faktor risiko jatuh

13

Click here to load reader

Upload: su-soediartawan

Post on 13-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

risk fo fall

TRANSCRIPT

Page 1: Faktor Risiko Jatuh

2.2.1 Faktor Risiko Jatuh

a. Usia

Usia lansia sangat berkaitan dengan proses penuaan yang dialami lansia. Sejalan

dengan bertambahnya usia proses degeneratif akan terus berjalan dan akan

semakin menunjukkan dampaknya terhadap kondisi fisik dan kesehatan lansia

(Wilmoth & Ferraro, 2007). Orang yang telah memasuki usia lanjut (lebih dari 60

tahun) akan merasakan dampak dari kemunduran aspek fisik seprti menurunya

kekuatan otot, kelemahan, gangguan sensori persepsi, gangguan proses asupan

dan penyerapan nutrisi dan penyakit degeneratif. Semua dampak dari proses

degeneratif tersebut akan mengganggu ketahanan fisik lansia dalam melakukan

aktifitas sehari-hari sehingga akan meningkatkan risiko lansia untuk mengalami

jatuh. Dengan demikian semakin bertambahnya usia akan mengakibatkan

penurunan kondisi fisik yang lebih extrem pada lansia sehingga akan

meningkatkan risiko untuk mengalami kecelakaan seperti jatuh (Darowski, 2008).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin diduga turut berperan dalam mempengaruhi kejadian jatuh pada

lansia. Faktor hormonal diduga menjadi faktor pembeda antara laki-laki dan

wanita, fase menopause dan andropause yang berbeda pada laki-laki dan

perempuan yang berbeda mengakibatkan wanita mengalami perburukan kondisi

fisik yang lebih cepat (Wilmoth & Ferraro, 2007). Menopause merupakan fase

non aktifnya proses reproduksi yang terjdi pada wanita karena berkurangnya

produksi hormon androgen pada wanita, kondisi ini menyebabkan perubahan

besar pada kondisi tubuh dan kesehatan wanita, perubahan hormonal ini

mengakibatkan kemunduran dalam aspek fisik seperti penurunan proses

pemadatan tulang sehingga menyebabkan osteoporosis, dan kehilanagn kekuatan

otot yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Dua faktor tersebut merupakan

faktor tersebut yang membedakan kondisi laki-laki dan wanita ketika memasuki

Page 2: Faktor Risiko Jatuh

masa lansia, dan berkurangnya kepadatan tulang, berkurangnya kemampuan fisik

mempunyai peranan besar penyebab jatuh pada lansia wanita (Darowski, 2008).

c. Lingkungan

Lingkungan tempat lansia tinggal harus dibedakan dengan lingkungan yang

dihuni oleh oarng dewasa, lingkungan yang baik untuk lansia adalah lingkungan

yang aman dan dapat mempermudah lansia dalam melakukan aktifitas karena

lansia memiliki berbagai keterbatasan fisik (Nugroho, 2009). Beberapa tempat di

lingkungan rumah yang berpotensi menyebabkan jatuh adalah tangga, dengan

kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, ruangan atau

halaman rumah karena yang memiliki barang-barang yang berserakan sehingga

dapat menyebabkan lansia tersandung/menabrak benda tersebut, lantai yang licin

atau tidak rata, penerangan yang kurang, tempat tidur atau tempat buang air yang

terlalu rendah, alat bantu jalan yang tidak tepat dan tidak adanya pegangan saat

mobilisasi di rumah (Darowski, 2008).

d. Gangguan Keseimbangan

Mekanisme keseimbangan membutuhkan kerjasama dan interaksi dari tiga

komponen, yaitu sistem sensori perifer, sistem saraf pusat, dan sistem efektor.

Sistem sensori perifer utama terkait dengan keseimbangan postural meliputi

sistem visual, vestibular dan proprioseptif (Tidieiksaar, 1997). Lansia umumnya

mengalami perubahan struktur mata, salah satu nya adalah atropi dan hialinisasi

pada muskulus siliaris yang dapat meningkatkan amplitudo akomodasi. Hal ini

dapat meningkatkan ambang batas visual sehingga sehingga dapat mematahkan

impuls afferen yang kemudian akan menurunkan visual lansia, dan pada akhirnya

akan mempengaruhi keseimbangan. Reseptor visual normal memberikan

informasi tentang orientasi mata dan posisi tubuh atau kepala terhadap kondisi

lingkungan di sekitarnya. Gangguan keseimbangan akan tampak lebih jelas lagi

jika impuls afferen untuk visual ditiadakan, misalnya pada saat mata tertutup,

maka kelihatan ayuanan tubuh (sway) menjadi berlebihan (Darowski, 2008).

Page 3: Faktor Risiko Jatuh

Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam macula sebesar

40%. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan

vertigo posisisonal dan ketidakseimbangan waktu berjalan. Organ vestibular

memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi dan gerakan kepala

serta pandangan mata melalui reseptor makula dan krista ampularis yang terdapat

di telinga dalam, hal ini akan membantu menjaga keseimbangan tubuh

(Tidieiksaar, 1997). Susunan proprioseptif merupakan salah satu reseptor yang

membantu mengkoordinasikan posisi tubuh dengan lingkunagn sekitar. Susunan

propioseptif akan memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi

tubuh terhadap kondisi di sekitarnya dan posisi antara segmen badan badan

melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi, tendon, otot, ligamentum dan

kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada kolumna vertebralis dan tungkai.

Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi

otot (Wilmoth & Ferraro, 2007). Lansia dapat mengalami penurunan rangsangan

proprioseptif akibat proses penuaan. Hal ini dapat meningkatkan ambang batas

rangsang muscle spindle, sehingga dapat mematahkan umpan balik afferen dan

secara berurutan dapat mengubah kewaspadaan tentang posisi tubuh keadaan ini

dapat menimbulkan gangguan keseimbangan postural (Darowski, 2008).

Sistem Saraf Pusat (SSP) dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central

Nerves Sistem (CNS) melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer

dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif di gyrus post central lobus parietal

kontralateral (Wilmoth & Ferraro, 2007). Selanjutnya infomasi ini diproses dan

diintegrasikan pada semua tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ±

150 m/det akan terbentuk suatu respon postural yang benar secara otomatis dan

akan diekspresikan secara mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola

gerakan tertentu. Tetapi pada aktivitas dengan pola baru yang belum pernah

disimpan dalam otak, maka reaksi keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih

sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan tanpa perlu berfikir lagi

(Darowski, 2008).

Page 4: Faktor Risiko Jatuh

Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi. Dimana

tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau berjalan. Dalam posisi berdiri respon motor

(effector) mempertahankan atau menyokong sikap dan keseimbangan, yang

disebut sinergis otot (Tidieiksaar, 1997). Jika gerakan dilakukan oleh suatu

kelompok sendi dan otot dari kedua sisi tubuh, maka komponen efektor yang

normal harus ada supaya dapat melakukan gerakan keseimbangan postural yang

normal. Komponen efektor yang dibutuhkan adalah lingkup gerak sendi, kekuatan

dan ketahanan (endurance) dari kelompok otot kaki, pergelangan kaki, lutut,

pinggul, punggung, leher, dan mata. Gangguan pada komponen efektor akan

mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol postur sehingga akan terjadi

gangguan keseimbangan postural (Darowski, 2008).

e. Gangguan Pengelihatan

Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang berupa cahaya pada

lobus oksipital ke otak dan rangsangan yang diterima akan diterjemahkan

(Wilmoth & Ferraro, 2007). Akibat proses penuaan terjadi banyak perubahan

diantaranya, alis berubah kelabu dapat menjadi kasar serta menjadi tipis pada sisi

temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva menipis dan berwarna

kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis menurun dan cenderung

cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering (Tidieiksaar,

1997).

Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun,

reaksi terhadap cahaya berkurang dan terjadi gangguan akomodasi. Lensa

menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,

sehingga memengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warna.

Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang

(sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cidera.

Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi

kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas (Wilmoth & Ferraro,

Page 5: Faktor Risiko Jatuh

2007). Semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan fungsional para lansia,

kehilangan kemampuan fungsional terutama ketika akan melakukan aktifitas

akan meningkatkan risiko lansia mengalami jatuh (Darowski, 2008).

f. Polifarmasi

Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi tubuh yang bertujuan memanipulasi

proses di dalam tubuh untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan sehat.

Lansia merupakan kelompok umur terbesar yang mengkonsusi obat, sekitar 40%

dari total obat yang diresepkan dikonsumsi oleh lansia (World Health

Organization, 2007). Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan

empat macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Empat obat atau

lebih akan meningkatkan risiko jatuh, jatuh akibat terapi obat dinamakan jatuh

iatrogenik. Obat-obatan golongan hipnotik (menyebabkan somnolen), diuretic,

nitrat, obat antihipertens, antidepresan (menyebabkan postural hypotensi),

simetidine dan digitalis (menyebabkan kebingungan) dapat meningkatkan resiko

jatuh. Kadar obat dalam serum pada lansia menjadi tidak stabil karena perubahan

farmakokinetik akibat proses penuaan, sehingga menyebabkan efek intoksikasi

obat pada lansia. Obat yang diberikan pada lansia juga dapat menimbilkan efek

samping yang lebih berat terutama efek samping seperti konfusi, pusing,

mengantuk yang dapat mempengaruhi keseimbangan (Darowski, 2008).

g. Kognitif

Ketika seseorang berjalan atau berdiri tegak terjadi banyak proses di dalam otak

yang memproses banyak informasi terkait penilaian, penilain tersebut akan

mempengaruhi keputusan seseorang untuk berpegangan, berjalan, melangkah,

duduk, berlari, meloncat, jongkok dan lain sebagainya (Cassel, Leipzig, Cohen,

Larson, & Meier, 2003). Pada orang yang mengalami gangguan kognitif proses

penilaian inilah yang terganggu dan rusak. Proses penuaan pada otak akan

menyebabkan penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus

temporal superior, girus presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan

Page 6: Faktor Risiko Jatuh

jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan berkurangnya neurotransmiter

asetilklolin sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan perilaku (Tidieiksaar,

1997). Gangguan kognitif yang paling sering ditemukan pada lansia adalah

delirium dan dimensia, kedua gangguan ini akan mengakibatkan lansia

mengalami disorientasi sehingga lansia tidak dapat mengenali lingkungan

tempatnya berada. Ketika lansia mengalami kebingungan ia akan cenderung terus

bergerak untuk mencari tempat yang aman, ketika hai ini terjadi akan terjadi

banyak perintah yang melibatkan sistem saraf dan otak, orang yang memiliki

gangguan kognitif tidak akan mampu mengkoordinasikan semua perintah tersebut

dengan baik sehingga mereka dapat jatuh maupun membentur benda-benda di

sekitarnya (Darowski, 2008).

h. Gaya Berjalan (Gait)

Berjalan merupakan aktifitas tubuh yang dipengaruhi dua sistem tubuh yaitu

sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (Tidieiksaar, 1997). Keseimbanagn,

kekuatan, fleksibilitas merupakan komponen utama yang medukung seseorang

mewujudkan pola berjalan yang baik, sehingga gangguan pada sistem

muskuloskeletal dan sistem saraf akibat proses degeneratif akan menyebabkan

gangguan pada pola berjalan lansia (Darowski, 2008). Berjalan merupakan suatu

proses yang kompleks dalam tubuh yang terdiri dari fase berdiri dan fase

melangkah, dimana proses yang terjadi pada fase tersebut adalah :

1. Fase berdiri dimulai dari tumit menapak di tanah, setelah itu terjadi midstance

dan teoff, fase ini kurang lebih sekitar 20% dari seluruh proses berjalan

2. Fase berjalan, fase ini memerlukan banyak koordinasi dari sistem muskulo

dan saraf, pengaturan yang kompleks tersebut terdiri dari :

a. Pendukung grafitasi tubuh, fungsi ini melobatkan sistem muskulo. Posisi

tegak tubuh dipertahankan melalui reflex tegak dan antigravitasi, reflex ini

dipengaruhi implus vestibular afferent, pengelihatan, dan somatosensorik.

Page 7: Faktor Risiko Jatuh

b. Melangkah, dimulai dengan perubahan pusat grafitasi dan menggerakkan

salah satu kaki, proses ini diatur oleh korteks serebri dan batang otak.

Lobus frontal cerebri merupakan area yang berperan dalam memulai

siklus berjalan.

c. Mempertahankan keseimbangan, selama berjalan pusat grafitasi tubuh

berpindah-pindah, untuk menjaga tubuh tetap berdiri tegak terdapat reflex

renggang otot dan vestibuloserebral.

d. Enkle, merupakan sudut yang dibuat pada gerak di pergelangan kaki,

sudut ini relative kecil namun sangat penting untuk membantu

perpindahan masa tubuh, proses ini dimulai setelah proses populasi

(proses dimana tubuh maju lalu didukung dengan kasi) dan akan

menginisiasi ayunan.

e. Lutut, gerakan pada sendi lutut terbatas pada bidang sagittal, puncak

ekstensi lutut terjadi pada saat midstance (berdiri tegak) dan puncak fleksi

terjadi pada akhir fase mengayun.

f. Paha, otot iliopsoas, rectus femoris dan sartorus akan mengalami kontarksi

yang membantu mengangkat bagian kaki yang akan melangkah, kontraksi

pada otot-otot paha menandakan perubahan fase berdiri ke fase mengayuh.

Gaya berjalan akan berubah jika terjadi gangguan pda sistem muskuloskeletal

atau sistem saraf. Perubahan yang dipandang sangat berperan sebagai penyebab

gangguan berjalan adalah hilangnya deteksi propioseptif, vestibulopati, dan

gangguan pengelihatan. Hilangnya deteksi propioseptif akan mengakibatkan

lansia berjalan denga tangan sedikit kedepan, badan membungkuk, rentang kaki

lebar dan irregular, langkah tidak sama, dan terjadi goyangan pada tubuh. Selain

itu apabila pasien terjatuh maka ia tidak akan bisa bangkit lagi, Romberg sign

juga sering ditemukan pada lansia yang memiliki gangguan propioseptif

(Tidieiksaar, 1997). Vestubulopati juga merupakan gangguan akibat proses

Page 8: Faktor Risiko Jatuh

degeneratif pada lansia, orang yang mengalami vestibulopati tidak dapat berlari

atau mengubah arah jalannya secara tiba-tiba. Penyebab vestibulopati yang sering

adalah akibat obat dan zat toksik serta penuaan. Gangguan pada pengelihatan

merupakan salah satu akibat kerusakan sistem saraf, orang yang memiliki

gagguan pengelihatan tidak akan dapat berjalan dengan baik, mereka cenderung

melangkah pelan, tangan dengan kedepan dengan posisi fleksi dan mudah

tersandung atau terbentur benda di sekitarnya (Darowski, 2008).

Pada lansia terjadi penurunan kemampuan umum berjalan, baik kekuatan otot,

kecepatan berjalan, dan kelancaran gerakan. Postur lansia juga mengalami

perubahan badan akan sedikit membungkuk, posisi kaki melebar, dan langkah

memendek, selain itu fungsi koordinasi juga menurun sehingga lansia akan jatuh

juka terdapat benda yang menghalangi jalan (Tidieiksaar, 1997). Penyebab pasti

gangguan berjalan pada lansia masih belum pasti namun proses penuaan yang

mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan sistem saraf adalah dugaan paling kuat

(Darowski, 2008).