efektivitas penggunaan sediaan mgso sebagai …
TRANSCRIPT
i
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN SEDIAAN MgSO4 SEBAGAI
TOKOLITIK PADA PERSALINAN PREMATUR IMMINENS
DI RUMAH SAKIT MAKASSAR
The Effectiveness of MgSO4 Use As Tocolytic
in Preterm Labour Imminens
in Hospital Makassar
NURHIKMA. A
SEKOLAH PASCASARJANA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Nurhikma. A
Nomor Mahasiswa : P2500215006
Program Studi : Farmasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar - benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemilikan orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya sendiri siap menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Agustus 2017
Yang menyatakan
Nurhikma. A
iii
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN SEDIAAN MgSO4 SEBAGAI TOKOLITIK
PADA PERSALINAN PREMATUR IMMINENS
DI RUMAH SAKIT MAKASSAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Farmasi
Disusun dan diajukan oleh :
Nurhikma. A
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
iv
TESIS
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN SEDIAAN MgSO4 SEBAGAI
TOKOLITIK PADA PERSALINAN PREMATUR IMMINENS
DI RUMAH SAKIT MAKASSAR
Disusun dan diajukan oleh
NURHIKMA. A
Nomor Pokok P2500215006
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal 18 Agustus 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Elly Wahyudin.,DEA.,Apt Dr. dr. Nasrudin AM.,SpOG.,M.Kes Ketua Anggota Ketua Program Studi Dekan Fakultas Farmasi Magister Farmasi UNHAS Universitas Hasanuddin
Dr. Hj. Latifah Rahman.,DESS.,Apt Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si, Apt
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat merampungkan tesis yang berjudul “Efektivitas Penggunaan
Sediaan MgSO4 Sebagai Tokolitik Pada Persalinan Prematur Imminens Di
Rumah Sakit Makassar” sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
Berbagai hambatan penulis temui selama dalam penyusunan dan
penyelesaian tesis ini. Namun hambatan tersebut dapat teratasi berkat
bimbingan, bantuan, perhatian, dorongan dan kerja sama dari berbagai
pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Gemini Alam., M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Dr. Hj. Latifah Rahman.,DESS., Apt selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
3. Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA, Apt. selaku pembimbing utama dan
Dr. dr. Nasrudin AM, Sp.OG.,M. Kes sebagai pembimbing pertama
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya dalam
memberikan bimbingan, bantuan dan perhatian mulai dari
perencanaan sampai selesainya tesis ini.
4. Dr. Risfah Yulianti.,M.Si., Apt dan Yulia Yusrini Djabir M.Si, MBM.Sc,
PhD., Apt , selaku tim penguji yang telah meluangkan waktu, tenaga
dan ilmunya untuk memberikan kritik dan saran serta bantuan sampai
selesainya tesis ini.
5. Ibunda tercinta Hj. Murniati yang senantiasa memberikan support,
kasih sayang dan selalu menghadirkan ananda dalam setiap doanya.
vi
6. Ayahanda tercinta H. Awaluddin yang selalu memberikan semangat
juang serta nasehat yang sangat berharga dalam hal apapun.
7. Untuk saudara dan saudariku tercinta Sri Wahyuni.,SKep.,NS.,MN
(HONS), Dr. Murtiadi.,SE.,M.Si, Sri Prilmayanti.,SE.,MM, Mu’minah.,
SSiT.,SKM., dr. Muhammad Syarif, Akbar Awaluddin.,SSi., APT.,MSi
dan Syahid Gunawan.,SKed, Dr. Muntasir Basri.,SSi.,APT.,MSi,
Hamka.,SKp.,MSN, Supardi Said.,SKep.,NS., M.Kes., Nina Utami
Yanuarvah.,S.Kom.,MM dan seluruh keluarga yang tidak dapat
disebutkan semuanya, yang tak henti-hentinya memberikan
semangat, doa dan kasih sayang yang tidak terhingga kepada penulis
dalam menyelesaikan pendidikan.
8. Seluruh rekan-rekan Sekolah Pascasarjana Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar Angkatan 2015 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan bantuan,
dorongan serta kritikan yang sangat membangun kepada penulis.
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun
untuk pengembangan pada masa yang akan datang. Semoga tesis ini
dapat memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan dan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan berkat dan anugerah-
Nya kepada semua pihak yang telah mendidik, mendorong serta
membantu penulis.
Makassar, Agustus 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
NURHIKMA. A. Efektifitas Penggunaan MgSO4 Sebagai Tokolitik
Pada Persalinan Prematur Imminens Di Rumah Sakit Makassar
(dibimbing oleh Elly Wahyudin dan Nasrudin AM)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas penggunaan obat
MgSO4 sebagai tokolitik pada pasien dengan ancaman persalinan
prematur di Makassar.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar, Rumah Sakit Umum Daerah Labuang
Baji, RSIA dan Klinik Sitti Khadijah Makassar dari bulan Mei – Juli 2017.
Jenis penelitian berupa observasional dengan rancangan deskriptif
analitik. Sampel sebanyak 32 pasien yang ditetapkan prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 pasien yang
mendapat terapi MgSO4, sebanyak 21 orang yang berhasil menunda
persalinan prematur dalam waktu 2 x 24 jam pada pemberian terapi ke-3,
6 pasien yang berhasil menurunkan kontraksi tersisa 1 x 10 menit
(20 - 25 detik) dan 5 pasien yang berhasil menurunkan kontraksi tersisa
1 x 10 menit (10 - 15 detik) masing-masing setelah pemberian terapi ke 3.
Dengan demikian, efektivitas MgSO4 dalam menunda persalinan
prematur dalam waktu 2 x 24 jam sebesar 71.87%.
Kata kunci: Persalinan prematur, kontraksi, MgSO4
viii
ABSTRACT
NURHIKMA. A. The Effectiveness of MgSO4 Use As Tocolytic in Preterm
Labour Imminens in Hospital Makassar (Supervised by Elly Wahyudin and
Nasrudin AM)
The research aimed to examine the effectiveness of the use of
MgSO4 drug as tocolytic on patients with preterm labour imminens in
Makassar.
This research was conducted in RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, Labuang Baji Hospital, Sitti Khadijah Hospital Mother and Child
Makassar, and Sitti Khadijah Klinik from Mei to July 2017. There were 32
patients registered in research. This was an observational research with
analytic descriptive design, and data were collected prospectively.
The result indicates that 21 patients had successfully delayed
preterm labour within 2 x 24 hours after application of the third therapy, 6
patients had successfully delayed labour with contraction reduction of 1 x
10 minutes ( 20 – 25 seconds), and 5 patients reduced 1 x 10 minutes
(10 – 15 seconds) after the second therapy. It can be concluded that
MgSO4 effective in delaying preterm labour within 2 x 24 hours with
percentages of 71.87 %
Keywords : Partus Preterm, Contraction, MgSO4
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ....................................................... ii
HALAMAN PENUNJUK TESIS ............................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... iv
PRAKATA .......................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................... vii
ABSTRACT ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan Penellitian .................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6
A. Anatomi Uterus........................................................................ 6
B. Fisiologi persalinan normal ...................................................... 8
C. Persalinan prematur ................................................................ 12
D. Patofisiologi persalinan prematur……………………………….. 15
x
E. Agen tokolitik ........................................................................... 24
F. Magnesium sulfat ................................................................... 34
G. Kerangka teori ........................................................................ 56
H. Kerangka konsep .................................................................... 57
BAB III METODE PENELITAN ............................................................ 58
A. Rancangan Penelitian ............................................................. 58
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 58
C. Subjek Penelitian ..................................................................... 58
D. Populasi dan Sampel .............................................................. 58
E. Cara Pemilihan Sampel ........................................................... 59
F. Prosedur Penelitian ................................................................. 59
G. Alur penelitian.......................................................................... 66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 67
1. Hasil Penelitian ............................................................................... 67
A. Karakteristik penderita ............................................................. 67
B. Efektivitas MgSO4 berdasarkan kontraksi ............................... 64
C. Efektivitas MgSO4 berdasarkan skala nyeri ............................ 66
D. Efek samping setelah pemberian MgSO4……………………………… 73
2. Pembahasan .................................................................................. 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 89
A. Kesimpulan.............................................................................. 89
B. Saran ...................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 91
LAMPIRAN ...................................................................................... 99
xi
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Penilaian diagnostik wanita hamil dengan persalinan preterm ....... 21
2. Skor pelvik ...................................................................................... 22
3. Skor tokolitik Baumgarten ............................................................... 22
4. Indikasi dan kontraindikasi pemberian tokolitik ............................... 29
5. Terapi tokolitik dalam praktek klinis. ............................................... 31
6. Karakteristik penderita ................................................................... 61
7. Efektivitas MgSO4 berdasarkan kontraksi ...................................... 69
8. Efektivitas MgSO4 berdasarkan skala nyeri .................................... 71
9. Efek samping setelah pemberian MgSO4 ............................................ 73
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Anatomi Uterus .............................................................................. 6
2. Rentang sekresi estrogen dan progesteron dan konstenrtrasi Human
chronic gonadotropin pada tahap selama kehamilan ................... 10
3. Sediaan MgSO4 20% dan 40% ..................................................... 34
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran halaman
1. Pengaruh pemberian terapi pertama MgSO4 pre dan post pada
kontraksi ...................................................................................... 99
2. Pengaruh pemberian terapi kedua MgSO4 pre dan post pada
kontraksi ...................................................................................... 100
3. Pengaruh pemberian terapi ketiga MgSO4 pre dan post pada
kontraksi ...................................................................................... 101
4. Pengaruh ukuran tekanan darah pre dan post ................................ 102
5. Surat Rekomendasi Persetujuan Komisi Etik persetujuan izin ....... 103
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AHA : The American Heart Association
BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah
CDMLK : Calcium Dependent Myosin Light Chain Kinase
CTG : Cardio Tocography
IL : Interleukin
IMMINENS : Ancaman
IP3 : Inositol Triphospate
MAGNET : Magnesium and Neurologic Endpoints Trial
MgSO4 : Magnesium Sulfat
NAUSEA : Rasa tidak nyaman di perut / Mual
NICU : Neonatal Intensive Care Unit
PTB : Preterm Labor
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RS : Rumah Sakit
RSIA : Rumah Sakit Ibu dan Anak
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
TNF : Tumor Necrosis Factor
UGD : Unit Gawat Darurat
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan prematur merupakan masalah penting dalam dunia
kesehatan khususnya dibidang obstetrik, karena baik di negara
berkembang maupun negara maju penyebab morbiditas dan mortalitas
neonatus adalah bayi yang lahir preterm (Haas, 2001). Bayi yang lahir
prematur (sebelum minggu 37 kehamilan) sering mengalami morbiditas
dan kebutuhan yang sangat signifikan di unit perawatan intensif neonatal
(Claas, 2010). Apalagi ada risiko neurologis jangka panjang yang
signifikan, morbiditas dalam hal ini korban selamat (Kugelman, 2012).
Semakin dini kelahiran bayi semakin besar risikonya, terutama saat
kelahiran terjadi sebelum minggu 32. Orangtua dikhawatirkan tertekan
saat bayinya lahir prematur. Oleh karena itu, pencegahan kelahiran
prematur tetap menjadi prioritas penting (Boyle, 2012).
WHO (World Health Organization, 2015) mendefinisikan preterm
sebagai usia kehamilan yang kurang dari 37 minggu lengkap (259 hari)
sejak hari pertama haid terakhir. Kelahiran preterm atau prematur dapat
diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai
pendarahan dan/atau dilatasi cervix serta turunnya bayi pada wanita hamil
yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu sejak hari pertama haid
terakhir (Oxorn, 2003).
2
Estimasi yang reliabel untuk angka kelahiran prematur tidak tersedia
untuk Indonesia. Meskipun demikian, WHO (World Health Organization,
2012) mencatat bahwa, angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia
pada tahun 2010 adalah 15,5 per 100 kelahiran hidup dan menempatkan
Indonesia diposisi ke-9 tertinggi dari 184 negara. Angka ini cukup besar
jika dibandingkan dengan negara Belarus yang menempati urutan terakhir
dengan jumlah kelahiran prematur sebesar 4,1 per 100 kelahiran hidup.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,
Indonesia memiliki angka kejadian kelahiran prematur tertinggi, kemudian
diikuti oleh Filipina (14,9 per 100 kelahiran hidup), dan Myanmar (12,4 per
100 kelahiran hidup). (Sulistiarini, 2016)
Bayi Berat Lahir Rendah, atau BBLR adalah bayi lahir dengan berat
badan 1500 gram sampai kurang dari 2500 gram. Menurut World Health
Organization (WHO), diantara 130 juta bayi yang lahir setiap tahun di
seluruh dunia, 8 juta meninggal sebelum mereka mencapai waktu
kelahirannya. Di Amerika Serikat 17% sampai 34 % dari kematian bayi
dikaitkan dengan prematuritas (Louis, 2010).
Masalah BBLR merupakan masalah utama di negara berkembang
termasuk Indonesia. Bayi lahir berat rendah merupakan penyebab
terjadinya peningkatan angka mortalitas dan morbiditas pada bayi,
penyebab utamanya adalah prematuritas (Yulifah, 2009).
Pengobatan yang dilakukan jika kemungkinan akan terjadi kelahiran
prematur, biasanya diberikan obat tokolitik untuk menghentikan kontraksi
3
dan kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru-paru bayi
(Cunningham dkk, 2005).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya dalam
mencegah kejadian kelahiran secara prematur dengan cara menghambat
kelahiran sebelum 37 minggu dengan menggunakan obat-obat tokolitik.
Terapi tokolitik merupakan terapi yang digunakan dalam menghambat
kelahiran prematur dengan cara menghambat kontraksi uterus sehingga
dapat memperpanjang masa kehamilan dan mengurangi komplikasi
neonatal ( Agustin dkk, 2011).
Penggunaan MgSO4 di Indonesia sebagai tokolitik bukanlah pilihan
utama, mengingat MgSO4 termasuk obat obatan dengan indeks terapi
sempit sehingga dalam penggunaannya perlu kehati-hatian yang extra
dalam menentukan dosis yang tepat pada pasien dibanding dengan
tokolitik pilihan lain, selain itu dikhawatirkan terjadi efek samping yang
serius pada pasien. Oleh karena itu dibutuhkan untuk selalu mengontrol
TTV (tanda-tanda vital) setiap pemberian Magnesium Sulfat.
Berdasarkan atas landasan teori-teori di atas, maka peneliti merasa
perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas penggunaan MgSO4 sebagai
tokolitik pada ancaman persalinan prematur di Makassar.
A. Rumusan Masalah
1. Berapa dosis MgSO4 yang tepat digunakan sebagai tokolitik pada
pasien dengan ancaman persalinan prematur ?
4
2. Berapa lama durasi yang dibutuhkan MgSO4 untuk mengurangi
kontraksi?
3. Berapa waktu paruh MgSO4 dalam mengurangi kontraksi ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
penggunan MgSO4 sebagai tokolitik pada pasien dengan ancaman
persalinan prematur.
Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus dari penelitian ini agar dapat diketahui :
a. Mengukur dosis efektif MgSO4 untuk penggunaan sebagai tokolitik
b. Mengukur durasi MgSO4 sebagai tokolitik
c. Mengukur Waktu Paruh MgSO4 sebagai tokolitik
d. Melihat efek samping yang terjadi setelah pemberian MgSO4
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi tim medis ;
Penelitian ini diharapkan agar diketahui dosis yang tepat sehingga
didapatkan efektivitas penggunaan MgSO4 sebagai tokolitik serta
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan terapi yang tepat
pada pasien dengan ancaman persalinan prematur.
5
2. Manfaat bagi masyarakat ;
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan edukasi
terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan
kehamilan agar dapat terhindar dari ancaman persalinan prematur.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Uterus
Uterus berbentuk seperti buah avokad atau buah pir yang sedikit
gepeng ke arah depan belakang. Ukurannya sebesar telur ayam dan
mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot - otot polos. Ukuran
panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan
tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah
anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina,
sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks
uteri) (Prawirohardjo, 2010).
Uterus rnempunyai tiga fungsi yaitu dalam siklus menstruasi sebagai
peremajaan endometrium, dalam kehamilan sebagai tempat tumbuh dan
berkembang janin, dan dalam persalinan berkontraksi sewaktu melahirkan
dan sesudah melahirkan (Prawirohardjo, 2010).
Gambar 1. Anatomi Uterus (Prawirohardjo, 2010)
7
Uterus terdiri atas (1) fundus uteri; (2) korpus uteri; dan (3) serviks
uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal; di situ kedua tuba
Falloppii masuk ke uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus yang
terbesar.Pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai
tempat janin berkembang, Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut
kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas (1) pars vaginalis
servisis uteri yang dinamakan porsio; (2) pars supravaginalis servisis uteri
yaitu bagian serviks yang berada di atas vagina (Prawirohardjo, 2010).
Saluran yang terdapat dalam serviks disebut kanalis servikalis,
berbentuk seperti saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini
dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks, berbentuk sel-sel torak bersilia dan
berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah
dalam disebut ostium uteri internum dan pintu di vagina disebut ostium
uteri eksternum (Prawirohardjo, 2010).
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak
di bawah ismus. Di anterior, batas atas serviks yaitu osintema, terletak
kurang lebih setinggi pantulan peritoneum pada kandung kemih.
Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi atas segmen
vaginal dan supravaginal. Permukaan posterior segmen supravaginal
tertutup peritoneum. Di bagian lateral, serviks menempel pada ligamentum
kardinal; dan di bagian anterior, dipisahkan dan kandung kemih yang
menutupinya oleh jaringan ikat longgar. Os ekstema terletak pada ujung
8
bawah segmen vaginal serviks, yaitu porsio vaginalis (Prawirohardjo,
2010).
Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas (1)
endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri; (2) otot-otot
polos; dan (3) lapisan serosa, yakni peritoneum viserale. Endometrium
terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak
pembuluh darah yang berkeluk-keluk, Endometrium melapisi seluruh
kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid perempuan
dalam masa reproduksi (Prawirohardjo, 2010).
Uterus diberi darah oleh arteria Uterina kiri dan kanan yang terdiri atas
ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari
arteria Iliaka Interna (disebut juga arteria Hipogastrika) yang melalui dasar
ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5
cm di atas forniks lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memberi
pula darah ke uterus adalah arteria Ovarika kiri dan kanan. Inervasi uterus
terutama terdiri atas sistem saraf simpatetik dan untuk sebagian terdiri
atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal (Prawirohardjo, 2010).
B. Fisiologi Persalinan Normal
Pada kehamilan, plasenta terutama membentuk gonadotropin chorio-
nik, estrogen, progesteron, dan somatomammotropin chorionik manusia.
Tiga yang pertama, dan mungkin yang keempat juga penting untuk
kehamilan normal. Human Gonadotropin Chorionik menyebabkan kokoh-
nya corpus luteum dan mencegah menstruasi. (Guyton, 2014)
9
Menstruasi biasanya terjadi pada wanita yang tidak hamil sekitar 14
hari setelah ovulasi, dimana sebagian besar endometrium uterus me-
luncur menjauh dari dinding rahim dan dikeluarkan ke eksterior. Jika ini
terjadi setelah ovum ditanamkan, kehamilan akan berakhir. Namun, hal ini
dicegah oleh sekresi human chorionic gonadotropin oleh jaringan embrio
yang baru berkembang dengan cara berikut. (Guyton, 2014)
Secara kebetulan, dengan perkembangan sel trofoblas dari sel telur
awal yang dibuahi, hormon human chorionic gonadotropin disekresikan
oleh sel trofoblas syncytial ke dalam cairan ibu, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2. Sekresi hormon ini pertama-tama dapat diukur dalam
darah 8 sampai 9 hari setelah ovulasi, segera setelah blastokista me-
nempel di endometrium. Kemudian tingkat sekresi meningkat dengan
cepat mencapai maksimum sekitar 10 sampai 12 minggu kehamilan dan
menurun kembali ke nilai yang lebih rendah hingga 16 sampai 20 minggu.
Ini berlangsung pada tingkat yang meningkat ini, untuk waktu kehamilan
berikutnya. (Guyton, 2014)
10
Di bawah pengaruh Human Chorionic gonadotropin, korpus luteum
dalam ovarium ibu, tumbuh dua kali lipatnya per bulan atau segera setelah
kehamilan mulai. Hal ini kemudian diikuti oleh sekresi estrogen dan
progesteron uterin endometrium, yang memungkinkan perkembangan
cepat pada fetus.
Jika korpus luteum dihilangkan sebelum setidaknya tujuh minggu
kehamilan, secara spontan aborsi selalu hampir terjadi, beberapa bahkan
hingga di atas minggu ke-12. Setelah itu, plasenta mensekresi beberapa
progesteron dan estrogen untuk memelihara kehamilan untuk masa
gestasi. Korpus luteum berkembang lambat setelah minggu 13 sampai 17
masa gestasi. (Guyton, 2014)
Gambar 2. Rentang sekresi estrogen dan progesteron, dan konsentrasi
Human Chorionic gonadotropin pada tahap-tahap selama kehamilan.
(diadaptasi dari Guyton, 2014)
11
Human chorionic gonadotropin juga menstimulasi sel interstisial pada
fetus laki-laki, menghasilkan testosteron sampai fetus lahir. Sekresi kecil
testosteron selama masa gestasi adalah penyebab fetus menumbuhkan
organ seks laki-laki daripada organ seks perempuan. Saat mendekati
masa akhir kehamilan, testosteron disekresi oleh testis fetus. Estrogen
memiliki fungsi proliferasi dan lebih banyak bersifat reproduktif dan
dihubungkan dengan organ ibu. Selama kehamilan sejumlah besar
estrogen menyebabkan : (1) pembesaran uterus ibu, (2) pembesaran
payudara ibu dan pertumbuhan struktur payudara, dan (3) pembesaran
organ genitalia eksternal ibu. Selain itu juga merelaksasi otot ligamen
bagian pelvic dari ibu, sehingga sendi sacroilia menjadi lebih lunak dan
simfisis pubis lebih elastis. Perubahan ini akan lebih memudahkan fetus
keluar melalui jalan lahir. Human Chronic Somatomammotropin berperan
pada perkembangan payudara dan laktasi pada hewan coba,
pembentukan jaringan protein yang mirip dengan pembentukan Growth
Hormone, dan menurunkan sensitifitas insulin dan menurunkan
pengaturan glukosa pada ibu, yang selanjutnya meningkatkan kuantitas
glukosa untuk fetus. (Guyton, 2014)
Beberapa jam terakhir kehamilan manusia ditandai oleh kontraksi
uterus yang kuat dan menyakitkan yang menyebabkan dilatasi serviks dan
menyebabkan janin turun melalui jalan lahir. Ada banyak persiapan baik di
rahim dan leher rahim jauh sebelum ini. Selama 36 sampai 38 minggu
pertama kehamilan normal, miometrium dalam kondisi persiapan namun
12
tidak responsif. Pada saat bersamaan, serviks memulai tahap awal
remodeling yang disebut pelunakan - namun mempertahankan integritas
struktural. Setelah masa rahim yang lama ini, ada fase transisi di mana
ketidaktentuan miometrium dihentikan, dan serviks mengalami pematang-
an, pengurangan, dan hilangnya integritas struktural. (Cunningham, et al.,
2014)
Proses fisiologis yang mengatur parturisi dan onset persalinan terus
didefinisikan. Namun, jelas bahwa onset persalinan merupakan puncak
rangkaian perubahan biokimia di rahim dan leher rahim. Ini hasil dari
sinyal endokrin dan paracrine yang berasal dari ibu dan janin. Kontribusi
relatif mereka bervariasi antar spesies, dan inilah perbedaan yang
mempersulit penjelasan tentang faktor pastinya yang mengatur pema-
syarakatan manusia. Bila parturisi tidak normal, maka persalinan
prematur, distosia, atau kehamilan posterm dapat terjadi. Dari jumlah
tersebut, persalinan prematur tetap menjadi kontributor utama kematian
dan morbiditas neonatal di negara maju. (Cunningham, et al., 2014)
C. Persalinan Prematur
Menurut World Health Organization (WHO), yang dimaksud dengan
persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan
kurang dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid terakhir. Ancaman
persalinan prematur sering menimbulkan masalah bagi ibu hamil, karena
ibu hamil dengan umur kehamilan kurang dari 259 hari sering datang
mengeluh timbulnya kontraksi yang memberikan ancaman terjadinya
13
proses persalinan. Pada ancaman persalinan prematur terjadi kontraksi
uterus yang reguler diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif dan atau
penipisan serviks (Jusuf, 2008).
Proses persalinan menyerupai respons inflamasi yang mencakup
sekresi sitokin/chemokines oleh tubuh dan infiltrasi sel imun ke jaringan
reproduksi dan janin/ibu. Aktivasi jalur inflamasi ini mengarah ke
persalinan preterm, yang dapat mengakibatkan terjadinya kelahiran
preterm. Persalinan preterm adalah penentu utama morbiditas dan
mortalitas neonatus, oleh sebab itu pemahaman proses persalinan di
tingkat molekuler dan selular sangat penting untuk mengerti patofisiologi
dari persalinan preterm (Lopez, 2014).
Di negara maju, kelahiran prematur (Preterm Birth/ PTB) adalah
penyebab utama dari perinatal morbiditas dan mortalitas dan masalah
kesehatan masyarakat yang paling penting dalam bidang obstetri ( Illanes,
2014). Menurut World Health Organization (WHO, 2015) insiden PTB
bervariasi antara negara : Amerika Serikat sekitar 12-13%, sedangkan di
Eropa dan negara-negara maju lainnya dilaporkan tingkat yang lebih
rendah, umumnya 5-9%.
Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir, kecenderungan me-
ningkat untuk patologi ini telah diamati di beberapa negara-negara
industri. Di Amerika Serikat, tingkat PTB meningkat dari 9,5% ke 12,7%
pada tahun 2005, meskipun pengenalan intervensi medis dan strategi
14
kesehatan masyarakat yang dirancang untuk mengurangi angka-angka ini
(Illanes, 2014).
Kemenkes RI mengutip pernyataan Creasy dan Herron (Kemenkes RI,
2010) bahwa, persalinan preterm terjadi pada wanita hamil dengan usia
gestasi 20-36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali tiap 20 menit
atau delapan kali tiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti oleh satu
dari beberapa hal berikut : ketuban pecah dini (premature rupture of
membrane/PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau
perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan
secara serial.
PTB dapat diklasifikasikan sebagai indikasi medis atau spontan.
Penyakit ibu dan janin, seperti preeklampsia, solusio plasenta, gawat janin
dan pertumbuhan janin yang tidak sempurna adalah kondisi medis yang
sering terjadi dan berhubungan dengan iatrogenik PTB. Persalinan
prematur spontan (PTL) telah didefinisikan sebagai awal persalinan
sebelum 37 minggu kehamilan, dengan atau tanpa pecah ketuban,
dengan multifaktorial dan heterogen etiologi ( Illanes, 2014).
Faktor risiko persalinan prematur antara lain : kelahiran prematur
sebelumnya, usia yang masih muda, ras kulit hitam, rendahnya berat
badan sebelum kehamilan, merokok, perdarahan trimester kedua atau
ketiga, kehamilan multipel, dan anomali rahim, infeksi maternal, seperti
infeksi saluran kemih yang tidak diobati dan pneumonia, berhubungan
dengan persalinan prematur. Selain itu, organisme genital seperti
15
Gardnerella vaginalis, C. trachomatis, N. gonorrhoeae, Ureaplasma
urealyticum, dan T. vaginalis, juga terkait dengan kelahiran prematur.
Meskipun penting untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko melahirkan
prematur spontan, hanya setengah dari semua persalinan prematur terjadi
pada wanita dengan faktor risiko yang diketahui. (Alldredge, 2012)
D. Patofisiologi Persalinan Prematur
Banyak faktor mempengaruhi keputusan untuk mengobati persalinan
prematur dengan agen tokolitik. Faktor janin yang menghalangi tokolisis
termasuk pemantauan janin yang tidak meyakinkan, IUGR signifikan, dan
anomali kongenital yang mematikan. Faktor ibu meliputi bukti
korioamnionitis, infeksi maternal atau penyakit lain yang bermakna, pre-
eklampsia, dan persalinan lanjut. Tokolisis cenderung tidak efektif pada
wanita dengan pelebaran serviks lebih besar dari 3 cm dan biasanya tidak
berhasil jika pasien dalam keadaan lanjut. Persalinan serviks > 5 cm).
Karena etiologi persalinan prematur multifaktorial, pasien harus dievaluasi
secara menyeluruh dan berkala untuk kemungkinan penyebab persalinan
prematur dan ditangani dengan tepat saat didiagnosis. Sebagai contoh,
infeksi saluran kencing dikaitkan dengan kelahiran prematur, dan harus
didiagnosis dan diobati jika ada. Selain itu, beberapa juga akan
melakukan amniosentesis untuk menyingkirkan chorioamnionitis subklinis
sebagai penyebab persalinan prematur sebelum memulai atau melanjut-
kan melakukan katalisis, dan untuk mengevaluasi kematangan paru-paru.
Pada usia gestasi selanjutnya. (Alldredge, 2012)
16
Persalinan preterm terjadi pada sekitar 5% sampai dengan 10% dari
semua kehamilan. Nilai ini mungkin lebih tinggi dalam kelompok populasi
tertentu dan tidak menurun selama 20 hingga 30 tahun terakhir. Meskipun
beberapa kelahiran adalah elektif, sekitar 30% persalinan preterm terjadi
dalam hubungannya dengan suatu proses infeksi, dan sekitar 50% adalah
idiopatik dengan penyebab yang tidak diketahui. Persalinan preterm
dikaitkan dengan 70% kematian bayi, dan hingga 75% dari morbiditas
neonatus. Bayi lahir kurang bulan memiliki peningkatan insiden buta, tuli,
cerebral palsy, gangguan neurologis dan gangguan paru-paru (Romero,
2009).
Persalinan preterm didahului oleh berbagai mekanisme. Terdapat
empat proses patologis yang terjadi pada persalinan preterm yaitu :
1) Infeksi dan atau inflamasi sistemik pada desidua-korion-amnionitik; 2)
Stress maternal yang mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
yang melepaskan CRH dan kortikosteroid; 3) perdarahan desidua dan
abrupsi plasenta, dan 4) peregangan uterus yang berlebihan akibat
polihidramnion atau kehamilan ganda yang menyebabkan peningkatan
kadar prostaglandin dan kolagenase (Holst, 2009).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya partus prematur
antara lain :
1. Faktor yang terjadi selama kehamilan
a. Pecahnya kulit ketuban
17
Pecahnya kulit ketuban secara spontan sebelum kehamilan cukup
bulan banyak dihubungkan dengan amnionitis yang menyebabkan
terjadinya lokus minoris pada kulit ketuban. Amnionitis ini diduga
sebagai dampak asenderen infeksi saluran kemih.
b. Infeksi
Invasi bakteri akan menghasilkan produk-produk bakteri berupa
fosfolipase A2 (PLA2), endotoksin, kolagenase. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan produksi lipoxygenase, cycloxygenase, dan
sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNF). Makrofag juga akan mensintesis prostag-
landin dan tromboksan dalam jumlah besar yang bekerja secara
bersamaan dalam menimbulkan persalinan prematur.
c. Perdarahan antepartum
d. Kehamilan ganda dan hidramnion
Distensi uterus berlebihan sering menyebabkan persalinan
prematur. Usia kehamilan makin pendek pada kehamilan ganda, 25%
bayi kembar 2, 50% bayi triplet dan 75% bayi kuadriplet lahir 4 minggu
sebelum kehamilan cukup bulan.
e. Kelainan uterus
Uterus yang tidak normal menganggu resiko terjadinya abortus
spontan dan persalinan prematur. Pada serviks inkompeten dimana
serviks tidak dapat menahan kehamilan terjadi dilatasi serviks
mengakibatkan kulit ketuban menonjol keluar pada trimester 2 dan awal
trimester 3 dan kemudian pecah yang biasanya diikuti oleh persalinan.
18
Terdapat penelitian menyatakan bahwa risiko terjadinya persalinan
prematur akan makin meningkat bila serviks < 30 mm. Hal ini dikaitkan
dengan makin mudahnya terjadi infeksi amnion bila serviks makin
pendek.
f. Penyakit sistemik kronis pada ibu : diabetes mellitus, penyakit
jantung, hipertensi, penyakit ginjal dan paru kronis. (Leitich, 2005).
2. Faktor epidemiologi
a. Umur ibu
Angka kejadian persalinan kurang bulan tinggi pada usia ibu
dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun, kejadian paling rendah pada
usia 26-35 tahun.
b. Berat badan ibu
Kejadian persalinan prematur hampir 3 kali lebih tinggi pada ibu
yang berat badannya kurang 50 kg pada saat hamil.
c. Keadaan sosial ekonomi
Wanita pada tingkat sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan)
lebih rendah mempunyai kemungkinan 50% lebih tinggi mengalami
persalinan kurang bulan dibandingkan dengan tingkat sosial ekonomi
lebih tinggi. Frekuensi persalinan kurang bulan hampir 2 kali lipat pada
buruh kasar dibandingkan dengan yang terpelajar.
d. Sanggama
Prostaglandin yang terlibat dalam mekanisme orgasme serta ada
dalam cairan seminal dapat merangsang pematangan serviks dan
19
kontraksi miometrium sehingga menyebabkan persalinan kurang
bulan pada ibu yang sensitif.
e. Riwayat obstetri sebelumnya
Riwayat persalinan prematur dan abortus merupakan faktor yang
berhubungan sangat erat dengan persalinan prematur berikutnya.
Penderita yang pernah mengalami 1 kali persalinan prematur
mempunyai resiko 37% untuk mengalami persalinan prematur lagi dan
penderita yang pernah mengalami persalinan prematur 2 kali atau
lebih mempunyai resiko 70% untuk mengalami persalinan prematur.
f. Kebiasaan buruk seperti merokok dan narkoba.
Berdasarkan penelitian, 1 dari 3 wanita yang merokok lebih dari 20
batang sehari melahirkan bayi dengan berat badan kurang. Juga
resiko kelahiran prematur meningkat, yaitu rata-rata dua kali lipat dari
wanita bukan perokok. Lebih dari itu resiko keguguran pada usia
kehamilan antara minggu ke 28 sampai 1 minggu sebelum persalinan
empat kali lebih tinggi dari yang bukan perokok. Seringkali terjadi
kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman persalinan prematur,
karena tidak jarang seseorang dengan hamil prematur yang disertai
dengan timbulnya kontraksi tidak benar-benar dalam ancaman
terjadinya proses persalinan dimana bila hal ini dibiarkan saja
persalinan tak akan terjadi (Leitich, 2005).
Beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis ancaman persalinan
prematur yaitu :
20
- Adanya kontraksi adekuat minimal 2-3 kali dalam waktu 10 menit
dengan selang waktu relaksasi yang cukup.
- Adanya perubahan dilatasi serviks pada 2 pemeriksaan dengan
selang waktu 1 jam yang dilakukan oleh pemeriksa yang sama disertai
dengan adanya kontraksi uterus.
- Adanya kontraksi yang teratur disertai dilatasi serviks 1-2 cm dan
penipisan serviks (Leitich, 2005).
Persalinan preterm dapat terjadi sebagai hasil akhir dari jalur
umum beragam proses patofisiologi. Penyebabnya meliputi infeksi
ascending, hipoksi-iskemik unit uteroplasental, stress kronis, dan kelainan
perkembangan uterus maupun fetus ( Schleußner E, 2013 ).
Faktor risiko terjadinya persalinan preterm adalah riwayat masalah
obstetrik pada persalinan preterm sebelumnya atau keguguran, status
sosial ekonomi yang rendah dan pendidikan rendah, ibu tunggal, gaya
hidup tidak sehat seperti merokok dan malnutrisi, kehamilan ganda (10%
dari seluruh persalinan preterm), dan usia ibu kurang dari 18 tahun atau
lebih dari 35 tahun. Ibu yang berat badan terlalu rendah atau obesitas
dengan indeks masa tubuh lebih dari 35 juga memiliki risiko persalinan
preterm ( Schleußner E, 2013 ).
Diagnosis
Mengidentifikasi wanita devngan risiko persalinan preterm yang
benar-benar akan mengalami persalinan preterm sangat sulit pada 30%
kasus, hal ini tidak terjadi dan kurang dari 10% wanita benar-benar
21
melahirkan preterm dalam 7 hari setelah diagnosis ( Gyetvai, 1999).
Tujuan diagnosis adalah untuk mendeteksi kondisi yang menjadi
predisposisi persalinan preterm dan untuk memberikan penilaian objektif
apakah presalinan preterm telah mulai terjadi (karakteristik kontraksi, efek
kontraksi pada serviks, ketuban pecah dini). Selain itu, kondisi janin juga
harus dinilai, sehingga dapat ditentukan apakah perlu melahirkan janin
atau tidak ( Schleußner E, 2013).
Tabel penilaian diagnostic wanita hamil di bawah ini dikutip dari
Schleußner E
Tabel 1. Penilaian diagnostik wanita hamil dengan persalinan preterm
(Schleußner E, 2013)
Parameter-parameter yang dipakai untuk memprediksi persalinan
prematur :
Tes Diagnosis Tujuan
Kardio tocografi Objektifikasi kontraksi uterus dan
frekuensinya; penilaian kondisi janin
Pemeriksaan vagina
- Smear serviks untuk mikrobiologi - Pengukuran pH vagina - Pengujian cairan ketuban tempat
yang ditentukan - Uji fibronektin - Palpasi untuk penilaian serviks
(Skor uskup)
- Diagnosis infeksi dari Uji
biokimia protein cairan amnion penanda.
- Biokimia panggung serviks
penilaian subjektif dari tahap serviks
ultrasonografi transvaginal untuk
pengukuran serviks Objektifikasi tahap serviks
ultrasonografi abdomen janin
- Volume cairan amnion - Perkembangan janin - Kehamilan ganda
Oligo / polihidramnion
Penurunan pertumbuhan / makrosomia Pertumbuhan transfusi Feto-janin
22
a. Skor pelvik menurut Bishop (Bhimantoro, 2003).
Tabel 2. Skor Pelvik (Bhimantoro, 2003)
Nilai 0 1 2 3
Dilatasi Serviks 0 1-2 cm 3-4 cm >4 cm
Penipisan Serviks 0-30 % 40-50% 60-70% >70%
Station -3 -2 -1 0
Konsistensi Serviks Kenyal Medium Lunak
Posisi Serviks Posterior Medial Anterior
Skor pelvik yang dinilai disini adalah skor pelvik modifikasi Bishop
yang meliputi penilaian dilatasi serviks, penipisan serviks, station,
konsistensi serviks dan posisi serviks. Skor Bishop merupakan parameter
yang baik untuk memprediksi terjadinya persalinan prematur. Semakin
besar nilai skor Bishop menunjukkan ancaman persalinan prematur yang
terjadi makin progresif sehingga makin sulit untuk dihambat. Pada
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan prematur
berkisar 76% pada skor Bishop >5 (Goffinet, 2005).
b. Skor tokolitik menurut Baumgarten (Bhimantoro, 2003)
Tabel 3. Skor tokolitik Baumgarten (Bhimantoro, 2003)
Nilai 1 2 3 4
Kontraksi Tidak
Teratur Teratur - -
Ketuban Utuh Pecah diatas/
tdk jelas
- Pecah
dibawah
Perdarahan spotting Banyak
Dilatasi Serviks
1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
23
Skor tokolisis menurut Baumgarten merupakan parameter yang baik
untuk memprediksi persalinan prematur dengan atau tanpa adanya
ketuban pecah dini. Skor tokolisis ini mengevaluasi kemungkinan
terjadinya persalinan prematur dengan mengkombinasikan 4 faktor klinis
yaitu adanya kontraksi uterus, utuh/tidaknya kulit ketuban, keluarnya lendir
darah dan dilatasi serviks. Pada beberapa penelitian didapatkan angka
kejadian persalinan premature sebesar 10% pada skor tokolisis
Baumgarten < 3. Bila skor tokolisis Baumgarten > 4 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar 85% (Goffinet, 2005) (Leitich,
2005).
Persalinan prematur dapat dipicu oleh beberapa keadaan seperti
infeksi, iskemik pada janin dan distensi uterus. Pada permukaan plasenta
dan membrane amnion banyak mengandung makrofag. Bila ada invasi
bakteri akan dihasilkan produk-produk bakteri seperti Phospholipase
A2(PLA2), endotoksin, dan collagenase. Peningkatan Phospholipase
(PLC, PLA2) akan melepaskan asam arachidonat yang dipakai untuk
mensintesis COX-1 dan COX-2 pada jalur sintesis prostaglandin. Selain
itu terjadi peningkatan produksi lipoxygenase, cycloxygenase, dan sitokin
( IL-1, IL-6, IL-8, TNF). Makrofag akan mensintesis prostaglandin, enzim
protease dan collagenase yang akan menyebabkan penipisan serviks dan
kontraksi otot miometrium sehingga menginduksi persalinan premature
(Jusuf, 2008).
24
E. Agen Tokolitik
Tokolitik merupakan agen farmakologis yang merelaksasi miometrium
uterus dan menghambat kontraksi uterus sehingga menggagalkan
persalinan preterm. Tokolitik beraksi melalui berbagai mekanisme untuk
menurunkan availabilitas ion kalsium intraseluler yang akan menghambat
interaksi aktin-myosin. Efektivitasnya dalam penekanan persalinan
preterm bersifat kontroversial dan berhubungan dengan efek samping
yang serius terhadap ibu dan janin. Jenis-jenis obat yang mempunyai efek
sebagai tokolitik adalah Beta-agonist (Terbutaline, Ritodrine, Salbutamol),
Calcium channel blockers (Nifedipine,Nicardipine), prostaglandin
synthetase inhibitors (indometasin, Movicox), oxytocins reseptor antagonist
(Atosiban), dan magnesium sulfat.
Kalsium pada sel myometrium berasal dari intraseluler maupun
ekstraseluler dimana sebagian besar kalsium yang digunakan sel
myometrium untuk berkontraksi berasal dari konsentrasi kalsium
intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler dari berbagai macam
mekanisme yang berbeda dan berikatan dengan calmodulin dan memulai
aktivasi dari calcium-dependent myosin light chain kinase (CDMLK).
Indikasi penggunaan tokolitik
Persalinan prematur merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas perinatal. Obat-obat tokolitik sangat efektif dalam menurunkan
angka persalinan yang sepertinya akan terjadi dalam 24 sampai 48 jam,
25
tetapi tidak akan menurunkan seluruh resiko akibat persalinan premature
(Suarez, 2001).
Pertimbangan untuk memberikan terapi tokolitik pada wanita yang
pernah mengalami persalinan prematur ketika ada perlunya untuk
menunda persalinan prematur seperti : (Suarez, 2001).
1. Ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih
mendapatkan pelayanan yang sempurna.
2. Untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48 jam untuk
pematangan paru.
Rasionalisasi Penggunaan Tokolitik
Dalam usaha untuk mencegah kelahiran prematur dan sekuelnya,
klinisi yang merawat persalinan prematur harus tetap mengingat resiko
dan komplikasi dari terapi tokolitik. Pengalaman dengan obat-obatan ini
telah mengajarkan kita bahwa obat ini harus digunakan secara hati-hati
dan hanya dengan pasien yang mengalami persalinan prematur. Poin-
poin penting untuk diingat dalam penggunaan rasional terapi tokolitik
antara lain (Hill, 1995) :
1. Pastikan pasien benar-benar mengalami ancaman persalinan
prematur karena obat ini merupakan obat yang berbahaya dan poten.
Terapi penurunan kontraksi uterus dengan terapi tokolitik secara
parenteral dan oral harus dilakukan walaupun ini tidak menurunkan
insiden persalinan prematur atau kelahiran prematur, dan juga tidak
meningkatkan luaran perinatal. Obat ini juga membuat ibu dan janin
26
terpapar dengan resiko-resiko yang sebenarnya tidak perlu karena itu
pastikan resiko terapi lebih kecil dibandingkan keuntungannya.
2. Pasien yang menerima tokolitik harus diawasi ketat, terutama pada
saat terapi intravena. Peningkatan mendadak berat badan harian
dapat menjadi tanda awal bahwa pasien mengalami retensi cairan.
Intake dan output harus dicatat, kadar elektrolit, glukosa, magnesium
dan tanda vital harus diawasi ketat. Tanda-tanda klinis adanya edema
pulmonal harus dilihat ada tidaknya setiap hari.
3. Keseimbangan cairan harus hati-hati diawasi untuk mencegah edema
pulmonal, yang merupakan satu dari komplikasi yang paling serius
dan berbahaya dari terapi tokolitik. Pasien dengan terapi intravena
harus dibatasi cairannya untuk mengindari overhidrasi. Sebagian
besar kasus edema pulmonal bersifat iatrogenik. Pembatasan cairan
harus dilakukan dengan cermat. Cairan intra vena harus berupa ringer
laktat atau larutan normal saline. Intake oral dan intravena total harus
diawasi dengan cermat. Mengawasi intake cairan total
akanmengurangi resiko edema pulmonal.
4. Mengetahui kapan harus menghentikan tokolitik. Nyeri dada, nafas
pendek, adalah tanda-tanda klinis edema pulmonal, dan atau tekanan
pada dada, harus dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan
terapi. Ketika perlu dan memungkinkan, rujuk pasien ke pusat
kesehatan tersier jika ditemui kasus diluar tempat tersebut.
27
5. Denyut nadi ibu harus diperiksa hati-hati, terutama pada pasien yang
menerima obat-obat ß-adrenergik agonis parenteral. Denyut nadi ibu
bertahan pada >120 x/m merupakan hal yang berbahaya dan indikasi
bahwa pasien menerima terlalu banyak obat tokolitik dan berada
dalam resiko yang signfikan. Namun, denyut nadi yang kurang dari
80x/ menit mengindikasikan bahwa pasien tidak mengkonsumsi
obatnya atau tidak cukup dosisnya, atau tidak lagi efektif.
6. Mereka yang merawat pasien-pasien ini harus sangat terbiasa dengan
obat-obat tokolitik dalam jumlah yang terbatas. Mekanisme aksi,
farmakologi, dosis, dan resiko harus dipahami dengan jelas tidak
hanya oleh dokter dan bidan, namun juga perawat yang menangani
pasien.
7. Infeksi dan abruptio plasenta harus dipertimbangkan sebagai
penyebab persalinan prematur yang resisten atau tidak dapat
dielakkan. Pada situasi ini, evaluasi ultrasonografi yang rinci harus
digunakan untuk memeriksa janin dan plasenta serta mengevaluasi
pematangan paru janin.
8. Penggunaan terapi tokolitik pemeliharaan menggunakan ß agonis
yang lama setelah tokolitik intravena telah terbukti tidak efektif dalam
mengurangi insiden berulangnya persalinan prematur atau insiden
kelahiran prematur atau memperpanjang interval menuju kelahiran.
Penggunaan obat-obatan tokolitik oral yang lama seperti nifedipin atau
terbutalin masih menjadi kontroversi
28
9. Persalinan prematur yang dialami oleh sebagian besar pasien dapat
dikontrol melalui terapi intravena dalam waktu 24-48 jam. Usahakan
untuk dapat menghentikan terapi intravena sebisa mungkin. Pasien
dengan dilatasi serviks lanjut atau persalinan prematur resisten
mungkin membutuhkan dilanjutkannya terapi tersebut. Terapi tokolitik
yang lama, baik per oral maupun intravena merupakan hal yang dapat
dilakukan, bermanfaat dan aman. Namun pasien harus diobservasi
ketat untuk efek samping dan komplikasinya.
10. Pasien seringkali ”gagal” tokolitik dan melahirkan. Pasien yang
melahirkan selagi menerima terapi tokolitik atau segera setelah
dihentikan pemakaiannya akan mengalami peningkatan resiko untuk
terjadinya perdarahan postpartum menyangkut obat yang digunakan,
sehingga kita harus siap dengan kemungkinan atonia uteri.
11. Jika pasien diberikan terapi tokolitik, maka juga diberikan
kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin.
12. Ketika perlu dilakukan tirah baring untuk antepartum yang lama dan
rawat inapuntuk tokolitik, kenali stress yang akan dialami pasien.
Pasien ini jauh dari keluarga, rumah, pekerjaan dan gaya hidup. Tim
perinatal memainkan peranan penting dalam membantu pasien ini
menghadapi dan beradaptasi terhadap aspek psikososial dari
perawatan yang diterimanya.
Penatalaksanaan dengan tokolitik
Pemberian terapi tokolitik dapat dipertimbangkan pada wanita
29
dengan tanda-tanda persalinan preterm dengan usia gestasi antara 24
hingga 34 minggu, bila tidak ada kontraindikasi penggunaan dan bila
penundaan persalinan dapat meningkatkan kondisi neonatus. Manfaat
paling besar diperoleh pada kehamilan dengan masa gestasi kurang dari
28 minggu, di mana sangat diperlukan waktu untuk pemberian
kortikosteroid dan untuk merujuk pasien ke pusat pelayanan yang memiliki
fasilitas neonatal intensive care unit (NICU) (Zafaranchy, 2006).
Pemberian tokolitik dikontraindikasikan pada keadaan dimana
memperpanjang masa kehamilan dapat membahayakan ibu atau janin.
Kontraindikasi dan indikasi pemberian tokolitik dapat dilihat pada Tabel 4
( Schleußner E, 2013).
Tabel 4. Indikasi dan Kontra Indikasi pemberian Tokolitik (Schleußner
E, 2013)
Indikasi Kontraindikasi
Usia gestasi 24 minggu chorioamnionitis / sepsis
hingga maksimal 34 minggu
Kontraksi prematur spontan
Pendarahan antepartum yang signifikan, seperti abrupsi plasenta /
Pendarahan aktif dari vagina
Kontraksi nyeri dan dapat
dipalpasi yang berlangsung
Dilatasi serviks tahap lanjut lebih dari 30 detik setiap
kontraksi, dan terjadi lebih
dari 3 kali dalam 10 menit
30
Indikasi Kontraindikasi
Panjang serviks fungsional cardiotocography (CTG) abnormal
( pengukuran transvaginal ) <25 mm dan atau insufisiensi plasenta
adanya dilatasi servikal pre-eklamsia/eklampsia
Panjang serviks fungsional ( pengukuran transvaginal )
malformasi konginetal kromosom yang letal alergi maternal terhadap
obat tokolitik usia gestasi (24 Weeks)
<25 mm dan / atau adanya dilatasi servikal
Pada beberapa keadaan, terdapat kontraindikasi relatif terhadap
penggunaan tokolitik, namun tokolitik masih dapat diberikan sesuai
dengan pertimbangan keuntungan dan risiko. Keadaan-keadaan tersebut
meliputi : (Schleußner, 2013).
a. Ketuban pecah dini tanpa infeksi intrauterine
b. Perdarahan antepartum ringan akibat plasenta previa
c. Pertumbuhan janin terhambat
d. Kehamilan ganda
e. Keadaan klinis kemungkinan adanya edema pulmonal
f. Gangguan hati atau ginjal
Terapi dengan tokolitik harus diberikan dalam waktu sependek yang
dapat dilakukan dan dihentikan dengan tepat pada saat kontraksi
menghilang. Tidak ada indikasi pemberian tokolitik secara rutin selama
lebih dari 48 jam. Pemberian tokolitik lebih dari 48 jam dan setelah
hilangnya kontraksi hanya dapat dilakukan pada kasus khusus, yaitu
plasenta previa hemoragik, prolaps amniotic sac. Hingga saat ini tidak ada
31
satu pun obat tokolitik yang ditetapkan sebagai obat pilihan utama
(Schleußner, 2013).
Tabel 5. Terapi Tokolitik dalam Praktek Klinis (Schleußner, 2013).
Kelas Substansi Substansi Aktif
Calcium antagonists* Nifedipine
Oxytocin-receptor antagonists Atosiban
Inhibitors of prostaglandin
synthesis* Indomethacin
NO donors* Nitroglycerin
Betamimetics Fenoterol, terbutaline, ritodrine
Magnesium* Magnesium Sulfat
Peranan magnesium sulfat (MgSO4) sebagai tokolitik
MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai antikejang pada
penderita preeklamsia sebagai anti kejang yang juga bersifat sebagai
tokolitik. Di Amerika Serikat obat ini dipakai sebagai obat tokolitik utama
karena murah, mudah cara pemakaiannya dan resiko terhadap system
kardiovaskuler yang rendah serta hanya menghasilkan efek samping yang
minimal terhadap ibu, janin dan neonatal. Kerugian terbesar yang
signifikan dari penggunaan magnesium sulfat sebagai obat tokolitik adalah
harus diberikan secara parenteral (Tan, 2006).
Selama beberapa dekade terakhir, magnesium sulfat (MgSO4) telah
terbukti digunakan sebagai terapi tokolitik jangka panjang yang aman dan
efektif digunakan untuk menunda kelahiran prematur sampai 48 jam
Sebuah penelitian yang lebih baru menyatakan bahwa magnesium
32
memiliki 82% persentase keberhasilan dalam menunda persalinan selama
48 jam, lebih baik dibandingkan obat tokolitik lain yang ada, namun
efektivitasnya berkurang pada hari ke 7 (Hiroshi, 2015).
MgSO4 adalah agen yang banyak digunakan dalam praktik kebidanan.
Tidak hanya untuk tocolysis tetapi juga untuk neuroproteksi janin dan
pencegahan eklampsia pada ibu (Illanes, 2014).
Data yang dipublikasikan dari 12.876 bayi baru lahir yang telah
menerima magnesium sulfat untuk tocolysis, menyimpulkan bahwa
MgSO4 secara statistik, protektif terhadap kematian neonatal (Mittendorf,
2002).
Menurut sebuah survei, dari tahun 2008 lebih dari 90% dari 700
ginekolog kebidanan umum di Amerika Serikat menggunakan MgSO4
sebagai tocolytic utama mereka. Sebenarnya, MgSO4 adalah tocolytic
yang paling banyak digunakan (Blumenfeld, 2009).
Penggunaan MgSO4 tetap populer di kalangan ahli kebidanan di
seluruh dunia. Beberapa penelitian awal melaporkan bahwa MgSO4
mungkin merupakan agen tocolytic yang efektif dibandingkan dengan
agonis b-adrenergik (seperti terbutalin dan ritodrin) (Illanes, 2014).
Penggunaan magnesium sulfat telah terbukti dapat mengurangi resiko
mortalitas pada bayi preterm labor yang dilahirkan (ICSI, 2009). Tidak ada
perbedaan signifikan yang telah dilaporkan dalam kegagalan tocolysis
antara kelompok dosis tinggi dan rendah (5 vs 2 g / jam) tetapi sebuah
kecenderungan untuk mencapai hasil yang lebih baik didapat dengan
33
rejimen dosis tinggi, dengan sedikit kegagalan dan sedikit waktu untuk
mencapai hasil ; Namun, efek yang lebih buruk dilaporkan, seperti
penglihatan buram, mual, edema paru dan depresi pernapasan (Terrone,
2000).
Pada tahun 2006 Nassar dkk, membandingkan efek samping MgSO4
yang digunakan sebagai tocolytic pada 155 wanita hamil yang menerima
obat tersebut selama 48 jam. Wanita yang menerima MgSO4 > 48 jam
memiliki efek samping yang jauh lebih buruk, termasuk gangguan
penglihatan, sesak dada, edema paru, edema vulva dan osteopenia.
Neonatus wanita ini menunjukkan frekuensi demineralisasi tulang yang
lebih tinggi (Nassar, 2006).
Magnesium sulfat mengurangi kontraksi spontan miometrium pada
konsentrasi plasma 4 sampai 6 mEq/L, namun kadar 8 sampai 16 mEq/L
diperlukan untuk menghambat aktivitas uterus siklis yang dimediasi
agonis. Hal Ini juga mempotensiasi pemblokan neuromuskular dari agen
nondepolarisasi. Dosis magnesium sulfat untuk tocolysis adalah 4-6 g,
dosis yang diberikan lebih dari 15 sampai 30 menit dilanjutkan dengan
infus 2 g/jam terus menerus, kemungkinan terjadi dapat ditingkatkan 4
sampai 5 g/jam sesuai kebutuhan. Dengan kadar serum <10 mg/dL
(Mercer, 2009).
Penggunaan magnesium sulfat dianjurkan untuk wanita hamil yang
berisiko akan kelahiran prematur sebelum usia kehamilan 32 minggu
untuk pencegahan cerebral palsy pada bayi (WHO, 2015).
34
F. Magnesium Sulfat (MgSO4)
Magnesium sulfat (MgSO4) adalah garam anorganik mengandung
magnesium, sulfur dan oksigen, dengan rumus MgSO4. Telah dilaporkan
bahwa MgSO4 secara signifikan menghambat osilasi kalsium sitosolik.
Diinduksi oleh agonis uterotonik, seperti oksitosin (OT), tidak hanya
memblokir masuknya kalsium ekstraselular di saluran kalsium membran
plasma tapi juga menghambat pelepasan kalsium intraselular melalui jalur
intraselular IP3 (Illanes, 2014).
Gambar 3. Sediaan larutan MgSO4 40% dan 20%
Sedíaan MgSO4 berbentuk kristal yang tidak berbau, tidak berwarna atau
serbuk kristal putih yang terasa pahit dan sejuk. MgSO4 dilarutkan dalam
cairan injeksi dan solusionya disaring dengan benar sampai terpisah dari
endapannya lalu disterilisasi dan dimasukkan ke dalam ampul yang bersih
dan steril kemudian disegel. Sedíaan dalam bentuk injeksi 10%, 20%,
25%, 40% dan 50% dengan berbagai macam ukuran. Yang banyak
tersedia di Indonesia adalah larutan 20% dan 40% (Anna, 2010).
35
Resorpsi magnesium sulfat, antara 15-30% dari dosis diserap oleh
usus, yang dapat mengakibatkan kadar magnesium darah terlampau
tinggi, khususnya jika fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu,
magnesium sulfat hendaknya jangan digunakan untuk waktu yang lama.
Mulai kerjanya setelah 1-3 jam.
Magnesium sulfat atau MgSO4 merupakan antagonis dari reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) dan penghambat saluran kalsium (Ca channel
blocker). Sebagai antagonis reseptor NMDA, magnesium sulfat bekerja
menghambat sensitisasi saraf pusat akibat stimulasi perifer serta
menghilangkan reaksi hipersensitivitas. Obat ini bekerja sebagai
vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan
kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja
sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-
aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan
monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan,
saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer. Monitoring ketat
kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi
ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi
pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya
ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.
36
Magnesium diduga berperan dalam hampir seluruh sistem fisiologis.
Peranan magnesium tersebut melalui beberapa mekanisme kerja, yaitu
kalsium antagonis pada calcium channels, regulasi perpindahan energi
(seperti produksi dan penggunaan ATP, mengendalikan glikolisis dan
siklus Krebs pada fosforilasi oksidatif) dan stabilisasi ataupun penutupan
dari membran sel. Karena kerja dari magnesium tersebut, banyak
dilakukan penelitian yang berhubungan dengan sistem saraf pusat dan
perifer, kardiovaskular, pernafasan, imunologi, endokrin, dan sistem
reproduksi (Jefri, 2014).
Kalsium dan magnesium memiliki efek yang saling bertolak belakang
pada otot. Hipomagnesemia menstimulasi terjadinya kontraksi, sedangkan
hipokalsemia menyebabkan relaksasi. Hipomagnesemia menyebabkan
calcium channels terbuka, sedangkan konsentrasi magnesium yang tinggi
akan menghambat hal tersebut. Magnesium berkerja secara kompetitif
dalam menghalangi masuknya kalsium pada ujung presinap. Konsentrasi
magnesium yang tinggi akan mengurangi pelepasan asetilkolin, sehingga
akan menyebabkan perubahan transmisi neuromuskular. Magnesium
mengurangi efek asetilkolin pada reseptor postsinap otot sehingga
meningkatkan ambang eksitasi axonal. Hipomagnesmia akan
menyebabkan hipereksitabilitas dari neuromuskular, sementara
hipermagnesemia dapat menyebabkan kelemahan neuromuskular yang
bisa terlihat dari berkurangnya atau bahkan menghilangnya refleks tendon
(Jefri, 2014)
37
Berlebihnya konsentrasi magnesium pada serum dapat menyebabkan
penghambatan pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik,
medula adrenal dan serat-serat simpatis postganglionik adrenergic (Jefri,
2014).
Magnesium memiliki efek vasodilatasi melalui kerjanya pada
pembuluh darah dengan cara menghalangi masuknya kalsium pada
membran otot polos pembuluh darah, dan selain itu magnesium juga
memiliki efek anti adrenergik yang menghambat pelepasan katekolamin.
(Jefri, 2014).
Magnesium dapat menjaga hemodinamik tetap stabil dengan
menghambat pelepasan katekolamin dari medula adrenal dan ujung saraf
perifer adrenergik, penghambatan pada reseptor katekolamin,
vasodilatasi, dan juga antiaritmia (Jefri, 2014).
Magnesium sulfat juga memiliki efek analgesik dengan cara
menghalangi calcium channels. Kemampuan magnesium tersebut
diperantarai oleh berbagai mekanisme, yang mekanisme utamanya oleh
karena sifatnya sebagai antagonis kalsium, dan telah diketahui bahwa
kalsium memiliki peranan utama dalam hal pelepasan katekolamin dari
medula adrenal dan ujung saraf adrenergik (Jefri, 2014).
a. Farmakologi
Magnesium adalah suatu kation terbanyak ke-4 didalam tubuh
manusia setelah sodium, potassium, dan kalsium. Magnesium intrasel
banyak ditemukan di tulang (53%), dan miosit (27%) dan terdapat didalam
38
nukleus, mikrosom dan mitokondria. Hanya sekitar 1% magnesium
ditemukan di ekstrasel tubuh. Kadar normal magnesium serum 0,75-0,95
mmol/L (1,8-2,3 mg/dl). Kadar serum magnesium menurun ketika hamil
dikarenakan oleh proses hemodilusi (Smith, 2000).
Magnesium berfungsi sebagai kofaktor berbagai reaksi termasuk
metabolisme energi dan sintesa asam nukleat kontrol tonus vasomotor,
ekstabilitas jantung dan pelepasan neurotransmitter. Magnesium sulfat
diketahui berfungsi untuk mengurangi kontraksi miometrium yang spontan
maupun rangsangan. Magnesium juga dipercaya untuk mempengaruhi
kontraktilitas melalui kompetisi dengan kalsium didalam reticulum
endoplasma, mengurangi aviabilitas kalsium didalam iteraksi aktin-miosin
dan repolarisasi miometrium. Magnesium diperkirakan bereaksi melalui
mekanisme intrasel dan ekstrasel sehingga aktivitas kalsium berkurang
dengan adanya blokade channel-dependent influx ekstrasel kalsium dan
juga blokade pelepasan kalsium intrasel (Wolfe, 2003).
Magnesium sulfat mempunyai peranan sebagai kofaktor pada lebih
dari 300 reaksi enzimatik, antara lain metabolisme energi dan
pembentukan asam nukleat. Magnesium juga terlibat dalam proses ikatan
hormon dengan reseptornya, penghantaran pintu masuk pada kanal
kalsium, pergerakan ion transmembran dan pengaturan enzim
adenilsiklase, kontraktilitas otot, aktifitas saraf, mengontrol tonus
vasomotor, eksitabilitas jantung, dan pelepasan neurotransmitter.
39
Sebagian dari kerja magnesium ini menyerupai kerja kalsium antagonis
(Anna, 2010)
Magnesium diekskresikan melalui ginjal. Sekitar 75% dosis infuse
magnesium diekskresikan selama pemberian infuse dan 90% dieliminasi
dalam 24 jam. Magnesium direabsorbsi pada lengkung Henle oleh
mekanisme transport selektif. Oleh karena itu wanita dengan creatinine
clearance abnormal memerlukan penyesuaian dosis (Ramsey, 2001).
b. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Jumlah total magnesium dalam tubuh manusia adalah 24 g, yang
sebagian besar terdapat pada tulang dan ruang intraseluler dan hanya 1%
pada ekstraseluler. Konsentrasi magnesium pada serum wanita normal
berkisar antara 1,83 mEq/L dan turun menjadi 1,39 mEq/L pada wanita
hamil (American Medical Association, 2005).
Magnesium sulfat 4 – 6 g, maka kadar plasma akan segera meningkat
dan hanya akan bertahan sementara pada kadar 2.1-3.8 mmol/l, dan akan
menurun kadarnya menjadi 1.3-1.7 mmol/l dalam 60 menit, dan dalam 90
menit sekitar 50% magnesium sulfat yang diberikan akan masuk ke dalam
tulang dan sel-sel. Ekskresi magnesium hampir seluruhnya melalui ginjal,
dan setelah 4 jam sekitar 50% magnesium yang diberikan akan di
ekskersikan melalui urin. Bersihan ginjal terhadap magnesium akan
meningkat dengan meningkatnya kadar plasma. Dalam keadaan adanya
oliguria ataupun gagal ginjal, dosis harus dikurangi ataupun dihentikan
dan kadar plasma harus sering dipantau.
40
Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu
konsentrasi magnesium plasma ditentukan oleh jumlah pemberian melalui
infus dan kecepatan filtrasi glomerulus (American Medical Association,
2005).
MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagai
tokolitik yang pertama peningkatan kadar MgSO4 menurunkan pelepasan
asetilkolin oleh motor and plates pada neuromuskular junction sehingga
mencegah masuknya kalsium, cara yang kedua MgSO4 berperan sebagai
antagonis kalsium pada sel dan ekstrasel (American Medical Association,
2005).
Magnesium sulfat bila diberikan secara intravena maka mula kerjanya
segera setelah penyuntikan, efek puncak tercapai dalam 15 menit dan
masa kerja sekitar 30 menit.
Waktu paruh magnesium sulfat adalah 4 jam pada pasien dengan
fungsi ginjal yang normal, bila terjadi penurunan laju filtrasi glomerular
maka waktu paruhnya akan meningkat.
Dari telaah kritis terhadap berbagai penelitian terhadap kemampuan
analgetik magnesium sulfat dengan menggunakan berbagai dosis
(termasuk dosis total hingga 16 gram) tidak ada yang dilaporkan memiliki
efek samping yang serius. Pemberian magnesium sulfat dengan dosis 50
mg/kg dapat menaikkan konsentrasi serum plasma rata-rata 30-80%, dan
tidak ada dijumpai efek yang berkenaan dengan hipermagnesemia, hanya
ada gejala minor yang singkat yang dilaporkan oleh beberapa pasien,
41
seperti rasa panas atau rasa terbakar pada lengan yang diberikan infus
magnesium sulfat.
Rasa panas saat penyuntikan bergantung pada jumlahnya dalam satu
satuan waktu. Efek ini dapat dikurangi dengan penyuntikan dalam waktu
yang lebih lama.
Seorang dewasa membutuhkan magnesium 20-40 meq/hari dimana
hanya 1/3 bagian diserap dibagian proksimal usus halus melalui suatu
proses aktif yang berhubungan erat dengan sistem transport kalsium. Bila
penyerapan magnesium kurang akan menyebabkan penyerapan kalsium
meningkat dan sebaliknya.
Garam magnesium sedikit sekali di serap oleh saluran pencernaan.
Pemberian magnesium parenteral segera didistribusikan ke cairan
ekstrasel, sebagian ketulang dan sebagian lagi segera melewati plasenta.
Ekskresi magnesium terutama melalui ginjal, se dikit melalui penapasan,
air susu ibu, saliva dan diserap kembali melalui tubulus ginjal bagian
proksimal. Bila kadar magnesium dalam darah meningkat maka
penyerapan ditubulus ginjal menurun, sedangkan clearence ginjal
meningkat dan sebaliknya. Peningkatan kadar magnesium dalam darah
dapat disebabkan karena pemberian yang berlebihan atau terlalu lama
dan karena terhambatnya ekskresi melalui ginjal akibat adanya
insufisiensi atau kerusakan ginjal.
Pada preeklampsia dan eklampsia terjadi spasme pada seluruh
pembuluh darah sehingga aliran darah ke ginjal berkurang yang
42
menyebabkan GFR dan produksi urine berkurang. Oleh karena itu mudah
terjadi peninggian kadar magnesium dalam darah.
Ekskresi melalui ginjal meningkat selama pemberian glukosa,
amonium klorida, furosemide, asam etakrinat dan merkuri organik.
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh karena penurunan
absorbsi misalnya pada sindroma malabsorbsi, by pass usus halus,
malnutrisi, alkholisme, diabetik ketoasidosis, pengobatan diuretika, diare,
hiperaldosteronisme, hiperkalsiuri, hiperparatiroidisme.
Cruikshank et al menunjukan bahwa 50% magnesium akan
diekskresikan melalui ginjal pada 4 jam pertama setelah pemberian bolus
intravena, 75% setelah 20 jam dan 90% setelah 24 jam pemberian.
Pitchard mendemontrasikan bahwa 99% magnesium akan diekskresikan
melalui ginjal setelah 24 jam pemberian intravena (Anna, 2010).
c. Mekanisme Kerja
Meskipun telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa mag-
nesium memiliki kemampuan depresan kontraktilitas miometrium,
mekanisme kerja secara pasti efek tokolitik ini belum diketahui. Mag-
nesium dengan jelas menekan kontraktilitas miometrium yang diisolasi
secara in vitro dengan bergantung pada dosis. Bentuk magnesium ter-
ionisasi merupakan bentuk yang berperan dalam mekanisme supresi
eksitabilitas neuronal ini (Ramsey, 2001).
Magnesium mempengaruhi aktivitas uterus dengan menurunkan
pelepasan asetilkolin dari neuromuscular junction, sehingga menurunkan
43
amplitudo potensial motor endplate dan menurunkan sensitivitasnya.
Magnesium juga menyebabkan peningkatan cyclic adenosine
monophosphate, yang mengubah jumlah kalsium yag ditrasport keluar
dari sel miometrium (Ramsey, 2001).
Secara selular, magnesium sulfat bekerja dengan cara melepaskan
kalsium dari voltage dependent calcium channel di membran sel
miometrium dan reticulum endoplasma, mengurangi ketersediaan kalsium
dalam interaksi aktin-miosin, sehingga meningkatkan waktu repolarisasi
antara kontraksi dan menurunkan kekuatan kontraksi. Magnesium
merupakan kation divalen yang menyerupai kalsium, sehingga mampu
secara sempurna menahan masuknya kalsium ke miosit, menurunkan
kalsium intrasel, dan berakibat pada relaksasi miometrium (Ramsey,
2001).
Adapun secara rinci mekanisme kerja magnesium sulfat pada
berbagai sistem di dalam tubuh yaitu ;
1. Sistem Enzym Magnesium merupakan ko-faktor dari
semua enzym dalam rangkaian reaksi adenosin fosfat (ATP) dan
sejumlah besar enzym dalam rangkaian metabolisme fosfat. Juga
berperan penting dalam metabolisme intraseluler, misalnya proses
pengikatan messanger-RNA dalam ribosom.
2. Sistem susunan syaraf dan cerebro vaskuler. Mekanisme dan aksi
magnesium sulfat mesih belum diketahui dan menjadi pokok
pembahasan. Beberapa penulis berpendapat bahwa aksi
44
magnesium sulfat di perifer pada neuromuskular junction dengan
minimal atau tidak ada sama sekali pengaruh pada sentral. Tapi
sebagian besar penulis berpendapat bahwa aksi utamanya adalah
sentral dengan efek minimal blok neuromuskuler. Magnesium
menekan saraf pusat sehingga menimbulkan anestesi dan
mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap
SSP mirip dengan ion kalium. Hipomagnesemia mengakibatkan
peningkatan iritabilitas SSP, disorientasi, kebingungan,
kegelisahan, kejang dan perilaku psikotik. Suntikan magnesium
sulfat secara intravena cepat dan dosis tinggi dapat menyebabkan
terjadinya kelumpuhan dan hilangnya kesadaran. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya hambatan pada neuromuskular perifer.
Penghentian dan pencegahan kejang pada eklampsia tanpa
menimbulkan depresi umum susunan saraf pusat pada ibu
maupun janin. Beberapa neurolog lainnya dengan alasan yang
sulit dimengerti, secara keliru menekankan bahwa magensium
sulfat merupakan anti konvulsan yang bekerja perifer dan
karenanya merupakan obat yang jelek. Obat ini hanya bekerja
pada konsentrasi yang menyebabkan kelumpuhan dan akibatnya
pasien eklampsia yang diobati akan menjadi tenang diluar tetapi
masih kejang-kejang didalam.
Suatu bukti yang meyakinkan bahwa ion magnesium menimbulkan
efek pada susunan saraf pusat yang jauh lebih spesifik dari pada
45
depresi umum. Borges dkk. mengukur kerja magnesium sulfat
yang diberikan secara parenteral terhadap aktifitas syaraf epileptik
pada primata dibawah tingkat manusia yang tidak diberi obat dan
dalam keadaan sadar. Magnesium akan menekan timbulnya
letupan neuron dan lonjakan pada EEG interiktal dari kelompok
neuron yang dibuat epileptik dengan pemberian penisilin G secara
topikal. Derajat penekanan akan bertambah seiring dengan
meningkatnya kadar magnesium plasma dan akan berkurang
dengan menurunnya kadar magnesium.
3. Sistem neuromuskular Magnesium mempunyai pengaruh depresi
langsung terhadap otot rangka. Kelebihan magnesium dapat
menyebabkan :
- Penurunan pelepasan asetilkolin pada motor end-plate oleh
syaraf simpatis.
- Penurunan kepekaan motor end-plate terhadap asetilkolin.
- Penurunan amplitudo potensial motor end-plate.
- Pengaruh yang paling berbahaya adalah hambatan pelepasan
asetilkolin. Akibat kelebihan magnesium terhadap fungsi
neuromuskular dapat diatasi dengan pemberian kalsium,
asetilkolin dan fisostigmin. Bila kadar magnesium dalam darah
melebihi 4 meq/liter reflek tendon dalam mulai berkurang dan
mungkin menghilang dalam kadar 10 meq/liter. Oleh karena itu
46
selama pengobatan magnesium sulfat harus dikontrol refleks
fatela.
4. Sistem saraf otonom, magnesium menghambat aktifitas dan
ganglion simpatis dan dapat digunakan untuk mengontrol
penderita tetanus yang berat dengan cara Hasting melihat bahwa
pada kondisi kadar yang berbeda memberikan respon yang
berbeda pula. Tapi keadaan yang berlawanan justru terjadi yakni
adanya efek relaksasi uterus pada keadaan tidak adanya
magnesium maupun pada keadaan kadar magnesium yang tinggi.
Bila kadar magnesium sulfat berada dalam kadar menengah,
nampaknya terjadinya kontraksi miometrium.
5. Sistem Kardiovaskular, pengaruh magnesium terhahap otot
jantung menyerupai ion kalium. Kadar magnesium dalam darah
yang tinggi yaitu 10-15 meq/liter menyebabkan perpanjangan
waktu hantaran PR dan QRS interval pada EKG. Menurunkan
frekuensi pengiriman infuls SA node dan pada kadar lebih dari 15
meq/liter akan menyebabkan bradikardi bahkan sampai terjadi
henti jantung yaitu pada kadar 30 meq/liter. Pengaruh ini dapat
terjadi karena efek langsung terhadap otot jantung atau terjadi
hipoksemia akibat depresi pernapasan. Kadar magnesium 2-5
meq/liter dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini terjadi karena
pengaruh vasodilatasi pembuluh darah, depresi otot jantung dan
hambatan gangguan simpatis. Magnesium sulfat dapat
47
menurunkan tekanan darah pada wanita hamil dengan
preeklampsia dan eklampsia, wanita tidak hamil dengan tekanan
darah tinggi serta pada anak-anak dengan tekanan darah tinggi
akibat penyakit glomerulonefritis akut. Hutchinson dalam
penelitiannya mendapatkan sedikit penurunan darah arteri setelah
diberikan magnesium sulfat 4 gram secara intravena dan dalam
waktu 15-20 menit normal kembali. Sedangkan Thiagarajah dkk
dalam penelitiannya tidak mendapatkan peruba han yang
bermakna baik penurunan tekanan darah, perubahan denyut
jantung ataupun tahanan perifer.
g. Sistem pernapasan, magnesium dapat menyebabkan depresi
pernapasan bila kadarnya lebih dari 10 meq/liter bahkan dapat
menyebabkan henti napas bila kadarnya mencapai 15 meq/liter.
Magnesium adalah kation terbesar kedua didalam sel. Jumlah
seluruh magnesium dalam tubuh adalah 24 g. Magnesium
intraseluler adalah bagian terpenting sebagai kofaktor pada reaksi
berbagai enzim dan masuk ke dalam sel secara difusi. Magnesium
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Magnesium secara
bebas difiltrasi dalam glomerulus dan sebagian direabsorbsi dalam
tubulus renali. Sekskresi dalam urin kurang lebih 3-5% dari
magnesium yang difitrasi (Anna, 2010).
Magnesium sulfat mempunyai dua aktivitas sebagai obat tokolitik yakni
dengan cara menekan transmisi saraf ke miometrium dan secara
48
langsung berefek pada sel-sel miometrium. Pertama, peningkatan kadar
megnesium menurunkan pelepasan asetikolin oleh motor end plate pada
neuromuscular junction. Sebagai tambahan Magnesium mencegah
masuknya kalsium neuron dan efektif memblokir transmisi saraf. Kedua,
magnesium berefek sebagai antagonis terhadap kalsium pada tingkat sel
dan dalam ruang ekstraseluler. Peningkatan kadar magnesium
menyebabkan hipokalsemia melalui penekanan sekresi hormon paratiroid
dan melalui peningkatan pembuangan kalsium oleh ginjal. Baik
Magnesium dan kalsium direabsorbsi pada tubulus renalis. Pada sisi yang
sama, peningkatan kadar magnesium mencegah reabsorbsi kalsium dan
menyebabkan hiperkalsiuria. Disamping menyebabkan hipokalsemia,
peningkatan kadar magnesium juga berkompetisi dengan sisi ikatan
kalsium yang sama yang mengakibatkan penurunan menurunnya kadar
ATP (adenosine e triphosphate) sampai pada kadar dimana sel tidak
mengikat kalsium. Hal ini mencegah aktivasi dari kompleks aktin dan
myosin. Data klinik mendukung teori bahwa magnesium berefek sebagai
tokolitiknya melalui antogonism kalsium : pada keadaan hipokalsemia
pada penderita yang menerima magnesium sulfat kemudian diobati
dengan pemberian kalsium, terjadi peningkatan aktivitas uterus.
d. Kontraindikasi
Intoksikasi MgSO4 dapat dihindari dengan memastikan bahwa
pengeluaran urin memadai, refleks patella ada dan tidak ada depresi
pernapasan. Refleks patella menghilang pada kadar 10 mEq/L (antara 9-
49
13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih dari 10 mEq/L akan timbul depresi
pernapasan dan henti napas dapat terjadi pada kadar plasma 12 mEq/l
atau lebih.
e. Cara dan dosis pemberian magnesium sulfat
MgSO4 sebagai terapi tokolitik dimulai dengan dosis awal 4-6 gr
secara intravana yang diberikan selama 15 - 30 menit dan diikuti dengan
dosis 2 - 4 gr/ jam setiap 6 jam selama 24 jam. Selama terapi tokolitik
dilakukan, konsentrasi serum ibu biasanya dipelihara antara 4 - 9 mg/dL.
Jika seizure dapat diikuti pemberian infus intavena. Untuk meminimalisir
atau mencegah terjadinya intoksikasi seperti hal di atas maka perlunya
disediakan kalsium glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari MgSO4
(American Medical Association, 2005).
f. Efek samping magnesium sulfat
Pada 355 pasien dengan diagnosis persalinan prematur yang diterapi
dengan magnesium sulfat setelah dirujuk dari rumah sakit lain, efek
samping muncul pada 7% pasien, dan 2% diantaranya perlu dihentikan
pemberiannya. Komplikasi yang terlihat berupa edema pulmonal, nyeri
dada, nausea berat atau kemerahan, mengantuk, dan pandangan kabur.
Namun, secara keseluruhan, efek samping terhadap ibu jarang terjadi.
Pada studi ini, magnesium sulfat juga dianggap sebagai obat yang
berhasil, murah dan relatif non toksik dengan efek samping yang sedikit.
Banyak penyelidik telah mengkonfirmasi penemuan ini, membuat
50
magnesium sulfat menjadi obat tokolitik yang umum digunakan (American
Medical Association, 2005).
Efek samping yang paling signifikan dari terapi magnesium sulfat
adalah berkembangnya edema pulmonal. Terdapat insiden sebesar 1,1%
pada pasien yang menerima tokolitik magnesium sulfat. Resiko ini lebih
kecil pada magnesium sulfat jika dibandingkan dengan ß-adrenergik
agonis. Edema pulmonal merupakan komplikasi yang serius dan
berpotensi mematikan akibat komplikasi terapi tokolitik. Armson
mengevaluasi dinamika ibu-janin selama terapi tokolitik dengan kedua
obat ini, menyimpulkan bahwa retensi natrium tampaknya menjadi
penyebab utama ekspansi volume plasma pada pasien. Ekspansi volume
selama terapi magnesium sulfat mungkin berkaitan dengan overhidrasi
intravena. Ekspansi atau overload cairan merupakan mekanisme utama
untuk terjadinya edema pulmonal selama terapi tokolitik. Ginjal merupakan
jalur eksresi utama dari magnesium. Jika timbul fungsi ginjal yang buruk,
atau rata-rata infus magnesium terlalu tinggi, maka hipermagnesia
dengan sekuele yang signifikan dan serius tidak hanya untuk pasien
namun juga untuk janinnya dapat timbul. Efek samping termasuk
penurunan reflex patella, depresi pernafasan, perubahan konduksi
miokardium, henti nafas, dan henti jantung. Pada pasien yang menerima
magnesium sulfat intravena, kadar magnesium serum dan keseimbangan
cairan harus diawasi ketat. Henti nafas dapat muncul pada pasien dengan
miastenia gravis dan diterapi dengan magnesium sulfat. Karena resiko ini,
51
pasien dengan miastenia gravis harusnya tidak menerima baik
magnesium sulfat atau ß-adrenergik agonis sebagai obat tokolitik
(American Medical Association, 2005).
Efek samping maternal akibat penggunaan magnesium sulfat
biasanya bergantung pada dosis. Efek samping yang sering terjadi adalah
flushing, nausea, nyeri kepala, drowsiness,diplopia, dan pandangan
kabur. Monitoring rutin refleks tendon dalam dan kadang pemeriksaan
konsentrasi magnesium serum dibutuhkan untuk menghindari toksisitas.
Berkurangnya refleks tendon dalam terjadi bila kadar magnesium serum
melebihi 12 mg/dL (10 mEq/L). Depresi pernapasan dapat terjadi bila
konsentrasi mencapai 14 - 18 mg/dL(12 - 14 mEq/L) dan henti jantung
terjadi bila kadarnya lebih dari 18mg/dL (15 mEq/L) (Ramsey, 2001).
Magnesium sulfat dapat mengakibatkan abnormalitas konduksi
jantung yang ringan, termasuk perpanjangan interval PR, peningkatan
waktu konduksi sinoatrial node, dan peningkatan periode refrakter
atrioventrikular node. Peningkatan serum magnesium maternal dapat
menyebabkan hipokalsemia dengan penurunan hingga 25%. Sebagai
akibat dari terganggunya homeostasis kalsium, bila berlangsung lama,
penggunaan magnesium ini berkaitan dengan tanda radiologis
osteoporosis. Sameshima et.al menunjukkan bahwa terapi tokolitik
dengan magnesium merupakan salah satu faktor risiko terbentuknya batu
saluran kemih selama kehamilan (Ramsey, 2001).
52
Magnesium sulfat juga memiliki efek hematologi, gastrointestinal, dan
neurologi. Penggunaannya dapat menghambat agregasi trombosit dan
meningkatkan waktu perdarahan akibat perannya dalam reaksi transfer
adenosine trifosfat dan sebagai antagonis kalsium. Wanita yang mendapat
terapi magnesium juga mengalami konstipasi dan Hill et al melaporkan
adanya kasus ileus paralitik yang berhubungan dengan penggunaan
magnesium sebagai tokolitik (Ramsey, 2001).
Efek yang tidak diinginkan pada neonatus meliputi letargi sementara
dan hipotoni. Selain itu terdapat efek samping yang masih harus diteliti
lebih lanjut namun pernah ditemukan pada bayi yang terpapar magnesium
sulfat, yaitu peningkatan kadar troponin jantung (Pryde, 2001).
Pada penelitian MagNET yang dilakukan di Chicago ditemukan bahwa
paparan magnesium sulfat berakibat pada peningkatan mortalitas bayi,
dimana 12.3% paparan magnesium sulfat berhubungan dengan kematian,
sedangkan 1.6% paparan terhadap saline berhubungan dengan kematian.
Namun setelah diselidiki lebih lanjut ternyata hal ini disebabkan oleh
pemberian dosis tinggi yaitu diatas 48 gram dan kadar magnesium
terionisasidi umbilikus diatas >0.70 mmol/L (Pryde, 2001).
Pemberian magnesium pada ibu berakibat pada peningkatan kadar
magnesium umbilikal bayi dengan kadar 70-100% dari kadar magnesium
maternal. Pemberian >72 jam berakibat hambatan ekskresi urin janin.
Hipermagnesia ini dapat mengakibatkan depresi susunan saraf pusat
neonatus, penurunan tonus otot dan drowsiness, namun pada penelitian
53
lain tidak didapatkan perbedaan signifikan skor Apgar pada bayi dengan
paparan magnesium sulfat maupun yang tidak terpapar (Pryde, 2001).
Walaupun demikian, sebuah hubungan antara paparan magnesium
sulfat antenatal dan penurunan risiko cerebral palsy pertama kali
diungkapkan melalui studi kasus kontrol pada bayi dengan berat lahir
rendah. Penurunan risiko cerebral palsy dan kecacatan sedang-berat
dapat berkurang hingga 30 dan 40 - 45% tanpa adanya peningkatan risiko
kematian bayi (Pryde, 2001).
Efek samping MgSO4 terutama berhubungan dengan tinginya kadar
magnesium meliputi hilangnya reflek patella, flushing, berkeringat,
hipotensi, depresi susunan saraf pusat, jantung bahkan depresi
nafas.Gejala klinis awal dilihat dari ada tidaknya reflek tendon
patella/biseps.
Berikut diuraikan toksisitas magnesium sulfat dilihat dari gejala
klinisnya (Anna, 2010)
1. Kadar normal pada kehamilan 1,5-2,5mEq/L
2. Kadar terapetik untuk mencegah kejang 4-7 mEq/L
3. Hilangnya reflek patella 8-10 mEq/L
4. Rasa hangat, flushing, somnolen dan pandangan kabur 10-12
mEq/L
5. Depresi pernafasan 12-14 mEq/L
6. Paralisis otot, kesulitan bernafas 15-17 mEq/L
54
7. Henti jantung 30-35 mEq/L (Bila ditemukan gejala klinis adanya
toksisitas, periksa kadar magnesium. Berikan kalsium glukonas
1 gram iv selama 3 menit. Oksigenasi bila terdapat gangguan
pernafasan ringan sampai sedang. Kalsium glukonas
sebaiknya diberikan secara perlahan untuk menghindari
hipotensi dan atau bradikardi.
8. Kalsium menghambat kompetitif MgSO4 pada ”neuromuscular
junction”. Pemberian kalsium hanya sementara sehingga untuk
depresi nafas berat diperlukan intubasi trakhea dan ventilasi
buatan, oleh karena itu diperlukan peralatan intubasi untuk
mengantisipasi toksisitas magnesium
g. Interaksi Obat
Penerimaan obat nefrotoksik, seperti amfoterisin B, cisplatin,
cyclosporine, gentamisin, meningkatkan kebutuhan magnesium. Loop dan
thiazide diuretik, penggunaan jangka panjang dapat mengurangi
kemampuan ginjal yang mengarah ke hypomagnesemia (membutuhkan
pemantauan kadar magnesium dalam darah). Diuretik hemat kalium,
penggunaan jangka panjang meningkatkan reabsorpsi tubular dari
magnesium di ginjal, yang dapat menyebabkan gipermagniemiya,
terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Garam kalsium untuk
/menetralkan efek magnesium sulfat, diberikan secara parenteral. Namun,
kalsium glukonat atau kalsium klorida digunakan untuk menghilangkan
efek racun di gipermagniemii. Sebuah pemberian bersamaan obat kalsium
55
dan magnesium oral dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi serum
kalsium atau magnesium pada pasien yang rentan, terutama pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. efek pada SSP bila diberikan secara parenteral
meningkat bila dikombinasikan dengan cara, Depresan SSP. Dilaporkan
pada pengembangan hypomagnesemia pada pasien, bersamaan
menerima glikosida digitalis, yang dapat menyebabkan keracunan digitalis
(kadar magnesium harus dipantau dalam serum). Dengan penggunaan
simultan dari obat oral dapat mengurangi penyerapan magnesium dan
darah konsentrasi glikosida digitalis (perlu untuk sangat hati-hati, terutama
dalam kasus-kasus, bila diterapkan sama garam kalsium; memungkinkan
terjadinya konduksi jantung dan blok jantung. Relaksan otot meningkatkan
blokade neuromuskular. Mengurangi asam etidronovoy penyerapan,
tetrasiklin (bentuk kompleks non-penyerap dengan tetrasiklin lisan).
Penggunaan alkohol yang berlebihan atau glukosa meningkat ekskresi
ginjal magnesium.
56
KERANGKA TEORI
- Usia Ibu - Berat Badan - Tingkat Pendidikan - Riwayat Abortus - Riwayat Persalinan
Prematur
ANCAMAN PARTUS PRETERM
Kontraksi Uterus MgSO4 4
Efektivitas
- Inflamasi - Prostaglandin - PGFα2
- Infeksi sistemik - Kehamilan ganda - Ketuban Pecah Dini - Polihidramnion
57
KERANGKA KONSEP
Keterangan :
Variabel Dependent/Terikat : Kontraksi Uterus
Variabel Independent/Bebas : MgSO4
Variabel tergantung : Efektifitas
Variabel perancu : Infeksi
MgSO4 Kontraksi Uterus
Efektifitas
Infeksi