eksodus bani israil dari mesir ke palestina (menggali...
TRANSCRIPT
EKSODUS BANI ISRAIL DARI MESIR KE PALESTINA
(Menggali Ibrah dari Pembangkangan Bani Israil)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nurul Hikmah
1112034000189
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./ 2018 M.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah saya haturkan, yang setiap waktu selalu
melimpahkan nikmatnya yang tak terhingga. Salawat serta salam semoga
senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad saw. Tidak lupa, kepada para
sahabat, keluarga, ulama penerus yang berjasa besar menjaga kelestarian
sabdanya. Semoga Allah melimpahkan kasih sayangnya kepada kita semua.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, telah banyak
kekurangan dan kelemahan yang belum penulis ketahui sebelumnya. Penulis
menyampaikan terimakasih banyak atas perhatian dan dukungan dari beberapa
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga semua pihak baik
instansi maupun perorangan yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini
mendapatkan balasan dari Allah swt. Terkhusus penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
iii
5. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan masukan dan arahan sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
6. Jauhar Azizy, MA selaku dosen Pembimbing Akademik.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
semoga ilmu yang telah diberikan dapat penulis amalkan dan kelak
mendapat balasan terbaik dari sisi Allah swt.
8. Kepala dan staf Pusat Perpustakaan dan Perpustakaan Fakultas yang
telah banyak membantu penulis untuk memperoleh berbagai literatur
yang dibutuhkan selama penulisan skripsi.
9. Guru-guru yang mengajarkan saya mulai dari Langger sampe
sekolahan, dari madrasah sampai perguruan tinggi. Saya tidak bisa
memberi apa-apa kecuali bukti bahwa saya benar-benar ingin belajar
dan menjadi lebih baik. Aba Yusuf, Abah Rofiq, Pak Yanto, Abi Syam,
ummi‟ Durroh, ustadzah Malih, Om Bagus.
10. Kedua orang tua penulis, aba, H. Taufiq (alm) dan ummi, Halimatus
Sa‟diyah, saya persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Juga
kepada mbak Rifqotul Hasanah, kak Suhaili, adik-adikku Qurrotul
Uyun dan Arinal Haq Daroini yang selalu mendukung dan memberikan
semangat terus menerus kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat di beberapa komunitas: keluarga besar LTTQ
khususnya teman-teman senagkatan (Ina, Mae, Dewi, As‟ad, Kholil,
Sherly, Iis), Beastudi Indonesia dan Keluarga Besar Etos UIN Jakarta;
khususnya para pendamping (Kak Yogi, Kak Utih, Kak Imam, Kak zia,
iv
Kak Inay, Kak Helmi, Kak Fahri), temen-temen Ukhuwah; banyak
canda tawa dan pelajaran hidup yang sudah kita lewati bersama (Sihah,
Listatik, Icha, Anggun, Badru, Mahir, Lalu), Akasia, Skarpelos, 4G
LTE dan Akselerasi, PPSDM UIN Jakarta, Laboratorium Tafsir Hadis,
El-Bukhari Institut, Rumah Tahfidz Alif dan KAHFI BBC Motivator
School terimakasih telah memberikan ruang belajar disini. Serta teman-
teman TH Excellent; terimakasih telah menemaniku dari sejak pertama
masuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai akhir perkuliahan ini
dengan canda, tawa, kebersamaan yang tak pernah bisa terlupakan.
12. Ada banyak orang yang tidak bisa saya sebut satu-satu. Tapi saya
sangat berterimakasih kepada mereka atas semua yang mereka lakukan.
Saya berharap Allah membalas semua kebaikan mereka dengan balasan
yang sebaik-baiknya. Skripsi yang saya tulis sangat jauh dari sempurna, namun ini
sebagai momen yang baik kepada penulis untuk latihan menulis ilmiah. Bagi
siapapun yang menemukan kesalahan dan kekeliruan, mohon saran, kritik dan
masukannya. Semoga bermanfaat.
Ciputat, 25 April 2018
Penulis
v
ABSTRACT
EKSODUS BANI ISRAIL DARI MESIR KE PALESTINA
(Menggali Ibrah dari Pembangkangan Bani Israil)
NURUL HIKMAH
Eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina (Menggali Ibrah dari
Pembangkangan Bani Israil)
Eksodus merupakan perbuatan meninggalkan daerah (negara) tempat tinggal ke
luar negeri secara besar-besaran dalam jumlah. Arti yang lebih spesifik menurut
JS. Badudu eksodus merupakan perjalanan Bani Israil dari Mesir di bawah
bimbingan Nabi Musa.
Tidak ada penyebutan secara khusus terkait kata eksodus dalam al-Qur‟an. Dalam
QS. al-Dukhon [44]: 24 Allah memerintahkan Nabi Musa untuk membawa
kaumnya keluar dari Mesir menggunakan kata perintah (fi‟il „amar) asri berasal
dari kata sarâ yang mengandung makna melakukan perjalanan di malam hari.
Antara eksodus dan perjalanan merupakan dua maksud yang berbeda; eksodus
merupakan nama peristiwanya dan melakukan perjalanan adalah bentuk proses
peristiwa. Jadi, secara langsung tidak disebutkan kata eksodus atau peristiwa
eksodus dalam al-Qur‟an, yang ada adalah proses adanya eksodus tersebut. Proses
eksodus ini penulis sebut dengan melakukan perjalanan. Kata yang mengandung
makna melakukan perjalanan di dalam al-Qur‟an disebutkan dengan 5 kata selain
kata asri yang sudah disebutkan, yaitu siyâhah, hijrah, rihlah, al-sayr dan safar
dan sâra.
Peristiwa eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina merupakan salah satu kisah
yang dihadirkan dengan jumlah yang cukup banyak dalam al-Qur‟an. Dalam kisah
eksodus tersebut banyak peristiwa yang terjadi selama dalam perjalanan. Teguran,
hukuman dan ampunan secara berulang mereka dapatkan. Bani Israil juga dihukum
Allah menjadi kera serta dibuat kebingungan di padang pasir selama 40 tahun.
Untuk mengambil ibrah dari pembangkangan Bani Israil selama dalam perjalanan,
penulis mengambil 5 ayat sebagai bahan penelitian QS. al-Baqarah [2]: 51, 55, 57,
61, 65.
Peneliitian ini dilakukan dengan menggunakan metode maudhu‟i/ tematik dengan
maksud untuk mendapatkan hasil maksimal dan komplit dalam satu tema. Analisa
penulis terkait ibrah yang diperoleh dari penelitian peristiwa eksodus Bani Israil
dari Mesir ke Palestina menemukan tiga hal yaitu wajib taat pada perintah
pemimpin, wajib mensyukuri nikmat yang diperoleh serta wajibnya menjaga
aqidah.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
ʻ koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Ki ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ـ
n en ف
w we ك
h ha ق
apostrof ˋ ء
y Ye ي
vii
B. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
____ a fathah
i kasrah
____ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
____ ai a dan i
____ au a dan u
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ȃ a dengan topi di atas ىب
ȋ i dengan topi di atas ى
ȗ u dengan topi di atas ى
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf/l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun qamariyyah. Contoh al-rijȃr bukan ar-rijȃl, al-dȋwȃn bukan ad-
dȋwȃn.
E. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (___) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika hurud yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah
kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
سح ش .tidak ditulis ad-darȗrah melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya انض
F. Ta Marbȗtah
Jika ta marbȗtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Begitu juga jika ta marbȗtah tersebut
diikuti oleh kata sifat (na‟t). Namun, jika huruf ta marbȗtah tersebut diikuti
oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
G. Huruf Kapital
Huruf capital yang digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: انجخبس = al-
Bukhȃrȋ.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………………i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………...ii
ABSTRAK ……………………………………………………………………….v
PEDOMAN TRANSLITERASI ………………………………………………...vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………...x
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….1
A. Latar Belakang ………………………………………………..1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………..5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah …………………………..5
D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ………………….6
E. Telaah Pustaka ……………………………...………………...8
F. Metode Penelitian ……………………………………..……...8
G. Teknik Penulisan …………………………………………….10
H. Sistematika Penulisan ………………………………………..10
BAB II DISKURSUS EKSODUS……... ……………………………….12
A. Definisi Eksodus… …………………………………………..12
B. Kata Eksodus dalam al-Qur‟an… ……………………………12
BAB III BANI ISRAIL DI BAWAH PENJAJAHAN FIR‟AUN DI MESIR
ix
A. Pengertian Bani Israil………………………………...………20
B. Profil Fir‟aun ………………………………………………...23
C. Profil Nabi Musa…………………………………..…………25
D. Penjajahan Fir‟aun Terhadap Bani Israil …………………….29
E. Eksodus Bani Israil dari Mesir ………………………………36
BAB IV IBRAH DARI PEMBANGKANGAN BANI ISRAIL ...………..44
A. Wajib Taat Pada Perintah Pemimpin ………………………..44
B. Wajib Mensyukuri Nikmat yang diperoleh dari Perjalanan….50
C. Wajib Menjaga Aqidah………………………………………59
BAB V PENUTUP ……………………………………………………...69
A. Kesimpulan ……………………………....………………....69
B. Saran-Saran …………………………………………………69
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..70
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Kata siyâhah dan derivasinya dalam al-Qur‟an ………………..……14
Table 2.2: Kata hijrah dan derivasinya dalam al-Qur‟an ………………….……16
Table 2.3: Kata rahl dan derivasinya dalam al-Qur‟an …………………………17
Table 2.4: Kata sayara dan derivasinya dalam al-Qur‟an ………………………18
Table 2.5: Kata safar dan derivasinya dalam al-Qur‟an …………………..........19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bani Israil1 merupakan bangsa yang disebutkan paling banyak
diceritakan dalam al-Qur‟an. Terhitung 41 kali kata Banî Isrâîl diulang, juga
terdapat dua ayat yang hanya menyebutkan kata isrâîl pada surat Âli „Imrȃn
ayat 93 dan surat Maryam ayat 58. Bani Israil diceritakan dengan alur cukup
panjang dalam setiap suratnya Seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 40-122, QS.
al-A‟râf [7]:103-170, QS. Tâhâ [20]: 9-79, dan QS. al-Qasas [28]: 2-46, QS
al-Syu„arâ‟ [26]: 10-68 dan tidak sedikit pula yang kurang dari 10 ayat dalam
surat tertentu.
Dalam surat al-Baqarah berisi kisah penindasan yang dilakukan Fir‟aun
dan kaumnya selama di Mesir, mu‟jizat Nabi Musa, pembangkangan Bani
Israil, peringatan serta keluarnya Bani Israil dari Mesir dan perlakuan mereka
terhadap pemimpinnya, Nabi Musa. Surat al- A'râf berisi kisah Nabi Musa dan
Bani Israil selama di Mesir, dan juga saat keluar dari Mesir serta beberapa
pembangkangan yang dilakukan Bani Israil selama di perjalanan namun tidak
mendetail. Surat al-Qasas dan surat Tâhâ menceritakan kisah Nabi Musa sejak
bayi, menikah, pengutusan jadi rasul, ajakan Nabi Musa dan Nabi Harun
1Kata banȋ adalah bentuk jamak dari kata ibn (jamak banȗn/ banȋn, dibuang n karena
disambungkan dengan kata berikutnya) artinya anak-anak. Zamakhsyarî, Fakhr al-Dîn al-Razi,
Rasyîd Rida, Syaʻrawî, Hamka, Quraish Shihab sepakat bahwa kata isrâîl diberikan kepada
Yaʻkub ibn Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan kata Bani Israil dikaitkan dengan anak keturunan Nabi
Ya‟kub ibn Ishaq. Zamakhsyarî, Fakhr al-Dîn al-Razi, Rasyîd Rida, Syaʻrawî, Hamka, Quraish
Shihab sepakat bahwa kata isrâîl diberikan kepada Yaʻkub ibn Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan kata
Bani Israil dikaitkan dengan anak keturunan Nabi Ya‟kub ibn Ishaq. Lebih lengkapnya lihat BAB
III dalam skripsi ini.
2
kepada Fir‟aun dan kaumnya untuk menyembah Allah. Begitu pula dalam surat
al-Syu„arâ‟ yang berisi kisah Nabi Musa melawan para tukang sihir Fir‟aun
sampai kisah Nabi Musa dan kaumnya menyeberangi lautan, penyelamatan
terhadap Nabi Musa dan kaumnya serta tenggelamnya Fir‟aun.
Dari penjelasan tersebut di atas, kisah Bani Israil tergambar jelas bahwa
al-Qur‟an memaparkan dengan kompleks kisah mereka mulai dari masa
masuk ke Mesir (zaman Nabi Yusuf), ketika di Mesir dan melakukan eksodus
dari Mesir ke Palestina. Namun cerita yang paling banyak adalah kisah dalam
peristiwa eksodus1.
Eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina memerlukan waktu yang
cukup panjang sampai mereka secara resmi tinggal di Palestina. Hal ini karena
Nabi Musa bersama umatnya tidak menempuh jalan yang biasa ditempuh
untuk menuju ke Sinai. Mereka tidak menelusuri pantai Laut Tengah yang
jaraknya hanya 250 mil menuju Sinai. Tetapi, mereka menelusuri arah jalur
tenggara, melalui Laut Merah untuk menghindari jalur perjalanan kafilah
sekaligus menjauhkan diri dari kejaran Fir‟aun. Namun, dalam naskah Ibrani
sendiri, nama laut yang mereka lewati adalah Laut Gelagah padahal di Laut
Merah tidak terdapat tumbuhan gelagah.2
Selain hal tersebut, pernyebab lamanya perjalanan mereka adalah
hukuman Allah untuk Bani Israil yaitu Allah menghukum mereka
kebingungan di padang pasir selama 40 tahun. Ulama tafsir3 tidak ada yang
1 Meninggalkan tempat asal oleh penduduk secara besar-besaran.
2 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h.234.
3 Mutawalli Sya‟rawi, Ibn Katsîr, Quraish Shihab, Sayyid Qutub, Wahbah Zuhaili,
Hamka, al-Qurtubi.
3
menyebutkan secara jelas berapa lama perjalanan yang ditempuh oleh Bani
Israil tersebut, namun semuanya bersepakat bahwa perjalanan dilakukan lebih
dari 40 tahun. Hal ini karena, selama 40 tahun Bani Israil dihukum Allah
dengan merasa kebingungan di bumi, padang pasir sekitar Palestina.4
Eksodus Bani Israil5 dari Mesir ke Palestina tersebut merupakan
perintah dari Allah atas permintaan Nabi Musa.6 Pada akhirnya Allah
memerintahkan Bani Israil melakukan eksodus pada malam hari yang
berlangsung pada abad ke-13 (1290-1223 SM).
Terlepas dimana jalur pasti yang telah dilewati Bani Israil menuju
Palestina, terjadi pula pasang surut keadaan Bani Israil. Banyak nikmat dan
keutamaan yang diberikan Allah namun banyak pula ayat yang berisi
kecaman. Beberapa nikmat dan keutamaan Allah kepada mereka diantaranya;
perlindungan dari kejaran Fir‟aun, makanan dan minuman selama di
perjalanan (eksodus).7 Bahkan Allah memberikan pujian pada Bani Israil atas
kesabaran mereka selama penindasan Fir‟aun di Mesir sebagaimana Allah
sebutkan dalam QS. al-A‟râf [7]: 137 berikut ini:
4 QS. Al-Mâidah [5]: 26.
5 Bani Israil yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Bani Israil zaman Nabi Musa.
6 QS. Thâhâ [20]: 77 dan QS. al-Syu‟arâ‟ [26]: 52.
7 Lihat kisah Nabi Musa dan Bani Israil dalam QS. al-Baqarah [2]: 40- 93, QS. al-A‟râf
[7]: 103-170, QS. Thâhâ [20]: 9-79, QS. al-Qasas [28]: 2-46.
4
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu,
negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang
telah Kami beri berkah padanya. dan telah sempurnalah
Perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil
disebabkan kesabaran mereka. dan Kami hancurkan apa yang
telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun
mereka.”
Namun, pada saat yang lain Allah beberapa kali memberikan peringatan
Bani Israil akan kesalahan yang mereka perbuat, Allah juga melaknat mereka
di bumi disebabkan perbuatan yang mereka lakukan. Hal ini terjadi pada
peristiwa eksodus menuju Palestina.
Al-Qur‟an menggambarkan Bani Israil sebagai orang yang berperilaku
kurang pantas. Mereka menunjukkan kesabaran yang rendah, berkeluh kesah
menjadi sebuah hal yang biasa,8 tidak memiliki keyakinan yang teguh dan
selalu curiga terhadap perintah dan keputusan Nabi Musa9. Berlipat
kenikmatan yang diberikan Allah pada Bani Israil selama dalam perjalanan.
Secara garis besar Quraish Shihab menyebutkan Ada dua anugerah
Allah kepada Bani Israil dalam konteks penyelamatan; pertama
menghindarkan sebagian mereka dari siksa, yang mana dahulu Fir‟aun selama
setahun memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki yang lahir
pada tahun itu dan membiarkan hidup yang lahir pada tahun berikutnya,
demikianlah silih berganti. Anugerah yang kedua adalah keruntuhan rezim
8 Lihat QS. al-Baqarah [2]: 61
9 Lihat QS. al-Baqarah [2]: 67
5
Fir‟aun dan kematiannya sehingga terhenti penindasan yang dilakukan
terhadap Bani Israil.10
Dari beberapa alasan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Eksodus Bani Israil Dari Mesir Ke Palestina
(Menggali Ibrah Dari Pembangkangan Bani Israil) ”
B. Identifikasi Masalah
Seperti telah penulis uraikan pada latar belakang di atas, bahwa eksodus
merupakan kisah Bani Israil yang disebutkan di banyak ayat dalam al-Qur‟an
dengan penyajian cerita yang kompleks.
Uraian di atas memunculkan banyak pertanyaan yang harus dijawab
dan dikaji secara mendalam, diantaranya:
1. Bagaimana keadaan Bani Israil selama tinggal di Mesir?
2. Apa yang melatarbelakangi keluarnya Nabi Musa dan Bani Israil
dari Mesir?
3. Bagaimana akibat yang diperoleh oleh Bani Israil yang musyrik dan
mendustai kenabian?
4. Ibrah apa yang bisa diambil dari pembangkangan Bani Israil ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk menjawab semua permasalahan yang timbul membutuhkan
ruang dan waktu yang cukup luas. Penulis membatasi pada ibrah dari
pembangkangan Bani Israil. Pembatasan ini penulis maksudkan agar
pembahasan tidak melebar. Untuk itulah penulis akan membahas masalah
10
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h. 231.
6
pokok seputar eksodus Bani Israil dalam al-Qur‟an, yaitu: “Apa ibrah yang
bisa diambil dari pembangkangan Bani Israil ? ”
Sebagaimana di awal disebutkan bahwa kisah Bani Israil zaman Nabi
Musa terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 40-122, QS. al-A‟râf [7]:103-170, QS.
Tâhâ [20]: 9-79, dan QS. al-Qasas [28]: 2-46, QS al-Syu„arâ‟ [26]: 10-68 dan
tidak sedikit pula yang kurang dari 10 ayat dalam surat tertentu. Penulis
membatasi ayat-ayat yang akan penulis teliti, yaitu hanya terfokus pada kisah
eksodus Bani Israil dalam QS. al-Baqarah [2]: 51, 55, 57, 61, 65. Namun,
cerita Bani Israil dalam beberapa surat tersebut membantu penulis dalam
melengkapi kisah yang ada.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui ibrah
dari pembangkangan Bani Israil melalui peristiwa eksodus Bani Israil dari
Mesir ke Palestina. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini ialah memberikan
kontribusi informasi peristiwa eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina serta
ibrah dari pembangkangan yang dilakukan Bani Israil selama dalam
perjalanan tersebut. Harapannya adalah pada dampak sosial yang baik bagi
ummat Islam.
E. Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai Bani Israil memang merupakan salah satu tema
yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, setelah dilakukan penelusuran
tentang pembahasan yang terkait Bani Israil, ditemukan beberapa penelitian
diantaranya adalah sebagai berikut:
7
Al-Baqarah dan karakteristik Bani Isra'il : study kritis surahAl-
Baqarah ayat 67 sampai dengan 74 skripsi karya Ahmad Baihaqi, Tafsir
Hadis UIN Jakarta 2008. Skripsi ini lebih focus pada pencarian tentang makna
kata al-baqarah serta karakter Bani Israil dalam surat al-Baqarah [2]: 67-74.
Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazella dalam karyanya yang berjudul
Testifies to the Infallibility of the Qur‟an dan telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Munir A. Mun‟im dengan judul Sejarah Bangsa Israel
dalam Bibel dan al-Qur‟an; Sebuah Penelitian Islamic Archaeology, berisi
tentang sejarang Bangsa Israil yang diperbandingkan antara fakta dalam al-
Qur‟an dan Bibel. Ada satu bab didalamnya yang membahas tentang eksodus
dalam al-Qur‟an, namun isinya menitikberatkan pada kronologi dan proses
keluarnya dari Mesir, bukan pada perilaku atau sifat yang ada pada Bani Israil
selama dalam perjalanan. Demikian pula dalam buku Rihlah Bani Israil Ila
Misra al-Fir‟auniyyah wa al-Khurūj karya Ghattas Abd al-Malik al-Khasybah
juga lebih terfokus pada kronologi sejarah.
Buku Rihlah Bani Israil Ila Misra al-Fir‟auniyyah wa al-Khurūj karya
Ghattas Abd al-Malik al-Khasybah juga lebih terfokus pada kronologi sejarah.
Dari beberapa karya tulis tersebut tidak ada pembahasan yang sama
dengan yang dibahas penulis, dimana penulis memfokuskan penelitian pada.
Eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina dengan menggali ibrah selama
peristiwa eksodus tersebut.
F. Metode penelitian
8
Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu metode pengumpulan
data dan metode analisis yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian terkait ibrah dari eksodus Bani Israil
dari Mesir ke Palestina, penulis menggunakan metode deskriptif analisis
yakni mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa masalah yang ada
kaitannya dengan penelitian di atas. Sedangkan teknik pengumpulan data
ditempuh melalui library research dengan beberapa upaya yang ditempuh
oleh penulis, yaitu: mengumpulkan ayat-ayat yang berisi kisah Bani Israil,
setelah itu penulis ambil satu kisah peristiwa Bani Israil untuk di teliti
yaitu eksodus Bani Israil dari Mesir ke Palestina. Dari ayat-ayat yang yang
menjelaskan peristiwa eksodus penulis persempit lagi menjadi lima ayat
untuk diteliti, ayat tersebut secara jelas berisi pembangkangan Bani Israil.
Selanjutnya, penulis mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan
dengan penelitian, yakni kitab tafsir sebagai sumber sekunder penelitian,
diantaranya;11
Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azim, Tafsir al-Tabarî, Tafsir al-
Misbah, Tafsir Sya‟rawî dan Tafsir fi Dzilȃl al-Qur‟ȃn, dan beberapa buku
yang berkaitan akan menjadi sumber sekunder dalam penelitian ini.
2. Metode analisis
Metode analisis yang penulis gunakan adalah dengan
menggunakan metode tafsir tematik atau maudu‟i 12
yaitu suatu metode
11
Pengambilan tafsir-tafsir tersebut diambil berdasarkan Tafsir Klasik dan modern serta
tafsir yang bercorak adabi ijtima‟i. 12 Para ulama yang tergabung dalam Litbang Kemenag menyimpulkan bahwa
berdasarkan perkembangan sejarah ilmu tafsir dan karya seputa tafsir, ada 3 bentuk tafsir yang
diperkenalkan oleh ulama; pertama dilakukan melalui penelusuran kosakata dan derivasinya pada
9
tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna
dan penyusunan di bawah satu judul bahasan, kemudian menafsirkan
secara tematik. Sebagaimana dikutip dari buku „Abd al-Hayy al-Farmawî
(seorang guru besar pada fakultas Ushuluddin al-Azhar), diantara langkah
tersebut yaitu:13
1) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji
secara maudhu„i
2) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah yang telah ditetapkan
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai
dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzȗl (latar belakang
turunnya ayat)
4) Mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut didalam
masing-masing suratnya
5) Menyusun tema bahasan didalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh
6) Melengkapi bahasan dan uraian dengan Hadis, bila dipandang
perlu sehingga pembahasan menjadi lebih sempurna dan jelas
ayat-ayat al-Qur‟an kemudian dianalisa sampai pada akhirnya dapat disimpulkan makna-makna
yang terkandung di dalamnya. Contohnya, al-Mufradȃt fȋ Gharȋb al-Qur‟ȃn, Ensiklopedia al-
Qur‟an; Kajian Kosakata. Kedua dilakukan dengan menelusuri pokok-pokok bahasan sebuah
surat dalam al-Qur‟an dan menganalisanya, sebab setiap surat memiliki tujuan pokok sendiri-
sendiri, contohnya; al-Nabȃ‟ al-„Azȋm karya „Abdullȃh Dirȃz, Fȋ Dzilȃl al-Qur‟ȃn karya Sayyid
Qutub. Ketiga menghimpun ayat-ayat yang terkait dengan tema atau topik tertentu dan
menganalisanya secara mendalam sampai pada akhirnya dapat disimpulkan pandangan atau
wawasan al-Qur‟an menyangkut tema tersebut. Contoh karya model ini yaitu; al-Insȃn fȋ al-
Qur‟ȃn karya Ahmad Mihana, al-Qur‟ȃn wa al-Qitȃl karya Mahmȗd Syaltȗt (Lajnah Pentashihan
al-Qur‟an, Tafsir al-Qur‟an Tematik; Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Jakarta:
Bimas Kemenag RI, 2012) h. xxiv-xxvi). 13
Abd Hayy Al-Farmawy, Al-Bidâyah fȋ al-Tafsir Maudhȗ‟i (Kairo: al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977), Cet. II, h. 14.
10
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama.
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini penulis mengacu pada buku “Pedoman Akademik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012-2013”.14
Kecuali dalam penulisan
footnote, penulis hanya akan mencantumkan nama populer dari penulis
tersebut. Judul buku yang penulis tulis dua kata dari judul asli buku tersebut.
Aturan ini berlaku pada kutipan selanjutnya.
H. Sistematika penulisan
Langkah-langkah metodis sebelumnya mengharuskan penulis
membuat sistematika pembahasan yang relevan agar dapat mengantarkan
secara tepat kepada jawaban-jawaban atas permasalahan yang diajukan.
Karenanya, penulis akan membuat lima bab pokok yang meliputi:
Bab pertama pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika
pembahasan. Bab ini ingin memberikan peta imajinatif yang jelas mengenai
alur tulisan ini secara umum, lengkap dengan batas-batas kajiannya. Hal ini
untuk memberikan pijakan yang kuat bagi penulis di satu sisi dan bagi
pembaca di sisi lain.
14
Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012-2013 (Jakarta: UIN
Jakarta, 2012), h. 360-404.
11
Bab kedua terlebih dahulu dihadirkan diskursus eksodus, mulai dari
definisi eksodus sebagai pengantar dasar, juga dihadirkan kata eksodus dalam
al-Qur‟an.
Bab ketiga membahas terkait Bani Israil di bawah penjajahan Fir‟aun
di Mesir. Mulai dari pengertian Bani Israil, profil Fir‟aun, profil Nabi Musa,
penjajahan Fir‟aun terhadap Bani Israil, serta Bani Israil di Mesir. Hal ini
dihadirkan sebagai pengantar pengenalan Bani Israil dan keadaannya sebelum
eksodus untuk memudahkan dalam analisa ibrah yang dapat diambil dari
pembangkangan Bani Israil.
Bab keempat merupakan analisa ibrah dari pembangkangan Bani Israil
yaitu wajib taat pada perintah pemimpin, wajib mensyukuri nikmat dan wajib
menjaga aqidah.
Bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
12
BAB II
DISKURSUS EKSODUS
A. Definisi Eksodus
Menurut JS. Badudu dalam bukunya yang berjudul Kamus Kata-Kata
Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia Eksodus memiliki dua arti yaitu
pertama; merupakan perjalanan Bani Israil dari Mesir di bawah bimbingan
Nabi Musa. Kedua; perbuatan meninggalkan daerah (negara) tempat tinggal ke
luar negeri secara besar-besaran dalam jumlah.1
Dalam Bible eksodus merupakan salah satu nama bab dalam kitab suci
tersebut yang berisi tentang kisah Nabi Musa dan Bani Israil di Mesir serta
proses keluarnya kaum tersebut dari Mesir menuju Palestina. Dalam Bible
berbahasa Inggris menggunakan kata “exodus”, dalam Bible Bahasa Indonesia
bab tersebut dikenal dengan istilah “kitab Keluaran”.
B. Kata Eksodus dalam al-Qur’an
Kata eksodus seperti yang dimaksud diatas mengandung serta memiliki
kedekatan makna dengan melakukan perjalanan. Ayat tentang perintah Allah
kepada Nabi Musa untuk keluar dan pergi meninggalkan Mesir menggunakan
kata perintah (fi‟il „amar) asri2 berasal dari kata sarâ yang mengandung makna
melakukan perjalanan di malam hari. Jadi disini dipaparkan dua maksud
1 Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Kompas
media Nusantara. 2007). h. 79 2 QS. Al-Dukhan [44]: 23
23. (Allah berfirman): "Maka berjalanlah kamu dengan membawa hamba-hamba-Ku pada
malam hari, Sesungguhnya kamu akan dikejar.”
13
eksodus merupakan nama peristiwanya dan melakukan perjalanan adalah
bentuk proses peristiwa.
Jadi, secara langsung tidak disebutkan kata eksodus dalam al-Qur‟an,
yang ada adalah proses adanya eksodus tersebut. Proses eksodus ini penulis
sebut dengan melakukan perjalanan. Kata yang mengandung makna melakukan
perjalanan di dalam al-Qur‟an disebutkan dengan 5 kata selain kata asri yang
sudah disebutkan, yaitu siyâhah, hijrah, rihlah, al-sayr dan safar dan sâra.
1. Siyâhah
Siyâhah merupakan bentukan dari kata كسيػوحا –احة سي –يسيح –ساح–
كسيحان –كسيحا yang pada mulanya mengandung arti air yang mengalir di
permukaan bumi, demikian pula sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-
Tahdzîb. Dari makna dasar tersebut juga mengalami perluasan makna
menjadi „pergi‟ atau berjalan (dipermukaan bumi), yakni perjalanan yang
dilakukan di muka bumi untuk beribadah. Namun adapula yang
mengartikan perjalanan secara umum. Kamus Lisân al-„Arab
menyebutkan satu ungkapan yang dinilainya sebagai hadis; Tidak ada
siyâhah didalam Islam diartikan dengan meninggalkan kota dan pergi
mengembara. Ibn al-„Atsir berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
meninggalkan kelompok dan jamaahnya lalu pergi (tinggal) ke Padang
Sahara. Ada juga yang menafsirkan dengan orang yang berjalan dimuka
bumi dengan tujuan buruk dan mengadu domba. al-Azhari berkata bahwa
Siyâhah pada ummat ini adalah berpuasa dan istiqomah ke masjid. Ini juga
14
merupakan perluasan dari makna bepergian dari kata as-siyâh, yang isim
fa‟ilnya sâih dengan arti orang yang bepergian meninggalkan kota, tempat
keramaian, kurang makan dan kurang minum. Dari makna kurang makan
dan kurang minum inilah kata sâih diartikan dengan orang yang berpuasa,
karena orang puasa meninggalkan makan dan minum pada siang hari.1 Kata
siyâhah dan derivasinya dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak tiga kali
yaitu:
Tabel 2.1:kata siyâhah dan derivasinya dalam al-Qur‟an
No Kata Kunci Surat dan Ayat
QS. al-Taubah [9]: 2 فسيحوا 1
QS. al-Taubah [9]: 112 السائحوف 2
QS. al-Tahrîm [66]: 5 سائحات 3
Dari 3 pengulangan kata siyâhah dan derivasinya ini ditemukan 2
makna; perjalanan (QS. al-Taubah [9]: 2 dan QS. al-Taubah [9]: 112) dan
puasa (QS. al-Tahrîm [66]: 5). Dengan demikian tidak ada hambatan untuk
mengklasifikasikan kata ini dalam ayat yang mengandung kata perjalanan.
2. Hijrah
Kata al-hijrah adalah lawan kata dari al-wasal (sampai/
tersambung). Hajarahu-yahjuruhu-hijran dan hijrânan ( جش –جش –
جشا جشاب – ) yang artinya memutuskannya, mereka berdua yahtajirân
atau yatahâjaran yaitu saling meninggalkan, bentuk isimnya adalah al-
hijrah.2
1 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Sadr, 1990). Juz 2. h. 492-493.
2 Ahzami Samiun Jazuli, al Hijratu fi al-Qur‟an al-Karîm. Penerjemah Eko Yulianti
(Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 17.
15
Raghib al-Asfahâni berkata; al-hijru atau al-hijran adalah
seseorang yang meninggalkan lainnya baik secara fisik, perkataan bahkan
hati. Fairuz Abadi berpendapat hijrah merupakan kebalikan dari wasal
yaitu perginya satu kaum dari satu wilayah ke wilayah lain dimana mereka
meninggalkan wilayah yang pertama menuju wilayah yang kedua. Hal
yang sama dilakukan oleh kaum muhajirin dari Makkah menuju Madinah.
Ibnu al-„Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat
hijrah adalah perpindahan dari negeri kaum kafir atau peperangan (dâr al
kufri wa al harbi) ke negeri muslim (dâr al Islâm). 3
Pengertian ha-ja-ra dalam al-Qur‟an memiliki empat makna, yaitu:
perkataan keji/ celaan seperti dalam QS. al-Muˋminȗn [23]: 67 dan al-
Furqân [25]: 30, berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain mencari
keselamatan agama sebagai manifestasi taat kepada Allah swt. (QS. al-
„Ankabȗt [29]: 26) yaitu mereka berpindah ke palestina sebagaimana
dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir, berpisah ranjang dengan pasangan (QS.
al-Nisâ‟ [4]: 34), menyendiri dan ber-„uzlah (QS. al-Muzammil [73]: 10.
Kata hijrah dalam al-Qur‟an dengan berbagai derivasinya terulang
sebanyak 32 kali dalam 15 surat di 27 ayat4, yakni terletak dalam surat-
surat sebagai berikut:
Table 2.2: Kata hijrah dan derivasinya dalam al-Qur‟an
No Kata Kunci Surat dan Ayat
al-Baqarah [2]: 218, Ali „Imrân [3]: 195, al-Anfâl ىاجركا 1
[8]: 72,74,75, al-Taubah [9]: 20, al-Nahl [16]: 41
al-Nisâ [4]: 34 كاىجركىن 2
3 Ahzami Samiun Jazuli, al Hijratu fi al-Qur‟ân al-Karîm. Penerjemah Eko Yulianti
(Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 17. 4 Muhammad Fuˋad Abd al- Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâdz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001), h. 900-901.
16
al-Nisâ [4]:89 يػهاجركا 3
al-Nisâ [4]: 97 هتاجركا 4
al-Nisâ [4]:100 يهاجر 5
al-Muzammil [73]: 10 كاىجرىم 6
al-„Ankabȗt [29]: 26 مهاجر 7
al-Mumtahanah [60]: 10 مهاجرات 8
al-Mu‟minȗn [23]: 67 تػهجركف 9
Maryam [19]: 46 كاىجرن 10
al-Muddatsir [74]: 5 فاىجر 11
هاجرين 12 al-Hasyr [59]: 8, al-Ahzâb [33]: 6, al-Nȗr [24]: 22 امل
al-Hasyr [59]: 9 ىاجر 13
al-Hasyr [59]: 50 ىاجرف 14
Penggunaan 32 kata hijrah dan derivasinya tersebut sesuai dengan
apa yang didefinisikan para ulama, yaitu meninggalkan baik secara fisik,
perkataan dan hati. Dari 32 ayat tersebut, 28 ayat berbicara tentang
perpindahan secara fisik.
3. Rihlah
Rihlah terambil dari akar kata rahl ( حمس) yang berarti sesuatu yang
diletakkan di atas unta agar bisa mengendarainya. Bentuk jamaknya
adalah arhul )أسحم( dan rihâl ()سحبل . Sedangkan rihâlah سحبنخ( ) jamaknya
rahâil سحبئم() sejenis petana terbuat dari kulit. Dan masdarnya rahlan )سحال)
artinya menunggangi. Orang yang bepergian atau melakukan perjalanan
juga dikatakan rahala yarhalu rahlan.5
5 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Sadr, 1990). Juz 2. h. 274-276.
17
Menurut informasi dari kitab al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâdz al-
Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad Fuˋad „Abd al- Bâqî, kata rahl dan
derivasinya disebutkan sebanyak 4 kali dalam al-Qur‟an, diantaranya:
Table 2.3: Kata rahl dan derivasinya dalam al-Qur‟an
No Kata Kunci Surat dan Ayat
QS. Yȗsuf [12]: 70 رحل 1
QS. Yȗsuf [12]: 75 رحلو 2
QS. Yȗsuf [12]: 62 رحالم 3
QS. Quraisy [106]: 2 رحلة 4
Dari 4 pengulangan kata rahl dan derivasinya tersebut ditemukan
dua makna yaitu karung dan perjalanan. Dalam surat Quraisy berisi
perjalanan suku Quraisy dari Mekkah ke Syam atau sebaliknya dan dalam
surat Yusuf bermakna karung yaitu karung saudara-saudara Nabi Yusuf.
4. al-Sayr
al-Sayr berasal dari kata ك–كمسرية – كتسيارا –كمسريا –سريا –يسري –سار
–سريكرة mengandung makna yang sama dengan انزبة (pergi). Dalam hadis
Hudzaifah al-sayr berarti menghilangkan kemarahan.
Kata dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 28 kali yang terletak pada
21 surat dan 26 ayat;6 diantaranya:
Table 2.4: Kata al-Sayr dan derivasinya dalam al-Qur‟an
No Kata Kunci Surat Dan Ayat
QS. al-Qasas [28]: 29 سار 1
اك يسري 3 QS. Yȗsuf [12]: 109, QS. al-Hajj [22]: 46, QS. al-Rȗm
[30]: 9, QS. Fâtir [35]: 44, QS. al-Mu‟min [40]: 21,
82, QS. Muhammad [47]: 10
6 Muhammad Fuˋad Abd al- Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li alfadz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001), h. 460.
18
QS. al-Tȗr [52]: 10 تسيػر 2
ركا 4 سيػQS. Âli „Imrân [3]: 137, QS. al-An‟âm [6]: 11, QS. al-
Nahl [16]: 36, QS. al-Naml [27]: 69, QS. al-Ankabȗt
[29]: 20, QS. al-Rȗm [30]: 42, QS. Saba‟ [34]: 18
QS. al-Kahfi [18]: 47 نسري 5
QS. Yȗnus [10]: 22 يسريكم 6
ت 7 -QS. al-Ra‟d [13]: 31, QS. al-Naba‟ [78]: 20, QS. Al سري
Takwîr [81]: 3
QS. Saba‟ [34]: 18 الس ري 8
QS. al-Tȗr [52]: 10 سريا 9
رتػها 10 QS. Tâhâ [20]: 21 سيػ
QS. al-Mâidah [5]: 96, QS. Yȗsuf [12]: 10 الس ي ارة 11
QS. Yȗsuf [12]: 19 سي ارة 12
Dari semua pengulangan kata al-Sayr dan derivasinya tersebut
semuanya bermakna perjalanan, namun dengan objek yang berbeda yaitu
benda dan manusia.
5. Safar
Safar mempunyai arti menyapu; menyapu rumah dan lain-lain,
menerbangkan; angin menerbangkan awan di langit. Safar juga berarti
menaklukkan jarak. انسفش merupakan antonim dari انحضش (hadir). Dan
orang yang melakukan perjalanan disebut . سافر mempunyai makna املسافر
yang sama dengan سافر.7
7 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Sadr, 1990). Juz 2. h.367.
19
Menurut al-Azhari orang yang melakukan perjalanan disebut
musafir, pindahnya orang yang hadir (احلضر) dari tempatnya dan orang yang
melakukan p erjalanan di bumi.8
Kata dan derivasinya dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 12 kali
yang terdapat pada 9 surat dan 11 ayat,9 yakni:
Table 2.5: Kata safar dan derivasinya dalam al-Qur‟an
No Kata
Kunci Surat an Ayat
QS. al-Muddatstsir [74]: 34 أسفر 1
QS. „Abasa [80]: 38 مسفرة 2
QS. „Abasa [80]: 10 سفرة 3
:QS. al-Baqarah [2]: 184, 185, 283, QS. al-Nisâ‟ [4] سفر 4
43, QS. al-Mâidah [5]: 6
QS. al-Taubah [9]: 42 سفرا 5
QS. al-Kahfi [18]: 62 سفرن 6
QS. Saba‟ [34]: 19 أسفارن 7
QS. al-Jumuʻah [62]: 5 أسفارا 8
Dari 11 ayat pengulangan kata safar tersebut ditemukan 4 model
objek pemaknaan, diantaranya berseri-seri (wajah), membawa kitab-kitab
tebal, mulai terbit terang (subuh) dan makna perjalanan sebagai
pendominasi makna.
Oleh karena itu, dari 5 kata kunci ini, semuanya masuk dalam
kelompok ayat-ayat yang mengandung kata perjalanan proses melakukan
eksodus.
8 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr al-Sadr, 1990). Juz 2. h. 368.
9 Muhammad Fuˋad Abd al- Bâqî, al-Mu‟jam al-Mufahras Li alfâdz al-Qur‟ân al-Karîm
(Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001), h. 431-432.
20
BAB III
BANI ISRAIL DI BAWAH PENJAJAHAN FIR’AUN DI MESIR
A. Pengertian Bani Israil
Kata banȋ mengandung makna sesuatu yang lahir dari yang lain,1 banȋ
juga mengindikasikan hubungan darah dan kekeluargaan. Kata banȋ adalah
bentuk jamak dari kata ibn (jamak banȗn/ banȋn, dibuang n karena
disambungkan dengan kata berikutnya) artinya anak-anak. Ada yang
mengatakan bahwa kata Ibn berasal dari kata al-binâ‟ (bangunan), karena
anak biasanya bersandar kepada orang tuanya. Kata ibn berasal dari banâ-
yabnî-bina'ân-wabinyatan wa bunyânan ( بب -ج –ث ث خ ث ثبءا ) yang
berarti 'membangun, menyusun, membuat fondasi'. Kata ibn berasal dari
banawa ) ) atau ba nawun )ث 'yang berarti syai'un yutawalladu min syai (ث
ئ) ش نذ ي ئ ت sesuatu yang dilahirkan dari sesuatu) atau bisa juga = ش
berarti al waladudz-dzakar ( نذ انزكش ان =seorang anak laki-laki). Bentuk jamak
dari kata ibn adalah ibnâ' dan bentuk tasghirnya adalah bunayya ( ث =
anakku). Menurut al-Asfahani, kata ibn adalah 'suatu yang dilahirkan' karena
1 Abu al-Husyain Ahmad Ibn Farîs ibn Zakariyya, Mu‟jam al-Maqâyîs fi al-Lughah
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 156.
21
apaklah yang telah " membuat" anak dan Allah-lah yang mewujudkannya. Kata
ibn dapat disandarkan atau digandeng dengan kata lain dan memiliki arti lain,
seperti ibn al-sabîl ( م انسج ,sebutan untuk orang yang bepergian atau merantau (إث
ibn al-lail ( م انه .sebutan untuk orang yang suka mencuri (إث1
Secara umum, kata ibn di dalam al-Qur'an mengacu pada status anak,
baik itu disandarkan kepada nama bapak, nama Tuhan ataupun sebutan
lainnya. Kata ibn di dalam surat al-Taubah [9]: 30 disandarkan kepada kata
Allah (ibn Allah), yaitu Uzair ibn Allah (Uzair putra Allah) dan al-Masih ibn
Maryam (al-Masîh putra Maryam), kecuali jika hal tersebut dipahami secara
metafora.2
Pendapat Shabir tentang makna isrâîl didukung oleh „Abd al-Azȋz bin
Muhammad dalam bukunya Mukhâlafât Mutanawwi‟ah yang mengatakan
bahwa banȋ berarti anak yang disifatkan hanya pada manusia, oleh karena itu
bani juga dapat dipahami sebagai manusia. Israil, kata “il” dalam bahasa
Ibrani berarti tuhan. Ada beberapa istilah untuk tuhan yaitu il, ilu, el, eloah,
eloha dan elohim. Dalam Bible terdapat kata “El Elyon” (Tuhan yang Maha
Tinggi, Kej 14: 19), “El Roy” (Tuhan Yang Maha Melihat kej. 16: 13) dan
“el Olam” (Tuhan Yang Maha Kekal) dan kata “el Olam” menjadi Elohim”
dan diserap kedalam bahasa arab menjadi allahumma.3
R. Firestone dalam Encyclopedia of Islam, kata Israil terdiri dari kata
“roy” dan “il”, yang artinya melihat Allah. Ada yang menyebut “israil”
1 Sahabuddin dkk, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 337. 2 Sahabuddin dkk, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 338. 3 „Abd al-Aziz bin Muhammad bin „Abd Allah, Mukhâlafât Mutanawwi‟ah. Penerjemah
Muhammad Syukur Wahyudin (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h. 192.
22
adalah bahasa ibrani yang terdiri atas kata isra yang artinya “hamba yang
terpilih” dan il artinya “Tuhan”. Kata israil juga bisa dibangun dari kata sariy
dan il yang artinya perjalanan dimalam hari untuk mencari Allah. Makna
kedua dan ketiga inilah yang menurut R. Firestone sering dipakai oleh ahli
makrifat.
Melengkapi pengetahuan makna kata isrâîl, para mufassir seperti
Zamakhsyarî, Fakhr al-Dîn al-Razi, Rasyîd Rida, Syaʻrawî, Hamka, Quraish
Shihab sepakat bahwa kata isrâîl diberikan kepada Yaʻkub ibn Ishaq bin
Ibrahim. Sedangkan kata Banî isrâîl dikaitkan dengan anak keturunan Nabi
Ya‟kub ibn Ishaq4. Adapun gelar isrâîl diberikan kepada Nabi Yaʻkub
menurut Mutawalli Syaʻrawî diperoleh melalui cobaan besar yang ketika itu
ia lulus dari cobaan dan berhak untuk menyandang gelar safi Allah.5
Kata Banî isrâîl sering diulang dalam al-Qur‟an, yakni kata Banî isrâîl
dalam al-Qur‟an disebut sebanyak 41 kali dalam 40 ayat.6 Dari sekian banyak
ayat yang menginformasikan tentang Bani Israil, didalamnya terbagi menjadi
dua indikasi; dalam suatu tempat, Bani Israil diindikasikan sebagai bangsa
yang dikasihani oleh Allah swt, namun ditempat lain mengindikasikan bahwa
Bani Israil merupakan bangsa yang suka berbuat kerusakan, bersikap
eksklusif dan sukar diatur. Selain dari 41 ayat yang menyebutkan langsung
4 Nabi Ya‟kub menikah dengan dua orang sepupunya (dari ibu), yaitu Liah dan Rahil,
kemudian menikah lagi dengan Zilfah (jâriah Liah) dan Bilhah (jâriah Rahil). Dari keempat
isterinya ini melahirkan 12 anak laki-laki, antara lain dari Liah melahirkan Raubin, Syam‟un, Lawi
(dari keturunan Lawi lahirlah Nabi Musa) dan Yahuda (dari keturunannya diambil kalimat
Yahudi), Yassakir dan Za‟bulun. Dari Rahil melahirkan Yusuf dan Bunyamin, Dari Zilfah
melahirkan Jad dan Asyir, dari Bilhah melahirkan Dan dan Naftail. (Shalaby, Muqâranah al-
Adyân al-Yahȗdiah, h. 21). 5 Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (al-Azhar: Akhbâr al-Yaum, 1991), h. 333-334.
6 Maktabah Syamilah. Al-Qur‟an al-Karȋm.
23
kata Banî isrâîl, terdapat dua ayat yang hanya menyebutkan kata isrâîl, yaitu
Nabi Yaʻkub, pada surat Âli „Imrȃn ayat 93 dan surat Maryam ayat 58.
Dari pemaparan di atas bisa dipahami bahwa Bani Israil merupakan
anak keturunan Nabi Ya‟kub dari keempat istrinya; Liah, Rahil, Zilfah dan
Bilhah. Dari istrinya yang bernama Rahil melahirkan Nabi Yusuf dan
Bunyamin dan anak keturunan dari Liah nantinya melahirkan Nabi Musa.
B. Profil Fir’aun
Fir‟aun adalah gelar raja di Mesir yang berkuasa selama berabad-abad.
Kata Fir‟aun berasal dari bahasa Ibrani Per-O yang artinya rumah besar. Gelar
ini secara turun-temurun diterapkan kepada raja Mesir kuno karena mereka
dianggap sebagai titisan dewa-dewa Mesir, seperti Horus, Buto dan lainnya.7
Kisah Fir‟aun merupakan kisah yang paling banyak disebutkan dalam
al-Qur‟an dibandingkan kisah umat terdahulu yang lain. Kata Fir‟aun
disebutkan sebanyak 67 kali pada 61 ayat dalam al-Qur‟an.8
Kisah Fir‟aun terangkat ke permukaan karena kisahnya dengan Nabi
Musa. Gelar Fir‟aun dalam al-Qur‟an digunakan untuk penguasa Mesir yang
kejam. Bani Israil yang hidup tenteram sekitar satu setengah abad pada masa
pemerintahan Hyksos (1700-1550 SM), sejak dipimpin oleh Fir‟aun yang
memerintah pada zaman Nabi Musa, Bani Israil hidup dalam kesengsaraan
dan penderitaan. Mereka jadi budak dan buruh-buruh kasar. Kesengsaraan dan
penderitaan mereka mencapai puncaknya ketika Ramses II (1304-1237 SM)
mengangkat dirinya sebagai Tuhan, penjelmaan Dewa Osiris yang wajib
dipuja dan disembah oleh segenap penduduk Mesir. Disamping itu, Fir‟aun
7 Harun Nasution dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992). h. 251.
8 Melakukan pencarian pada al-Qur‟an android
24
memerintahkan para pejabat negaranya untuk membunuh setiap anak laki-laki
Bani Israil yang baru lahir. Menurut Harun Nasution, jika ditinjau dari sudut
sosiologis dan politis pengakuan dirinya sebagai tuhan dan pembunuhan setiap
bayi laki-laki Bani Israil sebenarnya dalam rangka usaha untuk
melanggengkan kekuasannya (status quo) saja.9
Sesungguhnya Fir‟aun adalah orang yang sewenang-wenang di bumi
melampaui batas, angkuh, pembangkang (QS.Yȗnus [10]: 83). Mereka
memiliki harta, perhiasan, istana yang megah, rumah-rumah yang elegan,
kerajaan yang besar, kedudukan yang mulia di dunia namun tidak di dalam
agama (QS.Yȗnus [10]: 88-89).
Dalam QS. al-Syu‟ara [26]: 27 Fir‟aun mengatakan bahwa nabi Musa
gila. Karena menurut mereka, ucapannya tidak dapat mereka pikirkan
maknanya: yang aku serukan kepada kalian dan kepada Fir‟aun itu adalah
penyembahan kepada tuhan timur dan barat.10
Selain hal tersebut, Fir‟aun juga mengatakan mukjizat yang
diperlihatkan Nabi Musa adalah sihir, dan mengklaim Nabi Musa sebagai
tukang sihir yang pandai. Fir‟aun mengancam tukang sihir dengan memenggal
tangan dan kaki secara silang apabila mereka beriman kepada tuhan Nabi
Musa (QS. al-A‟râf [7]: 123-124).
Fir‟aun juga disebutkan sebagai pemilik autad (QS. Shad [38]: 10-13,
QS. al-Fajr [89]: 10). Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna
deskripsi al-Qur‟an tentang Fir‟aun „pemilik autad‟, sebab kata autad jamak
dari watad mempunyai sejumlah makna yang berbeda. Diantara sejumlah
9 Harun Nasution dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992). h. 251. 10
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
Jilid 19, h. 568.
25
penafsiran yang dikemukakan atas autad adalah “kekuasaan atau kekejaman
yang luar biasa” karena Fir‟aun adalah seorang yang tiran dan kejam,
“prajurit” karena memiliki tentara yang banyak. Namun, pendapat yang lebih
banyak disepakati adalah bahwa autad adalah “pasak atau paku besar” yang
digunakan Fir‟aun ketika ia menyalib orang-orang yang pindah ke agama Nabi
Musa. Memahami kata autad sebagai alat yang digunakan Fir‟aun menyalib
orang-orang yang memeluk agama Nabi Musa “Fir‟aun pemilik autad
sepenuhnya tidak cocok dengan konteks serangkaian ayat tersebut. Autad
diartikan dengan „bangunan yang tinggi dan besar‟ membuat hubungan antar
ayat lebih jelas. Al-Qurtubi menafsirkan kata „autad‟ dengan mengutip Ibn
„Abbas yang menafsirkan autad sebagai „bangunan yang aman‟ dan kemudian
al-Dhahhak menafsirkan Fir‟aun pemilik autad.
Fir‟aun zaman Nabi Musa meninggal tenggelam di lautan, dan
jasadnya telah dimumikan. Mumi Ramses II ditemukan pada 1881 diantara 40
mumi yang terpelihara di tempat penyimpanan di dekat Deir al-Bahari di
Thebes. Dan sekarang mumi Fir‟aun terpelihara di Museum Mesir di Kairo.11
C. Profil Nabi Musa
Musa12
bin Imran bin Qahits bin Azir bin Lawi bin Ya‟kub bin Ishaq
bin Ibrahim bergelar ulul „azmi. Nama beliau disebutkan sebanyak 136 kali di
dalam al-Qur‟an. Disebutkan dalam berbagai konteks, namun yang paling
11
Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan al-Qur‟an.
Penerjemah Munir A. Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 205. 12
Ibnu Ishaq berkata Musa adalah nama buat non arab yang tidak dapat menerima tanwin,
karena bukan merupakan bahasa Arab dan ia pun merupakan isim makrifat. Menurut keterangan
yang diriwayatkan, orang-orang Qibti menyebut air dengan muw (ي) dan pohon dengan sa (سب).
Ketika Nabi Musa ditemukan berada dalam peti mengambang di atas air dan pohon, maka dia pun
dinamakan dengan Musa. (Al-Qurtubi, Tafsir al-Ja mi‟ al-Ahkam al-Qur‟an (Kairo: Dar al-Kitaab
al-Arabiyah li al-Tabiah wa al-Nasyr). Jilid 1. h. 395.)
26
banyak adalah di dalam konteks antara Nabi Musa dengan Fir‟aun dan
pengikutnya.
Allah menjaga dan melindungi Nabi Musa. Sewaktu Nabi Musa bayi,
Dia mengilhamkan kepada ibu Nabi Musa untuk menyusui Nabi Musa dan
setelah itu menghanyutkannya ke sungai (Nil) dan untuk menenangkan hati
ibu Nabi Musa, Allah menjajikan bahwa Nabi Musa akan dikembalikan pada
ibunya. Setelah Nabi Musa dihanyutkan ke sungai, beliau ditemukan dan
diadopsi oleh keluarga Fir‟aun. Istri Fir‟aun mengatakan qurrota „ainin li
walaka, la taqtuluhu (dia adalah penyejuk mata hatiku dan mata hatimu,
jangan kamu bunuh dia).13
Saudara perempuan Nabi Musa diberikan tugas oleh ibunya untuk
melacak keberadaan Nabi Musa, didapatkan Nabi Musa berada di rumah
Fir‟aun. Setelah menerima susu dari ibunya, Nabi Musa tidak mau menerima
susu dari perempuan manapun yang didatangkan keluarga Fir‟aun. Saudara
Nabi Musa menawarkan dan meyakinkan keluarga kerajaan bahwa ada
keluarga yang cocok untuk menjadi ibu susuan. Tanpa diketahui Fir‟aun dan
keluarganya bahwa keluarga tersebut adalah keluarga Nabi Musa sendiri.
Setelah itu, Nabi Musa dikembalikan kepada ibunya untuk disusukan. (QS. al-
Qasas [28]: 11-13). Beliau tidak disusui kecuali oleh ibu kandungnya sendiri.
Saat Nabi Musa dewasa, Allah memberikan kebijaksanaan dan
pengetahuan. Beliau juga tanpa sengaja membunuh seorang yang sedang
menganiaya orang ibrani (QS. al-Qasas [28]: 15-16). Yaitu ketika dia
memasuki kota (Memphis atau Ain Syams, salah satu kota dalam wilayah
13
QS. al-Qasas [28]: 7-9.
27
kekuasaan Fir‟aun) tanpa diketahui kaumnya. Disana, dia diminta kaumnya
untuk membantu berkelahi melawan orang Mesir. Nabi Musa turut campur
dan membunuh musuh sampai meninggal. Hari berikutnya, orang yang sama
meminta lagi bantuan melawan orang Mesir lainnya dan Nabi Musa hampir
saja membunuh orang tersebut. Orang yang hendak dibunuh Nabi Musa
memperingatkan bahwa dia lebih berperilaku seperti seorang tiran daripada
seorang pembaharu. Maka, Nabi Musa menahan diri dan tidak menyakiti dia.
Kemudian seseorang datang dari kota menyampaikan kepada Nabi Musa
berita tentang sebuah rencana untuk membunuhnya, yang disusun oleh para
pejabat kota. Orang tersebut menasehati Nabi Musa agar meninggalkan kota
tersebut. Nabi Musa menjadi gelisah takut akan dikejar Fir‟aun dan
pasukannya. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari Mesir (QS. al-Qasas
[28]: 17-22).
Nabi Musa pergi ke Madyan (sebelah barat jazirah arab). Dalam
perjalanannya, Nabi Musa istirahat di bawah pohon. Beliau melihat beberapa
orang berkumpul untuk memberikan minum hewan ternaknya. 2 diantara
orang yang antri tersebut adalah perempuan. Mereka antri setelah para
penggembala yang lain selesai. Dengan sigap Nabi Musa membantu dua
perempuan tersebut (QS. al-Qasas [28]: 23-24).
Setelah dua perempuan tersebut pulang. Mereka bercerita kepada
ayahnya bahwa ada seorang pemuda membantu mereka memberi minum
ternak. Bahkan salah satu dari perempuan tersebut meyakinkan ayahnya
bahwa Nabi Musa adalah laki-laki yang kuat dan dapat dipercaya (QS. al-
Qasas [28]: 26). Akhirnya Nabi Musa diundang ke rumahnya untuk dijamu.
28
Ayah kedua perempuan tersebut menawarkan kepada Nabi Musa untuk mau
menikah dengan salah satu putrinya dengan mahar bekerja selama minimal 8
tahun dan lebih baik jika menggenapinya 10 tahun (QS. al-Qasas [28]: 27).
Tidak diketahui berapa lama Nabi Musa mengasingkan diri dari Mesir dan
melakukan pengembaraan ke berbagai tempat (QS. al-Kahfi [18]: 60)
Setelah Nabi Musa memenuhi dan menyelesaikan kesepakatan dengan
mertuanya tersebut, dia membawa istrinya meninggalkan Madyan. Di
perjalanan Nabi Musa melihat api yang sedang menyala, dan dia mendekati
sumber api tersebut. Saat itulah dia diseru oleh Allah. Allah menunjukkan dan
memberikan mukjizat kepada Nabi Musa, yaitu merubah tongkat menjadi ular,
Allah memerintah menaruh tangan di dada dan setelah dikeluarkan tangan itu
menjadi putih. Dan setelah mendapat dua mukjizat ini Allah memerintahkan
Nabi Musa agar pergi menemui Fir‟aun dan mengajaknya untuk menyembah
Allah serta membiarkan Bani Israil meninggalkan Mesir bersamanya.
Nabi Musa adalah orang yang tegas, namun karena kelemahannya di
dalam penyampaian, maka beliau memohon kepada Allah agar Harun juga
Allah angkat menjadi rasul untuk membantu beliau dalam berdakwah. Nabi
Musa menghujjah dan memperkenalkan Tuhan mereka kepada Fir‟aun dan
pengikutnya dengan sifat dan dalil-dalilNya. Sebab menurut kaum Fir‟aun
yang disebut tuhan adalah Fir‟aun. Dalam pemahaman yang mereka ketahui
dari nenek moyang, tuhan mereka adalah raja-raja terdahulu.14
Nabi Musa dan Nabi Harun pergi menuju istana Fir‟aun dan berdialog
dengannya, namun Fir‟aun tidak mempercayai kenabian Nabi Musa meskipun
14
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
Jilid 19. h. 568.
29
dia telah melihat dua mukjizat tersebut. Fir‟aun menuduh Nabi Musa sebagai
tukang sihir dan menyeru kepada seluruh tukang sihir di Mesir untuk
bertanding dengan Nabi Musa.15
Tugas utama Nabi Musa adalah mengeluarkan kaumnya dari tempat
penindasan dan menurunkan Fir‟aun dan para pejabat kerajaannya dari tempat
kesombongan dan kedzaliman, sehingga semua loyalitas hanya diberikan
kepada Allah swt. Namun selama dalam perjalanan keluar dari Mesir, terdapat
banyak masalah yang ditimbulkan oleh Bani Israil terutama karena
ketidaktaatan mereka. Puncaknya adalah mereka tidak mau memasuki
Palestina karena takut terhadap penduduknya dan Bani Israil memasuki
Palestina tidak bersama Nabi Musa karena beliau sudah wafat.
Nabi Musa wafat diperjalanan sebelum memasuki kota Yerussalem.
Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah disebutkan bahwa Nabi Musa wafat
pada saat beliau umur 120 tahun.16
D. Penjajahan Fir’aun Terhadap Bani Israil
Bani Israil bebas dan mempunyai pengaruh di Mesir bermula saat Nabi
Yusuf diangkat menjadi Kepala Badan Logistik pada masa pemerintahan
Hyksos. Pada waktu itu pemerintahan diperintah oleh Abufeis atau Abibi,
sekitar 1739 SM. Mereka hidup tenang di Mesir selama kurang lebih 400
tahun. Namun, setelah muncul kekuasaan baru, Dinasti ke XIX yang
menguasai Hyksos dan seluruh Mesir, Bani Israil mengalami penindasan. Hal
ini tepatnya pada masa pemerintahan Ramses II atau dikenal dengan Ramses
al- Akbar, sehingga Bani Israil pada masanya diperintah kerja paksa. Selain
15
QS. al-A‟râf [7]: 107-114. 16
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut: Dâr al-Kutub al „Ilmiyyah, tt.), jilid 1, h. 296.
30
itu, mereka juga dituduh akan melakukan makar terhadap kekuasaan dengan
membantu penguasa lama yang ditaklukkan Ramses, yaitu Hyksos yang
mempunyai hubungan darah dengan Bani Israil dan orang-orang Arab. Dan
karena kecurigaan inilah Fir‟aun menindas mereka dengan membunuh anak
laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan.17
Mutawalli Sya‟rawî dalam kitab tafsirnya, Tafsir Sya‟rawî,
berpendapat bahwa Fir‟aun melakukan penindasan terhadap Bani Israil karena
dua alasan;18
pertama, karena Bani Israil merupakan sekutu Hyksos ketika
menduduki Mesir dan Hyksos mengangkat Nabi Yusuf sebagai menteri
seolah-olah Hyksos adalah sebagai tuan Bani Israil. Maka ketika Fir‟aun
menang, mereka membalas dendam kepada Bani Israil dengan segala bentuk
pembalasan. Diantaranya dengan membunuh dan membakar rumah mereka.
Kedua; Fir‟aun bermimpi bahwa dalam mimpinya ia melihat api yang
menyala dari sebelah Baitul Maqdis yang membakar seluruh orang-orang
Mesir dan tidak ada yang selamat kecuali keturunan Bani Israil. Dan ketika
Fir‟aun meminta ditakwilkan mimpinya kepada para penakwil ahli Fir‟aun,
dikatakanlah bahwa akan lahir dari keturunan Bani Israil seorang anak laki-
laki yang akan mengakhiri kekuasaan Fir‟aun. Selain alasan penakwilan
tersebut, al-Qurtubi, Quraish Shihab, dan Ibn Katsîr menyebutkan bahwa hal
itu juga dipengaruhi oleh para pemuka agama yang memfitnah Bani Israil
merencanakan makar terhadap kekuasaan. Karena para pemuka agama
17
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h. 232. 18
Mutawalli Sya‟rawî, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1991), h. 333.
31
tersebut enggan melihat Bani Israil menganut ajaran agama yang berbeda
dengan ajaran agama mereka.19
Dari alasan tersebutlah akhirnya Fir‟aun memerintahkan kepada
seluruh bidan untuk menyembelih setiap anak yang lahir dari Bani Israil. Akan
tetapi penyembelihan tersebut hanya berlangsung satu tahun karena mereka
khawatir Bani Israil akan binasa sedangkan keberadaan mereka dibutuhkan
sebagai pelayan.20
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azȋm, juga
menyebutkan alasan yang sama mengenai penindasan terhadap Bani Israil
yang dilakukan oleh Fir'aun. Dalam mimpinya, Fir‟aun melihat api memasuki
rumah orang-orang Qibti di daerah Mesir kecuali rumah Bani Israil. Makna
mimpi tersebut adalah bahwa kerajaannya akan lenyap binasa melalui tangan
seseorang yang berasal dari kalangan Bani Israil. Kemudian disusul laporan
dari orang-orang dekatnya bahwa Bani Israil sedang menunggu lahirnya
seorang bayi laki-laki diantara mereka, yang karenanya mereka akan meraih
kekuasaan dan kedudukan tinggi. Sejak saat itu, Fir'aun pun memerintahkan
untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil dan membiarkan bayi-bayi
perempuan tetap hidup. Selain itu, Fir'aun juga memerintahkan agar
mempekerjakan Bani Israil dengan berbagai pekerjaan berat dan hina.21
Dalam riwayat Ibn „Abbad yang dikutip oleh al-Tabarî bahwa Fir‟aun
dan orang-orang dekatnya teringat apa yang dijanjikan Allah atas Nabi
19
Lihat tafsir al-Qurtubî, Tafsir al-Tabarî dan Tafsir al Misbah dalam menafsirkan QS. al-
Baqarah [2]: 49. 20
Mutawalli Sya‟rawî, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1991), h. 333-334. 21
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azim (Riyadh: Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî‟,
2007), Jilid I, h. 261.
32
Ibrâhim as., yaitu akan menjadikan keturunannya sebagai nabi dan raja. Maka
sepakatlah mereka untuk mengutus sejumlah laki-laki dengan membawa
pedang berkeliling atas Bani Israil, dan tidaklah mereka menemukan seorang
bayi laki-laki kecuali disembelihnya. Selain itu, Ibn Abbas juga meriwayatkan
bahwa para pendeta berkata kepada Fir‟aun, sesungguhnya pada tahun
tersebut akan lahir seorang laki-laki yang akan membinasakan kerajaannya.
Setelah mendengar kabar tersebut Fir‟aun memerintakan untuk membunuh
anak laki-laki yang lahir ditahun itu.22
Ahli tafsir23
menyebutkan bahwa dengan adanya pembunuhan tersebut
bangsa Qibti mengeluhkan kepada Fir‟aun mengenai sedikitnya jumlah Bani
Israil akibat dibunuhnya anak laki-laki mereka, dan dikhawatirkan tidak
adanya pemuda dan orang tua karena diberlakukannya pembunuhan anak laki-
laki. Semua itu menyebabksan bangsa Qibti memikul pekerjaan-pekerjaan
berat yang biasanya dilakukan oleh Bani Israil. Oleh karena itu Fir‟aun
memerintahkan membunuh anak laki-laki dalam setahun dan membiarkan
mereka hidup di tahun lainnya.
Diriwayatkan dari Ibn Hamid; Fir'aun memerintahkan membuat
(senjata) seperti parang dari kayu rotan, kemudian didatangkan kaum wanita
yang hamil dari Bani Israil lalu diberdirikan di hadapannya, setelah itu ia
memukul kaki mereka hingga salah seorang diantara mereka melahirkan dan
jatuh diantara dua kakinya, maka iapun terus menginjaknya untuk melindungi
22
al-Tabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1, h. 718. 23
Ibn Katsîr, Mutawalli Sya‟rawî, al-Qurtubi, al-Tabarî, Quraish Shihab, Sayyid Qutub.
33
kakinya dari tajamnya rotan, dan Fir'aun pun semakin sewenang-wenang
hingga hampir saja mereka binasa.24
Selain hal di atas, dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibn
Katsîr disebutkan bahwa Fir‟aun sangat mewaspadai agar tidak ada seorang
Nabi Musa, sehingga ia mengutus sekelompok lelaki untuk berkeliling kepada
wanita-wanita hamil dan mengetahui waktu kelahiran mereka. Tidak ada
wanita yang hamil melahirkan seorang anak laki-laki kecuali mereka
disembelih oleh para algojo pada saat itu.25
Bahkan untuk memastikan tidak
ada wanita yang terlewat untuk diperiksa, kaum Fir‟aun membuka aurat setiap
wanita Bani Israil untuk mencari tahu apakah ia hamil atau tidak agar mereka
bisa membunuh bayi laki-laki dan membiarkan bayi perempuan.26
Dan
akhirnya mereka tidak menemukan sosok bayi yang dicari karena Allah
menjaga Nabi Musa. Padahal Nabi Musa diasuh dan diangkat menjadi anak
oleh istri Fir‟aun.
Pada saat Nabi Musa telah diangkat menjadi nabi, orang yang
mengikuti beliaupun juga disiksa. Seperti halnya nasib para ahli sihir yang
akhirnya beriman pada Nabi Musa, mereka dibunuh. Pembunuhan dilakukan
dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki
kanan secara bertimbal balik kemudian setelah itu disalib.27
24
al-Tabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1, h. 722. 25
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut: Dâr al-Kutub al „Ilmiyyah, tt.), jilid 1,
h. 233. 26
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi, Tafsir al-Qur‟an al Aisar, jilid 1. Jakarta: Darus
Sunnah. 2010. h. 105. 27
QS. al-A‟râf [7]: 124.
34
Kerja paksa juga merupakan penindasan yang dilakukan Fir‟aun
terhadap Bani Israil. Luay Fatoohi berpendapat bahwa ada kemungkinan
banyak dari Bani Israil yang dikumpulkan dari berbagai wilayah Mesir
lainnya dan dipekerjakan dalam pembangunan Pi-Ramses. Namun ia
menyangkal pernyataan Bibel yang mengungkapkan bahwa semua Bani Israil
dipekerjakan di Pitom dan Pi-Ramses, dan bahwa budak itu hanya terdiri dari
Bani Israil, hal itu menurutnya bertentangan dengan fakta historis. Karena
menurutnya besarnya pembangunan proyek ibu kota baru itu membutuhkan
mobilisasi banyak budak, termasuk Bani Israil dari berbagai wilayah Mesir.
Dan dengan mengandalkan perbudakan terus menerus atas Bani Israil selama
berabad abad membuat mereka menjadi pekerja bangunan yang terampil dan
secara khusus dipekerjakan di ibu kota baru tersebut. Meskipun kemungkinan
itu ada, sulit dimengerti bahwa Raamses II yang membangun bangsa yang
besar tidak mengirimkan setidak-tidaknya para ahli bangunan yang terampil
ke proyek-proyek lain ke berbagai tempat di Mesir. Kebutuhan terhadap
tenaga kerja merupakan bagian dari kebutuhan yang mendesak karena
diadakannya pembangunan besar-besaran di kawasan kekuasaan Ramses II.
Sehingga hal tersebut memaksa orang-orang Mesir melakukan serangan
militer untuk mendapatkan tawanan. Seperti halnya serangan terhadap tanah
orang-orang Libya pada tahun ke-44 kekuasaan Ramses II. Oleh karena itu,
terlihat jelas bahwa partisipasi yang begitu banyak dalam pembangunan Pi-
Ramses tidak membuat Bani Israil berkumpul dalam satu tempat. Saat Nabi
Musa kembali ke Mesir, mereka masih tersebar di seluruh negeri meskipun
35
ada sekelompok diantara mereka yang hidup dan dipekerjakan secara
permanen di Pi Ramses.
Menurut ahli kitab, Bani Israil dipaksa kerja rodi untuk memeras susu.
Mereka memikul beban-beban berat kerajaan Fir‟aun, sementara mereka tidak
membantu apa yang mereka butuhkan, bahkan mereka yang mengumpulkan
tanah, membangun, dan mengambil airnya. Dia meminta kepada mereka
bagian tertentu pada tiap harinya. Apabila mereka tidak mengerjakannya,
maka mereka akan dipukul dan dihinakan dengan sangat hina, dan disakiti
dengan siksaan yang pedih.28
Fir‟aun dan para pengikutnya juga menjadikan Bani Israil sebagai
buruh untuk membajak tanah, memahat batu di gunung dan sebagai pembantu
rumah tangga. Bagi yang tidak bekerja, mereka diwajibkan membayar pajak.
Oleh karena itu, Bani Israil menipu serta berjalan-jalan dengan memakai
pakaian yang buruk, hingga Fir‟aun dan pengikutnya tidak memungut pajak
dari mereka. Seperti dijelaskan oleh Ibn Ishak dalam riwayat Ibn Hamid
bahwa Fir‟aun menyiksa Bani Israil dengan menjadikan mereka sebagai budak
yang hina, dan membagi mereka dalam sejumlah kelompok; ada kelompok
tukang bangunan dan ada kelompok petani. Mereka semua menjadi
pelayannya, dan barang siapa yang tidak ikut melayaninya maka ia wajib
membayar upeti.29
28
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Bairut: Dâr al-Kutub al „Ilmiyyah, tt.), jilid 1, h.
246. 29
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1, h. 716.
36
Jadi, pembunuhan, penyiksaan terhadap Bani Israil dilakukan sejak
lama, yaitu mulai dari pergantian pimpinan kekuasaan dari Hyksos ke Fir‟aun.
Penindasan dilakukan dengan berbagai alasan, takwil dari mimpi Fir‟aun,
kebencian bangsa Qibti terhadap Hyksos dimana bangsa Qibti menganggap
Bani Israil merupakan sekutu dari mereka, dan juga alasan keagamaan.
Mereka juga diperintah kerja paksa di berbagai sektor.
E. Eksodus Bani Israil dari Mesir
Ada dua penulisan peristiwa keluarnya Bani Israil dari Mesir dalam
penulisan para penulis Alkitab, yaitu: pertama menurut Keluaran 12: 40,
peristiwa keluarnya Bani Israil dari Mesir itu berlangsung 430 tahun setelah
Nabi Yusuf dan keluarganya berpindah ke Mesir, yaitu 1690-1550 SM.
Apabila hal tersebut benar, maka peristiwa keluarnya Bani Israil dari Mesir
berlangsung antara tahun 1260 dan 1120 SM. Kedua; menurut I Raja-raja 6:1
peristiwa keluarnya Bani Israil dari Mesir berlangsung 480 tahun sebelum
pembangunan Bait Allah. Bait Allah sendiri diperkirakan dibangun sekitar
tahun 958 SM, dan dari sini dapat dihitung bahwa Keluaran dari Mesir
berlangsung sekitar tahun 1438 SM. Dan tahun ini, 1438, menunjukkan
waktu yang terlalu dini. Akan tetapi perhitungan 480 tahun ini dimungkinkan
secara simbolis menunjuk pada 12 generasi. Zaman yang berlangsung selama
masing-masing generasi dihitung 40 tahun. Namun, orang Israel seringkali
menghitung generasi hanya berjarak 25 tahun. Dengan demikian maka 12
generasi sejak keluaran sebenarnya suatu periode 300 tahun. Bila penulis I
Raja-raja 6:1 benar adanya 12 generasi, sejak keluaran maka bukti yang ia
berikan menempatkan Keluaran dari Mesir sekitar tahun 1258 SM. Jadi
37
keterangan ini juga memberikan perkiraan waktu berlangsungnya Keluaran di
Mesir pada abad ke-13 SM.30
Selain itu, hal tersebut bisa diperhatikan dari pembangunan kembali 2
kota perbekalan oleh Fir‟aun yang sebelumnya telah dibangun dan menjadi
ibukota tua Hyksos, yaitu Pitom dan Raamses (Keluaran 1: 11). Di Bet Sean,
Palestina, ditemukan suatu prasasti (batu bertulis) yang menunjuk pada masa
pemerintahan Fir‟aun Raamses II (1290-1223 SM). Tulisan pada prasasti itu
memberitakan bahwa “pada masa itu telah diangkut batu-batu untuk benteng
besar dari kota Raamses, yang dikasihi Amon”. Fir‟aun juga menamakannya
dengan namanya sendiri. Di Wadi Tumilat Fir‟aun membangun Kota Pitom.
Avaris dan Pitom tempatnya berdekatan, yaitu sama-sama berada di daerah
Gosyen, daerah Bani Israil bertempat tinggal (Keluaran 8: 22). Selain dua
pembangunan tersebut terdapat lukisan kuno yang berasal dari zaman Mesir
kuno dan masih terawat sampai sekarang. Hal ini memperlihatkan bahwa
budak-budak di zaman itu termasuk kelompok suku-suku bangsa semit,
Israil.31
Keluarnya Bani Israil dari Mesir pada abad ke-13 ada dua pendapat
terkait tiga poin utama, yaitu: jumlah Bani Israil, legalisasi dan pengejaran
Fir'aun atas keluarnya Bani Israil.
1. Legalisasi dan Pengejaran Fir'aun atas Keluarnya Bani Israil
30
David F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman al-Kitab. Penerjemah M. Th. Mawene
Jakarta: Gunung Mulia, h. 63 31
David F. Hinson, Sejarah Israel pada Zaman al-Kitab Penerjemah M. Th.
Mawene.Jakarta: Gunung Mulia, h. 59.
38
Dalam Bibel32
dinyatakan bahwa setelah kematian anak sulung
orang-orang Mesir, Fir'aun memenuhi tuntutan Nabi Musa dan
memberinya izin untuk membawa Bani Israil keluar beribadah kepada
Tuhan. Namun, Fir'aun setelah itu menyesalinya dan akhirnya dia
memutuskan untuk mengejar Bani Israil.
Maka pada tengah malam Tuhan membunuh tiap-tiap
anak sulung di tanah Mesir, dari anak sulung Fir'aun yang
duduk di tahtanya sampai kepada anak sulung seorang
tawanan, yang ada dalam liang tutupan, beserta segala
anak sulung hewan. Lalu bangunlah Fir'aun pada malam
itu, bersama semua pegawainya dan semua orang Mesir;
dan kedengaranlah seruan yang hebat di Mesir, sebab
tidak ada rumah yang tidak kematian. Malam itu, raja,
para pejabat, dan semua orang Mesir terbangun. Di
seluruh Mesir terdengar ratapan yang kuat dan tidak ada
satu rumahpun yang tidak kematian anak laki-laki.
Malam itu juga, Fir‟aun memanggil Musa dan Harun dan
berkata; “pergilah dari sini kamu semua! Tinggalkan
negeriku!, pergilah memuja Allahmu seperti yang kamu
minta. Bawalah semua sapi, domba dan kambingmu, dan
pergilah!, mintakan juga berkat untukku.” 33
Hal ini juga disebutkan dalam kitab karangan Ibn Katsîr, al-
Bidâyah wa al-Nihâyah, para ahli kitab berkata bahwa pada malam itu
Allah membunuh anak-anak pertama kaum Qibti dan anak-anak pertama
dari hewan ternak mereka, agar mereka disibukkan oleh hal itu. Lalu Bani
Israil keluar dari Mesir dalam keadaan berduka cita atas apa yang terjadi
terhadap anak-anak pertama mereka dan harta pertama kali yang mereka
32 Disni penulis menghdirkan Bible sebagai salah satu referensi karena dalam menafsirkan
ayat yang berkaitan dengan kisah Bani Israil beberapa mufassir mengutip dari Bible.
33 The Holy Bible; Containing The Old and New Testament, Exodus: 12 (29-32), King
James Version, h. 152.
39
dapatkan. Pada hari itu tidak ada satu rumahpun kecuali di dalamnya
terdapat tangisan dan ratapan.34
Berbeda dengan teks Bibel dan keterangan ahli kitab di atas; al-
Qur'an menyebutkan bahwa Bani Israil meninggalkan Mesir tanpa izin
Fir'aun. Hal ini terdalam dalam QS. Tâhâ [20]: 7735
, QS. al-Syu'arâ [26]:
52, QS. al-Dukhân [44]: 23. Dalam ayat tersebut Nabi Musa diperintah
Allah untuk pergi bersama kaumnya pada malam hari. Beberapa mufassir
seperti halnya Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb sepakat bahwa perginya Nabi
Musa dan Bani Israil dari Mesir tanpa sepengetahuan Fir‟aun.
Namun terkait pengejaran Bani Israil, ada mufassir yang
mengatakan bahwa Fir'aun dan bala tentaranya mengejar Bani Israil
beberapa jam setelah mereka keluar dari Mesir seperti yang terdapat dalam
Tafsir Ibnu Katsir. Sehingga menuai kritik dari Louay Fatoohi, seorang
akademisi yang menulis buku dengan judul sejarah Bani Israil dalam
Bibel dan al-Quran. Bahwa menurutnya hal tersebut tidak sejalan dengan
QS. al-Syu'arâ [26]: 5336
bahwa setelah nabi Musa dan pengikutnya lari,
Fir'aun mengirim utusan ke kota-kota lain agar mengumpulkan tentara
untuk mengejar Bani Israil. Tentu ini membutuhkan waktu beberapa hari
34
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Bairut: Dâr al-Kutub al „Ilmiyyah, tt.), jilid 1, h.
257. 35
QS. Tâhâ [20]: 77
“Dan Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-
hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu,
kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)." 36
QS. al-Syu'arâ [26]: 53
“kemudian Fir'aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota.”
40
atau bahkan beberapa pekan. Jelaslah, Fir'aun dan tentaranya tidak dapat
mengejar Bani Israil setelah matahari terbit setelah malam keberangkatan.
Dari dua pendapat tersebut, penulis lebih sependapat dengan yang
mengatakan bahwa Nabi Musa membawa Bani Israil keluar dari Mesir
tanpa sepengetahuan dari Fir‟aun berdasarkan ayat QS. Tâhâ [20]: 77, QS.
al-Syu'arâ [26]: 52, QS. al-Dukhân [44]: 23. Dan pengejarannya pun tidak
pada hari yang sama.
2. Jumlah Bani Israil
Jumlah Bani Israil yang saat itu keluar dari Mesir bersama Nabi
Musa menurut Tafsir al-Tabarî sebanyak 600.000 orang. Mereka tidak
dihitung dari yang berumur 20 tahun karena masih dianggap kecil dan
yang berumur 60 tahun karena sudah dianggap tua, akan tetapi yang
dihitung yang berumur antara 20 keatas sampai umur 60 tahun dan selain
perempuan.37
Hal yang sama juga disebutkan dalam Bibel yang
mengemukakan bahwa jumlah laki-laki yang ikut rombongan dengan nabi
Musa keluar dari Mesir adalah sekitar 600.000 (keluaran 12: 37; Bilangan
1: 46, 11: 21).38
Hayes merujuk pada sebuah esai abad ke-18 oleh ahli Jerman, H.S.
Reimarus, tentang "perjalanan Bani Israil menyeberangi Laut Merah" yang
menunjukkan kemustahilan yang muncul dari penafsiran literal atas narasi
Bibel mengenai penyeberangan laut. Menilik klaim Bibel tentang 600.000
37
al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1. h. 733. 38
The Holy Bible; Containing The Old and New Testament, King James Version,
Exodus 12: 37; h. 153, Numbers1: 46 h. 303, Numbers 11: 21 h. 336.
41
laki-laki israil yang menyeberang laut, disamping orang-orang yang tidak
disebutkan secara khusus (Keluaran 12: 31) dan memperkirakan angka
perempuan, anak-anak dan hewan, Reimarus menyimpulkan bahwa jumlah
keseluruhan rombongan yang menyeberangi laut itu adalah sekitar
"3.000.000 orang, 300.000 sapi jantan dan betina, 600.000 kambing dan
domba". Oleh karena itu, sekitar 5.000 kereta diperlukan untuk membawa
bekal dan 300.000 tenda diperlukan sebagai rumah dengan sepuluh orang
pertenda. Jika jumlah itu berbaris sepuluh sepuluh, maka tiga juta akan
membentuk barisan sepanjang 180 mil. Diperlukan minimal 9 hari bagi
rombongan semacam itu untuk menyeberangi laut yang terbelah". Dengan
mengesampingkan masalah akurasi perhitungan ini, contoh tersebut
menunjukkan bahwa angka 600.000 telah ditolak oleh para pengkritik pada
masa lalu, seperti ungkapan Hayes yang mengutip ungkapan Reimarus.39
Hyat juga menegaskan bahwa "angka itu dibesar-besarkan oleh
tradisi keagamaan pada tahun-tahun antara eksodus dan narasi paling awal
(Hyat, 1971: 139). Hyat dan peneliti lain juga melihat bahwa padang gurun
antara Mesir dan Palestina tidak dapat menampung 2-3 juta orang dan
tidak mungkin menyediakan makanan seperti di klaim Bibel serta tidak
terbukti dari arkeologi. Baruch Halpern, Profesor Sejarah Purbakala dan
Studi Yahudi di Pensylvania State University, bahkan menolak angka
80.000 yang diberikan Manetho.40
39
Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan al-
Qur‟an. Penerjemah Munir A. Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 238. 40
Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan al-
Qur‟an. Penerjemah Munir A. Mu‟in (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 238.
42
Bibel menyebutkan bahwa Bani Israil berjumlah 600.000 saat
keluar dari Mesir. Hal ini berbanding terbalik dengan al-Qur'an yang
menyatakan bahwa Bani Israil yang keluar dari Mesir bersama Nabi Musa
berjumlah sedikit. Penyebutan ini terdapat dalam deskripsi Fir'aun
mengenai Bani Israil yang merupakan "kelompok yang berjumlah sedikit"
(QS. al-Syu'arâ‟ [26]: 52-56).
Pernyataan dalam Bibel sedikit-banyak mempengaruhi mufassir
dalam menafsirkan al-Qur'an. Salah satu contoh pengaruh Bibel terhadap
para mufassir muslim adalah bahwa mereka sering mengklaim bahwa Bani
Israil berjumlah 600.000 ketika meninggalkan Mesir. Penggunaan angka
600.000 juga sangat menonjol misalnya dalam kitab tafsir al-Qurtubî,
tafsir al-Tabari yang mengklaim dalam kitab tafsirnya bahwa Bani Israil
berjumlah 600.000. Bahkan ada mufassir yang memutuskan bahwa Bani
Israil adalah kelompok yang sangat besar, meskipun menyebutkan
berjumlah 600.000 itu tidak pasti.
Jumlah Bani Israil yang sedikit itu menurut Louay Fatoohi
menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana Ramses II, orang tua renta
yang mungkin berusia 90 tahunan, berpartisipasi dalam pengejaran
terhadap Bani Israil. Pertama Ramses II memimpin sendiri bala tentara itu
karena pertentangannya dengan nabi Musa telah menjadi sangat personal.
Dia ingin menyaksikan sendiri kehancuran Bani Israil. Kedua, Ramses II
yang telah lanjut usia berfikir bahwa dia hanya melakukan serangan militer
yang berskala kecil. Dia hanya akan menghadapi sekelompok kecil mantan
budak yang tak bersenjata dan pemimpin mereka. Ramses II yang lemah
43
menganggap bahwa dia tidak akan menghadapi peperangan apapun. Bani
Israil hanya akan pasrah sepenuhnya untuk dibunuh.
Dari apa yang disampaikan Louay Fatoohi tersebut penulis juga
mengecek langsung dari beberapa kitab tafsir untuk mengukur argumen
yang sudah ada dari para ahli tersebut. Beberapa penulis tafsir dalam
menuliskan jumlah Bani Israil yang keluar dari Mesir sejalan yang
disampaikan Bible tersebut. Dan berdasarkan analisa yang ditulis oleh
Hyat juga ayat dalam QS. al-Syu'arâ‟ [26]: 52-56 yang menyebutkan
bahwa Bani Israil berjumlah sedikit adalah lebih rasional menurut penulis
44
BAB IV
IBRAH DARI PEMBANGKANGAN BANI ISRAIL
A. Wajib Taat Pada Perintah Pemimpin
QS. al-Baqarah [2]: 55
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum Kami melihat
Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar,
sedang kamu menyaksikannya".
Diriwayatkan dalam kitab Tafsir al-Tabari bahwa Abu Ja‟far berkata
pentakwilan ayat ini adalah Dan ingatlah pula ketika kalian, Bani Israil,
berkata kepada Musa, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu
sebelum kami melihat Allah secara nyata dan dengan mata kepala tanpa
hijab.”
Menurut Quraish Shihab Bani Israil terlihat angkuh dengan hanya
memanggil Nabi Musa dengan namanya secara langsung “hai Musa”
ditambah keinginan melihat Allah dengan terang sebagai syarat percaya
kepada apa yang disampaikan Nabi Musa.1
نك ؤي karena idiom yang digunakan kata pada (ل) adalah lam ؤي
kata نك laka, sedang biasanya ia langsung menyebut objeknya atau
menggunakan ة ba‟; karena itu kata tidak percaya yang mereka maksud
1 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h. 243.
45
bukan tertuju pada pribadi Nabi Musa, tetapi kepada apa yang beliau
sampaikan. Sedangkan menurut al-Qurthubi نك ؤي mengandung arti kami ن
tidak akan beriman kepadamu yakni kami tidak akan percaya kepadamu.
شح شح sebelum kami melihat Allah dengan terang. Kata حت ش للا ج ج
terang-terangan yang digunakan ayat di atas untuk meyakinkan bahwa bukan
sekedar pengetahuan tentang Tuhan yang mereka kehendaki, tetapi
melihatNya dengan mata kepala. Syarat tersebut melampaui batas dan bukan
pada tempatnya, oleh karena itu mereka disambar halilintar1. Matahari saja
tidak dapat ditatap oleh manusia, bagaimana untuk melihat Allah secara
langsung. Menurut Ibnu Faruk, hukuman yang diberikan Allah tersebut ada
kemungkinan disebabkan oleh permintaan mereka untuk melihat Allah, yaitu
ucapan mereka شح .kami melihat Allah dengan terang ش للا ج2
Mereka adalah 70 orang yang dipilih Nabi Musa. Ketika Nabi Musa
memperdengarkan firman Allah kepada mereka, mereka mengatakan نك ؤي ن
kami tidak akan beriman kepadamu, padahal iman kepada nabi merupakan
suatu kewajiban setelah adanya mukjizat. Allah kemudian menurunkan api
dari langit dan membakar mereka. Setelah itu Nabi Musa berdoa kepada Allah
sehingga Allah menghidupkan mereka kembali.3
karena itu kamu disambar halilintar althabari فأخزتكى انصعقخ
1 Menurut Quraish Shihab halilintar yang dimaksud disini bisa jadi adalah api yang
membakar akibat pertemuan listrik positif dan negatif di awan, atau bisa juga karena udara yang
tercemar akibat halilintar atau suara halilintar. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera
Hati, 2012), Jilid 1, h. 243.) 2 Qurthubi, Tafsir al-Qurtubi (Kairo: Dȃr Akhbȃr al-Yaum, 1991) jilid 1. H. 403.
3 Qurthubi, Tafsir al-Qurtubi (Kairo: Dȃr Akhbȃr al-Yaum, 1991) jilid 1. H. 403.
46
karena itu kamu disambar halilintar. Menurut Quraish فأخزتكى انصعقخ
Shihab Allah mengancam mereka untuk menjatuhkan gunung pada Bani Israil
saat di Bukit Thursina.4 Demikan juga Al-Qurthubi berpendapat bahwa
kematian akibat disambar halilintar tersebut merupakan hukuman bagi
mereka, contohnya adalah firman Allah swt. QS. al-Baqarah [2]: 243:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka
beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah
berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Al-Tabari dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 55 tersebut juga
mengaitkan dengan pembangkan mereka yang lain. yaitu selain penolakan
mereka untuk beriman, ketika diseru untuk berperang mereka berkata ت ت أ فبر
ب قبعذ سثك فقبتال إب pergilah kamu bersama tuhanmu, dan berperanglah
kalian berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja (QS. al-
4 Ulama berbeda pendapat tentang “Thur”, diriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abbas;
Thur adalah nama gunung tempat Allah berbicara dengan Nabi Musa dan Allah menurunkan
Taurat bukan kitab selainnya. Dhahhak berpendapat “Thur” adalah gunung yang ada tumbuhan
disitu. Mujahid dan Qatad ah berkata; “Thur” adalah gunung (umum), Mujahid menambahkan
“Thur” adalah berasal dari Bahasa Suryani artinya gunung (nama untuk setiap gunung. al-
Qurthubi, Tafsir al-Qurtubi (Kairo: Dȃr Akhbȃr al-Yaum, 1991) jilid 1, h. 436.
47
Mâidah [5]: 24).5 Juga ketika dikatakan kepada mereka ادخها انجبة ا حطخ ن ق
ئتكى ذا غفشنكى خط dan katakanlah; „dan bebaskanlah kami, dari dosa kami سج
dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya kami ampuni
kesalahan-kesalahan kalian‟ (QS. al-A‟râf [7]: 161)6 mereka mengganti
perintah tersebut dengan mengatakan ش شع طخ ف .(makanan dari gandum) ح7
Termasuk pula QS. al-Mȃidah [5]: 22 yang menunjukkan keengganan
mereka untuk taat pada Nabi Musa.
Mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri
itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya
Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka
ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya,
pasti Kami akan memasukinya".
5 Hal ini terjadi ketika Nabi Musa pergi meninggalkan Mesir dan pergi ke arah Baitul
Maqdis. Dia menemukan beberapa kaum dari kalangan Jabariyyun, Haitsaniyyun, al-Fazariyyun,
al-Kan‟aniyyun dan lainnya. Nabi Musa memerintahkan Bani Israil untuk mendatangi, menyerang
dan mengeluarkan mereka dari Baitul Maqdis, karena Allah menetapkan tempat itu untuk Bani
Israil melalui Nabi Ibrahim dan Nabi Musa al-Kalim. Namun mereka enggan dan menarik diri
untuk berperang. Oleh karena itu, Allah menguasai mereka dengan rasa takut, lalu membuat
mereka bingung, mereka berjalan, singgah, lalu bepergian lagi. Mereka pergi dan datang kembali
dalam waktu yang lama, yaitu selama 40 tahun. Ibnu Katsir, al-Bidȃyah wa al-Nihȃyah (Bairut:
Dȃr al-Kutub al „Ilmiah, tt.), jilid 1, h. 259. 6 Ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Yerussalem dengan ruku' dan
mengatakan hittotun (bebaskanlah kami dari dosa) mereka masuk dengan mengedepankan paha
mereka dari pintu kecil dan mengatakan dengan nada mengejek hintatun (gandum), dalam riwayat
al-Mutsanna bin Ibrahim disebutkan bahwa pintu direndahkan untuk mereka agar mereka
menundukkan kepala. Namun mereka enggan bersujud dan masuk dengan mengedepankan paha
mereka ke arah gunung, yaitu gunung dimana Allah menampakkan zatNya, sambil mengatakan
hintatun, ada riwayat yang mengatakan bahwa kalimat tersebut diganti dengan habbatun fii
syaȋroh (biji gandum merah dalam gandum). (Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan
Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), Jilid 1. h. 801.)
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbahnya menyebutkan bahwa mereka mengganti
perintah sujud, tunduk, dan rendah hati dengan mengangkat kepala, membangkang dan angkuh.
Mereka mengganti ucapan hittah dengan hintah. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta:
Lentera Hati, 2012), jilid 1, h. 247.) 7Al-Thabari, Tafsir al-Tabari, Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
Jilid 1. h. 766-768.
48
Sebagaimana diisyaratkan oleh kata antara lain digunakan
untuk mengisyaratkan keraguan tentang bakal terjadiya sesuatu. Berbeda
dengan kata idza yang mengandung arti kepastian. Bahkan dalam ayat 24
mengucapkan pergilah engkau bersama tuhanmu dan berperanglah kamu
berdua, sesuangguhkan kami disini duduk menanti yang menunjukkan sikap
ketidakpedulian, penghinaan terhadap Allah dan rasulNya serta keangkuhan
mereka.8
Pada surat al-Baqarah ayat 679 Bani Israil juga memperlihatkan
ketidakpercayaannya kepada Nabi Musa dengan mengatakan atattakhidunȃ
huzuwȃ ? “apakah Engkau akan menjadikan Kami sebagai ejekan?. Menurut
Mutawalli Sya‟rawi tidak seharusnya mereka melawan apa yang diperintahkan
Allah melalui Nabi Musa. Karena perintah itu berasal dari orang yang
derajatnya lebih tinggi.10
Berbeda apabila perintah itu diperintahkan oleh
orang yang sederajat, maka kita berhak menanyakan apa untung ruginya
melaksanakan perintah itu. Tapi apabila diperintah oleh dokter ke pasien maka
tidak diperlukan sebab perintahnya.
8 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 3, h. 82.
9 QS. Al-Baqarah [2]: 67
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina. mereka berkata: Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah
ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil.” 10
Apabila permintaan disampaikan oleh orang yang lebih tinggi makanamanya perintah.
Kalau sesama makhluk sederajat namanya permohonan. Permintaan dari yang lebih rendah ke zat
yang lebih tinggi namanya doa.
49
Nabi Musa membersamai mereka keluar dari penindasan Fir‟aun,
terdapat banyak mukjizat sepanjang perjalanan, namun tetap saja belum
mereka percaya. Mereka tidak percaya dengan apa yang diperintahkan Nabi
Musa dan menduga Nabi Musa mempermalukan dan menjadikan mereka
bahan ejekan. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi atas nama
Allah. Menurut Sayyid Qutb ini adalah cara mereka untuk membangkang dari
perintah.11
Dalam dialog awal Nabi Musa sudah menjawab dengan santun dan
bahasa yang jelas aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil. Semestinya sudah cukup sebagai
pengarahan terhadap mereka dan mereka melaksanakan perintah, namun
dialog ternyata masih panjang.
Mengangkat pemimpin dalam perjalanan merupakan hal yang
diperintahkan Nabi saw12
, dan mentaati pemimpin juga adalah sebuah
keharusan selagi pemimpin tersebut tidak memerintahkan pada hal yang
dilarang. Namun, ketaatan pada pemimpin ini selama dalam perjalanan tidak
dilakukan oleh sebagian besar Bani Israil. Mereka punya berbagai alasan
untuk menyangkal apa yang disampaikan Nabi Musa. Perilaku mereka sering
berseberangan dengan apa yang diwahyukan Allah melalui Nabi Musa.
Sehingga dalam penafsiran surat al-Baqarah ayat 55 tersebut Allah
menghukum mereka dengan disambar halilintar serta Allah membuat
kebingungan terhadap Bani Israil selama 40 tahun.
11
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilȃl al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani,
2004), Jilid 1, h. 94. 12
Dalam hadis nabis saw:
ب بعم، حذث إس ، حذثب حبتى ث ثحش ث حذثب عه خ، ع أث سه بفع ، ع ، ع عجال ذ ث يح سسل للا شح، أ ش أث
سهى قبل ى » :صه هللا عه شا أحذ ثالثخ ف سفش فهؤي ت أ «إرا كب خ: فأ : فقهب ألث سه يشبقبل بفع
50
B. Wajib Mensyukuri Nikmat yang diperoleh dari Perjalanan
1. QS. Al-Baqarah [2]: 57
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan
kepadamu "manna" dan "salwa". makanlah dari makanan
yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan
tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah
yang Menganiaya diri mereka sendiri.
بو كى انغ ظههب عه dan Kami naungi kamu dengan awan, secara
etimologi بو adalah setiap yang menutupi langit berupa awan dan انغ
lainnya, yang menghalangi pandangan mata. Namun بو yang menaungi انغ
mereka bukan awan biasa seperti yang dikatakan al-Mutsanna dalam
riwayatnya bahwa بو bukan awan biasa, akan tetapi ghamam yang انغ
didatangkan Allah pada hari kiamat khusus untuk mereka. Dan al-Qasim
juga menyebutkan pada riwayatnya bahwa بو tersebut adalah ghamam انغ
yang lebih dingin dan lebih sejuk, yang kelak didatangkan Allah pada hari
kiamat dalam firmanNya بو انغ ظهم ي dalam (pada hari kiamat) ف
naungan awan. (QS. al-Baqarah [2]: 210). Itu adalah ghamam yang
dibawa para malaikat pada waktu perang Badar.13
As Suddi mengatakan
13 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2011), Jilid 1 777-788.
51
bahwa بو adalah awan berwarna putih. Allah menaungi awan ini kepada انغ
mereka pada siang hari untuk melindungi mereka dari terik matahari.14
ه انس كى ان زنب عه أ dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan
"salwa". Ulama berbeda pendapat tentang makna manna dan salwa.
Muhammad bin Amru mengatakan bahwa manna adalah samghah (sejenis
minuman). Hasan bin Yahya mengartikan manna adalah sesuatu yang
diturunkan atas mereka seperti salju. manna adalah minuman seperti susu
hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Yunus bin Abdul A‟la, al-Mutsanna
bin Ibrahim dan Ahmad bin Ishaq. Manna juga diartikan dengan buah
yang jatuh pada pohon yang dimakan manusia seperti yang diriwayatkan
oleh al-Qasim, al-Mutsanna, al-Minjab bin al-Harits dan Ahmad bin
Ishaq.15
Pendapat al-Qasim, al-Mutsanna, al-Minjab bin al-Harits dan
Ahmad bin Ishaq tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang
disampaikan Sya‟rawi, yaitu al-manna adalah buah, titik merah yang
menempel di dedaunan pohon yang datang antara waktu fajar sampai terbit
matahari. Sampai sekarang ia masih ada di Irak. Pada pagi hari manusia
datang dengan kain putih lalu membentangkannya di bawah pohon. Lalu
pohon itu digoyang dengan kencang agar buah manna berjatuhan ke atas
kain. Rasa buah ini seperti manis madu lebah dan qistah (kue yang dibuat
dari tepung yang dicampur dengan gula dan madu). Manna termasuk
14
Al-Qurtubi, Tafsîr al-Jamî‟ al-Ahkâm al-Qur‟an (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Arabiyah li al-
Tabiah wa al-Nasyr). Jilid 1. H. 406. 15
Al-Tabari, Tafsir al-Tabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
Jilid 1 777-788.
52
manisan yang nikmat, bergizi, mudah ditelan dan cepat larut di dalam
tubuh. Allah menurunkan manna sebagai bahan bakar dan energi bagi
Bani Israil. 16
Salwa menurut Abu Ja‟far dalam Tafsir al-Tabari adalah burung
dari langit sebangsa burung puyuh. Hal yang sama disebutkan oleh
Sya‟rawi dengan penjelasan yang lebih rinci, yaitu burung yang datang
berkelompok besar secara tiba-tiba tanpa diketahui asalnya. Kemudian
burung-burung itu menetap di bumi hingga Bani Israil dapat menyembelih
dan memakannya. 17
Allah menaungi Bani Israil dengan ghamâm, memberikan manna
dan salwa serta memberikan sumber mata air18
di padang pasir. Hal ini
terjadi setelah mereka menolak untuk masuk ke dalam kota yang dikuasai
orang gagah perkasa, serta menolak untuk memerangi mereka. Oleh
karenanya Bani Israil ditetapkan untuk tinggal di padang Tiih selama 40
tahun.
16
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 350. 17
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 350-
351. 18
QS. al-Baqarah [2]: 60.
60. dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman:
"Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata
air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan
dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka
bumi dengan berbuat kerusakan.
53
Nikmat tersebut Allah berikan secara bertahap, menurut al-Tabari
dalam kitab tafsirnya bahwa setelah makanan dan minuman tersedia,
mereka, Bani Israil kemudian berkata: „lalu mana tempat berlindung? Lalu
Allah menaungi mereka dengan ghamâm. Setelah Allah menurunkan
makanan, minuman dan ghamâm, Allah memerintahkan kepada mereka
agar memakan yang baik-baik yang Allah rizkikan.19
Namun karena mereka tidak beriman dengan hal yang gaib maka
mereka takut kalau makanan tersebut tiba-tiba tidak tersedia. Oleh karena
itu, yang seharusnya bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah secara
terus menerus namun mereka mereka menerima secara apatis dan
membangkang.20
Mereka dzalim terhadap dirinya sendiri sehingga Allah
menghukum mereka. ظلمون كلكن كانػوا أنػفسهم يظلموف كما tidaklah mereka
menganiaya kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri.
2. QS. Al-Baqarah [2]: 61
19
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1 h. 788. 20
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawî (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 351.
54
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami
tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja.
sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar
Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan
bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang
putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa
berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai
pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota,
pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu
ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta
mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi)
karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan.
demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat
durhaka dan melampaui batas.
Ucapan mereka “Hai Musa, kami tidak akan sabar dengan satu
macam makanan saja”. Selain penyampaian yang tidak sopan, mencerca
makanan tidak pernah dilakukan nabi, kalau beliau tidak selera dengan
makanan, beliau tinggalkan. Bahkan redaksi yang dipilih serta kandungan
ucapan itu, ( لن) lan diterjemahkan tidak akan bermakna “sejak saat ini
sampai masa yang berkelanjutan, kami tidak sabar dan tidak akan sabar
55
atau mampu menahan diri dari memakan satu macam makanan saja. Kami
telah bosan dengan makanan itu”21
Yang dimaksud satu macam makanan dalam ayat tersebut menurut
Sya‟rawi adalah satu dalam penyajiannya (tidak ada variasi). Makanan
yang mereka minta adalah makanan dari kelas rendahan (kelas hamba).
Mereka senang sebagai hamba. Allah ingin mengangkat derajat mereka
dengan menurunkan manna dan salwa namun mereka lebih
mengutamakan makanan kelas hamba.22
Mereka menggunakan redaksi kalimat tersebut, yaitu
berkesinambungan tanpa batas dan juga berkata satu macam makanan
padahal mereka mendapat dua macam makanan. Mereka juga bersikap
aneh, meremehkan ajaran-ajaran yang beliau sampaikan, namun percaya
bahwa doa beliau pasti dikabulkan oleh Allah swt. Salah satunya adalah
mereka minta kepada Nabi Musa agar memohon kepada Allah agar
mengeluarkan sayuran, bawang putih, ketimun dan bawang merah. 23
ش خ أد ثبنز انز maukah kamu mengambil أتستجذن
suatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik. Sya‟rawi
menafsirkan rendah disini maksudnya bukan hina, namun dari segi
ciptaannya, yaitu Allah menciptakan sesuatu dengan dua cara; pertama,
penciptaan dengan sebab; kedua, penciptaan tanpa sebab. Apa yang
diciptakan Allah secara langsung dengan cara kun (jadilah) lebih baik
21
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h. 253-255. 22
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawî (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 364. 23
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Jilid 1, h. 253-255.
56
daripada diciptakan melalui sebab, karena murni dari Allah. Sedangkan
penciptaan dengan sebab mengandung campur tangan manusia, seperti
membajak sawah dan menyebar benih.24
Dan karena mereka meminta secara paksa, Allah berfirman إىبطوا
ambillah olehmu beberapa rumah di Mesir untuk tempat مصرا فإف لكم ما سألتم
tinggal. Oleh karena itu mereka ditimpakan kehinaan, nista dan murka dari
Allah. Mereka kufur nikmat dan kufur terhadap ayat-ayat Allah.25
Ayat ini penekanannya pada kecaman atas mereka yang
meremehkan nikmat-nikmat Allah sehingga merubah keadaan mereka dari
nikmat menjadi niqmat (bencana dan siksa).
Nikmat dan kesempatan bertaubat datang kepada mereka. Seperti
halnya peristiwa di atas, terjadinya setelah Bani Israil disambar halilintar
karena permintaannya untuk melihat Allah dengan terang, lalu Allah
membangkitkan mereka agar mereka bersyukur. Allah juga mengingatkan
dengan yang diberikan kepada Bani Israil yaitu ingatlah ketika Bani Israil
berada di padang pasir yang tidak terdapat tempat berteduh dari terik
panas matahari maka Allah meneduhkan dengan awan.
Bani Israil yang seharusnya bersyukur atas hal itu malah
menerimanya secara apatis dan membangkang. Bahkan disebutkan dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 61 Bani Israil menolak rezeki dari langit, manna dan
salwa walaupun makanan tersebut bermutu baik. Baik dilihat dari segi
24
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al-Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 364 25
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al- Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), Jilid 1, h. 365.
57
kualitas karena rezeki itu berbentuk makanan manis murni dan lezat serta
diturunkan dari langit secara langsung atau dilihat dari segi kuantitas,
rezeki yang sangat banyak itu didapatkan tanpa usaha, kerja keras serta
susah payah.26
Ibnu Katsir, Quraish Shihab, Mutawalli Sya‟rawi, Sayyid Qutb dan
al-Tabari bersepakat bahwa mereka melakukan hal tersebut karena mereka
merasa bosan dengan satu macam makanan saja. Quraish Shihab
menambahkan lebih buruknya lagi mereka menggunakan redaksi kata lan
( yang diartikan tidak akan bermakna “sejak saat ini sampai masa yang (ن
berkelanjutan, kami tidak sabar dan tidak akan sabar atau mampu menahan
diri dari memakan satu macam makanan saja. Kami telah bosan dengan
makanan itu”.27
Selain karena merasa bosan dengan satu macam makanan, hal itu
juga karena Bani Israil khawatir kalau tiba-tiba makanan tersebut tidak
tersedia. Seperti komentar mereka saat berdialog dengan Nabi Musa
“Siapa yang bisa memastikan makanan itu datang terus, bisa jadi suatu
waktu ia tidak datang. Oleh karena itu, kami ingin makanan yang dipetik
langsung dari hasil tanaman sendiri, yang akan berkesinambungan dan
26
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), h. 351. 27
Menurut Perjanjian Lama, ini mereka ucapkan pada bulan kedua dari tahun kedua
eksodus mereka dalam perjalanan mereka menuju Hebron atau Yerussalem. Mereka mengatakan
kami teringat makanan yang kami makan di Mesir dan kami telah bosan dengan almann dan al-
salwa. yakni apakah benar kalian lebih mengutamakan semua jenis makanan itu daripada jenis
makanan yang lebih baik, yaitu almann dan al-salwa? Kalau itu ya ng kamu kehendaki, tinggalkan
saja tempat ini dan pergilah kamu ke kota, kota apapun atau kembalilah ke Mesir pasti kamu
memeroleh apa yang kamu minta itu.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati,
2012), jilid 1, h. 254.
58
akan selalu berada di bawah pengawasan kami”.28
Mereka juga mendikte
Nabi Musa makanan apa saja yang mereka inginkan, yaitu baql, qitstsȃ‟,
fȗm, „Adas, basal.29
Padahal Allah telah memperingati mereka untuk menerima rizki
yang diberikan Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Tȃhȃ
[20]: 81:
Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami
berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas
padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpamu. dan Barangsiapa ditimpa oleh
kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.
Disebutkan dalam kitab Tafsir al-Tabari bahwa ayat ini turun
setelah Nabi Musa dan Bani Israil menyeberangi lautan. menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan Bani Israil untuk memakan apa yang
diberikan kepada mereka. Dan patutnya mereka tidak melampaui batas
agar tidak mendapat kemurkaan dari Allah.30
Bani Israil diingatkan oleh Allah untuk tidak melampaui batas
dengan melanggar tuntunan Allah menyangkut cara perolehan dan
28
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-yaum, 1991), Jilid. 1. h. 363. 29
Baql seluruh jenis sayur yang tidak mempunyai akar, seperti slada, daun sledri, qitstsȃ‟
sejenis timun, fȗm gandum atau bawang putih, „Adas kacang adas, basal bawang merah. Al-
Qurtubi meriwayatkan fȗm adalah setiap biji yang dapat dibuat roti. Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir
Sya‟rawî (al-Azhar: Akhbȃr al-yaum, 1991), Jilid 1, h. 363. Al-Bukhari fȗm adalah segala macam
biji-bijian yang dapat dimakan. Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azim (Riyadh: Dâr Tayyibah li al-
Nasyr wa al-Tauzî‟, 2007), Jilid I, h. 284. 30
Al-Tabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 17, h. 902.
59
penggunaan makanan. Dan apabila hal tersebut terjadi. Kemurkaan
Allahlah yang akan menimpa mereka.31
Pada ayat lain, surat al-Baqarah [2]: 65, mereka mengambil
makanan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syari‟at Nabi Musa saat
itu yaitu memasang bubuh pada hari sabtu untuk menangkap ikan. Disitu
mereka membuat siasat licik dan tidak tepat janji. Mereka meminta satu
hari untuk istirahat. Saat Allah menetapkan hari sabtu sebagai hari suci
untuk mereka dan dilarang beraktifitas diluar rumah mereka hendak
menipu Allah dengan memasang bubuh dan mengambil pada besok
harinya. Hal ini tidak sejalan dengan al-Qur‟an surat al-Mukminȗn [23]:
8-11, QS. al-Anfȃl [8]: 27. al-Isrȃ‟ [17]: 34, al-Mȃidah: 1, al-Nahl: 91
tentang keharusan menepati janji32
pada Allah. Orang yang beriman
dituntut untuk memenuhi akad yang tersurat dan tersirat.
Berulang kali Allah memberikan nikmat kepada Bani Israil namun
mereka tetap pada sifatnya yang tidak pernah puas dan mudah mengeluh.
Atas sikap mereka tersebut Allah memberikan label terhadap Bani Israil
sebagai orang yang dzalim dan kufur nikmat.
3. Wajib Menjaga Aqidah
a. QS. al-Baqarah [2]: 65
31
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), jilid 8, h. 345. 32
Janji dalam cerita Bani Israil tersebut adalah Allah menjanjikan Nabi Musa kitab
Taurat sebagai panduan untuk Bani Israil. Oleh karena untukkeperluan Bani Israil pula, maka janji
itu juga berlaku untuk mereka (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012),
Jilid 8, h. 345).
60
Dan Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang
melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina.
Sya‟rawi menafsirkan ayat ini dihubungkan dengan QS. al-
Jumuah ayat 9-10. Allah tidak menginginkan hambanya beribadah
secara asal-asalan.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Keduanya merupakan manhaj Allah, maka diharapkan untuk
tidak bekerja dan berdagang pada waktu salat jumat. Juga sebaliknya
tidak meninggalkan barang dagangan dengan tetap tinggal di Masjid.33
33
Di dalam al-Quran hanya dua hari saja yang disebutkan; jumat dan sabtu. Jumat
merupakan hari raya ummat Islam yang dilakukan dengan berkumpul dan salat jumat di masjid.
61
Bani Israil meminta untuk dijadikan untuk mereka hari untuk
istirahat dari hal dunia, Allah memberikan hari sabtu. Allah menguji
mereka dengan banyaknya ikan-ikan bermunculan pada hari tersebut
dan tidak pada hari lainnya (QS. al-A‟râf [7]: 163). Namun mereka
melakukan tipu daya dengan memberikan perangkap pada ikan-ikan
tersebut.34
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbahnya mereka
tidak mengail tetapi membendung ikan dengan menggali kolam
sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu. Peristiwa ini terjadi di
Teluk Aqabah. Kemudian setelah hari sabtu mereka mengailnya. Allah
murka terhadap mereka, sehingga Allah berfirman kepada mereka
“jadilah kamu kera yang hina dan terkutuk”
Terkait bentuk kera, para mufassir seperti al-Tabari, Quraish
Shihab, Sya‟rawi dan Sayyid Qutb tidak mempermasalahkan Bani
Israil berubah menjadi kera secara fisik atau hati dan pikiran mereka
saja. Menurut Sya‟rawi yang perlu diperhatikan adalah esensi dari
penyebutan hewan tersebut. Kera adalah binatang yang hanya bisa
dididik dengan tongkat. Bani Israilpun tidak menerima manhaj Allah
kecuali gunung Sinai di angkat lalu dijatuhkan dari atas mereka.
Jumat tidak mengikuti bilangan hari yang ada; ahad berasal dari kata wahid, satu. senin berasal
dari kata isnaini, dua. Selasa berasal dari kata tsalaatsah,tiga. Rabu berasal dari kata arba‟ah,
empat. Kamis berasal dari kata khamsun, lima. Allah menamakannya dengan jumat karena pada
hari itu telah berkumpul seluruh alam semesta untuk hari jadinya,ummat Islampun berkumpul dan
bergembira karena telah sempurna penciptaan alam semesta pada hari ini.
Sedangkan sabtu berasal dari kata sabata terputus. Dapat juga diartikan tenang. Telah
diketahui bahwa penciptaan alam semesta terjadi dalam enam hari qs albaqarah; 4. Artinya
penciptaan selesai pada hari jumat, keenam dan pada hari ketujuh, sabtu semua telah tenang dan
sempurna. (Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al- Sya‟rawî (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid 1, h.
381-382). 34
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al- Sya‟rawî (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid 1, h.
383.
62
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan
kera dan babi (QS. al-Mâidah [5]: 60).35
Israil tidak mentaati apa yang diperintahkan Nabi Musa,
mereka beralih menyembah patung anak sapi saat ditinggal Nabi Musa
ke Bukit Thursina. Mereka disebutkan sebagai orang dzalim dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 5436
karena telah menyekutukan Allah dengan
menyembah sapi yang dibuat oleh Musa al-Samiry tersebut.
Hal ini sejalan pula dengan QS. al-A‟râf ayat 163 yang artinya:
Dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di
dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu
datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu,
ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami
mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik. Mereka meminta
diadakan hari tertentu bagi mereka untuk istirahat dan sebagai hari
yang disucikan, hari untuk beribadah. Kemudian Allah menjadikan
hari sabtu sebagai hari suci dan mereka dilarang bekerja untuk mencari
penghidupan.
Allah menguji Bani Israil dengan mendatangkan banyak ikan
pada hari sabtu, dan pada hari lain ikan bersembunyi. mereka
melakukan pelanggaran dengan cara yang licik. Mereka tetap
35
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir al- Sya‟rawî (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid 1, h.
384. 36
Mutawalli Sya‟rawi menyebutkan bahwa kedzaliman dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
dzalim kepada dzat yang Maha Agung atau pencipta, dzalim terhadap apa yang diperintahkan
Allah, menyekutukan Allah dan menghalalkan hak manusia untuk dirampas. (Mutawalli Sya‟rawi,
Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-yaum, 1991), h. 342).
63
beribadah namun juga mendapat ikan yang banyak dengan membuat
perangkap yang dalam agar ikan-ikan masuk dalam perangkap mereka.
Mereka mempermainkan hukum Allah dengan cara tersebut. Oleh
karena itu, dalam QS. al-Baqarah [2]: 65 tersebut dan QS al-Mȃidah
[5]: 60 jelas tertulis bahwa Allah menghukum mereka dengan
menjadikan kera dan babi.37
Allah murka terhadap orang yang memancing ikan sehingga
merubahnya menjadi kera yang hina.
b. QS. al-Baqarah [2]: 51
Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa
(memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu
kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya
dan kamu adalah orang-orang yang zalim.
Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada كإذ كاعدن موسى أربعني ليلة
Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam. Menurut Makiy,
Abu Hatim, dan Abu Amru berpendapat bahwa lafadz yang digunakan adalah
ن د كع tanpa alif bermakna Kami (Allah) menjanjikan. Karena itu lafadz
37 Mereka telah berubah menjadi kera dengan ruh, akal, jiwa, perasaan dan pola pikirnya.
Wajah dan roman mereka mengesankan berubah karena adanya pengaruh yang begitu dalam dari
ruh, pikiran dan watak serta perasaan yang demikian itu (Sayyid Qutb, Tafsir fi Dzilal al-Qur‟an.
Penerjemah As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani, 2004), Jilid 1, h. 92). Menurut Sya‟rawi
dalam kitab tafsirnya, Tafsir Sya‟rawi, berubahnya Bani Israil menjadi kera merupakan kehendak
Allah. Dalam ayat tersebut disebutkan kȗnȗ qiradah “jadilah kera”, maka dengan sendirinya
jadilah mereka kera, yang memerintah mempunyai kuasa, yang diperintah tidak punya kuasa untuk
melawan perintah. Ulama berbeda pendapat tentang proses bagaimana Bangsa Israil berubah
menjadi kera. Sebagian berpendapat telah terjadi proses perubahan tanpa mereka inginkan dan
tiba-tiba tubuh mereka berubah menjadi kera. (Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (Kairo:
Akhbȃr al-Yaum, 1991), h. 384).
64
harus dijadikan bentuk tunggal, sebab dzahir nash menunjukkan janji
tersebut hanya disandarkan kepada Allah semata. Dan muwa‟adah
(saling berjanji) hanya terjadi pada manusia. muwa‟adah itu muncul
pada dua pihak. Namun dalam perkataan orang arab, lafadz yang
mengandung wazan mufa‟alah juga terkadang muncul dari satu pihak.
Dawaitul ‟Alîl ) aku mengobati orang yang sakit. Menurut Abu Ishaq
az Zujaj, Ibnu Atiyah dan An-Nuhas بذ اع dengan menggunakan huruf
alif adalah lebih baik dan lebih bagus. Sebab mentaati janji adalah
sama dengan janji.38
Menurut al-Thabari kedua qiroat tersebut sama-
sama benar karena pada keadaan tersebut Nabi Musa juga berusaha
merespon dengan baik dan menepati apa yang djanjikan Allah.
أسثع نهخ menurut pendapat mayoritas mufassir39
, ke 40
(malam) tersebut adalah bulan Dzu al-Qa‟dah dan 10 hari pertama
bulan Dzu al-Hijjah. Nabi Musa berangkat bersama 70 orang pilihan
dari kaum Bani Israil. Allah telah berjanji kepada mereka bahwa akan
memberikan kitab suci setelah 40 malam. Namun mereka menghitung
40 malam tersebut dengan 20 hari 20 malam. Setelah itu mereka, Bani
Israil yang ditinggalkan Nabi Musa membuat patung anak sapi, lalu al-
Samiri mengatakan kepada mereka: ىذا إلكم كإلو موسى فنسي inilah
tuhanmu dan tuhan Musa tetapi Musa telah lupa (QS. Tâhâ [20]: 88)
mereka kemudian percaya terhadap ucapan Samiri walaupun Nabi
38
Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami‟ al-Ahkȃm al-Qur‟an (Kairo: Dȃr al-Kitȃb al-Arabiyah li al-
Tabiah wa al-Nasyr). Jilid 1. H. 394. 39
Al-Qurtubi, al-Tabari, Quraish Shihab, Mutawalli Sya‟rawi, Ibnu Katsir dan beberapa
penafsir lainnya.
65
Harun telah melarang mereka. Tidak ada yang mengikuti larangan
Nabi Harun untuk tidak menyembah (patung) anak sapi kecuali 12
orang. Dan menurut riwayat lain mereka semua menyembah patung
anak sapi padahal jumlah mereka 2 juta orang. 40
Al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa setelah nabi
Musa kembali kepada mereka, Nabi Musa membakar patung anak sapi
dan membuangnya ke laut. Namun karena kecintaanya pada anak sapi
tersebut mereka meminum air laut. Akibatnya mereka terkena penyakit
kuning dan perut mereka berbisul. Allah tidak menerima taubat mereka
kecuali mereka membunuh diri mereka sendiri.
kemudian kamu menjadikan اختذمت مث العجل من بعده ك أنتم ظاملوف
anak sapi sembahanmu dan kamu adalah orang-orang yang dzalim.
Allah ingin membersihkan cacat Bani Israil. Namun baru saja mereka
selamat meyeberangi laut dan mellihat kaum menyembah berhala,
mereka berkata: "Hai Musa, buatlah untuk Kami sebuah Tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)".
Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak
mengetahui (sifat-sifat Tuhan)" (QS. al-A‟rȃf [7]: 138). Lalu Nabi
Musa membawa kepala-kepala suku dan pergi menuju miqat
Tuhannya. Sementara itu, Nabi Harun diperintah Nabi Musa untuk
membersamai Bani Israil. Penyembahan mereka terhadap patung sapi
tersebut menurut Sya‟rawi disebabkan kedzaliman mereka sendiri,
40
Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami‟ al-Ahkȃm al-Qur‟an (Kairo: Dȃr al-Kitȃb al-Arabiyah li al-
Tabiah wa al-Nasyr). Jilid 1. H. 395
66
yaitu mereka mencuri emas keluarga Fir‟aun saat mereka menjadi
pelayan di Mesir.41
Al-Mustanna dalam Tafsir al-Tabari meriwayatkan
bahwa yang dimaksud dhalim dalam ayat tersebut adalah Bani Israil
meletakkan ibadah tidak pada tempatnya, yakni melakukan
penyembahan pada anak sapi.42
Ketika Bani Israil melewati suatu kaum yang masih
menyembah berhala. Dalam riwayat yang terdapat dalam kitab al-
Bidȃyah wa al-Nihȃyah disebutkan bahwa berhala yang disembah
oleh mereka pada saat itu berbentuk sapi. Lalu mereka seakan-akan
bertanya kepada penyembah berhala itu, mengapa mereka menyembah
berhala. Orang-orang yang menyembah berhala menjawab bahwa
berhala mampu memberikan manfaat dan mudharat bagi mereka. Dan
beberapa orang dari Bani Israil membenarkan hal tersebut.43
Kemudian
meminta kepada meminta Nabi Musa membuatkan mereka berhala
untuk mereka sembah sebagaimana kaum tersebut menyembahnya.44
Permintaan mereka Nabi Musa menjawab dengan mengatakan bahwa
mereka adalah kaum yang belum mengetahui hakikat dan sifat-sifat
Allah.
41
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-Yaum, 1991), h. 333 42
Al-Tabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 1, h.726. 43
Ibnu Katsir, al-Bidȃyah wa al-Nihȃyah (Bairut: Dȃr al-Kutub al „Ilmiah, tt.), Jilid 1, h.
259. 44
Umat Nabi Musa yang menjadikan sapi sesembahan mereka, meniru orang-orang
Kan‟an yang mendiami daerah sebelah barat Palestina, Suriah dan Lebanon. Mereka menyembah
berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu yang
mengulurkan kedua tangannya bagaikan mengganti pemberian.( Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), jilid 1, h. 239.) Adapula riwayat yang menyebutkan bahwa kaum
yang menyembah berhala tersebut adalah kaum yang berasal dari Lakham. (Al-Tabari, Tafsir al-
Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), Jilid 11, h. 487.)
67
Mereka dengan mudahnya melupakan ajaran yang
disampaikan Nabi Musa lebih dari 20 tahun sejak Nabi Musa datang
kepada mereka membawa ajaran tauhid. Ada beberapa riwayat
menyebutkan telah berlalu masa 23 tahun sejak Nabi Musa
menghadapi Fir‟aun dan pembesar-pembesar negerinya dengan risalah
hingga keluar dari Mesir dengan membawa Bani Israil menyeberangi
lautan.45
Al-Qur‟an menyebutkan bahwa mereka adalah kaum jahl
(bodoh) berbeda makna dengan„adamul „ilm (tidak mengetahui). Tidak
mengetahui artinya akal pikiran kosong dari ilmu, sedangkan bodoh
artinya memiliki ilmu tapi bertentangan dengan hakikat sebenarnya.
Orang bodoh meyakini sesuatu yang berbeda dengan realita.
Sedangkan orang yang tidak mengetahui yaitu yang tidak memiliki
informasi apa-apa di akal pikirannya.46
Namun ketika mereka
berdialog dengan Nabi Musa, mereka mengaku bukan atas dasar dari
nuraninyalah mereka melakukan hal tersebut, tapi karena mereka tidak
bisa mengendalikan hawa nafsunya (QS. Tȃhȃ [20]: 87).47
Pada suatu kesempatan yang lain, yaitu setelah Allah menerima
taubat mereka dari penyembahan anak sapi. Bani Israil juga
mengatakan kepada Nabi Musa bahwa tidak akan beriman kepada
45
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilȃl al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema
Insani Pres, 2000), Jilid 5. h. 20. 46
Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawî (Kairo: Akhbȃr al-yaum, 1991), Jilid 7, h. 4332. 47
Al-Tabari, Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam,
2011), Jilid 17, h. 917.
68
Allah sebelum mereka melihat Allah dengan terang. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 55.
Berbagai ujian tersebut dilakukan agar sesama makhluk Allah
mengetahui kualitas sesama mereka sebagai pelajaran dan gambaran
bagi kehidupan mereka. Dengan demikian seseorang mampu
mengukur kualitas orang lain apakah termasuk dalam golongan
munafik, mukhlis atau pembohong besar. Dengan cara demikian pula
seseorang dapat menjaga muamalahnya sesuai dengan orang yang
dihadapinya. Jadi, ujian ini bukan untuk kepentingan Allah, akan tetapi
untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Bani Israil tidak mampu menjaga aqidahnya, mereka goyah dan
tergoda saat melihat suatu kaum yang menyembah berhala. Bani Israil
melaksanakan ibadah tidak dengan keikhlasan yang penuh. Mereka
bahkan melaksanakan ibadah dengan cara yang tidak sepantasnya,
sebagaimana yang mereka lakukan pada hari sabtu melakukan tipu
daya terhadap hukum Allah. padahal aqidah merupakah pondasi dalam
beragama. Bila aqidah seseorang rusak, rusak pula seluruh bangunan
Islam yang ada di dalamnya, bila aqidah runtuh, runtuh pula seluruh
bangunan keislamannya. Karena aqidah sangat menentukan tegaknya
syari‟at. Aqidah adalah keyakinan dalam hati hati dalam mengenal
keilahian Allah swt, para malaikat, kitab-kitab, rasul, hari akhir,
pahala, surga, neraka, ketetapan baik buruk dan berita yang dibawa
Nabi.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bani Israil merupakan kaum yang paling banyak disebutkan dalam al-
Qur‟an, yaitu 41 kali. Kisah mereka dihadirkan lebih dari 5 surat dengat ayat
yang panjang-panjang. Beberapa kisah tersebut diantaranya adalah kisah
masuknya Bani Israil di Mesir, Bani Israil selama di Mesir serta proses
eksodus dari Mesir ke Palestina.
Kisah yang mempunyai porsi ayat yang cukup banyak adalah kisah
seputar eksodus Bani Israil. Dalam kisah tersebut mereka berulang kali
melakukan pembangkangan dan juga berulang-kali pula mereka mendapat
adzab dari Allah.
Oleh karena itu dari kisah Bani Israil tersebut terdapat ibrah yang bisa
diambil; wajib taat pada perintah pemimpin, wajib mensyukuri nikmat yang
diperoleh dalam perjalanan dan wajib menjaga aqidah.
B. Saran-saran
kisah seputar Bani Israil dihadirkan pada banyak tempat dalam al-
Qur‟an serta sampai saat ini, sebagian orang dari bangsa tersebut masih eksis
dan berpengaruh baik dalam dunia politik, kesehatan dan beberapa peran di
sector lainnya. Juga terdapat buku yang menjelaskan tentang kecerdassan serta
kejeniusan Bani Israil. Jadi fenomena kontemporer ini bisa diteliti lebih
mendalam berdasar ayat-ayat dalam al-Qur‟an.
70
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alwi, Haddad. Uswatun Hasanah; Hidup Mulia Bersama Rasulullah Saw.
Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.
Badudu, JS. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Kompas media Nusantara. 2007
Baihaqi, Ahmad. “Al-Baqarah dan karakteristik Bani Isra'il : study kritis surahAl-
Baqarah ayat 67 sampai dengan 74”. UIN Jakarta: Tafsir Hadis, 2008.
al-Bâqi, Muhammad Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟ân. Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2001.
bin Fathi, Abdul Aziz. Ensiklopedia Adab Islam Menurut al-Qur‟an dan Sunnah.
Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2007.
bin „Abd Allah, „Abd al-Aziz bin Muhammad. Mukhâlafât Mutanawwi‟ah.
Penerjemah Muhammad Syukur Wahyudin. Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2012-2013 (Jakarta: UIN Jakarta, 2012.
al-Farmawy, Abd Hayy. Al-Bidâyah fi al-Tafsir Maudhȗ‟i. Kairo: al-Hadharah al-
Arabiyah, 1977.
Fatoohi, Louay dan al-Dargazelli, Shetha. Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan
al-Qur‟an. Penerjemah Munir A. Mu‟in. Bandung: PT Mizan Pustaka,
2007.
F. Hinson, David. History of Israel. Penerjemah M. Th. Mawene. Jakarta:
Gunung Mulia, 1991.
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Beirut: Dâr al-Kutub al „Ilmiyyah, tt.
. Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azim. Riyadh: Dâr Tayyibah li al-Nasyr wa al-
Tauzî‟, 2007.
Ibn Farîs, Abu al-Husyain Ahmad. Mu‟jam al-Maqâyîs fi al-Lughah. Beirut: Dâr
al-Fikr, 1994.
Ibn Mandzur. Lisân al-Arab. Beirut: Dâr al-Sadr, 1990.
71
al Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Qur‟an al Aisar. Jakarta: Darus
Sunnah. 2010.
Jazuli, Ahzami Samiun. al Hijratu fi al-Qur‟an al-Karîm Penerjemah. Eko
Yulianti. Jakarta: Gema Insani, 2006.
Lajnah Pentashihan al-Qur‟an. Tafsir al-Qur‟an Tematik; Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat dan Berpolitik. Jakarta: Bimas Kemenag RI, 2012.
Leksono, Sugeng Puji. Pengantar Antropologi; Memahami Realitas Sosial
Budaya. Malang: Intrans Publishing, 2015.
Mustafa, Ibrahim. Mu‟jam al-Wasit. Kairo: Majma‟ al-Lughoh al-„Arabiyah, tt.
Nawawi. Tahdzib al Asmȃ‟ wa al-Lughȃt. Beirut: Dȃr al-Kutub al-„Ilmiyah, tt.
Nursalam dan Efendi, Ferry. Pendidikan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika, tt.
al-Qurthubi. Tafsir al-Qurtubi. Cairo: Dȃr Akhbar al-Yaum, 1991.
Rahmi Syahriza. “Pariwisata Berbasis Syariah: Telaah Makna Sâra dan
Derivasinya dalam al-Qur‟an”. Human Falah I, no. 2 (Juli 2014): h. 138-
139
Sahabuddin dkk. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati,
2007.
Qutb, Sayyid. Tafsir fi Zilȃl al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad Yasin dkk. Jakarta:
Gema Insani Pres, 2000.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
al-Suyȗti, Jalaluddin. al-Itqȃn fȋ „Ulȗm al-Qurȃn. tt: Majma‟ al-Maliki Fahd li
Taba‟ah al-Mushaf al-Syarȋf , 1426 H.
Sya‟rawi, Mutawalli. Tafsir Sya‟rawî. Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1991.
Al-Thabari. Tafsir al-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan. Jakarta: Pustaka Azzam,
2011.
al-Thabrani, Abu al-Qasim. Muʻjam al-Ausat. Kairo: Dâr al-Haramain, Tt.
The Holy Bible; Containing The Old and New Testament, Number: 14 (32-34),
King James Version.
Website:
Maktabah Syamilah online.