INFLUENCE THE LEVEL OF KNOWLEDGE AND ATTITUDES OF NURSES TOWARD IMPLEMENTATION OF STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP) OF INFUSION IN RS PKU MUHAMMADIYAH
BANTUL
1Qurratul Aini, 2Muhammad Firdaus Master of Hospital Management
Muhammadiyah University of Yogyakarta
ABSTRACT
Most of action for infusion in the emergency department. Action of infusion more frequently performed by nurses and should be in accordance with standard operating procedures (SOP). The occurrence of plebitis incident, swollen, and trauma of due to repeated infusion is result of actions that do not prioritize of the patient safety. The purpose of research is knowing influence the level of knowledge and attitudes of nurses toward the implementation of Standard Operating Procedures in infusion. This research used descriptive quantitative research methods with cross sectional. The respondent of it is nurses working in the emergency department of RS PKU Muhammadiyah Bantul. Data was collected using a questionnaires and observation. The analytical tool used are univariate, bivariate, and multivariate. Results is the level of knowledge most of nurses in good category (80,00%), the attitude of most of the nurses has a good category (53,33%) and the application of standard operating procedures infusion majority of categories has been implemented (53,33%). There is a relationship between the level of knowledge and the application of standard operating procedures (p<0,05). There is a relationship between the attitude and the application of standard operating procedures (p<0,05). The magnitude of the influence level of knowledge and attitudes of nurses toward the implementation of SOP for 53,4% (R Square) while the remaining 46,6% is explained by other variables. Conclusion is there is influence between knowledge and attitude toward the implementation of standard operating procedures of infusion in RS PKU Muhammadiyah Bantul. The suggestion is the hospital should be providing the instrument of infusion accordance with the principles of safety and alertness in the application of standard operating procedures of infusion.
Keyword: Level of Knowledge, Attitude, Implementation of Standard Operating Procedures of Infusion1. Lecture of Master Program of Hospital Management, Muhammadiyah
University of Yogyakarta2. Student of Master Program of Hospital Management, Muhammadiyah
University of Yogyakarta
1
PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT TERHADAP PENERAPAN STANDAR PROSEDUR
OPERASIONAL (SPO) PEMASANGAN INFUSDI RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL
1Qurratul Aini, 2Muhammad Firdaus Pascasarjana Manajemen Rumah Sakit
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ABSTRAK
Tindakan paling banyak untuk pemasangan infus adalah di Instalasi Gawat darurat. Tindakan pemasangan infus lebih sering dilakukan oleh perawat dan harus sesuai dengan standart prosedur operasional (SPO).Terjadinya kejadian plebitis, bengkak, dan trauma akibat pemasangan infus yang berulang- ulang adalah akibat tindakan pemasangan infus yang tidak mengutamakan patient safety. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap perawat terhadap penerapan Standar Prosedur Operasional dalam pemasangan infus. Penelitian ini menggunakan penenlitian metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Responden dari penelitian ini adalah perawat yang bekerja di IDG RS PKU Muhammadiyah Bantul. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Alat analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan perawat sebagian besar dalam kategori baik (80,00%), sikap perawat sebagian besar mempunyai kategori baik (53,33%) dan penerapan SPO pemasangan infus sebagian besar mempunyai kategori telah melaksanakan (53,33%). Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan penerapan SPO pemasangan infus (p<0,05). Ada hubungan antara sikap dan penerapan SPO pemasangan infus (p<0,05). Besanya pengaruh tingkat pengetahuan dan sikap perawat terhadap penerapan SPO sebesar 53,4% (R square) sedangkan sisanya sebesar 46,6% dijelaskan oleh variabel-variabel lain. Kesimpulannya terdapat pengaruh antara pengetahuan dan sikap perawat terhadap penerapan standart prosedur operational (SPO) pemasangan infus di RS PKU Muhammadiyah Bantul. Sarannya adalah Rumah Sakit hendaknya menyediakan instrumen pemasangan infus sesuai ketentuan serta memperhatikan prinsip keselamatan dan kewaspadaan dalam penerapan SPO pemasangan infus.
Kata kunci: Tingkat pengetahuan, Sikap, SPO pemasangan infus1. Dosen Pascasarjana Program Manajemen Rumah Sakit, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta2. Mahasiswa Pascasarjana Program Manajemen Rumah Sakit, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
2
PENDAHULUAN
Pelayanan keperawatan
dilakukan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan,
mencegah penyakit, penyembuhan,
pemulihan, serta pemeliharaan
kesehatan dengan pelaksanaan pada
upaya pelayanan kesehatan utama
untuk memungkinkan setiap
penduduk mencapai kemampuan
hidup sehat dan produktif yang
dilakukan sesuai dengan wewenang,
tanggung jawab dan etika profesi
keperawatan1. Ciri utama pelayanan
keperawatan didasari ilmu
pengetahuan dengan menggunakan
metode pemecahan masalah yaitu
proses keperawatan yang meliputi
pengkajian (assesment), diagnosa
keperawatan (nursing diagnosis),
perencanaan (planning), pelaksanaan
(implementation), dan evaluasi
(evaluation).
Salah satu tindakan invasif
yang paling sering dilakukan di
rumah sakit ialah pemasangan infus.
Infus sebagai salah satu terapi
intravena merupakan prosedur yang
paling sering dilakukan di seluruh
rumah sakit di dunia2. Peran perawat
dalam pemasangan infus terutama
dalam melakukan tugas delegasi,
dapat bertindak sebagai care giver,
dimana mereka harus memiliki
pengetahuan tentang bidang praktik
keperawatan yang berhubungan
dengan pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi dalam
pemasangan infus. Pemasangan infus
diinstruksikan oleh dokter tetapi
perawatlah yang bertanggung jawab
pada pemberian serta
mempertahankan terapi tersebut pada
pasien3. Peran perawat dalam
pemasangan infus bukan hanya untuk
pemberian agen medikasi, tetapi
lebih luas meliputi pemasangan alat
akses IV, perawatan, monitoring, dan
yang paling penting adalah
pencegahan infeksi4.
Keterlibatan perawat dalam
pemasangan infus memiliki implikasi
tanggung jawab dalam mencegah
terjadinya komplikasi plebitis dan
ketidaknyamanan pada pasien,
terutama dalam hal keterampilan
pemasangan kanula secara aseptik
dan tepat, sehingga mengurangi
risiko terjadinya kegagalan
pemasangan, selain itu juga harus
menguasai tentang regimen
pengobatan. Oleh karena itu, perawat
3
harus memiliki kompetensi klinik
dari semua aspek terapi infus5.
Royal College of
Nursing/RCN6 memberikan standar
tentang teori dan praktek terapi infus
yang harus dikuasai oleh perawat
meliputi: aspek legal dan profesional
pemasangan infus; anatomi fisiologi
akses vaskuler; farmakologi cairan
dan obat intravena; komplikasi lokal
dan sistemik; prinsip pengendalian
infeksi; penggunaan peralatan terapi
infus; prosedur pemasangan infus;
perawatan infus; pencegahan
komplikasi; pengelolaan komplikasi.
Dengan pengetahuan pengetahuan
tersebut, maka perawat diharapkan
mempunyai critical thinking dalam
pengambilan keputusan berkaitan
dengan tindakannya.
Berbagai intervensi atau
tindakan yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya infeksi
nosokomial plebitis pada pasien yang
akan atau sudah terpasang infus
merupakan suatu bentuk dari
perilaku. Perilaku itu sendiri
dipengaruhi oleh faktor
predispoding, faktor enabling, dan
faktor reinforcing. Faktor
predisposing yaitu meliputi
pengetahuan, sikap, tradisi, dan nilai.
Faktor enabling terdiri dari
ketersediaan sarana prasarana,
sedangkan faktor reinforcing berupa
peraturan, UU, sikap dan perilaku
tenaga kesehatan lain7. Apabila
perilaku didasari oleh pengetahuan,
kesadaran serta sikap yang positif
maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng7. Kurangnya pengetahuan
terhadap suatu objek tertentu karena
kurangnya informasi yang
didapatkan.
Selain pengetahuan tentang
penatalaksanaan, yang paling penting
yang harus dimiliki oleh perawat
adalah pengetahuan tentang
keselamatan pasien (patient safety).
Pengetahuan ini berkaitan dengan
bagaimana mencegah terjadinya
kerugian bagi pasien selama
pengobatan dan perawatan. Salah
satu tindakan patient safety dalam
penatalaksanaan infus adalah
melakukan tindakan pemasangan
infus berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang
sudah ditetapkan. Terjadinya
komplikasi plebitis, bengkak, dan
trauma akibat pemasangan infus
yang berulangulang, adalah akibat
4
tindakan pemasangan infus yang
tidak mengutamakan patient safety.
Hal ini menyebabkan pasien akan
dirugikan, karena rentang waktu
rawat inap pasien akan bertambah
panjang5.
Hal-hal yang
direkomendasikan untuk dilakukan
dan tidak dilakukan berkaitan dengan
pemasangan infus yang meliputi
mengikuti pendidikan dan pelatihan
mengenai terapi infus, kebersihan
tangan, pemilihan lokasi vena,
mempertahankan teknik aseptik
selama insersi kateter, monitoring
area dipasangnya infus, dan
penggantian infus serta balutan.
Penting bagi para petugas kesehatan
khusunya perawat untuk mengetahui
tindakan-tindakan spesifik untuk
mencegah infeksi plebitis8.
Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang peneliti lakukan di
IGD RS PKU Muhammadiyah
Bantul pada tanggal 4 Desember
2012, bahwa data yang peneliti
temukan dari Tim Pengendalian dan
Pencegahan Infeksi (PPI) Rumah
Sakit pada tahun 2011 yaitu angka
kejadian plebitis sebesar 0,6% tetapi
setelah didapatkan data terbaru pada
tahun 2013 dari Tim Pengendalian
dan Pencegahan Infeksi (PPI) Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Bantul
didapatkan angka kejadian plebitis
sebesar 2,3%9. Angka ini berada di
atas standar yang telah ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan RI yaitu
1,5%10.
Pada penelitian ini, indikator
pengetahuan yang terdiri dari 6
(enam) tingkatan yaitu: Tahu
(Know), Memahami
(comprehension), Aplikasi
(Aplication), Analisis (analysis),
Sintesis (Synthesis), dan Evaluasi
(Evaluation)7.
Untuk sikap menggunakan
indikator yang terdiri dari 3
komponen pokok yaitu (1)
Kepercayaan (keyakinan), ide dan
konsep terhadap suatu obyek. (2)
Kehidupan emosional atau evaluasi
emosional terhadap suatu obyek dan
(3) Kecenderungan untuk bertindak
(trend to behave). Ketiga komponen
ini secara bersama-sama membentuk
sikap yang utuh (total attitude)7.
Sedangkan SPO Pemasangan Infus
yang digunakan menurut RS PKU
Muhammadiyah Bantul (2009)11.
5
BAHAN DAN CARA
Rancangan penelitian adalah
cross-sectional yaitu Analitik
kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional dimana data yang
bersangkutan diambil dalam waktu
bersamaan dengan alat ukur berupa
kuesioner dan observasi. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Oktober
2013 di RS PKU Muhammadiyah
Bantul di ruang IGD RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Populasi
penelitian adalah tindakan
pemasangan infus yang dilakukan
oleh perawat yang bertugas di ruang
Instalasi Gawat Darurat RS PKU
Muhammadiyah Bantul.
Instrumen dalam bentuk
kuesioner dan lembar observasi
disebarkan kepada responden
penelitian yang terdiri dari sejumlah
pertanyaan dengan alternatif pilihan
jawaban yang telah disusun. Sebelum
digunakan sebagai instrumen
penelitian, pertanyaan dalam
kuesioner terlebih dahulu diuji
validitas dan reliabilitas. Uji validitas
menggunakan rumus korelasi
product moment (Sugiyono11)
sedangkan uji reliabilitas dengan
melihat nilai Cronbach Alpha> 0,60
12. Uji validitas dilakukan pada 30
perawat pelaksana yang bertugas di
ruang rawat jalan di RS PKU
Muhammadiyah Bantul.
Pada penelitian ini peneliti
mengolah data dengan menggunakan
komputer dengan Software
”Statistical Products and Solution
Services 20” for Windows biasa
disingkat dengan SPSS 20 for
Windows, sedangkan untuk
menganalisis data penelitian ini
menggunakan uji regresi logistik
yaitu untuk menganalisa pengaruh
tingkat pengetahuan dan sikap
dengan penerapan standar SPO.
HASIL
Uji Validitas dan Reliabilitas
Hasil dari uji validitas yang
dilakukan terhadap semua item
pertanyaan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa ada beberapa
item pertanyaan pada tiap-tiap
variabel gugur atau tidak valid
karena nilai r hitung lebih kecil dari r
tabel (0,361), sedangkan hasil dari
uji reliabilitas menunjukkan bahwa
nilai cronbach alfa > 0,60 sehingga
dapat dikatakan item-item
pertanyaan pada tiap variabel
dinyatakan andal (reliabel).
6
Pengujian Hipotesis
Hasil Analisis Univariat
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bahwa tingkat pengetahuan
perawat kategori baik (80,00%) lebih
banyak dibandingkan kategori buruk
(20,0%). sikap perawat sebagian
besar mempunyai kategori baik
(53,33%) kemudian diikuti kategori
sangat baik (33,33%) dan terakhir
kategori buruk (13,33%). Sikap
perawat untuk kategori sangat buruk
tidak ada. Sedangkan untuk
penerapan SPO pemasangan infus
sebagian besar mempunyai kategori
telah melaksanakan (53,33%)
sementara itu yang tidak
melaksanakan relatif sedikit
(46,67%).
Hasil Analisis Multivariat
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa besarnya nilai statistik
Hosmer and Lemeshow Goodness of
fit adalah 11,147 dengan tingkat
signifikan 0,084 yang nilainya diatas
0,05. Angka tingkat signifikan > 0,05
sehingga Ho diterima. Hal ini berarti
model regresi layak dipakai untuk
analisa selanjutnya, karena tidak ada
perbedaan yangnyata antara
klasifikasi yang diprediksi dengan
klasifikasi yang diamati. Sedangkan
hasil koefesien regresi variabel
tingkat pengetahuan menunjukkan
nilai koefisien positif sebesar 1,331
dengan probabilitas sebesar 0,011
(p<0,05). Hal ini mengandung arti
bahwa tingkat pengetahuan
mempunyai pengaruh terhadap
penerapan SPO pemasangan
infus.Variabel sikap menunjukkan
nilai koefisien positif sebesar 0,295
dengan probabilitas sebesar 0,006 (p
<0,05). Hal ini mengandung arti
bahwa sikap mempunyai pengaruh
terhadap penerapan SPO
pemasangan infus.
PEMBAHASAN
Tingkat pengetahuan perawat
Berdasarkan Tabel 4.6,
tingkat pengetahuan perawat di ruang
IGD RS PKU Muhammadiyah
Bantul kategori baik (80,00%) lebih
banyak dibandingkan kategori buruk
(20,0%). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian mengenai tingkat
pengetahuan perawat tentang isap
lendir/suction di Ruang ICU RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto sebagian besar dalam
kategori tinggi (68,2%) dan paling
sedikit pada kategori rendah
7
(4,5%)13. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar perawat telah
mempunyai pengetahuan yang cukup
tinggi sehingga diharapkan dapat
mengambil tindakan medis sesuai
dengan standar prosedur yang ada.
Apabila tingkat pengetahuan
dihubungkan dengan jenis kelamin
responden, kategori baik 80,0%
terdiri dari laki-laki 46,67% dan
perempuan 33,33%. Sementara itu
untuk pengetahuan buruk 20,0%
terdiri dari laki-laki 6,67% dan
perempuan 13,33%. Hasil ini tidak
dapat dibuat kesimpulan bahwa
tingkat pengetahuan berhubungan
dengan jenis kelamin, apabila
dicermati tingkat pengetahuan baik
tersebar pada perawat laki-laki
maupun perempuan demikian juga
tingkat pengetahuan buruk tersebar
pada perawat laki-laki maupun
perempuan. Hasil penelitian ini
sesuai dengan pendapat Wahyunah5
bahwa faktor-faktor yang yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan
yaitu tingkat pendidikan, informasi,
sosial budaya, pengalaman, sosial
ekonomi dan umur, sehingga jenis
kelamin tidak berpengaruh.
Apabila tingkat pengetahuan
dihubungkan dengan tingkat
pendidikan responden, kategori baik
80,0% terdiri dari S1 6,67% dan D3
73,33%. Sementara itu untuk
pengetahuan buruk 20,0% semuanya
berpendidikan D3. Apabila dilihat
tingkat pengetahuan buruk yang
semuanya berpendidikan D3 bisa
dinyatakan bahwa tingkat
pengetahuan berhubungan dengan
pendidikan. Namun demikian data
pendidikan S1 sangat kecil yaitu 1
orang maka tidak dapat diambil
kesimpulan bahwa tingkat
pengetahuan berhubungan dengan
pendidikan. Salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan adalah pendidikan,
sehingga apabila sebagian besar
pendidikan perawat sudah cukup
tinggi maka tingkat pengetahuan
sebagian besar dalam kategori baik
merupakan sesuatu kewajaran saja7.
Apabila tingkat pengetahuan
dihubungkan dengan usia responden,
kategori baik 80,0% terdiri dari usia
kurang 30 tahun 20,0%, usia 30
sampai 35 tahun 46,67% dan usia
lebih dari 35 tahun 13,33%.
Sementara itu untuk pengetahuan
8
buruk 20,0% terdiri dari usia kurang
30 tahun 13,33% dan usia 30 sampai
35 tahun 6,67%. Hasil ini
mengindikasikan bahwa tingkat
pengetahuan berhubungan dengan
usia, semakin tinggi usia perawat
makin tinggi pula pengetahuannya.
Usia mempunyai peran dalam
memperoleh pengetahuan karena
daya ingatan seseorang itu salah
satunya dipengaruhi oleh umur14.
Semakin cukup usia, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang
akan lebih matang dalam berfikir dan
bekerja. Makin tua usia seseorang
maka proses–proses perkembangan
mentalnya bertambah baik, akan
tetapi pada usia tertentu
bertambahnya proses perkembangan
ini tidak secepat ketika berusia
belasan tahun.
Seorang perawat idealnya
harus memiliki dasar pengetahuan
tentang berbagai teori yang berkaitan
dengan terapi infus. Hal ini akan
mempengaruhi dalam perilakunya,
terutama tentang prinsip-prinsip yang
berkaitan dengan protokol
pelaksanaan serta implementasi
untuk pencegahan komplikasi.
Perawat harus memiliki pengetahuan
mendalam tentang prinsip-prinsip
teknik aseptik, stabilitas,
penyimpanan, pelabelan, interaksi,
dosis dan perhitungan dan peralatan
yang tepat sehingga dapat
memberikan terapi infus dengan
aman kepada pasien. Pengetahuan
merupakan salah satu aspek penting
yang harus dimiliki oleh seorang
perawat karena dapat mempengaruhi
keterampilan tertentu5. Seperti yang
ditegaskan oleh RCN6, mengatakan
bahwa seorang perawat yang akan
melakukan pemasangan atau
pemberian terapi infus harus
memiliki pengetahuan sebagai
berikut: pengertian, tujuan, dan
indikasi terapi infus; anatomi
fisiologi akses vaskuler; farmakologi
cairan dan obat intravena; komplikasi
lokal dan sistemik; prinsip
pengendalian infeksi; penggunaan
peralatan terapi infus; prosedur
pemasangan infus; perawatan infus;
pencegahan komplikasi; dan
pengelolaan komplikasi.
Pengetahuan ini harus di aplikasikan
dalam perilaku saat perawat
melakukan pemasangan dan
perawatan infus.
9
Tindakan pemasangan infus
paling banyak ada di IGD dan IGD
RSU PKU Muhammadiyah Bantul
menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat secara terus menerus selama
24 jam. Perawat yang bekerja di IGD
haruslah perawat yang mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang
baik terhadap pemasangan infus.
Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.
Pengetahuan diperlukan sebagai
dorongan pikir dalam menumbuhkan
kepercayaan diri maupun dorongan
sikap dan perilaku, sehingga dapat
dikatakan bahwa pengetahuan
merupakan stimuli terhadap tindakan
seseorang. Seorang perawat dapat
mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya dan
menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Pengetahuan yang telah
dimiliki tersebut menjadikan
seseorang memiliki kemampuan
untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau
kondisi sebenarnya.
Pengetahuan merupakan
dasar untuk mengerjakan sesuatu
atau bertindak serta terkait dengan
pengalaman dan pendidikan.
Pengetahuan yang baik sangat
mungkin sampai pada penerapan di
lapangan sehingga pengetahuan
dapat berhubungan dengan
penerapan SPO pemasangan infus.
Pengetahuan dapat diperoleh melalui
proses belajar, secara terstruktur
dengan pendidikan dan pelatihan7.
Pelatihan merupakan proses
membantu para tenaga kerja untuk
memperoleh efektifitas dalam
pekerjaan mereka yang sekarang atau
yang akan datang melalui
pengembangan kebiasaan tentang
pikiran, tindakan, kecakapan,
pengetahuan, dan sikap yang layak15.
Hasil penelitian Machira G et al16
menunjukkan bahwa pelatihan
dengan melaui Pain Management
Programme (PMP) dapat
meningkatkan pengetahuan dan sikap
perawat di Kenya. Peneltian tersebut
memberikan informasi tentang
pengetahuan dan sikap perawat
dalam kaitannya dengan manajemen
nyeri secara optimal. Nyeri
merupakan faktor yang paling umum
10
pasien untuk mencari bantuan dari
tenaga medis dan perawat
menghabiskan sebagian besar waktu
kontak dengan pasien tersebut.
Sikap perawat
Sikap perawat di IGD RSU
PKU Muhammadiyah Bantul
sebagian besar mempunyai kategori
baik (53,33%) kemudian diikuti
kategori sangat baik (33,33%) dan
terakhir kategori buruk (13,33%).
Sikap perawat untuk kategori sangat
buruk tidak ada.
Menurut para ahli psikologis,
sikap adalah suatu bentuk evaluasi
atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu obyek adalah
perasaan mendukung atau memihak
(favourable) maupun perasaan tidak
mendukung atau memihak
(unfavourable) pada obyek tersebut.
Sikap perawat terhadap pemasangan
infus muncul dari berbagai bentuk
penilaian yang banyak didapatkan
dari pengalaman17. Sikap perawat
tersebut juga merupakan hasil belajar
sosial dari lingkungannya, apabila
ada rekan sesama perawat yang
menerapkan SPO lebih berhasil dan
mudah maka petani tersebut juga
akan menerapkan SPO.
Apabila sikap perawat
dihubungkan dengan jenis kelamin
responden, kategori sangat baik
33,0% terdiri dari laki-laki 20,00%
dan perempuan 13,33%. Sementara
itu untuk sikap perawat baik 53,33%
terdiri dari laki-laki 33,33% dan
perempuan 20,00%. Sikap perawat
buruk 13,33% semuanya adalah
perempuan. Hasil ini
mengindikasikan bahwa ada
kecenderungan sikap perawat laki-
laki lebih baik dibandingkan
perempuan, namun demikian tidak
dapat diambil kesimpulan bahwa
sikap perawat berhubungan dengan
jenis kelamin. Hal tersebut
sependapat dengan Robbin18 yang
menyatakan tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan
dalam memecahkan masalah,
keterampilan analisis, motivasi
bersaing maupun kemampuan
belajar.
Apabila sikap perawat
dihubungkan dengan tingkat
pendidikan responden maka kategori
sangat baik 33,33% semuanya
berpendidikan D3. Sementara itu
untuk sikap perawat kategori baik
53,33% terdiri dari S1 6,67% dan D3
11
46,67%, sedangkan sikap perawat
kategori buruk 13,33% semuanya
berpendidikan D3. Apabila dilihat
sikap perawat kategori buruk yang
semuanya berpendidikan D3 ada
kecenderungan sikap perawat
berhubungan dengan pendidikan.
Namun demikian data pendidikan S1
sangat kecil yaitu 1 orang maka tidak
dapat diambil kesimpulan bahwa
sikap perawat berhubungan dengan
pendidikan. Orang berpendidikan
tinggi akan lebih rasional dan kreatif
serta terbuka dalam menerima
adanya bermacam usaha
pembaharuan, ia juga akan lebih
dapat menyesuaikan diri terhadap
berbagai perubahan. Perawat yang
mempunyai pendidikan lebih tinggi
cenderung bersikap yang baik
dibandingkan dengan perawat
dengan pendidikan lebih rendah19.
Apabila sikap perawat
dihubungkan dengan usia responden,
kategori sangat baik 33,0% terdiri
dari usia kurang 30 tahun 13,33%,
usia 30 sampai 35 tahun 13,33% dan
usia lebih dari 35 tahun 6,67%.
Sementara itu untuk sikap perawat
kategori baik 20,0% terdiri dari usia
kurang 30 tahun 13,33% , usia 30
sampai 35 tahun 33,33% dan usia
lebih dari 35 tahun 6,67%. Sikap
perawat kategori buruk 13,3% terdiri
dari usia kurang 30 tahun 6,67% dan
usia 30 sampai 35 tahun 6,67%.
Hasil ini mengindikasikan bahwa
sikap perawat berhubungan dengan
usia, semakin tinggi usia perawat
makin baik pula sikapnya. Hasil ini
sejalan dengan Siagian20 yang
menyatakan bahwa usia terkait
dengan kedewasaan dalam
melakukan pekerjaan maupun
kematangan psikologisnya, sehingga
perawat sikap perawat akan
berhubungan dengan usia.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sikap perawat
kategori sangat baik mempunyai
tingkat pengetahuan yang baik
(33,33%). Sementara itu sikap
perawat kategori baik terdiri dari
perawat dengan tingkat pengetahuan
baik 46,67% dan tingkat
pengetahuan buruk 6,67%. Sikap
perawat kategori cukup terdiri dari
perawat mempunyai tingkat
pengetahuan buruk 13,33%
(Lampiran). Hasil ini dapat
mengindikasikan bahwa sikap
perawat berhubungan dengan tingkat
12
pengetahuan. Semakin tinggi
pengetahuan perawat maka semakin
baik pula sikap perawat, demikian
pula sebaliknya semakin buruk
pengetahuan perawat maka semakin
buruk pula sikap perawat.
Pengetahuan yang kurang akan
memberikan dampak yang negatif
terhadap perawat, hal ini dapat
menyebabkan pelayanan diberikan
kurang baik. Hasil penelitian ini
sesuai dengan pendapat Sadiman21
yang menyatakan bahwa
pengetahuan akan membutuhkan
kepercayaan yang selanjutnya akan
memberikan dasar bagi
pengembangan selanjutnya dan
menentukan sikap terhadap objek.
Perubahan sikap individu
dipengaruhi oleh adanya faktor
internal perawat (pengetahuan dan
motivasi) dan faktor eksternal antara
lain: adanya kebijakan, standart,
prosedur juga lingkungan dimana
individu berada (Instalasi Perawatan
Intensif).
Penerapan SPO pemasangan infus
RS PKU Muhammadiyah
Bantul merupakan salah satu rumah
sakit swasta yang telah memiliki
standart ISO 2001:2008, salah satu
isu yang pernah ada adalah kejadian
nursing error. Rumah sakit ini mulai
menerapkan patient safety sejak
tahun 2006 dan telah diperbaharui
dengan diadakan pelatihan patient
safety pada tanggal 13-15 Oktober
2011. Implementasi dari patient
safety salah satunya pemasangan
infus yang sesuai dengan Standar
Prosedur Operasional (SPO) baik di
IGD, rawat inap maupun ruang
lainnya. SPO sendiri merupakan tata
cara atau tahapan yang harus dilalui
dalam suatu proses kerja tertentu,
yang dapat diterima oleh seorang
yang berwenang atau yang
bertanggungjawab untuk
mempertahankan tingkat penampilan
atau kondisi tertentu sehingga suatu
kegiatan dapat diselesaikan secara
efektif dan efisien22. Penerapan SPO
pemasangan infus di IGD RSU PKU
Muhammadiyah Bantul sebagian
besar mempunyai kategori
melaksanakan SPO yaitu 73,33% dan
kategori tidak melaksakan SPO
sebesar 26,67%. Penerapan SPO
pemasangan infus untuk kategori
sangat baik dan kurang tidak ada.
Apabila dilihat dari
penerapan SPO pemasangan infus
13
yang baik berarti perawat di IGD
RSU PKU Muhammadiyah Bantul
telah sesuai dengan anjuran
pemerintah tentang peningkatan
mutu asuhan keperawatan. Apabila
pemasangan infus tidak sesuai
dengan SPO dapat mengakibatkan
kejadian phlebitis, bengkak, dan
trauma akibat pemasangan infus
yang berulang- ulang sehingga
pasien akan banyak dirugikan
akibatnya rentang waktu rawat inap
pasien akan bertambah panjang.
Berdasarkan kebijakan dari
Depkes. RI22, bahwa program
peningkatan mutu asuhan
keperawatan diselenggarakan melalui
kegiatan-kegiatan studi dokumentasi
asuhan keperawatan, persepsi pasien
terhadap mutu asuhan keperawatan
dan evaluasi pelaksanaan tindakan
keperawatan berdasarkan SPO.
Persiapan pemasangan infus
yang sering tidak diperhatikan oleh
perawat di yaitu mempersiapkan
perlak, bengkok dan kantung plastik,
kassa steril, gunting perban, handuk
bersih, betadine dan alkohol, salep
antibiotik, sarung tangan steril, dan
larutan kloril 0,5%. Pelaksanaan
pemasangan infus yang sering tidak
diperhatikan oleh perawat yaitu
melakukan komunikasi dengan
pasien atau keluarga, memasang
perlak dibawah area inserti,
meletakkan kassa yang sudah diberi
salep serta atur pengaturan tetesan
infus. Tindakan pemasangan infus
dapat saja dilakukan perawat setelah
adanya pelimpahan wewenang dari
dokter yang bertanggung jawab
mengobati pasien. Tindakan
pemasangan infus lebih sering
dilakukan oleh perawat dan dalam
pemasangan infus harus sesuai
dengan SPO dan apabila tidak sesuai
standar dapat mengakibatkan infeksi
dan mengancam keselamatan pasien
itu sendiri.
Apabila penerapan SPO
pemasangan infus dihubungkan
dengan jenis kelamin responden
kategori melaksanakan SPO
sebanyak 73,33% terdiri dari laki-
laki 40,00% dan perempuan 33,33%.
Sementara itu untuk penerapan SPO
pemasangan infus kategori tidak
melaksanakan SPO sebanyak 26,67%
terdiri dari laki-laki 13,34% dan
perempuan 13,33%. Berdasarkan
hasil tersebut mengindikasikan
bahwa tidak ada kecenderungan
14
penerapan SPO pemasangan infus
laki-laki lebih baik dibandingkan
perempuan ataupun sebaliknya
perempuan lebih baik dibandingkan
laki-laki. Dengan demikian dapat
diambil kesimpulan bahwa
penerapan SPO pemasangan infus
tidak berhubungan dengan jenis
kelamin. Robbin18 menyatakan tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam memecahkan
masalah, keterampilan analisis,
motivasi bersaing maupun
kemampuan belajar. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin
tidak berpengaruh terhadap
penerapan SPO pemasangan infus.
Berdasarkan penerapan SPO
pemasangan infus dihubungkan
dengan tingkat pendidikan
responden, kategori melaksanakan
sebanyak SPO 73,33% terdiri dari
66,67% lulusan D3 dan 6,66%
lulusan S1. Sementara itu untuk
kategori tidak melaksanakan SPO
sebanyak 26,67% semuanya lulusan
D3. Hasil ini tidak mengindikasikan
bahwa penerapan SPO pemasangan
infus lulusan D3 lebih baik
dibandingkan S1. Hasil ini berbeda
pendapat Notoadmodjo7 yang
menyatakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan adalah pendidikan.
Perbedaaaan ini bisa dikarenakan
jumlah sampel perawat
berpendidikan S1 hanya satu orang.
Penerapan penerapan SPO
pemasangan infus akan berkaitan erat
dengan pengetahuan perawat
terhadap SPO, dengan demikian
secara tidak langsung penerapan
SPO pemasangan infus berhubungan
dengan pendidikan.
Berdasarkan data didapatkan
bahwa sebagian besar perawat IGD
telah menerapkan pemasangan infus
dengan baik. Perawat IGD bertindak
sesuai dengan langkah-langkah atau
prosedur operasional pemasangan
infus yang berlaku di Rumah Sakit
dalam melaksanakan pemasangan
infus pada pasien. Penyebab lain
yang dapat menjelaskan mengapa
sebagian besar tindakan dilakukan
perawat IGD dengan baik adalah
usia. Penerapan SPO pemasangan
infus dengan usia responden,
kategori melaksanakan sebanyak
SPO 73,33% terdiri usia kurang 30
tahun 20,00%, usia 30 sampai 35
tahun 40,00% dan usia lebih dari 35
15
tahun 13,33%. Sementara itu untuk
penerapan SPO pemasangan infus
kategori tidak melaksanakan SPO
sebanyak 26,67% terdiri dari usia
kurang 30 tahun 13,33% dan usia 30
sampai 35 tahun 13,34%. Hasil ini
dapat mengindikasikan bahwa
penerapan SPO pemasangan infus
berhubungan dengan usia, semakin
tinggi usia perawat makin baik pula
penerapan SPO pemasangan
infusnya. Robbins18 menyatakan ada
hubungan antara umur dengan
kinerja, dimana terdapat suatu
keyakinan meluas bahwa
produktifitas merosot dengan makin
bertambahnya usia seseorang.
Penerapan SPO pemasangan infus
dapat diartikan sebagai sebuah
kinerja dari seorang perawat
sehingga pada penelitian ini dapat
dikatakan bahwa usai berpengaruh
terhadap kinerja. Lain halnya dengan
Gibson23, menyatakan bahwa makin
bertambah umur seseorang akan
semakin bertambah kedewasaannya
dan semakin menyerap informasi
yang akan mempengaruhi kinerjanya.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perawat dengan
penerapan SPO pemasangan infus
kategori melaksanakan semuanya
mempunyai tingkat pengetahuan
yang baik. Sementara itu perawat
dengan penerapan SPO pemasangan
infus kategori tidak melaksanakan
SPO 26,67% terdiri dari perawat
dengan pengetahuan kategori baik
6,67% dan pengetahuan yang buruk
20,00%. Hasil ini dapat
mengindikasikan bahwa tingkat
pengetahuan perawat berhubungan
dengan penerapan SPO pemasangan
infus, yang ditunjukkan dengan nilai
probabilitas sebesar 0,011 atau p <
0,05. Semakin tinggi pengetahuan
perawat maka semakin baik pula
penerapan SPO pemasangan infus,
demikian pula sebaliknya semakin
buruk pengetahuan perawat maka
semakin buruk pula penerapan SPO
pemasangan infus.
Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa perawat dengan
penerapan SPO pemasangan infus
kategori melaksanakan terdiri dari
perawat dengan sikap sangat baik
33,33% dan sikap baik 40,00%.
Sementara itu perawat dengan
penerapan SPO pemasangan infus
kategori tidak melaksanakan terdiri
dari perawat dengan sikap baik
16
13,33% dan sikap cukup 13,33%.
Hasil ini dapat mengindikasikan
bahwa sikap perawat mempunyai
hubungan dengan penerapan SPO
pemasangan infus, yang ditunjukkan
dengan nilai probabilitas sebesar
0,006 atau p < 0,05. Semakin baik
sikap perawat maka semakin baik
pula penerapan SPO pemasangan
infus, demikian pula sebaliknya
semakin kurang sikap perawat maka
semakin buruk pula penerapan SPO
pemasangan infus.
Penerapan pemasangan infus
yang sesuai dengan SPO dapat
ditingkatkan melalui pelatihan
ataupun training. Pelatihan
merupakan bagian suatu proses
pendidikan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan atau
keterampilan khusus7. Latihan adalah
penyempurnaan potensi tenaga-
tenaga yang ada dengan mengulang-
ulang aktivitas tertentu. Baik latihan
maupun pembiasaan terutama terjadi
dalam taraf biologis, tetapi apabila
selanjutnya berkembang dalam tahap
psikis maka kedua gejala itu akan
menjadikan proses kesadaran sebagai
proses ketidaksadaran yang bersifat
biologis disebut proses otomatisme.
Proses tersebut menghasilkan
tindakan yang tanpa disadari, cepat
dan tepat. Diperlukan adanya
training sebagai salah satu kegiatan
yang bermaksud untuk memperbaiki
dan mengembangkan sikap, tingkah
laku, keterampilan dan pengetahuan
staf sesuai keinginan instansi yang
bersangkutan24.
Faktor-faktor pemungkin
(enabling factors) merupakan salah
satu faktor yang dapat
mempengaruhi penerapan SPO
pemasangan infus. Faktor pendukung
yaitu tersedianya sumber-sumber
atau sarana pelayanan kesehatan dan
kemudahan untuk mencapainya.
Fasilitas adalah sarana untuk
melancarkan pelaksanaan fungsi
kemudahan. Depkes RI22 menyatakan
bahwa untuk dapat terlaksananya
pelayanan yang sesuai dengan
standar tentunya harus didukung
pengetahuan, kemampuan dan
ketrampilan yang memadai dari
SDM yang ada. Disamping harus
pula ditunjang dengan fasilitas dan
sarana rumah sakit yang memadai
sehingga pelayanan menjadi
berkualitas dan berdampak besar
terhadap citra pelayanan rumah sakit
17
yang pada akhirnya dapat
memuaskan masyarakat. Apabila
rumah sakit sudah memberikan
pelayanan sesuai dengan
pengetahuan dan standar yang telah
ditetapkan,maka pelayanan
kesehatan sudah dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengetahuan, sikap perawat dan
penerapan SPO pemasangan infus
Berdasarkan uji koefisien,
analisis regresi logistik tingkat
pengetahuan mempunyai pengaruh
signifikan terhadap penerapan SPO
pemasangan infus (probabilitas =
0,011 atau p < 0,05). Nilai koefisien
regresi pada sikap perawat (1,331)
adalah positif sehingga apabila
tingkat pengetahuan meningkat maka
penerapan SPO pemasangan infus
juga akan meningkat, namun apabila
tingkat pengetahuan menurun maka
penerapan SPO pemasangan infus
juga akan menurun. Terdapat enam
tingkatan pengetahuan, yaitu tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis
dan evaluasi. Pengetahuan yang.
dimiliki responden dapat termasuk
dalam salah satu tingkat pengetahuan
tersebut sesuai tingkat pertanyaan
pada variabel pengetahuan tentang
prosedur tindakan7. Jadi,
pengetahuan yang baik sangat
mungkin harus sampai pada
penerapan di lapangan sehingga
pengetahuan dapat berhubungan
dengan tingkat kepatuhan mengikuti
prosedur tindakan. Pengetahuan
dapat diperoleh melalui proses
belajar, secara terstruktur dengan
pendidikan dan pelatihan. Hal ini
sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Keraf25 bahwa
secara umum pengetahuan seseorang
dipengaruhi oleh pengalaman hidup
(pengetahuan sejati), tingkat
pendidikan (semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin tinggi
pula pengetahuannya), kesehatan
fisik terutama kesehatan panca indra,
usia (berhubungan dengan daya
tangkap dan ingatan terhadap suatu
materi), dan media masa/buku
(sebagai sumber informasi). Hasil
penelitian Bird dan Wallis26
menunjukkan para perawat memiliki
basis pengetahuan yang baik dapat
bekerja dengan baik tetapi dalam
pengambilan keputusan klinis kurang
cepat. Perawat yang memiliki
pengalaman cenderung lebih cepat
dalam pengambilan keputusan klinis.
18
Hasil penelitian tersebut
menunjukkan ada hubungan yang
lemah antara pengetahuan dan
kinerja.
Berdasarkan uji koefisien
analisis regresi logistik, sikap
perawat mempunyai pengaruh
signifikan terhadap penerapan SPO
pemasangan infus (probabilitas =
0,006 atau p < 0,05). Nilai koefisien
regresi pada sikap perawat (0,295)
adalah positif sehingga apabila sikap
perawat meningkat maka penerapan
SPO pemasangan infus juga akan
meningkat, namun apabila sikap
perawat menurun maka penerapan
SPO pemasangan infus juga akan
menurun. Sikap profesional perawat
dapat dilihat dari kemampuannya
dalam menerapkan karakteristik
sikap profesional yaitu mandiri
dalam berpikir, kerendahan hati
(humility), keberanian, ketekunan,
empati, tidak berat sebelah, dan
eksplorasi pikiran dan perasaan27.
Sikap adalah keadaan mental dan
saraf dan kesiapan yang diatur
melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh dinamis atau
terarah terhadap respon individu
pada semua obyek dan situasi yang
berkaitan dengannya. Perubahan
sikap dapat disebabkan oleh faktor
adanya imbalan dan hukuman
dimana individu mengasosiasikan
reaksinya yang disertai imbalan dan
hukuman, stimulus mengandung
harapan bagi individu sehingga dapat
terjadi perubahan dalam sikap serta
stimulus mengandung prasangka
bagi individu yang mengubah sikap
semula28. Perawat sebagai tenaga
ujung tombak dan berhubungan
langsung dengan pasien selama 24
jam, harus dapat mengaktualisasikan
diri secara fisik, emosional, dan
spiritual untuk merawat orang yang
mengalami penyakit kritis. Asuhan
keperawatan khususnya di IGD
membutuhan kemampuan untuk
menyesuaikan situasi kritis dengan
kecepatan dan ketepatan yang tidak
selalu dibutuhkan pada situasi
keperawatan lain. Perawat harus
dapat mengambil sikap yang tepat
berkenaan dengan kondisi pasien,
demikian halnya dengan pemasangan
infus yang sesuai dengan penerapan
SPO.
Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh tingkat pengetahuan dan
19
sikap perawat terhadap penerapan
SPO pemasangan infus. Besarnya
pengaruh tingkat pengetahuan dan
sikap perawat terhadap penerapan
SPO sebesar 53,4% (R square)
sedangkan sisanya sebesar 46,6%
dijelaskan oleh variabel-variabel lain
diluar variabel bebas yang digunakan
dalam penelitian. Faktor kejenuhan
atau frustasi terhadap sistem yang
ada atau adanya pekerjaan yang
kurang variasi berdampak pada
penurunan produktivitas18. Perawat
yang bekerja di IGD secara terus
menurus tidak secara otomatis
meningkatan kesadaran untuk patuh
rnaupun meningkat dari segi
motivasi, pengetahuan, sikap dan
persepsi yang baik terhadap prosedur
tindakan. Selain itu lama kerja
merupakan salah satu indikator
pengalaman dan mempengaruhi
tingkat kewaspadaan.Penerapan SPO
pemasangan infus di IGD termasuk
dalam kategori baik hal ini ada
perawat senior bersedia untuk
mentransfer nilai-nilai positif dalam
memberikan pelayanan keperawatan
kepada pasien kepada perawat-
perawat baru terutama dalam
pemasangan infus. Disamping itu
penghargaan dan kesejahteraan yang
dirasakan perawat tidak begitu
berpengaruh terhadap penerapan
SPO pemasangan infus.
SPO sendiri merupakan tata
cara atau tahapan yang dibakukan
dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja
tertentu. Adanya SPO ini perawat
dapat menjaga konsistensi dan
tingkat kinerja petugas atau tim
dalam organisasi atau unit, agar
mengetahui dengan jelas peran dan
fungsi tiap-tiap posisi dalam
organisasi, memperjelas alur tugas,
wewenang dan tanggung jawab dari
petugas terkait, melindungi
organisasi dan staf dari mal praktek
atau kesalahan administrasi lainnya
dan untuk menghindari
kegagalan/kesalahan, keraguan,
duplikasi dan inefisiensi. Penerapan
SPO pemasangan infus tidak saja
melindungi pasien tetapi juga
melindungi perawat dari kesalahan
ataupun keselamatannya sendiri.
Apabila perawat telah memenuhi
SPO pemasangan infus maka apabila
terjadi kejadian diluar perkiraan
maka perawat tersebut tidak begitu
saja dapat disalahkan.
20
KESIMPULAN
Pengetahuan perawat
berpengaruh terhadap penerapan
standart prosedur operational (SPO)
pemasangan infus di RS PKU
Muhammadiyah Bantul.
Sikap perawat terhadap
penerapan standar prosedur
operational (SPO) pemasangan infus
di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Pengetahuan dan sikap perawat
terhadap penerapan standart prosedur
operational (SPO) pemasangan infus
di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gaffar, LJ. (1999). Pengantar
Keperawatan Professional. EGC,
Jakarta.
2. Uslusoy, Esin & Mete, Samiye.
Predisposing factors to phlebitis
in patients with peripheral
intravenous catheters: A
descriptive study. Journal of the
American Academy of Nurse
Practitioners 20. 4 (Apr 2008):
172-80.
3. Perry dan Potter (2005). Buku
Saku Keterampilan dan Prosedur
Dasar. Edisi 5. Jakarta EGC.
4. Scales, K. (2009). Intravenous
Therapy: The Legal And
Professional Aspects Of Practice
Nursing Standard, 23 (33), 51-57.
5. Wahyunah (2011). Hubungan
Pengetahuan Perawat tentang
Terapi Infus dengan Kejadian
Plebitis danKenyamanan Pasien
di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Indramayu, Tesis
Magister Ilmu Keperawatan, UI,
Jakarta.
6. Royal College of Nursing.
(2005). Standard for Infusion
Therapy, RCN IV Therapy
Forum, London.
7. Notoadmojo (2010). Metodologi
Penelitian Kesehatan, Ed. Rev,
Rineka Cipta, Jakarta.
8. Aditi, SG, Agustina, HR,
Amarullah, AA. (2010).
Pengetahuan Dan Sikap
Mahasiswa Akper Terhadap
Pencegahan Infeksi Nosokomial
Flebitis. Hasil Penelitian,
Universitas Padjajaran, Bandung.
9. Tim PPI RS PKU
Muhammadiyah Bantul. (2011).
Angka Kejadian Flebitis Di
Instalasi Gawat Darurat RS PKU
Muhammadiyah Bantul.
21
10. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor :
129/Menkes/SK/II/2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
11. Ghozali, I 2005, ‘Aplikasi Analisis
Multivariate dengan program
SPSS’, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro,
Semarang.
12. Paryanti S, Haryati W dan
Hartati. (2007). Hubungan
Tingkat Pengetahuan Perawat
dengan Ketrampilan
Melaksanakan Prosedur Tetap
Isap Lendir / Suction di Ruang
ICU RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. Jurnal
Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing),
Volume 2, No.1.
13. Nursalam, (2006). Manajemen
Keperawatan: Aplikasi dalam
Praktik Keperawatan Profesional,
edk 1, Salemba Medika, Jakarta.
14. Sastrohadiwiryo, S.B. (2002).
Manajemen Tenaga Kerja
Indonesia : Pendekatan
Administrasi dan Operasional,
Bumi Aksara, Jakarta.
15. Machira G, Kariuki H and
Martindale L, (2013). Impact of
an Educational Pain Management
Programme on Nurses’ Pain
Knowledge and Attitudes in
Kenya. International Journal of
Palliative Nursing, Vol 19, No 7.
16. Osgood, C (1990). Language,
Meaning, and Culture: The
Selected Paper of C.E Osgood.
Edited by Oliver C. Tzeng, New
York, Praeger Publisher.
17. Robbins, S.P. (2007). Perilaku
Organisasi. Edisi Lengkap,
Macanan Jaya Cemerlang,
Jakarta.
18. Maltis, Robert. (2000).
Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Salemba.
19. Siagian, S.P. (2002). Kiat
Meningkatkan Produktivitas
Kerja, PT Rineka Cipta, Jakarta.
20. Sadiman, A (2002). Media
Pendidikan Pengertian,
Pengembangan dan
Pemanfaatannya, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
21. Depkes RI. (1995). Poko-pokok
Pemantapan dan Pengembangan
22
Sistem Informasi Kesehatan,
Jakarta.
22. Gibson; J. (2000). Organisasi:
Perilaku, Struktur, Proses,
Erlangga, Jakarta.
23. Darajat, A., (2005). Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan
Kinerja Tenaga Pengajar dalam
Proses Pembelajaran di Dua
Akademi Keperawatan Swasta di
Kabupaten Serang Tahun 2005.
Jakarta: Tesis. Program
Pascasarjana Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, UI.
24. Keraf, S (2001). Fakta, Nilai,
Peristiwa Tentang Hubungan
Antara Ilmu Pengetahuan dan
Etika, Gramedia, Jakarta.
25. Bird and Wallis (2002). Nursing
Knowledge and Assessment Skills
in The Management of Patients
Receiving Analgesia Via Epidural
Infusion. Journal of Advanced
Nursing, 40(5), 522–531.
26. Kozier and Oliveri. R. (1995)
Fundamental of Nursing:
Concepts, Proces and Practice,
Addison Wesley Publishing
Company, inc, California.
27. Hidayat, A (2004). Pengantar
Konsep Dasar Asuhan
Keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta.
23