Download - Tetanus Gilo
Latar Belakang
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai
oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani.
Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian
pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun
terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata
laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk
didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap.
Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO,
penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh
dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.6
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi.
Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir
sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka
lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—
misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko
mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua
masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.3,7 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan
50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di
perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-
40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan
sisanya pada bayi <12 bulan.1,8
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak. 9 Meskipun
insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain
itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan
meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan
kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita
tetanus, khususnya pada anak.
1.2 Permasalahan Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia,
insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat
disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat,
angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus
meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik
untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan
penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal
sehingga angka kematian dapat diturunkan. Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka. Saat ini imunisasi yang aman
dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia, sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan
pada akhirnya akan semakin menurunkan angka kejadian tetanus.
.Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang
disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang
belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.8,10
3.2. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat :
Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan
menggunakan flagela
Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan
desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di
daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen.
Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam
autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia
lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. 1 ,11
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari,
dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus
dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan
pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah,
lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.1
3.3. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.
Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang
rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular
dari manusia ke manusia.10,12
3.4. Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora)
sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port
d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :10
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk
kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya
sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak
dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang
dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus
disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate
di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan
dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar
gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. 11,14
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder
saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.
Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses
perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi
sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada
tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan
menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. 10
Dampak toksin antara lain : 10
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur
antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan
kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang
berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.
3.5 Gejala Klinis Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga
beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat
luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi
akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.10,12
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1,10
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak
disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw,
diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.
Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme
dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.
Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi.
Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi
dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala
terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga
tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang
dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.
Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat
melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi
empat (4) tingkatan.
3.6 Penegakan Diagnosis Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan
laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan
terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).15,16 3.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 10
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan
binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang
pertama (period of onset)?
3.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :10,17
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada
neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek.
Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak
tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan
trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang
misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun ―masa istirahat‖ spasme makin
pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis.
Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya,
badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau
oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan
suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio
alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung
yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan
bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang
tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18
3.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1,10,10
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C.
tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien
tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif
tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak
adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
3.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.19 Diagnosis bandingnya adalah
sebagai berikut : 10 1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal. 2. Tetani
disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal. 3. Keracunan striknin : minum
tonikum terlalu banyak (pada anak). 4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi. 5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh
mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris. 3.8. Komplikasi
Tetanus Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di
beberapa RS di Indonesia.
3.9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 11,12
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf.
Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang
menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan
pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih
dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan
―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama
pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum
akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi,
menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga
seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti
tetanus.9 3.9.1. Tatalaksana Umum 9
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai
hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan
terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme
harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk
anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk
bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak
dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya
dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis
yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap
(berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan
sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter
gigi/THT.
3.9.2 Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis ATS yang dianjurkan adalah
100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada
tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.
Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk
bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat
sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous
Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human
immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain
penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang berganti-ganti,
hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol
spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat
kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi
menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur
terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga
minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal.
Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid
tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut
sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi
gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. 8,11,14 Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.
2. Antibiotika 10,14
a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di
beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis
30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk
anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin
G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada
semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan
perbandingan antara penisilin dan metronidazol.
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.
Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi
toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.
4.0 Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut :
Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi
akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering
dihisap, dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika
anak dalam keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif
anak (ICU). Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan
emergensi harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah dijangkau.23,24,21
Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat diberikan per oral dalam bentuk
makanan cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk
cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu diberikan paling tidak dua kali sehari.23
2. Asuhan Keperawatan Luka Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain
pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung
pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar,
luka nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada
tetanus yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :
- Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.
- Irigasi luka.
- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan
debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat
menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain
dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka
tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti
hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan
jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan
lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan
melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini,
diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada
tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut:
Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan fisiologis (normal
saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme,
teknik pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila menggunakan metode semprot,
gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko
perdarahan pada jaringan yang rapuh.
Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat
diolesi langsung kedalam luka.
Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel
memerlukan balutan sekunder).
- Membuang benda asing dalam luka.
- Kompres dengan H2O2.
- Luka dibiarkan terbuka.
4.1 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk
prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis
tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat,
karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.10,14
4.2 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:
1. Imunisasi aktif 10,11,14,23 Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi
toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang
tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada
anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis
kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada
wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus
diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS
kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4
minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada
kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS
tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT
yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah
memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama,
ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.24
Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat
protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang
ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis
terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar
antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan
setiap 10 tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di
Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang
tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik
terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi
proteksi terhadap bayinya. 2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar
dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.10,11,26 Pada perawatan tali pusat,
penting diperhatikan hal-hal berikut ini :27 - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun
ke dalam punting tali pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan
karena menyebabkan tali pusat lembab 3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan
dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis
untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 10
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di
beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis
30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara
berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorumyang menyebabkan kematian
sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar
berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa
riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. SporaClostridium
tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-
5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah
kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum
pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan
dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak
9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara
berurutan.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan
secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila
tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi,
manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.
BAB II
TETANUS
Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan
rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu
berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf
perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya
kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk
gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. SporaClostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran
hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini
menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya
dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.
PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit
akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan
tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf
pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain
Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam
20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya
dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya
melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui
sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak
menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah,
sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal
yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah
karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-
otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport
toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai
SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis
atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:
Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam
darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka.
Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-
otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.
Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan
kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup
banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.
Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke
dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir
ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek
adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang
saraf.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin
dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada
tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai
patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf. Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung
membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting
untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan
biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
Tetanus toxin
Normal:
Inhibitory interneuron Glycine
blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation
Tetanus toxin:
Blocks glycine release
no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction Spastic paralysis
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan
mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan
noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin
maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps
dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang
disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan
frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi
yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi
pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf
inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukanneurotic pain yang berat
pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap
sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan
seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau
antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik,
namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin
terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek
neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang
dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi
karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom
karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior
ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai
berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot
bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling
akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan
pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang
ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di
pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan
otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi
untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa
kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena
proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh
toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin
dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi
terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus
adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya
komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam
beberapa menit sampai ½-1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas
berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia
rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres
pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.
5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf
autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan
karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis,
edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil
penelitian.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus
otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal
ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan
adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama
fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi
kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia
dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi
kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya
antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah
sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita
tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya
infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awarenessmenimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang
sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan
balik hipofise-kelenjar endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu
hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi
mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit
ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus
gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,
shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus
maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat
gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
BAB III
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa
timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%.
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka
pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya
jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable,
kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi
tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan
seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik
pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering
timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi
tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi
jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan
jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak
ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan
c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan
peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat
dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan
dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi
derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus),
rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap
baik.
Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi
Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak
ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
BAB IV
DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI
1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah
- Meningitis bakterialis - Rabies
- Poliomielitis - Epilepsi
- Ensefalitis - Tetani
- Keracunan striknin - Sindrom Shiffman
- Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses
2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi
terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya
karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal
jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi
lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,
dehidrasi dan asidosis metabolik.
BAB V
PENATALAKSANAAN
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
1. Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka
terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus
belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.
Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1
jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara
bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang
baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50
mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau
metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.
2. Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka.
Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat
dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM
dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena
dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga
untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV,
adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit
secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus
sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24
jam pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian
immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat
menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai
efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah
30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU
IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas
sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi,
tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks
polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar.
Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),
pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus
lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk
anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital
intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit
sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan
dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak),
12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat
menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif
dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus
neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10%
dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120
kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya.
Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak
dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum,
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan
PaO2 <>
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin,
diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan
selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara
parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau
intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat
hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam.
Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta
bloker labetolol.
BAB VI
PROGNOSIS
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara
10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan
undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai
prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI DAN ETIOLOGI1,5
Tetanus berasal dari bahasa Yunani yaitu Tetanos dari Teinein yang berarti kontraksi/regangan. Tetanus
pertama kali di gambarkan/ungkapkan di Mesir lebih dari 3000 tahun yang lalu .
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri
batang gram positif anaerob (Clostridium tetani) yaitu tetanospasmin yang dapat ditandai dengan spasme
otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya terjadi akibat kontaminasi luka tetapi dapat juga terjadi
menyertai otitis media yang kronis, luka bakar, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, pembedahan elektif,
kehamilan atau aborsi, atau tempat injeksi yang terinfeksi pada pengguna obat intravena yang ilegal.
II. EPIDEMIOLOGI4,11
Tetanus terjadi secara sporadis dan bisa mengenai orang yang tidak imun, memliki imunitas parsial maupun
imunitas penuh dengan dosis vaksin ulangan yang adekuat. Dari data WHO pada tahun 2002, jumlah kematian akibat
tetanus pada semua kelompok umur adalah 213.000 dimana yang terbanyak adalah tetanus neonatal yang berjumlah
180.000 (85%)
Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2004 mencatat kejadian tetanus sebanyak 68 kasus dengan
angka kematian mencapai 45%.
III. PATOFISIOLOGI1,5,6,7
Clostridium tetani adalah kuman gram positif yang bersifat anaerob berbentuk batang. Kuman tersebar luas
di lingkungan kotoran hewan seperti kuda, ayam,tikus, anjing, babi, kucing dan manusia. Spora Clostridium tetani
dapat masuk kedalam tubuh melalui infeksi luka, tusukan dari benda yang kotor, infeksi post partum dan post abortus,
suntikan intramuskuler yang tidak steril, fraktur terbuka, karies, radang telinga, ulkus dekubitus, tindik, tato. Namun
demikian terdapat 20% kasus tanpa adanya riwayat luka.
Kuman pada suasana anaerob akan berubah menjadi endospora dan menghasilkan toksin bila bakteri tersebut
lisis. Toksin yang dihasilkan adalah tetanospasmin dan tetanolisin, yang memiliki afinitas tinggi pada jaringan saraf.
Tetanospasmin yang dihasilkan dalam luka disebarkan keseluruh tubuh melalui aliran darah. Diperkirakan dosis letal
untuk manusia adalah 2,5 nanogram per kg BB atau 175 nanogram untuk berat 70 kg. Semua toksin akan diserap oleh
ujung neuron saraf perifer motorik, sensorik dan otonom. Toksin kemudian berjalan sepanjang saraf melalui
intraaxonal berjalan retrograde menuju sistem saraf pusat sepanjang jalur aksonal. Selanjutnya toksin akan naik
sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen spinalis yang menginervasi otot
yang terinfeksi. Toksin mempengaruhi pelepasan substansi transmitter inhibisi Gama Amino Butiric Acid( GABA) dari
interneuron spinal inhibisi. Pada sistem motorik, inhibisi pada motor neuron alpha dan gamma akan menyebabkan
peningkatan tonus otot, hilangnya koordinasi, dan kontraksi spontan simultan dari otot agonis dan antagonis. Hal ini
dapat menyebabkan disfagi, aspirasi pneumoni, laryngospasme, asfiksia, dan atau fraktur vertebra thorakal.
Pada sistem saraf otonom, hal ini akan mempengaruhi sistem simpatik dan atau parasimpatik.Aktivitas
berlebihan sistem simpatik akan menghasilkan hipertensi, takikardia, aritmia, keringat berlebihan, panas, peningkatan
produksi karbondioksida, kerusakan otot jantung dan ileus. Aktivitas parasimpatik berlebihan akan menyebabkan
salivasi, peningkatan sekresi bronkus, bradikardia atau henti jantung.
IV. GEJALA DAN TANDA2,3,9
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang terjadi 1-2 minggu setelah
terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan
mencapai maksimal pada minggu kedua. Secara umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu
sebagai berikut :
1. Kekakuan otot dan rigiditas
Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter, menyebabkan kesulitan membuka mulut (trismus atau
locked jaw). Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring dan juga seluruh otot ekstremitas dan
batang tubuh. Sehingga memberikan gambaran risus sardonikus, retraksi leher, disfagia, keterbatasan dalam
gerakan napas, perut papan dan opistotonus. Arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di
medula dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang menyerupai kejang. Tonus otot
meningkat diselingi dengan spasme otot secara episodik.
2. Spasme otot
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah mengalami
kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot agonis dan antagonisnya sehingga
terjadi gerakan seperti bangkitan tonik. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang raba juga oleh rangsang
auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan beratnya spasme sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi
dalam beberapa detik, secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
3. Gangguan saraf otonom
Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan merupakan
komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis maupun parasimpatis. Pasien dapat
mengalami takikardi, hiperhidrosis, peningkatan tekanan darah, artimia, hipersalivasi serta peningkatan
refleks vagal yang berakibat buruk pada sistem kardiovaskuler. Gejala dan gambaran EKG dapat menyerupai
infark miokarditis dengan ST elevasi. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali akson
terminal dan proses kerusakan toksin.
Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut :
1. Tetanus Umum
Sedikitnya 80% kasus tetanus adalah tetanus umum. Pada orang dewasa, ditandai dengan trismus karena
spasme otot masseter, kaku kuduk, susah mengunyah, kaku otot perut, spasme otot wajah (risus sardonikus), spasme
otot somatik menyeluruh (pistotonus), spasme yang timbul ireguler dan intermiten serta tak teramalkan dan
berlangsung beberapa detik sampai menit. Spasme bisa timbul spontan atau karena rangsangan internal dan/atau
eksternal ( air dingin, suara berisik, cahaya, gerakan pasien). Gangguan saraf otonom seperti perubahan tekanan
darah, takikardi, aritmia, berkeringat, hipertermi, cardiac arrest.
2. Tetanus Lokal.
Penderita tetanus lokal ditandai dengan spasme dan peningkatan tonus otot yang dekat tempat luka tanpa ada
gejala sistemik. Kontraksi ini akan berlangsung selama beberapa minggu sebelum berangsur-angsur sembuh. Bisa
juga tetanus lokal mengawali terjadinya tetanus umum, tetapi biasanya lebih ringan dan tidak teralalu fatal,
mortalitasnya sekitar 1%.
3. Tetanus Sefalik
Tetanus ini tipe yang jarang, biasanya timbul dengan otitis media atau adanya luka di kepala. Gangguan satu
atau beberapa saraf kranial bisa terjadi, tetapi umumnya terkena saraf kranial ke VII. Tetanus kepala mungkin bisa
berkembang menjadi tetanus umum atau tetap menjadi lokal.
V. DERAJAT TETANUS1
Beberapa klinikus membuat skoring untuk menegakan prognosa dan perawatan. Antara lain Phillips score,
kriteria Pattel Joag dan Ablett’s.
Philips Score
A. Masa inkubasi
a. < 48 jam : 5
b. 2-5 hari : 4
c. 6-10 hari : 3
d. 11-14 hari : 2
e. >14 hari : 1
B. Lokasi infeksi
a. Internal/umbilikal : 5
b. Kepala,leher,dinding tubuh : 4
c. Ekstremitas proksimal : 3
d. Ekstremitas distal : 2
e. Tidak diketahui : 1
C. Imunisasi
a. Tidak : 10
b. Mungkin ada /ibu dapat : 8
c. > 10 tahun yang lalu : 4
d. < 10 tahun yang lalu : 2
e. Proteksi lengkap : 0
D. Faktor yang memberatkan
a. Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa : 10
b. Keadaan langsung yang tidak membahayakan jiwa : 8
c. Keadaan yang tidak membahayakan jiwa : 4
d. Trauma/penyakit ringan : 2
e. ASA derajat 1 : 0
NILAI :
Ringan : 1-8 (sembuh sendiri)
Sedang : 9-16 (dengan pengobatan baku )
Berat : >16 (dirawat di ICU )
Kriteria Pattel Joag
Grading
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang belakang
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila 99oF (37,6oC)
Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut :
Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%
Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2) biasanya inkubasi lebih dari 2
hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%
Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7 hari,
onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus
puerpurium, mortalitas 84%
Klasifikasi Ablett’s
Grade I (ringan): trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia.
Grade II (moderat) : trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan
sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan dengan takipnu.
Grade III (berat) : trismus berat, spastisitas menyeluruh, reflek spasme dan
seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan terengah-
engah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas saraf otonom
sedang.
Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan otonom hebat yang
sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai
otonom.
VI. DIAGNOSIS5
Diagnosa tetanus ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan klinik.
- Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat luka terbuka, gigi berlubang, otitis media,dll.
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya trismus, kaku kuduk, perut papan, opistotonus,
hipertonus otot, peningkatan refleks tendon, kesadaran baik, sedikit demam, tidak ada gangguan sensoris,
spasme lokal atau umum.
- Untuk pemeriksaan klinik dapat dilakukan spatula test yang dapat digunakan untuk mengetes
tetanus . Caranya dengan menyentuh oropharynx dengan sebuah spatula ( spatel tongue ) yang biasanya
menimbulkan suatu reflek muntah ( gag reflex ). Tes ini positif bila penderita terjadi reflek masseter dan
menggigit spatel .Tes ini mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 100% dan tidak ada efek samping.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar- benar spesifik untuk menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup
ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, EKG serial, dan kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih
berperan sebagai tambahan akibat adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama pada
pasien.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Termasuk sejumlah keadaan yang dapat memicu satu atau lebih tanda klinik dari tetanus dan kadang-kadang
dikatakan pseudotetanus.
- Keracunan striknin, gejala awal tetanus dapat mirip dengan keracunan striknin (trismus
timbul belakangan, gejala dan tanda lain timbul lebih cepat ada riwayat bunuh diri )
- Reaksi distonia dari phenothiazine ( trismus, tremor, etetosis torticalis).
- Abses alveolar
- Meningitis purulenta, ensefalitis ( LP , kesadaran menurun)
- Rabies ( tidak ada trismus )
- Hipokalsemia (tidak ada trismus )
IX. PENATALAKSANAAN1,3,8,10
Thwaites (2002) merangkum penatalaksanaan tetanus sebagai berikut ;
1. Eradikasi bakteri kausatif
2. Netralisasi antitioksin yang belum terikat.
3. Terapi suportif selama fase akut
4. Rehabilitasi
5. Imunisasi
Ad.1 Eradikasi bakteri kausatif
Penggunaan penisilin (10-12 juta unit IV yang diberikan setiap hari selama 10 hari) telah
direkomendasikan, tetapi metronidazol (500mg setiap 6 jam atau 1 gram setiap 12 jam selama 7-10 hari)
dipilih oleh beberapa orang ahli berdasar pada aktivitas antimikroba yang sangat baik dan ketiadaan aktivitas
antagonis GABA seperti yang terlihat pada penggunaan penisilin.
Manajemen luka juga merupakan hal yang amat penting dalam penatalaksanaan pasien tetanus
dengan luka. Rekomendasi manajemen luka traumatik adalah sebagai berikut :
a. Semua luka harus dibersihkan dan debridement bila perlu
b. Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin
c. Tetanus toksoid (TT) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun. Jika
riwayat imunisasi tidak diketahui, TT tetap diberikan
d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus Imuno Globulin
(TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIG.
Ad.2 Netralisasi antitoksin
Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak terikat
sajalah yang dapat dinetralisasi. Pemberian ATS 100.000 IU terbagi dalam 5 hari. Imunisasi pasif dengan
Human Tetanus Immuno Globulin (HTIG) akan meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Cook et al
menyarankan HTIG 3000-6000 IU IM. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin ini
panjang.
Ad.3 Terapi suportif selama fase akut
- Pasien direkomendasikan untuk menghindari rangsangan yang tidak perlu untuk menghindari
nyeri
- Terapi utama untuk kekakuan dan rigiditas otot adalah benzodiazepine (untuk memperbesar
GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor eksogen di reseptor GABA). Dosis yang dianjurkan
adalah sebagai berikut : spasme ringan (5-20mg per oral setiap 8jam), spasme sedang (5-10mg IV, tidak
melebihi 80-120 mg dalam 24jam), spasme berat (50-100mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan
dengan kecepatan 10-15mg/jam diberikan dalam 24 jam). Pada sebuah studi yang dilakukan oleh
Okoromah dalam Cochrane Collaboration menyebutkan keunggulan diazepam dalam mengurangi angka
kematian dibanding fenobarbital dan klorpromazin, dan kematian juga lebih rendah pada kelompok
dengan diazepam saja dibandingkan diazepam dan fenobarbital atau klorpromazin.
- Baklofen intratekal dilaporkan dapat memiliki efek yang baik. Dosis yang dianjurkan adalah
500-2000ug sehari.
- Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70mg/kgBB dalam
larutan dekstrose 5% 100 ml secara IV selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2
gram/jam (<60tahun) dan 1 gram/jam (>60tahun) dalam larutan dekstrose 5% 500mL, diberikan selama 6
jam.
- Kontrol disfungsi otonom bisa menggunakan β-adrenergic blocking agents seperti propanolol
(5-20 mg tiga kali sehari)
- Komplikasi respirasi juga perlu diperhatikan. Penggunaan ventilator dan perawatan ICU
sangat membantu menurunkan angka kematian. Trakeostomi disarankan pada pasien dengan derajat Patel
Joag 3 ke atas.
`Ad.5 Imunisasi .
Status Imunisasi Vaksinasi Pemberian
Status Imunisasi DPT
primer dan pengulangan TT
dalam 10 tahun terakhir
Tidak perlu vaksinasi HTIG diberikan
250IU dalam 1mL i.m pada
deltoid atau glutea
Jika lebih dari 24 jam
terpapar setelah luka atau ada
resiko kontaminasi berat atau
pasca luka bakar dosis
rekomendasi 500IU
Status imunisasi
primer dan dosis terakhir
diberikan lebih dari 10 tahun
Dosis TT tunggal
diberikan 0.5mL s.c/i.m pada
otot deltoid atau glutea
Dosis tunggal TT +
HTIG (lihat dosis di atas). TT
dan HTIG harus diberikan
dengan spuit yang berbeda
pada lokasi yang berbeda
Tidak diimunisasi
atau status imunisasi tidak
diketahui pasti
Vaksin Tetanus
Toksoid diberikan secara
penuh (5 dosis) 0.5mL
dengan interval > 4 minggu
Vaksin TT + HTIG
diberikan secara penuh (lihat
dosis di atas)
X. PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan, yaitu:
a. Masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari).
b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 tahun).
c. Frekuensi spasme yang sering.
d. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi.
e. Pengobatan terlambat.
f. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.
XI. PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin
DPT (difteri, pertusis, tetanus) yang diberikan pada usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun
kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2. Bila mendapatkan luka, maka harus mendapatkan manajemen luka yang adekuat
beserta vaksinasi jika perlu.
DISKUSI
Penderita didiagnosis dengan tetanus yang ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat perjalanan penyakit dan tanda
serta gejala pada pemeriksaan fisik. Adanya riwayat tertusuk besi berkarat pada jempol tangan kiri 15 hari yang lalu
dan dibersihkan hanya dengan air dan betadine disusul dengan perjalanan penyakit yang berkembang menjadi tetanus
umum dengan adanya trismus, perut papan dan opisotonus ringan tanpa adanya disfagi atau kesulitan bernafas.
Diagnosa banding sudah dapat disingkirkan sejak awal dari anamnesa serta dan pemeriksaan fisik. Tidak dilakukan
pemeriksaan kultur bakteri karena pemeriksaan hanya positif pada 1/3 kasus tetanus dan pemeriksaan bisa menjadi
positif pada orang yang tidak mengalami tetanus.
Pengobatan sesuai dengan derajat philip score , nilai 16 dirawat dengan pengobatan baku, di ruang isolasi. Diberikan
ATS 100.000 IU dalam dosis terbagi 5 hari. Diazepam diberikan 10 mg iv dilanjutkan pemberian secara bolus
intravena setiap 3 jam. Antibiotika metronidazole diberikan 4 x 500 mg infus selama 10 hari. Berdasarkan penelitian
terbaru, pengobatan tetanus sebenarnya cukup dengan metronidazol saja. Pemberian penicilin justru akan bekerja
menghambat GABA sehingga menambah dosis pemakaian diazepam dan memperpanjang masa perawatan. Pada
penderita ini ditambahkan antibiotik ceftriaxon untuk profilaksis terhadap infeksi sekunder yang mungkin terjadi
sebagai komplikasi respirasi pada tetanus seperti aspirasi pneumonia dan bronkopneumonia.
Penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan pasien sudah bisa mulai berjalan sendiri setelah perawatan 11 hari.