i
TINGKAT EFEK KESEHATAN LINGKUNGAN KANDUNGAN LOGAM
BERAT KADMIUM (Cd) PADA KERANG HIJAU (Perna viridis) YANG
DIKONSUMSI MASYARAKAT KALIADEM MUARA ANGKE
JAKARTA UTARA TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH:
FEELA ZAKI SAFITRI
1111101000142
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Agustus 2015
Nama : Feela Zaki Safitri, NIM : 1111101000142
Tingkat Efek Kesehatan Lingkungan Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd)
dalam Kerang Hijau (Perna viridis) yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015
ABSTRAK
Latar Belakang: Kerang hijau merupakan salah satu jenis hewan yang merupakan flitter
feeder atau bertingkah laku sebagai vacum cleaner dan merupakan salah satu jenis kerang
terbaik untuk menguji biopllution limbah B3 pada periaran. Salah satu logam berat yang
berbahaya dan menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan adalah kadmium(Cd).
Pajanan Cd dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan efek permanen pada sistem ginjal dan hati.
Tujuan: Untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan Cd pada kerang
hijau (Perna viridis) yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dari
hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggabungkan studi Epodemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL)
dan studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Desain studi yang digunakan
adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal
di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Responden diambil secara acak dengan
menggunakan teknik simple random sampling, jumlah sampel sebanyak 191 KK. Dari 191
KK diperoleh 230 anggota keluarga yang menjadi responden. Spesimen diambil di pusat
budidaya kerang hijau Kaliadem yang terdiri dari 11 titik pengambilan spesimen kerang hijau
dengan pengambilan pada sore hari. Kadar Cd dalam kerang hijau diukur dengan Atomic
Absorption Spectrometry (AAS). Laju asupan, durasi pajanan, dan frekuensi pajanan diukur
secara kuantitatif melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan berat badan diukur
dengan menggunakan timbangan untuk menghitung intake Cd dan tingkat risiko kesehatan
(RQ). Metode Chi Square digunakan untuk analisis hubungan tingkat risiko dengan berat
badan, laju asupan, durasi pajanan, frekuensi pajanan, dan intake.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi Cd pada kerang hijau yang
dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta berkisar 0,052-0,094 mg/L. Variabel yang memiliki
nilai hubungan signifikan dengan tingkat risiko responden adalah variabel laju asupan,
frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan intake (p<0,05).
Kesimpulan: Konsentrasi rata-rata Cd pada kerang hijau di budidaya perairan Teluk Jakarta
masih memenuhi standar konsentrasi Cd maksimum. Tetapi berdasarkan perhitungan analisis
risiko berdasarkan realtime, diperoleh bahwa dengan konsentrasi tersebut sebanyak 60,9%
responden yang mengkonsumsi kerang hijau mempunyai risiko yang tinggi untuk terpapar Cd
(RQ >1), yang mengindikasikan bahwa masyarakat Kaliadem mempunyai risiko yang tinggi
terpapar Cd sehingga perlu dikendalikan.
Kata Kunci : Kadmium, Kerang Hijau, Analisis Risiko
Daftar Bacaan : 92 (1972-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH MAJOR
DEPARTEMENT ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate Thesis, August 2015
Name : Feela Zaki Safitri, NIM : 1111101000142
Level of Environmental Health Effects Content of Heavy Metal Cadmium (Cd)
in Green Mussels (Perna viridis), which Consumed by Kaliadem Muara Angke
People, North Jakarta 2015
ABSTRACT
Background: Green mussel is one kind of animal which is filter feeder or act as a vacuum
cleaner and it is one of the best calm to test biopollution of hazardous and toxic substances
(B3) in the waters. One of the heavy metals that are harmful and cause bad effects on health
is cadmium (Cd). Cd exposure with low concentration within old ones can cause permanent
effects in organ meats (e.g., liver and kidney).
Objective: To determine the risk level of the content of Cd in the green mussel (Perna
viridis) which is consumed by people in Kaliadem Muara Angke, North Jakarta conducted
farm in the waters of Jakarta Bay.
Methods: This research combines the study of Environmental Health Epidemiology (EHE)
and Environmental Health Risk Analysis study (EHRA). Design study used was a cross
sectional study. The populations in this study were all the people who live in Kaliadem
Muara Angke, North Jakarta. Respondents were drawn at random by using a simple random
sampling technique, the total sample of 191 households. Respondents were 230 family
members from 191 households. Specimens were taken at the center of the green mussel
cultivation Kaliadem consisting of 11 green mussel specimen, collection point of taking in
the afternoon. Cd levels in mussels were measured by Atomic Absorption Spectrometry
(AAS). The rate of intake, exposure duration, and frequency of exposure were measured
quantitatively through interviews using a questionnaire, while weight was measured using
scales to calculate the intake of Cd and the level of health risk (RQ). Chi Square methods
used to analyze the correlation between risk-weight, intake rate, duration of exposure,
frequency of exposure, and intake.
Results: The results showed that the concentration of Cd in green mussels, waters of Jakarta
Bay ranged from 0.052 to 0.094 mg / L. Variables that have a significant relationship with the
value of the risk level of the respondents was a variable rate of intake, frequency of exposure,
duration of exposure, and intake (p <0.05).
Conclusion: The average concentration of Cd in green mussels in cultivation of Jakarta Bay
waters still met the standard of a maximum concentration of Cd. But based on the calculation
of risk analysis of realtime, found that with the concentration of as much as 60.9% of
respondents who consumed mussels had a high risk for Cd exposure (RQ> 1), which
indicated that the people in Kaliadem had a high risk of Cd exposure that need to be
controlled.
Keywords: Cadmium, Mussels (Perna viridis), Risk Assessment
Reference: 92 (1972-2014)
v
vi
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Sembah sujud serta sykur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih
sayangMu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta
memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia, ridho serta kemudahan yang Engkau
berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu
terlimpahkan keharibaan Rasulullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya ini kepada kedua orangtua, Abah dan Ibu tercinta
Sebagai tanda bakti, hormat, rasa sayang dan rasa terimakasih yang tiada
terhingga kupersembahkan karya sederhana ini kepada Abah dan Ibu yang telah
memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga
yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan
kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat Abah
dan Ibu bangga dan bahagia. Terimakasih tak terhingga untuk Abah dan Ibu yang
selalu memberikanku motivasi dan menyiraminya dengan kasih sayang, yang tiada
hentinya mendoakanku disetiap proses, dan yang selalu menasehatiku dan menjadi
jembatan perjalanan hidupku untuk menjadi lebih baik.
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP /Curriculum Vitae
Data Pribadi / Personal Details
Nama / Name : Feela Zaki Safitri
Alamat Asal/ Address : Perum. Griya Pandana Merdeka Blok N 11
RT 01 RW 03 Kel. Bringin Kec. Ngaliyan
Semarang, Jawa Tengah
Nomor Telepon / Phone : 085742764360
E-mail : [email protected]
Jenis Kelamin / Gender :Perempuan
Tanggal Kelahiran /Date of Birth : Semarang, 10 April 1992
Warga Negara / Nationality :Indonesia
Agama / Religion :Islam
Status / Status : Belum Menikah
Riwayat Pendidikan / Educational Qualification
No Sekolah / Institusi / Universitas Periode Alamat
Formal
1. SDN Ngaliyan 05 1998-2004 Semarang, Jawa Tengah
2. Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Raudlatul Ulum
2005-2008 Pati, Jawa Tengah
3. Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul
Ulum
2008-2011 Pati, Jawa Tengah
4. UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta 2011-2015 Ciputat, Tangerang
Selatan, Banten
Informal
1. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2004-2011 Pati, Jawa Tengah
2. Pondok Pesantren Al-Ma’rufiyah 2013-2014 Semarang, Jawa Tengah
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Kuasa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan sebagai salah
satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu pada progam studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyususnan karya ini tidak lepas dari dukungan
dan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakulats dan Kedokteran
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Progam Studi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dewi Utami Iriani, M.Kes, PhD selaku dosen Pembimbing I dan Hoirun Nisa,
M.Kes, PhD selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan
arahan, nasehat, dan motivasi selama penyusunan skripsi.
4. Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Nasrudin, SKM sebagai penguji dan dosen
matakuliah ARKL. Terimakasih atas bimbingan dan saran yang telah diberikan.
5. Kedua orangtua yang tak henti-hentinya memberikan doa, dukungan, cinta,
motivasi, dan segalanya yang tak mungkin terbalaskan oleh penulis.
6. Kepala UPT PKPP dan PPI, Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Utara, dan Kepala
Puskesmas Muara Angke yang telah memberikan izin untuk melakukan
penelitian di salah satu wilayah kerja.
7. Kak Anis Risenti sebagai laboran Laboratorium Kesehatan Lingkungan yang
telah membantu dalam proses analisis laboratorium selama penelitian ini
berlangsung.
8. Kementrian Agama sebagai penyelenggara Progam Beasiswa Santri Berprestasi
(PBSB) yang telah memberikan kesempatan belajar di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
x
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Pati Jawa Tengah atas
dukungan dan doa yang diberikan
10. Almen, Alifia, Chandra, Rois, Hanik, Fiqoh, Tanza, Ilham, Lailatul, dan IIs
yang telah membantu dalam pengumpulan data, analisis data, telah meluangkan
waktu untuk berdiskusi.
11. Teman seperjuangan Kesehatan Lingkungan 2011, saudara seperjuangan CSS
MoRA UIN Jakarta 2011, dan sahabat alumni pesantren Raudlatul Ulum Pati
yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan doa.
Harapan penulis semoga karya ini bermanfaat bagi dunia kesehatan dan
pembaca pada umunya, sehingga dapat berpesan serta dalam pengembangan ilmu dan
pengetahuan.
Ciputat, 18 Agustus 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ xi
DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. xvi
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 7
C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 8
1. Tujuan Umum ............................................................................................................ 8
2. Tujuan Khusus ........................................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 10
F. Ruang Lingkup ............................................................................................................ 11
BAB II ..................................................................................................................................... 13
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 13
A. Kerang Hijau (Perna viridis) ...................................................................................... 13
B. Kadmium..................................................................................................................... 15
1. Sifat dan Karakteristik Kadmium ............................................................................ 15
2. Pencemaran Kadmium ............................................................................................. 16
3. Sumber Pencemaran Kadmium ............................................................................... 19
4. Baku Mutu atau Guideline Konsentrasi Kadmium .................................................. 21
5. Toksikologi Kadmium ............................................................................................. 21
6. Toksikokinetik Kadmium ........................................................................................ 28
7. Toksikodinamik Kadmium ...................................................................................... 29
8. Biomagnifikasi Kadmium ....................................................................................... 29
xii
9. Bioakumulasi Kadmium .......................................................................................... 30
C. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan ...................................................................... 31
D. Kerangka Teori ........................................................................................................... 36
BAB III ................................................................................................................................... 39
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .................................................. 39
A. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 39
B. Definisi Operasional ................................................................................................... 41
C. Uji Hipotesis .................................................................................................................. 45
BAB IV ................................................................................................................................... 46
METODE PENELITIAN ........................................................................................................ 46
A. Desain Penelitian ........................................................................................................ 46
C. Populasi dan Responden Penelitian ............................................................................ 47
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 51
E. Alur Kerja Penelitian .................................................................................................. 52
F. Pemeriksaan Laboratorium ......................................................................................... 53
G. Metode Analisa Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau ................................................. 54
H. Pengolahan dan Analisis Data..................................................................................... 57
BAB V .................................................................................................................................... 62
HASIL PENELITIAN ............................................................................................................ 62
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................................................ 62
1. Kondisi Perairan Teluk Jakarta................................................................................ 62
2. Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara .................................................................... 63
B. Karakteristik Responden ............................................................................................. 65
C. Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat
Kaliadem Muara Angke ............................................................................................. 67
D. Analisis Risiko ............................................................................................................ 68
1. Analisis Paparan (Exposure Assessment)-Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara ..................................................................................... 68
2. Karakteristik Risiko (Risk Characterization) - Tingkat Risiko (RQ) ...................... 71
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan,
Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara .............................................................................................................. 72
BAB VI ................................................................................................................................... 75
xiii
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 75
A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................................... 75
B. Karakteristik Responden ............................................................................................. 76
C. Konsentrasi Kadmium (Cd) Pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat
Kaliadem Muara Angke Tahun 2015 ......................................................................... 85
D. Analisis Risiko ............................................................................................................ 88
1. Analisis Pajanan (Esposure Assessment) – Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara ..................................................................................... 88
2. Karakteristik risiko (Risk Characterization) – Tingkat Risiko (RQ) ...................... 99
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan,
Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara Tahun 2015 ........................................................................................ 103
BAB VII ................................................................................................................................ 117
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. 117
A. SIMPULAN .............................................................................................................. 117
B. SARAN ..................................................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 123
LAMPIRAN .......................................................................................................................... 131
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Fase Toksikokinetik...................................................................................28
Bagan 2.2 Kerangka Teori..........................................................................................37
Bagan 3.1 Kerangka Konsep.......................................................................................40
Bagan 4.1 Teknik Pengambilan Sampel......................................................................46
Bagan 4.2 Alur Kerja Penelitian..................................................................................50
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional....................................................................................44
Tabel 4.1 Peralatan Analisis yang Digunakan.............................................................53
Tabel 4.2 Bahan Analisis yang Digunakan..................................................................53
Tabel 5.1 Distribusi Menurut Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Cara Memasak
Kerang Hijau, dan Pekerjaan Responden Di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Tahun 2015..................................................................................................................66
Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Konsentrasi Cd dalam Kerang Hijau Tiap Sampel
Budidaya Kerang Hijau Tahun 2015...........................................................................67
Tabel 5.3 Distribusi Konsentrasi Cd pada Kerang Hijau Hasil Budidaya di Perairan
Teluk Jakarta Tahun 2015...........................................................................................68
Tabel 5.4 Distribusi Intake Cd Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Tahun 2015.................................................................................................................69
Tabel 5.5 Tingkat Risiko Logam Cd dalam Kerang Hijau yang Dikonsumsi
Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun
2015.............................................................................................................................72
Tabel 5.6 Hubungan Konsentrasi Cd, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi
Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015.....................................................................73
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Lokasi Penelitian Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara .......................65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan sektor perindustrian yang ada di wilayah Jabodetabek yang
mempunyai instalasi pengelolaan limbah hanya kurang dari 5%, dan dari 5%
tersebut tidak semua IPAL berfungsi dengan baik dan digunakan dengan
semestinya (Riani, 2012). Teluk Jakarta merupakan muara dari tiga belas
sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta dan digunakan sebagai media
untuk membuang limbah berbagai industri yang berada di wilayah sekitarnya
yakni tiga sungai besar (Sungai Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung)
dan sepuluh sungai kecil (Sungai Kamal, Sungai Kanal Cengkareng, Sungai
Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai
Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan), dengan total rata-rata
aliran limpahan dari ke tiga belas sungai tersebut adalah 112,7 m³det־' (BLH
DKI Jakarta, 2013).
Berdasarkan Laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan
Hidup (KPPL), DKI Jakarta tahun 2013 diperkirakan limbah yang masuk ke
perairan Teluk Jakarta melalui aliran sungai adalah limbah dari kegiatan
industri produksi sekitar 97,82% yakni 1.632.896,47 m³/tahun, limbah
domestik 2,17% yakni 36.229,90 m³/tahun, dan limbah industri pertanian
0,01% yakni 232,25 m³/tahun (BLH DKI Jakarta, 2013). Limbah tersebut
berasal dari beberapa industri di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang
2
menggunakan logam Cd sebagai bahan pokok maupun sampingan dalam
produksi. Industri tersebut seperti industri pengemasan makanan kaleng,
industri yang menggunakan zat pewarna (tekstil, percetakan, produksi kertas),
industri logam (komputer, mesin, peralatan listrik, baterai), dan industri
manufaktur (BLH DKI Jakarta, 2013).
Pada tahun 2013 perairan Teluk Jakarta telah mengalami peningkatan
konsentrasi logam berat Cd sebesar 82,6% (BLH DKI Jakarta, 2013). Hal
tesebut sesuai dengan penelitian Sarjono (2009) yang menyatakan bahwa rata-
rata konsentrasi logam berat kadmium di perairan Teluk Jakarta sebesar
0,004-0,010 mg/L. Hal tersebut menunjukkan nilai yang telah melampaui
baku mutu yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup No
51 tahun 2004 yaitu sebesar 0,001 mg/L.
Peningkatan konsentrasi logam berat pada perairan Teluk Jakarta
merupakan salah satu hal yang mengakibatkan terjadinya akumulasi logam
berat terhadap biota perairan. Hal ini sejalan dengan ditemukannya
peningkatan laju akumulasi logam Cd pada kerang hijau sebesar 0,0051 –
0,0295 μg/minggu di perairan Teluk Jakarta (Ningtyas, 2002). Dibuktikan
dengan hasil analisis terhadap kerang konsumsi yang dijual di pasar ikan
Muara Angke Jakarta Utara kandungan Cd dalam kerang hijau sebesar 1,332
ppm telah melebihi ambang batas yang dipersyaratkan oleh WHO dan FAO
(Nurjanah et al., 1999).
3
Kasus keracunan kadmium yang telah terjadi di Jepang yang dikenal
dengan itai-itai disease telah menjadi permasalahan dunia. Kasus ini terjadi
pada tahun 1960, pencemaran Cd terjadi pada tanah, air dan makanan akibat
aktivitas proses pertambangan pada hilir sungai Jinzu, Honsyu kota Toyama
Jepang. Penyakit itai-itai disebabkan oleh konsumsi beras penduduk yang
tinggal disekitar sungai Jinzu mengandung konsentrasi logam Cd lebih dari
0,4 mg/kg (Wang et al., 2009). Penyakit ini ditandai dengan penuruan fungsi
ginjal dan fungsi sistem reproduksi yang disertai dengan kerusakan hati
(ATSDR, 1999).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 prevalensi gangguan fungsi
ginjal yang pernah didiagnosis oleh dokter di DKI Jakarta sebesar 0,1%.
Prevalensi gangguan fungsi ginjal tersebut terjadi pada masyarakat yang
bekerja sebagai nelayan sebesar 0,3% dan prevalensi paling banyak terjadi
pada usia >75 tahun sebesar 0,6% (Riskesdas, 2013). Didukung dengan data
penelitian Masengi et al. (2013) bahwa masyarakat yang hidup di wilayah
pesisir memiliki angka kejadian hipertensi 6,3%, dikarenakan konsumsi
makanan laut yang berlebih. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang
signifikan antara konsumsi makanan laut dengan kejadian hipertensi (p value
=0,001). Berdasarkan data tersebut bahwa salah satu efek dari keracunan
kadmium rata-rata terjadi pada nelayan yang tinggal di daerah pesisir Teluk
Jakarta yang banyak mengkonsumi ikan dari perairan tersebut. Salah satu
pemukiman yang terletak di pesisir Teluk Jakarta adalah Kaliadem.
4
Kaliadem Muara Angke merupakan salah satu daerah yang berada di
tepi Teluk Jakarta. Perkampungan ini dihuni oleh beberapa kelompok nelayan
termasuk nelayan kerang hijau sehingga mayoritas mata pencahariaan
penduduk disana adalah budidaya kerang hijau yang dilakukan di pesisir
wilayah perairan Teluk Jakarta. Kegiatan budidaya kerang hijau tersebut
sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan jumlah rakit sebanyak 50 unit.
Produksi dari hasil budidaya kerang hijau tersebut bisa mencapai 15-20 ton
perbagan tancap setiap minggunya (DPPK, 2006). Walaupun kerang hijau
bukan merupakan makanan pokok pada daerah ini, namun lokasi yang dekat
dengan budidaya membuat masyarakat setempat lebih cenderung
mengkonsumsi kerang hijau dibandingkan dengan hasil laut yang lain.
Sebagian besar laki-laki bekerja sebagai nelayan kerang hijau,
sedangkan rata-rata penduduk perempuan dewasa di daerah tersebut memiliki
pekerjaan sampingan sebagai pengupas kerang. Masyarakat di sana
merupakan high fish consumption yaitu masyarakat yang lebih banyak
mengkonsumsi hasil laut dibandingkan dengan masyarakat yang tidak tinggal
dekat perairan Teluk Jakarta (Susiyeti, 2010). Sehingga memungkinkan
bahwa tingkat konsumsi kerang hijau pada masyarakat Kaliadem Muara
Angke Jakarta Utara lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat lain.
Salah satu jenis hewan yang merupakan flitter feeder atau bertingkah
laku sebagai vacum cleaner terhadap limbah B3 adalah hewan yang sesil
(menetap) yakni golongan kekerangan. Golongan kekerangan yang
mampunyai kemampuan yang basar dalam menyerap limbah B3 (terutama
5
logam berat) adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau ukuran kecil
dapat bertingkah sebagai vacum cleaner bagi limbah cair kawasan industri
yang masuk ke dalam perairan (Riani, 2009).
Selain berperan sebagai vacum cleaner dan flitter feeder kerang hijau
juga merupakan salah satu spesies kerang terbaik untuk menguji biopollution
(Molnar et al., 2008) sehingga hal tersebut memungkinkan akumulasi logam
berat yang berbahaya bagi manusia sangat tinggi di dalam kerang hijau.
Penelitian yang telah dilakukan (Alfian, 2005) dengan menguji beberapa hasil
laut dari perairan Pekalongan bahwa kadar Cd dalam udang dogol 0,372 ±
0,177 ppm, kerang hijau 0,451 ± 0,174 ppm dan sotong gurita 0,204 ± 0,035
ppm. Berdasarkan penelitian tersebut meskipun semua hasil laut tidak aman
dikonsumsi dan telah melebihi yang ditetapkan SNI namun kadungan logam
Cd terbesar ditemukan dalam kerang hijau.
Studi pendahuluan telah dilakukan oleh peneliti di Laboratorium
Kesehatan Lingkungan FKIK UIN Jakarta pada tanggal 16 Desember 2014
dengan menganalisis beberapa logam berat yaitu Hg, Cd, dan Pb. Sampel
hasil laut yang dianalisis antara lain kerang hijau, kerang dara, ikan tongkol,
ikan peda, ikan kembung, kerang batik, dan ikan pindang. Sampel hasil laut
yang didapatkan dari Pusat Pelelangan Ikan Muara Angke dan merupakan
hasil tangkapan dari perairan Teluk Jakarta. Hasil analisis awal diketahui
kandungan kadmium paling banyak terdapat pada sampel kerang hijau yaitu
sebesar 1,48 mg/kg. Konsentrasi ini telah melebihi baku mutu yang ditetapkan
pemerintah Indonesia mengenai batas cemaran logam berat pada hasil laut
6
yaitu 1,0 mg/kg (BPOM, 2009);(SNI, 2009). Sedangkan konsentrasi logam Pb
dalam kerang hijau sebesar 2,3 mg/kg juga telah melebihi baku mutu yaitu 1,5
mg/kg (BPOM, 2009);(SNI, 2009). Konsentrasi Cd dalam sedimen lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di perairan. Penelitian yang dilakukan
di Teluk Jakarta pada tahun 2009 menyebutkan bahwa nilai kisaran rata-rata
konsentrasi kadmium di sedimen berkisar antara 0,201-0,625 mg/l. Sedangkan
pada perairan menunjukkan nilai konsentrasi rata-rata sebesar 0,0040-
0,010mg/l (Sarjono, 2009).
Namun menurut efek bahayanya terhadap tubuh logam Cd lebih
berbahaya dari pada logam Pb, karena berapapun jumlah Cd yang masuk ke
dalam tubuh manusia menimbulkan efek yang berbahaya. Sifat Cd yang
mudah terakumulasi dan lebih sulit terdegredasi dalam tubuh dari pada Pb
menimbulkan risiko lebih besar terhadap kesehatan manusia.
Sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian mengenai konsentrasi
logam berat dalam biota perairan di Teluk Jakarta, namun hingga saat ini
masih belum ada penelitian yang membahas tentang tingkat konsentarsi
logam logam dalam biota dengan tingkat risiko yang ditimbulkan akibat
mengkonsumsi logam berat yang terakumulasi dalam biota di Teluk Jakarta.
Perhitungan tingkat risiko logam berat dalam kerang hijau jika dikonsumsi
oleh manusia dapat diketahui dengan melakukan pendekatan Analsisi Risiko
Kesehatan Lingkungan (ARKL).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai analisis risiko kandungan logam berat Cd
7
pada kerang hijau (Perna viridis) di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
Penelitian ini penting untuk dilakukan guna mengetahui tingkat risiko (RQ)
kandungan logam berat kadmium (Cd) pada masyarakat Kaliadem Muara
Angke Jakarta ketika mengkonsumsi kerang hijau dalam waktu tertentu.
B. Rumusan Masalah
Kerang hijau merupakan salah satu jenis hewan yang merupakan flitter
feeder atau bertingkah laku sebagai vacum cleaner dan merupakan salah satu
jenis kerang terbaik untuk menguji biopllution limbah B3 pada periaran. Salah
satu logam berat yang berbahaya dan menimbulkan dampak yang buruk bagi
kesehatan adalah kadmium (Cd). Saat ini telah terjadi akumulasi logam berat
Cd dalam perairan Teluk Jakarta sebesar 82,6% sehingga berpengaruh juga
terhadap akumuasi pada kerang hijau. Pajanan Cd dengan konsentrasi yang
rendah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan efek permanen
pada sistem ginjal dan hati. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian yang
menghitung dan menghubungkan tingkat risiko konsumsi kerang hijau dengan
keracunan Cd sehingga dapat menimbulkan efek kesehatan yang merugikan
pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian secara khusus terkait tingkat risiko kandungan Cd pada
kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara tahun 2015.
8
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana karakterisitik individu (usia, jenis kelamin, status
pernikahan, pekerjaan, dan cara memasak kerang) pada masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara?
2. Berapa besar kandungan Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi
masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dan dibudidayakan
di perairan Teluk Jakarta?
3. Berapa besar nilai intake (konsumsi) logam berat Cd pada masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara ketika mengkonsumsi kerang
hijau yang didapatkan dari Pusat Pelelangan Ikan Muara Angke
Jakarta dan hasil dari budidaya kerang hijau yang dilakukan di
perairan Teluk Jakarta ?
4. Apakah masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara berisiko
terhadap terjadinya gangguan kesehatan ketika mengkonsumsi kerang
hijau yang dibudidaya di Teluk Jakarta?
5. Bagaimana hubungan antara karakterisitik indivudu, pola aktivitas dan
intake konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara dengan tingkat risiko akibat mengkonsumsi kerang
hijau?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan
logam berat Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang
9
dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
dari hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status
pernikahan, cara memasak kerang, dan pekerjaan) masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
b. Mengetahui konsentrasi Cd dalam kerang hijau (Perna viridis)
yang dibudidayakan di Teluk Jakarta.
c. Mengetahui intake logam berat Cd pada masyarakat Kali Adem
Muara Angke Jakarta Utara ketika mengkonsumsi kerang hijau
hasil budidaya di Teluk Jakarta.
d. Mengetahui tingkat risiko (RQ) individu kandungan logam berat
Cd pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta Utara ketika
mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya yang dilakukan di
Teluk Jakarta.
e. Mengetahui hubungan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju
asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, berat badan dan intake
dengan tingkat risiko masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara.
10
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang ini akan memberikan manfaat kepada berbagai pihak dan
instasi, manfaat tersebut adalah:
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk menigkatkan pengetahuan dan
kesempatan untuk aplikasi teori kesehatan lingkungan yang telah
didapat di bangku kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat
membantu peneliti lain jika membutuhkan referensi terkait penelitian
dengan topik yang sama.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini akan memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai konsentrasi Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang di
budidaya di Teluk Jakarta masih dalam standar baku mutu aman atau
tidak, sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dengan cara
mengurangi konsumsi kerang hijau atau dengan melakukan beberapa
cara untuk mengurangi kandungan logam dalam kerang hijau.
3. Bagi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara
Adanya penelitian ini akan membantu UPT PKPP dan PPI
Muara Angke Jakarta Utara karena hasil penelitian ini akan dijadikan
bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan selanjutnya terhadap
kegiatan budidaya kerang hijau di perairan Teluk Jakarta yang sampai
saat ini masih dilakukan. Selain hal tersebut penelitian ini juga dapat
11
memberikan gambaran mengenai tingkat pencemaran yang terjadi
terhadap hasil laut yang ditangkap dari perairan Teluk Jakarta.
4. Bagi Dinas Kesehatan Jakarta Utara
Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran tentang tingkat
risiko kandungan logam berat Cd dalam kerang hijau (Perna viridis)
yang merupakan hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk
Jakarta yang dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat yang
tinggal disekitar pesisir perairan Teluk Jakarta sehingga dapat
dilakukan manajemen risiko terhadap efek kesehatan yang akan
ditimbulkan.
5. Bagi Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta
Penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran pencemaran
lingkungan utamanya pada wilayah perairan Teluk Jakarta dan dapat
digunakan untuk menyusun kebijakan mengenai pengawasan limbah
pabrik yang dibuang pada badan air.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efek kesehatan
lingkungan kandungan logam berat Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang
dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Analisis
spesimen dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK dan
Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Populasi dalam
penelitian ini diambil di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang
12
merupakan pusat budidaya kerang hijau yang dilakukan di perairan Teluk
Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2015.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan
menggunakan metode pendekatan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
(ARKL), sehingga dalam penelitian ini menggabungkan antara studi
Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dengan studi ARKL. Teknik
pengambilan responden dilakukan dengan teknik simple random sampling.
Populasi dari peneltian ini adalah masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara yaitu kelompok 2, 6, 7, dan 9 dengan jumlah 415 KK. Jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah 191 KK (230 responden) dan 11 spesimen kerang
hijau. Responden dalam penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan yang
berusia ≥10 tahun yang tercatat dalam kelompok nelayan 2,6,7, dan 9 di
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
Jenis data yang digunakan adalah data primer untuk mengetahui
karakteristik individu dan pola aktifitas individu dengan cara melakukan
pengisian kuesioner terhadap masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara. Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan perhitungan dengan
formulasi rumus sehingga didapatkan nilai intake dan tingkat risiko (RQ).
Data konsentrasi Cd dalam kerang hijau didapatkan dari pemeriksaan di
Laboratorium Terpadu dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometry
(AAS) metode Flow. Sebelum dilakukan pengujian dengan AAS sampel
kerang hijau dilakukan ektraksi dengan metode destruksi basah yang
dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN Jakarta.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerang Hijau (Perna viridis)
Kerang hijau (Perna viridis) di Indonesia mempunyai nama yang berbeda-beda di
setiap daerah, seperti Kijing (Jakarta), Kedaung (Banten), dan Kemudi Kapal (Riau). Di
Malaysia dikenal dengan sebutan Siput Kudu, Chay Luan/Tam Chay (Singapura), Ta
Hong (Philipina) dan Hoi Pong (Thailand) (National Park Service, 2014). Kerang hijau
diklasifikasikan sebagai berikut (Vakily, 1989):
Filum : Moluska
Kelas : Bivalvia
Subkelas : Lamellibranchia
Ordo : Anisomyria
Famili : Mytilidae
Genus : Perna
Spesies : Perna viridis L.
Kerang hijau adalah organisme yang dominan pada ekosistem litoral (wilayah
pasang surut) dan subtorial dangkal. Kerang hijau dapat hidup dengan subur pada
perairan teluk, estuari, perairan sekitar area mangrove dan muara dengan kondisi
lingkungan yang dasar perairannya berlumpur campur pasir, dengan cahaya dan
pergerakan air yang cukup, serta kadar garam yang tidak terlalu tinggi (Setyobudiandi,
2000).
Kerang hijau pada umumnya bersifat dioecius yaitu induk jantan dan betina
terpisah dan pembuahan terjadi di luar tubuh. Telur yang dibuahi berbentuk bola dengan
diameter sekitar 50 μm, sedangkan telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong.
14
Perkembangan kerang hijau dari larva hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh salinitas.
Pada tingkat larva, salinitas 21-33% memungkinkan larva tersebut tumbuh normal dan
berkembang menjadi tingkat berikutnya sebagai veliger (Molnar et al., 2008).
Kerang hijau secara alami mendiami muara perairan di mana salinitas berkisar 27-
33 PSU, batas bawah sekitar 16 ppt. Kisaran suhu optimal 26-32oC tetapi beberapa
kerang hijau bisa bertahan untuk jangka pendek dari 10-35oC. Kerang hijau memakan
fitoplankton, zooplankton, dan detritus yang disaring dari air (Linnaeus, 2001).
Kerang hijau tersebar luas di banyak muara sungai perairan Indonesia dan perairan
tropika lainnya. Mereka umunya hidup menempel pada dasar (subtrat) yang keras
seperti kayu, bambu, batu, bangunan beton, dan lumpur keras dengan bantuan byssus
(serabut penempel) (National Park Service, 2014).
Golongan kekerangan merupakan salah satu jenis hewan yang bertingkah laku
sebagai flitter sebagai vacum cleaner terhadap limbah B3 adalah hewan yang sesil
(menetap) yakni goIongan kekerangan. Diantara golongan kekerangan yang mampunyai
kemampuan yang basar dalam menyerap limbah B3 (terutama logam berat) adalah
kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau ukuran kecil dapat bertingkah laku sebagai
vacum cleaner bagi limbah cair kawasan industri yang masuk ke dalam perairan (Riani,
2009).
Kerang Hijau telah digunakan sebagai indikator biopollution logam berat,
organoklorin, dan hidrokarbon minyak bumi. Kerang Hijau adalah salah satu spesies
kerang terbaik untuk menguji biopollution (Molnar et al., 2008).
15
B. Kadmium
1. Sifat dan Karakteristik Kadmium
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat
luas di alam. Logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair
3120C dan titik didih 765
0C, dan masuk dalam golongan IIB (ATSDR, 1999).
Logam Cd mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam namun kadmium
murni jarang ditemukan di alam. Hanya ada satu jenis mineral Cd dialam yaitu
greennocike (CdS) yang selalu ditemukan bersama dengan mineral spalerit (ZnS)
(Palar, 1994). Mineral CdS ini sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam
eksploitasi logam Cd, biasanya merupakan produksi sampingan dari peristiwa
peleburan dan refining bijih Zn. Bisanya pada konsentrat Zn didapatkan 0,2
sampai 0,3% logam Cd (Wang et al., 2009).
Berdasarkan sifat fisiknya Cd merupakan logam yang lunak, ductile, berwarna
putih seperti perak. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara
yang basah atau lembab serta akan mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap
amonia (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2) (ATSDR, 1999). Sedangkan
berdasarkan sifat kimianya logam Cd dalam, persenyawaan yang dibentuknya
pada umumnya mempunyai bilangan valensi2+
, apabila dimasukan ke dalam
larutan yang mengandung ion OH-, ion Cd
2+ akan mengalami proses
pengendapan (Louekari et al., 2000).
16
2. Pencemaran Kadmium
a. Pencemaran Kadmium dalam Perairan
Bahan pencemar (polutan) adalah material atau energi yang dibuang
ke lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan baik abiotik
maupun biotik (Nurjanah et al., 1999). Menurut keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/I/1988
yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah
masuk dan dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen
lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara
oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang
atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Kepmen LH,
1988).
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan perairan terjadi karena
adanya suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam
tersebut dalam kegiatan manusia, dan secara sengaja maupun tidak
sengaja membuang berbagai jenis limbah beracun termasuk di dalamnya
terkandung logam berat ke dalam lingkungan perairan. Sumber utama
pemasukan logam berat berasal dari kegiatan pertambangan, cairan
limbah rumah tangga, limbah dan buangan industri, limbah pertanian
(Connel and Miller, 1995).
Secara alamiah logam berat juga masuk ke dalam perairan dapat
digolongkan sebagai: (1) pasokan dan daerah pantai, yang meliputi
17
masukan dari sungai-sungai dan erosi yang disebabkan oleh gerakan
gelombang dan gletser, (2) pasokan dari laut dalam, yang meliputi logam-
logam yang dilepaskan gunung berapi di laut dalam dan dari partikel atau
endapan oleh adanya proses kimiawi, (3) pasokan yang melampaui
lingkungan dekat pantai yang meliputi logam yang diangkut ke dalam
atmosfer sebagai partikel-partikel debu atau sebagai aerosol dan juga
bahan yang dihasilkan oleh erosi gletser di daerah kutub dan diangkut
oleh es-es yang mengambang (Cai et al., 1995).
Logam berat termasuk sebagai zat pencemar karena sifatnya yang
tidak dapat diuraikan secara biologis dan stabil, sehingga dapat tersebar
jauh dari tempatnya semula (Azhar et al., 2012). Selanjutnya dikatakan
bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat digolongkan sebagai
pencemar yang berbahaya, yaitu (1) tidak dihancurkan oleh
mikroorganisme yang hidup di lingkungan dan (2) terakumulasi dalam
komponen-komponen lingkungan, terutama air dengan membentuk
senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi
dan kombinasi (Jerrold B. Leikin and Frank P. Paloucek, 2008).
b. Pencemaran Kadmium dalam Sedimen
Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses
hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun
horizontal (Prasad, 2001). Sedimen terdiri dari beberapa komponen.
Komponen tersebut bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan
18
geologi dasar (Awalina-Satya et al., 2011). Sedimen terdiri dari bahan
organik dan bahan anorganik yang berpengaruh negatif terhadap kualitas
air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu
tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan anorganik
umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan
terbagi atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai
dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau
perairan yang relatif tenang (Puspitasari, 2007 ).
Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan
bahan kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di
dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran
tertinggi dalam air (CRC, 2002). Keberadaan sedimen pada badan air
mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya
menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat
(visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan
organisme air lainnya untuk memperoleh makanan, karena pakan ikan
menjadi tertutup oleh lumpur (Augustine, 2008). Kekeruhan yang tinggi
dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ pernapasan seperti insang
pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti
pestisida dan senyawa logam (Augustine, 2008).
Pada sedimen terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen
dengan kandungan bahan organik. Pada sedimen yang halus, persentase
bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini
19
berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga
memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh
akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Riani, 2009). Sedangkan
pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah
karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan
bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya
terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini diakibatkan adanya
daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral
(UNEP, 1990).
3. Sumber Pencemaran Kadmium
Aktifitas masyarakat seperti kegiatan perikanan (tangkap dan
budidaya), industri, dan pariwisata menyebabkan banyak bahan pencemar
yang masuk ke dalam perairan. Berdasarkan sumbernya, pencemaran pada
perairan dapat dibagi menjadi dua kelompok (Hutagalung, 1984), yakni :
a. Dari laut, misalnya tumpahan minyak baik dari sumbernya langsung
maupun hasil pembuangan kegiatan pertambangan di laut, sampah dan air
ballast dari kapal tanker.
b. Kegiatan darat melalui udara dan terbawa oleh arus sungai yang akhirnya
bermuara ke laut.
Berdasarkan sifatnya polutan dibagi menjadi zat yang mudah terurai
(biodegradable). Contoh zat yang mudah terurai adalah seperti sampah
20
organik sedangkan zat yang sukar terurai (non biodegradable) contohnya
adalah minyak dan logam berat (UNEP, 1990).
Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Logam ini telah digunakan semenjak tahun 1950 dan total produksi manusia
adalah sekitar 15.000 – 18.000 per tahun. Sumber pencemaran kadmium
dapat berasal dari aktifitas pertambangan, produksi, domestik dan pertanian.
Beberapa industri yang menggunakan kadmium sebagai bahan produksi
adalah (Connel and Miller, 1995):
a. Senyawa CdS dan CdSeS, banyak digunakan sebagai zat pewarna.
b. Senyawa CdSO4 digunakan dalam industri baterai yang berfungsi
untuk pembuatan sel weston karena Cd mempunyai potensial
stabil sebesar 1,0186 volt.
c. Senyawa CdBr2 dan CdI2 secara terbatas digunakan dalam dunia
fotografi.
d. {(C2H5)2Cd} digunakan dalam proses pemuatan tetraetil-Pb.
e. Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian
manufaktur Polyvinil Chlorida (PVC) sebagai bahan yang
berfungsi untuk stabilizer.
Selain itu Cd banyak digunakan dalam industri ringan seperti pada
proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman, industri
tekstil, dan lain-lain banyak melibatkan senyawa yang dibentuk dengan Cd
21
meskipun penggunaannya dengan konsentrasi yang sangat rendah
(Darmono, 1995).
4. Baku Mutu atau Guideline Konsentrasi Kadmium
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor
HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang penetapan batas maksimum
cemaran mikroba dan kimia dalam makanan, batas maksimum cemaran
Cd dalam kerang adalah 1,0 mg/kg (BPOM, 2009). Peraturan Standar
Nasional Indonesia tahun 2009 menetapkan batas maksimum cemaran
logam berat kadmium dalam jenis kerang adalah 1,0 mg/kg (SNI, 2009).
Diperkuat pernyataan dari FAO dan WHO bahwa ambang batas
toleransi Cd sekitar 70 mg Cd tiap hari (WHO, 1972). Sedangkan
menurut WHO, kadar kadmium (Cd) maksimum pada air yang
diperuntukan untuk air minum adalah 0,005 mg/L (WHO, 1994)dan
untuk peruntukan pertanian dan perikanan sebaiknya tidak lebih dari 0,05
mg/kg (WHO, 1972).
5. Toksikologi Kadmium
a. Toksikologi Kadmium di Lingkungan
Kadmium berpotensi besar merugikan dan mempengaruhi
kualitas lingkungan dan pencemaran melalui rantai makanan.
Konsentrasi kadmium dalam makanan merupakan phatway dari
akumulasi logam yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Penyebaran pencemar dalam lingkungan perairan sangat dipengaruhi
22
oleh sejumlah proses pengangkutan interaktif, seperti penguapan,
presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran. Proses masuknya zat
polutan pada lingkungan melalui atmosfer, tanah dan sedimen (Connel
and Miller, 1995).
Logam Cd membawa sifat racun yang sangat merugikan bagi
semua organisme bahkan juga berbahya bagi manusia. Pada badan
perairan kelarutan Cd dalam kosentarsi tertentu dapat membunuh biota
perairan.
b. Toksikologi Kadmium dalam Tubuh Manusia
Kadmium masuk kedalam tubuh melalui makanan, air minum,
partikel dan asap rokok yang terhirup. Kadmium dianggap sebagai
salah satu logam dengan toksisitas tinggi yang menimbulkan efek
negatif terhadap fungsi biologis manusia, hewan, dan tumbuhan
(Kabata-Pendias and Mukhreje, 2001). Logam Cd bersifat racun
akumulatif (SNI, 2009). Kadmium masuk ke dalam tubuh (phatway)
sebagian besar melalu pencernaan (ingesti) dan pernafasan (inhalasi)
(Darmono, 1995).
Logam Fe dan Ca ditambah diet rendah protein dapat
meningkatkan daya toksisitas kadmium dalam tubuh. 50% dari
metabolisme logam Cd akan disimpan dan terakumulasi dalam hati
dan ginjal melalui distribusi darah yang mengandung logam Cd dari
proses adsorbsi dinding usus manusia (Jerrold B. Leikin and Frank P.
23
Paloucek, 2008). Logam Cd akan terekskresi melalui fases dan urin,
dengan konsentrasi rendah, ditambah waktu paruh (biological half life)
sampai 10 – 30 tahun. Akumualsi kadmium akan berpengaruh pada
faktor umur dan waktu terpajan dimana akumulasi akan terjadi dan
terlihat efeknya ketika dewasa nanti (Darmono, 1995)
Di dalam tubuh, logam berat akan terakumulasi, sehingga
kadarnya akan jauh lebih tinggi dari kadar logam berat tersebut
daripada sumbernya. Hal ini membahayakan kesehatan manusia,
karena dapat menyebabkan toksisitas kronis bila dikonsumsi terus
menerus. Apabila kadmium masuk ke dalam tubuh, maka sebagian
besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian yang
dikeluarkan melalui saluran pencernaan (WHO, 1992). Selain itu
dalam tubuh manusia Cd juga akan mengalami proses bioakumulasi
dan biotransformasi. Logam masuk ke dalam tubuh bersama makanan
yang dikonsumsi, yang makanan tersebut terkontaminasi oleh logam
Cd atau persenyawaannya (Wang et al., 2009).
Akumulasi pada ginjal dan hati 10 – 100 kali konsentrasi pada
jaringan yang lain. Hanya sedikit kadmium yang diserap yaitu sekitar
5 – 10 % (Prasad, 2001). Penyerapan dipengaruhi faktor diet seperti
intake protein, kalsium, vitamin D dan logam seperti seng (Zn).
Proporsi yang besar adalah absorbsi melalui pernafasan yaitu antara 10
– 40 % (Hutagalung and Rohchyatun, 2000). Perkiraan dosis
mematikan (lethal dose) akut kadmium adalah 500 mg/kg untuk
24
dewasa dan efek dosis akan nampak jika terserap 0,043 mg/kg per hari
(Simeonov et al., 2011).
1) Penyerapan Kadmium dalam Tubuh
Sifat kadmium adalah sukar diabsropsi dari saluran
cerna. Sebanyak 5% kadmium diserap melalui saluran
pencernaan (SNI, 2009).
Selanjutnya Cd diangkut dalam darah, sebagian besar
terikat pada sel darah merah dan albumin. Seletah distribusi,
kira-kira 50% dari jumlah Cd dalam tubuh ditemukan pada hati
dan ginjal (Ratnaningsih, 2014). Waktu paruh kadmium dalam
tubuh berkisar antara 10-30 tahun hingga munculnya gangguan
kesehatan yang bersifat non karsinogenik (Ratnaningsih,
2014).
Absrobsi Cd akan meningkat bila terjadi defisiensi Ca,
Fe, dan rendah protein dalam makanannya. Defisiensi Ca
dalam makanan akan merangsang sintetis ikatan Ca-protein
sehingga akan meningkatkan absrobsi Cd, sedangkan
kecukupan Zn dalam makanan bisa menurunkan absrobsi Cd.
Hal tersebut diduga karena Zn merangsang produksi
metalotionin (Ratnaningsih, 2014).
25
2) Bio-transformasi dan Metabolisme Kadmium
Logam kadmium yang masuk ke dalam tubuh ikut
mengalami proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh. Secara
umum proses fisiologis tubuh lebih dikenal dengan istilah
metabolisme tubuh (Ridwan, 2011). Kadmium
ditransportasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah
merah dan protein berat molekul tinggi dalam plasma
khususnya oleh albumin. Sejumlah kecil Cd dalam darah
mungkin ditransportasikan oleh metalotionin (Nordberg et al.,
2005). Kadar Cd dalam darah pada orang dewasa yang terpapar
Cd secara berlebihan biasanya 1μg/dL (IPCS, 1992).
Absropsi Cd melalui gastrointestinal lebih renggang
dibandingkan absrobsi melalui respirasi yaitu sekitar 5-8%
(ATSDR, 1999). Sistem hayati memiliki peluang untuk
meingkatkan atau mengosentrasi unsur logam berat yang
bersifat toksik dalam tubuhnya sebagai fungsi detoksifikasi
yaitu mengikat logam berat dalam lingkaran metabolisme
tanpa mengeliminasinya (F.Nordberg, 1992). Setelah toksikan
Cd memasuki darah, toksikan didistribusikan dengan cepat
keseluruh tubuh (Nordberg et al., 2005). Pengikatan toksikan
dalam jaringan bisa menyebabkan lebih tingginya kadar
toksikan dalam jaringan tersebut.
26
Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi
untuk mengikat zat kimia (toksikan Cd). Pengikatan toksikan
bisa meingkatkan kadarnya dalam organ. Kadmium memiliki
afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal. Pada umumnya
sekitar 50-75% dari beban Cd dalam tubuh terdapat pada kedua
organ tersebut (Gupta, 2009). Kadar Cd dalam hati dan ginjal
bervariasi tergantung pada kadar total Cd dalam tubuh. Apabila
MT hati dan ginjal tidak mampu lagi melakukan detoksifikasi
maka akan menjadi kerusakan sel hati dan ren (Gupta, 2009).
3) Ekskresi Kadmium
Proses pengeluaran logam Cd melalui proses
pembentukan granula yang dibuang oleh ginjal (ATSDR,
1999). Dalam konsentrasi kecil kadmium dibuang oleh tubuh
melalui urin dan feses. Pembungan kadmium melalui saluran
pencernaan hanya sebesar 5% sisanya disimpan dan
terakumulasi dalam ginjal dan hati (ATSDR, 1999).
4) Dampak Kadmium terhadap Kesehatan Manusia
Keracunan yang disebabkan kadmium dapat bersifat akut
dan kronis. Gejala keracunan akut yang disebabkan oleh logam
Cd adalah timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada
(Anggraeny, 2010). Gejala keracunan akut ini muncul setelah
4-10 jam sejak terpapar. Akibat dari paparan Cd ini dapat
27
mengakibatkan penyakit paru akut. Penyakit paru ini dapat
terjadi apabila terpapar uap logam Cd selama 24 jam (Laura
Robinson and Ian Thorn, 2005). Paparan kornik dapat
mengakibatkan kematian apabila terpapar konsentrasi yang
berkisar 2500-2900 mg/m3 (Gupta, 2009).
Keracunan yang bersifat kronis disebabkan oleh daya
racun yang dibawa logam Cd terjadi dalam selang waktu yang
panjang. Peristiwa ini terjadi karena logam Cd yang masuk
dalam tubuh dalam jumlah kecil sehingga dapat ditolerir oleh
tubuh pada saat tersebut. Akan tetapi karena proses tersebut
terjadi secara terus-menerus secara berkelanjutan maka tubuh
pada batas akhir tidak mampu memberikan toleransi terhadap
daya racun yang dibawa oleh Cd. Keracunan yang bersifat
kronis ini membawa akibat yang lebih parah dibandingkan
dengan paparan secara akut. Keracunan kronis yang
disebabkan oleh Cd umumnya berupa kerusakan sistem
fisiologis tubuh.
Target sistem tubuh yang dapat dirusak oleh Cd adalah
pada sistem urinaria, sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan
sistem reproduksi (Widowati et al., 2008). Toksisitas kronis
kadmium baik melalui inhalasi maupun oral, bisa
menyebabkan kerusakan pada tubulus renalis, kerusakan ginjal
yang ditunjukkan oleh ekskresi berlebihan, protein berat
28
molekul rendah, gagal ginjal, gangguan sistem kardiovaskuler,
gangguan sistem skeletal, menurunkan fungsi pulmo,
empisema, kehilangan mineral tulang yang disebabkan oleh
disfungsi nefron ginjal, berkurangnya reabsrobsi Ca, dan
terjadinya peningkatan ekskresi Ca yang berpengaruh terhadap
tulang (Gupta, 2009).
6. Toksikokinetik Kadmium
Secara umum toksikokinetik diartikan sebagai perjalanan suatu
polutan yang terjadi di dalam tubuh manusia. Pada perjalanan kadmium
fase toksikokinetik terjadi dalam waktu paruh 10-30 tahun (Darmono,
1995) hingga dapat menuju target organ. Selain hal tersebut kadmium yang
bersifat akumulatif maka diperlukan dosis tertentu untuk dapat
menimbulkan suatu efek terhadap target organ. Fase toksikokinetik adalah
sebagai berikut (Hartono, 2013):
Polutan Absorpsi Distibusi Biotransformasi
Metabolisme
Ekskresi
Fisika
Kimia
Biologi
Dermal
Ingesti
Inhalasi
Sirkulasi
Penyimpanan
Urin
Feses
Respirasi
Keringat
Bagan 2.1
Fase Toksikokinetik
29
7. Toksikodinamik Kadmium
Toksikodinamik adalah ultimate toxicant (molekul yang akan bereaksi
dengan molekul sasaran dan menyebabkan perubahan fungsi fisiologis)
(C.H.Walker et al., 2001). Fase ini terjadi setelah toksikokinetik. Secara
umum toksikodinamik merupakan interaksi antara polutan dengan reseptor
pada suatu organ sehingga menimbulkan efek toksik. Kebanyakan efek
toksik akan mengalami fase repair dulu (sifat toksik muncul jika repairnya
gagal) (Jerrold B. Leikin and Frank P. Paloucek, 2008). Toksikodinamik
digunakan untuk mendeteksi berbagai efek kerusakan suatu polutan pada
fungsi vital.
Toksikodinamik yang terjadi pada kadmium menuju organ target yaitu
ginjal, hati dan sistem reproduksi sehingga menimbulkan efek toksik pada
organ target tersebut. Waktu yang dibutuhkan logam kadmium dalam fase
toksikodinamik (hingga menimbulkan efek toksik pada organ target) adalah
10-30 tahun (Darmono, 1995).
8. Biomagnifikasi Kadmium
Biomagnifikasi adalah kecenderungan peningkatan kadar bahan kimia
seiring peningkatan level trofik pada jaringan atau rantai makanan.
Biomagnifikasi melibatkan rantai makanan sebagai penghubungnya. Pada
biomagnifikasi, terlihat adanya peningkatan konsentrasi bahan kimia pada
tiap tingkatan trofik, jadi semakin tinggi tingkatan trofiknya akan diikuti
peningkatan kadar bahan kimia tersebut (Puspitasari, 2007 ).
30
Tingakatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan
jumlah Cd yang terakumulasi. Dimana pada biota yang lebih tinggi
stratanya akan ditemukan akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan
pada biota top level merupakan tempat akumulasi yang paling besar. Bila
jumlah Cd yang masuk tersebut telah melebihi nilai ambang maka biota
dari satu level atau strata tersebut akan mengalami kematian atau
kemusnahan. Keadaan inilah yang menyebabkan kehancuran suatu tatanan
sistem lingkungan (ekosistem) (Puspitasari, 2007 ).
Pada biota yang tahan terhadap Cd, logam ini diserap oleh biota laut
diserap melalui insang dan saluran pencernaan, tertimbun dalam
jaringannya, dan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi
(Palar, 1994). Apabila kerang dengan kadar logam Cd tinggi dikonsumsi
manusia, maka dalam tubuh manusia akan terjadi proses biomagnifikasi,
dan suatu saat dapat mengganggu fungsi organ tubuh manusia, tergantung
pada toleransi masing-masing individu.
Fenomena biomagnifikasi ini berimplikasi pada manusia karena
manusia menduduki posisi puncak tingkat trofik pada hampir semua rantai
makanan dalam ekosistem. Jadi dengan demikian, manusia adalah makhluk
yang menanggung risiko biomagnifikasi paling tinggi.
9. Bioakumulasi Kadmium
Bioakumulasi merupakan suatu proses dimana substansi kimia
mempengaruhi makhluk hidup dan ditandai dengan peningkatan
31
konsentrasi bahan kimia di tubuh organisme dibandingkan dengan
konsentrasi bahan kimia itu di lingkungan. Karena penyerapan bahan kimia
ini lebih cepat daripada proses metabolisme dan ekskresi tubuh organisme,
maka bahan-bahan kimia ini akan terakumulasi di dalam tubuh.
Konsentrasi polutan yang diikuti perpindahan dari lingkungan ke
organisme pertama pada rantai makanan (Jaluis et al., 2008). Proses
bioakumulasi melibatkan tahap-tahap antara lain (Puspitasari, 2007 ):
a. Pengambilan (Uptake), yaitu masuknya bahan-bahan kimia (melalui
pernafasan, atau adsorbsi melalui kulit, pada ikan biasanya dapat
melalui insang)
b. Penyimpanan (Storage), yaitu penyimpanan sementara di jaringan
tubuh atau organ. Kadar bahan kimia ini akan terus bertambah di
dalam tubuh organisme dan bila kadarnya sampai melebihi kadar
bahan tersebut di lingkungan (air atau udara) maka proses
bioakumulasi telah terjadi; dan
c. Eliminasi, dapat berupa pemecahan bahan kimia menjadi senyawa
yang lebih sederhana, dapat dilakukan dengan proses biologik
disebut metabolisme.
C. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 Tahun 2001,
analisis risiko kesehatan lingkungan merupakan suatu pendekatan untuk
mencermati potensi besarnya risiko yang dimulai dengan mendiskripsikan
32
masalah lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan penetapan risiko pada
kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang
bersangkutan (Depkes RI, 2012). Analisis risiko kesehatan biasanya
berhubungan dengan masalah lingkungan saat ini atau di masa lalu.
Secara garis besarnya ARKL terdiri dari empat tahap kajian, yaitu
identifikasi bahaya, analisis dosis-respon, analisis pemajanan dan
karakterisasi risiko (IPCS, 2010). Manajemen risiko merupakan tindak lanjut
setelah diketahui suatu populasi memiliki risiko terhadap suatu pajanan
(Rahman et al., 2004).
a. Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya atau hazard identification adalah
tahap awal ARKL untuk mengenali sumber risiko.
Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan penggunaan risk
agent memakai pendekatan agent oriented (IPCS, 2010).
Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan
mengamati gejala dan penyakit yang berhubungan dengan
tosksitas risk agent di masyarakat yang telah terkumpul dalam
studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di tempat-
tempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan
disease oriented (WHO 1983).
b. Dosis Respon
Analisis dosis-respon disebut juga dose-response
assessment atau toxicity assessment yaitu menetapkan nilai-nilai
33
kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap bentuk spesi
kimianya (Rahman et al., 2004). Toksisitas dinyatakan sebagai
dosis referensi (reference dose, RfD) untuk efek
nonkarsinogenik dan Cancer Slope Factor (CSF) atau Cancer
Unit Risk (CCR) untuk efek karsinogenik. Analisis dosis-respon
merupakan tahap paling menentukan karena ARKL hanya bisa
dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya.
RfD adalah toksisitas kuantitatif non karsinogenik,
menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang diperkirakan
tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun pajanan
berlanjut sepanjang hayat (IPCS 2004).
Dosis referensi dibedakan untuk pajanan oral atau tertelan
(ingesi, untuk makanan dan minuman) yang disebut RfD dan
untuk pajanan inhalasi (udara) yang disebut reference
concentration (RfC).
Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai risk
agent yang terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terserap
melaluikulit (absorbed) per kg berat badan per hari (mg/kg/hari)
(Rahman et al., 2004). Respon atau efek nonkarsinogenik, yang
disebut juga efek sistemik, yang ditimbulkan oleh dosis risk
agent tersebut dapat beragam, mulai dari yang tidak teramati
yang sifatnya sementara, kerusakan organ yang menetap,
34
kelainan fungsional yang kronik, sampai kematian (Rachman,
2007).
Dosis yang digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang
menyebabkan efek paling rendah yang disebut NOAEL (No
Observed Adverse Effect Level) atau LOAEL (Lowest Observed
Adverse Effect Level). NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat
pada studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara statistik
atau biologis tidak menunjukkan efek merugikan pada hewan uji
atau pada manusia sedangkan LOAEL berarti dosis terendah
yang (masih) menimbulkan efek. Secara numerik NOAEL selalu
lebih rendah daripada LOAEL (enHelath, 1992)
c. Analisis Pemajanan
Analisis pemajanan (exposure assessment) yang disebut
juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur
pajanan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu
dalam populasi berisiko bisa dihitung. Risk agent bisa berada di
dalam tanah, di udara, air, atau pangan seperti ikan, daging, telur,
susu, sayur dan buah-buahan. Karakteristik individu (pola
konsumsi, berat badan, dan usia) dan pola aktifitas (durasi
pajanan dan frekuensi pajanan) merupakan bagian dari analisis
pemajanan. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk
menghitung asupan adalah semua variabel (IPCS, 2010). Adapun
rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut:
35
Keterangan :
I = intake (mg/kgxhari)
C = konsentrasi (mg/kgxhari)
R = laju ingesti (mg/kg)
fE = frekuensi pajanan (hari/tahun)
Dt = durasi pajanan (lifetime exposure) (tahun)
Wb = berat badan (kg)
tavg = periode waktu rata-rata (30 x 365 hari/tahun untuk
non-karsinogen, 70 tahun x 365 hari/tahun untuk karsinogen)
d. Karakteristik Risiko
Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk
Quotient (RQ, Tingkat Risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik
(IPCS, 2010) dan Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek
karsinogenik (enHelath, 1992). RQ dihitung dengan membagi
asupan nonkarsinogenik (Intake) risk agent dengan RfD atau
RfC nya menurut persamaan:
RQ = Risk Qoutient
I = intake (mg/kgxhari)
RfD = refrence dose (mg/kgxhari)
36
Baik intake maupun RfD atau RfC harus spesifik untuk bentuk
spesi kimia risk agent dan jalur pajanannya. Risiko kesehatan
dinyatakan ada dan perlu dikendalikan jika RQ>1. Namun apabila
RQ≤1, risiko tidak perlu dikendalikan tetapi perlu dipertahankan
agar nilai numerik RQ tidak lebih dari 1 (Rahman et al., 2004).
D. Kerangka Teori
Polutan dapat masuk ke suatu lingkungan dengan berbagai cara.
Misalnya unsur logam yang dapat masuk secara alami karena sudah berada di
bumi, batuan dan tanah secara alamiah kemudian masuk ke lingkungan laut
melalui hujan dan erosi. Sumber lainnya adalah melalui buangan industri,
limbah rumah tangga, pertanian, pertambangan dan lainnya. Laut sering
dijadikan sebagai lokasi pembuangan akhir dari berbagai sisa aktivitas
manusia di daratan. Banyak sumber polutan pencemar lingkungan akuatik,
salah satunya adalah logam, yang kini banyak dipakai dalam proses industri
dan dipakai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik,
bahan bakar dan lainnya. Berdasarkan teori tersebut maka kerangka teori
dalam penelitian ini adalah:
37
Sungai dan laut
Limbah Domestik
Aktifitas pertambangan
Aktifitas Pertanian
Limbah Industri
Sedimen
Fitoplankton
zooplankton
Ikan dan kerang
Manusia (ingesti) Penurunan kondisi lingkungan
Bio-
magnifikasi
Intake
Bioakumulasi
Tingkat risiko
Pola Aktifitas:
Lama pajanan (Dt)
Frekuensi pajanan (fe)
Laju asupan (R)
Antropometri (Wb)
Umur
Bagan 2.2
Kerangka Teori
Efek kesehatan:
Gangguan
Reproduksi
Penurunan fungsi
ginjal
Penurunan fungsi
hati
Manajemen Risiko
Karakteristik Individu:
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Pekerjaan
Cara Memasak
Keterangan:
Garis putus putus ( ):
variabel yang tidak diteliti
Garis tegas ( ): variabel yang
diteliti
38
Kerangka teori diatas memperlihatkan pengaruh masuknya suatu polutan ke
dalam ekosistem laut. Polutan dapat masuk ke air dan sedimen dan dapat
mempengaruhi rantai makanan (biomagnifikasi). Sehingga terjadi bioakumulasi pada
rantai makanan dan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan. Semakin
tinggi tingakatan dalam trofik makanan maka semakin tinggi juga polutan yang
berada dalam tubuhnya (bioakumulasi).
Manusia merupakan tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan. Jalur
masuk polutan melalui biota perairan yang dikonsumsi langsung oleh manusia dalam
konsentrasi dan pada waktu tertentu (intake). Intake pada suatu individu dipengaruhi
oleh pola aktivitas dan karakteristik dari individu tersebut. Berdasarkan perhitungan
intake konsumsi individu, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan prediksi risiko
efek non karsinogenik dalam waktu tertentu. Apabila tingkat risiko didapatkan nilai
lebih dari 1 maka dinyatakan berisiko terhadap efek kesehatan seperti gangguan
sistem reproduksi, gangguan fungi hati dan gangguan terhadap fungsi ginjal.
Sehingga akhirnya dilakukan manajemen risiko untuk meminimalisir dampak yang
ditimbulkan akibat pola konsumsi tersebut.
39
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori, untuk mengetahui tingkat efek kesehatan
lingkungan akibat pajanan logam berat Cd dalam kerang hijau yang
dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara, maka
diperlukan data konsesntrasi Cd dalam kerang hijau (C), karakteristik
individu, dan karakteristik risiko. Penelitian ini bersifat prediktif tingkat risiko
logam berat Cd pada sampel kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dalam waktu tertentu.
Intake konsumsi kerang hijau didapatkan dengan perhitungan formulasi
konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu, dan pola aktifitas
individu. Setalah diketahui intake konsumsi kerang hijau maka dilakukan
perhitungan formulasi tingkatan risiko dengan intake dan RfD (refference
dose). Apabila didapatkan nilai RQ>1 maka dinyatakan bahwa masyarakat
berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat keracunan Cd. Setelah
didapatkan nilai RQ maka dilakukan uji hubungan antara variabel konsentrasi
Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu (laju asupan dan berat badan),
pola aktifitas (frekuensi dan durasi pajanan), dan intake.
Variabel karakteristik individu (usia, status pernikahan, jenis kelamin,
pekerjaan, dan cara memasak) hanya dilakukan analisis univariat, karena
variabel ini hanya untuk mengetahui proporsi, jumlah, dan perentase
40
berdasarkan status sosial demografi masyarakat setempat. Sedangkan variabel
konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu (berat badan dan
laju asupan), pola aktivitas (durasi pajanan dan frekuensi pajanan) dan intake
dilakukan analisis bivariat, karena untuk mengetahui hubungan tingkat risiko
dengan variabel tersebut. Efek kesehatan akibat paparan kadmium tidak
diteliti karena efek tersebut dapat muncul setelah paparan dalam jangka waktu
yang lama (kronik). Variabel manajemen risiko juga tidak diteliti, karena
manajemen risiko bukanlah tahapan dari ARKL melainkan tindak lanjut dari
ARKL.
Konsentrasi Kadmium dalam
Kerang Hijau (C)
Intake
konsumsi kerang hijau
Karaktrisitk Individu:
Pola Konsumsi / Laju
Asupan Kerang Hijau
(R)
Berat Badan (Wb)
Usia
Status Pernikahan
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Cara Memasak
Tingkat Risiko (RQ)
Pola Aktifitas:
Durasi Pajanan (Dt)
Frekuensi Pajanan
(fe)
Keterangan:
Huruf dicetak tebal: dilakukan analisis bivariat
Huruf tidak dicetak tebal: hanya dilakukan
analisis univariat
Bagan 3.1
Kerangka konsep
41
B. Definisi Operasional
Definisi operasional dari penelitian ini yaitu:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
ukur
1. Konsentrasi (Cd)
Kadmium dalam
kerang hijau
(Cd 2+
) (C)
Konsentrasi kadmium (Cd) yang
terdapat dalam kerang hijau yang
dikonsumsi oleh masyarakat
Kaliadem, Muara Angke Jakarta
Utara. Pengukuran dilakukan di
Laboratorium Kesehatan
Lingkungan dan Terpadu
Pengukuran
dengan alat
laboratorium
Atomic
Absroption
Spektrophoto
meter (AAS)
mg/gram Rasio
2. Berat Badan
(Wb)
Satuan massa berat badan pada
saat penelitian (Kemenkes, 2012)
Observasi Timbangan
digital
kg Rasio
3. Usia Lamanya waktu hidup yaitu
terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang.
Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
42
4. Laju Asupan (R) Jumlah berat kerang yang
dikonsumsi per hari.
(Direktorat Jendral PP dan PL,
Kementrian Kesehatan, 2012)
Wawancara Kuesioner gram/hari Rasio
5. Jenis Kelamin Jenis kelamin responden yang
menjadi sampel dalam penelitian
Wawancara Kuesioner 1. Laki-laki
2. Perempuan
Ordinal
6. Status
Pernikahan
Status pernikahan responden pada
saat dilakukan pengambilan data
Wawancara Kuesioner 1. Menikah
2. Belum
Menikah
Ordinal
7. Pekerjaan Suatu kegiatan yang dilakukan
secara rutin terus menerus
berdasarkan keahlian yang dimiliki.
Wawancara Kuesioner 1. Buruh
2. Nelayan
3. Pedagang
4. Wiraswasta
5. Swasta
6. Ibu Rumah
Tangga
7. Lainnya
Ordinal
8. Cara Memasak Penggunaan cangkang saat memasak
kerang
Wanwancara Kuesinoner 1. Dengan
Cangkang
Ordinal
43
2. Tanpa
Cangkang
9. Frekuensi
Pajanan (fE)
Jumlah hari dalam satu tahun dalam
mengkonsumsi kerang hijau yang
berasal dari Teluk Jakarta
Wawancara Kuesinoer hari/tahun Rasio
10. Durasi Pajanan
(Dt)
Lamanya waktu atau jumlah tahun
kontak responden dengan pajanan
(Direktorat Jendral PP dan PL,
Kementrian Kesehatan, 2012)
Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
11. Intake (I) Jumlah asupan harian risk agent
yang diterima individu secara
ingesti per kg berat badan per hari.
(Direktorat Jendral PP dan PL,
Kementrian Kesehatan, 2012)
Hitungan Rumus Microsoft
excel dan
SPSS
mg/kg x hari Rasio
44
12. Tingkat risiko
terjadinya
toksisitas
Kadmium (RQ)
Tingkat risiko yang dinyatakan
dalam angka tanpa satuan yang
merupakan perbandingan antara
intake dengan dosis/konsentrasi.
(Direktorat Jendral PP dan PL,
Kementrian Kesehatan, 2012)
Melalukan
perhitungsn
dengan tingkat
risiko
berdasarkan
intake dan dosis
acuan dengan
rumus:
Microsoft
Excel dan
SPSS
RQ > 1: (ada
risiko)
RQ < 1: (risiko
belum terjadi)
Ordinal
45
C. Uji Hipotesis
Hasil penelitian yang akan diharapkan oleh peneliti adalah :
Ada hubungan antara konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan
responden, frekuensi pajanan responden, durasi pajanan responden, berat
badan responden, dan intake dengan tingkat risiko kandungan Cd dalam
kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara tahun 2015
46
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pada dasarnya efek kesehatan lingkungan dibagi menjadi dua yaitu
epidemiologi kesehatan lingkungan (EKL) dan analisis risiko kesehatan
lingkungan (ARKL). Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
efek kesehatan lingkungan pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara akibat mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya yang dilakukan di
Perairan Teluk Jakarta. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan
menggabungkan antara studi EKL dengan studi ARKL. Desain penelitian
yang digunakan adalah cross sectional menggunakan metode ARKL. ARKL
digunakan untuk menghitung tingkat risiko kesehatan pada suatu populasi
tertentu karena pajanan lingkungan dalam waktu tertentu pada suatu populasi.
Pada penelitian ini studi EKL digunakan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat risiko dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik
responden (berat badan dan laju asupan), pola aktifitas (durasi pajanan dan
frekuensi pajanan), dan intake.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Lokasi
pengambilan sampel kerang hijau bertempat pada budidaya kerang hijau
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Pengujian konsentrasi Cd dalam
kerang hijau yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas
47
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan Laboratorium Terpadu UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pemilihan tempat penelitian tersebut, dikarenakan Kaliadem
merupakan pusat budidaya kerang hijau yang dilakukan di pesisir Teluk
Jakarta, sehingga tingkat konsumsi masyarakat terhadap kerang hijau cukup
tinggi. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2015.
C. Populasi dan Responden Penelitian
1. Populasi dan Responden Penelitian
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang
tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Terdapat perbedaan
pada sistem kependudukan di Kaliadem Muara Angke Jakarta, di
tempat ini tidak ada RT dan RW pada sistem kependudukan. RT dan
RW diwilayah setempat digantikan dengan sistem kelompok, sehingga
setiap kelompok dipimpin oleh ketua kelompok. Terdapat 10
kelompok nelayan yang tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara.
Penentuan kelompok yang akan diteliti dipilih berdasarkan lokasi.
Lokasi yang diambil adalah pusat budidaya kerang hijau dan yang
tidak berada di pusat budidaya kerang hijau. Kelompok yang berada di
pusat budidaya kerang hijau adalah kelompok 6 dan 7, sedangkan
sebagai pembandingnya (yang tidak berada di pusat budidaya kerang
hijau) adalah kelompok 2 dan 9. Penentuan kelompok pembanding
48
dilakukan dengan sistem random (acak). Sistem ini dipilih dengan
tujuan agar sampel tidak homogen dan mampu mewakili populasi.
Tujuan dari penentuan kelompok tersebut adalah untuk mengetahui
proporsi dan jumlah responden yang berisiko tiap kelompok, sehingga
akan diketahui kelompok mana yang lebih berisiko mengalami
keracunan Cd. Sehingga kelompok yang menjadi tempat penelitian
pada penelitian ini adalah kelompok 2, 6, 7, dan 9 dengan total
populasi yang masuk dalam penelitian ini adalah 415 KK.
b. Responden
Responden dalam penelitian ini adalah:
Laki-laki dan perempuan yang bertempat tinggal di Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara yaitu pada kelompok 2, 6, 7 dan 9,
dengan kriteria sebagai berikut:
Orang yang mengkonsumsi kerang hijau.
Tercatat dalam kelompok 2, 6, 7, dan 9.
Berusia ≥10 tahun.
Pemilihan responden dewasa (≥10 tahun) karena efek
kesehatan akibat pajanan kadmium secara kronis terjadi pada
manusia yang telah terpajan selama 10-30 tahun (biological half
life pajanan Cd pada manusia).
49
c. Teknik Pengambilan Responden
Teknik pengambilan responden pada penelitian ini adalah
simple random sampling yaitu responden diambil secara acak
berdasarkan KK. Hal ini dilakukan karena frame sampling yang
didapatkan dari penelitian ini hanya berdasarkan KK (hanya ada nama
kepala keluarga). Namun unit penelitian ini bukanlah keluarga akan
tetapi tetap individu. Sehingga, jumlah responden adalah jumlah
anggota rumah tangga dalam satu KK yang berusia ≥10 tahun.
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
KEL. 1 KEL. 2 KEL. 3 KEL. 4 KEL. 5 KEL. 6 KEL. 7 KEL. 8 KEL. 9 KEL. 10
100 KK 110 KK
415 KK
191 KK
Pengambilan responden dengan
metode simple random sampling
85 KK 120 KK
Jumlah KK
Hasil perhitungan besar
sampel responden
Bagan 4.1
Teknik Pengambilan Responden
50
d. Perhitungan Responden
Besar sampel penelitian (responden) ini menggunakan perhitungan
estimasi sebagai berikut (S.Lameshow, 1991):
( )
( ) ( )
Keterangan:
n = Besar sampel minimal yang dibutuhkan
= 1,96 pada tingkat kepercayaan 95%
= Derajat presisi yang diinginkan 5%
= Besar populasi 415
= Perkiraan proporsi 50%
Dengan persamaan di atas, maka sampel penelitian (responden)
minimal dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut ;
( )
( ) ( )
= 191
Berdasarkan perhitungan diatas diketahui bahwa sampel penelitian
(responden) minimal yang harus diambil adalah 191. Dari 191 sampel
penelitian (responden) minimal didapatkan 230 responden dalam penelitian
ini. Hal tersebut dikarenakan dari 191 KK, terdapat 20 KK yang
respondennya lebih dari satu.
51
2. Populasi dan Spesimen Laboratorium
a. Populasi Spesimen Laboratorium
Populasi spesimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh kerang hijau yang di budidayakan di perairan Teluk Jakarta.
b. Spesimen Laboratorium
Spesimen laboratorium yang dipilih untuk adalah kerang hijau.
Kandungan logam yang dianalisis adalah kadmium. Sepesimen kerang
hijau yang digunakan adalah seluruh budidaya kerang hijau yang ada di
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang berjumlah 11 budidaya.
Teknik pengambilan spesimen dilakukan dengan cara Total Sampling
yaitu pengambilan spesimen dilakukan secara keseluruhan terhadap seluruh
budidaya (pengepul) kerang hijau di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
Penggunaan teknik ini dikarenakan jumlah budidaya kerang hijau di
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara terbatas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi
terkait pola konsumsi dan karakteristik individu terhadap pola konsumsi
kerang hijau pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta. Sedangkan
untuk mengetahui konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi
masyarakat yang di budidayakan di perairan Teluk Jakarta dilakukan melalui
pengujian laboratorium.
52
Jenis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer.
Data primer dalam peneltian ini adalah hasil pengukuran kandungan Cd dalam
kerang hijau yang didapat dari lokasi penelitian, data diperoleh melalui hasil
pemeriksaan laboratorium menggunakan alat Atomic Absorbsed Spectrometer
(AAS). Data primer lainnya merupakan data pola aktivitas, karakterisitik
individu serta pola aktifitas. Data tersebut didapatkan dengan cara wawancara
terhadap masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Berat badan tiap indiviu
diukur dengan timbangan digital dengan satuan kilogram.
Pengumpulan data untuk variabel frekuensi dan laju asupan kerang
hijau dilihat dari frekuensi dan jumlah asupan induvidu mengkonsumsi kerang
hijau dengan cara ditanyakan secara langsung berapa banyak kerang yang
dimakan dengan menggnakan food model. Food model yang digunakan adalah
takaran sendok, mangkok, dan piring yang sebelumnya telah dilakukan
penimbangan pada setiap takarannya yang kemudian dikonversikan dalam
bentuk gram.
E. Alur Kerja Penelitian
Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa tahapan (alur) kerja untuk
mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan Cd ketika
masyarakat mengkonsumsi kerang hijau yang dibudidayakan di perairan
Teluk Jakarta dengan menggunakan ARKL yaitu:
53
F. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui kandungan Cd
pada spesimen kerang hijau. Metode yang digunakan untuk preparasi
spesimen kerang hijau dalam penelitian ini adalah destruksi basah. Teknik
destruksi merupakan teknik yang digunakan untuk melarutkan logam-logam
dalam jaringan hewan ataupun tumbuhan. Metode destruksi yang digunakan
adalah metode destruksi basah sehingga waktu yang digunkan untuk preparasi
spesimen lebih cepat (EPA, 2007).
1. Alat
Peralatan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi Cd dalam
kerang hijau adalah:
a. AAS h. Gelas ukur 100 ml
b. Neraca analitik i. Gelas piala 250 ml
c. Pipet tetes j. Pipet mohr 10 ml
d. Tissu k. Kaca arloji
e. Digesti l. Oven
f. Labu takar 50 ml m. Aluminium Foil
g. Pipet volumetrik n. Kertas saring
Pengukuran
Antropometri
Analisis konsentrasi logam berat Cd
dengan AAS
Tingkat efek kesehatan
lingkungan individu terpajan
logam berat kadmium (Cd)
Perhitungan Intake
Wawancara dan
kuesioner
Pengukuran pola konsumsi
dan pola aktifitas
masyarakat Kaliadem
Muara Angke
Pengambilan spesimen laboratorium
(kerang hijau)
Perhitungan tingkat
risiko individu
Bagan 4.2
Alur Kerja Penelitian
54
2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi Cd dalam kerang
hijau adalah:
a. Asam nitrat (HNO3) 65 % p.a e. Hidrogen peroksida (H2O2) 50 % p.a
b. Asam Sulfat (H2SO4) 98 % p.a f. Asam Perklorat (HClO4) 70 % p.a
c. Air suling g. (Cd (NO3)2)
d. Aquadest h. Kerang hijau
G. Metode Analisa Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau
1. Cara Kerja Analisis Spesimen Kerang Hijau
Langkah-langkah analisis logam berat Cd dalam spesimen kerang hijau
(Perna viridis) adalah sebagai berikut:
a. Spesimen kerang diambil bagian dagingnya.
b. Dirajang halus.
c. Dikeringkan dalam oven dalam suhu 1050C selama 3 jam.
d. Ditumbuk hingga halus.
e. Spesimen ditimbang 3-10 gram dalam beaker glass.
f. Kemudian diasamkan (dilakukan di dalam lemari asam).
g. Ditambah 9 ml HNO3 ditutup kaca arloji, dipanaskan di atas hot plate
(dievaporasi) dan diaduk hingga volume sampai 5 ml.
h. Ditambah 2 ml H2O2, dipanaskan di atas hot plate (dievaporasi) sampai
asap putih hilang dan diaduk hingga volume sampai 5 ml.
i. Disaring dengan kertas saring.
j. Dimasukan ke dalam labu takar 50 ml, dinding beaker glass dibilas
dengan aquadest dan ditambah aquadest hingga batas tera.
55
k. Spesimen yang sudah dilarutkan diukur dengan AAS.
2. Prosedur Kerja AAS
Alat AAS, auto sampler, FIMS, sumber arus EDL Power dan komputer
telah terangkai dengan baik dan semua kabel power terpasang dengan benar.
a. Larutan standar, spesimen kerang dalam labu ukur 50 ml bersama
dengan larutan HNO3 65%, dan larutan standar Cd telah disiapkan.
b. Blower dihidupkan. Kran gas N2 dibuka dan diatur tekanan sesuai
dengan besar tekanan yang direkomendasikan.
c. Air, kompresor dan jet set dinyalakan.
d. AAS dan PC dinyalakan
e. Api dinyalakan selama beberpa saat (±30 menit warming up).
f. Semua peralatan AAS dioperasikan dengan benar.
Setelah itu, dihitung kadar Cd dengan persamaan garis regresi kurva
kalibrasi menggunakan rumus :
Kadar Cd (mg/gram) = (C x F)/B
Dimana :
C = Konsentrasi Cd pada spesimen dari pembacaan AAS (mg/L)
F = Volume larutan uji (0,05L)
B = Bobot spesimen (gram)
3. Pembuatan Deret Standar
Sebanyak 5 ml larutan induk (Cd(NO3)2) 1000 ppm dipipet, dimasukkan
ke dalam labu takar 50 ml, lalu ditambahkan air suling hingga tanda tera
56
(diperoleh deret standar dengan konsentrasi 100 ppm). Membuat deret standar
dengan konsentrasi sebagai berikut:
a. 0,001 ppm
Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,005 ppm
dipipet lalu dimasukan ke dalam labu takar 50 ml. Ditambahkan air suling
hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,001 ppm)
b. 0,05 ppm
Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,1 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga
tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,05 ppm)
c. 0,1 ppm
Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,5 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga
tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,1 ppm)
d. 0,5 ppm
Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 1 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga
tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,5 ppm)
e. 1 ppm
Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 2 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga
tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 1 ppm).
f. 2 ppm
57
Sebanyak 20 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 5 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling
hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 2 ppm
g. 5 ppm
Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 10 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling
hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 5 ppm)
h. 10 ppm
Sebanyak 5 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 100 ppm dipipet,
lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling
hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 10 ppm)
G. Pengolahan dan Analisis Data
1. Analisis Univariat
Seluruh data dalam penelitian ini dilakukan analisis univariat. Data
numerik dari penelitian ini adalah konsentrasi logam berat kadmium (Cd)
dalam kerang hijau, pola aktivitas, pola konsumsi, karakteristik individu, dan
tingkat risiko responden, sedangkan data kategoik dari penelitian ini adalah
jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, dan cara memasak. Data numerik
tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan cut of point nilai mean apabila
data tersebut normal dan nilai median apabila data tersebut tidak normal.
Pengkategorian data tersebut bertujuan untuk mengetahui proporsi dari tiap
kelompok.
58
Data konsentrasi Cd dianalisis di Laboratorium Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan di Laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah didapatkan seluruh data
kemudian dilakukan perhitungan nilai rata-ratanya, standar defiasi, dan
diketahui nilai maksimum dan minimumnya.
Pengolahan data dengan menggunakan perhitungan analisis risiko
digunakan untuk mengetahui tingkat risiko (RQ) pajanan Cd dengan
menghitung intake yang kemudian membandingkan dengan nilai Refference
Dose (RfD). Perhitungan asupan intake didapatkan dari data konsentrasi Cd
sebagai risk agent dalam kerang hijau (mg/kg), laju asupan atau pola
konsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara (kg/hari), berat
badan (kg), frekuensi pajanan (hari/tahun), durasi pajanan (tahun), periode
waktu rata-rata (30 tahun x 365 hari) untuk zat non karsinogenik. Perhitungan
intake:
Keterangan :
I = intake (mg/kgxhari)
C = konsentrasi (mg/kgxhari)
R = laju ingesti (mg/kg)
fE = frekuensi pajanan (hari/tahun)
Dt = durasi pajanan (lifetime exposure) (tahun)
Wb = berat badan (kg)
59
tavg = periode waktu rata-rata (30 x 365 hari/tahun untuk non-karsinogen,
70 tahun x 365 hari/tahun untuk ksrsinogen)
Untuk mengetahui tingkat risiko (RQ), maka dilakukan perhitungan RQ
dengan rumus:
Tingkat Risiko ( )
RQ = Risk Qoutient
I = intake (mg/kgxhari)
RfD = Refference dose (mg/kgxhari)
Besarnya nilai dosis referensi (RfD) sudah ditetapkan oleh EPA dalam
Integrated Risk Information System (IRIS). Pada setiap logam memiliki nilai
besaran yang berbeda. Nilai ini didapatkan dari beberapa penelitian yang
dilakukan sebelumnya dengan membandingkan nilai NOAEL atau LOAEL
dengan UF dan MR. Nilai RfD untuk logam kamdium (Cd) sebesar 0,001
mg/kg/hari (IRIS, 2015).
Tingkat risiko (RQ) dihitung berdasarkan realtime masyarakat
setempat. Perhitungan realtime dilakuakan berdasarkan data durasi pajanan
yang terkumpul dari kuesioner. Hasil perhitungan RQ dapat menunjukan
tingkat risiko kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi kerang hijau yang
mengandung logam berat kadmium (Cd). Apabila didapatkan nilai RQ >1,
maka menunjukan probabilitas suatu individu untuk mengalami risiko
gangguan kesehatan akibat pajanan Cd dalam kerang hijau lebih besar
dibandingkan dengan individu yang memiliki nilai RQ ≤1.
60
Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan komputer (software). Tahapan pengolahan data adalah sebagai
berikut :
1) Pemeriksaan data
Dilakukan untuk melihat apakah data primer yang dikumpulkan pada
kuesioner sudah benar dan tidak terjadi kesalahan pengisian. Data
yang diperiksa adalah konsentrasi kandungan kadmium dalam kerang
hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi
pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke
2) Memasukkan data
Memasukkan data konsentrasi kandungan kadmium dalam kerang
hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi
pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke ke dalam komputer.
Selain data primer yang telah terkumpul, nilai defalut seprti RfD dan
periode waktu rata-rata (taVg) juga dimasukan ke dalam komputer,
untuk memudahkan dan menghindari kesalahan perhitungan dalam
analisis data intake dan tingkat risiko.
3) Membersihkan data
Mengecek kembali data konsentrasi kandungan Cd dalam kerang
hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi
pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke yang telah dimasukkan ke
dalam program komputer untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kesalahan entri data, dengan cara memeriksa kembali seluruh data
61
yang telah dientri ke dalam program komputer termasuk aplikasi
rumus yang digunakan. Aplikasi Rumus yang digunakan adalah rumus
perhitungan intake dan tingkat risiko.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
sofware SPSS untuk mengetahui variabel yang berhubungan dengan nilai
tingkat risiko. Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi’ square
karena data yang digunakan adalah data kategori. Variabel yang dilakukan uji
bivariat adalah konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan, frekuensi
pajanan, durasi pajanan, berat badan dan intake, sehingga diketahui variabel
mana yang berhubungan dengan nilai tingkat risiko.
62
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Kondisi Perairan Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak pada 06000’40” LS dan 05054’40”LS
serta 106040’45”BT dan 107001’19”BT. Teluk Jakarta adalah teluk
yang berada di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah Utara
Provinsi DKI Jakarta. Topografi Teluk Jakarta umunya didominasi
oleh lumpur, pasir dan krikil. Lumpur banyak berdapat di bagian
peninggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di
bagian laut lepas (BLH DKI Jakarta, 2013).
Menurut data BPLHD dan KP2L Provinsi DKI Jakarta (BLH DKI
Jakarta, 2013) kondisi fisik perairan Teluk Jakarta sebagai berikut :
a. Kedalaman Teluk Jakarta berkisar dari 4,00 – 29,0 meter.
b. Kemiringan dasar lautnya ke arah utara, artinya makin ke
utara makin dalam.
c. Kedalamam di muara berkisar 0,50 – 3,00 meter.
d. Pada daerah pesisir dalam waktu 24 jam terjadi satu kali
pasang tertinggi dan satu kali surut rendah.
e. Pada musim kemarau perbedaan pasang surut sekitar 1,2
meter dan besaran diurnal pada mulut Teluk Jakarta 3,8 meter
63
di Tanjung Pasir besaran diurnalnya 2,6 meter sedangkan di
Kepulauan Seribu adalah 4,2 meter.
f. Kecepatan arus berkisar antara 0,20 – 1,20 m/detik dengan
arah barat (3320) sampai dengan tenggara (1440).
g. Umumnya tinggi gelombang di Teluk Jakarta berkisar antara
0,1 – 1 meter, dengan periode 1 sampai 8 detik dan memiliki
panjang gelombang 1 – 21 meter.
h. Suhu di perairan laut berkisar antara 27,90 – 28,870C.
i. Salinitas perairan laut berkisar antara 31,50 – 32,59 0/00
Teluk Jakarta membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat
hingga Tanjung Kerawang di bagian Timur dan merupakan muara dari
13 sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta dan digunakan
sebagai media untuk membuang limbah berbagai industri yang berada
di wilayah sekitarnya. 13 sungai tersebut yakni 3 sungai besar (Sungai
Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung) dan 10 sungai kecil
(Sungai Kamal, Sungai Kanal Cengkareng, Sungai Angke, Sungai
Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai
Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan), dengan total
rata-rata aliran limpahan dari ke 13 sungai tersebut adalah 112,7
m³det־' (BLH DKI Jakarta, 2013).
2. Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Kaliadem Muara Angke terletak pada
6°6′21″LS,106°46′29.8″BT adalah pelabuhan dan pusat pelelangan
64
ikan yang berada di wilayah Jakarta. Secara administratif Kaliadem
Muara Angke terletak di Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara. Wilayah Kaliadem sering disebut sebagai
perkampungan nelayan karena selain letaknya di pesisir Teluk Jakarta
sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Perkampungan ini diresmikan pada tahun 1983 oleh Presiden
Soeharto. Sistem strata di wilayah perkampungan ini masih
menggunakan sistem kelompok sehingga tiap kelompok dipimpin oleh
ketua kelompok. Perkampungan ini dibagi menjadi 10 kelompok
nelayan dengan total penduduk pada seluruh kelompok adalah 1278
jiwa. Akses dan fasilitas yang ada di wilayah Kaliadem Muara Angke
cukup lengkap. Terdapat 1 unit puskesmas Muara Angke, pasar dan
beberapa sarana pendidikan. Letak perkampungan Kaliadem cukup
jauh dari pusat kota sehingga dibutuhkan waktu tempuh 15 menit
dengan menggunakan becak motor untuk menuju pusat fasilitas.
Lokasi geografis pada wilayah Kaliadem Muara Angke ini
dimanfaatkan sebagai lahan pekerjaan oleh penduduk setempat.
Berdasarkan hasil survei peneliti sejak tahun 1987 sepanjang wilayah
Kaliadem telah digunakan sebagai budidaya kerang hijau. Sampai saat
ini terdapat 11 pengepul kerang hijau dengan memperkerjakan
masyarakat setempat sehingga mayoritas mata pencahariaan penduduk
disana adalah sebagai nelayan dan buruh pengupas kerang hijau.
Produksi dari hasil budidaya kerang hijau tersebut bisa mencapai 15-
65
20 ton perbagan tancap setiap minggunya (DPPK, 2006). Hasil
budidaya kerang hijau tersebut didistribusikan di wilayah Jabodetabek.
Rata-rata pola konsumsi kerang hijau masyarakat kaliadem cukup
tinggi karena letak tempat tinggal yang berada di pusat budidaya
kerang hijau. Sumber kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat
Kaliadem seluruhnya berasal dari budidaya yang dilakukan di lokasi
tersebut.
Gambar 5.1
Lokasi Penelitian Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
B. Karakteristik Responden
Karakteristik responden di Kaliadem Muara Angke menurut usia,
jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan yang diperoleh melalui
wawancara dan kuesioner disajikan pada Tabel 5.1.
66
Tabel 5.1 Distribusi Menurut Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Cara
Memasak Kerang dan Pekerjaan Responden di Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa distribusi usia responden
paling banyak adalah ≤34 tahun yaitu 116 (50,4%) responden, sedangkan
untuk distribusi jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 174
(75,7%) responden. Distribusi menurut status pernikahan paling banyak
berstatus menikah yaitu 203 (88,3%) responden, sedangkan untuk distribusi
responden berdasarkan kebiasaan cara memasak kerang paling banyak
memasak kerang tanpa menggunakan cangkangnya yaitu 118 (51,3%)
Variabel Jumlah
n (230)
Persentase (%)
Usia
> 34 tahun 114 49,6
≤ 34 tahun 116 50,4
Jumlah 230 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 56 24,3
Perempuan 174 75,7
Jumlah 230 100
Status Pernikahan
Menikah 203 88,3
Belum Menikah 27 11,7
Jumlah 230 100
Cara Memasak Kerang
Dengan Cangkang 112 48,7
Tanpa Cangkang 118 51,3
Jumlah 230 100
Pekerjaan
Buruh 68 29,6
Nelayan 23 10
Pedagang 27 11,7
Wiraswasta 10 4,3
Swasta 7 3
Ibu Rumah Tangga 82 35,7
Lainnya (Pegawai, Pelajar) 13 5,6
Jumlah 230 100
67
responden. Distribusi responden menurut pekerjaan yang paling banyak
adalah berprofesi sebagai buruh pengupas kerang sebesar 68 (29,6%)
responden dan paling sedikit berprofesi sebagai pegawai swasta yaitu 7 (3%)
responden.
C. Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi
Masyarakat Kaliadem Muara Angke
Spesimen kerang hijau yang yang diukur adalah kerang hijau yang
didapatkan dari budidaya (pengepul) di wilayah Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara yang juga dilakukan di Perairan Teluk Jakarta. Hasil
pengukuran konsentrasi Cd dalam kerang hijau pada tiap spesimen kerang
hijau disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Konsentrasi Cd dalam Tiap Spesimen Kerang
Hijau yang di Budidaya Tahun 2015
Spesimen Laboratorium
(kerang hijau)
Konsentrasi (mg/L)
Budidaya I 0,079
Budidaya II 0,090
Budidaya III 0,081
Budidaya IV 0,052
Budidaya V 0,082
Budidaya VI 0,090
Budidaya VII 0,086
Budidaya VIII 0,085
Budidaya IX 0,090
Budidaya X 0,091
Budidaya XI 0,094
Berdasarkan Tabel 5.2 konsentrasi Cd dalam kerang hijau tertinggi
terdapat pada budidaya XI yaitu 0,094 mg/L, sedangkan konsentrasi terendah
pada budidaya IV dengan konsentrasi 0,054 mg/L.
68
Distribusi Konsentrasi Kadmium pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi
Masyarakat Kaliadem Muara Angke disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau Hasil
Budidaya di Perairan Teluk Jakarta Tahun 2015
Mean SD Min Max
Konsentrasi Cd dalam kerang hijau
(mg/L)
0,083 0,011 0,052 0,094
*p value >0,05
Berdasarkan Tabel 5.3 rata-rata konsentrasi Cd dalam spesimen kerang
hijau adalah 0,083 mg/L, dengan nilai maksimum spesimen kerang hijau
adalah 0,094 mg/L sedangkan nilai minimumnya adalah 0,052 mg/L. Analisis
normalitas data dengan menggunakan Kolmogorof Shapiro di dapatkan nilai p
value <0,05 maka data berdistribusi normal.
D. Analisis Risiko
1. Analisis Paparan (Exposure Assessment)-Intake Kadmium
Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Analisis paparan dilakukan untuk menentukan dosis risk agent
kadmium (Cd) yang diterima individu sebagai asupan atau intake (I) yang
dihitung dengan persamaan :
Kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem semuanya
berasal dari kerang yang di budidayakan pada perairan Teluk Jakarta.
69
Intake kadmium masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
ketika mengkonsumsi kerang hijau disajikan pada Tabel 5.4
Tabel 5.4 Distribusi Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015
Mean Median Min Max Kateg
ori
Kelompok
n (%)
Total
n(%)
2 6 7 9
Laju asupan
(gram/hari)
16,33 4,71 0,03 96,18 > 4,71
49 (21,3)
20 (8,7)
29 (12,6)
17 (7,4)
115 (50)
≤
4,71
28
(12,2)
34
(14,8)
30
(8,7)
33
(14,3)
115 (50)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
Frekuensi
Pajanan
(hari/tahun)
104 52 2 365 >52 35 (15,2)
19 (8,3) 21 (9,1) 17 (7,4) 92 (40,0)
≤52 42
(18,3)
35
(15,2)
28
(12,2)
33
(14,3)
138
(60,0)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
Durasi
pajanan
(tahun)
17 15 0,5 57 >15 43 (18,7)
24 (10,4)
23 (10,0)
32 (13,9)
122 (53,0)
≤15 34
(14,8)
30
(13,0)
26
(11,3)
18 (7,8) 108
(40,7)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
Berat Badan
(kg)
57,05 57,22 24,3 98,75 > 57,22
34 (14,8)
27 (11,7)
31 (13,5)
25 (10,9)
117 (50,9)
≤
57,22
43
(18,7)
27
(11,7)
18 (7,8) 25
(10,9)
113
(49,1)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
Intake
(mg/kg/hari)
0,097 0,004 1,2x 10-7
1,53 > 0,004
40 (17,4)
19 (8,3) 19 (8,3) 21 (9,1) 99 (43,0)
≤ 0,004
37 (16,1)
35 (15,2)
30 (13,0)
29 (12,6)
131 (57,0)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
*p value <0,05
Berdasarkan tabel 5.4 rata-rata laju asupan konsumsi kerang hijau
masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yaitu 16,33 gram/hari,
dengan nilai minimum sebesar 0,03 gram/hari dan nilai maksimumnya 96,18
gram/hari. Distribusi data laju asupan tidak nomal (p value <0,05) sehingga
yang digunakan adalah nilai median. Kelompok yang memiliki nilai R >4,71
paling banyak adalah kelompok 2 yaitu 49 (21,3%) responden sedangkan
70
kelompok yang nilai R ≤4,71 paling banyak adalah kelompok 7 yaitu 30
(8,7%) responden.
Rata-rata frekuensi paparan konsumsi kerang hijau masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara adalah 104 hari/tahun, dengan nilai
minimum 2 hari/tahun dan nilai maksimumnya adalah 365 hari/tahun. Data
frekuensi pajanan juga menunjukan distribusi data tidak normal (p
value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Kelompok yang
nilai frekuensi paparan >52 hari/tahun paling banyak adalah kelompok 2
dengan 35 (15,2%) responden.
Rata-rata lama durasi pajanan kandungan kadmium dalam kerang
hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
yaitu 17 tahun, dengan nilai minimum durasi pajanan selama 0,5 tahun dan
nilai maksimumnya 57 tahun. Distribusi data durasi pajanan tidak normal (p
value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Persentase
responden yang terpapar ≥15 tahun paling banyak terdapat pada kelompok 2
dengan persentase sebesar 18,7%.
Rata-rata berat badan masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara yang mengkonsumsi kerang hijau yaitu 57,05 kg, dengan nilai
minimum yaitu 24,30 dan nilai maksimumnya 98,75 kg. Data berat badan
responden tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai
median. Berdasarkan persentase kelompom tinggal responden yang memiliki
berat badan >57,22 kg, 63,3% berada di kelompok 7.
71
Rata-rata intake konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara
Angke Jakarta Utara adalah 0,097 mg/kg/hari, dengan nilai minimum yaitu
1,2 x 10-7
mg/kg/hari dan nilai maksimumnya adalah 1,53 mg/kg/hari. Data
intake kadmium dari konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara
Angke Jakarta Utara tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan
adalah nilai median. Berdasarkan tempat tinggal responden yang memiliki
nilai intake > 0,004 mg/kg/hari paling banyak adalah responden yang tinggal
di kelompok 2 yaitu 51,9%,
2. Karakteristik Risiko (Risk Characterization) - Tingkat Risiko (RQ)
Karakterisasi risiko dilakukan untuk membandingkan hasil analisa
pemaparan (intake) dengan nilai dosis acuan (RfD). RQ dihitung dengan
persamaan:
Tingkat risiko kandungan logam kadimum dalam kerang hijau yang
dikonsumi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara disajikan pada
Tabel 5.5.
72
Tabel 5.5 Tingkat Risiko Kandungan Logam Kadimum dalam Kerang Hijau
yang Dikonsumi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Tahun 2015
Mean SD Min Max RQ Kelompok
n (%)
Total
n(%)
2 6 7 9
Tingkat
Risiko
(RQ)
103,89 273,
88
0,0000
6
1672,
42
>1 57
(24,8)
24
(10,4)
28
(12,2)
31
(13,5)
140
(60,9)
≤1 20
(8,7)
30
(13,0)
21
(9,1)
19
(8,3)
90
(39,1)
Jumlah 77
(33,5)
54
(23,5)
49
(21,3)
50
(21,7)
230
(100)
*p value >0,05
Berdasarkan Tabel 5.5 rata-rata nilai tingkat risiko kandungan logam
kadmium dalam kerang hijau yang dikosumsi masyarakat Kaliadem Muara
Angke Jakarta Utara adalah 103,89, dengan nilai minimum yaitu 0,00006 dan
nilai maksimumnya yaitu 1672,42. Cut of point yang digunakan pada variabel
karakterisitik risiko adalah >1 dan ≤1. Hal ini dikarenakan hasil ukur dari
variabel ini adalah RQ>1 dinyatakan berisiko dan RQ≤1 masih aman atau
belum berisiko. Dari 230 responden yang nilai RQ >1 yaitu 140 responden.
Kelompok yang memiliki nilai RQ>1 paling banyak adalah kelompok 2 yaitu
57 (28,4%) responden, sedangkan kelompok yang memiliki nilai RQ>1 paling
sedikit adalah kelompok 6 yaitu 24 (13,0%) responden.
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan,
Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko
Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Hubungan antara tingkat risiko gangguan kesehatan akibat paparan Cd
dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan kerang
73
hijau, frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau, durasi pajanan Cd dalam
kerang hijau, berat badan responden dan intake Cd dalam kerang hijau
disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Hubungan Antara Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi
Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko
Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Tahun 2015
Kategori RQ (>1) RQ (≤ 1) p value
n (%) n (%)
Konsentrasi kadmium dalam kerang hijau
>0,083 mg/L 109 (77,9) 6 (6,7) 0,576
≤0,083 mg/L 31 (22,1) 84 (93,6)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Laju asupan kerang hijau
>4,77 gram/hari 109 (77,9) 6 (6,7) 0,000
≤4,77 gram/hari 31 (22,1) 84 (93,3)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Frekuensi pajanan
>52 hari/tahun 109 (77,9%) 6 (6,7%) 0,000
≤52 hari/tahun 31 (22,1%) 84 (93,6%)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Durasi pajanan
>15 tahun 85 (60,7%) 37 (41,1%) 0,004
≤ 15 tahun 55 (39,3%) 53 (58,9%)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Berat badan
>57,22 kg 75 ( 53,6%) 42 (46,7 %) 0,307
≤57,22 kg 65 (46,4%) 48 (53,3%)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Intake kerang hijau
>0,004 mg/kg/hari 99 (70,7%) 0 (0%) 0,000
≤0,004 mg/kg/hari 41 (29,3%) 90 (100%)
Jumlah 140 (100) 90 (100)
Berdasarkan Tabel 5.6 hasil uji bivariat menunjukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara variabel konsentrasi kadmium dalam kerang
hijau dan berat badan responden dengan tingkat risiko masyarakat Kaliadem
74
Muara Angke Jakarta Utara (p>0,05), sedangkan untuk variabel laju asupan,
frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan intake konsumsi kerang hijau
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat risiko
masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara (p<0,05).
75
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Hasil penelitian ini menampilkan tingkat risiko kandungan logam
berat kadmium dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara pada tahun 2015, yang mana data diambil dari
bulan April-Juni 2015. Namun dalam proses pelaksanaan penelitian terdapat
beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan penelitian dan berpengaruh
terhadap hasil penelitian. Keterbatasan penelitian tersebut adalah:
1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Variabel
dependen (tingkat risiko) dan variabel independen (konsentrasi Cd
dalam kerang hijau, laju asupan, durasi pajanan, berat badan, dan
intake) diamati pada waktu yang bersamaan, tanpa memberikan
perlakuan kepada responden sehingga rancangan ini mempunyai
kelemahan karena tidak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat.
Faktor risiko sulit diukur secara akurat dan kurang valid untuk
meramalkan suatu kecenderungan. Meskipun demikian, desain ini
dipilih karena paling sesuai dengan tujuan penelitian, serta efektif dari
segi waktu.
2. Lingkup wilayah penelitian yang kecil sehingga hanya dapat
digeneralisasikan terhadap wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara.
76
3. Analisis risiko kesehatan akibat mengkonsumsi kerang hijau yang
mengandung logam kadmium dibatasi hanya berdasarkan asupan (intake)
melalui pajanan kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara. Sehingga tidak memperhitungkan asupan
(intake) logam kadmium yang berasal dari air minum, makanan lain
(selain kerang hijau) maupun dari asap rokok.
4. Pemeriksaan gejala keracunan kadmium langsung ditanyakan ke
responden, tanpa mengunakan pengukuran biomarker seperti pada
darah dan urin untuk memperkuat hasil karena keterbatasan dana dan
waktu.
5. Data untuk penilaian konsentrasi kerang hijau dalam penelitian ini
hanya berdasarkan hasil satu kali pengukuran risk agent (Cd), dengan
tidak memperhitungkan adanya perbedaan konsentrasi sebelum
ataupun sesudah penelitian ini dilakukan (akumulasi), sehingga
konsentrasi yang diukur untuk menghitung asupan (intake) Cd yang
diterima kurang mewakili.
B. Karakteristik Responden
1. Distibusi Usia di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun
2015
Data distribusi karakteristik responden menurut usia, dapat dilihat
bahwa kelompok usia terbanyak adalah ≤ 34 tahun sebanyak 116 (50,4%),
sedangkan responden yang berusia >34 tahun hanya sebesar 49,6%. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susiyeti (2010) tentang analisis
77
risiko kandungan kadmium dalam ikan di Kampung Nelayan Muara Angke
yang menyatakan bahwa berdasarkan kelompok umur paling banyak adalah
usia 20-30 tahun yaitu sebesar 39,2%. Diperkuat dengan penelitian
Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa kelompok umur paling banyak
di Kelurahan Muara Angke tahun 2007 adalah usia ≤34 tahun sebesar 59,67%.
Pada penelitian ini usia dibatasi mulai dari ≥10 tahun, karena efek Cd paling
singkat terjadi pada rentan waktu 10 tahun. Cara pengukuran usia pada
penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara dan alat ukur
kuesioner.
Namun penelitan Harvey et al (2009) menyatakan bahwa pengaruh
akumulasi Cd menunjukkan peningkatan Cd dalam darah (B-Cd) pada umur
30-45 tahun. Hal ini dikarenakan orang yang lebih tua mempunyai konsentrasi
B-Cd lebih tinggi dibanding orang dewasa. Teori ini sesuai dengan pendapat
F. Nordberg (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi B-Cd pada
umumnya lebih rendah pada anak-anak dibanding orang dewasa, yakni <0.1-
0.5 μg/L. Hal ini dikarenakan sifat logam Cd yang terakumulasi akan
menimbulkan dampak kesehatan setelah 10-30 tahun (ATSDR, 1999).
Berdasarkan pemaparan diatas membuktikan bahwa dominasi individu
pada wilayah Kelurahan Muara Angke berusia produktif (17 -34 tahun).
Sementara sampai saat ini belum ada penelitian yang mengatakan jumlah
konsumsi makanan hasil laut berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
78
2. Distibusi Jenis Kelamin di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara Tahun 2015
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden wanita sebanyak 174
(75,7%) responden. Namun menurut penelitian Susiyeti (2011) yang
dilakukan di Kampung Nelayan Muara Angke menyatakan bahwa sebesar
62,9% responden adalah laki-laki. Hal ini juga dijelaskan pada penelitian
Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa sebesar 52,02% masyarakat
Kelurahan Muara Angke pada tahun 2007 adalah laki-laki.
Pada penelitian ini terdapat perbedaan karakteristik individu
berdasarkan jenis kelamin jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Hal ini dikarenakan peneliti mendatangi rumah-rumah warga pada waktu
siang hingga sore dan pada saat demikian paling banyak dijumpai wanita,
sedangkan populasi pria sebagian besar sedang bekerja. Cara pengukuran
jenis kelamin dilakukan dengan metode wawancara dan alat ukur yang
digunakan adalah kuesioner.
Secara teori, perempuan mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi
dibanding laki-laki (Hansen and Abbott, 2009). F. Nordberg (1992)
mengatakan bahwa perempuan usia 50-55 tahun mempunyai konsentrasi B-
Cd lebih tinggi (0,5 μg/L) dibanding laki-laki pada umur yang sama (0,3
μg/L). Sesuai dengan penelitian Louekari et al (2000) yang menyatakan
bahwa absrobsi Cd akan meningkat bila terjadi defisiensi Ca, Fe, dan rendah
protein dalam makanannya. Defisiensi Ca dalam makanan akan merangsang
79
sintetis ikatan Ca-protein sehingga akan meningkatkan absrobsi Cd (Gupta,
2009). Siklus menstruasi pada wanita mengakibatkan wanita lebih sering
mengalami defisiensi Ca dan Fe dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan penyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan jenis kelamin wanita lebih berisiko mengalami gangguan
kesehatan akibat terpapar Cd. Hal tersebut dikarenakan wanita memiliki
konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Tingginya
konsentrasi B-Cd pada wanita dipengaruhi oleh siklus menstrusi yang
mengakibatkan defisisensi Ca dan Fe. Oleh karena itu untuk mencegah
tingginya kadar B-Cd, wanita perlu mengatur pola makan terutama saat
menstruasi agar tidak terjadi defisiensi Ca dan Fe.
3. Distribusi Status Pernikahan di Wilayah Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara Tahun 2015
Berdasarkan status pernikahan sebanyak sebanyak 203 (88,3%)
responden telah menikah. Hal ini sesuai dengan penelitian Susiyeti (2011)
yang menyatakan bahwa dari 97 responden di Kampung Nelayan Muara
Angke pada tahun 2010 sebanyak 75 (77,3%) responden berstatus sudah
menikah. Hal ini dikarenakan rata-rata masyarakat Kaliadem menikah pada
usia muda. Sehingga populasi menikah lebih banyak dibandingkan populasi
yang belum menikah. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa efek kronis
dari keracunan Cd salah satunya adalah terjadinya gangguan terhadap sistem
reproduksi (ATSDR, 1999).
80
Hal ini sesuai dengan teori F. Nordberg (1992) yang menyatakan
bahwa efek kronis dari pajanan Cd adalah menurunnya spermatogenesis pada
manusia. Diperkuat dengan penelitian Widowati et al (2008) yang
menyatakan bahwa telah terjadi perubahan pada sistem reproduksi pada
individu yang terpapar Cd >30 tahun. Apabila diasumsikan bahwa responden
mengkonsumsi kerang sejak usia 7-10 tahun maka efek tersebut akan terlihat
setelah responden berumur 40 tahun. Hal tersebut berarti kemungkinan
gangguan terhadap sistem reproduksi akan terlihat pada responden pada usia
menikah.
Namun berbeda dengan penelitian Ferial et al (2011) yang
menyatakan bahwa peningkatan kualitas spermatozoid pada manusia memiliki
hubungan yang signifikan dengan konsumsi kerang. Perbedaan tersebut
dikarenakan kerang memang memiliki kandungan zat protein yang tinggi
sehingga mampu membantu pembentukan dan meningkatkan kualitas
spermatozoid. Namun, melihat kondisi laut di Indonesia saat ini sudah banyak
tercemar dan sebagian besar limbah pabrik dibuang pada badan perairan
menjadikan hasil laut seperti kerang sudah tidak aman untuk dikonsumsi lagi.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa salah
satu efek kronis dari keracunan Cd adalah terganggunya sistem repoduksi.
Gangguan ini akan terlihat apabila individu telah terpapar logam Cd selama
>30 tahun. Pada penelitian ini sebanyak 203 (88,3%) responden berstatus
menikah. Oleh karena itu, dengan melihat status pernikahan pada responden
81
dan biological half life Cd dalam tubuh maka disarankan kepada masyarakat
Kaliadem untuk saat ini mulai mengatur asupan konsumsi kerang hijau agar
tidak berisiko terhadap gangguan kesehatan.
4. Distribusi Cara Memasak Kerang di Wilayah Kaliadem Muara Angke
Jakarta Utara Tahun 2015
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 118 (51,3%) responden
menyatakan bahwa mereka lebih sering mengkonsumsi kerang yang dimasak
tanpa menggunakan cangkang. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa
selain pada daging kerang, cangkang kerang juga mengandung konsentrasi Cd
yang cukup tinggi yaitu 0,027 mg/kg (Mahmudiono, 2009). Didukung dengan
penelitian Azhar et al (2012) yang menyatakan bahwa kandungan logam Cd
pada cangkang kerang berkisar 5,9212–8,0136 ppm, pada air sebesar 0,01
ppm, sedangkan pada dagingnya berkisar 2,6195–5,0125 ppm. Peneltian
Fitriati (2004) yang dilakukan di perairan pesisir Kamal dan Cilincing Jakarta
juga mengatakan bahwa kandungan Cd dalam cangkang lebih tinggi (2 ppm)
dibandikan kandungan Cd pada daging kerang (700 ppb) ataupun pada air laut
(100 ppb).
Umumnya, memasak kerang hijau dengan menggunakan cangkangnya
akan lebih meningkatkan kandungan logam pada dagingnya (BPOM RI,
2005). Penelitan Sarjono (2009) menyatakan bahwa memasak menggunakan
cangkang mempengaruhi kandungan Cd pada daging kerang hijau. Hal ini
berarti konsentrasi Cd dalam daging kerang hijau akan meningkat saat
82
dimasak bersama dengan cangkangnya. Pada penelitian Winarno dkk (2008)
dengan lokasi penelitian di Pasar Ikan Muara Angke menjelaskan bahwa hasil
penelitian pada bulan November 2005 diperoleh kandungan kandungan logam
berat pada kerang hijau sebelum direbus adalah 0,805±0,019 (μg/g), setelah
dimasak sebesar 0,443±0,037 (μg/g). Perlakuan perebusan selama 45 menit
menyebabkan kadar logam berat berkurang sebesar 44,85%. Pada penelitian
ini logam yang berkurang tidak hilang (tidak menguap), tetapi tetap ada dalam
protein yang terdistribusi ke dalam air selama perebusan atau masih tinggal
dalam daging kerang karena kurang sempurnanya proses perebusan dan
terjadinya perpindahan logam pada cangkang ke daging kerang.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kandungan Cd dalam cangkang kerang hijau walaupun tidak lebih tinggi
daripada dagingnya, namun konsentrasi tersebut mampu mempengaruhi
konsentrasi Cd dalam dagingnya. Hal ini dikarenakan konsentrasi Cd pada
cangkang akan larut dalam daging kerang saat proses memasak (Sarjono,
2009). Oleh karena itu, disarankan bagi masyarakat Kaliadem Muara Angke
saat memasak kerang tidak menggunakan cangkangnya dan melakukan
perebusan kerang hijau dengan menggunakan larutan garam yang dicampur
dengan cuka dan larutan jeruk selama 45 menit (Winarno et al., 2008). Cara
tersebut digunakan untuk mengurangi kandungan logam berat pada daging
kerang.
83
5. Distribusi Pekerjaan di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Tahun 2015
Data karakteristik responden menurut pekerjaan menunjukkan bahwa
sebanyak 82 (35,7%) responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal
tersebut dikarenakan sebesar 75,7% responden dalam penelitian ini adalah
wanita. Sedangkan kategori pekerjaan yang paling sedikit adalah pegawai
swasta yaitu sebanyak 7 (3%) responden. Namun berbeda dengan penelitian
Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa menurut mata pencahariannya
penduduk di Kelurahan Muara Angke tahun 2007 paling banyak bekerja
sebagai karyawan swasta/pemerintah/ABRI sebanyak 13.039 orang. Lain
halnya dengan penelitian Susiyeti (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat
Kampung Nelayan Muara Angke paling banyak bekerja sebagai nelayan yaitu
sebanyak 34 (35,1%) orang, sedangkan yang bekerja sebagai ibu rumah
tangga hanya sebanyak 16 (16,5%) orang.
Perbedaan tersebut dikarenakan pengambilan data pada penelitian ini
dilakukan pada siang hingga sore hari dengan mengunjungi tiap rumah. Pada
saat siang hingga sore hari sebagian besar penduduk laki-laki sedang bekerja,
sehingga mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang
berada dirumah atau bekerja sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan penelitian
Susiyeti (2010) dan Listianingsih (2008) dikarenakan populasi yang
digunakan pada penelitian Susiyeti lebih spesifik terhadap masyarakat yang
berada di wilayah Kampung Nelayan Muara Angke Jakarta Utara, sedangkan
84
populasi pada penelitian Listianingsih lebih general yaitu seluruh masyarakat
yang ada di Kelurahan Muara Angke Jakarta Utara.
Secara teori, pajanan Cd melalui asupan makanan lebih berisiko
terhadap wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut
dikarenakan pada ibu rumah tangga memiliki frekuensi terpajan yang lebih
besar (Purnomo and Purwana, 2008) dibandingkan dengan wanita dan laki
laki yang bekerja aktif di luar rumah. Diperkuat dengan penelitian Kartikawati
(2008) yang menyatakan bahwa frekuensi hipertensi pada masyarakat pesisir
lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Sejalan dengan penelitian Masengi et al (2013) yang menyatakan bahwa
pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi (p
value =0,000) pada masyarakat pesisir. Hal teresebut dikarenakan ibu rumah
tangga atau yang tidak atif berkerja di luar rumah memiliki asupan yang tinggi
dibandingkan dengan yang bekerja aktif di luar rumah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita
yang bekerja sebagai ibu rumah tangga memiliki frekuensi pajanan yang lebih
besar dibandingkan dengan wanita atau laki-laki yang aktif bekerja di luar
rumah. Hal ini dikarenakan ibu rumah tangga memiliki nilai asupan dan
frekuensi yang cukup tinggi mengkonsumsi kerang hijau.
85
C. Konsentrasi Kadmium (Cd) Pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi
Masyarakat Kaliadem Muara Angke Tahun 2015
Pengukuran konsentrasi Cd pada spesimen kerang hijau diambil pada 11
titik budidaya yang berasal dari setiap budidaya (pengepul) kerang hijau yang
berada di wilayah Kalidem Muara Angke. Hasil pengukuran diperoleh dalam
satuan ppm, sehingga harus dikonversikan ke dalam satuan mg/kg. Menurut
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009
tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan,
batas maksimum cemaran Cd dalam kerang adalah 1,0 mg/kg (BPOM, 2009).
Peraturan Standar Nasional Indonesia tahun 2009 juga menetapkan batas
maksimum cemaran logam berat kadmium dalam jenis kerang adalah 1,0 mg/kg
(SNI, 2009).
Jika dibandingkan dengan nilai standar peraturan diatas, konsentrasi Cd
pada spesimen kerang hijau yang digunakan dalam penelitian ini masih berada
dibawah nilai standar yang ditetapkan. Walaupun konsentrasi Cd pada kerang
hijau masih dibawah standar yang ditetapkan, akan tetapi konsentrasi Cd tersebut
akan meningkat bahkan dapat melebihi nilai standar karena sifat logam Cd yang
mudah terkumulasi pada kerang hijau. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Cordova dkk (2011) yang menyatakan bahwa telah terjadi akumulasi konsentrasi
Cd dalam kerang hijau yang dibudidayakan di Teluk Jakarta. Menurut Cordova
dkk (2011) akumulasi Cd dapat terjadi seiring dengan pertambahan waktu. Hal
tersebut diperkuat dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di
perairan Teluk Jakarta dimulai tahun 1999 menunjukan bahwa kandungan logam
Cd pada kerang hijau berkisar 0,043 – 0,657 mg/kg dengan rata-rata 0,292 mg/kg
86
(Nurjanah et al., 1999), pada tahun 2009 berkisar 0,46-0,743 mg/kg dengan rata-
rata 0,629 mg/kg (Prasetyo, 2009), kemudian pada tahun 2012 konsentrasi Cd
dalam kerang hijau rata-rata 0,739 mg/kg (Fernanda, 2012), dan pada penelitian
ini konsentrasi Cd dalam kerang hijau berkisar 0,52-0,94 mg/kg dengan rata-rata
0,830 mg/kg. Meningkatnya konsentrasi Cd pada kerang hijau diakibatkan oleh
beberapa hal seperti kondisi lingkungan. Sebagian besar Cd yang terdapat di
alam dihasilkan oleh limbah industri dalam jumlah ±10.000 ton setiap tahunnya
(BLH DKI Jakarta, 2013). Telah dijelaskan dalam al-Quran surah ar-Rum ayat
41 bahwa, “telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(Ar-Rum (30): 41). Syihab (2009) dalam karyanya Tafsir Al-Mishbah
menafsirkan ayat tersebut bahwa terjadinya pencemaran di darat dan di laut
disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab melalui
pembungan limbah sembarangan, sehingga keseimbangan lingkungan menjadi
kacau.
Hasil pengukuran konsentrasi Cd yang diperoleh pada penelitian ini
berkisar antara 0,052 mg/L─0,094 mg/L (0,52 mg/kg─0,94 mg/kg). Konsentrasi
tersebut lebih kecil dibandingan hasil pengukuran konsentrasi Cd saat studi
pendahuluan yaitu 1,48 mg/kg. Perbedaan konsentrasi Cd dalam kerang hijau
dikarenakan perbedaan waktu pengambilan spesimen saat penelitian dan studi
pendahulan berbeda. Pengambilan spesimen saat penelitian dilakukan pada bulan
Mei 2015 saat sore hari dengan ukuran spesimen kerang hijau rata-rata >5cm,
87
sedangkan saat studi pendahuluan pengambilan spesimen dilakukan pada bulan
November 2014 saat sore hari dengan ukuran spesimen kerang hijau ≤5cm.
Selain hal tersebut penentuan titik lokasi pengambilan spesimen juga
mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi logam berat pada kerang hijau.
Pengambilan spesimen saat studi pendahuluan kemungkinan diambil dari
wilayah yang pencemarannya tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang
konsentrasi kandungan logam berat dalam kerang hijau yang menyebutkan
bahwa tinggi rendahnya kandungan logam berat dalam kerang hijau dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran spesimen (Riani, 2009), umur
spesimen yang digunakan (Cordova et al., 2011), musim saat pengambilan
spesimen (Otchere, 2003);(Riani, 2012), kondisi lingkungan (perairan dan
sedimen) (Riani, 2009).
Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Winarno dkk (2008) yang
menyatakan bahwa pengambilan spesimen saat Musim Barat mempengaruhi
tingkat konsentrasi logam berat pada kerang hijau. Pada penelitian tersebut
dijelaskan bahwa konsentrasi logam berat pada kerang hijau yang diambil pada
bulan November 2005 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi kerang hijau
yang diambil pada bulan Maret 2006. Menurut Riani (2009) menyatakan bahwa
kerang hijau mampu menyerap logam berat dan menyimpannya dalam tubuhnya
dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai biofillter logam
berat dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi perairan yang tercemar logam
berat (Riani, 2009).
88
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun
konsentrasi Cd dalam kerang hijau pada saat penelitian masih tergolong rendah
dan aman menurut nilai standar dari SNI tahun 2009 dan Peraturan BPOM RI
HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009, akan tetapi seiring dengan terjadinya
pencemaran pada perairan Teluk Jakarta maka juga akan mempengaruhi
terjadinya akumulasi logam Cd pada kerang hijau tersebut sehingga tidak
dianjurkan oleh masyarakat konsumsi kerang hijau secara berlebihan. Oleh
karena itu untuk mengurangi pencemaran yang ada di perairan Teluk Jakarta
disarankan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta untuk
meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap limbah industri yang
dibuang di perairan Teluk Jakarta. Selain hal tersebut, dengan melihat kondisi
perairan Teluk Jakarta yang saat ini sudah tercemar maka tindakan yang
sebaiknya dilakukan oleh BLH DKI Jakarta adalah bekerjasama dengan Dinas
Kelautan dan Perikanan melakukan remediasi dengan menggunakan beberapa
metode seperti metode fisika-kimia dengan menggunakan padatan tersuspensi
(Suspended Solid-SS) (Sanusi et al., 2005), bioremediasi dengan menggunakan
Chlorella sp (Wetipo et al., 2011), Aspergillus flavus (Rakhmawati, 2010), atau
menggunakan teknik fitoremediasi fitoplankton dengan menggunakan
Nannochloropsis salina dan Chaetoceros calcitran (Makkasau et al., 2011).
D. Analisis Risiko
1. Analisis Pajanan (Esposure Assessment) – Intake Kadmium Masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
a. Laju Asupan
89
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penduduk yang
terpapar Cd melalui kerang hijau memiliki laju asupan kerang sebesar 16,33
gram/hari dengan jumlah konsumsi harian yang tertinggi adalah 96,18 gram/hari
dan yang terendah adalah 0,03 gram/hari. Sebaran data laju asupan kerang hijau
pada 4 kelompok responden tidak normal (p value <0,05) sehingga harus
menggunakan nilai median (4,71 gram/hari). Dari 230 responden yang terpapar
Cd melalui kerang hijau dengan laju asupan sebesar >4,71 gram/hari adalah 115
responden, sedangkan sebanyak 115 responden juga memiliki laju asupan
sebesar ≤4,71 gram/hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden rata-
rata masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara mengonsumsi kerang
hijau dari hasil tangkapannya sendiri dan saat bekerja mengupas kerang. Oleh
sebab itu, rata-rata nilai laju asupan masyarakat Kaliadem cukup tinggi.
Pengukuran laju asupan konsumsi kerang hijau menggunakan food model yang
telah ditetapkan takarannya.
Besarnya nilai laju asupan mempengaruhi terhadap nilai tingkat risiko.
Hal ini sejalan dengan penelitian Sianipar (2009) bahwa laju asupan
mempengaruhi nilai tingkat risiko. Diperkuat oleh penelitian Ashar (2007) yang
mengatakan bahwa responden yang mengkonsumsi air yang mengandung
Mangan melebihi batas maksimium mempunyai peluang 4,740 kali memiliki
risiko akan mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan responden
yang mengkonsumsi air yang tidak melebihi batas maksimum.
90
Hal ini sesuai dengan penetapan batas maksimum konsumsi kerang hijau
menurut BPS yaitu 1 gram/minggu. Berdasarkan peraturan tersebut maka laju
asupan masyarakat Kaliadem Muara Angke telah melibihi nilai batas maksimum.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat tahun 2005 juga
menganjurkan agar perempuan hamil menyantap hasil laut tidak lebih dari 12 ons
per minggu.
Namun berbeda dengan laporan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan
tahun 2009 yang menyatakan bahwa konsumsi hasil laut masyarakat Indonesia
masih cukup rendah sebesar 30,17 kg/kapita berarti 83 gram/hari. Koalisi Ahli
Gizi dan Obat-obatan Indonesia juga menetapkan 12 ons per minggu sebagai
batas minimal karena menurut mereka hasil laut banyak mengandung protein
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh sehingga disarankan dalam satu hari minimal
harus menyantap 171 gram/hari.
Secara teori nilai laju asupan digunakan untuk menghitung intake dan
nantinya juga akan digunakan untuk menentukan nilai tingkat risiko. Penelitian
yang dilakukan oleh Daud et al. (2013) yang menyatakan bahwa semakin sering
mengonsumsi kerang yang telah terkontaminasi logam Cd maka kontribusi Cd
dalam darah semakin meningkat. Perbedaan standar anjuran yang ditetapkan oleh
BPS dan Koalisi Ahli Gizi dan Obat-obatan Indonesia dikarenakan menurut
Koalisis Ahli Gizi dan Obat-obatan Indonesia kerang memiliki nilai gizi yang
cukup tinggi, terutama pada kerang hijau. Hal ini dibuktikan dengan penelitian
Ferial et al. (2011) yang menyatakan bahwa terjadi perbedaan proporsi pada
91
spermatozoid manusia antara responden yang diberikan kerang 2 kali dalam
sehari dengan responden yang hanya diberikan 1 kali dalam sehari. Telah
dijelaskan dalam al-quran Surah Al-Maidah ayat 96 bahwa, “dihalalkan bagimu
binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan
yang lezat bagimu dan orang-orang dalam perjalanan.”(Al-Maidah(5):96).
Penafsiran ayat tersebut menurut Syihab (2009) dalam karyanya Tafsir Al-
Mishbah menjelaskan bahwa binatang buruan laut yang dimaksud juga berasal
dari sungai, danau, atau tambak, dan makanan yang berasal dari laut seperti ikan,
udang, atau apapun yang hidup di laut dan tidak dapat hidup di darat walau telah
mati dan mengapung (menjadi bangkai). Berbeda dengan yang dijelaskan oleh
Al-Qurtubi (2008) dalam karyanya Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an bahwa Imam
Malik, Asy-syafi’i, Ibnu Abi Laila, Al Auzai dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa
segala sesuatu yang ada di laut, baik berupa ikan, binatang melata, maupun
semua binatang yang ada di laut itu boleh dimakan, apakah ia ditemukan dalam
kedadaan mati ataupun diburu. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah: “Laut
itu suci airnya lagi halal bangkai (binatang)nya.” (HR: Abu Daud)
Namun berbeda dengan pertimbangan yang digunakan oleh BPS dan
FDA untuk menentukan batas maksimum konsumsi kerang hijau. Menurut FDA,
saat ini hasil laut sudah tercemar dengan logam berat sehingga dapat
membahayakan bayi yang ada di kandungan. Tercemarnya hasil laut terebut
dikarenakan saat ini kondisi perairan sudah banyak tercemar oleh limbah hasil
industri.
92
Secara teori, menurut Wang et al. (2009) menyatakan bahwa konsentrasi
Cd pada air laut cenderung lebih rendah dibandingkan konsentrasi Cd pada
hewan laut golongan bivalvia (kerang hijau). Hal tersebut dikarenakan
kemampuan kerang hijau sebagai vacum cleaner logam berat pada perairan,
sehingga logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau (Riani, 2009).
Selain terakumulasi dalam tubuh kerang hijau itu sendiri logam Cd yang berada
dalam kerang hijau akan terakumulasi di dalam tubuh manusia, sehingga semakin
besar asupan Cd ke dalam tubuh semakin besar pula risiko untuk mengalami
gangguan kesehatan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa laju
asupan mempengaruhi besarnya nilai tingakt risiko, sehingga semakin besar laju
asupan maka akan semakin besar nilai tingkati risikonya. Pada penelitian ini nilai
laju asupan rata-rata masyarakat Kaliadem sebesar 16,33 gram/hari, angka
tersebut telah melebihi standar yang dianjurkan BPS namun masih dibawah
satndar asupan yang dianjurkan oleh Koalisi Ahli Gizi Obat-Obatan Indonesia
dan Laporan Kementrian Perikanan dan Kelautan tahun 2009.
b. Frekuensi Pajanan
Frekuensi pajanan yang dimaksud adalah waktu pemajanan kerang hijau
yang mengandung Cd yang diterima oleh responden dalam satuan hari/tahun.
Berdasarkan perhitungan dari hasil wawancara dengan responden diketahui
urutan frekuensi pajanan (fE) paling singkat adalah 2 hari/tahun sedangkan fE
paling lama adalah 365 hari/tahun atau yang mengkonsumsi setiap hari,
93
sedangkan rata-rata frekuensi pajanan 52 hari/tahun. Batas maksimum frekuensi
konsumsi kerang hijau menurut BPS adalah perminggu atau 52 hari/tahun.
Berdasarkan data tersebut maka frekuensi konsumsi kerang hijau masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara masih berada pada standar nilai batas
maksimum yang ditetapkan oleh BPS.
Nilai fE didapat dari banyaknya hari responden mengkonsumsi kerang
hijau dalam satu tahun, karena frekuensi konsumsi kerang hijau responden
bervariasi dan tidak dibatasi sehingga fE yang paling singkat adalah 2 hari/tahun
dan paling lama adalah 365 hari/tahun. Semakin tinggi fE responden maka
semakin tinggi pula responden terpapar logam Cd. Pengukuran frekuensi pajanan
konsumsi kerang hijau pada responden menggunakan frekuensi asupan dan
jumlah asupan melalui kuesioner dan wawancara.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada penelitian
ini rata-rata frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau yang sudah tercemar Cd
adalah 52 hari/tahun. Hal tersebut berarti frekuensi konsumsi masyarakat pada
lokasi penelitian ini masih dalam batas standar yang disarankan oleh BPS.
c. Durasi Pajanan
Durasi pajanan merupakan lamanya waktu responden mengkonsumsi
kerang yang mengandung Cd dalam satuan tahun (Kemenkes, 2012). Pada
penelitian ini durasi pajanan yang digunakan adalah durasi pajanan sebenarnya
(realtime). Hasil durasi pajanan diperoleh rata-rata masyarakat Kaliadem Muara
Angke telah terpajan Cd melalui kerang hijau selama 17 tahun. Responden yang
94
paling lama bermukim adalah 57 tahun sedangkan yang paling singkat adalah
setengah tahun, sebagai akibat prilaku masyarakat yang tidak berpindah-pindah.
Jika pindah mereka akan tinggal di lokasi yang serupa (pulau/pantai) seperti
Muara Kamal, Marunda atau Cilincing.
Nilai rata-rata bermukim masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke
masih dibawah nilai default yang ditetapkan United State Environmental
Protection Agency (US-EPA) (1991) untuk risiko nonkanker yaitu 30 tahun.
Berdasarkan teori IPCS (2010) menyatakan bahwa durasi pajanan sebenarnya
(realtime) dan proyeksi 30 tahun untuk pajanan sepanjang hayat (lifetime).
Diperkuat dengan pendapat Kementrian Kesehatan (2012) bahwa durasi pajanan
merupakan lamanya atau jumlah tahun terjadinya pajanan, dan untuk pajanan
seumur hidup digunakan duration time (Dt) sebesar 30 tahun untuk risiko
nonkanker dan 70 tahun untuk risiko kanker.
Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan lifetime artinya hanya
dilakukan perhitungan dengan menggunakan realtime, dikarenakan perhitungan
dengan menggunakan realtime pun sudah didapatkan RQ >1. Meskipun rata-rata
durasi pajanan konsumsi kerang hijau masih dibawah standar US-EPA dan
Kementrian Kesehatan yaitu <30 tahun, tapi rata-rata nilai RQ telah melebihi 1
sehingga tetap berisiko terhadap efek kesehatan akibat keracunan Cd. Lamanya
durasi pajanan berpengaruh terhadap besarnya tingkat risiko, selain dipengaruhi
oleh lamanya durasi pajanan nilai tingkat risiko juga dipengaruhi oleh
konsentrasi Cd dalam kerang, laju asupan, frekuensi pajanan, dan berat badan
95
responden. Hal ini berarti bahwa meskipun nilai durasi pajanan masih dibawah
standar US-EPA tidak menutup kemungkinan untuk didapatkan nilai RQ >1 pada
individu.
Secara teori pajanan logam Cd yang terus menerus dapat
menimbulkan gangguan bahkan kerusakan pada sistem kerja ginjal. Gangguan
pada ginjal tersebut dapat dideteksi dengan mengukur kandungan protein yang
terdapat pada urin (proteinuria) (Ratnaningsih, 2014). Proteinuria hanya dapat
ditemukan pada orang-orang yang telah mengalami pajanan Cd dalam rentang
waktu 20-30 tahun (Purnomo and Purwana, 2008). Semua komponen Cd baik
dalam bentuk Cd ataupun berikatan dengan zat lain (CdZn) yang masuk ke dalam
tubuh manusia secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan permanen
pada ginjal dan hati (ATSDR, 1999). Studi epidemiologi menemukan bahwa
keracunan logam berat sebagian besar disebabkan oleh konsumsi hasil laut yang
diperoleh dari daerah tercemar (BPOM RI, 2005).
Secara teori pajanan Cd dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka
waktu lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis, sedangkan untuk
pajanan dalam waktu yang singkat mampu memberikan efek akut keracunan Cd
(ATSDR, 1999). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muh.
Aripai et al. (2012) bahwa masa kerja sebagai nelayan penangkap dan
pengonsumsi kerang menentukan tingkat keterpajanan logam Cd dalam tubuh
sehingga dapat menurunkan terjadinya gangguan kesehatan akibat keracunan Cd.
Hal tersebut dikarenakan menurut Moh. Aripai et al. (2012) bahwa nelayan lebih
96
sering mengkonsumsi makanan di luar, sehingga mengurangi frekuensi asupan
konsumsi kerang hijau.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa durasi
pajanan konsumsi kerang hijau yang telah tercemar logam Cd, meskipun dalam
konsentrasi yang rendah akan tetapi dalam jangka yang lama akan menimbulkan
efek kesehatan. Pada penelitian ini rata-rata nilai durasi pajanan masyarakat
Kaliadem Muara Angke adalah 17 tahun.
d. Berat Badan
Berat badan manusia mencerminkan status gizi seseorang. Gizi yang
buruk akan berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan tubuh seseorang dan
terjadinya gangguan kesehatan. Berat badan yang dimaksud adalah berat badan
responden yang diukur dengan menggunakan timbangan badan analog pada saat
dilakukan wawancara (dalam satuan kilogram).
Hasil penelitian menunjukan bahwa 230 responden yang terpajan Cd
melalui kerang hijau, diperoleh nilai rata-rata berat badan responden sebesar
57,22 kg dengan berat badan paling rendah adalah 24,30 kg dan paling tinggi
yaitu 98,75 kg. Data variabel berat badan menunjukan distribusi normal (p value
>0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai mean. Perbedaan rentang berat
badan yang cukup jauh tersebut dikarenakan responden dalam penelitian ini tidak
dibatasi berdasarkan berat badannya tetapi seluruh anggota keluarga yang
berumur ≥10 tahun dalam satu keluarga dijadikan sebagai responden.
97
Secara teori, nilai intake dipengaruhi oleh nilai konsentrasi risk agent,
laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan dan berat badan seseorang
(enHealth, 1992). Hal ini sesuai dengan penelitian Diana (2014) mengenai
Paparan Benzene Pada Pekerja di Pusat Pengumpul Produksi (PPP) PT
Pertamina EP Asset 2 Prabumulih Field, dalam penelitian tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa semakin besar berat badan seseorang maka semakin kecil
kemungkinan risikonya untuk mengalami gangguan kesehatan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) mengenai
Dampak Kadmium dalam Ikan terhadap Kesehatan Masyarakat, dalam penelitian
tersebut dinyatakan bahwa responden dengan berat badan dibawah 50 kg lebih
berisiko untuk terjadi gangguan kesehatan akibat pajanan Cd pada hasil laut
dibandingkan dengan responden yang memiliki berat badan lebih dari 50 kg.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu
yang mempengaruhi nilai intake dan tingkat risiko adalah berat badan, sehingga
semakin besar berat badan akan meminimalisir risiko kesehatan akibat pajanan
Cd. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara Angke
untuk menambah nilai gizi tubuh dengan menambah asupan zat gizi sehingga
akan meningkatkan berat badan dan meminimalisir risiko kesehatan akibat
pajanan Cd dalam kerang hijau.
e. Intake
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata intake konsentrasi Cd
dalam kerang hijau yang masuk kedalam tubuh masyarakat Kaliadem Muara
98
Angke sebesar 0,097 mg/kg/hari dan berkisar antara 1,22421x10-7
mg/kg/hari
hingga 1,53 mg/kg/hari. Data variabel intake dalam penelitian ini merupakan
data yang tidak normal (p value <0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai
median (0,004 mg/kg/hari).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Daud et al. (2013) bahwa
besarnya nilai intake berbanding lurus dengan nilai konsentrasi bahan kimia, laju
asupan, frekuensi pajanan, dan durasi pajanan. Artinya semakin besar nilai-nilai
tersebut maka akan semakin besar nilai asupan seseorang, meskipun nilai asupan
berbanding terbalik dengan nilai berat badan dan periode waktu rata-rata.
Semakin besar berat badan seseorang maka semakin kecil risiko kesehatan. Hal
tersebut sesuai dengan teori enHealth (1992) bahwa perhitungan nilai intake
dipengaruhi oleh frekuensi pajanan, durasi pajanan, laju asupan, dan konsentrasi.
Berbeda dengan penelitian Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa
nilai intake dipengaruhlaju asupan, durasi pajanan, frekuensi pajanan, dan
konsentrasi sedangkan berat badan tidak berpengaruh dalam menentukan nilai
intake. Perbedaan ini dikarenakan pada penelitian Sianipar (2009) data berat
badan merupakan data yang homogen, sehingga tidak dapat digunakan sebagai
acuan untuk menentukan nilai intake. Secara teori nilai keracunan Cd akibat
konsumsi makanan yang tercemar logam Cd efeknya lebih kecil dibandingkan
dengan pajanan Cd pada udara. Namun karena sifat Cd yang mampu
terakumulasi dalam tubuh, sehingga konsentrasi yang kecil akan disimpan dalam
tubuh dan menimbulkan efek kronis dari keracunan Cd tersebut. Tinggi dan
99
rendahnya nilai intake dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat dan besarnya
nilai konsentrasi logam berat pada suatu bahan makanan. Berdasarkan hasil
penelitian ini nilai intake konsumsi masyarakat Kaliadem masih dibawah
reference dose (RfD) logam Cd dengan oral intake maksimum sebesar 0,001
mg/kg/hari yang ditetapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai
intake dipengaruhi oleh oleh frekuensi pajanan, berat badan, durasi pajanan,
konsentrasi dan laju asupan. Pada penelitian ini rata-rata nilai intake responden
masih telah melebihi referece dose yang ditetapkan oleh EPA yaitu 0,097
mg/kg/hari. Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem untuk saat
ini mulai mengurangi jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau.
Hal tersbut dilakukan untuk mencegah terjadinya efek kesehatan akibat
keracunan logam berat yang telah terakumulasi dalam hasil laut.
2. Karakteristik risiko (Risk Characterization) – Tingkat Risiko (RQ)
Hasi perhitungan ARKL menunjukkan bahwa, dari 230 responden yang
terpajan Cd melalui kerang hijau diperoleh rata-rata nilai RQ sebesar 103,89
dengan nilai RQ minimum sebesar 0.00006 dan nilai maksimum sebesar 1672,42.
Kelompok yang paling banyak berrisko terhadap efek kesehatan (RQ>1) adalah
kelompok 1 sebanyak 57 (74%) responden, sedangkan yang memiliki nilai RQ≤1
paling banyak adalah kelompok 2 sebanyak 30 (55,6%) responden. Berdasarkan
data tersebut diketahui bahwa tingkat risiko populasi sudah sangat melampaui
batas aman, karena nilai RQ sudah lebih besar dari 1 (RQ>1) dan probabilitas
100
risiko itu terjadi untuk responden yang mengkonsumsi kerang hijau yang
bersumber dari budidaya kerang hijau di perairan Teluk Jakarta dan tinggal di
daerah pesisir Teluk Jakarta.
Tingkat risiko yang dimaksud dalam penelitian ini lebih bersifat
probabilitas artinya bahwa nilai RQ >1 tidak pasti akan mengalami gangguan
kesehatan, tetapi nilai tersebut lebih menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki
nilai tingkat risiko lebih besar dari 1 akan memiliki probablitias lebih besar
terhadap terjadinya suatu efek kesehatan dibandingkan dengan yang memiliki nilai
RQ ≤1. Pajanan logam Cd pada konsentrasi rendah dalam jangka waktu yang lama
dapat berisiko menyebabkan keracunan kronis. Ginjal adalah organ target utama
pajanan logam Cd (SNI, 2009). Menurut WHO (1992) pada kondisi tertentu
(waktu pajanan yang pendek) menyebabkan timbulnya gejala seperti mual, diare,
meningkatnya tekanan darah, sesak nafas, batuk, nyeri sendi, sakit kepala, letih,
lemas, dan lesu. Namun menurut Hansen et al. (2009) logam Cd yang
terakumulasi di dalam ginjal sepanjang waktu, mencapai konsentrasi yang toksik,
dan sudah terpajan selama bertahun-tahun dapat menyebabkan kelainan pada
sistem ginjal.
Sebesar 50% dari metabolisme logam Cd akan disimpan dan terakumulasi
dalam hati dan ginjal melalui distribusi darah yang mengandung Cd dari proses
absobsi pada dinding usus manusia. Logam Cd akan terekskresi melalui fases dan
urine dengan konsentrasi rendah ditambah waktu paruh (biological half life)
sampai 10 – 30 tahun. Akumulasi Cd akan berpengaruh pada faktor umur, dimana
101
akumulasi akan terjadi dan telihat efeknya ketika dewasa nanti (Darmono, 1995).
Menurut Palar (2004) keracunan kronis yang disebabkan oleh logam Cd umumnya
berupa kerusakan-kerusakan pada beberapa sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem
tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam Cd adalah pada sistem
urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), dan sistem sirkulasi
(darah dan jantung). Disamping semua itu, keracunan kronis tersebut juga merusak
kelenjar reproduksi, sistem penciuman dan bahkan dapat mengakibatkan
kerapuhan pada tulang seperti penyakit “Itai- itai” di Jepang. Pada kasus “Itai –
itai” di Jepang pada tahun 1960 terjadi pencemaran tanah, air dan makanan yang
diakibatkan aktifitas proses pertambangan pada hulu Sungai Jinzu, Honsyu
Jepang. Penyakit “Itai – itai” disebabkan konsumsi beras penduduk yang tinggal di
Honsyu yang mengandung konsentrasi logam Cd lebih dari 0,4 mg/kg (SNI,
2009). Penyakit ini kebanyakan menyerang petani Jepang berumur 40-50 tahun
yang hidup dan tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada kasus tersebut sebanyak
200 pasien yang menderita keracunan Cd, separuhnya telah mininggal pada akhir
tahun 1965 (Darmono, 1995).
Menurut Darmono (1995) diperikirakan diet Cd dari makanan sekitar 50
mg tiap hari, jika diet Cd sebesar 250 hingga 350 mg per hari maka akan
menyebabkan keracunan. Diperkuat pernyataan dari FAO dan WHO bahwa
ambang batas toleransi Cd sekitar 70 mg Cd tiap hari (WHO, 1992). Diperkuat
dengan penelitian Louekari et al. (2000) yang merekomendasikan bahwa asupan
harian yang aman Cd oleh orang dewasa sebesar 40-80 mg. Mengacu pada
102
peraturan SNI 2009, ditetapkan bahwa nilai LD50 untuk logam Cd adalah 225
mg/kg dan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) sebesar 0,007 mg/kg
berat badan. Menurut IRIS (2013) besaran NOAEL untuk logam Cd melalui intake
oral adalah 0,01 mg/kg/hari.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya risiko
kesehatan pada masyarakat diakibatkan oleh pajanan logam Cd. Menurut hasil
pengamatan dan wawancara secara langsung terhadap masyarakat Kaliadem
Muara Angke Jakarta Utara selama penelitian, bahwa rata-rata hampir seluruh
masyarakat Kaliadem Muara Angke memiliki pengetahuan yang kurang terhadap
efek kronik dari cemaran logam berat yang telah terjadi di wilayah Teluk Jakarta.
Hal ini dikarenakan kurangnya pemberian informasi kepada masyarakat utamanya
masyarakat pesisir, mengenai pencemaran dan gangguan kesehatan yang terjadi
akibat zat pencemar tersebut. Oleh karena itu, disarankan kepada Dinas Kesehatan
Jakarta Utara untuk mengembangkan dan melakukan progam surveilans dan
pemetaan terhadap kelompok masyarakat yang berisiko terhadap efek kesehatan
akibat pajanan Cd. Selain itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara
Angke yang telah memiliki risiko (RQ>1) gangguan kesehatan akibat pajanan Cd
akibat konsumsi kerang hijau untuk mengkonsumsi food suplement seperti Alfalfa
sebanyak 2000-3000 mg/hari, Ca sebanyak 2000 mg/hari dan Mg sebanyak 1000
mg/hari, vitamin E sebanyak 600-1000 IU/hari, Zn sebanyak 50-60 mg/hari, Cu
sebanyak 3 mg/hari (Darmono, 1999).
103
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi
Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015
1. Hubungan Konsentrasi Kadmium dalam Kerang Hijau dengan Tingkat
Risiko
Hasil penelitian pada tabel 5.6 sebesar 77,9% responden memiliki nilai
RQ >1 pada konsentrasi >0,083 mg/L, sedangkan sebanyak 93,6% responden
memiliki nilai RQ ≤1 dengan kosentrasi Cd dalam kerang hijau sebesar
≤0,083 mg/L. Jika tingkat risiko (RQ) responden secara keseluruhan dianalisis
berdasarkan pajanan kerang hijau, dari 230 responden yang mengkonsumsi
kerang sebanyak 140 responden yang memiliki RQ >1 dan hanya 40
responden yang memiliki RQ ≤1. Konsentrasi Cd pada kerang hijau tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (p value
>0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningtyas (2002)
yang menyatakan bahwa asupan pajanan Cd pada masyarakt di pesisir Teluk
Jakarta sangat rendah dengan konsentrasi Cd jauh melampaui nilai ambang
batas yang direkomendasikan, karena nilai laju asupan, durasi pajanan, dan
frekuensi pajanan yang relatif kecil maka nilai intakepun juga kecil sehingga
belum menimbulkan risiko kesehatan, sehingga konsentrasi Cd tidak memiliki
hubungan dengan nilai tingakat risiko.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Siantar (2009)
yang menyatakan bahwa responden yang terpajan H2S melebihi kadar
maksimal mempunyai peluang 11,67 kali memiliki risiko akan mengalami
gangguan kesehatan akibat menghirup H2S yang terkandung dalam udara
104
dibandingkan dengan responden yang tidak terpajan H2S melebihi nilai kadar
maksimal. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Ashar (2007) juga
menyatakan bahwa responden yang terpajan logam mangan melebihi nilai
maksimum 31,036 kali memiliki risiko mengalami gangguan kesehatan akibat
pajanan logam mangan dalam air dibandingan dengan reponden yang tidak
terpajan mangan melebihi nilai maksimum.
Secara teori nilai konsentrasi digunakan untuk menghitung intake yang
nantinya akan digunakan juga untuk menentukan nilai tingkat risiko
(RQ)(IPCS, 2010). Perbedaan tersebut terjadi karena rentang nilai konsentrasi
Cd dalam kerang hijau tidak berbeda jauh antara spesimen kerang dan lingkup
wilayah yang digunakan dalam penelitian ini juga relatif kecil, sehingga di
dapatkan nilai p value >0,05 yang menyatakan tidak ada hubungan yang
signifikan. Sesuai dengan penelitian Purnomo dan Purwana (2008) yang
mengatakan bahwa konsentrasi Cd dalam ikan di Teluk Lampung tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat risiko responden (p value
=0,052).
Meskipun nilai konsentrasi Cd masih dibawah batas cemaran
maksimum menurut BPOM RI dan SNI dan tidak memiliki hubungan yang
bermakna dalam penelitian ini, namun sebesar 77,9% reponden yang terpajan
Cd >0,083 mg/L memiliki nilai RQ >1, dan sebanyak 22,1% responden yang
terpajan Cd ≤0,083 mg/L memiliki nilai RQ >1. Hal tersebut membuktikan
bahwa penetapan standar 1.0 mg/kg Cd sebagai batas cemaran maksimum
105
dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang
penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan,
tidak mampu melindungi populasi di tempat penelitian ini dilakukan. Hal
tersebut dikarenakan telah terjadi akumulasi logam berat pada periaran Teluk
Jakarta yang diakibatkan oleh pencemaran laut akibat buangan limbah industri
maupun rumah tangga, sehingga hasil laut yang berasal dari perairan tersebut
ikut tercemar. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surah At-Tin ayat 4-6 bahwa
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk
(fisik dan psikis), lalu Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh” (At-Tin
(95): 4-6). Tafsir Al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut bahwa dosa dan
pelanggaran yang dilakukan manusia mengakibatkan gangguan keseimbangan
di darat dan di laut. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin
besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Dijelaskan juga dalam surah
Al-A’raf ayat 96 bahwa alam raya, dengan segala bagiannya yang perinci
saling berkaitan antara satu dan yang lain, sehingga apabila terjadi gangguan
pada keharmonisan dan keseimbangan itu, pasti berdampak pada seluruh
bagian alam termasuk manusia, baik yang merusak mapupun yang dirusak.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
tidak ada hubungan yang bermakna antara konsentrasi Cd dalam kerang
dengan tingkat risiko responden (p value =0,567). Tidak adanya hubungan
yang bermakna tersebut dikarenakan rentang nilai konsentrasi antara spesimen
kerang tidak berbeda jauh dan lingkup wilayah yang digunakan untuk
106
pengambilan spesimen dalam penelitian ini relatif kecil. Oleh karena itu,
disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara untuk
mempertimbangkan perubahan sistem budaya dengan memindahkan lokasi
budidaya kerang hijau atau melakukan pelatihan mengenai mengurangi
kandungan logam berat dalam kerang hijau saat sebelum dijual yaitu dengan
melakukan perebusan menggunakan karbon aktif (Rachmawati et al., 2013).
2. Hubungan Laju Asupan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 230 responden yang
mengkonsumsi >4,77 gram/hari kerang hijau sebesar 77,9% responden
memiliki nilai RQ >1, sedangkan dari 230 responden yang mengkonsumsi
kerang hijau ≤4,77 gram/hari sebesar 93,3% responden memiliki nilai RQ ≤1.
Hasil penelitian menunjukan bahwa laju asupan mempunyai hubungan yang
bermakna (p value < 0,05) dengan nilai tingkat risiko. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang
menyatakan bahwa laju asupan berhubungan secara bermakna (p value
=0,000) dengan tingkat risiko, responden yang mengkonsumsi ikan >233,6
gram/hari berisiko 7,118 kali lebih besar untuk mengalami gangguan
kesehatan keracunan Cd dibandingkan responden yang mengkonsumsi kurang
dari 233,6 gram/hari. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa laju asupan memiliki
hubungan yang kuat dengan nilai tingkat risiko (p value =0,000) dan nilai OR
adalah 2,762.
107
Sejauh ini belum ada penelitian yang membuktikan tidak adanya
hubungan antara laju asupan dengan tingkat risiko. Laju asupan harian Cd yang
berasal dari kerang berkisar antara 0,03 g – 96,18 g, sedangkan laju asupan
normal yang diperbolehkan dengan sumber pajanan makanan tidak boleh lebih
dari 20 μg (FAO, 2006). Secara teori Cd memiliki afinitas yang kuat terhadap
hati dan ginjal. Pada umumnya sekitar 50-75% konsumsi Cd yang melebihi 20
μg perhari akan disimpan dalam kedua organ tersebut (Gupta, 2009).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
banyak kerang yang dikonsumsi (gram/hari) maka makin besar nilai laju asupan
yang diperoleh sehingga risiko responden untuk terpajan Cd yang berada pada
tubuh kerang semakin tinggi. Pada penelitian ini nilai laju asupan responden
memiliki hubungan yang bermakna dengan besarnya tingkat risiko responden (p
value =0,000). Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat untuk mengurangi
jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau, karena dengan
melihat kondisi perairan Indonesia sudah banyak terjadi pencemaran. Hal ini
sesuai dengan yang terdapat dalam al-Quran Surah Al-A’raf ayat 31 bahwa,
“makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf (7): 31). Penjelasan Syihab
(2009) mengenai ayat tersebut bahwa ayat tersebut merupakan salah satu prinsip
yang diletakan agama menyangkut kesehatan yang telah diakui juga oleh para
ilmuan terlepas apapun pandangan hidup atau agama mereka. Ayat tersebut
menganjurkan bahwa perintah makan dan minum tidak berlebih-lebihan dalam
108
arti tidak melampaui batas, merupakan tuntutan yang harus disesuaikan dengan
kondisi seseorang. Kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi
telah dinilai melampaui batas atau belum cukup untuk orang lain. Atas dasar
tersebut, penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proposional dalam makan
dan minum.
3. Hubungan Frekuensi Pajanan Konsumsi Kerang Hijau dengan Tingkat
Risiko
Frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau mempunyai hubungan yang
bermakna dengan nilai RQ (p value <0,05). Sebanyak 230 responden yang
mengkonsumsi kerang hijau >52 hari/tahun sebesar 77,9% responden
memiliki nilai RQ >1, sedangkan yang frekuensi pajanannya ≤52 hari/tahun
yang memiliki nilai RQ ≤1 adalah 93,6%. Hal tersebut berarti responden yang
sering mengkonsumsi kerang hijau memiliki nilai RQ yang lebih besar
dibandingkan dengan responden yang jarang mengkonsumsi kerang hijau.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aripai et al.
(2012) yang menyatakan bahwa frekuensi pajanan mempunyai hubungan
yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (RQ) (p value =0,000). Diperkuat
dengan penelitian Daud et al. (2013) yang menyatakan semakin tinggi
frekuensi pajanan responden maka semakin tinggi pula risiko responden untuk
terpajan logam berat Cd. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
frekuensi pajanan akan mempengaruhi besarnya nilai RQ (IPCS, 2010),
109
sehingga masyarakat yang lebih sering mengkonsumsi kerang hijau maka
akan meningkatkan nilai RQ.
Namun berbeda dengan penelitian Ashar (2007) tentang Pajanan
Mangan dalam Air Melalui Intake Oral dan penelitian Purnomo dan Purwana
(2008) tentang Dampak Kandungan Kadmium pada Ikan yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pajanan dengan
nilai tingkat risiko (p value = 0,178). Perbedaan tersebut terjadi karena
penelitian Ashar (2007); Purnomo dan Purwana (2008) menggunakan nilai
deflut konsumsi maksimum yang ditetapkan oleh US-EPA yaitu 365
hari/tahun atau setiap hari, yang berarti seluruh frekuensi pajanan responden
disamakan dengan responden yang mengkonsumsi setiap hari. Meskipun
dalam kenyataannya tidak semua responden mengkonsumsi setiap hari.
Standar BPS menjelasakan bahwa konsumsi kerang hijau maksimum
yang dianjurkan adalah satu minggu sekali atau 52 hari/tahun. Namun pada
hasil penelitian ini responden yang mengkonsumsi kerang hijau dalam
frekuensi ≤52 hari/tahun sebesar 22,1% memiliki nilai RQ >1. Jadi, walaupun
responden telah mengkonsumsi sesuai dengan standar yang telah dianjurkan
akan tetapi masih berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat
mengkonsumsi kerang hijau yang telah tercemar Cd. Hal ini dikarenakan
besarnya tingkat risiko tidak hanya dipengaruhi oleh variabel frekuensi
pajanan, namun juga dipengaruhi oleh variabel konsentrasi Cd, laju asupan,
durasi pajanan, dan berat badan.
110
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini frekuensi pajanan memiliki hubungan yang bermakna terhadap
nilai tingkat risiko (p value =0,000). Hal tersebut berarti bahwa apabila
frekuensi mengkonsumsi kerang hijau sering maka akan lebih berisiko
terhadap efek kesehatan akibat keracunan kadmium. Meskipun telah
mengkonsumsi kerang hijau sesuai dengan standar yang telah diajurkan oleh
BPS, akan tetapi standar tersebut masih belum bisa melindungi populasi yang
ada dalam penelitian ini. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara untuk mengurangi frekuensi asupan
kerang kerang hijau agar dapat meminimalisir risiko kesehatan akibat pajanan
Cd dalam kerang hijau.
4. Hubungan Durasi Pajanan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko
Pada hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebanyak 230 responden
yang sudah terpajan >15 tahun sebesar 60,7% responden memiliki nilai RQ
>1, sedangkan responden yang terpajan ≤15 tahun sebesar 58,9% responden
memiliki nilai RQ ≤1. Pada penelitian ini nilai durasi pajanan dengan tingkat
risiko memiliki hubungan yang bermkana (p value <0,05). Hal ini sesuai
penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang
menyatakan bahwa durasi pajanan mempunyai hubungan yang sangat
bermakna dengan tingkat risiko (p value =0,000) dengan nilai OR adalah 7,89.
Hal tersebut berarti responden yang terpajan >25 tahun berisiko 7,89 kali
lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan daripada responden yang
111
terpajan ≤25 tahun. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar
(2009) yang menyatakan bahwa ada perbedaan proporsi besar gangguan
kesehatan antara responden yang menghirup udara mengandung H2S selama
15 tahun dengan responden yang menghirup <15 tahun. Nilai OR adalah 4,00
yang berarti bahwa responden yang menghirup udara selama ≥15 tahun
berisiko 4 kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan akibat menghirup
H2S yang terkandung dalam udara dibanding dengan responden yang
menghirup udara <15 tahun.
Secara teori pajanan yang terus-menerus dari suatu bahan kimia dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan meskipun dalam konsentrasi yang rendah
(Gupta, 2009). Akumualsi Cd akan berpengaruh pada faktor umur dan waktu
terpajan dimana akumulasi akan terjadi dan terlihat efeknya ketika dewasa
nanti (Darmono, 1995). Target organ yang sering terganggu adalah ginjal.
Akumulasi pada ginjal dan hati 10 hingga 100 kali konsentrasi pada jaringan
yang lain (F.Nordberg, 1992). Penelitian Ratnaningsih (2014) dengan
melakukan percobaan pengaruh Cd terhadap gangguan patologi pada tikus
menunujukan bahwa berdasarkan uji klinis terlihat bahwa dengan makin
tinggi konsentrasi Cd yang masuk ke dalam tubuh dan makin lama
pemaparannya, maka terlihat bahwa kadar protein urin meningkat sebanding
dengan makin tingginya akumulasi Cd dalam ginjal. Selain itu juga terlihat
adanya perubahan pada tubulus dan glomerulus sebagai akibat dari makin
banyaknya akumulasi kadmium dalam ginjal.
112
Namun berbeda dengan penelitian Ashar (2007) yang menyatakan
bahwa durasi pajanan dengan nilai RQ tidak mempunyai hubungan yang
bermakna (p value =0,227). Perbedaan tersebut dikarenakan responden dalam
penelitian Ashar (2007) belum lama bermukim pada lokasi penelitian dan
durasi pajanan hampir dari 50% sama yaitu 5 tahun, sehingga data homogen
dan tidak menunjukan adanya hubungan yang bermakna.
Berdasarkan pajanan diatas dapat disimpulkan bahwa pada penelitian
ini nilai durasi pajanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai
tingakt risiko (p value =0,004). Target organ pajanan Cd adalah ginjal,
sehingga semakin lama individu terpajan logam Cd dalam kerang hijau akan
meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada ginjal. Oleh karena itu,
disarankan kepada masyarakat Kaliadem untuk meminimalisir pajanan Cd
dalam kerang hijau dengan cara mengurangi konsumsi kerang hijau.
5. Hubungan Berat Badan dengan Tingkat Risiko
Hasil peneltian menunjukan bahwa sebanyak 230 responden yang
memiliki berat badan >57,22 kg dan memiliki nilai RQ >1 yaitu 53,6%
responden, sedangkan responden yang memiliki berat badan ≤57,22 kg dan
memiliki nilai RQ ≤1 yaitu 53,3% responden. Pada penelitian ini berat badan
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (p value
>0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashar (2007)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat
badan dengan nilai RQ (p value =0,186). Diperkuat dengan penelitian
113
Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik dengan
CI 95% dan nilai interval kepercayaan yang mencakup 1 (0,541 – 3,325),
yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan
responden dengan tingkat risiko gangguan kesehatan.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan
Purwana (2008) yang menyatakan bahwa berat badan memiliki hubungan
yang signifikan dengan tingkat risiko (p value =0,032). Hal tersebut berarti,
semakin tinggi berat badan responden maka semakin kecil tingkat risiko yang
akan dialami oleh responden. Menurut IPCS (2010) secara teori nilai berat
badan akan mempengaruhi nilai tingkat risiko, sehingga semakin berat
seseorang maka semakin kecil kemungkinan untuk mengalami risiko
gangguan kesehatan akibat pajanan risk agent.
Perbedaan penelitian ini, Ashar (2007), dan Sianipar (2009) dengan
penelitian Purnomo dan Purwana (2008) dikarenakan pada penelitian ini,
penelitian Ashar (2007), dan pada penelitian Sianipar (2009) berat badan
responden satu dengan responden yang lain tidak jauh berbeda, lingkup
wilayah penelitian kecil, dan responden yang digunakan adalah individu
dewasa sehingga data yang didapatkan homogen. Oleh karena itu, hasil uij
bivariat tidak menunjukan adanya hubungan yang bermakna.
Secara teori orang dengan berat badan ideal akan mempunyai nutrisi
yang cukup sehingga menghalangi kehadiran logam Cd ke dalam tubuh untuk
114
menggantikan nutrisi (zink, besi, tembaga, selenium, kalsium, piridoksin,
asam askrobat dan protein). Hal tersebut dikarenakan kebanyakan toksisitas
Cd terjadi akibat defisiensi unsur-unsur tersebut diatas yang menyebabkan
peningkatan absrobsi Cd (ATSDR, 1999).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teori
berat badan mempengaruhi besarnya nilai RQ, sehingga semakin besar nilai
berat badan seseorang maka akan semakin kecil mengalami gangguan
kesehatan. Namun dalam hasil dalam penelitian ini nilai berat badan tidak
berhubungan secara bermakna dengan dengan nilai RQ (p value =0,307).
Perbedaan tersebut dikarenakan nilai berat badan antar responden relatif sama,
lingkup wilayah penelitian kecil, dan responden yang dalam penelitian ini
rata-rata adalah dewasa, sehingga data yang didapatkan saat penelitian
homogen. Oleh karena itu untuk mengurangi risiko kesehatan akibat pajanan
Cd masyarakat Kaliadem Muara Angke perlu menambah asupan zat gizi.
6. Hubungan Intake Konsumsi Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebesar 230 responden yang
memiliki nilai intake >0,0004 mg/kg/hari dan memiliki nilai RQ >1 yaitu
sebanyak 70,7% responden, sedangkan responden yang memiliki nilai RQ ≤1
dan intake ≤0,004 mg/kg/hari yaitu 100% responden (seluruh responden).
Pada penelitian ini intake memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai
tingkati risiko (p value <0,05).
115
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan
Purwana (2008) yang menyatakan bahwa nilai intake mempunyai hubungan
yang sangat bermakna dengan nilai RQ (p value =0,000). Sama halnya dengan
penelitian Masengi et al. (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir dengan pola
konsumsi makanan laut (p value <0,05). Hal tersebut berarti pola konsumsi
makanan laut berpengaruh terhadap angka kejadian hipertensi pada
masyarakat pesisir. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengatakan tidak
adanya hubungan antara intake dengan nilai RQ.
Secara teori, besarnya nilai intake dipengaruhi oleh konsentrasi, laju
asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan berat badan (IPCS, 2010).
Nilai intake didapatkan dari perhitungan dengan menggunakan formulasi
rumus antara konsentrasi, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan
berat badan yang nantinya akan digunakan untuk menghitung nilai RQ (IPCS,
2010). FAO; WHO dan The Joint Expert Committee on Food Additives
(JECFA) dalam pertemuan ke 16 nya menetapkan PTWI Cd untuk untuk
orang dewasa sebesar 400-500 μg. Standar tersebut sesuai dengan masukan
Cd yang dapat ditolerir oleh tubuh sementara yaitu 0,81 (400÷7÷70) ke 1,01
μg/kg/day, yang telah disederhanakan menjadi 1 μg/kg/day (WHO, 1972).
Hubungan toksisitas Cd pada ginjal dan hati telah diamati pada orang-
orang dengan intake Cd yang sesuai dengan PTWI (WHO, 2005). Pajanan 30-
50μg Cd per hari untuk orang dewasa atau 0,43-0,57 μg/kg/day atau 0,00043-
116
0,00057 mg/kg/hari telah dihubungkan dengan peningkatan risiko kelainan
tulang, kanker, kelainan fungsi ginjal, dan hati (Stoeppler, 1992). Untuk itu,
FAO; WHO menyarankan batas intake mingguan yang bersifat melindungi
dan konsumen itu berada pada risiko intake Cd di bawah PTWI (WHO, 2005).
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa nilai
intake dipengaruhi oleh nilai konsentrasi risk agent, frekuensi pajanan, laju
asupan, durasi pajanan, dan berat badan responden. Pada penelitian ini nilai
intake mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai RQ (p value
=0,000). Hal tersebut berarti semakin tinggi nilai intake maka akan
berpengaruh terhadap meningkatnya risiko terjadinya gangguan kesehatan.
Oleh karena itu, disarankan kepada Dinkes Jakarta Utara untuk melaksanakan
progam penyuluhan kepada masyarakar mengenai bahaya logam berat yang
telah mencemari hasil laut dan kepada UPT dan PKPP PPI Muara Angke
untuk melakukan pengawasan mutu hasil laut yang dijual di PPI Muara
Angke secara periodik.
117
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasakan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kerang hijau
yang dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta dengan menghitung tingkat
risiko kandungan logam berat kadmium (Cd) dalam kerang hijau tersebut
yang dikonsumsi masyarakat Kalidem Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik responden masyarakat Kalidem Muara Angke Jakarta
Utara sebesar 50,4% responden berusia ≤34 tahun, sebesar 75,7%
responden memiliki jenis kelamin perempuan, sebesar 88,3%
responden memiliki status sudah menikah, sebesar 51,3% responden
lebih menyukai memasak kerang hijau tanpa menggunakan
cangkangnya (sudah dikupas), dan sebesar 35,7% responden bekerja
sebagai ibu rumah tangga.
2. Hasil pemeriksaan konsentrasi Cd pada kerang hijau rata-rata adalah
0,083 mg/L atau 0,83 mg/kg. Konsentrasi tersebut masih tergolong
rendah dan aman menurut nilai standar dari SNI tahun 2009 dan
Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun
2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan
Kimia dalam Makanan (nilai maksimum 1,0 mg/kg).
118
3. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata besar nilai intake Cd pada
masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara ketika
mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya berdasarkan realtime per
individu adalah 0,097 mg/kg/hari.
4. Tingkat risiko (RQ) kandungan Cd dalam kerang hijau yang
dikonsumsi masyarakat kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dalam
waktu realtime sebanyak 140 (60,9%) responden telah memiliki nilai
RQ>1. Hal tersebut berarti hampir seluruh responden dalam penelitian
ini memiliki probabilatas yang lebih besar bagi terjadinya gangguan
pada sistem ginjal, hati, reproduksi, pernafasan dan peredaran darah.
5. Berdasarkan hasil analisis bivariat, maka:
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko
responden (RQ) dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau.
b. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan
nilai laju asupan.
c. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan
nilai frekuensi pajanan.
d. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan
nilai durasi pajanan.
e. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan
nilai intake memiliki.
f. Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
risiko dengan berat badan responden.
119
B. SARAN
1. Bagi Dinas Kesehatan Jakarta Utara
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Jakarta Utara untuk:
a. Melaksanakan program penyuluhan kesehatan masyarakat
tentang bahaya logam berat yang telah mencemari hasil laut
dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil penelitian
ini untuk menginformasikan pada masyarakat yang tinggal di
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dan sekitranya mengenai
konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang telah dibudidayakan di
Teluk Jakarta, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahannya.
b. Perlu dikembangkan dan dilakukan surveilans dan pemetaan
terhadap kelompok masyarakat yang berisiko mendapat
gangguan kesehatan akibat pajanan Cd.
2. Bagi Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta
Disarankan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
untuk:
a. Lebih intensif dalam melakukan pemantauan secara berkala
kualitas air laut terhadap parameter logam-logam berat dan
lebih meningkatkan pengawasan ketat dan pemantauan
terhadap limbah dari pabrik-pabrik yang dapat mencemari air
laut di Teluk Jakarta.
120
b. Bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan untuk
melakukan remediasi air laut Teluk Jakarta yang sudah
tercemar logam berat dengan menggunakan beberapa metode
seperti menggunakan padatan tersuspensi (Suspended Solid-
SS), bioremediasi dengan menggunakan Chlorella Sp,
bioremediasi menggunakan Aspergillus flavus, dan
menggunakan teknik fitoremediasi fitoplankton melalui
penggunaan Nannochloris dan Chaetoceros Calcitran.
3. Bagi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara
Disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta
Utara untuk:
a. Perlu mempertimbangkan perubahan sistem budidaya kerang
hijau. Alternatif yang dapat digunakan untuk melanjutakan
kegiatan budidaya tersebut adalah dengan memindahkan lokasi
budidaya kerang hijau atau melakukan perebusan kerang hijau
dengan menggunakan karbon aktif sebelum dijual.
b. Melakukan pengawasan mutu hasil laut yang dijual di Pasar
Ikan Muara Angke Jakarta Utara secara periodik.
4. Bagi Masyarakat
Disarankan bagi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta
Utara:
a. Untuk saat ini mulai mengurangi jumlah asupan konsumsi hasil
laut khususnya kerang hijau, karena dengan melihat kondisi
121
perairan Indonesia saat ini dikhawatirkan adanya jenis logam
tertentu yang bersifat bioakumulasi dalam jaringan organ
tertentu pada hasil laut yang kemudian dikonsumsi sehingga
dapat menimbulkan efek kesehatan bagi masyarakat yang
mengkonsumsinya.
b. Sosialisasi mengenai cara memasak kerang hijau yaitu
sebaiknya tidak menggunakan cangkang. Namun apabila masih
tetap ingin memasak menggunakan cangkang dapat dilakukan
dengan dengan melakukan perebusan kerang hijau
menggunakan campuran larutan garam, cuka dan larutan jeruk
(jenis jeruk nipis atau jeruk lemon) selama minimal 45 menit
untuk menggurangi kadar logam Cd yang terdapat dalam
kerang hijau.
c. Bagi masyarakat yang telah terpapar Cd dapat mengkonsumsi
food supplement:
1) Alfalfa yang mengandung klorofil dan vitamin K
sebanyak 2000-3000 mg/hari. Suplemen ini dapat
membantu mengurangi kadmium dalam tubuh.
2) Kalsium (Ca) sebanyak 2000 mg/hari dan Magnesium
(Mg) 1000 gr/hari. Mineral tersebut dapat membantu
mengeliminasi kadmium dalam tubuh.
3) Vitamin E sebanyak 600-1000 IU/hari yang berfungsi
sebagai antioksidan.
122
4) Mengkonsumsi seng (Zn) sebanyak 50-60 mg/hari
berfungsi menggantikan posisi kadmium.
5) Konsumsi kuprum (Cu) sebanyak 3 mg/hari berfungsi
membantu Seng (Zn) mengurangi deposit kadmium.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk:
a. Perlu dilakukan penghitungan secara rinci dan sepesifik terkait
pola konsumsi kerang hijau dengan metode yang sesuai dan
akurat untuk mengetahui jumlah konsumsi masyarakat
Kaliadem Muara Angke untuk sensitifitas penghitungan intake
risiko Cd.
b. Pengambilan spesimen kerang hijau tidak hanya dilakukan
sewaktu.
c. Perlu untuk menganalisis biomarker terhadap spesimen urin
atau darah pada kelompok individu yang telah terpajan lebih
dari 30 tahun untuk mengetahui konsentrasi logam Cd yang
telah terakumulasi dalam tubuh.
123
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Z. 2005. Analisis Kadar Logam Kadmium (Cd2+
) Dari Kerang Yang
Diperoleh Dari Daerah Belawan Secara Spektrofotometer Serapan Atom.
Jurnal Sains Kimia, 9, 73-76.
Anggraeny, Y. A. 2010. Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Dan Hg Pada
Kerang Darah (Anadara Granosa) Di Perairan Bojonegara, Kecamatan
Bojonegara, Kabupaten Serang. 2010, Institut Pertanian Bogor.
Ashar, T. 2007. Analisis Risiko Pajanan Mangan Dalam Air Melalui Intake Oral
Terhadap Kesehatan Masyarakat Di Sekitar TPA Rawakucing Kecamatan
Neglasari Kota Tangerang Provinsi Banten Tahun 2007. 2007, Universitas
Sumatra Utara.
ATSDR 1999. Toxicological Profile For Cadmium. United Stated America: U.S.
Department Of Health And Human Services Public Health Service Agency
For Toxic Substances And Disease Registry.
Augustine, D. 2008. Akumulasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (PAH)
Dalamkerang Hijau (Perna Viridis L.) Di Perairan Kamal Muara, Teluk
Jakarta. 2008, Institut Pertanian Bogor.
Awalina-Satya, Chrismadha, T. & Sulawesty, F. 2011. Kajian Biomagnifikasi Logam
Berat Di Lingkungan Akuatik. Limnotek, 18, 72-82.
Azhar, H., Widowati, I. & Suprijanto, J. 2012. Studi Kandungan Logam Berat Pb,
Cu, Cd, Cr Pada Kerang Simping (Amusium Pleuronectes), Air Dan Sedimen
Di Perairan Wedung, Demak Serta Analisis Maximum Tolerable Intake Pada
Manusia. Journal Of Marine Research, 1, 35-44.
BLH DKI Jakarta 2013. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Jakarta, Indonesia.
BPOM 2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam
Makanan. Jakarta
BPOM RI 2005. Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI.
BPS 2014. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Berdasarkan Hasil
Susenas September. Jakarta.
C.H.Walker, Hopkin, S. P., Sibly, R. M. & Peakall, D. B. (Eds.) 2001. Principles Of
Ecotoxicology, London: Taylor & Francis.
124
Cai, S., Yue, L., Shang, Q. & Nordberg, G. 1995. Cadmium exposure among
residents in an area contaminated by irrigation water in China. Bulletin of
the World Health Organization. World Health Organization.
Connel, D. W. & Miller, G. J. 1995. Kimia Dan Ekotoksikologi Pencemaran. In:
Koestoer, P. Y. (Ed.). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Cordova, M. R., Zamanil, N. P. & Yulianda, F. 2011. Akumulasi Logam Berat Pada
Kerang Hijau (Perna Viridis) Di Perairan Teluk Jakarta. Journal Molusca
Indonesia, 2, 1-8.
CRC 2002. Handbook Of Ecotoxicology. In: David J. Hoffman, D. (ed.) Second ed.
London: Lewish Publisher
Darmono 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup, Jakarta, UI Perss.
Darmono 1999. Interaksi Logam Toksik Dengan Logam Esensial Dalam Sistem
Biologik Dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Jurnal Biologi, 9.
Daud, A., Dullah, A. A. M. & Malongi, A. 2013. Risk Management of Cadmium (Cd)
due to Liognathus sp, Portunus Pelagicus, Anadara sp, and Penaeus sp
compsumton among community in Tallo Subdistric Makassar, Indonesia
International Journal of Scientific and Research Publications, 3, 1-8.
Diana, U. 2014. Analisis Risiko Kesehatan Paparan Benzene Pada Pekerja Di Pusat
Pengumpul Produksi (Ppp) Pt Pertamina Ep Asset 2 Prabumulih Field Tahun
2014. 2014, Universitas Sriwijaya.
DPPK 2006. Kajian Eksistensi Budidaya Kerang Hijau Di Teluk Jakarta. In:
Perikanan, P. D. K. P. D. J. (ed.). Jakarta: CV. Srikandi Utama Konsultan.
enHelath 1992. Environmental Helath Risk Assassement In: Health, E. (ed.). Geneva:
WHO.
EPA 2007. Method 3051a; Microwave Assisted Acid Digestion Of Sediments,
Sludges, Soils, And Oils. In: Reaserch (Ed.). USA: EPA.
F.Nordberg, G. 1992. Cadmium in the human environment: toxicity and
carsinogenicity. USA: IARC Scientific Publications
FAO 2006. Safety Evaluation Of Certain Contaminants In Food In: 55 (ed.) WHO
Food Additives Geneva: JECFA.
125
Faradiaz 1992. Skema Pajanan Logam Berat di Biosfer.
Ferial, E. W., As'ad, S. & Soekendarsi, E. 2011. Kajian Klinik Pemberian Gizi
Kerang Darah Anadara Granosa L. Terhadap Kualitas Spermatozoid
Manusia. Jurnal MKMI, 7, 120-126.
Fernanda, L. 2012. studi kandungan logam berat timbal (Pb). nikel (ni), kromium (cr)
dan kadmium (cd) pada kerang hijau dan sifat fraksionasinya pada sedimen
laut. 2012, Universitas Indonesia.
Gupta, R. C. (ed.) 2009. Handbook of Toxicology of Chemical Warfare Agents,
Oxford, UK: Elsevier Inc.
Hansen, D. K. & Abbott, B. D. (eds.) 2009. Target Organ Toxicology Series, USA:
Informa Healthcare USA, Inc.
Hartono 2013. Toksikologi Industri. Surabaya, Indonesia: ITS.
Harvey, P. W., Everett, D. J. & Springall, C. J. (Eds.) 2009. Adrenal Toxicology, New
York-London: Informa Healthcare USA, Inc.
Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Oseana, IX, 11-20.
Hutagalung, H. P. & Rohchyatun, E. 2000. Foraminifera Sebagai Bioindikator
Pencemaran Hasil Studi Di Perairan Esturin Sungai Dadap Tangerang In:
Praseno, D. P., Rositasari, R. & Riyono, S. H. (Eds.) Kandungan Logam Berat
(Pb. Cd, Cu, Cr, Zn, Ni) Dalam Sedimen Di Muara Dadap Teluk Jakarta
Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanografi.
IPCS 1992. Environmental Health Criteria 134. Cadmium. In: L, F. (ed.). Geneva:
WHO.
IPCS 2010. WHO Human Health Risk Assessment Toolkit: Chemical Hazards. In:
WHO (ed.). Ottawa, Canada: IOMC (Inter-Organization Programme For The
Sound Management Of Chemicals).
Jaluis, Setiyanto, D. D., Sumantadinata, K., Riani, E. & Ernawati, Y. 2008.
Akumulasi Logam Berat Dan Pengaruhnya Terhadap Spermatogenesis
Kerang Hijau (Perna viridis). Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia,
15, 77-83.
Jerrold B. Leikin, M. & Frank P. Paloucek, P. 2008. Poisoning and Toxicology
Handbook. Fourth Edition ed. New York: Informa Healthcare USA, Inc.
126
Kabata-Pendias, A. & Mukhreje, A. B. 2001. Trace Elements in Soils and Plants.
Boca Raton: CRC Press.
Kartikawati, A. 2008. Prevalensi Dan Determinasi Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Hipertensi Di Jakarta Utara. 2008, Universitas Indonesia.
Kemenkes RI 2012. Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL).
Jakarta, Indonesia Kementrian Kesehatan
Kepmen LH 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. In: Hidup, M. N. K.
D. L. (ed.). Jakarta, Indonesia.
KKP 2009. Laporan Konsumsi Hasil Laut Indonesia. In: Perikanan, K. K. D. (ed.).
Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Koalisi Ahli Gizi Dan Obat-Obatan Indonesia 2010. Laporan Status Gizi Indonesia.
Koalisi Ahli Gizi dan Obat-Obatan Indonesia Jakarta: Nutrion.
Laura Robinson and Ian Thorn 2005. Toxicology And Ecotoxicology In Chemical
Safety Assessement USA: Blackwell Publishing Ltd.
Linnaeus 2001. Green Mussel, Perna Viridis. USGS, Science For A Changeing Word
Florida: Department of the Interior For further information U.S. Geological
Survey Florida Caribbean Science Center.
Listianingsih, W. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan
(Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara). 2008, Institut
Pertanian Bogor.
Louekari, K., Mäkelä-Kurtto, R., Pasanen, J., Virtanen, V., Sippola, J. & Malm, J.
2000. Cadmium In Fertilizers - Risks To Human Health And The
Environment. Finland: Ministry of Agriculture and Forestry in Finland.
Mahmudiono, R. A. D. T. 2009. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein Dan
Organoleptik Pada Daging Bivalvia Dan Perendaman Larutan Asam Cuka.
Jurnal Peneliti Mededical Eksakta, 8, 152-161.
Makkasau, A., Sjahrul, M., Jalaluddin, M. N. & Raya, I. 2011. Teknik Fitoremediasi
Fitoplankton Suatu Alternatif Pemulihan Lingkungan Laut yang Tercemar Ion
Logam Cd2+ dan Cr6+. Biologi, 7, 155-168.
Masengi, S., Palar, S. & Rotty, L. 2013. Pengaruh Konsumsi Makanan Laut
Terhadap Kejadian Hipertensi pada Masyarakt Pesisir. Jurnal e-Biomedik
(eBM), 1, 726-732.
127
Molnar, J. L., Gamboa, R. L., Revenga, C. & Spalding, M. D. 2008. Frontiersin
Ecology and the Environment. The Ecological Society of America, 6, 485-
492.
Muh.Aripai, Daud, A. & Ane, R. L. 2012. Analisis Risiko Paparan Kadmium (Cd)
Pada Air Dan Kerang Putih (Anadonta Woodiana) Di Sungai Pangkajene.
Kesehatan Lingkungan
National Park Service 2014. Perna Viridis Asian Green Mussel, Green Mussel, Green
Lipped Mussel, Philippine Green Mussel, Sea Mussel. Natural Resource
Stewardship and Science, U.S. Department of the Interior.
Ningtyas, P. 2002. Tingkat Akumulasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, dan Zn pada Kerang
Hijau (Perna viridis L) di Perairan Muara Kamal Teluk Jakarta 2002 Institut
Pertanian Bogor.
Nordberg, G. F., Fowler, B. A. & Nordberg, M. 2005. Handbook On The Toxicology
Of Metal. In: Sennerby, L. & Forsse (Eds.). Copenhagen: Academic Press,
Inc.
Nurjanah, Hartanti & Nitibaskara, R. R. 1999. Analisa Kandungan Logam Berat Hg,
Cd, Pb, As Dan Cu Dalam Tubuh Kerang Konsumsi. THP, VI, 19.
Otchere, F. A. 2003. Heavy Metals Concentrations And Burden In The Bivalves
(Anadara (Senilia) Senilis, Crassostrea Tulipa And Perna Perna) From
Lagoons In Ghana: Model To Describe Mechanism Of
Accumulation/Excretion. African Journal Of Biotechnology, 2, 280-287.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat Jakarta: Rineka Cipta.
Prasad, M. N. V. (ed.) 2001. Metals in the environment, New York: Marcel Dekker,
Inc.
Prasetyo, A. D. 2009. Penentuan Kandungan Logam (Hg. Cd. Pb) Dengan
Penambahan Pengawet Dan Waktu Perendaman Yang Berbeda Pada Kerang
Hijau Di Perairan Muara Kamal Teluk Jakarta 2009, Universitas Islam
Negeri Syarifhidayatullah Jakarta.
Purnomo, A. & Purwana, R. 2008. Dampak Cadmium dalam Ikan terhadap
Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 3, 89-96.
Puspitasari, R. 2007 Laju Polutan Dalam Ekosistem Laut. Oseana, XXXII, 21 -28.
Qurthubi, S. I. A. 2008. Al-Jami'li Ahkaam Al Qur'an, Jakarta, Pustaka Azzam.
128
Rachman, A. 2007. Ananlisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Kajian Aspek
Kesehatan Masyarakat dalam Studi Amdal dan Kasus‐Kasus Pencemaran
Lingkungan. Jakarta, Indonesia BBTKL.
Rachmawati, R., Ma’ruf, W. F. & Anggo, A. D. 2013. Pengaruh Lama Perebusan
Kerang Darah (Anadara Granosa) Dengan Arang Aktif Terhadap
Pengurangan Kadar Logam Kadmium Dan Kadar Logam Timbal. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 2, 41-50.
Rahman, A. 2007. Public Health Assessment: Model Kajian Prediktif Dampak
Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. ARKL.
Jakarta, Indonesia: Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM-UI.
Rahman, A., Hartanto, B., Adi, H. K., Hermawati, E. & Setiakarnawijaya, Y. 2004.
Modul Analisis Kualitas Lingkungan Jakarta, Laboratorium Kesehatan
lingkungan Fakultas Kesehatan Masyararat, Universitas Indonesia.
Rakhmawati, A. 2010. Biosorpsi Ion Logam Kadmium Oleh Aspergillus flavus.
Jurnal Biologi, 132-145.
Ratnaningsih, A. 2014. Pengaruh Kadmium terhadap Gangguan Patologik pada
Ginjal Tikus Percobaan. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, 5, 53-63.
Riani, E. 2009. Kerang Hijau (Perna Viridis) Ukuran Kecil Sebagai "Vacum Cleaner"
Llmbah Cair Kawasan Industri Yang Masuk Ke Dalam Perairan Teluk
Jakarta. Jurnal Alami 14, 1-83.
Riani, E. 2012. Perubahan Iklim Dan Kehidupan Biota Aquatik, Indonesia, IPB
Press.
Ridwan, A. J. 2011. Analisis Logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Ikan Teri
Kering dan Ikan Asin Tengiri di Muara Angke dengan Sepktrofotomrtr
Serapan Atom. 2011, Univesitas Indonesia
RISKESDAS 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar. In: RI, K. K. (Ed.). Jakarta:
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
S.Lameshow 1991. Sample Size Determination In Health Studies A Partical Manual.
Geneva WHO.
Sanusi, H. S., Fitriati, M. & Haeruddin 2005. Peranan Padatan Tersuspensi
Mereduksi Logam Berat Hg , Pb dan Cd Terlarut dalam Kolom Air Teluk
Jakarta. Jurnal Ilmu Kelautan, 10, 72-77.
129
Sarjono, A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, Dan Hg Pada Air Dan
Sedimen Di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. 2009, Institut Pertanian
Bogor.
Setyobudiandi. 2000. sumberdaya hayati moluska kerang mytilidae. skripsi:
lanoratorium manajemen sumberdaya perikanan 2000, Institut Pertanian
Bogor
Shihab, M. Q. 2009. Tafsir Al-Mishbah Jakarta, Lentera Hati.
Sianipar, R. H. 2009. Analisis Risiko Paparan Hidrogen Sulfida pada Masyarakat
Sekitar TPA Sampah Terjun Kecamatan Medan Tahun 2009. 2009,
Universitas Sumatra Utara.
Simeonov, L. I., Kochubovski, M. V. & Simeonova, B. G. (eds.) 2011.
Environmental Heavy Metal Pollution and Effects on Child Mental
Development: Springer Science Published in cooperation with NATO Public
Diplomacy Division.
SNI 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Indonesia.
Stoeppler, M. (Ed.) 1992. Hazardous Metals In The Environment, Amsterdam -
London - New York - Tokyo: Elsevier Science Publishers B.V.
Susiyeti, F. 2010. Analisis Risiko Kesehatan Pencemaran Logam Kadmium Pada
Ikan Di Kampung Nelayan Muara Angke Kelurahan Pluit Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara. 2010 Epidemiologi Kesehatan Lingkungan,
Universitas Indonesia.
UNEP 1990. Global Environment Monitoring System. Exposure Monitoring Of Lead
And Cadmium. Geneva: WHO.
Vakily, J. M. 1989. Theplogy and Culture of Mussels of the Genus Perna. Manila,
Philippines: The International Center for Living Aquatic Resources
Management.
Wang, Z., Yan, C., Kong, H. & Wu, D. 2009. Mechanisms Of Cadmium Toxicity To
Various Trophic Saltwater Organisms. In: 978-1-60741-169-7, I. (Ed.)
Environmental Science, Engineering And Technology Series. New York Nova
Science Publishers, Inc.
Wetipo, Y. S., Mangimbulude, J. C. & Rondonuwu, F. S. 2011. Potensi Chlorella Sp
Sebagai Agen Bioremediasi Logam Berat Di Air. Jurnal Kimia, 1.
130
WHO 1972. Evaluation Of Certain Food Additives And The Contaminants Mercury,
Lead, Cadmium. In: Additives, F. W. E. C. F. (Ed.) 505 And 51 Geneva:
WHO.
WHO 1992. Exposure To Cadmium A Major Public Health Concern. Preventing
Disease Through Healthy Environments. Geneva: Public Health and
Environment, World Health Organization.
WHO 1994. Cadmium in Drinking-water. Background document for development of
WHO Guidelines for Drinking-water Quality. Ganeva: WHO.
WHO 2005. Evaluation Of Certain Food Contaminants. Geneva: Joint FAO/WHO
Expert Committee on Food Additives.
Widowati, W., Sastiono, A. & R, R. J. (eds.) 2008. Efek Toksik Logam Berat
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran, Yogyakarta: Andi Offset.
Winarno, E. K., Andayani, W. & Sumartono, A. 2008. Metil Merkuri dalam Kerang
Hijau (Mytilus viridis L.)dari Pasar Pelelangan Ikan Muara Angke: Sebelum
dan Setelah Pemasakan. Jurnal Chemical, 9, 77-83.
131
LAMPIRAN
1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER
TINGKAT EFEK KESEHATAN LINGKUNGAN KANDUNGAN LOGAM BERAT
KADMIUM (Cd) DALAM KERANG HIJAU YANG DIKONSUMSI MASYARAKAT
KALIADEM MUARA ANGKE JAKARTA TAHUN 2015
Assalamualaikum Wr.Wb
Perkenalkan saya Feela Zaki Safitri mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang sedang melakukan penelitian mengenai “Tingkat Efek Kesehatan Lingkungan
Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau yang dikonsumsi Masyarakat
Kaliadem Muara Angke Jakarta Tahun 2015”. Penelitian ini saya lakukan sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjanan Kesehatan Masyarakat.
Oleh sebab itu, saya meminta bantuan anda untuk menjadi responden dalam penelitian
ini. Saya sangat mengharapkan kesediaan waktu anda untuk dapat saya wawancarai serta
bersedia untuk dilakukan pengukuran berat badan.
Atas perhatian dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Pewawancara Responden
.......................... .........................
(Tanda Tangan/Nama Jelas) (Tanda Tangan/Nama Jelas)
132
I. Data Umum
a. Tanggal :
b. Alamat :
c. Nama :
d. Umur :
e. Pekerjaan :
f. Jenis Kelamin :
1. Laki-laki
2. Perempuan
g. Status Perkawinan :
1. Menikah
2. Belum Menikah
II. Sumber Kerang Hijau Yang Dikonsumsi:
III. Cara Memasak:
a. Dengan cangkang
b. Tanpa cangkang
IV. Variabel Antropometri dan Pola Aktifitas
a. Berat Badan : ..................kg
b. Lama tinggal di Kali Adem : .................tahun
c. Sejak usia berapa mengkonsumsi kerang hijau : ..................tahun
d. Frekuensi dan laju asupan kerang hijau:
Satu hari
(kali)
Satu minggu
(kali)
Satu bulan
(kali)
Sekali makan
(mangkok)
Satu hari
(gram)
Konsumsi
kerang hijau
Diisi oleh
peneliti
No.Responden :
133
V. Data Kesehatan
No Gejala Keracunan Kadmium Ya Tidak
1. Apakah anda mengalami mual dan diare pada 2 minggu
terakhir?
2. Apakah anda mengalami gangguan sakit kepala pada 2
minggu terakhir?
3. Apakah anda mengalami batuk 2 minggu terakhir ?
4. Apakah anda mengalami nyeri sendi pada bagian kaki dan
tulang belakang pada 2 minggu terakhir? Nyeri sendi (kaki
dan tulang belakang)
5. Apakah sesak nafas anda disertai dengan nyeri dada ?
6. Apakah anda menderita penyakit hipertensi? (tingginya
tekanan darah)
7. Apakah anda menderita penyakit atau kelainan pada fungsi
hati? (Liver)
8. Apakah anda mengalami kelaianan pada fungsi ginjal?
9. Apakah dalam 2 minggu terakhir anda menderita lemah, letih
dan lesu?
Foto food model:
134
2. Output hasil analisis univariat
Descriptives
Statistic Std. Error
R
Mean 16,3364 1,59677
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 13,1902
Upper Bound 19,4826
5% Trimmed Mean 13,0059
Median 4,7100
Variance 586,423
Std. Deviation 24,21618
Minimum ,03
Maximum 96,18
Range 96,15
Interquartile Range 18,09
Skewness 2,002 ,160
Kurtosis 3,280 ,320
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
R ,262 230 ,000 ,677 230 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
C
Mean ,08364 ,003467
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound ,07591
Upper Bound ,09136
5% Trimmed Mean ,08482
Median ,08600
Variance ,000
Std. Deviation ,011500
Minimum ,052
Maximum ,094
Range ,042
Interquartile Range ,009
Skewness -2,369 ,661
Kurtosis 6,542 1,279
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
C ,253 11 ,048 ,728 11 ,001
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
FE
Mean 104,9297 8,21612
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 88,7408
Upper Bound 121,1185
5% Trimmed Mean 96,2174
Median 52,0000
Variance 15526,060
Std. Deviation 124,60361
135
Minimum ,50
Maximum 365,00
Range 364,50
Interquartile Range 144,00
Skewness 1,304 ,160
Kurtosis ,254 ,320
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
FE ,265 230 ,000 ,733 230 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
DT
Mean 17,5909 ,86078
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 15,8948
Upper Bound 19,2869
5% Trimmed Mean 16,9203
Median 15,0000
Variance 170,416
Std. Deviation 13,05437
Minimum ,30
Maximum 57,00
Range 56,70
Interquartile Range 21,25
Skewness ,615 ,160
Kurtosis -,425 ,320
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
DT ,137 230 ,000 ,940 230 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
BB
Mean 57,0533 ,80972
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 55,4579
Upper Bound 58,6488
5% Trimmed Mean 56,8618
Median 57,2250
Variance 150,800
Std. Deviation 12,28007
Minimum 24,30
Maximum 98,75
Range 74,45
Interquartile Range 16,25
Skewness ,210 ,160
Kurtosis ,370 ,320
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
BB ,034 230 ,200* ,994 230 ,510
136
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
INTAKE
Mean ,0977395 ,01685281
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound ,0645331
Upper Bound ,1309459
5% Trimmed Mean ,0478236
Median ,0040427
Variance ,065
Std. Deviation ,25558553
Minimum ,00000
Maximum 1,53138
Range 1,53138
Interquartile Range ,04308
Skewness 3,663 ,160
Kurtosis 13,725 ,320
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
INTAKE ,351 230 ,000 ,432 230 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
PEDAGANG 2 ,9 ,9 ,9
BURUH 68 29,3 29,3 30,2
IRT 82 35,3 35,3 65,5
NELAYAN 23 9,9 9,9 75,4
PEDAGANG 27 11,6 11,6 87,1
PEGAWAI 1 ,4 ,4 87,5
PELAJAR 12 5,2 5,2 92,7
SWASTA 7 3,0 3,0 95,7
WIRASWASTA 10 4,3 4,3 100,0
Total 232 100,0 100,0
KATEGORIUSIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
>34 114 49,6 49,6 49,6
<34 116 50,4 50,4 100,0
Total 230 100 100,0
STATUS
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
MENIKAH 203 88,3 88,3 88,3
BELUM MENIKAH 27 11,7 11,7 100,0
Total 230 100,0 100,0
GENDER
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid LAKI-LAKI 56 24,3 24,3 24,3
137
PEREMPUAN 174 75,7 75,7 100,0
Total 230 100,0 100,0
MEMASAK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
0 3 1,3 1,3 1,3
DENGAN CANGKANG 112 48,7 48,7 50,0
TANPA CANGKANG 115 50,0 50,0 100,0
Total 230 100,0 100,0
3. Output hasil analisis bivariat
KATEGORIBB * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIBB
>57,22 Count 42 75 117
% within RQREAL 46,7% 53,6% 50,9%
<57,22 Count 48 65 113
% within RQREAL 53,3% 46,4% 49,1%
Total Count 90 140 230
% within RQREAL 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,045a 1 ,307
Continuity Correctionb ,787 1 ,375
Likelihood Ratio 1,046 1 ,307 Fisher's Exact Test ,345 ,188 Linear-by-Linear Association 1,040 1 ,308 N of Valid Cases 230
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 44,22. b. Computed only for a 2x2 table
KATEGORIR * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIR
>4,77 Count 6 109 115
% within RQREAL 6,7% 77,9% 50,0%
<4,77 Count 84 31 115
% within RQREAL 93,3% 22,1% 50,0%
Total Count 90 140 230
% within RQREAL 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 111,057a 1 ,000
Continuity Correctionb 108,228 1 ,000
Likelihood Ratio 126,721 1 ,000 Fisher's Exact Test ,000 ,000 Linear-by-Linear Association 110,574 1 ,000 N of Valid Cases 230
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 45,00. b. Computed only for a 2x2 table
138
KATEGORIFE * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIFE
>52 Count 2 90 92
% within RQREAL 2,2% 64,3% 40,0%
<52 Count 88 50 138
% within RQREAL 97,8% 35,7% 60,0%
Total Count 90 140 230
% within RQREAL 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 87,923a 1 ,000
Continuity Correctionb 85,356 1 ,000
Likelihood Ratio 107,912 1 ,000 Fisher's Exact Test ,000 ,000 Linear-by-Linear Association 87,541 1 ,000 N of Valid Cases 230
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,00. b. Computed only for a 2x2 table
KATEGORIDT * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIDT
>15 Count 37 85 122
% within RQREAL 41,1% 60,7% 53,0%
<15 Count 53 55 108
% within RQREAL 58,9% 39,3% 47,0%
Total Count 90 140 230
% within RQREAL 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8,452a 1 ,004
Continuity Correctionb 7,683 1 ,006
Likelihood Ratio 8,486 1 ,004 Fisher's Exact Test ,004 ,003 Linear-by-Linear Association 8,415 1 ,004 N of Valid Cases 230
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 42,26. b. Computed only for a 2x2 table
KATEGORIIN * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIIN
>0,004 Count 0 99 99
% within RQREAL 0,0% 70,7% 43,0%
<0,004 Count 90 41 131
% within RQREAL 100,0% 29,3% 57,0%
Total Count 90 140 230
% within RQREAL 100,0% 100,0% 100,0%
139
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 111,739a 1 ,000
Continuity Correctionb 108,874 1 ,000
Likelihood Ratio 145,068 1 ,000 Fisher's Exact Test ,000 ,000 Linear-by-Linear Association 111,254 1 ,000 N of Valid Cases 230
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38,74. b. Computed only for a 2x2 table
KATEGORIC * RQREAL Crosstabulation
RQREAL Total
TIDAK BERISIKO BERISIKO
KATEGORIC
>0,083 Count 2 5 7
% within KATEGORIC 28,6% 71,4% 100,0%
<0,083 Count 2 2 4
% within KATEGORIC 50,0% 50,0% 100,0%
Total Count 4 7 11
% within KATEGORIC 36,4% 63,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square ,505a 1 ,477
Continuity Correctionb ,004 1 ,953
Likelihood Ratio ,500 1 ,480 Fisher's Exact Test ,576 ,470 Linear-by-Linear Association ,459 1 ,498 N of Valid Cases 11
a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,45. b. Computed only for a 2x2 table