drug eruption,

30
1 BAB I PENDAHULUAN Erupsi obat dapat timbul akibat pemakaian suatu obat tertentu, yakni obat yang diberikan oleh dokter dalam resep atau obat yang dijual bebas, termasuk jamu jamuan. Obat dalam hal ini ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis dan pengobatan. Pemberian obat secara topical juga dapat menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan oleh kulit. 1 Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga sering meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction) atau disingkat RSO. 1 Berdasarkan WHO yang dimaksud dengan Reaksi simpang obat (RSO) adalah setiap efek berbahaya dan tidak diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnostic ataua pengobatan. Reaksi simpang obat tipe A didasari mekanisme non-imunologis, dose related, umumnya berhubungan dengan efek farmakologik obat dan dapat terjadi pada setiap individu. Sebaliknya dengan RSO tipe B yang meliputi intoleransi, idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas (Gell dan Coombs tipe 1 4). 2 Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu macam obat daapat mengakibatkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam macam obat. Obat masuk dalam tubuh secara sistemik berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infuse. Juga sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. 1

Upload: olhan-cdr

Post on 03-Sep-2015

67 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

med

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Erupsi obat dapat timbul akibat pemakaian suatu obat tertentu, yakni obat

    yang diberikan oleh dokter dalam resep atau obat yang dijual bebas, termasuk

    jamu jamuan. Obat dalam hal ini ialah zat yang dipakai untuk menegakkan

    diagnosis, profilaksis dan pengobatan. Pemberian obat secara topical juga dapat

    menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan oleh kulit.1

    Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang

    mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh

    masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga sering meningkat yaitu reaksi

    simpang obat (adverse drug reaction) atau disingkat RSO.1 Berdasarkan WHO

    yang dimaksud dengan Reaksi simpang obat (RSO) adalah setiap efek berbahaya

    dan tidak diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan

    pada manusia untuk pencegahan, diagnostic ataua pengobatan. Reaksi simpang

    obat tipe A didasari mekanisme non-imunologis, dose related, umumnya

    berhubungan dengan efek farmakologik obat dan dapat terjadi pada setiap

    individu. Sebaliknya dengan RSO tipe B yang meliputi intoleransi, idiosinkrasi

    dan reaksi hipersensitivitas (Gell dan Coombs tipe 1 4).2

    Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu

    macam obat daapat mengakibatkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu

    jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam macam obat. Obat masuk dalam

    tubuh secara sistemik berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau

    infuse. Juga sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical.1

  • 2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi

    Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada

    kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang

    biasanya sistemik. Obat dalam hal ini adalah zat yang dipakai untuk menegakkan

    diagnosis, profilaksis dan pengobatan. 1,3

    2.2 Epidemiologi

    Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi

    obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji

    klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat

    adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan

    efek samping pemakaian obat-obatan.4,5,6

    Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative

    Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul

    terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat

    pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh

    pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah

    mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan

    lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang

    serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah: 4,5

    eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,

    urtikaria sebanyak 5,9%, dan

    vaskulitis sebanyak 1,4%

    Faktor-faktor yang memperbesar resiko timbulnya erupsi obat adalah:

    1. Jenis kelamin4

    Wanita mempunyai resiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi

    jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun

    ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.

  • 3

    2. Sistem imunitas4,5

    Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami

    penurunan sistem imun. Pada pasien AIDS misalnya, penggunaan obat

    sulfametoksazol justru meningkatkan resiko timbulnya erupsi

    eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.

    3. Usia4,5,6

    Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-

    anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena

    perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya,

    pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa

    berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan

    memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan

    mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.

    4. Dosis5,6

    Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan

    timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang

    sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin

    sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi

    alergi pada pasien yang peka.

    5. Infeksi dan keganasan1

    Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada pasien erupsi obat berat

    yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan

    human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang

    mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

    6. Atopik4

    Faktor resiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.

    Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang

    dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini

    ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan

    dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah

    saat menyelesaikan perawatannya.6,7

  • 4

    2.3 Pathogenesis

    Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

    mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya

    erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

    imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi

    antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non

    imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat

    dan perubahan dalam metabolisme.

    Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis4

  • 5

    A. Mekanisme Imunologis

    Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh

    Coomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4

    jalur ini.

    1. Tipe I (reaksi cepat)

    Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap

    obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan

    selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah

    antibody IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan

    basofil.

    Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan peerubahan

    berupa degranulasi sel mast dan basofil dengan dilepaskannya bermacam

    macam mediator, antara lain histamine, serotonin, bradikinin, heparin

    dan SRSA.

    Mediator mediator ini mengakibatkan bermacam macam efek antara

    lain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema. Yang paling

    berbahaya ialah terjadi syok anafilaktik. Penisilin merupakan penyebab

    utama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependant.

    Gambar 1. Reaksi hipersentivitas tipe 1

  • 6

    2. Tipe II (reaksi sitostatik)

    Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan

    penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini akan

    menyebabkan efek sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen.

    Gabungan obat antibody komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai

    sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit

    yang mengakibatkan lisis sel, sehingga tipe II tersebut disebut sebagai

    reaksi sitotoksik atau sitolisis. Contohnya penisilin, streptomysin,

    sulfonamide, dan isoniazid.

    EOA yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya

    trombosit. Obat lain menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,

    sefalosporin, klorpromazine, sulfonamide, analgesic dan antipiretik.

    Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe 2

    3. Tipe III (reaksi kompleks imun)

    Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody (IgG

    dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan

    komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai

  • 7

    mediator diantaranya enzim enzim yang dapat merusak jaringan.

    Kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit

    pada sel sasaran. Contohnya adalah penisilin, eritromysin, sulfonamide,

    salisilat dan isoniazid.

    Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III

    4. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)

    Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel

    Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T

    yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut

    reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen

    menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini

    adalah dermatitis kontak alergi.

  • 8

    Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

    B. Mekanisme non-imunologis

    Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-

    dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan

    kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme

    yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi

    langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme

    enzim asam arachidonat sel.7

    Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat

    menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan

    kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif

    ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan

    gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.7

    2.4 Gambaran Klinis

    A. Morfologi dan Distribusi

    Beberapa gambaran karakteristik kearah dugaan adannya erupsi obat

    alergik adalah:

    - Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan

    obat pertama kali, waktu reaksi sekitar 8-9 hari.

  • 9

    - Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan

    kimiawi obat tersebut.

    - Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yag berat meskipun

    obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.

    - Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang

    sama pada waktu yang berlainan; sebaliknya berbagai obat dapat

    menyebabkan reaksi atau manifestasi klinis yang sama.

    Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai

    kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan

    diantaranya :

    a. Urtikaria

    Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat

    tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan

    jaringan subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut

    angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat

    hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama

    dua sampai lima hari. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi

    yang bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria.

    Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu

    respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain

    misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka

    waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. 1,3

    Gambar 5. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin

  • 10

    b. Eritema

    Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah

    akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam.

    Jika besarnya lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila

    besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis. 1

    c. Dermatitis medikamentosa

    Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu

    efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit

    menyeluruh dan simetris. 1

    d. Purpura

    Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang

    tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan

    eritem dan biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang

    meningkat.. 1

    e. Erupsi eksemantosa

    Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi

    eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau

    makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat

    eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi

    bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara

    simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar

    satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam

    jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan

    warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai

    dengan adanya deskuamasi kulit. 1,3

    Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk

    penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data

    laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini

    karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein

    dari hapten.3

    Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama

    maka disebut eksantema fikstum. 1

  • 11

    Table 2. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksemantosa5

    Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah

    penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila

    adanya residif di tempat yang sama maka disebut dengan eksantema

    fikstum.1

    Gambar 6. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan

    oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.

    f. Eritema nodosum

    Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala

    umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio

    ekstensor tungkai bawah. 1

    g. Eritroderma

    Eritroderma pada pasien alergi obat berbeda dengan eritroderma pada

    umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada pasien alergi

    obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul

    pada stadium penyembuhan.2

  • 12

    h. Erupsi pustule

    Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis

    Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).

    1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti

    iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium

    dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal

    seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa

    disertai komedo.3

    2. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)

    memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa

    disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul

    bila seseorang mengalami demam tinggi (>380

    C). Pustul tersebut cepat

    menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti

    oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul

    intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis,

    vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil

    atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit

    ini sangat jarang terjadi.2

    i. Erupsi bulosa

    Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug

    eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN

    1. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan

    penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat

    terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga

    terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut,

    dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa

    plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat

    muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus

    foliaceus.3,5

    2. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu

    sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti

  • 13

    timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan

    terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah

    terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi

    biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan

    genitalia. Apabila pasien memakan obat yang sama, maka FDE akan

    muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa

    dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di

    dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang

    disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,

    hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan

    neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor

    pada tempat lesi. 1,3

    Gambar 7. Macula eritematosa yang berbatas tegas di daerah lengan

    pada pasien FDE

    3. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada

    kulit dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target

    lesion).

    Gambar 8. Eritema multiformis

  • 14

    4. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis,

    sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema

    multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan

    kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang

    mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan

    umum bervariasi dari baik sampai buruk.3

    5. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan

    berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh,

    disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan

    mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata

    kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,

    ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan

    pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi

    kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil

    (morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas

    dan bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis,

    yaitu epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya

    menyerupai luka bakar.8

    Adanya epidermolisis menyebabkan tanda

    Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan

    dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat

    pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan

    bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa

  • 15

    epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada

    NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia.

    Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal.

    Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit

    berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan

    keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis. 8

    B. Perjalanan Penyakit

    Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya

    gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:

    Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan

    ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa

    maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1

    sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai

    urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi

    yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan

    lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan

    exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.3,5

    2.5 Diagnosis

    Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah : 1

    A. Anamnesis yang teliti mengenai :

    Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat

    o Obat obatan yang dipakai

    o Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa

    hari sesudah masuknya obat

  • 16

    o Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya

    subfebris

    B. Pemeriksaan Klinis:

    Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing-masing reaksi.

    Penghentian obat yang diikuti dengan penurunan gejala klinis merupakan

    petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

    Kelainan kulit yang ditemukan :

    Distribusi : menyeluruh dan simetris

    Bentuk kelainan yang timbul

    C. Pemeriksaan Khusus:

    Saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitive dan dapat dipercaya

    untuk mendeteksi erupsi obat alergik

    Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

    jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

    Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya,

    data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara

    pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi

    ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada pasien yang

    mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami

    erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.4

  • 17

    2.6 Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan

    penyebab erupsi obat alergi adalah :

    1. Pemeriksaan in vivo

    Uji tempel (patch test)

    Uji tusuk (prick/scratch test)

    Uji provokasi (exposure test)

    2. Pemeriksaan in vitro

    b. Yang diperantarai antibody

    Hemaglutinasi pasif

    Radioimmunoassay

    Degranulasi basofil

    Tes fiksasi komplemen

    c. Yang diperantarai sel

    Tes transformasi limfosit

    Leucocyte migration inhibition test

    Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang

    mendasari erupsi obat.

    Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya.

    Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang

    dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, resiko dari

    timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara

    hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. 4,7

    Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk

    membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut

    disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun

    laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat

    sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh

    sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan

    diagnosis klinis. 4,7

  • 18

    Biopsi kulit boleh dilakukan pada pasien yang ditakutkan dapat mengalami

    reaksi obat yang serius seperti pada pasien yang memiliki gejala awal seperti

    eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul

    beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50%

    kasus SSJ dan hampir 90% pasien TEN terkait dengan penggunaan obat.6

    2.7 Penatalaksaan

    Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah

    dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.,

    epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis

    lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan

    kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus

    dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa

    dihadapkan dua pilihan antara resiko erupsi obat dengan manfaat dari obat

    tersebut. 3,6

    A. Penatalaksanaan Umum

    Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi

    kulit harus dihentikan segera.4,5

    Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk

    mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps

    setelah berada pada fase pemulihan. 4,5

    Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan

    tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan

    cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat

    menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat

    menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%

    dan larutan Darrow.5

    Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;

    khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus

    dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau

    1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 9

  • 19

    B. Penatalaksanaan Khusus

    Sistemik

    1. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi

    obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah

    prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis

    medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan

    PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa

    adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema

    multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan

    obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat

    suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi pasien.

    Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih

    kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous

    immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas

    penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG

    diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 1,3

    2. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan,

    jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika

    dibandingkan dengan kortikosteroid. 1

    Topikal

    1. Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering

    atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

    ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi

    rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya

    larutan asam salisilat 1%.1,8

    2. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan

    topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan

    krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %.1,8

    3. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan

    mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan

    sebagian-sebagian. 1

  • 20

    4. erapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk

    lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin

    perak. 8

    2.8 Prognosis

    Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

    penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

    bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom

    Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

    Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 1,3,8

  • 21

  • 22

    BAB III

    LAPORAN KASUS

    3.1 Identitas

    Nama : KA

    Umur : 28 tahun

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Alamat : DesaTejakula

    Pekerjaan : Swasta

    Suku : Bali

    Bangsa : Indonesia

    Agama : Hindu

    Pendidikan : SMA

    Status perkawinan : Menikah

    Tanggalpemeriksaan : 16 April 2012

    3.2 Anamnesis

    Keluhanutama :

    Kulit tangan, kaki dan badan terkelupas

    Perjalananpenyakit :

    Pasiendatangke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Buleleng (16 April

    2012) dengan keluhan kulit tangan, kaki dan badan terkelupas sejak 3 minggu

    yang lalu. Keluhan ini diawali dengan munculnya ruam kulit disertai rasa

    panas seperti terbakardan gatal-gatal di kedua telapak tangannya dan menjalar

    ke lengannya pada tangga 27 Maret 2012. Kemudian keesokan harinya (28

    Maret 2012), gejala yang sama juga terjadi pada kedua kakinya dan seluruh

    badannya. Sebelum muncul keluhan ruam kulit disertai panas dangatal,

    awalnya pasien sempat mengkonsumsi obat-obatan ARV dan Kotrimoksazol

    pada tanggal 16 Maret 2012 karena pasien positif terinfeksi HIV. Kemudian

    pada tanggal 31 Maret 2012, pasien datang lagi ke RSUD Buleleng untuk

    kontrol obat karena sudah habis dan untuk memeriksakan dirinya karena

  • 23

    pasien merasa kondisinya tidak baik. Akhirnya, pasien disarankan untuk

    opname di Jempiring RSUD Buleleng selama 2 minggu. Dari tanggal 31

    Maret 2012, pemberian obat kotrimoksazol yang dicurigai sebagai penyebab

    timbulnya ruam kulit tersebut dihentikan sedangkan obat ARV tetap

    dilanjutkan. Sejak saat itu, pasien tidak lagi merasakan rasa panas dan gatal-

    gatal. Namun kulitnya mulai terkelupas. Saat pasien diopname, pasien

    diberikan obat untuk keluhan kulitnya dan disarankan untuk kontrol 1 minggu

    lagi ke poli Kulit dan Kelamin.

    Riwayatpengobatan :

    Pasien pertama kali diberikan obat ARV dan kotrimoksazol pada

    tanggal 16 Maret 2012. Namun tanggal 31 Maret 2012, obat kotrimoksazol

    yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya merah-merah, gatal dan rasa

    panas seluruh tubuh telah dihentikan pemberiannya. Namun setelah itu kulit

    pasien mulai terkelupas. Untuk jenis obat kulit yang diberikan saat opname

    tanggal 31 Maret 2012, pasien tidak mengetahuinya nama obatnya.

    Riwayatpenyakitterdahulu :

    Pasien memiliki riwayat alergi obat namun tidak mengetahui jenis

    obat yang menyebabkan alergi. Satu tahun yang lalu, pasien mengaku sempat

    diberi antibiotik saat batuk, kemudian kelopak mata pasien langsung bengkak

    dan gatal-gatal. Pasien juga mengaku memiliki riwayatalergi makanan telur

    dan ayam. Ketika memakan makanan tersebut, mulai terasa gatal-gatal di

    seluruh tubuh. Riwayatpenyakit sistemik seperti penyakit jantung, tekanan

    darah tinggi, kencing manis dan asma disangkal oleh pasien.

    Riwayatpenyakitdalamkeluarga :

    Ibu pasien dikatakan memiliki riwayat alergi dan tekanan darah tinggi.

    Riwayatsosial :

    Pasien merupakan anak keempat dalam keluarganya. Pasien sudah

    menikah namun telah bercerai 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki 1 anak laki-

  • 24

    laki yang kini tinggal bersama pasien. Pasien bekerja di Kuta di bagian spa.

    Pasien mengaku mengidap HIV/AIDS yang ditularkan oleh mantan suaminya.

    Pasien baru mengetahui hal ini sekitar 6 bulan yang lalu.

    3.3 Pemeriksaan Fisik

    Status Present :

    Keadaan Umum : Baik

    Kesadaran : Compos Mentis

    Tekanan Darah : 110/80 mmHg

    Nadi : 84 x/menit reguler

    Respirasi : 22 x/menit

    Temperatur : 36,8 o C

    Status General :

    Kepala : Normocephali

    Mata : Anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor

    THT : Dalam batas normal

    Thoraks : Cor : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

    Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

    Abdoment : dalam batas normal, hepar dan lien tidak teraba

    Ektremitas : dalam batas normal

    Status Dermatologi :

    Lokasi : tangan, kaki, badan

    Effloresensi : makula hiperpigmentasi, mutipel, bentuk geografika, batas

    tidak tegas, ukuran 0,1x0,2 cm 0,5x 1 cm, ditutupi dengan

    skuama putih tipis di atasnya.

  • 25

    3.4 Diagnosis Banding

    - Eritroderma

    3.5 Resume

    Perempuan, 28 tahun, dikeluhkan kulit tangan, kaki dan badan yang

    terkelupas sejak 3 minggu yang lalu diawali dengan munculnya ruam kulit

    disertai rasa panas seperti terbakar dan gatal-gatal sejak meminum obat

    kotrimoksazol dan ARV yang diberikan 4 minggu lalu. Kemudian, 3 minggu

    lalu, pemberian obat kotrimoksazol dihentikan dan dikatakan tidak terasa lagi

    rasa panas, gatal dan merah-merah. Namun kulitnya mulai terkelupas.Riwayat

    alergiobat dan makanan diakui oleh pasien. Terdapat pula riwayat alergi dalam

    keluarga pasien yaitu ibu pasien.

  • 26

    Pemeriksaan fisik :

    Status present : dalam batas normal

    Status general : dalam batas normal

    Status Dermatologi :

    -Lokasi :tangan, kaki dan badan

    -Effloresensi : makulahiperpigmentasi, mutipel, bentuk

    geografika, batas tidak tegas, ukuran 0,1x0,2 cm

    0,5x 1 cm, ditutupi dengan skuama putih tipis di

    atasnya.

    3.6 Diagnosis Kerja

    Erupsi Obat tipe Erupsi Eksematosa ec kotrimoksazol + HIV/AIDS

    3.7 Penatalaksanaan

    Antihistamin 3x1

    Sohobion 2x1

    Topikal :

    o Salep campuran desoximethason 30 gr dan asam fusidik 10 gr

    dioleskan 2x1 di tempat lesi

    KIE :

    3.8 Prognosis

    Baik

  • 27

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan teori, erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau

    daerah mukokutan yang terjadi sebagai pemberian obat yang biasanya sistemik.

    Berdasarkan anamnesis dari kasus didapatkan pasien wanita, 28 tahun dengan

    keluhan kulit tangan, kaki dan badannya terkelupas sejak 3 minggu yang lalu.

    Diawali dengan timbulnya ruam kulit disertai rasa panas dan gatal-gatal 5 hari

    sebelum keluhan kulit terkelupas. Hal ini terjadi setelah 1 minggu pasien

    mengkonsumsi obat ARV+kotrimoksazol. Kotrimoksazol diduga sebagai

    penyebab timbulnya reaksi alergi dimana setelah pemakaian obat ini dihentikan

    pada tanggal 31 Maret 2012, pasien tidak lagi merasakan gatal dan panas, hanya

    kulitnya saja yang terkelupas. Dilihat dari segi definisi, hal tersebut di atas

    mendukung bahwa peristiwa yang terjadi pada pasien ini merupakan suatu bentuk

    erupsi obat. Alasannya adalah reaksi alergi yang timbul pada pasien terjadi setelah

    pasien mengkonsumsi suatu jenis obat tertentu dimana dengan penghentian

    pemakaian obat tersebut terjadi pengurangan gejala alergi.

    Faktor-faktor yang memperbesar resiko timbulnya erupsi obat antara lain

    jenis kelamin dimana wanita memiliki resiko yang lebih tinggi dari pria walaupun

    belum ada yang dapat menjelaskan mekanisme ini. Selain itu, sistem imunitasjuga

    berpengaruh dimana erupsi obat alergi lebih mudah terjadi pada seseorang dengan

    penurunan sistem imun. Penggunaan obat sulfametoksazol pada pasien dengan

    penurunan sistem imun justru meningkatkan resiko timbulnya erupsi

    eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal. Pada

    kasus, yang mengalami erupsi obat alergi adalah seorang wanita dengan positif

    terinfeksi HIV dan mengkonsumsi obat kotrimoksazol yang merupakan gabungan

    sulfametoksazol dan trimethoprim.

    Bila dilihat dari patogenesisnya berdasarkan teori, terdapat 2 macam

    mekanisme dalam erupsi obat alergik yaitu mekanisme imunologi dan non

    imunologi dimana umumnya lebih sering timbul karena reaksi hipersensitivitas

    berdasarkan reaksi imunologi. Dilihat dari rentang waktu munculnya gejala dari

    awal pemakaian obat pada kasus, reaksi alergi yang terjadi pada pasien adalah

  • 28

    reaksi alerti tipe IV (reaksi alergi selular tipe lambat) dimana reaksi ini melibatkan

    limfosit, APC dan sel Langerhans yang terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap

    antigen.

    Dari gambaran klinisnya, pada kasus didapatkan effloresensi

    berupamakulahiperpigmentasi, mutipel, bentuk geografika, batas tidak tegas,

    ukuran 0,1x0,2 cm 0,5x 1 cm, ditutupi dengan skuama putih tipis di atasnya,

    tersebar merata di tangan, kaki dan badan. Dari gambaran klinis, erupsi yang

    terjadi lebih mengarah pada erupsi eksematosa. Erupsi eksematosa ini terjadi lebih

    dari 90% erupsi obat yang dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler.

    Pada kasus, erupsi eksematosa yang terjadi adalah bentuk makulopapuler. Gejala

    pada erupsi eksematosa ini sendiri dimana pada mulanya akan terjadi perubahan

    yang bersifat eksematosa pada kulit tanpa didahului blister atau pustulasi, bermula

    pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan

    hampir selalu disertai pruritus. Erupsi muncul sekitar 1 minggu setelah pemakaian

    obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7-14 hari. Pada kasus, keluhan

    yang dirasakan adalah munculnya ruam kulit disertai rasa panas dan gatal-gatal

    yang terjadi sekitar 1 minggu setelah mengkonsumsi kotrimoksazol. Pemulihan

    ditandai dengan perubahan warna kulit dari merah terang menjadi coklat

    kemerahan disertai deskuamasi kulit. Salah satu obat yang dapat menyebabkan

    erupsi eksematosa adalah penggunaan obat sulfonamid. Hal tersebut menguatkan

    bahwa telah terjadi erupsi obat berupa erupsi eksematosa bentuk makulopapular

    pada pasien yang disebabkan oleh obat sulfonamid yaitu kotrimoksazol.

  • 29

    BAB V

    PENUTUP

    5.1 Simpulan

    Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan:

    Erupsi obat alergik adalah reaksi alergik pada kulit atau mukokutan yang

    terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.

    Terdapat beberapa faktor memperbesar resiko timbulnya erupsi obatantara lain

    jenis kelamin, sistem imunitas,usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik.

    Pada erupsi obat alergi terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme imunologis

    san non imunologis.

    Gambaran klinis pada erupsi obat alergi dapat memiliki kemiripan dengan

    gangguan kulit lain pada umumnya antara lain: urtikaria, eritema, dermatitis

    medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eritroderma, erupsi pustule, dan

    erupsi bulosa.

    Lebih dari 90% erupsi obat yang muncul adalah erupsi eksematem

    makulopapuler.

    Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

    Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk memastikan penyebabb erupsi obat

    alergi.

    Penatalaksaan pada erupsi obat alergi yang utama adalah penghentian obat-

    obatan yang dicurigai sebagai penyebabnya. Setelah itu dapat dilakukan

    penatalaksanaan umum maupun khusus.

    5.2 Saran-Saran

  • 30

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hamzah, M. Erupsi Obat Alergik;In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

    Edisi keempat. Hal.154-161 (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

    Jakarta 2006)

    2. Daili ESS, Menaldi SL dan Wisnu IM. 2005. Penyakit Kulit yang Umum

    di Indonesia. Jakarta. Medical Multimedia Indonesia. Hal.79-83

    3. Shear NH, Knowles SR and Shapiro H. Cutaneus Reaction to Drugs; In

    Fitzpatrrick Dermatology in General Medicine. 7th

    ed. Page 355-262 (Mc

    Graw Hill, New York 2008)

    4. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.

    Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of

    America. 2003. p: 333-352

    5. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd

    ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: April16, 2012. Available at:

    http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf

    6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6.

    1976. Accessed on: April 16, 2012. Available from: www-portalkalbe-

    files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht

    7. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner.

    Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of

    Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: April 16, 2012.

    Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf

    8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi

    Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002.

    p:133-139

    9. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment

    Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003.

    Access on: April 16, 2012. Available at: www.aafp.org/afp