Download - Terapi Cairan Pd Syok Hipovolemik-Blok XX
TERAPI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK
Erwin KresnoadiBagian / SMF Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram / RSU Prov. NTB
================================================================
Pendahuluan
Pengetahuan tentang fisiologi hemodinamik dasar dan dokumentasi
patofisiologi yang sedang terjadi dengan menggunakan teknik pemantauan yang
tersedia tetap merupakan pendekatan paling tepat untuk merancang intervensi
terapeutik untuk pasien syok.1,2 Penelitian yang dilakukan dan teori yang diajukan
oleh ahli fisiologi Ernest Starling dan Otto Frank pada pergantian abad ini merupakan
dasar untuk dapat memahami komponen-komponen fisiologi vaskular : prabeban
(preload), kontraktilitas, beban akhir (afterload) dan laju jantung. Pemberian cairan
intravena untuk mengembalikan volume darah adalah salah satu bentuk terapi medis
yang paling efektif dan paling baik.3 Tujuan resusitasi cairan pada syok untuk
mengembalikan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel, sehingga dapat
mengurangi iskemik jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.
Titik akhir terapi harus mempertimbangkan adanya perbaikan dalam aliran
jaringan, perfusi jaringan dan juga bahaya atau kerugian bila terapi tersebut
diteruskan. Salah satu tantangan terbesar adalah memperkirakan cukup tidaknya
curah jantung. Sementara nilai-nilai mutlak lebih besar dari 3,5 dan 4,0 liter per menit
seringkali memadai, perhatian pada indeks-indeks lain dapat memberi konfirmasi
atau memaksa membuat pertimbangan lebih lanjut. Indeks-indeks tersebut sangatlah
jelas dan mencakup jumlah urin keluar, mentasi, pengisian kapiler, warna kulit, suhu
dan laju nadi. Evaluasi lebih lanjut mencakup status asam-basa, kadar laktat,
pemakaian oksigen dan saturasi oksigen vena campur.
Kompartemen cairan tubuh
Kompartemen-kompartemen cairan yang di dalamnya tersebar air, Na+ dan
koloid terangkum dalam gambar 1. Cairan tubuh total (60% BB) mencakup cairan
intraselular (40% BB) dan cairan ekstraselular (20% BB). Cairan ekstraselular terbagi
di antara cairan interstisial, kira-kira 11 L pada orang dewasa 70 kg, dan cairan air
1
1
plasma sekitar 3 L. Volume darah, kira-kira 7% BB, terdiri dari volume plasma
(plasma volume,PV) dan volume sel merah, kira-kira 2 L. Volume dalam sel merah
merupakan bagian volume intraselular (intracellular volume, ICV). Volume
kompartemen cairan sangat bergantung pada Na+ dan protein plasma. Na+ , penentu
utama osmolalitas dan tonisitas, lebih banyak terdapat dalam ruang cairan
ekstraselular, dengan kadar-kadar yang hampir sama (140 mEq/L) dalam
interstisium dan PV. Cairan intraselular praktis tidak mengandung Na+ , hanya 5
mEq/L.
Beberapa prinsip fisiologis mengatur pergerakan air di antara kompartemen-
kompartemen cairan. Osmosis, yaitu pergerakan air antara kompartemen-
kompartemen cairan melewati membran semipermeabel terjadi bila kadar total solut
pada kedua sisi membran tidak sama. Air berdifusi menyeberangi membran untuk
menyamakan osmolalitas. Besar tekanan yang sesuai untuk melawan pergerakan air
melewati membran semipermeabel akibat perbedaan kadar solut disebut tekanan
osmotik, yang proporsional terhadap jumlah molekul total, bukan terhadap berat
molekul. Karenanya, satu molekul Na+, albumin atau glukosa akan menghasilkan
tekanan osmotik yang sama meskipun berat molekul mereka sangatlah berbeda.
BERAT BADAN TOTAL (70 KG)
T
Gambar 1. Volume distribusi air mencakup volume intraselular (ICV) dan ekstraselular (ECV). Secara primer Na+ didistribusikan di dalam ECV. Jika integritas kapiler utuh protein plasma terutama didistribusikan dalam PV. Volume sel darah merah (SDM), meski intravaskular, termasuk bagian ICV.
2
2
AIR TUBUH TOTAL (42L) ICV (28 L) ECV (14 L)
Vol darah (5L)
IF=ECV-PV
SDM PV (3L)
Tekanan osmotik dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
Tek. Osmotik (mmHg) = osmolalitas (mOsm/kg) x 19,3 mmHg/mOsm/kg 4
Tekanan osmotik total yang dihasilkan oleh kadar komponen plasma normal adalah
5620 mmHg (291,2 mOsm/kg x 19,3 mmHg/mOsm/kg). Tekanan osmotik larutan
Ringer laktat (RL, 5268 mmHg) dan 0,9% NaCl (5944 mmHg) mengarahkan bahwa
larutan RL akan mengekspansikan PV sedikit lebih kurang daripada 0,9% NaCl
karena pengurangan dilusional tekanan osmotik plasma oleh larutan RL akan
menyebabkan air berpindah dari ECV ke ICV.
Protein-protein plasma, albumin dan gama-globulin menentukan tinggi
tekanan osmotik koloid plasma (juga disebut tekanan onkotik). Biarpun tekanan
onkotik hanya punya andil kurang dari 1% tekanan osmotik total, protein plasma
merupakan unsur-unsur aktif secara osmotis yang paling penting dalam
mempertahankan PV. Ukuran molekul albumin (BM 69.000) membatasi perpindahan
ke dalam ruang interstisial kendati terdapat beda kadar yang besar (4 g/dL versus 1
g/dL), yang berkewajiban untuk mempertahankan proporsi PV sirkulasi dan volume
cairan interstisial (interstitial fluid volume, IFV). Ringkasnya, kompartemen intra dan
ekstraselular merupakan ruang distribusi untuk air, air ekstraselular merupakan
ruang distribusi untuk Na+, dan air plasma merupakan ruang distribusi utama untuk
protein plasma.
Dalam merencanakan terapi cairan harus dipertimbangkan distribusi
diferensial air, garam dan protein plasma. Sebagai contoh, seorang pasien 70 kg
memerlukan penggantian volume 2 L akibat kehilangan darah akut atau 40% volume
darah totalnya (5 L). Volume cairan pengganti yang diperlukan untuk mengembalikan
volume darah sirkulasi ditentukan oleh ruang distribusi cairan pengganti yang
bergantung pada kadar koloid dan Na+ cairan pengganti. Formula berikut ini
menggambarkan efek sejumlah cairan dalam mengekspansikan PV :
Δ PV = volume infus (PV/Vd) 5
Δ PV = perubahan PV yang diharapkan
3
3
Vd = volume distribusi cairan infus
Misal : berapa banyak 5% dekstrosa dalam air (D5W) yang diperlukan untuk
meningkatkan PV sebesar 2 L ?. (Pada pasien 70 kg PV = 3 L dan cairan tubuh total,
Vd untuk D5W adalah 42 L)
2 L = volume infus (3 L/42 L)
Jadi, volume D5W yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar 2 L
adalah 28 L.
Berapa banyak yang diperlukan bila memakai 0,9% NaCl ? (Vd = volume
ekstraselular, kira-kira 14 L pada pasien 70 kg)
2 L = volume infus (3 L/14 L)
Jadi volume 0,9% NaCl yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar 2
L adalah 9,3 L.
Berapa banyak 5% albumin yang diperlukan ? (Vd = PV)
2 L = volume infus (3 L/3 L)
Jadi volume 5% albumin yang harus diinfuskan untuk mengekspansikan PV sebesar
2 L adalah 2 L.
Albumin serum manusia (25%), suatu cairan hiperonkotik, mengekspansikan
PV sekitar 400 ml untuk tiap 100 ml yang diberikan. Penambahan 300 ml dalam PV
merupakan cairan interstisial yang ditranslokasikan ke dalam pembuluh darah. Tabel
1 menggambarkan efek volume berbagai cairan pada PV, IFV dan ICV.
Contoh-contoh di atas berlaku bila tidak ada syok, sepsis atau hipoksemia
yang berkepanjangan sebab keadaan tersebut dapat mengganggu kemampuan
membran kapiler untuk membatasi perpindahan transvaskular protein serum. Pada
pasien sakit kritis sering kali sulit untuk mempertahankan keseimbangan volume
intravaskular dan interstisial karena hubungan volume cairan dan tekanan osmotik
koloid berubah.
4
4
Tabel 1.Ekspansi PV setelah infus beberapa macam cairanCairan Δ PV Δ IFV Δ ICV
(ml) (ml) (ml)
250ml 5% Albumin 250 0 0250ml 25% Albumin 1000 -750 01000ml D5W 85 255 6601000ml RL 200 800 01000ml 0,9% NaCl 275 825 -1001000ml 5% NaCl 990 2690 -29501000ml Darah lengkap 1000 0 0
PV = perubahan volume plasma; IFV ( interstitial fluid volume ) = volume cairan interstisial; ICV = volume intraselular; D5W = 5% dektrosa dalam air; RL = Ringer laktat
Terapi Cairan
Hipovolemia merupakan penyebab tersering aliran rendah, tetapi paling
mudah untuk dikoreksi. Untuk pasien kritis, pasien pascabedah risiko tinggi,
pemberian cairan secara cepat tanpa melampaui tekanan baji arteri paru (pulmonary
artery wedge pressure, PAWP) setinggi 20 mmHg adalah terapi pertama dan yang
paling penting diperlukan untuk mencapai tujuan terapi keadaan aliran rendah akut.
Strategi dasar dalam terapi tersebut adalah membuat optimal variabel-variabel
hemodinamik dan transport O2 (delivery oxygen, DO2) dalam 8-12 jam pertama
pascabedah ke rentang yang secara empiris didefinisikan sebagai pendekatan
pertama ke nilai-nilai optimal. Kemudian terapi tambahan dapat dititrasikan secara
lebih gradual untuk mencapai titik akhir kedua yaitu DO2 ditinggikan (dengan hati-
hati) sampai tidak terjadi lagi peningkatan konsumsi O2 ( VO2).
Tujuannya adalah untuk meminimalkan derajat dan lama hipoksia jaringan
dengan memakai tujuan-tujuan fisiologis sebagai hasil keluaran (outcome) untuk
titrasi cepat dan kasar dan konsep interdependensi VO2 untuk titrasi gradual ke titik
akhir final. Tujuan-tujuan tersebut lebih mudah dicapai dengan koloid yang
mengekspansikan PV tanpa overekspansi ruang interstisial daripada dengan
kristaloid.6 Kanji hidroksietil menghasilkan efek volume darah dan hemodinamik yang
lebih besar dan lebih lama daripada albumin, dekstran atau gelatin. Shoemaker dan
Beez 7 mendapatkan bahwa pada stadium awal syok atau penyakit kritis, kristaloid
5
5
biasanya meninggikan tekanan darah, namun hanya sebentar memperbaiki aliran
darah dan transport O2. Data mereka menunjukkan bahwa pada sindroma gawat
nafas pada orang dewasa (adult respiratory distress syndrome, ARDS) stadium dini,
koloid sangatlah efektif, mengarahkan bahwa kebocoran kapiler, bila ada, tidak
membatasi keefektifan terapeutik koloid. Akan tetapi, pada stadium terminal, baik
koloid maupun kristaloid tidak efektif.
Efek volume darah kanji hidroksietil molekul sedang (6%/10% HES 200/0.5)
menetap selama 4-8 jam, preparat substitusi yang lebih besar (6% HES 200/0.6)
atau preparat dengan molekul lebih besar (6% HES 450/0.7) menetap selama 8-12
jam.8,9,10 Efek volume darah 6% dekstran 60 menetap selama 6-8 jam, efek volume
10% dekstran 40, 5% albumin (500ml) atau 25% albumin (100ml) dipertahankan
selama 3,5-4,5 jam. Preparat gelatin memantapkan volume darah hanya untuk 1,5-2
jam.8,9,11 Penelitian oleh Zikria dkk12 pada tikus dengan kerusakan endotelial akibat
kombustio menunjukkan bahwa fraksi kanji hidroksietil dengan berat molekul (BM)
antara 100.000 dan 300.000 dalton, sama seperti HES 200/0.5 bertindak sebagai zat
penyumpal (sealing agent) lebih baik daripada 4 group kontrol yang menerima
albumin 5%, RL. HES dengan BM < 50.000 atau HES dengan BM > 300.000 dalton.
Efek menyumpal HES 200/0.5 yang bermakna juga didapat Zikria pada
sumbatan koroner13 dan pada iskemia tungkai14 oleh Webb pada peritonitis15 oleh
Schell pada iskemia serebral,16 oleh Tanaka pada edema paru akut,17 oleh Traber
pada sepsis 18 dan oleh Yeh pada penelitian pintasan jantung paru pada neonatal.19
Model-model binatang tersebut menunjukkan penurunan bermakna pada kebocoran
plasma dan edema akibat kapiler mengalami cedera dan juga penurunan bermakna
pada kebutuhan cairan koloid (HES 700/0.5) untuk memperoleh dan
mempertahankan normovolemia.10 Umumnya efek PV dan DO2 lebih besar dan lebih
tahan lama sesudah koloid daripada sesudah kristaloid bila diberikan kepada pasien
yang sama pada penelitian klinis yang dirancang secara seksama.
Di antara koloid, preparat kanji hidroksietil molekul sedang dan besar
memberikan efek PV dan DO2 yang bertahan lebih lama daripada koloid lain. Fraksi
HES molekul sedang tertentu seperti HES 200/0.5 mempunyai tambahan efek
menyumpal khas HES pada kebocoran kapiler. Karena itu, HES 200/0.5 mungkin
bermanfaat terutama pada pasien sakit kritis dengan gagal organ yang sudah
6
6
terwujud atau yang masih mengancam, karena potensial khasnya untuk mencegah
kebocoran kapiler, hipovolemia dan edema jaringan.
Infus 10% HES 200/0.5 pada pasien sakit kritis dengan hipovolemia dan syok
akibat trauma, operasi berat, sepsis atau kombustio untuk memperoleh nilai PAWP
setinggi 15-18 mmHg memperbaiki hemodinamik {indeks jantung(cardiac index, CI),
DO2 dan VO2)} ke nilai-nilai normal atau supranormal sebagaimana ditunjukkan pada
berbagai penelitian klinis prospektif.20-24 Efek-efek tersebut sama atau lebih baik
daripada dengan 5% albumin. Infus 6% HES 200/0.6 atau 6% HES 450/0.7 juga
secara bermakna memperbaiki CI, DO2, VO2 pada pembedahan, trauma, sepsis atau
ARDS.25-29 Larutan-larutan kanji hidroksietil sedang atau yang bertahan lama
agaknya bermanfaat terutama untuk terapi cairan dini pada pasien sakit kritis untuk
mencapai tujuan optimal terapi (CI, DO2, VO2) untuk memperbaiki fungsi organ dan
hasil akhir. Pada resusitasi awal pasien trauma Shoemaker 7 menganjurkan
penggunaan bijaksana 25% albumin terutama jika pasien sudah hipertensif atau
sedang dalam diet rendah garam prabedah. Pasien yang sudah diberi kristaloid
dalam jumlah berlebihan yang telah menderita edema perifer masif atau edema paru
juga akan lebih baik bila diberi 25% albumin. Namun pada kebanyakan kasus, 6%
kanji hidroksietil merupakan pilihan tepat untuk mencapai tujuan terapi cairan.
Pemberian cairan pada pasien syok melibatkan pertimbangan baik kuantitatif
maupun kualitatif. Konsep terpenting pada setiap resusitasi hemodinamik adalah
membuat optimal prabeban dengan memberi volume intravaskular yang adekuat
untuk kontraktilitas yang masih ada. Gambar 2 menggambarkan kebutuhan potensial
akan pemberian volume pada setiap keadaan syok.
Gambar 2. Ilustrasi kebutuhan potensial akan pemberian cairan pada syok.
HIPOVOLEMIK HIPERDINAMIK KARDIOGENIK
ordinat : prabeban absis : keluaran ventrikular
7
7
Volume
Volume
Volume
Pada syok hipovolemik dan syok kardiogenik bahwa peninggian prabeban
seringkali disebabkan oleh kontraktilitas yang menurun. Untuk memperkirakan
jumlah cairan yang perlu dimasukkan, lebih disukai bolus yang dititrasi, menilai efek
pada prabeban dan keluaran ventrikular (ventricular output) daripada infusi kontinyu
volume besar yang tanpa diatur. Pertimbangan kualitatif dalam terapi cairan
menyebabkan banyak dilema. Darah dan produk darah diindikasikan untuk
memperbaiki DO2 dan koagulasi. Harus dipertimbangkan pula bahwa transfusi dapat
menularkan penyakit.
Rumus berikut menggambarkan pertimbangan yang melibatkan estimasi
kemampuan pulmoner (kandungan oksigen arterial, CaO2) dan kardiovaskular (curah
jantung=cardiac output, c.o) yang terkait dengan VO2. Perspektif seperti ini
memungkinkan klinikus untuk memperkirakan nilai dan kebutuhan menaikkan kadar
hemoglobin (Hb) untuk meningkatkan CaO2.
(CaO2 – CvO2) (C.O. x 10) > VO2
CaO2 = kandungan oksigen arterial
CvO2 = kandungan oksigen vena campuran
CO = curah jantung
VO2 = konsumsi oksigen
Pertimbangan kualitatif selanjutnya adalah mengenai elektrolit dan faktor-faktor
asam-basa dan penekanan yang terlampau besar pada penggunaan koloid versus
kristaloid.
Kristaloid
Kristaloid adalah suatu kelompok cairan, tanpa penambahan solut ionik atau
non ionik seperti NaCl, ke dalam air. Kebanyakan, namun tidak semuanya, iso-
osmolar dan tidak seperti koloid, kristaloid murah, mudah membuatnya dan tidak
menyebabkan reaksi imunologis. Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan
tidak terbatas dalam ruang intravaskular. Penyebarannya ditentukan terutama oleh
8
8
kadar Na+. Karenanya, larutan-larutan yang mengandung kadar Na+ yang hampir
isotonik (misal : 0,9% NaCl, RL dan larutan Hartmann) akan berdiam di ruang
ekstraselular. Karena ukuran ruang interstisial 3 kali lipat ruang intravaskular, ¾
kristaloid akan didistribusikan ke ruang interstisial dan ¼ ke ruang intravaskular (lihat
gambar 3).
Bila kadar Na+ kristaloid menurun, maka terjadi peningkatan jumlah air yang
menyebar ke ruang intraselular. Sebagai contoh, 5% dekstrosa yang tidak
mengandung Na+, didistribusikan ke tiga ruang tubuh secara proporsional. Volume
terbesar menuju ke ruang intraselular, karena merupakan kompartemen terbesar dan
hanya sebagian kecil ke ruang intravaskular. Jadi, bila 1L 5% dekstrosa diinfuskan,
hanya 120mL yang tetap berada dalam ruang intravaskular. Karena itu 5% dekstrosa
tidak mempunyai peranan dalam terapi hipovolemia.
Koloid
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik, sehingga
menghasilkan tekanan onkotik. Bila diinfuskan, koloid akan tinggal terutama dalam
ruang intravaskular (lihat gambar 3). Darah dan produk darah, seperti
albumin,menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar.
Koloid artifisial juga mengandung molekul besar seperti gelatin, dekstran atau kanji
hidroksietil, kendati semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang
intravaskular, koloid dengan tekanan onkotik yang lebih besar daripada plasma
(hiperonkotik), juga akan menarik cairan ke dalam ruang intravaskular. Koloid ini
dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan PV lebih besar dari
volume yang diinfuskan. Koloid iso-onkotik mengekspansikan PV sebesar volume
yang diinfuskan dan dikenal sebagai substitut plasma.
Macam-macam koloid adalah darah, albumin, gelatin (poligelin dan modifikasi
gelatin), dekstran dan kanji hidroksietil. Masing-masing koloid mempunyai
keuntungan dan kerugian, sehingga untuk pemeriksaan yang rasional perlu
mengenal karakteristik mereka.
9
9
IVV IFV ICV
Kristaloid
IVV IFV ICV
IVV IFV ICV
Koloid
IVV : intravascular volume, volume intravaskular.IFV : interstitial fluid volume, volume interstisial.ICV : intracellular volume, volume intraselular.
Gambar 3. Kristaloid terutama meningkatkan IFV relatif terhadap IVV. Koloid terutama terbatas dalam ruang intravaskular.
Aspek klinis resusitasi cairan
Terapi cairan rasional bergantung pada perkiraan defisit air tiap-tiap
kompartemen cairan fisiologis, lalu memberikan kristaloid atau koloid yang tepat
untuk resusitasi kompartemen yang memerlukan. Pengosongan ruang intravaskular
dapat dinilai secara klinis. Laju jantung, tekanan darah, keluaran urin, tekanan vena
sentral dan PAWP semua menunjukkan volume ruang intravaskular. Ruang
interstisial dan intraselular yang bersama-sama membentuk bagian terbesar air
tubuh total sangatlah sulit untuk diukur. Grafik keseimbangan cairan dapat
memberikan perkiraan perubahan-perubahan harian pada air tubuh total, namun
masih terdapat banyak kehilangan dan penambahan yang tidak tercatat, seperti
kehilangan insensibel, drainase saluran cerna dan sekuestrasi luka.
Foto thoraks dapat dipakai untuk mencari edema paru yang mungkin
merupakan suatu indikator ekspansi ruang interstisial. Turgor kulit yang berkurang
dan membran mukosa kering merupakan indikator nonspesifik pengurangan air
tubuh total. Hipernatremia, urea plasma tinggi dan osmolalitas urin tinggi mungkin
pula disertai dengan penurunan air tubuh total. Menimbang berat badan pasien
merupakan salah satu cara paling baik untuk menilai pergeseran cairan. Klinis yang
10
10
paling penting adalah melakukan resusitasi ruang intravaskular, karena volume
intravaskular yang tidak adekuat menyebabkan hipotensi, penurunan DO2 ke
jaringan perifer dan hipoperfusi organ-organ esensial.
Kontroversi Kristaloid versus Koloid
Pertanyaan apakah resusitasi kristaloid atau koloid yang paling tepat
merupakan sumber perdebatan selama beberapa puluh tahun. Secara umum,
resusitasi kristaloid menyebabkan ekspansi ruang interstisial, sedangkan koloid
intravena yang bersifat hiperonkotik, karena tekanan onkotik, cenderung untuk
menyebabkan ekspansi volume intravaskular dengan “meminjam” cairan dari ruang
interstisial. Koloid iso-onkotik dapat mengisi ruang intravaskular tanpa mengurangi
ruang interstisial. Dalam tabel 2 dapat dilihat perbandingan cairan kristaloid versus
koloid.
Tabel 2. Kristaloid versus koloid.Kristaloid Koloid
Efek volume intravaskular - lebih baik (efisien, volumelebih kecil, menetap lebih lama)
Efek volume interstisial lebih baik -DO2 sistemik - lebih tinggiSembab paru keduanya sama-sama potensial menyebabkan
sembab paru.Sembab perifer sering jarangKoagulopati - dekstran > kanji hidroksietilAliran urin lebih besar GFR menurunReaksi-reaksi tidak ada jarangHarga murah albumin mahal
non albumin sedang
Dari pertimbangan fisiologis terlihat bahwa kristaloid menyebabkan lebih
banyak edema daripada koloid. Pada keadaan peningkatan permeabilitas, koloid
mungkin merembes ke dalam ruang interstisial. Ini tidak perlu memburuk, dan
akhirnya koloid meninggikan tekanan onkotik plasma. Ini akan menghambat
kehilangan cairan selanjutnya dari sirkulasi dan kemungkinan hal ini
menguntungkan. Agaknya, mikrovaskulatur masih mempunyai kemampuan untuk
mempertahankan gradien protein walaupun terdapat gangguan permeabilitas yang
berat. Kelebihan koloid dalam respons metabolik dapat meningkatkan DO2 dan VO2
11
11
serta menurunkan laktat serum. Parameter-parameter tersebut merupakan indikator
penting untuk mengetahui apakah pasien akan tetap hidup atau meninggal.
Kristaloid versus koloid : area persetujuan
1. Tidak diragukan bahwa larutan koloid merupakan bentuk penggantian volume
darah yang lebih efisien daripada larutan kristaloid. Untuk mencapai titik akhir
tertentu diperlukan lebih sedikit larutan koloid daripada larutan kristaloid.30,31
2. Juga tidak dipertanyakan lagi bahwa larutan koloid lebih mahal dari kristaloid.30,31
3. Larutan kristaloid tidak menyebabkan reaksi anafilaktoid yang dapat terjadi
dengan koloid, meskipun reaksi seperti ini jarang terjadi pada syok.32
4. Hemodilusi sebelum transfusi darah dengan kristaloid atau koloid bermanfaat
secara teoritis pada restorasi volume darah. Hal ini ditunjang oleh data
eksperimental.33
5. Resusitasi dengan cairan selain dari darah secara praktis sangat bermanfaat.
Kendati transfusi darah tetap merupakan kemajuan paling bermakna dalam
penanganan syok hemoragik, memulai resusitasi dengan larutan selain darah
memungkinkan dilakukannya resusitasi di tempat dan memberi kesempatan
untuk uji silang yang lengkap.30,31
6. Anemia ternyata ditoleransikan lebih baik daripada hipovolemia.30,31 Pada
perdarahan akut pada orang sehat anemia dapat ditoleransikan sampai 50%,
sedangkan hipovolemia hanya 30%.
7. Kelebihan cairan dengan kedua macam larutan merupakan peristiwa yang tak
diinginkan.30,31
8. Mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma dipostulasikan sebagai tujuan
terapi cairan yang diinginkan; larutan koloid lebih efektif dalam mempertahankan
tekanan osmotik koloid pada kebanyakan manusia dan juga binatang.34,35
Terapi kristaloid versus koloid : area debat
Yang menjadi dasar perdebatan apakah penggunaan kristaloid atau koloid
menunjukkan perbedaan bermakna dalam hal efek pada koagulasi, fungsi ginjal, air
interstisial paru, lama perawatan di ICU atau rumah sakit, angka kelangsungan
hidup, atau kekerapan ARDS. Segi kedua yang diperdebatkan ialah jika tidak ada
12
12
perbedaan, dapatkah dibenarkan pemakaian koloid yang mahal dan berisiko
menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Perlu diingat bahwa harga cairan hanyalah
merupakan satu fraksi saja dari seluruh beaya total. Reaksi anafilaktik / anafilaktoid
akibat koloid relatif sangat rendah.
Bila dalam membandingkan kedua macam cairan ini digunakan mortalitas
sebagai titik akhir dengan asumsi mortalitas 20% (rasio risiko 1,02) maka diperlukan
159000 pasien pada tiap kelompok, ini hampir tidak mungkin untuk dilaksanakan .
Jadi barangkali perlu dipakai titik akhir yang lain misalnya profil pemulihan. Baru-baru
ini dibuktikan oleh Gan TJ (disampaikan pada 12th World Congress of
Anaesthesiologists Montréal, Canada June 7, 2000) bahwa koloid memberikan profil
pemulihan pascabedah yang lebih baik. Pada pasien yang mendapat koloid
intraoperatif kekerapan muntah lebih rendah dan jumlah pemakaian antiemetik
berkurang. Pada kelompok kristaloid lebih banyak pasien yang mempunyai keluhan
nyeri hebat pascabedah dan penglihatan ganda, mungkin berkaitan dengan
kekerapan edema periorbital yang lebih tinggi
Efek volume intravaskular
Telah disepakati bahwa efek volume intravaskular kristaloid jauh lebih singkat
daripada efek koloid. Karena kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan
ekstraselular, hanya sekitar 20% elektrolit yang diberikan tinggal di ruang
intravaskular. Distribusi ini menghasilkan formula yang umum dipakai untuk
pergantian kehilangan darah dengan elektrolit. Formula ini terlalu disederhanakan
dan barangkali penggantiannya masih kurang.
Tabel 3 meringkas efek volume intravaskular koloid, tetapi perlu dicatat bahwa
model-model klinis dan binatang untuk menentukan efek tersebut bervariasi.
Poligelin dieliminasikan terutama oleh ginjal dan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, waktu paruh mungkin meningkat sampai 16 jam. Waktu paruh
intravaskular yang lama sering dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan.
Dalam praktek , hal ini mungkin merugikan jika terjadi hemodilusi yang berlebihan,
atau terjadi hipervolemia yang tak disengaja, khususnya pada pasien dengan
penyakit jantung. Di lain pihak, kristaloid lebih memungkinkan timbulnya hipovolemia
sesudah resusitasi, karena waktu paruh intravaskular yang pendek. Apapun cairan
13
13
yang dipakai untuk resusitasi, diperlukan cukup pengetahuan tentang farmakokinetik
untuk memperkirakan situasi volume intravaskular sesudah resusitasi yang adekuat.
Tabel 3. Efek volume intravaskular 36
CAIRAN DISTRIBUSI WAKTU PARUH Vol. interstisial Vol. intravask
% %
Hartmann 80 20 20 menitSPS (albumin) 20 80 > 24 jamDekstran 70 10 90 12 jamKanji hidroksietil 0 100 > 24 jamPoligelin 50 50 4 jam
Efek volume interstisial
Pergeseran dalam IFV yang terjadi setelah syok hemoragik berpusat pada
argumen kristaloid / koloid. Shires dkk memperlihatkan adanya defisit cairan
interstisial pada syok hemoragik, sedangkan Shoemaker dkk menyajikan data yang
menunjukkan adanya peningkatan IFV pada syok hemoragik. Kedua hal yang
bertentangan ini mungkin saja kompatibel, sebab pada syok hemoragik dini dapat
terjadi defisit cairan interstisial, tetapi pada syok hemoragik lanjut atau syok septik,
permeabilitas kapiler berubah yang berakibat peningkatan IFV. Tidak diragukan lagi,
bahwa klinis sangat sukar untuk menilai IFV dan cara-cara sekarang untuk mengukur
kompartemen cairan tubuh mempunyai beberapa kelemahan, baik dalam teknik
maupun interpretasi, sehingga keadaan IFV pada syok masih tetap kontroversial.
Jika IFV berkurang maka kristaloid mengganti defisit volume ini lebih efektif
dari koloid. Akan tetapi, distribusi koloid berbeda antara volume intravaskular dan
IFV, poligelin lebih efektif dalam mengganti defisit IFV. Tabel 3 juga memperlihatkan
bahwa kebanyakan koloid mempunyai kandungan elektrolit yang akan didistribusikan
pula ke dalam cairan interstisial. Bila IFV bertambah, maka garam hipertonik atau
25% albumin mungkin lebih efektif karena cairan interstisial berpindah ke ruang
intravaskular.
14
14
Sembab paru
Barangkali segi paling kontroversial pada argumen antara resusitasi kristaloid
dan koloid apakah satu atau yang lain memberi kecenderungan ke arah sembab
paru. Kristaloid mengurangi tekanan osmotik koloid (TOK) dan ini memberi
kecenderungan ke sembab paru dan perifer. Koloid akan mempertahankan TOK,
sehingga mengurangi kemungkinan sembab paru dan perifer sesudah resusitasi.
Konsep ini merupakan interpretasi klinis sederhana konsep Starling dan pada
kenyataan, persamaan Starling (lihat gambar 4) jauh lebih kompleks dan faktor-
faktor selain tekanan hiperstatik pulmoner dan tekanan osmotik kapiler perlu
dipertimbangkan.
Gambar 4. Persamaan Starling
PP
Pt IIt
Jv = kf { ( Pc-Pt ) – j ( IIc-IIt ) }Jv = volume neto cairan yang menyeberangi membran kapilerkf = koefisien filtrasi kapilerPc = tekanan hidrostatik kapilerPt = tekanan hidrostatik cairan interstisialj = koefisien refleksi membran kapilerIIc = tekanan osmotik kapilerIIt = tekanan osmotik interstisial
Secara sederhana persamaan Starling menunjukkan bahwa pertukaran cairan
pada tingkat kapiler terjadi akibat kesetimbangan antara tekanan hidrostatik (Pc-Pt)
dan tekanan osmotik (IIc-IIt), dimodifikasi oleh sifat-sifat membran kapiler itu sendiri
(kf). Sifat-sifat membran kapiler dapat bervariasi dari jaringan ke jaringan, pada
keadaan penyakit yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda dari keadaan
penyakit yang sama. Patut dicatat, bahwa syok hemoragik tanpa komplikasi
biasanya tidak dipersulit dengan perubahan dalam persamaan Starling yang
15
15
Pc IIc
kf
memberi kecenderungan ke arah kebocoran kapiler, sehingga terjadi perpindahan
cairan intravaskular ke dalam cairan interstisial. Namun pada sepsis dan syok
hemoragik lanjut, lebih sering terjadi kebocoran kapiler difus.
Resusitasi kristaloid akan mengurangi tekanan osmotik kapiler dan jaringan,
sehingga perbedaan antara keduanya dapat tetap sama dan perbedaan inilah yang
penting. Perpindahan kristaloid ke dalam cairan interstisial dalam paru akan
meningkatkan tekanan hidrostatik cairan interstisial, sehingga mempertahankan
beda antara tekanan hidrostatik cairan interstisial dan kapiler. Sekali lagi beda inilah
yang merupakan faktor penting. Akhirnya telah diperlihatkan bahwa aliran limfe paru
dapat meningkat secara dramatis selama resusitasi kristaloid (pernah dilaporkan
sampai 10 kali). Mekanisme ini mengurangi peluang timbulnya sembab paru pada
resusitasi kristaloid, tetapi kadang-kadang timbul juga sembab paru.
Secara teoritis resusitasi koloid akan mengurangi kemungkinan sembab paru
karena tekanan osmotik kapiler dapat dipertahankan. Namun, penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa kapiler paru menahan albumin lebih sedikit (albumin interstisial
paru = 60-80% albumin plasma). Maka dari itu, beda antara tekanan osmotik
interstisial dan kapiler betul-betul kecil dalam paru, dan jika dipakai albumin untuk
resusitasi, tidak semuanya akan ditahan dalam ruang intravaskular. Tetapi dalam
paru, persentasi yang bermakna (60-80%) berpindah ke dalam ruang interstisial,
menyebabkan makin sulit untuk menjelaskan jika terjadi sembab paru. Namun, sekali
lagi aliran limfe paru dapat meningkat, mengurangi peluang terjadinya sembab paru
yang bermakna.
Kalau kita tinjau berbagai penelitian klinis dan binatang yang menilai fungsi
paru sesudah resusitasi kristaloid atau koloid, maka terdapat sejumlah penelitian
yang tak dapat menunjukkan perbedaan. Beberapa penelitian menyokong kristaloid
dan yang lain menyokong koloid. Pendeknya, sepanjang mengenai sembab paru,
debat kristaloid/koloid menemui jalan buntu. Perlu dicatat bahwa distribusi koloid non
albumin dalam ruang interstisial paru belum banyak diselidiki. Tetapi sekali lagi
terdapat beberapa penelitian klinis yang menyarankan bahwa koloid menyebabkan
lebih sedikit gangguan fungsi paru daripada resusitasi kristaloid.
16
16
Sembab perifer
Pasien yang mendapat banyak cairan kristaloid sewaktu resusitasi
menunjukkan tanda-tanda klinis sembab perifer, sedangkan pada resusitasi koloid
hal ini tidak terjadi. Permeabilitas kapiler kulit dan otot terhadap albumin berbeda dari
paru dengan kandungan albumin dalam cairan interstisial sebesar 20-50% plasma.
Karena itu, pada kulit dan otot koloid akan mempertahankan beda yang lebih besar
dalam tekanan osmotik antara kapiler dan interstisium. Aliran limfe tidak meningkat
sebanyak di paru. Jadi, perbedaan-perbedaan inilah yang menerangkan mengapa
timbul sembab perifer pada resusitasi kristaloid. Namun sembab perifer ini jangan
disamakan dengan timbulnya sembab paru. Pendukung kristaloid mengatakan
bahwa sembab perifer ini hanyalah masalah kosmetik. Pendukung koloid
mengatakan bahwa sembab ini mempengaruhi penyembuhan luka dan transfer zat
makanan dan ekstrimnya sembab dinding dada dapat mengurangi kekembangan
(compliance) dinding dada. Tidak disangsikan lagi, bahwa dalam hal sembab perifer,
kristaloid kalah.
Laju reaksi
Kekerapan reaksi-reaksi yang hebat terhadap berbagai koloid dapat dilihat
dalam tabel 4.
Tabel 4. Kekerapan reaksi hebat akibat koloid 37
KOLOID KEKERAPAN REAKSI HEBAT
Albumin 0,003Dekstran 70 0,008Gelatin 0,038Kanji hidroksietil 0,006
Reaksi-reaksi ini terbatas pada koloid dan tidak terjadi pada kristaloid. Perlu
diketahui bahwa sejak penelitian Ring dan Messmer37 pada tahun 1977, telah
dilakukan beberapa modifikasi dalam proses pembuatan albumin dan poligelin untuk
menurunkan kekerapan reaksi. Reaksi dekstran ternyata lebih hebat dibanding koloid
lain, tetapi pemberian dekstran molekul rendah (BM 1000) sesaat sebelum
17
17
pemberian dekstran 70 telah mengurangi kekerapan reaksi-reaksi ini. Untungnya
reaksi-reaksi tersebut jarang terjadi dan dapat dimodifikasi, namun dalam area ini
kristaloid memberi keuntungan yang nyata.
Selain reaksi ini, komplikasi dapat pula timbul dengan koloid, dan dengan
dekstran 70, interferensi dengan hemostasis merupakan masalah yang mungkin
terjadi. Interferensi ini merupakan fenomena yang berhubungan dengan dosis.
Pemberian dekstran 70 melebihi 1,5 g/kg dapat berakibat gangguan hemostasis. Hal
ini membatasi penggunaan dekstran 70 sampai kira-kira 1,5-2 liter pada pasien
dewasa sehingga membatasi pemakaiannya pada situasi resusitasi mayor. Kanji
hidroksietil mempunyai masalah potensial lain, yaitu bahwa zat ini diserap oleh
sistem retikuloendotelial, sehingga tinggal dalam tubuh untuk waktu yang lama dan
mungkin berefek pada fungsi imunitas. Akan tetapi kemaknaan masalah ini belum
jelas.
Cairan hipertonik
Suatu alternatif ideal untuk cairan koloid dan kristaloid hendaknya murah,
hanya menimbulkan edema ringan, dan menghasilkan stabilitas kardiovaskular yang
menetap. Beberapa data menunjukkan bahwa larutan garam hipertonik dapat
memberikan beberapa keuntungan di atas, terutama bila dikombinasikan dengan
koloid (Tabel 5). Volume kecil (6 ml/kg) larutan 7,5% NaCl hipertonik (1,2 mEq
Na+/ml) telah berhasil digunakan sebagai cairan resusitasi tunggal pada binatang
yang mengalami perdarahan.38 Berbagai larutan Na+ hipertonik juga telah dipakai
dalam klinik.39-45 Larutan NaCl hipertonik secara efektif mengembalikan tekanan
darah sistolik, curah jantung dan aliran darah mesenterik pada anjing yang
mengalami perdarahan . Sayangnya peningkatan curah jantung dan aliran darah
serebral akibat NaCl hipertonik hanya menetap selama 30-60 menit. Larutan NaCl
hipertonik/hiperonkotik seperti, 7,5% NaCl/6% dekstran atau 7,5% NaCl /6% kanji
hidroksietil memberikan perbaikan hemodinamik yang lebih lama dibanding dengan
NaCl hipertonik sendirian.46,47 Kombinasi NaCl hipertonik dengan koloid seperti kanji
hidroksietil telah dipakai dalam klinik pada pembedahan jantung orang dewasa,
dengan hasil kebutuhan volume berkurang secara bermakna, perbaikan curah
jantung dan penurunan tahanan pembuluh darah sistemik. 48
18
18
Tabel 5. Cairan resusitasi hipertonik : keuntungan dan kerugian 49
Larutan Keuntungan Kerugian
Kristaloid hipertonik Tidak mahal Hipertonisitas Promosi aliran kencing Pencetusan hematoma subdural Volume awal kecil Memperbaiki kontraktilitas miokardial Efek sebentar Dilatasi arteriolar Edema perifer berkurang Tekanan intrakranial menurun
Kristaloid hipertonik + Respons hemodinamik menetap Biaya bertambahkoloid lebih lama Komplikasi khas akibat koloid
Kebutuhan volume selanjutnya berkurang
Modifikasi dari Prough DS, Johnston WE : Fluid resuscitation in septic shock : No solution yet. Anesth Analg 1989; 69:699.
Mekanisme primer larutan hipertonik meningkatkan alir balik (venous return)
adalah ekspansi PV akibat translokasi cairan intraselular ke ekstraselular dan
translokasi sebentar cairan interstisial ke intravaskular.52 Segera setelah infus,
kombinasi 7,5% NaCl dan 6% dekstran 70 meningkatkan PV sebesar kira-kira 7 kali
volume infus asal. Efek yang segera timbul ini sebagian disebabkan oleh fakta
bahwa permeabilitas kapiler sistemik terhadap Na+ tidaklah lengkap (koefisien
refleksi=0,1); karenanya, IFV ditranslokasikan ke dalam PV sampai tercapai
keseimbangan. Efek penambahan NaCl hipertonik sesudah keseimbangan ECV dan
ICV dapat pula dikalkulasikan.53 Infus 140mL (2mL/kg) pada orang dewasa 70kg
secara osmotis akan menarik 800mL ke dalam ruang ekstraselular; peningkatan PV
(1/5 ekspansi ekstraselular) adalah sekitar 160mL.
Larutan hipertonik memberikan efek yang menguntungkan pada hemodinamik
serebral karena adanya hubungan timbal balik antara osmolaritas plasma dan air
otak.54,55 Koefisien refleksi, yang untuk albumin berkisar dari 0,6 sampai 0,9 pada
kebanyakan kapiler sistemik, dalam jaringan kapiler serebral mendekati 1 untuk
protein dan Na+. Perubahan kecil pada Na+ serum menyebabkan gradien tekanan
osmotik antar jaringan kapiler serebral yang lebih besar daripada perubahan yang
relatif lebih besar pada kadar protein serum. Sebagai contoh, penambahan 5 mEq/L
pada Na+ serum akan meningkatkan osmolalitas sebesar 10 mOsm/kg atau tekanan
osmotik 193 mmHg. Sangat berbeda dari hal tersebut, tekanan osmotik antar sawar
19
19
darah otak yang dihasilkan oleh kadar protein serum normal hanya sedikit lebih tinggi
dari 23mmHg.
Efek akut pada tekanan intrakranial bergantung pada tonisitas cairan infus.
Cairan hipertonik mengurangi air otak dan tekanan intrakranial pada kelinci;56 0,9%
NaCl sedikit meningkatkan tekanan intrakranial, namun tidak mengubah air otak.
Larutan RL (kadar Na+ 130 mEq/L) sedikit menambah air otak; 6% kanji hidroksietil
dalam 0,9 NaCl (154 mEq/L) tidak mempunyai efek baik pada tekanan intrakranial
maupun pada air otak.57 Selama resusitasi syok hemoragik dengan larutan RL,
tekanan intrakranial meningkat, tetapi tetap tidak berubah bila digunakan 7,5%
NaCl.58,59 Efek pada tekanan intrakranial dan aliran darah serebral bervariasi
bergantung pada model eksperimental, dan keutuhan integritas sawar darah otak.
NaCl hipertonik juga telah berhasil digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
yang meningkat pada anak.60 Akan tetapi, harus diingat bahwa sel-sel otak dengan
cepat akan membesar kembali ke volume asalnya sesudah dehidrasi hipertonik.61
Secara potensial NaCl hipertonik dapat digunakan misalnya untuk resusitasi
prarumah sakit pada pasien trauma multipel, terutama yang dengan kekembangan
intrakranial yang menurun, dan pasien yang menjalani pintasan jantung paru, di
mana cairan hipertonik dapat membatasi kebutuhan akan cairan isotonik tambahan.
Pada suatu penelitian multi senter, pasien-pasien trauma secara acak dibagi ke
dalam kelompok-kelompok yang menerima 250mL larutan garam seimbang atau
7,5% NaCl dalam 6% dekstran 70 (HSD).41 HSD memperbaiki tekanan darah, tetapi
secara keseluruhan tidak memperbaiki angka kelangsungan hidup; namun pada
pasien-pasien yang memerlukan pembedahan angka kelangsungan hidup lebih
tinggi pada kelompok HSD.41 Vassar dkk44 membandingkan 250mL larutan RL
dengan 7,5% NaCl dalam 6% dekstran 70 untuk resusitasi prarumah sakit pada
pasien-pasien trauma dengan tekanan darah sistolik ≤ 100mmHg. Kendati secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan dalam mortalitas, pada kelompok pasien
dengan cedera kepala berat (53 dari 186), 32% kelompok HSD tetap hidup, dan
hanya 16% pada kelompok RL(P=0,04). Selanjutnya, Vassar dkk62 membuat
evaluasi efek 250 mL NaCl dengan dan tanpa 6% dan 12% dekstran 70 untuk
resusitasi prarumah sakit pada pasien-pasien trauma hipotensif. Penambahan
dekstran tidak memperbaiki perubahan-perubahan tekanan darah akibat pemberian
20
20
NaCl hipertonik sendirian. Kelompok kecil pasien dengan skor Glasgow Coma Scale
< 8 tetapi tanpa cedera anatomik berat, agaknya yang paling banyak mendapat
keuntungan dari resusitasi hipertonik.62
Para spesialis bedah trauma berpendapat bahwa secara umum resusitasi
prarumah sakit dapat menambah kelambatan tanpa manfaat.63,64 Resusitasi kristaloid
sesungguhnya meningkatkan mortalitas pada perdarahan tidak terkontrol
eksperimental.65 Pada pasien-pasien trauma urban, Bickell dkk66 melaporkan bahwa
resusitasi segera prarumah sakit tidak mengurangi mortalitas dibanding dengan
resusitasi yang baru dimulai setelah tiba di rumah sakit. Larutan NaCl hipertonik
ternyata cukup aman. Pemberian NaCl hipertonik dapat berakibat peningkatan kadar
Na+ serum sampai 150-155 mEq/L; namun, pasien ternyata dapat menoleransikan
peningkatan akut tanpa efek yang merugikan.41,45 Mielinolisis pontin sentral yang
terjadi sesudah koreksi cepat hiponatremia berat, terutama yang kronik,67,68,69 tidak
pernah ditemukan dalam uji klinis resusitasi hipertonik.45
Pemantauan hemodinamik
Hanya sedikit yang senang memberi cairan dalam jumlah besar kepada
pasien-pasien sakit kritis, terutama oleh karena banyak pasien dengan syok septik
mempunyai penyakit jantung atau depresi miokardial akibat sepsis itu sendiri.
Kebutuhan akan pemantauan hemodinamik yang cermat selama resusitasi cairan
sangat penting. Pemantauan tekanan darah pada syok septik yang dianjurkan
adalah pengukuran langsung lewat kateter intra-arterial. Tekanan darah yang didapat
dengan cara tak langsung dengan memakai manset sering tidak akurat pada pasien
yang mengalami vasokonstriksi akibat syok sirkulatoar. Tekanan darah arteri yang
cukup tidak memberi arti bahwa curah jantung cukup, karena nilai yang cukup
tersebut mungkin akibat vasokonstriksi hebat. Karena itu, pemberian bolus cairan
dalam waktu singkat secara empirik hendaknya dikerjakan selagi terpasang kateter
intra-arterial.
Langkah yang paling sering adalah pemantauan hemodinamik sentral. Dalam
hal ini, pengukuran PAWP lebih disukai daripada hanya dengan tekanan vena
sentral (CVP), sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat dipantau. Tidaklah
merupakan keharusan untuk memasang jalur sentral pada setiap pasien.
21
21
Pendekatan non-invasif dapat dipakai pada kasus-kasus yang telah diberi “cairan
tantangan” tersebut dan tekanan darah, jumlah urin dan status mental, semua
membaik sementara tingkat laktat tetap normal. Namun, apabila tantangan cairan
empirik awal tidak menghasilkan perbaikan, maka perlu dipasang jalur sentral.
Aturan 7 dan 3
Tanpa memandang macam cairan infus yang diberikan, kita dapat memakai
aturan 7 dan 3 seperti yang dianjurkan oleh Dr. Max Harry Weil dari University of
Southern California. Bila pemberian cairan tantangan mengubah PAWP kurang dari
3 mmHg, penambahan lagi cairan tantangan dapat ditoleransikan. Jika PAWP
meningkat lebih dari 7 mmHg, jangan lagi diberikan cairan dan dipertimbangkan
terapi inotropik bilamana curah jantung tidak adekuat. Apabila peningkatan PAWP
antara 2 dan 7 mmHg dianjurkan untuk menunggu 10 menit untuk melihat apakah
tekanan pengisian menurun. Kita juga perlu melihat kurva fungsi Starling. Bila
penambahan cairan menaikkan PAWP tanpa meningkatkan curah jantung, kita
hendaknya jangan memberi cairan lagi. Dianjurkan untuk mepertahankan PAWP
pada atau di bawah 15 mmHg, curah jantung yang tinggi, tekanan darah rata-rata
lebih dari 60 mmHg dan produksi urin minimal 0,5ml/kg/jam.
Titik akhir terapi
Setelah memutuskan cairan resusitasi atau kombinasi cairan mana yang
paling tepat untuk pasien syok tertentu, isu yang tertinggal adalah “seberapa banyak
yang hendaknya diberikan ?”. Ini jelas akan bergantung pada parameter yang
digunakan untuk memantau resusitasi dan titik akhir terapi yang dipilih. Resusitasi
cairan yang diberikan dengan hanya berdasarkan kehilangan nyata yang diukur
adalah pedoman jelek untuk terapi, terutama pada syok septik, jumlah cairan yang
diperlukan dapat jauh lebih banyak daripada volume darah normal.
Tekanan darah merupakan metode yang relatif juga tidak sensitif dalam
menilai derajat syok. Tekanan darah tidak memberi gambaran perfusi jaringan dan
karena pelepasan katekolamin pada syok, tekanan darah dapat dipertahankan
dengan baik walaupun terjadi hipovolemia. Laju nadi merupakan indikator yang
sedikit lebih handal dan pada pasien muda, frekuensi melebihi 120/menit sering
22
22
menunjukkan hipovolemia. Akan tetapi, laju nadi dipengaruhi oleh banyak faktor lain
seperti nyeri, stres emosional dan obat-obatan. Tindakan yang menilai kecukupan
sirkulasi perifer, seperti suhu jari kaki lebih bermanfaat. Kadar laktat darah yang
meningkat pada syok biasanya menunjukkan hipoksia jaringan dan netralisasi
asidosis metabolik merupakan salah satu tujuan terapi. Untuk syok ringan, titik akhir
ini mungkin cukup untuk memantau terapi cairan dan mengarahkan resusitasi.
Pada syok sedang pun, diperlukan estimasi tekanan pengisian jantung volume
darah. Cara paling sederhana adalah menggunakan TVS. Namun, TVS sering tidak
mencerminkan tekanan pengisian pada sisi kiri jantung karena adanya perbedaan
nyata pada tekanan ventrikular kiri dan kanan pada pasien yang sakit gawat. TVS
juga tidak selalu mencerminkan volume darah dengan tepat, karena perubahan-
perubahan tonus pembuluh kapasitas vena yang dapat mempertahankan TVS
normal pada hipovolemia. Pada syok ringan, sedang, pengukuran TVS dapat
berguna bila digabung dengan parameter hemodinamik lainnya. Pada setiap tingkat,
respons klinis dapat dipakai untuk memantau adekuat atau tidak adekuatnya
resusitasi dan menghindari penyelidikan lebih lanjut.
Pemakaian PAWP untuk mengukur tekanan pengisian adalah cara yang lebih
akurat, sebab PAWP berkaitan erat dengan tekanan atrial kiri dan tekanan diastolik
akhir ventrikular. Namun, PAWP tidak selalu berkorelasi secara handal dengan
volume diastolik akhir ventrikular yang sesungguhnya merupakan prabeban
ventrikular. Lebih dari itu, resusitasi yang didasarkan sepenuhnya pada pengukuran
PAWP yang berubah-ubah telah dibuktikan secara eksperimental berakibat
pemberian cairan resusitasi dalam jumlah yang berlebihan. Pengukuran PAWP
memerlukan pemasukan kateter arteri pulmoner. Akhir-akhir ini timbul cukup banyak
kontroversi mengenai risiko dan manfaat alat pantau ini. Perlu ditekankan bahwa
pada banyak pasien dengan syok pemasukan kateter arteri pulmoner ini tidaklah
diperlukan. Akan tetapi, bila terjadi hipotensi yang menetap, kebutuhan akan inotrop,
oliguria atau asidosis laktik, maka diperlukan pemantauan yang lebih ekstensif
sebagai pedoman resusitasi. Pemantauan itu sendiri tidak dapat mempertinggi angka
kelangsungan hidup, tetapi semata-mata hanyalah suatu pedoman untuk bertindak
lebih lanjut.
23
23
Pengembalian perfusi jaringan merupakan tujuan akhir resusitasi dari syok.
Terutama pada syok septik, dapat terjadi hipoksia jaringan berat biarpun
kelihatannya aliran darah, tekanan dan oksigenasi sistemik adekuat. Curah jantung
dapat diukur dengan memakai kateter arteri pulmoner termodilusi, dan bersama-
sama dengan pengukuran SaO2 dan Hb dapat digunakan untuk menilai DO2. Namun,
kendati dilengkapi dengan pengukuran-pengukuran tersebut, kita tidak dapat menilai
kecukupan perfusi jaringan tanpa menghubungkan DO2 dengan VO2. Dari data yang
dikumpulkan dari pasien dengan syok septik disimpulkan bahwa peluang untuk dapat
hidup terus adalah lebih tinggi jika VO2 dan curah jantung supranormal.3
Pada suatu penelitian pada pasien yang dioperasi dengan risiko tinggi,
resusitasi sampai titik akhir tertentu (c.o > 4.5 L/men/m2, DO2 > 660 ml/men/m2; VO2
> 170 ml/men/m2) ternyata menurunkan mortalitas, penyulit, lama tinggal di ICU dan
di rumah sakit serta biaya. Namun, bila dipertimbangkan berbagai macam syok, nilai
yang pasti untuk titik akhir tersebut mungkin berbeda-beda. Pengukuran pokok
resusitasi dengan menggunakan kriteria DO2 adalah tes fluks oksigen. Pada orang
sehat, VO2 tidak bergantung pada DO2 di atas pengiriman kritis x ml/men. Pada syok
berat, terutama sekali syok septik, VO2 dapat meningkat sesudah suatu peningkatan
dalam DO2, mengarah pada adanya hipoksia jaringan yang tersembunyi atau debet
oksigen. Disarankan bahwa resusitasi hanya lengkap bila upaya untuk menaikkan
PO2 (pengisian cairan, inotrop, vasodilator) gagal untuk meningkatkan VO2. Pada titik
ini dikatakan bahwa ketergantungan aliran menghilang. Tes fluks oksigen ini telah
terbukti dapat mengidentifikasikan pasien yang akan terus hidup dan yang akan
meninggal dunia, tidak meninggikan angka kelangsungan hidup jika dipakai sebagai
titik akhir resusitasi.
Terapi cairan pada hipovolemia
Kristaloid dengan kadar isotonik Na+ dan koloid kedua-duanya dapat dipakai
untuk ekspansi ruang intravaskular. Untuk memilih salah satu di antara dua grup
cairan ini, ada beberapa hal yang perlu diingat :
Untuk ekspansi ruang intravaskular diperlukan lebih banyak kristaloid daripada
koloid.70,71
Kristaloid lebih murah.
24
24
Koloid mempunyai risiko reaksi imunologis.
Terdapat pula masalah logistis sehubungan dengan pemberian kristaloid yang
banyak :
Beban cairan lebih besar.
Beban Na+ lebih besar.
Tantangan termal lebih besar.
Untuk ekspansi ruang intravaskular dengan kristaloid diperlukan waktu lebih
lama.70
Volume yang besar sukar dibawa dan disimpan dalam area yang terisolasi
(misalnya pada kecelakaan, pemakaian militer).
Problem terbesar pada penggunaan kristaloid untuk ekspansi ruang intravaskular
adalah diperlukannya volume yang besar. Ini dapat menyebabkan kelebihan cairan
tubuh total, bahkan pada keadaan ruang intravaskular yang berkontraksi, dengan
ekspansi berlebih ruang interstisial dan edema perifer. Ini dapat diperberat oleh
hipoproteinemia dilusional 35 dan penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang
menyebabkan cairan berpindah dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.29
Edema interstisial menyebabkan penurunan VO2 jaringan perifer, akibat jarak difusi
yang lebih panjang antara kapiler dan sel. Ini dapat pula mengakibatkan
penyembuhan luka terhambat. Di samping itu, juga terjadi gangguan fungsi limfatik,
tekanan positif dalam ruang interstisial menimbulkan kolaps pembuluh-pembuluh
yang halus dan gangguan katup, sehingga terjadi akumulasi protein dalam ruang
interstisial dengan akibat edema makin parah. Lowell dkk 71 membuat definisi cairan
berlebih sebagai peningkatan berat badan ≥ 10 % pada sakit kritis. Ketika meneliti
pasien dengan problema ini, mereka menemukan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dibanding dengan pasien yang tidak mengalami cairan berlebih.71
Pada orang sehat dengan paru-paru normal, kristaloid volume besar mungkin
tidak menyebabkan peningkatan bermakna pada air paru ektravaskular, asalkan
kompartemen intravaskular tidak diekspansikan di luar batas-batas yang wajar.72,73 Ini
karena paru—paru dapat memindahkan cairan berlebih dengan efisien, terutama
dengan meningkatkan drainase limfatik. Namun ini tidak terjadi pada pasien sakit
25
25
kritis yaitu pasien-pasien dengan cedera paru akut dan sindroma respons inflamatori
sistemik (SIRS). 74
Terapi cairan pada pasien pascabedah tanpa komplikasi
Hipovolemia biasa dijumpai sesudah trauma pembedahan dan kecelakaan,
dan telah diberi terapi dengan kristaloid bervolume besar. Volume kristaloid, yang
didistribusikan terutama dalam ruang interstisial, dititrasikan terhadap tanda-tanda
ruang intravaskular yang berkurang, yaitu perubahan-perubahan dalam laju jantung,
tekanan darah dan keluaran urin. Alasan pemakaian kristaloid bermula dari
penelitian awal yang menunjukkan kontraksi ECV total pada pasien hipovolemik
sesudah prosedur bedah mayor, bahkan sesudah kehilangan darah disingkirkan
sebagai kausa 75. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh redistribusi internal dan
sekuestrasi cairan ektraselular ke dalam jaringan sekitar luka bedah dan usus.
Penelitian belakangan ini menunjukkan adanya ekspansi ruang interstisial
pada pasien-pasien tersebut.76,77 Selain itu, respons normal tubuh terhadap stres
adalah menahan Na+ dan air dengan berbagai mekanisme yang mencakup
peningkatan sekresi hormon antidiuretik dan aldosteron.78 Karena kedua faktor
tersebut, banyak yang mempertanyakan validitas pemberian Na+ dan air kepada
pasien dengan ruang interstisial yang mengalami ekspansi. Pada pasien muda
sehat, mungkin aman untuk memberikan kristaloid dalam jumlah besar karena
mempunyai mekanisme kompensatori yang baik untuk mengatasi kelebihan cairan.
Pada pasien sakit kritis, volume yang besar ini lebih berbahaya dan dalam
penanganan ruang intravaskular yang berkurang pada pasien-pasien ini, yang paling
baik adalah memberikan cairan yang mengekspansikan ruang tersebut, yakni koloid.
Terapi cairan pada pasien traumatik
Dalam pemberian terapi cairan pada pasien traumatik/perioperatif, kita harus
memperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit-penyakit yang menyertai,
medikasi, teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan akibat
trauma/pembedahan. Trauma dan pembedahan secara akut mengubah volume dan
komposisi ruang ruang cairan intra dan ekstraselular. Dibandingkan dengan individu
normal, pasien yang mengalami trauma berat mempunyai ICV yang sedikit
26
26
berkurang dan ECV yang banyak bertambah. Pemberian infus kristaloid atau koloid,
meskipun terutama ditujukan untuk mempertahankan volume intravaskular, juga
akan mempengaruhi ukuran dan komposisi kompartemen-kompartemen cairan
fisiologis. Untuk mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau yang
berlebihan, diperlukan pengetahuan tentang volume dan komposisi kompartemen
cairan, tanda-tanda fisis dan laboratori kelebihan atau kekurangan cairan, dan
pemilihan jenis cairan. Yang paling ditakuti adalah bila trauma sempat menyebabkan
syok hipovolemik.
Terapi cairan pada pasien sakit kritis
Penggunaan cairan intravena untuk resusitasi lebih sulit pada pasien sakit
kritis. Pada pasien-pasien ini, sel-sel endotel kapiler sering kali bocor sehingga
molekul-molekul protein besar keluar ke ruang interstisial.79,80 Ini menurunkan
gradien-gradien tekanan osmotik antar dinding kapiler dan air mengikuti molekul
protein keluar ke interstisium dengan pengurangan IVV. Timbullah edema perifer dan
paru dengan akibat hipoksemia, penurunan DO2 dan penurunan VO2 oleh jaringan
perifer. Penggunaan koloid pada pasien ini kontroversial, karena adanya
kekhawatiran bahwa koloid eksogenous dapat juga keluar ke interstisium sehingga
memperburuk edema interstisial.
Problem kebocoran kapiler paling sering dijumpai pada cedera paru akut dan
SIRS akibat septisemia. Cedera paru akut atau ARDS terjadi sebagai akibat cedera
berat pada unit-unit pertukaran gas paru. Ini bukanlah penyakit tunggal, tetapi
merupakan jalan terakhir untuk berbagai serangan yang dapat mencederai paru
secara langsung atau tidak langsung. Dalam sindroma ini terjadi peningkatan
permeabilitas membran kapiler/ alveolar. Ini mengakibatkan edema paru tekanan
rendah di mana cairan merembes ke dalam ruang interstisial tanpa tekanan tinggi
seperti yang dijumpai pada gagal jantung. 81 Pada SIRS, endotoksin yang
dikeluarkan oleh bakteria menyebabkan respons inflamatori luas, yang
mempengaruhi sel-sel endotel kapiler. Ini juga berakibat peningkatan permeabilitas
dan edema interstisial. Penatalaksanaan pasien ini terutama suportif dan pada
cedera paru akut ventilasi mekanis seringkali diperlukan karena adanya hipoksemia.
Dalam melakukan resusitasi pada pasien ini penting untuk mengingat dua konsep.
27
27
Yang pertama, sindroma ini ditandai dengan rembesan cairan ke dalam
interstisium paru dan alveolus. Dengan mengeluarkan cairan dari kompartemen-
kompartemen tersebut pertukaran gas akan membaik sehingga mengurangi
kekerapan hipoksemia. Persamaan Starling menunjukkan bahwa ada dua faktor
yang mudah dimanipulasikan yang mempengaruhi perpindahan cairan antara ruang
intravaskular dan interstisial, tekanan hidrostatik dalam kapiler dan tekanan osmotik
koloid plasma.82 Tekanan hidrostatik yang tinggi akan mendorong cairan keluar dari
kapiler ke dalam paru. Idealnya tekanan pengisian atrial kiri hendaknya dipantau
secara langsung, tetapi ini jarang dapat dilakukan dan digunakan kateter flotasi arteri
pulmonalis sebagai ganti mengukur PAWP untuk menghindari nilai yang tinggi.
Ruang intravaskular hendaknya diisi sampai adekuat untuk mempertahankan
variabel-variabel hemodinamik normal dan pasien tidak “kekeringan”. Akan tetapi
dalam praktek kita memberi diuretika kepada pasien dengan cedera paru akut,
mengukur gas darah arteri sebelum dan sesudahnya. Bila dengan diuretika ada
perbaikan pada oksigenasi arteri maka pasien diberi diuretika kembali sampai tidak
ada lagi respons.
Yang kedua, sindroma ini sering disertai dengan hipoksemia. Karena itu
pengantaran oksigen dan DO2 darah harus dimaksimalkan. Ini dapat dicapai dengan
memberikan darah lengkap atau eritrosit (packed cells) untuk mempertahankan
kadar hemoglobin normal (12-14 g/dL) dan memastikan bahwa tekanan pengisian
ventrikular kiri adekuat untuk mempertahankan curah jantung yang normal atau
tinggi. Kontroversi timbul sekitar pemilihan koloid atau kristaloid untuk ekspansi
ruang intravaskular. Yang pro koloid mengatakan bahwa koloid akan
mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma dan meminimalkan akumulasi
cairan interstisial.83,84 Selain itu kristaloid akan menurunkan tekanan osmotik koloid
plasma dan cenderung menimbulkan edema paru.35,85 Telah dibuktikan bahwa
penurunan tekanan osmotik koloid plasma pada pasien sakit kritis disertai dengan
peningkatan laju mortalitas, meskipun peningkatan tekanan osmotik koloid plasma
belum pernah dibuktikan dapat menaikkan angka kelangsungan hidup. Akan tetapi
yang pro kristaloid mencela beaya dan risiko terapi koloid. Mereka juga mengatakan
bahwa koloid seperti albumin yang diberikan pada keadaan permeabilitas vaskular
28
28
perifer dan pulmoner yang meningkat akan keluar ke interstisium dan terperangkap
dalam ruang tersebut dan menimbulkan edema.85,86
Hauser dkk87 membandingkan pasien-pasien sakit kritis yang mendapat cairan
resusitasi koloid dengan kristaloid. Mereka menemukan bahwa kelompok koloid
mengalami perbaikan yang lebih baik pada variabel-variabel hemodinamik, tanpa
adanya bukti peningkatan air paru atau terperangkapnya albumin. Akan tetapi pada
kelompok kristaloid dijumpai pertukaran gas paru yang lebih buruk, penurunan VO2
dan perbaikan variabel hemodinamik yang sedang saja. Appel dan Shoemaker88 juga
menunjukkan bahwa penggunaan koloid pada pasien sakit kritis menyebabkan
perbaikan nyata pada semua variabel hemodinamik dan DO2, tetapi pada
penggunaan kristaloid hanya dijumpai sedikit perbaikan.
Resusitasi cairan pasien kombustio
Perawatan kombustio melibatkan kehilangan integritas kapiler pada jaringan
yang rusak, yang mengakibatkan kehilangan cairan isotonik dan albumin dari
kompartemen intravaskular ke dalam jaringan sekitar cedera. Ini akan menimbulkan
tekanan onkotik plasma yang rendah, edema yang luas dan penurunan PV, disertai
dengan hipotensi, curah jantung dan keluaran urin yang menurun dan syok.
Resusitasi cairan dapat mengacaukan penurunan PV awal ini.
Yang pro terapi koloid menyatakan bahwa koloid mengembalikan variabel-
variabel hemodinamik ke normal lebih cepat dari kristaloid dan akan membantu
mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma yang normal. Kristaloid juga dapat
menyokong timbulnya edema paru yang biasa terlihat pada pasien kombustio.
Edema paru ini dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yaitu
hipoproteinemia, cedera inhalasi dan perubahan permeabilitas kapiler paru akibat
kombustio atau sepsis. Ahli yang lain berpendapat bahwa kristaloid diperlukan untuk
ekspansi ruang intravaskular dan interstisial yang berkurang dan dalam keadaan di
mana mungkin terjadi sindroma kebocoran kapiler/alveolar, koloid hendaknya
dihindarkan karena kemungkinan sekuestrasi dalam ruang ekstravaskular. Koloid,
yang membutuhkan waktu lebih lama untuk keluar dari tubuh, dapat menimbulkan
akumulasi cairan paru ketika cairan edema diserap kembali dari luka bakar.89
29
29
Tranbaugh dkk90 membandingkan pemakaian kristaloid dan koloid pada
pasien kombustio dan menunjukkan bahwa dengan kristaloid tidak timbul
peningkatan air paru ekstravaskular asalkan tidak ada sepsis. Sekali pasien menjadi
terinfeksi, maka kebocoran paru bertambah dan air paru ekstravaskular meningkat
dengan pemakaian kristaloid. Maka dari itu kristaloid dapat dipakai untuk resusitasi
walaupun diperlukan volume yang lebih besar dan disertai dengan peningkatan
edema perifer dan penambahan berat badan. Ini mungkin berefek pada morbiditas
yang terlambat. Sekarang ini kebanyakan pasien kombustio mendapat volume
kristaloid yang besar dalam 24 jam pertama untuk ekspansi cairan ekstraselular.
Sesudah 24 jam, umumnya dipakai volume koloid yang lebih besar dan volume
kristaloid yang lebih kecil.91
Albumin versus koloid sintetik
Hipoalbuminemia biasa dijumpai pada pasien sakit kritis karena dua sebab.
Pertama, sering terjadi penurunan sintesis protein oleh hepar akibat defisit nutrisional
dan kekerapan kerusakan hepar yang tinggi. Kedua, terdapat penambahan
kehilangan albumin dari ruang intravaskular. Sesudah pembedahan tanpa
komplikasi, albumin yang meninggalkan ruang intravaskular dan merembes ke dalam
ruang interstisial meningkat 100%. Pasien dengan kebocoran kapiler, kehilangan
albumin dari ruang intravaskular meningkat 300%.92 Umumnya albumin lebih disukai
daripada koloid sintetik, khususnya pada hipoalbuminemia, biarpun jauh lebih mahal.
Yang pro terapi albumin berpendapat bahwa albumin paling baik untuk ekspansi
ruang intravaskular dan mempertahankan tekanan onkotik, karena pada pasien
sehat albumin merupakan protein utama penunjang tekanan onkotik plasma. Akan
tetapi telah ditunjukkan bahwa hanya ada sedikit korelasi antara kadar albumin
plasma dan tekanan onkotik plasma. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa koloid
sintetik setidaknya sama bagus seperti albumin dalam hal meningkatkan tekanan
onkotik plasma 29,93 dan mempunyai efek hemodinamik yang sama bila dipakai untuk
ekspansi ruang intravaskular.94
Albumin juga mengikat berbagai konstituen plasma lipofilik dan obat-obat
asam. Umumnya dianggap bahwa efek farmakologis obat disebabkan oleh fraksi
yang bebas, sedangkan fraksi yang terikat tidaklah aktif. Yang pro terapi albumin
30
30
berpendapat bahwa bila ada hipoalbuminemia, obat-obat mungkin mempunyai kadar
plasma normal tetapi mungkin pula mempunyai fraksi bebas yang abnormal tinggi
dengan konsekuensi efek terapeutik dan toksik yang lebih besar. Terdapat bukti
eksperimental yang menyokong hal ini pada midazolam95 kendati ini tidak dapat
dianggap berlaku untuk semua obat. 92 Beberapa kelompok ahli membandingkan
pemberian suplemen albumin untuk mempertahankan kadar albumin dalam batas
normal, dengan tanpa pemberian albumin. Tidak terdapat perbedaan bermakna di
antara kedua kelompok terapi dalam hal jumlah hari pemakaian ventilasi mekanis,
hasil akhir (outcome) dan variabel-variabel lainnya. Semua kelompok ahli tersebut
menyimpulkan bahwa pada pasien sakit kritis, pemberian suplemental rutin albumin
adalah mahal, tidak memberikan keuntungan dan hendaknya ditinggalkan. 96
RINGKASAN
Banyak ahli yang menyimpulkan secara sederhana, bahwa karena tidak jelas
berbeda dalam hasil pada pasien yang telah mendapat resusitasi kristaloid atau
koloid, maka hendaknya dipakai cairan yang paling murah, yaitu tentu saja kristaloid.
Argumentasi harga ini perlu dikaji lebih dalam karena beaya resusitasi cairan pada
pasien yang memerlukan prosedur resusitasi kompleks hanya merupakan suatu
fraksi saja dari beaya keseluruhan. Posisi ekstrim dalam kontroversi tidak dapat
dibenarkan. Pemilihan cairan lebih banyak ditentukan oleh pasien ketimbang oleh
dokter yang mungkin pro atau kontra jenis cairan tertentu. Perlu dipertimbangkan
kompartemen mana yang membutuhkan resusitasi cairan. Bila hanya terjadi
kekurangan cairan intravaskular, maka cairan yang lebih cocok adalah koloid atau
darah. Bila terjadi defisit cairan interstisial maka kristaloid seperti larutan RL yang
lebih cocok. Mungkin perlu memberi koloid dan kristaloid bila terjadi defisit di ruang
intravaskular dan interstisial. Bila perlu menambah cairan intraselular, yaitu pada
dehidrasi intraselular, maka yang paling baik dipakai adalah 5% dekstrosa dalam air.
Pasien ini biasanya hipernatremik, dengan urea plasma tinggi dan osmolalitas urin
tinggi. Pasien sehat dengan ruang intravaskular yang berkontraksi dapat diberi
cairan resusitasi dengan darah, koloid atau kristaloid volume besar. Darah adalah
paling baik untuk terapi hipovolemia akibat perdarahan. Bila darah tidak segera
31
31
tersedia, koloid dengan waktu paruh plasma yang pendek seperti gelatin akan
mempertahankan volume intravaskular sampai darah tersedia. Jenis cairan untuk
resusitasi hendaknya diganti menurut lama dan berat hemoragi atau syok hemoragik
dan apakah terjadi kebocoran kapiler.
Pada operasi tanpa banyak trauma bedah, kecuali kehilangan darah, dapat
diberikan mula-mula koloid, dan kemudian darah jika terjadi hemodilusi yang
bermakna. Pada operasi dengan trauma bedah yang bermakna dan pada pasien
yang menderita trauma non bedah yang terlambat diberi cairan resusitasi, dapat
dipakai kombinasi kristaloid dan koloid. Akhirnya, pada pasien dengan kebocoran
kapiler, prognosis sangat jelek, tidak pandang macam cairan apa yang diberikan.
Akan tetapi untuk pasien ini lebih baik diberi koloid dengan molekul lebih besar.
Dalam penatalaksanaan prarumah sakit dan cairan untuk pasien dengan hipertensi
intrakranial masih diperlukan kemajuan-kemajuan lebih lanjut. Untuk pertanyaan
apakah di masa yang akan datang para klinikus secara rutin akan menggunakan
cairan hipertonik atau kombinasi hipertonik/hiperonkotik untuk resusitasi, belum ada
jawaban yang pasti. Penggunaan optimum cairan dalam resusitasi pada pasien
dengan syok memerlukan pertimbangan kondisi pasien sebelum sakit, penyebab
syok, pengetahuan fisiologi kardiovaskular yang baik dan pemahaman sifat-sifat
cairan yang tersedia.
Resusitasi cairan hendaknya disesuaikan untuk setiap pasien. Secara khusus
resusitasi adalah suatu proses dinamik dan respons terhadap terapi harus dinilai
secara kontinyu. Ini akan menuntun kita ke langkah berikutnya. Seperti halnya
penggantian cairan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kegagalan organ dan
kematian, kelebihan cairan juga dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi.
Cairan dan titik akhir apapun yang dipilih, kemungkinan tidak akan berhasil jika
resusitator membuat instruksi lewat telpon. Aset paling berharga bagi pasien dengan
syok adalah kehadiran seorang dokter yang berpengalaman dan yang mendapat
informasi lengkap di samping tempat tidurnya. Kristaloid hendaknya jangan dipakai
untuk terapi hipovolemia pada pasien sakit kritis dengan cedera paru akut atau SIRS.
Pasien-pasien ini biasanya mempunyai ruang interstisial yang sangat membesar dan
tidak mempunyai mekanisme kompensasi untuk mobilisasi dan ekskresi cairan
dibandingkan dengan pasien sehat.
32
32
Mudah-mudahan makalah ini dapat menghilangkan kebingungan tentang
larutan ideal untuk terapi cairan, yang memang demikianlah pencerminan praktek
sekarang ini. Saran terbaik adalah ikuti prinsip-prinsip dasar fisiologis yang telah
mapan. Pada kebanyakan situasi, perhatian primer pada kebutuhan kuantitatif
dengan mempertahankan kadar Hb dan faktor koagulasi yang optimal akan
memberikan peluang terbesar untuk sukses.
Daftar Pustaka
1. Rosenthal MH, Pearl RG, Shock. Dalam : Donegan JD (ed). Manual of Anesthesia for emergency surgery. New York, Churchill Livinstone 1987; 259–90.
2. Rosenthal MH. Physiologic Approach to the management of shock. Seminars in Anesthesia 1982; 1:285–92.3. Hawker F. Fluid resuscitation in shock. International Symposium on Cardiothoracic Critical Care. Jakarta 1990.4. Arfors KE, Buckley PB : Role of artificial colloids in rational fluid therapy. In Tuma RF, White JV, Messmer K (eds) : The
role of hemodilution in optimal patient care, Munchen, W Zuckschwerdt 1989; p 100.5. Astiz ME, Galera-Santiago A, Rackow EC : Intravascular volume and fluid therapy for severe sepsis. New Horizons 1993;
1:127.6. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I et al. Hemodynamic and oxygen transport responses to body water shifts produced
by colloids and crystalloids in critically ill patients. Surg Gynecol Obstet 1980; 150:811.7. Shoemaker WC, Beez MG. Relation of capillary leak to hypovolemia, low flow, tissue hypoxia, oxygen debt, organ failure
and death : Part II. International Journal of Intensive Care 1996; 3:140.8. Kohler H, Zschiedrich H, Linfante A. blod volume, colloid osmotic pressure and kidney function of healthy volunteers
following infusion of HES 200/0.5 and 10% dextran 40 (Engl translation) Anaesthetist 1982; 31:61.9. Lazrove S, Waxman S, Skippy W, Shoemaker WC et al. Hemodynamic blood volume and oxygen transport responses to
albumin and hydroxyethyl starch infusions in critically ill patients. Crit Care Med 1980; 8:302.10. Mortelmans Y, Merckx E, van Nerom C et al. Effect of an equal volume replacement with 500 mL 6% hydroxyethil starch
on the blood and plasma volume of healthy volunteers. Eur J Anaesthesiol 1995; 12:259.11. Gruber UF, Siegrist J. The volume effect of different plasma substitutes. Arch Klin Chir 1962; 301:128.12. Zikria BA, Thoms CK, Stanford et al. A biophysical approach to capillary permeability. Surgery 1989; 105:625.13. Zikria BA, Subbarao CH, Oz MC et al. Hydroxyethylstarch macromolecules reduce myocardial reperfusion injury. Arch
Surg 1990; 125:930.14. Zikria BA, Subbarao CH, Oz MC et al. Macromolecules reduce abnormal microvascular permeability in rat limb ischemia
reperfusion injury. Crit Care Med 1989; 17:1306.15. Webb AR, Tighe D, Moss RF et al. Advantages of a narrow range medium molecular weight hydroxyethyl starch for
volume maintenance in a porcine model of fecal peritonitis. Crit Care Med 1991; 19:409.16. Schell RM, Cole DJ, Schultz RL et al. Temporal cerebral ischemia : effects of Pentastarch or albumin on reperfusion injury.
Anaesthesiology 1992; 77:86.17. Tanaka H, Dahms TE, Bell E. Effect of hydroxyethyl starch on alveolar flooding in acute lung injury in dogs. Am rec Resp
Dis 1993; 148:852.18. Traber LD, Brazeal BA, Schmitz M Pentafraction reduces the lymph response after endotoxin administration in the ovine
model. Cric Shock 1992; 36:93.19. Yeh T, Parmer J, Rebeyka I. Limiting edema in neonatal cardiopulmonary bypass with narrow- range molecular weight
hydroxyethyl starch. J Thor cardiovasc Surg 1991; 3:659.20. Hankeln K, Senker R, Beez M et al. Comparative study of the intraoperative efficacy of 5% human albumin and 10%
hydroxyethyl starch (HAES-steril) in terms of hemodynamics and oxygen transport in 40 patients (English translation). Infusionstherapie 1990; 17:135.
21. Hankeln K, Radel CH, Beez et al. Comparison of hydroxyethyl starch and lactated Ringer’s solution on hemodynamics and oxygen transport of critically ill patients in prospective crossover studies. Crit Care Med 1989; 17:133.
22. London Mj, Ho JS, Triedmann JK et al. A randomized clinical trial of 10% Pentastarch (low molecular weight hydroxyethyl starch) versus 5% albumin for plasma volume expansion after cardiac operation.
23. Rackow EC, Mecha C, Astiz M et al. Effects af Pentastarch and albumin infusion on cardiorespiratory function and coagulation in patients with severe sepsis and systemic hypoperfusion. Crit Care Med 1989; 17:394.
24. Waxman K, Holness R, Tominanga G. Haemodynamics and oxygen transport effects of Pentastarch in burn resuscitation. Ann Surg 1989; 209:341.
25. Hankeln K, Lenz K, Druml W. Hemodynamics effects of 6% hydroxyethyl starch (HES 200.000/0.62) (English translation). Anaesthetist 1988; 37:167.
26. Lagner AN, Lenz K, Druml W. Hydroxyethyl starch at ARDS ? Inten Med 1990; 27: 201-203.27. Mc Cartney SF, Appel PL, Shoemaker WC, Beez MG. Response of critically ill patients to volume therapy with
hydroxyethyl starch (6% HES 450/10.7). Infusionstherapie 1986; 13:34.28. Puri VK, Howard M, Paidipaty BB. Resuscitation in hypovolemia and shock : a prospective study of hydroxyethyl starch
and albumin. Crit Care Med 1983; 11:518.
33
33
29. Rackow EC, Falk JL, Fein IA et al. Fluid resuscitation in circulatory shock : a comparison of the cardiorespiratory effects of albumin, heptastarch and saline solution in patients with hypovolemic and septic shock. Crit Catre Med 1983; 11:839.
30. Raper RF, Fisher MMcD. Resuscitationin acute haemerrhage. Anaesth. Intensive Care 1984; 12:212-16.31. Fisher MMcD. The crystalloid versus colloid controversy. Biologic and Toss-up. Theoretical Surgery 1990; In Press.32. Fisher MMcD. Anaphylaxis. Dis Month 1987; 33:435-79.33. Mc Clelland RN, Slines GT, Baxter CR, Cohn CD, Carrino J. Balanced Salt Solution in the treatment of haemorrhagic
shock : Studies in dogs. JAMA 1967; 199:166-70.34. Linko K, Makelainen A. Hydroxyethyl starch 120, dextran 70 and lactated Ringer’s Solution : Haemodilution, albumin,
colloid osmotic pressure and fluid balance following replacement of blood loss in pigs. Acta Anaesthesiol Scand 1988; 32:228-33.
35. Stein L, Beraud JJ, Motissette M, DaLuz P, Weil MH, Shubin H. Pulmonary oedema during volume infusion. Circ 1975; 52:483-9.
36. Isbister JP, Fisher MM. Adverse effects of plasma volume expanders. Anaesth Intens Care 1980; 8:145-51.37. Ring J, Messmer K. Incidence and severity of anaphylactoid reactions to colloid volume substitutes. Lancet 1977; 1:466-9.38. Velasco IT, Pontieri V, Rocha e Silva M Jr., et al. Hyperosmotic NaCl and severe hemorrhagic shock. Am J Physiol !980;
239:H664.39. Gunn ML, Hansbrough JF, Davis JW, et al. Prospective, randomized trial of hypertonic sodium lactate versus lactated
Ringer’s solution for burn shock resuscitation. J Trauma 1989; 29:1261.40. Jelenko C, III, Williams JB, Wheeler ML, et al. Studies in shock and resuscitation. I. Use of a hypertonic, albumin-
containing fluid demand regimen (HALFD) in resuscitation. Crit Care Med 1979; 7:157.41. Mattox KL, Maningas PA, Moore EE, et al. Prehospital hypertonic saline/dextran infusion for post-traumatic hypotension.
The USA Multicenter Trial. Ann Surg 1991; 213:482.42. Monafo WW, Chuntrasakul C, Ayvazian VH. Hypertonic sodium solutions in the treatment of burn shock. Am J Surg 1973;
126:778.43. Shackford SR, Fortlage DA, Peters RM, et al. Serum osmolar and electrolyte changes associated with large infusions of
hypertonic sodium lactate for intravascular volume expansion of patients undergoing aortic reconstruction. Surg Gynecol Obstet 1987; 161:127.
44. Vassar MJ, Perry CA, Gannaway WL, et al. 7.5% sodium chloride/dextran for resuscitation of trauma patients undergoing helicopter transport. Arch Surg 1991; 126:1065.
45. Vassar MJ, Perry CA, Holcroft JW. Analysis of potential risk associated with 7.5% sodium chloride resuscitation of traumatic shock. Arch Surg 1990; 125:1309.
46. Kramer GC, Perron PR, Lindsey DC, et al. Small volume resuscitation with hypertonic saline dextran solution. Surgery 1986; 100:239.
47. Smith GJ, Kramer GC, Perron P, et al. A comparison of several hypertonic solutions for resuscitation of bled sheep. J Surg Res 1985; 39:517.
48. Boldt J, Zickmann B, Ballesteros M, et al. Cardiorespiratory responses to hypertonic saline solution in cardiac operations. Ann Thorac Surg 1991; 51:610.
49. Prough DS, Johnston WE. Fluid resuscitation in septic shock : No solution yet. Anesth Analg 1989; 69:699.50. Lopes OU, Pontieri V, Rocha e Silva M Jr, et al. Hyperosmotic NaCl and severe hemorrhagic shock : role of the innervated
lung. Am J Physiol 1981; 241:H883.51. Younes RN, Aun F, Tomida RM, et al. The role of lung innervation in the hemodynamic response to hypertonic sodium
chloride solutions in hemorrhagic shock. Surgery 1985; 98:900.52. Schertel ER, Valentine AK, Rademakers AM, et al. Influence of 7% NaCl on the mechanical properties of the systemic
circulation in the hypovolemic dog. Cric Shock 1990; 31:203.53. Spital A, Sterns RD. The paradox of sodium’s volume of distribution. Why an extracellular solute appears to distribute over
total body water. Arch Intern Med 1989; 149:1255.54. Sutin KM, Ruskin KJ, Kaufman BS. Intravenous fluid therapy in neurologic injury. Crit Care Clin 1992; 8:367.55. Zornow MH, Todd MM, Moore SS. The acute cerebral effects of changes in plasma osmolality and oncotic pressure.
Anesthesiology 1987; 67:936.56. Todd MM, Tommasino C, Moore S. Cerebral effects of isovolemic hemodilution with a hypertonic saline solution. J
Neurosurg 1985; 63:944.57. Tommasino C, Moore S, Todd MM. Cerebral effects of isovolemic hemodilution with crystalloid or colloid solutions. Crit
Care Med 1988; 16:862.58. Prough DS, Johnson JC, Poole GV Jr, et al. Effects on intracranial pressure of resuscitation from hemorrhagic shock with
hypertonic saline versus lactated Ringer’s solution. Crit Care Med 1985; 13:407.59. Prough DS, Whitley JM, Taylor CL, et al. Regional cerebral blood flow following resuscitation from hemorrhagic shock with
hypertonic saline. Influence of a subdural mass. Anesthesiology 1991; 75:319.60. Fisher B, Thomas D, Peterson B. Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children after head trauma. J
Neurosurg Anesth 1992; 4:4.61. McManus ML, Strange K. Acute volume regulation of brain cells in response to hypertonic challenge. Anesthesiology 1993;
78:1132.62. Vassar MJ, Fischer RP, O’Brien PE, et al. A multicenter trial for resuscitation of injured patients with 7.5% sodium chloride :
The effect of added dextran 70. Arch Surg 1993; 128:1003.63. Martin RR, Bickell WH, Pepe PP, et al. Prospective evaluation of preoperative fluid resuscitation in hypotensive patients
with penetrating truncal injury : A preliminary report. J Trauma 1992; 33:354.64. Pollack CV Jr. Prehospital fluid resuscitation of the trauma patient. Emerg Med Clin North Am 1993; 11:61.65. Stern SA, Dronen SC, Birrer P, et al. Effect of blood pressure on hemorrhage volume and survival in a near-fatal
hemorrhage model incorporating a vascular injury. Ann Emerg Med 1993; 22:155.66. Bickell WH, Wall MJ Jr., Pepe PP, et al. Immediate versus delayed fluid resuscitation for hypotensive patients with
penetrating torso injuries. N Engl J Med 1994; 331:1105.67. Laureno R. Central pontine myelinolysis following rapid correction of hyponatremia. Ann Neurol 1983; 13:232.68. Norenberg MD, Leslie KO, Robertson AS. Association between rise in serum sodium and central pontine myelinolysis. Ann
Neurol 1982; 11:128.
34
34
69. Norenberg MD, Papendick RE. Chronicity of hyponatremia as a factor in experimental myelinolysis. Ann Neurol 1984; 15:544.
70. Shoemaker WC, Schlucter M, Hopkins JA, Appel PL, Schwartz S, Chang PC. Comparison of the relative effectiveness of colloids and crystalloids in emergency resuscitation. Am J Surg 1981; 142:73-81.
71. Modig J. Advantages of dextran 70 over ringer acetate solution in shock treatment and in prevention of adult respiratory distress syndrome. A randomized study in man after traumatic-haemorrhagic shock. Resuscitation 1983; 10:219-26.
72. Shires GTI, Peitzman AB, Albert SA, et al. Response of extravascular lung water to intraoperative fluids. Ann Surg 1983; 197:515-9.
73. Holcroft JW, Trunkey DD, Carpenter MA. Excessive fluid administration in resuscitating baboons from haemorrhagic shock and an assessment of the thermodye technique for measuring extravascular lung water. Am J Surg 1978; 135:412-6.
74. Harms BA, Kramer GC, Bodai BI, Demling RH. Effect of hypoproteinemia on pulmonary and soft tissue edema formation. Crit Care Med 1981; 9:503-8.
75. Shires T, Williams J, Brown F. Acute change in extracellular fluids associated with major surgical procedures. Ann Surg 1961; 154:803-10.
76. Roth E, Lax LC, Maloney JV. Ringers Lactate solution and extracellular fluid volume in the surgical patient : a critical analysis. Ann Surg 1969; 169:149-64.
77. Elwyn DH, Bryan-Brown CW, Shoemaker WC. Nutritional aspects of body water dislocation in postoperative and depleted patients. Ann Surg 1975; 182:76-85.
78. Sinnatambty C, Edwards CRW, Kitau M, Irving MH. Antidiuretic response to high and conservative fluid regimes in patients undergoing operation. Sur Gyn Obs 1974; 139:715-9.
79. Jones JG, Minty BD, Royston D. The physiology of leaky lungs. Br J Anaesth 1982; 54:705-21.80. Staub NC. Pulmonary edema due to increased microvascular permeability to fluid and protein. Circ Res 1978; 43:143-51.81. Fein AM, Goldberg SK, Lippman ML, Fischer R, Morgan L. Adult respiratory distress syndrome. Br J Anaesth 1982;
54:723-36.82. Guyton FC, Lindsey AW. Effect of elevated left arterial pressure and decreased plasma protein concentration on the
development of pulmonary edema. Circ Res 1959; 7:649-57.83. Sibbald WJ, Anderson RR, Reid B, Holliday RL, Driedger AA. Alveolar capillary permeability in human septic ARDS. Chest
1981; 79:133-42.84. Sibbald WJ, Driedger AA, Well GA, Myers ML, Lefcoe M. The short term effects of increasing plasma colloid osmotic
pressure in patients with noncardiac pulmonary edema. Surgery 1983; 93:620-35.85. Robin ED, Carey LC, Grenvik A, Glauser F, Gaudio R. Capillary leak syndrome with pulmonary edema. Arch Int Med 1972;
130:66-71.86. Nylander WA, Hammon JW, Roselli RJ, Tribble JB, Brigham KL, Bender HW. Comparison of the effects of saline and
homologous plasma infusion on lung fluid balance during endotoxaemia in the unanaesthetized sheep. Surgery 1981; 90:221-8.
87. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I, Goldberg SJ. Oxygen transport responses to colloid and crystalloids in critically ill surgical patients. Surgery 1980; 150:811-6.
88. Appel PL, Shoemaker WC. Evaluation of fluid therapy in adult respiratory failure. Crit Care Med 1981; 9:862-9.89. Goodwin CW, Dorethy J, LAM V, Pruitt BA. Randomized trial of efficacy of crystalloid and colloid resuscitation on
haemodynamic response and lung water following thermal injury. Ann Surg 1983; 197:520-31.90. Tranbaugh RF, Lewis FR, Christensen JM, Elings VB. Lung water changes after thermal injury. Ann Surg 1980; 192:479-
90.91. Mishoe SM. A review of the physiology, measurement and clinical significance of colloid osmotic pressure. Resp Care
1983; 28:1129-42.92. Gosling P. Albumin and the critically ill. Care Crit Ill 1995; 11:252-6.93. Boldt J, Knothe E, Schindler E, Hammerman H, Dapper F, Hemplemann G. Volume replacement with hydroxyethyl starch
solution in children. Br J Anaesth 1993; 70:661-5.94. Waxman K, Holness R, Tominaga G, Chela P, Grimes RN. Haemodynamic and oxygen transport effects of pentastarch in
burn resuscitation. Ann Surg 1989; 209:341-5.95. Reves JG, Newfield P, Smith LR. Midazolam induction time : association with the serum albumin. Anesthesiology 1981;
55:A259.96. Golub R, Sorrento JJ, Cantu R, Nierman DM, Moideen A, Stein HD. Efficacy of albumin supplementation in the surgical
intensive care unit : A prospective randomized study. Crit Care Med 1994; 22:613-8.
35
35