1
THYROTOXIC PERIODIC PARALYSIS
Melati Silvanni Nasution, M Aron Pase, Santi Syafril, Dharma Lindarto, Guntur Ginting
Divisi Endokrinologi & Metabolik FK USU-RSUPHAM
Definisi
Thyrotoxic periodic paralysis (TPP) adalah paralisis lokal ataupun general yang
terjadi secara episodik dan berulang disertai dengan hipokalemia dan memiliki kaitan dengan
komplikasi tirotoksikosis.1,2 TPP merupakan suatu kondisi yang serius dan merupakan
komplikasi hipertiroidisme yang berpotensi fatal akibat dari perpindahan kalium dalam
jumlah besar dari ruang ekstraseluler ke intraseluler. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada
laki-laki keturunan Asia. Kebanyakan dari pasien-pasien TPP ini justru tidak mengalami
secara jelas gejala dan tanda hipertiroidisme.2,3
Epidemiologi
TPP merupakan suatu komplikasi tirotoksikosis yang cukup dikenal pada populasi
masyarakat di Asia termasuk Cina, Jepang, Vietnam, Filipina dan Korea. Angka kejadinnya
pada pasien dengan tirotoksikosis di jepang dan cina adalah 1,8 dan 1,9%.3 Sedangkan secara
keseluruhan, di Asia dijumpai insidensi TPP sebanyak 2% dari seluruh populasi penderita
tirotoksikosis.4 Angka kejadian secara keseluruhan di seluruh wilayah negara-negara Barat
tidak diketahui, namun di Amerika Utara, angka kejadiannya pada pasien tirotoksikosis
dilaporkan sebesar 0,1-0,2%. Beberapa kasus yang terjadi secara sporadis pernah dilaporkan
pada penduduk ras Kaukasia, Afro-Amerika, Indian-Amerika, serta Hispanik. Populasi
masyarakat Indian-Amerika diperkirakan memiliki resiko lebih tinggi terhadap kejadian TPP,
hal ini disebabkan adanya bukti bahwa nenek moyang masyarakat indian-amerika berasal
dari Asia yang bermigrasi ke Amerika Utara 11.000-23.000 tahun yang lalu.3
2
Meskipun tirotoksikosis sendiri lebih banyak dijumpai pada populasi wanita, namun
angka kejadian TPP sendiri lebih sering dijumpai pada laki-laki. Di Cina pada tahun 1967,
TPP terjadi pada 13% pasien tirotoksikosis sedangkan pada wanita hanya 0,17%. Pada tahun
1957, beberapa publikasi menuliskan insidensi TPP pada penderita tirotoksikosis di Jepang
yakni 8,67% pada pria dan 0,4% pada wanita. Secara keseluruhan, rasio angka kejadian TPP
antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 17:1 hingga 70:1. Namun belakangan ini
terdapat penurunan insidensi TPP di jepang pada tahun 1991 yakni sebesar 4,4% pada laki-
laki dan 0,04% pada perempuan.2,3
Patogenesis
Patogenesis TPP hingga saat ini masih belum jelas. Hipokalemia terjadi sebagai
akibat perpindahan kalium yang masif dari kompartemen ekstraseluler ke intraseluler
terutama sel otot. Hal ini terjadi diyakini sebagai akibat peningkatan aktifitas pompa natrium-
kalium-adenosin trifosfatase (Na/K-ATPase) (gambar 1). Berbagai data menunjukkan adanya
peningkatan dalam jumlah serta aktifitas pompa Na/K-ATPase pada pasien TPP. Peningkatan
jumlah dan aktifitas tersebut berbeda signifikan dengan pasien tirotoksikosis tanpa TPP. Jika
keadaan tirotoksikosisnya telah berhasil dikendalikan, maka aktifitas Na/K-ATPase akan
kembali pada kadar yang serupa dengan orang normal. Hormon tiroid dapat meningkatkan
aktifitas Na/K-ATPase pada otot rangka, hati dan ginjal sehingga menyebabkan influks
kalium ke ruang intraseluler. Subunit Na/K-ATPase yang terutama diekspresikan pada
keadaan ini antara lain subunit α1, α2, β1, β2, dan β4. Pada kelima gen subunit ini terlihat
adanya peningkatan aktifitas thyroid hormone-responsive elements (TREs). Peningkatan
aktifitas Na/K-ATPase oleh hormon tiroid ini terjadi melalui mekanisme transkripisional dan
paska-transkripsional.3
3
Gambar 1. Mekanisme kelemahan otot akut pada thyrotoxic periodic paralysis. Dikutip dari: Lam L, Nair R J,
Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. Proc (Bayl Univ Med Cent) 2006;19:126–129
Peningkatan aktifitas dan jumlah pompa Na/K-ATPase dan pengaruhnya terhadap
kecepatan influks kalium semestinya dapat diimbangi dengan proses homeostasis dimana
efluks kalium juga seharusnya meningkat. Oleh karena itu, seharusnya terdapat faktor lain
yang berperan dimana pada TPP terjadi pula gangguan proses efluks kalium. Beberapa studi
menunjukkan pada kasus TPP dan FHPP terjadi penurunan efluks kalium melalui gerbang
Kir pada sel-sel otot interkostal. Selain itu, diketahui bahwa insulin dan katekolamin juga
ternyata tidak hanya meningkatkan kerja Na/K-ATPase namun memiliki efek menghambat
gerbang Kir juga. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat mutasi gen yang
mengkode gerbang Kir yang spesifik pada otot rangka yakni Kir2.6 pada pasien TPP. Hal ini
berkaitan dengan serangan akut paralisis.5
4
Gambar 2. Penurunan jumlah gerbang efluks kalium. Peningkatan aktifitas Na/K-ATPase menyebabkan
hipokalemia inisial, sementara penurunan gerbang keluar Kir disebabkan oleh hipokalemia inisial itu sendiri,
mutasi yang mengakibatkan penurunan fungsi, serta inhibisi hormon (insulin, adrenergik) sehingga kalium
terperangkap dalam sel. Dikutip dari : Vijayakumar A, Ashwath G, Thimmappa D. Thyrotoxic periodic
paralysis: clinical challenges. Hindawi Publishing Corporation. Journal of Thyroid Research Volume 2014,
Article ID 649502, 6 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/649502
Selain itu, hormon tiroid juga dapat mempengaruhi Na/K-ATPase melalui rangsangan
katekolamin. Hal ini dikarenakan pada tirotoksikosis, terdapat peningkatan respon β-
adrenergik, sehingga pengobatan dengan agen penghambat β-adrenergik non-selektif dapat
mencegah dan mengobati serangan paralisis. Selain peningkatan respon adrenergik, pada
pasien TPP terdapat respon insulin yang berlebihan terhadap masukan glukosa oral
dibandingkan dengan pasien dengan tirotoksikosis tanpa TPP. Insulin telah diketahui mampu
untuk meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase, oleh karena itu dapat dimengerti bagaimana
insulin dapat menyebabkan influks kalium ke intrasel. Respon hirperinsulinemia inilah yang
menjelaskan hubungan antara TPP dengan riwayat konsumsi makanan berkarbohidrat tinggi
ataupun cemilan-cemilan manis. Selanjutnya, olahraga merupakan suatu keadaan yang dapat
melepaskan kalium ke ekstrasel dari sel-sel otot rangka sedangkan istrahat akan mendorong
pengembalian kalium ke dalam sel. Hal ini menjelaskan mengapa beistirahat setelah olahraga
5
dapat mencetuskan terjadinya serangan paralisis dan bila olahraga tetap dilanjutkan, maka
serangan paralisis dapat dicegah.2,3
Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa pasien-pasien TPP memiliki beberapa faktor
predisposisi (pemicu) yang dapat meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase, baik melalui
rangsangan hormon tiroid secara langsung, ataupun secara tidak langsung melalui stimulasi
adrenergik, insulin dan aktifitas fisik.3
Gambaran Klinis
Pasien TPP biasanya laki-laki dewasa berusia 20-40 tahun, namun demikian ada pula
yang melaporkan kejadiannya pada usia remaja. Serangannya berupa kelemahan otot mulai
dari ringan hingga kelumpuhan total yang bersifat episodik, sementara dan berulang (tabel 1).
2,3
Tabel 1. Diagnosis TPP
Manifestasi klinis TPP
Gambaran umum
Laki-laki usia dewasa muda (20-40 tahun)
Sporadis, tidak ditemukan anggota keluarga yang memiliki gejala yang serupa
Paralisis akut berulang yang kembali sembuh sempurna
Keterlibatan anggota gerak > batang tubuh
Dipicu oleh asupan karbohidrat dalam jumlah besar, diet tinggi garam, alkohol serta aktifitas fisik berat
Riwayat hipertiroidisme pada keluarga
Gambaran klinis hipertiroidisme (lebih sering tidak terlalu jelas)
Pemeriksaan Laboratorium
Hipokalemia, hipofosfatemia serta hipomagnesemia (ringan)
Keseimbangan asam basa normal
Jumlah ekskresi kalium rendah (rasio kalium dan kreatinin urin rendah, TTKG rendah)
Hipofoasfaturia
Hiperkalsiuria
Pemeriksaan tiroid abnormal (TSH rendah, T4 dan T3 total maupun bebas meningkat, ambilan T3 meningkat)
Elektrodiagnostik
Elektrokardiograf
Sinus takikardia
6
Perubahan terkait hipokalemia : gelombang U prominen, interval PR memanjang, amplitudo gelombang
P meningkat, kompleks QRS melebar
Blok atrioventrikuler derajat satu
Aritmia atrium dan ventrikuler
Elektromiografi : gabungan potensial aksi otot gelombang rendah tanpa adanya perubahan setelah
pemberian epinefrin
TTKG : transtubular potassium gradien (merupakan indeks semikuantitatif aktifitas sekretori kalium yang
dapat dihitung dengan rumus [K+ urin/(osmolalitas urin/osmolalitas plasma)]/K+ plasma); TSH : Thyroid
stimulating hormone; T4: tiroksin serum: T3: triiodotironin. Dikutip dari: Vijayakumar A, Ashwath G,
Thimmappa D. Thyrotoxic periodic paralysis: clinical challenges. Hindawi Publishing Corporation. Journal of
Thyroid Research Volume 2014, Article ID 649502, 6 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/649502.
Goldberger ZD. An electrocardiogram triad in thyrotoxic periodic paralysis. Circulation. 2007;115:e179-
e180. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.106.652396.
Keterlibatan otot-otot proksimal lebih berat dibanding dengan otot-otot distal. Gejala
yang muncul awalnya menyerang ekstremitas bawah kemudian berlanjut ke otot panggul dan
ekstremitas atas. Fungsi sensoris tidak terganggu. Otot-otot yang terlibat bisa saja tidak
simetris. Kelumpuhan yang terjadi saat pasien datang ke dokter dapat berupa tetraparesis
yang menyerupai sindroma Gullain-Barre, mielitis transversum serta kompresi akut sumsum
tulang ataupun histeria. Fungsi saluran cerna dan saluran kemih tidak pernah terganggu. Otot-
otot pernafasan jarang terlibat namun kelumpuhan total otot-otot pernafasan serta mata
pernah dilaporkan pada serangan yang berat. durasi serangan dapat berlangsung dalam
beberapa jam hingga 72 jam, dimana terdapat episode sembuh sempurna di antara serangan.
Serangan yang terjadi dapat didahului dengan gejala-gejala prodromal seperti nyeri, kram,
serta kaku pada otot yang terlibat. Pada kebanyakan pasien, didapati penurunan yang nyata
bahkan menghilangnya refleks tendon dalam.3
Serangan TPP biasanya muncul beberapa jam setelah pasien makan dalam jumlah
yang banyak, cemilan-cemilan manis, alkohol, aktiitas fisik berat ataupun saat bangun pagi
hari. Serangan yang terjadi akibat dipicu oleh olahraga yang berat terjadi bukan di saat
pasien tersebut berolahraga namun saat pasien beristirahat, dan serangan tersebut bisa saja
tidak terjadi jika pasien melanjutkan kembali olahraganya. Pada daerah subtropis, variasi
7
jumlah kasus pada tiap musim kemungkinan terjadi akibat adanya peningkatan jumlah
aktifitas di luar rumah atau jumlah konsumsi minuman yang manis saat musim panas. TPP
hanya terjadi jika pasien dalam kondisi hipertiroidisme. Jika kadar hormon tiroid sudah
mencapai nilai normal (eutiroid), maka serangan tidak akan muncul. Kelumpuhan yang
terjadi pada TPP mirip dengan gejala yang juga terjadi pada familial hypokalemic periodic
paralysis (FHPP) kecuali bahwa pada TPP terdapat bukti hipertiroidisme (tabel 2).3,4 Selain
itu, TPP merupakan suatu kondisi yang diturunkan secara autosomal dominan pada ras
kaukasia sedangkan TPP merupakan suatu penyakit yang sporadis dan jarang diturunkan
secara familial.2,3
Tabel 2. Perbedaan antara TPP dan FHPP
TPP FHPP
Usia (tahun)
Distribusi jenis kelamin
Hereditas
Etnisitas
Riwayat keluarga
Gambaran klinis hipertiroidisme
Predisposisi genetik
20-40
Predominan laki-laki
Sporadis
Asia, Indian-Amerika/Hispanik,
Kaukasia
Riwayat tirotoksikosis
Ada
Berkaitan dengan SNPs dari Cav1.1
(-476A G, intron 2 nt 57G
A, intron 26 nt 67A G)
<20
Tidak berbeda
Autosomal dominan
Kaukasia, Asia
Riwayat paralisis hipokalemik
Tidak ada
Mutasi Cav1.1 (R5258H, R1239H,
R1239G), Nav1.4 (R669H,
R672G, R672H), Kv3.4 (R83H)
TPP : Thyrotoxic periodic paralysis, FHPP : Familial hypokalemic periodic paralysis. Dikutip dari: Lam L,
Nair R J, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. Proc (Bayl Univ Med Cent) 2006;19:126–129
Pemeriksaan Penunjang
Hipertiroidisme
Adanya bukti hipertiroidisme merupakan perbedaan yang mendasar antara TPP dan
FHPP. Hormon tiroid pada sebagian besar pasien TPP hanya meningkat sedikit. Studi-studi
sebelumnya menunjukkan hanya 10% penderita TPP dengan gejala tirotoksikosis, sedangkan
selebihnya tanpa gejala. Hal yang demikian mnyebabkan TPP sulit didiagnosis pada awal
8
pemeriksaan. Mayoritas kasus hipertiroidisme yang berkaitan dengan TPP adalah penyakit
Graves, meskipun kondisi lain seperti tiroiditis, struma nodular toksik, adenoma toksik,
tumor pituitari yang mensekresi TSH, mengkonsumsi preparat T4, serta kesalahan dalam
pemberian Iodine dapat pula bertindak sebagai penyebab.3
Elektrolit
Tanda utama dari TPP adalah hipokalemia. Nilai kalium pada saat pemeriksaan awal
biasanya kurang dari 3 mmol/liter bahkan bisa mencapai 1,1 mmol/liter. Kadang-kadang,
apabila pasien telah memasuki fase penyembuhan dari paralisisnya, kalium serum dapat
kembali normal. Hipokalemia terjadi bukan akibat kehilangan kalium dari tubuh melainkan
akibat perpindahan yang masif ke dalam sel. Ekskresi kalium urin pada keadaan ini normal
atau justru rendah, sementara keseimbangan asam basa juga normal. Demikian pula tidak
dijumpai kehilangan kalium dari feses pada keadaan ini. beratnya paralisis memiliki korelasi
positif dengan beratnya hipokalemia, namun beratnya hipokalemia tidak memiliki kaitan
dengan beratnya tirotoksikosis ataupun tingginya kadar hormon tiroid. Aritmia ventrikuler
yang mengancam jiwa dan berakibat fatal akibat hipokalemia pernah dilaporkan.3
Selain hipokalemia, dapat pula terjadi hipofosfatemia dan hipomagnesemia.
Hipofosfatemia yang terjadi bervariasi mulai dari ringan hingga sedang (0,36-0,77
mmol/liter). Kadar fosfat serum ini dapat kembali normal jika pasien telah memasuki fase
penyembuhan meskipun tanpa suplementasi. Hal ini telah dipastikan berdasarkan terjadinya
hiperfosfatemia rebound pada pasien yang telah memasuki fase penyembuhan setelah
sebelumnya mendapat terapi preparat fosfat. Pada TPP, hipofosfatemia yang terjadi
kemungkinan akibat influks fosfat ke dalam sel mengikuti proses transport masuknya kalium.
Proses terjadinya hipomagnesemia juga hampir sama dengan hipofosfatemia, namun influks
magnesium ke dalam sel lebih disebabkan karena peningkatan aktifitas katekolamin yang
9
dilepas selama adanya stress. Pemeriksaan elektrolit urin akan didapat hiperkalsiuruia serta
hipofosfaturia.3,4
Pada duapertiga TPP dapat dijumpai juga adanya peningkatan kadar kreatinin
fosfokinase yang berasal dari otot, khususnya jika faktor pemicunya adalah aktifitas fisik.
Komplikasi berupa rhabdomiolisis juga dapat terjadi pada serangan yang berat.3
Pemeriksaan elektrodiagnostik
Elektromiogram (EMG) yang dilakukan saat kelemahan/kelumpuhan spontan sedang
berlangsung akan menunjukkan gambaran khas perubahan miopati dengan gambaran
penurunan amplitudo potensial aksi gabungan otot rangka, hal ini tidak akan berubah setelah
pemberian/stimulasi epinefrin. Sintem konduksi syaraf dalam keadaan ini terlihat normal
termasuk juga tidak terdapat keterlibatan sistem syaraf tepi. Sama halnya dengan FHPP, uji
latihan dapat menghasilkan abnormalitas pada gambaran EMG pada saat munculnya
paralisis. Gangguan respon otot ini, dapat membaik jika pasien dalam keadaan eutiroid.3
Gambaran abnormal pada elektrokargiogram (EKG) lebih banyak dijumpai pada TPP
dibandingkan pada hypokalemic periodic paralysis akibat penyebab lainnya. Kelainan-
kelainan EKG yang dapat ditemukan pada TPP antara lain : sinus takikardia, gelombang U
yang menonjol, pemanjangan interval PR, peningkatan amplitudo gelombang P, peningkatan
voltase QRS, kompleks QRS yang melebar, aritmia ventrikel, serta blok atriventrikuler
derajat satu.3,4,7
10
Gambar 3. EKG 12 sadapan memperlihatkan irama sinus takikardia, pemanjangan interval PR : 240 ms
(sebagian gelombang P tertutupi oleh kompleks gelombang repolarisasi sebelumnya), depresi segmen ST serta
pemanjangan interval QT-U : 440 ms. Dikutip dari: Goldberger ZD. An electrocardiogram triad in thyrotoxic
periodic paralysis. Circulation. 2007;115:e179-e180. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.106.652396
Diagnosa Banding
Diagnosa banding kelumpuhan akut/paralisis yang terjadi tanpa mengetahui nilai
kalium serum dapat mencakup pada gangguan tautan neuromuskuler, penyakit-penyakit saraf
spinalis, polineuropati, miopati akut primer serta gangguan psikiatrik maupun gangguan
fungsional (tabel 3).8
Tabel 3. Diagnosa banding kelumpuhan akut
Diagnosa banding kelumpuhan akut
Gangguan tautan neuromuskuler
Myasthenia gravis
Intoksikasi organofosfat
Intoksikasi botulismus
Sindroma Eaton-Lambert
Penyakit saraf spinalis
Mielitis transversal
Poliomielitis
Tumor metastasis
Tumor primer tulang belakang
11
Sklerosis lateral amiotropik
Polineuropati
Paralisis periodik
Gangguan elektrolit
Mioglobinuria
Polimiositis
Miopati alkoholik
Distropi muskuler
Gangguan psikiatik dan fungsional
Pura-pura sakit
Gangguan konversi
Sindroma Munchausen
Dikutip dari : Wimmer PJ, Mannow AE, Bredenderg AE. Thyrotoxic periodic paralysis. Hospital Physician,
July 2001; hal 53-57 , 69.
Diagnosa banding hipokalemia dapat dilihat berdasarkan proses terjadinya
hipokalemia tersebut. Kalium dapat berkurang akibat pergeseran trans-seluler, kehilangan
kalium melalui ginjal ataupun gastrointestinal (tabel 3). Secara umum paralisis periodik
hipokalemik (hypoPP) dapat dibagi menjadi hypoPP familial dan non-familial. hypoPP
familial lebih banyak terjadi ada kelompok ras kaukasia non-hispanik sedangkan hypoPP
non-familial termasuk juga TPP seperti telah disebutkan lebih banyak pada negara-negara
Asia.4,5
Tabel 4. Diagnosa banding paralisis hipokalemik
Proses ketidakseimbangan kalium Penyebab
Pergeseran tran-seluler Obat-obatan (tokolitik, toksisitas teofilin, toksisitas kloroquin,
kelebihan dosis insulin
Thyrotoxic periodic paralysis
Familial periodic paralysis
Sporadic periodic paralysis
Keracunan barium
Kehilangan kalium melalui ginjal Obat-obatan : diuretik
Hiperaldosteronisme primer
Pseudohiperaldosteronisme : konsumsi akar manis
12
Sindroma Bartter, sindroma Gitelman
Renal tubular asidosis
Lain-lain : Sindroma nefrotik, nekrosis tubular akut, ketoasidosis
diabetik, serta ureterosigmoidostomi
Kehilangan kalium melalui saluran
gatrointestinal
Penyakit celiac,
Tropical sprue
Diare infeksius : enteritis karena Salmonella, enteritis karena
Strongyloides, enterokolitis karena Yersinia
Sindroma short bowel
Dikutip dari : Vijayakumar A, Ashwath G, Thimmappa D. Thyrotoxic periodic paralysis: clinical challenges.
Hindawi Publishing Corporation. Journal of Thyroid Research Volume 2014, Article ID 649502, 6 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2014/649502. Wimmer PJ, Mannow AE, Bredenderg AE. Thyrotoxic periodic
paralysis. Hospital Physician, July 2001; hal 53-57 , 69.
Penatalaksanaan
Pada saat serangan paralisis dan disertai hipokalemia yang nyata, pemberian
suplementasi kalium klorida (KCl) dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi berat
kardiopulmonal. KCl yang diberikan dapat melalui jalur intravena, oral maupun keduanya
(tabel 3). Dosis KCl yang diperlukan bervariasi mulai dari 40-200 mEq per hari. Penelitian
memperlihatkan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai fase pemulihan lebih cepat
dicapai dengan pemberian suplementasi kalium dibandingkan dengan pemberian infus saline
saja, meskipun terdapat pula penelitian lain yang memperlihatkan tidak ada korelasi yang
signifikan antara dosis kalium yang diberikan dengan nilai awal kalium serta pulihnya
kelemahan otot. Pemberiran kalium dalam jumlah yang terlalu besar dapat menyebabkan
hiperkalemia rebound pada masa pemulihan dimana kalium masuk kembali ke intravaskular.
Dalam sebuah studi disebutkan bahwa 40% pasien yang diberikan infus KCl mengalami
hiperkalemia rebound khususnya yang mendapat KCl >90 mEq pada 24 jam pertama,
sedangkan pemberian KCl <50 mEq jarang menyebabkan hiperkalemia rebound. Pemberian
KCl sebaiknya dilakukan dengan kecepatan yang lambat (<10 mEq/jam) kecuali telah terjadi
13
komplikasi kardiopulmonal. Pemberian suplemen kalium dalam rangka profilaksis tidak
bermanfaat dan tidak dianjurkan dalam mencegah serangan paralisis berikutnya.3,9
Tabel 5. Penanganan TPP
Penanganan TPP
Penanganan kegawatdaruratan
Pengganti Kalium
KCl 10 mEq/jam iv dan/atau KCl 2 g tiap jam oral
Pantau kadar kalium serum, hindari hiperkalemia rebound
Propanolol 3-4mg/kgbb oral
Cegah serangan ulang
Hindari faktor pencetus (asupan karbohidrat jumlah besar, tinggi garam, alkohol, aktifitas fisik berat)
hingga keadaan eutiroid tercapai
Propanolol 20-80 mg tiap 8 jam oral
Tentukan penyebab TPP
Terapi definitif terhadap hipertiroidisme dengan obat anti-hipertiroid/tiroidektomi/radioiodin
Dikutip dari: Lam L, Nair R J, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. Proc (Bayl Univ Med Cent)
2006;19:126–129
Pemberian propanolol (penghambat adrenergik-β nonselektif) baik secara oral
maupun intravena dapat digunakan sebagai terapi pilihan untuk mengurangi gejala paralisis
tanpa kekhawatiran munculnya hiperkalemia rebound serta peningkatan fosfat serum. Dalam
sebuah uji coba, pemberian propanolol oral dosis tinggi (3-4 mg/kgbb) dapat menghentikan
serangan paralisis dengan cepat. Selain itu, propanolol juga terbukti mampu mencegah
serangan paralisis bahkan setelah konsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak. Propanolol
harus tetap diberikan sampai dicapai kondisi eutiroid.3,4
Mempertahankan pasien dalam kondisi eutiroid merupakan penatalaksaan yang utama
pada pasien TPP. Sebab serangan paralisis pada TPP tidak pernah terjadi pada keadaan
eutiroid. Penyebab hipertiroid harus segera diidentifikasi. Terapi defenitif seperti iodin
radioaktif ataupun tiroidektomi harus dilakukan jika penyebabnya diketahui adalah penyakit
Graves, struma multinodular, ataupun adenoma toksik. Pasien harus dianjurkan untuk
14
menghindari berbagai faktor pencetus seperti konsumsi karbohidrat dalam jumlah tinggi, diet
tinggi garam, minuman alkohol, serta olahraga/aktifitas yang terlampau berat hingga kondisi
hipertiroid telah teratasi. Penghambat-β nonselektif perlu diberikan bersamaan dengan
preparat antitiroid baik di awal pengobatan ataupun setelah tindakan pemberian radioaktif
iodin namun belum mencapai kondisi eutiroid.3
Kesimpulan
TPP merupakan kondisi yang lebih sering dijumpai di Asia. Diagnosis pada awal
pemeriksaan cenderung terlambat akibat gambaran klinis tirotoksikosis yang sering tidak
jelas dan gambaran paralisis yang mirip dengan tipe paralisis lain yang lebih sering terjadi.
Diagnosis dan penanganan yang cepat sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi
kardiopulmonal. TPP merupakan suatu kondisi penyakit yang dapat ditangani secara baik jika
status eutiroid dapat dicapai.3,4
15
Daftar Pustaka
1. “Thyrotoxic periodic paralysis”, Dorland’s illustrated medical dictionary, 32nd ed.
Elsevier Saunders, Philadelphia 2012.
2. Kung AWC (2006). Thyrotoxic periodic paralysis: A diagnostic challange. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism 91(7):2490–2495. doi: 10.1210/jc.2006-0356
3. Lam L, Nair R J, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. Proc (Bayl Univ Med Cent)
2006;19:126–129
4. Ling SH, Huang CL. Mechanism of thyrotoxic periodic paralysis. American Society of
Nephrology. 23: ccc–ccc, 2012. doi: 10.1681/ASN.2012010046
5. Vijayakumar A, Ashwath G, Thimmappa D. Thyrotoxic periodic paralysis: clinical
challenges. Hindawi Publishing Corporation. Journal of Thyroid Research Volume 2014,
Article ID 649502, 6 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/649502
6. Goldberger ZD. An electrocardiogram triad in thyrotoxic periodic paralysis. Circulation.
2007;115:e179-e180. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.106.652396
7. Wimmer PJ, Mannow AE, Bredenderg AE. Thyrotoxic periodic paralysis. Hospital
Physician, July 2001; hal 53-57 , 69.
8. Lulsegged A, Wlodek C, Rossi M. Thyrotoxic periodic paralysis. Case reports and an up-
to-date review of the literature. Hindawi Publishing Corporation. Case Reports in
Endocrinology. Volume 2011, Article ID 867475, 4 pages. doi:10.1155/2011/867475
9. McFadzean AJS, Yeung R. (1967). Periodic paralysis complicating thyrotoxicosis in
Chinese. Br Med J 1:451–455