etika perencana kota

8
TUGAS II Topik :Upaya Peningkatan Etika Perencanaan M.K: Etika Perencanaa DOSEN PENGAMPU : DR.Ir.Murshal Manaf,MT Peningkatan Etika Perencanaan dalam Penataan Ruang Oleh : Ary Kenan Paranoan Program Pasca Sarjana Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Bosowa 45, Makassar

Upload: ary-kenan-paranoan

Post on 14-Feb-2016

268 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

ETIKA

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Perencana Kota

TUGAS IITopik :Upaya Peningkatan Etika PerencanaanM.K: Etika PerencanaaDOSEN PENGAMPU : DR.Ir.Murshal Manaf,MT

Peningkatan Etika Perencanaan dalam Penataan Ruang

Oleh : Ary Kenan ParanoanProgram Pasca Sarjana

Prodi Perencanaan Wilayah dan KotaUniversitas Bosowa 45, Makassar

I. Pendahuluan

Page 2: Etika Perencana Kota

Pedoman rencana pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada dua rancangan yaitu :a. Sistem rencana Pembangunan yang berpedoman pada UU No 25 thn 2004. Sistem Rencana Pembangunan dituangkan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) setiap 20 tahun, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) setiap 5 tahun, dan Rencana Strategis Instansi Pemerintah yang di rancangkan setiap tahunnya. Sistem Rencana Pembangunan dilaksanakan oleh Bappenas, BP3D (di tingkat daerah) dan Kementrian Keuanganb. Sistem rencana Keruangan yang berpedoman pada UU No 2006 thn 2007 RPJM. Sistem rencana Keruangan dituangkan dalam RTRWN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota dan kemudian lebih detail menjadi Rencana Detail Tata Ruang.Kedua sistem perencanaan pembangunan ini seharusnya bersinergi satu sama lain. RTRW diharapkan bisa menjadi arahan ruang bagi pembangunan fisik yang terus berkembang dengan sangat cepat, hal ini bertujuan untuk dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.Akan tetapi pada penerapannya kedua rancangan pembangunan ini sering kali tidak sejalan, RTRW malah sering kali dianggap sebagai penghambat laju pertumbuhan wilayah.Penyelesaian RTRW di seluruh Indonesia mengalami keterhambatan hal ini di sampaikan oleh Dirjen Penaatan Ruang, Firman Hutapea, yang menyebutkan sampai dengan September  2014, baru 25 dari 33 provinsi yang sudah memiliki perda RTRW. Sementara untuk kabupaten, baru 305 yang menyelesaikan perda tersebut sementara sisanya sebanyak 93 masih dalam pembahasan di daerah. Demikian juga dengan kota yang baru mencapai progress sebesar 83,87 persen atau 78 dari 93 kota, padahal batas yang ditentukan oleh pemerintah seluruh RTRW dapat rampung tahun 2010 (www.Klik9Indonesia.com). Hal yang menyebabkan terhambat nya RTRW di sinyalir karena banyaknya kepentingan dari pihak-pihak tertentu bahkan di beberapa daerah penyusunan RTRW yang ditunggangi berbagai kepentingan akhirnya menyeret pejabat publik ke ranah hukum terkait kasus korupsi. Kasus korupsi yang terjadi di beberapa daerah dalam penyusunan RTRW kurang lebih bermotif sama, yaitu pejabat publik menerima suap agar melegalkan suatu fungsi kawasan untuk agar dapat di manfaatkan pelaku usaha (HTI, Perumahan, Perkebunan dll) Dalam penataan ruang korupsi rawan terjadi baik dalam proses penyusunan, pelaksanaan maupun penertiban tata ruang (Raflis, 2010). Dalam proses penyusunan, korupsi dapat terjadi karena adanya kepentingan sektoral. Dalam proses pelaksanaan, korupsi dapat terjadi karena ada nya pemberian izin penggunan lahan, sedangkan dalam proses penertiban banyak nya pelanggaran tata ruang yang tidak dapat di lakukan penegakan hukum atasnya. Hal ini menimbulkan anggapan di masyarakat bahwa tata ruang=tata uang.

Korupsi dalam teori perencanaan merupakan contoh pelanggaran etika/moral yang dapat berpengaruh pada ruang lingkup perencanaan, baik dalam substansi perencanaan (in planning) maupun prosedur perencanaan (of planning). Bagaimanakah para perencana kota menyikapi hal ini?. Proses perencanaan terus menerus berlangsung seiring waktu memerlukan sikap dan karakter perencana yang baik dan berintegritas.

II. Profesi Perencana Kota dan Etika Perencana

Istilah perencana kota yang sering kita dengar hanya identik dengan konsultan swasta yang selalu terkait dengan rencana tata ruang suatu wilayah. Pada dasarnya setiap elemen masyarakat dapat menjadi perencana kota baik individu, organisasi maupun instansi yang memiliki keterkaitan

Page 3: Etika Perencana Kota

dengan pengembangan wilayah perkotaan sedangkan profesi perencana dapat kita artikan sebagai individu yang memiliki latar belakang pendidikan perencanaan baik tingkat sarjana maupun pasca sarjana yang kemudian berkerja dan berprofesi di bidangnya baik di instansi pemerintah maupun di konsultan swasta atau dengan bahasa umum dikenal sebagai tenaga perencana. Berbekal keahlian dibidang perencanaan, seorang tenaga perencana menjalankan profesinya bagi kepentingan masyarakat. Dalam lingkup luas seorang tenaga perencana wilayah dan kota diharapkan memiliki kemampuan membantu menetapkan keseluruhan sasaran rencana pembangunan untuk menuju kesejahteraan masyarakat dalam tingkat pembuatan kebijaksanaan pemerintah dan membantu manajemen pembangunan (Sujarto, 2006). Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, apabila dalam diri orang yang menjalankan profesi tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi ketika mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah dikerjakan salah atau benar, buruk atau baik. Istilah etika dan moral merupakan istilah-istilah yang dapat saling di pertukarkan satu dengan yang lain karena keduanya mempunyai konotasi yang sama. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia dalam kelompok sosialnya (Wignjosoebroto, 1999). Menurut Sujarto (2006), pembinaan etika profesi untuk dapat menghasilkan perencanaan yang etis pada dasarnya memerlukan tanggung jawab perencana sebagai berikut (diadopsi dari APA(American Planning Asociation):

Tanggung jawab kepada masyarakat. Perencana wilayah dan kota menghasilkan suatu karya perencanaan untuk kepentingan masyarakat secara adil. Tanggung jawab kepada yang menugaskan dan kepada yang berkepentingan terhadap rencana. Perencana wilayah dan kota harus secara obyektif dan jujur menerima penugasan dari atasan atau pemberi tugas. Tanggung jawab kesejawatan. Perencana wilayah dan kota harus bisa saling menghormati dan menghargai keprofesian sejawat. Tanggung jawab diri. perencana wilayah dan kota harus berusaha untuk memenuhi integritasnya, kemampuan dan kemampuan profesionalnya.

Secara umum, etika profesi perencana mempertimbangkan prinsip Etika Perencanaan APA (American Planning Assosiation) sebagai berikut (dalam Karyoedi, 2006):1. Kewajiban utama para perencana dan pejabat perencanaan publik

adalahmelayani kepentingan umum.2. Para perencana dan pejabat perencanaan publik harus mengetahui hak-

hakwarga untuk mempengaruhi keputusan perencanaan yang mempengaruhi kesejahteraannya.

3. Perencana dan pejabat perencanaan publik harus mengakui dan mempunyai perhatian khusus pada sifat komprehensif dan jangka panjang dari keputusan keputusan perencanaan.

4. Perencana dan pejabat perencanaan publik harus berusaha keras untuk memperluas pilihan dan kesempatan bagi semua orang.

5. Perencana dan pejabat perencanaan publik harus memudahkan koordinasi.

6. Untuk menghindari konflik kepentingan dan kemunculan ketidaklayakan, pejabat perencanaan publik yang barangkali menerima beberapa keuntungan pribadi dari suatu keputusan perencanaan publik harus tidak ikut serta dalam keputusan tersebut.

7. Perencana dan pejabat perencanaan publik harus memberikan pelayanan perencanaan yang menyeluruh dan terus menerus.

Page 4: Etika Perencana Kota

8. Perencana dan pejabat perencanaan harus tidak secara langsung atau tidak langsung meminta pemberian atau menerima pemberian yang dapat mempengaruhi kinerja dan keputusan mereka.

9. Perencana dan pejabat perencanaan publik harus tidak membocorkan atau menggunakan secara tidak benar informasi rahasia untuk keuntungan keuangan.

10.Pejabat perencanaan publik harus menjamin bahwa laporan-laporan dan catatan catatan dari badan perencanaan publik terbuka secara sama bagi semua anggota masyarakat.

11.Pejabat perencanaan publik harus menjamin bahwa presentasi informasi atas nama suatu kelompok pada suatu pertanyaan perencanaan terjadi hanya pada dengar pendapat yang dijadwalkan pada pertanyaan tersebut, tidak secara pribadi, tidak secara resmi, dengan ketidakhadiran kelompok-kelompok kepentingan lain.

12.Pejabat perencanaan publik harus berkelakuan baik di depan umum untuk menjaga kepercayaan publik dalam badan perencanaan publikunit pemerintahan dari pejabat tersebut, dan kinerja pejabat dari kepercayaan publik.

13.Perencana dan pejabat perencanaan publik harus menghormati kode etik dan panduan profesional yang telah di tentukan oleh AICP dan oleh beberapa profesi yang terkait untuk praktek perencanaan.

Ke dua hal diatas, tanggung jawab dan prinsip memberikan batasan maupun standar yang akan menuntun perencana dalam menjalankan profesinya secara umum, sehingga dapat menjadi dasar sebagai etika profesi.

Nuansa etika perencanaan juga tersirat dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Indonesia BAB II pasal 2 mengenai azas-azaz perencanaan “penataan ruang diselenggarakan berdasarkan: (a) keterpaduan, (b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, (c) keberlanjutan, (d)keberdaya-gunaan dan keberhasil-gunaan, (e)keterbukaan, (f) kebersamaan dan kemitraan, (g) perlindungan kepentingan umum, (h)kepastian hukum dan keadilan, serta (i) akuntabilitas”. Azas-azas diatas menjadi dasar pelaksanaan dalam mencapai tujuan perencanaan yang kemudian tercantum pada pasal 3 yaitu:

1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alaman lingkungan buatan;2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan

sumber daya buatan denganmemperhatikan sumber daya manusia; dan3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang danpencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.Azas azas yang disebutkan diatas terkait dengan etika perencanaan menjadi rambu-rambu serta panduan dalam berpikir dalam pelaksanaan tugas perencana dilapangan.

III. Telaahan Kasus Korupsi terkait Tata Ruang Provinsi Riau

Salah satu kasus pelanggaran RTRW yang terjadi dapat kita cermati di Provinsi Riau yang melibatkan Gubernur Riau Aanas Maamun. Aanas diduga menerima suap dari pihak pengusaha hutan tanaman industri agar segera mensahkan rancangan RTRW provinsi Riau yang didalam nya terdapat rencana alih fungsi lahan kawasan hutan seluas 1,6 juta Ha menjadi kawasan non hutan dan kawasan hutan yang dapat di konversi (www.sindonews.com)

Dijelaskan sebelumnya bahwa RTWRW Provinsi Riau sudah 10 tahun lebih terbengkalai dan tidak bisa di sahkan karena terkait pengalihan fungsi kawasan hutan hal ini dikarenakan draft RTRW provinsi Riau tidak mendapatkan rekomendasi dari Kementrian Kehutanan dengan alasan draft RTRW provinsi Riau melanggar batas kawasan hutan yang telah ditetapkan dalam peta TGHK (tata guna hutan kesepakatan). Pemerintah Provinsi Riau dalam draft RTRW

Page 5: Etika Perencana Kota

meminta agar perijinan yang melanggar peta TGHK agar di putihkan akan tetapi Kementrian Kehutanan berkeras bahwa pengalihfungsian kawasan hutan tidak dapat dilakukan begitu saja, harus melalui prosedur peraturan yang melibatkan pertimbangan anggota DPR di tingkat pusat. Di sisi lain pada lahan-lahan kawasan hutan terdapat ijin dari Kementrian Kehutanan di masa lalu untuk Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan dimana status kawasan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Kasus serupa yang lain terkait pelanggaran penataan ruang juga terjadi di Kabupaten Bogor yang melibatkan Bupati setempat, Rahmat Yasin. Yasin di duga menerima suap dari pengembang perumahan untuk mensahkan RTRW Kabupaten Bogor dimana didalamnya terdapat pengalihan fungsi Hutan lindung seluas 2.754 Ha.

Mencermati dua kasus diatas tentunya akan sangat panjang jika ditinjau dari sisi teori perencanaan baik sisi substansi perencanaan maupun prosedur perencanaan. Kaitan antara kasus-kasus diatas dengan etika perencanaan adalah masalah pelanggaran moral dan etika perencana. Perencana dalam konteks diatas bukan hanya melibatkan pejabat publik tetapi juga setiap stakeholder yang terkait penyusunan RTRW. Aspek etika dan moral mutlak diperlukan dan wajib di pahami oleh setiap stakeholder baik dalam proses penyusunan tata ruang, pelaksanaan tata ruang dan penertiban tata ruang. Berdasarkan informasi yang di kumpulkan penulis, muncul gambaran bahwa dilema RTRW yang terjadi di Provinsi Riau secara tidak langsung juga diakibatkan oleh beberapa pihak “perencana” antara lain:- Instansi tingkat daerah (Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten)- Instansi Pusat (Kementrian Kehutanan)- Kepala Daerah (Gubernur/Bupati)- Komisi Amdal- Konsultan Penataan Ruang dan AMDAL- Perusahaan Perkebunan, HTI, HPH.

Yang kesemuanya turut terlibat dalam pemberian ijin, rekomendasi dan pertimbangan teknis yang tidak mempertimbangkan Rencana Tata Ruang, dan TGHK sebagai acuan pembangunan daerah.

IV. Upaya Peningkatan Etika Perencana

Kasus diatas hanya merupakan salah satu contoh pelanggaran etika perencana yang dilakukan oleh banyak pihak pemangku kepentingan terkait penyusunan tata ruang. Potensi pelanggaran lainnya sangat mungkin terjadi bukan hanya pada proses penyusunan RTRW tetapi juga pada proses pelaksanaan dan penertiban tata ruang. Upaya peningkatan etika mutlak di perlukan, bukan hanya untuk para tenaga perencana tetapi juga untuk para “perencana” dalam artian luas. Penulis mencoba menyampaikan beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan etika yaitu:A. Peningkatan Etika Perencana terkait Tanggung Jawab kepada publik melalui

perencanaan partisipatif.Perencanaan yang bersifat terpusat seperti yang terjadi pada masa lalu

menempatkan peran perencana hanya sebagai ilmuwan terapan sehingga tugasnya dijalankan denganmengandalkan pengetahuan dan teknik analisis rasional ilmiah yang dimiliki,serta hanya melibatkan pihak lain yang bersifat sangat terbatas dancenderung mengabaikan masyarakat. Melalui perencanaan partisipatif perencana dintutut berperan juga sebagai komunikator yang harus memilik kemampuan berkomunikasi dengan baik dengan elemen masyarakat yang memiliki kepentingan. Komunikasi yang dibangun dengan masyarakat harus memenuhi norma-norma a) comprehensive (dapat dipahami), b) sincerely (dilakukan dengan itikad penuh dan bersungguh-sungguh, c) legitimate (dilakukan secara sah dan terbuka), d) true (penyampaian kebenaran).

Page 6: Etika Perencana Kota

Diharapkan dengan penerapan perencanaan partisipatif yang baik akan terbina proses perencanaan melalui komunikasi didasarkan pada sifat saling memahami, percaya dan kerjasama yang baik, dan dihasilkan perencanaanyang disepakati dan didukung semua pihak.B. Peran Lembaga Perencanaan dalam Peningkatan Etika Perencana.

Seperti yang sudah di paparkan sebelumnya, selain berfokus kepada publik, etika perencana juga berfokus kepada tanggung jawab perencana kepada pemberi kerja, kolega, dan peningkatan diri sendiri. Upaya peningkatan etika pada ketiga fokus diatas bisa dilakukan melalui organisasi/lembaga profesi perencana yang dalam hal ini adalah IAP (Ikatan Ahli Perencana), merupakan asosiasi profesi di bidang perencanaan kota (dan wilayah) yang membuat dan memberi rambu-rambu berkaitan dengan etika profesi perencana. Etika profesi IAP yang mengadopsi etika APA tidak berbeda jauh dengan apa yang di paparkan pada bagian dua. Hal menarik yang kemudian muncul adalah seberapa besarkah peranan IAP saat ini sebagai satu-satunya wadah berkumpulnya para perencana dalam penerapan etika perencanaan. Keberadaan IAP di harapkan bukan saja menjadi wadah bagi para perencana tetapi juga mampu untuk meningkatkan kualitas para perencana, dengan demikian secara tidak langsung akan berdampak kepada kualitas perencanaan di Indonesia. Hal tersebut telah dilakukan dengan adanya BSP (Badan Sertifikat Perencana) didalam tubuh IAP. Peningkatan kualitas perencana tidak hanya dari segi aspek teknis tetapi juga harus mencakup segi etika dan moral perencana. Mengingat posisi IAP sebagai wadah perencana ada beberapa hal yang bisa di rekomendasikan dalam upaya peningkatan kualitas perencana antara lain:

1. Melalui pelatihan dan sosialisasi etika perencana yang dilakukan tidak saja untuk tenaga perencana, tetapi juga untuk pelaku birokrasi. Diharapkan dengan menanamkan pehaman etika perencana kepada berbagai pihak dapat mengurangi potensi terjadinya pelanggaran etika.

2. Peningkatan peran IAP sebagai organisasi yang dapat menegakkan etika perencanaan. IAP diharapakan mampu menjadi payung dalam penerapan etika perencana, hal ini bisa di wujudkan dengan membentuk sebuah Komisi/Badan yang dapat mengawasi etika para perencana dan terbuka kepada publik. Apabila penegakkan etika dapat di lakukan dengan baik hal ini berdampak positif kepada keprofesian perencana itu sendiri dengan demikian profesi perencana dapat lebih dihargai oleh publik

3. Sertifikasi perencana bisa di lebih diperdetail menjadi sertifikasi keahlian sesuai dengan bidang tertentu (spesialisasi). Hal ini dimaksudkan bukan untuk mengkotak-kotakan profesi perencana tetapi untuk meningkatkan kualitas perencanaan mengingat luasnya wilayah studi perencanaan, sebagai contoh: seorang sarjana ekonomi yang mendapatkan gelar perencana pada studi pasca sarjana, ketika diminta untuk memberikan solusi dalam sebuah kasus transportasi mungkin dapat memberikan solusi secara makro akan tetapi secara mikro hal tersebut mungkin dapat dilakukan lebih baik oleh seorang perencana yang memiliki latar belakang teknik transportasi. Spesialisasi perencana juga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab baik kepada diri sendiri melalui peningkatan pengetahuan maupun kepada rekan sejawat dengan menghargai kemampuan profesional satu sama lain.

V. KesimpulanPembangunan Penataan Ruang yang saat ini belum optimal di seluruh

wilayah Indonesia terkait erat dengan pemahaman nilai-nilai etika para “perencana”. Peningkatan pemahaman mengenai etika perencanaan harus di lakukan bukan saja untuk para tenaga perencana tetapi juga harus dipahami oleh setiap stakeholder terkait pembangunan penataan ruang. Keterbukaan kepada publik dan Peningkatan peran IAP dalam penegakkan etika sangat di harapkan untuk meningkatkan kualitas perencanaan yang berlangsung terus

Page 7: Etika Perencana Kota

menerus. Melalui penegakan etika diharapkan profesi perencana dapat menjadi sebuah profesi yang lebih dihargai oleh publik.

Daftar PustakaAhyuni,2009 “Efektifitas RTRW Sebagai Pedoman Pembangunan” Sutanto.A, 2008. “Pengembangan Profesi Perencana melalui spesialisasi dan

Etika Profesi”.Sawitri.D, 2004 “Profesi Perencana dalam perencanaan partisipatif Suatu kajian

teori dan Praktek perencanaan”KILINCA.Gokcen,2009 “Planning Ethics at Local Level”http://raflis.files.wordpress.com/2011/09/penataan-ruang-dan-korupsi-_studi-kasusprovinsi-riau_-_final_.pdf