PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis moneter yang berjangkit pada akhir Juli 1997 merupakan tonggak
pemicu perubahan mendasar dalam kondisi ekonomi, sosial dan politik di
Indonesia. Berbagai kebijakan yang bersifat salah arah dan salah urus pada rezim
Orde Baru berimplikasi pada keadaan krisis yang berkepanjangan. Kebijakan
yang lebih mengutamakan pembangunan fisik tanpa diiringi oleh pembangunan
sosial yang memadai menyebabkan adanya kerusakan moral pada bangsa
Indonesia yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat korupsi, rendahnya komitmen
dalam menjaga warisan budaya dan ketidakmampuan mengelola sumber daya
alam secara berkelanjutan serta penguatan kelompok-kelompok tertentu yang
memiliki akses terhadap kekuasaan.
Salah satu indikasi kegagalan pada rezim tersebut adalah
ketidakmampuannya menekan kesenjangan ekonomi seperti kesenjangan relatif,
kesenjangan pendapatan perkotaan-perdesaan dan kesenjangan pendapatan
regional. Rezim Orde Baru memang mampu mengatasi kemiskinan absolut yang
ditunjukkan oleh menurunnya jumlah masyarakat miskin, tetapi kesenjangan
distribusi pendapatan tetap konstan, tidak mengalami perubahan (Data World
Bank dalam Thee, 2004). Beberapa wilayah di Indonesia yang kaya akan bawaan
sumber daya alam (SDA) memiliki indikator pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Papua,
ternyata memiliki indeks kemiskinan manusia (IKM) yang tinggi dan indeks
pembangunan manusia yang rendah (BPS, Bappenas dan UNDP, 2001).
Sebaliknya beberapa wilayah yang miskin SDA memiliki indikator pembangunan
yang lebih baik (IKM rendah dan IPM tinggi).
Kesenjangan relatif, kesenjangan pendapatan desa-kota maupun
kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota tidak hanya ditemui di
provinsi yang memiliki indikator pembangunan yang rendah (belum berkembang),
tetapi juga di provinsi-provinsi yang memiliki indikator pembangunan dan
pertumbuhan yang relatif tinggi, seperti Provinsi Bali dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (berturut-turut berada pada peringkat dua dan tiga dalam IPM
2
setingkat dibawah DKI Jakarta, tahun 2002). Beberapa kabupaten dalam
provinsi-provinsi tersebut berkembang sangat pesat sedangkan lainnya mengalami
pertumbuhan yang lambat. Bahkan di dalam kabupaten yang sama, kawasan
perkotaan berkembang dengan laju yang relatif jauh lebih pesat dibandingkan
dengan kawasan perdesaan. Ketidakseimbangan keterkaitan perekonomian
kawasan perkotaan dan perdesaan tersebut, cenderung lebih menguntungkan
kawasan perkotaan (Gonarsyah, 1977). Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan
menumbuhkan rasa ketidakadilan yang kemudian mengurangi tingkat
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada
kemauan baik (goodwill) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan
pembangunan yang merata. Inilah konsekwensi dari pembangunan yang
mengabaikan aspek keruangan fisik dan sosial. Kegagalan-kegagalan ini
kemudian mendorong adanya tuntutan untuk meruntuhkan rezim Orde Baru pada
tahun 1998.
Runtuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak serta merta membangun
masyarakat madani yang diinginkan melainkan terbangunnya keadaan
ketidakpastian yang mendorong memburuknya perekonomian (Budiman, 2006)
Rasa saling mencurigai antar kelompok, kuatnya kepentingan-kepentingan
kelompok tertentu serta pemerintahan yang lemah menyebabkan terjadinya
kekacauan sehingga menekan proses masuknya investasi asing yang diperlukan
sebagai upaya menyehatkan perekonomian bangsa Indonesia. Dharmawan (2002)
menyatakan bahwa melemahnya kepercayaan tersebut menimbulkan adanya
disintegrasi sosial. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
Indonesia membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mampu membangun
kembali perekonomiannya menuju keadaan awal, dibandingkan dengan negara
lain di Asia seperti Cina, Korea Selatan dan Malaysia (Rao, 2001).
Keadaan Indonesia masa reformasi ini sesuai dengan gambaran Putnam
(1993) mengenai Italia dimana dinyatakan bahwa pemerintahan yang memiliki
stok rasa percaya yang lebih tinggi akan mampu mencapai konvergensi lebih
cepat dan pada tingkat yang lebih tinggi pula. Menurut Putnam, rendahnya
kesejahteraan masyarakat di Italia Selatan disebabkan oleh modal sosial yang
3
lebih lemah dibandingkan Italia Utara. Sejalan dengan pemikiran tersebut,
Fukuyama (1995) dan Rao (2001) juga menyatakan bahwa perbedaan rasa
percaya dapat menjadi faktor penyebab adanya perbedaan hasil-hasil
pembangunan ekonomi antar wilayah karena rasa percaya melandasi
terbangunnya pembangunan ekonomi yang sehat dengan menekan biaya transaksi.
Modal sosial, bersama-sama dengan modal lainnya, mampu meningkatkan
produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan proses pembangunan. Tanpa modal
sosial, aktivitas ekonomi akan mengalami kemunduran dan sumber daya alam
akan menghadapi ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa pertumbuhan ekonomi,
modal sosial akan terganggu (Mitchel, 1999).
Masyarakat di wilayah-wilayah yang miskin sumber daya alam, seringkali
hanya memiliki sumber daya sosial sebagai satu-satunya aset penting dalam
pembangunan. Terabaikannya pembangunan sumber daya sosial menyebabkan
lemahnya stok modal sosial sehingga menekan produktivitas kerja dan mendorong
terbangunnya jaringan kerja yang tidak efisien, lemahnya norma serta hilangnya
nilai-nilai bersama yang akhirnya merugikan semua pihak yang berinteraksi dalam
proses pembangunan.
Penelitian modal sosial di berbagai negara menunjukkan bahwa modal
sosial dapat dibangun pada tingkat mikro, meso dan makro. Di Indonesia,
Grootaert (2001), Miller et al. (2003) dan Brata (2004), menunjukkan bahwa
modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan,
kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Bahkan
menurut Grootaert (2001), kontribusi modal sosial dalam peningkatan pendapatan
rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur sebanding
dengan kontribusi modal manusia.
Hingga saat ini, perkembangan penelitian mengenai peran modal sosial
dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga (mikro) ternyata tidak
diimbangi dengan perkembangan fakta empiris mengenai keterkaitan modal sosial
dan indikator pembangunan (Human Development Index atau HDI) di tingkat
wilayah (makro), padahal menurut Hayami (2000) pengukuran kesejahteraan
masyarakat tidak akan mencukupi bila hanya menekankan pada pertumbuhan
ekonomi (produk regional domestik bruto maupun pendapatan per-kapita) saja
4
melainkan pula harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya pemerintah serta
masyarakat.
Perumusan Masalah
Perkembangan pemikiran mengenai modal (capital) yang dikemukakan
oleh Bourdieu (1986) memberi arah penting dalam kajian pertumbuhan ekonomi
wilayah. Modal tidak saja diartikan sebagai sumber daya yang bersifat tangible
dan material tetapi juga termasuk sumber daya yang bersifat intangible dan non-
material. Salah satu konsep modal yang memperoleh perhatian dari para ahli
ekonomi, ahli politik, ahli sosiologi, dan ahli antropologi adalah modal sosial.
Modal sosial memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
perluasan kerjasama dan kepercayaan yang tumbuh antar pelaku dalam
perusahaan, pasar dan negara. Kerjasama dan kepercayaan tersebut memfasilitasi
aliran informasi yang simetris sehingga biaya transaksi dapat ditiadakan. Selain
itu, jaringan kerjasama dapat menjadi jaminan sosial yang meningkatkan akses
individu dan kelompok terhadap sumber daya. Modal sosial juga mencakup
norma dan nilai-nilai positif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
seperti rasa kesetiakawanan, sanksi-sanksi yang menekan tumbuhnya sikap
oportunistik dan perilaku sebagai pembonceng (free rider).
Menurut Mubyarto (2001), Bali merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang mampu mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam
pelaksanaan program-program pembangunan dan pertumbuhan ekonominya
dengan cara menjaga dan memelihara institusi lokal tradisional. Kearifan lokal
yang terpelihara dalam organisasi tradisional seperti subak dan desa (banjar)
pakraman, mendorong masyarakat Bali untuk selalu berpartisipasi dalam
mensukseskan program-program pembangunan. Keberhasilan program
pembangunan yang dikaitkan dengan kehidupan sosial, agama dan budaya
masyarakat seringkali dinyatakan sebagai hasil dari adanya rasa saling percaya
dan norma yang terbangun dalam kelompok tersebut.
Bali memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil
terutama karena keberhasilan pengembangan sektor pariwisata (perdagangan,
hotel dan restorannya). Pertumbuhan ekonomi Bali hampir selalu berada di atas
5
pertumbuhan ekonomi Indonesia, kecuali tahun 2000 saat adanya perubahan
kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah) serta tahun 2002
dan 2004, saat terjadi shock dalam perekonomian akibat adanya peledakan bom
(Tabel 1).
Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Bali dan Indonesia Tahun 1997 – 2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2004
Bali 5,81 -4,04 0,67 3,05 3,39 3,15 4.62
Indonesia 4,70 -13,68 0,23 4,77 3,32 3,66 5.13
Sumber : PDRB Provinsi Bali, 2005 dan Data Statistik Indonesia, 2005 Tingginya pertumbuhan ekonomi di Bali tidak berarti terlepas dari
masalah kesenjangan pembangunan antar kabupaten maupun antar wilayah dalam
satu kabupaten. Pertumbuhan ekonomi di Bali Selatan terutama di tiga wilayah
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Ketiga wilayah ini
merupakan kelompok wilayah dengan pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan
per-kapita, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan laju PDRB
tertinggi. Kabupaten Badung, melalui program pengembangan kepariwisataan di
Badung Selatan, mampu menggali PAD dan tingkat pertumbuhan (PDRB)
sepuluh hingga empat puluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten
lainnya. Namun indikator tingkat pembangunan menunjukkan bahwa IPM di
Kabupaten Badung relatif sama dengan Kabupaten Tabanan, yang memiliki PAD
sepersepuluh dari Kabupaten Badung (Gambar 1a).
Keadaan ketidakseimbangan pendapatan juga terjadi antar desa-kota dalam
satu wilayah kabupaten seperti wilayah Badung Utara dan Badung Selatan.
Pemerintah Kabupaten Badung telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, seperti pemberian bantuan, subsidi dan memprioritaskan
pengembangan agribisnis dan agrowisata di wilayah Badung Utara, namun tingkat
keberhasilan yang dicapai relatif rendah sehingga Badung Utara relatif kurang
berkembang dibandingkan dengan Badung Selatan.
6
Denpasar
JembranaTabanan
BadungGianyar
Klungkung
Bangli
Karang Asem
Buleleng
60626466687072747678
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000
PDRB per kapita (2004)
Inde
ks P
emba
ngun
an
Man
usia
(IPM
)
Jembrana Tabanan Badung Gianyar KlungkungBangli Karang Asem Buleleng Denpasar
(1a)
Gianyar
Karang Asem
Denpasar
Jembrana
TabananBadung
KlungkungBangli
Buleleng
60626466687072747678
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
Kepadatan Penduduk sebagai Indikator Modal Sosial (Collier) (2004)
Inde
ks P
emba
ngun
an M
anus
ia
(IPM
)
Jembrana Tabanan Badung Gianyar KlungkungBangli Karang Asem Buleleng Denpasar
Sumber: Data bali Membangun, 2005
(1b)
Gambar 1 Pemetaan Wilayah Kabupaten/Kota di Bali berdasarkan Indikator Pertumbuhan (PDRB perkapita), Indikator Pembangunan (IPM) dan Indikator Modal Sosial, Tahun 2004
Secara terinci, keadaan kesenjangan tersebut dapat dinyatakan sebagai
berikut (Tabel 2):
1. Kabupaten dengan dominasi sektor pertanian memiliki pertumbuhan PDRB,
PAD dan pendapatan per-kapita yang lebih rendah.
2. Kabupaten yang terletak jauh dari pusat pemerintahan dan jasa pariwisata
termasuk Bali Timur dan Bali Barat, memiliki indeks pembangunan
7
manusia di bawah rataan Provinsi Bali dan indeks kemiskinan manusia di
atas rataan Provinsi Bali.
3. Tingginya indikator pertumbuhan ekonomi seperti PDRB per-kapita, PDRB
dan PAD tidak selalu disertai dengan tingginya indikator pembangunan
manusia. Hanya Kota Denpasar yang sekaligus memiliki indikator
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi.
4. Berdasarkan indikator modal sosial yang digunakan Collier (1998),
Tingginya kepadatan penduduk per km2 di Kabupaten Badung, Gianyar dan
Kota Denpasar seharusnya mampu membangun interaksi yang semakin
intensif sehingga dapat menekan jumlah konflik. Namun hal sebaliknya
terjadi di Bali (Gambar 1b).
Pembangunan ekonomi Bali yang merupakan salah satu success story di
Indonesia, bahkan di dunia, ternyata tidak luput dari masalah kesenjangan antar
daerah (Sukardika, 2004). Pemerintah Provinsi Bali dalam laporan Profile Bali
20031 mengakui bahwa terjadi penyebaran pelaksanaan pembangunan yang
kurang merata sehingga menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah,
antar perkotaan dan perdesaan, maupun antar golongan yang akhirnya menjadi
pemicu gejolak sosial.
Kebijakan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas pengelolaan berbagai sumber daya yang ada di suatu wilayah, termasuk
sumber daya sosial, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di wilayah
tersebut. Kebijakan desentralisasi tersebut diharapkan berdampak pula pada
semakin rendahnya tingkat kesenjangan dan menguatnya modal sosial masyarakat
di suatu wilayah karena adanya interaksi sosial yang intensif dan efisien antara
pemerintah kabupaten dan masyarakat. Peningkatan efektivitas interaksi tersebut
akan membangun sistem kontrol yang baik dan meningkatkan rasa percaya
masyarakat terhadap pemerintah (Gambar 2).
1 Lihat Profile Daerah Bali, 2003 halaman iv
8
Tabel 2 Kinerja Perekonomian Bali Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1999, 2002 dan 2004
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Denpasar Bali
Indikator Pertumbuhan:
Rataan Pertumbuhan (2000-2001) 3.42 2.90 4.27 3.61 3.44 2.85 1.78 3.63 3.55 3.22
Rataan Pertumbuhan (2002-2004) 1.29 0.23 -0.89 0.10 0.36 0.28 0.33 0.29 0.69 0.50
Perubahan Kontribusi sektor primer thp PDRB, 1999-2002 (%)
-2.66 -4.06 0.03 3.94 -1.22 -4.63 -2.73 0.83 0.33 1.33
Perubahan Kontribusi sektor tersier thp PDRB, 1999-2002 (%)
3.20 0.04 -3.42 -1.77 -0.36 1.38 0.66 -2.02 0.56 -0.36
PDRB per-kapita 000 (1999) 4388.51 3584.15 9136.46 4589.43 4501.97 3434.17 3842.22 3232.96 5554.54 4718.68
PDRB per-kapita 000 (2004) 6056.07 5019.78 12592.26 6763.53 6709.84 4910.15 3959.81 4917.03 8964.74 7146.75
PAD (2004) (Jutaan Rp.) 7949.23 33970.63 114056.50 43958.66 10276.42 6400.11 23228.14 19697.82 85840.43 474389.5
Indikator Pembangunan:
Perubahan IPM (1999-2004) 5.67 2.8 2.71 3.8 1.71 2.92 2.62 0.9 3.08 2.34
Perubahan IKM (2002- 2004) 3.3 1.6 -6.6 -2.59 -1.49 1.4 -2.57 -2.09 -5.95 -0.18
Persentase Penduduk (2004) 7.49 11.96 12.14 12.47 4.86 6.21 11.74 18.03 15.15 100
Luas Lahan (Ha) 9231 35772 20229 29979 5541 5926 10101 20987 5721 144250
Produktivitas Lahan (kw/ha) 53.2 51.48 55.81 60.91 46.62 53.74 57.26 53.04 57.16 54.84
Indikator Modal Sosial:
Pertumbuhan Penduduk (2003-2004) 0.36 0.47 2.10 1.31 0.08 0.68 0.20 0.05 3.03 1.03
Kepadatan Penduduk/Km2 (2004) 299.44 482.55 982.03 1147.24 522.90 403.56 473.28 446.85 4014.02 600.67
Jumlah Desa Pakraman (2004) 63 339 119 266 92 155 185 166 35 3945
Jmlh Konflik Pidana/perdata (2004) 101/35 81/101 240/203 131/82 52/29 53/23 86/31 349/140 340/300 1433/944 Sumber: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali 2004; Bali dalam Angka 2004; Data Bali Membangun 2004 dan Profil Bali 2003
(-) menunjukkan keadaan yang semakin buruk
9
Ternyata dalam realitanya, kebijakan desentralisasi cenderung
menimbulkan peningkatan biaya transaksi, peningkatan kompetisi antar daerah
tanpa diiringi oleh peningkatan jaringan kerjasama (Mubyarto, 2001). Hal ini
juga terjadi di Bali.
Pasca penetapan kebijakan desentralisasi muncul berbagai konflik antar
kelompok dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Munculnya konflik-konflik
tersebut mengarah pada aktivitas anarkis seperti perusakan sarana fasilitas umum
maupun tempat peribadatan yang pada akhirnya mengganggu keamanan dan
kenyamanan. Ditinjau dari sudut pandang modal sosial, hal tersebut merupakan
salah satu indikator melemahnya rasa percaya dan norma-norma bersama yang
selama ini ditaati oleh masyarakat. Arogansi kelompok dan melemahnya nilai-
nilai kebersamaan tersebut akhirnya akan melemahkan modal sosial padahal
menurut Gonarsyah (1977), penguatan modal sosial merupakan salah satu upaya
menekan kesenjangan karena memungkinkan wilayah-wilayah terkait untuk
bekerjasama dan sekaligus bersaing melalui pola kemitraan.
Selain kesenjangan dan melemahnya norma-norma bersama, masyarakat
di Bali juga sedang mengalami perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam
tata cara melaksanakan aktivitas sosialnya. Beberapa perubahan menuju kepada
situasi awal tetapi di sisi lain ada perubahan yang meninggalkan kondisi awal
(Setia, 2002). Menurut Couteau (1995), perubahan dalam cakupan yang baru
tersebut disebabkan oleh masuknya modal pariwisata yang tidak hanya membawa
perubahan dalam struktur permodalan, namun juga jaringan kerja terutama
masuknya jaringan kerja internasional. Abdullah (2002), mengemukakan bahwa
pembangunan yang berlangsung selama Orde Baru memang mengabaikan potensi
sosial budaya dan menghancurkan nilai-nilai (kelembagaan tradisional) setempat
yang berfungsi untuk menata kehidupan tingkat lokal dengan melakukan
marginalisasi dan subordinasi sumber daya sosial. Antisipasi terhadap berbagai
perubahan tersebut harus dilakukan. Apabila tidak, keberlangsungan keberadaan
Bali dengan adat dan budayanya akan menuju pada keadaan yang
mengkhawatirkan.
10
Gambar 2 Alur Masalah Penelitian
Macro & Micro National
Macro Global HarnessingSocial capitall
Trust
Norms
Network
SocialSC
Functioning
Loosening norm Prisoner ’s dilemma Higher trans. costsi
rent-
Soc. participatointrust
Resource efficiency
Effectivity
Growth rate.
Acses t educAcses to health
Free rider
Productivy
+
-
Feedback loop
-
+
Macro & Micro National
Macro Global HarnessingSocial capital
Trust
Norms
Network
SocialCapital
(SC)
Loosening norm Prisoner’s dilemma
Higher transaction cost Rent seeking behaviour
Social participation Distrust
Resource efficiency Human productivity
Effectivity
Household incomeRegional Econ.
Development Regional Income
Mutual trust Access to education
Access to health Free rider
Lower transaction cost
Productivity Efficiency and
effectivity
Y
N
+
-
Feedback loop
-
+
Decentralization
Poverty Inequity
Enhancing Institutional Increasing Quality of
others Capital
11
Dinamika kehidupan masyarakat perlu menjadi pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Pertimbangan tersebut
tidak saja dilakukan dalam membangun sumber daya manusia tetapi juga sumber
daya sosial. Mantra (1993), menyatakan perlunya revitalisasi sumber daya sosial
melalui proses reinterpretasi, reintegrasi dan adaptasi untuk dapat menyerap
dinamika kehidupan yang disebabkan oleh adanya kemajuan ekonomi. Namun
pernyataan Mantra yang berkaitan dengan revitalisasi pilar kebudayaan melalui
Subak, Banjar adat (Banjar Pakraman) dan Sekaa tersebut masih berupa wacana
yang belum diimplementasikan.
Menurut Palguna dalam Supartha (1999), fenomena yang terjadi dalam
pembangunan Bali saat ini menimbulkan kegelisahan bagi sekelompok besar
penduduk. Bali berpeluang berubah, tidak lagi menjadi last paradise melainkan
lost paradise, apabila kebersamaan yang dibangun bersifat artifisial yang
menumbuhkan dikotomi antara hubungan sekala dan niskala2. Kelembagaan
tradisional yang berperan sebagai pranata sosial dan pranata spiritual berubah
menjadi pranata ekonomi dan politik yang melegalkan segala aktivitas untuk
mencapai keinginan (interest) pribadi maupun golongan. Desa pakraman
merupakan salah satu contoh kelembagaan tradisional yang mengalami pergeseran
peran. Beberapa desa pakraman berubah menjadi teror bagi masyarakatnya
padahal peran yang harus dilakukannya adalah sebagai lembaga yang religius-
edukatif. Pembangunan di Bali akhirnya tidak hanya memberi dampak positif
berupa peningkatan pendapatan, namun juga dampak negatif seperti perubahan
kelembagaan tradisional, penurunan kualitas lingkungan maupun kualitas
kehidupan sosial.
Perubahan nilai-nilai kearifan lokal yang menyertai proses pembangunan
merupakan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Bagaimanapun,
penurunan kualitas kehidupan sosial yang mempengaruhi solidaritas dan rasa
kebersamaan masyarakat perlu memperoleh perhatian serius.
Berdasarkan berbagai fakta yang telah dipaparkan maka terdapat tiga
permasalahan berkaitan dengan pembangunan dan modal sosial di Provinsi Bali,
yaitu:
2 Sekala berkaitan dengan hal-hal yang nyata sedangkan niskala berkaitan dengan metafisika
12
1. Bagaimana sesungguhnya kondisi modal sosial di Bali saat ini?
2. Benarkah modal sosial berkontribusi terhadap kesejahteraan dan
pembangunan di Bali? Kalau ya, bagaimana modal sosial berkontribusi
terhadap kesejahteraan rumah tangga, tingkat pembangunan, kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi wilayah di Bali?
3. Apakah kebijakan pembangunan cenderung melemahkan modal sosial yang
telah ada? Kalau ya, upaya apakah yang harus dilakukan untuk
memperbaikinya?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan identifikasi dan
analisis mengenai modal sosial sebagai salah satu faktor produktif untuk memacu
tingkat pembangunan wilayah dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat yang lebih tinggi. Identifikasi dan analisis modal sosial ini
dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara terinci, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengkaji komponen dominan modal sosial di Bali.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis peran modal sosial terhadap kesejahteraan
dan pembangunan.
3. Menganalisis prospek kebijakan pemerintah dalam rangka menguatkan modal
sosial masyarakat.
Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi
pemecahan masalah ketidakseimbangan pembangunan wilayah antar desa,
kecamatan maupun antar kabupaten yang ada di Bali. Khususnya pada upaya
merevitalisasi modal sosial yang ada di suatu wilayah apabila modal sosial
tersebut berperan dalam meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan serta
menekan kemiskinan. Pengembangan wawasan penelitian pembangunan ekonomi
dengan cara memasukkan ranah keilmuan sosial diharapkan dapat
menyempurnakan pembahasan penelitian ini.
13
Selama ini, ketersediaan data sosial kelembagaan masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi
penentuan kebijakan dalam merumuskan nilai-nilai sosial masyarakat di Provinsi
Bali, menyediakan data-data sosial seperti rasa percaya, jaringan kerja dan norma-
norma serta memberi informasi dan kontribusi terhadap pengembangan ilmu
terutama ekonomi pembangunan wilayah.
Definisi Pembangunan dan Modal Sosial yang Digunakan
Konsep pembangunan dalam penelitian ini dibatasi pada pembangunan
manusia yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu: (1) produktivitas
(productivity), (2) keadilan (equity), (3) keberlanjutan (sustainability), serta (4)
pemberdayaan (empowerment). Pembangunan manusia adalah proses yang
memperluas pilihan-pilihan individu. Konsep pembangunan yang digunakan
dalam penelitian ini lebih luas dari konsep pertumbuhan ekonomi.
Modal sosial sesungguhnya dibedakan atas tiga tipe: (1) modal sosial
mengikat (bonding social capital); (2) modal sosial menyambung (bridging social
capital); dan (3) modal sosial mengait (linking social capital). Penelitian ini
hanya menganalisis modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal
sosial menyambung (bridging social capital). Pengabaian terhadap modal sosial
mengait disebabkan karena struktur yang berhirarkhi tidak akan mampu
membangun modal sosial yang mengakar pada masyarakat. Modal sosial
mengikat (Bonding social capital) dicirikan oleh kuatnya ikatan (pertalian) seperti
antar anggota keluarga atau antar anggota dalam kelompok etnis tertentu.
Beberapa pandangan menyamakan ikatan ini dengan thick trust yaitu modal sosial
yang terbangun akibat adanya rasa percaya antar kelompok orang yang saling
mengenal. Tipe kedua, modal sosial menyambung (bridging social capital),
dicirikan oleh semakin banyaknya ikatan antar kelompok misalnya asosiasi
bisnis, kerabat, teman dari berbagai kelompok etnis yang berbeda. Modal sosial
tipe kedua ini terbangun dari thin trust (rasa percaya terhadap sekelompok orang
yang belum dikenal) (Beugelsdijk dan Smulders, 2003). Empat aspek utama yang
dapat membangun modal sosial adalah (1) hubungan dari rasa percaya; (2)
14
resiprositas dan pertukaran; (3) aturan umum, norma dan sanksi; (4) koneksi,
kerjasama dan kelompok (Pretty dan Ward, 2001).
Konsep modal sosial dalam penelitian ini mengarah pada konsep modal
sosial yang dikembangkan oleh aliran ekonomi kelembagaan dengan memberikan
penekanan khusus pada hubungan kausal antara modal sosial dan kesejahteraan
ekonomi masyarakat serta kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Modal sosial
dinyatakan sebagai modal produktif yang terdiri atas rasa percaya, kemampuan
seseorang dalam membangun jaringan kerja serta kepatuhannya terhadap norma
yang berlaku dalam kelompok maupun masyarakat di sekitarnya, yang mana
modal tersebut memberi keuntungan untuk mengakses modal lainnya serta
memfasilitasi kerjasama intra dan antar kelompok masyarakat.
Batasan rasa percaya adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan
berlaku maupun berniat buruk pada diri kita; jaringan kerja adalah ikatan formal
dan informal yang dimiliki seseorang diproksi dari jumlah keanggotaannya dalam
organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah padanya dan norma adalah
nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi
semua pihak diproksi dari kemudahan menitipkan anak pada tetangga,
memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pembonceng (free rider).
Batasan Penelitian
Penelitian ini membedakan antara modal sosial di wilayah belum
berkembang dan wilayah maju. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh
gambaran yang lebih rinci, mengingat karakteristik wilayah berpengaruh terhadap
pembentukan modal sosial. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh rendahnya
pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi, sebaliknya dengan wilayah maju.
Dua kabupaten di Provinsi Bali yang termasuk wilayah belum berkembang yaitu
Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Karangasem sedangkan dua kabupaten yang
mewakili wilayah maju adalah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.
Indikator dan komponen dominan modal sosial dianalisis melalui model
persamaan struktural atau structural equation model (SEM), khususnya analisis
faktor penegasan (confirmatory factor analysis) yang tersedia dalam program
15
Lisrel 8.73. Penggunaan SEM untuk analisis modal sosial merupakan salah satu
faktor kebaruan dari penelitian ini.
Penelitian ini hanya menganalisis keterkaitan modal sosial dengan
indikator kesejahteraan pada tingkat individu (mikro) dan wilayah (makro) saja,
khususnya keterkaitan indikator modal sosial dengan indikator pendapatan rumah
tangga (mikro) dan indikator pembangunan ekonomi wilayah (Indeks
Pembangunan Manusia atau IPM, Indeks Kemiskinan Manusia atau IKM, PDRB,
Pertumbuhan PDRB dan Total Factor Productivity). Perbedaan tersebut tidak
ditujukan untuk membuat dikotomi antara pandangan modal sosial individu
(mikro) dan modal sosial masyarakat (meso) melainkan sesuai dengan pendapat
Glaeser et al. (2001) yang menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan
investasi modal sosial dibuat oleh individu bukan komunitas. Analisis mikro dan
makro hanya ditujukan untuk mempermudah pengukuran modal sosial
berdasarkan unit pengamatan. Premis dasar penelitian ini adalah terdapat
hubungan kausal antara modal sosial dan indikator kesejahteraan, pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi wilayah sehingga alat analisis yang digunakan adalah
analisis persamaan simultan (two stage least square atau TSLS).
Struktur Penyajian Disertasi
Pemaparan disertasi ini diawali dengan pendahuluan yang mendasari
alasan-alasan mengapa penelitian modal sosial menjadi salah satu kebutuhan
dalam analisis pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Bali. Berbagai konsep
modal sosial yang mencakup definisi, komponen dan metode pengukuran serta
hasil penelitian modal sosial terdahulu dibahas pada Bab Tinjauan Teoritis yang
menjadi landasan peneliti dalam membangun kerangka berfikir dan menyusun
Bab Metodologi Penelitian. Lima bab berikutnya berturut-turut membahas
mengenai kinerja pembangunan sosial ekonomi, karakteristik modal sosial, faktor
dominan modal sosial, keterkaitan modal sosial dengan berbagai indikator
kesejahteraan di tingkat mikro dan makro serta strategi revitalisasi modal sosial di
Provinsi Bali. Disertasi ini ditutup dengan simpulan, saran, implikasi kebijakan,
dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN TEORITIS: MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Sejak dua dekade terakhir, terjadi banyak perkembangan dalam ilmu
ekonomi politik yang memberikan isyarat pentingnya kelembagaan dalam
pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE).
Hal utama yang melatarbelakangi berkembangnya NIE adalah munculnya
masalah yang berkaitan dengan aksi kolektif (collective action), biaya transaksi
(transaction cost), rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku
manusia, masalah koordinasi, perubahan teknologi dan perilaku pencarian rente
(rent-seeking). Dalam NIE, asumsi neo-klasik yang tidak realistik seperti
informasi yang sempurna dan simetrik (perfect and symmetric information),
ketiadaan biaya transaksi (transaction cost) dan rasionalitas yang tidak terbatas
menjadi lebih longgar.
Perkembangan tersebut didukung oleh pemikiran North (1990) yang
menyatakan bahwa kelembagaan formal dan informal merupakan hal penting
dalam upaya memahami kinerja ekonomi. Akar perdebatan akhir-akhir ini adalah
isu pembangunan kelembagaan (institutional development) terkait dengan
penadbiran yang baik (good governance) yang mampu menekan biaya transaksi
dan menghindari risiko kegagalan komitmen akibat adanya perilaku oportunistik,
melalui penguatan rasa saling percaya, jaringan kerja dan norma sebagai
determinan modal sosial.
Sesungguhnya perdebatan mengenai modal sosial telah berlangsung sejak
tahun 1920-an namun mulai memperoleh perhatian kembali ketika Bourdieu
(1980), Coleman (1988) dan Putnam (1993) mempublikasikan pandangan serta
hasil penelitian mereka mengenai modal sosial. Pesatnya perkembangan penelitian
modal sosial didorong pula oleh adanya publikasi social capital initiative working
papers, World Bank seperti hasil penelitian Woolcock (1998), Grootaert (1999;
2001) serta Narayan dan Pritchett (1999). Hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa modal tradisional (sumber daya alam, manusia dan fisik)
hanya menentukan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi.
Faktor penentu lainnya adalah modal sosial yaitu cara aktor ekonomi saling
17
berhubungan dan mengorganisasikan diri mereka untuk menghasilkan
pembangunan ekonomi yang lebih tinggi.
Meier dan Stiglitz (2001) menggambarkan evolusi pemikiran ekonomi
tersebut seperti Gambar 3. Awalnya, pembangunan ekonomi diartikan hanya
sebagai pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga faktor modal fisik
(physical capital) menjadi penentu keberhasilan proses pembangunan tersebut.
Sejalan dengan perkembangannya, keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur
berdasarkan pencapaian indikator ekonomi (pertumbuhan) saja melainkan juga
pencapaian indikator non-ekonomi. Hal tersebut juga mendorong terjadinya
pergeseran pemikiran terhadap akumulasi modal secara bertahap, yang awalnya
hanya menekankan pada akumulasi modal fisik kemudian disertai dengan
akumulasi modal manusia, ilmu pengetahuan dan akhirnya modal sosial.
Sumber: Meier dan Stiglitz, 2001
Gambar 3 Evolusi Pemikiran Pembangunan dalam Akumulasi Modal
Menurut Lin (2001) modal sosial dapat meningkatkan efektivitas
pembangunan melalui: (1) tersedianya aliran informasi (flow of information) yang
semakin simetris sehingga biaya transaksi dapat dihindari; (2) terbangunnya
pengaruh yang semakin kuat antar pelaku pembangunan dalam pengambilan
keputusan; (3) adanya jaminan sosial (social credentials) untuk memperoleh akses
yang lebih baik terhadap berbagai sumber daya, dan (4) terbangunnya rasa saling
berbagi antar anggota organisasi sehingga tersedia dukungan emosional dan
pengakuan publik.
Perkembangan pemikiran mengenai modal sosial memang tidak terlepas
dari kritik, terutama berasal dari para ahli ekonomi klasik (Arrow, 1997; Solow,
2000; Sobel 2002) yang meragukan ketepatan istilah modal dalam menyatakan
modal sosial. Modal (capital) dalam pengertian klasik adalah stok dari faktor
produksi alam atau buatan manusia yang diharapkan dapat menghasilkan jasa
yang produktif (Solow, 2000). Modal seringkali merupakan stok yang berbentuk
tangible, solid dan durable. Arrow (1997) menyatakan bahwa ada tiga aspek dari
Physical capital
Human capital
Knowledge capital
Social capital
18
modal (capital) yaitu (1) perluasan dalam waktu (extension in time), (2)
memerlukan pengorbanan untuk keuntungan di masa yang akan datang (deliberate
sacrifice for future benefit) serta (3) dapat dipertentangkan atau alienabilitas.
Pada beberapa kasus, aspek (1) memang terpenuhi namun berbeda dengan
investasi fisik, modal sosial dalam jumlah kecil tidak cukup bermanfaat jika
digunakan dalam proses produksi. Menurut Arrow (1977), aspek (2) tidak dapat
dipenuhi karena jaringan kerja sosial dibangun lebih didasarkan pada nilai
pengawasan (monitoring) bukan nilai ekonominya. Aspek (3) memang diakui
tidak selalu sesuai untuk semua kasus, sebagai contoh kasus human capital saat
seseorang meningkatkan pendidikan dan keterampilannya. Berdasarkan kritik-
kritik tersebut, Solow dan Arrow meyakini bahwa terdapat analogi yang lemah
antara modal fisik dan modal sosial sehingga tidak dapat diperlakukan sama.
Bagaimanapun, Arrow sependapat bahwa oganisasi adalah alat untuk
mencapai manfaat dari collective action pada saat terjadinya kegagalan sistem
harga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jaringan kerja (network) dan pasar
bersifat subsitusi. Selain itu, jaringan kerja dan pasar dapat bersifat komplemen
dimana jaringan kerja produksi dan pertukaran dari suatu komoditi berperan
penting bagi berfungsinya sistem pasar. Jaringan kerja dapat menjadi alat melalui
mana pasar dapat dibangun seperti perdagangan jarak jauh di masa yang lalu.
Modal sosial memang menjadi faktor penting dalam teori ekonomi dan
merupakan suplemen terhadap teori pasar.
Berbeda dengan Arrow dan Solow, Adler dan Woo Kwon (1999)
menegaskan bahwa ada enam atribut yang melekat pada modal sosial yang
memungkinkan memasukkan modal sosial dalam kelompok modal. Enam atribut
tersebut yaitu: (1) modal sosial adalah sumber daya yang dapat diinvestasikan
untuk penggunaan masa depan; (2) modal sosial dapat digunakan untuk berbagai
keperluan; (3) modal sosial bersifat komplemen dengan modal lainnya; (4) modal
sosial membutuhkan upaya pemeliharaan; (5) modal sosial dimiliki secara
bersama bukan bersifat individu; dan (6) Modal sosial tergantung dari kerjasama
antar individu. Meskipun dapat dihancurkan oleh seseorang namun modal sosial
tidak dimiliki secara perorangan.
19
Robinson dalam Lawang (2005) menyatakan bahwa ada sembilan
karakteristik modal fisik yang digunakan sebagai kriteria apakah modal sosial
dapat dikategorikan sebagai modal. Karakteristik tersebut meliputi: (1) kapasitas
transformasi; (2) kemampuan mempertahankan diri (durability); (3) fleksibilitas;
(4) substitutif; (5) berkurangnya kemampuan melayani (decay, obsolete); (6)
keandalan (reliability); (7) multi produktif; (8) peluang (opportunity); (9)
alienabilitas.
Perdebatan dan kritik tidak hanya mengenai pemikiran yang
mempertimbangkan modal sosial sebagai modal, namun juga dalam penentuan
indikator yang tepat untuk mengukur modal sosial serta bagaimana cara
membangun modal sosial (Bjørnskov dan Svendsen, 2005; Sabatini, 2005).
Putnam (1993) menggunakan ikatan kewarganegaraan, kerapatan membaca koran
dan rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial, sedangkan Collier (1998)
menggunakan indeks rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial. Di sisi lain,
modal sosial dinyatakan pula sebagai fungsi dari biaya interaksi yang diproksi dari
kesamaan bahasa, kepadatan telepon dan kepadatan penduduk.
Perbedaan pandangan dan cara mendefinisikan modal sosial juga berkaitan
erat dengan metode yang digunakan untuk menjelaskan modal sosial tersebut.
Bagaimanapun, perbedaan cara pandang dan metode analisis dalam penelitian-
penelitian modal sosial ternyata tidak saling mempertentangkan peran modal
sosial itu sendiri.
Perkembangan Definisi Modal Sosial
Ahli ekonomi, sosiologi dan politik mendefinisikan modal sosial secara
berbeda-beda. Secara umum, konsep modal sosial dikembangkan oleh dua aliran
utama yaitu sosiolog-anthropologi serta politik dan ekonomi kelembagaan.
Gylfason (2002) menyatakan modal sosial adalah infrastruktur sosial dan politik
suatu negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, modal
sosial yang lemah akan ditunjukkan oleh tingginya perilaku rent seeking dan
korupsi yang mengganggu efisiensi serta menghambat pertumbuhan ekonomi.
Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur
sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur
20
sosial dan memiliki karakteristik public good namun setara dengan financial
capital, physical capital dan human capital. Adler dan Woo Kwon (1999)
memiliki pandangan yang sama dengan menyatakan bahwa modal sosial adalah
barang publik (public good), tidak dimiliki oleh orang tertentu tetapi tergantung
dari seluruh anggota dalam suatu jaringan kerja. Sifat public good tersebut
menyebabkan setiap individu cenderung untuk melalaikan kewajiban dalam
memelihara keberlangsungannya dan sebaliknya mempercayakan pada anggota
yang lain untuk jaminan pemeliharaannya.
Bank Dunia (1998) menyatakan modal sosial secara spesifik sebagai
norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat
dan memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan serta
mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan definisi Bank Dunia tersebut,
Woolcock dan Narayan (2000) menyatakan bahwa modal sosial merupakan norma
dan jaringan kerja yang memungkinkan orang melakukan sesuatu secara bersama-
sama. Menurut Woolcock dan Narayan, ada empat perspektif modal sosial dalam
pembangunan ekonomi, yaitu: (1) Communitarian View; (2) Network View; (3)
Institutional View; dan (4) Synergy View.
Pandangan Communitarian mempersamakan modal sosial dengan
organisasi lokal seperti asosiasi, klub atau kelompok masyarakat. Pandangan ini
mengukur secara sangat sederhana melalui kepadatan suatu organisasi dalam
komunitas tertentu. Modal sosial secara inheren adalah ”barang” sehingga
semakin banyak akan lebih baik dan selalu memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan masyarakat.
Network view berusaha untuk menghitung upside dan downside dari modal
sosial. Perspektif kedua ini menekankan pada pentingnya asosiasi vertikal dan
horisontal antar individu serta hubungan inter dan antar organisasi yang saat ini
dikenal dengan bonding (strong intra community ties) dan bridging social capital
(weak extra community network). Modal sosial tidak selalu berupa manfaat tetapi
juga merupakan biaya. Perspektif ini menganggap bahwa masyarakat dapat
dicirikan oleh bawaan (endowment) mereka akan kedua dimensi modal sosial
tersebut. Perbedaan kombinasi antar kedua dimensi akan mempengaruhi hasil
yang diperoleh dari modal sosial.
21
Institutional view berpendapat bahwa jaringan kerja komunitas dan
masyarakat merupakan hasil dari keadaan politik, hukum dan kelembagaan.
Pandangan ini telah menghasilkan sejumlah metodologi dan fakta empiris yang
kuat namun hanya untuk kebijakan makro. Terakhir, synergy view, berusaha
untuk mengintegrasikan pandangan network dan institutional. Pembangunan
yang inclusive akan tercapai bila terdapat forum bersama antara pemerintah,
sektor swasta dan masyarakat, yang secara bersama mampu mengidentifikasi dan
mencapai tujuan bersama.
Berbeda dengan pandangan Woolcock dan Narayan (2000), Lesser (2000)
mendefinisikan modal sosial sebagai kesejahteraan atau keuntungan yang terjadi
karena adanya hubungan sosial antar individu. Ada tiga dimensi utama yang
mempengaruhi perkembangan dari keuntungan ini, yaitu struktur hubungan,
dinamika interpersonal yang terjadi dalam struktur, serta konteks dan bahasa
umum yang digunakan oleh individu dalam struktur.
Menurut Collier (1998), modal sosial dapat mengatasi permasalahan
oportunistik, kegagalan pasar terutama dalam hal informasi dan permasalahan
pembonceng (free rider) sehingga memudahkan aksi kolektif. Ada hubungan yang
erat antara modal sosial dan sumber daya manusia. Modal sosial adalah hasil dari
hubungan antar individu yang memfasilitasi suatu tindakan dan terbentuk apabila
setiap orang dalam kelompok tersebut memberikan kontribusi. Hubungan antara
modal sosial dan sumber daya manusia ini memang tidak dapat digambarkan
dalam bentuk hubungan yang sederhana. Investasi modal sosial, seperti halnya
investasi dalam human capital, tidak memiliki tingkat depresiasi yang
diperkirakan (Glaeser, Laibson dan Sacerdote, 2001). Modal sosial, sama dengan
ilmu pengetahuan, bersifat intangible, selalu berkembang dan menjadi lebih
produktif bila digunakan. Oleh karenanya, modal sosial perlu dipelihara agar tetap
produktif. Tanpa curahan waktu, energi atau sumber daya lain pada modal sosial,
hubungan antar individu cenderung akan terkikis oleh waktu. Bersama-sama
dengan human capital dan physical capital, modal sosial memfasilitasi aktivitas
yang produktif.
Konsep modal sosial merupakan konsep yang relevan baik di tingkat
mikro, meso dan makro. Pada tingkat makro, modal sosial mencakup institusi
22
seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat
meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang
membangun interaksi antar individu, rumah tangga dan masyarakat. Interaksi
yang membangun modal sosial dapat bersifat horisontal, yang menekankan pada
hubungan setara antar anggota (Putnam, 1993), maupun hubungan vertikal yang
dicirikan oleh adanya hubungan hierarki dan ketidaksamaan distribusi kekuasaan
antar anggota (Coleman, 1988; 1990). Norma yang dibangun dan disepakati
bersama akan mendorong individu untuk melakukan investasi pada aktivitas
kelompok karena adanya keyakinan bahwa orang lain akan melakukan hal yang
sama dan masing-masing individu akan bertanggung jawab terhadap manfaat
bersama.
Sumber dan Dimensi Modal Sosial
Pengelompokan sumber modal sosial disesuaikan dengan pendekatan yang
digunakan dalam pengukuran modal sosial tersebut. Pantoja (1999)
mengelompokkan modal sosial berdasarkan sumber terbentuknya menjadi enam,
yaitu: (1) Hubungan kekeluargaan yang terjadi karena kelahiran; (2) Kehidupan
berorganisasi yang meliputi semua organisasi horisontal dan vertikal; (3) Jaringan
kerja; (4) Masyarakat politik; (5) Aturan formal dan norma yang mengatur
kehidupan publik serta (6) Nilai-nilai. Dimensi modal sosial yang terbangun dari
berbagai sumber modal sosial tersebut adalah: (1) Rasa percaya, (2) Norma dan
(3) Jaringan Kerja.
Rasa Percaya (Trust)
Rasa percaya adalah dasar dari perilaku moral dimana modal sosial
dibangun. Moralitas menyediakan arahan bagi kerjasama dan koordinasi sosial
dari semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu
dengan lainnya. Membangun rasa percaya adalah bagian dari proses kasih sayang
yang dibangun sejak awal dalam suatu keluarga. Sepanjang adanya rasa percaya
dalam perilaku dan hubungan kekeluargaan, maka akan terbangun prinsip-prinsip
resiprositas dan pertukaran (Bordieu, 1986; Fukuyama, 1995).
23
Rasa percaya merupakan alat untuk membangun hubungan yang dapat
menekan biaya transaksi, yaitu biaya yang muncul dalam proses pertukaran dan
biaya untuk melakukan kontak, kontrak dan kontrol. Rasa saling percaya dapat
menekan biaya pemantauan (monitoring) terhadap perilaku orang lain agar orang
tersebut berperilaku seperti yang diinginkan. Percaya berarti siap menerima risiko
dan ketidakpastian. Casson dan Godley (2000), mendefinisikan rasa percaya
sebagai menerima dan mengabaikan kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak
benar. Rasa percaya memudahkan terjalinnya kerjasama. Semakin tebal rasa
saling percaya semakin kuat kerjasama yang terbangun antar individu.
Rasa saling percaya dapat dibangun namun dapat pula hancur. Rasa
percaya yang berkelanjutan terbangun dari adanya interaksi personal yang
berulang-ulang (personalized trust), pengetahuan terhadap populasi maupun
insentif-insentif yang diperoleh (generalized trust) dan tidak dapat dibangun tanpa
menunjukkan kebenaran. Sifat rasional manusia yang terbatas (bounded
rationality) berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut.
Oleh karena itu, batas rasionalitas manusia harus diperluas melalui komunikasi
dan ketersediaan informasi yang dapat dipercaya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa rasa percaya secara nyata dan positif berhubungan dengan
keberhasilan pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi melalui proses produksi
yang lebih efisien. Sebaliknya, keberhasilan pemerintah mewujudkan tingkat
pembangunan ekonomi yang lebih baik dapat pula memperkuat rasa percaya
sosial masyarakat.
Norma (Share Value)
Teori tradisional tentang kelompok menyatakan bahwa organisasi dan
kelompok memiliki sifat ada dimana-mana (ubiquitous) karena kecenderungan
hakiki manusia untuk bergabung dan membentuk asosiasi. Mosca dalam Olson
(1982) menyatakan bahwa manusia memiliki insting untuk bergerombol bersama
(herding together) dan bersaing dengan gerombolan lainnya (fighting with other
herds). Insting ini meningkat dalam suatu masyarakat tertentu dengan alasan
moral.
24
Selama ini, terbentuk anggapan umum bahwa kelompok individu dengan
kepentingan bersama (common interest), paling tidak mencakup tujuan ekonomi,
akan berusaha mengembangkan tujuan bersama tersebut. Kelompok individu
diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan
kepentingan individu. Anggapan tersebut mengasumsikan bahwa individu dalam
kelompok akan bertindak di luar keinginan pribadinya. Sesungguhnya, individu
dalam kelompok akan berusaha untuk mencapai tujuan bersama hanya jika
individu tersebut juga memperoleh keuntungan, dengan kata lain, tindakan untuk
mencapai tujuan bersama tersebut bukanlah sukarela. Oleh karena itu, diperlukan
norma yang berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga
keuntungan setiap anggota proporsional dengan usahanya dalam kelompok
tersebut.
Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu
masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999), menyatakan modal sosial sebagai
norma informal yang bersifat instan yang dapat mengembangkan kerjasama antar
dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat disusun dari
norma resiprositas antar teman. Norma sosial yang menentukan perilaku bersama
dalam suatu kelompok individu juga dipahami sebagai prinsip keadilan yang
mengarahkan pelaku untuk berperilaku yang tidak mementingkan diri sendiri.
Jaringan Kerja (Network)
Dasgupta dan Serageldin (2002), mengasumsikan bahwa setiap orang
mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus memilih. Namun
sesungguhnya, setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan
pilihan dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu. Jaringan kerja pada
awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication
channel) untuk melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal.
Membangun saluran komunikasi ini membutuhkan biaya yang dikenal dengan
biaya transaksi. Keinginan untuk bergabung dengan orang lain, sebagian
disebabkan oleh adanya nilai-nilai bersama. Jaringan kerja juga berperan dalam
membangun koalisi dan koordinasi. Secara umum dikatakan bahwa keputusan
25
melakukan investasi dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya kontribusi
saluran tersebut terhadap kesejahteraan ekonomi individu.
Jaringan kerja menekankan pada pentingnya organisasi vertikal dan
horisontal antar manusia serta hubungan inter dan intra organisasi tersebut.
Granovetter (1973), menyatakan bahwa ikatan kuat antar masyarakat (strong ties)
diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga dan masyarakat serta tujuan
bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa lemahnya ikatan antar
masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai organisasi sosial akan
mendorong ikatan horisontal yang kuat (strong ties) menjadi dasar untuk
mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas.
Modal sosial adalah suatu keadaan dimana individu-individu
menggunakan keanggotaannya dalam suatu kelompok untuk memperoleh
manfaat. Modal sosial tidak dapat dievaluasi tanpa pengetahuan mengenai
dimana individu tersebut berada, karena interaksi sosial tergantung dari struktur
jaringan kerja dan struktur masyarakatnya. Coleman (1988), berpendapat bahwa
kepadatan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku
kerjasama dalam suatu organisasi. Menurutnya, modal sosial adalah jumlah dari
”relational capital” yang dimiliki beberapa individu dan dibangun berdasarkan
norma resiprositas. Hubungan sosial yang terbangun dalam suatu penutupan
(closure) struktur sosial, tidak hanya penting untuk membangun norma yang
efektif tetapi juga membangun kepercayaan karena penutupan jaringan kerja
(network closure) tersebut menghasilkan eksternalitas ekonomi positif melalui
proses fasilitasi terhadap aksi bersama (collective action).
Woolcock (2000), membedakan secara tegas antara modal sosial yang
mengikat, menyambung dan mengait (bonding, bridging dan linking social
capital). Menurutnya, modal sosial yang bersifat mengikat (bonding) umumnya
berasal dari ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan sahabat. Anggota
dalam kelompok ini umumnya berinteraksi secara intensif, face-to-face dan saling
mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging) terbentuk dari
interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekwensi yang relatif lebih
rendah seperti kelompok agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu. Modal
sosial yang bersifat mengait (linking) umumnya terbentuk dari hubungan formal
26
antar berbagai pihak seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah,
pertanian, kepariwisataan dan sebagainya.
Pengukuran Modal Sosial
Sabatini (2005), menyatakan bahwa banyaknya kajian empiris mengenai
modal sosial belum mampu mengatasi keberagaman metode pengukuran modal
sosial. Mengukur modal sosial di suatu wilayah dapat dilakukan melalui
pengukuran determinan sosial kehidupan berkelompok dan hasil (outcome) dari
modal sosial itu sendiri. Stone dan Hughes (2002) dari Australian Institute of
Family Studies, mengusulkan pengukuran inti modal sosial yang dikaitkan dengan
determinan dan hasil (outcome) modal sosial seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Pengukuran Modal Sosial
Determinan Modal sosial
Modal SosialOutcome modal
sosial Jaringan
kerja Karakteristik jaringan kerja
Karakteristik individu
• Umur
• Jenis Kelamin
• Kesehatan Karakteristik keluarga
• Status perkawinan
• Status hubungan
• Jumlah anak Sumber daya
• Pendidikan
• Tenaga kerja
• Kepemilikan Prilaku
• Toleransi
• Partisipasi Karakteristik wilayah
• Rural/urban
• Tingkat sosial ekonomi
• Proporsi lokal network
• Pendidikan
• Keamanan
Ikatan informal
• Ikatan kekeluargaan
• Aturan keluarga
• Teman
• Tetangga
• Rekan kerja Hubungan yang umum • Hubungan antar
orang lokal Hubungan kelembagaan
• Hubungan sistem kelembagaan
• Ikatan kekuatan
Kesejahteraan keluarga
• Peningkatan kapasitas
Kesejahteraan
masyarakat
• Kesehatan masyarakat
• Kesukarelaan
• Kerjasama masyarakat
• Toleransi
• Penurunan kriminalitas
Kesejahteraan politik
• Partisipasi dalam demokrasi
• Kualitas pemerintahan
Kesejahteraan ekonomi
• Kemakmuran
• Pengurangan inequality
Ukuran dan ekstensif
• Jumlah ikatan informal
• Jumlah tetangga dekat
• Jumlah rekan kerja dekat
Kerapatan dan Closure
• teman dekat masing-masing anggota keluarga
• Mengenal orang-orang lokal
• Keragaman etnis, pendidikan, budaya
Sumber: Families, Social & Citizenship project, Australian Institute of Family Studies, 2002
27
Indikator Proximal adalah indikator yang mengukur hasil modal sosial
yang berhubungan langsung dengan komponen inti dari jaringan kerjasama, rasa
percaya dan resiprositas seperti penggunaan civic engagement sebagai indikator
dari jaringan kerja sosial. Indikator Distal adalah hasil tidak langsung dari modal
sosial seperti indeks harapan hidup, status kesehatan, kehamilan remaja, tingkat
kriminalitas, tingkat partisipasi dalam pendidikan, tingkat pengangguran dan
tenaga kerja, tingkat pendapatan rumah tangga, korupsi, kepercayaan terhadap
lembaga negara, kriminalitas dan keamanan serta ikatan politik, pertumbuhan
GDP atau pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Tabel 3 Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial
Struktural Kognitif
Sumber dan manifestasi Peran dan aturan Network dan hubungan
interpersonal lannya Tata cara dan keteladanan
Norma Nilai Sikap Kepercayaan
Domain Organisasi sosial Kebudayaan Masyarakat
Faktor dinamis Keterkaitan horisontal Keterkaitan vertikal
Rasa percaya Solidaritas Kerjasama Kedermawanan
Elemen Umum Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama
Sumber: Uphoff, 1999 dalam Dasgupta dan Serageldin, 2002 Ada dua pandangan yang berbeda dalam membahas kontribusi aspek
kognitif dan struktural modal sosial, yaitu pandangan Uphoff (1999) dalam
Dasgupta dan Serageldin (2002), yang tidak membedakan secara terinci antara
tingkat mikro, meso dan makro (Tabel 3) serta pandangan Grootaert dan Van
Bastelaer (2002), yang mengaitkan antara sumber modal sosial dan tingkat modal
sosial tersebut (Gambar 5). Pada beberapa kasus, modal sosial di tingkat makro
merupakan hasil aggregasi dari modal sosial di tingkat mikro. Namun pada kasus
tertentu, hal tersebut tidak dapat diberlakukan.
28
Sumber : Grootaert dan Van Bastelaer (2002)
Gambar 5 Bentuk dan Ruang Lingkup Modal Sosial Keterkaitan antara modal sosial dan kinerja pemerintahan ditunjukkan
pada Gambar 6. Kinerja pemerintahan yang baik dan modal sosial yang kuat,
tidak saja mewujudkan kesejahteraan ekonomi namun juga kesejahteraan sosial.
Sebaliknya, jika tidak disertai dengan modal sosial yang kuat, akan berpeluang
untuk terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat yang bersifat laten (Exclution).
Apabila kinerja pemerintahan buruk maka konflik akan muncul ke permukaan
(Woolcock dan Narayan (2000)). Kuatnya modal sosial namun tidak disertai
dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinya coping.
Kelompok-kelompok yang memiliki modal sosial kuat mengambil alih fungsi-
fungsi formal pemerintahan seperti terjadi di Tanzania. Lemahnya kinerja aparat
keamanan mendorong masyarakat membangun sistem keamanan desa.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah tidak cukup hanya menekankan pada
keberhasilan kinerja ekonomi saja namun harus disertai dengan upaya
membangun modal sosial melalui kepemimpinan (leadership) elit masyarakat dan
penadbiran baik (good governance) yaitu pemerintahan yang bertanggung jawab
kepada masyarakat bukan pada kelompok maupun golongan tertentu.
Struktural Kognitif Meso
Makro
Mikro
Kelembagaan negara, Aturan hukum
Kelembagaan lokal, Network
Governance
Trust, local norm, values
29
Gambar 6 Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah
Isu-Isu dalam Penelitian Modal Sosial Terdahulu
Modal sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Penelitian mengenai keterkaitan modal sosial dengan pertumbuhan
ekonomi wilayah diawali oleh Putnam (1993) yang menurutnya, modal sosial
tidak hanya dapat ditemukan pada tingkat mikro, dalam bentuk hubungan personal
antar individu, tetapi juga pada tingkat makro. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan struktur sosial yang ada di masing-masing
wilayah Italia Utara dan Italia Selatan mempengaruhi tingkat kesejahteraan
masyarakat. Di Italia Utara terdapat struktur yang horisontal sedangkan di Italia
Selatan lebih berbentuk hierarki (vertikal). Modal sosial yang diukur berdasarkan
indeks perluasan civic community, keterlibatan warga negara dan efisiensi
pemerintahan digunakan untuk menjelaskan mengapa terdapat perbedaan laju dan
tingkat pertumbuhan ekonomi antar kedua wilayah tersebut sedangkan perbedaan
yang ditimbulkan oleh variabel lainnya diasumsikan tidak terlalu besar.
Selanjutnya, Helliwell dan Putnam (2000) mempertegas hasil penelitian
sebelumnya dengan menunjukkan bahwa modal sosial memfasilitasi kemampuan
pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui
proses konvergensi yang lebih cepat dan keseimbangan pendapatan yang lebih
tinggi. Ukuran modal sosial yang digunakan oleh Putnam di Italia, memang
Social and Economic Wellbeing
CopingConflict
Exclution (Latent Conflict)
Low Level of Bridging
Social Capital
Dysfunctional State
High Level of Bridging Social
Capital
Well Functioning State
Sumber Woolcock dan Narayan, 2000,
30
hanya menekankan pada karakteristik sosial dari keanggotaan dalam organisasi
yang berkembang di masyarakat tersebut.
Knack dan Keefer (1997), meragukan hasil penelitian Putnam (1993) dan
menguji kembali menggunakan indikator rasa percaya (trust) dan norma
masyarakat (civic norm) sebagai proksi kekuatan organisasi masyarakat di 29
negara. Penelitian yang dilakukan Knack dan Keefer membandingkan hasil
penelitian Putnam yang menyatakan bahwa asosiasi memfasilitasi pertumbuhan
melalui peningkatan trust, dengan hasil penelitian Olson yang menyatakan bahwa
asosiasi menghambat pembangunan melalui rent-seeking. Hasil penelitian Knack
dan Keefer tersebut membantah temuan Putnam dengan menyatakan bahwa
keanggotaan dalam kelompok yang dijadikan ukuran modal sosial, tidak berkaitan
dengan perbaikan kinerja perekonomian.
Di Yunani, Christoforou (2003) menunjukkan bahwa modal sosial
memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Modal sosial
merujuk pada hubungan sosial, yang didasarkan pada norma, jaringan kerjasama
dan rasa percaya, mempengaruhi pasar dan pemerintah dengan cara menguatkan
collective action antar pelaku dan memperbaiki pertumbuhan serta efisiensi sosial.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tradisi kewarganegaraan yang rendah
menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Peningkatan tingkat
pendidikan dan kesempatan kerja meningkatkan insentif untuk berpartisipasi
dalam kelompok sehingga menguatkan stok modal sosial.
Hubungan positif antara rasa percaya dan aktivitas organisasi terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah juga ditunjukkan dalam penelitian Beugelsdijk dan
Schaik (2003) di 54 negara Eropa pada kurun waktu tahun 1950 – 1998. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa aktivitas berorganisasi (associational
activity) berhubungan secara positif dengan perbedaan pertumbuhan wilayah.
Hasil penelitian ini menentang hasil penelitian Knack dan Keefer (1997) dan
memperkuat hasil penelitian Putnam. Beugelsdijk dan Schaik (2003) memodelkan
hubungan antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan
data European Value Studies (EVS). Modal sosial dibedakan atas modal sosial
mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social
capital).
31
Tabel 4 Peneliti, Definisi dan Sumber Modal Sosial
Peneliti Definisi Modal Sosial Sumber Modal sosial
Rasa percaya (Trust)
Jaringan kerja (Network)
Norma Beliefs Aturan dan Institusi Formal
Portes, Sensenbrenner
(1993)
Kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan dengan
cara menjadi anggota dalam jaringan kerja sosial atau struktur sosial
lainnya.
Norma Nilai-nilai
sisipan: norma reprositas
bounded solidarity
Coleman (1988; 1990)
Modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan merupakan satu
sifat tertentu tetapi terdiri atas berbagai sifat yang berbeda.
Closure; ikatan multiple
Putnam (1993) Karakteristik organisasi sosial yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan bersama
Networks Efisiensi pemerintah
Ostrom (1994) Modal sosial adalah pengetahuan bersama, pengertian, norma, aturan
dan ekspektasi mengenai pola interaksi dimana kelompok
individual membangun aktivitas bersama (Coleman 1998; E. Ostrom 1990, 1992; Putnam, leonardi, dan
Nanetti 1993)
Networks Norma Social beliefs Aturan
Knack & Keefer (1997)
Trust Norma kerjasama
32
Lanjutan
Peneliti Definisi Modal Sosial Sumber Modal sosial
Trust Network Norma Beliefs Aturan dan Institusi Formal
Woolcock (1998, 2000)
Modal sosial adalah informasi, kepercayaan dan norma resiprositas yang melekat pada jaringan kerja sosial
Integritas masyarakat dan
keterkaitan
Integritas pemerintahan dan sinergi antar masy. dan
pemerintah
Francis Fukuyama (1999)
Modal sosial adalah norma informal yang bersifat instant yang mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat dibentuk dari norma yang bersifat resiprokal antar teman, atau yang lainnya.
General trust (social capital in the form of non-family)
Globalisasi agama
Grootaert (2001) Sesuai dengan definisi Portes (1998) Networks Beugelsdijk, Van
Schaik (2003) Rasa saling
percaya
Svendsen, Svendsen (2004)
Rasa Percaya Entrepreneurship
Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai pustaka, 2005
33
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang tinggi mendorong
terjadinya pertumbuhan regional yang semakin baik. Semakin kuat modal sosial
menyambung (bridging) akan menguatkan pertumbuhan ekonomi karena
partisipasi dalam jaringan kerja interkomunitas mengurangi insentif untuk rent
seeking dan berlaku curang.
Penelitian Kennedy et al. (1998) menunjukkan bahwa kesenjangan yang
semakin lebar akan mempengaruhi modal sosial dan akhirnya meningkatkan kasus
pembunuhan menggunakan senjata api serta kekejaman kriminalitas. Modal
sosial diukur melalui bobot respons terhadap kerapatan keanggotaan per-kapita
dalam organisasi sukarela dan tingkat kepercayaan sosial. Dua inti modal sosial,
seperti dikemukakan oleh Coleman (1990) dan Putnam (1993; 1995), adalah
tingkat saling percaya (mutual trust) antar masyarakat dan keterlibatan warga
negara (civic engagement). Civic engagement merujuk pada tingkat komitmen
warga terhadap masyarakatnya yang direfleksikan melalui keterlibatannya dalan
hubungan kemasyarakatan khususnya keanggotaan dalam organisasi dan
kelompok. Mutual trust diukur melalui respons terhadap pertanyaan mengenai
sifat opportunistik seseorang dan peluang mempercayai orang lain.
Narayan dan Princhett (1999) menunjukkan bahwa karakteristik sosial
desa, khususnya keeratan jaringan kerja horisontal suatu asosiasi, mempengaruhi
penghasilan individu. Instrumen survei yang terdapat dalam the Social Capital
and Poverty Survey (SCPS), digunakan untuk menggambarkan aspek kehidupan
desa. Rumah tangga yang menjadi responden dipilih secara random cluster. Data
tiga dimensi modal sosial dikumpulkan melalui: (1) keanggotaan dalam
kelompok; (2) karakteristik kelompok dimana rumah tangga berpartisipasi sebagai
anggota; (3) nilai dan perilaku individu khususnya pemahaman mengenai definisi,
rasa percaya dan persepsinya terhadap kohesi sosial.
Modal sosial memfasilitasi terjadinya proses produksi yang efektif
dicirikan oleh penggunaan sumber daya yang efisien. Pertumbuhan ekonomi
merupakan fungsi positif dari modal fisik, tenaga kerja, perubahan teknologi dan
perubahan kelembagaan termasuk didalamnya total faktor produktivitas atau TFP
(Baier et al., 2002). Total faktor produktivitas (TFP) mengukur perubahan
teknologi dan kelembagaan yang memungkinkan meningkatnya efektivitas proses
34
produksi. Pada keadaan dimana teknologi relatif konstan, konsep total faktor
produktivitas cenderung lebih mencerminkan perubahan kelembagaan,
eksternalitas atau free gift dalam proses pertumbuhan (Lipsey dan Carlaw, 2000).
Namun, seringkali sisaan (residual) dari suatu fungsi produksi hanya dinyatakan
sebagai kemajuan teknologi. Lipsey dan Carlaw menyatakan bahwa TFP lebih
merupakan pengukuran terhadap variabel-variabel yang bersifat positif yang
terabaikan dalam proses produksi artinya ada peluang untuk mempertimbangkan
aspek modal sosial dalam TFP tersebut. Selama ini, pemikiran dan pandangan
yang mempertimbangkan modal sosial dalam TFP masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, perlu upaya untuk mengembangkannya dalam analisis modal sosial.
Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga
Pada umumnya, keterkaitan modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga
mencakup modal sosial di tingkat mikro (individu). Indikator yang digunakan
untuk memproksi modal sosial adalah rasa percaya, kesediaan berbagi dengan
tetangga, kepadatan organisasi, homogenitas dalam kelompok, nilai-nilai dalam
rumah tangga, partisipasi, solidaritas, resiprositas, jumlah kontribusi serta
karakteristik sosial individu lain.
Modal sosial berperan secara signifikan dalam berbagai aktivitas ekonomi
rumah tangga seperti produksi hasil pertanian, pendapatan per-kapita rumah
tangga, ketersediaan lapangan kerja dan proses jual beli, serta aktivitas sosial
meliputi kegiatan kolektif pengawasan hutan, pengelolaan air tanah maupun
peningkatan kesehatan anak. Hasil-hasil penelitian di berbagai negara
berkembang (Narayan dan Pritchett (1999); Grootaert (1999); Maluccio et al.
(2000); Fafchamps dan Minten (2002)) menunjukkan hasil yang konsisten dengan
penelitian di negara-negara maju.
Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah
tangga di Indonesia dilakukan pertama kali oleh Grootaert (1999) di tiga provinsi,
yaitu Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut
menganalisis modal sosial hanya pada tingkat mikro (individual, rumah tangga)
dan meso (komunitas). Batasan yang digunakan mencakup asosiasi horisontal
dan vertikal untuk menginvestigasi secara empiris hubungan antara modal sosial,
35
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan. Selain itu, juga ingin
diperbandingkan antar peran modal manusia dan modal sosial dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Hasil analisis peubah ganda
(multivariate) menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan
kesejahteraan hampir sama dengan peran sumber daya manusia dan bernilai
positif. Rumah tangga dengan modal sosial tinggi memiliki pengeluaran per-
kapita lebih tinggi, memiliki asset fisik dan tabungan lebih banyak serta akses
terhadap kredit yang lebih baik. Sayangnya, determinan modal sosial masih
terbatas pada jaringan kerja saja yang meliputi kepadatan organisasi,
heterogenitas, partisipasi, kehadiran dalam kegiatan kelompok dan orientasi
individu.
Kirwen dan Pierce (2002), meneliti peran modal sosial khususnya rasa
percaya di wilayah konflik di Maluku. Penelitian tersebut ditujukan untuk
mengetahui upaya membangun kembali rasa saling percaya antar masyarakat
pasca konflik. Rasa percaya ternyata dapat dibangun melalui mediasi pihak ketiga
dan penyediaan ruang-ruang publik untuk melakukan aktivitas bersama. Namun
hal yang terpenting adalah penciptaan pengelolaan pemerintahan yang lebih
demokratis dan transparan serta memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Miguel et al. (2002) melakukan penelitian mengenai dampak
industrialisasi pada modal sosial di Indonesia selama kurun waktu 1985 hingga
1997. Modal sosial diukur berdasarkan aktivitas organisasi sukarela, tingkat rasa
percaya, kerjasama informal dan outcome keluarga. Data yang dianalisis berasal
dari BPS meliputi data PODES, SUSENAS dan SUPAS. Pengertian modal sosial
ditekankan pada modal sosial informal (proporsi pengeluaran per-kapita untuk
aktivitas sosial dan keagamaan dan persentase aturan adat yang masih ditaati)
sedangkan hasilnya (outcome) meliputi indikator kualitas tempat tinggal dan
tingkat perceraian. Semakin tinggi pengeluaran per-kapita untuk aktivitas sosial
dan keagamaan berarti semakin kuat hubungan antar individu tersebut.
Penekanan khusus diberikan pada masalah migrasi penduduk yang seringkali
menghambat upaya penguatan modal sosial. Dua model yang dibangun
dibedakan atas model statik dan dinamis. Model statik tidak mempertimbangkan
faktor migrasi sedangkan model dinamik sebaliknya, mempertimbangkan faktor
36
migrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial ternyata tidak
berkaitan dengan industrialisasi sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa
industrialisasi akan menguatkan atau melemahkan modal sosial.
Keterkaitan modal sosial dengan kesehatan masyarakat di 27 provinsi di
Indonesia dianalisis oleh Miller et al. (2003). Penelitian tersebut membandingkan
keterkaitan antara modal sosial dan modal manusia dengan kesehatannya. Data
yang digunakan adalah Family Life Survey tahun 1993 dan 1997 (FLS1 dan FLS2)
yang mencakup data demografi, pendidikan, kesehatan dan tingkat informasi
masyarakat. Human capital diukur dari tingkat pendidikan sedangkan modal
sosial diukur dari jumlah kategori organisasi masyarakat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa modal sosial berhubungan secara positif dengan kesehatan
fisik dan mental sedangkan human capital hanya berhubungan dengan beberapa
kesehatan mental yang mencakup kesedihan, insomnia, kegelisahan dan sifat
tempramental.
Penelitian Brata (2004) lebih menekankan pada keterkaitan antara modal
sosial dan kredit perdesaan di Jogyakarta. Penelitian tersebut dilakukan di Dukuh
Sanden, Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyimpulkan bahwa
modal sosial memberi dampak yang berbeda-beda terhadap tipe kredit perdesaan
yang dapat diakses oleh setiap individu. Aspek modal sosial yang diamati
meliputi kepadatan organisasi (jumlah keanggotaan), kehadiran dalam rapat dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kehadiran anggota dalam pertemuan
kelompok berpengaruh positif terhadap jumlah kredit formal yang diperoleh
sedangkan kepadatan organisasi berpengaruh negatif. Selain itu, individu yang
berada pada strutur sosial yang lebih tinggi (elit perdesaaan) memiliki akses yang
lebih besar terhadap kredit formal. Penelitian ini bersifat sangat situasional
karena tidak mempertimbangkan variabel karakteristik wilayah. Selain itu,
penggunaan OLS untuk menganalisis dampak modal sosial tidak
mempertimbangkan kemungkinan adanya keterkaitan yang erat antara jumlah dan
tipe kredit yang dipinjam dengan tingkat modal sosial seseorang (sifat
endogeneity).
37
Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Dalam literatur ekonomi pembangunan dinyatakan bahwa komunitas dan
masyarakat yang kaya akan jaringan kerja sosial dan ikatan-ikatan masyarakat
cenderung memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam mengatasi kemiskinan dan
kerentanan sosial, lebih mudah memecahkan masalah dan konflik, memiliki
informasi yang simetris serta memiliki dampak pembangunan yang lebih baik.
Penelitian mengenai peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan politik telah banyak
dilakukan di berbagai negara di dunia. Masing-masing peneliti memberikan
penekanan yang berbeda terhadap aspek dan determinan modal sosial. Namun,
sebagian besar penelitian dilaksanakan pada tingkat makro dan cenderung hanya
menganalisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan ekonomi
wilayah (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan
PDRB) bukan indikator pembangunan ekonomi wilayah, padahal indikator
pembangunan seringkali lebih mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dibandingkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah karena
pembangunan ekonomi mencakup juga berbagai aspek sosial kelembagaan selain
tingkat pendapatan per kapita (Dasgupta, 2005).
Secara parsial, analisis keterkaitan modal sosial dengan masing-masing
komponen pembangunan ekonomi wilayah memang telah banyak dilakukan
seperti keterkaitan modal sosial dengan pendidikan (Coleman, 1988), kesehatan
(Miller et al., 2003) maupun kesejahteraan (Grootaert, 2001). Hasil penelitian-
penelitian tersebut mampu menunjukkan bahwa modal sosial dapat meningkatkan
akses individu terhadap pendidikan, kesehatan maupun tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta
tingkat pendapatan yang lebih tinggi memang akan meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM).
Namun, penelitian-penelitian yang menganalisis keterkaitan langsung antara
modal sosial dengan indikator pembangunan secara menyeluruh yaitu IPM atau
IKM masih terbatas. Hal tersebut menyebabkan terbatasnya referensi yang dapat
38
menjelaskan bagaimana keterkaitan modal sosial dengan IPM, IKM maupun
distribusi pendapatan masyarakat (Gini ratio).
Analisis terkini mengenai peran modal sosial dalam pembangunan
ekonomi wilayah dilakukan oleh Sabatini (2005). Data yang dianalisis merupakan
hasil survey Italian National Bureau of Statistic yang terdiri dari data modal sosial
mengikat (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social
capital), modal sosial mengait (linking social capital) serta data kualitas
pembangunan seperti human development index, index of social quality dan state
of health of urban ecosystem. Hasil penelitian Sabatini yang menggunakan
stuctural equations model menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding
social capital) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja
ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu
menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi
informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Putnam.
Di Indonesia, pemahaman mengenai konsep modal sosial dan perannya
dalam proses pembangunan ekonomi mulai memperoleh perhatian. Namun hanya
Grootaert (1999) yang telah mempertimbangkan adanya keterkaitan antar modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang ditunjukkan melalui metode analisis Two
Stage Least Square (TSLS) yang digunakannya. Peneliti lain masih
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisis modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang berarti belum mempertimbangkan adanya
sifat keterkaitan tersebut. Penggunaan metode OLS sesungguhnya tidak lagi
memadai apabila terdapat keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat
karena akan menghasilkan penduga yang bias. Namun, Grootaert hanya
melakukan analisis di tingkat rumah tangga (mikro) dan kelompok (meso),
sehingga analisis keterkaitan modal sosial di tingkat wilayah (makro) dengan
mempertimbangkan sifat keterkaitan tersebut, perlu dikembangkan.
Hasil-hasil penelitian modal sosial terdahulu menunjukkan bahwa pada
tingkat mikro, modal sosial diyakini berperan positif dan nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan menekan terjadinya kemiskinan.
Pada tingkat makro, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu: (1)
39
sebagian besar peneliti meyakini bahwa modal sosial memberi kontribusi positif
dan nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan wilayah, (2)
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial menimbulkan efek
crowding out yang mengurangi waktu kerja efektif sehingga akhirnya memberi
kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Modal sosial terbentuk dari beberapa komponen yang masing-masing
komponen memberi kontribusi yang berbeda terhadap pembangunan maupun
pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karenanya, penelitian ini sependapat dengan
institutional view dan network view dan menganggap bahwa pandangan
communitarian (communitarian view) adalah keliru. Modal sosial tidak selalu
memberi dampak positif sehingga asumsi bahwa semakin kuat modal sosial akan
menciptakan keadaan yang semakin baik adalah tidak selalu benar. Karakteristik
sosial budaya masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap peran modal sosial
dalam peningkatan kesejahteraan di tingkat mikro, meso maupun makro.
40
Tabel 5 Penelitian Modal Sosial Terdahulu dan Variabel yang Digunakan
Penulis Variabel Bebas Identifikasi Variabel Terikat Hasil
Knack dan Keefer (1997) Indikator Pertumbuhan Ekonomi
Trust, Civic norm Student enrollment pada tingkat primer dan secondary Harga barang investasi
Trust dan civic cooperation memiliki dampak yang kuat pada aktivitas ekonomi
Grootaert (1999)
• Tingkat pendapatan
• Kepemilikan aset fisik dan tabungan
• Membershi : rata-rata anggota yang aktif perRT • Indeks Heterogenitas : Skala heterogenitas internal (0-
100) berdasarkan 8 kriteria • Kehadiran: rata-rata jumlah kehadiran anggota keluarga
pada pertemuan kelompok selama 3 bulan terakhir, dinormalisasi dengan jumlah anggota.
• Indeks partisipasi dalam pengambilan keputusan : Skala partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan
• Cash contributio: jumlah fee yang dibayarkan sebagai anggota pada tiga kelompok terpenting
• Work contribution: jumlah hari kerja per tahun • Community orientation: Persentase anggota dalam
suatu organisasi dimana komunitas berasal.
Kekuatan pengaruh modal sosial hampir sama dengan human capital
Rumah tangga dengan modal sosial yang lebih tinggi memiliki kemampuan mengakumulasi aset fisik dan tabungan
Glaeser, Laibson, Sacerdote (2001)
Modal sosial diukur berdasarkan keanggotaan dalam organisasi
Umur
Tingkat mobilitas
Tingkat return to social skill
Kepemilikan rumah
Jarak
modal sosial dan umur awalnya berhubungan secara positif lalu negatif
mobilitas memperlemah modal sosial return to social skill yang lebih besar
meningkatkan investasi modal sosial pemilikan rumah meningkatkan modal
sosial jarak fisik memperlemah hubungan sosial investasi dalam human capital juga berarti
investasi dalam modal sosial modal sosial memiliki komplementaritas
interpersonal.
41
Lanjutan...
Penulis Variabel Bebas Identifikasi Independent Variables Hasil
Lyberaki dan Paraskevopoulos (2002)
Indikator pertumbuhan ekonomi
Aktivitas dan keanggotaan suatu organisasi Rasa kebangsaan Variabel komunikasi (televisi, koran, radio) Kepercayaan terhadap lembaga yang ada (politik,
pengadilan, militer, polisi) dan korupsi
Pertumbuhan di Yunani dapat dijelaskan melalui akumulasi modal sosial secara gradual
Yunani memiliki kesamaan dengan Itali Selatan dalam hal sebab akibat dari tingkat modal sosial yang rendah
Christoforou (2003) Tingkat pengangguran dan GDP (Gross Domestic Product) per-capita
Indeks individual group membership, diturunkan dari european community household panel
civic society yang lemah berimplikasi pada stok modal sosial dan trust yang rendah.
negara di Uni Eropa yang memiliki tingkat group membership rendah cenderung berkaitan dengan tingkat GDP per-capita yang rendah.
Beugelsdijk dan Schaik (2003)
• Modal sosial diukur berdasarkan rasa percaya (general trust) dan aktivitas organisasi
• Menggunakan variabel dalam penelitian Knack dan Keefer (2003) serta Putnam (1993) dan Olson (1982)
• Modal sosial yang diukur dari trust tidak berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi
• Tidak ada bukti kuat yang mendukung hubungan antara investasi, strudent enrollment dan pertumbuhan ekonomi
Brata (2004) • Akses pada lembaga perkreditan
• Jumlah keanggotaan, kehadiran, partisipasi dalam pengambilan keputusan
• Social position
• Kehadiran berpengaruh terhadap perolehan kredit formal sedangkan jumlah keanggotaan dalam organisasi pada perolehan kredit informal
Iyer, Kitson, Toh (2005)
• Modal sosial diukur dari rasa percaya dan keanggotaan dalam organisasi
• Pendidikan dan pendapatan • Mobilitas • Partisipasi dalam pasar tenaga kerja • Umur • Kepemilikan rumah
• Pendidikan, pendapatan, employment, pemilikan rumah meningkatkan modal sosial
• Modal sosial memberi peran penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah
• Modal sosial tidak dapat berdiri sendiri, hanya berperan bila dikombinasikan dengan modal lainnya
Sumber : Disarikan oleh penulis dari berbagai pustaka, 2006