1
Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive Style Tipe
Reflective Terhadap Religious dan Secular Belief
Joevarian
Pembimbing:
Amarina Ashar Ariyanto
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor yang membentuk proses sekularisasi. Lebih
khusus lagi, faktor itu bersumber dari disposisi kognitif individu. Disposisi kognitif yang
dimaksud adalah cognitive style tipe reflective. Dalam studi ini, diduga cognitive style yang
reflective akan mempengaruhi religious belief dan secular belief. Hipotesis ini dituangkan dalam
dua studi. Studi pertama mencoba untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat religious belief
pada partisipan yang dimanipulasi untuk menyukai cognitive style tipe reflective dengan
partisipan yang dimanipulasi untuk tidak menyukai cognitive style tipe reflective. Partisipan
penelitian studi 1 berjumlah 56 orang mahasiswa Universitas Indonesia. Manipulasi antar
kelompok pada studi kedua sama seperti studi pertama, namun variabel terikat yang diukur
adalah secular belief. Partisipan penelitian studi 2 berjumlah 64 orang mahasiswa Psikologi
Universitas Indonesia. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh manipulasi
cognitive style tipe reflective terhadap religious belief, tetapi ada pengaruh terhadap secular
belief. Hasil ini kemudian didiskusikan sebagai perumusan hipotesis sekularisasi berdasarkan
pengaruh cognitive style tipe reflective.
Pendahuluan
Dalam studi-studi mengenai agama, isu sekularisasi merupakan topik yang cukup umum
dibahas pada berbagai rumpun pengetahuan. Norris dan Inglehart (2009) menyatakan bahwa
fenomena beragama di seluruh dunia dipengaruhi oleh proses sekularisasi. Di Eropa, mulai
muncul penolakan terhadap simbol-simbol keagamaan karena dianggap tidak mewakili prinsip
keanekaragaman (Higgins, 2013). Bahkan saat ini Eropa dinilai sebagai benua yang sangat
sekuler (Nelson, 2009). Di Malaysia, meskipun mayoritas penduduknya mendukung penerapan
hukum Syariah Islam dalam publik, namun pemerintah Malaysia tidak memberikan kewenangan
mutlak atas hukum Syariah di Malaysia karena adanya kepentingan untuk mengakomodasi
kalangan non-muslim dan sekuler (Hamayotsu, 2013). Ada juga kemunculan teori-teori dalam
ilmu pengetahuan yang oleh beberapa kelompok agama dianggap semakin memperlemah
kedudukan agama (Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania, 1991). Salah satu dari
klaim ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian publik belakangan ini datang dari teori
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
2
Richard Dawkins, seorang ahli biologi evolusionistik. Ia berpendapat bahwa kepercayaan agama
menghambat penalaran dan akal sehat manusia (Dawkins, 2008; King, 2012). Di Indonesia
sendiri proses sekularisasi dipahami sebagai fenomena yang ada, akan tetapi persebarannya
nampak tidak menyeluruh mengingat tingginya radikalisasi agama pada dekade terakhir
(Hamayotsu, 2013). Apalagi kehidupan masyarakat Indonesia nampak sangat dekat dengan
ideologi keagamaan (lihat situs web Kementerian Agama RI untuk daftar regulasi yang didasari
oleh pengaruh agama).
Apa sebenarnya yang disebut sebagai sekularisme? Seringkali istilah sekularisme
tumpang tindih dengan istilah-istilah seperti atheisme, liberalisme, humanisme, agnostisisme,
dan lain-lain. Namun, sebenarnya sekularisme memiliki konsep sendiri yang terpisah dari istilah-
istilah diatas. Taylor (dalam Nelson, 2009) menjelaskan komponen-komponen dari konsep
sekularisme, yaiitu: Menganggap bahwa tujuan-tujuan diluar pencapaian manusia atau belief
terkait hidup setelah mati dilihat sebagai irasional, tidak ilmiah, bias, atau fanatik. Kedua,
menolak terhadap anggapan bahwa dunia ini mengandung kekuatan supernatural, spiritual atau
moral. Ketiga, memandang alam semesta sebagai tidak berhubungan dengan subyek, dingin,
mengancam, dan tidak diciptakan oleh Tuhan dengan alasan yang suci; waktu tidak bergerak
menuju kesimpulan khusus (misalnya tidak ada yang disebut kiamat, hari pembalasan, atau
kehancuran dunia oleh tangan Tuhan). Keempat, menolak anggapan dimana manusia terikat pada
identitas dan dunia yang mengandung tujuan yang suci (misalnya manusia terikat dengan takdir
Ilahi). Kelima, menganggap bahwa rasio dan kekuasaan adalah nilai yang sangat penting untuk
mengontrol alam dan orang-orang agar tujuan manusia tercapai. Dan terakhir, menganggap
agama dan bidang-bidang yang berhubungan dengan publik seperti politik, ekonomi, atau etika
tidak bisa digabungkan.
Dalam studi-studi ilmiah mengenai sekularisme berkembang sebuah teori yang disebut
hipotesis sekularisasi (Nelson, 2009). Hipotesis sekularisasi menyatakan bahwa seiring dengan
kemajuan akal dan pengetahuan manusia, pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat akan
semakin berkurang dan bahkan menghilang. Dengan kata lain, melemahnya pengaruh agama
diikuti oleh pengaruh sekularisme yang semakin kuat. Hipotesis sekularisasi ini kemudian
dibantah oleh Norris dan Inglehart (2009). Dalam teori yang disebut cultural divide hypothesis
(Nelson, 2009), Norris dan Inglehart beranggapan bahwa fenomena sekularisasi bukan didasari
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
3
kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran manusia semata. Namun, sekularisasi
adalah proses yang dipengaruhi oleh kebutuhan akan rasa aman (need for security) dalam
kehidupan manusia. Kebutuhan akan rasa aman ini dicapai dengan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dalam hidup, seperti makanan, kesehatan, kebebasan (personal autonomy) dan lain-
lain. Implikasinya, seseorang yang telah terpenuhi kebutuhan akan rasa aman individualnya,
akan jauh lebih terhindar dari kematian (Nelson, 2009). Mereka juga tidak bergantung pada
kebutuhan-kebutuhan yang didapat dari keluarga, komunitas, atau agama. Orang-orang yang
kebutuhannya terpenuhi semacam ini ditemui di negara-negara maju. Sementara itu, orang-orang
yang masih merasa terancam atau memiliki need for security yang rendah ditemui di negara-
negara berkembang. Pada orang-orang yang masih membutuhkan need for security seperti ini,
peran keluarga, komunitas, dan masyarakat menjadi sangat penting untuk memastikan
kelangsungan hidup (karena kelompok memberikan rasa aman). Peran agama sendiri sama
seperti keluarga dan masyarakat, yaitu untuk memberikan rasa aman (Nelson, 2009; Daly, n.d.).
Dari situ bisa disimpulkan bahwa individu yang hidup di negara berkembang atau negara miskin
cenderung lebih beragama (atau menganut ideologi yang berhubungan dengan agama) daripada
individu di negara maju (Zuckerman, 2007; Nelson, 2009).
Teori Norris dan Inglehart (2009) bukanlah teori yang tak terbantahkan, terlihat dari
adanya kritik terhadap teori mereka. Pada negara-negara maju, seharusnya ditemukan religious
belief yang cenderung lebih rendah. Pada kenyataannya, klaim ini tidak bisa digeneralisasi.
Sebagai contoh, di Amerika, negara yang memiliki tingkat kemajuan yang tinggi di berbagai
bidang, prevalensi sekularisme masih terbilang rendah (Nelson, 2009; Norris & Inglehart, 2009).
Bahkan partisipasi keagaman di Amerika cenderung sangat tinggi. Meski Norris dan Inglehart
menyatakan bahwa anomali Amerika disebabkan proses sekularisasi yang belum sepenuhnya
seperti Eropa, tetapi anomali ini penting untuk melihat apakah teori Norris dan Inglehart (2009)
tersebut memang bisa digeneralisasi. Contoh lain adalah Brunei Darussalam, negara yang sudah
sangat makmur namun baru-baru ini menerapkan Syariah Islam (Khullar, 2014). Selain itu, pada
budaya-budaya dimana terdapat kemajuan teknologi dan penggunaan gadget yang tinggi,
masyarakat masih berpegang teguh pada kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supernatural
(Subbotsky & Quinteros, 2002). Dengan adanya perbedaan kultural semacam ini, apakah
memang bisa dikatakan bahwa sekularisasi berkembang karena terpenuhinya kebutuhan akan
rasa aman dari individu-individu? Apalagi temuan Norris dan Inglehart (2009), meski dengan
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
4
sangat baik memaparkan data komparatif, namun tidak memberikan data mengenai hubungan
kausal antara kebutuhan akan rasa aman dengan berkurangnya belief keagamaan.
Diduga, ada faktor lain yang berkontribusi terhadap berkurangnya belief keagamaan atau
religious belief. Faktor ini didasari oleh disposisi kognitif individu-individu yang menempati
suatu kelompok atau masyarakat. Bagaimana bisa dinyatakan demikian? Pennycook (2013),
yang melakukan tinjaauan terhaadap berbagai literatur mengenai peran disposisi kognitif
terhadap religious belief, menyatakan bahwa individu cenderung lebih menganut ideologi yang
sesuai dengan kapasitas kognitif yang dimilikinya. Berbeda dengan Norris & Inglehart (2009)
yang lebih menekankan kebutuhan rasa aman individu, Pennycook (2013) beranggapan bahwa
ideologi-ideologi sekuler menggunakan kapasitas kognitif individual yang lebih tinggi daripada
ideologi-ideologi agama. Kapasitas kognitif meliputi cognitive ability (seperti inteligensi atau
kemampuan kognitif umum) dan cognitive style. Sehingga, individu-individu yang memiliki
kapasitas kognitif lebih tinggi cenderung menganut ideologi non-religius dan ideologi agama
akan lebih dianut mereka dengan kapasitas kognitif yang lebih rendah. Berbagai temuan (dalam
Pennycook, 2013) menemukan bahwa individu yang tidak percaya agama memiliki
kecenderungan untuk melampaui proses kognitif yang intuitif. Artinya, mereka tidak hanya
mengandalkan intuisi tetapi juga mempertanyakan dan mengevaluasi intuisi yang muncul.
Sebaliknya, individu yang lebih percaya pada agama mengandalkan perasaan atau intuisi
mereka. Dua kecenderungan kognitif ini dikenal dengan istilah cognitive style.
Cognitive style dikategorisasi menjadi dua tipe, yaitu tipe intuitive dan tipe reflective
(Kozhevnikov, 2007). Cognitive style yang intuitive melibatkan penilaian kognitif individu yang
didasarkan oleh proses otomatis sementara cognitive style yang reflective melibatkan penilaian
kognitif individu yang didasarkan oleh evaluasi terhadap intuisi atau mempertanyakan kembali
intuisi (Shenhav, Rand, & Greene, 2011; Pennycook, 2013). Cognitive style juga menjadi faktor
yang mempengaruhi variabel-variabel terkait agama. Penelitian yang dilakukan oleh Shenhav,
Rand, dan Greene (2011) menemukan bahwa priming cognitive style mempengaruhi tinggi
rendahnya belief pada Tuhan (belief in God). Sementara penelitian Gervais dan Norenzayan
(2012) menemukan bahwa analytic thinking menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
religious disbelief (kurangnya belief pada agama). Dalam penelitiannya mereka menggunakan
manipulasi eksperimental untuk meningkatkan proses analitis dari partisipan. Proses analitis
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
5
merupakan indikasi dari secular belief yang tinggi, sehingga temuan mereka juga dapat diartikan
sebagai bukti bahwa cognitive style yang reflective dapat meningkatkan secular belief partisipan.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peneliti mempertanyakan apakah orang-orang yang
menggunakan cognitive style tipe reflective akan terpengaruh religious belief-nya? Ini adalah
masalah utama yang ingin dijawab dalam studi. Peneliti menduga bahwa ada faktor disposisi
kognitif (dalam hal ini cognitive style) yang mendasari berkurangnya religious belief (Weber,
1902; Weber, 1922, dalam Huber, 2005).
Disamping religious belief, peneliti juga ingin mengetahui pengaruh cognitive style tipe
reflective terhadap secular belief. Peneliti menduga bahwa pengkondisian cognitive style yang
reflective tidak hanya mengurangi religious belief, tetapi juga meningkatkan secular belief.
Asumsi tersebut didasari oleh rationale bahwa ideologi sekularisme merupakan ideologi yang
kontradiktif dengan ideologi yang berhubungan dengan agama (Hall, Koenig, & Meador, 2008).
Meski demikian, hasil ini nampaknya masih bisa diperdebatkan mengingat pada budaya-budaya
tertentu, orang-orang yang memiliki belief keagamaan juga memegang belief yang sekuler
(Zuckerman, 2009). Ada kemungkinan bahwa hubungan kedua variabel tersebut bukan
hubungan yang berbanding terbalik melainkan dua konstruk yang berbeda. Sesuai saran Hall,
Koenig, dan Meador (2008) juga, ada baiknya untuk mengukur kedua belief sebagai dua
konstruk berbeda. Alasan lain kenapa secular belief perlu digunakan adalah karena secular belief
adalah belief yang dikatakan lebih sesuai dengan individu-individu dengan cara berpikir yang
lebih analitik (Pennycook, Cheyne, Koehler, & Fugelsang, 2013) sehingga lebih sesuai dengan
cognitive style yang reflective. Sehingga cukup beralasan jika dinyatakan bahwa secular belief
akan meningkat seiring dengan terjadinya proses sekularisasi. Jika dinyatakan secara eksplisit,
pertanyaan penelitian untuk studi ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap religious belief?
2. Apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap secular belief?
Kedua pertanyaan penelitian menjadi fokus utama studi ini. Lebih jauh lagi, peneliti
mencoba untuk menjawab bahwa proses sekularisasi (yang direfleksikan dengan menurunnya
religious belief dan meningkatnya secular belief) terjadi karena adanya efek penggunaan
cognitive style yang reflective. Mendengar ini, mungkin muncul pertanyaan, apakah proses
sekularisasi bisa disimpulkan hanya dengan hasil penelitian yang dilakukan hanya satu kali?
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
6
Bukankah proses sekularisasi bisa jadi merupakan proses yang panjang? Disini, peneliti
mengusulkan bahwa proses sekularisasi adalah proses menurunnya religious belief dan
meningkatnya secular belief. Dalam temuan sebelumnya, cognitive style yang di-priming bisa
secara langsung mempengaruhi belief keagamaan. Jika satu kali pengkondisian cognitive style
(dalam konteks laboratorium) mampu secara langsung mempengaruhi belief keagamaan,
pengaruh yang lebih kuat akan terjadi saat ia dikondisikan berulang-ulang dalam konteks
sosiokultural. Budaya, dalam hal ini berpengaruh besar dalam mengkondisikan proses kognitif
dari masyarakat (Subbotsky & Quinteros, 2002).
Tinjauan Pustaka
Religious dan Secular Belief
Berdasarkan saran dari penelitian sebelumnya, Pehkonen dan Pietila (2003, pp. 2)
mengkonstruksi definisi belief sebagai:
“…his subjective, experience-based, often implicit knowledge and emotions on some
matter or state of art.”
Dalam Bahasa Indonesia, definisi tersebut dapat diartikan sebagai pengetahuan dan
perasaan individu mengenai suatu aspek atau keadaan dimana pengetahuan dan perasaan itu
bersifat subyektif, didasari oleh pengalaman, dan seringkali implisit. Belief itu sendiri biasanya
tidak dilepaskan dari sumber-sumber pengetahuan yang mana belief itu dianut atau diyakini.
Misalnya saja belief terhadap fenomena supernatural yang bersumber dari konsep-konsep agama
atau keyakinan masyarakat mengenai fenomena supernatural (Sveldhom, 2013). Sebetulnya
belief sendiri menggambarkan pengetahuan seseorang akan dunia (Nillson, 2013) sehingga,
dimana seseorang mendapat pengetahuan mengenai dunia adalah sumber-sumber dari belief.
Dikatakan dalam Nillson (2013) bahwa pengetahuan yang didapat bisa berasal dari obyek
(peralatan, komputer, pesawat, dan lain-lain) dan budaya (demokrasi, humanitas, sains, agama,
sekularisme, atau belief bahwa seseorang memliki karakteristik atau atribut tertentu).
Budaya (dengan segala manifestasinya) merupakan faktor cukup besar yang membentuk
proses kognitif, diantaranya belief. Bagaimana budaya bisa mempengaruhi belief yang berbeda-
beda seperti yang telah disebutkan diatas? Pada penelitian Subbotsky dan Quinteros (2002), saat
partisipan baik di Inggris maupun di Meksiko berada pada kondisi terancam atau berisiko (high
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
7
risk), belief mengenai hubungan kausal justru tidak berbeda. Partisipan, baik di Inggris ataupun
di Meksiko, menunjukkan rasa takutnya pada mantra sihir yang dibacakan oleh eksperimenter
saat dimunculkan situasi mengancam. Meski tidak lebih lanjut dibahas dalam penelitian, namun
situasi yang dianggap mengancam bagi seseorang sebetulnya melibatkan asosiasi stimulus yang
tidak menyenangkan masa lalu sesuai prinsip teori belajar (Domjan, 2010). Oleh karena itu,
pengalaman belajar manusia, dalam hal ini berperan besar untuk mengkondisikan belief yang
prevalen pada seseorang. Prinsip ini juga seharusnya berlaku tak terkecuali pada religious belief
dan secular belief (dua konstruk yang akan dibahas dalam penelitian ini).
Belief keagamaan, atau religious belief merupakan belief yang bersumber dari konsep-
konsep agama. Dalam penelitian yang dilakukan Mansour pada tahun 2008, religious belief
didefinisikan sebagai (Mansour, 2008, pp. 7):
“views, opinions, attitudes, and knowledge constructed by a person through interaction
with his/her socio-cultural context through his/her life history and interpreted as having their
origins in religion.”
Dalam Bahasa Indonesia, religious belief berarti pandangan, opini, sikap, dan
pengetahuan bersumber dari agama yang dikonstruksi oleh seseorang melalui interaksinya
dengan konteks sosiokultural sepanjang hidup. Pengukuran psikologis untuk religious belief
umumnya dilakukan secara eksplisit. Namun, Jong (2012) menekankan pentingnya mengukur
variabel ini secara implisit karena tingginya sensitivitas isu agama. Dikhawatirkan pengukuran
eksplisit menyebabkan kecenderungan seseorang untuk menjawab hanya sesuai norma sosial,
bukan karena kesesuaian dengan belief yang memang ia miliki. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini akan digunakan pengukuran yang lebih implisit untuk religious belief. Definisi religious
belief yang lebih implisit dicetuskan oleh Jonathan Jong (2012). Dalam penelitian yang
dilakukannya, religious belief adalah (2012, pp.113):
“the strength of cognitive associations between supernatural and existential concepts.”
Dalam definisi tersebut, semakin kuat seseorang mengasosiasikan atau menghubungkan
konsep-konsep agama dengan konsep-konsep keberadaan atau konsep eksistensial, maka
semakin tinggi pula religious belief seseorang. Misalnya saja seseorang yang menganggap bahwa
keberadaan Tuhan itu adalah suatu kepastian yang nyata, maka bisa dikatakan orang itu sangat
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
8
kuat dalam mengasosiasikan konsep agama dan eksistensial (Tuhan adalah konsep agama dan
anggapan bahwa sesuatu itu nyata adalah konsep eksistensial). Dengan kata lain, nyata atau
tidaknya entitas supernatural seperti Tuhan dianggap penting lewat definisi diatas. Konsep-
konsep keagamaan yang dikhususkan dalam penelitian ini adalah konsep agama-agama
Abrahamik (Islam dan Nasrani). Entitas supernatural lainnya dalam agama Abrahamik
diantaranya malaikat, setan, surga, neraka, dan lain-lain.
Sementara itu, secular belief adalah belief yang sumbernya adalah konsep-konsep dalam
sekularisme. Sebetulnya, cukup sulit menemukan definisi secular belief secara eksplisit. Namun
disini peneliti memiliki berbagai penelitian terkait yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
menyusun definisi secular belief. Peneliti mengkonstruksi definisi secular belief dalam
penelitian ini sesuai konsep-konsep dari secularism atau sekularisme/sekularisasi. Konsep-
konsep itu didapatkan dari Taylor (dalam Nelson, 2009). Peneliti juga mendefinisikan secular
belief sesuai definisi Pehkonen dan Pietila (2003).
No. Komponen Konsep untuk Secular Belief
1.
Tujuan-tujuan diluar pencapaian manusia atau belief terkait
hidup setelah mati dilihat sebagai irasional, tidak ilmiah, bias,
atau fanatik
2.
Penolakan terhadap anggapan bahwa dunia ini mengandung
kekuatan supernatural; menolak bahwa dunia dipengaruhi
oleh kekuatan spiritual atau moral.
3.
Alam semesta dipandang sebagai tidak berhubungan dengan
subyek, dingin, dan mengancam; tidak diciptakan oleh Tuhan
dengan alasan yang suci. Waktu dilihat sebagai tidak
bermakna; berkebalikan dengan waktu yang bergerak menuju
kesimpulan khusus.
4.
Penolakan terhadap konsep bahwa manusia terikat pada dunia
dimana dunia itu terkait tujuan yang suci; Manusia adalah
individu-individu dengan identitas yang terpisah dengan
orang lain.
5.
Anggapan bahwa rasio dan kekuasaan sebagai nilai yang
sangat penting, dengan tujuan aktif mengontrol alam dan
orang-orang demi mencapai tujuan manusia.
6. Agama dan bidang-bidang yang berhubungan dengan publik
seperti politik, ekonomi, atau etika tidak bisa digabungkan.
Tabel 1. Komponen Konsep untuk Secular Belief
Definisi belief, sebagaimana disebut sebelumnya, adalah pengetahuan dan perasaan
individu mengenai beberapa aspek dan keadaan dimana pengetahuan dan perasaan itu bersifat
subyektif, didasari oleh pengalaman, dan seringkali implisit (Pehkonen & Pietila, 2003).
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
9
Kemudian, karena Nillson (2013) menyatakan bahwa belief bisa bersumber dari berbagai sumber
di dunia (dimana ia bisa bersumber dari ideologi, filsafat atau budaya), sekularisme dengan
berbagai komponen-komponennya juga menjadi sumber dimana orang bisa memiliki
pengetahuan atau perasaan akan sekularisme. Bisa disimpulkan bahwa secular belief adalah
pengetahuan dan perasaan individu yang subyektif, berdasar pengalaman, dan seringkali implisit
dimana pengetahuan dan perasaan individu itu sendiri bersumber dari konsep-konsep dalam
sekularisme. Komponen-komponen konsep sekularisme berdasarkan penjelasan Taylor (dalam
Nelson, 2009) bisa dilihat dalam tabel 1.
Cognitive Style
Cognitie style melibatkan banyak konstruk yang berbeda-beda (Kozhevnikov, 2007).
Disini peneliti tidak akan membahas bagaimana dinamika seluruh konstruk itu. Peneliti langsung
mengkhususkan pada cognitive style yang dianggap relevan untuk studi-studi agama (Shenhav,
Rand, & Greene, 2011), yaitu cognitive style yang reflective dan intuitive. Martin (1998)
menyebutkan bahwa teori mengenai cognitive style yang intuitive dan reflective dikembangkan
berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan dari beberapa dekade. Meskipun ada
ketidaksepakatan di kalangan peneliti (Kozhevnikov, 2007), cognitive style sekarang ini bisa
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe intuitive dan tipe reflective (Shenhav, Rand, & Greene,
2011; Pennycook, 2013). Sumber lain menyebutkan tipe reflective dengan istilah systematic atau
analytic (Martin, 1998). Dengan pembedaan ini, Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp. 423)
menyebut bahwa cognitive style adalah:
“…the extent to which individuals form their judgments intuitively, as opposed to through
reflection.”
Artinya, cognitive style adalah seberapa besar individu membentuk penilaian mereka
secara intuitif, atau sebaliknya, secara reflektif. Artinya, ada taraf atau tingkatan dimana
seseorang lebih menggunakan penilaian reflektif versus intuitif. Studi ini mereplikasi manipulasi
eksperimental cognitive style seperti yang dilakukan Shenhav, Rand, dan Greene (2011).
Cognitive style tipe intuitive sendiri didefinisikan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp.
423):
“…judgments made with little effort based on automatic processes.”
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
10
Sementara tipe reflective didefinisikan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp. 423)
sebagai:
“…judgments in which the judge pauses to critically examine the dictates of her
intuition(s), thus allowing for the possibility of a less-intuitive or counterintuitive conclusion.”
Bisa disimpulkan bahwa sementara proses penilaian yang dilakukan oleh tipe intuitive
cenderung lebih otomatis, tipe reflective melakukan proses penilaian yang melampaui proses
otomatis itu, dengan mengevaluasi secara kritis proses yang otomatis. Meskipun relatif stabil,
kecenderungan Cognitive style individu bisa diubah atau dimanipulasi dengan kondisi tertentu
(Norenzayan & Gervais, 2012). Budaya dan faktor sosial adalah faktor yang berperan untuk
membentuk kecenderungan cognitive style intuitive atau reflective (Kozhevnikov, 2007;
Shenhav, Rand, & Greene, 2011).
Dalam melakukan eksperimen dengan metode priming cognitive style yang reflective,
Shenhav, Rand, dan Greene (2011) menginstruksikan partisipan untuk menuliskan pengalaman
mereka saat berpikir atau menalar secara cermat. Pada kondisi priming positif, pengalaman
berpikir reflektif yang ditulis partisipan memiliki akibat baik. Pada kondisi priming negatif,
pengalaman berpikir reflektif yang mereka tulis itu memiliki akibat buruk. Akibat baik dan buruk
ini juga dituliskan agar partisipan menyukai atau tidak menyukai proses kognitif yang reflective.
Proses Sekularisasi
Dalam bagian ini, peneliti merumuskan lebih dalam hipotesis sekularisasi yang dibentuk
oleh pengkondisian cognitive style. Secara umum, dinamika antara variabel yang digunakan
peneliti (cognitive style, religious belief, dan secular belief) bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, budaya menjadi faktor yang membentuk proses kognitif pada individu-individu pada
suatu masyarakat (Subbotsky & Quinterros, 2002). Proses kognitif yang terbentuk adalah berupa
cognitive style yang terkondisikan sesuai apa yang dinilai penting pada sosial dan budaya.
Budaya mengkondisikan cognitive style dengan proses asosiasi antara stimulus menyenangkan
dan tidak menyenangkan dengan proses cognitive style yang dilakukan individu (Shenhav, Rand,
& Greene, 2011). Proses asosiasi antar stimulus ini adalah proses yang terjadi secara alami
(Domjan, 2010), namun dapat berbeda-beda tergantung konteks sosial dan budaya. Dalam hal
ini, budaya yang menganggap penting atau positif ideologi sekularisme berbeda dengan budaya
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
11
yang menganggap penting atau positif ideologi keagamaan. Konsekuensinya, mereka yang
terkondisikan atau telah mengasosiasikan secara kuat proses kognitif yang mereka lakukan
dengan apa yang dinilai bermanfaat, berguna, atau menyenangkan pada konteks sosial budaya
beragama, akan lebih sering menggunakan proses kognitif itu. Ini dibuktikan dengan temuan
bahwa budaya yang beragama mempengaruhi kecenderungan kognitif individu yang intuitif
(Gervais, Willard, Norenzayan, & Heinrich, 2011).
Setelah memahami bahwa budaya bisa menjadi faktor yang mengkondisikan cognitive
style, proses selanjutnya adalah bagaimana cognitive style yang dikondisikan itu dapat
menyebabkan perubahan pada religious belief dan secular belief. Ideologi-ideologi sekuler
dalam berbagai sumber dinyatakan sebagai ideologi yang cenderung lebih kompleks dan
membutuhkan proses kognitif yang lebih analitis (Kanazawa, 2010; Pennycook, 2013).
Sebaliknya, ideologi keagamaan membutuhkan proses kognitif yang cenderung lebih
mengandalkan insting pertama, proses kognitif yang heuristik, atau pemikiran yang
mengandalkan intuisi (Shenhav, Rand, & Greene, 2011). Saat terjadi pengkondisian cognitive
style yang reflective dalam konteks sosial budaya, individu-individu dalam budaya itu menjadi
lebih menganggap bahwa mereka perlu atau harus menggunakan proses kognitif yang hati-hati,
analitis, dan cermat. Pengkondisian cognitive style itu selanjutnya mempengaruhi religious belief
dari individu dimana belief terkait agama tidak lagi dipandang sesuai karena belief keagamaan
dianggap tidak bisa mengakomodasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan saat seseorang
berpikir secara reflektif. Oleh karena itu peneliti menduga bahwa semakin tinggi secular belief
seseorang, maka semakin orang itu terkondisikan dengan cognitive style yang reflective.
Proses diatas merupakan proses terjadinya perubahan dimana mereka yang dikondisikan
dengan cognitive style yang reflective cenderung lebih sekuler daripada mereka yang tidak
dikondisikan demikian. Ini sebetulnya merefleksikan proses sekularisasi itu sendiri. Karena
terjadi peningkatan pada secular belief, maka sebaliknya akan terjadi penurunan pada religious
belief (yang ditandai dengan religious belief yang rendah pada mereka yang dikondisikan dengan
cognitive style yang reflective daripada mereka yang tidak dikondisikan). Model hipotesis ini
mengambil posisi yang berbeda dengan hipotesis sekularisasi dari Norris dan Inglehart (2009)
yang lebih mementingkan aspek kebutuhan akan rasa aman daripada faktor kognitif. Proses
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
12
sekularisasi sendiri diasosiasikan dengan berkurangnya religious belief (Weber, 1902 dan Weber
1922 dalam Huber, 2005).
Penelitian ini terbagi atas dua studi, yang masing-masing menjawab pertanyaan apakah
ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap religious belief (Studi 1) dan apakah ada
pengaruh cognitive style yang reflective terhadap secular belief (studi 2). Dua studi menjadi studi
yang terpisah karena peneliti mengelompokkan religious belief dan secular belief sebagai dua
konstruk berbeda.
Studi 1
Metode dan prosedur
Berdasarkan sifat penyelidikannya, studi ini tergolong dalam studi eksperimental
(Kumar, 2005). Artinya, penelitian ini menyelidiki hubungan sebab akibat antara satu variabel
dengan variabel lainnya. Sampel atau partisipan untuk studi 1 adalah 56 mahasiswa S1
Universitas Indonesia. Semua mahasiswa UI dapat menjadi partisipan untuk penelitian ini. Akan
tetapi, peneliti membatasi partisipan hanya pada mereka yang mengaku beragama Islam, Kristen
Protestan, dan Kristen Katolik. Ini dikarenakan konsep-konsep agama yang diukur dalam
pengukuran religious belief merupakan konsep-konsep yang ada pada agama-agama Abrahamik
(seperti konsep Malaikat, Iblis, Setan, Surga, Neraka). Selain itu, peneliti juga membatasi
partisipan dengan mengeluarkan mahasiswa S1 Fakultas Psikologi tahun kedua sampai non-
class. Pembatasan ini dilakukan karena muncul kekhawatiran bahwa mahasiswa Fakultas
Psikologi UI telah memahami metode priming dan berbagai bentuk pengukurannya dalam
eksperimen psikologi. Pemahaman ini dikhawatirkan akan membiaskan respon yang dikeluarkan
oleh partisipan. Teknik sampling untuk penelitian ini adalah convenient sampling dan snowball
sampling.
Peneliti menggunakan Single Target – Implicit Association Test (ST-IAT) untuk
mengukur variabel religious belief. Tahapan pelaksanaan untuk ST-IAT bersumber dari disertasi
Jonathan Jong pada 2012 silam. Terdapat 21 stimulus kata yang digunakan dalam IAT, dimana 7
kata mengilustrasikan konsep „nyata‟, 7 kata mengilustrasikan konsep „khayalan‟, dan 7 kata
mengilustrasikan konsep „agama‟. Alat ukur ini diberikan pada partisipan dengan perangkat
laptop menggunakan software DMDX 4.3.0.1. Oleh karena itu, peneliti menggunakan satu buah
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
13
laptop yang dioperasikan peneliti dibantu dengan tiga orang asisten penelitian atau confederate
secara berganti-gantian (satu partisipan oleh satu confederate). Prosedur administrasi ST-IAT
dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama, partisipan melakukan pengelompokkan terhadap apa
yang menjadi sinonim dari konsep “nyata” (n = 7) dan “khayalan” (n = 7) secepat dan seakurat
mungkin dengan menekan tombol A atau tombol L di komputer atau laptop. Setiap kata
diberikan sebanyak tiga kali dan diacak. Tahap pertama adalah tahap latihan untuk partisipan
sehingga tidak digunakan untuk analisis hasil penelitian. Tahap kedua, partisipan melakukan
pengelompokkan terhadap apa yang menjadi sinonim dari konsep “nyata” dan sinonim dari
konsep “khayalan”. Namun kali ini ditambah dengan konsep “agama” (n = 7). Konsep “nyata”
dan konsep “agama” dikelompokkan dalam tombol yang sama (tombol A), sementara konsep
“khayalan” dikelompokkan dalam tombol yang berbeda (tombol L). Setiap kata “nyata” dan kata
“agama” diberikan sebanyak tiga kali, sementara setiap kata „khayalan” diberikan sebanyak
enam kali. Kata yang diberikan diacak. Tahap terakhir, partisipan melakukan pengelompokkan
seperti tahap 2, tetapi konsep “agama” (n = 7) kali ini dikelompokkan dengan konsep
“khayalan”. Kata yng mengandung konsep “nyata” diberikan sebanyak enam kali sementara kata
yang mengandung konsep “agama” dan khayalan” diberikan masing-masing tiga kali.
Penempatan setiap kata diacak. Religious belief individu dihitung lewat formula:
Skor yang semakin positif dari hasil pengurangan merupakan indikasi religious belief
yang semakin tinggi (Jong, 2012). Artinya, partisipan lebih mengasosiasikan konsep „agama‟
dengan konsep „nyata‟ daripada dengan konsep „khayalan‟.
Ruangan eksperimen yang digunakan adalah ruang dengan luas 1.5 meter x 1.5 meter
yang terdiri atas meja, beberapa buah kursi, dan memiliki air conditioner. Akan tetapi, karena
ruangan sempat digunakan oleh pihak yang berwenang, maka untuk 10 orang partisipan
eksperimen dipindahkan ke ruang lain meski tidak dipindahkan jauh dari tempat semula.
Partisipan yang telah bersedia untuk mengikuti eksperimen dirandomisasi berdasarkan waktu
kedatangan partisipan untuk mengikuti penelitian. Peneliti memberikan nomor satu (partisipan
masuk ke kelompok eksperimen 1 atau kelompok priming cognitive style reflective yang positif)
atau dua (partisipan masuk ke kelompok eksperimen 2 atau kelompok priming cognitive style
reflective yang negatif) kepada setiap partisipan. Nomor yang diberikan berurutan, dimana
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
14
partisipan yang datang pertama diberikan nomor satu lalu yang datang kedua diberikan nomor
dua, lalu diikuti dengan nomor satu, dan begitu seterusnya. Setelah proses randomisasi,
partisipan diminta masuk ke dalam salah satu laboratorium eksperimen (KE1 atau KE2).
Untuk kelompok eksperimen 1 (KE1), partisipan diminta kesediannya untuk mengisi
informed consent. Setelah itu, partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang
menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan
tidak terburu-buru lalu berdampak baik. Setelah itu, partisipan diberikan instruksi untuk
melakukan pengisian ST-IAT yang mengukur religious belief. Setelah partisipan menyelesaikan
pengisan ST-IAT, partisipan diminta mengisi formulir cek manipulasi kelompok eksperimen 1.
Setelah itu, partisipan diberikan debriefing mengenai maksud dan tujuan dari penelitian. Lalu
partisipan diminta untuk meninggalkan ruang laboratorium KE1. Untuk kelompok eksperimen 2
(KE2) prosesnya sama seperti KE1 akan tetapi mereka diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat
yang menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses proses berpikir yang hati-hati,
cermat, dan tidak terburu-buru lalu menghasilkan hasil yang buruk. Selain itu, partisipan
diberikan form cek manipulasi untuk kelompok eksperimen 2. Setiap partisipan diberikan reward
berupa voucher makan.
Hasil dan Analisis
Partisipan untuk kelompok eksperimen 1 terdiri dari 10 orang laki-laki (35.7%) dan 18
orang perempuan (64.3%) sementara untuk kelompok eksperimen 2 terdiri dari 11 orang laki-
laki (39.3%) dan 17 orang perempuan (60.7%). Sementara lebih dari 50% partisipan beragama
Islam dimana pada kelompok yang diberi priming positif (kelompok eksperimen 1) berjumlah 22
orang (78.6%) sementara pada kelompok yang diberi priming negatif (kelompok eksperimen 2)
berjumlah 18 orang (64.3%). Sisanya beragama Protestan (7.1% untuk kelompok eksperimen 1
dan 10.7% untuk kelompok eksperimen 2) dan Katolik (14.3% untuk kelompok eksperimen 1
dan 25.0% untuk kelompok eksperimen 2).
Peneliti melakukan proses cek manipulasi, dimana peneliti mengeluarkan 1 orang pada
kelompok priming positif dan 5 orang pada kelompok priming negatif dari total partisipan.
Partisipan itu dianggap tidak bisa dianalisis lebih lanjut (dikhawatirkan priming tidak
memberikan efek sebagaimana diharapkan). Setelah mengeluarkan 6 orang tersebut, peneliti
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
15
melakukan perhitungan skor latensi waktu individual (sesuai rumus religious belief = M tahap 3
– M tahap 2). Setelah itu, dilakukan analisis tendensi sentral (mean) kelompok eksperimen 1 dan
kelompok eksperimen 2. Lalu peneliti melakukan pengukuran independent measure t-test untuk
ST-IAT menggunakan SPSS. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan
priming positif (M = -62.12, SD = 74.95) tidak memiliki skor yang lebih rendah secara
signifikan dibandingkan kelompok yang diberikan priming negatif (M = -42.91, SD = 77.84)
dimana t(48) = -.887, p > .05. Ingat bahwa semakin tinggi (semakin positif) skor ST-IAT,
semakin partisipan mengasosiasikan konsep agama dengan konsep bahwa sesuatu itu nyata.
Diskusi
Pertanyaan penelitian studi 1 adalah: apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective
terhadap religious belief? Berdasarkan hasil uji hipotesis, ditemukan bahwa tidak ada pengaruh
cognitive style yang reflective terhadap religious belief. Baik mereka yang dimanipulasi untuk
menyukai cara berpikir reflektif ataupun yang dimanipulasi untuk tidak menyukai cara berpikir
reflektif ternyata tidak memiliki tingkat religious belief yang berbeda. Hasil penelitian untuk
studi pertama menunjukkan inkonsistensi dengan temuan sebelumnya. Temuan ini unik,
mengingat studi oleh Pennycook (2013) menyimpulkan bahwa temuan eksperimental memiliki
hasil yang tidak sama baik secara eksperimental maupun korelasional.
Pada beragam studi korelasional sebelumnya, cognitive style yang reflective berkorelasi
dengan rendahnya belief keagamaan dari partisipan penelitian (Shenhav, Rand, & Greene, 2011;
Pennycook, Cheyne, Barr, Koehler, & Fugelsang, 2013). Dalam penelitian sebelumnya,
manipulasi proses kognitif (cognitive style) yang reflective (untuk temuan Shenhav, Rand, &
Greene, 2011) dan analitik (untuk temuan Gervais & Norenzayan, 2012) berhasil mempengaruhi
belief keagamaan. Partisipan yang diberikan manipulasi demikian, menunjukkan belief
keagamaan yang lebih tinggi daripada yang dimanipulasi kelompok kontrol atau kelompok yang
diberikan manipulasi cognitive style yang intuitif. Oleh karena itu, hasil temuan ini memberikan
pemahaman bahwa pengkondisian cognitive style yang reflective tidak selalu memberikan
pengaruh terhadap religious belief partisipan. Mengapa demikian? Sulit untuk menemukan
jawaban dari pertanyaan ini karena temuan-temuan sebelumnya menyatakan hasil sebaliknya.
Akan tetapi, ada argumen yang bisa dijadikan landasan atas dipertahankannya hasil studi ini.
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
16
Inkonsistensi hasil temuan bisa jadi disebabkan oleh perbedaan cara pengukuran
konstruk. Pada dua temuan eksperimental sebelumnya oleh Shenhav dkk. (2011) dan Gervais
dan Norenzayan (2012), religious belief adalah konstruk dimana partisipan menyatakan secara
eksplisit tingkat belief mereka dalam konsep-konsep ketuhanan dan agama melalui self-report
atau kuesioner. Pada studi kali ini, peneliti bergerak lebih jauh dengan melihat religious belief
lewat pengambilan data yang implisit menggunakan Single Target – Implicit Association Test
(ST-IAT). Melalui pengambilan data implisit ini, peneliti ingin melihat kekuatan asosiasi antara
konsep agama dengan konsep eksistensial (Jong, 2012). Latensi waktu menjadi acuan dari kuat
atau lemahnya asosiasi itu. Ditemukan sebelumnya bahwa ST-IAT menunjukkan sensitivitasnya
pada manipulasi eksperimental (Jong, 2012). Dimungkinkan. religious belief yang diukur dengan
pengukuran implisit memberikan landasan yang lebih bisa diterima. Ini disebabkan
berkurangnya respon normatif (social desirability) dari partisipan terhadap pengukuran sehingga
respon pada ST-IAT lebih menggambarkan respon partisipan yang sebenarnya alih-alih self-
report dengan indikasi social desirability yang tinggi (Jong, 2012).
Inkonsistensi hasil penelitian ini memiliki implikasi teoretis. Implikasi teoretisnya adalah
bahwa cara berpikir reflektif tidak serta merta memberikan efek terhadap religious belief. Oleh
karena itu, mereka yang menganggap penting cara berpikir reflektif belum tentu akan
mengevaluasi, mengkritisi, atau membantah konsep-konsep dalam agama, sebagaimana diyakini
temuan-temuan sebelumnya. Dengan kata lain, patut dipertanyakan apakah memang belief
terhadap ideologi agama memang akan menghilang seiring berkembangnya cara berpikir
reflektif.
Studi 2
Metode Penelitian
Desain studi 2 secara umum sama seperti studi 1, akan tetapi yang berubah adalah
metode penelitian dari yang sebelumnya bersifat eksperimental menjadi bersifat kuasi
eksperimental. Pada studi 2 ini peneliti menggunakan skala secular belief dalam bentuk hard
copy untuk mengukur secular belief dari partisipan yang sebelumnya telah diuji coba untuk
dihitung aspek-aspek psikometriknya (reliabilitas 0.979 dan validitas konstruk 0.839). Sampel
atau partisipan untuk studi 2 adalah 64 mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
17
(UI). Tidak seperti studi 1, peneliti tidak membatasi partisipan pada studi 2 hanya untuk mereka
yang menganut agama-agama Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik saja. Karena skala
secular belief yang digunakan disusun tidak untuk agama-agama secara khusus, maka latar
belakang keagamaan bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan.
Peneliti mendatangi kelas-kelas perkuliahan, diantaranya kelas perkuliahan di Fakultas
Psikologi. Terdapat tiga kelas yang didatangi peneliti. Kelas yang digunakan untuk kelompok
eksperimen 1 (diberi priming cognitive style reflective yang positif) berjumlah 32 orang
sementara kelas yang digunakan untuk kelompok eksperimen 2 (diberi priming cognitive style
reflective yang negatif) berjumlah 50 orang yang terdiri dari dua kelas (kelas 1 memiliki 21
partisipan sementara kelas 2 memiliki 29 partisipan). Peneliti masuk ke setiap kelas bersama satu
orang pemberi instruksi eksperimen. Sebelum penelitian dimulai, pemberi instruksi meminta
partisipan agar duduk tidak terlalu dekat satu sama lain.
Untuk kelompok eksperimen 1 (KE1), partisipan diminta kesediannya untuk mengisi
informed consent. Setelah itu, partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang
menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan
tidak terburu-buru lalu berdampak baik. Setelah itu, partisipan diberikan instruksi untuk
melakukan pengisian skala secular belief. Kemudian partisipan diminta mengisi formulir cek
manipulasi kelompok eksperimen 1. Setelah itu, partisipan diberikan debriefing mengenai
maksud dan tujuan dari penelitian. Lalu partisipan diminta untuk meninggalkan ruang kelas
untuk KE1. Untuk kelompok eksperimen 2 (KE2) prosedurnya sama dengan KE 1. Kecuali, pada
KE2 partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang menceritakan kejadian dimana
mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan tidak terburu-buru lalu
menghasilkan hasil yang buruk. Selain itu yang berbeda dari KE1 adalah partisipan diminta
mengisi kuesioner cek manipulasi kelompok eksperimen 2. Setiap partisipan diberikan reward
berupa ballpoint.
Hasil dan Analisis
Dalam studi ini partisipan berjenis kelamin laki-laki berjumlah 9 orang sementara
partisipan berjenis kelamin perempuan berjumlah 55 orang. Baik kelompok eksperimen 1
maupun kelompok eksperimen 2 sama-sama memiliki partisipan perempuan dengan angka diatas
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
18
80% (mayoritas partisipan adalah perempuan). Peneliti kemudian melakukan uji hipotesis setelah
mengeluarkan 3 orang dari kelompok priming negatif (menggunakan cek manipulasi seperti
studi 1). Sebelumnya, dihitung terlebih dahulu skor rata-rata (mean) kelompok eksperimen 1 dan
kelompok eksperimen 2. Uji hipotesis yang digunakan adalah independent measure t-test untuk
melihat perbedaan mean (M) antar kelompok. Hasil uji hipotesis one-tailed menunjukkan bahwa
t-score berada pada critical region (t(59) = 2.180, p < .05). Artinya, partisipan yang diberikan
priming positif (M = 22.34, SD = 5.65) memiliki secular belief yang lebih tinggi secara
signifikan daripada partisipan yang diberikan priming negatif (M = 19.86, SD = 2.47). Artinya,
partisipan yang berpikir secara reflektif cenderung meningkat secular belief-nya.
Diskusi
Pertanyaan penelitian studi 2 adalah: apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective
terhadap secular belief? Berdasarkan hasil uji hipotesis, ditemukan bahwa ada pengaruh
cognitive style yang reflective terhadap secular belief. Berbeda dengan studi 1, pada studi 2
peneliti berhasil mempertahankan hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh
pengkondisian cognitive style yang reflective terhadap secular belief. Partisipan yang diberikan
priming cognitive style reflective yang positif menunjukkan secular belief yang lebih tinggi
daripada partisipan yang diberikan priming cognitive style reflective yang negatif. Artinya, saat
partisipan dikondisikan untuk berpikir bahwa cara berpikir reflective itu baik, skor secular belief
pada Skala Secular Belief yang didapat itu justru lebih tinggi. Sesuai hipotesis, temuan kali ini
memang seharusnya sejalan dengan temuan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011). Partisipan
yang diberikan priming cognitive style reflective yang positif cenderung memiliki religious belief
yang rendah. Meski temuan ini sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, temuan ini tidak
konsisten dengan temuan pada studi 1. Inkonsistensi ini akan dijawab pada bagian diskusi
umum. Pada bagian ini hanya akan dijelaskan mengapa bisa diperoleh temuan seperti pada studi
2.
Penjelasan yang sudah banyak dikonfirmasi adalah bahwa mereka yang memiliki secular
belief akan cenderung lebih analitis dalam memproses informasi. Dalam penelitian oleh
Pennycook, Cheyne, Koehler, dan Fugelsang (2013), ditemukan bahwa orang-orang beragama
cenderung lebih banyak membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah logika daripada
orang-orang yang skeptis pada agama. Tidak hanya itu, orang beragama cenderung lebih cepat
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
19
menjawab masalah logika daripada orang-orang skeptis. Perbedaan respon waktu ini
menunjukkan cognitive style yang lebih analitik atau reflective. Proses yang lebih lama itu adalah
proses pemecahan masalah yang evaluatif, kritis, dan membantah intuisi. Proses analitis ini
membuat klaim-klaim atau konsep-konsep sekularisme dianggap lebih sesuai oleh partisipan
penelitian.
Argumen lain yang menarik untuk dibahas adalah bahwa temuan juga ikut membuktikan
bahwa partisipasi seseorang dalam pendidikan tinggi membuat seseorang lebih sekuler
(Zuckerman, 2009). Partisipasi dalam pendidikan tinggi melibatkan pembiasaan dalam cara
berpikir reflektif (Bassey, Umoren, & Udida, 2007). Dikatakan oleh Zuckerman (2009) bahwa
partisipasi dalam perguruan tinggi dan kepemilikan orientasi di bidang intelektual dapat
memprediksi apakah individu akan meninggalkan belief keagamaan atau tidak. Individu yang
berpartisipasi dalam perguruan tinggi dan memiliki orientasi intelektual, cenderung lebih
mungkin meninggalkan keyakinan dalam beragama (Zuckerman, 2009). Ingat bahwa partisipasi
dalam pendidikan tinggi melibatkan penguasaan ilmu pengetahuan atau sains dimana performa
sains itu sendiri sering melibatkan proses kognitif yang cenderung analitik dalam menyelesaikan
masalah (Bassey, Umoren, & Udida, 2007). Mungkin inilah alasan mengapa saintis cenderung
memiliki belief keagamaan yang rendah, menjadi atheis, atau sekuler daripada populasi umum
(Larson & Witham, 1998).
Diskusi Umum
Temuan pada studi 1 dan studi 2 berdampak pada perumusan model hipotesis sekularisasi
yang sebelumnya dirumuskan peneliti. Sebelumnya, peneliti merumuskan bahwa proses
sekularisasi yang terjadi sebetulnya adalah proses dimana pengkondisian cognitive style
reflective adalah faktor yang membentuk proses sekularisasi. Untuk membuktikan perumusan
ini, peneliti melakukan dua studi yang mencoba menjawab hipotesis bahwa pengkondisian
cognitive style reflective meningkatkan religious belief dan menurunkan secular belief.
Peningkatan dan penurunan ini dilihat dari apakah ada perbedaan mean skor pada partisipan
yang diberikan priming cognitive style reflective positif dan negatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hipotesis diatas terbukti hanya pada studi 2. Pada studi 1, peneliti tidak
menemukan perbedaan antar kelompok eksperimental.
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
20
Bagaimana implikasi temuan ini terhadap perumusan proses sekularisasi yang disusun
sebelumnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disini peneliti terlebih dulu membantah
penelitian oleh Hall, Koenig, dan Meador (2008) yang menyatakan bahwa pengukuran
sekularisme adalah reverse scoring atau kebalikan dari pengukuran keagamaan atau religiusitas.
Pada hipotesis awal penelitian, temuan Hall dkk. digunakan sebagai landasan untuk menyatakan
bahwa pengkondisian cara berpikir reflektif menurunkan religious belief dan meningkatkan
secular belief. Melalui klaim Hall dkk., religious belief adalah konstruk yang unidimensional
dimana pada kutub satu terdapat religious belief ekstrem dan kutub lainnya terdapat secular
belief yang ekstrim. Sehingga, religious belief dan secular belief dapat dikatakan unidimensional.
Akan tetapi, meski digunakan sebagai dasar hipotesa, peneliti memisahkan religious belief dan
secular belief sebagai dua konstruk terpisah. Pengukuran secular belief dianggap pengukuran
yang lebih universal sementara pengukuran religious belief adalah pengukuran yang lebih
spesifik (setiap agama memiliki konsep yang berbeda-beda). Perlakuan ini dapat mengeksplorasi
seperti apa hubungan kedua variabel.
Hasil temuan studi 1 dan studi 2 tidak menunjukkan arah yang sesuai dengan klaim
unidimensional. Saat cognitive style dikondisikan, secular belief memang mengalami
peningkatan akan tetapi religious belief tidak terpengaruh. Berdasarkan temuan ini, peneliti
menyatakan bahwa secular belief adalah belief yang berbeda dengan religious belief. Hubungan
keduanya bukan sebagai konstruk unidimensional, melainkan dua konstruk yang berdiri sendiri-
sendiri. Oleh karena itu, disini peneliti berargumen bahwa hipotesis awal penelitian ternyata
terbantahkan. Namun, bukan berarti keseluruhan hipotesis ini gagal merumuskan proses
sekularisasi, melainkan harus dilakukan revisi terhadap hipotesis sekularisasi itu sendiri.
Dalam bantahan yang akan dijelaskan, seseorang bisa saja memiliki religious belief tinggi
dan juga secular belief yang tinggi. Pernyataan ini bukannya tanpa bukti. Ini didukung dengan
pernyataan Zuckerman (2009) yang menyatakan bahwa pada daerah-daerah tertentu di Asia,
seseorang bisa menjadi religius sekaligus juga memegang atheisme. Ada juga temuan bahwa
jutaan orang mengidentifikasi diri dalam keyakinan agama tertentu, namun tanpa meyakini
konten-konten dalam agama itu (Zuckerman, 2009). Artinya, konsep-konsep agama diyakini
kebenarannya oleh individu tanpa individu itu memahami konten-konten ajaran atau konsep-
konsep keagamaan yang ada. Sehingga, pengaruh budaya bisa saja menciptakan proses
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
21
sekularisasi tanpa mempengaruhi belief keagamaan karena konten-konten agama, meski diyakini
namun tidak dipahami orang-orang. Belief dengan konten kontradiktif belum tentu juga diyakini
seseorang sebagai kontradiktif. Subbotsky dan Quinteros (2002) juga menyatakan bahwa dalam
kebudayaan dimana kekuatan sains dan teknologi sangat prevalen, belief terkait kekuatan
supernatural tidak menghilang dalam kebudayaan. Dengan kata lain, meski sains dan teknologi
masuk dalam suatu kebudayaan, ia hanya akan membentuk belief yang superfisial. Secara
intuitif, masyarakat yang sudah dipengaruhi pemikiran bahwa sains mampu menjelaskan
fenomena tetap saja memegang belief bahwa kekuatan supernatural mampu menyebabkan
fenomena.
Dengan menolak klaim Hall, Koenig, dan Meador (2008) diatas, peneliti menghilangkan
variabel religious belief sebagai variabel yang dipengaruhi oleh pengkondisian cognitive style
yang reflective. Oleh karena itu, peneliti merevisi model hipotesis mengenai proses sekularisasi.
Pengkondisian cognitive style yang reflective adalah faktor yang menentukan terjadinya proses
sekularisasi. Berbeda dengan hipotesis sebelumnya dimana sekularisasi ditandai dengan
menurunnya religious belief dan meningkatnya secular belief, revisi model ini menyatakan
bahwa sekularisasi ditandai dengan meningkatnya secular belief saja. Terdapat bukti-bukti yang
mendukung bahwa religious belief tidak serta merta berkurang karena terjadinya proses
sekularisasi (Subbotsky & Quinteros, 2002; Nelson, 2009; Zuckerman, 2009).
Bagan 1. Revisi model sekularisasi berdasarkan pengaruh Cognitive Style yang Reflective
Temuan ini sekaligus membantah bahwa faktor penyebab sekularisasi tidak hanya seperti
yang dinyatakan dalam Norris dan Inglehart (2009). Mereka menjelaskan bahwa kebutuhan akan
rasa aman (need for security) adalah faktor penting yang menentukan terjadinya sekularisasi.
Namun, meski data yang dihimpun olehnya adalah data dari puluhan negara yang bisa
dipertanggungjawabkan, tetap saja temuan Norris dan Inglehart (2009) adalah temuan
komparatif. Temuan itu tidak bisa menjelaskan apakah memang kebutuhan akan rasa aman
Individu
menggunakan
Cognitive Style yang
Reflective
Terjadi proses
sekularisasi
Berpengaruh
terhadap
meningkatnya
Secular Belief
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
22
adalah penyebab dari berkurangnya pengaruh belief keagamaan. Bisa saja keduanya merupakan
efek dari sebuah variabel atau fenomena lainnya.
Kesimpulan
Temuan pada studi kali ini bersifat eksperimental dengan menyelidiki hubungan kausal
antar variabel. Sehingga, dapat diketahui bahwa memang faktor cognitive style yang reflective
itulah yang menyebabkan peningkatan atau mempengaruhi secular belief. Meski demikian,
religious belief seseorang tidak terpengaruh. Lebih jauh lagi, peneliti sekaligus menjawab
pertanyaan apakah proses sekularisasi bisa terjadi dengan cognitive style tipe reflective.
Sekularisasi memang merupakan faktor yang bisa diakibatkan penggunaan cognitive style tipe
reflective dari individu-individu dalam suatu masyarakat.
Saran
Peneliti memahami bahwa penelitian ini, masih memiliki banyak limitasi. Oleh karena
itu, pada penelian selanjutnya, diharapkan segala kekurangan penelitian ini akan diperbaiki.
Adapun arahan untuk penelitian lanjutan diantaranya: Pertema, perlu dilakukan pengujian
reliabilitas dan validitas terhadap alat ukur Single Target – Implicit Association Test (ST-IAT)
apabila pengukuran implisit religious belief digunakan dalam penelitian selanjutnya, khususnya
untuk versi adaptasi dalam bahasa Indonesia. Kedua, perlu dilakukan perbandingan hasil
penelitian dengan variabel religious belief antara pengukuran eksplisit (self-report) dan
pengukuran implisit (ST-IAT). Perbedaan hasil akan menambah pemahaman mengenai seperti
apa hubungan religious belief dengan secular belief (apakah unidimensional ataukah merupakan
konstruk berbeda). Ketiga, perlu dilakukan penelitian yang bersifat eksploratori untuk
memahami bagaimana interaksi variabel-variabel budaya dengan cognitive style agar
pemahaman mengenai pengkondisian cognitive style dapat dihubungkan dengan peran budaya
pada masyarakat setempat. Keempat, perlu dilakukan penelitian komparatif mengenai gambaran
cognitive style dari budaya yang berbeda-beda. Dikatakan sebelumnya bahwa budaya berbeda
memiliki ciri cognitive style yang berbeda pula. Sebagai contoh, orang-orang dalam budaya
beragama cenderung memiliki proses kognitif yang intuitif (Weber, 1902 dan Weber, 1922
dalam Huber, 2005). Pemahaman terhadap hal tersebut akan mempertajam model sekularisasi
yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Kelima, perlu dilakukan penelitian yang
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
23
membandingkan peran kebutuhan akan rasa aman (need for security) dan faktor pengkondisian
cognitive style dalam meningkatkan secular belief. Penelitian ini akan membuktikan apakah
kebutuhan akan rasa aman bisa menjadi faktor yang juga menjadi variabel yang mempengaruhi
proses sekularisasi.
Daftar Pustaka
Bassey, S.W., Umoren, G., Udida, L.A. (2007). Cognitive styles, secondary school students’
attitude and academic performance in chemistry in Akwa Ibom state – Nigeria.
Dipresentasikan dalam konferensi epiSTEME-2: International conference to review
research in Science, Technology and Mathematics Education.
Daly, L. (n.d.). Reviews: Sacred and secular: Religion and politics worldwide,2004 books of
Pippa Norris and Ronald Inglehart. University of Maryland.
Dawkins, R. (2008). The god delusion. USA: Houghton Mifflin Harcourt.
Domjan, M. (2010). The principles of learning and behavior, 7th
Edition. USA: Cengage
Learning.
Gervais, W. M., & Norenzayan, A. (2012). Analytic thinking promotes religious disbelief.
Science, 336, 493–496.
Gervais, W. M., Willard, A., Norenzayan, A., & Henrich, J. (2011). The cultural transmission of
faith: Why natural intuitions and memory biases are necessary, but insufficient, to explain
religious belief. Religion, 41(3), 389-410.
Hamayotsu, K. (2013). Once a muslim, always a muslim: The politics of state enforcement of
Syariah in contemporary Malaysia. South East Asia Research, 20, 3, pp.. 399-421. doi:
10.5367/sear.2012.0114.
Hamayotsu, K. (2013). The limits of civil society in democratic Indonesia: Media freedom and
religious intolerance. Journal of Contemporary Asia. doi: 10.1080/00472336.2013.780471.
Hall, D.E., Koenig, H.G., & Meador, K.G. (2008). Hitting the target: Why existing measures of
“religiousness” are really reverse-scored measures of “secularism”. Elsevier, 4, 368-373.
Higgins, A. (2013). A more secular Europe, divided by the cross. Diunduh dari website resmi
NY Times pada 25/2/2014 pukul 15:57 WIB dengan URL:
mobile.nytimes.com/2013/06/18/world/Europe/a-more-secular-europe-divided-by-the-
cross.html.
Huber, J.D. (2005). Religious belief, religious participation, and social policy attitudes across
countries. Dipresentasikan dalam Annual Meetings of the Midwest Political Science
Association, Chicago, II.
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
24
Jong, J. (2012). Implicit measures in the experimental psychology of religion. A New Science of
Religion. Diunduh dari website Temple of Earth Publishing pada 12/10/2013 pukul 09:43
dengan URL: https://oxford.academia.edu/JonathanJong/Papers.
Jong, J. (2012). Scaring the bejesus into people: The effects of mortality salience on explicit and
implicit religious belief (Thesis, Doctor of Philosophy). University of Otago. Diunduh pada
4/1/2014 pukul 10:01 dengan URL: http://hdl.handle.net/10523/2124.
Kanazawa, S. (2010). Why liberals and atheists are more intelligent. Social Psychology
Quarterly, 73(1), pp. 33–57. doi: 10.1177/0190272510361602.
Khullar, A. (2014). Brunei adopts sharia law amid international outcry. Diunduh pada 18 Juni
2014 pukul 11: 12 dari URL: http://edition.cnn.com/2014/05/01/world/asia/brunei-sharia-
law/
King, B.J. (2012). Interview: Richard dawkins celebrates reason, ridicules faith. Diunduh dari
website resmi National Public Radio pada 26/2/2014 pukul 11:37 WIB dengan URL:
www.npr.org/blogs/13.7/2012/03/26/149310560/atheist-firebrand-richard-dawkins-
unrepentant-for-harsh-words-targeting-faith.
King, D.B., Viney, W., & Woody, W.D. (2009). A history of psychology: Ideas and context, 4th
Ed. Boston, MA: Pearson.
Kozhevnikov, M. (2007). Cognitive styles in the context of modern psychology: Toward an
integrated framework of cognitive style. Psychological Bulletin, 133, 3, 464–481. doi:
10.1037/0033-2909.133.3.464.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginner, 2nd
Ed. United
Kingdom: Sage Publications.
Larson, E.J., & Witham, L. (1998) Leading scientists still reject God. Nature 394, 313–314.
Martin, L.P. (1998). The cognitive-style inventory. The Pfeiffer Library, 8, 2nd
Ed. Jossey-
Bass/Pfeiffer.
Mansour, N. (2008). The experiences and personal religious beliefs of egyptian science teachers
as a framework for understanding the shaping and reshaping of their beliefs and practices
about science-technology-society (STS), International Journal of Science Education,
30(12), 1605-1634.
Nelson, J.M. (2009). Psychology, religion, and spirituality. USA: Springer.
Nillson, N.J. (2013). Understanding beliefs. USA: Stanford University AI Lab.
Norris, P., & Inglehart, R. (2009). Sekularisasi ditinjau kembali: Agama dan politik di dunia
dewsa ini. Indonesia: Pustaka Alvabet.
Pehkonen, E., & Pietilä, A. (2003). On relationships between beliefs and knowledge in
mathematics education. Makalah yang dipresentasikan dalam CERME 3: Third conference
of the European society for research in mathematics education, Bellaria, Italy.
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014
25
Pennycook, G. (2013). Evidence that analytic cognitive style influences religious belief:
Comment on Razmyar and Reeve. Intelligence, 43, 21–26
Pennycook, G., Cheyne, J. A., Barr, N., Koehler, D. J., & Fugelsang, J. A. (2013). Cognitive
style and religiosity: The role of conflict detection. Mem Cogn. doi:10.3758/s13421-013-
0340-7.
Pennycook, G., Cheyne, J. A., Koehler, D. J., & Fugelsang, J. A. (2013). Belief bias during
reasoning among religious believers and skeptics. Psychonomic Bulletin and Review, 20,
pp. 806–811.
Portal Kementerian Agama Republik Indonesia. (n.d.). Sejarah kementerian agama. Diunduh
dari website resmi Kementerian Agama RI pada 21/2/2014 pukul 12:48 WIB dengan URL:
http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12432&t=181.
Portal Kementerian Agama Republik Indonesia. (n.d.). Undang-undang. Diunduh dari website
resmi Kementerian Agama RI pada 21/2/2014 pukul 12:48 WIB dengan URL:
http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12446&t=183.
Shenhav, A., Rand, D.G., & Greene, J.D. (2011). Divine intuition: Cognitive style influences
belief in God. Journal of Experimental Psychology 141 (3), 423–428. DOI:
10.1037/a0025391.
Subbotsky, E., & Quinteros, G. (2002). Do cultural factors affect causal beliefs? Rational and
magical thinking in Britain and Mexico. British Journal of Psychology, 93, pp. 519–543.
Sveldhom, A. (2013). The cognitive basis of paranormal, superstitious, magical, and
supernatural beliefs: The roles of core knowledge, intuitive and reflective thinking, and
cognitive inhibition. University of Helsinki: Disertasi Akademis.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Belknap.
Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania. (1991). Pencarian manusia akan Allah.
Diterbitkan oleh Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania.
Yusuf, C.F. (2000). Peran agama dalam masyarakat: Studi awal proses sekularisasi pada
masyarakat muslim kelas menengah di kecamatan bekasi selatan kota madya bekasi jawa
barat. Universitas Indonesia: Tesis.
Zuckerman, P. (2007). Atheism: Contemporary rates and patterns. Cambridge Companion to
Atheism. Diunduh dari website resmi Pitzer College pada 12/10/2013 pukul 08:02 WIB
dengan URL: http://www.pitzer.edu/academics/faculty/zuckerman/Ath-Chap-under-
7000.pdf.
Zuckerman, P. (2009). Atheism, secularity, and well-being: How the findings of social science
counter negative stereotypes and assumptions. Sociology Compass 3(6), 949–971,
10.1111/j.1751-9020.2009.00247.x.
Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014