i
USM
UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK JALANAN DALAM
RANGKA MENCEGAH KRIMINALITAS ANAK DI KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi Strata 1 Ilmu Hukum
Oleh
Nama : Tiara Sekar Sarani
NIM : A.111.15.0139
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2019
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya
yang senantiasa memberi langkah bagi penulis dengan terselesainya penyusunan
skripsi ini dengan judul “Upaya Perlindungan terhadap Anak Jalanan dalam Rangka
Mencegah Kriminalitas Anak di Kota Semarang”.
Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas
dan syarat guna menyelesaikan Program Pendidikan Strata Satu (S-1) pada Fakultas
Hukum Universitas Semarang.
Penulis banyak menyadari berbagai kesulitan dan hambatan yang penulis
hadapi, mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam
penyusunan skripsi ini, namun berkat bantuan, petunjuk, serta saran-saran maupun
arahan dari berbagai pihak, penulis mendapat kemudahan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan rasa hormat kepada:
1. Keluarga , yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil serta doa
sehingga dapat terselesainya skripsi ini
2. Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M., selaku Rektor Universitas Semarang beserta
segenap jajarannya
3. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Semarang
vi
4. Bapak M. Iftar Aryaputra, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dalam memberikan bimbingannya dan nasehat-nasehatnya
yang diberikan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
5. Ibu Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus
Dosen Wali yang telah membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam
menempuh pendidikan Strata Satu Fakultas Hukum Universitas Semarang
6. Innong Pratikina Akbaruddin dan teman-teman kelas C Fakultas Hukum
Universitas Semarang
Semua pihak yang telah begitu banyak membantu namun tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah SWT
membalas kebaikan pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Semarang, 31 Januari 2019
Penulis,
Tiara Sekar Sarani
A.111.15.0139
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
Bermimpilah dan jadikan mimpimu menjadi kenyataan dengan berusaha dan berdoa.
Tetap semangat jika kamu gagal, karena gagal merupakan sukses yang tertunda.
Persembahan :
o Kedua orang tuaku tercinta
o Kakak-kakakku tersayang
o Sahabat terkasih dan teman-teman
o Almamaterku Fakultas Hukum Universitas Semarang
viii
ABSTRAK
Perlindungan anak serta penghargaan terhadap hak-hak anak sudah sepatutnya
mendapat perhatian yang serius. Penelitian ini bertujuan menganalisa pelaksanaan
perlindungan anak jalanan dan kebijakan serta upaya yang dilakukan Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan perlindungan anak jalanan di Kota Semarang, dan
memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi sehingga menjadi kontribusi
bagi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak jalanan pada masa yang
akan datang. Anak jalanan harus dilindungi supaya tidak menjadi korban atau pelaku
kriminalitas . Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
pendataan dan penertiban secara rutin oleh Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga Kota
Semarang yang bekerja sama dengan Satpol PP dan Polisi. Penertibaan yang
dilakukan ini bertujuan untuk memberikan pembinaan di panti rehabilitasi sosial
kepada anak jalanan agar tidak menjadi korban atau pelaku tindakan kriminal. Jenis
penelitian yang digunakan merupakan penelitian yuridis sosiologis. Spesifikasi
penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Metode pengumpulan data yang
utama adalah data primer dan didukung data sekunder. Metode analisis data yang
digunakan adalah metode analitis-kualitatif. Aturan hukum tentang perlindungan
terhadap anak jalanan di Kota Semarang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang yang memuat penanganan pencegahan , penanganan rehabilitasi sosial dan
pasca rehabilitasi sosial. Upaya perlindungan terhadap anak jalanan di Kota
Semarang dalam rangka mencegah kriminalitas anak yang dilakukan oleh Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang meliputi kegiatan sosialisasi, workshop,
kampanye dan patroli razia rutin. Upaya perlindungan yang dilakukan Yayasan Setara
Kota Semarang yaitu dengan melakukan sosialisasi rutin dan memberikan edukasi
terhadap anak jalanan.
Kata Kunci : Perlindungan anak, anak jalanan, kriminalitas
ix
ABSTRACT
Child protection and respect for children's rights, deserves serious attention.
This study aims to analyze the implementation of street child protection and policies
and efforts made by the Regional Government in carrying out the protection of street
children in Semarang City, and provide solutions to problems that occur so as to
contribute to the implementation of protection and fulfillment of the rights of street
children in the future . Street children must be protected so they do not become
victims or perpetrators of crime. The form of protection that can be done is by
conducting routine data collection and control by the Social Service in collaboration
with the PP Satpol and the Police. The aim of this discipline was to provide guidance
in social rehabilitation institutions to street children so they would not become
victims or perpetrators of criminal acts. The type of research used is sociological
juridical research. The research specifications used are analytical descriptive. The
main data collection method is primary data and supported by secondary data. The
data analysis method used is qualitative-analytical methods. The rule of law
concerning the protection of street children in Semarang City is regulated in
Regional Regulation Number 5 of 2014 concerning Handling of Street Children,
Homeless and Beggars in Semarang City which contains handling prevention,
handling social rehabilitation and post social rehabilitation. Efforts to protect street
children in the city of Semarang in order to prevent child crime committed by the
Social, Youth and Sports Office of the City of Semarang include socialization
activities, workshops, campaigns and routine raid patrols. The protection efforts
carried out by Semarang City Setara Foundation are by conducting routine
socialization and providing education to street children.
Keywords: Child protection, street children, crime
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN ORISINALITAS ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN MEMPERBANYAK ............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………………….……..6
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………….6
1.4. Keaslian Penelitian……………………………………………………………8
1.5. Sistematika Penulisan………………………………………………………..13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 15
2.1. Tinjauan Umum tentang Anak ........................................................................ 15
2.1.1. Pengertian Anak ................................................................................. 15
2.1.2 Hak-Hak Anak ..................................................................................... 17
2.2. Tinjauan Umum tentang Anak Jalanan ........................................................... 19
2.2.1. Pengertian Anak Jalanan .................................................................... 19
2.2.2. Klasifikasi Anak Jalanan .................................................................... 20
2.3. Tinjauan Umum tentang Perlindugan terhadap Anak Jalanan ........................ 22
2.3.1. Pengertian Perlindungan Anak Jalanan .............................................. 22
xi
2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Adanya Anak Jalanan ................................. 24
2.4. Tinjauan Umum tentang Kriminalitas Anak...................................................27
2.4.1. Pengertian Kriminalitas Anak ............................................................. 27
2.4.2. Faktor-Faktor Kriminalitas / Kenakalan Anak .................................... 28
2.4.3. Sanksi Pidana Terhadap Kriminalitas Anak........................................31
BAB III METODE PENELITIAN................................................. ........................36
3.1. Jenis Penelitian ................................................................................................ 36
3.2. Spesifikasi Penelitian ...................................................................................... 36
3.3. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 37
3.4. Metode Analisis Data ...................................................................................... 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................41
4.1. Aturan Hukum Tentang Perlindungan Terhadap Anak Jalanan di Kota
Semarang.........................................................................................................41
4.2 Upaya Perlindungan Terhadap Anak Jalanan di Kota Semarang dalam
Rangka Mencegah Kriminalitas Anak............................................................48
BAB V PENUTUP................................................................................................72
5.1. Kesimpulan......................................................................................................72
5.2. Saran................................................................................................................73
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sebagai generasi muda, anak merupakan sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yaitu memerlukan
pembinaan dan mendapatkan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik dan mentalnya. Untuk melaksanakan pembinaan dalam
memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang
menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan
memadai, oleh karena itu penyelenggaraan upaya perlindungan anak perlu
dilakukan secara khusus. 1
Orang tua bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik
secara jasmani, rohani maupun sosial. Kewajiban orang tua terhadap anak, yaitu
mencukupi kebutuhannya baik fisik maupun psikis dan mendidiknya. Keluarga
merupakan titik awal bagi pengembangan anak. Pemenuhan kebutuhan yang
tidak tersedia di dalam keluarga dapat mendorong anak untuk mencarinya di luar.
Hal ini dapat menjadi pemicu anak untuk lebih memilih hidup di jalanan, atau
yang sering diistilahkan sebagai anak jalanan (street child).
1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan (Bandung: PT Refika
Aditama, 2012), halaman 1.
2
Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan
jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak,
keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan
tampaknya belum begitu besar. Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras,
mengingat dalam UUD 1945 Pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-
anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya sesungguhnya mereka yang
hidup terlantar (termasuk anak jalanan) juga harus menjadi perhatian negara.
Ironisnya, pemerintah seolah angkat tangan dalam menangani anak jalanan.
Malah terkadang pemerintah melakukan razia baik untuk gelandangan, pengemis
ataupun anak jalanan. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah solusi, karena akar
dari permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah kemiskinan. Jadi kalau ingin
tidak ada anak jalanan, gelandangan dan pengemis maka pemerintah seharusnya
memikirkan cara mengentaskan mereka dari kemiskinan. Mengentaskan
kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain agar menghindarkan anak dari
kehidupan jalanan dengan cara meningkatkan pendidikan pada anak jalanan,
karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain.
Secara yuridis terdapat dua landasan hukum yang mengharuskan pemerintah
untuk terus berupaya memberikan pelayanan kepada semua anak. Pertama,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
terutama pada Pasal 6 ayat (1) menegaskan “setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Kedua,
Konvensi Hak Anak yang secara eksplisit menganjurkan kepada semua negara
3
yang meratifikasi konvensi untuk menjamin kesejahteraan dan masa depan anak.
Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 26 Januari 1990.
Pemerintah Kota Semarang memiliki program dalam upaya perlindungan
anak jalanan yaitu mengajukan suatu model untuk mengentaskan anak jalanan di
Indonesia yakni dengan model Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), yang
baru mulai dilakukan sekitar tahun 1998. Sebagai salah satu dari lima kota yang
menjadi pilot proyek yang didukung pendanaannya oleh United Nations
Development Progamme (UNDP), ini berlanjut dengan program yang
dikembangkan ke 12 provinsi di Indonesia, termasuk provinsi Jawa Tengah. Kota
Semarang dipilih sebagai salah satu kota uji coba RPSA karena Semarang
merupakan ibu kota dari provinsi Jawa Tengah dan diperkirakan jumlah anak
jalanan yang relatif banyak. 2
Adapun langkah-langkah kebijakan yang diambil pemerintah daerah
khususnya pemerintah daerah Kota Semarang dalam menanggulangi serta
menekan meningkatknya anak jalanan adalah pemerintah daerah melalui Satpol
PP aktif melakukan razia anak jalanan. Pemkot sendiri pada masa itu mulai aktif
melakukan kampanye pelarangan pemberian uang kepada para pengemis dan
pengamen dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di
2 Asril, Wulandari dan Thalita Rifda Khaerani, “Strategi Penanganan Anak Jalanan di Dinas
Sosial Pemuda dan Olahraga Kota Semarang”, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro, 2017.
4
Kota Semarang. Salah satu upaya untuk mengentaskan anak jalanan melalui
program house parent. Anak-anak akan ditempatkan pada keluarga-keluarga
yang bersedia mengasuh mereka.
Selain itu upaya-upaya lain yang telah dilakukan antara lain dengan
memberikan beasiswa dan pelatihan kewirausahaan. Disamping itu, Dinas Sosial
Pemuda dan Olahraga Kota Semarang juga melakukan penjaringan terhadap 302
anak jalanan dengan rincian laki-laki 159 dan perempuan 143, yang dilakukan
oleh keempat RPSA yang dibagi menjadi empat wilayah penjaringan yaitu :
a. RPSA Pelangi yang melakukan penjaringan di wilayah Semarang Timur
b. RPSA Anak Bangsa yang melakukan penjaringan di wilayah Semarang
Barat
c. RPSA YKSS melakukan penjaringan di wilayah Semarang Utara
d. RPSA Gratama yang melakukan penjaringan di wilayah Semarang
Selatan3
Menangani anak jalanan tidaklah sederhana, oleh sebab itu penangananyapun
tidak dapat disederhanakan, sehingga diperlukan upaya perlindungan terhadap
anak jalanan agar tidak menjadi korban atau pelaku kejahatan. Anak jalanan
sangat rentan terhadap kriminalitas / kenakalan pada anak. Kriminalitas anak
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Kriminalitas anak mulai dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti tindakan berlebihan di
3 Dwi Ratih Chaeroti, dkk., “Strategi Penanganan Anak Jalanan di Kota Semarang”, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, 2013.
5
sekolah, pelanggaran-pelanggaran seperti melarikan diri dari rumah sampai pada
perilaku kriminal.
Anak jalanan harus dilindungi supaya tidak menjadi korban atau pelaku
kriminalitas . Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
pendataan dan penertiban secara rutin oleh Dinas Sosial yang bekerja sama
dengan Satpol PP dan Polisi. Penertibaan yang dilakukan ini bertujuan untuk
memberikan pembinaan di panti rehabilitasi sosial kepada anak jalanan agar tidak
menjadi korban atau pelaku tindakan kriminal. Dari uraian latar belakang yang
telah dijelaskan, memberikan pertimbangan beberapa permasalahan tersebut
sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul “Upaya Perlindungan
terhadap Anak Jalanan dalam Rangka Mencegah Kriminalitas Anak di
Kota Semarang”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka
Peneliti mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aturan hukum tentang perlindungan terhadap anak jalanan di Kota
Semarang?
2. Bagaimana upaya perlindungan terhadap anak jalanan di Kota Semarang
dalam rangka mencegah kriminalitas anak?
6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui aturan hukum tentang perlindungan terhadap
anak jalanan di Kota Semarang
b. Untuk mengetahui upaya perlindungan terhadap anak jalanan di
Kota Semarang dalam rangka mencegah kriminalitas anak
1.3.2 Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoretis
Secara teori hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan kajian lebih lanjut untuk menambah wawasan, khususnya
bagi perkembangan hukum pidana yang berkaitan dengan anak.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi pemerintah : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan utnutk membuat kebijakan/peraturan terkait dengan
perlindungan terhadap anak jalanan dalam rangka mencegah
kriminalitas anak
2) Bagi masyarakat : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
evaluasi dalam memberikan perlindungan terhadap anak jalanan
7
3) Bagi orangtua : hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadikan informasi bahwa anak mempunyai hak untuk
mendapat perlindungan.
1.4 Keaslian Penelitian
Berdasarkan judul skripsi yang Peneliti angkat, Peneliti menemukan
dua judul skripsi yang memiliki tingkat kemiripan yang hampir sama
dengan skripsi Peneliti, yaitu:
1. Bayu Christiyant, skripsi yang berjudul Penerapan Sanksi
Tindakan dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan
Pengemis di Kota Semarang. Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Semarang, tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan sanksi pidana dan hambatan yang dialami
dalam penerapan sanksi tindakan dalam Peraturan Daerah Nomor
5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan
Pengemis di Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis sosiologis dengan menggunakan data primer
dan data sekunder sebagai data pendukung. Pengumpulan data
dilakukan dengan mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan
lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sanksi
tindakan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang
8
Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang belum berjalan dengan baik dan efektif. Hambatan yang
dihadapi dalam penerapan sanksi yaitu walaupun sudah dilakukan
razia dan patroli, pada kenyataannya masih banyak ditemui anak
jalanan, pembinaan di panti rehabilitasi sosial dengan harapan
dapat memperbaiki pola pikir mereka, namun hal ini juga masih
gagal karena anak jalanan sudah merasa nyaman dengan profesi
tersebut, rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendukung
kebijakan yang ada, dan diperlukan kajian yang lebih dalam untuk
merealisasikan penegakan perda yang ada.
2. Siti Norjanah Bte Mazlan, skripsi yang berjudul Perlindungan
Hukum bagi Anak Jalanan Korban Eksploitasi Ekonomi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi anak jalanan korban
eksploitasi ekonomi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Anak, penanganan dan penecegahan dalam upaya mengatasi anak
jalanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis
(empiris) dengan menggunakan data sekunder dan data primer di
lapangan atau terhadap masyarakat. Pengumpulan data dilakukan
9
dengan mencari bahan kepustakaan dan undang-undang yang
berkaitan dengan eksploitasi ekonomi anak kemudian melakukan
penelitian di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlindungan hukum bagi anak jalanan korban eksploitasi ekonomi
berdasar Pasal 66 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
dilakukan melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat bekerja, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual
Penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang antara lain meliputi
pengawasan dan penertiban, pembinaan atau rehabilitasi sosial
bagi anak jalanan, serta pemberian bantuan materiil dalam bentuk
barang dan bukan uang, maupun immateriil bagi anak jalanan.
Secara rinci, letak persamaan, perbedaan dan orisinalitas
penelitian ini dijelaskan sebagaimana tabel berikut:
10
Orisinalitas Penelitian diantara Penelitian Sebelumnya
N
o
Nama Peneliti,
Judul dan Tahun
Penelitian
Persamaan Perbedaa
n
Orisinalit
as Penelitian
1 Bayu Christiyant,
Penerapan Sanksi
Tindakan dalam
Penanganan Anak
Jalanan, Gelandangan
dan Pengemis di Kota
Semarang. 2018
Pada subjek
penelitian yaitu
anak jalanan dan
objek penelitian di
Kota Semarang
Pada
kajian penelitian
yaitu tentang
penerapan
sanksi dan
hambatannya
dalam Perda
Nomor 5 Tahun
2014 tentang
Penanganan
Anak Jalanan,
Gelandangan
dan Pengemis di
Kota Semarang
Substans
i kajian yang
mendeskripsikan
tentang
penerapan
sanksi dan
hambatannya
dalam Perda
Nomor 5 Tahun
2014 tentang
Penanganan
Anak Jalanan,
Gelandangan
dan
Pengemis di
Kota Semarang
11
2 Siti Norjanah Bte
Mazlan, Perlindungan
Hukum bagi Anak Jalanan
Korban Eksploitasi
Ekonomi Berdasarkan
Undang-Umdang Nomor
35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang
Perlindungan Anak. 2015
Pada subjek
penelitian yaitu
anak jalanan dan
objek penelitian di
Kota Semarang
Pada isi
kajian penelitian
yaitu terfokus
pada
perlindungan
hukum bagi
anak jalanan
korban
eksploitasi
ekonomi
berdasarkan
Undang-Undang
Perlindungan
Anak
Isi kajian
penelitian
terfokus pada
perlindungan
hukum bagi
anak jalanan
korban
eksploitasi
ekonomi
berdasarkan
Undang-Undang
Perlindungan
Anak
Dari beberapa hasil penelitian di atas, terdapat beberapa titik
perbedaan yang sangat mendasar dengan penelitian ini, yaitu:
1. Kajian pada penelitian ini ingin mengetahui secara mendalam tentang
aturan hukum dan upaya perlindungan terhadap anak jalanan di Kota
Semarang dalam rangka mencegah kriminalitas anak
2. Penelitian ini khusus membahas upaya perlindungan terhadap anak
jalanan di Kota Semarang
12
Orisinalitas penelitian di atas dapat kita analisis bentuknya, yaitu:
1. Yang membedakan nama dan judul skripsinya
2. Hasil penelitiannya
Dengan adanya orisinalitas penelitian ini, maka hal-hal yang menjadikan
plagiat dalam sebuah skripsi terdahulu dapat dihindari, karena meskipun mirip
ataupun banyak persamaan, skripsi peneliti mempunyai sisi perbedaannya.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang tinjauan umum tentang anak,
tinjauan umum tentang anak jalanan, tinjauan umum tentang
perlindungan terhadap anak jalanan, tinjauan umum tentang
kriminalitas anak.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai jenis penelitian, metode
pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data
dan metode analisis data.
13
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai aturan hukum tentang
perlindungan terhadap anak jalanan di Kota Semarang dan
upaya perlindungan terhadap anak jalanan di Kota Semarang
dalam rangka mencegah kriminalitas anak.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan mengenai simpulan dari hasil
penelitian dan pembahasan, serta saran bagi pihak terkait.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Anak
2.1.1. Pengertian Anak
Di Indonesia, pengertian atau batasan seorang anak dapat dikatakan
belum ada keseragaman dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Namun setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Perlindungan Anak (selanjutnya
ditulis Undang-Undang Perlindungan Anak) barulah ada suatu patokan khusus
yang dipakai, karena Undang-Undang ini bersifat lex specialis. Pengertian
anak menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah “Seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.4
Pengertian anak menurut peraturan – peraturan hukum yang lain,
diantaranya :
4 Apong Herlina, dkk., Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.( Jakarta: UNICEF Indonesia, 2003), halaman 78.
15
1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 butir 2,
menerangkan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan
tidak lebih dulu telah kawin.
3) Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child)
Dalam konvensi ini anak secara umum sebagai manusia yang
umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun diberikan juga
pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan
dalam perundangan nasional.
4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 butir 1 menerangkan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
16
Pasal 1 butir 2 menerangkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
2.1.2 Hak-Hak Anak
Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara. Hak-hak perlindungan anak telah dijamin dengan
diadakannya Konvensi Hak Anak yang memuat empat hak yaitu Survival
Rights, Development Rights, Protection Rights, dan Participation Rights.
Indonesia menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the
Child (Kovensi Hak Anak). Selain itu, di dalam UUD 1945 juga telah
diamanatkan untuk melindungi anak-anak yang mana pada Pasal 28 b ayat (2)
disebutkan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
dan Pasal 34 berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara”.
Perlindungan terhadap hak-hak anak juga termuat dalam UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian hal-hal tentang
kesejahteraan anak telah diatur pada UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak serta hal-hal mengenai perlindungan anak pada UU No.
23 Tahun 2002. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 menyatakan:
17
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan pengetahuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk mejadi warga negara yang baik dan
berguna
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar
Hak anak berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak :
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4)
b. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8)
c. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya (Pasal 9 ayat (1))
18
2.2 Tinjauan Umum Tentang Anak Jalanan
2.2.1 Pengertian Anak Jalanan
Anak jalanan ialah anak yang sebagian besar waktunya berada di
jalanan atau di tempat-tempat umum untuk sekedar bermain ataupun mencari
uang. Anak jalanan rata-rata berusia 5 sampai 18 tahun. Pada umumnya
mereka berpenampilan kusam dan mengenakan pakaian yang tidak rapi.
Anak jalanan melakukan kegiatan berjualan di jalanan, meminta-minta
atau hanya berkeliaran saja di jalanan. Anak jalanan murni menurut Asmawati
adalah anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalanan serta tidak
memiliki hubungan erat dengan keluarga.5 Departemen Sosial RI
mendefinisikan, “anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-
tempat lainnya”.6
2.2.2 Klasifikasi Anak Jalanan
Pada tahun 1999, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
membedakan anak jalanan menjadi 4 kelompok, yaitu :7
5 Asmawati, “Anak Jalanan dan Upaya Penanganannya di Kota Surabaya” (Jurnal Hakiki. Vol.
1, No. 2, 2001). 6 Murniatun, “Problematika Anak Jalanan, Studi Mengenai Pengamen Jalanan di Kota
Yogyakarta” (Laporan Penelitian Praktikum II, Universitas Gajah Mada, 2004).
7 Siregar Hairani, dkk, ”Faktor Dominan Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Medan”. Jurnal
Studi Pembangunan, Vol. 1, No. 2, (Online),
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15379/1/stp-apr2006-%20%283%29.pdF, diakses 10
September 2018), 2018.
19
a. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya
Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua
fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga
sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial
psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan,
penyiksaan dan perceraian orang tua.
b. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua
Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the
street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang
pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya
mereka menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung,
dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama
dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
c. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya
Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan
sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa
teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua.
Pekerjaan yang sering dilakukan adalah berjualan koran.
d. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun
Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil
suatu pekerjaan. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang
20
dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka
biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan
(kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
2.3 Tinjauan Umum tentang Perlindungan terhadap Anak Jalanan
2.3.1 Pengertian Perlindungan Anak Jalanan
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dann berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.8 Perlindungan terhadap anak wajib dilakukan oleh
keluarga, masyarakat dan negara agar diharapkan anak tidak kekurangan
suatu apapun yang dapat mengakibatkan anak turun ke jalanan.
Perlindungan anak jalanan bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera. 9
Dalam pembinaan generasi muda ini tersangkut berbagai faktor,
namun demikian pelaksanaan perlindungan serta pembinaan generasi
muda hendaknya terjadi dalam empat lingkup pembinaan, yakni:
8 Herlina, op.cit., halaman 63.
9 Sugianto, “Perlindungan Hukum terhadap Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum Positif dan
Hukum Islam”, (Jurnal Syariah dan Hukum .Vol. 5, No. 2, hlm.146-153. Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri, 2013).
21
1. Keluarga
Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan
utama bagi seorang anak. Pendidikan yang diterima anak dari
orang tua dalam keluarga akan menjadi bagian dari pribadinya.
2. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang
memberikan pengajaran dan pendidikan. Dengan sekolah, anak
diajak dan dipersiapkan untuk menjadi seseorang dewasa yang
bertanggungjawab dan mampu mengatasi segala persoalan.
3. Masyarakat
Pada usia anak dan remaja, pengaruh lingkungan
masyarakat terkadang lebih besar daripada pengaruh keluarga,
sebab saat ini merupakan masa pengembangan kepribadian,
memerlukan pengakuan lingkungan teman-teman dan masyarakat
pada umumnya.
4. Agama
Ketaatan beribadah memberikan rasa tenang dan bahagia
sebab hati dekat dengan Tuhan, sehingga agama akan mampu
membentuk sikap pribadi yang positif bagi anak dalam
menghadapi berbagai persoalan kehidupan.10
10
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (PT Refika Aditama, 2006), halaman 63.
22
2.3.2 Faktor-faktor penyebab adanya anak jalanan :
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya anak
jalanan adalah sebagai berikut :
a. Kemiskinan individu dan keluarga
Kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang
menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan mengemis
dikarenakan tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
b. Umur
Faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang
bagi mereka melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis
karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat.
c. Pendidikan formal
Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak,
semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal
di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi gelandangan dan
pengemis dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki
kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari
kemiskinan orang tua.
23
d. Ijin orang tua
Sebagian besar anak-anak yang melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis diketahui bahwasanya mereka telah
mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang
tuanya.
e. Rendahnya keterampilan
Para pengemis dan gelandangan merupakan orang-orang
tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan akademik atau di
dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong umur relatif
lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah
memperoleh pendidikan keterampilan. Oleh karena itu, kegiatan
menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling mudah
untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah.
f. Sikap mental
Kondisi ini terjadi karena dipikiran para anak jalanan,
gelandangan dan pengemis muncul kecenderungan bahwa
pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-
biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk
memperoleh penghasilan. Selain itu, sikap mental yang malas ini
juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat lainnya
atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan menggelandang dan
24
mengemis yang dilakukan oleh warga karena keadaan ekonomi
mereka yang sangat terbatas.
g. Sulitnya memperoleh modal usaha
Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal
usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal usaha
memerlukan beberapa syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh
keluarga miskin, yang menyebabkan mereka mencari pekerjaan
lain yang tidak membutuhkan modal yakni mengemis.11
2.4 Tinjauan Umum tentang Kriminalitas Anak
2.4.1 Pengertian Kriminalitas Anak
Kriminalitas anak merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak. Kenakalan anak erat kaitannya dengan kriminalitas anak.
Kenakalan anak tidak hanya tindakan-tindakan kriminal saja, melainkan
segala tindakan yang dilakukan oleh anak yang dianggap melanggar
nilai-nilai sosial ataupun masyarakat. Anak yang berusia 12 sampai
dengan 18 tahun merupakan rentang usia yang dalam perspektif
psikologi tergolong pada masa remaja yang memiliki karakteristik
perkembangan yang mungkin membuat anak sulit untuk melakukan
penyesuaian diri sehingga memunculkan masalah perilaku. Anak nakal
11
Artidjo Alkotsar, Advokasi Anak Jalanan (Jakarta: Rajawali, 1984), halaman 52.
25
atau kriminal dianggap sebagai anak maladaptive yaitu anak yang tidak
dapat melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma sosial.12
Kenakalan anak menurut Kartini Kartono disebut juga dengan
Juvenile Deliquency. Pengertian Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat
/ dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala
sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan
oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.13
Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang
anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
2.4.2 Faktor-Faktor Kriminalitas / Kenakalan Anak
Faktor yang menyebabkan anak melakukan kenakalan adalah
sebagai berikut :
12
Santrock,J.W., Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan Damanik,J. Dan Chusairi, A
(Jakarta: Erlangga, 2003), halaman 38. 13
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),
halaman 7
26
1. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh
anak, merupakan aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak.
Hal ini dapat terjadi karena konsep diri yang rendah, penyesuaian
sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap
yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah. Lingkungan
pertama seorang anak adalah lingkungan keluarga, ketika meginjak
masa remaja maka anak mulai mengenali dan berinteraksi dengan
lingkungan selain lingkungan keluarganya.
Pada situasi ini, anak cenderung membandingkan kondisi di
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman
sebayanya atau bahkan lingkungan sosial dimana masing-masing
lingkungan tersebut memiliki kondisi yang berbeda-beda. Perbedaan
berbagai kondisi lingkungan itu, menyebabkan anak mengalami
kebingungan dan mencari tahu serta berusaha beradaptasi agar
diterima oleh masyarakat.14
Pada saat mengalami kondisi berganda itu,
kondisi psikologis anak yang masih labil, sehingga dapat
menimbulkan perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan
oleh anak.
14
Sarwono, S.W, Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali, 2013)
27
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang besar pengaruhnya terhadap anak dengan
kriminalitas adalah keluarga dalam hal ini kondisi lingkungan
keluarga. Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak
dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan
munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh
remaja. Beberapa penelitian mengenai perkembangan kenakalan dan
kriminalitas pada remaja, ditemukan bahwa tindak kriminal
disebabkan adanya pengalaman pada pengasuhan yang buruk.
Ketika anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, disia-
siakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa
perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri
yang rendah, juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut
pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial.
Kemudian pada saat anak-anak mulai masuk di lingkungan sekolah,
anak dengan harga diri yang rendah akan mendapatkan isolasi dari
kelompok sebayanya dan mengalami kesulitan dalam sekolah,
membolos, serta mengalami kegagalan dalam kegiatan akademik di
sekolah. Anak-anak tersebut kemudian berkembang menjadi remaja
yang memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dalam geng, dan
kelompok sebaya yang menyimpang, serta pengarahan diri dalam
28
kekerasan, karena menganggap teman sebaya seperti itulah yang dapat
menerima kondisi mereka.
Saat mereka beranjak dewasa, mereka akan meneruskan perilaku
kekerasan, penerimaan dan kekerasan dalam hubungan pribadi, dan
berkelanjutan dalam siklus kekerasan ketika mereka menikah. Hal ini
secara tidak langsung dapat menerapkan pola asuh yang mengandung
unsur kekerasan pada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya akan
berkembang menjadi individu yang melakukan kenakalan dan
tindakan kriminal.
2.4.3 Sanksi Pidana terhadap Kriminalitas Anak
Di dalam sistem hukum perlindungan anak, Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menggunakan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang
berhadapan dengan hukum memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu :
1. Anak yang berkonflik dengan hukum atau disebut Anak
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
29
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak
Korban
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh tindak pidana.
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi
Anak yang belum berumur 18 (d elapan belas) tahun yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Penerapan sanksi terhadap pelaku anak berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih
mengedepankan kepada pendekatan keadilan restoratif serta penerapan diversi
dalam sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Secara konsep melalui pendekatan ini respon terhadap kerusakan yang terjadi
dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana yang dilakukan
30
oleh anak lebih ditekankan pada bagaimana memulihkan kepada keadaan
semula, bukan untuk melakukan pembalasan terhadap anak sebagai pelaku.15
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyatakan bahwa terdapat dua sanksi pidana yaitu berupa
pidana dan tidakan. Ancaman sanksi terhadap anak penganut sistem dua jalur
atau double track system yang merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi
dalam hukum pidana, yakni sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi
pidana di pihak lain.16
Sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern
berorientasi pada pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi yang ditetapkan tidak
hanya meliputi sanksi pidana saja melainkan juga sanksi tindakan. Pengakuan
tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang
merupakan hakikat asasi dari konsep double track system.
1. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana
anak, terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi :
Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
15
Distia Aviandari, "Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak", Pledoi, Edisi I/2013, hlm. 13 16
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Rajawali Press, Kota Besar, 2002,
hlm. 17
31
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga; dan
e. Penjara.
Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
2. Sanksi Tindakan
Sanksi tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sanksi tindakan
yang dapat dikenakan kepada anak meliputi:
a. Pengembalian kepada orang tua/wali;
b. Penyerahan kepada seseorang;
c. Perawatan di rumah sakit jiwa;
d. Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial);
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
Untuk anak pelaku tindak pidana yang belum berusia 14 (empat belas) tahun
hanya dapat dikenakan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang menyatakan bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya
dapat dikenai tindakan. Selain itu, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
32
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal anak belum
berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana,
penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil
keputusan untuk:
1. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali
2. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS (Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6
(enam) bulan.17
17 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
2010, hlm. 76
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian yuridis sosiologis.
Yuridis sosiologis adalah suatu pendekatan dengan berdasarkan norma-norma atau
peraturan yang mengikat, sehingga diharapkan dari pendekatan ini dapat diketahui
bagaimana hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat itu dapat
dipelajari sebagai suatu variabel penyebab yang menimbulkan akibat-akibat pada
berbagai segi kehidupan sosial.18
Jenis penelitian yuridis sosiologis menggunakan
data primer, dimana data primer tersebut didapatkan langsung dari sumber
sehingga masih berupa data mentah.
3.2 Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian
juga hukum dalam pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan objek
penelitian.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih
dari satu variabel. Namun, variabel tidak saling bersinggungan sehingga disebut
penelitian bersifat deskriptif. Analisis data tidak keluar dari lingkup sampel,
18
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Bandung, 1990),
halaman 34
34
bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang
kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau
menunjukkan komperasi atau hubungan seperangkat suatu data dengan
seperangkat data yang lain.19
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer didapatkan dari hasil wawancara dengan Pegawai Dinas Sosial Pemerintah
Kota Semarang dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara Kota Semarang.
Dalam penelitian ini juga diperlukan data pendukung yaitu data sekunder. Data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan
objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk skripsi/jurnal dan peraturan
perundang-undangan.
Dalam metode pengumpulan data sekunder, penulis menggunakan data
kepustakaan. Kepustakaan yaitu penelitian untuk menghimpun informasi yang
relevan dengan topik atau masalah yang sedang diteliti. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah,
tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan,
ensiklopedia dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.20
Data sekunder di bidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya,
dapat dibedakan menjadi :
19
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2015) 20
Ibid., halaman 100.
35
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang Penulis gunakan adalah :
a. Norma dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
b. Peraturan Perundang-Undangan terkait seperti :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
36
9) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
10) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
11) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mempunyai
kekuatan dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder yang Penulis gunakan adalah buku, jurnal, artikel,
hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil penelitian.
3.4 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analitis-kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Dalam hal ini Penulis melakukan
riset wawancara dengan salah satu pegawai Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga
Kota Semarang dan Yayasan (LSM) Setara Semarang.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Aturan Hukum tentang Perlindungan terhadap Anak Jalanan di Kota
Semarang
Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-
haknya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 b ayat (2) yang
berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selain perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, anak juga mendapat perlindungan dari perlakuan
eksploitasi, penelantaran, kekerasan, ketidakadilan dan perlakuan yang salah lainnya
yang dilakukan oleh orang lain maupun orang yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak tersebut.
Anak memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan
pendidikan sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Dengan diberikannya pelayanan kesehatan, jaminan sosial dan
pendidikan bagi anak, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan fisik, mental, spiritual
dan sosial dalam pengembangan kemampuan guna mencapai potensi yang maksimal.
Tetapi pada kenyataannya, di Indonesia khususnya di Kota Semarang masih banyak
anak yang belum terpenuhi hak-haknya yaitu anak jalanan.
Kota Semarang memiliki pengaturan khusus yang mengatur mengenai
penanganan anak jalanan. Peraturan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5
38
Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang, yang
dimaksud anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja
di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Fenomena anak jalanan bukanlah persoalan yang baru, khususnya di Kota
Semarang. Kita dapat menjumpai anak jalanan tersebut di lampu merah, stasiun,
terminal, tempat belanja, tempat ibadah dan tempat-tempat umum lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Anggie Ardhita selaku Kepala
Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang di Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga
Kota Semarang pada tanggal 7 November 2018 menyatakan terdapat kurang lebih
302 anak jalanan di Kota Semarang. Anak-anak yang disuruh orang tuanya untuk
berkerja di jalanan berupa berjualan bahkan meninta- minta inilah yang disebut
sebagai anak jalanan. Faktor anak menjadi anak jalanan :
1. Ekonomi dan keluarga
Tidak dapat dipungkiri banyaknya anak turun ke jalanan karena
mengalami kesulitan ekonomi dari keluarganya, sehingga mereka disuruh
orang tuanya untuk bekerja di jalanan seperti berjualan koran, mengamen
bahkan mengemis
39
2. Pola pikir
Anak jalanan yang bekerja di jalanan mereka menganggap hal itu sebagai
profesi, turun ke jalanan adalah hal yang biasa
3. Lingkungan
Anak yang memiliki pergaulan dengan anak jalanan secara tidak langsung
dapat mendorong anak tersebut untuk mengikuti temannya yang hidup di
jalanan.21
Keberadaan anak jalanan secara dominan dipengaruhi oleh krisis ekonomi
keluarga. Pada keluarga yang memiliki ekonomi tergolong rendah, orang tua akan
melibatkan anaknya untuk mencari nafkah dengan turun ke jalanan untuk meminta-
minta uang ataupun bekerja di jalanan. Misalnya berjualan koran keliling dan
mengamen. Anak jalanan yang sudah mendapat pembinaan namun kembali turun ke
jalanan, mereka akan mendapat sanksi yang lebih berat sesuai Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
di Kota Semarang. 22
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Penulis, Penulis
tidak menemukan penjelasan tentang apa yang disampaikan oleh Anggie Ardhita
tersebut didalam pasal-pasal Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang.
21
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018). 22
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018).
40
Dibentuknya Peraturan Daerah tersebut sebagai upaya penanganan terhadap
permasalahan-permasalahan sosial di Kota Semarang. Keberadaan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
di Kota Semarang sangat diperlukan agar penanganan permasalahan sosial dapat
dilakukan secara sinergis dan berkesinambungan antara pemerintah dan non-
pemerintah. Penanganan anak jalanan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang meliputi penanganan pencegahan, rehabilitasi sosial dan penanganan lanjut
pasca rehabilitasi sosial. Hal ini diatur dalam Pasal 5.
Tahapan pertama dalam penanganan anak jalanan menurut Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
di Kota Semarang adalah penanganan pencegahan. Penanganan pencegahan
merupakan suatu bentuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan
terorganisir untuk mencegah timbulnya anak jalanan di jalanan. Penanganan
pencegahan diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi:
Penanganan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) meliputi :
a. pendataan, termasuk pemetaan daerah sumber;
b. sosialisasi;
c. pemantauan, pengendalian dan pengawasan; dan
d. kampanye
Penanganan pencegahan tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya anak
jalanan, gelandangan dan pengemis agar jumlahnya tidak terus meningkat sepanjang
tahunnya. Penanganan pencegahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
anak.
41
Tahapan kedua setalah dilakukan pencegahan adalah dilakukannya
penanganan rehabilitasi sosial, yaitu proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf
kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para penyandang masalah kesejahteraan
sosial dalam hal ini anak jalanan, mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam
tantangan kehidupan dan penghidupan bermasyarakat dan bernegara. Rehabilitasi
sosial tersebut diatur dalam Pasal 11 Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang, yang
berbunyi:
Penanganan Rehabilitasi sosial dilakukan dengan cara :
a. perlindungan;
b. pengendalian sewaktu-waktu;
c. penampungan sementara;
d. pendekatan awal;
e. pengungkapan dan pemahaman masalah (Assesment);
f. bimbingan sosial dan pemberdayaan; dan
g. rujukan
Tujuan dilakukannya rehabilitasi sosial terhadap anak jalanan adalah
diharapkan anak jalanan ini dapat kembali melakukan fungsi sosialnya,
berkomunikasi dan berinteraksi secara wajar dengan masyarakat.
Tahapan ketiga setelah dilakukan rehabilitasi adalah dilakukannya tahap
lanjut pasca rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis
di Kota Semarang yang berbunyi:
Usaha penanganan lanjut pasca rehabilitasi sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu :
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan fisik;
42
c. bimbingan sosial;
d. bimbingan hukum;
e. bimbingan pra sekolah;
f. penempatan pendidikan formal dan nonformal (Paket A, Paket B, dan
Paket C);
g. bantuan stimulans beasiswa dan peralatan sekolah;
h. bimbingan, pelatihan keterampilan dan kewirausahaan;
i. bantuan stimulans peralatan kerja dan modal usaha;
j. penempatan kerja atau magang;
k. merujuk ke panti jompo atau rumah sakit jiwa;
l. mengembalikan kepada pihak keluarga atau ke daerah asal;
m. pembinaan keluarga;
n. pembinaan pola kemitraan usaha;
o. pelatihan pengembangan bakat seni; dan
p. pelayanan berbasis masyarakat.
Dengan adanya tahapan penanganan anak jalanan tersebut diharapkan jumlah
anak jalanan di Kota Semarang dapat berkurang. Selain tahapan tersebut, terdapat
juga larangan dan sanksi bagi masyarakat atau orang yang memberikan uang kepada
anak jalanan. Larangan ini bertujuan agar anak jalanan tidak menggantungkan sumber
perekonomiannya dengan cara mengemis, mengamen dan meminta belas kasihan
orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Anggie Ardhita, selaku Kepala Seksi
Tuna Sosial dan Perdagangan Orang di Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota
Semarang, beliau berpendapat bahwa Peraturan Daerah Kota Semarang sudah efektif
dan efisien untuk saat ini, hanya saja mungkin pada penerapan sanksi kurang tegas.
Penegak Peraturan Daerah salah satunya Satpol PP yang dalam hal ini melakukan
operasi terhadap anak jalanan kurang maksimal karena mungkin yang ditangani
Satpol PP terlalu banyak. Karena selain anak jalanan, Satpol PP juga menangani
pedagang kaki lima (PKL). Berdasarkan faktor yang melatarbelakangi anak turun ke
jalanan menunjukkan bahwa anak jalanan adalah korban dari suatu keadaan yang
43
memaksa mereka turun ke jalanan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Maka diperlukan upaya perlindungan terhadap anak jalanan agar tidak terjerumus
dalam suatu tindakan kriminal oleh anak.
4.2 Upaya Perlindungan terhadap Anak Jalanan di Kota Semarang dalam
Rangka Mencegah Kriminalitas Anak
Dalam menangani anak jalanan, di setiap daerah mempunyai cara yang
berbeda-beda. Dalam pembahasan mengenai anak jalanan akan lebih difokuskan pada
upaya perlindungan anak jalanan dalam rangka mencegah kriminalitas anak di Kota
Semarang karena mengingat tempat penelitian berada di Kota Semarang. Penanganan
dalam rangka mencegah kriminalitas anak khususnya pada anak jalanan di Kota
Semarang dilakukan oleh Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang dan
melibatkan lembaga pendamping yang khusus melindungi dan mendampingi anak
jalanan yaitu salah satunya Yayasan Setara Kota Semarang
4.2.1 Dinas Sosial,Pemuda dan Olahraga Kota Semarang
4.2.1.1 Visi
Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang memiliki visi
yaitu "TERWUJUDNYA KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT,
KEPEMUDAAN DAN KEOLAHRAGAAN YANG BERDAYA SAING"
Yang berarti bahwa kesejahteraan sosial ini mengandung arti bahwa
pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang telah, sedang, dan akan
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat ditujukan untuk mewujudkan
44
suatu kondisi masyarakat yang masuk ke dalam kategori PMKS menjadi
berkesejahteraan. Kondisi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dimana kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melakukan fungsi
sosialnya.
4.2.1.2 Misi
Berdasarkan Visi tersebut, maka Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga
Kota Semarang mempunyai Misi sebagai berikut :
1. Meningkatkan profesionalisme pelayanan dan rehabilitasi sosial guna
pemenuhan hak dasar bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Pernyataan tersebut memiliki tujuan, sasaran, kebijakan strategis, progam
sebagai berikut :
a. Tujuan
Terwujudnya pelayanan dan rehabilitasi sosial yang berkualitas guna
pemenuhan hak dasar bagi penyandang masalah kesejahteaan sosial
yang sistematis, berkelanjutan dan bermartabat melelui pelayanan
panti dan non panti secara terpadu.
b. Sasaran :
Meningkatnya penanganan, pelayanan dan rehabilitasi PMKS 20%
45
c. Kebijakan Strategis :
Memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar. Dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koresif, baik
dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga-lembaga sosial yang
bergerak di bidang UKS (Usaha Kesejahteraan Sosial).
d. Program :
1) Pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil dan PMKS
Rincian kegiatan program :
a) Peningkatan kemampuan (Capacity Building) petugas dan
pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin
b) Pelatihan keterampilan bagi penyandang masalah kesejahteraan
sosial
c) Fasilitasi manajemen usaha bagi keluarga miskin
d) Pengadaan sarana dan prasarana pendukung usaha bagi kelurga
miskin
2) Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial
Rincian kegiatan program :
a) Pengambangan kebijakan tentang akses sarana dan prasarana
publik bagi penyandang cacat dan lanjut usia
46
b) Pelayanan psikososial bagi PMKS di trauma centre termasuk
bagi korban bencana
c) Pembentukan pusat informasi penyandang cacat dan trauma
center
d) Peningkatan kualitas pelayananan sarana dan prasarana
rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi PMKS
e) Penyusunan kebijakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi
PMKS
f) Penanganan masalah-masalah strategis yang menyangkut
tanggap cepat darurat dan kejadian luar biasa
g) Pembinaan lingkungan sosial
h) Bimbingan lanjut bagi PMKS purna bina
3) Pembinaan anak terlantar
Rincian kegiatan program :
a) Pembangunan sarana dan prasarana tempat penampungan anak
terlantar
b) Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak
terlantar
c) Penyusunan data dan analisis permasalahan anak terlantar
d) Pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar
47
e) Peningkatan keterampilan tenaga pembinaan anak terlantar
f) Pembangunan Pusat Rehabilitasi Sosial
4) Pembinaan para penyandang cacat dan trauma
Rincian kegiatan program :
a) Pendataan penyandang cacat dan penyakit kejiwaan
b) Pembanguna sarana dan prasarana perawatan para penyandang
cacat dan trauma
c) Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat eks trauma
d) Pendayagunaan para penyandang cacat eks trauma
e) Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik
5) Pembinaan panti asuhan / panti jompo
Rincian kegiatan program :
a) Pembangunan sarana dan prasarana panti asuhan/jompo
b) Rehabilitasi sedang/berat bangunan panti asuhan/ jompo
c) Operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana panti
asuhan/ jompo
d) Peningkatan keterampilan tenaga pendidik
6) Pembinaan eks penyandang penyakit sosial
Rincian kegiatan program :
a) Pendidikan dan pelatihan keterampilan berusaha bagi eks
penyandang penyakit sosial
48
b) Pembangunan pusat bimbingan/ konseling bagi eks
penyandang penyakit sosial
c) Pemantauan kemajuan perubahan sikap mental eks
penyandang penyakit sosial
d) Pemberdayaan eks penyandang penyakit sosial
2. Meningkatnya perlindungan dan jaminan sosial bagi PMKS. Pernyataan
tersebut memiliki tujuan, sasaran, kebijakan strategis, progam sebagai berikut:
a. Tujuan :
Terpenuhinya perlindungan dan jaminan sosial bagi PMKS
b. Sasaran :
Penduduk yang bekerja di sektor informal berpenghasilan rendah yang
tidak tercakup dalam sistem asuransi formal sejumlah 1000 orang untuk
mendapatkan ASKESOS
c. Kebijakan Strategis :
Jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial
dan bantuan langsung berkelanjutan
d. Program :
1) Bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial
2) Rincian kegiatan pada masing-masing program
3) Bantuan kesejahteraan sosial
49
4) Peningkatan petugas pelaksana pengelolaan jaminan kesejahteraan
sosial
5) Fasilitasi pemberian bantuan dan jaminan / asuransi kesejahteraan
sosial
3. Mengembangkan potensi serta peran aktif masyarakat, keluarga,
organisasi/lembaga sosial, dunia usaha guna mendukung pembangunan
kesejahteraan sosial serta meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial untuk menjamin
keberlanjutan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan
pemberdayaan kesejahteraan sosial.
a. Tujuan :
1) Terwujudnya peran aktif masyarakat dalam menangani permasalahan
sosial
2) Terjaminnya penghargaan bagi pejuang, perintis kemerdekaan, dan
keluarga pahlawan
b. Sasaran :
1) Meningkatnya peran serta organisasi sosial di bidang UKS sebesar
20%
50
2) Meningkatnya kesejahtraan sosial bagi para pejuang, perintis
kemerdekaan dan keluarga pahlawan yang mendapatkan santunan
kesejahteraan sebesar 20%
c. Kebijakan Strategis :
1) Meningkatnya profesionalisme SDM kesejahteraan sosial berbasis
pekerjaan sosial dalam penanganan masalah dan potensi
kesejahteraan sosial
2) Memantapkan manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial
dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan serta koordinasi dengan pemangku kepentingan
3) Meningkatkan kepedulian terhadap kesejahteraan sosial bagi para
pejuang, perintis kemerdekaan dan keluarga pahlawan
d. Program pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial
Rincian kegiatan pada masing-masing program :
a) Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial
b) Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha
c) Peningkatan jejaring kerjasama pelaku-pelaku usaha kesejahteraan
sosial masyarakat
d) Peningkatan kualitas SDM kesejahteraan sosial masyarakat
e) Operasional Panti Khusus Among Jiwo
f) Penyantunan bagi lanjut usia potensial luar panti
51
g) Pemberdayaan dan pengembangan karang taruna
h) Fasilitasi terhadap organisasi sosial
i) Pemberdayaan dan pengembangan pekerja sosial masyarakat
j) Penumbuhan dan pengembangan lembaga konsultasi kesejahteraan
keluarga
k) Pembinaan dan pengembangan kelompok usaha bersama (KUBE)
l) Pembinaan dan pengembangan usaha ekonomi produktif (UEP)
m) Pembinaan dan pengembangan kesetiakawanan sosial serta
pelestarian nilai-nilai kepahlawanan
4.2.1.3 Upaya dan hambatan dalam rangka mencegah kriminalitas terhadap anak
jalanan
Anak turun ke jalanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
ekonomi, keluarga, pola pikir dan lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan oleh Anggie Ardhita, selaku Kepala Seksi Tuna Sosial dan
Perdagangan Orang di Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang ,
anak jalanan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anak jalanan murni
Yang dimaksud anak jalanan murni dalam hal ini adalah anak
jalanan yang memang tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai
siapa-siapa di Kota Semarang dan asli dari jalanan.
2. Anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor keluarga
52
Yang dimaksud anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor keluarga
dalam hal ini adalah anak jalanan yang sengaja di eksploitasi oleh orang
tua mereka. Eksploitasi adalah memanfaatkan, memperalat dan memeras
orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau lembaga baik
material maupun non material. Anak jalanan tersebut disuruh orang
tuanya untuk mengemis, berjualan koran, dll.
3. Anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor lingkungan
Yang dimaksud anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor
lingkungan dalam hal ini adalah anak jalanan yang mengikuti temannya
di jalanan23
Penanganan anak jalanan di Kota Semarang merupakan tanggung
jawab dan kewajiban Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang.
Berdasarkan data mengenai anak jalanan yang diberikan oleh Anggie Ardhita,
terdapat sekitar 302 anak jalanan yang tersebar di Kota Semarang tahun 2018.
Jumlah anak jalanan yang cukup tinggi tersebut dapat menggangu ketertiban
di jalan raya dan dapat membuat masyarakat resah akan keberadaannya.
Karena menurut pandangan masyarakat anak jalanan merupakan anak nakal
yang erat kaitannya dengan perilaku kriminal. Berdasarkan hal tersebut maka
23
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018).
53
diperlukan upaya perlindungan terhadap anak jalanan agar tidak terjerumus
dalam tindakan kriminal.
Anak jalanan rentan melakukan tindakan kriminal. Contoh kasus yang
menimpa anak jalanan di Kota Semarang pada akhir-akhir ini adalah kasus
anak jalanan yang melakukan pembunuhan terhadap seorang perempuan di
lokalisasi Sunan Kuning Semarang. Anak jalanan tersebut sudah melakukan
tindakan kriminal selama 2 kali. Tindakan kriminal yang pertama dilakukan
pada saat ia berumur 14 tahun, ia melakukan aksi begal. Lalu pada umur 16
tahun dia melakukan pembunuhan tersebut.
Kronologi kasusnya yaitu anak jalanan itu pergi ke lokalisasi Sunan
Kuning. Ia berkencan dengan perempuan dan sudah main (berhubungan
badan-pen) 1 kali, ia ingin menambah lagi tetapi tidak mempunyai cukup
uang. Perempuan tersebut tidak mau diajak berhubungan badan lagi, lalu ia
marah dan akhirnya membunuh perempuan tersebut. 24
Berdasarkan kasus
tersebut, Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada umumnya anak
jalanan rentan melakukan tindakan kriminal. Oleh karena itu, anak jalanan
harus mendapatkan perhatian dan pengawasan agar tidak terjerumus dalam
tindakan kriminal.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Anggie Ardhita,
selaku Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang di Dinas Sosial,
24
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018).
54
Pemuda dan Olahraga Kota Semarang, faktor anak jalanan rentan melakukan
tindakan kriminal adalah :25
1. Minum-minuman ( alkohol )
2. Narkoba
3. Lingkungan ( teman )
Walaupun anak jalanan sudah dibina, namun tidak menutup
kemungkinan untuk tidak melakukan tindakan kriminal. Karena pengawasan
yang dilakukan tidak mungkin dapat maksimal 24 jam. Pembinaan yang
dilakukan selain oleh Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang
juga dapat dilakukan oleh Yayasan (LSM).
Pada penelitian ini, peneliti juga melakukan wawancara terhadap salah
satu yayasan di Kota Semarang. Yayasan tersebut adalah Yayasan Setara yang
khusus menangani anak jalanan. Yayasan ini berlokasi di Jalan Sampangan
Baru Blok A Nomor 14, Sampangan, Kota Semarang. Pembinaan yang
dilakukan seperti kegiatan edukasi, belajar bersama tetapi tidak disekolahkan.
Karena jumlah anak jalanan banyak, sehingga apabila di sekolahkan semua
tentunya memerlukan biaya yang banyak.
Penanganan yang dilakukan Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota
Semarang adalah langkah awal anak jalanan diberi pertanyaan dahulu oleh tim
25
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018).
55
dari Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang, dimana dia yang
ditugaskan turun ke jalanan untuk menemui mereka dan melakukan
pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment). Dalam assesment itu
kalau memang mereka tidak mempunyai keluarga, Dinas Sosial, Pemuda dan
Olahraga Kota Semarang kerja sama dengan panti pemerintah (negeri) /
swasta. Panti swasta yang ada di Kota Semarang adalah Al Mustaqirin yang
berlokasi di Bangetayu dan Al Hikmah di Beringin, Ngaliyan.
Kewenangan panti ada di pemerintah provinsi, kabuupaten / kota
sudah tidak mempunyai kewenanagan lagi sekarang. Panti provinsi yang ada
di Kota Semarang adalah Panti Mandiri yang berlokasi di Gemah, tetapi panti
ini khusus untuk anak laki-laki saja. Anak jalanan yang ditempatkan di panti
provinsi / swasta tersebut hanya anak jalanan yang tidak mempunyai keluarga
/ tidak mempunyai siapa-siapa di Kota Semarang. Panti tersebut fungsinya
untuk membina anak jalanan dalam kehidupan sehari-hari supaya mereka
dapat hidup lebih baik.
Pada tahun 2018, Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang
melakukan program kegiatan dalam upaya perlindungan terhadap anak jalanan
yaitu diantaranya sosialisasi, workshop dan kampanye untuk anak jalanan,
termasuk patroli razia rutin. Berkaitan operasi, patroli razia tidak dilakukan
setiap hari, tetapi dilakukan secara berkala. Misalnya bulan ini akan
mengadakan operasi, maka patroli dilakukan setiap hari dalam 2-3 minggu
atau bahkan 1 bulan.
56
Patroli untuk operasi anak jalanan ini dilakukan terus dari pagi sampai
malam hari. Mengadakan razia yang utama di jalur protokol, tetapi tidak
menutup kemungkinan menyisir ke daerah sekitar. Misalnya daerah protokol
ke arah timur itu bisa sampai Jalan Fatmawati, Woltermonginsidi, karena di
daerah pertigaan tersebut terdapat banyak anak punk.
Upaya lain yang dilakukan adalah sosialisasi dengan orang tua anak
jalanan, karena anak jalanan ada yang dibina oleh yayasan / LSM yang peduli
terhadap anak jalanan tergabung dalam paguyuban misalnya LSM Setara.
Mereka membina anak jalanan, karena jumlah anak jalanan yang paling
banyak terdapat di Tugu Muda, akhirnya Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga
Kota Semarang mengadakan sosialisasi di Balai Kelurahan Randusari. Binaan
mereka yang tinggal disana dan warga di daerah sana, Dinas Sosial, Pemuda
dan Olahraga Kota Semarang meminta tolong untuk menghadirkan orang tua
untuk sosialisasi yang memiliki tujuan agar Dinas Sosial, Pemuda dan
Olahraga Kota Semarang tahu apa yang dibutuhkan oleh anak jalanan, supaya
anak jalanan tidak turun lagi ke jalanan. Mereka menyampaikan semua
alasannya karena ekonomi, tapi ternyata bukan karena faktor ekonomi saja
melainkan pola pikir juga. Pola pikir anak jalanan turun ke jalanan berjualan
koran / mengemis itu dijadikan profesi karena disuruh orang tua untuk bekerja
seperti itu dengan sengaja.
LSM Setara dengan Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota
Semarang hanya koordinasi, karena LSM Setara tidak mempunyai tempat
untuk menampung anak jalanan, hanya pendampingan saja sifatnya. Dinas
57
Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang hanya memantau yayasan peduli
anak jalanan, kecuali kalau ada kegiatan seperti misalnya sosialisasi kepada
orang tua anak jalanan. Orang tua anak jalanan dan wilayah yang rentan anak
jalanan seperti di Randusari diberikan surat. Wilayah dominan terdapat anak
jalanan adalah di Tugu Muda, Kampung Pelangi, Kuningan Semarang Utara.
Upaya paling efektif untuk menanggulangi anak jalanan adalah
operasi. Pada saat pengembalian anak, orang tua harus hadir untuk membuat
surat pernyataan, kalau sampai anak tersebut turun ke jalanan lagi akan benar-
benar dibina selama 6 bulan. Dalam pembinaan itu ada pembinaan mental
yang berfungsi untuk merubah pola pikir, supaya anak jalanan dapat hidup
sesuai anak-anak pada usianya.
Anak jalanan yang dititipkan di panti negeri maupun panti swasta itu
di sekolahkan. Hal ini dikarenakan panti merupakan binaan Dinas Sosial,
Pemuda dan Olahraga Kota Semarang yang mendapat fasilitas dari
pemerintah. Panti tersebut mempunyai kewajiban untuk merawat dan
mendidik anak jalanan sampai dewasa.
Dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap anak jalanan,
terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh Dinas Sosial, Pemuda dan
Olahraga Kota Semarang diantaranya:
1. Anak jalanan murni
Yang dimaksud anak jalanan murni dalam hal ini adalah anak jalanan
yang memang tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa
58
di Kota Semarang dan asli dari jalanan. Hambatan yang dialami Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang dalam melaksanakan
upaya perlindungan terhadap anak jalanan murni sangat minim, justru
yang memiliki banyak hambatan dalam penanganannya adalah anak
jalanan yang disuruh orang tuanya.
2. Anak jalanan yang disuruh orang tuanya
Yang dimaksud anak jalanan yang disuruh orang tuanya dalam hal ini
adalah anak jalanan yang sengaja dieksploitasi oleh orang tua mereka.
Anak jalanan tersebut disuruh orang tuanya untuk mengemis, berjualan
koran, dll. Hambatan yang dialami Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga
Kota Semarang dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap anak
jalanan yang disuruh orang tuanya adalah dalam tahap ingin
mengadakan pembinaan ke anak jalanan untuk mengarahkan mereka
menuju kehidupan yang lebih baik.26
4.2.2 Profil Yayasan Setara Kota Semarang
Yayasan Setara berdiri sejak tahun 1999 di Kota Semarang yang
merupakan kelompok pertama yang bergerak pada sektor wilayah hak anak
dan perlindungan anak khususnya anak – anak yang membutuhkan
26
Anggie Ardhita, Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang, Wawancara (Semarang,
7 November 2018).
59
perlindungan khusus. Yayasan Setara juga memberikan perhatian dan
melakukan intervensi terhadap anak jalanan di Semarang. Dalam menjalankan
tugasnya, Yayasan Setara memiliki misi sebagai berikut :
1. Memberikan pelayanan langsung dan perlindungan terhadap anak,
khususnya anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
2. Mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak anak
Dalam menjalankan misinya, Yayasan Setara melakukan bentuk
pelayanan berupa pelayanan langsung dan tidak langsung terhadap anak-anak
di Kota Semarang yang belum terpenuhi hak-haknya. Bentuk pelayanan yang
diberikan sebagai berikut:
1. Bentuk pelayanan langsung, berupa:
a) Upaya pencegahan terhadap anak yang mempunyai resiko agar
tidak turun ke jalanan dan menjadi korban Eksploitasi Seksual
Komersial terhadap Anak (ESKA)
b) Keterlibatan anak yang beresiko dan anak jalanan dalam berbagai
kegiatan melalui pendidikan alternatif dengan pendekatan artistik
seperti; pendidikan terhadap masalah, issue ESKA, Hak Asasi
Manusia, Hak Anak, lingkungan, demokrasi, kesehatan, dan lain
sebagainya
c) Pelayanan kesehatan untuk anak-anak yang beresiko dan anak
jalanan khususnya anak-anak yang berpenyakit kronis
d) Mengembangkan forum anak
60
e) Mengembangkan forum orangtua di 5 kampung (Gunung Brintik,
Batu, Gunung Sari, Delikrejo, Johar)
f) Pendampingan hukum dan re-integrasi sosial terhadap kasus
eksploitasi seksual (komersial), anak yang berkonflik dengan
hukum dan kekerasan seksual
g) Pengembangan forum anak anti ESKA dan fasilitator muda
h) Membuat bulletin forum anak anti ESKA
i) Mengembangkan Sekolah Ramah Anak di 7 Sekolah Dasar
j) Mengembangkan Jaringan Perlindungan Anak
2. Bentuk pelayanan tidak langsung yang diberikan Yayasan Setara berupa
kampanye dan advokasi. Kampanye dan advokasi yang dilakukan
sebagai berikut :
a) Melibatkan anak-anak dan orangtua dalam kegiatan kampanye
b) Pelatihan ESKA untuk orangtua, guru, dan komunitas
c) Pelatihan pelatih untuk pendidikan masyarakat penghapusan
perdagangan anak
d) Pelatihan peningkatan pemahaman hak anak dan sensitifitas bagi
Penyidik di tujuh Polres di wilayah jajaran Kepolisian Wilayah
Kota Besar Semarang dalam penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum
e) Produksi album lagu-lagu anti ESKA
61
f) Workshop; seminar; diskusi publik; talk show di radio; pameran;
performance panggung; hearing/lobby kepada pemerintah lokal;
penyebaran posters, sticker, brosur-brosur, dan bahan-bahan
kampanye lain
Pada saat awal pembentukan Yayasan Setara, yayasan tersebut memiliki
kegiatan yang terfokus pada anak jalanan. Yang dimaksud anak jalanan adalah anak
yang tidur di jalan, tidak mempunyai rumah, tidak memiliki keluarga, dll. Pada tahun
2010 hingga saat ini, Kota Semarang sudah mempunyai program penghapusan anak
jalanan. Oleh karena itu, yang semula Yayasan Setara melakukan pendampingan di
jalanan sekarang berubah menjadi pendampingan di kampung yang rentan kekerasan.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah anak yang turun ke jalanan tetapi pada dasarnya
mereka memiliki rumah dan sebagian ada orang tua / ada orang yang mengurusnya.
Anak jalanan umumnya sekolah, karena di Kota Semarang mempunyai
program sekolah gratis. Tetapi, karena pengaruh lingkungan misalnya saja teman ada
yang cerita mendapat uang banyak dari hasil minta-minta di jalan. Hal ini tentunya
mendorong anak untuk ikut turun ke jalan dan membolos sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Iruka Danishwara
Widodo, selaku Staf Data Dokumentasi di Yayasan Setara Kota Semarang
mengungkapkan bahwa sebagian besar anak jalanan yang berada di Kota Semarang
berasal dari Kampung Brintik di Kota Semarang. Beliau juga mengatakan ironisnya
guru sampai menjemput anak jalanan di Tugu Muda untuk diajak berangkat ke
sekolah. Anak turun ke jalanan di daerah Tugu Muda itu seperti sudah mengakar,
62
sehingga sangat sulit untuk dihapus, paling hanya berkurang jumlahnya. Faktor anak
turun ke jalanan adalah sebagai berikut : 27
1. Lingkungan
Faktor lingkungan dapat berupa pengaruh dari lingkungan tempat tinggal anak
tersebut. Dalam hal ini, pada lingkungan tempat tinggal anak tersebut, banyak
teman yang seusianya turun ke jalanan untuk meminta-minta uang. Sehingga
memicu anak tersebut untuk ikut turun ke jalan demi mendapat uang.
2. Ekonomi
Faktor ekonomi dapat berupa dorongan dari orang tua untuk membantu
perekonomian keluarga. Karena pada umumnya mereka berasal dari golongan
keluarga yang kurang mampu.
3. Terdapat masyarakat yang memberi uang ke anak jalanan
Faktor ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat yang tidak
mengetahui akibat dari mereka memberikan uang kepada anak jalanan. Hal ini
dapat mendorong pemikiran anak untuk terus berada di jalanan. Selain itu
pemberian uang kepada anak jalanan dapat dikenakan sanksi sesuai Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan,
Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang. Sanksi yang diberikan dapat
berupa pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp
1.000.000,-
27
Iruka Danishwara Widodo, Staf Data Dokumentasi, Wawancara (Semarang, 14 Desember 2018).
63
Yayasan Setara dan Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang
mengumpulkan anak jalanan kemudian dilakukan penyuluhan dan pemberian
keterampilan sesuai dengan keinginan anak tersebut. Dengan diadakannya
penyuluhan dan keterampilan tersebut, diharapkan anak jalanan nantinya tidak turun
lagi ke jalanan dan dapat menekuni keterampilan yang telah diberikan untuk mencari
uang. Keterampilan yang diberikan seperti membuat kue dan menjahit. Setelah
mendapat keterampilan tersebut, ironisnya anak jalanan tetap saja minta-minta di
jalanan karena mereka merasa penghasilannya lebih besar dan lebih mudah.
Kota Semarang sudah memiliki pengaturan khusus mengenai anak jalanan
yaitu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan,
Gelandangan dan Pengemis Kota Semarang. Walau sudah memiliki aturan tersebut,
dan Yayasan Setara juga sudah rutin melakukan sosialisasi sampai membuat
vidiotron di Tugu Muda, sayangnya kesadaran masyarakat akan hal itu masih kurang.
Masih banyak masyarakat yang memberi uang ke anak jalanan, hal ini secara tidak
langsung mendorong anak untuk turun ke jalanan.
Yayasan Setara guna memberikan edukasi anak-anak di wilayah rentan anak
jalanan dan membentuk Kelompok Anak. Yayasan Setara melakukan kegiatan
bersama dengan anak yang tergabung dalam Kelompok Anak selama satu minggu
sekali untuk mengedukasi, melakukan pendekatan, mengisi waktu luang anak dan
memberi saran kepada anak untuk kehidupan yang lebih baik. Edukasi yang diberikan
tidak sekedar tentang anak jalanan, tetapi juga tentang kerentanan di jalanan. Yayasan
Setara juga melakukan sosialisasi kepada orang tua anak yang tergabung dalam
Kelompok Anak.
64
Yayasan Setara merupakan lembaga perpanjangan tangan dari Kemensos,
melalui Dinas Sosial Kota Semarang untuk membagikan tabungan kesejahteraan
anak. Tabungan ini merupakan bentuk bantuan untuk anak yang dipergunakan untuk
biaya sekolah. Tabungan tersebut diberikan melalui lembaga sosial seperti Yayasan
Setara, karena yang langsung turun ke lapangan. Sehingga diharapkan dana tersebut
jatuh tepat sasaran untuk anak yang membutuhkan. Selain upaya tersebut di atas,
Yayasan Setara juga melakukan kegiatan pencegahan berupa:
1. Edukasi
Sasaran edukasi yaitu anak jalanan dan keluarganya. Edukasi yang diberikan
berupa himbauan agar anak tidak meminta-minta di jalanan. Himbauan juga
diberikan kepada orang tua anak jalanan agar tidak menyuruh anak mencari
uang di jalanan.
2. Pengawasan
Pengawasan dilakukan di daerah tertentu yang sudah ada JPA ( Jaringan
Perlindungan Anak ). Anak jalanan yang tidak memiliki keluarga dan tempat
tinggal, biasanya dititipkan di shelter Seruni / panti provinsi rujukan yang mau
menerima. Di shelter / panti tersebut, anak diurus dan sekolah. Setelah usia
mereka 17 tahun, melalui proses yang panjang melibatkan berbagai lembaga,
anak itu dapat memilih untuk tetap tinggal di panti sambil bekerja atau
dikembalikan di lingkungan.
65
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan. Di Kota Semarang
pengaturan anak jalanan diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014
tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota
Semarang. Faktor anak turun ke jalanan adalah faktor ekonomi, keluarga, pola
pikir dan lingkungan. Di Kota Semarang, penanganan anak jalanan diatur
dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak
Jalanan, Gelandangan dan Pengemis yang meliputi penanganan pencegahan,
rehabilitasi sosial dan penanganan lanjut pasca rehabilitasi sosial. Penanganan
pencegahan dapat dilakukan dengan pendataan, sosialisasi, pemantauan,
pengendalian dan pengawasan serta kampanye. Penanganan Rehabilitasi
sosial dilakukan dengan cara perlindungan, pengendalian sewaktu-waktu,
penampungan sementara, pendekatan awal, pengungkapan dan pemahaman
masalah (assesment), bimbingan sosial dan pemberdayaan serta rujukan.
Usaha penanganan lanjut pasca rehabilitasi sosial meliputi bimbingan mental
spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial, bimbingan hukum, bimbingan
pra sekolah, dll.
2. Upaya melakukan perlindungan terhadap anak jalanan dilakukan Dinas Sosial,
Pemuda dan Olahraga Kota Semarang, yang didampingi oleh panti negeri,
panti swasta dan LSM. Klasifikasi anak jalanan dibedakan menjadi 3 yaitu
anak jalanan murni, anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor keluarga
66
dan anak jalanan yang turun ke jalanan karena faktor lingkungan. Anak
jalanan di Kota Semarang kurang lebih berjumlah 302 anak. Anak jalanan
rentan terhadap tindakan kriminal. Faktor anak jalanan rentan melakukan
tindakan kriminal adalah karena pengaruh minum-minuman ( alkohol ),
narkoba, dan lingkungan ( teman ). Program kegiatan yang dilakukan Dinas
Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang dalam upaya perlindungan
terhadap anak jalanan yaitu diantaranya sosialisasi, workshop dan kampanye
untuk anak jalanan, termasuk patroli razia rutin. Hambatan yang dialami
Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga Kota Semarang dalam upaya melakukan
perlindungan terhadap anak jalanan terletak pada anak jalanan yang turun ke
jalanan karena disuruh orangtuanya.
5.2 Saran
1. Bagi anak jalanan, seharusnya mereka lebih fokus terhadap pendidikan karena
pada hakikatnya anak tidak harus mencari uang sendiri
2. Bagi orang tua anak jalanan, seharusnya mereka membimbing anaknya untuk
fokus terhadap pendidikannya dan tidak mengeksploitasi anak untuk mencari
uang di jalanan
3. Bagi pemerintah, seharusnya dapat mengimplementasikan peraturan-
peraturan mengenai anak jalanan agar memberikan efek jera terhadap anak
jalanan
67
4. Bagi masyarakat, seharusnya tidak memberikan uang kepada anak jalanan
karena hal tersebut dapat membuat anak terus menerus berada di jalanan
karena merasa mendapat banyak uang.
68
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Alkotsar, Artidjo. Advokasi Anak Jalanan. Jakarta: Rajawali, 1984.
Arief, Barda Nawawi. Masalah Perlindungan Hukum bagi Anak, dalam Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti,1998.
Aviandari, Distia. Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Pledoi, Edisi I/2013.
Djamil, Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT
Refika Aditama, 2012.
Herlina, Apong, Ernanti Wahyurini, Sri Hariningsih, Purnianti dan Santi
Kusumaningrum. Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF Indonesia, 2003.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. CV. Rajawali: Jakarta, 1986.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana, 2005.
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga.
Surabaya: Airlangga University Press, 2000.
Santrock,J.W. Perkembangan Masa Hidup. Terjemahan Damanik dan Chusairi.
Jakarta: Erlangga, 2003.
Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali, 2013.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Bandung,
1990.
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. PT Refika Aditama. 2006.
69
b. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Jakarta, 1979.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Jakarta, 1999.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta, 2003.
Sekretariat Negara RI. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta, 2003.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Jakarta, 2012.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak. Jakarta, 2014.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak
Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang
c. Jurnal / Skripsi
Asmawati. “Anak Jalanan dan Upaya Penanganannya di Kota Surabaya”, Jurnal
Hakiki, Vol. 1, No. 2, 2001.
Chaeroti, Dwi Ratih, Dyah Hariani dan Aufarul Marom. “Strategi Penanganan Anak
Jalanan di Kota Semarang”, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro, 2013.
Murniatun. “Problematika Anak Jalanan, Studi Mengenai Pengamen Jalanan di Kota
Yogyakarta”. Laporan Penelitian Praktikum II, Universitas Gajah Mada, 2004.
Sugianto. “Perlindungan Hukum terhadap Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam”, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol.5, No.2,
hlm.146-153. Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri, 2013.
70
d. Wawancara
Ardhita, Anggie. Kepala Seksi Tuna Sosial dan Perdagangan Orang. Wawancara.
Semarang, 7 November 2018.
Widodo, Iruka Danishwara. Staf Data Dokumentasi. Wawancara. Semarang, 14
Desember 2018.