epidurolysis: new alternative treatment of low back pain
TRANSCRIPT
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 80 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Epidurolysis: New Alternative Treatment of Low Back
Pain in Herniated Nucleus Pulposus
Dr. dr. Imam Hidayat, M. Kes, Sp. BS
Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery,
Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University,
Banda Aceh, Indonesia
Abstract
Low back and/or radiating leg pain from herniated nucleus pulposus is a common medical
and social condition. In herniated nucleus pulposus, an intervertebral disc annular is torn
and disc material leaks into the epidural space. This process leads to inflammation, which
are frequently followed by fibrosis, adhesion, and spinal nerve compression. Epidurolysis is a
minimally invasive therapy in which a catheter is advanced directly into a lesion, such as
herniated disc, scar tissue, and the stenosis portion of the spinal canal. Epidurolysis as Racz
neurolysis, percutaneous lysis of epidural adhesions, epidural neurolysis, and epidural
decompressive neuroplasty. The injection of hyaluronidase, local anesthetic, steroid and 10
% hypertonic saline infusion in this procedure may be effective in pain reduction and
functional improvements in patients with chronic low back pain due to fibrotic tissue
formation resulting from herniated nucleus pulposus. Epidurolysis is a safe and effective
procedure for low back pain due to herniated nucleus pulposus and it may be considered as
an option for treatment before invasive operations are performed.
Keywords: Epidurolysis, low back pain, herniated nucleus pulposus.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 81 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Pendahuluan
Nyeri punggung bawah atau low back pain (LBP) yang diakibatkan oleh herniated nucleus
pulposus (HNP) merupakan permasalahan sosial dan medis yang umum terjadi.1 Pada HNP,
anulus diskus intervertebralis mengalami robekan dan material yang dikandungnya masuk ke
celah epidural. Proses tersebut akan menyebabkan inflamasi, yang selanjutnya akan diikuti
dengan terbentuknya jaringan fibrotik, adesi, dan kompresi saraf spinalis. Akibatnya, LBP
yang disebabkan oleh HNP akan terjadi.1,2
Secara umum, terdapat berbagai terapi konservatif
untuk mengatasi LBP, diantaranya dengan terapi fisik, penggunaan analgetik, dan
epidurolysis.1,3
Laporan pertama prosedur epidurolysis dilakukan oleh Racz dan Holubec pada tahun
1989. Berdasarkan hasil survei pada 72 pasien dari 200 pasien yang dilakukan epidurolysis
menggunakan bupivacaine, sekitar 72,2% pasien dilaporkan mengalami peneyembuhan nyeri
setelah tindakan, 37,5% megalami penyembuhan < 1 bulan, 30% mengalami penyembuhan
1 sampai 3 bulan, dan 12,5% mengalami penyembuhan dalam 3 sampai 6 bulan. Arthur,
Racz, Heinrich, dkk mealakukan studi retrospektif lainnya menggunakan teknik yang sama,
kecuali hanya 50 dari 100 pasien diberikan hyaluronidase. Pada kelompok pasien yang
diberikan hyaluronidase, 81,6% pasien mengalami penyembuhan nyeri yang persisten,
sedangkan pada kelompok pasien tanpa hyaluronidase, 68% pasien mengalami derajat dan
durasi penyembuhan nyeri yang bervariasi, dan 15% mengalami penyembuhan nyeri yang
persisten.3,4
Epidurolysis telah terbukti efektif dalam mengatasi nyeri kronis. Prinsip kerja
utamanya adalah membebaskan kompresi saraf dan menghancurkan jaringan fibrotik dengan
menggunakan hyaluronidase dan cairan hipertonis, kortikosteroid spesifik untuk mengurangi
edema dan anestesi lokal untuk mengurangi rasa nyeri. Prosedur epidurolysis akan
mengurangi nyeri dan gejala neurologis tanpa biaya yang terlalu mahal dan waktu
penyebuhan yang lebih singkat dibandingkan dengan tindakan operatif lainnya. Ditinjau
berdasarkan evidence based medicine (EBM), epidurolysis memiliki bukti yang kuat menurut
American Society of Interventional Pain Physician evidence-based guidelines.3,5
Patofisiologi Fibrosis Epidural
Low Back Pain dapat terjadi akibat stimulasi berbagai jaringan, namun jaringan yang
paling umum menyebabkan LBP adalah lapisan luar annulus fibrosis dan ligamen
longitudinal posterior. Terdapat beberapa etiologi yang mungkin dapat menyebabkan fibrosis
epidural, diantaranya trauma akibat pembedahan, robekan anulus, infeksi, hematoma atau
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 82 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
penyuntikan bahan kontras intrathecal. Pada HNP terjadi proses fibrosis periradikular dan
abnormalitas pembuluh darah. Efek iritasi nucleus pulposus terhadap dural sac adalah akan
menekan secara langsung cabang saraf yang berada di dekatnya dan dapat menyebabkan
adesi. Jaringan fibrotik bukan suatu pencetus rasa nyeri, akan tetapi pasien akan merasakan
nyeri bila cabang saraf tertekan oleh jaringan fibrotik tersebut. 3,4,5
Diagnosa Fibrosis Epidural
Anamnesa, pemeriksaan muskuloskeletal dan pemeriksaan neurologi merupakan
serangkain alur dalam mendiagnosa LBP dengan/tanpa radikulopati. Sebagai tambahan, tes
spesifik berupa tension provocative tests atau yang dikenal dengan ―dural tug‖ merupakan
salah satu komponen pemeriksaan yang wajib dinilai. Untuk melakukan tes ini, pasien
diinstruksikan untuk duduk dan kaki diluruskan kedepan, selanjutnya tubuh difleksikan ke
arah depan hingga LBP dirasakan. Selama melakukan manuver ini, dura akan mengalami
relaksasi dan jaringan sekitarnya seperti ligamen longitudinal posterior akan mengenai dura
sehingga akan menimbulkan nyeri. Manuver dural tug yang positif setelah diobservasi akan
mengalami perbaikan pasca tindakan epidurolysis.3,7
MRI dan CT scan juga merupakan modalitas diagnostik lainnya dengan nilai
sensitifitas 50% dan spesifisitas 70%. Epidurography merupakan gold standard untuk
diagnostik fibrosis epidural. Pemeriksaan tersebut dapat mendeteksi epidural filling defects
yang berhubungan langsung dengan gejala pasien pada waktu yang bersamaan. Kombinasi
berbagai modalitas diagnostik akan meningkatkan kemampuan pemeriksa dalam
mengidentifikasi dan melokalisasi fibrosis epidural.4,8
Kontraindikasi Epidurolysis
Kontraindikasi absolut untuk melakukan epidurolysis berupa: sepsis, infeksi kronis,
koagulopati, infeksi lokal pada daerah yang akan dilakukan tindakan, atau pasien yang
menolak tindakan medis. Kontraindikasi relatif dilakukannya prosedur epidurolysis adalah
araknoiditis. Pada araknoiditis, jaringan medula spinalis akan mengalami perlengketan satu
sama lain, sehingga akan meningkatkan kemungkinan penumpukan bahan kontras atau obat.
Selain itu, araknoiditis juga meningkatkan penyebaran obat ke subdura dan celah subaraknoid
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi. Jika menemukan pasien dengan
kondisi tersebut, praktisi yang belum memiliki pengalaman harus merujuk pasien ke praktisi
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 83 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
yang memiliki pengalaman dan keterampilan lebih baik dalam melakukan prosedur
epidurolysis.3,4
Gambar 1. Manuver “dural tug” (Sumber: Racz et all,2016)
Persiapan Pasien
Sebelum melakukan prosedur epidurolysis, kemungkinan resiko dan keuntungan
prosedur harus dijelaskan kepada pasien serta dibuatkan persetujuan tindakan medis
(informed consent). Keuntungan prosedur ini adalah, menghilangkan nyeri, memperbaiki
fungsi fisik, dan menghilangkan gejala neurologis. Adapun resiko yang mungkin terjadi
berupa memar, perdarahan, infeksi, reaksi terhadap obat (hyalusonidase, ansetesi lokal,
kortikosteroid, cairan hipertonis), kerusakan saraf dan pembuluh darah, tidak adanya atau
sedikit perbaikan nyeri, inkontinensia saluran kemih atau pencernaan, perburukan nyeri, sakit
kepala pasca prosedur, kejang dan paralisis. Pasien yang memiliki riwayat retensi urin atau
inkontinensia harus dievaluasi urodinamik oleh urologis sebelum dilakukakannya prosedur
untuk mengetahui etiologi dan patologi urodinamiknya.3,7
Pemeriksaan Laboratorium Perioperatif
Pemeriksaan darah lengkap dan urin dibutuhkan sebelum melakukan tindakan untuk
skrining infeksi yang tidak terdiagnosa. Prosedur epidurolysis harus ditunda jika terdapat
peningkatan leukosit dan/atau urinalisis positif untuk selanjutnya dapat dievaluasi dan diobati
terebih dahulu. Pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan adalah prothrombin time, partial
thromboplastin time, bleeding time dan platelet function assay perlu dilakukan untuk menilai
abnormalitas koagulasi.3,8
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 84 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Protokol Penghentian Antikoagulan
Pasien yang sedang mendapat pengobatan antikoagulan beresiko mengalami
hematoma dari prosedur spinal. Obat-obatan tersebut merupakan kontraindikasi absolut
ketika melakukan prosedur dalam aksis neural dan kontraindikasi relatif ketika melakukan
prosedur diluar aksis neural. Berikut adalah waktu penghentian antikoagulan yang disarankan
sebelum tindakan Eidurolysis:
- Penghentian selama 14 hari: Ticlopidine
- Penghentian selama 7 hari: Aspirin dan obat-obatan yang mengandung aspirin,
Clopidogrel (Plavix), Dipyridamol
- Penghentian selama 5 hari: Warfarin, non steroidal anti inflammatory medication
(NSAID)
- Penghentian selama 24 sampai 48 jam: Fondaparinux (Arixtra)
- Penghentian selama 12 sampai 24 jam: Enoxaparin (Lovenox)
- Penghentian selama 4 jam: Heparin.8
Frekuensi Injeksi
Sampai saat ini, belum terdapat standar umum mengenai frekuensi atau jumlah
maksimal injeksi kortikosteroid spinal. Rekomendasi yang dapat digunakan adalah:
- Facet joint: 2 kali injeksi, selang waktu 2-3 minggu. Dapat diulang dalam 2 sampai
3 bulan bila terdapat penyembuhan lebih dari 50%. Maksimal 3 sampai 4 kali injeksi
per tahun
- Sacroiliac joint: 3 sampai 4 kali injeksi per tahun
- Epidural injeksi: 3 kali injeksi dalam periode 6 bulan atau 4 kali injeksi dalm 1 tahun,
dengan slang waktu minimal 2 minggu setiap kali penyuntikan.8
Prosedur Epidurolysis Caudal Approach
Sebelum dilakukan prosedur, pasien ditempatkan pada posisi pronasi dengan
menempatkan bantal di bawah perut untuk mengoreksi lordosis lumbal dan meletakkan
bantal pada pergelangan kaki untuk membuat pasien nyaman. Pasien diminta untuk
melakukan rotasi internal ekstremitas bawah dengan mempertemukan kedua ujung kaki dan
tumit saling yang saling berjauhan. Manuver tersebut menyebabkan relaksasi otot gluteal dan
untuk mempermudah untuk identifikasi sacral hiatus. Setelah dilakukan desinfeksi dan
pembatasan daerah tindakan (draping), sacral hiatus diidentifikasi dengan melakukan palpasi
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 85 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
pada kornu sakralasi bagian kaudal atau dengan menggunakan floroskopi. Selanjutnya RX
Coudé epidural needle ukuran 15 atau 16 G dimasukkan membentuk sudut 45° dengan
arahan floroskopi atau palpasi sacral hiatus.4,8
(a) (b)
Gambar 2. Proses caudal lysis – (a) identifikasi sacral hiatus, (b) menggulirkan ujung jari
telunjuk untuk mengidentifikasi kornu sakralis untuk selanjutnya menemukan
sacral hiatus.(Sumber: Racz et all 2016)
Setelah jarum dimasukkan ke sacral hiatus, sudut jarum diturunkan menjadi 30° dan
dimasukkan terus hingga celah epidura sakralis. Keuntangan menggunakan jarum RX Caude
dibandingkan jarum lainnya adalah bagian ujungnya yang membentuk sudut yang
mempermudah dalam memasukkan kateter serta bagian ujung yang tidak terlalu tajam. Selain
itu, bagian belakang jarum ini memiliki permukaan noncutting yang mempermudah
manipulasi kateter untuk keluar dan masuk. Bagian bagian belakang jarum yang memiliki
permukaan cutting seperti Touhy needle akan lebih mudah merusak kateter. Jarum
dimasukkan hingga kanalis kaudal dibawah foramen S3 dengan proyeksi floroskopi
anteroposterior (AP) dan lateral. Jarum yang masuk diatas foramen S3 berpotensi menembus
lapisan dura bagian bawah. Jarum harus dipastikan melewati garis tengah sakrum menuju
tempat radikulopati.3,7
Setelah jarum berada pada tempatnya, dilakukan epidurogram dengan menggunakan
10 mL bahan kontras yang larut dalam air dan non-ionic khusus untuk myelogram. Bahan
kontras yang sering digunakan untuk myelography adalah Omnipaque 240 dan Isovue 300.
Aspirasi darah atau cairan serebrospinal (CSS) harus dipastikan negatif sebelum kontras
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 86 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
dimasukkan. Epidurogram yang normal akan membentuk gambaran ―Christmas tree‖ dimana
kontras akan mengisi kanalis sentralis berbentuk seperti pohon dan saraf kranilasi akan
membentuk cabangnya. Epidurogram yang abnormal akan memberikan gambaran kegagalan
pengisian atau pengisian kontras yang asimetris (filling defect). Adanya filling defect
menandakan adanya jaringkan fibrotik atau skar yang menjadi nyeri radikular.3,7
Gambar 3. Epidurogram menggunakan Omnipaque 300 (10 mL) di daerah S3 dan filling defect
pada S2, S1, dan L5 kanan. (Sumber: Racz et all 2016)
Setelah jarum dirotasi kearah ventral lateral, masukkan kateter TunL Kath atau TunL-
XL (Epimed Racz catheter) yang memiliki lengkungan pada bagian distalnya. Lengkungan
harus berjarak 2,5 cm dari ujung distal kateter dan membentuk sudut 30°. Lengkungan
tersebut berguna untuk mengarahkan kateter menuju daerah target.
(a) (b) (c)
Gambar 4. Insersi jarum dan kateter – (a) jarum dimasukkan ke sacral canal melalui sacral
hiatus tidak melewati batas S3 dan merotasi jarum kearah ventral lateral,
(b) mempersiapkan epimed Racz catheter dengan sudut yang tepat, atau
menggunakan ibu jari sebagai referensi sudut 15°, (c) memasukkan kateter dengan
panduan floroskopi menuju daerah target. (Sumber: Racz et all 2016)
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 87 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Dengan menggunakan floroskopi proyeksi AP, amati ujung kateter masuk yang ke
ventrolateral epidural space. Kateter dapat diarahkan dengan cara memutar searah atau
berlawanan arah jarum jam. Jangan mendorong kateter secara langsung karena akan
mempersulit kateter untuk masuk. Lokasi ideal ujung kateter pada proyeksi floroskopi AP
adalah berada tepat dibawah pedikel dan dilakukan evaluasi dengan proyeksi floroskopi
lateral untuk memastikan ujung kateter berada pada ventral epidural space.3,7
(a) (b)
Gambar 5. Posisi kateter – (a) kateter dimasukkan ke ventrolateral epidural space, (b) kateter
(24xL) berada pada neural foramen L5. (Sumber: Racz et all 2016)
Setelah kateter berada pada lokasi yang tepat, lakukan injeksi 1500 U hyaluronidase
sebanyak 10 mL. Jenis hyaluronidase yang sering digunakan adalah Hyalnex atau human-
recombinant hyaluronidase. Suntikan ini menimbulkan rasa tidak nyaman, sehingga harus
diinjeksi dengan pelan. Selanjutnya, dimasukkan 3 mL dosis percobaan dari 10 mL anestesi
lokal/steroid (LA/S). Obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah ropivacaine dan
bupivacaine serta terdapat berbagai pilihan steroid diantaranya 40 – 80 mg
methylprednisolone (Depo-Medrol), 25 – 50 mg triamcinolone diacetate (Aristocort), 40 – 80
mg triamcinolone acetonide (Kenalog) dan 6 – 12 mg betamethasone (celestone Soluspan).
Lima menit seteleh dosis percobaan, apabila tidak ada tanda obat masuk ke intratechal atau
intravascular, sisa 7 mL obat LA/S diinjeksikan.3,8,9
Selanjutnya jarum dilepaskan dengan panduan floroskopi untuk memastikan kateter
tetap berada pada tempatnya. Lakukan fiksasi kateter menggunakan benang yang tidak
diserab (non-absorbable suture) dan mengoleskan antibiotik topikal pada daerah insersi serta
ditutup dengan kasa steril.3
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 88 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
(a) (b)
Gambar 6. Gambaran floroskopi injeksi kontras dan hyaluronidase – (a) injeksi kontras dan
hyaluronidase membebaskan jaringan fibrotik bilateral, gambaran Christmas tree
terlihat jelas, (b) kateter dimasukkan pada daerah simtomatik ventrolateral
epidural space L5 kanan. Injeksi kontras dilanjutkan dengan 10 mL hyaluronidase
1500 U membebaskan neuronal foramina L3-5, S1, S2 dan S3 bilateral. (Sumber:
Racz et. All, 2016)
Setelah dilakukan injeksi LA/S, kita harus menunggu 20 hingga 30 menit sebelum
pemberian infus cairan hipertonis (10%). Tujuannya adalah untuk memastikan tidak terjadi
subdural block oleh karena injeksi LA/S. subdural block hampir serupa dengan subarachnoid
block, hanya saja subdural block terjadi lebih lama, biasanya 16-18 menit. Terjadinya
subdural block atau subarachnoid block ditandai dengan adanya motoric block. Apabila
muncul tanda subdural block atau subarachnoid block saat melakukan prosedur, kateter harus
dilepas dan adesiolysis dibatalkan. Jika setelah 20 – 30 menit tidak ada tanda blok yang
terjadi, 10 mL cairan hipertonis dapat diberikan. Jika pasien mengeluh tidak nyaman atau
nyeri dengan pemberian infus cairan hipertonis, infus dihentikan terlebih dahulu dan
diberikan injeksi ropivacaine 0,2% sebanyak 1 – 3 mL untuk analgetik dan prosedur kembali
dilanjutkan. Selain ropivacaine , fentanyl 50 – 75 mg juga dapat diberikan sebagai analgetik.
Setelah infus cairan hipertonis selesai, kateter dibilas menggunakan 2 mL cairan normal
saline dan ditutup. 3,4,8
Setelah dilakukan observasi selama 24 jam, berikan infus cairan hipertonis kedua dan
ketiga pada hari berikutnya. Pada hari kedua pasca insersi kateter, diberikan tambahan 10 mL
ropivacaine 0,2% tanpa steroid dan infus 10 mL cairan hipertonis (10%) dengan cara yang
sama seperti prosedur awal. Setelah pemberian infus ketiga, kateter dapat dilepaskan. Pasien
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 89 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
dapat keluar dari rumah sakit pada hari kelima dan diberikan antibiotik oral cephalexin 2 x
500 mg atau levofloxacin 1 x 500 mg untuk pasien yang alergi dengan penisilin. Pasien dapat
kontrol untuk rawat jalan 30 hari berikutnya.3,11,12
Prosedur Epidurolysis Transforaminal Catheter
Pasien dengan radikulopati pada tingkatan lebih tinggi dan tidak dapat diakses dengan
prosedur epidurolysis caudal approach, maka dibutuhkan prosedur lainnya untuk
memasukkan kateter ke neural foramen. Kateter kedua dimasukkan ke ventral epidural space
dengan prosedur epidurolysis transforaminal sesuai daerah yang terlibat.3,8
Daerah target diidentifikasi dengan floroskopi proyeksi anteroposterior. Floroskopi
akan memberikan visualisasi superior anterior process (SAP) yang membentuk bagian
inferoposterior formane target. Gambaran SAP harus superimposed dengan gambaran celah
diskus pada proyeksi oblique. Bagian ujung superior SAP adalah target untuk memasukkan
jarum. Insersi RX Coudé needle ukuran 15 atau 16 G menuju ujung SAP menggunakan gun-
barrel technique. Selanjutnya ujung jarum dirotasi ke arah lateral 180° dan dimasukkan lagi ±
5 mm. Kemudian putar kembali jarum ke arah medial 180°. Ujung RX Coudé needle
memiliki ujung yang tidak terlalu tajam sehingga mengurangi cedera saraf. 3,4,8
(a) (b) (c)
Gambar 7. Insersi jarum tansforaminal – (a) target insersi RX Coudé needle: superior anterior
process, (b) rotasi lateral 180°, (c) rotasi medial 180°. (Sumber: Racz et. all, 2016)
Jarum dimasukkan secara perlahan hingga dirasakan menembus intertransvese
ligament. Floroskopi proyeksi lateral perlu dilakukan untuk memastikan jarum telah masuk
foramen posterior SAP. Setelah berada pada tempat yang tepat, kateter dimasukkan secara
perlahan menuju foramen. Selanjutnya lakukan konfirmasi apakah kateter sudah berada di
SAP menggunakan floroskopi proyeksi lateral. Secara anatomis, kateter berada pada foramen
superior atau bagian bawah saraf spinalis. Jika kateter tidak dapat masuk, biasanya
mengindikasikan bahwa jarum masuk terlalu ke arah posterior atau terlalu ke arah lateral dari
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 90 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
foramen. Kondisi tersebut juga menandakan bahwa foramen terlalu sempit (stenosis) untuk
dilalui kateter.3,4,5
(a) (b) (c)
Gambar 8. Insersi kateter transforaminal – (a) bagian ujung kateter memiliki kelengkungan
15°, (b) kateter dimasukkan menembus intertranverse ligament dan diarahkan ke
ventral lateral epidural space, (c) Gambaran floroskopi transforaminal 15 G RX-
Coudé 2 catheter pada sisi kiri L3-4. (Sumber: Racz et. all, 2016)
Lakukan myelogram dengan injeksi 1 – 2 mL kontras. Saat menggunakan kombinasi
caudal dan transforaminal catheter, 1500 U dosis hyaluronidase harus terbagi secara
seimbang pada kedua kateter (5 mL hyaluronidase pada masing-masing kateter). Obat lokal
anestesi dan steroid (LA/S) juga harus dibagi dua, tetapi volumenya menjadi 15 mL (1 mL
steroid dan 14 mL ropivacaine 0,2 %; dari total volume, 5 mL dimasukkan pada kateter
transforaminal dan 10 mL pada kateter caudal). Lepaskan jarum dengan panduan floroskopi
untuk memastikan ujung kateter tidak berpindah dari posisi awal. Lakukan fiksasi kateter
seperti melakukan fiksasi pada kateter caudal. Infus cairan hipertonis diberikan sebanyak 4-5
mL pada kateter transforaminal dan 8-10 mL pada kateter caudal selama 30 menit. Volume
infus cairan hipertonis harus kurang atau sama dengan volume anestesi lokal untuk mencegah
nyeri akibat cairan hipertonis keluar dari daerah anestesi. Lakukan evaluasi posisi kateter
dengan floroskopi sebelum memberikan infus kedua dan ketiga.3,13,14
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 91 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Tabel 1. Volume bahan kontras, hyaluronidase, anestesi lokal/steroid dan cairan
hipertonis 10% pada prosedur percutaneous epidural adhesiolysis
Prosedur Kontras Hyaluronidase Anestesi lokal
dan steroid
Infus cairan
hipertonis 10%
Caudal 10 mL 10 mL 10 mL 10 mL
Caudal and
Transforaminal
5 mL pada
masing-masing
kateter
5 mL pada masing-
masing kateter
5 mL pada
masing-masing
kateter
8 mL pada caudal
catheter
4 mL pada
transforaminal
catheter
Sumber: Razc.et all,20160
Kesimpulan
Epidurolysis telah terbukti sebagai terapi yang aman dan efektif untuk pasien Low Back Pain
(LBP) pada Herniated Nucleus Pulposus (HNP), dan Failed Back Surgery Syndrome
(FBSS). Tindakan ini harus dilakukan oleh yang berkompeten dan terlatih. Untuk melakukan
epidurolysis dibutuhkan kateter khusus dan spesifik untuk pencapaian ke target organ. Studi
prospektif menunjukkan epidurolysis memberikan hasil yang baik dan efektif untuk
mengatasi nyeri dan dapat efesien dari segi biaya.
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 92 Banda Aceh 16 – 17 September 2017
Daftar Pustaka
1. Moon SH, Park JY, Cho S-S, Cho H-S, Lee J-Y, Kim YJ, et al. Comparative
effectiveness of percutaneous epidural adhesiolysis for different sacrum types in
patients with chronic pain due to lumbar disc herniation: A propensity score matching
analysis. Medicine. 2016;95(37).
2. Peng B, Fu X, Pang X, Li D, Liu W, Gao C, et al. Prospective clinical study on natural
history of discogenic low back pain at 4 years of follow-up. Pain physician.
2012;15(6):525-32.
3. Racz GB, Heavner JE, Carl E. Noe , Al-Kaisy A, Tomikichi Matsumoto , Lee SC, et al.
Epidural Lysis of Adhesions and Percutaneous Neuroplasty. In: Racz GB, Noe CE,
editors. Techniques of Neurolysis. Switzerland: Springer; 2016. p. 119-41.
4. Racz GB, Heavner JE, Trescot A. Percutaneous lysis of epidural adhesions—evidence
for safety and efficacy. Pain Practice. 2008;8(4):277-86.
5. Imani F, Rahimzadeh P. Interventional pain management according to evidence-based
medicine. Anesthesiology and pain medicine. 2012;1(4):235.
6. Taheri A, Khajenasiri AR, Yazdi NAN, Safari S, Sadeghi J, Hatami M. Clinical
Evaluation of Percutaneous Caudal Epidural Adhesiolysis With the Racz Technique for
Low Back Pain Due to Contained Disc Herniation. Anesthesiology and pain medicine.
2016;6(3).
7. Raj PP. Intervertebral Disc: Anatomy‐Physiology‐Pathophysiology‐Treatment. Pain
Practice. 2008;8(1):18-44.
8. Anupam Sinha, Procedure Protocols, Pocket Handbook of Spinal Injections, CHAPTER
5, 2014;10(8):50-71.
9 Iversen T, Solberg TK, Romner B, Wilsgaard T, Twisk J, Anke A, et al. Effect of
caudal epidural steroid or saline injection in chronic lumbar radiculopathy: multicentre,
blinded, randomised controlled trial. Bmj. 2011;343:d5278.
10. Sakai T, Aoki H, Hojo M, Takada M, Murata H, Sumikawa K. Adhesiolysis and
targeted steroid/local anesthetic injection during epiduroscopy alleviates pain and
reduces sensory nerve dysfunction in patients with chronic sciatica. Journal of
anesthesia. 2008;22(3):242-7.
11. Veihelmann A, Al Muderis M, Gollwitzer H. Percutaneous epidural lysis of adhesions
in chronic lumbar radicular pain: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.
Pain physician. 2013;16:185-96.
12. Manchikanti L, Cash KA, McManus CD, Pampati V. Assessment of effectiveness of
percutaneous adhesiolysis in managing chronic low back pain secondary to lumbar
central spinal canal stenosis. International journal of medical sciences. 2013;10(1):50.
13. Koh WU, Choi SS, Park SY, Joo EY, Kim SH, Lee JD, et al. Transforaminal hypertonic
saline for the treatment of lumbar lateral canal stenosis: a double-blinded, randomized,
active-control trial. Pain Physician. 2013;16(3):197-211.
14. Susan RA, Gabor BR, James H, Evolution of Epidural Lysis of Adhesions, Pain
Physician Association of Pain Management Anesthesiologists, 3(3): Number 3,
2000;262-270.