ekosistem hutan pantai dan ekosistem rawa gambut
TRANSCRIPT
TELAAH FUNGSI EKOLOGI DAN KONSERVASI TANAH AIR PADA TIPE
EKOSISTEM HUTAN PANTAI DAN HUTAN RAWA GAMBUT
Kelompok 4 (Sabtu)
Fauzi Syukrillah (E24100050)
Indra Tri Putra (E241000
Rizqi Adha Juniardi (E24100103)
Asisten Praktikum:
1. Ardiyansyah Purnama
2. Desi Ratnasari
3. Dwi Atri Indriana
4. Ahmad Baiquni Rangkuti
5. Garry Ginanjar
L a b o r a t o r i u m P e n g a r u h H u t a nD e p a r t e m e n S i l v i k u l t u r
F a k u l t a s K e h u t a n a nI n s t i t u t P e r t a n i a n B o g o r
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan sebagai salah satu kekayaan alam yang ada dunia memiliki keragaman hayati yang
sangat tinggi dan tidak terhitung nilainya. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang
memiliki biodiversitas tertinggi. Selain tingkat biodiversitas yang tinggi, Indonesia juga memiliki
hutan yang cukup luas. Hutan yang terdapat di Indonesia sebagian besar adalah hutan hujan
tropis yang komposisinya sangat beragam, baik jenis kehidupan yang ada di dalamnya maupun
jenis interaksi antar komponen ekosistem di dalamnya. Keanekaragaman tersebut disebabkan
karena tipe iklim dan ekosistem di Indonesia dipengaruhi oleh dua benua, hutan di wilayah barat
Indonesia dipengaruhi oleh benua Asia, sedangkan hutan di wilayah timur Indonesia dipengaruhi
oleh benua Australia.
Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi menyebabkan Indonesia memiliki beberapa
tipe-tipe ekosistem hutan yang menyusun lahan-lahan mulai dari pantai hingga gunung. Jika
diperkirakan, Indonesia 14 ekosistem hutan diantaranya hutan mangrove, hutan rawa, hutan rawa
gambut, hutan pantai, hutan daratan rendah, hutan pegunungan, hutan musim, hutan kerangas,
hutan riparian, vegetasi kapur, hutan taiga, tundra, savana, dan padang rumput. Pada laporan ini,
hanya akan dibahas 2 ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan rawa gambut.
Peranan-peranan yang dimiliki oleh masing-masing ekosistem juga berbeda sesuai
dengan komponen abiotik dan biotik penyusunnya. Identifikasi masalah-masalah yang terjadi
pada suatu ekosistem hutan sangat penting sehingga penyebabnya dapat dijauhkan dan dapat
dicarikan solusinya dalam mengatasi permasalahan pada ekosistem hutan tersebut.
1.2 Tujuan
-Menjelaskan fungsi ekologi dari berbagai tipe hutan melalui studi pustaka
-Menjelaskan teknik-teknik konservasi tanah dan air pada berbagai tipe hutan
-Mengidentifikasi permasalahan dan memberikan solusi penanganan terhadap permasalahan
yang terjadi di tipe hutan tersebut.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem dan Tipe-tipenya
Berdasarkan kepada proses terbentuknya hutan (suksesi hutan), maka hutan
dikelompokkan atas dua tipe, yaitu hutan alam dan hutan antropogen. (Arief 1994).
Berdasarkan faktor iklim, edafik, dan komposisi vegetasi, maka hutan dikelompokkan
atas enam tipe, yaitu hutan hujan tropic (tropical rain forest), hutan musim (monsoon forest),
hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swamp forest), hutan payau (mangrove forest), dan hutan
pantai (littoral forest). (Direktorat Jenderal Kehutanan 1976).
2.2 Fungsi Ekologis
Hutan mempunyai fungsi ekologi/lingkungan yang berarti melindungi, karena potensi
hutan dan keanekaragaman hayati dapat berfungsi sebagai penyangga kesimbangan,
perlindungan kehidupan, memelihara kesuburan tanah, proteksi daerah aliran sungai, pengendali
erosi, penyimpang cadangan, penyerap CO2, dan pengendali O2. Fungsi hutan tersebut sebagai
penyangga tanah dan tata air, sumber hayati dan keanekaragaman hayat, serta penyangga iklim.
2.3 Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsjad
2000). Dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau
pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan
tanah dan memberikan pelakuan sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan, konservasi agar
tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air.
Setiap perlakuan konservasi yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air,
dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan
konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih
besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan
menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah
merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Konservasi tanah dan air atau yang sering disebut pengawetan tanah merupakan usaha-
usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan produktifitas tanah, kuantitas, dan
kualitas air. Apabila tingkat produktifitas tanah menurun, terutamak arena erosi maka kualitas air
terutama air sungai untuk irigasi dan keperluan manusia lain menjadi tercemar sehingga jumlah
air bersih semakin berkurang. Konservasi tanah pada umumnya terdapat di berbagai tempat yang
secara nyata berdampak pada perbandingan panjang kemiringan tanah yang diakibatkan oleh
air hingga tanah menyusut. Lalu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada konservasi
air dalam rangka pengontrolan erosi dimana kemiringan tanah yang telah ditentukan dalam
persen dan panjang kemiringan tanah yang disebut dengan sistem cropping.
Usaha konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu :
1. Metode vegetatif, menggunakan tanaman sebagai sarana
2. Metode mekanik, menggunakan tanah, batu dan lain-lain sebagai sarana
a) Metode Vegetatif
Pada dasarnya Teknik dan konsep konservasi tanah dan air diterapkan untuk mengendalikan
erosi dan mencegah degradasi lahan. Untuk memanen air dan mencegah kehilangan air melalui
aliran permukaan, perkolasi, dan evaporasi diperlukan teknologi konservasi air. Berikut ini
diuraikan berbagai macam teknik konservasi tanah dan air.
1. Sistem Pertanaman Lorong
Adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan
tanaman pagar.
Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan
sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong.
2. Strip Rumput
Sistem ini dapat diintegrasikan dengan ternak.
3. Tanaman Penutup Tanah
Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman pokok.
Bermanfaat untuk menutupi tanah dari terpaan langsung curah hujan, mengurangi erosi,
menyediakan bahan organik tanah, dan menjaga kesuburan tanah.
b) Metode Mekanik.
1. Teras Gulud
Merupakan sistem pengendalian erosi secara mekanis yang berupa barisan gulud yang
dilengkapi rumput penguat gulud dan saluran air di bagian lereng atas.
Bermanfaat untuk mengurangi laju limpasan permukaan dan meningkatkan resapan air ke dalam
tanah.
Dapat diterapkan pada tanah dengan infiltrasi/permeabilitas tinggi dan tanah-tanah agak
dangkal dengan lereng 10-30%.
2. Teras Bangku
Adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lereng dan meratakan tanah di bidang
olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga.
Bermanfaat sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi. Diterapkan pada lahan
dengan lereng 10-40%, tanah dengan solum dalam (>60 cm), tanah yang relatif tidak mudah
longsor, dan tanah yang tidak mengandung unsur beracun bagi tanaman seperti aluminium dan
besi.
3. Rorak
Adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk
menampung dan meresapkan air aliran permukaan.
Bermanfaat untuk (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah; (2) memperlambat
limpasan air pada saluran peresapan; dan (3) sebagai pengumpul tanah yang tererosi, sehingga
sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah. Ukuran rorak sangat bergantung pada
kondisi dan kemiringan lahan serta besarnya limpasan permukaan. Umumnya rorak dibuat
dengan ukuran panjang 1-2 m, lebar 0,25-0,50 m dan dalam 0,20-0,30 m, atau panjang 1-2 m,
lebar 0,3-0,4 m dan dalam 0,4-0,5 m. Jarak antar-rorak dalam kontur adalah 2-3 m dan jarak
antara rorak bagian atas dengan rorak di bawahnya 3-5 m.
4. Embung
Merupakan bangunan penampung air yang berfungsi sebagai pemanen limpasan air
permukaan dan air hujan.
Bermanfaat untuk menyediakan air pada musim kemarau. Agar pengisian dan
pendistribusian air lebih cepat dan mudah, embung hendaknya dibangun dekat dengan saluran air
dan pada lahan dengan kemiringan 5-30%.
5. Mulsa
Tanah-tanah bertekstur liat dan atau lempung sangat cocok untuk pembuatan embung.
Adalah bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik, dan lain-lain) yang disebar atau digunakan untuk
menutup permukaan tanah.
Bermanfaat untuk mengurangi penguapan (evaporasi) serta melindungi tanah dari
pukulan langsung butir-butir hujan yang akan mengurangi kepadatan tanah.
6. Dam Parit
Adalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit dengan
tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat digunakan untuk mengairi lahan
di sekitarnya. Dam parit dapat menurunkan aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi.
Keunggulan:
Menampung air dalam volume besar akibat terbendungnya aliran air di saluran/parit.
Tidak menggunakan areal/lahan pertanian yang produktif.
Mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri di seluruh daerah aliran sungai
(DAS).
Menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan hilangnya
lapisan tanah atas yang subur serta sedimentasi.
Memberikan kesempatan agar air meresap ke dalam tanah di seluruh wilayah DAS,
sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau.
Biaya pembuatan lebih murah, sehingga dapat dijangkau petani.
BAB IIIHASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Ekosistem Hutan Pantai
3.1.1 Karakteristik Ekosistem Hutan Pantai
Ekosisitem hutan pantai terdapat di daerah kering di tepi pantai. ekosistem tersebut tidak
terpengaruh oleh iklim, pada daerah dengan kondisi tanah berpasir dan berbatu-batu, serta
terletak diatas garis pasang tertinggi (Direktorat Jenderal Kehutanan 1976). Daerah pantai
merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Hutan pantai biasanya
tidak lebar dan terdapat di pantai yang agak tinggi dan kering. Daerah tersebut jarang digenangi
air laut. Akan tetapi, sering terjadi angin kencang dengan hembusan garam. Karena hempasan
gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat.
Setelah gundukan pasir itu, terdapat tegakan hutan yang dinamakan hutan pantai. Hutan pantai
lazim disebut formasi Barringtonia-Calophyllum dan terdapat di daerah pesisir karena bentuk
dan letak pantainya yang tidak terakumulasi pasir bahkan mengalami pengikisan, serta terdapat
pohon khas, yaitu anggota genus Barringtonia dan Calophyllum (Arief 1994). Jenis pohon
lainnya diantaranya Terminalia cattapa, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia dan
Pisonia grandis.
3.1.2 Keberadaan dan Luas Ekosistem Hutan Pantai
Data menunjukan bahwa luas vegetasi pantai dari tahun ke tahun cenderung menurun,
jika pada tahun 1996 luas vegetasi pantai mencapai 180.000 ha sampai tahun 2004 hanya
tersisa 78.000 ha.
Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat.
Karena hempasan gelombang dan hembusan angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan
ke arah darat. Setelah terbentuknya gundukan pasir itu biasanya terdapat hutan yang dinamakan
hutan pantai. Secara umum, hutan ini terletak di tepi pantai, tumbuh pada tanah kering berpasir
dan berbatu dan tidak terpengaruh oleh iklim serta berada di atas garis pasang tertinggi. Daerah
penyebaran utama hutan pantai terdapat di Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Dilaporkan pada
tahun 1990 luas hutan pantai tersisa ±1 juta hektar (Fakuara 1990) dan pada tahun 1996
tersisa 0,55 juta ha (Sugiarto dan Ekariyono 1996).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terluas di Asia Tenggara
(81.000 km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai. Salah
satunya adalah vegetasi hutan pantai. Istilah hutan pantai pertama kali disebutkan oleh
Whitford (1911) sebagai salah satu tipe hutan. Kondisi hutan pantai umumnya berbentuk
substrat pasir serta ditemukan beberapa jenis tumbuhan pionir. Umumnya lebar hutan pantai
tidak lebih dari 50 meter dan tidak jelas batas zonasinya dengan tipe hutan lainnya serta
memiliki tinggi pohon mencapai 25 meter (Goltenboth et al 2006).
Soerianegara dan Indrawan (2005) menyebutkan beberapa ciri khas hutan pantai,
antara lain tidak terpengaruh iklim, tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, atau
lempung, tumbuh di pantai (tanah rendah pantai), pohon-pohon kadang penuh dengan epifit,
antara lain paku-pakuan dan anggrek di Indonesia banyak ditemukan di pantai selatan Pulau
Jawa, pantai barat daya Pulau Sumatera, dan Pantai Sulawesi.
3.1.3 Peranan/fungsi Ekologis dan Konservasi Tanah Air dari Ekosistem Hutan Pantai
Hutan pantai merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan
sosial ekonomi. Secara fisik hutan pantai mampu memecah energi angin air laut sehingga
bermanfaat sebagai buffer zone dari bencana alam tsunami maupun fungsi penyangga. Selain
itu optimalisasi pemanfaatan lahan pantai dengan vegetasi tanaman tahunan diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengurangan dampak pemanasan global. Salah satu
formasi hutan tersebut adalah hutan pantai. Hutan pantai yang dimaksud disini tidak termasuk
hutan mangrove. Di Indonesia, formasi hutan ini mempunyai keunikan tersendiri. Hutan pantai
juga merupakan bagian dari ekosistem pesisir dan laut yang menyediakan sumberdaya alam
yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral maupun energi, media
komunikasi dan edukasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata serta penemuan produk
biochemical.
3.1.4 Permasalahan yang Terjadi Pada Ekosistem Hutan Pantai
Seiring dengan laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan regional yang
tidak taat asas kelestarian lingkungan hidup, tipe hutan pantai akhir-akhir ini mulai mengalami
kerusakan yang berarti. Data menunjukkan bahwa luas vegetasi pantai dari tahun ke tahun
cenderung menurun, jika pada tahun 1996 luas vegetasi pantai mencapai 180.000 ha
sampai tahun 2004 hanya tersisa 78.000 ha.
Rusaknya ekosistem hutan pantai dapat menimbulkan berbagai permasalahan
terutama berkaitan dengan abrasi pantai, intrusi air laut, perubahan iklim mikro, dan
turunnya nilai produktivitas hayati di ekosistem pantai. Kekhawatiran berbagai pihak akan
tenggelamnya 2.000 pulau di Indonesia pada tahun 2030 akibat naiknya permukaan air laut
seiring dengan perubahan iklim global dan rusaknya ekosistem pesisir bukanlah hal yang tidak
mungkin jika keadaan ini terus berlanjut.
Kerusakan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia dan faktor
eksternal lainnya (Clarck 1998; McLachlan and Brown 2006). Wilayah pantai dijadikan
sebagai tempat strategis bagi masyarakat umum, pengusaha, militer dan industri. Aktivitas
manusia seperti pencemaran pantai dari aktivitas industri dan masyarakat, aktivitas rekreasi,
perubahan bentang alam akibat aktivitas pembangunan dan aktivitas lain turut berkontribusi
terhadap kerusakan pantai. Sedangkan faktor eksternal lainnya, seperti angin badai, hurricane
dan tsunami serta pemanasan global yang berimplikasi terhadap perubahan iklim juga
menjadi faktor lain dalam kerusakan hutan (McLachlan and Brown 2006).
Berbagai aktivitas manusia tersebut di atas cenderung tidak
mempertimbangkan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk
memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya. Kegiatan
pembangunan pada kawasan pantai masih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomi,
dibanding aspek ekologi. Akibatnya ekosistem pantai mengalami degradasi fungsi yang sangat
parah.
Secara garis besar faktor penyebab kerusakan hutan pantai yang terjadi di
Indonesia disebabkan oleh:
a. Pencemaran Daerah Pantai
Umumnya pencemaran dan kontaminasi wilayah pantai disebabkan oleh beberapa
sumber yakni dari limbah industri (berupa limbah padat dan cair), limbah cair pemukiman,
pertambangan, pelayaran dan pertanian serta perikanan budidaya. Bahan pencemar
utama berupa sedimen, unsur hara, logam berat (seperti merkuri, unsur radioaktif, asam,
polyaromatic hydrocarbons (PAH) dan unsur kimia toksit lainnya), pestisida, organisme
eksotik dan sampah (Clarck 1998; Dahuri et al. 2008). Selain sumber pencemaran dari
limbah, pencemaran pantai juga dapat terjadi karena tumpahan minyak mentah dari
kapal tangker. Pencemaran juga dapat terjadi karenapengeboran minyak lepas
pantai, terjadinya erosi permukaan tanah (surface run off) dari daratan dan dari
rembesan alami, pencemaran panas dari energi nuklir (McLachlan & Brown 2006).
b. Pemanasan Global
Pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim telah dirasakan oleh semua
negara di dunia. Baru-baru ini, Inter-Goverment Panel on Climate Change (IPCC)
mempublikasi penelitian para pakar bahwa selama 1990-2005 telah terjadi peningkatan
suhu bumi sebesar 0,15 hingga 0,3 derajat celsius dan diperkirakan pada tahun 2050 atau
2070 akan terjadi peningkatan menjadi 1,6-4,2 derajat celsius. Kenaikan suhu ini akan
diiringi dengan bertambahnya volume air akibat mencairnya es di daerah kutub yang
menyebabkan permukaan air laut meningkat, hal ini menjadi ancaman bagi daerah
pesisir.
c. Perubahan Bentang Alam
Perubahan bentang alam berhubungan dengan aktivitas merubah kondisi geomorfologi
lahan setempat untuk penggunaan lainnya (McLachlan & Brown 2006). Perubahan
bentang alam terjadi melalui berbagai bentuk, yaitu eliminasi habitat untuk penggunaan
alternatif (golf, penambangan mineral & konstruksi bangunan), perubahan habitat selama
penggunaan lahan (rekreasi, pengembalaan ternak, eksplorasi minyak dan gas, penggunaan
lahan dan konstruksi bangunan untuk kepentingan militer), perubahan bentuk
geomorfologi (penghilangan pasir untuk kepentingan pembangunan tanggul penahan
banjir, tanggul untuk menghindari penggenangan, perbaikan bentang alam untuk rekreasi
serta perubahan lingkungan untuk kehidupan liar), perubahan viabilitas fauna (aktivitas
ekoturisme dan introduksi jenis hewan piaraan), perubahan bentang alam yang tidak stabil
(pembangunan sarana navigasi, seawalls, groins, breakwaters, introduksi sediment baru,
perubahan vegetasi, dll), restorasi lahan (pasir) serta perubahan kondisi eksternal
(pencemaran akibat minyak, bahan radioaktif, sampah, pemupukan, herbisida, dll) (Clarck
1998; McLachlan & Brown, 2006).
d. Aktivitas Kegiatan Pariwisata dan Rekreasi
Aktivitas pariwisata dan rekreasi dapat berdampak negatif terhadap kelestarian
ekosistem pantai. Pembangunan sarana prasarana pariwisata seperti pembangunan hotel,
resort, pembangunan dermaga & sarana lalu lintas turut berkontribusi terhadap
menurunnya stabilitas fisik dan meningkatnya mobilitas pasir.Kegiatan lain seperti
pengamatan perilaku, reproduksi, kelimpahan dan migrasi burung dan penyu yang tidak
terkendali (bagian dari ekoturisme) dapat mengganggu kehidupan dan tempat
pembiakannya.
e. Penambangan Bahan Mineral
Pada beberapa daerah di Indonesia, kegiatan penambangan pasir cenderung
eksploitatif dengan tidak mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan. Ternasuk di
sepanjang pantai selatan Pulau jawa, hampir seluruh gumuk-gumuk pasir telah mengalami
kerusakan akibat aktivitas penambangan pasir yang berlebihan. Kerusakan areal gumuk
pasir serta vegetasi penutupnya dapat menyebabkan penurunan fungsi dan kapasitas
ekosistem pantai. Akibat dari penambangan pasir juga dapat menghilangkan sejumlah
pulau di Indonesia.
3.1.5 Strategi Penanganan
Hutan pantai merupakan daerah penyangga atau peralihan antara kawasan daratan
dan laut sehingga sangat peka terhadap gangguan. Mengingat begitu pentingnya peran hutan
pantai maka perlu dilakukan upaya konservasi. Untuk mendukung upaya tersebut, beberapa
kawasan pantai di Indonesia telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Tujuan utama
pengelolaan kawasan konservasi adalah melindungi ekosistem, populasi dan beragam spesies
yang mengalami ancaman atau rentan terhadap kepunahan serta menjaga agar sumber daya
tersebut memberikan manfaat bagi kebutuhan manusia dan biosfer.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut
harus ditujukan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan habitat-habitat
kritis, melindungi garis pantai, melindungi lokasi-lokasi yang
bernilai sejarah dan budaya, menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam serta
mengakomodasi daerah-daerah yang tereksploitasi.
Dahuri (2000) dalam Dahuri (2003) menyarankan enam program strategis
yang perlu dilaksanakan :
1. Melibatkan secara aktif peran masyarakat lokal di kawasan konservasi
2. Perlindungan yang ketat di daerah zona inti
3. Pembentukan manajemen satu pintu
4. Peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan
konservasi bagi bangsa Indonesia
5. Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal
6. Pengembangan program penelitian dan monitoring, serta sistem informasi bagi
pengelolaan kawasan konservasi.
3.1. Ekosistem Hutan Rawa Gambut
3.1.1 Karakteristik Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan hutan dengan lahan cekung yang lembab/basah tergenang
akibat air yang masuk dari sekitar aliran sungai disekitar lahan. Tanah pada rawa gambut tercipta
dari air yang masuk ke dalam lahan hutan cekung lalu melapukkan kayu yang ada didalamnya
lalu menumpuk hingga lahan meninggi melebihi
lahan yang ada di sekelilingnya. Kayu yang telah
lapuk tersebut menjadi tumpukan nutrien yang
berguna untuk pertumbuhan tanaman. Proses
terbentuknya lahan gambut diperkirakan
membutuhkan waktu hingga 10.000-40.000 tahun.
3.1.2 Keberadaan dan Luas Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90% diantaranya terdapat di daerah
temperate dan 10% sisanya berada di daerah beriklim tropis. Indonesia memiliki 20,6 juta ha
atau 10,8% luas daratan Indonesia, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
3.1.3 Peranan/fungsi Ekologis dan Konservasi Tanah Air dari Ekosistem Hutan Rawa
Gambut
Hutan rawa gambut memiliki peranan yang penting dalam menjaga ekologis lingkungan.
Untuk sistem hidrologi atau air, hutan rawa gambut memiliki kemampuan untuk mengontrol
sistem hidrologi sehingga siklus pengairan dapat terjaga dengan baik. Hutan rawa gambut
cenderung lebih tergenang oleh air dari sungai sehingga menjadi subur, berbeda dengan lahan
yang mengandalkan air hujan yang cenderung membuat lahan menjadi tidak subur. Kawasan
rawa gambut juga memiliki fungsi untuk mengikat karbon. Karbon yang berada diudara
ditangkap oleh tanaman yang ada di lahan rawa gambut, lalu melapuk sehingga karbon yang ada
pada tanaman tertimbun di dalam gambut yang berada di dalam cekungan lahan. Ekosistem yang
berada di hutan rawa gambut cenderung unik sehingga membuat ekosistem ini menjadi kawasan
yang khas ditempati oleh fauna-fauna tertentu sebagai habitatnya dan hanya bisa ditemukan di
kawasan ekosistem hutan rawa gambut.
3.1.4 Permasalahan yang Terjadi pada Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut rawan kebakaran hutan. Hal ini terjadi karena kandungan bahan
organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik dan porositas tinggi. Selain itu, sama
seperti permasalahan hutan lainnya, marak terjadinya pencurian kayu (illegal logging) pada
hutan rawa gambut sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah pohon yang berada di lahan
rawa gambut.
3.1.5 Strategi Penanganan
Penanganan yang perlu dilakukan adalah penutupan kanal yang menghubungkan
pemukiman dengan kawasan hutan rawa gambut sehingga masyarakat tidak dapat mencapai
hutan rawa gambut. Selain itu, perehabilitasian hutan juga diperlukan agar hutan rawa gambut
tetap terjaga ekosistemnya. Terbitnya Inpres No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan Lahan Gambut Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut merupakan
langkah pemulihan kerusakan dan pengembalian fungsi ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi
pada kawasan lahan gambut. Pengelolaan hutan dan lahan gambut ini perlu dilakukan secara
bijaksana dan hati-hati. Hal ini disebabkan karena hutan rawa gambut merupakan ekosistem
yang sangat rapuh sehingga apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik dan benar,
maka akan merusak dan membuat hutan rawa gambut menjadi tidak lestari.
BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Setiap ekosistem memiliki ciri khas masing-masing baik dari komponen biotik berupa fauna
dan floranya maupun komponen abiotiknya penyusunnya. Perbedaan ini membuat Indonesia
memiliki keanekaragaman yang tinggi. Kekhasan setiap ekosistem perlu dilakukan pengontrolan
agar tidak mengalami penurunan spesies sehingga semua fauna dan flora yang menyusun
ekosistem tersebut tetap lestari. Permasalahan yang muncul dan mengganggu kestabilan
ekosistem perlu dikaji serta dicari solusinya sehingga dalam pemanfaatannya, manusia tetap
melestarikan keasliannya.
4.2 Saran
Dalam penanganannya, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam mengatasi
masalah yang melanda bidang kehutanan Indonesia, terutama jika dalam hal ini terjadi
pengrusakan ekosistem hutan. Jika terjadi keserasian antara masyarakat dan pemerintah, maka
dalam penegakkan hukum akan mudah dan meminimalisirkan tingkat pengrusakan pada
ekosistem hutan.
Daftar Pustaka
Arief, A. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP dan Sitepu MJ. 2003. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradina Paramitha. Jakarta.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati Laut, Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen
Pertanian.
Fakuara MY. 1990. Pengantar Bioteknologi Kehutanan. Dirjen Pendidikan Tinggi dan PAU
IPB. Bogor.
Goltenboth, Friedhelm. 2006. Ecology of Insular Southeast Asia: The Indonesia Archipelago.
Elsevier. Amsterdam
McLachlan A, Brown AA. 2006. The ecology of sandyshores. Academic Press. California.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sugiarto, Ekariyono W. 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Valentina, Novia. 2011.Ekosistem Hutan Rawa Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Whitford. 2011. Forest Hydrology and Biogeochemistry. Springer