metode Geofisika. Blog Damtoro Juswanto. Diakses 22
September 2015 di http://www.Beave3x.com/Damtoro/geofisika.html
Djuri, M, Samodra, H., Amin, T.C., dan Gafoer, S., 1996, Peta
Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Fraser, T.H., Jackson,B.A., Barber,P.M., Baillie, P., Keith, M.,2003, The West
Sulawesi Fold Belt and Other New Plays Within the North Makasar
Straits a Prospectivity Review, Proceeding 29, Indonesia Petroleum
Association.
Geotomo, 2003, Rapid 2-D Resistivity & IP inversion using the least-squares
method, Wenner (α,β,γ), dipole-dipole, inline pole-pole, pole- dipole,
equatorial dipole-dipole, Wenner-Schlumberger and non-conventional
arrays on land, underwater and cross-borehole surveys, Geotomo
Software, Malaysia.
Hall,R.,2002. Cenozoic geological and plate tectonics evolution of the SE Asia
and the SW pacific: computer based reconstruction, model and
animations, Journal of Asian Earth Sciences
Katili, J, 1978, Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia.
Tectonophysics 45.
Katili, A. Sudrajat,1984. The Devastating Eruption of Colo Vulcano, Una-una
Island, Central Sulawesi, Indonesia, Geol Jb, Hannover.
Lugiandari, E., 2008, Analisa Karakteristik Kelistrikan Tanah Pertanian
dengan Metode Geolistrik Resistivitas, Skripsi Jurusan Fisika,
FMIPA, Universitas Jember (UNEJ), Jember.
Priadi, B., 2000, Sulawesi, dalam Darman, H., and Sidi, F.H., ed., An Outline of
the Geology of Indonesia. Indonesia Association of Geologists.
Priyantari dan Wahyono, 2005, Penentuan Bidang Gelincir Tanah Longsor
Berdasar Sifat Kelistrikan Bumi, Jurnal Ilmu Dasar.
Reynolds, J.M., 1997. An Introduction to Applied and Environmental
Geophysics. New York: Jhon Geophysicsin Hidrogeological and Wiley and
Sons Ltd.
Simandjuntak, Surono, Situmorang, dan Sukido, 1993, Geologi Lembar Batui,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sukamto,R.,1974, Geologi Daerah Kepulauan Banggai-Sula, Geologi Indonesia.
Sukamto, R., 1975, Perkembangan tektonik di Sulawesi dan daerah
sekitarnya : Suatu sintesis perkembangan berdasarkan tektonik lempeng,
Majalah IAGI.
Sukamto,R., 1978, The Structure of Sulawesi in the Light of Plate Tectonics,
Proc.Reg.Conf.Geol.Min.Res. Southeast Asia, Manila.
Suroso, T., T. Yulianto, dan G.Yulianto, 2006, Penggambaran Pseudosection
Bawah Permukaan Suatu Proses Evapotranspirasi Tanaman Jagung
Menggunakan Program Res2Dinv, Berkala Fisika, Vol.9, No.3, Juli 2006.
Telford, W.M., Gedaart, L.P., Sheriff, R.E., 1990, Applied Geophysics,
Cambridge, New York.
Tjia, H.D., 1973, Displacement Patterns of Stike- Slip Faults in Malysia-
Indonesia-Philippines; Geol. En Mijnbouw, vol. 52.
William J. Johnson, 2003, Applications Of The Electrical Resistivity Method
For Detection Of Underground Mine Workings, Geophysical
Technologies for Detecting Underground Coal Mine Voids, Lexington,
KY.