draft

221
DRAFT PROGRAM KETAHANAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN I. PENDAHULUAN 1. Kebutuhan Pangan 2. Ketahanan Pangan 3.Masalah-masalah Ketahanan Pangan II. PRODUKSI PANAN 1.P!"#u$s% Pangan Dun%a 2.P!"#u$s% Pangan Nas%"nal 3.P!"#u$s% Pangan #an Kese&ahte!aan Mas'a!a$at (.Masalah-masalah P!"#u$s% Pangan III.DIS)RI*USI PANAN 1.P"la D%st!%bus% Pangan 2.D%st!%bus% Pangan #an Kese&ahte!aan Mas'a!a$at 3.Masalah-masalah D%st!%bus% I+. DI+ERSI,IKASI PANAN +. AKSESI*ILI)AS PANAN 1.,a$t"!- a$t"! 'ang Mem enga!u!% A$ses%b%l%tas Pangan 2.A$ses%b%l%tas Pangan #an Kese&ahte!aan Mas'a!a$at 3.Masalah-masalah A$ses%b%l%tas Pangan +I. PEN/ELESAIAN MASALAH KE)AHANAN PANAN 1. +II. KE*I0AKAN KE)AHANAN PANAN NASIONAL 1.

Upload: aiyu-kyuwook-magnae

Post on 02-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

menjelaskan tentang draf

TRANSCRIPT

DRAFT

DRAFTPROGRAM KETAHANAN PANGAN DALAM PERSPEKTIF KEKESRAAN

I. PENDAHULUAN

1. Kebutuhan Pangan

2. Ketahanan Pangan

3. Masalah-masalah Ketahanan Pangan

II. PRODUKSI PANGAN

1. Produksi Pangan Dunia

2. Produksi Pangan Nasional

3. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat

4. Masalah-masalah Produksi Pangan

III. DISTRIBUSI PANGAN

1. Pola Distribusi Pangan

2. Distribusi Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat

3. Masalah-masalah Distribusi

IV. DIVERSIFIKASI PANGAN

V. AKSESIBILITAS PANGAN

1. Faktor-faktor yang Mempengaruri Aksesibilitas Pangan

2. Aksesibilitas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat

3. Masalah-masalah Aksesibilitas Pangan

VI. PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN

VII. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

1.

Bab 1PENDAHULUAN1. KEBUTUHAN PANGAN DAN GIZI

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan. Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia berubah cenderung lebih banyak mengkonsumsi beras dan terigu. Menurut data susenas telah terjadi peningkatan konsumsi terigu sebesar 3 kg/kap/thn dalam kurun waktu satu tahun (20062007). Terjadi perubahan pola konsumsi ke arah beras dan terigu. Sementara cara pandang masyarakat terhadap sumber pangan pokok dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang seolah-olah digiring kedalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok masyarakat hanya beras. Buktinya seluruh pegawai pemerintah memperoleh pembagian beras sebagai sumber bahan pangan pokoknya, tanpa memandang asal daerah. Walaupu daerah tersebut memiliki bahan pangan pokok lokal selain beras (Histifarina, 2008).

Data lain menujukkan bahwa sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi kalori dan protein bangsa Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian, sedangkan kelompok umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori, 1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%. Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padi-padian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10% (Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun) (Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.

Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun)

WilayahGandumBerasJagungSorgumMillet

Amerika Tengah dan Utara70,9010,8040,101,200,00

Amerika Serikat86,808,6013,801,100,00

Amerika Tengah37,109,40112,101,800,00

Amerika Selatan55,5031,8021,800,000,00

Brazil47,4039,5018,000,000,00

Eropa Barat97,604,805,800,000,00

Rusia131,704,900,300,002,90

Afrika46,3017,8041,4019,5012,90

Sekitar sahara15,9017,5038,9024,9016,90

Asia69,9086,4013,902,803,00

Cina82,6091,6019,701,100,80

India57,3075,808,808,009,10

Indonesia16,30151,0034,400,000,00

Bangladesh19,00161,000,300,000,40

Pasifik66,9015,203,400,600,00

Rata-rata Dunia70,8057,8019,004,303,50

Sumber: Champagne (2003)

Bila dilihat dari komposisi gizi, umbi-umbian terutama ubi jalar diketahui memiliki nilai kalori dan protein yang setara dengan beras (Tabel 2). Bertolak pada angka kecukupan gizi (AKG), maka sesungguhnya ubi jalar tersebut dapat digunakan sebagai suplemen beras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan kalori.

Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam tepung (dalam 100 g)

No.Jenis TepungEnergi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)

1.Beras3647,00,580,0

2.Singkong3592,90,784,9

3.Ubijalar putih3555,22,080,6

4.Ubijalar merah3635,32,183,3

5.Ubijalar ungu3374,91,976,4

6.Tales1863,60,445,0

7.Kacang hijau38923,71,345,0

8.Kacang tunggak41027,51,373,9

9.Kedelai40,020,035,0

Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)

Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat menyebabkan negara kita masuk kedalam perangkap pangan atau food trap negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara komersial di Indonesia.

Negara Indonesia dengan wilayah yang sangat luas diketahui memiliki ketersediaan bahan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral. Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lain-lain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan, terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki anekaragam kebudayaan dan potensi sumber pangan spesifik, strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya pangan wilayah.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu jalan keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003), melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional.

Menurut Kasno, Saleh, dan Ginting (2006) salah satu indikator tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang lazim disajikan dalam kalori dan protein. Berdasarkan Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke IV (tahun 1998) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein/kapita/hari masing-masing adalah 2050 kalori dan 44 g protein (BPS 1999). Pada tahun 2004, rata-rata nasional konsumsi kalori dan protein per kapita per hari adalah 1.986 kalori dan 54,65 g protein (BPS 2004). Hal tersebut berarti bahwa kebutuhan kalori masih berada di bawah batas kecukupan, sedangkan proteinnya sudah di atas standar. Apabila kecukupan gizi tahun 2004 tersebut dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi), maka terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalori tahun 2004 masih di bawah tahun 1996. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi kalori dan protein, hingga tahun 2004 krisis tersebut belum pulih sepenuhnya.Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar.

Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan penggalian peran bahan. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 151,0 kg merupakan tantangan yang tidak ringan. Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai masalah lain (Budianto 2000).

Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/ diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Umbi-umbian merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal masyarakat sejak lama sebagai sumber pangan (karbohidrat) yang dapat diandalkan sebagai komplemen dan suplemen kebutuhan akan beras. Akibat krisis ekonomi sejak 1997 telah mengubah pola makan penduduk yang diindikasikan dengan meningkatnya konsumsi ubi kayu dari 28,16 kalori/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 34,96 kalori/kapita/hari pada tahun 1999 (BPS 1999).

2. KETAHANAN PANGAN Pentingnya penciptaan ketahanan pangan sebagai wahana penguatan stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi. Pemenuhan pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan ekonomi. Permintaan pangan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, mendorong percepatan produksi pangan dalam rangka terwujudnya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, sehingga ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilisasi penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian.

Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal tanam, khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan untuk kepentingan sektor non-pertanian, serta kecilnya margin usaha tani yang berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi, serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya (rigid) pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian kemandirian/ketahanan pangan. Kondisi yang demikian tersebut makin memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang dihadapi.

Berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan pangan atau miskin. Sementara itu, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah tangga, karena asumsi bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat terkecil di Indonesia. Bandingkan definisi ini dengan pengertian food security (ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, yaitu: food security exists when all people, at all times, have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life.

Dengan demikian, ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem ketahanan pangan yang terdiri tiga subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh masyarakat, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (3) keterjangkauan pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Permasalahan dalam mencapai ketahanan pangan adalah ketidakseimbangan antara ketersediaan dengan keterjangkauan.Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.

Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

Ditinjau dari ketersediaan dan keterjangkauan secara agregat penduduk Indonesia tampak tergolong tahan pangan, namun masih ditemukan rumah tangga rawan pangan di semua propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga rawan pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi energi (ekivalen orang dewasa) 80% dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pengeluaran pangan > 60% dari total pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS yang tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia tahun 2006, jumlah penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di DIY yaitu mencapai 20,0 persen (Tabel 5). Proporsi penduduk rawan pangan di semua provinsi masih di atas 10 persen, kecuali di provinsi Sumbar, Bali dan NTB. Bahkan di semua propinsi yang merupakan sentra produksi pangan seperti propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan proporsi penduduk rawan pangannya cukup tinggi. Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu, dan antar daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan stok akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar, namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia.Dalam rangka melihat kemandirian pangan di Jawa Timur, maka dilakukan peramalan sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan disajikan dalam Tabel sebagai berikut:

Tabel 7

Asumsi Dalam Peramalan Neraca Pangan Jawa Timur

KomoditiProduksiKonsumsi

Padi Luas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun akibat adanya konversi lahan ke non pertanian. Produktifitas padi 5,34 ton/ha, konservasi padi ke beras 0,62418Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi beras 109,22 kg/kapita/tahun

JagungLuas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun. Produktifitas 3,645 ton/haJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 6.44 kg/kapita/tahun

KedeleLuas panen menurun setiap tahun 0.237 %/tahun. Produktifitas 1,3 ton/haJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 10,93 kg/kapita/tahun

UbikayuLuas panen menurun setiap tahun 0.2 %/tahun. Produktifitas 15,9 ton/haJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 19,52 kg/kapita/tahun

DagingProduksi daging total naik dengan laju 5,296 %/tahunJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 2,4 kg/kapita/tahun

TelurProduksi telur naik dengan laju 5,296 %/tahunJumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 5,42 kg/kapita/tahun

SusuProduksi susu naik dengan laju 5, 748 %Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 1,52 kg/kapita/tahun

Ikan Produksi ikan naik dengan laju 2, 589 %Jumlah penduduk meningkat dengan laju 0,83367 % pertahun

Konsumsi 12,24 kg/kapita/tahun

Berdasarkan kondisi di atas beberapa skenario ke depan dilakukan dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan Jawa Timur. Secara rinci tingkat kemandirian pangan Jawa Timur diuraikan sebagai berikut:

1. Beras

Jawa Timur merupakan propinsi penyangga beras nasional. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan konsumsi beras, di sisi lain akan terjadi konversi lahan sehingga menyebabkan ketersediaan beras akan semakin berkurang. Hasil peramalan di Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut.

Gambar 4

Ramalan Kemandirian Beras di Jawa Timur

Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi beras Jawa Timur terus menurun sejalan dengan penurunan luas tanam, sementara konsumsi beras terus meningkat. Jawa Timur diramalkan akan mengalami devisit beras pada tahun 2028 jika tidak ada intervensi pemerintah. Usaha- usaha yang dapat ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: 1) Menekan laju konversi lahan khususnya untuk areal pertanam,an padi; 2) Meningkatkan produktifitas padi; 3)Melakukan diversifikasi pangan untuk menekan konsumsi beras yang saat ini relatif cukup tinggi2. Jagung

Jawa Timur termasuk pemasuk jagung pada daerah lain cukup besar. Estimasi neraca pangan jagung di masa datang sebagaimana disajikan dalam gambar berikut.

Gambar 5

Ramalan Kemandirian Jagung di Jawa Timur

Ramalan kemandirian Jagung di Jawa Timur relatif cukup mantap. gambar di atas menunjukkan bahwa produksi jagung Jawa Timur relatif stabil, begitu juga dengan konsumsinya. Produksi jagung jauh lebih besar dari konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus jagung. Oleh karena itu usaha-usaha pengendalian harga serta usaha mencari pasar baru patut dilakukan agar petani jagung dapat memanfaatkan dari hasil surplus jagung yang terjadi.

3. Kedelai

Berbeda dengan jagung, ramalan kemandirian tentang kedele di Jawa Timur justru akan terjadi defisit yang semakin meningkat. Gambar di bawah menunjukkan bahwa produksi kedele Jawa Timur relatif terjadi penurunan, sebaliknya konsumsinya terus mangalami peningkatan. Usaha-usaha yang dapat ditempuh untuk mengatasi keadaan demikian adalah: (a) meningkatkan luas areal tanam dan (b) meningkatkan produktifitas.

Gambar 6

Ramalan Kemandirian Kedele di Jawa Timur

4. Daging

Ramalan tentang neraca pangan untuk mengukur kemandirian daging di Jawa Timur disajikan dalam gambar berikut. Jawa Timur tampaknya di masa datang akan surplus daging. Hal ini terjadi karena konsumsi daging per kapita di Jawa Timur sangat rendah. Yakni sebesar 2.4 kg/kapita/tahun. Gambar 7

Ramalan Kemandirian Daging di Jawa Timur

Sebagai gambaran pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (International Poultry, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100 gram/kapita/hari. Oleh karena itu usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi daging harus dilakukan.5. Telur

Ramalan yang ada ini pada kondisi normal, dimana tidak terjadi permasalahan yang berkaitan dengan adanya kasus flu burung ataupun kasus lain yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi. Kemandirian telur di Jawa Timur dapat ditunjukkan bahwa produksi telur jauh lebih besar dari konsumsinya sehingga Jawa Timur terus akan terjadi surplus telur.

Gambar 8

Ramalan Kemandirian Telur di Jawa Timur

Konsumsi telur per kapita di Jawa Timur sangat rendah yakni hanya sebesar 5, 42 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Filipina 6,2 kg. Mengingat telur merupakan salah satu sumber protein dan lemah yang cukup tinggi, maka usaha-usaha meningkatkan konsumsi telur patut dilakukan.

Bab 2PRODUKSI PANGAN

1. PRODUKSI PANGAN DUNIATerdapat 3 (tiga) hal yang menjadi sebab mengapa masalah ketahanan pangan perlu diperbincangkan. Pertama, bahwa pangan adalah hak azasi manusia yang didasarkan atas 4 (empat) hal berikut:

1. Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition. 2. Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan.3. Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara teramsuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya. 4. Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas Pangan. Kedua, kondisi obyektif Indonesia masih berkutat pada masalah gizi. Masalah gizi tersebut berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar dalam bebagai wilayah memerlukan penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Penanganan ketahanan pangan dimaksud memerlukan perencanaan lintas sektor dan dengan sasaran serta tahapan yang jelas dan terukur dalam jangka menengah maupun panjang.

Ketiga, perubahan kondisi global yang menuntut kemandirian. Perubahan dimaksud tercermin dari: harga pangan internasional yang mengalami lonjakan drastis dan tidak menentu, adanya kecenderungan negara-negara yang bersikap egois; mementingkan kebutuhannya sendiri, adanya kompetisi penggunaan komoditas pertanian (pangan vs pakan vs energi), terjadinya resesi ekonomi global, dan adanya serbuan pangan asing (westernisasi diet). Perubahan kondisi global tersebut sangat berpotensi menjadi penyebab gizi lebih dan meningkatkan ketergantungan pada impor. Memperbincangkan masalah pangan tidak dapat dipisahkan dari masalah harga pangan sebagai salah satu aspek yang mencerminkan ketersediaan atau produksi pangan sekaligus permintaan atau konsumsi pangan. Perkembangan harga beberapa komoditas pangan dunia, yaitu: jagung, gandum dan beras, mulai bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Juli 2008 ditunjukkan melalui gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Harga Pangan Dunia

(As of September 2008)

Source: Data from FAO 2008 and IMF 2008.Berdasarkan gambar 1, tingkat harga pangan yang terdiri dari: jagung, gandum dan beras memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Peningkatan harga pangan tersebut cukup drastis pada bulan Juli 2008. Di antara harga bahan pangan, harga beras umumnya lebih tinggi (lebih mahal) dibandingkan dua bahan pangan lainnya. Bahkan kenaikan harga beras pada bulan Juli 2008 melebihi kenaikan harga minyak. Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan dunia terhadap beras yang semakin besar: peningkatan konsumsi beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.

Peningkatan harga bahan pangan tidak hanya mengindikasikan ketergantungan terhadap beras yang semakin besar tetapi lebih lanjut juga mencerminkan kenaikan tingkat konsumsi pangan yang melebihi ketersediaannya. Secara umum, dalam dua dasa warsa terakhir, rasio atau perbandingan cadangan pangan dunia terhadap penggunaan atau konsumsi pangan dunia semakin menurun. Perkembangan rasio tersebut ditunjukkan melalui gambar 2.

Gambar 2. Stok Pangan Dunia Menurun

Source: United Nations World Food Programme,2008

Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio stok terhadap konsumsi pangan dunia mendekati 15% pada tahun 2008/2009 dari di atas 35% pada tahun 1986/1987. Pada periode tersebut, cadangan pangan dunia semakin menurun atau (dengan kata lain) jumlah penduduk dunia yang dijamin pangannya semakin sedikit. Penurunan rasio tersebut disebabkan tidak adanya kenaikan dalam produksi pangan sementara jumlah penduduk dunia selalu bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah produksi pangan dunia yang terdiri dari: gandum, beras dan butiran lainnya sejak 1999 sampai dengan 2007 ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3. Produksi Pangan Dunia Tidak Meningkat

Source: Data from FAO 2003, 2005-07.

Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah produksi gandum, beras dan butiran lainnya hampir tidak meningkat sepanjang 1999 sampai dengan 2007. Pada periode tersebut, produksi beras tidak meningkat dan produksi gandum meningkat hanya sedikit. Komoditas yang mengalami peningkatan dalam jumlah produksi adalah butiran lainnya. Hal ini berarti bahwa cadangan pangan dunia lebih banyak disokong dari produksi butiran dibandingkan dengan gandum dan beras. Lebih lanjut, penduduk dunia yang dijamin oleh cadangan pangan (dalam jumlah kecil) adalah mereka yang bergantung pada butiran sebagai makanan pokok. Sedangkan mereka yang bergantung pada gandum dan beras sebagai makanan pokok tidak dijamin oleh cadangan. Cadangan atau stok pangan dunia diperkirakan berupa komodidas selain gandum dan beras.

Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di beberapa kawasan. Negara-negara yang berisiko mengalami krisis pangan ditunjukkan dalam gambar 4 sebagaimana yang telah disinyalir oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 2008.

Gambar 4. Negara Berisiko Terkena Krisis Pangan DuniaSource: United Nations World Food Programme,2008.

Negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta satu negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Kawasan tersebut juga menjadi tempat negara-negara berisiko sedang mengalami krisis pangan. Selain itu, kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga berisiko mengalami krisis pangan sedang.

Secara lebih jelas, ketersediaan atau produksi pangan dan permintaan atau konsumsi pangan, dapat disampaikan bahwa kondisi pangan dunia diperkirakan akan mengalami ketidak seimbangan pada waktu-waktu mendatang. Ketidak seimbangan tersebut dikarenakan jumlah permintaan akan pangan yang melebihi jumlah produksinya. Perkiraan neraca pangan dunia tahun 2025 ditunjukkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan Neraca Pangan Dunia 2025

RegionPopulation 2025Consumption/ CapitaDemand 2025Production 2025Balance 2025

South Asia2021237549.7524.6-25.1

East and Southeast Asia23873381040.9914.0-126.9

Latin America690265217.9171.2-46.7

Europe799634506.5619.4112.9

North America410780319.5558.2238.7

World80393633046.52977.7-68.8

Source: www.worldbank.orgBerdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Surplus pangan dan minus pangan yang terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan terjadinya aliran pangan dari negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika Utara ke arah negara-negara minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia tenggara, serta Amerika Latin. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri.

Beberapa kebijakan yang ditempuh beberapa negara terkait dengan perlindungan terhadap produksi dalam negeri dan jaminan ketersediaan pangan, antara lain: restriksi perdagangan, liberalisasi perdagangan, subsidi konsumen, perlindungan sosial dan kebijakan peningkatan produksi atau penawaran. Berbagai kebijakan perlindungan pangan yang ditempuh beberapa negara adalah sebagaimana yang ditunjukkan tabel 2.

Tabel 2. Kebijakan Perlindungan Pangan yang Ditempuh Beberapa Negara

RegionTrade RestrictionTrade LiberalizConsumer SubsidySocial ProtectionIncrease Supply

Asia

BangladeshXXXX

ChinaXXXX

IndiaXXXXX

IndonesiaXXXX

MalaysiaXXX

ThailandXXX

Latin America

ArgentinaXXXX

BrazilXXX

MexicoXXX

PeruXXX

Venezuela XXXX

Africa

EgyptXXXX

EthiopiaXXXX

GhanaXX

KenyaX

NigeriaXXX

TanzaniaXXX

Source: IMF, FAO, and news reports, 2007-08.Tabel 2 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi konsumen dan peningkatan produksi merupakan kebijakan yang paling populer dilaksanakan. Nampaknya, harga jual pangan yang cukup tinggi diharapkan menjadi daya tarik bari petani untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang lebih banyak. Pada sisi lain, subsidi konsumen ditujukan untuk mengurangi beban konsumen karena harga pangan yang tinggi. Dua kebijakan yang dilaksanakan secara serentak tersebut, didukung dengan kebijakan restriksi perdagangan dan perlindungan sosial diperkirakan dapat memacu pertumbuhan produksi pangan di dalam negeri lebih tinggi. Namun demikian, kebijakan liberalisasi perdagangan yang diupayakan oleh negara-negara yang memiliki proses produksi pangan efisien dapat menjadi kemandirian pangan di negara-negara dengan proses produksi tidak efisien. Efisiensi berarti harga jual produk lebih rendah yang menyebabkan petani-petani dengan proses produksi tidak efisien enggan berproduksi karena outputnya tidak laku di pasar (internasional).

2. PRODUKSI PANGAN NASIONALMenurut Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks Demografi, Puslit Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Propinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.

Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 : Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan

di Tingkat Rumah Tangga

(dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT)

Kecukupan ketersediaan panganFrekuensi makan anggota rumah tangga

> 3 kali2 kali1 kali

> 240 hari

> 360 hariStabilKurang stabilTidak stabil

1 239 hari

1 364 hariKurang stabilTidak stabilTidak stabil

Tidak ada persediaanTidak stabilTidak stabilTidak stabil

Ketersediaan pangan di Indonesia tidak terpisahkan dari keberadaan lahan pertanian yang dipergunakan untuk bercocok tanam. Khusus beras, proses produksinya dilakukan di sawah sehingga jumlah produksi beras sangat dipengaruhi oleh luas areal sawah yang meliputi sawah irigasi dan sawah non irigasi. Secara keseluruhan, yaitu 8,9 juta Ha luas sawah di Indonesia, sebagian besar, yaitu 7,3 juta Ha atau 82,16% luas areal sawah merupakan sawah irigasi. Sebagian kecil, yaitu 1,6 juta Ha atau 17,84% sisanya berupa sawah non irigasi. Penyebaran luas sawah di Indonesia ditunjukkan dalam gambar 1.

Gambar 1. Penyebaran Luas Sawah di Indonesia

Sumber :Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan, Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.Berdasarkan gambar 1, luas sawah di Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Pulau Jawa memiliki luas sawah 3,6 juta Ha atau 40,5% dari luas sawah Indonesia. Sebagian besar, yaitu 3,1 juta Ha atau 85,6% dari luas sawah di pulau Jawa tersebut berupa sawah irigasi dan sebagian kecil, yaitu 0,5 juta Ha atau 14,4% sisanya berupa sawah non irigasi.

Pulau dengan luas sawah terkecil adalah kepulauan Maluku yang terdiri dari propinsi Maluku dan Maluku Utara. Kepulauan tersebut hanya memiliki luas sawah 0,2 juta Ha atau 2,2% dari luas sawah Indonesia yang keseluruhannya berupa sawah irigasi. Sempitnya luas sawah ini berpeluang menyebabkan kepulauan Maluku menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan akan beras. Dengan kata lain, kepulauan Maluku menjadi pasar bagi produsen beras nasional.

Luas sawah yang sebagian besar berada di pulau Jawa sebagaimana diutarakan di atas menunjukkan penyebaran luas sawah yang tidak merata atau terkonsentrasi di satu pulau, yaitu pulau Jawa. Hal ini berpengaruh terhadap penyediaan beras nasional dimana pulau Jawa merupakan penghasil beras terbesar dan menjadi supplier beras untuk daerah-daerah lainnya, misalnya kepulauan Maluku. Penyediaan beras dari daerah surplus ke daerah minus dimaksud menunjukkan arah arus distribusi beras. Arus distribusi beras dari daerah surplus atau sentra produksi ke daerah minus atau defisit ditunjukkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Arus Distribusi Beras dari Sentra Produksi ke Daerah Defisit

Sumber :Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan, Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.Tidak dapat dipungkiri bahwa bahan makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia sekarang adalah beras atau padi. Penduduk Indonesia pada kenyataannya sekarang sudah sangat bergantung pada beras. Sebagian besar penduduk Indonesia telah mengganti makanan pokoknya menjadi beras atau padi. Masyarakat yang makanan pokoknya dahulu berasal dari bahan jagung, gaplek, sagu, dan lain-lain, sekarang beralih kepada bahan padi.

Berkaitan dengan ketahanan pangan, dimana diversifikasi menjadi alternatif untuk mengatasi masalah kelangkaan dan ketergantungan yang kuat terhadap bahan pangan beras, maka dianggap perlu untuk diketahui perkembangan produksi bahan pangan tersebut beserta bahan pangan pengganti (substitusi), yaitu: jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Informasi perkembangan produksi bahan-bahan pangan tersebut memungkinkan untuk mengetahui kondisi pangan pokok masyarakat beserta arah diversifikasi yang semestinya dilakukan.

Dengan menggunakan fungsi produksi trend kwadratik dan data sejak tahun 1970 sampai dengan 2007, dapat diketahui perkembangan (trend) produksi padi, jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Trend dimaksud berguna untuk membuat perkiraan produksi di waktu mendatang. Perkembangan produksi masing-masing bahan pangan tersebut ditunjukkan dalam gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa trend produksi bahan pangan padi dan jagung meningkat sejak tahun 1970 hingga 2007 dimana peningkatan produksi padi lebih tinggi dibanding peningkatan produksi jagung. Sedangkan bahan pangan ketela pohon dan ubi jalar memiliki trend menurun pada jangka waktu yang sama. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan pangan padi (beras) semakin besar dan ketergantungan terhadap bahan pangan lainnya semakin kecil. Masyarakat mengalami kesulitan untuk kembali ke makanan pokok jagung, ketela pohon dan ubi jalar. Tiga bahan pangan yang disebut terakhir ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan, bukan makanan pokok. Khusus untuk jagung, produksi yang meningkat lebih disebabkan pemanfaatannya untuk bahan makanan ternak.

Gambar 3. Perkembangan Produksi Padi, Jagung, Ketela Pohon dan Ubi Jalar

Sumber :Nuhfil Hanani AR, Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan, Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.Tanpa adanya perubahan faktor-faktor lain (cateris paribus) terutama kebijakan pemerintah di bidang produksi dan konsumsi pangan, jumlah produksi padi akan selalu melibihi jumlah produksi jagung serta produksi ketela pohon dan ubi jalar lama-kelamaan akan menipis (habis). Dalam situasi seperti ini, diversifikasi pangan tidak dapat terjadi dengan sendirinya melainkan membutuhkan berbagai langkah kongkrit di bidang produksi, konsumsi dan distribusi bahan-bahan pangan dimaksud. Ketersediaan pangan nasional, jika ditinjau dari kuantitas produksi menunjukkan angka yang cenderung meningkat, baik karena kemajuan teknologi maupun bertambahnya luas panen. Deptan (2007) melaporkan produksi padi tahun 2005 mencapai 54,151 juta ton (setara 30,669 juta ton beras), jagung 12,523 juta ton, gula 1,735 juta ton, minyak goreng 5,437 juta ton, sementara produksi daging, telur, dan susu masing-masing 1,817 juta ton, 1,052 juta ton, dan 0,536 juta ton. Namun, produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan.

Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu (utamanya Jawa) dan pada waktu-waktu tertentu, mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentra-sentra produksi dan pada masa-masa panen (Tabel 1). Keterjangkauan tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Tingkat kecukupan pangan antara lain dapat diindikasikan dari pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 g/kap/hari. Secara agregat, konsumsi energi dan protein tahun 2005 sudah lebih tinggi dari yang dianjurkan, yaitu masing-masing mencapai 2.150 kkal/kap/hari dan 60,84 g/kap/hari (Tabel 2). Jika dilihat dari kualitas konsumsi pangan dengan menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi padi-padian aktual sudah lebih dari anjuran dan masih cenderung meningkat, sedangkan konsumsi kelompok pangan lain masih di bawah tingkat anjuran terutama umbi-umbian, pangan hewani, serta sayur dan buah (Tabel 3). Jika ditinjau dari struktur pengeluaran pangan, proporsi pengeluaran beras terhadap total pengeluaran pangan masih sangat dominan, terutama bagi rumah tangga rawan pangan (Tabel 4). Khusus Indonesia, produksi bahan pangan yang terdiri dari: padi, jagung dan ubi kayu meningkat selama 2003 sampai dengan 2008. Pertumbuhan rata-rata komoditas tersebut masing-masing 0,47%; 1,12% dan 0,39% per tahun selama periode tersebut. Akan tetapi, untuk bahan pangan ubi jalar mengalami penurunan selama periode yang sama. Perkembangan produksi pangan tersebut beserta produksi bahan nabati lainnya ditunjukkan dalam gambar 5.

Gambar 5. Produksi Pangan Nabati Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Produksi ubi jalar mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata 0,14% per tahun selama 2003 sampai dengan 2008. Berbeda dengan ubi jalar, produk pangan nabati lainnya, yaitu: kedelai, kacang tanah, sayur, buah-buahan, minyak sawit dan gula putih mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 0,44% sampai 3,78% per tahun dalam periode tersebut. Begitu juga produk pangan hewani, yaitu: daging sapi dan kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan, produksinya meningkat antara 0,68% sampai 4,04% per tahun sepanjang 2003 sampai dengan 2008.

Gambar 6. Produksi Pangan Hewani Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan produksi nabati dan hewani sebagaimana diutarakan di atas, Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang semakin banyak dari tahun ke tahun. Namun demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (http://demografi.bps.go.id) laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 1,49% per tahun selama 1990 sampai dengan 2000 dan rata-rata 1,31% per tahun selama 2000 sampai dengan 2005. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 sebesar 218.868.791 Jiwa dan diperkirakan menjadi 227.516.121 Jiwa pada tahun 2008. Dengan jumlah produksi padi 54.151.000 Ton di tahun 2005, maka rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk pada tahun 2005 adalah 247,4 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Pada tahun 2008, dengan jumlah produksi padi sebesar 59.877.000 Ton maka rasio tersebut menjadi 263,2 Kg/Kapita/Tahun atau 0,7 Kg/Kapita/Hari. Perhitungan ini menjukkan bahwa sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia sampai dengan 2008 masih memadai. Namun demikian, oleh karena semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan-lahan lain (perumahan, bisnis, dan lain-lain) menyebabkan rasio tersebut menjadi terganggu.

Terganggunya rasio antara jumlah produksi padi terhadap jumlah penduduk sebagaimana diutarakan di atas menyebabkan, pada tahun-tahun terakhir, Indonesia tergantung pada impor. Bahan pangan yang di impor Indonesia, yaitu: beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur, buah-buahan, minyak goreng, gula, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur, susu dan ikan, selama tahun 2003 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 7. Gambar 7. Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 7, impor kedelai merupakan bagian terbesar dari ketersediaan kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2007, sebesar 70,6% kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor, sebagian kecil sisanya, yaitu: 29,4% berasal dari produksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap impor kedelai. Selain kedelai, susu juga merupakan produk yang banyak dipenuhi dari pasar internasional. Impor susu pada tahun 2007 merupakan 66,7% dari kebutuhan susu. Persentase ini menurun dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 93,89%.

Komoditas ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan, minyak goreng, daging ayam dan telur, seluruhnya atau hampir seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Untuk bahan makanan pokok masyarakat, yaitu: beras dan jagung, besarnya persentase impor masih relatif kecil, yakni masing-masing 4,12% dan 5,52% pada tahun 2007. Sebagian besar, yaitu masing-masing 95,88% dan 94,48% kebutuhan masyarakat akan beras dan jagung dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Berdasarkan data impor beras dan umbi-umbian, dapat diketahui bahwa upaya untuk meminimumkan atau menghilang ketergantungan terhadap impor beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan dari beras ke ubi kayu dan ubi jalar. Mengingat bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal bahkan terbiasa dengan makan ubi kayu dan ubi jalar, maka diversifikasi tersebut diharapkan tidak mengalami hambatan yang berarti.

Gambar 8. Ketersediaan Pangan per Kapita

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke bahan pangan lain tercermin dari perubahan pola konsumsi penduduk atas berbagai jenis bahan pangan. Secara umum, penurunan jumlah konsumsi beras di satu sisi dan kenaikan konsumsi bahan pangan lainnya di sisi lain menunjukkan adanya diversifikasi pangan yang tengah berlangsung. Jumlah konsumsi beras, jagung dan terigu selama tahun 1993 sampai dengan 2007 ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Konsumsi Komoditas Pangan

Kelompok Padi-padian Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 9, selama tahun 1993 sampai dengan 2007, konsumsi penduduk terhadap beras mengalami penurunan. Namun demikian, penurunan dimaksud tidak dibarengi dengan kenaikan konsumsi jagung dan terigu. Hal ini berarti bahwa diversifikasi pangan dari beras ke jagung dan terigu masih belum terjadi. Agak berbeda dengan konsumsi produk pangan nabati, konsumsi penduduk terhadap produk pangan hewani yaitu: ikan, telur, daging unggas dan susu mengalami peningkatan sejak 1993 sampai dengan 2007. Perkembangan konsumsi pangan hewani penduduk pada periode tersebut ditunjukkan dalam gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani

Penduduk Indonesia 1993-2007

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan gambar 10, disamping terjadi kenaikan konsumsi beberapa jenis pangan hewani, juga terdapat konsumsi yang tidak berubah, yaitu: daging ruminansa. Secara keseluruhan, konsumsi penduduk terhadap pangan hewani mengalami peningkatan. Hal ini berpengaruh terhadap perbaikan kualitas gizi masyarakat. Sepanjang tahun 1989 sampai dengan 2005, status gizi masyarakat mengalami perbaikan. Walaupun status gizi buruk meningkat selama kurun waktu 16 tahun, dari 6,3% di tahun 1989 menjadi 8,8% pada tahun 2005, tetapi status gizi kurang menurun dari 31,7% di tahun 1989 menurun menjadi 19,2% pada tahun 2005. Dengan demikian, jumlah gizi buruk dan gizi kurang menurun dari 38,0% di tahun 1989 menjadi 28,0% pada tahun 2005. Perkembangan status gizi tersebut masyarakat ditunjukkan dalam gambar 11.

Gambar 11. Status Gizi Masyarakat

Sumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Meskipun status gizi masyarakat mengalami perbaikan sepanjang tahun 1989-2005 sebagaimana ditunjukkan gambar 11, namun masih perlu diwaspadai adanya masalah keamanan pangan berupa berbagai pelanggaran terhadap produk pangan. Terjadinya masalah ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh alasan finansial (meminimumkan biaya produksi) tetapi juga alasan kemudahan memperoleh bahan dan alasan-alasan lainnya. Pelanggaran terhadap produk pangan perlu mendapat perhatian karena dapat berpengaruh terhadap kualitas gizi dan kesehatan sehingga dapat berpengaruh pula terhadap produktivitas kerja masyarakat.

Beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah: pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis pelanggaran produk pangan sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 ditunjukkan pada gambar 12.

Gambar 12. Persentase Pelanggaran Produk PanganSumber: Nuhfil Hanani AR, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur, 2009.

Berdasarkan table 12, di antara berbagai jenis pelanggaran produk pangan, pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif besar setelah jenis pelanggaran lain-lain. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun selama 2001-2006. Berbeda dengan pemanis buatan, jenis pelanggaran produk pangan yang mengalami penurunan adalah boraks. Pada tahun 2002, penggunaan boaraks merupakan 19,10% dari keseluruhan pelanggaran. Pada tahun 2006, persentase tersebut menjadi 6,77% atau mengalami penurunan (pertumbuhan negatif) rata-rata 22,8% per tahun selama 2002-2006. Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan suatu wilayah. Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang berperan sangat vital dalam menjaga ketersediaan pangan nasional. Kondisi dapat terlihat dari tingkat produktivitas masing-masing komoditi yang cederung menunjukkan trend meningkat dalam kurun waktu enam tahun terakhir.

Rata-rata pertumbuhan komoditi pangan yang paling tinggi selama enam tahun terakhir adalah komoditi jagung. Komoditi ini mengalami pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 3.73% dalam enam tahun terakhir. Sedangkan komoditi yang rata-rata pertumbuhannya paling rendah dalam kurun waktu yang sama adalah komoditi padi, dalam kurun enam tahun terakhir padi hanya mengalami pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 0.19%.

Tabel 1

Produksi Komoditas Pangan Jawa Timur

Komoditas20012002200320042005Pert/th (%)

Padi86727918803878891499590020259007265-0,39

Jagung352996836921464181550413376243985024,35

Kacang tanah1768891880011946762123252087492,63

Kedele349188300184287205318929335106-2,17

Ubi kayu401633039198543786882396347840236141,85

Ubi Jalar189666168776167611165039150564-3,70

Kacang hijau86747770219570983245955272,91

Sumber : Pusat data dan Informasi, Deptan, 2007

Berdasarkan analisis 10 propinsi dengan luas panen padi terbesar di Indonesia menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah terbesar kedua setelah Jawa Barat dengan luas areal panen padi sebesar 1,69 juta ha.

Dalam rangka diversifikasi, pangan akan sangat baik bila pangan lokal dikembangkan kembali dan diupayakan dibangkitkan dari potensi lokal sehingga mengurangi ketergantungan pada beras. Fortifikasi pangan atas pangan lokal dapat dikenalkan teknologinya sehingga masyarakat dapat mengakses peluang usaha produktif baru dan dapat dikembangkan sebagai sumber income keluarga (agroindustri pedesaan). Namun yang perlu diingat adalah bahwa kegiatan produksi ini harus bersifat market driven dan mendasarkan pada preferensi konsumen.

Potensi komoditas non-pangan yang diusahakan petani di Jawa Timur menunjukkan kinerja yang relatif tinggi pula. Hal ini menunjukkan potensi pertanian di jawa Timur yang sangat besar dan merupakan sumber income bagi sebagian besar masyarakat di jawa Timur. Dengan demikian dukungan penyediaan infrastruktur pertanian dan kewilayahana untuk memperlancar sistem distribusi dan pemasaran hasil pertanian akan sangat membantu meningkatkan income petani.

Jawa Timur mempunyai peran yang sangat besar terhadap penyediaan pangan nasional. Diperkirakan Jawa Timur merupakan propinsi yang secara nyata menyumbang pangan nasional 20-30 persen kebutuhan aneka ragam pangan nasional. Produksi pertanian telah melebihi dari kebutuhan domestik masyarakat Jawa Timur. Surplus pangan utama baik itu padi maupun jagung merupakan potensi perdagangan bagi Jawa Timur. Kebutuhan pangan di Jawa Timur memang hampir dapat dipenuhi semua dari potensi domestik, kecuali untuk komoditas kedelai yang masih mengalami defisit sebesar 110.648 ton. Sedangkan untuk beras, jagung, kacang maupun ubi mengalami surplus. Surplus pangan di jawa Timur selain didukung sumberdaya alam yang sesuai, juga potensi sumberdaya manusia dan adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang lebih baik. Kemandirian pangan di Jawa Timur dari sisi ketersediaan ini dapat diketahui lebih rinci dari tabel berikut ini.

Selain mempertimbangkan ketersediaan dan konsumsi komoditi pangan utama yaitu beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan dan umbi-umbian, Jawa Timur juga merupakan sumber bahan pangan lainnya yang bersumber dari ternak dan ikan yaitu beberapa jenis bahan makanan lainnya seperti daging, telur, susu dan ikan.

Tabel 2

Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan

di Jawa Timur

NoKomoditasKetersediaan (ton)Konsumsi (ton)Surplus/ defisit (ton)

1Beras5,225,3723,441,2321,784,140

2Jagung3,634,680293,8273,340,853

3Kedelai291,431402,079-110,648

4Kacang Tanah194,41428,720165,694

5Kacang Hijau75,46719,88355,584

6Ubi Kayu3,368,956771,0192,597,938

7Ubi Jalar145,234105,67439,560

Sumber : Badan ketahanan Pangan Jawa Timur, 2005

Potensi produksi jenis komoditas ini (bersumber dari ternak dan ikan) relatif lebih besar dibandignkan kebutuhan konsumsinya sehingga dapat menciptakan surplus bahan pangan tersebut. Secara lebih lengkap hal ini disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3

Perkembangan Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan

di Jawa Timur

NoKomoditasKetersediaan (ton)Konsumsi (ton)Surplus/ defisit (ton)

1Daging199,305117,08982,216

2Telur261,591179,72081,871

3Susu200,35046,025154,325

4Ikan478,574462,09616,478

2.3. MASALAH-MASALAH PRODUKSI PANGANBab 3DISTRIBUSI PANGAN

1. POLA DISTRIBUSI PANGAN

Pemasaran beras antar wilayah disebabkan oleh adanya perbedaan harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan distribusi komoditas yang diperdagangkan. Sedikitnya terdapat dua faktor penyebab perbedaan harga beras antar wilayah, yaitu: (1) Perbedaan segmentasi pasar yang direfleksikan oleh perbedaan daya beli dan preferensi konsumen terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Perbedaan neraca ketersediaan dan konsumsi beras, sehingga terjadi aliran komoditas dari daerah surplus dengan tingkat harga rendah ke daerah defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi.

Dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan cakupan 26 propinsi, analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan beras yang dilakukan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa hasil menarik sebagai berikut: (1) Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat merupakan daerah surplus yang selanjutnya menjadi pemasok bagi daerah defisit pada regional yang sama (pulau) atau diantar-pulaukan ke tempat lain; (2) Daerah propinsi yang memiliki surplus di atas 1,0 juta ton adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan daerah lainnya memiliki surplus sekitar 400 ton ke bawah; (3) Daerah yang membutuhkan pasokan beras cukup besar adalah DKI Jakarta (800 ribu ton/tahun), dan Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan NTT, masing-masing sekitar 100 200 ribu ton per tahun; (4) Secara regional, pulau Jawa tetap merupakan pensuplai beras nasional dengan pasokan sekitar 2,5 juta ton per tahun dan Sulawesi sebesar 1,0 juta ton per tahun yang dapat diperdagangkan antar regional atau antar pulau; (5) Maluku dan Papua merupakan daerah defisit (100 ribu ton/tahun).

Bahasan berikutnya mengenai struktur pasar gabah/beras akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten sentra produksi beras (Majalengka, Indramayu, Klaten, Kediri, Ngawi, Agam, dan Sidrap) sampai pada tingkat pedagang besar (kabupaten dan propinsi) adalah sama, dengan penjelasan sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di sawah/di rumah) kepada tiga pelaku pemasaran yaitu penebas, pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang pengumpul menjual gabah ke pedagang penampungan yang pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten; (3) Pedagang penampungan ini dengan lokasi di tingkat kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan propinsi; (4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran/mobilitas beras antar kabupaten, propinsi dan antar pulau; dan (5) Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkan/mensuplai beras kepada pedagang besar di tingkat propinsi.

Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), disamping memasok pasar propinsi, adalah pensuplai beras ke Pasar Induk Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam dan Sidrap), disamping pemasok pasar propinsi, adalah memasok pedagang antar pulau; (3) Ketiga jenis pelaku pemasaran terakhir ini (pedagang propinsi, pedagang antar pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok toko/kios pengecer yang selanjutnya melayani konsumen setempat. Pelaku pemasaran yang memegang peranan sentral dalam perdagangan adalah pedagang penampungan yang melakukan kegiatan penampungan, pengeringan, pengolahan gabah dan perdagangan beras. Disamping peran/fungsi pemasaran yang cukup kompleks, pelaku pemasaran ini juga melakukan penanganan volume perdagangan gabah/beras yang cukup besar, dengan kisaran 7585 persen. Peran RMU yang berfungsi sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 1020 persen. Peran KUD dalam pembelian/pemasaran dan perdagangan gabah/beras kaitannya dengan pemasaran umum atau pengamanan harga dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5%). Peran pelaku pemasaran di luar pedagang penampung ini adalah relatif terbatas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan distribusi antar kabupaten, propinsi, dan antar pulau. Sebagian RMU di tingkat kabupaten juga melakukan perdagangan beras sampai ke pasar propinsi atau Pasar Induk Cipinang (Jakarta).Analisis marjin pemasaran beras sampai dengan di pasar eceran di tingkat ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 6. Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk memenuhi pasar beras di tingkat kabupaten ini relatif kecil (15%), dengan kisaran 10% (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan 25% di Kabupaten Agam. Kisaran harga (setara beras) yang diterima petani adalah Rp 1.850/kg (Agam) Rp 1.909/kg (Kediri) atau sekitar 81,8% dari harga rataan eceran beras di pasar kabupaten yang besarnya Rp 2.134/kg. Jadi marjin perdagangan beras adalah relatif kecil (Rp 422/kg), yaitu 18,2% terhadap rataan harga eceran. Dari marjin perdagangan sebesar itu, sejumlah 4,19% (Rp 97/kg) dialokasikan untuk biaya pengolahan, 7,35% (Rp 170/kg) untuk biaya transportasi, dan sisanya (6,66%) atau Rp 154/kg adalah profit marjin.Menarik untuk dibahas imbangan keuntungan dan biaya pada setiap pelaku pemasaran beras ini. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul desa relatif terhadap biaya pemasaran adalah 109%, RMU 10,91%, untuk pedagang besar di pasar kabupaten 51,22%, dan untuk pedagang pengecer sebesar 98,4%. Walaupun marjin pemasaran relatif kecil, namun secara relatif (kecuali RMU) tingkat keuntungan yang diperoleh cukup besar, yaitu jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal. Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat waktu transaksi yang relatif cepat. Dikaitkan dengan volume perdagangan yang ditangani oleh keempat pelaku pemasaran ini, tampak bahwa keuntungan yang diterima RMU dan pedagang besar relatif kecil, namun volume komoditas yang ditangani lebih besar dibandingkan dengan yang ditangani oleh pedagang pengumpul desa atau pedagang pengecer.

Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak jauh berbeda dengan analisis yang sama yang dilakukan satu tahun sebelumnya (tahun 2000) di lima kabupaten, yaitu Klaten, Kediri, Agam, Majalengka, dan Sidrap (Mardianto dkk., 2005). Pada saat itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di lima kabupaten produsen utama padi adalah berkisar antara Rp 800/kg Rp 1.160/kg, atau setara dengan Rp 1.455 Rp 2.000/kg beras. Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen di pasar kabupaten adalah Rp 1.700/kg di Kediri sampai dengan Rp 2.500/kg di Agam, Sumatera Barat. Pasar gabah/beras relatif kompetitif dan petani dengan mudah memasarkan gabah karena jumlah pedagang dan RMU relatif banyak yang beroperasi di pedesaan. Pemasaran beras dinilai cukup efisien yang diindikasikan oleh bagian harga yang diterima petani relatif besar dengan kisaran 73,57% di Klaten dan 85,59% di Kediri. Rataan biaya pemasaran mencapai Rp 434/kg atau 20,97% terhadap harga eceran, dengan komposisi 10,92% untuk biaya pengolahan, penanganan, transportasi, dan sisanya 10,05% adalah keuntungan pedagang (Tabel 7).

Hasil studi Natawidjaja (2001) menunjukkan bahwa para pelaku pemasaran di sebagian besar propinsi-propinsi penghasil beras utama nasional mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang diterima pada harga yang seharusnya di bayar ke petani. Sebaliknya, pelaku pemasaran ini juga mampu menjaga marjin keuntungan yang sama walaupun pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani (Tabel 8).Perilaku pedagang tersebut menunjukkan adanya kekuatan monopsonistik karena mereka memiliki aksesibilitas dan informasi yang cepat ke pasar konsumen dengan penguasaan pasar ini, para pelaku pemasaran dapat meneruskan risiko-risiko fluktuasi harga pasar pada tingkat di bawahnya dan akhirnya sampai ke petani sebagai penerima residual dari risiko tersebut tanpa memiliki kemampuan untuk menolak atau menghindari. Keadaan ini memperlihatkan adanya keterpisahan petani dari pasar, karena pemain pasar sesungguhnya adalah pedagang yang berhadapan langsung dengan konsumen. Pada kondisi demikian, insentif dan usaha untuk menyejahterakan petani akan lebih banyak dinikmati pedagang.

Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari berbagai hasil kajian tersebut adalah kelancaran arus distribusi dan perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri. Konfigurasi surplus/defisit beras akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Struktur pasar dan jalur pemasaran beras sudah berjalan cukup baik dan cukup efisien dilihat dari besar dan distribusi marjin pemasaran. Posisi petani yang relatif lemah terutama disebabkan terutama oleh masalah internal petani (khususnya permodalan), karakteristik komoditas yang perlu penanganan cepat, dan lemahnya sistem informasi pasar.2. DISTRIBUSI PANGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

3. MASALAH-MASALAH DISTRIBUSI PANGAN

Bab 4DIVERSIFIKASI PANGAN

1. DIVERSIFIKASI BERBASIS LOKALUntuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, maka langkah penting yang cukup rasional yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal guna mencegah terjadinya krisis pangan. Bila tidak maka negara kita berpotensi menghadapi krisis sosial, ekonomi dan politik yang sangat serius dimasa-masa yang akan datang. Krisis pangan dunia yang terjadi pada tahun 2008 yang lalu bukan tidak mungkin akan terjadi di masa-masa yang akan datang. Apabila terjadi krisis pangan dunia, bisa dipastikan negara kita akan tekena dampaknya, mengingat beberapa jenis komoditi masih harus import, seperti gandum, jagung, kedelai, dll.

Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis pangan dunia, yaitu (i) Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada tahun 2000 jumlah penduduk dunia mencapai 6,1 milyar, dan pada tahun 2025 diperkirakan menjadi 8,0 milyart, sehingga akan makin meningkatkan permintaan bahan pangan. (ii) Makin meningkatnya berbagai produk hasil pertanian yang dikonversi menjadi biofuel sebagai akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Pada awalnya biofule ini diproduksi dari limbah hasil pertanian, akan tetapi dengan semakin melambungnya harga minyak mentah dunia dan semakin meningkatnya permintaan biofule, maka kini biofule diproduksi dengan menggunakan jagung, gandum, dan beberapa jenis biji-bijian lainnya, yang mestinya digunakan bahan pangan untuk konsumsi manusia. (iii) Bencana alam. Karena cuaca dan bencana alam, panen padi turun di Vietnam dan India dan membuat pemerintah mereka membatasi impor beras dari dua negara tersebut untuk cadangan dalam negeri. Akibatnya pasokan beras di pasar komodiiti dunia pun menurun. Bahkan Filipina yang dulu dikenal sebagai pengekspor beras beberapa tahun terakhir beralih menjadi negara pengimpor beras terbesar karena penurunan produksi padi mereka.

Walaupun negara Indonesia adalah negara agraris, akan tetapi bila terjadi krisis pangan dunia juga berpotensi berimbas pada krisis pangan di negara kita. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah:

1. Ketahanan pangan yang rapuh

Walaupun Negara kita adalah Negara agraris dan lebih dari 40% penduduknya hidup di sektor pertanian, akan tetapi sesungguhnya sejak merdeka, negara kita sesungguhnya memiliki sejarah ketahanan pangan yang rapuh Hal ini disebabkan karena untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan, Negara kita masih mengandalkan impor. Untuk memenuhi kebutuhan beras misalnya, sejak tahun 1961 Indonesia telah mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar (Tabel 3) dan merupakan pengimpor gandum terbesar kelima, dengan volume impor gandum mencapai 4,5 juta ton (Tabel 4). Tabel 3. Impor dan ekspor beras Indonesia (juta ton)

No.TahunImporEkspor

1.1970956.13-

2.19802011.7110,00

3.198533.85258,71

4.199049.581,91

5.19953157.700,01

6.20001355.041,19

7.2001642.173,95

8.20021798.504,15

9.20031625.750,70

10.2004390.830,91

Sumber: www.faostat.2006

Tabel 4. Sepuluh Negara terbesar eksportir dan importir gandum di dunia

No.EksporImpor

NegaraJumlah (Juta Ton)NegaraJumlah (Juta Ton)

1.Amerika Serikat30,2Mesir6,8

2.Kanada13,5Uni Eropa6,3

3.Rusia10,6Brasilia6,1

4.Uni Eropa9,9Jepang5,1

5.Argentina9,3Indonesia4,5

6.Kazkhstan8,9Algeria3,7

7.Australia6,5Maroko3,3

8.Cina2,3Meksiko3,3

9.Pakistan1,5Nigeria2,8

10Ukrania1,4Korea Selatan2,8

Sumber: BBC News, 2008

2. Meningkatnya konsumsi terigu dan menurunnya konsumsi ubi dan ubi jalar.

Pada tahun 1990, jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu masing-masing adalah 9,3% dan 32,1% di kota, serta 19,0% dan 49,6% di desa. Pada tahun 1999, jumlah tersebut menurun, masing-masing menjadi 4,8% dan 28,6% di kota dan 10,1% dan 39,8% di desa. Sebaliknya gandum dan produk olahannya, seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus meningkat, bahkan lebih besar daripada jagung dan ubi kayu, sementara untuk jagung dan ubi kayu terus menurun. Selama tahun 1990-1999, laju perubahan jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi mie di kota mencapai 56,4% di kota dan 67,0% di desa (Anonymous, 2003).

Berdasarkan fakta tersebut, maka diversifikasi pangan perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan keluarga menuju ketahanan pangan nasional yang tangguh. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan. Menurut Suryana (2005), ada dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan, yaitu:

1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan sebagai core of business serta mengembangkan usahatani komoditas lainnya sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil terjadinya resiko kegagalan usaha.

2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-sentra produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong pengembangan perdagangan antar wilayah.

2. KENDALA DIVERSIFIKASI PANGAN

Upaya untuk melakukan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan umbi-umbian dan buah-buahan sebagai sebagai sumber karbohidrat jauh lebih kompleks dibandingkan dengan serealia (beras). Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang pada akhirnya menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, yaitu:

1. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada beras untuk dimasak menjadi nasi. Hal ini mudah dimengerti karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi. Walaupun demikian sebenarnya berbagai jenis bahan pangan, seperti ubi jalar tidak saja sebagai sumber karbohidrat, akan tetapi diketahui banya mengandung antioksidan dan merupakan prebiotik yang dapat memberikan efek yang menyehatkan bagi yang mengkonsumsinya.

2. Ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap belum makan bila belum makan nasi, walaupun kecukupan kalori dan protein dapat dipenuhi dari sumber karbohidat lain non beras.

3. Selama ini umbi-umbian dan buah-buahan kaya karbohidrat belum dibudidayakan secara maksimal, seperti halnya petani menanam padi. Tuntutan untuk mengoptimalkan produksi umbi-umbian belum ada karena demand di pasaran juga belum muncul. Apalagi, selama ini umbi-umbian hanya dikenal sebagai snack, kecuali di pedalaman Papua yang konsumsi utama masyarakatnya adalah ubi jalar. Hal ini disebabkan karena kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya hanya terfokus pada beras, dan telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lainnya.

4. Pangan lokal diberbagai wilayah sehingga belum dapat dikembangkan dalam skala industri. Disaping itu berbagai hasil olahan pangan lokal yang ada, dilihat dari sisi mutu dan keamanan pangan masih rendah, kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiens dalam pengolahan serta penyajiannya.

5. Ketidak seragaman produk dan cita rasa serta kandungan gizi yang kadang-kadang kurang seimbang.

6. Kurang terbentuknya citra produk yang menarik dalam persepsi konsumen karena kurang memperhatikan tampilan dan kepraktisan dalam penyajian.

7. Kurang memperhatikan aspek pemasaran, penyimpanan dan promosi.

Masalah lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan umbi-umbian dan buah-buahan sebagai sumber karbohidrat (Widowati, 2003) adalah (i) harga per unit volume, bila dibandingkan dengan beras lebih rendah. Hal ini menyebabkan biaya penanganan, transportasi dan penyimpanan relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan beras. (ii) Umbi-umbian dan buah-buahan umumnya memiliki kadar air tinggi (60-80%), sehingga mudah rusak, dan beaya pengeringannya relatif mahal. (iii) Produksi umbi-umbian dan buah-buahan lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga tinggi. (iv) Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija, termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.

Bab 5AKSESIBILITAS PANGAN

4.1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSESIBILITAS PANGAN4.2. AKSESIBILITAS PANGAN DANKESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Salah satu paradigma baru pembangunan pangan setelah diberlakukannya Undang-Undang otonomi daerah adalah perencanaan penyediaan pangan yang semula sentralistik dan lebih dominan pada pertumbuhan ekonomi menjadi desentralistik dengan pertimbangan yang lebih komprehensif, sehingga tujuan-tujuan pemantapan Ketahanan pangan dan perbaikan gizi masyarakat lebih terakomodasi. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman dan penyediaan data Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (PPH) di masing-masing daerah. Penyusunan NBM dan PPH Jawa Timur sudah dilaksanakan sejak tahun 1984 sampai sekarang, dimana dari hasil analisis NBM dan PPH ini menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pangan dan gizi di tingkat wilayah.

Tabel 4

Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Propinsi Jawa Timur

Tahun 2005 dan 2006

NoKomoditasTahun 2005Tahun 2006*)

KetrsdiaanKonsumsiPlus/ MinusKetersediaanKonsumsiPlus/ Minus

1Beras5.228.5273.478.9941.749.5335.332.4493.478.9941.853.455

2Jagung3.867.698297.0513.570.6473.928.371297.0513.631.320

3Kedelai305.847406.491(100.644)304.441406.491(102.080)

4Ubi kayu3.420.072779.4792.640.5933.482.900779.4792.703.421

5Ubi jalar132.496106.83425.662129.738106.83422.904

6Kacang tanah191.01529.035161.980204.93829.035175.903

7Kacang hijau86.45220.10166.35186.87420.10166.773

8Daging178.158118.37459.784255.007119.677135.330

9Telur238.261181.69256.569218.663183.65535.008

10Susu202.55746.531156.026205.10247.043158.059

11Ikan490.966453.82016.478

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Propinsi JatimKeterangan: *) Angka Ramalan II: Beras, Jagung, Kedele, Ubikayu, Ubijalar, Kacang Tanah,Kacang hijau

Konsumsi energi penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 1900 kkal/kap/hr atau mencapai 95,0 % dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi VIII tahun 2005 sebesar 2000 kkal/kap/hr. Konsumsi energi tahun 2005 sebesar 1900 kkal/kap/hr atau 95,0 % dari AKE lebih tinggi dari dari konsumsi energi tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr atau 85,9 % dari AKE. Konsumsi energi penduduk didukung oleh konsumsi energi penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 11902 kkal/kap/hr dan 1901 kkal/kap/hr. Konsumsi energi penduduk perkotaan sebesar 1902 kkal/kap/hr meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1889 kkal/kap/hr, kecenderungan yang sama terjadi pada konsumsi energi penduduk pedesaan sebesar 1901 kkal/kap/hr meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1893 kkal/kap/hr. Nampak bahwa konsumsi energi penduduk perkotaan relatif sama dengan konsumsi energi penduduk pedesaan. Tabel 5

Rata-rata Konsumsi Energi Penduduk tahun 2002 dan 2005

No.Uraian20022005

Energi

(kkal/kap/hr)% AKE

(kkal/kap/hr)Energi

(kkal/kap/hr)% AKE

(kkal/kap/hr)

1Perkotaan188985,8%190295,1%

2Perdesaan189386,1%190195,0%

3Jawa Timur188985,9%190095,0%

Sumber data : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Propinsi Jatim 2006)

Keterangan : Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2002 = 2200 Kkal/Kap/Hari

Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata tahun 2005 = 2000 Kkal/Kap/Hari

Ditinjau dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang mengacu pada standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan tahun 2006, ternyata konsumsi energi penduduk Jawa Timur tahun 2005 mencapai sebesar 95,0 % yang berarti tergolong normal karena berada pada kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 90-119%.

Sedangkan konsumsi protein penduduk Jawa Timur mencapai sebesar 62,30 gr/kap/hr atau meningkat sebesar 2,20 gr/kap/hr atau 3,66 % dari konsumsi protein tahun sebelumnya sebesar 60,10 gr/kap/hr. Konsumsi protein tersebut ternyata melampaui 10,30 gr/kap/hr (19,61% ) dari angka kecukupan protein yang dianjurkan 52 gr/kap/ hr. Konsumsi protein tersebut didukung dengan peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan yang cukup besar dari konsumsi protein penduduk pedesaan tahun sebelumnya. Konsumsi protein penduduk perkotaan dan pedesaan mencapai sebesar 60.70 gr/kap./hr dan 64,5 gr/kap./hr.

Konsumsi protein penduduk perkotaan sebesar 60,7 gram/kap/hr menurun sebesar 6,7 gram/kap/hr atau 9,95 % dari tahun sebelumnya sebesar 67,4 gram/kap/hr. Sedangkan, konsumsi protein penduduk pedesaan sebesar 64,5 gram/kap/hr meningkat 6,3 gram/kap/hr atau 10,82 % dari tahun sebelumnya sebesar 58,20 gram/kap/hr. Peningkatan konsumsi protein penduduk pedesaan dikarenakan adanya peningkatan konsumsi pangan hewani berupa: ikan, daging ruminansia, telur dan susu. Oleh karena itu, upaya percepatan gerakan penganekaragaman diarahkan di daerah perkotaan yang difokuskan pada keanekaragaman konsumsi pangan nabati non beras/tepung terigu beruapa umbi-umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, serta konsumsi pangan hewani yang berigizi dan berimbang.

Tingkat dan kualitas konsumsi pangan semakin baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan penduduk dengan skor PPH 77,8 lebih tinggi dibandingkan dengan Skor PPH tahun sebelumnya sebesar 71,0. Meskipun kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kualitas konsumsi pangan semakin meningkat, namun masih terdapat asupan gizi dari beberapa kelompok bahan makanan berada dibawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Hampir semua kelompok pangan dikonsumsi dalam jumlah yang belum memadai, kecuali kelompok padi-padian. Sumbangan energi kelompok padi-padian terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada tahun 2005 cukup besar mencapai 57,9 %, sedangkan proporsi idealnya sebesar 50 %. Sumbangan energi kelompok pangan yang masih jauh dari proporsi idealnya adalah : kelompok pangan hewani, kelompok sayur dan buah, serta kelompok umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk Jawa Timur belum memenuhi kaidah kecukupan gizi yang dianjurkan dan konsep pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.

Tabel 6

Rata-rata Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga

Tahun 2002 dan Tahun 2005NoKelompok Pangan tahun 2002tahun 2005

Gram/ Kap/HrEnergi (Kkal)% AKE*)Gram/ Kap/HrEnergi (Kkal)% AKE**)PPH Nasional 2020

1Padi-Padian283.11,129.7051.4283.51.1395750

2Umbi-umbian69.178.63.653.5613.16

3Pangan Hewani61.6100.44.673.11346.712

4Lemak dan Minyak21.41908.620.2180910

5Bauh/Biji Berminyak10.758.72.710.4572.93

6Kacang-kacangan33.8984.532.1934.75

7Gula30.6111.15.126.9974.95

8Sayur dan Buah197.480.83.7203864.36

9Lainnya50.841.71.942.3381.93

Jumlah1,88985.91,88694.3100

Sumber : Angka Susenas 2002 dan 2005 Jawa Timur, BPS (diolah BKP Prop.Jatim,2006)Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2200 Kkal/Kap/Hari

**)Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 Kkal/Kap/HariKonsumsi pangan kelompok padi-padian didominasi oleh beras, dan ternyata konsumsi beras masih cukup tinggi yaitu sebesar 94,35 kg/kap/thn (data diolah dari Susenas 2005) meningkat sebesar 0,89 kg/kap/thn dibandingkan dengan konsumsi beras tahun sebelumnya sebesar 93,46 kg/kap/thn (data diolah dari Susenas 2002). Demikian pula, konsumsi terigu masih cukup tinggi mencapai sebesar 8,43 kg/kap/thn meningkat sebesar 1,60 kg/kap/thn dibandingkan dengan konsumsi terigu tahun sebelumnya sebesar 6,83 kg/kap/thn. Peningkatan konsumsi beras dan terigu nampaknya mempengaruhi konsumsi tepung umbi-umbian. Konsumsi umbi-umbian hanya mencapai sebesar 19,52 kg/kap/thn menurun sebesar 5,70 kg/kap/thn dibandingkan dengan konsumsi tahun sebelumnya sebesar 25,22 kg/kap/thn. Hal ini merupakan tantangan yang harus menjadi fokus penanganan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya percepatan penganekaragaman pangan di Jawa Timur. Karena selain dari beras, sebenarnya sumber karbohidrat dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan pokok lainnya yaitu serealia selain beras (jagung, sorghum), umbi-umbian (singkong/ubi kayu, ubi jalar, kentang, bentul, talas, uwi, garut, ganyong dan sebagainya), buah-buahan (sukun, pisang).

4.3. MASALAH-MASALAH AKSESIBILITAS PANGANKerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standart kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien).

Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena: tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan produktif individu/rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya.

Kerawanan pangan dan kelaparan berpeluang besar terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.

Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat digunakan sebagai salah satu indikator aksesabilitas rumah tangga terhadap pangan. Hal ini juga berkorelasi dengan kemampuan dan daya beli rumah tangga itu sendiri. Oleh karena itu, penciptaan lapangan pekerjaan perlu dikembangkan agar masyarakat mampu meningkatkan pendapatannya. Selain itu, walaupun daya beli rumah tangga mencukupi, apabila terdapat kelangkaaan pangan akibat distribusi yang tidak lancar maka akses rumah tangga secara fisik akan terganggu bahkan menjadi lebih buruk.

Indikator yang sangat dekat menggambarkan daya beli masyarakat adalah berkenaan dengan kemiskinan masyarakat Jawa Timur. Tingkat kemiskinan di Jawa Timur masih berkisar sebesar 20 persen. Namun demikian walaupun ada perubahan yang kecil nampaknya ada trend mengalami penurunan dari tahun ketahun.

Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan pada waktu-waktu tertentu mengakibatkan konsentrasi ketersediaan di sentra-sentra produksi dan pada masa-masa panen. Pola konsumsi yang relatif sama antar-individu, antar- waktu, dan antar-daerah mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan distrubusi antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan stok akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi yang berpengaruh pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang tereflekasi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan kerawanan pangan.

Penduduk rawan pangan didefinisikan sebagai mereka yang rata-rata tingkat konsumsi energinya antara 7189 persen dari norma kecukupan energi. Sedangkan penduduk sangat rawan pangan hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70 persen dari kecukupan energi. Dengan menggunakan kriteria tersebut pada tahun 2005 terdapat sekitar 25 persen dari penduduk perkotaan yang rawan pangan dan sebesar 37,0 persen dari penduduk perdesaan yang mengalami rawan pangan. Di samping itu masih terdapat sekitar 2-4 persen rumah tangga yang sangat rawan pangan atau kelaparan. Mereka adalah rumah tangga miskin yang tingkat pengeluarannya tidak lebih dari Rp 150 ribu per bulan.

Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di relative masih tinggi masih tinggi. Tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan dan anak balita kurang gizi menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga. Gambar 2

Tingkat Konsumsi Energi Propinsi Jawa Timur

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2006 (diolah)

Hubungan tentang kerawanan pangan dengan tingkat pendapatan relatif cukup erat baik ditinjau dari kecukupan energi maupun kualitas pangan. Pada gambar berikut ditunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang maka akan menyebabkan rendahnya kecukupan energi maupun skor PPHnya seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3

Skor PPH Propinsi Jawa Timur

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur, 2006Bab 5PENYELESAIAN MASALAH KETAHANAN PANGAN

5.1. ROADMAP DIVERSIFIKASI PANGANPROPINSI JAWA TIMUR 2008

I. PENDAHULUAN1. Latar Belakang

Diversifikasi konsumsi pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas. Martianto (2005) menunjukkan bahwa manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan, dimana dapat dipenuhi melalui diversifikasi konsumsi pangan. Studi yang dilakukan oleh Hardinsyah (1996) menunjukkan bahwa diversifikasi pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai anti oksidan pangan, konsumsi serat dan menurunkan resiko hiperkolesterol, hipertensi dan penyakit jantung koroner. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Dalam aspek makro, peranan diversifikasi pangan dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional, serta dapat dijadikan instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Beberapa hasil kajian menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Studi yang dilakukan oleh Martianto dan Ariani (2004) menunjukkan bahwa walaupun ketersediaan pangan secara nasional sudah cukup, namun jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap propinsi masih tinggi yakni 18 %. Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Pada kondisi gizi buruk, penurunan produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari 10 persen dari potensi pendapatan seumur hidup; dan secara agregat menyebabkan kehilangan PDB antara 2-3 persen. Konferensi para ekonom di Copenhagen tahun 2005 (Konsensus Kopenhagen) menyatakan bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan ekonomi (economic returns) tinggi dan merupakan salah satu yang terbaik dari 17 alternatif investasi pembangunan lainnya.

Upaya diversifikasi walaupun sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian. Ariani dan Ashari (2003) menunjukkan bahwa konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100 persen kecuali untuk Maluku dan Papua (yang di