19
BAB II
PRINSIP BAGI HASIL (PROFIT AND LOSS SHARING PRINCIPLE)
SEBAGAI SALAH SATU PRINSIP SYARIAH
1. Larangan Riba Menurut Hukum Islam
Para ulama telah merumuskan suatu kaidah dalam syariat, yang disebut
dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadat dan hukum asal muamalat.
Hukum asal ibadat menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan,
kecuali yang ada petunjuknya dalam Al-Qur an atau sunnah. Karena itu, masalah-
masalah ibadat sudah diatur rinci tata caranya, sehingga tidak diperbolehkan lagi
melakukan penambahan dan atau perubahan (bid ah). Sedangkan hukum asal
muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya diperbolehkan, kecuali ada
larangan dalam Al-Qur an atau sunnah.31
Dalam bidang muamalah, hal-hal yang rinci, detail dan teknis tidak
diatur, tetapi diserahkan pada manusia melalui proses ijtihad. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah, Antum a lamu bi umuuri dunyakum . Yang artinya kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian.32
Aspek perbankan termasuk dalam hukum ekonomi Islam atau
Mu amalah madaniyah, hukum yang mengatur hubungan manusia dalam bidang
kekayaan, harta dan tasharurruf : jual beli (al buyu ), sewa-menyewa (al-ijarah),
hutang-piutang (mudayanah), gadai (rahn), suf ah, sharaf, salam, hawalah,
perwalian, tanggungan, kafalah, jaminan, borg (diaman),(mudharabah), pinjam-
31Adiwarman A. Karim, loc.cit. 32Ibid.
20
meminjam barang, wadi ah, luqathah, ghasab, qismah, syarika, kitabah, serta
seperangkat kontrak yang lain.33
Pengidentifikasian terhadap transaksi yang dilarang (baca:haram)
menjadi perlu untuk dilakukan ketika melakukan pengkajian berkaitan dengan
hukum asal muamalat. Hal ini karena berdasarkan pengertian hukum asal
muamalah tersebut diatas, semua transaksi diperbolehkan kecuali yang
diharamkan.34
Menurut Adiwarman A. Karim, faktor-faktor yang menjadi penyebab
dilarangnya sebuah transaksi adalah sebagai berikut :35
1. Haram zatnya (haram li-dzatihi).
Suatu transaksi dilarang karena objeknya (barang dan/atau jasa) yang
ditransaksikan juga dilarang, walaupun akadnya sah. Objek tersebut misalnya
minuman keras, bangkai, babi, dan darah.
2. Haram selain zatnya (haram li ghairihi).
Suatu transaksi dilarang apabila melanggar prinsip, yaitu :
i. Prinsip An Taradin Minkum
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi
yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa
dicurangi (ditipu) karena ada suatu yang unknown to one party (keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
33Abd. Shomad, Karakteristik Ilmu Fiqh Muamalah , Juridika, Vol. 20 No. 2, Maret-April 2005, (selanjutnya disingkat Abd. Shomad I) h.101.
34Adiwarman A. Karim, op.cit., h.29. 35Ibid, h.30
21
lain) baik dalam hal kuantitas, kualitas, harga maupun waktu penyerahan.
Hal ini agar para pihak kemudian tidak merasa tertipu sehingga
memunculkan perasaan tidak rela. Unknown to one party ini dalam bahasa
fiqh disebut tadlis (penipuan).
ii. Prinsip La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun
Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip La Tazhlimuna wa
la Tuzhlamun, yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-
praktik yang melanggar prinsip ini diantaranya adalah taghrir/gharar
(uncertain to both parties baik dalam kuantitas, kualitas, harga, maupun
waktu penyerahan), Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply untuk
mengambil keuntungan diatas normal dengan cara mengurangi supply agar
produk yang dijualnya naik), Ba i Najasy (rekayasa pasar dalam demand
dengan menciptakan permintaan palsu sehingga harga jual produk akan
naik sehingga diperoleh keuntungan), Riba (terdapat 3 macam riba yaitu
Riba Fadl, Riba Nasiah dan Riba Jahiliyah), Maysir/judi (suatu permainan
yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak yang
lain akibat permainan tersebut) dan Risywah (memberikan sesuatu kepada
pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya).
3. Tidak sah (tidak lengkap) akadnya.
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatihi maupun
haram li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada
kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi
tersebut tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah
22
dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-
faktor berikut ini:
i. Rukun dan syarat tidak terpenuhi.
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam transaksi. Pada umumnya,
rukun dalam muamalah iqtishadiyah/muamalah madaniyah (muamalah
dalam bidang ekonomi) ada 3 yaitu pelaku,objek dan ijab-kabul. Apabila
rukun terpenuhi maka akad menjadi sah. Akad menjadi batal apabila rukun
tidak terpenuhi dan/atau terdapat kesalahan/kekeliruan objek, paksaan
(ikrah) atau penipuan (tadlis). Selain rukun, faktor yang harus ada supaya
akad menjadi sah adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang
keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Syarat bukanlah
rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Di pihak lain, keberadaan syarat
tidak boleh menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal,
menggugurkan rukun, bertentangan dengan rukun atau mencegah
berlakunya rukun. Menurut mahzab Hanafi, bila rukun sudah dipenuhi tapi
syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga
transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).
ii. Terjadi Ta alluq.
Ta alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling berkaitan,
maka berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Dalam hal ini
syarat mencegah berlakunya rukun (bai al- inah).
iii. Terjadi two in one .
23
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad
sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana
yang harus digunakan. Dalam terminologi fiqh kejadian ini disebut dengan
shafqatain fi al-shafqah. Two in one terjadi bila faktor objek sama, pelaku
sama dan jangka waktu sama terpenuhi.
Pengidentifikasian diatas menempatkan riba sebagai transaksi haram
selain zatnya karena riba melanggar prinsip La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun
(jangan menzalimi dan jangan dizalimi).36
Didalam Al Qur an term riba dapat dipahami dalam delapan macam arti
yaitu pertumbuhan (growing), peningkatan (increasing), bertambah (swelling),
meningkat (rising), menjadi besar (being big), dan besar (great), dan juga
digunakan dalam pengertian bukit kecil (hillock), walaupun istilah riba tampak
dalam beberapa makna, namun dapat diambil satu pengertian umum yaitu
meningkat (increase) baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitas.37
Abu Sura i Abdul Hadi dalam pembahasannya mengenai riba
menjelaskan bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat dalam pendefinisian riba.
Sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penetapan haramnya.
Ulama golongan madzab Hanafi mendefinisikan riba sebagai setiap kelebihan
tanpa adanya imbalan pembeli dan penjual di dalam tukar menukar. Menurut
golongan Imam Syafi i riba adalah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak
diketahui takaran kesamaannya maupun ukuran waktu penyerahan kedua barang
36Ibid, h.32 37Abdullah Saeed, loc.cit.
24
yang dipertukarkan atau salah satunya. Menurut golongan Maliki definisinya
hampir sama dengan definisi Imam Syafi i hanya berbeda pada Illatnya yakni
pada transaksi tidak kontan pada bahan makanan yang tidak tahan lama. Sedang
menurut golongan Hambali, riba adalah tambahan yang diberikan pada barang
tertentu yakni barang yang ditukar atau ditunda dengan jumlah yang berbeda.
Sehingga Abu Sura i Abdul Hadi menyimpulkan bahwa riba adalah tambahan
yang diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai
imbalan tempo pembayaran yang tidak disyaratkan.38
Sedangkan Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur an
menjelaskan bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam qur ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.39
Dalam ilmu fiqh, riba dikenal dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: 40
1. Riba Fadl
Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenihi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi
mistlin), sama kuantitasnya (sewa-an bi sawa-in). Pertukaran semisal ini
mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan nilai
masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini akan
menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan
pihak-pihak lain.
38Abd. Shomad, Membincang Riba dan Akad di Bank Syariah , Juridika, Vol. 19 No. 1, Januari-Pebruari 2004, (selanjutnya disingkat Abd. Shomad II) h.22.
39Muhammad Syafi i Antonio, op.cit., h 37 40Adiwarman A. Karim, op.cit., h.36.
25
2. Riba Nasiah
Riba Nasiah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang
piutang yang tidak memenuhi kreteria untung muncul bersama risiko (al
ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi
dhaman). Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi.
Sehingga terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat tidak pasti
menjadi pasti. Memastikan sesuatu yang di luar kewenangan manusia adalah
bentuk kezaliman. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Hasyr
ayat 18 dan surat Luqman ayat 34: dan seseorang itu tidak mengetahui apa
yang dihasilkannya besok .41
3. Riba Jahiliyah.
Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman
karena sipeminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu
yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran
kaidah Kullu Qardin Jarra Manfa atan Fahuwa Riba (setiap pinjaman yang
mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi
kebaikan sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis. Jadi
transaksi yang semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah
menjadi transaksi yang bermotif bisnis.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al
Haitsami: "Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al
yaad, dan riba an nasiah. Al Mutawally menambahkan jenis keempat,
41Didalam Al-Qur an surat Al- Hasyr ayat 18 dan didalam Al-Qur an surat Luqman ayat 34.
26
yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini
diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi".42
Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan
mengenai riba dalam Al-qur an tidak diturunkan secara sekaligus melainkan
dturunkan secara bertahap.43
Tahap pertama diturunkan pada masa risalah kenabian Muhammad SAW
di Makkah, kemungknan besar pada tahun IV atau V Hijriah (614/615 M).44 Pada
tahap ini berisi pendahuluan untuk pengharaman, yaitu menolak anggapan bahwa
pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang
membutuhkan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah
SWT.45 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 39, Dan,
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada sisi Allah.
Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya) .46 Pada tahap ini, para mufassir klasik berpendapat
bahwa makna riba disini adalah pemberian (gift). Walaupun kemudian istilah riba
yang diartikan dengan arti pemberian (gift) tidak tampak pada masa sebelum
Islam maupun setelah datangnya Islam.47
Tahap kedua berisi peringatan mengharamkan riba, yaitu riba
digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi
42Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h 42 dikutip dari Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 h. 205
43Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h.48 44Abdullah Saeed, op.ci.t, h.34. 45Ibid. 46Dalam Al-Qur an surat Ar-Ruum ayat 39 47Abdullah Saeed, op.cit., h.35.
27
balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba. Dalam surat An-
Nisaa ayat 160-16, Allah berfirman
maka, disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesugguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.48
Tahap ketiga dilarang riba yang keji, riba diharamkan dikaitkan kepada
suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang
banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman, Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan .49 Ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya
riba tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada masa
diturunkannya ayat ini.50
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan
apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.51 Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat
48Dalam Al-Qur an surat An-Nisaa ayat 160-161 49Dalam Al-Qur an surat Ali-Imran ayat 130 50Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h.49 51Ibid, h.50
28
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.52
Larangan mengenai riba tidak hanya terdapat dalam Al-Qur an tetapi
juga dalam hadits. Hal ini sebagaimana merujuk posisi umum hadits yang
berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-
Qur an.53 Apabila dalam Al-Qur an terminologi riba digunakan dalam konteks
kaitannya dengan utang-piutang, lain halnya dengan hadist, meskipun dasar
rujukannya berpangkal dari permasalahan utang-piutang, namun juga dapat
berupa pinjaman atau pembayaran jual beli yang ditangguhkan.54 Beberapa hadits
yang melarang dengan tegas riba antara lain sebagai berikut;
1. Rasullulah bersabda, Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak
membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapatkan
petunjuk diri-Nya. (mereka itu adalah) peminum arak, pemakan riba, pemakan
harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan
ibu-bapaknya .55
2. Nabi saw bersabda, Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling
ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya .56
3. Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba,
orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang
saksinya,kemudian beliau bersabda, mereka semua itu sama .57
52Dalam Al-Qur an surat Al Baqarah ayat 278-279. 53Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h.59 54Abdullah Saeed, op.cit., h.53. 55Hadist Rasul diriwayatkan oleh Abu Hurairah 56Hadits Rasul diriwayatkan oleh Ibn Majah 57Hadits Rasul diriwayatkan oleh Muslim no 2995, kitab al-Masaqqah.
29
4. Nabi bersabda, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, gerst dengan gerst (semacam gandum yang dipakai untuk campuran
bir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, dapat ditukar dengan cara
suka sama suka, kadar yang sama, secara langsung dari tangan ke tangan. Jika
jenis komoditi yang ditukarkan berbeda, maka lakukan transaksi itu sesuai
yang kamu ingini, jika dalam melakukan transaksi tersebut dilakukan secara
langsung (tidak ditangguhkan).58
5. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 10 Dzulhijjah 10 Hijriah, Rasulullah
saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba, Ingatlah bahwa
kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu.
Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba
harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak
akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan .59
2. Bunga Bank Ditinjau dari Hukum Islam
Teori bunga muncul sejak manusia mulai melakukan pemikiran
ekonomi.60 Dengan semakin berkembangnya pemikiran mengenai bunga, para
pakar ekonomi masa lalu telah mengembangkan berbagai teori tentang bunga,61
antara lain sebagai berikut:
1. Adam Smith dan David Richardo sebagai penganut teori bunga klasik
mendefinisikan bunga sebagai kompensasi yang harus dibayarkan oleh
58Hadits Rasul diriwayatkan oleh Muslim, Shahih, V, h.44. 59Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h.51 60Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta
(selanjutnya disingkat Muhamad II), h.14. 61Ibid.
30
penghutang kepada pemilik uang sebagai jasa atas keuntungan yang diperoleh
dari uang pinjaman, mereka berpendapat bahwa akumulasi uang adalah akibat
dari penghematan pemilik uang. Orang tidak akan melakukan penghematan
untuk menabung tanpa adanya balas jasa atas pengorbanan penghematan
tersebut.oleh karena itu bunga sebagai harapan balas jasa atas tabungan
merupakan faktor utama yang mendorong orang untuk berhemat.62
2. N.W Senior sebagai pelopor teori bunga abstinens, berpendapat bahwa bunga
adalah harga yang dibayarkan sebagai tindakan menahan nafsu. Menurutnya,
tindakan menahan nafsu ini merupakan tindakan untuk tidak mengkonsumsi
atau melakukan kegiatan produktif. Hasil menahan nafsu ini memungkinkan
orang untuk berhemat kemudian menabungnya.63
3. A. Lerner sebagai penganut teori bunga the loanable funds theory of interest
menyatakan bahwa bunga ditentukan oleh interaksi penawaran dan permintaan
akan dana pinjaman.64
4. Keynes sebagai pelopor teori bunga keseimbangan kas memandang bahwa
bunga bukan sebagai harga atau balas jasa atas tabungan tapi bersifat
pembayaran untuk pinjaman uang.65
Sedangkan menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia, definisi bunga
(Interest/fa idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang
(al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
62Ibid, h.15. 63Ibid, h.15. 64Ibid, h.17. 65Ibid.
31
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan
secara pasti di muka dan pada umumnya berdasarkan persentase.66
Praktek membungakan uang adalah upaya untuk memperoleh tambahan
uang atas uang semula dengan cara:67
1. Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang dari peminjam.
2. Dengan jumlah tambahan yang sudah ditetapkan dimuka.
3. Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan
berhasil atau tidak dan apakah ia akan sanggup membayar tambahan dari
pinjaman itu.
4. Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan presentase sehingga tidak
tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar
menjadi berlipat ganda.
Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat diantara para ulama
mengenai bunga bank, bunga bank itu termasuk riba atau bukan. Kalau termasuk
riba tentu bunga bank itu haram. Baik bunga kredit (pinjaman) maupun bunga
para penabungnya.68
Penafsiran secara teknis mengenai riba menimbulkan masalah
kontroversial diantara para ahli hukum dan ilmuwan muslim. Kontroversi yang
utama berkisar mengenai masalah apakah Islam melarang riba atau bunga
66Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interest/fa idah).
67Muhamad, Managemen Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2002, (selanjutnya disingkat Muhamad III), h.57.
68Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, Bunga Bank Halal atau Haram?, http://www.alidrisiyyah.com/mambo/index.php?option=com_content&task=category§ionid=3&id=5&Itemid=35.
32
(interest), ataukah Islam melarang pembebanan dan pembayaran dari kedua hal
tersebut. Terdapat tiga aliran mengenai hal ini, yaitu:69
1. Aliran yang berpandangan pragmatis.
Menurut pandangan yang pragmatis, Al-qur an melarang usury yang berlaku
selama sebelum era Islam, tetapi tidak melarang bunga (interest) dalam sistem
keuangan modern. Dasar pemikirannya adalah Al-Qur an surah Ali-Imran ayat
130 yang melarang penggandaan pinjaman melalui proses yang usurious dan
tidak adanya hadits yang melarang bunga menurut sistem keuangan modern.
Dengan demikian, menurut pandangan yang pragmatis, transaksi-transaksi
yang berdasarkan bunga diangap sah. Bunga menjadi dilarang secara hukum
apabila jumlah yang ditambahkan pada dana yang dipinjamkan luar biasa
tingginya, yang bertujuan agar pemberi pinjaman dapat mengeksploitasi
penerima pinjaman, sebagai contoh pemungutan bunga oleh lintah darat.
Pandangan ini juga berpendapat bahwa pembebanan bunga adalah suatu
kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara-negara muslim.
2. Aliran yang berpandangan konservatif.
Pandangan yang konservatif berpendapat bahwa riba harus diartikan baik
sebagai bunga (interest) maupun usury. Setiap imbalan yang telah ditentukan
sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (return) untuk pembayaran
tertunda atas pinjaman adalah riba yang disebut riba nasi ah, dan oleh karena
itu dilarang Islam. Chapra sebagai penganut pandangan yang konservatif
dengan tegas menyatakan bahwa riba al nasi ah mengacu pada pinjaman yang
69Sutan Remi Syahdeni, op.cit., h.9
33
dikenal didalam sistem perbankan modern. Menurutnya pula bahwa tidak ada
perbedaan apakah imbalan ditetapkan secara pasti atau secara presentasi
terhadap pokok, atau ditetapkan suatu jumlah yang mutlak harus dibayar
dimuka atau pada waktu jatuh temponya atau ditetapkan suau pemberian atau
jasa yang diterima sebagai suatu syarat bagi pinjaman itu. Pandangan ini juga
berpendapat bahwa riba juga berarti kelebihan yang diperoleh atas pertukaran
antara dua atau lebih barang yang sejenis yang berlangsung di pasar yang
disebut dengan riba Al-Fadl. Islam melarang riba Al-Fadl karena Islam bukan
hanya ingin meniadakan eksploitasi berkaitan dengan lembaga bunga,
melainkan juga yang inherent dengan semua bentuk pertukaran yang tidak
jujur dan tidak adil dalam transaksi-transaksi bisnis.
3. Aliran yang berpandangan sosio-ekonomis.
Pandangan ini melarang bunga bank dengan dalih bahwa prinsip keuangan
Islam mengharuskan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman menghadapi
resiko. Pandangan ini mengemukakan bahwa bunga mempunyai
kecenderungan pengumpulan kekayaan ditangan segelintir orang saja.
Pemasok dana yang berbunga itu seharusnya tidak tergantung pada
ketidakpastian yang dihadapi oleh penerima pinjaman. Pengalihan resiko dari
satu pihak kepada pihak yang lain merupakan pelanggaran hukum. Islam tidak
menghadapi memperoleh keuntungan dari penyediaan modal tanpa resiko.
Bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber
keburukan ekonomi. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain:70
70Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan, loc.Cit.
34
1. Disebabkan bunga menjadi tumpuan bagi kalangan yang berekonomi kuat
untuk memperoleh keuntungan (walaupun bunga/keuntungan tersebut berkisar
2 persen sampai 10 persen). Bagi kalangan ekonomi lemah mereka tergiur
menanamkan uangnya untuk memperoleh keuntungan atau modal yang baru
akibat pembungaan uang yang ditanamkannya di bank.
2. Dalam hal pinjaman produktif (kreditur), bunga melambungkan biaya
produksi yang menyebabkan harga-harga barang produksi bisa terpicu untuk
menaikkan harga-harga barang produksi bisa terpicu untuk menaikkan
harganya.
3. Bunga bank berkecenderungan untuk menindas. Hal ini dapat dilihat tatkala
peminjam mendatangi bank, di mana bank telah menentukan bunga. Dalam
hal ini bank berperan sebagai penindas dan pemeras karena nasabah
diwajibkan membayar bunga bank setiap bulan.
4. Bunga bank dianggap memutasikan kekayaan hanya di antara orang berpunya
ke orang berpunya (berputar hanya di antara orang-orang kaya saja). Akhirnya
menjadi ketidak berimbangan kekayaan antara yang miskin dan kaya.
5. Bunga dikhawatirkan memunculkan kalangan penanam uang yang hanya
mengharapkan bunga dari deposito. Hal ini dapat membahayakan jiwa
masyarakat dan pemodal yang menanamkan uangnya.
Adapun kekurangtegasan pendapat sebagian ulama mengenai
pengklasifikasian bunga bank ke dalam riba tampak disebabkan oleh beberapa
alasan, diantaranya sebagai berikut:71
71Muhammad Syafi i Antonio, op.cit., h.ix
35
1. Kurang komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan
cendekiawan tentang bahaya bunga dan dampak destruktif sistem bunga,
terutama pada saat krisis moneter dan ekonomi dilanda kelesuan. Kesenjangan
informasi ini menjadikan sebagian ulama merasa tenang-tenang saja bahkan
cenderung melegitimasi mekanisme konvensional yang ada. Hal ini tepat
seperti yang ditegaskan kaidah fiqhiyah hukum terhadap suatu hal merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari cara pandang dan informasi yang sampai
kepada si pemberi hukum .
2. Nash-nash Qur ani dan sunnah nabawiyah yang berkaitan dengan riba
cenderung kurang dipahami secara komprehensif. Hal ini tercermin dalam
analisis, tahapan pelarangan riba, arahan Rasulullah terhadap praktik bisnis
dan simpan pinjam sahabat, demikian juga larangan praktik pembungaan uang
dalam ajaran yang berakar samawi lainnya.
3. Belum berkembang luasnya lembaga keuangan syariah sehingga ulama dalam
posisi yang sulit untuk melarang transaksi keuangan konvensional yang
demikian luasnya itu.
4. Adanya kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis yang
memunculkan anggapan bahwa praktik pembungaan uang, seperti yang
dilakukan lembaga-lembaga keuangan konvensional sudah sejalan dengan ruh
dan semangat Islam. Para ulama serta cendekiawan tinggal membubuhkan
stempel saja.
Yang dimaksud riba dalam Al-Qur an yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
36
syariah. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang adalah
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil.72
Secara konseptual antara riba dan bunga tidak jauh berbeda, oleh karena
itulah kemudian keluar fatwa MUI yang melarang transaksi yang menggunakan
sistem bunga karena prinsipnya praktek pembungaan uang yang terjadi saat ini
telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rosulullah SAW.73
Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba karena ada unsur
yang dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi
bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.74 Hal ini karena
pengambilan bunga telah memenuhi seluruh kriteria ketidakadilan riba yang
tercela tersebut. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah
satu bentuk riba dan riba haram hukumnya.75
Ahmad Salim Mahmud berpendapat hukum yang qath i (pasti), oleh
karenanya tidak boleh ada pertentangan (khilafiyah), tidak ada syubhat, dan
karenanya pula maka tidak ada peluang bagi ijtihad.76 Nash yang mengharamkan
riba bersifat umum yang meliputi riba konsumtif dan produktif.77
Suatu Fatwa yang dikeluarkan ulama atau badan keagamaan bersifat
final atas dasar keyakinan dari yang mengeluarkan atas kebenarannya, setelah
72Ibid, h.38 73Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga
(interest/fa idah). 74 Muhamad III, op.cit., h.61. 75Muhammad Syafi i Antonio, loc.Cit. 76Abd. Shomad II, op.cit., h.24 77Ibid, h.25
37
melakukan pengkajian tentang Al-Qur an dan As-Sunnah serta wacana para ulama
terdahulu.78
Sekalipun ayat-ayat dan hadist riba sudah jelas dan shahih, masih saja
ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas
pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan-alasan berikut:79
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Untuk memahami pengertian darurat kita seharusnya melakukan pembahasan
yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh
syara (Allah dan RasulNya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya al-Asybah wan-Nadzair menegaskan bahwa
darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera
melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang
kehancuran atau kematian. Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan
dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh terutama
penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat. Para ulama
merumuskan kaidah darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya . Darurat itu
ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.80
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang
wajar dan tidak menzalimi diperkenankan.
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda
dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.
Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat
78Ibid, h.21 79Sutan Remi Syahdeni, op.cit., h.54 80Muhammad Syafi I Antonio, op.cit., h.55.
38
130 yang artinya; hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian
mendapat keberuntungan.
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya
melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat tersebut
secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara
komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara
menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk
dan jenisnya mutlak diharamkan. Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus
dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan merupakan
syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil
tidak riba. Menanggapi hal ini, Abdullah Draz, dalam salah satu konverensi
fiqh Islami di Paris tahun 1978 menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut.
Beliau menjelaskan secara linguistik arti kelipatan . Sesuatu berlipat minimal
2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan
tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6 kali. Sementara
dalam ayat adalah ta kid untuk penguatan. Dengan demikian menurut beliau,
kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi
bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar
sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-
pinjam. Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar
bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan adapun yang dimaksud dengan ayat
130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya
sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian
39
banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia
mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan
berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat
umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasul-Nya). Perlu
direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks
Ali Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-
ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar
pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu. Secara sederhana, jika kita
menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara
terbalik jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak
sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan
seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah.
Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum
mukhalafah dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Diharamkan
bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah. Janganlah mendekati zina! Yang dilarang
adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga
larangan memakan daging babi. Janganlah memakan daging babi! Yang
dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak
disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal.
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena
seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis
40
penurunan wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek
pembahasan. Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130
Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami
bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H.
Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan ayat
sapu jagat untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.81
3. Bank sebagai lembaga tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan
demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan
disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang
ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau
Bank Lippo, atau lembaga keuangan yang lain tidak terkena hukum taklif
karena pada saat Nabi hidup belum ada. Pendapat ini jelas memiliki banyak
kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis. Hal ini karena:
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada badan hukum
sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan
lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau
dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai
juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini
secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara
keseluruhan. Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat
81Ibid, h.56
41
melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan
seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia
dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat
terlarang tidaklah sama, lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya.
Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga
mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf.
Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi il mukallaf yang
jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan,
apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya
lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala
kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi,
negara, bahkan global.82
3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Berdasarkan Hukum Islam
Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi
masyarakat modern untuk paling tidak membawa mereka kepada pelaksanaan dua
ajaran Al Qur an yaitu:83
1. Prinsip At Ta awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara
anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al
Qur an : .dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
82Ibid, h.58 83Forum Studi Tafsir Salafy, Bank Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Yang
Mengacu Pada Syariat Islam, http://naqsya.wordpress.com/2007/07/08/j-bank-syariah-sebagai-lembaga-keuangan-yang-mengacu-pada-syariat-islam/.
42
dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran .84
2. Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan
membiarkannya menganggur yang tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al
Qur an: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu .85
Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah menghendaki kegiatan
ekonomi yang halal.86 Menurut Muhammad Budi Setiawan, prinsip-prinsip Islam
dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syariah (pihak
terkait) adalah: 87
1. Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara
mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2. Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi
3. Keadilan pendistribusian kemakmuran.
4. Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5. Tidak ada unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar
(ketidakjelasan/samar-samar).
Prinsip bagi hasil (Profit and Lost Sharing Principle) dalam
pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal
84Dalam Al-Qur an surat Al Maa idah ayat 2 85Dalam Al-Qur an surat An Nisaa ayat 29 86Muhammad Budi Setiawan, loc.cit. 87Ibid.
43
(Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha
ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha
tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian
akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.88
Menurut Humayon A. Dar dan John R. Presley89:
Profit and Loss Sharing is a contractual arrangement between two or
more transacting parties, which allows them to pool their resources to
invest in a project to share in profit and loss .
( Bagi hasil adalah perjanjian kontraktual antara dua pihak atau lebih,
yang memperbolehkan mereka untuk menempatkan sumber daya mereka
untuk diinvestasikan dalam sebuah proyek untuk berbagi dalam
keuntungan dan kerugian ).
Di dalam aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya
penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan
bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Taradhin) di masing-
masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.90
Secara umum dalam prinsip bagi hasil ada empat akad utama yaitu al
musyarakah, al mudharabah, al muzara ah dan al musaqah.91 Walaupun
88Ach. Bakhrul Muchtasib, Konsep Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah, http://zanikhan.multiply.com/journal/item/435/KONSEP_BAGI_HASIL_DALAM_PERBANKAN_SYARIAH
89Humayon A. Dar dan John R. Presley, loc.cit. 90Ach. Bakhrul Muchtasib, loc.cit. 91Muhammad Syafi i Antonio, op.cit., h.90
44
demikian, yang banyak dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah.92 Al-
musyarakah atau syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.93
Syirkah terdiri dari dua jenis, yaitu syirkah al milk dan syirkah al
uqud.94 Syirkah al milk adalah kepemilikan bersama dan keberadaannya muncul
apabila dua atau lebih orang secara kebetulan memperoleh kepemilikan bersama
atas suatu kekayaan, syirkah ini tercipta karena warisan dan/atau wasiat.95
Sedangkan syirkah al uqud adalah syirkah yang dianggap kemitraan yang
sesungguhnya karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan
untuk membuat suatu perjanjian, syirkah ini tercipta dengan cara kesepakatan, tiap
orang dari mereka memberikan modal dan sepakat berbagi untung dan rugi.96
Syirkah al- uqud terdiri dari empat akad yaitu syirkah al-inan, syrikah
mufawaghah, syirkah a maal, syirkah wujuh dan syirkah mudharabah.97
Syirkah al-inan adalah persekutuan dua orang atau lebih untuk
memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan
ketentuan keuntungan dibagi diantara para anggota sesuai dengan kesepakatan
bersama, sedangkan modal masing-masing harus sama.98 Syirkah mufawadha
92Ibid. 93Ibid, h.90. 94Trisadini Prasastinah Usanti, Bahan Ajar Perkuliahan Hukum Perbankan Syariah,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, (selanjutnya disingkat Trisadini Prasastinah Usanti III), 14 April 2008.
95Ibid. 96Ibid. 97Muhammad Syafi i Antonio, op.cit., h 92 98Trisadini Prasastinah Usanti III, loc.cit.
45
adalah persekutuan dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan
syarat besar modal masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan
hukum terhadap harta syirkah harus sama dan setiap anggota adalah penanggung
dan wakil dari anggotanya.99 Syirkah a amaal adalah bentuk kerjasama antara dua
orang yang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama-sama dan berbagi
keuntungan dari pekerjaan itu.100 Syirkah wujuh adalah persekutuan dua orang
atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama-
sama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan, syirkah
ini berdasarkan kepercayaan yang bersifat kredibilitas.101
Mudharabah pada dasarnya termasuk dalam syirkah karena memenuhi
rukun dan syarat sebuah akad musyarakah.102 Al mudharabah adalah akad
kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharib) menjadi pengelola, dimana
keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si
pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.103
Menurut Abdur Rahman L. Doi, mudharabah dalam terminologi hukum adalah
suatu kontrak dimana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock) tertentu
(Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rab Al-mal) kepada
pihak lain untuk membentuk kemitraan (joint partnership) yang diantara kedua
99Ibid. 100Ibid. 101Ibid. 102Muhammad Syafi i Antonio, loc.cit. 103Ibid, h. 95
46
pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk
memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola kekayaan itu. Orang ini
disebut mudharib.104
Mudharabah berasal dari akronim Ad-dhorbu fi l Ardhi , bepergian
untuk berdagang.105 Praktik mudharabah dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi,
sedangkan sahabat yang lain tidak membantahnya. Wacana fiqh seputar
mudharabah hanyalah pandangan pribadi hasil ijtihad para ahli hukum Islam
karena nash tidak mengulas.106
Secara umum, landasan syariah al-mudharabah lebih mencerminkan
anjuran untuk melakukan usaha.107 Hal ini nampak dalam ayat-ayat dan hadits
berikut ini:
1. Al-Qur an
... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah SWT.... 108
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia Allah SWT.... 109
Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia
Tuhanmu.... 110
2. Al-Hadits
104Sutan Remi Syahdeni, op.cit., h.29 105Abd. Shomad, Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah , Yuridika, Vol 16
No. 4, Juli-Agustus 2001, (selanjutnya disingkat Abd. Shomad III), h 365 106Ibid, h 364 107Muhammad Syafi i Antonio, op.cit., h.95 108Dalam Al Qur an surat Al Muzzammil ayat 20 109Dalam Al Qur an surat Al Jumu ah ayat 10 110Dalam Al Qur an surat Al Baqarah 198
47
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas Bin Abdul
Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah
ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi aturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut. Disampaikanlah syarat tersebut pada Rasulullah SAW
dan beliau membolehkannya.111
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual .112
Sebagaimana akad lain dalam hukum Islam, mudharabah atau qirad
memiliki rukun dan syarat.113 Agar akad itu sah maka harus memenuhi rukun dan
syarat tersebut.114 Menurut mahzab Hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi tetapi
syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad tersebut
menjadi fasid(rusak). Syarat bukanlah rukun sehingga tidak boleh dicampur
adukkan.115
Menurut Adiwarman A. Karim, rukun mudharabah ada 4 (empat),
yaitu:116
1. Pelaku, pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib).
111Hadits Rasul diriwayatkan oleh Tabrani 112Hadits Rasul diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no 2280, Kitab at-Tijarah 113Abd. Shomad III, op.cit., h.367 114Trisadini Prasastinah Usanti I, loc.cit. 115Adiwarman A Karim, op.cit., h 47 116Ibid, h 205
48
2. Objek mudharabah (modal dan kerja).
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-kabul).
4. Nisbah keuntungan.
Sedangkan syarat syarat mudharabah, ialah:
1. Modal berbentuk tunai, tidak boleh dalam bentuk barang karena barang tidak
dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian
(gharar) besarnya modal mudharabah.117
2. Modal tidak boleh dalam bentuk hutang, karena berarti tanpa setoran modal
shahibul maal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib telah
bekerja.118
3. Modal harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya agar dapat dibedakan
antara modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang dibagikan untuk
kedua belah sesuai kesepakatan.119
4. Keuntungan yang menjadi bagian pekerja dan pemilik modal harus jelas
prosentasenya.120
5. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana
(pekerja) untuk berdagang di negeri tertentu, komoditi tertentu, waktu tertentu,
dengan orang tertentu dan syarat-syarat lain.121
Pengelola dana (mudharib) memegang empat jabatan fungsionaris,
yaitu:122
1. Mudharib, yaitu yang melakukan perjalanan dan pengelolaan usaha (dharb)
dan dharb ini merupakan saham penyertaan daripadanya.
117Ibid, h 206 118Ibid. 119Abd. Shomad III, op.cit., h 367 120Ibid. 121Ibid. 122Abd. Shomad et al., Profit Loss Sharing Principle Dalam Hukum Ekonomi Islam ,
Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 2000, (selanjutnya disingkat Abd. Shomad IV), h. 33.
49
2. Wakil, jika debitur berusaha atas nama perkongisian yang dibiayai
penyandang dana, terutama dalam Mudharabah al Muqayaddah (mudharabah
terbatas).
3. Partner penyerta (syarik), pengelola dana berhak menyertai penyandang dana
dalam keuntungan usaha.
4. Pemegang amanah, sebagai pemegang amanah terhadap dana mudharabah dari
penyandang dana, dimana dituntut untuk menjaganya dan mengusahakannya
dalam investasi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama
mengembalikannya jika usaha telah selesai.
Dalam mudharabah mudharib menguasai seluruh modal agar dapat
dikelola secara efektif, dan mengelola modal sesuai dengan keinginannya.123
Shahibul maal tidak dapat menentukan bagaimana modal itu harus dikelola,
karena akan membuat pengelola usaha tidak dapat menguasai modal secara
mutlak, dan tidak mampu mengelola modal.124
Pada prinsipnya dalam mudharabah shahibul maal tidak menetapkan
syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Namun demikian, apabila dipandang
perlu, shahibul maal boleh menetapkan batasan-batasan guna menyelamatkan
modalnya dari kerugian. Apabila mudharib melanggar batasan-batasan ini, maka
mudharib harus bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.125
Mudharabah dibedakan dalam mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah
123Abd. Shomad III, op.cit., h.368. 124Ibid. 125Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 212.
50
muqayyadah (restricted mudharabah / specified mudharabah) mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha.126
Akad mudharabah tidak harus terjadi antara sesama muslim,
diperbolehkan pula dengan non muslim.127 Dalam al-mudharabah, para pihak
selain berbagi dalam untung juga berbagi dalam rugi. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari akad mudharabah yang tergolong dalam akad kemitraan.
Pembagian kerugian tidak didasarkan pada nisbah tapi berdasarkan porsi modal
masing-masing pihak. Sehingga dalam hal ini, kerugian (finansial) 100%
ditanggung oleh shahibul maal, sedangkan mudharib menanggung kerugian
berupa hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan untuk
menjalankan usaha tersebut. Hal ini didasari karena adanya perbedaan
kemampuan untuk menanggung kerugian antara para pihak.128
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah:129
1. Diambil dahulu dari keuntungan, karena keuntungan adalah pelindung modal.
2. Jika kerugian melebihi keuntungan baru diambilkan dari pokok modal.
Akan tetapi hal ini tidak berlaku apabila kerugian terjadi karena
kelalaian atau kecurangan mudharib dalam mengelola usahanya, maka mudharib
harus bertanggung jawab atas kerugian itu sebesar bagian kelalaiannya sebagai
sanksi dan tanggung jawabnya. Hal ini karena mudharib telah menimbulkan
126Trisadini Prasastinah Usanti I, loc.cit. 127Ibid, h 368 128Adiwarman A. Karim, op.cit., h.207 129Ibid, h.210.
51
kerugian akibat kelalaian dan perilaku zalim terhadap harta orang lain yang telah
dipercayakan kepadanya.130
Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya dalam akad
mudharabah tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan.131
Shahibul maal tidak dapat meminta jaminan dari pihak mudharib untuk
memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta
keuntungannya.132 Hal ini karena mudharabah bukan bersifat hutang melainkan
bersifat kerjasama dengan modal kepercayaan antara shahibul maal dan mudharib
untuk berbagi hasil.133
Tabel 1
Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil134
Bunga Bagi Hasil
Penentuan suku bunga dibuat
pada waktu akad dengan
pedoman harus selalu
menguntungkan pihak Bank.
Penentuan besarnya risiko bagi
hasil dibuat pada waktu akad
dengan pedoman pada
kemungkinan untung atau rugi
Besarnya presentase bunga
berdasarkan pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan.
Besarnya nisbah (rasio) bagi
hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh.
130Ibid, h 209 131Adiwarman A. Karim, op.cit., h. 208. 132Abdullah Saeed, op.cit., h. 97. 133Sutan Remi Syahdeni, op.cit., h. 34. 134M. Nadratuzzaman Hosen, Konsultasi Finansial, http://www.niriah.com/konsultasi/
52
Pembayaran bunga tetap seperti
dijanjikan, tanpa pertimbangan
proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil yang diberikan
tergantung kepada kinerja
usaha. Jumlah pembagian bagi
hasil meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan
bank syariah yang bersangkutan
Tidak bergantung kepada
kinerja usaha bank konvensional
tersebut. Jumlah pembayaran
bunga kepada nasabah tidak
mengikat meskipun jumlah
keuntungan berlipat ganda saat
keadaan ekonomi sedang baik.
Bagi hasil tergantung kepada
keuntungan proyek yang
dijalankan. Jika proyek itu tidak
mendapatkan keuntungan maka
kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak
Eksistensi bunga diragukan
kehalalannya oleh semua agama
termasuk agama Islam
Tidak ada agama yang
meragukan keabsahan bagi hasil