Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1134
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM
PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI
Oleh:
Dyah Silvana Amalia, SH., MH.*
Abstrak
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk
menguasa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya disebutkan bahwa bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Minyak dan gas bumi adalah salah satu cabang produksi yang penting,
oleh karena itu dikuasai negara dan harus ditujukan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Namun dalam imlementasinya, setiap masa pemerintahan
memiliki kecenderungan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi. Penulisan
ini akan menggunakan teori tanggung jawab negara dan ke-maslahah-an umat
sebagai pisau analisis.
Kata Kunci: Tanggung Jawab Negara, Pengelolaan, Minyak dan Gas Bumi
1. Pendahuluan
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
untuk selanjutnya disebut UUD 1945, menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Selanjutnya Psal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 di atas, pendiri negara ini
sudah memikirkan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan unsur utama
dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Minyak dan gas bumi,
untuk selanjutnya disebut migas, merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus ada di tangan negara dan
diarahkan untuk kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
* Dyah Silvana Amalia, Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1135
Namun dalam kebijakan pengelolaan migas, negara mengalami pasang surut antara
untuk kesejahteraan rakyat dan untuk kepentingan asing. Bahkan dalam bahasa sarkasme
Indah Dwi Qurbani menyatakan:1
Pada tataran inplementasi pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi diarahkan
hanya untuk investasi dan ekspor, sehingga terdapat indikasi adanya politik hukum
obral minyak dan gas bumi, dengan tidak adanya strategi pencadangan sumber
minyak dan gas bumi untuk kebutuhan rakyat dimasa depan. Hal ini dapat dilihat
dalam perkembangan kontrak production sharing sebagai kontrak pengelolaan
minyak dan gas bumi di Indonesia yang mengalami beberapa generasi dan masing-
masing generasi mempunyai prinsip yang berbeda.
Pengelolaan migas akan semakin menarik bilamana dihubungkan dengan tujuan
berdirinya negara Indonesia sebagaimana tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 :
… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan keserahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial…
Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat melalui
sektor migas.
2. Rumusan Masalah
Penulisan ini akan mengangkat isu hukum apakah kebijakan migas pada masa
pemerintahan orde lama, orde baru dan orde reformasi telah mencerminkan tanggung jawab
negara dalam menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Masa pemerintahan orde
lama merupakan masa pemerintahan Presiden Sukarno, sedangkan orde baru adalah masa
pemerintahan Presiden Suharto, dan orde reformasi adalah masa pemerintahan Presiden BJ
Habibie, Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
3. Prinsip Tanggung Jawab Negara
Prinsip tanggung jawab banyak dikemukakan oleh ahli. E Saifullah Wiradipradja
mengemukakan stidak-tidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab
yang dikenal, ialah:2
1 Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal Arena Hukum Volume 6 Nomor 2, Agustus 2012, hlm. 115-116. 2 E Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 19.
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1136
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability,
liability based on fault principle);
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability
principle);
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict liability
principle).
Sukarmi mengemukakan prinsip tanggung jawab menjadi:3
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.
Prinsip ini menyatakan, seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab
berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) ini prinsip
yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of
liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban
pembuktianada pada si tergugat.
c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab (presumption of nonliability principle), menyatakan bahwa tergugat
selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai terbukti bahwa ia benar-benar bersalah
di bawah putusan pengadilan.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip
tanggung jawab absolute (absolute liability). Namun demikian, dalam penggunaan
istilah ini ternyata tidak tampak ketuntasan karena yang menjadi ukuran utama dari
prinsip tanggung jawab mutlak (yang membedakannya dari prinsip-prinsip tanggung
jawab lainnya) adalah tanggung jawab yang tidak mempersoalkan ada atau tidaknya
kesalahan.
e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat
disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klasula eksonerasi dalam
perjanjian standar yang dibuatnya.
3 Sukarmi, Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutra, 2008), hlm. 84-89.
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1137
Dari kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara
dalam bentuk liability adalah tanggung jawab hukum.4 Hal ini berbeda dengan makna
tanggung jawab negara dalam bentuk responsibility adalah tanggung jawab moral.
Namun demikian dalam penulisan ini, penulis akan mempergunakan prinsip
tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Ini berarti bahwa bilamana negara lalai
terhadap tanggung jawab dalam pengelolaan migas, negara dapat dituntut oleh masyarakat
untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan konstitusi.
Dalam konteks hukum yang Islami, tanggung jawab negara dalam pengelolaan
migas akan membawa maslahah bagi masyarakat. Secara terminologis, maslahah telah
diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya,
mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan
kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-
madarrah). Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i,
adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa
memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan.5 Dengan demikian
tanggung jawab negara dalam pengelolaan migas menurut hukum yang Islami adalah
kemanfaatan bagi masyarakat.
4. Kebijakan Pengelolaan Migas di Indonesia
Pengaturan pengelolaan bidang pertambangan masa pemerintah Hindia Belanda
diatur berdasarkan peraturan yang disebut Indische Mijnwet 1899 (IM 1899). Salah satu
ketentuan yang terdapat dalam Indische Mijnwet 1899 (IM 1899), mengatur tentang
ketentuan kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak swasta. Ketentuan
kontrak tersebut, dikenal dengan nama 5 A Contract. Pasal tersebut, merupakan cikal bakal
lahirnya ketentuan kontrak karya atas kontrak bagi hasil yang diberlakukan setelah
kemerdekaan.6
4 Siti Sundari Rangkuti cenderung mempergunakan kata “tanggung gugat” dalam hukum perdata daripada
kata “tanggung jawab”. Lihat Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Surabaya: Disertasi Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 1987), hlm. 183-187. 5 Asmawi, Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, (Jakarta: Makalah dipresentasikan
pada acara Workshop Tafsir Asnâf Zakat Kontemporer, yang diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012), hlm. 1. 6 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013), hlm. 52-53.
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1138
Kebijakan migas pada masa pemerintahan Orde Lama diawali dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, untuk selanjutnya disebut Perpu 44 Tahaun 1960.7 Menurut Perpu
44 Tahun 1960, yang dimaksud minyak gas bumi adalah bahan-bahan galian minyak bumi,
aspal, lilin bumi, semua jenis bitumen baik yang padat maupun yang cair dan semua gas
bumi serta semua hasil-hasil pemurnian dan pengolahan bahan-bahan galian tersebut, tidak
termasuk bahan-bahan galian anthrasit dan segala macam batu bara, baik yang tua maupun
yang muda. Dari definisi di atas, maka dapat ditarik pengertian bahwa pada masa
pemerintahan Orde Lama, kebijakan pengaturan antara pertambangan, minyak dan gas
bumi digabung menjadi satu.
Mengacu pada Perpu 44 Tahun 1960, kebijakan migas pada masa pemerintahan
Orde Lama dapat dikualifikasikan inkonsistensi. Pada satu sisi, Perpu 44 berkedudukan
sebagai peraturan organik ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dimana
ketentuan Pasal 2 Perpu 44 Tahun 1960 menyatakan bahwa segala bahan galian minyak
dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Kedua, ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perpu 44
Tahun 1960 menyatakan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan
oleh negara. Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Perpu 44 Tahun 1960 menyataan bahwa Usaha
pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan negara semata-mata.
Dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Perpu 44 Tahun 1960 dapat dikatakan bahwa
Perpu 44 Tahun 1960 konsisten dan mengacu pada UUD 1945. Hal ini didasari pemikiran
bahwa adanya penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi migas yang
dimaksudkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bahkan penyusun Perpu 44
Tahun 1960 berkehendak:8
Agar perindustrian minyak dan gas bumi Indonesia sungguh-sungguh berarti bagi
hajat hidup orang banyak seperti yang dikemukakan oleh ayat (2) pasal 33 Undang-
undang Dasar, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini
menginsyafi, bahwa satu-satunya jalan untuk itu adalah memperbesar produksi
perindustrian minyak dan gas bumi Indonesia secepat-cepatnya agar supaya :
1. dapat diatasi pertambagan kebutuhan minyak bumi untuk konsumsi Dalam
Negeri sebagai akibat pertambahan penduduk dan pelaksanaan Industrialisasi
dalam Pembangunan semesta Indonesia (perubahan Struktur Ekonomi
Indonesia);
7 Bentuk hukum yang dipilih oleh pemerintahan pada masa Orde Lama untuk mengatur masalah migas adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Pengaturan migas dalam bentuk perpu ini masih dapat diperdebatkan, mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan adanya kegentingan yang memaksa bilamana Presiden hendak menerbitkan perpu. Namun dalam Perpu Nomor 44 Tahun 1960 tidak mengemukan kegentingan yang memaksa. Dalam konsiderans menimbang huruf g disebutkan “bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.” 8 Vide Penjelasan Umum angka 10 Perpu 44 Tahun 1960.
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1139
2. kebutuhan Indonesia akan devisen unuk Pembangunan Semesta dapat dipenuhi;
3. dapat diadakan perimbangan yang menguntungkan antara konsumsi Dalam
Negeri dan ekspor Indonesia;
4. kedudukan Indonesia dalam pasar dunia dapat dipertahankan;
5. pendapatan negara yang berasal dari perusahaan-perusahaan minyak dapat
diperbesar;
6. persoalan penganguran dapat dipecahkan;
7. pendapat Nasional dan "income per capita" Indonesia, yakni "Standard of
living" di Indonesia, dapat dinaikkan.
Inkonsistensi muncul dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perpu 44 Tahun 1960, dimana
disebutkan bahwa Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan
Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang
kuasa pertambangan. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perpu 44 Tahun 1960 ini menunjukkan
bahwa negara dapat mengalihkan otoritas penguasaan migas ke pihak lain. Pengalihan ini
menggunakan sistem production sharing yang terdiri dari berbagai macam prinsip sangat
bernuansa eksploitatif.9
Kebijakan pengelolaan migas pada pemerintahan Orde Lama berikutnya adalah
Perpu Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan
Dalam Negeri, untuk selanjutnya disebut Perpu 2 Tahun 1962. Lahirnya Perpu ini didasari
pemikiran bahwa bahwa minyak bumi dan hasil- hasilnya merupakan bahan yang sangat
panting buat rakyat dan negara oleh karena itu perlu mewajibkan semua perusahaan minyak
di Indonesia ikut serta memenuhi kebutuhan dalam negeri akan minyak bumi dan hasil-
hasilnya.
Menurut penulis, Perpu 2 Tahun 1962 memiliki kelebihan-kelebihan: pertama,
negara menunjukkan otoritasnya untuk “memaksa” perusahan minyak untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Kedua, kebijakan ini dimaksudkan agar kebutuhan minyak dalam
negeri dapat terpenuhi, sehingga tercapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ketiga,
Perpu 2 Tahun 1962 kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 2 Tahun 1962
Tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri. Dengan
demikian, kebijakan pemerintah berupa perpu, disepakati oleh DPR sehingga berubah
menjadi undang-undang.
Peralihan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru membawa
konskuensi perubahan kebijakan dalam pengelolaan migas. Pemerintahan Orde Baru
berkehendak untuk mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional menuju
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila.
9 Indah Dwi Qurbani, op.cit., hlm. 116.
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1140
Untuk itu perlu dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap
kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil. Atas
alasan inilah dilahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan, untuk selanjutnya disebut UU Pertambangan 1967. UU
Pertambangan 1967 ini sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan
setelah sebelumnya diawali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing.10
Pengusahaan sumber daya mineral tidak semuanya dapat dilakukan oleh negara.
Pengusaan negara dalam lingkup pengusahaan (hak pengusahaan) dapat dilimpahkan
kepada badan hukum swasta atau perorangan dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia dengan suatu Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian
Kerja Sama. Namun, pelimpahannya tidak berarti swasta menjadi pemilik bahan tambang
yang diusahakan. negara tetap berdaulat atas bahan tambang.11
Kebijakan pengeloaan migas pada masa Orde Baru berikutnya adalah
diundangkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1968 tentang
Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak Dan Gas Bumi NasionaL (P.N.
PERTAMINA). PN Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional.
Eksistensi PN Pertamina dinilai berhasil oleh pemerintahan Orde Baru. Oleh karena
itu, dasar hukum pendirian PN Pertamina yang pada awalnya adalah peraturan pemerintah
kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang. Hal ini dibuktikan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara.
Dengan demikian, maka Pertamina sebagai Integrated State Oil Company
mendapatkan tugas sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan migas. Untuk dapat
melaksanakan pengusahaan pertambangan migas, kepada Pertamina diberikan Kuasa
Pertambangan yang meliputi Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan, Pengangkutan, serta
Penjualan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971: Perjanjian Karya dalam bentuk Kontrak
Production Sharing.12
Selanjutnya perubahan bentuk PN Pertamina menjadi Pertamina melalui Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1971 adalah agar tercipta kelancarn dan terjaminnya pelaksanaan
pengusahaan minyak dan gas bumi secara ekonomis di satu pihak dan agar diperoleh
10 Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Kontitusi Volume 9 Nomor 3, September 2012, hlm. 476. 11 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 25. Bandingkan dengan pendapat Nandang Sudrajat yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk legalitas kewenangan pengelolaan pertambangan yang dapat dilakukan oleh pihak swasta, baik swasta asing maupun swasta nasional pada masa berlakunya UU No. 11 Tahun 1967 terdiri dari beberapa bentuk izin, yaitu: Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Kuasa Pertambangan (KP), Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR). Nandang Sudrajat, op.cit., hlm. 56-57. 12 Adrian Sutedi, op.cit., hlm. 55-56.
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1141
manfaat yang sebesar-besarnya dari pengusahaan tersebut untuk rakyat, bangsa dan negara
di lain pihak.13
Dalam kajian normatif, pengelolaan migas pada masa pemerintahan Orde Baru
diarahkan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun dalam tataran
implementatif, pada tahun 1998 pemerintahan Presiden Suharto menghabiskan 75%
cadangan minyak Indonesia.14
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa era
Pemerintahan Orde Baru pengelolaan migas tidak konsisten antara tataran normatif dengan
tataran implementatif.
Bahkan Juli Panglima Saragih memberikan data bahwa pada tahun 1969/70,
produksi minyak bumi Indonesia berjumlah 284 juta barel (1 tahun dihitung rata-rata 360
hari). Sedangkan jumlah yang diekspor adalah 241,3 juta barel. Terdapat selisih 42,7 juta
barel yang tidak diekspor ke pasar internasional. Sisa minyak mentah yang tidak diekspor
tersebut dapat saja dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.15
Dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengelolaan migas pada
era Pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan ekspor daripada kebutuhan dalam
negeri. Kebijakan pemerintahan Orde Baru ini berbeda dengan kebijakan Pemerintahan
Orde Lama yang mewajibkan perusahaan minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Sebagai akibat lebih lanjut, harga migas di dalam negeri sering kali mengalami
kenaikan harga, yang berarti tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
masih jauh dari harapan.
Kebijakan pengelolaan migas pada pemerintahan Orde Reformasi diawali dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
untuk selanjutnya disebut UU Migas 2001. Paling tidak terdapat tiga argumentasi, mengapa
UU Migas 2001 diundangkan:16
a. pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan
rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan
yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai
hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian
nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional
yang meningkat dan berkelanjutan. 13 Ibid., hlm. 56. 14 Majalah Jaringan Advokasi Tambang, Kebijakan yang Melayani Pemodal, Maret 2005 dalam Indah Dwi Qurbani, loc. cit. 15 Juli Panglima Saragih, Menata Ulang Kebijakan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, dalam berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-9.pdf., diunduh pada 23/1/2014. 16 Lihat Konsiderans Menimbang UU Migas 2001.
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1142
Dari konsiderans menimbang tersebut, tampak bahwa pembentuk UU Migas 2001
menyadari bahwa kegiatan usaha migas akan diarahkan untuk kepentingan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
Namun berbagai pendapat menyatakan bahwa UU Migas 2001 bersifat liberal
karena merupakan konsep ekonomi yang berasal dari IMF. Hal ini diungkapkan oleh
Kardaya Warnika, mantan Ketua Tim Penyusun UU Migas 2001, yang menyatakan bahwa
penyusunan undang-undang itu telah dilakukan sejak tahun 1995 atau sebelum krisis
moneter yang mengakibatkan Pemerintah Indonesia harus tunduk pada konsep ekonomi
dari IMF. Namun diakui, konsep pemerintah itu mendapat dukungan IMF.17
Pendapat bahwa UU Migas 2001 adalah bersifat liberal juga dikemukakan oleh
Marwan Batubara. Menurut Marwan, dalam UU Migas pola liberalisasi antara lain
diperintahkan pada Pasal 10 berupa pemisahan sektor hulu dan hilir, Pasal 28 yang
menetapkan harga gas bumi melalui persaingan usaha, serta pasal 5 yang menyebutkan
pengangkutan sebagai kegiatan usaha.18
Konsep ekonomi liberal yang tertuang dalam UU Migas 2001 ini tentu bertentangan
dengan sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Seharusnya, pengelolaan migas yang merupakan cabang produksi yang penting dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dalam hal ini Pertamina. Namun
UU Migas 2001 mendelegasikan otoritas yang dimiliki ke Badan Pelaksana yang dibentuk
untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi,
untuk selanjutnya disebut BP Migas.
Tugas Badan Pelaksana ini adalah:19
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
17 Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, Menggugat Kedaulatan Migas, Harian Kompas Jumat 30 November 2012, hlm. 33. 18 Marwan Batubara, Menggugat Liberalisasi Gas, Harian Kompas Rabu 8 Januari 2014, hlm. 6. 19 Vide Pasal 44 ayat (3) UU Migas 2001.
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1143
Besarnya kewenangan BP Migas dapat dimaknakan adanya degradasi kewenangan
negara dalam pengelolaan migas. Dengan konstruksi penguasaan minyak melalui BP Migas
selaku badan hukum milik negara, pemerintah dinilai kehilangan kewenangan mengelola
atau menunjuk langsung badan usaha milik negara untuk mengelola sumber daya migas
padahal itu bentuk penguasaan negara yang utama. Sebab badan pelaksana itu hanya
berfungsi mengendalikan dan mengawasi pengelolaan migas.20
Keberadaan BP Migas dalam UU Migas 2001 di atas dimohonkan uji materiil ke
Mahkamah Konstitusi. Seluruh pemohon berjumlah 42 pihak, terdiri dari organisasi sosial
kemasyarakatan dan orang per orang. Dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012, Mahkamah
Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon. BP Migas dibubarkan
berdasarkan putusan Mahkmah Konstitusi di atas, karena bertentangan dengan UUD 1945.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan BP Migas
inkonstitusional, Kementerian ESDM mengambil alih tugas dan fungsi lembaga tersebut.
Menteri ESDM Jero Wacik mengeluarkan dua Keputusan Menteri (Kepmen) No.
3135K/08/MEM/2012 tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi dalam
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kepmen ESDM No.
3136K/73/MEM/2012 tentang Pengalihan Pekerja BP Migas. Dua Kepmen itu secara jelas
menyatakan, BP Migas akan diambil alih oleh Kementerian ESDM dengan membentuk
Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
SKSP Migas tersebut diisi oleh mantan pejabat eks BP Migas dan dikepalai oleh Jero
Wacik.21
Perdebatan yang menarik adalah tentang dasar hukum pengalihan wewenang dari
BP Migas kepada SKSP Migas. Sementara pihak berpendapat bahwa pengalihan wewenang
dari BP Migas kepada SKSP Migas sekedar “tukar pakaian”. Dasar hukum BP Migas yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang, seharusnya dasar hukum
SKSP Migas juga undang-undang. Dengan demikian keberadaan SKSP Migas dapat pula
dikualifikasikan inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 1945.
Dari ketiga masa pemerintahan di atas, tampak bahwa negara mempergunakan
model contract production sharing. Kontrak model ini cenderung menguntungkan pihak
asing daripada menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Bilamana dikaji menurut
prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, maka negara telah lalai dalam
melaksanakan tanggung jawabnya. Ini berarti bahwa masyarakat dapat menuntut negara
agar negara menetapkan kebijakan pengelolaan migas sesuai amanat konstitusi. Tuntutan
masyarakat tersebut dimaksudkan agar negara menetapkan kebijakan migas untuk
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
20 Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, loc.cit. 21 hukum online.com, Pengamat: Pembentukan SKSP Migas Inkonstitusional, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d3d0048f5c4/pengamat--pembentukan-sksp-migas-inkonstitusional, diunduh pada 23/1/2014.
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1144
Mayarakat harus membuktikan bahwa negara telah melakukan perbuatan melawan
hukum, sehingga masyarakat harus membuktikan:22
a. adanya perbuatan;
b. adanya kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita; dan
d. adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Dalam membuktikan unsur perbuatan, masyarakat cukup menunjukkan negara telah
membuat kebijakan berupa peraturan perundang-undangan migas. Dalam membuktikan
unsur kesalahan, masyarakat harus membuktikan bahwa kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan migas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Kesalahan ini
merupakan unsur penting dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.
Untuk membuktikan bahwa adanya kerugian, masyarakat dapat menunjukkan bahwa harga
migas mengalami pasang surut, bahkan harga migas tidak terjangkau oleh masyarakat.
Untuk membuktikan unsur keempat, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan
kerugian, masyarakat harus dapat membuktikan hubungan kausalitas tersebut.
Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menuntut tanggung
jawab negara dalam pengelolaan migas adalah melalui uji materi. Uji materi undang-
undang terhadap undang-undang dasar dilakukan ke Mahkamah Konstitusi, sedang
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung.
Dari aspek maslahah, kebijakan negara dalam pengelolaan migas yang masih
menggunakan contract production sharing cenderung menguntungkan pihak asing. Upaya
untuk mencapai maslahah lebih jauh lagi dengan tertangkapnya Kepala SKK Migas/mantan
Wamen ESDM Prof Dr Ir Rudi Rubiandini dengan uang diduga suap 700.000 dollar AS
dan motor BMW.23
Tanggung jawab negara dalam pengelolaan migas harus diarahkan untuk ke-
maslahah-an umat. Oleh karena itu, pengelolaan migas harus diawali dengan kebijakan
yang diarahkan untuk ke-maslahah-an umat. Hal-hal yang tidak mendukung ke arah ke-
maslahah-an umat, harus disingkirkan.
5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara
dalam pengelolaan migas belum mengarah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Berdasarkan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, masyarakat dapat
menggugat negara agar negara menetapkan kebijakan pengelolaan migas yang menuju
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dari aspek ke-maslahah-an umat, negara juga
belum dapat dikatakan menyejahterakan dan memakmurkan umat. Hal ini disebabkan
model contract production sharing masih cenderung menguntungkan pihak asing.
22
Lihat ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. 23
Sutomo Paguci, Ironi Tertangkapnya Rudi Rubiandini, http://hukum.kompasiana.com /2013/08/14/ironi-
tertangkapnya-rudi-rubiandini-583606.html, diakses 3/2/2014.
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1134-1146
1145
Daftar Pustaka:
Literatur:
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).
Dahlan Thaib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011).
E Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989).
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum,
(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008).
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Sejarah – Filsafat & Metode Tafsir, (Malang, UB
Press, 2011).
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011).
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013).
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses
Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Surabaya: Disertasi Ilmu Hukum
Universitas Airlangga, 1987).
Sukarmi, Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka
Sutra, 2008).
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982).
Jurnal, Makalah dan Koran:
Asmawi, Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, (Jakarta: Makalah
dipresentasikan pada acara Workshop Tafsir Asnâf Zakat Kontemporer, yang
diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012).
Tanggung Jawab Negara dalam Pengelolaan minyak dan Gas Bumi (Dyah Silvana Amalia)
1146
Evy Rachmawati dan Dwi AS Setianingsih, Menggugat Kedaulatan Migas, Harian Kompas
Jumat 30 November 2012.
Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Jurnal
Arena Hukum Volume 6 Nomor 2, Agustus 2012.
Marwan Batubara, Menggugat Liberalisasi Gas, Harian Kompas Rabu 8 Januari 2014.
Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Kontitusi Volume 9 Nomor 3,
September 2012.
Internet:
Hukum Online.com, Pengamat: Pembentukan SKSP Migas Inkonstitusional,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d3d0048f5c4/pengamat--pembentukan-
sksp-migas-inkonstitusional, diunduh pada 23/1/2014.
Juli Panglima Saragih, Menata Ulang Kebijakan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi,
dalam berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-9.pdf., diunduh pada
23/1/2014.
Sutomo Paguci, Ironi Tertangkapnya Rudi Rubiandini, http://hukum.kompasiana.com
/2013/08/14/ironi-tertangkapnya-rudi-rubiandini-583606.html, diakses pada tanggal
3/2/2014.