faktor-faktor yang mempengaruhi anemia skripsi...faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada siswi...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA
PADA SISWI MTS CIWANDAN
CILEGON-BANTEN TAHUN 2015
SKRIPSI
Disusun oleh
Eka Pratiwi
109101000050
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
2016
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Agustus 2015
Eka pratiwi, NIM : 109101000050
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Siswi Mts Ciwandan Kota Cilegon
Tahun 2014
Xviii + 192 halaman, 32 tabel, 2 bagan, 2 lampiran
ABSTRAK
Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapatkan perhatian
khusus. Remaja putri termasuk golongan yang rawan menderita anemia karena
mengalami menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbungan.
Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada
siswi MTs Ciwandan Kota Cilegon. Rancangan penelitian cross sectional. Jumlah
sampel 123 orang dipilih secara Cluster Sampling dari seluruh siswi MTs Ciwandan.
Data asupan gizi diperoleh dengan food record, frekuensi makan diperoleh dengan
FFQ, Sosial ekonomi, pola menstruasi dan konsumsi Tablet Fe melalui kuesioner
terstruktur dan kadar hemoglobin dengan metode finger prick menggunakan HB
meter. Data dianalisis secara Univariat dan Bivariat dengan Chi Square. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan sosial ekonomi [pengetahuan (p=0,002), uang
jajan (p=0,008), pendidikan orangtua (p=0,006), dan pendapatan orang tua
(p=0,000)], pola menstruasi (p=0,000), Kebiasaan Makan [asupan gizi {asupan energi
(p=0,001), asupan protein (p=0,000), asupan Vitamin C (p=0,000), asupan Fe
ii
(p=0,011)} dan frekuensi makan {frekuensi makan dalam sehari (p=0,000), frekuensi
makan sumber heme (p=0,000), frekuensi makan sumber non heme (p=0,000),
frekuensi makan penghambat absorbs zat besi (p=0,000), frekuensi makan peningkat
absorbsi zat besi (p=0,000). Tidak terdapat hubungan pola konsumsi Tablet Besi
(p=0,339).
Daftar Bacaan: 172 (1983-2012)
iii
STATE ISLAMIC UNIBERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICAL AND HEALTH SCIENES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
Thesis, Agustus 2015
Eka Pratiwi, NIM: 109101000050
Factors Associated with Anemia Female Student in MTs Ciwandan Cilegon Town
2014
Xviii + 192 pages, 32 tables, 2 drawings, 2 attachment
ABSTRACT
Anemia is one oh nutritional problems, which needs to be highly concerned.
Adolescent girls are included to a group which is suspectible to anemia because of
their mothly menstruation and growth periods. Purpose of the study to determine
factors associated with anemia female student in MTs Ciwandan Cilegon Town. The
design of study was cross sectional. The amount of the sample was 123 people
selected by cluster sampling of the all female student MTs Ciwandan. Nutrient intake
data obtained with food record, frequency of eating data obtained with FFQ,
socioeconomic, menstrual patterns, iron tablet consumtion through structured
questionnaires and levels hemoglobin by finger prick method. Data were analyzed
with univariate and bivariate Chi square. The results showed relationship of
sosioeconomic [knowledge (p=0,002), allowance (p=0,008), parent education
(p=0,006), dan parent revenue (p=0,000)], menstrual pattern (p=0,000), eating habit
[nutrient intake {energy intake (p=0,001), protein intake (p=0,000), vitamin C intake
iv
(p=0,000), Fe intake (p=0,011)} dan frequency of eating {frequency of eating within
a day (p=0,000), frequency of eating heme sources (p=0,000), frequency of eating
non heme sources (p=0,000), frequency of eating resistor absorption iron(p=0,000),
frequency of eating enhancer absorption iron (p=0,000). There is no relationship of
iron tablet consumtion pattern (p=0,339).
Reading list : 172 (1983-2012)
v
vi
vii
BIODATA PENULIS
Nama : EKA PRATIWI
Tempat/Tanggal Lahir : Cilegon/27 Agustus 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Telp/HP : 085945497998
Alamat : jl.ir. Sutami ling. Cimerak Kota Cilegon Provinsi
Banten
Email : [email protected]
Pendidikan
Tahun 1997-2002 : SDN 1 CILEGON
Tahun 2002-2005 : SMPN 2 Cilegon
Tahun 2005-2008 : SMAN 2 Krakatau Steel Cilegon
Tahun 2008-2015 : Mahasiswi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT, berkat
hidayah, rahmat dan inayah-Nya yang tak terhingga yang telah melimpahkan kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang dilaksanakan di Kota Cilegon.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyrakat Peminatan Gizi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga Kepada pihak-pihak terkait yang telah banyak membimbing dan banyak
membantu terselesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan
kepada :
1. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS dan Bapak DR. Drs. M. Farid Hamzens, M.Si,
selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam
memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan dan saran yang sangat
bermanfaat.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Febriana,
SKM, M.Si, selaku penguji yang telah meluangkan waktunya dan telah
memberikan saran, masukan dan kritik dalam ujian skripsi ini.
3. Seluruh staf dosen FKIK, untuk ilmu dan juga bimbingan yang telah
diberikan selama mengikuti pendidikan di FKIK.
4. Bapak Kepala Sekolah MTs Ciwandan yang telah memberikan ijin untuk
dilaksanakannya penelitian ini dan seluruh staf pengajar yang telah membantu
penulis dalam melakukan penelitian.
ix
5. Keluargaku tercinta, Orangtuaku, Saudara-saudaraku, Anak-anaku tersayang
Hisyam dan Ibrahim, serta suamiku tercinta Yudan Suhara yang telah banyak
memberikan dukungan dan bantuan baik tenaga, moril dan material serta doa
yang tiada hentinya selama ini.
6. Teman-teman satu angkatan Gizi angkatan 2009 dan teman satu pembimbing
akademik yang telah saling mendukung, memotivasi dan member semangat.
7. Seluruh responden dalam penelitian ini yang berperan sebagai sumber analisis
dalam penyusunan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas semua kekurangan
dan keterbatasan dalam penyusunan laporan ini. Kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini akan sangat
bermanfaat bagi peminatan Gizi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Ciputat, Januari 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………….. i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………………… v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….... .. xviii
DAFTAR BAGAN …………………………………………………………… xxii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………. 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………... 9
1.4 Tujuan Penelitian ………………………………………………………….. 10
1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………………… 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja ……………………………………………………………………. 13
2.1.1 Pengertian Remaja ……………………………………………… 13
2.2 Anemia
2.2.1 Pengertian Anemia ……………………………………………… 15
2.2.2 Tanda-tanda Anemia ……………………………………………. 15
2.2.3 Dampak Anemia ……………………………………………….. 17
xi
2.2.4 Penyebab Anemia ………………………………………………. 20
2.2.5 Jenis-jenis Anemia ……………………………………………… 21
2.2.6 Etiologi Anemia ………………………………………………… 24
2.2.7 Patofisiologi Anemia ……………………………………………. 25
2.3 Anemia Gizi Besi (AGB) …………………………………………………. 27
2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi …………………………………… 27
2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi …………………………….. 27
2.4 Hemoglobin (Hb) ………………………………………………………… 28
2.4.1 Pengertian Hemoglobin ……………………………………….. 28
2.4.2 Fungsi Hemoglobin …………………………………………… 22
2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin ………………………………... 29
2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin ……………………….. … 30
2.5 Zat Besi ………………………………………………………………….. 33
2.5.1 Pengertian Zat Besi ……………………………………………. 33
2.5.2 Zat Besi dalam Tubuh …………………………………………. 34
2.5.3 Fungsi Zat Besi ……………………………………………….. 35
2.5.4 Metabolisme Zat Besi ………………………………………….. 35
2.5.5 Kebutuhan Zat Besi ……………………………………………. 36
2.6 Fasilitator Absorpsi Zat Besi ……………………………………………… 40
2.7 Penghambat Absorbsi Zat Besi ……………………………………………. 40
xii
2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi ………………………………………… 41
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Remaja Putri 42
2.7.1 Sosial Ekonomi ………………………………………………... 43
2.7.1.1 Pengetahuan ………………………………………….. 43
2.7.1.2 Pendidikan …………………………………………… 44
2.7.1.3 Pekerjaan …………………………………………….. 46
2.7.1.4 Pendapatan …………………………………………… 46
2.7.1.5 Uang Jajan ……………………………………………. 48
2.7.2 Status Gizi ………………………………………………………. 49
2.7.3 Kehilangan Darah ………………..…………………………….. 50
2.7.3.1 Pola Menstruasi ………………………..……………. 50
2.7.3.2 Penyakit Infeksi ……………………………………… 52
2.7.4 Kebiasaan Makanan ………………………………………….. 53
2.7.4.1 Kebiasaan Makan pada Remaja ……………………… 54
2.7.4.2 Asupan Gizi ………………………………………….. 55
a) Zat Gizi ……………………………………………. 55
b) Vitamin C ………………………………………… 59
c) Energi …………………………………………….. 60
d) Protein ……………………………………………. 61
2.7.4.3 Frekuensi Makan ……………………………………. 62
xiii
2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Sehari ……………………. 63
2.7.4.3.2 Frekuensi Makan Sumber Heme …………… 64
2.7.4.3.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme ………. 65
2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe …… 66
2.7.4.3.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe … 66
2.8 Kerangka Teori ……………………………………………………………. 69
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ………. 70
3.1 Kerangka Konsep ………………………………………………………… 70
3.2 Definisi Operasional …………………………………………………….. 71
3.3 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………… 78
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 79
4.1 Rancangan Penelitian …………………………………………………… 80
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………………. 80
4.3 Populasi dan Sampel ……………………………………………………. 80
4.3.1 Populasi ………………………………………………………. 80
4.3.2 Sampel ………………………………………………………… 80
4.4 Pengumpulan Data ……………………………………………………… 82
4.5 Pengolahan dan Analisis Data ………………………………………….. 82
4.5.1 Instrumen Penelitian ………………………………………….. 82
4.5.2 Analisis Data ………………………………………………….. 84
xiv
4.5.2.1 Analisis Univariat ………………………………………….. 84
4.5.2.2 Analisis Bivariat ……………………………………………. 84
BAB V HASIL ………………………………………………………………. 86
5.1 Profil Madrasah Tsanawiyah Ciwandan …………………………………. 86
5.1.1 Motto, Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah Ciwandan………. 68
5.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data …………………………………………. 88
5.3 Karakteristik Responden ………………………………………………… 89
5.4 Analisis Univariat ………………………………………………………. 89
5.4.1 Anemia pada Siswi MTs Ciwandan …………………………………… 90
5.4.2 Sosial Ekonomi ………………………………………………………. 90
5.4.2.1 Pengetahuan ………………………………………………… 90
5.4.2.2 Uang Jajan ………………………………………………….. 91
5.4.2.3 Pendapatan Orangtua ……………………………………….. 92
5.4.2.4 Pendidikan Orangtua ……………………………………….. 92
5.4.3 Pola Menstruasi ………………………………………………………. 93
5.4.5 Kebiasaan Makan ……………………………………………………… 94
5.4.5.1 Asupan Zat Gizi …………………………………………………….. 94
5.4.5.1.1 Asupan Energi ……………………………………………………. 94
5.4.5.1.2 Asupan Protein …………………………………………………… 95
5.4.5.1.3 Asupan Vitamin C ………………………………………………… 95
xv
5.4.5.1.4 Asupan Fe ………………………………………………………… 96
5.4.5.2 Frekuensi Makan …………………………………………………….. 97
5.4.5.2.1 Frekuensi Makan Sehari-hari ……………………………………… 97
5.4.5.2.2 Frekuensi Makan Sumber Heme ………………………………….. 97
5.4.5.2.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme …………………………….. 98
5.4.5.2.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe ………………………… 99
5.4.5.2.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe …………….............. 100
5.5 Analisis Bivariat ………………………………………………………… 100
5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi Mts Ciwandan 101
5.5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………..................................... … 101
5.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………… 102
5.5.1.3 Hubungan antara Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan……………………………………………………… 103
5.5.1.4 Hubungan antara Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan……………………………………………………… 104
5.5.2 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ………………………………………………………………… 105
5.5.3 Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Anemia pada Siswi
xvi
MTs Ciwandan ………………………………………………………………. 106
5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………………..…. 106
5.5.3.1.1 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan………………………………………………………….. 106
5.5.3.1.2 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan …………………………………………………….…… 107
5.5.4.1.3 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………….… 108
5.5.4.1.4 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan …………………………………………………….… 109
5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………………..… 110
5.5.3.2.1 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan ………………………………………..…. 110
5.5.3.2.2 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan ……………………………………...…… 111
5.5.3.2.3 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan …………………………. 112
5.5.3.2.4 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe
xvii
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan ……………………….. 114
5.5.3.2.5 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan ………………………… 115
BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………….. 116
6.1 Keterbatasan Penelitian ………………………………………………… 116
6.2 Status Anemia Gizi Besi Siswi MTs Ciwandan ………………………… 117
6.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia Pada Siswi
Mts Ciwandan ……………………………………………………………..…. 123
6.3.1 Hubungan Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan…………………………………………………...……. 126
6.3.2 Hubungan Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan…………………………………………………..……… 132
6.3.3 Hubungan Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan…………………………………………………………. 136
6.3.4 Hubungan Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan………………………………………………………… 141
6.4 Hubungan Pola Menstruasi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan……………………………………………………………….. 145
6.6 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………………. .. 149
xviii
6.6.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan……………………………………………………… 149
6.6.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan …………………………………………………..... 150
6.6.1.2 Hubungan Asupan Protein dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ………………………………………………………... 154
6.6.1.3 Hubungan Asupan Vitamin C dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ……………………………………………………….. 158
6.6.1.4 Hubungan Asupan Fe dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ………………………………………………………… 162
6.6.2 Hubungan Frekuensi Makan dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan …………………………………………………………….….. 166
6.6.2.1 Hubungan Frekuensi Makan dalam Sehari-hari dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan ……………………………………….…… 166
6.6.2.2 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan …………………………………………….. 170
6.6.2.3 Hubungan Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan…………………………………………… 173
6.6.2.4 Hubungan Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan…………………………………………… 176
xix
6.6.2.5 Hubungan Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan …………………………………………… 180
BAB VII PENUTUP ……………………………………………………..……. 185
7.1 Kesimpulan …………………………………………………………..……. 185
7.2 Saran …………………………………………………………………..…… 187
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xx
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Standar Penentu Anemia Gizi Besi…………………………………… 28
2.2 Kadar Hemoglobin Normal…………………………………………. 30
2.3 Kebutuhan Zat Besi………………………………………………….. 37
2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari)……………… 38
2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan ………………………… 56
3.1 Definisi Operasional ………………………………………………… 71
5.1 Distribusi Frekuensi Anemia Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 …………………………………………… 90
5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………… 90
5.3 Distribusi Frekuensi Uang Saku Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………… 91
5.4 Distribusi Frekuensi Pendapatan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 92
5.5 Distribusi Frekuensi Pendidikan Oraangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 92
5.6 Distribusi Frekuensi Pola Menstruasi Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014…………………………………………………….. 93
xxi
5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………… 94
5.8 Distribusi Frekuensi Asupan Protein Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………… 95
5.9 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………….. 95
5.10 Distribusi Frekuensi Asupan Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………………… 96
5.11 Distribusi Frekuensi Makan dalam Sehari-hari Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014…………………………………………….. 97
5.12 Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan Cilegon-
BantenTahun 2014……………………………………………………… 97
5.13 Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………………… 98
5.14 Distribusi Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………………… 99
5.15 Distribusi Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014……………………………………..…… 100
5.16 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 101
5.17 Hubungan antara Uang Saku Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 102
5.18 Hubungan antara Pendapatan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 103
xxii
5.19 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 104
5.20 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………………………… 105
5.21 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………………… 106
5.22 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………………………. 107
5.23 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………………………. 108
5.24 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………………………. 109
5.25 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada Sisiwi
MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014……………………………. 110
5.26 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014…………………….. 111
5.27 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014……………………. 112
5.28 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014……………… 113
5.29 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014………………. 114
xxiii
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
2.1 Kerangka Teori……………………………………………………. 69
3.1 Kerangka Konsep…………………………………………………… 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
`
1.1 Latar Belakang
Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan
hitung eritrosit (red cell count).Sintesis hemoglobin memerlukan ketersediaan
besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan
besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru
(Gallagher, 2008)
Anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan
fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada
saat kehamilan nantinya (Sediaoetama, 1992).Menurut Yip (1998) status zat besi
harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan
anemia pada saat kehamilan dapat dikurangi.
Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi
menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-
kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Remaja dalam
masyarakat dikenal dengan berbagai istilah yang menunjukkan kelompok umur
yang tidak termasuk kanak-kanak tetapi bukan pula dewasa (Yusuf, 2011).
2
Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak
yang membatasi konsumsi makan dan banyak pantangan terhadap
makanan.Selain itu adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu
faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama,
2003).Remaja putri juga memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi
untuk pertumbuhannya. Kecukupan gizi sangat diperlukan remaja sampai usia
lanjut.
Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita
anemia.Oleh karena itu, sasaran program penanggulangan anemia gizi telah
dikembangkan yaitu mencapai remaja putri SMP, SMA, dan sederajat, serta
wanita di luar sekolah sebagai upaya strategis dalam upaya memutus simpul
siklus masalah gizi.Walaupun begitu, prevalensi anemia di kalangan remaja putri
masih tergolong dalam kategori tinggi.Hal ini mengindikasikan anemia masih
menjadi masalah kesehatan di Indonesia (Poltekes Depkes, 2010).
Remaja putri memiliki risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia
dibandingkan dengan remaja putra.Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami
menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan sehingga
membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak.Selain itu, ketidakseimbangan
asupan zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja.Remaja putri biasanya
sangat memperhatikan bentuk tubuh, sehingga banyak yang membatasi konsumsi
makanan dan banyak pantangan terhadap makanan (National Anemia Action
Council, 2011).Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang
3
dibongkar.Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia (Agus,
2004).
Menurut WHO, Prevalensi anemia dikatakan sebagai masalah kesehatan
masyarakat dikatgorikan sebagai berikut: bukan masalah kesehatan masyarakat
jika <5%, masalah kesehan masyarakat tingkat ringan jika 5-19,9%, masalah
kesehatan tingkat sedang jika 20-39,9%, dan merupakan masalah kesehatan
tingkat berat jika ≥ 40% (Depkes, 2003). Anemia merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia.
Lebih dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada
di Negara-negara yang mengalami anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat
tingkat berat dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase
wanita tidak hamil yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007).
Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama Negara berkembang
(developing countries) dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Secara
keseluruhan, anemia terjadi pada 45% wanita di Negara berkembang dan 13% di
Negara maju (Fatmah dalam FKM UI, 2009).
Kasus anemia di Indonesia terdapat 19,7% perempuan, 13,1% laki-laki dan
9,8% anak yang mengalami anemia. Sebanyak 60,2% dari anemia tersebut adalah
anemia mikrositik hipokrom (sel yang kecil dengan jumlah hemoglobin yang
sedikit dalam sel), yang paling banyak disebabkan oleh anemia defisiensi besi
(Riskesdas 2007).Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010
yaitu sementara lebihdari 10 % anak usia sekolah di Indonesia mengalami anemia
(Riskesdas, 2010).
4
Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69%(337 orang) (Dinkes kota
Cilegon, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada
bulan Mei tahun 2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan
alat Hb meter Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri
kelas 8 adalah sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut
termasuk kedalam masalah kesehatan tingkat ringan.
Anemia defisiensi besi lebih cenderung berlangsung di negara berkembang,
dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau
kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara
berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju
hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta
orang (Arisman, 2010).
Di Indonesia terdapat empat masalah gizi remaja yang utama yaitu Kurang
Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKI), dan Kurang Vitamin A (KVA). Anemia gizi merupakan
masalah gizi yang paling utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan
zat besi.Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan
5
dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin,
Vitamin E (Almatsier, 2002).
Menurut USAID (2003) diketahui bahwa terjadinya anemia disebabkan oleh
beberapa faktor.Penyebab utama dapat dikategorikan dengan kategori rendah,
kekurangan, atau produksi sel darah merah yang abnormal; pemecahan sel darah
merah yang berlebihan; dan hilangnya sel darah merah secara
berlebihan.Penyebab yang berkaitan dengan kurang gizi, dihubungkan pada
asupan makanan, kualitas makanan, sanitasi dan perilaku kesehatan; kondisi
lingkungan sekitar; akses kepada pelayanan kesehatan; dan kemiskinan.Penyebab
yang penting juga disesuaikan dengan daerah.
Remaja yang lebih sering mengalami anemia adalah remaja putri, hal ini di
sebabkan remaja putri dalam usia reproduksi setiap harinya memerlukan zat gizi
tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja putra karena remaja putri
mengalami menstruasi setiap bulannya (Arisman, 2004). Selain itu, telah
diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam
menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakankonsekuensi dari
peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat
besi.Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia.
Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi
besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis
dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan
schistosomiasis menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan
6
darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (Arumsari, 2008). Hal ini diperparah
dengan pola konsumsi remaja putri yang terkadang melakukan diet pengurusan
badan sehingga semakin sedikit zat besi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Latar Belakang dan tradisi kebiasaan makan berhubungan dengan lingkungan
hidup, tingkat kehidupan serta pendidikan seseorang. Tidak sedikit remaja putri
yang melakukan suatu upaya menghilangkan kebiasaan makan pagi atau siangnya
untuk mengurangi berat badannya, sedangkan makan yang bernilai gizi seperti
telur, susu dan sayuran sedapat mungkin tidak dimakan. Akibatnya mereka
mengalami kekurangan beberapa zat gizi makanan terutama zat kapur dan besi.
(Suhardjo, 1989).
Kejadian anemia tidak terlepas dari masalah kesehatan lainnya, bahkan
dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kejadian
anemia pada anak-anak dapat berdampak pada menurunnya kemampuan dan
konsentrasi belajar, menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasaan otak, meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya
tahan tubuh menurun. Dampak anemia pada wanita dapat menurunkan daya tahan
tubuh sehingga mudah sakit dan menurunkan produktivitas kerja. Kadar
hemoglobin dengan produktivitas kerja menunjukkan adanya korelasi yang
positif, hal ini berarti semakin rendah kadar Hb, maka produktivitas kerja subjek
semakin menurun (Widyastuti, 2008)
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut
Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya
7
kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan
kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja
pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan
dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan
pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari
logam-logam berat.
Dari data tersebut menggambarkan bahwa masalah anemia khususnya pada
remaja putri masih cukup tinggi.Anemia juga sampai saat ini masih merupakan
salah satu faktor yang melatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di
Indonesia, maka upaya pencegahannya adalah mengetahui sejak dini apakah
seseorang menderita anemia dan segera mengupayakan langkah-langkah
penanggulangan anemia.
Tingginya prevalensi dan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi
anemia pada remaja putri melatarbelakangi penulis untuk mengetahui gambaran
prevalensi dan hubungan sosial-ekonimi,pola menstruasi serta kebiasaan makan
terhadap kejadian anemia pada remaja putri di MTs Ciwandan tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian anemia yang banyak diderita oleh banyak wanita pada umumnya
dan remaja putri pada remaja putri pada khususnya adalah diakibatkan oleh faktor
tidak langsung yaitusosial ekonomi dan faktor langsung seperti pola menstruasi
8
(frekuensi haid dan lama haid) dan kebiasaan makan (asupan zat gizi, frekuensi
makan, kebiasaan minum teh).Remaja putri yang menderita anemia, akan mudah
mengalami infeksi, kebugaran/kesegaran tubuh berkurang dan semangat belajar
serta prestasi menurun, sehingga ketika akan menjadi calon seorang ibu, mereka
berada dalam keadaan resiko tinggi. Pertumbuhan yang pesat pada remaja
memiliki zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi, akan mengalami kondisi
sakit yang berulang dengan frekuensi sering.
Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69% (337 orang).Berdasarkan
Studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada bulan Mei tahun
2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan alat Hb meter
Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri kelas 8 adalah
sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut termasuk kedalam
masalah kesehatan tingkat ringan.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran prevalensi dan
hubungan sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan dengan kejadian
anemia pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015.
9
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan tahun
2015?
2. Bagaimana gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan, pendapatan
ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran pola menstruasi pada siswi di MTs Ciwandan tahun
2015?
4. Bagaimana gambaran Kebiasaan Makan (asupan gizi dan fekuensi
makan)siswidi MTsCiwandan tahun 2015?
5. Bagaimana hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan
ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs
Ciwandan Tahun 2015?
6. Bagaimana hubungan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada siswi di
MTs Ciwandan tahun 2015?
7. Bagaimana hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi
makan) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015?
10
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dengan anemia pada siswi
diMTs Ciwandan tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan,
pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) kejadian anemia pada siswidi
MTs Ciwandan tahun 2015.
b. Untuk mengetahui gambaran pola menstruasi padasiswidi MTs
Ciwandan tahun 2015.
c. Untuk mengetahui gambaran Kebiasaan makan (asupan makan dan
frekuensi makan) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015.
d. Untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan,
pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan anemia pada siswidi
MTs Ciwandan Tahun 2015.
e. Untuk mengetahui hubungan antara pola menstruasi dengan anemia
pada siswi di MTs Ciwandan Tahun 2015.
f. Untuk mengetahui hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan
frekuensi makan)dengan anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun
2015.
11
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi MTs Ciwandan
Untuk dijadikan bahan informasi tentang pentingnya mengkonsumsi
asupan zat gzi untuk memenuhi zat besi dalam tubuh serta efek kejadian
anemia terhadap prestasi belajar di sekolah sebagai bahan untuk
mengembangkan kegiatan kesehatan sekolah dan perbaikan kesehatan.
2. Bagi Puskesmas Citangkil
Untuk dijadikan bahan informasi dan dasar untuk mengembangkan
kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan di sekolah-
sekolah khususnya Madrasah Tsanawiyah Ciwandan.
3. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis tentang manfaat asupan zat gizi yang dapat mencegah
dari defisiensi zat besi serta sebagai sarana pembelajaran melakukan
penelitian ilmiah sekaligus mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat di
bangku perkuliahan dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti
selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penilitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan
menggunakan metode cross sectional study, karena selain mendeskriskipkan
juga menganalisa hubungan antara variable independen sosial ekonomi
(pengetahuan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi,
12
dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dengan variable
dependen anemia pada remaja putri.
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
berupa umur, kadar Hb, sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu,
pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi, dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi
dan frekuensi makan) dan data sekunder berupa jumlah siswi putrid di MTs
Ciwandan dan Profil MTS Ciwandan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada siswi di MTs
Ciwandan tahun 2015
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
2.1.1 Pengertian Remaja
Menurut Kartono (1990) masa remaja adalah masa penghubung atau
masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.Istilah
remaja atau adolescence berasal dari bahasa latinadolescere yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.Istilah adolescence (dalam bahasa
Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999).
Batasan usia remaja diungkapkan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh
Monks, dkk (1999) yang membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga
tahap, yaitu :
1) Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada rentang usia ini remaja mengalami pertumbuhan jasmani
yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat
intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada
saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum
bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya (Kartono, 1990).
2) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan, namun
sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan
kehidupan badaniah sendiri. Pada rentang usia ini mulai timbul
14
kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Pada masa ini
remaja mulai menemukan diri sendiri atau jati dirinya (Kartono,
1990).
3) Masa remaja akhir (18-21 tahun)
Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil.
Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola
hidup yang digariskan sendiri, dengan itikad baik dan
keberanian.Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu
berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditentukannya
(Kartono, 1990).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (groe spurt) dan merupakan
waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya
periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan.
Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi badan dan
50% dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan
dengan peningkatan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi
dan pengeluaran energi. Masa tulang meningkat sebesar 45% dan
remodeling tulang terjadi: jaringan lunak, organ-organ dan bahkan massa sel
darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan
seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena
15
adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan
(DiMeglio, 2000)
2.2 Anemia
2.2.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah tingkat kekurangan zat besi yang paling berat dan
terjadi bila konsumsi hemogobin jauh dibawah ambang batas yang
ditentukan. Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dalam
darahnya kurang dari 12gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah
kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11gr% pada trimester I dan
trimester II (Muryanti, 2006)
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.
Gejala yaitu lemah, lesu, letih, mudah mengantuk, napas pendek, nafsu
makan berkurang, bibir tampak pucat, susah buang air besar, denyut jantung
meningkat dan kadang-kadang pusing.Pengertian lain anemia adalah
pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume sel
pada sel darah merah (hematokrit) per 100ml darah (Adriaansz,2008)
2.2.2 Tanda-tanda anemia
Menurut Kurniawan, dkk (2002), tanda-tanda Anemia meliputi:
a) Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L)
b) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
16
c) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan
telapak tangan menjadi pucat.
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi
menjadi tiga golongan besar yaitu sebagai berikut:
1) Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau
Anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar
hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang
terkena adalah:
a) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi,
takikardi, sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris,
dan gagal jantung.
b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging,
mataberkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu,
serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurun, serta rambut tipis dan halus.
2) Gejala Khas Masing-masing anemia
17
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia
adalah sebagai berikut:
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-
tanda infeksi.
3) Gejala Akibat Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia.Gejala
ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia
tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti
pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami.
2.2.3 Dampak Anemia
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks.
Menurut Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada
menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya
kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya
produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada
keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya
18
persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak
negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya
dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas
serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.
Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.Respon
kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan
sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis
DNA.Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim
reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat
berfungsi.Disamping itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak
dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim
lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase
juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier, 2001).
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat
kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik).Dilihat
dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah.
Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan
(metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot
kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini
diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan
dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi.
Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila
bekerja karena cepat kehabisan energi (Soekirman, 2000).
19
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita
anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya
produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah,
juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana
besi sebagai kofaktor enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energi
tersebut (Almatsier,2001)
Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada
penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif
terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi
besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan
kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar.
Menurut Lozzoff dan Youdim (1988) dalam Almatsier (2001), menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi
otak.Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama
terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf).Akibatnya,
kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan
hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan
belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid
dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Lozzoff &
Youdim,1988 dalam Almatsier,2001)
20
2.2.4 Penyebab Anemia
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992),
anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab
langsung dan faktor penyebab tidak langsung.Faktor penyebab langsung
meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah,
kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan
jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh
akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini
dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat
pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan.Di
dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan
bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah,
dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (DepKes.RI, 1998 dalam Hulu, 2004).
Menurut Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan
ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia
dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan
besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang
21
mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan
biologik yang rendah.
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor
penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek pemberian makanan yang
kurang baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik,
kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan
kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi,serta keadaan
sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan
dan Pertanian,1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan,
tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.
2.2.5 Jenis-jenis Anemia
Menurut Herawati (2009), Pembagian jenis-jenis anemia berdasarkan
faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
1) Anemia karena defisiensi besi
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan
besi tubuh berkurang.Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin
menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang
(Wirawan, 1995). Menurut Walmsley et al. secara berurutan perubahan
laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan
besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai
meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width
22
(RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6)
penurunan hemoglobin (Walmsley, 1999).
Diatasi dengan pemberian suplemen dan mengkonsumsi makanan yang
kaya zat besi, contohnya: daging sapi atau kambing, buncis, sereal yang
diperkaya besi dan kacang-kacangan.
2) Anemia karena defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat
Kekurangan kedua vitamin ini menyebabkan sumsum tulang
memproduksi sel darah merah yang berukuran sangat besar.Bagaimanapun
ukuran sel bukan tolak ukur pada kemampuannya dalam membawa lebih
banyak oksigen.Anemia jenis ini dapat diatasi dengan pemberian injeksi
vitamin B12. Sedangkan kekurangan folat bias diatasi dengan pemberian
suplemen folat. Sumber makanan yang mengandung vitamin B12 dan folat
adalah daging dan produk olahan susu.
3) Anemia karena penyakit kronik
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan
sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau
penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai
penyakit hati, ginjal dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di
makrofag. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis
dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama: (1) ketahanan hidup eritrosit
yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, (2) adanya respon
23
sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun,
gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi (Lee, 1993).Tidak
ada pengobatan spesifik untuk anemia jenis ini. Dokter akan berusaha
mengatasi penyakit yang mendasarinya. Jika kondisinya sangat parah
diperlukan transfuse darah
4) Anemia Aplastik
Organ penting dalam pembentukan sel darah merah adalah sumsum
tulang.Fungsinya memproduksi semua jenis sel darah, mulai sel darah
merah, sel darah putih dan trombosit (keeping darah).Seandainya organ
tersebut gagal dalam menjalankan fungsinya, maka mengakibatkan anemia
aplastik.Angka kematian disebabkan anemia aplastik sangat tinggi.Biasanya
kematian disebabkan infeksi dan pendarahan. Pada tipe berat ini penderita
bias sembuh jika dilakukan transplantasi sumsum tulang dan harus
menggunakan obat-obatan penekan sistem kekebalan (immunosupressan)
seumur hidup. Pada jenis yang tidak parah, kombinasi immunosupressan
(steroid) dan siklosporin. Pada anemia aplastik, transfusi darah memang
membantu, namun sifatnya simptomatik artinya hanya mengatasi gejala
saja, akan tetapi anemia tetap berulang.
5) Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya
penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah
mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam
24
sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya kemudian berusaha
untuk merusaknya.Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah
sebelum waktunya (hemolisis) sumsum tulang berusaha menggantinya
dengan mempercepat pembentukan sel darah yang baru, sampai 10 kali
kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi
pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik. Ada juga obat-
obatan yang merangsang terjadinya anemia ini, seperti obat
tuberculosisyaitu rifampisin (antibiotic golongan koinolin) yang
mempunyai antibody menmpel di sel darah merah meluruh (lisis)
6) Anemia bulan sabit (sicle cell anemia)
Anemia tipe ini merupakan anemia yang diturunkan
(herediter).Permasalahannya terdapat pada sel darah merah.Pada kondisi
normal bentuk sel darah merah fleksibel dan bulat, sedangkan pada
penderita sicle cell anemia sel darah terbentuk sickle (sabit). Bentuk yang
ireguler ini akan mati premature, mengakibatkan kondisi kekurangan sel
darah merah yang kronik. Kasus ini terutama terjadi pada ras Afrika dan
Arab.
2.2.6 Etiologi Anemia
1) Tahap pertama, meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai
berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai
konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan
adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi yang marjinal
25
untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang
berat.
2) Tahap kedua, ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan
kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan
ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin
eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum.
3) Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena
defisiensi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl
(vijayaraghavan, 2004).
2.2.7 Patofisiologi Anemia
Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok
(Wintrobe at all, 1999) yaitu:
1) Anemia karena kehilangan darah
Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu
banyaknya sesl-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat
dari kecelakaan dimana perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya,
yang disebut perdarahan ekternal.Perdarahan dapat pula disebabkan
karena racun, obat-obatan atau racun binatang yang menyebabkan
penekanan terhadap pembuatan sel-sel darah merah.Selain itu ada pula
perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tetapi terus
menerus.Perdarahan ini disebabkan oleh kanker pada saluran
pencernaan, peptic ulser, wasir yang dapat menyebabkan anemia.
26
2) Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah
Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena
bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti malaria
atau cacing tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik.Bila
sel-sel darah merah rusak dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak
hilang tetapi dapat digunakan kembali untuk membentuk sel-sel darah
merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis ini kurang
bermaanfaat.Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat digunakan
lagi oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk
pengobatan anemia hemolitik ini.
3) Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah
Sumsum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah merah
yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang
hilang, sehingga jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu
cukup banyak di dalam darah, dan untuk mempertahakannya diperlukan
cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zar gizi dalam jumlah yang
cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah merah baru.
Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah, dapat
timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat,
asam pantotenat, vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang
kekurangannya biasa disebut “anemia gizi.” Selain itu juga kekurangan
eritrosit, infiltrasi sum-sum tulang, kelainan endokrin dan penyakit
ginjal kronis dan sirosis hati.
27
2.3 Anemia Gizi Besi
2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi
Anemia gizi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang (Bakta, 2006). Anemia gizi besi merupakan tahap defisiensi besi
yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi
besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin
atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).
2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi
Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan
telah digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya
tujuan dari berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan
prevalensi kurang besi.Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada
sel darah merah.Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml
darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk.,
2002).
28
Tabel 2.1Standar Penentu Anemia Gizi Besi
Kelompok Umur Hb dalam darah (g/dl)
6bulan- 5tahun
6-18 tahun
Wanita dewasa
Wanita hamil
Laki-laki dewasa
<11
<12
<12
<11
<13
Sumber: Sukirman (1999/2000) dalam (Yayuk Farida dkk,2004: 22)
2.4 Hemoglobin
2.4.1 Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah.Dengan melalui fungsi ini maka
oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Pearce, 2009).
Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang
dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka
protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah
karena Fe ini.Eryt Hb berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxy
hemoglobin dan warnanya merah tua.Darah arteri mengandung oksigen dan
darah vena mengandung karbondioksida (Depkes RI dalam Widayanti,
2008).
29
Menurut William, Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk
bulat yang terdiri dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian
heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida.Heme adalah suatu
derivat porfirin yang mengandung besi.Polipeptida itu secara kolektif
disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin (Shinta, 2005).
2.4.2 Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk
sel-sel otot.Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi
yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi
yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari
saluran pencernaan (Soekirman, 2000).
Hemoglobin merupakan komponen yang amat penting dalam
mempertahankan keutuhan sistem sirkulasi tubuh.Fungsi utamanya adalah
dalam mengatur pertukaran O2 dan CO2 dalam jaringan tubuh yaitu
mengambil O2 dari paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh untuk
digunakan sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh
hasil metabolisme ke paru untuk dibuang.Hemoglobin juga turut berfungsi
dalam mempertahankan bentuk normal sel darah merah (Hoffbrand, 2006).
30
2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb)
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan
jenis kelamin (Depkes RI, 1996). Anemia menurut World Health
Organization (WHO) yang dikutip Stuart Gillespie (1996) diartikan sebagai
suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan
normal untuk kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan
penetapan kadar normal hemoglobin dalam berbagai kelompok seperti di
bawah ini:
Tabel 2.2
Kadar Hemoglobin Normal
Usia Hemaglobin (g/dl)
Anak 6 bulan-5 tahun
Anak 5 tahun-18 tahun
Wanita dewasa
11
12
12-14
Sumber: Arisman, 2004
2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan bermacam-macam
cara. Cara yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara
31
fotoelektrik dan kalorimetrik visual dan yang banyak digunakan di lapangan
penelitian ialah hemoglobinometer digital (WHO, 2001 dalam Raptauli
2012).
Metode pengukuran kadar hemoglobin yang paling sering digunakan
di laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup
teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in
Hematology (ICSH) adalah cara sian-methemoglobin. Pada metode ini,
hemoglobin dioksidasi olehkalium ferrosianidamenjadi methemoglobinyang
kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sian-
methemoglobin yang berwarna merah.Intensitas warna dibaca dengan
fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan
alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Penentuan Hb dengan cara ini
memerlukan spektrofotometer yang harga dan biaya pemeliharannya mahal,
maka cara ini belum dapat dipakai secaraluas di Indonesia. Mengingat
bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada
alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb di
laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk survei
lapangan (Supariasa, dkk., 2002).
Cara fotoelektrik atau sianmethemoglobin dilakukan dengan prinsip
untuk mengubah hemoglobin darah menjadi sianmethemoglobin dalam
larutan yang berisi kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang
gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara
ini mengubah hemoglobin, oksihemoglobin, methemoglobin dan
32
karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin
ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standard
sianmethemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus
untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar
hemoglobin dengan teliti karena standar sianmethemoglobinyang
ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai kira-
kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel
darah dapat mengganggu pembacaan dalam fotokalorimeter dan
menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari
sebenarnya contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia (Wijayanti,
2005).
Cara pengukuran hemoglobin yang berikutnya adalah cara
kalorimetrik visual atau sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi
asam hematin dengan menggunakan larutan HCl, kemudian warna yang
terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat itu. Di
Indonesia cara sahli masih banyak digunakan di laboratorium-laboratorium
kecil yang tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi, cara ini tidak begitu
dianjurkan karena bukanlah cara yang teliti dan hanya berlandaskan
pengukuran secara visual dan kesalahan cara ini adalah kira-kira 10%
(Wijayanti, 2005).
Hemoglobinometer digital merupakan metode kuantitatif yang
terpercaya dalam mengukur konsentrasi hemoglobin di lapangan penelitian
dengan menggunakan prinsip tindak balas darah dengan bahan kimia pada
33
strip yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah
ferrosianida. Reaksi tindak balas akan menghasilkan arus elektrik dan
jumlah elektrik yang dihasilkan adalah bertindak balas langsung dengan
konsentrasi haemoglobin. Hemoglobinometer digital merupakan alat yang
mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena teknik untuk
pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar hemoglobin
tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi dan
presisi yang tinggi berbanding metode laboratorium yang standar.Alat ini
juga stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang
lama (Hamill, 2010)
2.5 Zat Besi
2.5.1 Pengertian Zat Besi
Zat besi merupakan microelemen yang esensial bagi tubuh.Zat ini
terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu dalam
sintesa hemoglobin (Hb) (Achmad Djaeni, 2000).
Zat besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, ketika tubuh
kekurangan zat besi (Fe), produksi hemoglobin akan menurun. Penurunan
hemoglobin sebetulnya akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe) dalam tubuh
sudah benar-benar habis. Kurangnya zat besi (Fe) dalam tubuh pada ibu
hamil atau orang dewasa disebabkan karena perdarahan menahun, atau
berulang-ulang yang bisa dari semua bagian tubuh.Faktor resiko defisiensi
zat besi (Fe) pada wanita karena cadangan besi dalam tubuh lebih sedikit
34
sedangkan kebutuhannya lebih tinggi antara 1-2 mg zat besi secara normal
(Muryanti, 2006).
2.5.2 Zat besi dalam tubuh
Salah satu mikronutrien essensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi
yang merupakan mineral mikro paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak
3-5 gram di dalam tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan, namun
banyak penduduk di dunia termasuk Indonesia yang mengalami; kekurangan
besi (Almatsier,2002).
Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 gr
tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam
tubuh terdapat dalam haemoglobin sebanyak 1,5-3,0 gr dan sisa lainnya
terdapat di dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan
protein yang disebut “transferin” yaitu sebanyak 3-4 gr. Sedangkan dalam
jaringan berada dalam suatu status esensial dan bukan esensial. Disebut
esensial karena tidak dapat dipakai untuk pembentukan Hb maupun keperluan
lainnya (Soeparman, 1990).
Sedangkan menurut Guyton dan Hall (1997) Jumlah total besi dalam
tubuh rata-rata 4-5 gram, lebih kurang 65 persennya dijumpai dalam bentuk
hemoglobin. Sekitar 4 persennya dalam bentuk mioglobin, 1 persen dalam
bentuk macam-macam senyawa heme yang meningkatkan oksidasi
intraseluler, 0,1 persen bergabung dengan protein transferin dalam plasma
35
darah dan 15-30 persen terutama disimpan dalam sistem retikuloendotelial
dan sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin.
2.5.3 Fungsi zat besi
Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini
terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam
sintesa hemoglobin (Hb) (Moehji, 1995).
Seorang ibu yang dalam masa kehamilannya telah menderita kekurangan zat
besi tidak dapat memberi cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang
cukup untuk beberapa bulan pertama. Meskipun bayi itu mendapat air susu dari
ibunya, tetapi susu bukanlah bahan makanan yang banyak mengandung zat besi
karena itu diperlukan zat besi untuk mencegah anak menderita anemia (Arifin,
2000).
2.5.4 Metabolisme zat besi
Besi yang ada pada bahan makanan adalah besi elemen.Hanya Fe++
ini yang diabsorbsi usus halus. Untuk mengatur masuknya besi dalam tubuh
maka tubuh memiliki suatu cara yang tepat guna. Besi hanya dapat masuk
ke dalam mukosa apabila ia dapat bersenyawa dengan apoferritin. Jumlah
apoferritin yang ada dalam mukosa usus tergantung pada kadar besi tubuh.
Bila besi dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang ada dalam
mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin. Dengan demikian tidak ada
lagi apoferitin yang bebas sehingga tidak ada besi yang dapat masuk ke
36
dalam mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke
dalam darah bila ia berikatan dengan β-globulin yang ada dalam plasma.
Gabungan Fe dengan β-globulin disebut ferritin.
Apabila semua β-globulin dalam plasma sudah terikat Fe” (menjadi
feritin) maka Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke
dalam plasma dan turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas
dan diganti dengan sel baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin
dapat digunakan dalam eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sumsum
tulang hanya memiliki reseptor untuk ferritin.
Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma sumsum
tulang sebagai ferritin.Besi yang terikat pada β-globulin selain berasal dari
mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk
ke dalam jaringan limpa untuk kemudian terikat pada β-globulin (menjadi
transferin) dan kemudian ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk
digunakan eritoblas membentuk hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai
pengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh, oleh karena itu apabila
terjadi kekurangan hemoglobin mengakibatkan anemi sehingga aktivitas
tubuh terutama daya berpikir akan menurun (Kuntarti, 2009).
2.5.5 Kebutuhan zat besi
Kebutuhan zat besi yang diserap berbeda-beda antara individu, umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologis.secara umum,kebutuhan zat besi yang diserap
disajikan pada tabel 2.3.
37
Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Besi
Umur / Jenis Kelamin Mg
0-6 bulan
7-11 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
Laki-laki
10-12 tahun
13-15
16-18
19->80
Wanita
10-12 tahun
13-15
16-18
19-29
30-49
50->80
-
7
8
9
10
13
19
15
13
20
26
26
26
26
12
Sumber: AKG (2013)
38
Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang
dewasa apabila dihitung bedasarkan kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah
1 tahun dan anak yang berumur 6-16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama
banyaknya dengan laki-laki dewasa. Anak-anak sejak bayi sampai remaja
memerlukan zat besi untuk pertumbuhan dan meningkatkan massa sela darah
serta mengganti sel darah yang hilang (Soemantri, 2005).
Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang
hilang melalui tinja, air kencing dan kulit.Jumlah zat besi yang hilang sangat
bervariasi untuk setiap orang. Pada orang yang mempunyai simpanan zat besi
tinggi,maka zat besi yang dikelurkan dari tubuh juga tinggi, sebaliknya orang-
orang yang anemia jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh adalah rendah. Pada
bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan maka kebutuhan zat
besi diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tubuh (DeMaeyer, 1995). Kecukupan
zat besi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari ditunjukkan pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari)
Golongan Umur Berat
Badan
(kg)
Tinggi
Badan
(cm)
Konsumsi Zat
Besi (mg)
0-6 bulan
7-12 bulan
1-3 tahun
5,5
8,5
12
60
71
90
3
5
8
39
4-6 tahun
7-9 tahun
Pria
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
20-45 tahun
46-59 tahun
≥60 tahun
Wanita
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
20-45 tahun
46-59 tahun
≥60 tahun
Hamil/menyusui
0-6 bulan
7-12 bulan
18
24
30
45
56
62
62
62
35
46
50
54
54
54
110
120
135
150
160
165
165
165
140
153
154
156
156
154
9
10
14
17
13
13
13
14
19
25
26
14
14
+20
+2
+2
Sumber: Supriasa dkk (2000)
40
2.6 Fasilitator Absorbsi Zat Besi
Fasilitator absorpsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat
(vitamin C) yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme secara
signifikan. Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan
nabati yang meningkatkan absorpsi besi. Faktor-faktor yang ada di dalam daging
juga memudahkan absorpsi besi non heme (vijayaraghavan, 2004).
2.7 Penghambat Absorbsi Zat Besi
Penghambat zat besi meliputi kalsium fosfat, bekatul, asam fitat, dan
polifenol. Asam fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan
merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan
hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak
menghambat absorpsi besi, efek penghambat pada bekatul semata-mata
disebabkan oleh keberadaan asam fitat. Perendaman, fermentasi, dan
perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk pangan akan memperbaiki
absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk menguraikan asam fitat.
Polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk polimerisasi) terdapat
dalam teh, kopi, dan anggur merah. Tanin yang terdapat dalam teh hitam
merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor di atas. Kalsium
yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju juga dapat
menghambat absorpsi besi. Namun demikian, komponen lainnya, terutama
fasilitator absorpsi besi dan khususnya santapan yang kompleks, dapat
41
mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium (vijayaraghavan,
2004).
2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi
Menurut Cameron and Van Staveren dalam Herviani (2004) FFQ (Food
Frequency Questionnaire) merupakan metode/cara food frekuensi biasanya
kualitatif mengggambarkan frekuensi konsumsi per hari, minggu atau bulan.
Metode food frekuensi yang telah dimodifikasi dengan memperkirakan atau
astimasi URT dalam gram dan cara memasak dapat dikatakan dengan metode
yang kuantitatif (FFQ semi kuantitatif).
Pada FFQ semi kuantitatif skor zat gizi yang terdapat disetiap subjek
dihitung dengan cara mengalikan frekuensi relatif setiap jenis makanan yang
dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi yang tepat (Van Steveren at al,
19986 dalam Gibson, 2000)
Kelebihan metode food frekuensi antara lain: relatif murah, sederhana,
dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak memerlukan latihan khusus dan
dapat membantu menjelaskan hubungan penyakit dan kebiasaan makan.
Kekurangan metode food frekuensi antara lain: tidak dapat menghitung intake zat
gizi, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, membuat pewawancara
bosan dan responden harus jujur serta memiliki motivasi tinggi (Supriasa, 2002).
42
2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada Remaja Putri
Menurut Junadi (1995), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya
anemia, yaitu :
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit.
Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena kurangnya asupan
makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas
rendah, serta makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorpsi
besi. Infeksi penyakit yang umumnya memperbesar resiko anemia adalah
cacing dan malaria.
2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita,
aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu
dan anak wanita tidak menjadi prioritas.
3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan,
rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang
sulit. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita
adalah :
a. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita
tinggi, dibanding makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak
terpenuhi.
b. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan
mempertahankan berat badannya.
c. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap bulan yag
membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki.
43
2.7.1 Sosial Ekonomi
2.7.1.1 Pengetahuan
Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa hubungan konsep pengetahuan,
sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat
dipisahkan. Adanya pengetahuan baru akan menimbulkan respon batin dalam
bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya, kemudian akan
mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan
diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Menurut Engel et al. (1994) faktor
internal yang menjadi ciri perbedaan individu yaitu pengetahuan dan sikap
yang akan mempengaruhi perilaku.
Notoatmodjo (1997) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan resultan
dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut
sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian
pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara dengan
alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalam
tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur
pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat
dikembangkan.Tingkat pengetahuan gizi seseorang dalam pemilihan
makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang
bersangkutan (Irawati, 1992).
44
Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah
menyerap pengetahuan sebagai bekal di masa datang (Saraswati, 1997).
Penelitian Dadin (2006) dalam Yasmin (2012) menguatkan teori diatas,
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi
rendah memiliki resiko 2,86 kali menderita anemia dibandingkan dengan
remaja putri yang pengetahuan gizinya baik.
2.7.1.2 Pendidikan
Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau
mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana
menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan
kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan dapat mempengaruhi
status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang
dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi
pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan
seseorang yang berpendidikan lebih rendah (Permaesih, 2005).
Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan pengetahuan, sikap,
dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga. Peranan ibu
biasanya paling banyak berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan
anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur
menu,berbelanja, memasak, menyiapkan makanan, dan mendistribusikan
45
makanan. Pendidikan dan pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap
kualitas hidangan yang disajikan, pengetahuan gizi berkembang secara
bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan
makanan.Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka makin positif sikap ibu
terhadap kualitas gizi makanan, sehingga makin baik asupan gizi keluarga
(Suhardjo, 1989).
Menurut Sariningrum (1990), ada dua kemungkinan hubungan tingkat
pendidikan orangtua dengan makanan dalam keluarga, yaitu:
a. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung maupun
tidak langsungmenentukan kondisi ekonomi rumah tangga, yang pada
akhirnya sangat mempengaruhi konsumsi keluarga
b. Pendidikan istri, di samping merupakan modal utama dalam
menunjangperekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola
makan keluarga.
Achmad Djaeni (1996) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu
merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, juga berperan
dalam menyusun makanan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak.
Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan rendah dikhawatirkan akan lebih
sulit menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga tidak
dapat menambah pengetahuan dan tidak mampu menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan
semakin tinggi pula tingkat pendidikan kesehatannya, karena tingkat
46
pendidikan kesehatan merupakanbentuk intervensi terutama terhadap faktor
perilaku kesehatan.
Berdasarkan penelitian Yamin (2010) menunjukkan terdapat hubungan
yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan anemia pada remaja
putri dengan nilai OR = 1,945, artinya siswi dengan pendidikan ibu rendah
memiliki peluang 5,758 kali untuk menderita anemia dibandingkan dengan
pendidikan ibu tinggi.
2.7.1.3 Pekerjaan
Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu
juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam
dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi makanan dalam
keluarganya (Khumaidi, 1989). (Kunanto 1992 dalam Maulina 2001)
mengemukakan bahwa orangtua dengan mata pencaharian tetap, sekalipun
rendah jumlahnya tetapi setidaknya memberikan jaminan sosial keluarga yang
lebih aman jika dibandingkan dengan pekerjaan tidak tetap dengan
penghasilan tidak tetap.
2.7.1.4 Pendapatan
Menurut Soekirman (1993) pola konsumsi pangan secara makro
berhubungan dengan hukum ekonomi, semakin mengingat pendapatan
keluarga maka semakin beraneka ragam pola konsumsinya. Suhardjo (1989)
menyatakan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan
47
merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan.
Apabila penghasilan meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk yang bermutu
akan meningkat juga. Menurut Berg (1985) jumlah pengeluaran orangtua
yang mungkin diketahui secara pasti oleh anak dicerminkan melalui uang
saku yang diberikan oleh orangtuanya.
Keluarga yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makanan apabila anggota keluarganya kecil. Keluarga yang mempunyai
jumlah anggota keluarga besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu
dapat mencegah gangguan gizi karena dengan bertambahnya jumlah anggota
keluarga maka pangan untuk setiap anggota keluarga berkurang (Harper dkk,
1986).Selanjutnya Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga
mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja
pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.
Nilai absolut belanja pangan perkapita menurun sejalan dengan ukuran
ekonomi yang ada. Pendapatan per kapita menurun dengan meningkatnya
jumlah anggota keluarga.
Yayuk Farida, dkk (2004) yang menyatakan bahwa perubahan pendapatan
secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga.
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan
pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas
pangan yang dibeli, yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan
48
tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan
zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya kejadian anemia.
Sedangkan Gunatmaningsih (2007), berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan
kejadian anemia di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes
(p= 0,035). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat
pendapatan keluarga yang rendah memiliki risiko 1,707 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian anemia.
2.7.1.5 Uang Jajan
Uang saku adalah uang yang diberikan oleh orang tua dengan
perencanaan uang tersebut digunakan seperti untuk transportasi atau tabungan
anak. Sedangkan uang jajan adalah uang yang diberikan kepada anak untuk
membeli jajanan berupa makanan dan minuman selama berada di luar rumah.
Penting untuk memperhatikan jumlah uang saku anak-anak, karena sebagian
besar jajanan yang dijual bebasdi sekitar sekolah adalah makanan dan
minuman yang tidak layak untuk dikonsumsi. Jajanan tersebut biasanya
mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan anak nantinya
(Elly, 2009)
Berdasarkan penelitian Barokah (2010) dan Amrihati (2002), yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan
kejadian anemia, dengan nilai (p<0,05). Diketahui bahwa remaja putri dengan
49
uang jajan rendah memiliki resiko anemia 3 kali lebih besar dibanding dengan
remaja putri dengan uang jajan tinggi/ cukup (Barokah, 2010). Sedangkan
pada penelitian Amrihati (2002), diketahui bahwa remaja putri dengan uang
jajan rendah memiliki resiko anemia 6 kali lebih besar dibanding dengan
remaja putri dengan uang jajan tinggi/cukup.
2.7.2 Status Gizi
Status gizi merupakan cerminan kecukupan konsumsi zat gizi masa-masa
sebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil kumulasi
konsumsi makanan sebelumnya (Enoch, 1988). Salah satu pengukuran
antropometri untuk mengetahui keadaan gizi adalah dengan mengukur berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh
(IMT) yaitu hasil pembagian BB dalam kg dengan kuadrat TB dalam satuan
m2 (BB/TB2). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana
untuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan (Supariasa dkk, 2002).
Menurut Thompson (2007) dalam Arumsari (2008), status gizi
mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi Hemoglobin, artinya semakin
buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Berdasarkan
penelitian Permaesih (2005), ditemukan hubungan yang bermakna antara IMT
anemia, yang mana remaja putri dengan IMT tergolong kurus memiliki resiko
1,4 kali menderita anemia dibandingkan remaja putri dengan IMT normal.
50
2.7.3 Kehilangan Darah
2.7.3.1 Pola Menstruasi
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
pelepasan endometrium. Siklus haid adalah serangkaian periode dari
perubahan yang terjadi secara berulang pada uterus dan organ-organ yang
dihubungkan pada saat pubertas dan berakhir pada saat menopause. Panjang
siklus yang normal atau dianggap sebagai siklus haid yang klasik adalah 28
hari (Hamilton, 1995). Salah satu penyebab anemia gizi adalah kehilangan
darah secara kronis. Pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah
setiap bulan. Jika darah yang keluar selama haid sangat banyak maka akan
terjadi anemia defisiensi besi (Arisman, 2004). Usia pertama kali haid, siklus
haid serta lama hari haid berpengaruh terhadap banyaknya darah yang hilang
selama haid (Yunizaf, 2000).
Sedangkan menurut Pearce (1992), lama siklus haid rata-rata 28 hari,
14 hari persiapan untuk ovulasi dan 14 hari selanjutnya adalah ovulasi. Kira-
kira pada hari ke 21, endometrium disiapkan untuk kedatangan ovum yang
dibuahi. Bila ovum tidak dibuahi memasuki uterus maka pada hari ke-28
endometrium runtuh dan menstruasi pun terjadi, kemudian siklus berualang
pada bulan berikutnya.
Masalah gangguan haid (haid abnormal), dan perdarahan yang
menyerupai haid pada interval siklus haid normal menurut Hestiantoro (2008)
dikelompokkan menjadi :
51
a) Ritme (irama) haid, dimana normalnya adalah 25-31 hari, sedangkan
yang abnormal seperti :
Haid terlalu sering dengan interval < 21 hari, yang disebut
polimenorea.
Haid terlalu jarang dengan interval > 35 hari, yang disebut
oligomenore.
Tidak terjadi haid, yang disebut amenore.
Perdarahan tidak teratur, dimana interval datangnya haid tidak
tentu.
Perdarahan bercak (spotting ) yang terjadi prahaid, pertengahan
siklus dan pasca haid.
b) Banyaknya darah haid yang keluar, dimana normalnya ganti pembalut
2-5 kali/hari, abnormal jika :
Bila darah haid yang keluar terlalu banyak, disebut
hipermenorea dengan ganti pembalut > 6 kali perhari.
Bila darah haid yang keluar terlalu sedikit, disebut hipomeorea
dengan ganti pembalut < 2 kali perhari.
Perdarahan becak (spotting).
c) Lamanya darah haid yang keluar, dimana normalnya 2-5 hari,
abnormal jika:
Darah haid yang keluar > 6 hari, disebut menoragia.
Bila darah haid yang keluar < 2 hari, disebut brakimenorea.
52
Pedarahan bercak (spotting) prahaid, pertengahan siklus dan
pasca haid.
Berdasarkan penelitian (Prastika, 2011) yang mengatakan bahwaSiswi
dengan lama menstruasi dibawah rata-rata memiliki kadar hemoglobin yang
cenderung diatas rata-rata sedangkan siswi dengan lama menstruasi lebih dari
rata-rata memiliki kadar hemoglobin yang cenderung dibawah rata-rata,
sehingga dapat diperkirakan adanya hubungan lama menstruasi dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri. Keadaan ini dibuktikan dengan analisis data
didapatkan p sebesar (0,000) < 0,05, hubungan yang negatif antara lama
menstruasi dengan kadar hemoglobin artinya semakin lama menstruasi
seseorang remaja siswi maka akan semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
pelepasan (deskuamase) endometrium (Prawirohardjo Sarwono, 1994:103
dalam Amaliah, 2002). Penelitian ini menunjukkan bahwa presentase anemia
lebih tinggi (53,8%) pada remaja putri yang memiliki lama haid lebih dari 6
hari dengan yang lama haidnya normal (31,1%) dan menunjukkan hubungan
yang bermakna.
2.7.3.2. Penyakit Infeksi
Menurut Junadi (1995), penyebab langsung terjadinya anemia adalah
penyakit infeksi, yaitu cacingan, TBC, dan malaria. Menurut Husaini (1989),
anemia gizi dapat diperberat oleh investasi cacing tambang. Cacing tambang
yang menempel pada dinding usus dan menghisap darah. Darah penderita
53
sebagian akan hilang karena gigitan dan hisapan cacing tambang. Setiap hari 1
ekor cacing dapat memakan darah 0,03 ml sampai 0,15 ml, sehingga untuk
menyebabkan anemia diperkirakan harus ada 2000 ekor cacing. Disamping
cacing tambang, cacing gelang secara langsung maupun tidak langsung juga
dapat menimbulkan kekurangan zat besi, karena berkurangnya nafsu makan
dan gangguan penyerapan karena memendeknya permukaan villi usus.
Berdasarkan penelitian Lestari (1996), remaja putri dengan investasi
cacing memiliki resiko 4.47 menjadi anemia dibandingkan responden yang
tidak terinvestasi cacing. Pada tahun 2006, penelitian Wijiastuti pada remaja
putri di MTs Negeri Cipondoh-Tangerang mendapatkan hubungan yang
bermakna antara investasi cacing dengan kejadian anemia. Hal yang sama
juga didapatkan dari hasil penelitian oleh Kaur, et al di pedesaan Wardha,
India tahun 2006, remaja putri dengan investasi cacing memiliki resiko
menderita anemia 4,11 kali dibandingkan dengan remaja putri yang tidak
memiliki investasi cacing.
2.7.4 Kebiasaan Makanan
Kebiasaan makan adalah cara seseorang dalam memilih dan
memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis,
fisiologi, budaya dan sosial (Harper dkk, 1986). Sedangkan Suhardjo (1989)
menambahkan kebiasaan makan adalah suatu perilaku yang berhubungan
dengan makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi
makanan dalam keluarga, preferensi terhadap makanan dan cara memilih
54
makanan. Harper dkk (1986) menyatakan bahwa sehubungan dengan pangan
yang biasanya dipandang pantas untuk dimakan, banyak dijumpai pola
pantangan, tahayul dan larangan pada beragam kebudayaan dan daerah yang
berlainan.
2.7.4.1 Kebiasaan Makan Pada Remaja
Kebiasaan makan yang kurang pada remaja berawal pada kebiasaan
makan keluarga yang tidak baik yang sudah tertanam sejak kecil dan akan
terus terjadi pada usia remaja. Kondisi tersebut mengakibatkan remaja makan
seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan zat-zat gizi dan dampak tidak
terpenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan. Kesukaan yang
berlebihan terhadap makanan tertentu dapat menyebabkan kebutuhan gizi
tidak terpenuhi. Keadaan ini berkaitan dengan “mode” yang tengah marak di
kalangan remaja seperti makanan siap saji dan mie instan.Usia remaja
merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh teman pergaulan dan
media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang makanan
yang baru dan harga yang terjangkau (Moehji, 2003).
Menurut Nurjannah (2001), menyatakan bahwa kebiasaan makan remaja
dipengaruhi oleh kebiasaan makan teman-temannya, dan disamping itu remaja
cenderung lebih mudah menerima sesuatu jenis makanan yang relatif baru
karena pada masa remaja ini mereka lebih senang untuk mencoba sesuatu
yang baru selesai dengan perkembangan kepribadiannya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Lund dan Burk (1969) yang dikutip oleh Suhardjo (1989)
55
bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukkan kebiasaan makan keluarga yaitu lingkungan keluarga dan
lingkungan sekolah.
Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan remaja suka sekali
jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue
yang rasanya manis dan golongan pastry serta permen. Sedangkan golongan
sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin A dan vitamin C
tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah
akan besi, kalsium, vitamin C, vitamin A, dan sebagainya.
2.7.4.2 Asupan Gizi
a) Zat Besi
Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi dalam
makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan zat besi
adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati dan
ayam). Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan zat
besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Depkes
RI, 1998:14). Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang berasal dari
konsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu penyebab
terjadinya anemia (Mary E. Beck, 2000:197).
Asupan zat besi kedalam tubuh remaja putri dipengaruhi: Konsumsi zat
besi dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme (40%) dan
besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam
56
makanan.Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau,
kacang-kacangan, kentang, dan serelia serta beberapa jenis buah-buahan.
Sedangkan besi hem hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara
lain daging, ikan, ayam, hati, dan organ-organ lain (Almatsier, 2001)
Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasaldari hewan
maupun tumbuhan.Macam bahan makanan yang mengandung zat besi dapat
dilihat pada tabel 2.5.Hati dan daging adalah bahan makanan yang paling
banyak mengandung zat besi.Dari bahan makanan jenis tumbuh-tumbuhan
maka kacang-kacangan seperti kedelai, kacang pajang, buncis serta sayuran
hijau daun mengandung banyak zat besi.Sumber zat besi paling utama dan
paling baik adalah pada makanan hewani, seperti daging,ayam, ikan dan
makanan hasil olahan darah.
57
Tabel 2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan
Bahan Makanan Zat Besi (mg/100g)
Hati
Daging
Ikan
Telur Ayam
Kacang-Kacangan
Tepung Gandum
Sayuran Hijau Daun
Umbi-Umbian
Buah-buahan
Beras
Susu Sapi (Perah)
6-14
2-4,2
0,5-1
2-3
1,9-14
1,5-7
0,4-18
0,3-2
0,2-4
0,5-0,8
1-0,4
Sumber: Wirakusumah (1998)
Terdapat 3 kategori pola menu makanan, yaitu rendah (tingkat penyerapan
zat besi 5 %), sedang (tingkat penyerapan zat besi 10 %), dan tinggi (tingkat
penyerapan zat besi 15 %).Pola makanan yang hanya terdiri dari sumber
karbohidrat, seperti nasi dan umbi-umbian atau kacang-kacangan tergolong
pola menu makanan rendah. Pola menu ini sangat jarang atau sedikit sekali
mengandung daging, ikan dan sumber vitamin C. Terdapat lebih banyak
bahan makanan yang mengandung zat penghambat absorbsi besi, seperti
fitat,serat,tanin dan fosfat dalam menu makanan ini. Biasanya menu seperti ini
58
dikonsumsi oleh keluarga-keluarga berpenghasilan rendah yang tidak mampu
mengusahakan bahan makanan hewani. Pola makanan yang sedang, sumber
zat besinya juga berasal dari golongan sumber karbohidrat, seperti nasi atau
umbi-umbian, tetapi dilengkapi dengan daging,ikan atau ayam walaupun
dalam jumlah sedikit. Penambahan sumber makanan hewani ke dalam menu
makanan rendah dapat meningkatkan penyerapan zat besi sehingga pola menu
menjadi tinggi.
Makanan yang mengadung penyerapan zat besi tinggi biasanya
merupakan menu makanan yang beragam dan cukup sumber vitamin C.
Walaupun tinggi penyerapan zat besinya, menu ini dapat menjadi sedang jika
terlalu banyak dan secara rutin mengkonsumsi bahan makanan sebagai
penghambat penyerapan zat besi seperti teh atau kopi. Pola menu seperti ini
biasanya dikonsumsi oleh keluarga yang mampu mengusahakan bahan
makanan hewani dan sumber vitamin C yang cukup (Wirakusumah,1998).
Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur,serealia, kacang-kacangan,
biji-bijian, sayuran hijau dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu
diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dinamakan juga
ketersediaan biologik (bioavailability). Pada umumnya besi di dalam daging,
ayam dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi dalam serealia
dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi
dalam sebagian besar sayuran,terutama yang mengandung asam oksalat tinggi
seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah. Sebaiknya
diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas campuran
59
sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta sumber zat gizi
lain yang dapat membantu absorpsi. Menu makanan di Indonesia sebaiknya
terdiri atas nasi, daging/ayam/ikan, kacang-kacangan, serta sayuran dan buah-
buahan yang kaya akan vitamin C yang dapat membantupenyerapan zat besi
dalam tubuh (Wirakusumah,1998).
Berdasarkan penelitian Arifin (2013) yang menunjukkan bahwa asupan Fe
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada murid
sekolah dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (p=0,000).
b) Vitamin C
Zat gizi yang telah dikenal luas sangat berperanan dalam
meningkatkan absorpsi zar besi adalah Vitamin C (Husaini, 1989; Almatsier,
2001). Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non hem sampai
empat kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus
halus sehingga mudah diabsorpsi.Vitamin C menghambat pembentukan
hemosiderin yang sukardimobilisasi untuk membebaskan besi bila
diperlukan.Vitamin C pada umumnya hanya terdapat pada pangan nabati,
yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan,
papaya, gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001).
Beberapa penelitian membuktikan pengaruh konsumsi vitamin C
terhadap kejadian anemia, yaitu pada tahun 2001, Safyanti menemukan
remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang dari 100 % AKG memiliki
resiko 3,5 kali lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan remaja
60
putri yang mengkonsumsi vitamin C > 100 % AKG. Satyaningsih (2007) dan
Kwatrin (2007) juga menemukan hal yang sama, yaitu resiko mengalami
anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang
dari AKG.
c) Energi
Krummel (1996), menyatakan bahwa energi merupakan zat gizi
utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan maka kebutuhan
akan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi.
Menurut Khumaidi (1989) untuk menilai kecukupan konsumsi pangan
adalah dengan menilai kecukupan konsumsi energi dan protein. Pada
umumnya jika kecukupan energi dan protein sudah terpenuhi dan dikonsumsi
dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya juga
akan terpenuhi.
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi
lainnya dan begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling
terkait antara satu zat gizi dengan zat gizi lainnya.Rendahnya asupan energi
dan protein dapat menimbulkan masalah kurang energi dan protein
(KEP).KEP dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit
infeksi yang sering terjadi padapenderita kurang gizi adalah penyakit saluran
pernafasan dan saluran pencernaan, penyakit ini dapat mengakibatkan
gangguan dalam penyerapan zat gizi makanan, salah satunya Fe, bila terdapat
61
gangguan penyerapan Fe, maka akan terdapat kemungkinan terjadinya
Anemia.
Menurut Wirakusumah (1999) kekurangan konsumsi energi dapat
menyebabkan anemia, hal ini terjadi karena pemecahan protein tidak lagi
ditujukan untuk pembentukan sel darah merah dengan sendirinya menjadi
kurang. Pemecahan protein untuk energi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dalam tubuh.
Pengaruh asupan energi terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam
beberapa penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi < 100 %
AKG memiliki resiko mengalami anemia 3,13 (Lestari, 1996), 3,2 (Safyanti,
2002), 6,962 (Kwatrin, 2007), 5,066 (Satyaningsih, 2007) kali lebih tinggi
dibandingkan remaja putri yang konsumsi energinya cukup.
d) Protein
Protein dalam darah mempunyai mekanisme yang spesifik sebagai
carrier bagi transportasi zat besi pada sel mukosa. Protein itu disebut
transferring yang disintesa di dalam hati dan transferin akan membawa zat
besi dalam darah untuk digunakan pada sintesa hemoglobin. Dengan
berkurangnya asupan protein dalam makanan, sintesa transferring akan
terganggu sehingga kadar dalam darah akan turun. Rendahnya kadar
transferring dapat menyebabkan transportasi zat besi tidak dapat berjalan
dengan baik, akibatnya kadar Hb akan menurun (Hallberg, 1988).
62
(Bridges 2008 dalam Yasmin 2012) menyatakan bahwa protein juga
mempunyai peranan penting dalam transportasi zat besi dalam tubuh.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terlambat
sehingga akan terjadi defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi
protein terutama berasal dari daging, ikan dan unggas juga banyak
mengandung zat besi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang asupan
proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia
dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup atau memenuhi
AKG. Safyanti (2002) mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan
proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih 5,3 kali terkena anemia
dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup, begitu juga dengan
penelitian (Dadin 2006 dalam Yasmin 2012) mendapatkan hubungan
bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06,
penelitian Satyaningsih (2007) dan Kwatrin (2007) juga mendapatkan
hubungan signifikan antara asupan protein dan anemia dengan masing-masing
nilai OR nilai OR 4,255 dan 4,380.
2.7.4.3 Frekuensi Makan
Frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan berapa banyak
makanan yang dikonsumsi seseorang. Menurut Hui (1985), sebagian besar
remaja melewatkan satu atau lebih waktu makan yaitu sarapan. Sarapan
adalah waktu makan yang paling banyak dilewatkan, disusul oleh oleh makan
63
siang. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang malas untuk
sarapan, antara lain mereka sedang dalam keadaan terburu-buru, menghemat
waktu, tidak lapar, menjaga berat badan dan tidak tersedianya makanan yang
akan dimakan. Melewatkan waktu makan dapat menyebabkan penurunan
konsumsi energi, protein, dan zat gizi lain (Brown et al. 2005).
2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Dalam Sehari
Frekuensi makan yang ideal adalah 3 kali dalam sehari. Sebagaimana
menurut beberapa kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari.
Orang dewasa dengan pola makan yang teratur mempunyai kecenderungan
lebih langsing dan sehat dibanding orang yang makan secara tidak teratur
(skipping meal) (Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004).
Pada umumnya remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik.
Beberapa remaja khususnya remaja putri sering mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang tidak seimbang dibandingkan dengan kebutuhannya
karena takut kegemukan. Kebiasaan makan remaja rata-rata tidak lebih dari
tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks
mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga
dikategorikan sebagai makan (Suhardjo, 1989). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan < 3 kali sehari
memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri
dengan frekuensi makan > 3 kali sehari. Raptauli (2012) mendapatkan hasil
bahwa remaja putri dengan frekuensi makan <3 kali sehari mempunyai
64
peluang 1,729 kali untuk menderita anemia dibanding dengan remaja putri
yang frekuensi makannya 3 kali sehari.
2.7.4.3.2 Frekuensi Makan Sumber Heme
Berdasarkan jenis ketersediaan zat besi di dalam bahan makanan,
dikenal dua jenis yaitu besi heme dan non heme. Zat besi yang berasal dari
bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat absorpsi 20-30 %,
besi heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan
zat makanan lainnya Brooker (2001) menjelaskan besi heme yaitu besi yang
berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan
makanan hewani seperti daging, ikan dan unggas. Bioavailabiltas besi heme
ini sangat tinggi yaitu 20- 30% atau lebih dapat diabsorpsi. Derajat absorpsi
besi heme ini hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan,
dan hanya sedikit dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya.
Besi non hem terdapat pada makanan nabati seperti sayur dan buah-buahan.
Bioavailabilitas non hem iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor
(phythate, tannin, dll). Sementara menurut Almatsier (2001) mengatakan
bahwa pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti
daging, unggas, telur dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi.
Pada penelitian (Purnama, 2001 dalam Husnah 2014) pada siswi SMA
2 Semarang ditemukan hasil setiap peningkatan persen asupan zat besi sebesar
1% akan meningkatkan kadar hemoglobin 0,001 g/dl dengan p= 0,014, artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan konsumsi Fe.
65
2.7.3.2.3 Frekuensi Makan Sumber Non Heme
Besi non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanan dan
terdapat dalam semua jenis sayuran hijau, seperti kentang, kacang-kacangan
dan sebagian dalam makanan hewani.Penyerapan sumber non heme juga
dipengaruhi adanya MPF factor (meat, poultry and fish) yaitu, apabila
makanan sumber herwani dikonsumsi bersama-sama sumber nabati, maka
absorpsi Fe dari makanan tersebut meningkat dari 2,3% menjadi 8%. Karena
asam amino yang dilepas selama makanan dicerna akan berubah bentuk
chelete. Pangan hewani umumnya mengandung ”heme iron” yang lebih
mudah diserap oleh usus yaitu, berkisar antara 7-22%, sedangkan pangan
nabati banyak mengandung ”non heme iron” yang lebih sulit untuk diserap
yaitu berkisar antara 1-6% (Guthrie, 1989). Absorpsi sumber non heme sangat
dipengaruhi oleh faktor peningkat penyerapan Fe (Qomariah, 2006). Zat besi
yang berasal dari makanan belum tentu menjamin ketersediaan zat besi yang
memadai karena jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis
makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun yang
meningkatkan absorpsi besi dalam makanan (Muhilal, 1993 dalam Amaliah,
2002).Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shatha S. Al-
Sharbatti (2003), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi
sumber non heme dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri
dengan konsumsi sumber non heme rendah lebih beresiko 1,231 kali
menderita anemia.
66
2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Sumber Peningkat Penyerapan Zat Besi (Fe)
Vitamin C merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan tubuh
untuk pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin C menghambat
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi
bila diperlukan. Adanya vitamin C dalam makanan yang dikonsumsi akan
memberikan suasana asam sehingga memudahkan reduksi zat besi ferri
menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam
bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012).
Berdasarkanhasil penelitian Hulu (2004) yang menunjukkan bahwa
contoh yang tidak anemia jarang mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan
contoh anemia.Hasil penelitianArumsari (2007) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara konsumsi buah-buahan (sumber vitamin C)
dengan kejadian pada remaja putri, semakin jarang pepaya dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena
walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat
besi, namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain
yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka
pengaruh akhirnya dapat negatif.
2.7.4.3.5 Frekuensi Makan Sumber Penghambat Penyerapan Zat Besi (Fe)
Bahan makanan penunjang kebutuhan zat besi adalah daging, ayam, ikan,
bahan makanan dari laut dan vitamin C. Sedangkan zat-zat yang menghambat
67
adalah teh, kopi. Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari
makanan antara 1-40% (Guthrie 1989 dalam Qomariah, 2006).
Hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja suka minum-minuman
ringan (soft drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan
dengan mereka minum susu. Survei yang dilakukan National Center for
Health Statistics (NCHS) menyimpulkan bahwa 60% dari remaja Amerika
usia 12 tahun ke atas mengurangi diet mereka. Pengurangan jumlah makanan
serta konsumsi remaja yang tidak terkontrol tentu saja akan menyebabkan
ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh termasuk besi. Adanya kebiasaan
minum teh/kopi pada masyarakat Indonesia memiliki pengaruh absorbsi besi.
Linder (1992) menyatakan bahwa tanin yang terdapat dalam teh dan daun-
daun sayuran tertentu dapat menurunkan absorbsi besi. Ditambahkan oleh
Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah makan akan
menurunkan absorbsi besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh, karena
terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh.
Menurut Muhilal (1998) penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan
banyaknya besi yang diserap turun sampai 2%, sedangkan penyerapan besi
tanpa penghambatan teh sekitar 12%. Menurut Morck, et al (1983) minum teh
paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap
sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya serap akibat teh ini
lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh konsumsi segelas
kopi usai makan. Kopi, mengurangi daya serap hanya 39 persen.Pada teh,
pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin.Selain
68
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, antara lain kafein,
polifenol, albumin, dan vitamin.Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat
besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya
padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan. Remaja putri yang memiliki
kebiasaan minum teh/kopi > 1 gelas/hari memiliki resiko 2,023 menderita
anemia dibandingkan dengan remaja putri yang mengkonsumsi teh < 1
gelas/hari (Satyaningsih, 2007).
Selain teh dan kopi, cara konsumsi buah dan sayur dengan benar juga
menjadi faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. Asam fitat dan asam
oksalat yang terkandung dalam sayuran akan mengikat zat besi, sehingga
mengurangi penyerapan zat besi. Karena hal inilah, bayam meski tinggi
kandungan zat besinya bukan merupakan sumber zat besi yang baik. Oleh
karena itu, jika hendak mengonsumsi bayam dan sayuran lain, sebaiknya
disertai dengan mengonsumsi buah-buahan yang tinggi kandungan vitamin C
nya. Seperti jambu biji, jeruk, nanas. Namun lebih dianjurkan untuk
meminumnya dalam bentuk jus. Sebab jika dalam bentuk buah segar, yang
kandungan seratnya masih tinggi, juga akan menghambat penyerapan zat besi
(Murbawani, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amaliah (2002)
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi
sumber penghambat penyerapan Fe dengan status anemia remaja putri. Dari
58 responden yang mengalami anemia ada 22 (23.2%) yang mengkonsumsi
teh lebih dari 7 kali per minggu.
69
2.9 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Husaini (1989), Junadi (1985), Permaesih (2005), Wirakusumah (1998)
Sosial Ekonomi
Pengetahuan Pendapatan ayah/ibu Pendidikan ayah/ibu Uang Saku Siswa
Kehilangan Darah
(Pendarahan)
Penyakit Infeksi(Cacing danMalaria)
Pola Haid
Kebiasaan Makan:
Asupan Zat Gizi Frekuensi Makan
ANEMIA
REMAJA PUTRI
Pola KonsumsiTablet TambahDarah (TTD)
70
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosial ekonomi
(pendapatan orangtua, pendidikan orangtua, pengetahuan siswa dan uang saku
siswa), pola konsumsi TTD, Pola menstruasi, dan kebiasaan makan (asupan zat
gizi dan frekuensi makan) dengan anemia pada siswi MTs Ciwandan.Untuk
mencapai tujuan tersebut maka disusun kerangka konsep dalam penelitian ini
menggunakan modifikasi dari teori-teori Husaini (1989), Junadi (1995),
Permaesih (2005), Wirakusumah (1998).
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Anemia
Kebiasaan Makan
Asupan Zat Gizi Frekuensi Makan
Pola Menstruasi
Sosial Ekonomi
Pengetahuan Uang saku PendapatanOrangtua Pendidikan Orang tua
71
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Anemia Suatu keadaan dimana
kadar Hb di dalam darah
<12mg/dl berdasarkan
pemeriksaan darah.
Pemerikasaan
langsung dengan
Metode Finger
Prick
Hemoglobinometer
merk easytoauch
1 = Anemia
(Jika kadar Hb
<12mg/dl)
0 = Tidak
anemia (Jika
kadar Hb ≥
12mg/dl
(UNICEF,
2001)
Ordinal
2. Sosial Ekonomi
Pengetahuan siswa Kemampuan remaja putri
untuk mengetahui dan
memahami masalah
anemia meliputi gejala
dan tanda, penyebab,
wawancara Kuesioner 1= pengetahuan
kurang (jika
menjawab soal
benar < median)
2= pengetahuan
Ordinal
72
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Uang Jajan
Pendapatan Orangtua
Pendidikan Orangtua
bahaya dan akibat serta
upaya pencegahan.
Jumlah uang yang
diterima dari orang tua.
Jumlah pendapatan tetap
maupu sampingan rata-
rata dari kepala keluarga,
ibu dan anggota keluarga
lain setiap bulan yang
dinyatakan dalam rupiah.
Jumlah tahun pendidikan
formal yang pernah
ditempuh oleh ayah dan
ibu remaja putri, tidak
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
baik (jika dapat
menjawab soal
benar ≥ median)
1= rendah (jika
uang
jajan < median)
2= besar (jika
uang saku ≥
median)
1= rendah (jika
< UMR)
2= tinggi (jika >
UMR)
1=rendah (jika
≤9 tahun)
2=tinggi (jika
>9 tahun)
Ordinal
Ordinal
Ordinal
73
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
3. Pola Menstruasi
termasuk tinggal kelas.
Tingkat frekuensi
menstruasi yang diukur
berdasarkan frekuensi
menstruasi, lama
menstruasi, dan berapa
kali ganti pembalut
dalam sehari.
Wawancara Kuesioner 1= Tidak
normal(jika
frekuensi haid
diluar sebulan
sekali, lama
haid > 6 hari,
ganti pembalut
> 5 kali/hari)
2= Normal (iika
frekuensi haid
sebulan sekali
dan lama haid ≤
6 hari, ganti
pembalut ≤ 5
kali sehari.
(Hestiantoro,
2008)
Ordinal
74
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
4. Kebiasaan Makanan
Asupan Zat Gizi
Energi
Protein
Vitamin C
Fe
Tingkat kecukupan
Energi berdasarkan AKG
2013
Tingkat kecukupan
Protein berdasarkan
AKG 2013
Tingkat kecukupan
Vitamin C berdasarkan
AKG 2013
Tingkat kecukupan
Vitamin Fe berdasarkan
AKG 2013
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Formulir Food
Record
Formulir Food
Record
Formulir Food
Record
Formulir Food
Record
1=tidak baik
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG)
1=tidak baik
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG)
1=tidak baik
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG)
1=tidak baik
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG)
1=tidak baik
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
75
(<70% AKG)
2= baik
(≥70%AKG)
Frekuensi Makan
Frekuensi makan dalam
sehari
Frekuensi makan
sumber heme
Frekuensi Makan
sumber non heme
Tingkat Konsumsi
makanan dalam sehari
Tingkat frekuensi
konsumsi makan sumber
heme dalam sehari
berdasarkan standar
PUGS 2013
Tingkat frekuensi
konsumsi makan sumber
non heme dalam sehari
berdasarkan standar
PUGS 2013
Wawancara
Wawancara
Wawancara
FFQ
FFQ
FFQ
1= Tidak Baik
(<3 kali makan
dalam sehari)
2= Baik (≥3kali
makan sehari)
1= tidak baik
(<2 kali/hari
konsumsi
sumber heme)
2= Baik (≥2 kali
sehari konsumsi
sumber heme)
1= tidak baik
(<2 kali/hari
konsumsi
sumber non
heme)
Ordinal
Ordinal
Ordinal
76
2= Baik (≥2 kali
sehari konsumsi
sumber non
heme).
Frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe
Frekuensi makan
penghambat absorpsi Fe
Tingkat frekuensi
konsumsi makan sumber
peningkat absorpsi Fe.
Tingkat frekuensi
konsumsi makan sumber
peningkat absorpsi Fe
dalam sehari.
Wawancara
Wawancara
FFQ
FFQ
1= tidak
baik(<7
kali/minggu
konsumsi
peningkat
absorbs Fe)
2= Baik (≥7
kali/minggu
konsumsi
peningkat Fe)
1= tidak baik
(<7 kali/minggu
konsumsi
penghambat
absorbsiFe)
2= Baik (≥7
Ordinal
Ordinal
77
kali/minggu
konsumsi
penghambat
absorpsi Fe
(Amaliah,
2002)
78
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan siswa, uang saku,
pendapatan orangtua dan pendidikan orangtua) dengan anemia pada siswi di
MTs Ciwandan Tahun 2015
2. Ada hubungan antara pola menstruasi dengan anemia pada siswi di MTs
Ciwandan Tahun 2014
3. Ada hubungan antara Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan)
dengan anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2014
79
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah melalui pendekatan
kuantitatif dengan desain penelitian “Cross sectional”. Cross sectional merupakan
suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan cara
pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time
approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel seubjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua sampel penelitian diamati pada waktu
yang sama. Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif analitik yaitu
menggambarkan dan menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia
pada siswi di MTs Ciwandan Tahun 2015. Penelitian ini dilakukan satu kali pada
suatu saat yang bersamaan (Sudigdo S dan Sofyan, 2002). Data yang menyangkut
variabel independen dan dependen akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
Cross sectional dipilih sebagai desain studi dalam penelitian ini karena mudah
dilaksanakan, hemat waktu, sederhana, dan ekonomis, hasilnya dapat diperoleh
dengan cepat, dalam waktu bersamaan dapat dikumpulkan variabel yang banyak,
dapat dilaksanakan oleh seorang ahli saja, dan dapat memberikan gambaran
karakteristik yang khas pada berbagai usia (Hurlock, 1978)
80
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhianemia
dilakukan pada seluruh siswi di MTs Ciwandan Kota Cilegon dengan subjek yang
telah ditentukan kriterianya, sedangkan waktu penelitian dilakukan pada Bulan
September-Oktober tahun 2014. Lokasi ini dipilih menjadi tempat penelitian karena
masalah anemia khususnya pada remaja putri di kota Cilegon masih cukup tinggi.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah
yang diteliti (Nursalam, 2003), sedangkan menurut Arikunto (2002) populasi adalah
keseluruhan subyek penelitian.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja
putri di MTs Ciwandan yang berjumlah 200 siswa perempuan.
4.3.2 Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini Cluster
Sampling.Cluster Sampling adalah pengambilan sampel dari populasi dikelompokkan
menjadi sub-sub populasi secara bergerombol (cluster) dari sub populasi selanjutnya
dirinci lagi menjadi sub-populasi yang lebih kecil. Anggota dari sub populasi terakhir
dipilih secara acak sebagai sampel penelitian.
Sampel yang diambil berdasarkan rumus sebagai berikut Lemeshow:
= 2 2 (1 − 2) + 1(1 − 1) + 2(1 − 2)( 1 − 2)
81
Keterangan:
n = Jumlah Sampel1 − = 1,96 (Derajat Kemaknaan 95%)1 − = 1,64 (Kekuatan uji sebesar 95%)1 = 0,70 (remaja putri anemiayang sedang menstruasi
berdasarkan penelitianLina (2012) di SMPN 5 Cilegon)
P2 =0.38 (remaja putri anemiayang sedang tidak mestruasi)
Besar sampel diambil berdasarkan rumus di atas adalah sebagai
berikut:
= 1,96 2(0,54) (1 − 0,54) + 1,64 0,70(1 − 0,70) + 0,38(1 − 0,38)(0,70 − 0,38 )= {1,96(0,70) + 1,64(0,667)}(0,32)= (2,466)0,102
n =59,6 ≈ 61 siswi
n x 2
= 6 x 2
= 122
82
4.4 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer. Pengumpulan data primer diperoleh
dengan cara melakukanpengisian kuesioner, formulir FFQ dan Food Record. Data
primer yang diambil yaitu data tentang keterangan umur, kadar Hb,sosial ekonomi
(pengetahuan, pendapatan orangtua, pendidikan orangtua dan uang jajan), pola
menstruasi dan Kebiasaan makan meliputi asupan zat gizi dan frekuensi makan. Data
mengenai umur, kadar Hb,sosial ekonomi (pengetahuan siswa, uang jajan,
pendapatan orangtua, pendidikan orangtua), pola menstruasi dilakukan dengan
menggunakan kuesioner sedangkan asupan zat gizi dilakukan dengan menggunakan
formulir Food Record dan frekuensi makan dengan formulir FFQ. Data kadar Hb
dengan melakukan pemeriksaan langsung dengan menggunakan metode finger prick
menggunakan Hb meter merk easytouch.
Data sekunder pada penelitian ini adalah jumlah keseluruhan siswa MTs
Ciwandan dan Profil MTs Ciwandan.
4.5 Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian meliputi kuesioner dan wawancara.Data yang
dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Instrument yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ujikadar Hb, formulir FFQ, formulir Food Record dan
kuesioner.
a. Uji kadar Hb digunakan untuk mengetahui kadar Hb yang kemudian
diinterpretasikan dengan kejadian anemia pada siswi. Menurut WHO standar
83
anemia besi dapat menggunakan kadar Hb dalam darah (Farida dkk, 2004).
Uji kadar Hb dalam darah yang digunakan adalah Hb meter merk easytouch
(finger prick).
b. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya
atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2002). Kuesioner digunakan untuk
mengetahui informasi tentang identitas sampel, sosial ekonomi (pengetahuan,
pendapatan orangtua, pendidikan orang tua dan pekerjaan orangtua) dan pola
menstruasi.
c. Salah satu metode survei konsumsi makanan adalah Food Frequency
Questionaire (FFQ). Metode FFQ dirancang untuk memperoleh data
kualitatif yang menggambarkan atau memberikan informasi tentang frekuensi
konsumsi bahan makanan. Food Frequency mengukur frekuensi bahan
makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu (Gibson 1990 dalam
Qomariah 2006).Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan
makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut adalah
yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden
(Supariasa, 2001). Formulir FFQ digunakan untuk mengetahui frekuensi
konsumsi sumber heme dan non heme, serta zat-zat gizi yang dapat
menghambat maupun membantu penyerapan Fe, hasil FFQdihitung frekuensi
konsumsi sumber heme dan non hemeberdasarkan PUGS 2014.
84
d. Metode survei konsumsi lainnya adalah Food Record. Food record digunakan
untuk mengetahui jumlah asupan energi, protein, vitamin C dan zat besi
dihitung berdasarkan AKG 2014
Data yang dikumpulkan diedit, hal ini dilakukan untuk memperbaiki
kualitasdata.Kemudian dilakukan koding data dengan memberikan kode pada
masing-masing jawaban untuk mempermudah pengolahan data.Setelah itu membuat
tabulasi termasukdalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak lain dari
memasukkan data kedalam tabulasi atau yang disebut entry data. Setelah dilakukan
entry data, data tersebut dioleh (processing)dengan menggunakan programsoftware
analisa data komputerkemudian dilakukan cleaning untuk mengecek kebenaran entry
data.
4.5.2 Analisis Data
4.5.2.1 Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian dengan
cara membuat tabel distribusi frekuensi dari setiap variabel, baik independen maupun
dependen, yaitu sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan.
4.5.2.2 Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat kemungkinana adanya hubungan antara
variabel independen, yaitu sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan, pendapatan
orangtua, dan pendidikan orangtua), pola menstruasi dan kebiasaan makan (asupan
zat gizi, dan frekuensi makan) dengan variabel dependen adalah anemia pada siswi.
Analisis bivariat dalam penelitian ini mengunakan uji statistik chi square dengan
85
bantuan program analisa datadan mengunakan derajat kepercayaan 95%. Bila nilai P
< 0,05 maka diartikan terdapat hubungan pada variabel yang diuji.
86
BAB V
HASIL
5.1 Profil Madrasah Tsanawiyah Ciwandan
5.1.1 Motto, Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah Ciwandan
A. Motto
Cakap (Cerdas, Kompetitif, Agamis, dan Percaya Diri)
B. Visi
Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciwandan sebagai lembaga pendidikan wajar
Dikdas Sembilan tahun yang berbasis pesantren perlu mempertimbangkan
harapan murid, orang tua murid, penyerap lulusan, dan masyarakat dalam
merumuskan visi madrasahnya. Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciwandan juga
diharapkan merespon perkembangan dan tantangan masa depan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi serta informasi dan globlaisasi yang sangat cepat.
Harapan dari Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciwandan yaitu mewujudkan
harapan dan respon dalam visi berikut:
VISI :
“Terwujudnya peserta didik yang cerdas, kompetetitif, agamis dan percaya diriberdasarkan nilai-nilai islam yang memiliki kesiapan untuk hidup mandiri danmengikuti pendidikan lebih lanjut”
87
Indikator visi:
Terwujudnya kader ummat yang unggul dalam prestasi akademik dan
non akademik sebagai bekal melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi dan atau hidup mandiri.
Terwujudnya kader ummat yang mampu menjalankan ajaran agama
secara utuh.
Terwujudnya kader ummat yang mampu mengaktualisasikan diri
dalam masyarakat.
C. Misi
a. Meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan sesuai dengan kurikulum
yang dikembangkan.
b. Meningkatkan kualitas pengembangan diri bagi para peserta didik.
c. Meningkatkan hubungan kerjasama dengan orangtua/wali peserta didik
dan masyarakat.
d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia madrasah.
e. Meningkatksn kualitas pengembang sarana prasarana pendidikan serta
penataan lingkungan madrasah.
D. Tujuan
1. Meningkatkan kualitas pengelolaan kurikulum dan pembelajaran dalam upaya
melahirkan peserta didik yang cerdas baik intelektual, emosional maupun
spiritual.
2. Meningkatkan kualitas pembinaan peserta didik dalam rangka pengembangan
diri peserta didik baik melalui kegiatan ekstrakulikuler maupun kegiatan
88
bimbingan konseling sebagai upaya melahirkan peserta didik yang agamis,
kompetitif dan percaya diri.
3. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan/
implementasi kurikulum dan pembelajaran serta berlangsungnya proses
pendidikan pada umumnya di internal madrasah
4. Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai salah
satu unsur penting sumber daya madrasah
5. Meningkatkan kualitas hubungan kemitraan dan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan madrasah khususnya dalam wadah komite madrasah.
5.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua tahap, yang pertama pengambilan
data pada pagi hari kemudian dilanjutkan dengan pengisian kuesioner dan lembar
FFQ dilakukan pada hari Rabu-Kamis tanggal 15-16 September 2014, yang kedua
pengisian lembar Food Record pada hari Jumat-Senin tanggal 17-20 September 2014.
Pada pengumpulan data ini peneliti dibantu oleh 2 orang guru MTs Ciwandan.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner, lembar FFQ, dan
lembar Food Record. Pengisian data dilakukan oleh seluruh siswi yang menjadi
sampel penelitian dari kelas VII sampai kelas IX MTs Ciwandan.
Sebelum melakukan pengisian kuesioner dilaksanakan, para siswi diberikan
penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan cara mengisi kuesioner. Diharapkan dengan
penjelasan ini para siswi dapat menjawab isi kuesioner dengan lebih objektif.
89
Selanjutnya pengambilan kuesioner tersebut dilakukan pada hari yang sama, dengan
melakukan pengecekan ulang terhadap jawaban kuesioner dihadapan masing-masing
responden yang dalam hal ini adalah siswi MAN 2 Bogor. Tujuannya adalah agar
jangan sampai ada pertanyaan yang tidak dijawab, karena bila tidak melakukan
pengecekan ulang dihadapan masing-masing responden akan terjadi kesulitan dalam
analisis.
5.3 Karakteristik Responden
Responden pada penelitian ini terdiri atas siswa perempuan (siswi) kelas VII,
VIII, dan IXI. Umur responden bervariatif antara 12 tahun sampai 15tahun dengan
presentase 0.8% (12 tahun), 25.2% (13 tahun), 34% (14 tahun), dan 8% (15 tahun).
Namun, sebagian besar responden berumur 13 tahun (34%) dan 14 tahun (32%).
5.4 Analisis Univariat
Tujuan dari analisis univariat pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan
dan mendeskripsikan setiap karakteristik dari masing-masing variabel. Data yang
didapat dari penelitian ini adalah merupakan data primer yang dikumpulkan melalui
pengisian kuesioner oleh 123 siswi. Data univariat terdiri dari kejadian anemia,
pengetahuan siswi, uang jajan, pendapatan orangtua, pendidikan orangtua, pola
menstruasi dan Kebiasaan Makan [asupan zat gizi (asupan energi, protein, asupan
Vit.C, asupan Fe) dan Frekuensi Makan]
90
5.4.1 Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Anemia Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Anemia Frekuensi Presentase
1. Normal : Hb > 12 mg/dl 85 69.1%
2. Anemia : Hb < 12mg/dl 38 30.9%
Jumlah 123 100%
Frekuensi kejadian anemia remaja putri adalah anemia (hb < 12 gr/dl) dan
tidak anemia (hb > 12 gr/dl). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi responden
normal (Hb< 12 gr/dL) lebih banyak (69,1%) daripada responden anemia (hb <12
gr/dl) sebanyak (30,9%).
5.4.2 Sosial Ekonomi
5.4.2.1 Pengetahuan
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014
No Pengetahuan Frekuensi Presentase
1. Baik : soal benar ≥ 18 soal 63 51,2%
2. Kurang baik: soal benar < 18
soal
60 48,8%
Jumlah 123 100%
91
Pengetahuan remaja putri adalah pengetahuan baik (menjawab soal benar ≥18
soal) dan pengetahuan kurang (menjawab soal benar <18 soal). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi pengetahuan baik lebih banyak daripada frekuensi pengetahuan
kurang sebanyak 63 responden (51,2%)
5.4.2.2 Uang Jajan
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Uang Jajan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Uang jajan Frekuensi Presentase
1. Tinggi: ≥ Rp 5.000 80 65%
2. Rendah: < Rp 5.000 43 35%
Jumlah 123 100%
Uang jajan perhari siswi adalah uang jajan tinggi (uang jajan ≥ Rp 5000) dan
uang jajan rendah (uang jajan < Rp 5000). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi
uang jajan tinggi lebih banyak daripada frekuensi uang jajan kurang sebanyak 80
responden (65%).
92
5.4.2.3 Pendapatan Orangtua
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Pendapatan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Pendapatan Orangtua Frekuensi Presentase
1. Tinggi: > Rp 2.760.000 40 67,5%
2. Rendah: < Rp 2.760.000 83 32,5%
Jumlah 123 100%
Pendapatan orangtua dalam sebulan adalah pendapatan orang tuatinggi
(pendapatan >Rp 2.760.000) dan pendapatan orang tua rendah (pendapatan < Rp
2.760.000). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi pendapatan orangtua tinggi lebih
banyak daripada frekuensi pendapatan orangtua kurang sebanyak 80 responden
(65%).
5.4.3.4 Pendidikan Orangtua
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pendidikan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Pendidikan Orangtua Frekuensi Presentase
1. Tinggi: > 9 tahun 59 48%
2. Rendah: ≤ 9 tahun 64 52%
Jumlah 123 100%
93
Pendidikan orang tua adalah pendidikan orang tuatinggi (pendidikan > 9 tahun
atau tamat SMA dan atau tamat perguruan tinggi) dan pendidikan orang tua rendah
(pendidikan ≤ 9 tahun atau tamat SD dan atau tamat SMP). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi pendidikan orangrua tinggi lebih banyak daripada frekuensi
pendidikan orangtua kurang sebanyak 64responden (52%),
5.4.3 Pola Menstruasi
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Pola Menstruasi Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Pola Menstruasi Frekuensi Presentase
1. Normal 85 69,1%
2. Tidak Normal 38 30,9%
Jumlah 123 100%
Pola haid adalah pola menstruasi normal (frekuensi menstruasi sebulan sekali,
lama menstruasi ≤ 6 hari dan ganti pembalut < 3 kali/sehari) dan pola menstruasi
tidak normal (frekuensi menstruasi diluar sebulan sekali, lama menstruasi>6 hari dan
ganti pembalut > 3 kali sehari). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi pola
menstruasi normal lebih banyak daripada frekuensi pola menstruasi tidak normal
sebanyak 85responden (69,1%).
94
5.4.4 Kebiasaan Makan
5.4.4.1 Asupan Zat Gizi
5.4.4.1.1 Asupan Energi
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Asupan Energi Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 1487,5 kkal 29 23,6%
2. Tidak baik: <1487,5 kkal 94 76,4%
Jumlah 123 100%
Asupan energi adalah asupan energi baik (asupan energi ≥ 1487,5 kkal) dan
asupan energi tidak baik (asupan energi<1487,5 kkal). Berdasarkan hasil penelitian,
frekuensi asupan energi tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan energi
sebanyak 94responden (76,4%)
95
5.4.4.1.2 Asupan Protein
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Asupan Protein Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Asupan Protein Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 48,3g 45 36,6%
2. Tidak baik: <48,3g 78 63,4%
Jumlah 123 100%
Frekuensi asupan protein adalah asupan protein baik (asupan protein ≥ 48,3g)
dan asupan protein tidak baik (asupan protein < 48,3g).Berdasarkan hasil penelitian,
Frekuensi asupan protein tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan protein
sebanyak 78 responden (63,4%).
5.4.4.1.3 Asupan Vit.C
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Asupan Vitamin C Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 45,5mg 20 16,3%
2. Tidak baik: <45,5mg 103 83,7%
Jumlah 123 100%
96
Asupan vitamin C adalah asupan vitamin C baik (asupan vitamin C ≥ 45,5mg)
dan asupan vitamin C tidak baik (asupan vitamin C< 45,5mg). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi asupan vitamin C tidak baik lebih banyak daripada frekuensi
asupan vitamin C sebanyak 103responden (83,7%).
5.4.5.1.4 Asupan Fe
Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Asupan Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Asupan Fe Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 18,2 mg 23 18,7%
2. Tidak baik: <18,2 mg 100 81,3%
Jumlah 123 100%
Asupan fe adalah asupan fe baik (asupan energi ≥ 18,2 mg) dan asupan fe
tidak baik (asupan fe<18,2 mg). Berdasarkan hasil penelitian, Frekuensi asupan Fe
tidak baik lebih banyak daripada frekuensi asupan Fe sebanyak 100 responden
(81,3%).
97
5.4.4.2 Frekuensi Makan
5.4.4.2.1 Konsumsi Makan dalam Sehari
Tabel 5.11
Distribusi Frekuensi Makan dalam Sehari Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Frekuensi Makan dalam
Sehari
Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 3 kali sehari 107 87%
2. Tidak baik: < 3 kali sehari 16 13%
Jumlah 123 100%
Frekuensi makan adalah frekuensi makan baik (frekuensi makan ≥3 kali
sehari) dan frekuensi makan tidak baik (frekuensi makan< 3 kali sehari). Berdasarkan
hasil penelitian, frekuensi makan dalam seharibaik lebih banyak daripada frekuensi
makan dalam sehari tidakbaik sebanyak107 responden (87%).
5.4.4.2.2 Konsumsi Makanan Sumber Heme
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014
No Frekuensi Makan Sumber
Heme
Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 2 kali sehari 94 76,4%
2. Tidak baik: < 2 kali sehari 29 23,6%
Jumlah 123 100%
98
Frekuensi makan sumber heme adalah frekuensi makan sumber heme baik
(frekuensi makan sumber heme ≥ 2 kali sehari) dan frekuensi makan sumber heme
tidak baik (frekuensi makan sumber heme<2 kali sehari). Berdasarkan hasil
penelitian, frekuensi makan sumber heme baik lebih banyak daripada frekuensi
makan sumber heme tidak baik sebanyak 94 responden (76,4%)
5.4.4.2.3 Konsumsi Makanan Sumber non Heme
Tabel 5.13
Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Frekuensi Makan
non Heme
Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 3 kali sehari 84 68,3%
2. Tidak baik: < 3 kali sehari 39 31,7%
Jumlah 123 100%
Frekuensi makan sumber non heme adalah frekuensi makan sumber non heme
baik (frekuensi makan sumber non heme ≥ 3kali sehari) dan frekuensi makan sumber
non heme tidak baik (frekuensi makan sumber non heme<3 kali sehari). Berdasarkan
hasil penelitian, frekuensi makan non heme baik lebih banyak daripada frekuensi
makan sumber non heme tidak baik sebanyak 84 responden (68,3%)
99
5.4.4.2.4 Konsumsi Makanan Peningkat absorpsi Fe
Tabel 5.14
Distribusi Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Frekuensi Makan Peningkat
Absorpsi Fe
Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 7 kali seminggu 82 66,7%
2. Tidak baik: < 7 kali seminggu 41 33,3%
Jumlah 123 100%
Frekuensi makan peningkat absorpsi Fe adalah frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe baik (frekuensi makan peningkat absorpsi Fe ≥ 7 kali seminggu) dan
frekuensi makan peningkat absorpsi Fe tidak baik (frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe < 7 kali seminggu). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi makan
peningkat Absorpsi Fe baik lebih banyak daripada frekuensi makan peningkat
Absorpsi Fe tidak baik sebanyak 82 responden (66,7%).
100
5.4.4.2.5 Konsumsi Makanan Penghambat Absorpsi Fe
Tabel 5.15
Distribusi Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014
No Frekuensi Makan
Penghambat Absorpsi Fe
Frekuensi Presentase
1. Baik: ≥ 7 kali seminggu 84 68,3%
2. Tidak baik: < 7 seminggu 39 31,7%
Jumlah 123 100%
Frekuensi makan penghambat absorpsi Fe adalah frekuensi makan
penghambat absorpsi Fe baik (frekuensi makan penghambat absorpsi Fe ≥ 7 kali
seminggu) dan frekuensi makan penghambat absorpsi Fe tidak baik (frekuensi makan
penghambat absorpsi Fe < 7 kali seminggu). Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi
makan sumber absorpsi Fe baik lebih banyak daripada frekuensi makan sumber
absorpsi Fe tidak baik sebanyak 84 responden (68,3%)
5.5 Analisis Bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran hubungan antar
variabel-variabel yang mempengaruhi anemia dengan kejadian anemia remaja putri di
MTs Ciwandan tahun 2014. Untuk mencari hubungan antara variabel pengetahuan
siswi, uang jajan, pendapatan orangtua, pendidikan orang tua, pola haid, asupan zat
gizi (asupan energi, asupan protein, asupan vitamin C dan asupan Fe) dan frekuensi
101
makan dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square dengan menggunakan
CI 95%, derajat kemaknaan 5%.
5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
5.5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.16 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Pengetahuan Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % n %
3.868
(8.832-1694)
Kurang 27 45 33 55 60 100 0,002
Baik 11 17,5 52 82,5 63 100
Total 38 30,9 85 69,1 123 100
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan kejadian anemia diperoleh
bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki pengetahuan kurang lebih
banyak sebanyak 27 responden (45%) daripada siswi yang memiliki pengetahuan
baik sebanyak 11 responden (17,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.002
(<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan
perhitungan risk estimate diperoleh OR=3,868 (95% Cl 1,694-8,832). Artinya
responden yang memiliki pengetahuan tentang anemia kurang, memiliki peluang
102
3,868 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden
yang memiliki pengetahuan baik.
4.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.17 Hubungan antara Uang Saku Siswi dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Uang Jajan Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % n %
2,995
(6,643-1,350)
Rendah 20 46,5 23 53,5 43 100 0,008
Tinggi 18 22,5 62 77,5 80 100
Total 38 30,9 85 69,1 123 100
Hasil analisis hubungan antara uang jajan dengan kejadian anemia diperoleh
bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki uang jajan rendah lebih banyak
sebanyak 20 responden (46,5%) daripada siswi yang memiliki uang jajan tinggi
sebanyak 18 responden (22,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.008 (<0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara uang jajan dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR= 2,995 (95% Cl 6,643-1,350). Artinya responden yang
memiliki uang jajan rendah memiliki peluang 2,995 kali untuk menderita anemia
defisiensi besi dibandingkan dengan responden yang memiliki uang jajan tinggi.
103
4.5.1.3 Hubungan antara Pendapatan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.18 Hubungan antara Pendapatan Orangtua dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Pendapatan
Orangtua
Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % N %
6,245
(19,174-2,034)
Rendah 34 41 49 59 83 100 0,000
Tinggi 4 10 36 90 40 100
Total 38 30,9 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendapatan orangtua dengan
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
pendapatan orangtua rendah lebih banyak sebanyak 34 responden (41%) daripada
siswi yang memiliki pendapatan orangtua tinggi sebanyak 4 responden (10%).Hasil
uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pendapatan orangtua dengan
kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh
OR=6,245 (95% Cl 19,174-2,034). Artinya responden dengan pendapatan orangtua
rendah memiliki peluang 6,245 kali untuk menderita anemia defisiensi besi
dibandingkan dengan responden dengan pendapatan orangtua tinggi.
104
5.5.1.4 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.19 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Pendidikan
Orangtua
Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % N %
3,184
(7,243-1,400)
Rendah 27 42,2 37 57,8 64 100 0,006
Tinggi 11 18,6 48 81,4 59 100
Total 38 30,9 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendidikan orangtua dengan
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
pendidikan orangtua rendah lebih banyak 27 responden (42,2%) daripada siswi yang
memiliki pendidikan orang tinggi sebanyak 11 responden (18,6%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0.006 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
ada hubungan yang bermakna antara pendidikan orangtua dengan kejadian anemia
remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR= 3,184 (95% Cl
7,243-1,400). Artinya responden dengan pendidikan orangtua tentang rendah,
memiliki peluang 3,184 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan
dengan responden dengan pendidikan orangtua tinggi.
105
5.5.2 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.20 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Pola Haid Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
49,500
(156,165-
15,690)
Tidak Normal 37 97,4 1 2,6 38 100 0,000
Normal 1 1,2 84 98,8 85 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pola menstruasi dengan kejadian
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki pola
menstruasi tidak normal lebih banyak 37 responden (97,4%) daripada siswi yang
memiliki pola menstruasi normal sebanyak 1 responden (1,2%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik
ada hubungan yang bermakna antara pola menstruasi dengan kejadian anemia remaja
putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=49,500 (95% Cl 156,165-
15,690). Artinya responden dengan pola menstruasi tidak normal memiliki peluang
49,500 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden
dengan pola menstruasi normal.
106
5.5.3 Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
5.5.3.1.1Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.21 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Asupan Energi Anemia Total OR Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
8,379
(37,378-1,878)
Tidak Baik 36 38,3 58 61,7 94 100 0,001
Baik 2 6,9 27 93,1 29 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara asupan energy dengan kejadian
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
energi tidak baik lebih banyak 36 responden (38,3%) daripada siswi yang memiliki
asupan energi baik sebanyak 2 responden (6,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.001 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara asupan energi dengan kejadian anemia remaja putri.
Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR= 8,379 (95% Cl 37,378-1,878).
Artinya responden dengan asupan energi tidak baik memiliki peluang 8,379 kali
107
untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan
asupan energi.
5.5.3.1.2 Hubungan antara Asupan Protein denganAnemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.22 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Asupan
Protein
Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
5,687
(16,474-2,089)
Tidak Baik 33 42,3 45 57,7 78 100 0,000
Baik 5 11,1 40 88,9 45 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara asupan protein dengan kejadian
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
protein tidak baik lebih banyak 33 responden (42,3%) daripada siswi yang memiliki
asupan protein baik sebanyak 5 responden (11,1%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri.
Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR= 5,687 (95% Cl 16,474-2,089).
Artinya responden dengan asupan protein tidak baik memiliki peluang 5,687 kali
untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan
asupan protein baik.
108
5.5.3.1.3 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Tabel 5.23 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Asupan Vit.C Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
1,585
(1,837-1,367)
Tidak Baik 38 36,9 65 63,1 103 100 0,000
Baik 0 0 20 100 20 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara asupan vitamin C dengan kejadian
anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan
vitamin C lebih banyak 38 responden (36,9%) daripada siswi yang memiliki asupan
vitamin C baik sebanyak 0 responden (0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000
(<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan
perhitungan risk estimate diperoleh OR= 1,585 (95% Cl 1,837-1,367). Artinya
responden dengan asupan vitamin C tidak baik memiliki peluang 1,585 kali untuk
menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan asupan
vitamin C baik.
109
5.5.3.1.4 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.24 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia
pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Asupan Fe Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % N %
5,906
(26,650-1,309)
Tidak Baik 36 36 64 64 100 100 0,011
Baik 2 8,7 21 91,3 23 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara asupan Fe dengan kejadian anemia
diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki asupan Fe tidak baik
lebih banyak 36 responden (36%) daripada siswi yang memiliki asupan Fe baik
sebanyak 2 responden (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.011 (<0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara asupan Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR= 5,906 (95% Cl 26,650-1,309). Artinya responden dengan
asupan Fe tidak baik memiliki peluang 5,906 kali untuk menderita anemia defisiensi
besi dibandingkan dengan responden dengan asupan Fe.
110
5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
5.5.3.2.1 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari denganAnemia pada
Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.25
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia padaSiswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Frekuensi
Makan dalam
Sehari
Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % N % N %
24.208
(114.019-
5.140)
Tidak Baik 14 87,5 2 12,5 16 100 0,000
Baik 24 22,4 83 77,6 107 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sehari dengan
kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki
frekuensi makan sehari tidak baik lebih banyak 14 responden (87,5%) daripada siswi
yang memiliki frekuensi makan sehari baik sebanyak 24 responden (22,4%). Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan sehari dengan kejadian
anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh
OR=24,208(95% Cl 114.019-5.140). Artinya responden dengan frekuensi makan
111
sehari tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk menderita anemia defisiensi
besi dibandingkan dengan responden dengan frekuensi makan sehari yang baik.
5.5.3.2.2 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.26
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia padaSiswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Frekuensi
Makan
Sumber Heme
Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
38.942
(130.206-
11.647)
Tidak Baik 25 86,2 4 13,8 29 100 0,000
Baik 13 13,8 81 86,2 94 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber heme
dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang
memiliki frekuensi makan sumber heme tidak baik lebih banyak 25 responden
(86,2%) daripada siswi yang memiliki sumber heme baik sebanyak 13 responden
(13,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi
makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan
risk estimate diperoleh OR= 38,942(95% Cl 130.206-11.647). Artinya responden
112
dengan frekuensi makan sumber heme tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk
menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan frekuensi
makan sumber heme baik.
5.5.3.2.3 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan
Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.27
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemiapada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Frekuensi
Makan
Sumber Non
Heme
Kejadian Anemia Total OR Pvalue
Anemia Normal
N % n % N % 39.000
(269.949-
5.634)
Tidak Baik 38 97,4 1 2,6 39 100 0,000
Baik 0 0 84 100 84 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Total 38
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber non
heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang
memiliki frekuensi makan non heme tidak baik lebih banyak 38 responden (97,8%)
daripada siswi yang memiliki frekuensi makan sumber non heme baik sebanyak 0
responden (0%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
113
sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber non heme
yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
frekuensi makan sumber non heme baik.
5.5.3.2.4 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dalam
Sehari dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.28
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe denganAnemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Frekuensi
Makan
Peningkat
Absorpsi Fe
Kejadian Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N % 13.667
(40.624-
4.598)
Rendah 38 92,7 3 7,3 41 100 0,000
Tinggi 0 0 82 0 82 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber
peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi
pada siswi yang memiliki frekuensi makan peningkat Fe rendah lebih banyak 38
responden (92,7%) daripada siswi yang memiliki peningkat Fe tinggi sebanyak 0
responden (0%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 (<0.05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
114
OR sebesar 13.667 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 13 kali lebih besar dibandingkan
siswi dengan frekuensi makan sumber peningkat Fe tinggi.
5.5.3.2.5 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan
Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Tabel 5.29
Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe denganAnemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014
Frekuensi
Makan
Penghambat
Absorpsi Fe
Kejadian Anemia Total OR
Cl 95%
Pvalue
Anemia Normal
N % n % N %
12.000
(29.625-4.861)
Rendah 26 66,7 13 33,3 39 100 0,000
Tinggi 12 14,3 72 85,7 84 100
Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Total 38
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber
penghambat absorpsi Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia
terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan penghambat Fe rendah lebih
banyak 12 responden (14,3%) daripada siswi yang memiliki frekuensi makan
penghambat Fe sebanyak 26 responden (66,7%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0.000 (<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara frekuensi makan penghambat absorpsi Fe dengan kejadian
115
anemia remaja putri. Nilai OR sebesar 12 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi
makan penghambat absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 12 kali lebih
besar dibandingkan siswi dengan frekuensi makan sumber penghambat absorpsi Fe
tinggi.
116
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini melibatkan hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan, uang
jajan, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua), pola menstruasi dan kebiasaan
makan dengan kejadian anemia gizi besi siswi MTs Ciwandan. Keterbatasan
penelitian ini adalah beberapa faktor lain yang berhubungan dengan anemia yang
belum dapat diteliti dalam penelitian ini, karena perlu dilakukannya pengkajian secara
klinis yang merupakan diluar kemampuan peneliti seperti, penyakit infeksi yang
diderita (contohnya: malaria, TBC), faktor perdarahan kecelakaan, dan aktifitas fisik
sehingga belum bisa menjelaskan dengan tepat faktor-faktor yang membengaruhi
anemia. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah penelitian ini hanya sampai
teknik analisis bivariat, sehingga untuk dapat menjelaskan faktor-faktor yang
bersinergis dan faktor yang paling dominan mempengaruhi anemia perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut ke teknik analisis multivariat.
Dalam penelitian ini frekuensi makan sumber heme dan non heme serta
makanan penghambat dan peningkat absorbsi Fe menggunakan metode FFQ (Food
Frequency Quetioner) selama periode tertentu. Metode tersebut memiliki beberapa
kelemahan yaitu sangat tergantung pada daya ingat remaja putri. Beberapa responden
menjawab pertanyaan kurang serius yaitu menjawab frekuensi makan tidak sesuai
117
dengan kenyataan yang menyebabkan penilaian terhadap frekuensi makan menjadi
tidak tepat.
6.2 Status Anemia Gizi Besi Siswi MTs Ciwandan
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Lebih
dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada di Negara-
negara yang mengalami anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat
dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase wanita tidak hamil
yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007). Anemia pada umumnya
terjadi di seluruh dunia, terutama Negara berkembang (developing countries) dan
pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45%
wanita di Negara berkembang dan 13% di Negara maju (Fatmah, 2009).
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2006). Anemia adalah
keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah di
bawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2007). Menurut WHO,
kadar hemoglobin normal untuk anak usia 5-18 tahun adalah 12 mg/dl (Arisman,
2004). Seseorang dikatakan anemia apabila kadar Hb di bawah batas normal.
118
Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa responden yang berstatus
anemia adalah sebesar 30,9% sedangkan responden yang berstatus anemia sebesar
69,1%. Hasil pemeriksaan yang diperoleh pada waktu pelaksanaan penelitian berbeda
dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada saat studi pendahuluan yaitu 13%.
Hal ini karena adanya perbedaan variasi responden. Pada saat studi pendahuluan
responden yang diambil sampel adalah siswi kelas VIII sedangkan pada penelitian
responden adalah seluruh siswi kelas VII, VIII IX yang menjadi sampel sebanyak 123
responden.
Prevalensi pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
penelitian anemia oleh Nurul Barokah (2010), yang dilakukan pada remaja putri kelas
VII dan VIII SMP Muhammadiyah Tangsel adalah sebesar 62,9%. Namun lebih
tinggi bila dibandingkan denganAdriana 2010 yang dilakukan pada remaja putri
MAN 2 Bogor di dapat prevalensi anemia sebesar 23,2%.
Penyebab perbedaan angka prevalensi kemungkinan karena perbedaan metode
pemeriksaan kadar Hb. Pada penelitian Barokah (2010) dan Adriana (2010),
pemeriksaan kadar Hb dilakukan dengan metode Sahli dan Sianmethemoglobin. Pada
metode sahli ini, hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianidamenjadi
methemoglobinyang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sian-
methemoglobin yang berwarna merah.Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan
dibandingkan dengan standar karena yang membandingkan alat elektronik, maka
hasilnya lebih objektif.
119
Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan
biaya pemeliharannya mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secara luas di
Indonesia. Mengingat bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan
kerusakan pada alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb
di laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk survei
lapangan (Supariasa, dkk., 2002).
Penentuan hemoglobin dengan metode Sahli menghasilkan nilai rata-rata
kadar Hb 10% lebih rendah dari hasil penentuan kadar Hb dengan metode
Sianmethemoglobin. Penentuan kadar Hb dengan metode Sianmethemoglobin lebih
akurat jika dibandingkan penggunaan metode Sahli (Muhilal dan Saidin, 1980).
Prinsip sianmethemoglobin dilakukan dengan hemoglobin darah menjadi
sianmethemoglobin dalam larutan yang berisi kalium sianida. Absorbansi larutan
diukur pada panjang gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang
dipakai pada cara ini mengubah hemoglobin, oksihemoglobin, methemoglobin dan
karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin ditentukan dari
perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standard sianmethemoglobin.
Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus untuk laboratorium
rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar hemoglobin dengan teliti karena
standar sianmethemoglobinyang ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara
ini dapat mencapai kira-kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam
suatu sampel darah dapat mengganggu pembacaan dalam fotokalorimeter dan
120
menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari sebenarnya
contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia (Wijayanti, 2005).
Oleh karena itu penulis menggunakan metode hemoglobinometer digital yang
mana dapat dengan mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena
teknik untuk pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar
hemoglobin tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi
dan presisi yang tinggi berbanding metode laboratorium yang standar.Alat ini juga
stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang lama. Prinsip
metode ini adalah tindak balas darah dengan bahan kimia pada strip yang digunakan.
Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah ferrosianida. Reaksi tindak balas akan
menghasilkan arus elektrik dan jumlah elektrik yang dihasilkan adalah bertindak
balas langsung dengan konsentrasi haemoglobin. (Hamill, 2010).
Menurut besarnya masalah kesehatan masyarakat, WHO (2008)
mengklasifikasikan anemia menjadi suatu masalah dalam kesehatan masyarakat pada
suatu daerah dalam rentang sebagai beritkut:
1. Angka prevalensi di bawah 4,9% bukan merupakan masalah kesehatan
masyarakat.
2. Angka prevalensi 5-19,9% merupakan masalah kesehatan masyarakat ringan
3. Angka prevalensi 20-39,9% merupakan masalah kesehatan masyarakat sedang
4. Angka prevalensi lebih dari 40% merupakan masalah kesehatan masyarakat
berat.
121
Berdasarkan besarnya masalah kesehatan masyarakat tersebut, diketahui bahwa
presentase anemia dalam penelitian ini (30,9%) termasuk kedalam kategori masalah
kesehatan masyarakat tingkat sedang dan perlu dilakukan intervensi untuk menangani
masalah tersebut.
Dampak remaja putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan
pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam
beraktivitas karena cepat merasa lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi
pemusatan perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah (Almatsier, 2001).
Menurut Guyton (1999) dampak anemia akan mengakibatkan sel-sel tubuh
kekurangan oksigen yang mengakibatkan fungsi jaringan/organ tidak optimal
termasuk otak. Anemia juga bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang,
gangguan kognitif (belajar) serta penurunan fungsi otak, aktivitas fisik dan daya tahan
tubuh. Jika daya tahan tubuh menurun, maka resiko infeksi pun meningkat. Anemia
bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi, tentunya bisa berdampak pada prestasi
mereka saat usia pra sekolah dan sekolah. Akibatnya, bisa terjadi gangguan
konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas penyelesaian masalah dan kecerdasan
intelektual (IQ) yang rendah serta gangguan perilaku (Fatmah, 2008).
Hal ini sangat memerlukan perhatian dari pemerintah setempat untuk melakukan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan anemia pada remaja terutama pada
siswi yang kadar Hb < 12mg/dl. Sebagaimana kita ketahui remaja putri sebagai calon
122
ibu sangat berperan nantinya dalam menentukan kualitas sumber daya manusia yang
akan datang.
Upaya penanggulangan anemia yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini
adalah melakukan penyuluhan gizi untuk meningkatkan kesadaran konsumsi gizi
seimbang sesuai dengan kebutuhaan setiap individu dan kelompok sasaran melalui
nasehat gizi di meja 4 Posyandu dan di adakannya deteksi dini anemia remaja setiap
setahun sekali. Selain itu juga dilaksanakan pemberian zat besi bagi remaja putri
setiap setahun sekali disalah satu sekolah, dan kelompok sasaran yang paling rentan
yaitu ibu hamil di setiap posyandu. Pemberian zat besi merupakan suplementasi
langsung yang dapat memperbaiki status anemia dalam waktu singkat.
Suplementasi besi atau pemberian tablet/sirup besi merupakan salah satu upaya
penting dalam pencegahan dan penanggulangan anemia, karena jenis anemia yang
terbanyak di Indonesia adalah “Anemia Gizi Besi”. Selain itu, suplementasi besi
merupakan cara yang efektif karena kandungan besinya padat dan dilengkapi dengan
asam folat yang sekaligus dapat mencegah dan menanggulangi anemia akibat
kekurangan asam folat. Cara ini juga efisien karena tablet besi harganya murah dan
dapat terjangkau oleh masyarakat luas serta mudah didapat.
Anemia tergantung derajat beratnya dapat mengakibatkan gangguan ringan
sampai berat. Anemia sedang dan ringan dapat menimbulkan gejala lesu, lelah,
pusing, yang bila terjadi pada anak sekolah akan mengurangi kapasitas dan
123
kemampuan belajar. Sedangkan pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas
kerja. Disamping itu penderita anemia akan mudah terserang penyakit infeksi.
Hal ini tentunya sangat merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya
manusia.Sedangkan tindakan jangka panjangnya adalah dengan melakukan program
fortifikasi. Fortifikasi adalah salah satu bentuk upaya penanggulangan masalah
kurang gizi yang efektif dan murah sebagaimana yang dikatakan Guthrie (1995)
yaitu, fortifikasi dilakukan dengan menambahkan zat besi ke dalam bahan makanan
yang banyak di konsumsi masyarakat, terutama rawan terhadap kekurangan zat besi.
Selain itu, bahan makanan yang akan di fortifikasi harus tahan lama.
6.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Status sosial ekonomi dianggap sangat membawa pengaruh terhadap
kesehatan masyarakat. Faktor yang dapat diukur dalam status ekonomi sosial adalah
pendapatan keluarga, pendidikan orang tua atau diri sendiri, dan status profesional
orang tua atau diri sendiri. Status kesehatan terkait dengan status sosial ekonomi.
Pendidikan juga sangat berhubungan dengan kesehatan menuju yang lebih baik,
pendidikan bisa merubah hasil kesehatan dan meningkatkan umur panjang dengan
mendorong untuk berperilaku hidup sehat dan demikian juga untuk mengurangi
tingkah laku yang menempatkan individu terhadap risiko terkena penyakit.
Pendidikan dengan level yang lebih tinggi ditambah dengan peningkatan
kekayaan dapat menyediakan sumber daya yang lebih besar, dapat meningkatkan
akses perawatan medis yang lebih baik dan menyediakan kemampuan yang lebih
124
besar untuk melindungi diri terhadap risiko penyakit.Makin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin
baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan
pelayanan kesehatan.
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung
diprediksi sebagai pokok masalah di masyarakat. Sedangkan akar masalahnya berupa
kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber
daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan.
Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk, defisiensi
Vitamin dan mineral (salah satu nya adalah zat besi) akibat kemiskinan dan
ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai(Widyastuti dan Hardiyanti, 2008)
Sehingga dapat disimpulkan akar masalah dari defisiensi zat besi adalah
karena adanya krisis ekonomi, politik, dan sosial, yang mana hal tersebut akan
berdampak pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan kemampuan
masyarakat yang rendah akibat tidak stabil-nya keadaan negara. Misalnya seperti
krisis ekonomi yang memunculkan krisis moneter mengakibatkan daya beli
masyarakat rendah karena ketidakmampuan masyarakat dalam membeli bahan
makanan yang dibutuhkan keluarganya.
Murti (2010) menyatakan bahwa terdapat kesenjangan kesehatan yang
mencolok antara masyarakat di Negara kaya dan negara miskin, antar masyarakat di
berbagai wilayah di dalam suatu Negara, dan antar masyarakat dengan berbagai
latarbelakang status sosial ekonomi. Padahal kesehatan merupakan hak asasi manusia,
125
yang seharusnya tidak memihak kepada status sosial ekonomi tertentu. Data WHO
(World Health Organization) sekitar 2 milyar penduduk, atau lebih dari 30% populasi
penduduk dunia mengalami anemia. Di Negara berkembang prevalensi anemia cukup
tinggi. Sekitar 370 juta jiwa wanita di Negara berkembang mengalami anemia
(Widyastuti dan Hardiyanti, 2008).
Perilaku konsumsi makanan dipengaruhi faktor intrinsik yaitu faktor-faktor
yang berasal dari diri seseorang seperti usia, jenis kelamin, dan keyakinan serta faktor
ekstrindsik, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang seperti tingkat
ekonomi, pendidikan, pengalaman, iklan, tempat tinggal, lingkungan sosial dan
kebudayaan.
Bhargava et al. (2001) mengemukakan bahwa faktor sosial ekonomi
berpengaruh terhadap asupan besi seseorang yang bersumber dari daging, ikan dan
unggas serta makanan hewani lainnya. Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi di Negara
berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan
orang tua dan penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang
buruk. Menurut Suhardjo (1989) bahwa rendahnya tingkat konsumsi disebabkan oleh
pemanfaatan pangan belum optimal, distribusi makanan belum merata, pengetahuan
tentang gizi dan pangan kurang, faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan
rendah, besar keluarga tinggi, tingkat pengetahuan rendah serta faktor budaya
setempat yang tidak mendukung antara lain masih terdapat pantangan, tahayul, tabu
dalam masyarakat.
126
Peran pemerintah untuk program gizi masyarakat dengan tujuan
penanggulangan masalah gizi sudah banyak yang diluncurkan. Meskipun demikian
angka kurang zat besi di masyarakat terutama pada kelompok rentan masalah gizi
seperti bayi, balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil, dan menyusui, serta usia lanjut
masih tetap menjadi masalah.Kebutuhan zat besi pada remaja juga megalami
peningkatan kebutuhan yang cukup besar selama pubertas, pada remaja putri, awal
menstruasi memberikan beban ganda. Dimana remaja putri membutuhkan lebih
banyak zat besi untuk menggantikan zat besi yang hilang bersama darah haid. Prinsip
dasar dalam pencegahan anemia karena defisiensi zat besi adalah memastikan
konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan meningkatkan
kandungan serta biovailabilitas (ketersediaan hayati) zat besi dalam makanan.
6.3.1 Hubungan Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Pada variabel pengetahuan dalam penelitian ini dilihat dari semua jawaban
soal-soal pengetahuan tentang anemia yang berjumlah 30 pertanyaan. Semua jawaban
yang benar dikategorikan menjadi skor yang tinggi jika jawaban lebih atau sama
dengan nilai median (≥18 soal), dan rendah jika kurang dari nilai median atau < 18
soal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki
pengetahuan baik (51,2%), lebih banyak daripada responden yang memiliki
pengetahuan kurang (48,8%). Hasil penelitian menunjukkan besarnya presentase
pengetahuan baik pada siswi MTs, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
Farida (2007) yang menyatakan bahwa sebagian siswi yang memiliki pengetahuan
baik sebesar 82,2%.
127
Pada penelitian ini, variabel pengetahuan bertujuan untuk mengetahui
pengetahuan siswa mengenai pengertian anemia, dimana siswa mendengar informasi
mengenai anemia, dimana siswa mendapat penyuluhan anemia (jika siswi pernah
mengikuti penyuluhan), gejala anemia, penyebab anemia, cara pemeriksaan anemia,
kadar hemoglobin normal, dampak anemia, penanggulangan anemia, makanan
sumber zat besi serta makanan yang membantu dan menghambat penyerapan zat besi.
Berdasarkan hasil penelitian, semua siswi (100%) pernah mendengar kata
anemia dan mengetahui pengertian anemia dari saudara/keluarga/teman, petugas
kesehatan, pelajaran sekolah, berbagai mediamassa (koran, majalah, radio, TV dan
sebagainya). Sebagian besar siswi mengetahui pengertian anemia berasal dari
pelajaran sekolah, namun belum dijelaskan secara mendalam sebanyak 64%,
sedangkan melalui media massa paling sering melalui televisi sebanyak 22%, melalui
petugas kesehatan sebanyak 17%, mendengar dari sanak saudara/keluarga sebanyak
5%, dan siswa melalui selembaran dan sebagainya. Pada umumnya siswa belum
pernah mengikuti penyuluhan mengenai anemia. Hal ini menjadi salah satu bukti
bahwa pendidikan gizi melalui penyuluhan belum dilaksanakan secara menyeluruh ke
pelosok desa.
Gejala anemia dilihat berdasarkan fisik seperti 5 L (Lemah, Letih, Lesu,
Lemah dan Lunglai), sebanyak 90% siswi sudah mengetahui gejala anemia dengan
benar. Sebagian besar, siswi sudah mengetahui penyebab anemia yaitu akibat kurang
makan makanan bergizi, penyakit infeksi (seperti cacing tambang, malaria),
disebabkan pendarahan (nifas dan menstruasi) serta frekuensi makan yang kurang.
128
Sebanyak 85% siswi telah mengetahui penyebab anemia karena kurang makan
makanan bergizi serta frekuensi makan yang kurang, sedangkan disebabkan
pendarahan (nifas dan haid) sebanyak 37% siswi telah mengetahuinya, namun
sebagian besar siswi belum mengetahui penyebab lain anemia karena penyakit
infeksi, hanya 5% saja siswi yang telah mengetahui.
Seseorang dikatakan anemia ketika kadar hemoglobin kurang dari 12g/dl,
sebanyak 75% saja siswi yang telah mengetahui kadar hemoglobin normal.
Kemudian jika sesorang telah memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12g/dl
(anemia), dampak yang ditimbulkan dapat sangat mempengaruhi prestasi belajar,
mengurangi semangat beraktivitas, tubuh menjadi cepat lelah dan malas, kepala
pusing/bisa menyebabkan pingsan. Sebanyak 15% siswi telah mengetahui dampak
anemia dapat mempengaruhi prestasi belajar, sebanyak 32% siswi mengetahui
anemia dapat mengurangi semangat beraktivitas sebanyak 34% siswi mengetahui
anemia mengakibatkan tubuh menjadi cepat lelah dan malas, dan sebanyak 71% siswi
mengetahui anemia dapat menyebabkan kepala pusing/sampai pingsan.
Sebagian besar siswa sudah mengetahui penanggulangan anemia dengan
konsumsi tablet tambah darah sebanyak 95%, namun hanya 10% saja siswi yang
pernah mengkonsumsi tablet tambah darah. Selain itu dengan konsumsi sumber zat
besi juga dapat menanggulangi dan mencegah anemia terutama sumber protein
hewani (daging sapi, kambing, ayam, hati dan sebagainya) serta sumber makanan
yang dapat membantu penyerapan Fe dalam usus halus (salah satunya sumber
vitamin C) dan sumber makanan penghambat penyerapan Fe adalah kopi dan teh,
129
namun siswi belum mengetahui sumber zat besi dalam makanan hanyak sebanyak
25% saja yang telah mengtahui, sebanyak 27% siswi telah mengetahui vitamin C
dapat membantu penyerapan zat besi dan sebanyak 15% sisiwi mengetahui kopi dan
teh dapat menghambat penyerapan zat besi.
Hasil penelitian pada variabel pengetahuan dapat disimpulkan bahwa
responden yang berstatus anemia defisiensi besi dan memiliki pengetahuan kurang
baik (45%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia lebih banyak pada
responden yang memiliki pengetahuan baik (82,5%) daripada responden yang
memiliki pengetahuan kurang (55%).
Pengetahuan gizi menjadi landasan dalam menentukan konsumsi pangan
individu. Jika seseorang memiliki pengetahuan gizi yang baik, maka cenderung untuk
memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, pengetahuan gizi dapat
meningkatkan seseorang dalam menerapkan pengetahuan gizinya dalam memilih
maupun mengolah bahan makanan sehingga kebutuhan gizi tercukupi (Khomsan,
2007).
Notoatmodjo (2003) menambahkan bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu
yang terjadi setelah orang melakukan pengetahuan terhadap objek terntentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera meliputi indera penglihatan, pendengaran,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan tentang anemia pada remaja diperoleh dari berbagai sumber,
misalnya media massa, media elektronik, petugas kesehatan, kerabat terdekat, dan
130
lain sebagainya. Secara langsung panca inderanya yaitu penglihatan, pendengarannya
dimanfaatkan untuk menangkap informasi tersebut. Hasil akumulasi informasi-
informasi yang diperolehnya membentuk suatu pengetahuan.
Hasil uji statistic menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=3,868 (95% Cl 1,694-8,832). Artinya responden yang
memiliki pengetahuan tentang anemia kurang, memiliki peluang 3,868 kali untuk
menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden yang memiliki
pengetahuan baik. Pengaruh pengetahuan dengan kejadian anemia dibuktikan dalam
penelitian Yasmin (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan kejadian anemia.
Pada penelitian Yasmin (2012) menunjukkan pengetahuan remaja yang
kurang lebih banyak menderita anemia (83,3%) dibandingkan dengan remaja dengan
pengetahuan baik 46,5%. Pengetahuan dapat mengubah perilaku dan sikap yang
kemudian akan melahirkan kesadaran diri dalam memilih bahan makanan yang sehat
dan bergizi (terutama sumber zat besi) dan menghindari makanan dan minuman yang
dapat menghambat penyerapan zat besi.
Sebagaimana pendapat Hamid (2002) yang menyatakan bahwa tingkat
pengetahuan siswi yang baik tentang anemia gizi diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap sikap dan perilaku positif dalam pemilihan bahan makanan yang
bermanfaat bagi kesehatan terutama dalam mencegah rendahnya kadar Hb. Misalnya
131
perilaku siswi dalam mengkonsumsi makanan seimbang dengan pola makan teratur
setiap hari.
Tingkat pengetahuan siswa di MTs Ciwandan rendah disebabkan oleh 3 faktor
yaitu yang pertama rendahnya tingkat pendidikan seseorang, yang kedua tidak ada
atau kurang meratanya kegiatan edukasi/penyuluhan yang dilakukan tenaga kesehatan
dan ketiga kurangnya frekuensi kegiatan edukasi oleh tenaga kesehatan setempat.
Remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk
menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan,
sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya.
Namun, tak jarang jika seseorang sudah berpengetahuan baik tentang asupan
makan sesuai gizi seimbang tapi ia terkena anemia. Hal ini dikarenakan kurangnya
kesadaran dalam menerapkan informasi pada kehidupannya sehari-hari. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Harper (1985) dan Suhardjo (2003) yang
menyatakan penyebab penting dari gangguan gizi selain kemiskinan dan persediaan
pangan adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk
menerapkan informasi terebut dalam kehidupan sehari-hari.
Haryati dkk (2004) menambahkan bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia
yang tinggi tetapi tidak disertai dengan perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-
hari tidak akan berpengaruh pada keadaan gizi individu tersebut. Hal ini terjadi
karena remaja putri memiliki kecenderungan lebih mementingkan penampilannya
atau menjaga kecantikan tubuhnya, khawatir menjadi gemuk, sehingga membatasi
132
diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung banyak energi, tidak mau
makan pagi serta kebiasaan menunda waktu makan. Mereka cenderung lebih memilih
konsumsi diet tanpa lemak atau hanya konsumsi buah-buahan daripada makanan
sehat.
Oleh karena itu penting sekali adanya pendidikan gizi dari berbagai pihak
sebagai upaya untuk mendidik berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah gizi.
Disarankan pihak pemerintah setempat (Dinas Kesehatan Cilegon) lebih luas
menyebarkan informasi tentang anemia pada remaja putri, misalkan dengan
melakukan penyuluhan disekolah tentang hal-hal yang berkaitan pencegahan anemia
yang dilaksanakan secara berkesinambungan serta pentingnya peran pihak sekolah
dalam revitalisasi kegiatan UKS dan PMR untuk melakukan penajaringan siswi yang
mempunyai masalah kesehatan (anemia) sebagai deteksi dini serta kegiatan edukasi
gizi untuk merubah perilaku siswa terutama dalam mengkonsumsi makanan sehat dan
bergizi.
6.3.2 Hubungan Uang Jajan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan.
Pada penelitian ini uang jajan yang diberikan oleh orangtua untuk anak per
hari maksimal Rp 12.000 dan minimal Rp 3.000. untuk mengetahui siswi memiliki
uang jajan yang rendah atau tinggi, pada penelitian ini menggunakan nilai median Rp
5.000. Sehingga uang jajan dikatakan tinggi jika lebih dari Rp 5000 dan dikatakan
rendah apabila kurang dari Rp 5000. Berdasarkan hasil penelitian responden yang
memiliki uang jajan rendah sebanyak (35%). Sedangkan responden yang miliki uang
133
jajan tinggi sebanyak (65%). Hal ini menunjukkan sebagian besar siswi MTs
Ciwandan Cilegon tahun 2014 menerima uang jajan yang tinggi.
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
yang memiliki uang jajan kurang (22,5%) daripada responden yang memiliki uang
jajan tinggi (46,5%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi
besi lebih sedikit pada responden yang memiliki uang jajan kurang (53,5%) daripada
responden yang memiliki uang jajan tinggi (77,5%).
Menurut Ariyanti (2005) yang menyatakan bahwa besaran uang jajan adalah
uang dalam rupiah yang diberikan orangtua setiap hari untuk keperluan jajan. Uang
jajan merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan
kepada anak untuk waktu tertentu.
Biasanya makanan yang menurut mereka menarik atau disukai adalah
makanan fast food. Makanan fast food yang sering di gemari siswi MTs Ciwandan
adalah makanan banyak mengandung kalori tinggi karena berbahan dasar tepung dan
di olah dengan cara di goreng seperi cimol, cilok, bakso goreng (basreng), gorengan
tempe, gorengan ubi, batagor, siomay, bakwan, mie instan, mie ayam dan sebagainya.
Secara umum makanan cepat saji mengandung kalori, kadar lemak, gula dan sodium
(Na) yang tinggi tetapi rendah serat, vitamin A, asam akorbat, kalsium, Fe dan folat.
Oleh karena itu, jika siswi sering mengkonsumsi makanan fast food maka angka
kecukupan vitamin dan mineral terutama zat besi (Fe) tidak tercukupi.
134
Seperti yang dijelaskan (NHCS, 1976 dalam Linda, 2003), Kebiasaan makan
anak sekolah rata-rata tidak lebih dari tiga kali sehari dan yang disebut dengan
makanan bukan hanya dalam konteks mengkonsumsi makanan pokok saja, tetapi
kudapan/cemilan di kategorikan sebagai makan. Wardiatmo dan Ridwan (1987)
menambahkan dalam Heriyana (2004) yaitu jenis makanan jajanan yang banyak
dibeli oleh anak-anak sekolah pada umumnya adalah makanan lengkap. Dilihat dari
segi gizi pada umumnya makanan tersebut mengandung zat gizi yang padat akan
energi tetapi kurang mengandung zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara uang jajan dengan status anemia defisiensi besi. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR =2,995 (1,350-6,643). Artinya responden yang memiliki uang
jajan kurang, memiliki peluang 2,995 kali untuk menderita anemia defisiensi besi
dibandingkan dengan responden yang memiliki uang jajan tinggi/cukup.
Pengaruh uang jajan dengan kejadian anemia dibuktikan dalam penelitian
Barokah (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara uang
jajan dengan kejadian anemia, dengan nilai (p<0,05). Diketahui bahwa remaja putri
dengan uang jajan rendah memiliki resiko anemia 3 kali lebih besar dibanding dengan
remaja putri dengan uang jajan tinggi/ cukup. Kebiasaan jajan remaja mendorong
remaja memilih jajanan yang mereka suka dan sesuai dengan uang jajan mereka,
semakin rendah uang jajan maka akan semakin rendah konsumsi zat gizinya,
ditambah lagi dengan kebiasaan remaja yang mengkonsumsi jajanan fast food yang
rendah akan asupan gizi (terutama energi, protein, vitamin C dan Fe).
135
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Insel et al (2006) dalam Wulandari
(2007) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola
uang sakunya sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk memilih sesuka hatinya.
Kebebasan memilih makanan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi anemia
remaja. Dengan memliki kebiasaan untuk memilih sendiri makanannya, remaja
cenderung untuk membeli apapun yang disukai atau menarik menurut mereka, tanpa
memperhatikan apakah makanan tersebut seimbang atau tidak. Pemilihan makanan
yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh pada status anemia mereka.
Menurut teori Berg (1986) yang mengatakan bahwa uang yang dimiliki oleh
seseorang akan dapat mempengaruhi apa yang dikonsumsinya. Biasanya remaja
memilih makanan sesuatu dengan uang saku mereka. Uang saku yang cukup besar,
biasanya remaja sering mengkonsumsi makanan-makanan modern dengan
pertimbangan prestise dan juga dengan harapan akan diterima di kalangan peer group
mereka. Makanan yang biasa dipilih adalah fast food dengan pertimbangan harganya
juga tidak terlalu mahal. Peluang untuk menjadi konsumen makanan sesungguhnya
akan sangat ditentukan oleh daya beli keluarga atau orang tua anak, karena keputusan
konsumsi untuk anak sangat dipengaruhi oleh daya beli (Sumarwan, 2007)
Banyak alasan yang melatarbelakangi kebiasaan jajan anak sekolah
diantaranya: anak tidak sarapan pagi, faktor psikologis seperti anak melihat temannya
jajan sehingga dia ingin seperti temannya, faktor biologis anak perlu dipenuhi
walaupun dirumah sudah makan tetapi tambahan makanan dari jajan masih
diperlukan oleh anak karena kegiatan fisik di sekolah yang memang memerlukan
136
tambahan energi, dan faktor perilaku orang tua yang biasa memberikan uang jajan
kepada anak dengan alasan lebih praktis.
Disimpulkan bahwa kebiasaan jajan dikalangan anak sekolah merupakan hal
biasa, bahkan sebagian orang tua menganggap biasa memberikan uang jajan kepada
anaknya ketika akan berangkat ke sekolah. Kebiasaan jajan dikalangan remaja
ditunjang oleh uang saku yang telah diberikan orang tuanya diharapkan semakin
besar alokasi uang saku untuk makanan jajanan semakin tinggi konsumsi energi,
protein, zat besi, dan vitamin A. Namun, remaja lebih cenderung konsumsi makanan
yang disukai saja yaitu makanan fast food serta sesuai trend makanan saat itu di
kalangan remaja. Oleh karena itu, perlu adanya peran ibu yang dapat menyiapkan
sarapan di pagi hari serta bekal makan siang agar asupan gizi terpenuhi dan kualitas
makanan terjamin kebersihannya.
6.3.3 Hubungan Pendapatan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Pendapatan orang tua dalam penelitian ini adalah jumlah uang yang
didapatkan dari hasil bekerja ibu dan bapak di keluarga tersebut. Pendapatan rata-rata
orang tua dalam penelitian ini di bagi menjadi dua kategori yaitu pendapatan rendah
jika kurang dari UMR (< Rp 2,760,000) dan pendapatan tinggi jika ≥ Rp 2,760,000.
Bedasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan
orang tua rendah (67,5%), lebih banyak daripada responden yang memiliki
pendapatan orang tua tinggi sebanyak (32,5%).
137
Sebagian besar pekerjaan orangtua bekerja sebagai buruh baik itu buruh
bangunan sebanyak 24% maupun buruh (karyawan) pabrik sebanyak 36%, sebagai
guru sebanyak 25%, karyawan swasta sebanyak 15% dan pekerjaan lainnya (selain
yang disebutkan diatas) 10%. Kota cilegon merupakan kota industri karena banyak
sekali pabrik-pabrik terutama pabrik baja dan pabrik kimia, oleh karena itu tak heran
sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik. Selain itu pekerjaan
sebagai guru masih menjadi mayoritas, disamping mulai banyaknya didirikan
sekolah-sekolah dipelosok desa sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja guru.
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
yang memiliki pendapatan orang tua rendah (10%) daripada responden yang memiliki
pendapatan orang tua tinggi (41%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang memiliki pendapatan orang
tua tinggi (90%) dari pada responden yang memiliki pendapatan orang tua rendah
sebanyak (59%).
Pengeluaran rumah tangga terbesar adalah pada konsumsi pangan. Pendapatan
dapat meningkatkan daya beli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik
untuk keluarga, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin baik kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan yang disediakan dalam keluarga. Hal ini berpengaruh
terhadap status kesehatan setiap individu dalam keluarga termasuk kebutuhan akan
makan yang mengandung fe agar terhindar dari anemia.
Kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan berkurangnya lokasi dan untuk
pembelian makanan sehari-hari sehingga mengurangi jumlah dan kualitas makanan
138
ibu perhari yang berdampak pada penurunan status gizi. Gangguan gizi yang umum
pada perempuan adalah anemia, karena secara fisiologis mengalami menstruasi tiap
bulan. Sumber makanan yang diperlukan untuk mencegah anemia umumnya berasal
dari sumber protein yang lebih mahal, dan sulit terjangkau oleh mereka yang
berpenghasilan rendah. Kekurangan tersebut memperbesar risiko anemia pada
remaja. Anemia berperan terhadap tingginya angka kematian ibu hamil dan semakin
meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan (Purwanto, 2012)
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
pendapatan orang tua dengan kejadian anemia defisiensi besi pada siswi MTs
Ciwandan. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=6,245 (Cl2,034-
19,174). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendapatan
keluarga yang rendah memiliki risiko 6,245 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia.
Pengaruh pendapatan orangtua dengan kejadian anemia dibuktikan dalam
penelitian Farida (2007), berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan
antara pendapatan orang tua dengan kejadian anemia pada remaja putri. Sebanyak
68,8% remaja putri dengan pendapatan orang tua rendah memiliki kadar Hb kurang
dari 12 mg/dl. Ekonomi keluarga merupakan faktor mendasar yang akan
mempengaruhi segala aspek kehidupan. Tingkat ekonomi terkait langsung dengan
daya beli keluarga, baik daya beli terhadap makanan maupun daya beli terhadap
pelayanan kesehatan yang lebih baik.
139
Farida (2007) menambahkan bahwa perubahan pendapatan secara langsung
dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan
penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak
terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya
kejadian anemia.
Pada umumnya penduduk Indonesia, yang sebagian besar terdiri atas petani,
masih mengandalkan sebagian besar konsumsi makanannya pada makanan pokok.
Makanan pokok yang digunakan adalah beras, jagung, umbi-umbian (terutama
singkong dan ubi jalar), dan sagu (Almatsier, 2001). Oleh karena itu, makanan yang
beraneka ragam itu mempunyai peran yang penting karena tidak ada satu jenis
makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Konsumsi
makanan yang beraneka ragam, akan menghindari terjadinya kekurangan gizi, karena
susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis makanan dengan
jenis yang lainnya sehingga diperoleh gizi yang seimbang.
Namun, bagi masyarakat Negara berkembang mayoritas menduduki tingkat
pendapatan keluarga menengah ke bawah. Mayoritas masyarakat hanya mampu
memenuhi konsumsi makanan dari segi kuantitas dari jenis makanan pokok yang
mengandung tinggi karbohidrat namun masih minim kandungan vitamin dan
mineralnya.
140
Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya
diverisifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini berarti menuntut adanya
ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun
(protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka
ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan
gizi bagi seseorang secara lengkap (Khomsan, 2004).
Disimpulkan bahwa kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan
berkurangnya lokasi dan untuk pembelian makanan sehari-hari sehingga mengurangi
jumlah dan kualitas makanan ibu perhari yang berdampak pada penurunan status gizi.
Gangguan gizi yang umum pada perempuan adalah anemia, karena secara fisiologis
mengalami menstruasi tiap bulan. Sumber makanan yang diperlukan untuk mencegah
anemia umumnya berasal dari sumber protein hewani yang lebih mahal, dan sulit
terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga perlu adanya bahan
penukar sumber zat besi dari protein nabati dan sayuran yang lebih terjangkau
harganya. Namun, perlu diimbangi oleh konsumsi sumber vitamin C mengingat
sumber zat besi non heme (protein nabati dan sayuran) hanya 5-10% saja yang
mampu diserap oleh usus halus. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan sumber
zat besi non heme, contoh sumber vitamin C dari buah-buahan yang mudah dan
terjangkau harganya adalah papaya. Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan dan
keterampilan ibu dalam menyediakan menu sehari yang bergizi serta perlunya
beberapa upaya perbaikan gizi dari pemerintah yang berorientasi pada pemberdayaan
masyarakat agar pendapatan masyarakat meningkat.
141
6.3.4 Hubungan Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Siswi MTs
Ciwandan
Pendidikan orangtua dalam penelitian ini adalah pendidikan formal yang
pernah di tempuh ibu dan bapak di keluarga tersebut. Pendidikan orangtua dalam
penelitian ini di bagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan rendah jika pendidikan
formal ditempuh kurang dari 9 tahun (tidak tamat SD atau tidak tamat SMP) dan
pendidikan tinggi jika pendidikan formal ditempuh 9 tahun dan atau lebih dari 9
tahun (Tamat SMP atau tamat SMA atau tamat Perguruan tinggi). Berdasarkan
penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendidikan orangtua rendah
(52%), lebih banyak daripada responden yang memiliki pendidikan orangtua tinggi
sebanyak (48%). Secara khusus, sebagian besar orangtua berpendidikan SMA
sebanyak 46,3%, sebanyak 30,1% berpendidikan SMP, sebanyak 22% berpendidikan
SD dan 1,6% berpendidikan perguruan tinggi (PT).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
yang memiliki pendidikan orangtua tinggi (18,6%) daripada responden yang memiliki
pendidikan orangtua rendah (42,2%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang memiliki pendidikan
orangtua tinggi (81,4%) daripada responden yang memiliki pendidikan orangtua
rendah sebanyak (57,8%).
Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses penyampaian
bahan/materi pendidikan oleh pendidikan kepada sasaran pendidik (anak didik) guna
mencapai perubahan tingkah laku. Pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap
142
pengetahuan yang dimilki oleh ibu. Pendidikan merupakan hal yang penting yang
dapat mempengaruhi pola pikir seseorang termasuk dalam tindakan sesorang dalam
mengambil keputusan untuk memilih bahan makanan yang dikonsumsinya, misalnya
memilih dan mengolah bahan makanan yang mengandung zat besi (Notoadmodjo,
1971 dalam Anggraini, 2009)
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
bermakna antara pendidikan orang tua dengan kejadian anemia defisiensi besi pada
siswi MTs Ciwandan. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=3,184 (Cl
1,400-7,243). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendidikan
orang tua yang rendah memiliki risiko 3,184 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia.
Pengaruh pendidikan orangtua dengan kejadian anemia dibuktikan dalam
penelitian Dian Gunatmaningsih (2007) berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan
ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian anemia pada remaja
putri di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p=0.040 dan
RP=1,778). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang mempunyai ibu dengan
tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 1,778 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian anemia. Ibu memegang peranan penting dalam hal mendidik dan merawat
anak-anaknya terutama merawat kesehatan anak-anaknya. Kesehatan merupakan
indikator status gizi seseorang dan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
dari pola konsumsi makanan dalam sehari-hari.
143
Pengetahuan seorang ibu sangat diperlukan dalam menentukan, mengelola
dan menyediakan makanan, kemudian berpengaruh pada kualitas makanan yang
dikonsumsi. Yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap status anemia anggota
keluarga termasuk anak remajanya. Pendidikan juga sangat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam penerimaan informasi gizi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan (lama sekolah) ibu, semakin mudah menerima hidup sehat secara mandiri,
kreatif, berkesinambungan dan terampil dalam menyediakan makanan.
Menurut pendapat (Notoatmodjo, 2003) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat pendidikan
kesehatannya, karena tingkat pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi
terutama terhadap faktor perilaku kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat pendidikan kesehatannya, karena
tingkat pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor
perilaku kesehatan. Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau
mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari
atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain,
kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan sebagainya.
Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap berbagai informasi
gizi dan lebih cenderung dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari karena
kesadarannya yang tinggi sebab berbagai informasi gizi yang telah di terimanya.
Sebagaimana yang dijelaskan Himawan (2006), ibu yang mempunyai tingkat
pendidikan tinggi akan lebih mudah dalam menerima berbagai informasi gizi dan
144
mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan menambah
wawasan pengetahuan ibu tentang gizi. Pengetahuan gizi menjadi pedoman penting
untuk menentukan konsumsi makanan keluarga (Nasution, 1995).
Djaeni (1996) yang menambahkan bahwa pendidikan ibu merupakan modal
utama dalam menunjang ekonomi keluarga, juga berperan dalam menyusun makanan
keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat
pendidikan rendah dikhawatirkan akan lebih sulit menerima informasi kesehatan
khususnya bidang gizi, sehingga tidak dapat menambah pengetahuan dan tidak
mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain berkaitan dengan penyediaan bahan makanan, pendidikan juga erat
kaitannya dengan kesadaran akan kunjungan pada pelayanan kesehatan terdekat. Tak
jarang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah segan untuk pergi ke pelayanan
kesehatan terdekat atau pusat pelayanan kesehatan, karena terhalang jarak yang jauh
dan keterbatasan ekonomi. Dalam hal ini pemerintah harus ikut andil dalam
pemerataan pusat pelayanan kesehatan pada desa-desa terpencil. Seorang ibu
memiliki peran utama dalam memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani putra
putrinya. Apabila pendidikan ibu tinggi maka akan semakin tinggi pula kesadaran
akan pusat kesehatan dalam tindakan promotif pada tubuh anak-anaknya.
Slamet (1999) dalam Ritonga (2007), menjelaskannya lebih lanjut bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin
membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya
dan keluarganya. Seseorang yang berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan
semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi
145
kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat
pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Dapat disimpulkan dari berbagai referensi di atas, pendidikan ibu dapat
mempengaruhi penyerapan informasi yang kemudian melahirkan keterampilan dalam
penyediaan konsumsi pangan dalam keluarga karena pada dasarnya seorang ibulah
yang berperan utama dalam menyediakan bahan makanan yang sehat dan bergizi
serta mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memanfaatkan pusat pelayanan
kesehatan yang tersedia. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran ibu untuk mencari
informasi masalah kesehatan dari berbagai media seperti televisi, radio, internet dan
sebagainya serta sebaiknya ibu aktif bertanya kepada petugas kesehatan terdekat
minimal ke posyandu dan puskemas baik mengenai tumbuh kembang anak, makanan
bergizi yang baik untuk anak sesuai usianya dan masalah kesehatan lainnya untuk
putera putrinya.
6.4 Hubungan Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan
Kehilangan zat besi di atas rata-rata dapat terjadi pada remaja putri dengan
pola menstruasi yang lebih banyak dan waktunya lebih panjang. Pola Haid dalam
penelitian ini adalah frekuensi menstruasi, lama menstruasi dan frekuensi ganti
pembalut. Pola menstruasi dikatakan normal apabila frekuensi menstruasi sebulan
sekali, lama menstruasi ≤ 6 hari dan ganti pembalut ≤5 kali/hari, sedangkan dikatakan
tidak normal apabila frekuensi haid lebih dari sebulan sekali, lamanya haid lebih dari
6 haridan ganti pembalut >5kali/hari.
146
Bedasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami pola
menstruasi normal (65%), lebih banyak daripada responden yang mengalami
menstruasi tidak normal sebanyak (35%) dengan spesifikasi sebagai berikut: seluruh
responden mengalami menstruasi sebulan sekali; sebagian besar responden
mengalami menstruasi selama ≤ 6 hari sebanyak 76,3%, sedangkan responden yang
mengalami menstruasi lebih dari 6 hari sehanyak 23,7%; responden yang ganti
pembalut ≤ 5 kali/hari sebanyak 95,9%, sedangkan responden yang ganti pembalut>5
kali/hari sebanyak 4,1%.
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih sedikit pada responden
yang mengalami haid teratur/normal (6,2%) daripada responden yang mengalami
haid tidak teratur/normal (76,7%%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden yang mengalami haid normal
(93,8%) daripada responden yang mengalami haid tidak normal sebanyak (23,3%).
Remaja putri memiliki risiko lebih besar untuk terkena anemia karena
mengalami menstruasi, semakin sering dan lama menstruasi berlangsung, maka
semakin banyak darak keluar dari tubuh. Hal ini akan mengakibatkan pengeluaran
besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes RI, 1998).
Siklus menstruasi tidak teratur dan menstruasi sangat banyak memungkinkan
kehilangan besi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang memiliki pola
menstruasi teratur. Frekuensi dan lama menstruasi yang tidak teratur dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya yaitu stres, perubahan berat badan, olah raga yang
berlebihan dan keluhan menstruasi (Manuaba, 2009).
147
Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
bermakna antara pola haid dengan kejadian anemia defisiensi besi pada siswi MTs
Ciwandan. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=49,500 (Cl15,690-
156,165). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan pola haid tidak normal
memiliki risiko 49,5 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.
Penelitian ini didukung oleh penelitian (Prastika, 2011) yang mengatakan
bahwa siswi dengan lama menstruasi dibawah rata-rata memiliki kadar hemoglobin
yang cenderung diatas rata-rata sedangkan pada siswi dengan lama menstruasi lebih
dari rata-rata lama menstruasi memiliki kadar hemoglobin yang cenderung di bawah
rata-rata, sehingga dapat diperkirakan adanya hubungan lama menstruasi dengan
kadar hemoglobin pada remaja putri. Keadaan ini dibuktikan dengan analisis data
didapatkan r sebesar -0,624 (>0,361) dan p sebesar 0,000 (<0,05) hubungan yang
negatif antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin artinya semakin lama
menstruasi seorang remaja siswi akan semakin rendah kadar hemoglobinnya. Hal ini
disebabkan karena pada remaja siswi dengan lama menstruasi yang lebih panjang
pengeluaran darah yang dialami cenderung lebih banyak dan pengeluaran zat besi
karena perdarahan pun akan semakin banyak.
Pada keadaan normal dan defisiensi zat besi tubuh seseorang mengabsorpsi
zat besi berbeda, semakin tubuh seseorang defisit akan zat besi maka akan semakin
banyak mengabsorpsi zat besi. Artinya pada saat defisit zat besi tubuh kita sangat
membutuhkan zat besi lebih banyak dari pada seseorang dengan simpanan zat besi
dalam jumlah normal. Ditambah lagi dengan keadaan seseorang yang sedang
menstruasi. Pada saat menstruasi zat besi ikut serta hilang bersama keluarnya darah.
148
Apabila seseorang tidak menyeimbangi asupan makanan sumber zat besi saat
menstruasi maka akan terjadi defisiensi zat besi (anemia).
Biran (1992) menyatakan bahwa sangat sulit mengukur jumlah darah
menstruasi secara kuantitas. Bahkan seorang wanitapun sulit untuk mengukur sendiri
ataupun menyadari apakah aliran darah menstruasi mereka abnormal. Sebagai
patokannya, suatu perdarahan disebut tidak normal jika perdarahan yang terjadi lebih
dari enam hari dan pembalut yang digunakan perperiode lebih dari 12 potong.
Arisman (2004) menambahkan bahwa remaja putri yang sudah mengalami
menarche, jika darah yang keluar selama menstruasi sangat banyak (banyak yang
tidak sadar kalau darah menstruasinya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi
zat besi, karena jumlah darah yang hilang selama satu periode haid berkisar 20-25 cc,
jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira
sama dengan 0,4-0,5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan
basal, jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1,25 mg/hari.
Hal ini lebih dijelaskan oleh Hudges (1995) yaitu tentang pengeluaran zat
besi. Dalam diet sehari-hari, rata-rata terkandung 10-20 mg zat besi perhari.
Seseorang dengan simpanan zat besi dalam jumlah normal akan mengabsorbsi besi
kira-kira 5-10% dari jumlah total masukan, yaitu sekitar 0,5-2mg setiap harinya.
Sedangkan untuk seseorang dengan defisiensi zat besi akan mampu menyerap sampai
dengan 50% dari total masukan zat besi atau sekitar 5-10 mg. Tidak ada mekanisme
spesifik untuk ekskresi zat besi, namun tidak dapat dihindari hilangnya zat besi
sehari-hari sebagai akibat eksfoliasi usus halus dan sel-sel epitel kulit dimana pada
semua sel ini terdapat enzim-enzim yang mengandung zat besi. Rata-rata kehilangan
149
zat besi setiap hari pada orang normal adalah sekitar 0,6-1 mg. Sedangkan pada
wanita menstruasi kehilangan zat besi bisa mencapai 42 mg setiap siklus, dengan
demikian maka zat besi dalam darah akan menjadi sangat rendah sehingga kadar
hemoglobin dalam darah pun akan menurun.
Sehingga dapat disimpulkan kehilangan zat besi yang berkelanjutan pada
wanita menstruasi akan memperbesar faktor resiko remaja putri mengalami anemia
karena pada saat menstruasi terjadi kehilangan zat besi, semakin banyak dan lama
menstruasi maka semakin banyak zat besi yang ikut hilang dan jika hal tersebut
terjadi terus menerus maka terjadi anemia.
Oleh karena itu pada saat menstruasi remaja sangat membutuhkan lebih
banyak zat besi. Saat ini sudah banyak suplemen zat besi yang mudah di dapat dan
terjangkau harganya di apotik terdekat, minimal konsumsi tablet tambah darah sekali
dalam seminggu pada saat haid. Selain itu, perlu mengimbangi dengan konsumsi
makanan bergizi (konsumsi energi, protein, vitamin C dan Fe tercukupi) dengan
mengkonsumsi makanan yang beragam dalam menu sehari. Sesuai yang dianjurkan
PUGS 2014 yaitu porsi karbohidrat 3-8 porsi sehari, protein hewani 2-3 porsi sehari,
protein nabati 3-5 porsi sehari dan buah-buahan 2-3 porsi sehari.
6.5 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
6.5.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Salah satu yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh remaja
adalah makanan. Kekurangan konsumsi makanan baik secara kualitatif maupun
150
kuantitatif akan menyebabkan terjadinya gangguan proses metabolisme tubuh, yang
tentunya mengarah pada timbulnya suatu penyakit. Demikian pula sebaliknya apabila
konsumsi berlebihan tanpa diimbangi suatu kegiatan fisik yang cukup, gangguan
tubuh juga akan timbul. Jadi dalam hal konsumsi makanan yang perlu diperhatikan
adalah kecukupan agar didapatkan suatu fungsi tubuh yang optimal (Sayogo dalam
Royani, 2006)
Oleh karena itu, keanekaragaman konsumsi makanan berperan penting dalam
membantu meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Absorpsi besi yang
efektif dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
Sifat yang dimiliki vitamin C adalah sebagai promotor terhadap absorpsi besi dengan
cara mereduksi besi ferri menjadi ferro. Vitamin A memiliki peran dalam
hematopoiesis dimana defisiensi vitamin A menyebabkan mobilisasi besi terganggu
dan simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk eritropoesis (Kirana, 2011).
6.5.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Bedasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden dengan asupan energi
rendah atau asupan energi <1487,5 kkal sebanyak (76,4%), lebih banyak daripada
responden dengan konsumsi energi baik atau asupan energi ≥ 1487,6 kkal (23,6%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan energi rendah (38,3%) daripada responden dengan asupan energi
cukup (6,9%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
151
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan energi rendah (61,7%) daripada
responden dengan asupan energi tinggi (93,1%).
Rendahnya asupan energi dapat diakibatkan frekuensi makan dalam sehari
yang kurang dan porsi dalam setiap makan. Sebagian besar responden frekuensi
makan dalam sehari adalah kurang dari 3 kali sehari sebanyak 83% sedangkan
responden dengan frekuensi makan 3 kali sehari sebanyak 17%. Asupan energi
berasal dari asupan karbohidrat dari jenis nasi, asupan karbohidrat yang di anjurkan
dalam sehari adalah 3-5 porsi. Sebagian besar responden mengkonsumsi karbohidrat
sebanyak 3 porsi dalam sehari yaitu 78%, konsumsi karbohidrat 4 porsi sebanyak
13% dan konsumsi karbohidrat 5 porsi perhari sebanyak 9%. Asupan energi berasal
dari asupan karbohidrat dari jenis mie, sebagian besar responden mengkonsumsi 1-2
porsi dalam sehari sebanyak 47%, sedangkan dari jenis singkong dan ubi 1 porsi
sehari sebanyak 2%.
Energi yang dianjurkan remaja usia 10-12 tahun berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi 2012 adalah 2000 kkal, sedangkan usia 13-15 adalah 2125 kkal.
Rata-rata konsumsi energi pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 1213 kkal,
sedangkan konsumsi energi < 2125 kkal adalah sebanyak 80,5%. Dapat disimpulkan,
konsumsi energi pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
dianjurkan.
Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, di samping
152
membantu pengaturan metabolisme protein. Kecukupan karbohidrat di dalam diet
akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sehingga fungsi protein
dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk besi ke dalam se-sel tidak terganggu
(Arisman, 2004).
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan energi dengan kejadian anemia remaja putri. Pengaruh energi terhadap anemia
dibuktikan dalam penelitian (Farida, 2007) yang menunjukkan bahwa kejadian
anemia pada remaja putri dengan tingkat konsumsi energi yang rendah lebih besar
dibanding mereka yang memiliki tingkat konsumsi energi baik. Hasil uji statistik
menunjukkan ada hubungan dengan tingkat konsumsi energi dengan kejadian anemia
remaja putri (p=0,001). Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=8,379
(Cl 1,878-37,378). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan asupan energi
rendah memiliki risiko 8,379 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.
Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya
dan begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait antara satu
zat gizi dengan zat gizi lainnya. Rendahnya asupan energi dan protein dapat
menimbulkan masalah kurang energi dan protein (KEP). KEP dapat menurunkan
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada penderita
kurang gizi adalah penyakit saluran pernafasan dan saluran pencernaan, penyakit ini
dapat mengakibatkan gangguan dalam penyerapan zat gizi makanan, salah satunya
Fe, bila terdapat gangguan penyerapan Fe, maka akan terjadi anemia.
153
Krummel (1996), menyatakan bahwa energi merupakan zat gizi utama, jika
asupan energi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya
seperti protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi. Begitu pula menurut Khumaidi
(1989), untuk menilai kecukupan konsumsi pangan adalah dengan menilai kecukupan
konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein
sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi
lainnya biasanya juga akan terpenuhi.
Secara umum dari berbagai referensi di atas dapat disimpulkan, jika konsumsi
energi dan protein dari beraneka ragam makanan cukup maka biasanya kecukupan zat
gizi lainnya juga akan terpenuhi. Apabila asupan energi cukup dari sumber pangan
karbohidrat, maka tubuh tidak akan mengubah protein untuk menghasilkan energi.
Protein adalah zat yang mempunyai pengaruh dan peran yang penting terhadap
pembentukan sel sarah merah. Protein memiliki peran mengangkut zat besi menuju
ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru. Zat besi
merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sel darah merah. Apabila protein
dipecah untuk menghasilkan energi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam
tubuh. Oleh karena itu, asupan energi perlu ditingkatkan kecukupannya agar
metabolisme tubuh tidak terganggu, minimal dengan makan 3 kali sehari serta porsi
yang cukup berdasarkan anjuran PUGS 2014 konsumsi karbohidrat 3-5 porsi perhari.
154
6.5.1.2 Hubungan Asupan Protein dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan asupan asupan
protein rendah atau asupan protein <48,3mg (63,4%) lebih banyak dari pada
responden dengan asupan protein baik atau asupan protein ≥ 45,5mg (36,6%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan protein rendah (42,3%) daripada responden dengan asupan protein
baik (11,1%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan protein rendah (57,7%)
daripada responden dengan asupan protein baik (88,9%).
Asupan protein dapat diperoleh dari protein hewani maupun nabati. Protein
hewani yang paling banyak dikonsumsi responden adalah daging ayam, daging sapi,
telur, dan ikan. Anjuran konsumsi protein hewani menurut PUGS 2014 adalah 2-3
porsi perhari. Asupan protein dari jenis daging ayam dikonsumsi sebanyak 1-2 porsi
perhari sebanyak 25%, sedangkan lebih dari 2 porsi perhari sebanyak 1%; asupan
protein dari jenis daging sapi 1-2 porsi sebanyak 8%; asupan protein dari jenis telur
ayam 1-2 porsi sebanyak 36%, sedangkan lebih dari 2 porsi 2%; asupan protein dari
jenis ikan 1-2 porsi perhari sebanyak 44%, sedangkan lebih dari 2 porsi perhari 18%.
Asupan protein nabati yang paling banyak dikonsumsi responden adalah
tempe dan tahu. Asupan protein nabati dari jenis tempe 1-2 porsi sehari sebanyak
48%, sedangkan lebih dari 3 porsi sebanyak 10% dan asupan protein nabati dari jenis
155
tahu 1-2 porsi perhari sebanyak 18%, sedangkan lebih dari 2 porsi sehari sebanyak
5%.
Protein yang dianjurkan remaja usia 10-12 tahun berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi 2012 adalah 60g, sedangkan usia 13-15 adalah 69g. Rata-rata
konsumsi protein pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 42,67g, sedangkan
konsumsi protein < 69g adalah sebanyak 93,5%. Dapat disimpulkan, konsumsi
protein pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang dianjurkan.
Secara umum konsumsi pangan siswa di MTs Ciwandan memiliki nilai biologik zat
besi yang rendah.
Konsumsi protein dari pangan nabati lebih dominan dari pada sumber protein
dari pangan hewani. Selain itu konsumsi zat penghambat seperti serelia dan kacang-
kacangan masih tinggi. Sehingga jika mengkonsumsi pangan sumber zat besi yang
memiliki nilai biologik yang rendah maka harus diimbangi dengan zat yang dapat
membantu penyerapan zat gizi agar lebih optimal.
Menurut pendapat Sulistyoningsih (2011) yang menyatakan bahwa protein
terdapat pada pangan nabati maupun hewani. Nilai biologik protein pada bahan
pangan yang bersumber dari hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan
yang bersumber dari nabati. Salah satu penyebab anemia adalah rendahnya asupan zat
besi terkait dengan nilai biologik zat besi pada konsumsi pangan. Nilai biologik
adalah jumlah suatu zat gizi pada pangan yang dapat dicerna, diserap, didistribusikan
dan digunakan oleh sel untuk metabolisme tubuh.
156
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=5,687 (Cl 2,089-16,474). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan protein rendah memiliki risiko 5,687 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian anemia.
Pengaruh asupan protein terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam
penelitian Arifin (2013) yang menunjukkan bahwa asupan protein mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada murid sekolah dasar di
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (p=0,000). Hal ini terjadi karena protein
berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh. Hemoglobin, pigmen
darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon
dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan zat-
zat gizi termasuk besi dan saluran cerna dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan
dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan protein akan
menyebabkan gangguan pada absorbsi dan transportasi.
Protein berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh.
Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut
oksigen dan karbon dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam
proses pengangkutan zat-zat gizi termasuk besi dari saluran cerna ke dalam darah,
dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga
apabila kekurangan protein akan menyebabkan gangguan pada absorpsi dan
transportasi zat-zat gizi (Almatsier, 2004)
157
Protein berasal dari protein hewani maupun nabati. Protein hewani merupakan
sumber besi Heme yang memiliki tingkat nilai biologik yang tinggi, artinya zat besi
yang berasal dari protein hewani dapat mudah dan cepat diserap oleh tubuh.
Sedangkan protein nabati mengandung sumber zat besi non heme yang memiliki nilai
biologik yang rendah. Contoh protein hewani adalah daging merah (sapi, kambing,
domba), hati (hati sapi, hati ayam), daging putih (ayam, segala jenis ikan-ikan) dan
masing-masing memiliki nilai biologik yang berbeda-beda. Sedangkan contoh protein
nabati adalah berasal dari kacang-kacangan dan olahanya (kacang kedelai, kacang
hijau, tahu, tempe, oncom, tauco, dan lain lain), sementara dari sayuran (kacang
panjang, kangkung, sawi, labu, daun kelor, bayam dan lain-lain).
Sehubungan dengan ketersediaan zat besi secara biologis, terdapat beberapa
faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Adapun yang
termasuk faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi adalah asam askorbat. Selain
itu asam-asam organik juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya
adalah: asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Pada menu makanan yang
porsi sumber hewaninya besar maka nilai biologik zat besi menjadi tinggi. Sebaliknya
sumber makanan nabati memiliki nilai biologik zat besi yang rendah.
Selain itu protein juga membantu meningkatkan penyerapan zat besi. Pada
saluran pencernaan besi mengalami proses reduksi dari bentuk feri menjadi fero yang
mudah diserap. Protein hewani juga membantu penyerapan vitamin C dalam
pembentukan sel darah merah (Finledsteim,dkk, 2011 dalam Arifin, 2013).
158
Sehingga dapat di simpulkan, protein memiliki peran yang esensial dalam
transportasi zat besi yang ada dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah di
sumsum tulang. Selain itu, protein hewani yang memiliki nilai biologik tinggi dapat
membantu penyerapan vitamin C dalam mendukung pembentukan sel darah merah.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terhambat
sehingga gagal dalam produksi sel darah merah yang kemudian jika terjadi secara
terus menerus akan mengakibatkan defisiensi besi. Oleh karena itu, pentingnya
meningkatkan asupan protein hewani dan nabati bagi siswi yang konsumsi zat
gizinya kurang sehingga memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan, baik dari
segi kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan anjuran PUGS 2014, konsumsi protein
hewani dan nabati 2-3 porsi perhari.
6.5.1.3 Hubungan Asupan Vitamin C dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan konsumsi
asupan vitamin C rendah atau vitamin C < 45,5mg (83,7%) lebih banyak dari pada
responden dengan konsumsi vitamin C tinggi atau asupan protein ≥ 45,5mg (16,3%).
Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan asupan vitamin C rendah (36,9%) daripada responden dengan asupan vitamin
C baik (0%). Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi
(normal) lebih sedikit pada responden dengan asupan vitamin C rendah (63,1%)
daripada responden dengan asupan vitamin C baik (100%).
159
Vitamin C dapat diperoleh dari buah-buahan, buah-buahan yang paling sering
dikonsumsi responden adalah buah papaya, jeruk, mangga, salak dan rambutan.
Anjuran konsumsi buah perhari berdasarkan PUGS adalah 2-3 porsi sehari. Sumber
vitamin C yang berasal dari buah papaya dikonsumsi 1-2 porsi perhari oleh responden
sebanyak 11%, dari buah jeruk 1-2 porsi perhari sebanyak 6%, buah mangga 1-2
porsi perhari sebanyak 9%, buah salak 1-2porsi perhari sebanyak 8% dan rambutan
1-2 porsi per hari adalah sebanyak 2%.
Vitamin C yang dianjurkan remaja usia 10-12 tahun berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi 2012 adalah 50mg, sedangkan usia 13-15 adalah 65mg. Rata-rata
konsumsi Vitamin C pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 19,33mg,
sedangkan konsumsi vitamin C < 69g adalah sebanyak 93,5%. Dapat disimpulkan,
konsumsi vitamin C pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
dianjurkan.
Zat besi merupakan mineral yang diperlukan untuk mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh. Ada dua jenis zat besi yang ditemukan dari makanan, yaitu zat besi
heme dan zat besi non-heme. Zat Besi heme ditemukan dalam sel-sel darah merah
hewan, sementara zat besi non-heme adalah yang bersumber dari tanaman atau
sayuran. Zat Besi nonheme akan diserap dengan baik oleh tubuh apabila
dikombinasikan bersama vitamin C, sedangkan zat yang menghambat penyerapan zat
besi adalah tannin dalam teh, fitat dalam sayuran hijau seperti bayam, fosfat dalam
buah-buahan, dan serat dalam buah dan sayuran.
160
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan vitamin C dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=1,585 (Cl 1,367-1,837). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan vitamin C rendah memiliki risiko 1,585 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian anemia.
Pengaruh asupan vitamin C terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam
penelitian Kirana (2011) diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan vitamin C
dengan kejadian anemia di mana korelasinya bersifat positif yang menunjukkan
semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula
yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini terjadi karena vitamin C
merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel
darah merah. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Adanya vitamin C dalam
makanan yang dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga memudahkan
reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat
besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C.
Selanjutnya (Mulyawati, 2003) menunjukkan bahwa suplementasi besi
dengan vitamin C mempunyai efek peningkatan kadar hemoglobin lebih tinggi
dibandingkan dengan suplementasi besi tanpa vitamin C. Pemberian suplementasi
besi dan vitamin C pada anak anemia akan memberikan hasil kenaikan kadar
hemoglobin yang paling efektif dibandingkan dengan pendidikan gizi saja atau
suplementasi saja.
161
Hal ini didukung oleh teori Almatsier (2006) bahwa absorpsi besi yang efektif
dan efisien memerlukan suasana asam dan adanya reduktor, seperti vitamin C.
Absorpsi besi dalam bentuk nonheme dapat meningkat empat kali lipat dengan
adanya vitamin C. Oleh karena itu, kekurangan vitamin C dapat menghambat proses
absorpsi besi sehingga lebih mudah terjadi anemia. Selain itu, vitamin C dapat
menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan
besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari
transferin di dalam plasma ke feritin hati.
Vitamin C dapat di temukan pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Sayuran
yang mengandung vitamin C ada pada sayur bayam, kangkung, sawi hijau, brokoli,
kentang dan daun singkong, wortel, lobak, bawang, cabai, tomat, mentimum, terung,
labu siam, sayur pare,buncis kacang panjang, kecipir dan kembang kol.
Pada buah – buahan vitamin C paling banyak dikandung oleh buah melon,
jambu biji, lengkeng, pepaya, jambu monyet, dan jeruk. Di buah lain seperti
stroberry, tomat, mangga muda, embacang, rambutan, kemangi, belimbing, salak,
jambu bol, nenas, sawo, pokat, jambu air, kesemek, cempedak kita dapat menemukan
kandungan vitamin C.
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah dan menghambat absorbsi zat
besi dalam tubuh. Konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat
berperan dalam absorbsi besi dengan jalan meningkatkan absorbsi zat besi non heme
hingga empat kali lipat. Sedangkan faktor yang menghambat adalah tannin dalam teh,
fitat, fosfat, dan serat dalam bahan makanan (Husaini, 2001).
162
Berdasarkan referensi diatas dapat disimpulkan bahwa vitamin C merupakan
zat gizi yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan sumber non heme. Vitamin C
umumnya banyak terdapat pada buah-buahan. Oleh karena itu, pentingnya
meningkatkan konsumsi buah-buah dalam sehari terutama yang mengandung sumber
vitamin C. Berdasarkan anjuran PUGS 2014 konsumsi buah-buahan adalah 2-3 porsi
perhari.
6.5.1.4 Hubungan Asupan Fe dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan konsumsi
asupan Fe rendah atau Fe < 18,2 mg (81,37%) lebih banyak dari pada responden
dengan konsumsi Fe baik atau asupan Fe ≥ 18,2mg (18,7%). Responden yang
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan asupan zat besi
(Fe) rendah (36%) daripada responden dengan asupan zat besi (Fe) baik (8,7%).
Sedangkan responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih
sedikit pada responden dengan asupan zat besi (Fe) rendah (64%) daripada responden
dengan asupan zat besi (Fe) baik(91,3%).Sebagian besar responden mengkonsumsi
sumber zat besi dari protein nabati sebanyak 56% sedangkan dari protein hewani
sebanyak 22%.
Kebutuhan zat besi tergantung kepada jenis kelamin dan umur berdasarkan
AKG (Angka Kecukupan Gizi). Zat Besi yang dianjurkan remaja usia 10-12 tahun
berdasarkan AKG adalah 20mg, sedangkan usia 13-15 adalah 26mg. Rata-rata
konsumsi zat besi pada siswi MTs Ciwandan adalah sebanyak 9,55mg, sedangkan
konsumsi zat besi < 26g adalah sebanyak 91,8%. Sehingga dapat disimpulkan,
163
konsumsi zat besi pada siswi MTs masih banyak yang belum mencukupi nilai yang
dianjurkan. Sumber Fe terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan
sayuran berwarna hijau tua.
Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Kekurangan zat besi dalam
menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang
dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Zat besi asupan berasal dari dua
bentuk: zat besi heme dan non-heme. Zat besi heme hanya ditemukan di dalam
daging hewan, karena itu berasal dari hemoglobin dan myoglobin di dalam jaringan-
jaringan tubuh hewan. Zat besi non-heme itu ditemukan di dalam makanan tumbuhan
dan produk dairy.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
asupan protein dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk
estimate diperoleh OR=5,906 (Cl 1,309-26,650). Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri dengan asupan Fe rendah memiliki risiko 5,906 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian anemia.
Pengaruh asupan Fe terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam penelitian
Arifin (2013) yang menunjukkan bahwa asupan Fe mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian anemia pada murid sekolah dasar di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara (p=0,000). Hal ini terjadi karena zat besi merupakan komponen
utama yang memegang peranan penting dalam pembentukan darah (hemopoiesis),
yaitu mensintesis hemoglobin. Kelebihan besi disimpan sebagai protein feritin,
hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limpa
164
dan otot. Apabila simpanan besi cukup, maka kebutuhan untuk pembentukan sel
darah merah dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Namun, apabila jumlah
simpanan zat besi berkurang dan jumlah zat besi yang diperoleh dari makanan juga
rendah, maka akan terjadi ketidakseimbangan zat besi di dalam tubuh, akibatnya
kadar hemoglobin menurun di bawah batas normal yang disebut sebagai anemia gizi
besi.
Hal ini didukung oleh pendapat Almatsier (2000) yang menyatakan bahwa zat
besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, yang diperlukan dalam
pembentukan darah yaitu untuk mensintesis hemoglobin. Kelebihan zat besi disimpan
sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan
selebihnya di simpan dalam limfa dan otot. Kekurangan zat besi akan menyebabkan
terjadinya penurunan kadar feritin yang diikuti dengan penurunan kejenuhan
transferin atau peningkatan protoporfirin. Jika keadaan ini terus berlanjut akan terjadi
anemia defisiensi besi, dimana kadar hemoglobin turun di bawah nilai normal.
Zat besi juga menjadi komponen penting dalam otot dan membantu laju
pertumbuhan sel-sel tubuh. Zat besi secara normal berasal dari pola diet kita sehari-
hari dimana kelebihan zat besi akan disimpan oleh tubuh untuk dipergunakan apabila
berada dalam kondisi kekurangan asupan zat besi. Zat besi, tidak seperti kalsium,
100% berasal dari sumber luar dan tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh.Tubuh
yang sehat secara normal menyerap sekitar 10-15 persen zat besi yang masuk melalui
makanan meski secara relatif penyerapan zat besi dipengaruhi oleh banyak hal. Jenis
zat besi misalnya, mempengaruhi proses penyerapan tubuh.
165
Heme-iron lebih mudah diserap tubuh (berkisar hingga 35% penyerapan ) dan
penyerapan ini tidak terlalu dipengaruh oleh nutrisi-nutrisi lain yang masuk
bersamaan. Sedangkan untuk non-heme penyerapannya berkisar di angka 2-20 persen
saja dan bisa dipengaruhi oleh zat nutrisi lain seperti tanin (zat yang khusus dimiliki
oleh daun teh), kalsium, pholipenolamin, dan beberapa protein dari kedelai yang
kesemuanya dapat menurunkan angka penyerapan zat besi secara signifikan.
Mengkonsumsi non-hemeiron berbarengan dengan vitamin C atau daging merah akan
meningkatkan angka absorpsi zat besi.Faktor lain yang dapat mempengaruhi
penyerapan adalah jumlah zat besi yang tersimpan dalam tubuh. Semakin banyak
simpanan zat besi, tubuh akan memperlambat atau mengurangi penyerapan zat besi
secara sistematis.
Dapat disimpulkan, secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan.
Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit
anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Zat besi
asupan berasal dari dua bentuk: zat besi heme dan non-heme. Zat besi heme hanya
ditemukan di dalam daging hewan, karena itu berasal dari hemoglobin dan mioglobin
di dalam jaringan-jaringan tubuh hewan. Zat besi non-heme itu ditemukan di dalam
makanan tumbuhan dan produk dairy. Oleh karena itu pentingnya meningkatkan
konsumsi zat besi baik dari segi kuantitas maupun kualitas terutama sumber zat besi
heme bagi siswi yang belum tercukupi asupan zat besinya khususnya pada masa-masa
pertumbuhan dan pada saat menstruasi.
166
6.6.2 Hubungan Frekuensi Makan dengan Anemia Pada Siswi MTs Ciwandan
6.6.2.1 Hubungan Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia Pada Siswi MTs
Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan frekuensi
makan dalam sehari baik atau makan dalam sehari ≥ 3 kali sehari (87%) lebih banyak
dari pada responden dengan frekuensi makan dalam sehari kurang atau < 3 kali sehari
(13%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden
dengan frekuensi makan dalam sehari kurang (87,5%) daripada responden dengan
frekuensi makan dalam sehari baik (22,4%). Sedangkan responden yang tidak
berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan
frekuensi makan dalam sehari kurang (12,5%) daripada responden dengan frekuensi
makan dalam sehari kurangbaik (77,6%).
Berdasarkan asupan energi, protein, vitamin C dan Fe masih banyak yang
belum mencukupi AKG. Hal ini berarti, pola konsumsi siswi terpusat pada kualitas
bukan pada kuantitasnya. Berdasaarkan Food Record didapatkan siswi yang
mengkonsumsi makanan Fast Food dan kudapan lebih banyak dari pada siswi yang
mengkonsumsi makanan yang bergizi. Makanan Fast Food dan kudapan adalah
makanan tinggi kalori namun sedikit mengandung vitamin dan mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh. Makanan Fast Food yang paling banyak di gemari adalah mie
instan dan mie ayam, sedangkan makanan kudapan yang paling di gemari adalah
gorengan, siomay, batagor.
167
Khomsan (2003) mengatakan bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali
dalam sehari, ini berarti bahwa sarapan pagi hendaknya jangan ditinggalkan. Agar
stamina siswa tetap fit selama mengikuti kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler,
maka sarana utama dari segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan pagi.
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan dalam sehari dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan
perhitungan risk estimate diperoleh OR=24.208 (114.019-5.140). Hal ini
menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan dalam sehari kurang
memiliki risiko 24 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia. Pengaruh
frekuensi makan dalam sehari terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam penelitian
Adriana (2010) yaitu hasil uji statistik didapat p=0.452 (>0.05) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi makan dengan
kejadian anemia dan penelitian. Namun dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR
(konsumsi <3 kali sehari/konsumsi 3 kali sehari) = 1,729, artinya remaja putri dengan
frekuensi makan <3 kali sehari mempunyai peluang 1,729 kali untuk menderita
anemia dibanding dengan remaja putri yang frekuensi makannya 3 kali sehari.
Adriana (2010) menyatakan bahwa frekuensi makan sangat erat kaitannya
dengan asupan zat gizi, semakin banyak makan maka asupan zat gizi akan lebih baik.
Dalam penelitian ini ada 157 (62.8%) responden dari 250 siswi memiliki frekuensi
makan tidak baik. Frekuensi makan berdampak pada kinerja siswa dalam beraktivitas
yakni terutama kegiatan belajar. Jika frekuensi makan kurang, maka asupan zat gizi
pun berkurang dan apabila asupan gizi kurang maka tubuh akan kekurangan asupan
168
energi sebagai sumber tenaga bagi tubuh terutama otak. Akhirnya tubuh akan merasa
lemas, tidak bersemangat dan sulit dalam menangkap pelajaran.
Makanan lengkap biasanya diberikan tiga kali sehari (makan pagi, makan
siang dan makan malam), sedangkan makanan selingan di antara makan pagi dan
makan siang, antara makan siang dan makan malam ataupun setelah makan malam.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Khomsan 2003 dalam Phujiyanti (2004).
Frekuensi makan sangat erat kaitannya dengan asupan zat gizi, semakin banyak
frekuensi makan maka akan semakin baik asupan gizinya. Sedangkan menurut
(Niklas, Tom, Karen & Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004) Frekuensi makan yang
ideal adalah 3 kali dalam sehari. Sebagaimana menurut beberapa kajian, frekuensi
makan yang baik adalah tiga kali sehari. Orang dewasa dengan pola makan yang
teratur mempunyai kecenderungan lebih langsing dan sehat dibanding orang yang
makan secara tidak teratur (skipping meal).
Diantara waktu makan yang paling penting namun sering ditinggalkan oleh
kebanyakan anak sekolah adalah sarapan pagi. Sarapan pagi bermanfaat bagi
kesehatan tubuh kita semuanya. Pagi hari adalah keadaan dimana manusia pada
umumnya akan mengerjakan segala aktifitas sehari-harinya. Baik itu aktifitas
memulai pekerjaannya, memulai aktifitas belajar, kuliah dan lain sebagainya. Untuk
itulah perlunya kita bersama mengerti dan memahami akan pentingnya sarapan pagi
bagi kita manusia.
169
Dalam hal ini membiasakan makan sarapan di pagi hari akan sedikit banyak
memberikan dan juga membantu dalam hal kontribusi yang cukup besar untuk
mensuplai nutrisi gizi bagi tubuh. Apalagi bagi otak kita manusia contoh salah
satunya, sesudah tidur malam selama 8 sampai 10 jam. Dan sarapan ini akan dapat
mengisi kembali keperluan nutrisi yang habis sewaktu menjalankan rutinitas istirahat
tidur malam kita. Untuk itu kita juga membutuhkan akanmenu sarapan sehat yang
bisa menunjang akan aktifitas kita sehari-hari. Mungkin tak banyak orang menyadari,
bahwa sebenarnya sarapan adalah merupakan bagian dan juga salah satu rahasia
dalam rangka untuk menjaga kesehatan. Tak peduli seberapa sibuknya kita, maka
penting bagi kita semuanya untuk mengisi bahan bakar untuk tubuh sehingga energi
tenaga mental kita akan terpenuhi sepanjang hari.
Siswa yang tidak sarapan pagi akan mengalami kekosongan lambung
sehingga kadar gula darah menurun yang merupakan energi utama bagi otak. Dampak
negatifnya adalah ketidakseimbangan sistem syaraf pusat yang diikuti rasa pusing,
badan gemetar atau rasa lelah. Dalam kondisi seperti ini siswa akan mengalami
kesulitan untuk menerima pelajaran dengan baik, gairah belajar, dan kecepatan reaksi
juga akan menurun yang akhirnya berdampak pada prestasi belajar menurun. Oleh
karena itu, kegiatan sarapan pagi hendaknya diperhatikan kuantitas dan kualitas
makanan yang akan dikonsumsi.
Dapat disimpulkan, kita harus memperhatikan jenis makanan yang kita
makan, selain itu porsi makanan setiap kali makan juga penting untuk diperhatikan
agar tidak terjadi kekurangan dan kelebihan zat gizi. Jumlah atau porsi merupakan
170
suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi setiap kali makan. Dalam
mengkonsumsi makanan haruslah seimbang dengan kebutuhan remaja/dewasa yang
di sesuaikan dengan umur. Oleh karena itu, sebaiknya siswi meningkatkan frekuensi
makan dan jumlah prosi makanan dari jenis karbohidrat, protein hewani, protein
nabati dan buah-buahan.
6.6.2.2 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia Pada Siswi MTs
Ciwandan.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan frekuensi
makan sumber heme baik atau makan sumber heme ≥ 2 kali sehari (76,4%) lebih
banyak dari pada responden dengan frekuensi makan sumber heme kurang atau < 2
kali sehari (23,6%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak
pada responden dengan frekuensi makan dalam sehari kurang (86,2%) daripada
responden dengan frekuensi makan sumber heme baik (13,8%). Sedangkan responden
yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden
dengan frekuensi makan sumber heme kurang (13,8%) daripada responden dengan
frekuensi makan sumber heme kurang baik (86,2%).
Berdasarkan jenis ketersediaan zat besi di dalam bahan makanan, dikenal dua
jenis yaitu besi heme dan non heme. Besi non heme merupakan sumber utama zat besi
dalam makanan dan terdapat dalam semua jenis sayuran hijau, seperti kentang,
kacang-kacangan dan sebagian dalam makanan hewani. Zat besi yang berasal dari
bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat absorpsi 20-30 %, besi
171
heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan zat makanan
lainnya. Karena zat besi heme memiliki bentuk Ferro sehingga lebih mudah di serap
di usus halus. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh
kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus.
Dari hasil uji statistik diperoleh ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
sebesar 38.942 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber heme yang
kurang memiliki resiko anemia 38 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
frekuensi makan dalam sehari baik.
Pengaruh frekuensi makan sumber heme terhadap kejadian anemia dibuktikan
dalam penelitian (Purnama, 2001 dalam Husnah 2014) pada siswi SMA 2 Semarang
ditemukan hasil setiap peningkatan persen asupan zat besi sebesar 1% akan
meningkatkan kadar hemoglobin 0,001 g/dl dengan p= 0,014, artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan konsumsi Fe. Hal ini terjadi karena
zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani (zat besi heme) mempunyai tingkat
absorpsi 20-30 %, besi heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak
tergantung dengan zat makanan lainnya. Karena zat besi heme memiliki bentuk Ferro
sehingga lebih mudah di serap di usus halus.
Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi seseorang yang berstatus besi baik. Jika dalam keadaan defisiensi besi,
absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi
besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat
172
daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya konsumsi pangan sumber heme
dapat mempengaruhi penyerapan zat besi.
Salah satu makanan sumber besi Heme adalah berasal dari produk hewani
yaitu telur. Pengaruh konsumsi telur terhadap status anemia dibuktikan dalam
penelitian Arumsari (2008). Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur
bebek dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini
memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Telur merupakan sumber zat
besi heme mempunyai nilai biologik tinggi dengan tingkat absorpsi 20-30% artinya
telur merupakan sumber zat besi yang mudah diserap oleh usus halus.
Sebagaimana yang dijelaskan Brooker (2001) menjelaskan besi heme yaitu
besi yang berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan
makanan hewani seperti daging, ikan dan unggas. Bioavailabiltas besi heme ini sangat
tinggi yaitu 20- 30% atau lebih dapat diabsorpsi. Derajat absorpsi besi heme ini
hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan, dan hanya sedikit
dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya. Besi non heme terdapat
pada makanan nabati seperti sayur dan buah-buahan. Bioavailabilitas non heme iron
dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor (phythate, tannin, dll).
Pada kondisi Fe yang baik, hanya sekitar 10 % dari Fe yang terdapat di dalam
makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi defisiensi lebih, banyak
Fe dapat diserap untuk menutupi kekurang zat tersebut. Diperkirakan hanya 5-5%
173
besi makanan diabsorbsi oleh orang dewasa yang berada dalam status baik. Dalam
keadaan defisiensi besi, absorbsi dapat mencapai 50%.
Berdasarkan referensi diatas dapat disimpulkan, Jika tubuh memiliki
simpanan zat besi yang cukup, tubuh hanya menyerap 5-15% zat besi dari makanan
sedangkan apabila tubuh defisiensi besi, absorpsi besi hingga 50%. Oleh karena itu,
perlu adanya makanan sumber protein hewani didalam menu sehari untuk memenuhi
kebutuhan besi pada tubuh sebagai aktivitas metebolisme tubuh. PUGS
menganjurkan 2-3 porsi sehari.
6.6.6.3 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan frekuensi
makan sumber non heme baik atau makan sumber non heme ≥ 3 kali sehari (68,3%)
lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan sumber non heme kurang
atau < 3 kali sehari (31,7%). Responden yang berstatus anemia defisiensi besi lebih
banyak pada responden dengan frekuensi makan sumber non heme (97,4%) daripada
responden dengan frekuensi makan sumber non heme baik (0%). Sedangkan
responden yang tidak berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada
responden dengan frekuensi makan sumber non heme kurang (2,6%) daripada
responden dengan frekuensi makan sumber non heme baik (100%).
Menurut Farida (2007) yang menyatakan bahwa penyerapan zat besi non
heme hanya 10-15 % dan akan semakin meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat
174
besi juga semakin meningkat. Jika suplai zat besi dari makanan telah habis terserap
maka proses penyerapan zat besi akan berhenti . Zat besi non heme lebih sulit diserap
dan penyerapannya sangat tergantung pada zat makanan lainnya baik secara positif
maupun negatif (Farida, 2007).
Jumlah besi dari sumber besi non heme umumnya relatif tinggi dibandingkan
dengan zat besi heme. Walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus. Pada umumnya besi di dalam daging, ayam, dan ikan
mempunyai ketersediaan biologik tinggi, dan besi di dalam sebagian kacang-
kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, sedangkan besi di dalam
sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi.
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR
sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber non heme
yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan
frekuensi makan dalam sehari baik.
Pengaruh frekuensi makan sumber non heme terhadap kejadian anemia
dibuktikan dalam penelitian Arumsari (2007), hasil analisis korelasi Spearman
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi
sayuran waluh dan sawi dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang
negatif (p<0.1). Arumsari (2007) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat
dalam bentuk besi heme (dalam makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan
nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah lauk nabati meliputi
175
tempe, tahu, dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kacang hijau). Asam fitat yang
terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi.
Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup
tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif.
Hal ini juga dikemukakan oleh Husnah, dkk (2014) bahwa absorpsi sayuran
daun hijau dan biji-bijian cukup rendah yaitu sekitar 12%. Walaupun sumber nabati
(sereal dan sayuran) banyak mengandung mineral yang dibutuhkan tubuh, seperti Fe.
Namun, ada zat yang disebut asam fitat dan asam oksalat yang terkandung dalam
sayuran yang dapat mengikat zat besi dan mengurangi penyerapannya. (Husnah dkk,
2014).
Absorpsi besi juga tergantung pada jumlah bahan makanan yang menghambat
dan meningkatkan absorpsi, sehingga absorpsi besi dari makanan yang dikonsumsi
sehari-hari harus bervariasi. Zat besi yang ditemukan pada kacang-kacangan, bayam
dan sayuran lain merupakan zat besi Non-Heme, yang lebih sulit diserap oleh tubuh
karena harus melewati proses yang rumit. Bayam sebenarnya memiliki kandungan
zat besi yang cukup tinggi. Namun di sisi lain, bayam mengandung asam fitat yang
justru menghambat penyerapan zat besi, sehingga berapapun bayam yang dikonsumsi
kebutuhan zat besi kadang-kadang tetap sulit dipenuhi.
Faktor lain yang sering menghambat penyerapan zat besi dari makanan adalah
kalsium. Karena itu jika ingin penyerapan zat besinya maksimal, mengkonsumsi
daging merah, sayur maupun telur tidak dikonsumsi bersamaan dengan susu atau
suplemen kalsium. Kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi. Asam fitat yang
176
terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya juga dapat menghambat penyerapan
besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya
cukup tinggi, hasil penyerapannya masih dapat mencukupi kecukupan zat besi.
Sumber besi non heme dapat ditingkatkan oleh zat gizi peningkat absorpsi Fe.
Zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan besi adalah vitamin C. Kehadiran
Vitamin C akan meningkatkan penyerapan zat besi non heme dan zat besi heme yang
terdapat dalam daging, unggas, dan ikan serta makanan hasil laut, dapat
meningkatkan penyerapan zat besi non heme. Sedangkan yang berperan negatif dalam
penyerapan zat besi adalah tannin dalam teh, phosvitin dalam kuning telur, protein
kedelai, phytat,fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan, sehingga saat sedang
mengkonsumsi suplemen zat besi, minum jus jeruk lebih dianjurkan daripada minum
susu.
Berdasarkan referensi diatas, pentingnya mengimbangi konsumsi makanan
sumber vitamin C dari buah-buahan untuk meningkatkan penyerapan besi non heme
dan sebaiknya penuhi kebutuhan zat gizi dari sumber makanan sehari-hari dari pada
dengan minum suplemen. Dalam hal ini dibutuhkan keanekaragaman sumber
makanan dalam menu sehari agar zat gizi lain saling melengkapi.
6.6.6.4 Hubungan Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia Pada
Siswi MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan frekuensi
makan peningkat absorpsi Fe baik atau makan peningkat absorpsi Fe ≥ 7 kali
177
seminggu (66,7%) lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan
peningkat absorpsi Fe kurang atau < 7 kali seminggu (33,3%). Responden yang
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan frekuensi
makan peningkat absorpsi Fe kurang (97,4%) daripada responden dengan frekuensi
makan peningkat absorpsi Fe baik (0%). Sedangkan responden yang tidak berstatus
anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan frekuensi makan
peningkat absorpsi Fe kurang (2,6%) daripada responden dengan frekuensi makan
peningkat absorpsi Fe baik (100%).
Zat besi nonheme yang berasal dari sayuran umumnya berbentuk senyawa
inorganik Ferri (Fe3+). Sebelum diserap oleh usus, ini harus diubah dahulu menjadi
bentuk Ferro ( Fe2+ ) . Konversi Fe3+ menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor -
faktor endogenus, seperti enzim "pepsin-HCl", dan komponen zat gizi yang berasal
dari makanan seperti vitamin C dengan gugus –SH (sulfidril) (Derman dkk 1980).
Vitamin C yang terdapat dalam buah-buahan (jeruk, jambu, nanas, mangga,
kiwi dan sebagainya) dapat membantu penyerapan besi. Selain itu, konsumsi
makanan sumber heme juga dapat membantu penyerapan zat besi dalam tubuh.
Semakin kurang konsumsi makanan sumber heme dan vitamin C, maka akan semakin
beresiko terkena anemia karena sumber non heme hanya 10% diserap dalam tubuh.
Oleh karena itu jika hanya mengandalkan mengkonsumsi makanan sumber non heme
saja, asupan zat besi masih belum mencukupi kebutuhan, maka perlu mengimbangi
konsumsi sumber vitamin C dari buah-buahan untuk meningkatkan penyerapan besi.
178
Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
OR sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan peningkat
absorpsi Fe yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan
siswi dengan frekuensi makan peningkat absorpsi Fe baik.
Pengaruh frekuensi makan peningkat absorpsi Fe terhadap kejadian anemia
dibuktikan dalam penelitian Arumsari (2007), Hasil analisis korelasi
Spearmanmenunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi
konsumsi buah buahan dengan status anemia contoh (p < 0.1) yaitu pada konsumsi
pepaya. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin jarang pepaya dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena
walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat besi,
namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat
menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh
akhirnya dapat negatif.
Perjalanan vitamin C dalam membantu absorpsi lebih lengkap pun dijelaskan
oleh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012) mengatakan bahwa Vitamin C merupakan unsur
esensial yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel darah merah.
Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk
membebaskan besi bila diperlukan. Adanya vitamin C dalam makanan yang
dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga memudahkan reduksi zat besi
179
ferri menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam
bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C.
Zat besi dengan vitamin C membentuk askorbat besi kompleks yang larut dan
mudah diserap oleh organ-organ pada tubuh manusia. Pengubahan zat besi nonheme
dalam bentuk senyawa inorganik Ferri ( Fe3+) menjadi Ferro ( Fe2+ ) akan semakin
besar bila pH di dalam lambung semakin asam. Yang dimana vitamin C dapat
menambah keasaman sehingga dapat membantu penyerapan zat besi dari sayuran di
dalam lambung. Kehadiran vitamin C ini dapat meningkatkan penyerapan zat besi
sebanyak 30 persen (Soendoro, 1981).
. Besi yang akan di serap bergabung dahulu dengan protein (apoprotein) yang
terdapat dalam dinding usus, sehingga terbentuklah feritin dan masih dalam plasma
darah. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan
transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk bergabung
membentuk hemoglobin (Soendoro, 1981 dan Winarno 1984).
Sayuran dan buah-buahan banyak mengandung vitamin C. Kadar vitamin C
dalam tumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: semakin tipis bagian
tumbuhan, semakin tinggi kandungan vitamin C-nya; semakin matang buah, semakin
tinggi kandungan vitamin C-nya. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok kacang-
kacangan, kandungan vitamin C akan semakin turun bila kacang bertambah matang.
Semakin lama makanan disimpan, kadar vitamin C akan semakin turun, tetapi hal ini
dapat diperlambat bila disimpan di kulkas dengan kelembaban tinggi dan
meminimalkan kontak dengan udara. Demikian juga musim, kondisi tanah,
180
pertumbuhan, proses pemanenan, dan penyimpanan mempengaruhi kandungan
vitamin C (Soendoro, 1981)
Berdasarkan dari berbagai referensi diatas dapat disimpulkan, Pangan yang
mengandung protein hewani dan MFP factors (Meat Fish Product) seperti daging,
ayam, dan ikan dapat meningkatkan penyerapan zat besi karena mengandung besi
heme yang mudah diserap tubuh. Vitamin C yang terdapat dalam buah-buahan (jeruk,
jambu, nanas, mangga, kiwi dan sebagainya) juga sangat membantu penyerapan besi.
Oleh karena itu, siswi perlu menghadirkan protein hewani dalam menu sehari (2-3
porsi sehari) dan apabila mengkonsumsi sumber nabati sangat dianjurkan memakan
makanan sumber vitamin C dari buah-buahan (2-3 porsi sehari). Asam organik seperti
vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi
bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap.
6.6.6.5 Hubungan Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia Pada
Siswi MTs Ciwandan
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa reponden dengan frekuensi
makan penghambat absorpsi Fe baik atau makan penghambat absorpsi Fe ≥ 7 kali
seminggu (68,3%) lebih banyak dari pada responden dengan frekuensi makan
penghambat absorpsi Fe kurang atau <7 kali seminggu (31,7%). Responden yang
berstatus anemia defisiensi besi lebih banyak pada responden dengan frekuensi
makan penghambat absorpsi Fe kurang (66,7%) daripada responden dengan frekuensi
makan penghambat absorpsi Fe baik (14,3%). Sedangkan responden yang tidak
181
berstatus anemia defisiensi besi (normal) lebih sedikit pada responden dengan
frekuensi makan penghambat absorpsi Fe kurang (33,3%) daripada responden dengan
frekuensi makan penghambat absorpsi Fe baik (85,7%).
Taraf gizi besi seseorang juga akan mempengaruhi absorbsi zat besi, semakin
tingginya kebutuhan akan zat besi maka, akan semakin besar tingkat absorbsinya.
Misalnya : pada masa pertumbuhan (remaja), pada masa hamil, penderita anemia dan
infeksi atau infeksi kecacingan. Seseorang dikatakan anemia disebabkan kekurangan
zat besi secara terus menerus. Penyebab kekurangan zat besi adalah kurangnya
konsumsi makanan sumber zat besi dan kebiasan mengkonsumsi makanan sumber zat
penghambat penyerapan zat besi.
Linder (1989) mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi
absorpsi zat besi diantaranya adalah tanin yang terdapat dalam teh dan daun-daun
sayuran tertentu yang dapat menurunkan absorpsi zat besi. Menurut muhilal (1983)
penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan banyaknya besi yang diserap turun
sampai menjadi 2%, sedangkan penyerapan tanpa penghambatan teh sekitar 12%
(Leginem, 2002).
Hasil uji statistic menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan penghambat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai
OR sebesar 12 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan penghambat
absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan
siswi dengan frekuensi makan dalam sehari baik.
182
Pengaruh frekuensi penghambat absorpsi Fe terhadap kejadian anemia
dibuktikan dalam penelitian Amaliah (2002) menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pola konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe dengan status
anemia remaja putri. Dari 58 responden yang mengalami anemia ada 22 (23.2%)
yang mengkonsumsi teh lebih dari 7 kali per minggu. Hal ini terjadi karena tanin
diketahui membentuk ikatan larut dengan molekul besi non-heme dan dengan
demikian mencegah penyerapan besi non-heme dalam tubuh. Sehingga, konsumsi
berlebihan tanin yang terdapat dalam teh dapat menghambat penyerapan zat besi non-
heme dalam tubuh dan dengan demikian memicu kekurangan zat besi.
Mereka yang minum teh di antara waktu makan atau segera setelah makan,
biasanya memiliki kadar besi rendah. Selain tanin, zat lain seperti protein kedelai,
kalsium, polifenol yang terdapat dalam kacang-kacangan dan biji-bijian (deda,
gandum, jagung dan sereal lainnya) juga dapat menghambat proses penyerapan zat
besi dalam tubuh. Sebagaimana yang dijelaskan Groff & Gropper (2000) dalam Puri
(2007), senyawa fenol dalam teh yang dikonsumsi bersama dengan pangan sumber
zat besi dapat menurunkan absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi kopi
setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen.
Menurunnya jumlah besi yang diabsorpsi akan menurunkan cadangan besi di
dalam tubuh. Mengkonsumsi konsumsi teh dan kopi pada dasarnya tidak dilarang
karena sejatinya teh mengandung antioksidan yang baik utnuk tubuh, namun yang
perlu diperhatikan adalah jarak waktu makan dengan minum kopi atau teh misalnya
sekitar 1 jam setelah makan. Hal ini dapat memberikan kesempatan terlebih dahulu
183
pada usus untuk menyerap Fe dalam makanan yang kita makan. Seperti halnya yang
diterangkan Guthrie (1989) bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam setelah makan
akan menurunkan absorpsi zat besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh karena
terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh.
Faktor penghambat penyerapan Fe bukanlah hanya seputar pada teh dan kopi
yang mengandung zat tanin saja, namun banyak sekali zat-zat yang dapat
menghambat penyerapan Fe meliputi phosvitin dalam kuning telur, protein kedelai,
phytat, asam folat, kalsium dan serat dalam bahan makanan, zat-zat gizi ini dengan
zat besi membentuk senyawa yang tidak larut dalam air, sehingga sulit untuk di
absorbsi. Protein nabati maupun protein hewani tidak meningkatkan absorbsi zat besi.
Tetapi bahan makanan yang disebut meat factor seperti daging, ikan dan ayam,
apabila hadir dalam menu makanan walaupun dalam jumlah yang sedikit akan
meningkatkan absorbsi zat besi bukan heme yang berasal dari serealia dan tumbuh
tumbuhan. Jadi apabila didalam menu makanan sehari-hari tidak hadir bahan
makanan tersebut di atas, maka absorbsi zat besi dari makanan akan sangat rendah,
perlu diketahui bahwa susu, keju dan telur tidak meningkatkan absorbsi zat besi.
Zat lain yang dapat menghambat absorpsi Fe adalah asam fitat. Asam fitat dan
faktor lain di dalam serat serealia dan kacang-kacangan (kedelai) dan asam oksalat di
dalam sayuran (selada, kol, kembang kol, buncis dan kacang hijau) menghambat
penyerapan besi. Mekanismenya adalah fitat dapat mengikat mineral dan protein
dalam tubuh. Protein berperan aktif dalam pengangkutan zat besi menuju sumsum
tulang untuk di produksinya sel darah merah. Sebagimana yang dijelaskan Elvira
Syamsir (2009) mengatakan asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral
184
seperti kalsium, magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu
penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan dengan protein
sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan.
Kandungan fitat didalam biji-bijian dan kacang-kacangan relatif tinggi. Asam
fitat dapat menyebabkan seseorang defisiensi mineral dan protein. Defisiensi terjadi
jika makanan tersebut rutin dikonsumsi sementara menu makanan tidak bervariasi
(dan sebagian besar berupa pangan serealia dan kacang-kacangan). Fitat bisa
dihidrolisis dengan bantuan asam atau enzim (indigenus atau eksogenus). Ini
sebabnya mengapa proses perkecambahan dan fermentasi (seperti pada pembuatan
tempe) bisa mereduksi kadar fitat didalam bahan
Beberapa referensi dapat disimpulkan bahwa konsumsi berlebihan teh dapat
mempengaruhi proses penyerapan zat besi non heme dalam tubuh. Tanin yang
merupakan polifenol dan terdapat dalam teh dan kopi dan beberapa jenis sayuran dan
buah juga menghambat penyerapan besi dengan cara mengikatnya. Tanin juga
diketahui membentuk ikatan larut dengan molekul besi non hemedan dengan
demikian mencegah penyerapan besi non heme dalam tubuh. Oleh karena itu,
pentingnya menghindari minum teh atau kopi setelah makan. Sebaiknya, apabila
ingin minum teh/kopi memberi jeda minimal 1 jam setelah makan.
185
BAB VII
PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian didapat prevalensi anemia defisiensi besi pada
siswi MTs Ciwandan kelas VII, VIII, dan IX tahun 2014 cukup tinggi yaitu
sebesar 30,9%. Berdasarkan kategori besarnya masalah kesehatan masyarakat
yang dikeluarkan oleh WHO (2008), diketahui bahwa presentase kejadian
anemia dalam penelitian ini termasuk kedalam kategori masalah kesehatan
masyarakat sedang (20-39,9%) dan perlu dilakukan tindakan intervensi untuk
menangani masalah tersebut.
2. Responden yang berpengetahuan baik lebih banyak daripada pengetahuan
kurang dengan proporsi (51,2%), responden yang memiliki uang jajan tinggi
lebih banyak daripada yang memiliki uang jajan rendah dengan proporsi
(65%), responden yang memiliki orang tua berpendapatan rendah lebih
banyak daripada orang tua berpendapatan tinggi dengan proporsi (67,5),
responden yang memiliki orang tua berpendidikan rendah lebih banyak
daripada orang tua berpendidikan tinggi dengan proporsi (52%)
3. Responden yang memiliki pola haid normal lebih banyak daripada pola
menstruasi tidak normal dengan proporsi (52%).
186
4. Responden dengan asupan energ kurang lebih banyak daripada asupan energy
baik dengan proporsi (76,4%), responden dengan asupan protein kurang baik
lebih banyak daripada asupan protein baik dengan proporsi (63,4%),
responden dengan asupan vitamin C kurang lebih banyak daripada asupan
vitamin C baik dengan proporsi (83,7%), responden dengan asupan Fe kurang
lebih banyak daripada asupan Fe baik dengan proporsi (81,3%). Responden
yang memiliki frekuensi makan dalam sehari baik lebih banyak daripada
frekuensi makan dalam sehari kurang dengan proporsi (87%), responden yang
memiliki frekuensi makan sumber heme baik lebih banyak daripada frekuensi
makan sumber heme kurang dengan proporsi (76,4%), responden yang
memiliki frekuensi makan sumber non heme baik lebih banyak daripada
frekuensi makan sumber non heme kurang dengan proporsi (68,3%),
responden yang memiliki frekuensi makan peningkat absorpsi Fe baik lebih
banyak daripada frekuensi makan peningkat absorpsi Fe kurang dengan
proporsi (66,7%), responden yang memiliki frekuensi makan penghambat
absorpsi Fe baik lebih banyak daripada frekuensi makan penghambat absorpsi
Fe kurang dengan proporsi (68,3%),
5. Variabel pengetahuan (p value = 0,002), uang jajan (p value = 0,008),
pendapatan orang tua (p value = 0,000) dan pendidikan orang tua (p value =
0,006) mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian anemia defisiensi
besi.
6. Variabel pola menstruasi mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian
anemia defisiensi besi (p value = 0,000).
187
7. Variabel asupan energi (p value = 0,001), asupan protein (p value = 0,000),
asupan vitamin C (p value = 0,000) dan asupan Fe (p value = 0,011)
mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian anemia defisiensi besi.
8. Variabel frekuensi makan dalam sehari (p value = 0,000), frekuensi makan
sumber heme (p value = 0,000), frekuensi makan sumber non heme (p value =
0,000), frekuensi makan peningkat absorpsi Fe (p value = 0,000) dan
frekuensi penghambat absorpsi Fe (p value = 0,000) mempunyai hubungan
bermakna dengan kejadian anemia defisiensi besi.
7.2 SARAN
1. Bagi siswi MTs Negeri Ciwandan Cilegon
a) Sebaiknya siswa aktif untuk mengikuti kegiatan-kegiatan penyuluhan
tentang kesehatan terutama mengenai makanan sesuai gizi yang
seimbang dan aktif mencari info tentang kesehatan dan makan
makanan gizi seimbang misalnya dari media internet.
b) Sebaiknya siswa mengkonsumsi tablet tambah darah saat menstruasi
minimal 1 kali dalam seminggu untuk menggantikan kadar Fe tubuh
yang hilang saat menstruasi dan mengimbangi dengan konsumsi
makanan bergizi (konsumsi energi, protein, vitamin C dan Fe
tercukupi) dengan mengkonsumsi makanan yang beragam dalam
menu sehari
188
c) Diharapkan siswi meningkatkan konsumsi pangan sumber energi,
protein (daging, hati,ikan, dan makanan hewan lainnya serta tempe,
tahu dan protein nabati lainnya), vitamin C (sayuran dan buah-buahan)
dan zat besi (Fe).
d) Diharapkan siswi meningkatkan frekuensi makan dalam sehari dan
menghadirkan protein hewani dalam menu sehari (2-3 porsi sehari)
dan apabila mengkonsumsi sumber nabati sangat dianjurkan memakan
makanan sumber vitamin C dari buah-buahan (2-3 porsi sehari).
e) Sebaiknya siswi menghindari minum teh atau kopi setelah makan.
Sebaiknya, apabila ingin minum teh/kopi memberi jeda minimal 1 jam
setelah makan.
2. Bagi Wali Murid MTs Ciwandan Cilegon
a) Diharapkan seorang ibu menyiapkan sarapan pagi dan
membawakan bekal makan siang untuk menghindari perilaku jajan
yang tidak sehat.
b) Sebaiknya ibu berperan aktif mencari informasi mengenai
makanan sumber zat gizi yang penting untuk remaja dan cara
mengolah makanan yang baik melalui media masaa (televisi, radio,
internet dan sebagainya) atau mengikuti seminar dan penyuluhan
gizi serta informasi mengenai bahan penukar untuk menukar
sumber zat gizi dari bahan pangan yang sesuai
anggaran/pendapatan.
189
c) Sebaiknya ibu berperan aktif untuk mencari masalah kesehatan
dengan bertanya kepada petugas kesehatan terdekat minimal ke
posyandu dan puskemas baik mengenai tumbuh kembang anak,
makanan bergizi yang baik untuk anak sesuai usianya dan masalah
kesehatan lainnya untuk putera putrinya.
d) Sebaiknya ibu menyiapkan beraneka ragam makanan dalam menu
sehari agar asupan gizi (energi, protein, vitamin C dan Fe)
terpenuhi untuk putra dan putrinya.
3. Bagi Sekolah MTs Negeri Ciwandan Cilegon
a) Revitalisasi kegiatan UKS dan PMR untuk penjaringan siswi yang
mempunyai masalah kesehatan serta pengadaan kegiatan edukasi
kesehatan terutama edukasi gizi.
b) Disarankan pihak sekolah mengadakan pelatihan dan bimbingan
konseling kepada guru UKS dan pembimbing PMR mengenai anemia
dan gizi.
c) Disarankan pihak sekolah melalui guru UKS dan pembimbing PMR
berkoordinasi dengan pihak puskesmas (pelayanan kesehatan terdekat)
untuk diadakannya pemeriksaan kadar Hb baik secara rutin (setahun
sekali) maupun pada momen tertentu.
4. Peneliti lain
a) Agar dapat menjelaskan dengan tepat faktor-faktor yang berhubungan
dengan anemia, perlu adanya faktor-faktor lain yang belum diteliti dalam
190
penelitian ini karena keterbatasan kemampuan peneliti seperti, penyakit
infeksi yang di derita (co: malaria), faktor perdarahan lain seperti
kecelakaan, dan aktifitas fisik.
b) Agar diketahui faktor-faktor yang bersinergi dan faktor yang paling
dominan mempengaruhi anemia, perlu adanya analisis multivariat dalam
penelitian selanjutnya.
191
DAFTAR PUSTAKA
A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. PenerbitBuku Kedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295
Abdulmuthalib, 2009. Kelainan Hematologik. Dalam: Saifuddin, A. B.,Rachimhadhi,T. Wiknjosastro, G.H., penyunting. Ilmu Kebidanan SarwonoPrawirohardjo Ed. 4, Cet. 2 Jakarta : PT Bina Pustaka
Adriaansz G. 2008. Asuhan Antenatal. Dalam: Prawiharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisike-4.Jakarta: Bagian Obstetri dan Gineko logi FKUI.ngaruhi kejadian anemiagizi
Aditian, Nari. Faktor-faktor yang memperwmaja putrid SMP 133 di Pulau PramukaKepulauan Seribu tahun 2009. Skripsi FKM UI. Depok.
Adhisti,AP ; Puruhita,N. 2011. Hubungan Status Antropometri dan Asupan Gizidengan Kadar HB dan Ferritin Remaja Putri, Skripsi. Fakultas KedokteranUNDIP. Semarang
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu HamilPenderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX;2004.p. 496 – 499.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Allen, Lindsay H and Stuart R. Gillespie. 2001. What sorks? A review of the Efficacy
And Effectiveness of Nutrition Interventions. AAC/SCN: Geneva inCollaboration with The Asian Development Bank, Manila.
Amaliah, Lili. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah
Kabupaten Serang tahun 2002. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Amrihati, Titi, 2002, Faktor-faktor yang berhubungan dengan Status AnemiaMahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jakarta II, ProgramPascasarjana, Program Studi Kesehatan Masyarakat: Depok,
Adriani, M., & Wirjatmadi, B. (2012). Perana Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Adriana. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Remaja Putri diMadrasah Aliyah Negeri 2 Bogor Tahun 2010 [Skripsi]. Jakarta: UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah. 2010.
Angeles-Agdeppa I, Schultink W, Sastroamidjojo S, Gross R, and Karyadi D. Weeklymicronutrient supplementation to buid iron stores in female Indonesianadolescents. Am Clin Nutr 1997; 66: 177-83.
Anggrani M. 2009. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pencegahan AnemiaDengan Kejadian Anemia Pada ibu Hamil Di Puskesmas Parung PanjangKabupaten Bogor Jawa Barat. http:// library. esaunggul. ac.id/ opac/ files/S00000 3215.pdf. Diakses 29 Maret 2014.
Ariyanti, Mayfa, 2005, Faktor-faktor yang berhubungan Kebiasaan SarapanPagi pada Anak Sekolah Dasar di SDN Limus Nunggal III KecamatanCileungsi, Depok: FKM UI
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku KedokteranEGC: Jakarta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bineka CiptaAriawan, iwan. 1998. Besar dan Metode pada Sampel Penelitian Kesehatan.Depok:
JurusanArifin, Siregar. 2004. Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Sumatra Utara: Universitas Sumatra UtaraArifin, M & Sudaryanto, T 1991, Pola Konsumsi Makanan Pokok, Konsumsi Energi
dan Protein di Pedesaan Jawa Tengah, Berita Pergizi Pangan, vol. 8.Arifin, Sri Utami, dkk. 2013. Hubungan ASupan Zat Gizi dengan Kejadian Anemia
pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.JurnalKeperawatan Vol.1
Alsuhendra. 2002. Makan Nasi Jangan Minum Teh. mahasiswa Program Studi
Pangan PascasarjanaIPB/INTISARI)
http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1020739016,95399
Apriadji, 1986, Gizi Keluarga, Penebar Swadaya, Jakarta, pp.8
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Bakta IM. 2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. In : Sudoyo AW, BambangSetiyohadi,Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, editors. BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam. edisi IV, jilid II. Jakarta Pusat: Pusat PenerbitanIlmu Penyakit Dalam FK UI: p.622-623.
Barokah, Nurul. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status AnemiaDefisiensi Besi Pada Remaja Putri Kelas VII Dan VIII SMP MuhammadiyahTangerang Selatan Tahun 2010. Skripsi. Program Studi KesehatanMasyarakat. Fakultas Kesehatan Dan Ilmu Kedokteran. Uuniversitas IslamNegeri Syarif Hidayatulloh: Jakarta.
Berg, A. et al, 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. CV Rajawali,Jakarta
Besral, Lia Meilianingsih, Junaiti Saliar. 2007. Pengaruh Minum The terhadapKejadian Anemia pada Usila di Kota Bandung. MAKARA, Kesehatan, Vol.11, No. 1. Juni 2007
Bhargava, A. et al., 2001. Dietary Intakes and Socioeconomic Factors are Associatedwith The Hemoglobin Concentration of Bangladesh Women. Am J Clin Nutr,vol 131, p:758-764.
Brabin. 1992. Parasitic infections in women and their consequences. Am J Clin Nutr;55: 955-8.
Brabin and Brabin. Parasitic infections in women and their consequences. Am J ClinNutr 1992; 55: 955-8.
Brown, Judith E. et al. 2005. Nutrition Through the Life Cycle (2nd ed). Wadsworth:USA.
Brooker C. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC.Cao G, Sofic E, dan Prior R. Antioxidant capacity of tea and common vegetables.
Journal of Agree Food Chem,1996 (44):3426-3431Dahlan Siamat, 2004. Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas IndonesiaDepkes RI, 1996. Pencegahan dan Pengembangan Pendarahan. Jakarta.Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk
Remaja dan Wanita Usia Subur. Depkes RI: Jakarta.Depkes RI.1999. Pedoman Pemberian Tablet Besi, Folat dan Sirup Besi Bagi
Petugas. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan MasyarakatDirektorat Bina Gizi Masyarakat; 1999
Departemen Kesehatan RI. 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi untukRemaja Putri dan WUS. Depkes RI: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Gizi dalam angka. Direktorat Jendral BinaKesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Depkes RI. 2008. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada WUS. Jakarta: DitjenGizi
Dinkes Kota Cilegon.2012.Laporan Program Kegiatan Kesehatan Remaja Tahun2012. Cilegon: Dinkes Kota Cilegon.
De Maeyer.E.M. 1995. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi. Jenewa; World Health Organization.
DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence.Journal of the American Academy ofPediatrics.
Dessypris E.N. 1999. Erythropoiesis. In: G.R. Lee, J. Foerster, J. Lukens, et al,editors : Wintrobe’s Clinical Hematology.10th edition.Volume1A.Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Farida, Ida, 2007, Determinan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di kecamatanGebog Kabupaten Kudus Tahun 2006, Tesis, Program Pascasarjana,Universitas Dipenogoro: Semarang
Fatmah, 2010, Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit : PT.Raja Grafindo Persada.
Fikawati, Sandra dkk. 2010. Pengaruh Suplementasi Zat Besi Satu dan Dua Kali perMinggu terhadap Kadar Hemoglobin pada siswi yang Menderita Anemia.Jurnal. Lintas Departemen Kesehatan Reproduksi Fakultas KesehatanMasyarakat UI: Depok
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism.In : Mahan LK, Escott-Stump S.mKrause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.12th edition.Philadelphia: Saunders.Gibson, R.S., 1990. Prinsiple of Nutrition ofAssesment, New York : Oxpor University Press.
Gillespie, Stuart. 1998. Major Issues in the Control if Iron Deficiency TheMicronutrient Initiative, Unicef, New York.
Glick, Peter, 2002. Women’s Employment and Its Relation to Children’s Health andSchooling in Developing. Cornel University
Guthrie A. Helen and Picciano F, Marry. 1995. Human Nutrition. USA: Mosby-YearBook, Inc.
Guthrie, H.A.1989. Introductory Nutrition. Mosby College Publishing: USAGunatmaningsih, Dian, 2007, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri di SMA Negeri 1 Kecamatan JatibarangKabupaten Brebes Tahun 2007, Skripsi, Program Studi Ilmu KesehatanMasyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang:Semarang,
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 9.Jakarta : EGC.Hallberg, Leif. 1998. Besi. PT. Gramedia, JakartaHamill, T., 2010. HemoCue Classic Procedure.UCSF Medical Centre Clinical
Laboratories.Available from: http://labmed.ucsf.edu/labmanual/mftlngmtzn/dnld/poct
Hamilton, Persis. (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas.Edisi 2.Jakarta : EGCHamid, A. Y. (2002). Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta:Hart, J.A. (2002). Spirituality and Palliative Care. http://cancer-
research.umaryland.edu/spirituality.htmlHandayani, Wiwik dan Andi Sulistya Hariwibowo .2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.SalembaMedika: Jakarta.
Harper, et.al, 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian (Suhardjo, Penerjemah). UI Pres,Jakarta.
Haryati, dkk, 2004 Gizi dalam Kesehatan Reproduksi, EGC: Jakarta,Herawati, Neng. 2009. Mengenal Anemia dan Peranan Erythropoietin.Jurnal
Biologi/Vol.4/No.1. Diakses pada tanggal 15 Mei 2014.http://www.biotek.lipi.go.id/images/stories/biotrends/vol4no1/mengenalanemiadanperana nerythropoietinberes3539.pdf
Herviani, Dini. 2004. Perbedaan Proporsi Total Asupan Energi, Karbohidrat, Lemak,Dan Kejadian Obesitas di Puskesmas Depok Tahun 2004. Skripsi FKM UI.Depok.
Heryana. 2004. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia pada Siswi di SDNKramatdjati 25 Pagi Jakarta tahun 2004. FKM UI. Depok.
Hestiantoro, A. Dkk. (2008). Masalah Gangguan Haid dan Infertilitas. Jakarta :FKUI.Himawan, Arif Wahyu. (2006). Hubungan antara KarakteristikIbu dengan Status Gizi
Balita Di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang. Skripsi.Universitas Negeri Semarang, Semarang
Husaini, dkk.1989. Anemia Gizi Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam MenunjangKebijakan Nasional dan Pengembangan Program. Pusat Penelitian danPengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor.
Hurlock, Elizabeth B. 1999. “Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan SepanjangRentang Kehidupan”. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Hurlock, Elisabeth. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.Hurrell RF, Reddy M, Cook JD. 1999. Inhibiton of non-haem iron absorpton in man
By polyphenolic-containing beverages.British Journal of Nutrition, (81):289295
Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannyadengan prestasi belajar pada siswi SMKN I Bogor. Skripsi.Bogor : FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hughes, Fergus P. Children, Play & Development. Allyn & Bacon, Boston, 1995.Angeles-Agdeppa, Imelda T. Daily versus weekly supplementation with iron,vitamin A,folic acid and vitamin C to improve iron and vitamin A status offemale adolescents. Med J Indones 1997; 6: 52-69. 17.
Husnah, Nurhidayah dkk. 2014. Hubungan Makanan Sumber Heme dan Non Heme
Dengan Kejadian Anemia Remaja Putri SMA 10 Makassar Tahun 2014.Jurnal Ilmu Gizi. Fakultas Adriani, M. & Wirjatmadi, B. 2012. Pengantar GiziMasyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Kesehatan Masyarakat.Universitas Hasanudin; Makassar.
Irawati, A, dkk.1992.Pengetahuan Murid SD dan SMP di Kodya Bogor. PusatPenelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes RI: Bogor.
Iskandar, Asep. 2009. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Keluarga TerhadapKejadian Anemia Gizi Besi pada Agregat Remaja Putri di SMP NegeriCimalaka Kabupaten Sumedang. Tesis. FIK UI.
Junadi,P. 1995. Strategi Operasional Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia.FKM UI: Depok.
Kirana, Dian. P. 2011. Hubungan Asupan Zat Dizi dan Pola Menstruasi denganKejadian Anemia pada Remaja Putri di SMA N 2 Semarang. Skripsi. ProgramStudi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran. Universitas Dipenogoro: Semarang.
Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian. 1992. Anemia Gizi. SeminarGizi Nasional, Persiapan ”International Conference on Nutrition, Rome,December 1992; Jakarta, 13-14 Januari 1992
Krummel, et al. 1996. “Nutrition in Women’s Health”. Gaithersburg, Maryland :An Aspen Publication.
Khumaidi, M.1989. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan Gizi IPB:Bogor
Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT RajagrafindoPersada.
Kurniawan Ani, 2002. Gizi Seimbang Untuk Mencegah Hipertensi, Jakarta:Direktorat Gizi Masyarakat
Kuntarti, 2009. Air, pH dan Mineral (www.stafui.ac.id)
Kartono, Kartini. 1990. “Psikologi Anak”. Bandung : Mandar Maju. Komite NasionalPBB Bidang Pangan dan Pertanian. 1992. Anemia Gizi. Seminar GiziNasional, Persiapan”International Conference on Nutrition, Rome, December 1992; Jakarta, 13-14 Januari 1992.
Kardjati, dkk., 1985. Aspek Kesehatan dan Gizi Balita. Jakarta: Yayasan OborIndonesia.
Kwatrin, Eva. 2007. “Fakor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada siswi
SMUN Bayah Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2007”. Depok :Thesis FKMUI.
Leginem. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia padaMahasiswa Akademi Kebidanan Kota Banda Aceh tahun 2002. Tesis.ProgramPasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Lestari, Sri Basuki Dwi. 1996. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan KejadianAnemia Gizi Remaja Putri SMU di Kabupaten Bandung.Tesis.Program PascaSarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Linda, Nofa. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia Gizi pada AnakSD/MI Kelas V dan VI di 7 Desa Miskin Kab Bogor tahun2002. FKM UI.Depok
Linder, M.C., 1992. Biokimia, Nutrisi & Metabolisme (Parakhasi, A., penerjemah).UI Press,Jakarta.
Lee, G.R., 1983, The Anemia of chronic disorders. Semin Haematology (20) 61-80Lemeshow, Stanley. 1997.Besar Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
UGM Press.Monks, F.J. 1999. “Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya”.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.Morck, et al. 1983. “Inhibition of Food Iron Absorption By Coffee”. The American
Jornal of Clinical Nutrition [Online]. Vol.37, [Accesed 30th November2014], p.416-420. Available from World Wide Web http://www.ajcn.org/
Moehji, Sjahmien. 1995. Ilmu Gizi. Jakarta: Bhratara.Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi 2. Jakara: Papas Sinar Sinanti.Mary E. Beck. 2000.Imu Gizi dan Diet Hubungan dengan penyakit-penyakit untuk
Dokter dan Perawat . Yayasan Essentia Medica: Yogyakarta.Maulina, Leni. 2001. Hubungan Status Gizi dengan Pengetahuan Gizi dan Faktor-
faktor Sosial Ekonomi pada Remaja Putri Siswi SMU N 1 Bekasi Jawa Barat.Skripsi FKM UI. Depok
Mudyahardjo, Redja, 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, Bandung:Remaja Rosdakarya,
Muryanti. 2006. Hasil survei kesehatan ibu, oleh Flourisa. Diakses pada tanggal 3Mei 2014. http://www.Bkkbn.com. Muhilal dan Sukati Saidin. DepartemenKesehatan RI. 1980. Ketelitian Hasil Penentuan Hemoglobin dengan CaraSianmetheglobin, Cara Sahli dan Sianmetheglobin-Tidak Langsung.PenelitianGizi dan Makanan, Jilid 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi
Muhilal. 1998. Program Makanan Latin dan di Indonesia.Gizi Indonesia vol XXIII.Tambahan Anak Sekolah di Negeri
Muhilal, dkk., 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan.Widya Karya Pangan& Gizi VII. LIPI, Jakarta
Mulyawati, Y. 2003. Perbandingan Efek Suplementasi Tablet Tambah Darah Dengandan Tanpa Vitamin C Terhadap Kadar Hemoglobin Pekerja Wanita diPerusahaan Plywood Jakarta, Universitas Indonesia. Thesis.
McLean, et. Al. 2007. Wordwide Prevalence of Anemia in Pre-School AgedChildren, Pregnant Women and Non-Pregnant Women of Reproductive Age.Switzerland: SIGHT ANG LIFE Press.
National Anemia Action Council. Anemia in Adolescents : The Teen Scene. 2009January 14 . Available from: http://www.anemia.org. Cited 2011 March 9.
Nailul Izah, Saifi. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status AnemiaDefisiensi Besi Pada Remaja Putri Kelas V Dan VII MI Negeri 02 CempakaPutih Tahun 2010. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat. FakultasKesehatan Dan Ilmu Kedokteran. Uuniversitas Islam Negeri SyarifHidayatulloh: Jakarta.
Nasution, 2000. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Dan Mengajar,Jakarta:Bumi Aksara
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka CiptaNotoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : RinekaNurjanah. 2001. Hubungan Terapeutik perawat dan Klien. Yogyakarta : PSIK FK
UGM.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen PenelitianKeperawatan. Jakarta:Salemba Medika
Permaesih, D, dkk., 1989. Hubungan Status Anemia dan Status Besi Wanita RemajaSantri.Penelitian Gizi dan Makanan. Vol 11
Permaesih D, S Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia padaremaja. Buletin Penelitian Kesehatan.
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. GramediaPustaka Utama.Jakarta Ross J, Horton S. 1998. Economic Consequences ofIron Deficiency.Ottawa : Micronutrien Initiative.
Poltekes Depkes Jakarta 1.2010.Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta:Salemba
Prastika, Dewi Andang. 2011. Hubungan Lama Menstruasi Terhadap KadarHemoglobin pada Remaja Siswi SMAN 1 Wonosari. Skripsi. Program StudiD IV Kebidanan . Fakultas Kedokteran. Universitas ebelas Maret. Surakarta.
Phujiyanti, yustia. 2004. Identifikasi Gaya Hidup dan Kebiasaan Makan Mahasiswa
IPB. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Puri, DK. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia mahasiswi
Peserta program pemberian makanan tambahan di IPB. Skripsi : Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor (http://id.shvoong.com/medicine-and
health/1971060-asam-fitat/) dalam Elvira Syamsir (2010). Asam Fitat
Purwanto J. 2012. Hubungan pendidikan Ibu Hamil Dengan kejadian Anemiahttp://blog.uin- malang.ac.id/jokopurwanto/2012/04/04/hubungan-pendidikan-ibu-hamil-dengan-kejadian-anemia/. Diakses 29 Maret 2014.
Puspitaningrum D., Fratika M. N. 2008. Hubungan Pengetahuan Tentang Anemia,Pendidikan Ibu, Konsumsi Tablet Fe Dengan Kadar Hb Pada Ibu HamilTrimester III Di RB Bhakti Ibu Kota Semarang. http://digilib. unimus.ac.id/files/disk1/ 128/ jtptunimus-gdl dewipuspit-6373-1-artikel.pdf. Diakses 4 Mei2014.
Qomariah, Nur. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian AnemiaGizi pada Siswi SMU di Kecamatan Mauk Kab. Tangerang Tahun 2006.Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
R. Kongkachuichai1, P. Napatthalung, and R. Charoensiri. 2002. Heme and Nonheme
Iron Content of Animal Products Commonly Consumed in Thailand. p.(3):97.
Raptauli Siahaan, Nashty. 2012. Factor-faktor yang berhubungan dengan statusanemia pada remaja putri di wilayah depok tahun 2011 (Analisis datasekunder survey anemia remaja putri dinas kesehatan kota depok tahun 2011).Jakarta: FKM UI Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Ritonga F.J; Asiah N. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu hamildalammelakukan pemeriksaan Antenatal Care .(Online),(jurnal.usu.ac.id/index.php/jkk/article/download/1128/647, diakses 13 Juli2013).
Royani, Mega. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian AnemiaGizi Besi pada Remaja Putri di SMA 2 Kota Bandar Lampung Thun 2011,Skripsi, Depok: FKM UI
Ross J, Horton S. 1998. Economic Consequences of Iron Deficiency. Ottawa :Micronutrien Initiative.
Safyanti, 2002. “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia Pada Remaja PutriSMUN 3 Padang Provinsi Sum-Bar Tahun 2001 (Analisis Data Sekunder)”.Depok : Thesis FKMUI
Saidin, M dan Sukati. 1997. Pengaruh Pemberian Pil Besi dengan PenambahanVitamin Terhadap Perubahan Kadar Hemoglobin dan Feritin Serum padaWanita Remaja, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Bogor.
Saraswati, Edwi, dkk. 1997. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Anemia Remaja PutriSekolah Menengah Umum Anemia dan Non Anemia di Enam Dati II PropinsiJawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan MakananDepartemen Kesehatan RI: Bogor.
Satyaningsih, Elsa. 2007. “Anemia Gizi Pada Remaja Putri Smk Amaliyah SekadauKalimantan Barat Tahun 2007”. Depok : Thesis FKMUI.
Sariningrum, I. 1990. Tingkat Pendapatan dan Pengetahuan Gizi. Akademi GiziDepartemen Kesehatan RI: Jakarta
Sanjur, D., 1982. Social and Cultural Prespectif in Nutrition. Prentice Hall, NewYork.
Shata Al-Sharbatti, Al-Ward, Al-Timimi. 2003. Anemia Among Adolescent. SaudiMed
J;24 (2):189-94.Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Jakarta : Dian Rakyat.Shinta, Annisa. 2005. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Dengan Prestasi Belajar
Siswi SMP Negeri 25 Semarang. Skripsi Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Negeri Semarang.http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH5363/e10aea1.dirdoc.pdf. pada tanggal 15 Mei 2014.
Sianturi G. 2002. Perbaiki Gizi Secara Bersama, (http://www. gizi. net/egibin/berita/fullnews.egi?newsd1019016106,75781). Diakses 29 Maret 2015.
Soendoro,R.1981.Prinsip-prinsip Biokimia.Jakarta:ErlanggaSoemantri AG, Triasih S (Ed). 2005. Anemia defiesiensi besi : epidemiology and
cognitive in children with iron deficiency anemia. Yogyakarta : Medikafakultas kedokteran UGM.
Soekirman.2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal PendidikanTinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Soekidjo Notoatmodjo. 1997. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan dalam IlmuKesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeparman et al, .1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUISudigdo S,& Sofyan I. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung SetoSuhardjo, 1985, Perencanaan Pangan dan Gizi, Depdikbud dan PAU Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian, Bogor.Suhardjo, 1989. Sosio Budaya Gizi. Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. BogorSuharjdo. 2003. Berbagai Cara Pendidiksn Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu.Sumarwan, Ujang,2007, Perilaku Konsumen, (Teori dan Penerapaannya dalam
Pemasaran),Ghalia JakartaSupariasa, dkk, 2002. Penilaian Status Gizi, Jakarta, Buku Kedokteran EGC.Surbakti, E. B. (2008). Kenalilah Anak Remaja Anda: Elex Media Komputindo.
JakartaSylvia AP dan Lorraine MW. 2001. Sel darah merah. Dalam Patofisiologi. Dalam
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC.p. 231-2.Syamsir, Elvira. 2009. Ilmu Pangan. Staf pengajar Dept. Ilmu dan Teknologi Pangan
IPB. Diakses dari http://ilmupangan.blogspot.com/2009/11/asam-fitat.htmlpada tanggal 10 mei 2015
UU RI No.20 Tahun 2003. http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdfDiakses pada tanggal Mei 2015
USAID. 2003. Family Planning/HIV Intregration: technical Guidance for USAID-supported Field Program. US. Agency for International Development.Washington, D.C.
Widayanti, Sri. 2008. Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT. SalamPacific Indonesia Lines Di Belawan Tahun 2007. Skripsi Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Sumatera Utara
Wirawan, R., 1995, Diagnosis Anemia.MKI.45 (12) 713-21.
Wijayanti.A., 2005. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Balita Gizi Buruk denganPraktek Ibu dalam Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)Modisco di Kabupaten Semarang. Tesis. Program Ilmu Gizi. UniversitasDiponegoro.
Wijiastuti, Harni. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemua padaRemaja Putri di Tsanawiyah Cipondok Tangerang Tahun 2005. SkripsiFakultas Kesehatan Masyarakat UI, Depok.
Walmsley, R.N., Watkinson LR., Cain HJ., 1999, Plasma Iron: Case in chemicalpathology adiagnostic approach, 4th edition, 238-46.
Wirakusumah, E. S, 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Trubus Agriwidya.Jakarta.
Wulandari, Witta, 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusifpada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Candilama KotaSemarang.
Wulandari, Y. 2007. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status GiziMahasiswa Universitas Indonesia Program S1. Skripsi FKM UI
WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A guidefor Programme Manager.
WHO. 2008. Worldwide Prevalence Of Anemia 1993-2005. WHO Global Databaseon Anemia
Yasmin, Tentri, 2012 Hubungan Pengetahuan, Asupan Gizi dan Faktor Lain yangBerhubungan dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMAKabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012, Skripsi, Fakultas KesehatanMasyarakat, Universitas Indonesia: Depok,
Yayuk Farida, Balawati d.k.k., 2004, Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta: PenebarSwadaya.
Yip, D. 1998. Teacher's misconceptions of the circulatory system. Journal of
Biological Education, 32, 207-216.
Yunizaf, 2000. Bagaimana Gadis Remaja Berkembang Selama Pubertas. MajalahSwara, Edisi 8 Nopember.
Yusuf, Syamsu dkk. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Grafindo Persadahemocue_classic.pdf [Accessed on 01 March 2014]
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN TENTANG: ” HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI, POLAMENSTRUASI DAN KEBIASAAN MAKANAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA
REMAJA PUTRI MTS CIWANDAN TAHUN 2014”.
Yang bertandatangan di bawah ini saya:Nama : ……………………………………………………………Umur : ……………tahunOrangtua/wali : ……………………………………………………………Alamat : ……………………………………………………………
Bersedia dan mau berpartisipasi menjadi peserta penelitian yang akan dilakukan olehEka Pratiwi dari Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran danIlmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.Atas kesediaan dan partisipasi Saudari kami mengucapkan banyakterima kasih
Ciputat,…………………………..
Mengetahui,
Responden Peneliti
(……………….) (……………………..)
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI, POLA MENSTRUASI DAN KEBIASAANMAKANAN DENGAN KEJADIAN ANEMIA REMAJA PUTRI MTS
CIWANDAN TAHUN 2014
Nomor Responden
1. Kuesioner ini bertujuan untuk mengumpulkan data penelitian tentanghubungan sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan dengankejadian anemia remaja putri di Mts ciwandan tahun 2014
2. Penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun skripsi atas Eka Pratiwi dariProgram Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan IlmuKesehatan UIN Syarif Hidayatullah dan akan menjadi masukan bagi DinasKota Cilegon dalam mengatasi masalah anemia pada remaja putri.
3. Atas kesediaan dan partisipasi Saudari menjadi responden dan meluangkanwaktu untuk mengisi kuesioner ini merupakan penghargaan bagi kami dansebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih.
Ciputat,……………………….
Peneliti
KUESIONER ANEMIA PADA REMAJA PUTRIMTS CIWANDAN TAHUN 2014
1. Jawablah pertanyaan dengan berurut dan jelas2. Berilah tanda silang pada jawaban yang paling tepat dan sesuai dengan
keadaan anda sebenarnya.3. Jawablah semua pertanyaan tanpa ada yang terlewatkan (kecuali ada
pengecualian)4. Bila kurang jelas tanyakan langsung pada pewawancara5. Selamat mengisi dan terimakasih
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN1. No. responden :2. Nama :3. Alamat :4. No tlp/hp5. Umur/tanggal lahir :6. Kadar Hb : mm/dl (diisi oleh peneliti)
B. KARAKERISIK ORANGTUA1. Namaa) Ayah :b) Ibu :
2. Pendidikan (tahun)a) Ayah
1. Tidak Sekolah2. Tidak tamat SD/sederajat(Kelas ………)3. Tamat SD/sederajat4. Tidak tamat SLTP/sederajat(Kelas……..)5. Tamat SLTP6. Tidak tamat SLTA(Kelas ………)7. Tamat SLTA
b) Ibu1. Tidak Sekolah2. Tidak tamat SD/sederajat (Kelas ………)3. Tamat SD/sederajat4. Tidak tamat SLTP/sederajat (Kelas……..)5. Tamat SLTP
6. Tidak tamat SLTA (Kelas ………)7. Tamat SLTA
3. Jumlah keluarga yang menjadi tanggungan (jumlah penghuni rumah) .....4. Penghasilan keluarga rata-rata perbulan (rupiah)
a. Ayah Rp................. ..b. Ibu Rp....................c. Anggota keluarga lain Rp.....................d. Total Rp.................. ...
5. Penghasilan perkapita (jumlahseluruh penghasilan dibagijumlah anggotakeluarga)Rp............................
C. UANG SAKU1) Berapa uang saku anda dalam sehari/sebulan?
Rp.......................1) Berapa banyak uang yang kamu habiskan untuk jajan (makanan) dalam
sehari?2) Berapa banyak uang yang kamu pakai untuk ongkos?
D. POLA KONSUMSI TTD1) Apakah anda pernah mengkonsumsi tablet/pil tambah darah?
1. Ya (1)2. Tidak (0)
2) Apakah anda mengkonsumsi tablet tambah darah setiap minggu?1. Ya (1)2. Tidak (0)
3) Selama haid, apakah anda mengkonsumsi tablet tambah darah?1. Ya (1)2. Tidak (0)
E. PENGETAHUAN1) A. Apakah anda pernah mendengar tentang penyakit anemia/kurang darah?
jika tidak langsung ke pertanyaan No.2.1. Ya2. Tidak
B.Bila pernah mendengar, darimana anda mendengar?1. Petugas kesehatan2. Saudara/anggota keluarga/teman
3. Pelajaran sekolah4. Media massa (koran, majalah, radio, TV,dsb)5. Selebaran, leaflet/booklet/poster6. Lain-lain, ………….
2) A. Apakah anda pernahmendapat penyuluhan tentang penyakit anemia? jikatidak, langsung ke pertanyaan No.3
1. Ya2. Tidak
B. Dari mana anda mendapatpenyuluhan tentang penyakitanemia ?1. Petugas kesehatan2. Saudara/anggotakeluarga/teman3. Pelajaran sekolah4. Media massa (koran, majalah, radio, TV,dsb)5. Selebaran, leaflet/booklet/poster6. Lain-lain, ………….
3) Anemia merupakan kekurangan sel darah merah1. Benar2. Salah
4) Anemia disebut juga dengan tekanan darah rendah1. Benar2. Salah
5) Gejala anemia adalah 5 L (Lemah, letih, lesu, lemah, dan lunglai)1. Benar2. Salah
6) Orang suka tidur merupakan gejala anemia1. Benar2. Salah
7) Badan kurus adalah salah satu gejala anemia1. Benar2. Salah
8) Penyakit anemia pada wanita dapat disebabkan karena kurang makanmakanan bergizi
1. Benar2. Salah
9) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena penyakit kecacingan1. Benar2. Salah
10) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena penyakit malaria1. Benar
2. Salah11) Anemia pada wanita dapat disebabkan karena menstruasi/haid
1. Benar2. Salah
12) Wanita lebih rawan/sering terkena anemia daripada lakilaki1. Benar2. Salah
13) Anemia dapat disebabkan karena sering lupa makan atau frekuensi makanyang kurang dari 3x sehari
1. Benar2. Salah
14) Apakah anemia dapat diperiksadari konjungtiva/mata?1. Tahu2. Tidak tahu
15) Apakah anda tahu kurangdarah dapat diperiksa darilaboratorium (tesdarah/Hb) ?
1. Tahu2. Tidak tahu
14) Dikatakan anemia pada remaja putri adalah jika sel darah merah atauhemoglobin Hb< 14 g/dL
1. Benar2. Salah
16) Anemia dapat menyebabkancepat lelah/capai1. Benar2. Salah
17) Anemia dapat mengakibatkankepala pusing/berkunangkunang/pingsan1. Benar2. Salah
18) Anemia dapat menyebabkanrasa malas/lemah1. Benar2. Salah
19) Anemia dapat mengakibatkan haid tidak teratur1. Benar2. Salah
20) Anemi dapat mengurangigairah beraktivitas1. Benar2. Salah
21) Anemia dapat mengurangi semangat belajar/prestasi menurun1. Benar
2. Salah22) Anemia dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat
1. Benar2. Salah
23) Tablet yang berfungsi untuk mencegah dan mengobati anemia adalah tablettambah darah
1. Benar2. Salah
24) Buah jeruk dapat membantu penyerapan zat besi1. Benar2. Salah
25) Makan sayuran hijau dapat mencegah anemia1. Benar2. Salah
26) Nasi merupakan sumber utama zat besi1. Benar2. Salah
27) Vitamin C dapat menghambat penyerapan zat besi1. Benar2. Salah
28) Teh dan kopi merupakan zat yang dapat membantu penyerapan zat besi1. Benar2. Salah
29) Lauk hewani dapat menghambat penyerapan zat besi1. Benar2. Salah
30) Lemak merupakan zat gizi yang banyak mengandung zat besi1. Benar2. Salah
D. POLA MENSRUASI1) Apakah anda sedang haid?
1. Ya2. tidak
2) Berapa lama frekuensi haid anda?1. 1bulan sekali2. 2 bulan sekali3. 1 bulan dua kali
3) Berapa lama anda haid?
1. 6 hari2. > 6 hari
4) Anda mulai haid umur?3. <11 tahun4. 11-13 tahun5. >15 tahun
5) Disaat mens ada saat dimana darah keluar banyak dan sedikit, berapa haridisaat darah keluar banyak?1. <3hari2. 3-8 hari3. >8hari
6) Berapa kali anda gani pembalut dalam sehari1. <3 kali/sehari2. 2-5 kali/hari3. >6 kali/h
FORMULIR FOOD RECORD
Hari ke:
WaktuMakan
NamaMakanan
Bahan MakananJenis Urt Garam
PagiPukul .....
SiangPukul........
SorePukul ....
FORMULIR FFQPetunjuk Pengisian:Isilah tabel dibawah ini dengan menceklis jenis makanan yang dimakan dalam frekuensi konsumsi berserta jumlah makanan dalam ukuranrumah tangga (URT)
Nama Bahan Makan Frekuensi konsumsi Jumlah
Tidakpernah
1x/hari
2-3x/Hari
4-6x/hari
1x/minggu
2-3x/minggu
4-6x/minggu
1x/bulan
1-3x/bulan
URT gr
1. Makanan pokoka. Nasib. Rotic. Mie/bihund. Ubi-ubiane. Kentangf. Jagungg.
2. Lauk hewani danproduk lainna
a. Telur bebekb. Telur ayamc. Daging sapid. Daging ayame. Daging kambingf. Hatig. Ikanh. Baksoi. Udang segar
j. Teri
3. Lauk nabati danproduk lainnya
a. Tahub. Tempec. Kedelaid. Kacang hijaue. Oncom
4. Sayur-sayurana. Bayamb. Kangkungc. Daun Singkongd. Kacang panjange. Sawi Hijauf. Labug.5. Buah-buahana. Pisangb. Jerukc. Apeld. Belimbinge. Strawberif. Jambu bijig. Jambu airh. Manggai. Melonj. Salakk. Pepaal. Semangkam. Sawo
6. Gula dan produkolahan
a. Gulab. Permenc. Gulali7. Susu dan produk
olahana. Susu sapi
b. Susu UHTc. Ice creamd. Yogurte. Kejuf.8. minyak dan
lemaka. margarinb. kelapa sawitc. mentega9. cemilan atau
kudapana. cilokb. cimolc. pisang gorengd. bakwane. kroket
Lampiran 1
Tabel Distribusi Frekuensi Sosial Ekonomi, Pola Menstruasi, Pola Konsumsi TTD, danKebiasaan Makan dengan Anemia
Anemia
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Normal 85 69.1 69.1 69.1Anemia 38 30.9 30.9 100.0Total 123 100.0 100.0
Pengetahuan
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Baik 63 51.2 51.2 51.2kurang baik 60 48.8 48.8 100.0Total 123 100.0 100.0
Pendidikan Orangtua
PendidikanOrtu Frequency Percent
ValidPercent
CumulativePercent
Valid Tinggi 59 48.0 48.0 48.0Rendah 64 52.0 52.0 100.0
uang_jajan
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid tinggi 80 65.0 65.0 65.0
rendah 43 35.0 35.0 100.0
Total 123 100.0 100.0
Pendidikan Orangtua
PendidikanOrtu Frequency Percent
ValidPercent
CumulativePercent
Valid Tinggi 59 48.0 48.0 48.0Rendah 64 52.0 52.0 100.0
Total 123 100.0 100.0
Pendapatan Orangtua
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid tinggi 40 32.5 32.5 32.5
rendah 83 67.5 67.5 100.0
Total 123 100.0 100.0
Pola Haid
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid normal 85 69.1 69.1 69.1
tidaknormal 38 30.9 30.9 100.0
Total 123 100.0 100.0
asupan_protein
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Baik 45 36.6 36.6 36.6tidak baik 78 63.4 63.4 100.0Total 123 100.0 100.0
asupan_Vit.C
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Baik 20 16.3 16.3 16.3tidak baik 103 83.7 83.7 100.0Total 123 100.0 100.0
asupan_fe
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Baik 23 18.7 18.7 18.7tidak baik 100 81.3 81.3 100.0Total 123 100.0 100.0
Frekuensi Makan
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid Baik 107 87.0 87.0 87.0
tidak baik 16 13.0 13.0 100.0Total 123 100.0 100.0
asupan_energi
Frequency PercentValidPercent
CumulativePercent
Valid Baik 29 23.6 23.6 23.6tidak baik 94 76.4 76.4 100.0Total 123 100.0 100.0
Frekuensi makan sumber heme
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid Baik 94 76.4 76.4 76.4
tidak baik 29 23.6 23.6 100.0Total 123 100.0 100.0
Frekuensi makan sumber non heme
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid Baik 84 68.3 68.3 68.3
tidak baik 39 31.7 31.7 100.0Total 123 100.0 100.0
Frekuensi makan peningkat absorpsi Fe
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid Baik 82 66.7 66.7 66.7
tidak baik 41 33.3 33.3 100.0Total 123 100.0 100.0
Frekuensi makan penghambat Fe
Frequency PercentValid
PercentCumulative
PercentValid Baik 84 68.3 68.3 68.3
tidak baik 39 31.7 31.7 100.0Total 123 100.0 100.0
Lampiran 2 Tabel Uji Chi Square
1. Hubungan pengetahuan dgn kejadian anemia
pengetahuan * anemia Crosstabulationanemia
Totalnormal Anemiapengetahuan baik Count 52 11 63
% withinpengetahuan 82.5% 17.5% 100.0%
kurang baik Count 33 27 60% withinpengetahuan 55.0% 45.0% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinpengetahuan 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 10.917a 1 .001Continuity Correctionb 9.665 1 .002Likelihood Ratio 11.161 1 .001Fisher's Exact Test .002 .001Linear-by-LinearAssociation 10.828 1 .001
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.54.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forpengetahuan (baik /kurang baik)
3.868 1.694 8.832
For cohort anemia =normal 1.501 1.162 1.938
For cohort anemia =Anemia .388 .212 .711
N of Valid Cases 123
2. Hubungan uang jajan dengan kejadian anemia
uang_jajan * anemia Crosstabulationanemia
Totalnormal Anemiauang_jajan tinggi Count 62 18 80
% withinuang_jajan 77.5% 22.5% 100.0%
rendah Count 23 20 43% withinuang_jajan 53.5% 46.5% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinuang_jajan 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 7.553a 1 .006Continuity Correctionb 6.470 1 .011Likelihood Ratio 7.383 1 .007Fisher's Exact Test .008 .006Linear-by-LinearAssociation 7.491 1 .006
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.28.
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio foruang_jajan (tinggi /rendah)
2.995 1.350 6.643
For cohort anemia =normal 1.449 1.070 1.961
For cohort anemia =Anemia .484 .288 .812
N of Valid Cases 123
3. Hubungan pendapatan orang tua dengan kejadian anemia
pendapatan_ortu * anemia Crosstabulationanemia
Totalnormal Anemiapendapatan_ortu tinggi Count 36 4 40
% withinpendapatan_ortu 90.0% 10.0% 100.0%
rendah Count 49 34 83% withinpendapatan_ortu 59.0% 41.0% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinpendapatan_ortu 69.1% 30.9% 100.0%
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 12.121a 1 .000Continuity Correctionb 10.714 1 .001Likelihood Ratio 13.747 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 12.023 1 .001
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,36.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forpendapatan_ortu (tinggi/ rendah)
6.245 2.034 19.174
For cohort anemia =normal 1.524 1.240 1.875
For cohort anemia =Anemia .244 .093 .641
N of Valid Cases 123
4. Hubungan pendidikan orangua dengan kejadian anemia
pend.ortu * anemia Crosstabulationanemia
Totalnormal Anemiapend.ortu tinggi Count 48 11 59
% withinpend.ortu 81.4% 18.6% 100.0%
rendah Count 37 27 64% withinpend.ortu 57.8% 42.2% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinpend.ortu 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 7.970a 1 .005Continuity Correctionb 6.906 1 .009Likelihood Ratio 8.176 1 .004Fisher's Exact Test .006 .004Linear-by-LinearAssociation 7.905 1 .005
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,23.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forpend.ortu (tinggi /rendah)
3.184 1.400 7.243
For cohort anemia =normal 1.407 1.104 1.793
For cohort anemia =Anemia .442 .241 .810
N of Valid Cases 123
5. Hubungan pola haid dengan kejadian anemia remaja
pola_haid * anemia Crosstabulationanemia
Totalnormal Anemiapola_haid normal Count 84 1 85
% withinpola_haid 98.8% 1.2% 100.0%
tidak normal Count 1 37 38% withinpola_haid 2.6% 97.4% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinpola_haid 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 1.138E2a 1 .000Continuity Correctionb 109.350 1 .000Likelihood Ratio 131.968 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 112.885 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,74.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forpola_haid (normal /tidak normal)
3.108E3 189.252 51041.290
For cohort anemia =normal 37.553 5.428 259.795
For cohort anemia =Anemia .012 .002 .085
N of Valid Cases 123
6. Hubungan asupan Zat gizi dengan kejadian anemia
asupan_energi * anemiaCrosstab
anemiaTotalnormal Anemia
asupan_energi baik Count 27 2 29% within asupan_energi 93.1% 6.9% 100.0%
tidak baik Count 58 36 94% within asupan_energi 61.7% 38.3% 100.0%
Total Count 85 38 123% within asupan_energi 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 10.236a 1 .001Continuity Correctionb 8.818 1 .003Likelihood Ratio 12.420 1 .000Fisher's Exact Test .001 .001Linear-by-LinearAssociation 10.153 1 .001
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,96.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forasupan_energi (baik /tidak baik)
8.379 1.878 37.378
For cohort anemia =normal 1.509 1.251 1.820
For cohort anemia =Anemia .180 .046 .703
N of Valid Cases 123
asupan_protein * anemiaCrosstab
anemiaTotalnormal Anemia
asupan_protein baik Count 40 5 45% withinasupan_protein 88.9% 11.1% 100.0%
tidak baik Count 45 33 78% withinasupan_protein 57.7% 42.3% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinasupan_protein 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 13.008a 1 .000Continuity Correctionb 11.588 1 .001Likelihood Ratio 14.418 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 12.903 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,90.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forasupan_protein (baik /tidak baik)
5.867 2.089 16.474
For cohort anemia =normal 1.541 1.241 1.913
For cohort anemia =Anemia .263 .110 .624
N of Valid Cases 123
asupan_Vit.C * anemiaCrosstab
AnemiaTotalnormal Anemia
asupan_Vit.C Baik Count 20 0 20% withinasupan_Vit.C 100.0% .0% 100.0%
tidak baik Count 65 38 103% withinasupan_Vit.C 63.1% 36.9% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinasupan_Vit.C 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 10.677a 1 .001Continuity Correctionb 9.019 1 .003Likelihood Ratio 16.463 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 10.591 1 .001
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,18.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperFor cohort anemia =normal 1.585 1.367 1.837
N of Valid Cases 123
asupan_fe * anemiaCrosstab
AnemiaTotalnormal Anemia
asupan_fe Baik Count 21 2 23% within asupan_fe 91.3% 8.7% 100.0%
tidak baik Count 64 36 100% within asupan_fe 64.0% 36.0% 100.0%
Total Count 85 38 123% within asupan_fe 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 6.530a 1 .011Continuity Correctionb 5.313 1 .021Likelihood Ratio 7.816 1 .005Fisher's Exact Test .011 .007Linear-by-LinearAssociation 6.477 1 .011
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,11.b. Computed only for a 2x2 table
7. Hubungan frekuensi makan dengan kejadian anemia
Frekuensi Makan dalam Sehari * anemia
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_shr Baik Count 83 24 107
% withinfrek_mkn_shr 77.6% 22.4% 100.0%
tidak baik Count 2 14 16% withinfrek_mkn_shr 12.5% 87.5% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinfrek_mkn_shr 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value DfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 27.604a 1 .000Continuity Correctionb 24.640 1 .000Likelihood Ratio 26.122 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 27.379 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,94.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forfrek_mkn_shr (baik /tidak baik)
24.208 5.140 114.019
For cohort anemia =normal 6.206 1.691 22.779
For cohort anemia =Anemia .256 .172 .382
N of Valid Cases 123
Frekuensi Makan Sumber Heme * anemia
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_smber_heme
baik Count 81 13 94% withinfrek_mkn_smber_heme 86.2% 13.8% 100.0%
tidak baik Count 4 25 29% withinfrek_mkn_smber_heme 13.8% 86.2% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinfrek_mkn_smber_heme 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value DfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 54.379a 1 .000Continuity Correctionb 51.042 1 .000Likelihood Ratio 53.271 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 53.937 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,96.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forfrek_mkn_smber_heme(baik / tidak baik)
38.942 11.647 130.206
For cohort anemia =normal 6.247 2.506 15.575
For cohort anemia =Anemia .160 .095 .271
N of Valid Cases 123
Frekuensi Makan sumber non Heme * anemia
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_smber_nonHeme
Baik Count 84 0 84% withinfrek_mkn_smber_nonHeme
100.0% .0% 100.0%
tidak baik Count 1 38 39% withinfrek_mkn_smber_nonHeme
2.6% 97.4% 100.0%
Total Count 85 38 123
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_smber_nonHeme
Baik Count 84 0 84% withinfrek_mkn_smber_nonHeme
100.0% .0% 100.0%
tidak baik Count 1 38 39% withinfrek_mkn_smber_nonHeme
2.6% 97.4% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinfrek_mkn_smber_nonHeme
69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value DfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 1.184E2a 1 .000Continuity Correctionb 113.916 1 .000Likelihood Ratio 142.789 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 117.473 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperFor cohort anemia =normal 39.000 5.634 269.949
N of Valid Cases 123
Frekuensi Makan Peningkat Fe * anemia
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_pningkatFe
baik Count 82 0 82% withinfrek_mkn_pningkatFe 100.0% .0% 100.0%
tidak baik Count 3 38 41% withinfrek_mkn_pningkatFe 7.3% 92.7% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinfrek_mkn_pningkatFe 69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value DfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 1.100E2a 1 .000Continuity Correctionb 105.678 1 .000Likelihood Ratio 130.625 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 109.082 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,67.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperFor cohort anemia =normal 13.667 4.598 40.624
N of Valid Cases 123
Frekuensi makan penghambat Fe* anemia
Crosstabanemia
Totalnormal Anemiafrek_mkn_pnghambatFe
baik Count 72 12 84% withinfrek_mkn_pnghambatFe
85.7% 14.3% 100.0%
tidak baik Count 13 26 39% withinfrek_mkn_pnghambatFe
33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 85 38 123% withinfrek_mkn_pnghambatFe
69.1% 30.9% 100.0%
Chi-Square Tests
Value DfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)Pearson Chi-Square 34.229a 1 .000Continuity Correctionb 31.819 1 .000Likelihood Ratio 33.542 1 .000Fisher's Exact Test .000 .000Linear-by-LinearAssociation 33.951 1 .000
N of Valid Casesb 123a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05.b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% ConfidenceInterval
Lower UpperOdds Ratio forfrek_mkn_pnghambatFe (baik / tidak baik)
12.000 4.861 29.625
For cohort anemia =normal 2.571 1.636 4.042
For cohort anemia =Anemia .214 .121 .378
N of Valid Cases 123