ensefalopati tifoid gemi.doc
TRANSCRIPT
REFARAT
ENSEFALOPATI TIFOID
DISUSUN OLEH :
GEMEINIAL
0761050129
PEMBIMBING :
IDA BAGUS EKA UTAMA,dr., Sp.A
EPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 27 – MAI – 2013 -20-JULI-2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
Demam typhoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella
typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah
kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob fakultatif
yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H
yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta
komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.
Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis
terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat
menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya
dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut.
Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan,
gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang
lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi
sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing – masing
daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya seringkali negatif
dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi pengobatan. Beberapa
serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan pemeriksaan
Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan spesifisitas
100%. Encepalopati merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa:
kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaan cairan otak mash
dalam batas-batas normal.Bila disertai kejang maka biasanya prognosa jelak dan bila sembuh
sering diikuti oleh gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.
Tatalaksana demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : Istirahat
dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Pemberian antimikroba diharapkan dapat menurunkan lama sakit dan kematian.
Klorampenikol, ampisilin, amoksisilin dan kotrimoksasol merupakan obat konvensional yang di
Page 2
beberapa negara melaporkan kurang efektif sehubung dengan munculnya strain MDR.
Flurokuinolon, sefalosporin dan seftriakson merupakan pilihan lini kedua. Selain itu diperlukan
pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun
ekstraintestinal.
Page 3
BAB II
PEMBAHASAN
II.2 Epidemiologi
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta
lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan
kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi,bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku
kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian
komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia
(12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).
II. 3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa yang merupakan kuman gram negatif ,
motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia
maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70ºC maupun oleh antiseptik.
Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu:
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesik grup.
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan
bersifat spesifik spesies.
Page 4
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi
seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat prosses aglutinasi antigen O
oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositpsis. Antigen Vi
berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella typhosa
menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari
antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid. Ketiga antigen diatas
didalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Protein membran hialin
Merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak diluar membran sitoplasma
dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan linkungan sekitar. Berfungsi
sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dalam membran
sitoplasma, dan juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan
bakteriosin.Sebagian besar terdiri dari protein yang berperan dalam patogenesis
demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
pejamu.
II.5 Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikum kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
Page 5
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang
sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
II.6 Gejala klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada anak. Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari, ( rata-rata 3-60 hari ). Masa
inkubasi mempunyai kolerasi dengan jumlah kuman yang tertelan, keadaan umum, status gizi,
serta status imunologi penderita.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam ( 38ºC-40ºC ), nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi, dan tampak sakit sedang. Demam bersifat remiten yang turun pada pagi hari dan
meningkat pada sore dan malam hari.
Page 6
Pada minggu kedua demam tinggi berlangsung terus-menerus, keadaan umum penderita
makin menurun, apatis, bingung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah yang kotor ditutupi
selaput kecoklatan kotor dibagian belakang tampak lebih pucat, di ujung tepi lebih kemerahan
dan kehilangan nafsu makan dan minum. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri yang merata
diseluruh kuadran bawah, dan distensi abdomen. Roseola sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua, yang merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola merupakan
emboli kuman di mana di dalamnya mengandung kuman Salmonella typhosa, terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di pantat maupun bagian flexor dari lengan
atas. Hati dan limpa umumnya membesar dan serig dijumpai pada akhir minggu pertama.
Page 7
METODE DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan
sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik
yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau
perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.
typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di
daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit
kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus.
Secara garis besar gejala klinis yang biasa ditemukan dapat dikelompokkan menjadi
1. Demam Page 8
Berlangsung 1 minggu atau lebih, selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore atau malam hari
(demam remitten). Dalam minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun, normal kembali pada akhir minggu ketiga. Jika
pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-
3 hari, yaitu mencapai 39,4-40 derajat celsius selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara
bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu keempat.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun yaitu apatis, sampai somnolen. Jarang terjadi
sampai sopor, koma atau gelisah.
Disamping gejala – gejala yang biasa ditemukan seperti konstipasi (sulit BAB), diare, mual,
muntah dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah ”kotor” (lidah tifoid, putih
kecoklatan di tengah), mungkin pula ditemukan gejala – gejala ini. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik–bintik kemerahan karena emboli basil
dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan dalam minggu pertama demam.
Page 9
RELAPS (KAMBUH)
Yaitu keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal kembali.
Relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ – organ yang tidak dapat
dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu
Page 10
penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan – jaringan
fibroblast.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif, kadang – kadang
dapat juga terjadi leukositosis, neutropeni, limfositosis, aneosinofilia, dengan atau tanpa
penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan perdarahan
saluran cerna, dengan hematokrit, trombosit dalam rentangan normal atau dapat terjadi
trombositopenia. Laju endap darah juga dapat meningkat. Dari pemeriksaan kimia darah
ditemukan peningkatan SGOT/SGPT.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji
widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-
7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam typhoid bila hasilnya
positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan typhoid,
karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi.
Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis
klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible Case
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna,
gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap.
Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case
Page 11
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran
laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali
pemeriksaan).
3. Definite Case
Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada
pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7
hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali).
KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian:
Komplikasi pada usus halus
Komplikasi diluar usus halus
Komplikasi pada usus halus:
Perdarahan usus
Perforasi usus
Peritonitis
Komplikasi diluar usus halus:
Bronkitis
Bronkopneumonia
Ensefalopati
Kolesistitis
Meningitis
Miokarditis
Kronik karier
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian,
yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu
puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%.
Page 12
Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun
sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya
secara jangka panjang dan menetap.
Ensefalopati :
Definisi
Merupakan suatu kondisi disfinfsi otak yang global yang menyebabkan terjadinya perubahan
kesadaran,perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun
diluar otak.kondisi ini mempengaruhi fungsi ASCENDING RETICULAR ACTIVATING
SISTEM. Dan atau mengganggu proyeksinya di kortek serebri sehingga terjadi gangguan
kesadaran dan atau kejang.Mekanisme terjadinya disfungsi otak ini multifaktor,termasuk
perubahan aliran darah dan gangguan fungsi neurotransmiter diikuti gagalnya energi
metabolisme dan depolarisasi selular.
Manifestasi klinik :
Pasien dengan ensefalopati metabolik tergantung penyebabnya,usia dan keadaan neural
( misalnya kapasitas untuk kompensasi pada suatu disfungsi),biasanya klinisnya mirip, berupa
penurunan kesadaran, kehilangan intelek progres (dementia), hypereksitasi seperti dementia
agitasi (dilirium) atau kejang (myoclonus general dan multifokal, kejang tonik-klonik).
Faktor resiko
Bila terdapat :
Penurunan kadar oksigen dalam darah.
Infeksi
Bedah mayor
Penyakit berat
Penggunaan zat-zat sedatif dan narkotik
Perdarahan saluran cerna
Diare atau muntah persisten yang menyebabkan penurunan kadar potasium
Ketidak seimbangan elektrolit
Page 13
PENATALAKSANAAN
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan
dirawat sebagai demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu :
Perawatan
Diet
Obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang
menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid
yang lain termasuk buang air lkecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak
ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama
penyakitnya berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita
tidak senang dengan diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan
keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan akan semakin lama.
Page 14
Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan
penderita dengan memperhatikan segi kualitas dan kuantitas ternyata dapat diberikan dengan
aman. Kualitas makanan disesuikan kebutuhan kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun
mineral serta diusahakan makanan yang rendah atau bebas selulose, menghindari makanan
iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran pemasukan makanan harus lebih
diperhatikan.
Pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan yang dapat menekan
turunnya berat badan selama perawatan, masa dirumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan
penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain
selama perawatan.
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum
adanya obat-obatan antimikroba, sejak adanya obat antimikroba terutama kloramfenikol maka
angka kematian menurun secara drastis.
Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Kotrimoksasol
- Ampisilin
- Amoksisilin
Kloramfenikol
Kloramfenikol digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena
sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat.
Page 15
Dilain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, Grey
sindrom, kolaps, tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.
Dosis yang dianjurkann ialah 50-100mg/kgBB/hari serta untuk neonatus sebaiknya
dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hr.
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfekol. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang,
sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral yang dianjurkan 50-
100mg/kgBB/hr.
Kotrimoksasol
Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol, penyerapan diusus cukup baik, kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan
kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash, sindrom Steven Johnson, agranulositosis,
trombositopenia, megaloblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi
G6PD. Dosis oral 30-40 mg/kgBB/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg BB/hari untuk
trimetroprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten dengan kloramfenikol. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan
demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier sert
kurang toksisitas.
Kelemahan dapat terjadi skin rash, dan diare. Amoksisilin mempunyai daya antibakteri
yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang
tercapai 2 kali lebih tinggi. Dosis yang dianjurkan ampisilin 100-200 mg/ kg BB/hari,
amoksisilin 100 mg/kgBB/hari
Page 16
PENCEGAHAN
Usaha pencegahan dapat dibagi atas:
- Usaha terhadap lingkungan hidup
- Usaha terhadap manusia
Usaha terhadap lingkungan hidup:
- Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
- Pembuangan kotoran manusia yanmg higienis
- Pembrantasan lalat
- Pengawasan terhadap penjual makanan
Usaha terhadap manusia:
- Imunisasi
- Menemukan dan mengobati karier
- Pendidikan kesehatan masyarakat
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada umur keadaan umum, gizi, derajat kekebalan penderita, cepat
dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada.
Page 17
DAFTAR PUSTAKA
1. Pawito, EU, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan, ed I,
Jakarta 2002
2.
Page 18