essay bahasa ibu ramadhansi ugm

Upload: dila-fadillah

Post on 19-Jul-2015

86 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Keterkaitan Bahasa Ibu dan Seni dalam Menggali Identitas Bangsa

Ditulis Oleh: Nama: Ramadhansi NPM: 0902050326

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMTERA UTARA 2012

1

Keterkaitan Bahasa Ibu dan Seni dalam Menggali Identitas Bangsa

Abstrak: Mother Tongue (MT) As a certainty possibly might not be opposed, but saw the phenomenon of the change flow that lately was increasingly swift struck and melumat all the aspects of the life that had been believed in as something that was established and was not possible to change also of a certainty, then the paradigm thought many people, including the linguists already during him to be organised and reviewed. Many believing sides that the opinion that said Mt will be extinct once later too extreme and invented stories. MT will not be extinct and will not be had been extinct. Changed definitely, but extinct not. Edith Lam, a mathematical teacher, who helped two language researchers, Veronica Hsueh and Tara Goldstein, that observed and recorded how the mother tongue could help the student to master the foreign language, evidently received the quite startling knot. The mother tongue evidently only did not help the students to communicate between them but also helped the foreign language command faster. Like Price Pritchett words that the change always came while bringing the gift, then the change that must come possibly might not be too much worried because of must have the benefit that could be reaped from the available change.

2

I. Pendahuluan

KBBI mendefinisikan bahasa ibu sebagai bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Berbicara tentang keluarga i memang tidak harus ibu tetapi karena ibu dianggap orang yang akan paling dekat dengan seorang anak sejak masa kelahiran, maka istilah ibu dipilih dan bukannya ayah atau keluarga, meskipun dalam kenyataannya ada banyak juga anak-anak yang sejak bayi tumbuh dan menjadi besar tidak bersama ibunya. Karenanya memang mungkin lebih masuk akal jika istilah ibu di sini tidak hanya dimaknakan sebagai ibu fisik tetapi hendaknya juga dimaknakan sebagai ibu lingkungan, dan yang dimaksud dengan ibu lingkungan tentunya siapa saja di rumah tempat seorang anak paling banyak menghabiskan waktunya untuk belajar berkomunikasi ii menggunakan satu bahasa tertentu atau banyak bahasa tertentu - yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan seorang anak sejak masa kelahirannya. Meskipun tahun 2008 yang oleh PBB dicanangkan sebagai tahun bahasa iii sudah berlalu tetapi tidak berarti bahwa pemikiran dan kerisauan terhadap keberadaan dan kebertahanan ribuan bahasa lalu menjadi surut. Yang terjadi justru sebaliknya. Kerisauan terhadap kondisi ini justru semakin meningkat dan tahun 2009 dapat dijadikan titik tolak terhadap semua tindakan yang dapat diambil dan yang mungkin dapat diambil untuk menanggapi kerisauan dimaksud. Sebagai ilustrasi pada bagian pengantar ini sejumlah berita yang berkaitan dengan kerisauan punahnya sejumlah bahasa ibu dipaparkan.

3

Berita pertama dirilisiv pada tanggal 21 Pebruari 2007. Isinya jelas sangat sangat merisaukan bukan hanya bagi para pemerhati bahasa ibu di Indonesia tetapi juga pemerhati bahasa ibu di seluruh dunia. Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah kebudayaan, UNESCOv, memperkirakan separuh dari 6 ribu bahasa vi yang ada di dunia saat ini berada dalam ancaman kepunahan. Demikian seperti diungkapkan dalam siaran pers lembaga itu dalam rangka Hari Bahasa Ibu Seduania di Jakarta. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61 persennya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik, dan 700 lebih di antaranya di pakai di wilayah Indonesia. Karena banyaknya bahasa di kepulauan ini, UNESCO memperkirakan hanya 10 persen saja penduduk Nusantara yang berbicara dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Pengamat pendidikan, yang juga Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, mengatakan pelestarian dan promosi bahasa ibu harus dilakukan agar bahasa ibu tidak punah. Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendididan Nasional, Dendy Sugono, menambahkan saat ini di Indonesia terdapat 746 bahasa yang sudah teridentifikasi. "Bahasa-bahasa itu tersebar di kepulauan yang memiliki luas 1,7 juta kilometer persegi dengan 17.508 pulau," katanya. Menurutnya, dari jumlah itu saat ini telah ada 10 bahasa yang punah. Sembilan di antara yang punah itu ada di Papua, yaitu Bahasa Bapu, Bahasa Darde dan Bahasa Wares di Kabupaten Sarmi. Sedangkan di Kabupaten Jayapura adalah Bahasa Taworta dan Bahasa Waritai. Bahasa Murkim dan Bahasa Walak di Kabupaten Jayawijaya, Bahasa Meoswar di kabupaten Manukwari, Bahasa Loegenyem di kabupaten Rajaampat dan Bahasa Ibu di Propinsi Maluku Utara pun kini tak lagi ada penggunanya. Selain itu, kata Dendy, masih ada 33 bahasa lagi yang saat ini terancam punah. Dari jumlah itu, 32 bahasa berasal dari Papua dan 1 berasal dari Maluku Utara.

4

Berita kedua dirilis tujuh bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 4 September 2007. Isinya sama merisaukan dibandingkan berita yang terdahulu karena berita ini mempertegas bahwa apa yang pernah diberitakan sebelumnya bukan isapan jempol belaka. Berita yang terdahulu ternyata benar adanya dan sama sekali tidak ada peluang atau kemungkinan bahwa berita itu salah atau berubah kearah yang lebih baik. Beritanya seperti berikut:Sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah. Temuan ini didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, sepuluh bahasa daerah yang telah punah itu berada di Indonesia bagian timur, yakni di Papua sebanyak sembilan bahasa dan di Maluku Utara satu bahasa. "Data yang kita kumpulkan dari akademisi perguruan tinggi menyebutkan ada 10 bahasa daerah yang telah punah. Lalu yang terancam punah ada 33 tersebar di Papua sebanyak 32 dan Maluku Utara satu bahasa," tandas Dendy saat berbicara pada Kongres Linguistik Nasional XII di Hotel Sahid Solo yang berlangsung dari tanggal 3-6 September 2007. Sementara itu, pakar bahasa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Dr H Edi Subroto, menyatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan Jurusan Bahasa UNS menyebutkan, bahasa daerah yang terancam punah bisa mencapai 700 bahasa. "Dari hasil penelitian kami, jumlah bahasa daerah yang rawan punah sangat banyak. Sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu sesaat jika tidak ada upaya untuk merawatnya," ungkapnya. Salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah, lanjut Edi, adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Mereka juga enggan untuk menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi keseharian.

5

Pakar bahasa dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Asim Gunarwan, memprediksikan untuk kepunahan sebuah bahasa berlangsung cukup lama, yakni sekitar 75-100 tahun atau tiga generasi. Ia juga melihat adanya potensi punahnya bahasa Jawa, bahasa Lampung dan bahasa Bali. Asim mengatakan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, vitalisasi etnolinguistik. Ia mencontohkan bahasa Ibrani yang dulu hampir punah. Namun karena adanya vitalitas yang tinggi untuk menghidupkan kembali bahasa Ibrani, maka bahasa tersebut kini menjadi bahasa nasional. Kedua, kata Asim, adalah faktor biaya dan keuntungan. Selama ini kecenderungan orang belajar bahasa adalah karena faktor berapa biaya yang dikeluarkan dan seberapa besar keuntungan yang diperoleh kelak. Ia menyebut, orang rela belajar bahasa Inggris dengan biaya mahal karena ada keuntungan yang diperoleh kelak. Maka perlu adanya upaya pembalikan pergeseran bahasa. Langkahnya tak cukup dengan pengajaran bahasa yang selama ini dilakukan di instansi-instansi pendidikan. Caranya dengan menumbuhkan kesadaran dan menjadikan bahasa tersebut sebagai alat komunikasi keseharian. Berita ketiga dirilis pada tanggal 25 Pebruari 2008. Meskipun berita ini tampaknya netral dan tidak merisaukan tetapi jika dicermati judulnya yang mengatakan bahwa penelitian bahasa daerah belum selesai, maka hasilnya dapat justru lebih merisaukan banyak orang. Bagaimana jika penelitian bahasa daerah yang sedang dilakukan justru mempertegas dan menambah jumlah bahasa yang telah punah, sedangkan yang mendekati punah, setengah punah dan yang akan benar-benar punah jumlahnya juga meningkat? Berikut isi selengkapnya berita tersebut: Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono menyatakan penelitian tentang bahasa daerah hingga saat ini belum selesai dilakukan. Baru daerah timur Indonesia yang6

ada hasilnya, ujar Dendy saat ditemui di sela Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Departemen Pendidikan Nasional, Senin (25/7). Untuk Indonesia wilayah tengah dan barat, dia melanjutkan, masih dalam proses pengumpulan data. Diharapkan Agustus sudah bisa selesai, katanya. Data sementara dari 746 bahasa daerah di Indonesia, berdasarkan penelitian tersebut, ada sembilan bahasa di Papua dan satu bahasa di Maluku Utara yang terancam punah. Bahasa, katanya, identik dengan budaya bersangkutan. Hilangnya bahasa juga menghilangkan budaya. Dendy menyimpulkan bahasa ibu (bahasa daerah) dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni bahasa ibu yang masih banyak digunakan, terancam punah, dan sudah punah. Berita-berita berikutnya tentu saja masih ada jumlahnya cukup banyak tentu saja - dan karena nuansa kerisauan tampaknya tidak mungkin menghilang sama sekali dari berita tersebut kalau bukannya justru semakin kental maka perbincangan dan permasalahan yang akan ditelaah secara ringan tentu saja berkaitan dengan nasib dan masa depan bahasa ibu (saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai bahasa bunda karena lebih lembut dan lebih berirama) dan sikap seperti apa yang sebaiknya ditumbuh-kembangkan di antara para pemerhati dan pencinta bahasa menghadapi keniscayaan ini. II. Pembahasan 2.1 Penggalian Bahasa Ibu Melalui Aktivitas Seni Dalam kondisi normal, jika ibu dan ayah sama-sama berasal dari etnis berbahasa ibu yang sama katakan saja bahasa Madura - maka bahasa komunikasi awal seorang anak dapat dipastikan sama persis dengan bahasa komunikasi yang digunakan ayah dan ibu vii, yaitu bahasa Madura. Bahasa komunikasi ini akan tetap menjadi satu-satunya bahasa komunikasi sampai si anak mencapai usia yang cukup untuk masuk sekolah. Bahasa komunikasi di rumah akan tetap digunakan di kelas ditambah dengan bahasa lain, biasanya bahasa pengantar pendidikan seperti yang7

ditetapkan oleh undang-undang sebuah negara. Katakan saja dalam kasus Indonesia, maka ketika seorang anak mencapai usia sekolah dapat dipastikan dia akan mulai membiasakan diri berkomunikasi menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Kemudian, ketika anak ini lulus SMA, dan dia memilih prodi S-1 bahasa Tionghoa di sebuah universitas, dan menurut undang-undang seluruh atau sebagian besar bahasa pengantar perkuliahan boleh menggunakan bahasa Tionghoa, maka mahasiswa ini akan mulai membiasakan diri menggunakan tiga bahasa, bahasa Madura, bahasa Indonesia, dan bahasa Tionghoa. Di rumah tetap berkomunikasi dengan bahasa Madura, dengan teman-teman sesama mahasiswa menggunakan bahasa Indonesia, di kelas-kelas pelajaran bahasa Tionghoa dia dipaksa berbahasa Tionghoa. Setelah lulus, dengan kemampuan berkomunukasi menggunakan tiga bahasa, dia diterima bekerja di sebuah perusahaan asing, katakan saja perusahan Australia, dan tidak lama kemudian dia dipromosikan untuk menduduki jabatan direktur di kantor pusat perusahaan di Melbourne, maka tidak lama kemudian satu lagi bahasa yaitu bahasa Inggris merupakan sarana berkomunikasi. Meskipun tinggal di Australia jika menelpon sang ibu atau sang ayah, direktur yang sukses ini akan menggunakan bahasa Madura. Ketika berbicara dengan temantemannya di Indonesia, dia akan menggunakan bahasa Indonesia. Ketika berbicara dengan para lao tze tempat dia menempuh pendidikan tinggi dulu, dia menggunakan bahasa Tionghoa. Ketika berbicara dengan anak buah atau koleganya di kantor perusahaan, dia menggunakan bahasa Inggris. Dari beberapa kasus diatas dapat kita ketahui bersama bagaimana proses Bahasa Ibu yang tergredasi oleh perkembangan zaman. Pada dasarnya proses Bahasa Ibu terbentuk karena seseorang atau sekelompok orang yang sering melakukan kontak sosial dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Masyarakat pada umumnya sangat menyukai seni yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mereka.8

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat senang akan hiburan yang berbau dengan suku mereka seperti jawa dengan ketopraknya yang selalu menggunakan bahasa Jawa, masyarakat Bali sangat suka dengan tari kecaknya, dengan Bahasa yang mereka tampilkan dalam seni sesungguhnya menggiatkan dan membangkitkan semangat dalam menggunakan bahasa Ibu sebagai bahasa lakon yang pada nantinya masyarakat akan terpengaruh oleh bahasa yang dilakonkan oleh para actor di panggung seni tersebut. Ketika bahasa digunakan dalam seni pertunjukan maka secara tidak langsung bahasa Ibu dijadikan sebagai ikon dalam pemilihan dialog di panggung tersebut. Menurut analisis saya ketika seni yang di pertontonkan oleh masyarakat maka dapat menambah daya tarik masyarakat menggunakan bahasa Ibu dalam kehidupan seharihari mereka tidak hanya untuk kaum Ibu atau Bapak tapi juga untuk kaum muda. Dalam penggalian bahasa ibu diperlukan adanya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat yang dimulai dari keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui aktivitas seni secara rutin sebagai hiburan alternative bagi masyarakat, karena pada umumnya hiburan yang ada masyarakat sudah bosan dan hiburan yang mereka nikmati tidak mendidik bagi anak-anak mereka. Adapun cara-cara agar bahasa ibu tetap terpelihara dalam aktivitas seni dan kehidupan sehari-hari adalah: yang pertama, semua bahasa harus didokumentasikan secara rinci. Pemerintah dan dunia pendidikan tinggi, khususnya pendidikan tinggi yang berkaitan langsung dengan masalah-masalah bahasa, harus secara bersama-sama turun tangan melakukan pekerjaan besar yang bermanfaatnya dan dapat dirasakan langsung dan seketika. Yang kedua, langkah-langkah revitalisasi harus dilakukan secara bertahap, dan sebagian besar di antaranya harus berkaitan secara langsung dengan bahasa itu sendiri, yaitu dengan memperbanyak jumlah pengguna bahasa, terutama kaum wanitanya, dan meningkatkan taraf pendidikan mereka. Kisah sukses bagaimana bahasa Ibrani, bahasa Olelo, dan bahasa Gaeilge, yang sudah mati berhasil9

dihidupkan kembali dan sekarang penggunanya menjadi ribuan dan bahkan jutaan perlu dipelajari secara cermat dan dijadikan salah satu acuan model. Yang ketiga, mungkin ini tidak kalah pentingnya, para ahli bahasa harus belajar menyiapkan mental bahwa jika setelah semua usaha dilakukan dan sebuah bahasa benar-benar punah karena tidak lagi ada penggunanya, bahasa tersebut diyakini tidak punah karena telah tercatat dan terekam dengan baik. Menyaksikan film Star Trek: The Last Voyager mungkin akan membantu banyak orang memahami konsep ini. Sebagai tambahan apa yang pernah dikatakan oleh Elias Canetti mungkin perlu dibaca berulang-ulang oleh semua pihak; dia mengatakan bahwa there is no such thing as an ugly language; today I hear every language as if it were the only one, and when I hear of one that is dying, it overwhelms me as though it were the death of the earth. 2.2 Bahasa Ibu Identitas Sejarah Bangsa Identitas sejarah bangsa dapat dilihat dari perkembangan bahasa di berbagai suku bangsa Indonesia seperti suku Bali, Jawa, yang saya jelaskan satu persatu. Para peneliti berpendapat bahwa, perubahan aksara dari waktu ke waktu beradaptasi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pengertian bahwa keberadaab aksara itu akan menyerap warna budaya lokal di mana aksara itu digunakan oleh pendukung kebudayaan aksara itu sendiri. Perubahan aksara (Riyadi, 1996) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Aksara Pallawa awal, dipakai sebelum abad VII M, misalnya prasasti Tugu Bogor. b. Aksara Pallawa tahap akhir, dipakai pada abad VII sampai pertengahan abad VIII M, misalnya prasasti di Canggal, Kedu dan Magelang. c. Aksara Kawi atau Jawa Kuna tahap awal dipakai pada tahun 750 M -725 M, misalnya prasasti Balengan di Kalasan Yogyakarta.10

d. Aksara.Kawi atau Jawa Kuna tahap akhir dipakai tahun 925 M-1250 M, misalnya prasasti Airlangga.

e. Aksara Majapahait dan aksara daerah/lokal dipakai pada tahun 1250 - 1450 M, misalnya prasasti Singasari dan lontar Kunjarakarna.

f. Aksara Jawa Baru, dipakai pada tahun 1500 sampai sekarang, misalnya pada kitab Sulah Bonang dan kitab yang lebih muda. Selain itu, hal penting perlu dikemukakan di sini adalah aksara Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta, seperti yang digunakan dalam pasasti Canggal (Sleman), Jawa Tengah (732 M). Perkembangan aksara Kawi dalam budaya Jawa sangatt erat kaitannya dengan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama abad VII dan VIII M. Periode Singasari dan Majapahit bahasa Jawa Kuna dapat dilihat dalam teks-teks kakawin, seperti kakawin Pujastawa (Tim, 1997). Di daerah lain, seperti Sunda, Bugis, Bali dan beberapa daerah yang mengenal aksara memiliki kehidupan masing-masing dalam kazanah kebudayaannya. Contohnya aksara Bali dalam periode belakangan digunakan untuk sarana penulisan Jawa Kuna dan Bali. Pesatnya tradisi penulisan dalam berbagai sanggar penulisan naskah (scriptorium)4 disebabkan oleh teks ataupun naskah di Bali digunakan dalam berbagai kegiatan adat dan agama Hindu, khususnya dalam konteks pembacaan naskah yang disebut tradisi pesantian. Sangat berbeda dengan tradisi di Jawa. Di sini terjadi adaptasi penggunaan bahasa dan aksara disesuaikan sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda halnya dengan huruf latin, kini digunakan dalam penulisan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa nasional yang disampaikan dalam acara resmi kenegaraan, acara formal. di sekolahsekolah, dan sarana komunikasi antar masyarakatnya, sarana kebudayaan dan lain-lain. Bahasa dan aksara latin dalam konteks budaya modern dan juga global digunakan sebagai bahasa dalam pemahamanalih teknologi dan ilmu11

pengetahuan (sciense). Hal ini disebabkan beberapa kelemahan dalam aksara dan bahasa daerah di nusantara untuk mewahanai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. Aksara dan bahasa memiliki kedudukan dan fungsi dalam

kehadirannya. Kedudukan di sini diartikan bahwa aksara dan bahasa ditempatkan dalam ranah kehidupan kemanusiaan sama dengan bidangbidang lainnya, karena dapat memberi makna kehidupan manusia. Demikian pula fungsi di sini, bahwa aksara dan bahasa memiliki manfaat dalam kehidupan berbudaya karena dapat memberikan makna dalam kehidupan dalam memperkuat jati diri (baca: ungkapan bahasa menunjukkan bangsa). Dengan ungkapan tersebut jelas bahwa aksara dan bahasa suatu suku bangsa atau bangsa menunjukkan identitas suku atau bangsa yang bersangkutan. Bahasa maupun aksara adalah bagian penting dari penataan kehidupan manuasia dalam aspek tatakrama dan nilai rasa kemanusiaan itu sendiri. Bahasa, dan aksara adalah simbol ungkapan pikiran, perasaaan (emosional), spiritualitas, perilaku, asal-usul etnis, peradaban, seni dan sebagainya. Berkaitan dengan usaha-usaha kajian ke arah fungsi di sini dikemukakan beberapa fungsi aksara (Jawa), yaitu fungsi filsafat dalam huruf Jawa dengan falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Jawa. Contoh makna ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la-, pa-da-ja-ya-nya, ma-ga-bu-tha-nga-, memiliki makna hidup dalam masyarakat Jawa yang disebut ilmu kaweruh/ilmu sangkan parang dumudi (Timoer, 1994 ; Hendricus, 2003). Dalam konteks kebudayaan Jawa Aksara telah membatin dalam sanubari orang Jawa, artinya aksara berkaitan dengan struktur anatomi manusia Jawa dalam perspektif filsafat ngelmu kaweruh. Susunan tubuh manusia dalam pemahaman ini terdiri dari susunan aksara-aksara yang sedemikian rupa dan masing-masing aksara memberi rang makna terhadap12

fungsi tubuh manusia Jawa. (Bandingkan dengan penggunaan aksara dalam upacara kematian di Bali; Baca : Kajang). Aksara memiliki berbagai magis dalam Rajah Kala Cakra atau Semar berpengaruh sastra Denta Wiajana aksara Jawa berfungsi estetis, fungsi pragmatik (Hendricus, 200). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Bahasa Ibu memiliki sejarah yang panjang dalam pembentukannya dan berbeda pula

pembentukanya pada setiap suku di Indonesia. 2.3 Fungsi Simbolik Fungsi simbolik aksara dan bahasa ini adalah berhubungan dengan teologi khususnya susunan Dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Setiap arah vertikal dan horizontal disimbolkan dengan aksara (baca: Wijaksara). Demikian pula hampir setiap ritual Hindu khususnya selalu menggunakan lambang-lambang aksara sebagai perlengkapannya, baik dalam bentuk rerajahan pada tempat, sarana upacara, atribut, ulap-ulap, kajang, dan sebagainya. 2.4 Fungsi Bahasa dan Aksara dalam Naskah dan Teks Keagamaan Analoginya adalah sebagaimana halnya bahasa Jawa Kuno sekarang ini, sulit dilacak jejaknya jika saja aksara, bahasa dan sastra Jawa Kuno itu tidak tersimpan pada teks dan naskah pada prasasti, dam rontal dan sebagainya baik yang berupa karya kekawin, gancaran, babad, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan aksara, bahasa dan sastra Bali, tradisi teks dan naskah pustaka suci mampu bertahan hingga kini dan di masa yang akan datang, salah satunya disebabkan oleh tradisi teks dan naskah seperti itu. Dalam kepustakaan suci atau yang berkaitan dengan tradisi keagamaan di Bali dapat dilihat betapa banyak dokumen kebahasaan yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut. Naskah tersebut ada beberapa yang langsung menyangkut tata bahasa, seperti lontar Aji Saraswati, Kertabasa, Griguh,13

Widhi papincatan, Dasanama dan lain sebagainya. Beberapa catatan patut disimak di sini bahwa menurut penggolongan naskah-naskah Bali sebagai dokumen kebahasaan seperti pada kelompok I. Weda; (a) Weda-weda yang terdapat di bali, memakai bahasa Sanskerta dan kadang-kadang kata-kata Jawa Kuno dan Bali, (b) Mantra, menurut perkembangannya berasal dari Jawa dan Bali, (c) Kalpasastra (ritualia) rontal-rontal yang isinya memuat tentang upacara-upacara keagamaan. II. Agama; (a) Palakerta, buku-buku peraturan sebagaimana halnya dengan kitab-kitab Dharmasastra. kerta sima, awig-awig, (b) Sesana, buku buku petunjuk tentang kesusilaan, moral, (c) Niti, kitab-kitab hukum maupun perundang-undangan yang dipergunakan pada zaman kerajaan. III. Wariga; (a) Wariga, pengertian tentang astronomi dan astrologi, (b) Tutur, juga bernama upadesa, pengetahuan tentang kosmos, erat kaitannya dengan agama, (c) Kanda, tentang ilmu bahasa, bangunan, mitologi, maupun tentang pengetahuan khusus, (d) Usada, rontal pengobatan tradisonal. IV. Itihasa; (a) Parwa, yang disusun dalam bentuk prosa Jawa Kuna, (b) Kakawin, disusun berdasarkan mat/tembang gede India Kuna, (c) Kidung, kesusastraan yang disusun dengan tembang tengahan {sekar madya) dengan bahasa Jawa Tengahan, (d) Geguritan, kesusastraan yang disusun dengan tembang macepat seperti sinom, pangkur dan sebagainya dan menggunakan bahasa Bali. Naskah-naskah tersebut di atas adalah naskah pokok, sehingga jika dicermati belum termasuk berapa puluh atau ratus salinan yang tersebar di masyarakat untuk dipelajari, bahkan kini muncul kecenderungan berbagai skriptorium7 untuk melestarikan keberadaan aksara, bahasa dan sastra Bali itu sendiri. Dengan demikian tidak sedikit manfaat yang diperoleh dari tradisi teks khususnya yang menyangkut tradisi keagamaan di Bali. 2.5 Fungsi Komunikasi Budaya dan Agama14

Sebagai sarana utama komunikasi keberaksaraan menurut Coulmas (Dalam Kutha Ratna,2005:141) memiliki keunggulan dibandinhgkan dengan kelisanan sebagai berikut: (a) keberaksaraan bersifat diskret, (b) beraksaraan tidak terikat pada waktu penulisan, (c) keberaksaraan bersifat otonom, (d) keberaksaran bersifat kekal, (e) keberaksaraan dapat diketahui dari penglihatan, dan (f) keberaksaraan dihasilkan melalui tangan. Sedangkan bahasa memiliki tujuh ciri menurut Teeuw (1989:26-30) sebagai berikut : (a) Dalam tidak komunikasi dengan bahasa tulis (aksara) antara pendengar dan pembicara kehilangan sarana komunikasi paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi, (b) dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara pembicara dengan pendengar, (c) dalam hal teks tulis seringkali penulis malahan tidak hadir sebagaian atau pun seluruhnya dalam situasi komunikasi, (d) teks tertulis juga mungkin sekali makin lepas dari kerangka referensi aslinya, (e) tetapi pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau dibandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi, yakni pengulangan membaca dapat dilakukan berulang-ulang, (f) teks tertulis pada prinsipnya dapat diproduksi dalam berbagai bentuk, fotocopy, stensilan, buku dan sebagainya, (g) komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak dalam hal ruang, waktu, dan juga dari segi kebudayaannya. Berdasarkan keunggulan keberaksaraan dan juga ciri-ciri bahasa tersebut di atas, maka aksara dan bahasa dalam hal ini bahasa dan aksara Bali, sesungguhnya dapat digunakan sebagai ruang komunikasi dalam perspektif kebudayaan dan agama Hindu. Ruang yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai kebudayaan, adat, dan agama Hindu dengan metode apa yang disebut Dharma Wacana (Kothbah Islam). Dharma wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhirakhir ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di seluruh Indonesia.15

Namun khusus dharma wacana di Bali masih lebih dominan menggunakan bahasa Bali dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Sebagai ilustrasi tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang hampir setiap hart beliau memberikan dharma wacana ke seluruh pelosok Bali, jelas misi yang diemban beliau bukan hanya pencerahan agama Hindu, namun yang secara tidak langsung adalah pelestarian dan pemertahanan aksara, bahasa, dan sastra Bali. Jika ada seratus tokoh pendharma wacana yang menggunakan bahasa Bali sebagai media penyampaiannya, maka ke depan orang Bali optimis aksara, bahasa, dan sastra Bali akan tetap lestari dan mendapat dukungan masyarakat Bali. Belakangan ini yang cukup mengembirakan juga adalah ada momentum tertentu, seperti ulang tahun sekaa teruna, sekolah, lembaga, porsenijar, PKB atau perayaan hari penting lainnya senantiasa terdapat kegiatan, seperti: lomba dharma berbahasa Bali, lomba nyastra, masatua Bali yang pesertanya rata-rata anak usia sekolah mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Jika kegiatan semacam ini konsisten dan berlanjut dilakukan, mungkin ini juga masuk dalam strategi pembinaan dan pengembangan aksara, bahasa dan sastra Bali di masa yang akan datang. Di samping itu fungsi komunkasi yang lainnya adalah d,iarma tula adalah pola diskusi yang dilakukan terkait dengan sustu topik keagamaan tertentu. Berlainan dengan dharma wacana yang hanya satu arah (ceramah), dharma tula adalah dua arah atau hampir sama dengan kegiatan seminar. Dharma tula umumnya dilakukan pada saat: renungan malam siwa ratri, malam banyu pinaruh (malam Saraswati), perayaan malam purnama (di Jagatnatha, Besakih, dan-lain-lainya). Dharma tula ini meskipun tidak mewajibkan menggunakan bahasa Bali, narnun sering juga kegiatan ini menggunakan bahasa Bali khususnya di desa-desa pekraman. Di bandingkan dengan dharma wacana, kegiatan dharma tula ini relatif lebih jarang dilakukan. Namun demikian, tetap bentuk kegiatan ini dapat dimasukkan16

sebagai wadah penyemaian aksara, bahasa, dan sastra Bali yang cukup efektif di bandingkan dengan pengajaran aksara, bahasa dan sastra Bali di sekolah secara formal.

2.6 Fungsi Estetika Bahasa dalam perspektif seni menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya berbeda dengan cat, batu, perunggu. gerak-gerik, not-not yang merupakan sarana untuk seni. Bahasa sendiri, sebelum dipakai oleh seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan (teeuw, 1989:346). Dengan demikian, maka bahasa dan juga aksara memiliki fungsi estetika selain makna yang secara khas telah dimilikinya. Dalam konteks kebudayaan Bali khususnya, estetika bahasa dan sastra sangat terkait dengan apa yang disebut dengan sastra tembang (baca:dharmagita), kemudian juga rerajahan (baca: kaligrafi), sastra yantra (sastra dalam konsep yoga), dan sebagainya. Fungsi estetika sesungguhnya berkaitan dengan nyanyian atau tembang yang dalam istilah kebudayaan Bali dikenal dengan Dharmagita berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu dharma dan gita. Dharma artinya kebenaran, kebajikan, agama. Gita artinya nyanyian atau lagu (Tim Penyusun,2001:150). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dharmagita dapat diartikan nyanyian kebenaran. Penggunaan dharmagita dalam berbagai ritual agama Hindu dapat membantu dalam menciptakan suasana hening atau khusuk dengan landasan satyam, ciwam, sundaram 10. Di samping itu, dilihat dari tema-tema syair yang digunakan mengandung. pendidikan budhi pekerti, seperti yang tertuang di dalam ajaran agama: tatwa, etika, dan ritual. Yang merupakan tuntunan hidup yang baik

17

serta lukisan kebenaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud prabhwawnya yang dipuji-puji oleh umat Hindu (Warjana, 1997:2).

2.7 Fungsi Aksara dan Bahasa di Era Modern/Global Menurut Ong 1982 (Dalam Kutha Ratna,2005:149-150) menyebutkan bahwa tulisan memiliki beberapa ciri dalam zaman modern ini, yaitu (a) tulisan merupakan hasil teknologi komputerisasi dalam kebudayaan mutakhir, karena itu, tulisan bersifat kejam, (b) tulisan menghancurkan memori, manusia menjadi pelupa, tulisan memperlemah pikiran, (c) tulisan tidak responsif, sebab manusia hanya berdialog dengan bahasa, dengan wacana, (d) tulisan bersifat pasif sebab dihasilkan melalui dunia yang tidak alamiah. Terlepas dari beberapa kelemahan bahasa dan aksara di era modernisasi, namun perlu disadari bahwa dengan komputerisasi bahasa dan aksara akan mampu mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi dewasa ini. Pada sisi lain juga, bahwa aksara dalam komputer dapat dikreasi dalam berbagai kepentingan praktis, narnun iidak menghilangkan hakikat dan makna yang disimbolkan oleh aksara dan bahasa itu sendiri. Indonesia seharusnya belajar ke negara lain seperti Cina, Jepang, Arab dan lain- lain. Pada negara-negara tersebut aksara dan bahasa digunakan di dalam dunia industri, seperti dapat dilihat pada hampir setiap produk industri negara itu dengan mencantumkan aksaranya, baru diterjemahkan dengan bahasa internasional (Inggris). Dengan demikian, aksara dan bahasa mereka akan tetap menjadi indentitas atau jati diri produk industri di zaman globalisasi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mentalitas bangsa kita untuk mengangkat aksara dan bahasa Ibu seperti negara Jepang dan Cina itu.

18

Untuk melakukan itu diperlukan komitmen bersarna pemerintah, masyarakat pencinta bahasa (ahli-ahli bahasa dan aksara), dunia industri. Jika, hal itu dapat dilakukan, maka pengembangan apa yang disebut-sebut sebagai ekonomi kreatif yang bertumpu pada cultural capital dapat menjadi tulang punggung dan kekuatan bangsa ketika sumbersumber daya alam telah habis dimanfaatkan. III. Renungan Penutup

Apakah pernah terpikirkan bahwa pada awalnya hanya ada satu bahasa karena menurut kisah penciptaan manusia Tuhan itu pada awalnya hanya menciptakan satu orang saja? Meskipun Tuhan sendiri Maha Kuasa dalam artian dia dapat melakukan apa saja dan tidak melakukan apa saja, dan Dia juga diyakini sebagai Maha Pencipta Bahasa dan segala macam ragamnya, tetapi jika kisah penciptaan manusia pertama benar adanya, maka adalah sangat mungkin dan logis jika manusia pertama hanya menggunakan (dan tentu saja mungkin hanya menguasai satu bahasa) untuk berkomunikasi. Jadi, jika pada awalnya hanya ada satu bahasa dan suatu ketika nanti kembali hanya ada satu bahasa, lalu persoalan apa yang membuat banyak orang khususnya para ahli bahasa dan budaya - risau dan khawatir, sampai-sampai mereka merasa bahwa dunia akan kiamat ketika satu bahasa semakin sedikit pemakainya dan persoalan-persoalan lain yang tidak kalah pentingnya atau bahkan lebih penting menjadi luput dari perhatian?. IV. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa aksara dan bahasa sesungguhnya mampu dijadikan modal yang kuat atau kokoh untuk membentuk identitas budaya atau jati diri bangsa. Namun, pokok soalnya adalah aksara dan bahasa seringkali dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak mampu19

memberi

kontribusi

nyata

terhadap

pembangunan

manusia.

Anggapa

itu

sesungguhnya sangat keliru, karena modal budaya (bahasa dan aksara) adalah sumder daya alam yang tidak akan habis jika mampu diangkat dalam ruang ekonomi kreatif. Semua itu dapat dilakukan mengingat bahasa dan aksara memiliki berbagai fungsi sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, untuk mempu bahasa dan aksara menuju jati diri, ekonomi kreatif, mengglobal, tanpa menghilangkan makna atau hakikat ketradisian, maka diperlukan komitmen pemerintah, masyarakat, dan dunia industri serta mentalitas masyarakat yang tidak menganggap aksara dan bahasa Bali sebagai bagian dari feodalisme dan kuno, terkebelakang, tradsinal, bahkan minder. Mentalitas budaya seperti itu akat turut memperburuk dan mempercepat kematian bahasa dan aksara Bali itu sendiri. Catatan: 1. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga teicakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Siapa pun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya, karena hanya melalui bahasa seseorang bias berpartisipasi dalam dan mengalami sendiri sebuah budaya. Pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan sebuah budaya adalah pertanda terjadinya perubahan yang laur biasa, dan mungkin dislokasi dan kehancuran budaya, meskipun perasaaan identitas budaya bisa berarti tingkatan atidunal baik sadar maupun tidak. 2. Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak dari perannya sebagai20

bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilainilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi

berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Hal ini bukan berarti bahwa pengguna bahasa tertentu dipaksa untuk hanya mengenali kategori-kategori yang disandikan dalam bahasa ibunya. Pembatasan seperti ini setidaknya bisa ditanggulangi dengan pengalaman silang-budaya dan silangbahasa, seperti penggunaan bahasa matematika dan bahasa ilmiah yang menyediakan kategorikategori yang berlainan dari yang dihadapi dalam etnokultur dan bahasa ibunya. 3. Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani ultra-ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Pergerakan bahasa dan konflik bahasa mempergunakan bahasa sebagai simbol untuk menggerakkan rakyat untuk membela (atau menyerang) dan untuk mengangkat (atau menolak) buaday yang dikaitkan dengan mereka.

21

4. Aksara (huruf, tulisan) adalah sistem tanda-tanda gratis yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi, dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara dengan demikian lebih tidak arbitrer dibandingkan dengan bahasa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang secara ajektif berarti kekal, tetapi pada umumnya diartikan sebagai kata, suku kata dan huruf. 5. Pengertian Naskah dan teks dalam ilmu filologi memang berbeda, sehingga kita dapat memberikan penjelasan yang berbeda pula. Seperti dalam penggunaan sehari -hari sering istilah teks disamakan dengan istilah naskah, contohnya; teks pidato atau naskah pidato ? dan sebagainya. Pengertian teks dalam filologi adalah menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang kongkret. Oleh karena itu pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian teks adalah kandungan ceritanya, sedangkan naskah adalah media pengungkapan dari ide, gagasan, yang masih bersifat abstrak dari cerita yang bersangkutan.

22

Daftar Pustaka

Crystal, D. 2000. Language Death. Cambridge : Cambridge University Press. Dittmar, Norbert. 2001. Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application. London: Edward Arnold Publisher Fishman, J. A. 1991. Reversing language Shift: Theory and Practice of Assistance to Threatened Languages. Clevedon : Multilingual Matters. Fishman, J. A. (ed.) 2000. Can Threatened Languages Be Saved? Reversing Language Shift, Revisited: A 21st Century Perspective. Clevedon : Multilingual Matters. Grenoble, L. A. and Whaley, L. J. 1998. Endangered Languages: Language Loss and Community Response. Cambridge University Press. Modrak, Deborah K.W. 2001. Aristotle: Theory of Language and Meaning. Cambridge: Cambridge University Press Nettle, D. and Romaine, S. 2000. Vanishing Voices. Oxford University Press. Reyhner, J. (ed.) 1999. Revitalizing Indigenous Languages. Flagstaff, AZ : Northern Arizona University, Center for Excellence in Education. Verdoodt, Albert F. 1997. The Demography of Language in Florian Coulmas (Ed.) The Handbook of Socilinguistics. Oxford: Blackwell Publishers, Inc. Wales, Katie. 2001. A Dictionary of Stylistics. Harlow: Pearson Education Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

23

24