KEPEMIMPINAN VISIONER DAN TRANSFORMASIONAL
A. Pendahuluan
Pimpinan pada masa sekarang menghadapi lingkungan yang cepat berubah
dengan percepatan (acceleration) yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kompetitor baru bermunculan dengan program inovasi yang tiada henti sehingga
menggeser peran organisasi yang lambat beradaptasi. Sebagai konsekuensinya,
organisasi selalu meningkatkan kemampuan untuk secara terus-menerus belajar
dan beradaptasi dalam mencapai sukses jangka panjang dalam lingkungan yang
dinamis. Dengan selalu belajar terus-menerus, maka sebuah organisasi akan
semakin luwes dan dinamis menyesuaikan kondisi lingkungan organisasinya
dengan kondisi lingkungan di sekitarnya yang terus mengalami perubahan.
Organisasi pembelajaran (learning organization) adalah organisasi yang
mampu mengembangkan kemampuan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dan
berubah (Wahyudi,2009:10). Melakukan pembelajaran berarti menetapkan
strategi inovasi, perbaikan berkelanjutan, dan komitmen terhadap tugas dan tujuan
organisasi. Organisasi pembelajar merupakan lingkungan yang kondusif bagi
aktifitas kepemimpinan visioner, karena dapat tercipta iklim kerjasama yang
sinergi antar subsistem dalam organisasi sehingga anggota organisasi memiliki
komitmen, integritas, dan tanggung jawab secara kolektif terhadap keseluruhan
kinerja organisasi. Dengan melihat kenyataan lingkungan organisasi yang terus
mengalami perubahan, maka peran pemimpin tidak hanya berusaha menyesuaikan
organisasi terhadap pergerakan inovasi di luar, akan tetapi pemimpin yang
berhasil apabila mampu membawa organisasi sebagai referensi bagi institusi
lainnya. Sehingga agar dapat mewujudkan organisasi yang efektif dan kompetitif,
keberadaan visi sangat penting bagi organisasi bersangkutan. Kekuatan
kepemimpinan menghasilkan berbagai kebijakan dan operasionalisasi kerja yang
dibimbing oleh visi organisasi. Sebuah organisasi yang ingin maju dan kompetitif
harus mempunyai visi yang jelas, dipahami oleh semua anggota organisasi, baik
jajaran manajemen sampai keamanan (security), bahkan sampai cleaning service
atau bagian kebersihan.
B. Pengertian
Berbagai pengertian tentang kepemimpinan telah banyak dikemukakan
oleh para pakar manajemen. Dari berbagai pengertian tersebut, berikut ini
dikemukakan beberapa saja yang merupakan definisi yang lebih bersifat umum;
artinya dapat dipakai disemua organisasi. Diantaranya adalah:
1. George Terry & Lesliem Rue (1985) dalam Husaini (2009)
Kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan seseorang atau
pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang lain menurut keinginan-
keinginannya dalam suatu keadaan tertentu.
2. Harold Koontz & Heinz Weihrich (1988) dalam Kambey (2006)
Kepemimpinan sebagai suatu pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi
orang-orang agar mereka secara sukarela dan bersemangat berusaha
mencapai tujuan kelompok.
3. J.L. Gibson, M.J. Ivancevich & J.H. Donnelly (1996) dalam Kambey (2006)
Kepemimpinan adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan (concoersive) untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan
tertentu.
Sehingga dari ketiga definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa: Kepemimpinan adalah kemampuan berupa
keterampilan, skill (kecakapan), performa, dan pengalaman manajerial dan
administrasi yang dimiliki seorang pemimpin dalam satu organisasi untuk
mempengaruhi orang-orang agar dapat bekerjasama secara sukarela dalam
mencapai tujuan tertentu dalam organisasi yang dipimpinnya.
Sementara itu, sebuah visi memiliki gambaran yang jelas, menawarkan
suatu cara yang inovatif untuk memperbaiki, mendorong adanya tindakan-
2
tindakan yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik.
Dari gambaran ini, beberapa pakar menerjemahkan pengertian visi sebagai
berikut:
1. Gaffar (1994) dikutip dari pidato pengukuhan Guru Besar FIP IKIP
Bandung
Visi adalah daya pandang yang jauh, mendalam dan luas yang merupakan
daya pikir abstrak yang memiliki kekuatan amat dahsyat dan dapat
menerobos segala batas-batas fisik, waktu, dan tempat.
2. Nanus (2001)
Visi adalah masa depan organisasi yang realistis, dapat dipercaya, dan
menarik bagi organisasi menuju kondisi yang lebih baik. Visi merupakan
pernyataan tujuan organisasi; sebuah masa depan organisasi yang lebih baik,
lebih berhasil, karena itu visi merupakan kunci energi manusia, kunci atribut
pemimpin dan pembuat kebijakan.
3. H. Dawam Raharjo dalam Mulyono (2008)
Visi adalah bayangan tentang masa depan organisasi baik itu perusahaan
atau lembaga
4. Lembaga Administrasi Negara (2005) dalam Mulyono (2008)
Visi adalah berkaitan dengan pandangan ke depan, ke mana instansi
pemerintah harus dibawa dan diarahkan, agar dapat bekerja secara eksis,
konsisten, antisipatif, inovatif, dan produktif.
Dengan demikian, dari pengertian sebagaimana dikemukakan diatas,
dapatlah dikatakan bahwa gagasan visi muncul dari pimpinan, karena visi
merupakan atribut kepemimpinan suatu lembaga dalam jangka panjang. Visi
terbentuk, tumbuh, dan berkembang sebagai hasil daya pikir dan hasil dinamika
proses psikologi seseorang atau sekelompok orang; manajer, pemimpin formal,
informal, atau perorangan yang memiliki kemampuan berpikir konseptual untuk
melahirkan, membentuk, dan mengembangkan visi tersebut. Dengan demikian
visi adalah suatu gambaran masa depan mengenai keadaan organisasi yang dicita-
3
citakan, yaitu organisasi yang lebih baik, inovatif, kompetitif, dan mampu
mengubah diri dan lingkungan.
Sebuah visi memiliki hakikat antara lain; (a) searti dengan tujuan, sasaran
dan hasil, (b) wujudnya lebih baik dari sekarang, (c) bersifat logis dan realistis, (d)
menggambarkan pertumbuhan, perkembangan dan inovasi, (d) berkenaan dengan
kepentingan bersama, (e) memiliki waktu jangka panjang.
Sehingga dari hakikat visi ini, seorang pemimpin visioner dituntut
memiliki pandangan jauh ke depan tentang apa yang dicita-citakan pada
organisasinya secara mendalam. Dengan demikian akan memiliki karakteristik
visi yang baik. Visi yang baik sekurang-kurangnya; (a) harus sesuai dengan
semangat zaman dan spirit organisasi, (b) harus menggambarkan sosok organisasi
secara komprehensif sebagaimana yang diidamkan, (c) harus mampu menjelaskan
arah dan tujuan organisasi, (d) harus mampu membangkitkan antusias dan
komitmen dalam merealisasikannya, (e) harus mampu jadi panduan strategis
organisasi, dan menjadi sosok organisasi masa depan.
C. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan adalah bagian penting dari manajemen. Sehingga dalam
satu organisasi, peran pemimpin jelas sekali merupakan peran yang paling penting
dari semua peran komponen organisasi. Di dalam manajemen, fungsi seorang
pemimpin adalah menggugah keinginan seseorang untuk melaksanakan suatu hal
yang harus ditempuh dan membina anggota kelompoknya ke arah penyelesaian
hasil kerja kelompok tersebut. Sehingga kemampuan pemimpin dalam
menggunakan kepemimpinannya sangatlah penting.
Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin untuk menciptakan
dan mengartikulasikan suatu visi yang realistik, dapat dipercaya, atraktif tentang
masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasional yang terus bertumbuh
dan meningkat sampai saat ini (Robbins;1994). Pemimpin mempunyai kekuatan
4
untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini didasari oleh legitimasi secara formal
atau non formal yang melekat pada diri pemimpin. Pemimpin lebih leluasa
menciptakan kreasi dan inovasi untuk mengembangkan organisasi, sekalipun
tugas dan resiko yang dihadapi lebih berat dibandingkan bawahan, namun
seringkali seorang pemimpin dapat mencapai kepuasan diri (satisfaction) karena
dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga
dampak positif pada diri pemimpin adalah peluang karier yang lebih tinggi
sebagai penghargaan atas prestasi yang telah dicapai. Kepuasan lainnya adalah
dapat berbuat lebih banyak untuk kepentingan orang lain/masyarakat. Sehingga
apabila visi yang telah ditetapkan tersebut dapat dilaksanakan, maka visi tersebut
dapat menyalurkan emosi dan energi menciptakan kegairahan yang kemudian
menimbulkan energi dan komitmen yang kuat dalam organisasi.
Selanjutnya Komariah (2005) dalam Wahyudi (2009) mengemukakan
bahwa kepemimpinan visioner (visionary leadership) dapat diartikan sebagai
kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan,
mensosialisasikan, mentransformasikan, dan mengimplementasikan pemikiran-
pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial
diantara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita
organisasi di masa depan yang harus dicapai melalui komitmen semua personil.
Dengan demikian kepemimpinan visioner (visionary leadership) adalah
kemampuan pemimpin untuk mencetuskan ide atau gagasan suatu visi selanjutnya
melalui dialog yang kritis dengan unsur pimpinan/anggota organisasi dan
stakeholders lainnya, merumuskan masa depan organisasi yang dicita-citakan
yang harus dicapai melalui komitmen semua anggota organisasi melalui proses
sosialisasi, transformasi, implementasi gagasan-gagasan ideal oleh pemimpin
organisasi.
Karena sifat dasar suatu visi adalah untuk memberi inspirasi yang berpusat
pada nilai dan dapat diwujudkan, maka dibutuhkan gambaran dan artikulasi yang
unggul sehingga bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang memberi
5
inspirasi dan menawarkan suatu tatanan baru, lebih menantang (challenge) namun
dapat dicapai, yang dapat menghasilkan kualitas organisasi yang lebih kompetitif.
Dengan demikian pemimpin visioner harus bisa memahami elemen-elemen visi
agar terarah dalam menggambarkan arah dan langkah yang akan ditempuh oleh
organisasinya.
Menurut Quigley (1993) dalam Wahyudi (2009:20), elemen dari the
leader’s Vision and Values, antara lain: (1) visi sebagai sumber kekuatan
mendasar, (2) nilai-nilai sebagai landasan visi, (3) misi dan tujuan-tujuan, dan (4)
strategi-strategi dan taktik.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa sebagai sumber kekuatan mendasar, visi
merupakan atribut kepemimpinan suatu lembaga atau organisasi yang membuat
arah dan tujuan lembaga dalam jangka panjang. Dengan demikian yang harus
diketahui adalah: (a) apa yang menjadi keyakinan yang mendasar dari institusi
(nilai), (b) apa kondisi saat ini dan apa yang menjadi aspirasi (misi), dan (c) apa
yang menjadi komitmen institusi dan kemana institusi akan dibawa (goals).
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini merupakan elemen esensial dari visi.
Sebagai landasan visi, nilai-nilai organisasi sebagai aturan atau panduan
dimana organisasi mendesak anggota-anggotanya untuk berperilaku konsisten
dengan perintah dan perkembangan. Para pendiri organisasi biasanya menetapkan
satu kesatuan nilai pada saat mereka mendirikan organisasi, dan biasanya jauh
sebelum pengembangan misi atau tujuan. Nilai-nilai ini berupa core beliefs
(keyakinan tentang kebenaran visi dan kebenaran jalan yang dipilih untuk
mewujudkan visi), dan core values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh lembaga
dalam perjalanan mewujudkan visi). Nilai-nilai inilah yang kemudian akan
menjadi pegangan dalam organisasi untuk selalu menjaga konsistensi komponen
organisasi atas keyakinan yang menyatukan mereka dalam organisasi tersebut.
Sementara misi dan tujuan organisasi akan merespons pertanyaan “Apa yang
ingin dicapai?”. Sehingga berangkat dari pertanyaan ini, maka langkah-langkah
yang dilakukan adalah memprediksi (a) bagaimana kondisi lingkungan yang akan
dihadapi organisasi?, (b) kebutuhan apa yang harus dipenuhi/diprioritaskan?, (c)
6
apa dan siapa yang ingin digarap?, (d) jenis, jenjang, dan model apa yang akan
dikelola?, dan (e) apa yang terbaik dilakukan untuk mengelolanya?. Dalam
menciptakan/merumuskan misi yang bermanfaat, terdapat apa yang disebut
“predictor of success” yang meletakkan preferensi dari keahlian memprediksi
masa depan, tingkat kepercayaan, mengkombinasikan keuntungan, dan kontribusi-
kontribusi yang dipilih berdasarkan nilai-nilai yang telah ditetapkan, dan
termotivasi oleh nilai-nilai tersebut. Prediksi keberhasilan ini menjadi panduan
yang istimewa bagi organisasi yang berusaha untuk membuat artikulasi tentang
misi yang berbeda atau berubah dikemudian hari. Namun misi sebaiknya
dipikirkan dan diprediksi sebaik mungkin agar tetap stabil dan tidak selalu
berganti-ganti, akan tetapi terus-menerus dievaluasi dan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan yang akan terus berubah.
Sedangkan dalam mengimplementasikan visi, diperlukan strategi dan
taktik. Menurut Handoko (1992), strategi adalah program umum untuk
pencapaian tujuan-tujuan organisasi dalam pelaksanaan misi. Strategi memberikan
pengarahan terpadu bagi organisasi dan berbagai tujuan organisasi, memberikan
pedoman pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya organisasi yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Selanjutnya taktik menurut Wahyudi (2009) adalah rencana aksi
jangka pendek dan dilanjutkan dengan evaluasi yang kontinyu serta perubahan-
perubahan dalam pengendalian.
Strategi ini akan merespons pertanyaan “Bagaimana organisasi mencapai
tujuan jangka panjang?, Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dalam
kenyataan?”. Sedangkan taktik akan merespons pertanyaan “Apa program-
program jangka pendek yang dibutuhkan untuk mendukung strategi?”.
Setelah visi teridentifikasi dan ditentukan, maka pemimpin harus mampu
menjelaskan dan memperagakan visi agar dapat diterima oleh anggota dan dapat
dilaksanakan. Sehingga disinilah letak kemampuan atau keterampilan seorang
pemimpin untuk memberikan keyakinan menyeluruh kepada komponen
7
organisasinya tentang apa yang ingin dicapai dalam perjalanan organisasi yang
dipimpinnya.
D. Kepemimpinan Visioner dalam Organisasi Pendidikan Tingkat Mikro
Dengan diterapkannya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,
maka sekolah sebagai komponen organisasi pendidikan tingkat mikro ini telah
diberi keleluasaan dalam mengatur institusinya sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi lingkungannya. Dengan demikian pemimpin di institusi ini (kepala
sekolah) memiliki fungsi yang sama dengan fungsi pemimpin pada organisasi
formal lainnya.
Kepemimpinan visioner kepala sekolah sangat dibutuhkan pada lembaganya
disebabkan karena: (a) perkembangan iptek begitu cepat dan akan berpengaruh
pada semua aspek kehidupan, termasuk teknologi pendidikan, (b) era global akan
menyebabkan lalu lintas tenaga kerja sangat mudah, sehingga akan banyak tenaga
kerja asing berimigrasi antar negara, (c) era informasi menyebabkan siswa
mendapatkan informasi dari berbagai sumber secara cepat, sehingga guru nanti
bukan lagi satu-satunya sumber informasi iptek, (d) era global akan berpengaruh
terhadap perilaku dan moral manusia sehingga sekolah diharapkan berperan
menanamkan nilai-nilai akhlak, (e) kesadaran orangtua akan pentingnya
pendidikan bermutu ternyata paralel dengan persaingan antar sekolah untuk
menggaet anak jenius dengan orang tua yang penuh perhatian terhadap upaya
pendidikan, sehingga sekolah yang mutunya jelek akan ditinggalkan, (f) di era
global seperti AFTA, maka tidak menutup kemungkinan akan terbuka peluang
pembukaan cabang sekolah asing di tiap-tiap negara anggotanya termasuk
Indonesia, sehingga persaingan antar lembaga pendidikan ini akan sangat tinggi.
Tantangan tersebut harus direspons oleh sekolah, hingga visi sekolah harus
mampu mengakomodasi dan memanfaatkan peluang yang terkandung pada
perkembangan tersebut. Sehingga dalam mengimbangi berbagai keadaan yang
begitu cepat berubah, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai educator, dan
8
administrator, melainkan juga harus berperan sebagai manajer dan supervisor
yang mampu menerapkan manajemen yang bermutu (Wahyudi:2009). Indikasinya
ada pada iklim kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi, dan
berprestasi. Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan
sumberdaya yang ada dan dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk
mencapai visi dan misi sekolah. Sehingga kepala sekolah merupakan ruh sekolah
bersangkutan. Sederhananya, keberhasilan sekolah tergantung pada teknik kepala
sekolah mengelola manusia dan sumberdaya yang ada di sekolah, dengan
merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan orientasi/sasaran,
mengkoordinasi, memantau, dan menilai/mengevaluasi.
Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran dibagi, dipilah,
dikelompokkan serta diprioritaskan, dengan memperhatikan hasil pertimbangan
partisipatif. Begitu pula pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir tentang
siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu, bagaimana
mengerjakannya, kapan mulai dan kapan selesai. Sehingga sebagai seorang
manajer, kepala sekolah bertanggungjawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan
yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu
mengerjakannya dengan benar pula.
Sehingga perilaku kepemimpinan visioner harus dapat:
1. Menciptakan dan mengkomunikasikan visi dan tujuan
2. Melaksanakan pemikiran dan perencanaan strategis dan fleksibel
3. Memfasilitasi rekan kerja, bawahan, dan perkembangan tim
4. Memfasilitasi perkembangan organisasi
5. Melindungi individu dari kekuatan yang merusak
6. Melindungi organisasi dari kekuatan yang merusak
7. Mencari dan mengkomunikasikan konsensus antar tim
8. Menspesifikasi pedoman hidup, nilai-nilai, dan menciptakan budaya
9. Menciptakan cara pandang
10. Memotivasi orang-orang untuk bertindak.
9
E. Kepemimpinan Transformasional
Bangsa ini perlu di arahkan oleh suatu kepemimpinan
transformasional,yaitu suatu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada
perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan akan mampu mengajak publik untuk
secara teguh menghadapi tujuan-tujuan yang lebih hakiki ketimbang sekadar
pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin transformasional untuk secara
inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai.
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu
menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan.
Pemimpin transformasional merupakan modifikasi dari pemimpin karismatik.
Dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik,
namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin trasformasional,
pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka
mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk
mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang
dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas
personal (Huges 2001).
Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan
ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin
transformasional memberikan kontribusi subtantif dengan keberhasilan
mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Namun penting untuk
disadari bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung
utama bukanlah melalui proses yang instan, namun melalui penitian karir secara
berjenjang dan melalui proses yang berliku.
Perhatian peran kepemimpinan di dalam proses manajemen perubahan
mulai muncul, pada waktu orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik
yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerapkali
bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru untuk
menjadikan tempat kerja itu menjadi lebih manusiawi, sehingga dalam
10
merumuskan proses perubahan biasanya dipergunakan pendekatan
transformasional dimana lingkungan kerja yang pratisatif, peluang untuk
mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan, dianggap sebagai proses yang
melatar belakangi proses tersebut. Namun dalam prakteknya, proses perubahan itu
dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang bersifat teknikal,
dimana manusia cenderung dipandang sebagai entiti ekonomik yang siap
dimanipulasikan dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif,
dalam rangka mencapai manfaat ekonomis yang sebesar-besarnya (Bass, 1990;
Bass dan Avilio, 1990; Hatter dan Basss, 1988 di dalam Yull 1994).
Sementara Burns (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan
transformasional sebagai suatu proses dimana para pemimpin dan pengikut saling
menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Dengan
demikian pemimpin transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahnya
akan tata nilai yang memiliki orde lebih tinggi, seperti kebebasan, keadilan, dan
kebersamaan. Pemimpin disebut tranformasional diukur dalam hubungan dengan
rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaaan, dan hormat para pengikut terhadap
pemimpin tersebut. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi para pengikut
dengan: [1] membuat mereka lebih sadar akan pentingnya suatu pekerjaan, [2]
mendorong mereka lebih mendahlukan organisai atau tim dari pada kepentingan
dirinya, dan [3] mengaktifkan kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Kepemimpinan tranformatif meningkatkan kesadaran para pengikutnya
dengan menarik cita-cita dan nilai-nilai seperti, keadilan (justice), kedamaian
(peace) dan persamaan (equality) (Sarros dan Satonsa, 2001). Tipe leadership ini
mendorong para pengikutnya (individu-individu dalam satu institusi) untuk
menghabiskan upaya ekstra dan mencapai apa yang mereka anggap mungkin
(Arnold, Barling dan Kelloway, 2001). Transformasional leadership terdiri dari
individualized consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation,
dan idealized infulence (Sarros dan Santosa, 2001; Pounder, 2003).
11
Idealized influence atau karisma. Para pemimpin menyediakan visi dan
pengertian terhadap misi, memasukan kebanggan, memperoleh rasa hormat,
kepercayan dan meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini
meningkatkan optimisme. Pemimpin seperti ini meningkatkan kegairahan
dan dan menginspirasi para bawahannya. Subdimensi ini mengukur tingkat
kekaguman dan kebanggan para pengikutnya.
Individualiced consideration. Para leader memberikan pelatihan dan
mentoring, menyediakan umpan balik berkesinambungan dan
menghubungkan kebutuhan anggota organisasi ke misi organisasi.
Subdimensi merupakan suatu alat ukur terhadap tingakat yang mana
pemimpin memperhatikan apa yang menyadari concern dan kebutuhan yang
berkaitan dengan pengembangan para individu pengikutnya.
Inspiirtioanl motivational. Pemimpin bertindak sebagai sebuah model atau
contoh (keteleladanan) bagi para bawahannya, mengkomunikasikan visi dan
menggunakan simbol-simbol untuk mengfokuskan upaya-upaya yang
dilakukan. Subdimensi ini mengukkur kemampuan pemimpin untuk
menumbuhkan kepercayan (confidence) terhadap visi dan nilai-nilai
pemimpin.
Inteelctuall situmultion. Para pemimpin menstimulsi pengikutnya untuk
memikirkan kembali cara atau metode kerja yang lama dan menilai kembali
nilai-nilai dan kepercayaan mereka yang lama. Dimensi ini berkenaan
dengan derajat dimana para pengikutnya disediakan tugas-tugas yang
menentang dan didorong untuk memecahkan masalah dengan cara mereka
sendiri. Kemudian Pounder (2001; dalam Pounder, 2003) me-merinfe aspek
tranformasional leadership yang dinyatakan secara implist pada aspek
aslinya menjadi: inspirational motivation, integrity, innovation, impression
management, individual consideration, dan intellectual stimulation.
Pounder (2001; dalam 2003) memperluas subdimensi idealized influence
dengan menambahkan tiga subdimensi lainnya, yaitu :
Integriti pemimpin “work the talk”, mereka menyelaraskan perbuatan
dengan perkataannya. Dimensi ini mengukur tingkat dimana para
12
pengikutnya mempersepsikan derajat kesesuaian yang tinggi antar perkataan
dan yang diekspresikan dengan perbuatannya.
Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan
yang ada dan proses dengan pengmbilan resiko dan
mengeksperimenkannya. Para pemimpin mendorong para bawahannya
untuk mengmbil resiko dan bereksperimen dan memperluaskan kesalahan
sebagai kesempatan untuk belajar dari pada diperlakukan sebagai celaan.
Subdimensi ini difokuskan pada dimana kepemimpinan membutuhkan
sebuah komitmen inovasi organisasi.
Imreesion management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi
kebutuhan personal dan berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah
orang “yang memberi” yang teliti untuk memberi selamat kepada
keberhasilan bawahannya dan orang yang hangat dan perhatian terhadap
bawahan tidak dibatasi pada kehidupan kerja mereka. Subdimensi ini
mengukur tingkatan mana anggota organisasi mempersiapkan bahwa
pemimpin mereka sebagai pribadi dibandingkan sekedar intrumen
pemimpin atau misi organisasi.
F. Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kepuasan Akan Kualitas
Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi, sehingga dapat
diartikan kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari
individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa
penelitian dihubungkan dengan kepemimpin, dimana kepemimpinan yang efektif
akan selalu memberikan dampak dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja
dari bawahanya. Podsakof et.al (1996), menunjukkan bahwa “kepemimpinan
tranformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan
kualitas kehidupan kerja secara menyeluruh”. Kepemimpinan tranformasional
mempunyai pengaruh signifikan dengan kepuasan akan kehidupan kerja secara
13
menyeluruh”. Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan
terhadap kualitas kehidupan kerja.
G. Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasi.
Secara organisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satunya memulai perilaku kepemimpinan, seperti yang
dikemukakan oleh Su-Yung Fu (2000) bahwa “selain kepemimpinan
tranformasional, hal lain yang penting dalam perilaku oganisasional adalah
komitmen organisasi. Dalam tiga dekade terakhir, komitmen organisasi telah
dipandang sebagai salah satu variabel yang paling penting dalam mempelajari
manajemen dan perilaku organisasi”. Dalam kesempatan yang sama Yousef
(2000) mengatakan bahwa terdapat hubungan secara positif antara perilaku
kepemimpinan dengan komitmen organisasi. Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan tranformasional memiliki
pengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi.
H. Kepemimpinan Tranformasional dan Perubahan
Kepemimpinan tranformasional diIkhtisarkan oleh penyataan Tichy dan
Ulrich, yaitu: “Apabila manAjer transaksional hanya membuat penyesuaian-
penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka
pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun
juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem organisasi. Pembongkaran
sistem inilah yang benar-benar menbedakan pemimpin transformasional dengan
transaksional.”
Tranformasional diasosiasikan dengan inspirasi dan visi, kerjasama dan partipasi
yang enerjik, rekanan dan transformasi perasaan sikap dan kepercayaan pengikut.
Dengan penekanan pada pemeliharaan hubungan, kesatuan nilai dan tujuan dan
pengembangan budaya institusional (Sechin, 1985). Bass & Avolio (1994)
14
menyimpulkan karakteristik kepemimpinan transformasional dalam hal, sebagai
berikut :
pengaruh ideal (pemimpin sebagai penentuan)
Motivasi Inspirasional .
Rangsangan Intelectual.
Pertimbangan Individual (pemimpin sebagai pelatih dan mentor)
Penerimaan poin kebijaksanaan ditunjukkan untuk menimbulkan
kepemimpinanan transformasional. Berdasarkan kepemimpinan transformasional
sebagai model yang umum, tingkah laku global pemimpin telah dikemukakan dan
dikaitkan dengan hasil positif. Bagaimanapun, ada hal yang perlu diperhatikan
yaitu:
Kepemimpinan tranformasional (bertentangan dengan konotasi etis yang
dipertimbangan oleh Burns) telah menjadi alat manipulasi manajerial,
ketimbang sarana untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya dan
memberi semangat kepada yang lain (Allix, 2000);
Konstuksi dari teori yang sangat abstrak sangat sulit untuk diperjelas
melalui penelitian empiris
I. Lingkup Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan
Teori kepemimpinan transformasional sebenarnya lebih dari pada model
pendekatan dimana situasi perubahan bagian dari momentum transisi demokrasi,
meskipun tidak semuanya sama secara teori dalam setiap situasi politik, akan
tetapi bagian dari salah satu pendekatan dimanA situasi transisi yang membuka
ruang publik terlibat di dalamnya. Gagasan awal model kepemimpinan ini
dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks
politik dan selanjutnya dikembangkan penerapannya ke dalam konteks
organisasional oleh Benard Bass.
15
Kepemimpinan model ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
melibatkan suatu proses pErtukaran (exchange process) dimana para pengikut
mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah
pemimpin.
Oleh karena itu, model kepemimpinan transformasional justru adalah
kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara
status quo. Model kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh
bekerja menuju sasaran pada tingkatan mengarah organisasi kepada suatu tujuan
yang tidak pernah ada sebelumnya. Para pemain secara riil harus mampu
mengarahkan organisasi menuju arah yang baru. Dengan demikian model
kepemimpinan transfomasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan model ini membutuhkan
tindakan lain memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-
sasaran “tingkat tinggi” yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya saat
itu.
Dengan model kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi,
seorang pemimpin bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan
cara mempraktekkan perilaku yang sesuai dengan setiap tahapan transformasi.
Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan
menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategi dan sekaligus
berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen. Secara demikian, acuan
dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai
rujukan dimensi perilaku kepemimpinan yang menghasilkan keputusan dan
kebijakan terhadap bawahannya, yang merupakan cermin dari unsur-unsur
kharisma, kepekaan terhadap keunikan individu, dan orientasi stimulasi
intelektual.
Pola kepemimpinan transformasional dalam transisi demokrasi dalam
kegiatan sehari-hari dapat diimplementasikan melalui perilaku yang
mencerminkan sikap-sikap dari tiga unsur yakni karisma, kepekaan individu, dan
stimulasi intelektual. Kegagalan pemimpin kita karena kurangnya kepekaan dalam
16
merespon. Hal-hal yang kecil dalam masyarakat, bukan hanya presiden yang
harus menggunakan pendekatan transformasi kepemimpinan akan tetapi juga
kabinetnya, juga harus lebih peka terhadap setiap bagian kehidupan rakyat. Kalau
presiden mampu membaca dan melakukan hal-hal yang tepat, persoalan yang
membebankan rakyat dapat lebih berkurang dan rakyat mudah mengangkat
sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan. Berdasarkan hasil kajian literatur
yang dilakukan, Nortthouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat
menampilkan kepemimpinnan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan
sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh
karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para pemimpin
lembaga pendidikan dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di
lembaga pendidikannya. karena kepemimpinan tranformasional merupakan
sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa
menjadi seorang pemimpin tranformasinal yang efektif membutuhkan suatu
proses dan memerlukan usaha sadar dan sungguh-sungguh yang bersangkutan,
Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan
transformasional, yakni sebagai berikut:
1. Berdayakan seluruh bawahannya untuk melakukan hal yang terbaik untuk
organisasi
2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang
tinggi
3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja
sama
4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan
contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi
terhadap organisasi
17