expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu keganasan pada wanita yang menimbulkan kematian adalah kanker
serviks. Hal ini menyebabkan kanker serviks menjadi sesuatu yang menakutkan
karena pada kanker serviks pada stadium awal tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada stadium lanjut, saat kanker tersebut sudah dengan gejala yang
jelas, maka penangannya menjadi lebih sulit dan mempunyai prognosis yang lebih
buruk.
Kanker serviks merupakan penyebab ke-2 terbanyak kematian yang
disebabkan oleh kanker di seluruh dunia. Di banyak negara berkembang, kanker
serviks sering merupakan penyebab utama kematian pada wanita. Walaupun
negara industri telah berhasil mengurangi angka kejadian dan kematian dengan
memperkenalkan tes skrining yang sangat efektif (apusan papaniculaou), jumlah
kasusnya masih tinggi. Setiap tahun, tercatat sekitar 500.000 diagnosis baru
kanker serviks, dan sekitar 350.000 pasien meninggal dunia akibat kanker serviks
(Skiba et al., 2006). Berdasakan data registrasi kanker berbasis patologi pada
tahun 2006 di Denpasar, terdapat 250 kasus kanker serviks yang menduduki
peringkat pertama kanker terbanyak pada wanita. Pada tahun 2007, kanker serviks
merupakan kanker kedua terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 226
kasus, dan pada tahun 2008, kanker serviks tetap merupakan kanker kedua
1
2
terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 270 kasus (Susanti, 2006;
Susanti, 2007; Susanti, 2008).
Hubungan antara lesi prekanker epitelial serviks uteri (lesi displasia; cervical
intraepithelial neoplasia; CIN) dan kanker/karsinoma invasif, terutama squamous
cell carcinoma (SCC) dengan human papillomavirus (HPV) telah jelas (Amalinei
et al., 2009; Hwang et al., 2012). Cervical intraepithelial neoplasia adalah
spektrum dari lesi servikal uteri yang mewakili lesi prekursor dari SCC yang
dikategorikan menjadi cervical intraepithelial neoplasia 1 (CIN1), cervical
intraepithelial neoplasia 2 (CIN2) dan cervical intraepithelial neoplasia 3
(CIN3).
Tumor serviks uteri dikategorikan menjadi epithelial tumours, mesenchymal
tumours and tumour-like condition, mixed epithelial and mesenchymal tumours,
melanotic tumours, miscellaneous tumours, lymphoid and haematopoietic
tumours dan secondary tumours. Karsinoma invasif serviks uteri pada epithelial
tumours dibagi menjadi SCC, adenocarcinoma, adenosquamous carcinoma,
adenoid cystic carcinoma, adenoid basal carcinoma, small cell carcinoma, large
cell neuroendocrine carcinoma dan undifferentiated carcinoma (Wells et al.,
2003). Faktor penyebab utama kanker serviks adalah infeksi HPV yang ditularkan
melalui hubungan seksual (Wells et al., 2003; Tjalma et al., 2005; Nam et al.,
2008).
Human papillomavirus dikategorikan menjadi tipe resiko tinggi (high-risk
HPV; HR-HPV) dan tipe resiko rendah (low-risk HPV; LR-HPV) bergantung dari
kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi yang berhubungan dengan
3
timbulnya kanker (Paavonen, 2007). Kebanyakan wanita dengan infeksi HR-HPV
hanya merupakan infeksi sementara yang tidak menyebabkan transformasi ganas
pada mukosa serviks; meskipun demikian HR-HPV merupakan agen etiologi pada
hampir semua kanker serviks (Amalinei et al., 2009; Hwang et al., 2012). Dua
tipe HR-HPV yang paling utama menyebabkan terjadi karsinogenesis adalah
HPV16 dan HPV18, yang juga paling bertanggung jawab pada 70% kanker
serviks dan sekitar 50% CIN3 (Skiba et al., 2006; Schiffman et al., 2007;
Amalinei et al., 2009). Berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV,
didapatkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV
tipe 52 (23%), 16 (18%), 18 (16.1%) dan 32 (11.8%); sedangkan sebagian besar
lesi-lesi serviks di Bali disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18
(12%) (Vet et al., 2008).
Kebanyakan infeksi HPV (sampai 90%) akan mengalami regresi spontan,
tanpa terapi, setelah beberapa bulan. Jika infeksi virus menetap, resiko
berkembang menjadi lesi displasia dan karsinoma invasif akan meningkat. Hal ini
menegaskan pentingnya diagnosis yang akurat dan identifikasi lesi yang memiliki
resiko tinggi mengalami progesivitas (Amalinei et al., 2009; Stanley, 2010;
Hwang et al., 2012).
Pemeriksaan histologi biopsi kolposkopi masih merupakan ‘standard emas’
untuk lesi serviks uteri, walaupun pemeriksaan ini terbatas pada interpretasi
morfologi dengan sedikit atau tanpa informasi apakah lesi tersebut akan menetap,
mengalami regresi atau progresi. Pemeriksaan histologi pada lesi serviks uteri
adalah untuk membedakan keadaan normal dengan berbagai derajat displasia dan
4
membedakan lesi displasia derajat rendah (CIN1) dengan lesi displasia derajat
tinggi (CIN2 dan CIN3). Kesalahan diagnosis histologi akan menyebabkan pasien
tersebut diberikan terapi yang berlebihan ataupun diberikan terapi yang lebih
rendah pada pasien yang secara klinis mempunyai lesi displasia derajat tinggi
(Stanley, 2010; Hwang et al., 2012).
Penelitian molekular yang menggunakan kultur jaringan dan selular
memberikan pengertian tentang transformasi HPV di epitel serviks (Balan et al.,
2009). Genom dari HPV mengkode 8 gen, yaitu 6 nonstruktural protein awal (E1,
E2, E4, E5, E6, E7) dan 2 protein akhir (L1 dan L2) (Paavonen, 2007). L1
merupakan elemen struktural primer dengan virion yang infeksius mengandung
360 copies protein yang tersusun dalam 72 kapsomer. L2 merupakan komponen
virion minor (Doorbar, 2006). L1 dan L2 membungkus genom virus yang akan
membentuk progeny virion didalam inti sel (Yoshida et al., 2008). Perkembangan
antigen kapsid virus L1 bergantung pada faktor transkripsi yang hanya dapat
terekspresi selama proses maturasi dari sel epitel basal menjadi sel epitel
superfisial (Wu et al., 2011).
Antigen kapsid virus L1 (Human papillomavirus L1; HPVL1)
dipertimbangkan menjadi target mayor respon imun selular (Wu et al., 2011),
sehingga berkurangnya atau menghilangnya produksi antigen kapsid dapat
merupakan hilangnya respon imun selular. Hilangnya protein L1 pada awal proses
transformasi dapat menyebabkan stimulasi respon imun yang tidak tepat, sehingga
terjadi transformasi sel epitel imatur (Balan et al., 2009).
5
Human papillomavirus L1 dapat terdeteksi pada fase produktif infeksi HPV,
yaitu pada CIN1/CIN2, tetapi jarang terdeteksi pada CIN3 dan tidak terdeteksi
pada kanker invasif. Ekspresi HPVL1 pada suatu kasus mengindikasikan
kecenderungan lesi tersebut akan mengalami regresi dibandingkan dengan kasus
yang tidak mengekspresikan HPVL1. Penelitian yang dilakukan oleh Negri dan
kawan-kawan menyatakan bahwa HPVL1 dapat membantu untuk memperkirakan
potensial biologik dari lesi-lesi serviks uteri (Skiba et al., 2006; Negri et al.,
2008). Hal ini ditekankan juga oleh Griesser dan kawan-kawan serta Brown dan
kawan-kawan, bahwa lesi displasia ringan sampai sedang (CIN1/2), dengan
protein kapsid HPVL1 negatif, akan mengalami progresi secara bermakna (Skiba
et al., 2006; Griesser et al., 2009; Brown et al., 2012).
Tidak terdeteksinya HPVL1 menunjukkan dua status virus DNA. Status
pertama adalah virus DNA telah berintegrasi dengan genom pejamu, dan yang
kedua adalah infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada
sintesis onkoprotein HPV (Yoshida et al., 2008; Balan et al., 2011).
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 merupakan
marker yang sangat baik dan berguna untuk menyatakan infeksi HPV berada
dalam fase produktif atau aktif (Yoshida et al., 2008), sehingga status L1
memiliki kegunaan untuk memprediksi progresivitas dari penyakit (Skiba et al.,
2006; Negri et al., 2008; Balan et al, 2009).
Evaluasi pengecatan HPVL1 dikatakan positif jika terlihat warna coklat pada
inti sel. Parameter yang dipakai adalah jumlah sel pada satu lapang pandang
pembesaran besar (400 x) yang tercat positif dengan HPVL1, di-grading sebagai
6
berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat, grade 1: 2-3 sel yang tercat,
grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel yang tercat (Negri et al., 2008).
Di laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah, Denpasar, terdapat
berbagai lesi displasia epitelial serviks uteri sampai kanker/karsinoma invasif
serviks uteri, di mana karsinoma invasif serviks uteri terbanyak yang dijumpai
adalah SCC.
Persoalan utama dalam menangani lesi displasia serviks uteri adalah
mengevaluasi resiko progresifitas suatu lesi displasia (Negri et al., 2008). Derajat
displasia dan respon imun masing-masing individu serta tipe HPV yang
menginfeksi akan mempengaruhi apakah lesi displasia akan mengalami regresi
ataupun mengalami progresi sampai menjadi kanker, di mana disimpulkan bahwa
pada lesi CIN1, CIN2, dan CIN3 akan mengalami regresi sebesar 57%, 43% dan
32%, akan menetap sebesar 32%, 35%, dan 56%, dan akan mengalami progresi
sampai menjadi kanker serviks invasif sebesar 1%, 5%, dan lebih dari 12%,
sehingga ketepatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosis pasien (Wright,
2006).
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa dengan pewarnaan H&E tidak dapat
ditentukan apakah lesi tersebut akan mengalami regresi atau progresi, di mana hal
tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan kepada klinisi
berkaitan dengan penatalaksanaan pasien dengan mempertimbangkan ekspresi
protein HPVL1 yang dapat memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi serviks
uteri serta menegaskan bahwa ekspresi HPVL1 lebih tinggi pada CIN1
dibandingkan dengan CIN2, CIN3 dan SCC.
7
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN1?
2. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN2?
3. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN3?
4. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada SCC serviks uteri?
5. Apakah terdapat perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2, CIN3,
dan SCC serviks uteri?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2,
CIN3, dan SCC serviks uteri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN1.
2. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN2.
3. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN3.
4. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada SCC serviks uteri.
5. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2,
CIN3, dan SCC serviks uteri.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi HPVL1 18
pada CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC pada serviks uteri.
2. Memberikan informasi kepada klinisi sehingga penanganan pasien
menjadi lebih tepat sesuai dengan protap RSUP Sanglah, Denpasar
berdasarkan derajat displasia serviks uteri berkaitan dengan
penatalaksanaan pasien dengan mempertimbangkan ekspresi protein
HPVL1 18 yang dapat memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi
serviks uteri.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas
Neoplasia adalah ‘suatu pertumbuhan yang baru’. Walaupun semua dokter
mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud dengan neoplasia sewaktu
menyebutkannya, namun sulit memberikan definisi yang akurat. Seorang ahli
onkologi memberikan definisi neoplasma yang paling mendekati, yaitu massa
jaringan abnormal yang pertumbuhannya melebihi dan tidak berkoordinasi dengan
jaringan normal dan tetap dapat bertumbuh dengan baik walaupun telah diberikan
stimulus untuk menghentikannya (Stricker dan Kumar, 2008).
Perbedaan antara tumor jinak dan ganas didasarkan kepada morfologi dan
perilaku (perjalanan klinis), menggunakan empat kriteria, yaitu perubahan
keganasan (transformasi) sel target (diferensiasi dan anaplasia), kecepatan
pertumbuhan, invasi lokal dan metastasis (Mitchell et al., 2006; Stricker dan
Kumar, 2008).
2.2 Epidemiologi
Sejumlah faktor menjadi faktor predisposisi terjadinya kanker pada seseorang
atau pada suatu populasi. Kanker prostat, paru dan kolon merupakan kanker
paling banyak yang dijumpai pada laki-laki, sedangkan kanker payudara, paru dan
kolon merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada wanita. Berbagai
9
10
faktor predisposisi tersebut adalah faktor geografik dan lingkungan, faktor usia,
dan faktor predisposisi genetik terhadap kanker (Stricker dan Kumar, 2008).
Faktor geografik dan lingkungan berpengaruh pada jenis kanker tertentu di
berbagai bagian dunia. Misalnya, angka kematian karena kanker lambung di
Jepang tujuh kali lipat dibandingkan di Amerika Serikat. Para imigran Jepang di
Amerika Serikat, angka kematian karena kanker lambung dan kolon berada di
tengah-tengah insiden pada penduduk pribumi Jepang dan Amerika Serikat. Hal
ini menunjukkan adanya pengaruh lingkungan serta budaya (Stricker dan Kumar,
2008).
Kanker lebih sering terjadi pada orang-orang yang berusia di atas 55 tahun
dan merupakan penyebab utama kematian pada wanita yang berusia 40 hingga 79
tahun serta pada laki-laki yang berusia 60 sampai 79 tahun. Walaupun demikian,
kanker tertentu sering ditemukan pada anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun,
seperti tumor Wilms dan retinoblastoma (Stricker dan Kumar, 2008).
Hereditas memainkan peranan dalam perkembangan penyakit kanker.
Predisposisi genetik terhadap kanker dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
sindrom kanker yang diturunkan secara autosomal dominan yang ditandai oleh
pewarisan gen mutan tunggal yang sangat meningkatkan resiko terjadinya tipe
tumor tertentu, sindrom kecacatan perbaikan DNA yang ditandai oleh
ketidakstabilan kromosom, dan kanker familial yang ditandai oleh
pengelompokan bentuk-bentuk kanker tertentu secara familial tetapi dengan pola
transmisi yang tidak jelas pada kasus individual (Stricker dan Kumar, 2008).
11
Kondisi predisposisi nonherediter adalah kondisi klinis tertentu yang
berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit kanker yang tengah berkembang.
Kondisi ini dibagi dua yaitu inflamasi kronik dan kanker serta kondisi prakanker.
Meskipun mekanisme persisnya yang menghubungkan inflamasi kronik dan
karsinogenesis tidak diketahui, reaksi inflamasi kronik dapat menyebabkan
produksi sitokin setempat yang berkesinambungan yang dapat menstimulasi
pertumbuhan sel yang sudah mengalami transformasi (Stricker dan Kumar, 2008).
2.3 Dasar Molekular Kanker
Lebih dari dua dekade, ratusan gen yang berkaitan dengan kanker telah
ditemukan. Salah satunya adalah p53 yang bermutasi pada banyak kanker. Setiap
gen yang berhubungan dengan kanker (cancer-associated genes) mempunyai
fungsi yang spesifik, di mana disregulasinya akan menyebabkan berkembangnya
suatu jaringan ke arah keganasan. Terdapat delapan dasar perubahan fisiologi sel
yang menyebabkan terjadinya keganasan, yaitu kemandirian dalam menghasilkan
sinyal pertumbuhan (proliferasi tanpa stimuli eksternal), ketidaksensitifan
terhadap sinyal yang menghambat pertumbuhan, penghindaran apoptosis, defek
pada perbaikan DNA, potensi replikasi yang tidak terbatas, angiogenesis yang
dipertahankan, kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasis, serta
kemampuan untuk menghindari pengenalan dan regulasi imun (Gambar 2.1)
(Stricker dan Kumar, 2008).
12
2.4 Siklus Sel Normal
Progresi sel secara teratur lewat siklus sel dikoordinasi oleh siklin (cyclin),
enzim kinase yang bergantung siklin (cyclin dependent kinase, CDK) dan oleh
inhibitornya. Enzim kinase yang bergantung siklin menggerakan siklus sel dengan
memfosforilasi protein tertentu yang menjadi sasaran. Aktivitas CDK diatur oleh
pengikatan siklin yang secara selektif disintesis dan diurai di sepanjang siklus sel.
Setelah cyclin-CDK diaktifkan, siklin yang relevan diurai dan aktivitasnya
menurun dengan cepat (Mitchell et al., 2006).
Gambar 2.1 Skema sederhana dasar molekular penyakit kanker
Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008
13
Beberapa fokus penting dalam proses tersebut yaitu pertama, komplek siklin
D-CDK4 memegang peranan yang penting dalam regulasi siklus sel dengan
memfosforilasi protein retinoblastoma (pRb), di mana pRb merupakan tombol
sentral ‘nyala-mati’ untuk replikasi DNA dan memodulasi titik restriksi G1/S.
Dalam keadaan ‘mati’ atau terhipofosforiasi, pRb akan terikat pada elongation
two factor (E2F) dan mencegah transkripsi DNA. Pada saat pRb
terhiperfosforilasi oleh siklin D-CDK4, E2F dilepas sehingga memungkinkan
terjadinya transkripsi DNA serta progresinya menjadi siklus sel fase S. Kedua,
inhibitor CDK merupakan regulator penting yang mengatur aktivitas siklin-CDK.
Dua kelas utamanya adalah family Cip/Kip (yang meliputi p21, p27 dan p57) dan
family NK4/ARF (yang meliputi p16INK4a serta p14ARF). Aktivasi transkripsi
p21 dikendalikan oleh p53; peranan p53 dalam siklus sel adalah sebagai pemantau,
memicu kontrol checkpoint yang melambatkan atau menghentikan progesi siklus
sel pada sel yang rusak (Gambar 2.2) (Mitchell et al., 2006).
14
Gambar 2.2 Peranan pRb dalam Meregulasi Checkpoint Siklus Sel G1-S
Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008
2.5 Kanker Serviks
Di seluruh dunia, penyakit yang berhubungan dengan HPV merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang sangat berat. Sekitar 50% pria dan wanita
mendapat infeksi HPV genital di sepanjang hidup mereka. Kebanyakan individu
tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi HPV karena tidak adanya gejala,
sehingga virus HPV dapat dengan mudah menyebar tanpa sepengetahuan sewaktu
melakukan hubungan seksual atau sexual foreplay (Paavonen, 2007). Infeksi HPV
terdeteksi pada hampir semua CIN dan kanker/karsinoma invasif serviks uteri,
terutama SCC (Jedpiyawongse et al., 2008; Amalinei et al., 2009). Cervical
15
intraepithelial neoplasia adalah spektrum dari lesi servikal uteri yang mewakili
lesi prekursor dari SCC yang dikategorikan menjadi CIN1, CIN2 dan CIN3.
Tumor serviks uteri dikategorikan menjadi epithelial tumours, mesenchymal
tumours and tumour-like condition, mixed epithelial and mesenchymal tumours,
melanotic tumours, miscellaneous tumours, lymphoid and haematopoietic
tumours dan secondary tumours. Karsinoma invasif serviks uteri pada epithelial
tumours dibagi menjadi SCC, adenocarcinoma, adenosquamous carcinoma,
adenoid cystic carcinoma, adenoid basal carcinoma, small cell carcinoma, large
cell neuroendocrine carcinoma dan undifferentiated carcinoma (Wells et al.,
2003).
2.6 Human papillomavirus
Human papillomavirus merupakan penyebab terbanyak penyakit menular
seksual pada pria dan wanita di seluruh dunia. Human papillomavirus
berhubungan dengan berbagai kondisi klinis yang bervariasi mulai dari lesi yang
tidak berbahaya sampai kanker (Gomez dan Santos, 2007).
Lebih dari 100 tipe HPV telah teridentifikasi, sekitar 40 tipe diketahui
mengenai traktus genital wanita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
HPV DNA menyebabkan lebih dari 95% prekanker dan kanker serviks. Insiden
infeksi HPV di Amerika mencapai 6,2 juta per tahun, dengan estimasi prevalensi
20 juta. Puncak prevalensi adalah pada wanita berumur kurang dari 25 tahun.
Perbedaan antara jumlah wanita yang terinfeksi HPV dengan jumlah wanita
16
dengan prekanker dan kanker menunjuk pada adanya faktor predisposisi lain yang
menyebabkan terjadinya tranformasi keganasan (Thomison et al., 2008).
Papillomavirus merupakan kelompok dari beragam virus yang ditemukan
pada hampir semua vertebra, termasuk mamalia, reptil, dan burung (Thomison et
al., 2008). Papillomavirus merupakan anggota dari keluarga Papovaviridae, yang
mempunyai ciri relatif kecil, tidak berkapsul, memiliki diameter 55nm, sirkular,
double stranded DNA genome yang bereplikasi dalam inti sel pejamu, melepaskan
virion dengan kapsid protein berbentuk ikosahedral. Walaupun papillomavirus
yang pertama teridentifikasi pada kelinci pada tahun 1933, perkembangan
penelitian tentang infeksi HPV tetap berlangsung karena virus tersebut tidak dapat
diperbanyak dengan kultur sel. Gambaran morfologi koilocytic atypia, termasuk
perinuclear cytoplasmic clearing, kondensasi perifer filamen sitoplasma, dengan
pembesaran nukleus dan hiperkromasia, telah ditetapkan sebagai tanda
patognomonik efek HPV dan merupakan hasil langsung dari replikasi aktif genom
virus (Burd, 2003; Thomison et al., 2008).
Siklus hidup HPV bergantung dari proses maturasi sel epitel skuamous
normal. Infeksi virus HPV yang menyebabkan terjadinya tumor jinak, yang
diketahui sebagai kutil atau papiloma, ditunjukkan dengan adanya peningkatan
jumlah ketebalan epitel (akantosis atau papilomatosis), hiperkeratinisasi, retensi
nukleus pada lapisan sel keratin yang paling atas (parakeratosis), dan proliferasi
pembuluh darah kapiler dermis yang secara klinis terlihat sebagai pungtuasi
vaskular. Heterogenitas tipe HPV, spesies yang terkena, dan jarangnya
17
interspecies transmissibility mengesankan bahwa virus ini dapat koevolusi dengan
penjamunya (Thomison et al., 2008).
Genom HPV mempunyai panjang 6900 sampai 8000 base-pair (bp) molekul
DNA (Burd, 2003, Thomison et al., 2008) yang memiliki kemampuan untuk
mengkode enam protein awal (E1, E2, E4-E7) dan dua protein akhir (L1 dan L2)
yang diperlukan untuk replikasi virus DNA di dalam inti sel pejamu dan untuk
berkumpulnya partikel virus yang baru diproduksi dalam sel yang terinfeksi
(Paavonen, 2007, Doorbar, 2006). Kedua kelompok tersebut dipisahkan oleh
upstream regulatory region (URR) yang berfungsi untuk meregulasi replikasi
DNA dengan mengontrol transkripsi open reading frames (ORF). Upstream
regulatory region juga mengandung berbagai variasi genom virus (Gambar 2.3)
(Burd, 2003; Munoz et al., 2006; Stanley, 2010).
Gambar 2.3 Presentasi Skematik Genom HPV
Presentasi skematik genom HPV yang menunjukkan susunan gen nonstruktural
awal (E), gen kapsid (L1 dan L2) dan upstream regulatory region (URR).
Dikutip dari Munoz, 2006
18
Transmisi HPV terjadi terutama dengan kontak kulit-ke-kulit. Penelitian
epidemiologi secara jelas mengindikasikan bahwa resiko terkena infeksi HPV
genital dan kanker serviks dipengaruhi oleh aktivitas seksual. Seseorang individu
akan mempunyai resiko terinfeksi HPV yang lebih besar jika mempunyai
pasangan seksual multipel atau mempunyai satu pasangan seksual yang
mempunyai pasangan seksual multipel. Hubungan seksual pada usia dini juga
meningkatkan resiko terinfeksi HPV. Kebanyakan kanker serviks timbul pada
squamocolumnar junction, yaitu antara epitel kolumnar endoserviks dan epitel
skuamous ektoserviks, dimana pada tempat tersebut terjadi perubahan metaplasia
yang terus menerus. Aktivitas metaplasia terbanyak tersebut terjadi pada saat
pubertas, kehamilan pertama, dan menurun setelah menopause (Burd, 2003).
2.7 Hubungan Tipe HPV dengan Displasia dan Kanker
Human papillomavirus dikategorikan menjadi HR-HPV dan LR-HPV
bergantung dari kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi yang
berhubungan dengan timbulnya kanker (Paavonen, 2007). Human papillomavirus
resiko tinggi merupakan virus yang paling sering ditemukan pada lesi prekanker
dan kanker; sebaliknya, LR-HPV jarang ditemukan pada lesi tersebut. Sebagai
catatan, kebanyakan infeksi HR-HPV akan secara spontan menghilang dan tidak
berkembang menjadi lesi displasia atau kanker. Tipe HR-HPV yang klasik adalah
HPV16 dan HPV18, sedangkan tipe LR-HPV antara lain HPV6 dan HPV11
(Thomison et al., 2008).
19
Berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV, didapatkan sebagian besar
lesi-lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (23%), 16 (18%),
18 (16.1%) dan 32 (11.8%); sedangkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Bali
disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18 (12%) (Vet et al.,
2008).
Infeksi HPV sering dijumpai pada wanita dan pria diusia yang aktif secara
seksual. Kebanyakan merupakan infeksi transient subklinis, dan jika terdeteksi
adanya lesi pada pemeriksaan kolposkopi, maka lesi tersebut merupakan lesi
displasia derajat rendah (CIN1). Kebanyakan infeksi HPV (misalnya terdeteksi
secara DNA namun tidak terdeteksi adanya lesi) dan CIN1 akan menghilang
dikarenakan perkembangan dari cell-mediated immunity (CMI) yang biasanya
dibarengi oleh serokonversi dan antibodi terhadap protein mayor L1. Sebagian
kecil wanita (10-15%) tidak memiliki CMI yang baik sehingga pada saat
terinfeksi HPV, HPV DNA tersebut tidak menghilang dan berlanjut dengan
infeksi virus yang persisten. Biasanya kelompok wanita ini terinfeksi persisten
oleh virus HR-HPV, yang mempunyai resiko untuk berkembang menjadi lesi
displasia derajat tinggi (CIN2 dan CIN3) dan karsinoma invasif (Gambar 2.4)
(Amalinei et al., 2009; Bolanca et al., 2010; Stanley, 2010; Hwang dan Shroyer,
2012).
2.8 Fungsi Protein HPV
Genom virus HPV dibagi menjadi awal (early) dan akhir (late) ORF (Tabel
2.1). Open reading frames awal mengkode enam protein (E1, E2, E4-E7) yang
20
berhubungan dengan regulasi replikasi DNA dan proliferasi sel. Open reading
frames akhir, L1 dan L2, mengkode protein yang berhubungan dengan penciptaan
kapsid virus. Replikasi genom membutuhkan aktivasi semua gen awal (Burd,
2003; Thomison et al., 2008).
L1 merupakan elemen struktural primer dengan virion yang infeksius
mengandung 360 copies protein yang tersusun dalam 72 kapsomer. L2 merupakan
komponen virion minor (Doorbar, 2006). L1 dan L2 membungkus genom virus
yang akan membentuk progeny virion didalam inti sel. Virion ini merupakan
kumpulan dari virus yang akan mereinfeksi kembali. Pada fase awal infeksi HPV,
fase produktif, terjadilah ekspresi dari HPVL1. Fase kedua, fase transformasi,
adalah fase dimana HPV DNA terintegrasi dengan DNA pejamu (Yoshida et al.,
2008).
Protein E1 berhubungan dengan pemeliharaan genom dan replikasi. Protein
E2 merupakan protein transregulasi mayor yang mempengaruhi transkripsi dan
replikasi virus DNA. Sebagai tambahan, pada tipe HR-HPV, peranan utama E2
sebagai represor untuk promoter gen E6 dan E7. Protein ini dipercaya bekerja
bersama-sama untuk memelihara genom virus dalam bentuk episom di dalam sel.
Protein ini juga terekspresi selama replikasi DNA untuk menjaga low copy
number dari episom. Selama amplifikasi genom virus, E2 berikatan dengan URR
dan membentuk komplek dengan heliks DNA E1. Komplek inisiasi ini analog
dengan komplek selular dan memperbolehkan terjadinya replikasi DNA pada saat
tidak ada replikasi sel pejamu. Melalui aktivasi late promoter dependent pada
diferensiasi selular, terjadi peningkatan level E1 dan E2, sehingga copy number
21
genom juga meningkat, sebagai persiapan pembungkusan dan pelepasan virus
(Thomison et al., 2008).
Gambar 2.4 Gambaran Infeksi HPV
Human papillomavirus merupakan virus yang sangat infeksius, dengan masa
inkubasi 3 minggu sampai 8 bulan atau lebih. Kebanyakan individu akan
menderita kutil genital setelah 2-3 bulan terjadinya infeksi. Regresi spontan
terjadi pada 10-30% pasien dalam waktu 3 bulan. Hal ini berhubungan dengan
respon CMI yang baik. Setelah regresi, infeksi subklinis dapat berlangsung
seumur hidup. Terinfeksinya seseorang oleh HR-HPV, seperti HPV16 dan
HPV18, memiliki pola infeksi yang sama dengan LR-HPV, seperti HPV6 dan
HPV11, tetapi infeksi tersebut baru akan menghilang setelah 12-18 bulan.
Sayangnya, jika infeksi HR-HPV tersebut menetap, maka dapat berkembang
menjadi CIN2/3 dan karsinoma invasif.
Dikutip dari Stanley, 2010
Protein E4 merupakan protein ORF yang paling sering dijelaskan pada kutil
jinak dan terekspresi pada diferensiasi lanjut sel skuamous, dimana
22
pembungkusan dan berkumpulnya virus terjadi. Ekspresi E4 penting untuk
produksi protein L2. E4 juga mengganggu sitokeratin sitoplasma, menyebabkan
kondensasi tonofilamen perifer sel dan perinuclear cytoplasmic clearing yang
secara morfologi disebut dengan koilosit. Gangguan ini memfasilitasi pelepasan
partikel virus dari sel epitel skuamous superfisial. Sebagai tambahan, E4
mempunyai peran menyokong amplifikasi genom virus (Thomison et al., 2008).
Tabel 2.1 Peran Gen HPV
Gen
HPV
Kategori Fungsional Peran Utama
E1 Replikasi Memelihara episomal
Up-regulation replikasi genom
E2 Replikasi, transkripsi Memelihara episomal
Represor E6 dan E7
E4 Replikasi, transkripsi Memproduksi L2
Menggangu filament sitokeratin
E5 Replikasi, transkripsi,
transformasi
Menstimulasi reseptor faktor pertumbuhan
pejamu
E6 Replikasi, transformasi Up-regulate siklus sel
Down-regulate p53, Bak, Bax
Up-regulate telomerase
E7 Replikasi, transformasi Up-regulate siklus sel
Down-regulate pRb
Up-regulate p21 dan p27
L1 Kumpulan virus Protein kapsid mayor
L2 Kumpulan virus Protein kapsid minor
Dikutip dari Thomison et al., 2008
23
Protein onkogen, E5, E6, dan E7, semuanya bergabung dalam transformasi
selular. E5 merupan protein yang kecil yang berikatan dengan berbagai protein
membran pejamu dan reseptor faktor pertumbuhan, termasuk epidermal growth
faktor receptor (EGFR), platelet-derived growth faktor β receptor, dan colony
stimulating faktor 1 receptor, dan diperlukan untuk amplifikasi genom virus,
kemungkinan berhubungan dengan ekspresi rangkaian poliadenilasi yang
meregulasi ekspresi gen virus dari semua ORF awal. Ada beberapa kejadian
dimana E5 membantu mencegah terjadinya apoptosis sel setelah terjadi kerusakan
DNA. Sebagai tambahan, E5 memfasilitasi penghindaran sistem imun oleh sel
yang terinfeksi melalui presentasi antigen yang lemah yang disebabkan oleh
molekul down-regulation komplek histokompabilitas mayor (major
histocompability complex, MHC) kelas I. Onkoprotein E6 dan E7 menstimulasi
progresi siklus sel dan berikatan dengan regulator siklus sel, termasuk proliferasi
sel basal yang terinfeksi sampai memfasilitasi replikasi genom virus (Thomison et
al., 2008).
2.9 Basis Molekular Transformasi
Infeksi HPV terjadi sewaktu adanya penetrasi virion (partikel infeksius) yang
mencapai lapisan basal epitel, melalui abrasi ringan atau mikrotrauma epidermis,
yang kemudian akan terikat dan masuk ke sel tersebut melalui celah. Beberapa
penelitian memberikan kesan bahwa perlekatan awal virus ke sel penjamu
bergantung pada heparan sulfate. Uncoating dan lepasnya virion merupakan hasil
gangguan ikatan disulfide antar kapsomer. Pada lapisan basal, replikasi virus tidak
24
produktif. Virus DNA tersebut kemudian ditranspor ke inti sel pejamu untuk
transkripsi dan replikasi, dalam bentuk episomal. Latennya virus berhubungan
dengan terhindarnya virus dari mekanisme penjagaan imun. Supresi sistem imun
pejamu dapat menyebabkan terjadinya reaktivasi infeksi laten atau reinfeksi, yang
akhirnya menimbulkan lesi yang jelas (Burd, 2003; Thomison et al., 2008).
Untuk terjadinya infeksi yang terus menerus, virus tersebut harus menginfeksi
sel induk epitel (Munoz et al., 2006). Setelah sel pejamu terinfeksi oleh virus
HPV, DNA HPV akan bereplikasi seperti sel basal yang berdiferensiasi dan
berkembang sampai ke epitel permukaan. Pada lapisan basal, dengan
menggunakan mesin replikasi DNA penjamu, virus menghasilkan low-copy-
number episome. Pada lapisan suprabasal epitel, yaitu pada lapisan keratinosit,
virus akan bereplikasi, memperbanyak DNA sampai mencapai high-copy-number,
mensintesis protein kapsid, dan menyebabkan virus HPV tersebut berkumpul
(Gambar 2.5) (Burd, 2003; Munoz et al., 2006).
Pada saat terjadi infeksi yang produktif, genom virus dipelihara sebagai
bentuk episomal oleh protein E1. Jika protein E1 tidak secara penuh terekspresi,
pemeliharaan episomal akan hilang, sehingga akan terjadi integrasi genom ke
dalam DNA pejamu. Sewaktu DNA virus terintegrasi, beberapa gen akan hilang
atau terfragmentasi, termasuk E4, E5, dan bagian dari E2. Protein E2 yang
terfragmentasi tidak mampu mensupresi promoter gen E6/E7, sehingga
mengakibatkan terjadinya up-regulation dua protein tersebut (Thomison et al.,
2008).
25
Human papillomavirus hanya mengkode 8 sampai 10 protein, sehingga virus
HPV harus dibantu oleh sel pejamu untuk meregulasi transkripsi dan replikasi.
Replikasi HPV dimulai saat sel pejamu berinteraksi dengan UUR dari genom
HPV dan memulai transkripsi gen virus E6 dan E7. Produk gen E6 dan E7
menyebabkan deregulasi siklus pertumbuhan sel pejamu dengan berikatan dan
menginaktivasi tumor suppressor protein, cell cyclin, dan CDK (Gambar 2.6)
(Gomes dan Santos, 2007).
Pertumbuhan sel sebagian besar diregulasi oleh dua protein selular, yaitu
tumor suppressor protein, p53, dan produk gen retinoblastoma, pRb. Onkoprotein
E6 berikatan dengan p53, suatu protein yang menyebabkan cell arrest pada fase
G1 sebagai respon dari kerusakan DNA dan menginduksi apoptosis pada sel yang
mengalami cedera, dan menstimulasi degradasi dengan membentuk komplek
dengan human protein E6AP, suatu ligase ubiquitin-protein, menghasilkan
ubiquitinasi p53, yang mempengaruhi ubiquitin-dependent protease system.
Dengan cara yang sama, protein tersebut menginaktivasi berbagai protein
proapoptosis yang lain termasuk Bak dan Bax, menyebabkan terjadinya progresi
selular dan mencegah kematian dari replikasi sel yang terinfeksi. Sebagai
tambahan, melalui mekanisme yang tidak diketahui, E6 mempengaruhi aktivitas
telomerase, sehingga panjangnya telomer pada sel yang terinfeksi dapat terus
bertambah. Gen HPV E7 berikatan dengan bentuk protein RB yang
terhipofosforilasi, yang akan mengganggu komplek pRb dan faktor transkripsi
selular (E2F-1), sehingga E2F-1 akan bebas dan menyebabkan produk transkripsi
gen yang diperlukan oleh sel memasuki siklus sel fase S, sehingga terjadi
26
stimulasi sintesis DNA selular dan proliferasi sel. Aktivitas konstan dari protein
virus E6 dan E7 menyebabkan peningkatan instabilitas genom dan terjadi
akumulasi mutasi onkogen, sehingga kontrol pertumbuhan sel akan menghilang
yang akhirnya menjadi kanker. Selama proses progresi tumor, genom virus sering
terintegrasi dengan kromosom pejamu, yang akan terlihat dengan adanya
tingkatan protein E6/E7 yang konstan lewat stabilisasi mRNA karena pengaruh
dari struktur kromatin yang termodifikasi atau hilangnya regulasi negatif dari
transkripsi yang diperantarai oleh protein virus E2 (Burd, 2003; Munoz et al.,
2006; Gomez dan Santos, 2007; Thomison et al., 2008).
Pada infeksi fase produktif, ekspresi gen sangat dikontrol dan terjadi pada sel
yang mengalami diferensiasi dan telah kehilangan kemampuan untuk
berproliferasi, sehingga menimbulkan CIN1. Koilocytotic atypia diinduksi oleh
ekspresi ORF HPV, termanifestasi dengan pembesaran dan hiperkromasia dari inti
sel, perinuclear cytoplasmic clearing, dan kondensasi perifer tonofilamen
sitoplasma. Pembesaran inti menunjukkan aktivasi sintesis DNA oleh protein E6
dan E7; pada lesi displasia derajat rendah, hal ini terbatas pada sel yang
berdiferensiasi. Cytoplasmic clearing merupakan hasil dari gangguan cytokeratin
sebagai hasil dari ekspresi E4. Lesi displasia derajat tinggi, CIN2 dan CIN3, tidak
bersandar pada replikasi genom HPV, terdiri dari sel yang mirip dengan sel epitel
basal tetapi tidak memperlihatkan karakteristik inti atau sitoplasma dari infeksi
virus yang aktif, sesudah kehilangan hubungan antara ekspresi gen virus awal dan
diferensiasi selular (Thomison et al., 2008).
27
Gambar 2.5 Siklus Sel Utama Papillomavirus pada Epitel Skuamous.
Arsitektur sel epitel skuamous berlapis pada servik uteri dan ekspresi protein HPV
setelah infeksi. Sel anak dari sel induk epitel terbagi sepanjang membrane basal
dan akan mengalami maturasi secara vertikal disepanjang epitel tanpa pembagian
lebih lanjut (sisi kanan). Setelah masuknya HPV ke dalam sel induk di lapisan
basal epitel, ekspresi virus protein non-struktural terjadi. Dibawah regulasi protein
ini, populasi dividing-cell meluas secara vertikal dan diferensiasi sel epitel akan
terhambat dan tidak sempurna. Protein virus terekspresi bersamaan dengan
terjadinya diferensiasi dan virion matur akan diproduksi hanya di lapisan paling
superfisial dari epitel. Antigen-presenting cell (APC) intraepitel mengalami
deplesi saat terjadi infeksi HPV di epitel.
Dikutip dari Munoz et al., 2006
2.10 Human papillomavirus L1
Persoalan utama dalam menangani lesi displasia serviks uteri adalah
mengevaluasi resiko progresifitas suatu lesi displasia. Walaupun hanya sedikit lesi
displasia derajat rendah dan tidak semua lesi displasia derajat tinggi pada serviks
uteri yang akan berkembang menjadi kanker, beberapa wanita akan menjalani
terapi yang berlebihan. Memprediksi prilaku dari suatu lesi merupakan hal yang
28
sangat bernilai secara klinis, yang secara potensial menyebabkan penanganan
individual akan bergantung dari resiko progresinya. Sayangnya, kriteria morfologi
saja kurang dapat membedakan lesi mana yang akan mengalami regresi, menetap
atau berkembang (Negri et al., 2008).
Gambar 2.6 Mekanisme molekular infeksi onkogenik HPV
Dikutip dari Gomes dan Santos, 2007
Derajat displasia dan respon imun masing-masing individu serta tipe HPV
yang menginfeksi akan mempengaruhi apakah lesi displasia akan mengalami
regresi ataupun mengalami progresi sampai menjadi kanker, dimana disimpulkan
bahwa pada lesi CIN1, CIN2, dan CIN3 akan mengalami regresi sebesar 57%,
43% dan 32%, akan menetap sebesar 32%, 35%, dan 56%, dan akan mengalami
progresi sampai menjadi kanker serviks invasif sebesar 1%, 5%, dan lebih dari
29
12%, sehingga ketepatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosis pasien
(Wright, 2006).
Human papillomavirus L1 (HPVL1) merupakan protein kapsid yang
terekspresi pada saat fase produktif karsinogenesis, yaitu pada CIN1/CIN2, tetapi
jarang terdeteksi pada CIN3 dan tidak terdeteksi pada kanker invasif (Negri et al.,
2008; Skiba et al., 2006). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa
derajat positif HPVL1 berkurang secara bertahap berdasarkan beratnya derajat
displasia serviks (Bolanca et al., 2010; Wu et al., 2011).
Ekspresi HPVL1 pada suatu kasus mengindikasikan kecenderungan lesi
tersebut akan mengalami regresi dibandingkan dengan kasus yang tidak
mengekspresikan HPVL1 (Skiba et al., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh
Negri dan kawan-kawan menyatakan bahwa HPVL1 dapat membantu untuk
memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi servikal (Negri et al., 2008). Hal
ini ditekankan juga oleh Griesser dan kawan-kawan serta Brown dan kawan-
kawan, bahwa lesi displasia ringan sampai sedang (CIN1/2), dengan protein
kapsid HPVL1 negatif, akan mengalami progresi secara bermakna (Skiba et al.,
2006; Griesser et al., 2009; Brown et al., 2012).
Tidak terdeteksinya HPVL1 menunjukkan dua status virus DNA. Status
pertama adalah virus DNA telah berintegrasi dengan genom pejamu, dan yang
kedua adalah infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada
sintesis onkoprotein HPV (Yoshida et al., 2008; Balan et al., 2011).
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 merupakan
marker yang sangat baik dan berguna untuk menyatakan infeksi HPV berada
30
dalam fase produktif atau aktif, yang mana HPVL1 akan terekspresi pada fase
produktif (Yoshida et al., 2008) dan terdapat arti prognostik status L1 dimana
status L1 memiliki kegunaan untuk memprediksi progresivitas dari penyakit
(Skiba et al., 2006; Negri et al., 2008; Balan et al., 2009).
2.11 Interpretasi pulasan HPVL1
Evaluasi pengecatan HPVL1 dikatakan positif jika terlihat warna coklat pada
inti sel. Parameter yang dipakai adalah jumlah sel pada satu lapang pandang
pembesaran besar (400x) yang tercat positif dengan HPVL1, di-grading sebagai
berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat, grade 1: 2-3 sel yang tercat,
grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel yang tercat (Negri et al., 2008).
31
BAB III
KERANGKA PIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir
Human papillomavirus dibagi menjadi dua kategori yaitu HR-HPV dan tipe
LR-HPV bergantung dari kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi
yang berhubungan dengan timbulnya kanker.
Human papillomavirus sendiri merupakan virus double-stranded DNA,
nonenveloped. Genom dari HPV mengkode 8 gen, yaitu 6 nonstruktural protein
awal (E1, E2, E4, E5, E6, E7) dan 2 protein akhir (L1 dan L2).
Pada lesi displasia dan karsinoma invasif serviks uteri yang berkaitan dengan
infeksi HR-HPV, terdapat inaktivasi fungsi pRB oleh protein E7 HPV dan
degradasi p53 oleh protein E6 HPV sehingga mengakibatkan proliferasi sel yang
tak terkendali dan pada akhirnya dapat menimbulkan perubahan keganasan pada
sel.
Protein kapsid HPVL1 menunjuk pada sekitar 90% protein total pada
permukaan virus HPV dan secara umum dapat terdeteksi selama fase reproduktif
infeksi HPV; dimana maturasi virus bergantung pada maturasi skuamous. Lesi
CIN2/3 tidak mungkin untuk menunjang infeksi HPV yang produktif, karena
maturasi skuamous berhenti pada saat CIN2/3.
31
32
Infeksi HPV resiko tinggi dapat menimbulkan perubahan pada epitel serviks
mulai dari lesi displastik sampai keganasan. Pemeriksaan imunohistokimia
HPVL1 pada lesi servikal bertujuan untuk memperkirakan potensial biologik dari
lesi-lesi serviks uteri apakah lesi tersebut akan mengalami progresi atau
mengalami regresi serta menegaskan bahwa ekspresi HPVL1 lebih tinggi pada
CIN1 dibandingkan dengan CIN2, CIN3 dan SCC. Hal tersebut bermanfaat untuk
memberikan informasi tambahan kepada klinisi sebagai pertimbangan
penatalaksanaan yang lebih tepat pada pasien dengan lesi displasia serviks uteri.
33
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC
serviks uteri.
Siklus sel
P53 berikatan
dengan E6
dari HPV
Rb berikatan
dengan E7 dari
HPV
Proliferasi sel
Protein Awal Protein Akhir
E6 E7 L1 L2
Infeksi HPV resiko tinggi
CIN1 CIN2 CIN3 SCC
34
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian preliminary dengan menggunakan
metode analitik potong lintang.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah, Denpasar dan pengecatan imunohistokimia dilakukan di Bagian/SMF
Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta dari 25
Maret 2013-30 Juni 2013.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita
CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi
pada Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium
Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
34
35
4.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita
CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi
pada Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium
Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar, yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi dari tanggal 1 Januari 2011–30 April 2013.
4.3.3 Jumlah Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung
berdasarkan rumus (Madiyono, 2002):
( )( )
2
21221
−+
==XX
SZZnn
βα
Keterangan:
n = Besar sampel pada masing-masing kelompok.
Zα = nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )
Zβ = nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,20, Zß = 0.842)
S = Standar deviasi ditentukan 1,06
X1-X2 = Perbedaan yang diinginkan 0,48
Besar sampel minimal adalah 38 untuk masing-masing kelompok.
36
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
Sampel didiagnosis sebagai CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Kasus dengan diagnosis histopatologik belum pasti (misalnya
meragukan antara CIN3 dengan squamous metaplasia, atau proses
reaktif karena inflamasi) atau masih ada diagnosis banding.
2. Sediaan banyak mengandung jaringan nekrosis atau perdarahan.
3. Blok parafin rusak atau berjamur.
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:
I. Varibel tergantung: HPVL1 18.
II. Varibel bebas: CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.
4.6 Definisi Operasional Variabel
1. Cervical Intraepithelial Neoplasia 1 (CIN1) adalah gambaran CIN dengan
karaktersitik terdapat sedikit abnormalitas inti, sedikit mitosis pada
sepertiga basal namun jarang ditemukan mitosis abnormal dan adanya
maturasi pada duapertiga bagian atas dari ketebalan epitel dan sel-sel
37
superfisial menunjukkan gambaran atipia yang bervariasi dan umumnya
ringan, termasuk efek sitopatik virus (koilositosis). Interpretasi
histomorfologi ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E),
menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21.
2. Cervical Intraepithelial Neoplasia 2 (CIN2) adalah gambaran CIN dengan
karaktersitik atipia inti yang jelas pada bagian atas maupun bagian bawah
lapisan epitel, mitosis normal dan abnormal dapat dijumpai, namun
terbatas pada duapertiga bagian basal epitel dan adanya maturasi pada
setengah bagian atas dari ketebalan epitel, dengan Interpretasi
histomorfologi ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E),
menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21.
3. Cervical Intraepithelial Neoplasia 3 (CIN3) adalah gambaran CIN dengan
karaktersitik yang bila ada, terdapat atipia inti sangat jelas terlihat pada
sebagian besar atau seluruh ketebalan epitel, mitosis normal dan abnormal
mudah dijumpai pada seluruh ketebalan epitel dan adanya maturasi yang
terbatas pada sepertiga superfisial epitel (termasuk keratinisasi pada
bagian permukaan). Interpretasi histomorfologi ini dilihat dengan pulasan
Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya
binokuler Olympus CX21.
4. Squamous cell carcinoma (SCC) serviks uteri adalah suatu karsinoma
invasif serviks uteri yang tersusun dari sel-sel squamous dengan berbagai
derajat diferensiasi. Interpretasi histomorfologi ini dilihat dengan pulasan
38
Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya
binokuler Olympus CX21.
5. Ekspresi HPVL1 18 adalah penilaian protein HPVL1 18 dengan pulasan
imunohistokimia yang menggunakan monoclonal antibody dari
Novocastra, diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler
Olympus CX21 pada satu lapang pandang dengan pembesaran 400 kali.
Penilaian ekspresi HPVL1 18 dibuat dengan mengevaluasi jumlah sel
yang tercat positif dengan HPVL1 18. Jumlah dari sel yang tercat positif
di-grading sebagai berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat,
grade 1: 2-3 sel yang tercat, grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel
yang tercat. Pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 18 dikerjakan di
Laboratorium Imunohistokimia bagian Patologi Anatomi FK Universitas
Gajah Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta.
4.7 Prosedur Penelitian
1. Sediaan preparat dari penderita yang didiagnosis sebagai CIN1, CIN2,
CIN3 maupun SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi dari 1
Januari 2011 sampai 30 April 2013 di Laboratorium Patologi Anatomi
Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP
Sanglah, Denpasar, dikumpulkan dan dilihat apakah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
39
2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai nomor-nomor diatas
dikumpulkan dan dievaluasi ulang dengan menilai semua parameter
patologik yaitu CIN1, CIN2, CIN3 dan karsinoma invasif. Preparat yang
sulit dievaluasi dilakukan potong ulang blok dan dipulas dengan pulasan
rutin menggunakan Harris’s Hematoksilin dan Eosin.
Prosedur Pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai dengan prosedur pulasan
Hematoksilin dan Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi
Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar:
a. Potong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan
ketebalan 4 µm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail
Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing-
masing celupan selama 5 menit.
c. Hidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun
mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75% dan alkohol
50%, masing-masing celupan selama 2 menit.
d. Masukkan ke air selama 10 menit.
e. Celupkan ke cat utama yaitu Harris’s Hematoksilin selama 10 menit.
f. Cuci dengan air selama 10 menit.
40
g. Lihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan
sitoplasma tidak berwarna.
h. Celupkan pada cat pembanding Eosin 1% selama 0,5-1 menit.
i. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat
mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol
absolut, masing-masing celupan selama 2 menit.
j. Penjernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, masing-masing
celupan selama 5 menit.
k. Tutup dengan cover glass.
3. Memilih preparat yang digunakan sebagai dasar untuk mencari blok
parafin. Preparat yang dipilih untuk pemeriksaaan imunohistokimia
HPVL1 18 adalah preparat yang paling banyak mengandung bagian tumor
dengan sedikit atau tidak ada area nekrosis maupun perdarahan.
4. Preparat yang dipilih kemudian dicari blok parafinnya.
5. Blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom untuk pulasan
imunohistokimia.
6. Melakukan pulasan imunohistokimia untuk HPVL1 18 dengan
menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18 dari Novocastra. Sel yang
dinyatakan terpulas positif adalah sel yang terpulas coklat pada inti sel.
Penilaian ekspresi HPVL1 18 dibuat dengan mengevaluasi jumlah sel
41
yang tercat positif dengan HPVL1 18 yang diamati dengan menggunakan
mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 pada satu lapang pandang
dengan pembesaran 400 kali. Jumlah dari sel yang tercat positif di-grading
sebagai berikut: grade 0: tidak ada sel yang tercat sampai 1 sel tercat,
grade 1: 2-3 sel yang tercat, grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel
yang tercat.
Prosedur Pulasan Imunohistokimia HPVL1 18:
a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan
ketebalam 4 µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah
dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1
inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
b. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37o C selama 1 malam.
c. Deparafinisasi dengan xilol, preparat dicelupkan ke dalam xilol
sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit.
d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali,
alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 3
menit.
e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
f. Teteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh
permukaan jaringan selama 15 menit.
42
g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.
h. Cuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masing-
masing selama 10 menit.
i. Rendam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di
dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan
pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan
pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit.
j. Dinginkan pada suhu kamar.
k. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
l. Teteskan 100µl selama 10 menit.
m. Teteskan 100 µl antibodi primer menggunakan monoclonal antibody
HPVL1 18 dari Novocastra selama 30 menit pada suhu kamar atau
semalam pada suhu 40C.
n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
o. Teteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit.
p. Cuci dengan buffer saline (BS) sebanyak 2 kali, masing-masing 10
menit.
q. Teteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit.
r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
43
s. Teteskan dengan reagen DAB selama 10 menit.
t. Cuci dengan air mengalir.
u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.
v. Cuci dengan air mengalir.
w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol
80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama
3 menit.
x. Celupkan ke dalam xilol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3
menit.
y. Tutup dengan cover glass.
7. Pemeriksaan pulasan imunohistokimia HPVL1 18 dilakukan oleh peneliti
dan seorang ahli Patologi Anatomi (dokter spesialis Patologi Anatomi).
8. Blok parafin yang sudah selesai diproses dikembalikan ke Laboratorium
Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi
FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
9. Pencatatan dan pengumpulan data.
10. Analisis data.
44
4.8 Analisis Data
Perbedaan ekspresi HPVL1 18 antara CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC diuji
dengan analisis bivariant one way anova. Tingkat kemaknaan (alfa) ditentukan
pada p<0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai IK 95%.
45
4.9 Skema Alur Penelitian
Gambar 4.1 Bagan Alur Penelitian
Mencari nomor sediaan CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri dari 1
Januari 2011 sampai 30 April 2013
Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi, rediagnosis sediaan mikroskopis yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi
Memilih preparat sebagai dasar untuk memilih blok parafin untuk pulasan
HPVL1 18
Mencari dan mengumpulkan blok parafin
Blok parafin dipotong 4 µm
Pengecatan imunohistokimia HPVL1 18
Pemeriksaan pulasan HPVL1 18
Pencatatan dan pengumpulan data
Analisis statistik
46
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Menurut Data Klinis
Laporan awal penelitian ini disampaikan dengan jumlah sampel sebanyak 60
sampel yang terdiri dari 10 sampel CIN1, 10 sampel CIN2, 10 sampel CIN3, dan
30 sampel SCC serviks uteri, di mana sampel tersebut diambil pada periode 1
Januari 2011 sampai 30 Juni 2013 dari Laboratorium Patologi Anatomi Swasta,
Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah,
Denpasar. Tiga puluh sembilan kasus diambil dari Laboratorium Patologi
Anatomi Swasta, Denpasar dan 21 kasus diambil dari Patologi Anatomi FK
Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
Umur pasien terbanyak yang dipakai pada penelitian ini adalah pada rentang
umur 30-39 tahun (dekade ke empat) dan pada rentang umur 50-59 tahun (dekade
ke enam) yaitu masing-masing sebanyak 14 kasus (Tabel 5.1), dengan umur
termuda 24 tahun dan umur tertua 72 tahun.
46
47
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur
Nomor Rentang
Umur (tahun)
Dekade Jumlah Persentase (%)
1 <20 1-2 0 0
2 20-29 3 4 6,67
3 30-39 4 14 23,33
4 40-49 5 18 30
5 50-59 6 14 23,33
6 60-69 7 9 15
7 70-79 8 1 1,67
Total 60 100
Umur pasien CIN1 yang terbanyak adalah pada dekade ke empat dan ke lima,
umur pasien CIN2 dan CIN3 yang terbanyak adalah pada dekade ke lima, dan
umur pasien SCC serviks uteri yang terbanyak adalah pada dekade ke enam
(Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Grafik Distribusi Dekade Umur Sampel Berdasarkan CIN1, CIN2,
CIN3 dan SCC Serviks Uteri
Umur rata-rata pasien CIN1 43.8 ± 10.1 tahun, CIN2 41.9 ± 10.8 tahun, CIN3
43.1 ± 7.09 tahun, dan SCC serviks uteri 49.5 ± 12.5 tahun (Gambar 5.2).
0
2
4
6
8
10
12
CIN 1 CIN 2 CIN 3 SCC
3
4
5
6
7
8
48
Gambar 5.2 Grafik Distribusi Rerata Umur pada CIN 1, CIN 2, CIN 3, dan SCC
Serviks Uteri
5.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian
Dari 10 kasus CIN1, 10 kasus CIN2, 10 kasus CIN3 dan 30 kasus SCC
serviks uteri, semuanya tidak menunjukkan ekspresi HPVL1 18 (grade 0) (Tabel
5.2, Gambar 5.3).
Tabel 5.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian
Ekspresi HPVL1 18
Kelompok Jumlah (N) Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3
CIN1 10 10 - - -
CIN2 10 10 - - -
CIN3 10 10 - - -
SCC 30 30 - - -
Total 60 60 - - -
49
Pada Gambar 5.3 A dapat dilihat bahwa HPVL1 18 tidak terekspresi pada
satu pun sel epitel sediaan CIN1; demikian juga pada Gambar 5.3 B, C, dan D,
HPVL1 18 tidak terekspresi pada satu pun sel epitel sediaan CIN2, CIN3, dan
SCC serviks uteri.
Gambar 5.3 Gambaran histopatologi sampel (pulasan HPVL1 18, dengan
mikroskop Olimpus CX21). A. CIN1 (nomor sediaan M2793/2012). B. CIN2
(nomor sediaan M283/2012). C. CIN3 (nomor sediaan M2302/2012). D. SCC
serviks uteri (nomor sediaan M726/2011).
B
C
A
D
50
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Menurut Data Klinis
Umur pasien terbanyak yang dipakai pada penelitian ini adalah pada rentang
umur 30-39 tahun (dekade ke empat) dan pada rentang umur 50-59 tahun (dekade
ke enam) yaitu masing-masing sebanyak 14 kasus, dengan umur termuda 24 tahun
dan umur tertua 72 tahun. Umur pasien CIN1 yang terbanyak adalah pada dekade
ke-4 dan ke-5, umur pasien CIN2 dan CIN3 yang terbanyak adalah pada dekade
ke-5, dan umur pasien SCC serviks uteri yang terbanyak adalah pada dekade ke-6.
Wells et al. (2003) menyatakan bahwa penderita CIN2 dan CIN3 terbanyak
berada pada dekade ke-2. Andersson et al. (2006) menyatakan bahwa lesi
prekanker serviks biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitu dengan puncak
usia antara 25 dan 40 tahun (dekade ke-3 dan ke-5). Burd (2003) menyatakan
bahwa karsinoma serviks uteri sering terjadi pada wanita dengan usia di atas 35
tahun. Berdasakan literatur tersebut, usia sampel pada penelitian ini lebih tua. Hal
ini dapat dikarenakan di negara maju, kesadaran untuk melakukan papsmear bagi
wanita yang telah melakukan hubungan seksual sudah lebih tinggi, sehingga lesi
displasia ataupun keganasan dapat dideteksi pada usia yang lebih dini; dan di
Indonesia, norma-norma sosial masih dijunjung tinggi, sehingga untuk melakukan
hubungan seksual sebelum menikah masih dianggap tabu.
50
51
6.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18
karena HPV18 merupakan penyebab tertinggi ke-3 lesi serviks di Bali. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Vet et al. (2008) yang menyatakan
bahwa berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV, didapatkan sebagian besar
lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (23%), 16 (18%), 18
(16.1%) dan 32 (11.8%), sedangkan sebagian besar lesi serviks di Bali disebabkan
oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18 (12%). Peneliti tidak menggunakan
HPVL1 52 maupun 16, yang merupakan penyebab lesi serviks di Bali yang
pertama maupun ke-2, karena sulitnya untuk mendapatkan monoclonal antibody
HPVL1 52 maupun 16.
Pada penelitian ini, dari 10 kasus CIN1, 10 kasus CIN2, 10 kasus CIN3 dan
30 kasus SCC serviks uteri, semuanya tidak menunjukkan ekspresi HPVL1 18
(grade 0).
Tidak terekspresinya HPVL1 18, secara umum, mungkin dapat disebabkan
oleh berbagai hal. Pertama, jumlah sampel penelitian yang terlalu sedikit. Ke-2,
populasi sampel hanya berasal dari satu populasi yaitu populasi wanita dengan
lesi serviks uteri di Bali, yang mana penyebab lesi serviks uteri terbanyak di Bali
adalah HPV52 dan bukan HPV18.
Tidak terekspresinya HPVL1 18 pada kasus CIN1 mungkin dikarenakan pada
kasus CIN1 tidak terinfeksi oleh HPV18 namun oleh HR-HPV lainnya, seperti
HPV52 dan HPV16. Penelitian yang dilakukan oleh Sarmadi et al. (2012)
menyatakan bahwa terdapat kemungkinan beberapa spesimen yang didiagnosis
52
CIN1 dengan pulasan H&E, pada pemotongan selanjutnya untuk dipulas dengan
pulasan imunohistokimia HPVL1, lesi tersebut sudah tidak tampak/tidak ada
sehingga tidak dapat mengekspresikan HPVL1 18.
Tidak terekspresinya HPVL1 18 pada kasus CIN2, CIN3, dan SCC serviks
uteri mungkin dikarenakan oleh penyebab yang sama dengan pada kasus CIN1,
yaitu pada kasus CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri tidak terinfeksi oleh HPV18
namun oleh HR-HPV lainnya, seperti HPV52 dan HPV16.
Pada literatur yang ditulis oleh Stanley (2010) dikatakan bahwa CIN2 dan
CIN3 berhubungan dengan infeksi HR-HPV yang menimbulkan defek pada
diferensiasi selular pada lesi ini, CIN2 dan CIN3 tidak menunjang lagi untuk
terjadinya siklus infeksius virus secara komplit, sehingga ekspresi gen akhir
(dalam hal ini L1) menghilang atau berkurang secara bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Bolanca et al. (2010) menyatakan bahwa
HPVL1 akan terekspresi kuat pada bagian superfisial epitel permukaan, dan
karena proses maturasi pada CIN2 dan CIN3 sudah terganggu, maka ekspresi
HPVL1 akan menurun. Hal yang sama dikatakan oleh Griesser et al. (2009) dan
Hwang dan Shroyer (2012) yaitu secara umum, CIN2 dan CIN3 tidak dapat
menunjang produktivitas infeksi HPV, karena maturasi virus bergantung pada
maturasi sel epitel squamous, yang terhenti pada CIN2 dan CIN3.
Yoshida et al. (2008), Ungureanu et al. (2010), dan Balan et al. (2011)
menyatakan bahwa tidak terdeteksinya HPVL1 dapat disebabkan oleh berbagai
hal. Pertama, DNA virus HPV telah berintegrasi dengan genom pejamu sehingga
virus DNA tersebut tidak lagi dapat membuat capsid protein (L1) yang
53
menyebabkan tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan imunohistokimia HPVL1.
Ke-2, infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada sintesis
onkoprotein HPV. Hal ini juga didukung oleh penelitian lain yang mengatakan
bahwa tidak terekspresinya HPVL1 mengindikasikan adanya infeksi virus yang
laten atau sudah terjadi integrasi DNA HPV ke dalam genom pejamu (Yu et al.,
2010).
Beberapa penelitian lain menyatakan bahwa HPVL1 merupakan protein
kapsid yang terekspresi pada saat awal fase produktif karsinogenesis, dan secara
progresif akan menghilang pada fase transformasi lanjut dan tidak terdeteksi pada
kanker invasif (Skiba et al., 2006; Negri et al., 2008, Yoshida et al., 2008, Yu et
al., 2010, Wu et al., 2011, Haltas et al., 2012).
Tidak terekspresinya HPVL1 pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri
selain karena penyebab yang telah disebutkan di atas, mungkin juga dikarenakan
semua sampel penelitian akan mengalami progresi dan bukan regresi. Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Griesser et al. (2004) dan Balan
et al. (2009) yang mengatakan bahwa HPVL1 merupakan target mayor respon
imun selular, sehingga tidak terdeteksinya HPVL1 pada lesi awal proses
transformasi dapat menyebabkan stimulasi yang tidak efektif dari respon imun
dan menyebabkan terjadinya transformasi lanjutan dari sel epitel yang imatur.
Penelitian yang dilakukan oleh Griesser et al. (2009) juga mendukung hal ini
dengan menyatakan bahwa tidak terekspresinya HPVL1 pada lesi-lesi displasia
serviks uteri menunjukkan adanya infeksi yang nonproduktif namun memiliki
potensi untuk terjadinya progresi; sebaliknya, terekspresinya HPVL1 pada lesi-
54
lesi displasia serviks uteri menunjukkan adanya infeksi HPV yang produktif
namun mempunyai resiko yang rendah untuk terjadinya progresi. Pada CIN1 dan
CIN2 yang tidak mengekspresikan HPVL1 akan mengalami progresi secara
bermakna jika dibandingkan dengan CIN1 dan CIN2 yang mengekspresikan
HPVL1.
Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al. (2012) menyatakan bahwa
HPVL1 dapat menjadi marker prognostik yang dapat membedakan apakah
seorang pasien dengan lesi di serviks uteri akan mengalami perubahan dari lesi
prekursor menjadi kanker atau akan mengalami regresi. Tidak terekspresinya
HPVL1 pada lesi yang terinfeksi HR-HPV memiliki kemungkinan yang sangat
rendah untuk mengalami regresi.
Penelitian yang dilakukan oleh Skiba et al. (2006) menyimpulkan bahwa
pasien dengan lesi serviks yang tidak mengekspresikan HPVL1 mempunyai
prognosis yang buruk yang membutuhkan pendekatan terapi yang lebih agresif,
seperti kemoterapi adjuvan.
Tidak terekspresinya HPVL1 pada lesi-lesi serviks uteri dapat juga
disebabkan karena sintesis protein L1 yang rendah pada sel epitel skuamous yang
berada di bawah ambang tes imunohistokimia (Griesser et al., 2004, Balan et al.,
2009).
Hasil penelitian ini adalah bahwa HPVL1 18 tidak terekspresi pada seluruh
sampel CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri, yang dapat disebabkan oleh
karena (1) penelitian ini menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18
sedangkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Bali disebabkan oleh HR-HPV tipe
55
52; (2) sampel penelitian tidak terinfeksi oleh HPV18 namun oleh HR-HPV
lainnya, seperti HPV52 dan HPV16; (3) jumlah sampel penelitian yang terlalu
sedikit; (4) populasi sampel hanya berasal dari satu populasi; (5) CIN2 dan CIN3
tidak menunjang lagi untuk terjadinya siklus infeksius virus secara komplit,
sehingga ekspresi gen akhir (dalam hal ini L1) menghilang atau berkurang secara
bermakna; (6) DNA virus HPV telah berintegrasi dengan genom pejamu; (7)
infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada sintesis
onkoprotein HPV; (8) sintesis protein L1 yang rendah pada sel epitel skuamous
yang berada di bawah ambang tes imunohistokimia.
56
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Ekspresi HPVL1 18 negatif pada CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.
7.2 Saran
1. Pada penelitian ini, HPVL1 18 tidak terekspresi pada semua sampel yang
bisa disebabkan karena sampel tersebut tidak terinfeksi oleh HPV18
namun terinfeksi oleh HR-HPV tipe yang lain, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan tipe HR-HPV yang menginfeksi dengan metode PCR pada
lesi serviks uteri, kemudian dilanjutkan dengan pengecatan
imunohistokimia dengan HPVL1 yang sesuai dengan tipe HR-HPV yang
menginfeksi untuk mengetahui progresivitas lesi serviks tersebut.
2. Populasi sampel penelitian sebaiknya diambil dari berbagai daerah
(berdasarkan data epidemiologi) dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
56
57
DAFTAR PUSTAKA
Andersson S., Wangsa D., Flores-Staino C., Safari H., Mints M., Kjerpe A.,
Hagmar B., Johansson B. 2006. Expression of P16INK4a in Relation ti
Hsitopathology and Viral Load of ‘High-risk’ HPV Types in Cervical
Neoplastic Lesions. European Journal of Cancer, 42: 2815-2820.
Amalinei C., Balan R., Stanoiu B., Crauciuc E., Toma O., Caruntu I.D. 2009.
Immunohistochemical Identification of Human Papilloma Virus High-risk
Type L1 Major Capsid Proteins in Atypical Glandular Cells. SecŃiunea
Genetică şi Biologie Moleculară, 10: 103-108.
Balan R., Amalinei C., Giusca S.E., Crauciuc E., Neacsu D., Gheorghita V.,
Caruntu I.D. 2011. Epidermal Growth Factor Reseptor (EGFR) and
Human Papillomavirus (HPV) L1 Capsid Protein in Cervical Aquamous
Intraepithelial Lesions. SecŃiunea Genetică şi Biologie Moleculară, 12: 49-
54.
Balan R., Caruntu I.D., Crauciuc E., Gherghita V., Toma O., Amalinei C. 2009.
Immunocytochemical Expression of Human Papillomavirus (HPV) High
Risk Type L1 Capsid Proteins in LSIL and HSIL. SecŃiunea Genetică şi
Biologie Moleculară, 10: 97-102.
Bolanca I.K., Sentija K., Simon S.K., Kukura V., Vranes J. 2010. Estimating
Clinical Outcome of HPV Induced Cervical Lesions by Combination of
Capsid Protein L1 and p16INK4a Protein Detection. Coll Antropol, 34(1):
31-36.
Brown C., Bogers J., Sahebali S., Depuydt C.E., Prins F.D., Malinowski D.P.
2012. Review Article: Role of Protein Biomarkers in the Detection of
High-Grade Disease in Cervical Cancer Screening Programs. Journal of
Oncologi. Article ID 289315. 11 pages.
Burd E.M. 2003. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clinical
Microbiology Review, 16(1): 1-17.
Doorbar J. 2006. Review: Molecular Biology of Human Papillomavirus Infection
and Cervical Cancer. Clinical Science, 110: 525-541.
Gomez D.T., Santos L. 2007. Human Papillomavirus Infection and Cervical
Cancer: Pathogenesis and Epidemiology. Communicating Current
Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology, A.
Mendez-Vilas (Ed): 680-688.
57
58
Griesser H., Sander H., Hilfrich R., Moser B., Schenck U. 2004. Correlation of
Immunochemical Detection of HPV L1 Capsid Protein in Pap Smears with
Regression of High-Risk HPV Positive Mild/Moderate Dysplasia. The
International Academy of Cytology, 26(5): 241-245.
Griesser H., Sander H., Walczak C., Hilfrich R.A. 2009. HPV Vaccine Protein L1
Predicts Disease Outcome of High-Risk HPV+ Early Squamous
Dysplastic Lesion. American Journal of Clinicopathology, 132: 840-845.
Haltas H., Bayrak R., Yenidunya S., Yildirim U. 2012. The Immunohistochemical
Detection of P16 and HPV L1 Capsid Protein on Cell Block Sections from
Residual PapSpin Liquid-based Gynecology Cytology Specimens as a
Diagnostic and Prognostic Tool. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences, 16: 1588-1595.
Hwang S.J., Shroyer K.R. 2012. Review Article: Biomarkers of Cervical
Dysplasia and Carcinoma. Journal of Oncology. Article ID 507286. 9
pages.
Jedpiyawongse A., Homca-em P., Karalak A., Srivatanakul P. 2008.
Immunohistochemical Overekspression of p16 Protein Associated with
Cervical Cancer in Thailand. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention,
9: 625-630.
Mitchell R.N., Kuman V., Abbas A.K., Fausto N. 2006. Neoplasia. Pocket
Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease Seventh
Edition, Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 158-159.
Munoz N., Castellsague X., Berrington de Gonzalez A., Gissmann L. 2006. HPV
in the Etiology of Human Cancer. Journal Vaccine, 05.115. Available
from: www.sciencedirect.com.
Nam E.J., Kim J.W., Hong J.W., Jang H.S., Lee S.Y., Jang S.Y., Lee D.W., Kim
S.W., Kim J.H., Kim Y.T., Kim S., Kim J.W. 2008. Expression of the
p16INK4a and Ki-67 in Relation to the Grade of Cervical Intraepithelial
Neoplasia and High-risk Human Papillomavirus Infection. Journal of
Gynecology Oncology, 19(3): 162-168.
Negri G., Bellisano G., Zannoni G.F., Rivasi F., Kasal A., Vittadello F.,
Antoniazzi S., Faa G., Ambu R., Egarter-Vigl E. 2008. Original Article:
P16INK4a and HPVL1 Immunohistochemistry is Helpful for Estimating
the Behavior of low-grade Dysplastic Lesions of the Cervix Uteri.
American Journal of Surgical Pathology, 32(11):1715-1720.
59
Paavonen J. 2007. Human Papillomavirus Infection and the Development of
Cervical Cancer and Related Genital Neoplasia. International Journal of
Infectious Disease, 11(Suplement 2): 53-59.
Sarmadi S., Izadi-mood N., Pourlashkari M., Yarandi F., Sanii S. 2012. HPV L1
Capsid Protein Expression in Squamous Intraepithelial Lesions of Cervix
Uteri and Its Relevance to Disease Outcome. Archive of Gynecology and
Obstetrics, 285(3): 779-784.
Schiffman M., Castle P.E., Jeronima J., Rodriguez A.C., Wacholder S. 2007.
Human Papillomavirus and Cervical Cancer. The Lancet, 370: 890-907.
Skiba D., Mehlhorn G., Fasching P.A., Beckmann M.W., Ackermann S. 2006.
Prognostic Significance of Serum Antibodies to HPV-16 L1 Virus–like
Particles in Patient with Invasive Cervical Cancer. Anticancer Research,
26: 4921-4926.
Stanley M. 2010. Review: Pathology and Epidemiology of HPV Infection in
Females. Gynecologic Oncology, 117: S5-S10. Available from:
www.sciencedirect.com.
Stricker T.P., Kumar V. 2008. Neoplasia. In: Kumar F., Abbas A.K., Fausto N.,
Aster J.C., editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease
Eighth Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 284-292.
Susanti I. 2006. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia
Tahun 2006 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter
Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.
Susanti I. 2007. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia
Tahun 2007 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter
Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.
Susanti I. 2008. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia
Tahun 2008 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter
Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.
Thomison J., Thomas L.K., Shtoyer K.R. 2008. Progress in Pathology: Human
Papillomavirus: Molecular and Cytologic/Histologic Aspect Related to
Cervical Intraepithelial Neoplasia and Carcinoma. Human Pathology, 39:
154-166.
60
Tjalma W.A.A., Van Waes T.R., Van Den Eiden L.E.M., Bogers J.J.P.M. 2005.
Role of Human Papillomavirus in the Carcinogenesis of Squamous Cell
Carcinoma and Adenocarcinoma of the Cervix. Best practice & research
clinical obstetric and gynecology, 19(40): 469-483.
Ungureanu C., Socolov D., Anton G., Mihailovici M.S., Teleman S. 2010.
Immunocytochemical Expression of p16INK4a and HPV L1 Capsid
Proteins as Predictive Markers of the Cervical Lesions Progression Risk.
Romanian Journal of Morphology and Embryology, 51(3): 497-503.
Vet J.N.I., Boer M.A., Akker B.E.W.M., Siregar B., Lisnawati, Budiningsih S,
Tyasmorowati D., Moestikaningsih., Cornain S., Peters A.A.W., Fleuren
G.J. 2008. Prevalence of Human Papillomavirus in Indonesia: a
Population-based Study in Three Regions. British Journal of Cancer, 99:
214-218.
Wells M., Ostor A.G., Crum C.P., Franceschi S., Tommasino M. 2003. Epithelial
tumours. In: Tavassoli F.A., Devilee P., editors. WHO: Pathology and
Genetics Tumours of the Breast and Female Genital Organ. Lyon: IARC.
p. 262-270.
Wright T.C. 2006. Pathology of HPV Infection at Cytology and Histologic Level:
Basis for a 2-tiered Morphologic Classification System. International
Journal of Gynecology and Obstetric, 94(supplement 1): S22-S31.
Wu H., Shi H., Kong L. 2011. Full Length Research Paper: Relationship of
HPVL1 and P16 Expression with Different Cervical Lesion. Scientific
Research and Essays, 6(17): 3724-3728.
Yoshida T., Sano T., Kanuma T., Owada N., Sakurai S., Fukuda T., Nakajima T.
2008. Immunochemical Analysis of HPV L1 Capsid Protein and p16
Protein in Liquid-based Cytology Samples From Uterine Cervical Lesions.
Cancer (Cancer Cytopathol), 114: 83-88.
Yu L., Wang L., Zhong J., Chen S. 2010. Diagnostic Value of p16INK4A, Ki-67,
and Human Papillomavirus L1 Capsid Protein Immunochemical Staining
on Cell Bloks From Residual Liquid-Based Gynecologic Cytology
Specimens. Cancer (Cancer Cytopathol), 118: 47-55.
61
Lampiran 1.
62
Lampiran 2.
63
Lampiran 3.
Data Sampel dan Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia HPVL1 18
No No Sediaan Umur Diagnosis Grade
1 M1057/12 29 CIN I 0
2 M970/12 61 CIN I 0
3 M2793/12 45 CIN I 0
4 M848/12 37 CIN I 0
5 M2862/12 37 CIN I 0
6 1551PP12 44 CIN I 0
7 2271PP12 33 CIN I 0
8 2488PP12 56 CIN I 0
9 3416PP12 50 CIN I 0
10 1226PP12 46 CIN I 0
11 M499/12 24 CIN II 0
12 M642/12 60 CIN II 0
13 M777/12 45 CIN II 0
14 M741/12 26 CIN II 0
15 M897/12 45 CIN II 0
16 M913/12 44 CIN II 0
17 M283/12 35 CIN II 0
18 M563/12 48 CIN II 0
19 M1408/11 46 CIN II 0
20 M2884/12 46 CIN II 0
21 M562/12 54 CIN III 0
22 M2302/12 45 CIN III 0
23 2505PP13 46 CIN III 0
24 M2515/12 33 CIN III 0
25 M2841/12 51 CIN III 0
26 M1113/12 43 CIN III 0
27 M3084/12 40 CIN III 0
28 M1529/12 47 CIN III 0
29 M2469/12 40 CIN III 0
30 M2847/12 32 CIN III 0
31 M1321/12 36 SCC 0
32 M1271/12 53 SCC 0
33 M1228/12 30 SCC 0
34 M1096/12 55 SCC 0
35 M1033/12 65 SCC 0
36 M780/12 55 SCC 0
64
37 M20/12 35 SCC 0
38 M150/12 39 SCC 0
39 M296/12 63 SCC 0
40 M697/12 50 SCC 0
41 M1819/11 65 SCC 0
42 M1693/11 28 SCC 0
43 M1290/11 47 SCC 0
44 M700/11 50 SCC 0
45 M726/11 35 SCC 0
46 1190PP12 35 SCC 0
47 4167PP12 63 SCC 0
48 4238PP12 35 SCC 0
49 1864PP12 60 SCC 0
50 1973PP12 64 SCC 0
51 2013PP12 30 SCC 0
52 2170PP12 49 SCC 0
53 2201PP12 50 SCC 0
54 2497PP12 57 SCC 0
55 2584PP12 62 SCC 0
56 2782PP12 54 SCC 0
57 2797PP12 58 SCC 0
58 3103PP12 50 SCC 0
59 3582PP12 40 SCC 0
60 4248PP12 72 SCC 0
65
Lampiran 4.
Analisis Statistik
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
umur 60 24.00 72.00 46.2167 11.33629
Valid N (listwise) 60