STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA
MAHASISWA ASAL SUMATERA DI UNTIRTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
AYU SITI RACHMA
NIM. 6662111633
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
2016
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. Skripsi. Studi Fenomenologi Gegar
Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA. Pembimbing I: Naniek
Afrilla Framanik, S.Sos.,M.Si dan Pembimbing II: Uliviana Restu H, S.Sos.,
M.Ikom
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah karena individu
akan bertemu dengan lingkungan dan budaya baru yang berbeda. Hal ini dapat
menyebabkan individu mengalami gegar budaya saat melakukan interaksi
antarbudaya di perantauan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan,
bagaimana proses interaksi yang terjadi serta upaya apa saja yang dilakukan untuk
mengatasi gegar budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini
menggunakan metode snowball dan purposive sampling dalam mendapatkan
informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dengan 5
key informan yang merupakan mahasiswa asal Sumatera yang sedang menempuh
studi di Kampus Untirta dan 1 informan pendukung yaitu Guru Besar Bidang Ilmu
Komunikasi Lintas Budaya pada FISIP Untirta dan juga observasi. Penelitian ini
menggunakan analisis teori fenomenologi dari Alfred Schutz dan konsep culture
shock dari Kalvero Oberg. Hasil dari penelitian ini yaitu, faktor yang mendorong
mahasiswa melakukan perantauan adalah faktor pendidikan, budaya dan ekonomi.
Dalam proses interaksi, mahasiswa asal Sumatera dituntut untuk menyesuaikan diri
mulai dari budaya, bahasa, makanan, cuaca, dan kehidupan sosial. Perbedaan yang
signifikan ini membuat mahasiswa asal Sumatera mengalami gegar budaya, namun
untuk mengatasinya mereka mempunyai cara-cara tersendiri seperti bergabung
dengan organisasi maupun komunitas di dalam dan di luar kampus untuk mengisi
waktu luang dan berinteraksi dengan mahasiswa lain.
Kata Kunci: Komunikasi Antarbudaya, Gegar Budaya, Teori Fenomenologi.
v
ABSTRACT
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. The Phenomenological Study of Culture
Shock on Students from Sumatera in UNTIRTA. Lecturer I: Naniek Afrilla
Framanik, S.Sos., M.Si and Lecturer II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom
Leaving home is not an easy thing to do because people will meet a new
environment and different culture. It can cause people to experience culture shock
when they do intercultural communication. The purpose of this research is to reveal
what factors that encourage Untirta’s students from Sumatera to leave their
hometowns, how the process of intercultural communication occur and how they
overcome the culture shock. This research uses a qualitative research method with
phenomenological approach and constructivism paradigm. This research uses
snowball and purposive sampling method in selecting the informants. The data
collection technique used in this research is interview involving 5 key informants,
Sumatera students who are studying in Untirta, and 1 additional informant who is
Professor of Cross-Cultural Communication Studies at FISIP Untirta and also
observation. The analysis of this research is conducted by applying the
phenomenology theory by Alfred Schutz and the concept of culture shock by Kalvero
Oberg. The results from this study reveal that there are 3 factors (education, culture
and economic) that push Untirta student from Sumatera to leave their hometowns.
In the process of communication, Untirta students from Sumatera are required to
adjust themselves to the new culture, language, food, weather, and social life. The
significant difference makes Untirta students from Sumatera experience culture
shock, nevertheless they have their own way to overcome the problem such as by
joining an organization and a comunity in or outside the college to spend their
spare times and to communicate with other students.
Key words: Intercultural communication, culture shock, phenomenon theory.
vi
“I swear by the time,
most surely man is in loss,
expect those who believe and do good,
and enjoin on each other truth,
and enjoin on each other patience”
- QS.103: Al-Asr
“You don’t need anybody to tell you
who you are or what you are.
You are what you are!” – John Lennon
“Life isn’t how you survive the storm,
but how you dance in the rain” – Unknown
This skripsi is dedicated to my parents.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah pada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Dengan usaha diiringi
doa, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun selama menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini banyak sekali mendapatkan hambatan-
hambatan, namun pada akhirnya hambatan tersebut dapat teratasi.
Skripsi yang berjudul “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa
Asal Sumatera di UNTIRTA” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir
dan syarat untuk memperoleh gelar strata (S1) Ilmu Komunikasi pada Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari jika penelitian maupun penulisan
skripsi ini masih belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dan juga berharap skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak serta dapat menjadi sumbangsih
yang berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama proses yang cukup panjang,
untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd. selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Ibu Naniek Afrilla F, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I.
Terima kasih atas waktu, kesempatan, bimbingan dan saran serta
petunjuk yang diberikan kepada penulis.
viii
5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom. selaku Dosen Pembimbing
II. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi.
6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Sihabudin,, M.Si. yang sudah memberikan
waktu dan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam penelitian
ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
8. Kedua orang tua peneliti, Mama dan Bapak yang yang selalu
memberikan dukungan baik moral maupun materil, doa, motivasi,
kesabaran, nasehat serta kasih sayang yang luar biasa.
9. Saudara-saudaraku tersayang, Kakak Ria, Kakak Kiki, Abang
Bangkit, Kakak Dewi, serta dua keponakan super, Dera dan Yumnaa
yang selalu meramaikan suasana.
10. Alzasya Asdrie Rivaldie yang selalu mendukung dan sudah mau
mendengarkan keluh kesah selama proses penyelesaian skripsi yang
panjang ini.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama ini, Niken Lestari dan Dwi
Afriani. Terima kasih sudah mau mendengarkan keluhan,
memberikan dukungan serta tawa selama ini.
12. Teman-teman DIOLAS (Monic, Iqbal, Teguh, Dzikri, Fahmi, dll)
yang merupakan teman seperjuangan dalam menempuh studi di
Untirta ini dan seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi 2011.
13. Teman-teman Science+ (Fitri, Fida, Dila, Kiki, Maya, Fulky, Dini)
dan yang lainnya. Terima kasih atas tawa yang tiada ujung setiap
kali bertemu. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam memasuki
tahap selanjutnya.
14. Teman-teman senasib dan seperjuangan semasa bimbingan (Lena,
Isti, Ibos) dan lain-lain yang sudah saling memberikan semangat dan
dukungannya. Kita pasti bakal kangen masa-masa saat menunggu
dospem bersama.
ix
15. Rekan-rekan di kotaserang.com yang sudah memberikan
kesempatan, ilmu serta kebersamaan selama ini.
16. Teman-teman “Hello Entertainment” yang sudah memberikan
penulis pengalaman dan ilmu yang begitu berharga serta keluarga
baru yang menyenangkan.
17. Kelima informan dalam penelitian ini (Tami, Risda, Rienny, Aslam
dan Ferdi). Terima kasih sudah mau meluangkan waktu dan bersedia
untuk berkontribusi dalam penelitian ini.
18. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang penulis buat ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi masukan bagi
perkembangan penelitian ilmu komunikasi di waktu mendatang.
Serang, Februari 2016
Ayu Siti Rachma
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 7
1.3 Identifikasi Masalah ........................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................................. 8
1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................................... 8
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis .................................................................................................... 9
2.1.1 Komunikasi ......................................................................................... 9
2.1.2 Budaya... ........................................................................................... 11
2.1.3 Komunikasi Antarbudaya.................................................................. 13
2.1.4 Teori Fenomenologi .......................................................................... 15
2.1.5 Culture Shock .................................................................................... 22
2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................................ 31
xi
2.3 Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 32
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian .................................................................. 35
3.2 Paradigma Penelitian ....................................................................................... 37
3.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 38
3.4 Instrumen Penelitian ........................................................................................ 39
3.4.1 Sumber Data... ................................................................................... 39
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 39
3.5 Informan Penelitian ......................................................................................... 41
3.5.1 Metode Pemilihan Informan... .......................................................... 41
3.5.2 Karakteristik Informan ...................................................................... 42
3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................................ 43
3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .............................................................. 45
3.8 Jadwal Penelitian .............................................................................................. 46
BAB IV: HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ............................................................................... 47
4.2 Deskripsi Informan Penelitian ......................................................................... 49
4.3 Analisa Hasil Penelitian .................................................................................. 56
4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan Perantauan ..... 59
4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta ..................... 72
4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal
Sumatera ............................................................................................ 96
BAB IV: PENUTUP
5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 105
5.2 Saran ............................................................................................................... 106
Daftar Pustaka ................................................................................................... 107
Daftar Riwayat Hidup ....................................................................................... 147
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 32
Tabel 3.8 Jadwal Penelitian.................................................................................... 46
Tabel 4.1 Identitas Key Informan ........................................................................... 51
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock.............................................................. 29
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir ................................................................... 31
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Pedoman Wawancara ....................................................................... 110
Lampiran 2 Hasil Wawancara Key Informan 1 .................................................... 112
Lampiran 3 Hasil Wawancara Key Informan 2 .................................................... 117
Lampiran 4 Hasil Wawancara Key Informan 3 .................................................... 123
Lampiran 5 Hasil Wawancara Key Informan 4 .................................................... 128
Lampiran 6 Hasil Wawancara Key Informan 5 .................................................... 133
Lampiran 7 Hasil Wawancara Informan Pendukung ........................................... 139
Lampiran 8 Catatan Bimbingan Skripsi ............................................................... 143
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap individu berhak untuk mendapatkan pendidikan, namun karena
kualitas pendidikan di Indonesia yang belum merata membuat sebagian masyarakat
melakukan perantauan ke luar daerahnya untuk mendapatkan fasilitas pendidikan
yang laik terutama pada tingkat perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), orang yang belajar di perguruan tinggi disebut mahasiswa.
Melakukan perantauan bukanlah satu hal yang mudah, mahasiswa yang
merantau ini harus rela meninggalkan rumah, keluarga, teman dan lingkungannya,
kemudian mereka akan menemui masyarakat dengan latar belakang budaya yang
berbeda jauh dari tempat asal. Perbedaan ini didasari oleh negara Indonesia yang
merupakan republik kesatuan yang terdiri dari 34 provinsi dengan beragama suku
dan budaya. Mulyana dan Rakhmat (2005) menyatakan bahwa salah satu
kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat
wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan
bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di
sekelilingnya.1
1 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal
174.
2
Situasi dan kondisi yang berbeda cukup jauh dari daerah asal
mengakibatkan ketidaknyamanan baik psikis maupun fisik, hal inilah yang
menyebabkan adanya gegar budaya atau culture shock. Mulyana dan Rakhmat
(2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang
muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam
hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara
yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi
sehari-hari.2
Fenomena gegar budaya menjadi persoalan dasar bagi mahasiswa rantau
karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan
penyesuaian diri, apalagi mahasiswa rantau tersebut berasal dari pulau yang
berbeda dengan segala macam perbedaan mulai dari bahasa, budaya, cuaca dan
sebagainya, seperti mahasiswa rantau asal Pulau Sumatera yang sedang menempuh
pendidikan di Kampus Untirta - Banten.
Pulau Sumatera biasa juga dikenal dengan sebutan pulau Andalas. Dalam
Bahasa Sansekerta, pulau Sumatera disebut Suwarnadwipa yang berarti ‘Pulau
Emas’. Memang tepat sekali penamaan ini sebab Pulau Sumatera sangat kaya akan
hasil alam. Terletak di bagian barat gugusan Nusantara dengan posisi koordinat
0°00 LU 102°00 BT. Pulau seluas 470.000 km² ini merupakan pulau keenam
terbesar di dunia.3
2 Ibid. Hal 174 3 Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/ diakses pada 25
Desember 2015 pukul 21:40 WIB
3
Suku asli Pulau Sumatera adalah Melayu. Suku Melayu memiliki keunikan
tersendiri dalam hal pernikahan, yaitu pengantin perempuan harus ‘dibeli’ oleh
pengantin dan keluarga laki-laki. Besar nominalnya tergantung pada tingkat
pendidikan, strata sosial dan latar belakang keluarga pihak perempuan. Sementara
Suku Batak lebih dominan di Provinsi Sumatera Utara. Di sini, mayoritas suku
Batak beragama Kristen. Suku Batak memiliki pakaian adat khas yaitu ‘kain Ulos’.
Kain ini selalu digunakan masyarakat Suku Batak dalam upacara-upacara adat
mereka. Bahkan, bagi Suku Batak sumber kehangatan bagi manusia yaitu matahari,
api, dan ulos.4
Suku besar lainnya di Pulau Sumatera adalah Suku Minang, atau juga biasa
disebut Suku Minang Kabau. Suku Minang mayoritas berasal dari
Provinsi Sumatera Barat. Ciri khas dari suku ini adalah penduduknya yang suka
merantau, atau dengan kata lain berpindah ke suatu tempat di luar kampung
halaman mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya Suku Minang di
berbagai tempat dan provinsi di Indonesia. Selain bertani, mayoritas mata
pencaharian masyarakat Suku Minang adalah berdagang. Masakan Padang yang
berasal dari suku Minang sangat terkenal di penjuru dunia. Namun, perpindahan
dan migrasi penduduk mengakibatkan populasi pulau Sumatera kini menjadi multi
etnik. Tidak hanya Suku Melayu, tetapi juga Suku Aceh, Suku Batak, Suku
Minangkabau, Suku Rejang, Suku Banjar, dan Tionghoa.5
4 Ibid 5 Ibid
4
Pulau Sumatera terdiri atas 11 provinsi, diantaranya adalah: Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan ibukota Banda Aceh, Provinsi
Sumatera Utara dengan ibukota Medan, Provinsi Sumatera Barat dengan
ibukota Padang, Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, Provinsi Kepulauan
Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, Provinsi Jambi dengan ibukota Jambi,
Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang, Provinsi Bangka
Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, Provinsi Bengkulu dengan
ibukota Bengkulu, dan Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung. Kota
Medan di Sumatera Utara adalah kota terbesar di pulau Sumatera dengan luas
265,10 km².6
Mayoritas penduduk beragama Islam. Bahkan, Nangroe Aceh Darussalam
dinamai sebagai Serambi Mekkah, mengingat letaknya yang terdepan di pulau
Sumatera dan tingginya tingkat ketaatan umat Islam di daerahnya. Dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir ini, Hukum Islam pun turut digunakan sebagai sumber
hukum Provinsi Aceh. Sementara untuk agama Kristen lebih dominan terdapat di
Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Umat Budha dan Hindu juga ada di pulau
Sumatera, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.7
Perbedaan latar belakang budaya yang cukup signifikan membuat
mahasiswa rantau asal Sumatera merasa cemas dan membutuhkan penyesuain diri
di lingkungan barunya yaitu Provinsi Banten. Penulis melakukan wawancara
bersama salah seorang mahasiswi bernama Tami8. Tami menjelaskan bahwa ketika
6 Ibid 7 Ibid 8Mahasiswa komunikasi angkatan 2011 asal Pematang Siantar Sumatera Utara yang sedang
menempuh studi di UNTIRTA Serang. Wawancara dilakukan pada 10 Desember 2015.
5
pertama kali tahu dirinya akan merantau ke Serang, ia merasakan kesenangan dan
memiliki semangat yang tinggi untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, namun
ketika sudah pindah ke Serang, ia juga sempat merasakan kecemasan yang cukup
tinggi saat melakukan komunikasi dengan mahasiswa lain yang bukan berasal dari
Sumatera, salah satunya dipengaruhi oleh bahasa. Walaupun sama-sama
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dialek yang digunakan sangat berbeda. Ini
yang membuat Tami cukup berhati-hati ketika berkomunikasi bahkan sempat
membuatnya enggan untuk berkomunikasi di dalam kelas sehingga ia menjadi lebih
pendiam dibanding teman-temannya. Selain itu, adanya perbedaan kebudayaan dan
kebiasaan dari tempat asalnya yaitu Sumatera, walaupun masih dalam satu negara
yang sama. Makanan juga merupakan satu hal yang cukup berbeda dari daerah asal
dimana Tami menganggap makanan di daerah Serang lebih berminyak
dibandingkan di tempat asalnya yang lebih bersantan dan pedas. Butuh waktu
sekitar 1 sampai 2 bulan untuk Tami membiasakan dirinya di lingkungan yang baru.
Menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah salah satu hal yang mau tak
mau harus kita lakukan demi kelangsungan hidup, jika kita tidak bisa
melakukannya maka berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak
mungkin jika dalam berinteraksi kita tidak menciptakan simbol atau makna yang
sama dengan lawan bicara, terutama jika kita memiliki latar belakang budaya yang
berbeda. Sihabudin (2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
6
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari
generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.9
Budaya yang kita kenal sejak dalam kandungan hingga kehidupan kita
kedepannya bahkan sampai mati akan terus mempengaruhi kita. Sihabudin (2013)
mengatakan bahwa budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga
berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Artinya
budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Sebenarnya, seluruh perbendaharan
perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Bila budaya beraneka
ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.10
Manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung satu sama lain,
manusia tidak dapat hidup sendirian. Hal ini dipertegas oleh Porter & Samovar
dalam (Sihabudin, 2013: 14), bahwa hampir setiap orang membutuhkan hubungan
sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran
pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia
yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.11
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam
tentang “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di
Untirta” karena saat ini tidak hanya mahasiswa asal Provinsi Banten saja yang
menempuh pendidikan di Untirta, melainkan mahasiswa di luar Banten bahkan di
luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah mahasiswa Sumatera yang memiliki latar
9 Ahmad Sihabudin. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta:
PT. Bumi Aksara. Hal 19 10 Ibid. Hal 20 11 Ibid. Hal 14.
7
belakang kebudayaan yang cukup jauh berbeda dengan Provinsi Banten, khususnya
Kota Serang dan Cilegon.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah penelitian dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan sebagai berikut:
“Bagaimana Fenomena Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta?”
1.3 IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi masalah penelitian ini adalah:
1. Faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera untuk merantau
dan menempuh studi di Untirta?
2. Bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal Sumatera
ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta?
3. Upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera di Untirta
untuk mengatasi gegar budaya?
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera
untuk merantau dan menempuh studi di Untirta.
2. Mengetahui bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal
Sumatera ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta.
8
3. Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera
di Untirta untuk mengatasi gegar budaya.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan
ataupun deskripsi mengenai faktor-faktor apa saja yang mendorong
mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan menempuh studi di
Kampus Untirta Serang. Serta memberikan deskripsi bagaimana proses
interaksi yang terjadi di tengah kebudayaan yang berbeda dan upaya-upaya
apa saja yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi gegar budaya.
1.5.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangsih dari
penulis sekaligus menjadi bahan referensi untuk penelitian-penelitian
mahasiswa khususnya Ilmu Komunikasi di masa yang akan datang
mengenai faktor seseorang melakukan perantauan, fenomena gegar budaya,
proses interaksi, serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Penelitian ini juga
diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang
dipelajari selama mengikuti program perkuliahan, serta membandingkan
antara teori yang didapat dengan kenyataan di lapangan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Komunikasi
Sebagai makhluk sosial, komunikasi merupakan unsur penting
dalam kehidupan manusia. Mulyana (2004: 41) menjelaskan bahwa kata
komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin
communis yang berarti sama, communico, communication, atau
communicare yang berarti membagi atau membuat sama. Istilah communis
seringkali disebut sebagai asal kata dari komunikasi, yang merupakan akar
dari kata-kata Latin yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa pikiran,
suatu makna, atau pesan dianut secara bersama, sehingga menimbulkan
saling pengertian, saling memahami, atau saling percaya.1
Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang
secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Para pakar
mendefinisikan komunikasi sebagai proses karena komunikasi merupakan
kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan, pertukaran, dan
perpindahan.2 Dalam penelitian ini, proses komunikasi lah yang akan
1 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002.
Hal 41. 2 Ibid. Hal. 4.
10
menentukan bagaimanakah mahasiswa rantau asal Sumatera dapat
menghadapi gegar budaya selama menempuh kuliah di Kampus UNTIRTA.
Effendy (2004:7) mengatakan bahwa yang terpenting di dalam
komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan
komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan.
Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:3
(a) Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang
menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya.
Tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari
komunikan. (b) Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak
kognitif. Tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu,
tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan
iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. (c) Dampak behavioral
yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku,
tindakan dan kegiatan. Dampak-dampak dalam komunikasi dapat kita lihat
dalam penelitian ini ketika mahasiswa asal Sumatera berkomunikasi dengan
mahasiswa non Sumatera yang memiliki perbedaan dalam bahasa dan
budaya karena akan ada banyak hal yang akan diketahui, mengubah
pemikiran atau bahkan perilaku masing-masing.
Hafied (2008:21) mengatakan bahwa komunikasi adalah bentuk
interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya,
3 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. 2004. Hal 7.
11
sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasinya.4
Oleh karena itu komunikasi yang terjadi antara mahasiswa asal Sumatera
dan non Sumatera tidak terbatas pada bahasa verbal saja namun juga non
verbal.
2.1.2 Budaya
Porter & Samovar dalam (Sihabudin, 2013: 19) menjelaskan bahwa
budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,
merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut
budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekomnomi, politik dan teknologi, semua
itu berdasarkan pola-pola budaya.5 Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat memiliki cara-caranya masing-masing dalam hal apapun. Apa
yang mereka lakukan, bagaimana mereka bertindak, merupakan respons
terhadap fungsi-fungsi budayanya.
Sihabudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antarbudaya
(2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan
dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.6 Budaya-
4 Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 21 5 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. 2011. Hal 19 6 Ibid. Hal 19
12
budaya inilah yang membentuk sebuah bahasa, perilaku, gaya
berkomunikasi dan sebagainya.
Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya juga
berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi
hidup kita. Budaya kita, secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam
kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati, kita dikuburkan dengan
cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dipelajari tidak
diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang
berhubungan antara yang satu dengan lainnya.7 Dalam penelitian ini,
mahasiswa rantau berasal dari satu pulau yang sama yaitu Sumatera namun
berbeda daerah sehingga memiliki ciri khas budaya masing-masing. Ketika
mahasiswa Sumatera merantau ke Pulau Jawa tentu saja perbedaan budaya
makin terlihat signifikan.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana
komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya
untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya,
seluruh perbendaharan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita
dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila
budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.8
7 Ibid. Hal 19-20. 8 Ibid. Hal 20.
13
Perbedaan budaya di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa inilah yang membuat
mahasiswa rantau asal Sumatera melakukan komunikasi dengan mahasiswa
non Sumatera menggunakan cara yang berbeda daripada ketika mereka
berkomunikasi dengan mahasiswa asal Sumatera.
2.1.3 Komunikasi Antarbudaya
William dalam Liliweri (2011:8) menjelaskan bahwa pembicaraan
tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian
kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata
tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, harus dicatat bahwa studi
komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan
pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.9 Menurut Liliweri, definisi
yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata
budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang atau lebih yang
berbeda latar belakang kebudayaan”.10 Komunikasi antarbudaya dapat
didefinisikan lebih sederhana lagi yaitu komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.
Samovar dan Porter dalam (Liliweri) juga mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima
pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.11 Seperti dalam
penelitian ini ketika mahasiswa Sumatera berinteraksi dengan mahasiswa
9 Dr. Alo Liliweri, M.S. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR. 2011. Hal 8 10 Ibid. Hal 9 11 Ibid. Hal 10
14
non Sumatera maka hal ini termasuk ke dalama komunikasi antarbudaya
karena adanya latar belakang budaya yang berbeda.
Menurut Liliweri (2011:12), banyaknya pengertian komunikasi
antarbudaya membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi
antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka
semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu
tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan
terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan maupun non verbal.12 Hal ini
disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari
kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam
sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam
peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak
dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat.
Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi
kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh
nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Di sini kebudayaan yang menjadi
latarbelakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi
manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan
seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan
orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita. Dalam penelitian ini,
proses komunikasi lah yang akan menentukan bagaimana mahasiswa asal
Sumatera berperilaku di perantauan.
12 Ibid. Hal 12
15
2.1.4 Teori Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti
‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini
diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat
lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas
yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari
realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2) menyebutkan bahwa
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh
hubungan kita dengan orang lain).13 Penelitian ini akan mencari tahu
bagaimana fenomena gegar budaya yang terjadi ketika mahasiswa Sumatera
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, apakah akan terjadi
pertukaran makna atau malah sebaliknya.
Kuswarno (2009:2) menjelaskan bahwa pemikiran Weber tentang
tindakan sosial menarik perhatian Alfred Schutz, sosiolog yang lahir di
Vienna tahun 1899, terutama ketika melahirkan pemikiran tentang dasar
metodologis dalam ilmu sosial. Fondasi metodologis di dalam ilmu sosial
berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan studi tentang fenomenologis,
yang sebenarnya tiada lain merupakan kritikan Schutz tentang pemikiran-
13 Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya
Padjadjaran. Hal 2.
16
pemikiran Weber, selain Husserl tentang sosiologi. Schutz setuju dengan
pemikiran Weber tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia
sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz
menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika
seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor,
dia akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal
demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.14
Craib dalam (Basrowi dan Sudikin, 2002: 39) mengatakan bahwa
Alfred Schutz merupakan ahli teori femenologi yang paling menonjol,
menurutnya tugas fenomenologi menghubungkan antara pengetahuan
ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana
pengalaman dan pengetahuan berakar. Meyakini bahwa dunia yang dialami
atas sebuah kesadaran manusia secara implisit, termasuk terhadap dunia
eksternal, dapat dimengerti karena kesadaran kita dan sepanjang memiliki
makna. Jadi fenomenologi mengidentifikasi masalah dari dunia pengalaman
indrawi yang bermakna kepada dunia yang penuh dengan objek-objek yang
bermakna, suatu hal yang semula terjadi dalam kesadaran individu secara
terpisah dan kemudian secara kolektif di dalam interaksi antara kesadaran-
kesadaran.15
Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba
menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk
14 Ibid. Hal 2. 15 Basrowi dan Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
Cendikia.
17
mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Ritzer & Goodman
(2007:94) mengatakan bahwa Schutz memusatkan perhatian pada cara
orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran
kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk
memahami kesadaran itu dengan konsep intersubjektif, yang dimaksud
dengan dunia intersubjektif ini adalah kehidupan-dunia atau dunia
kehidupan sehari-hari.16
Sendjaja (1994:375) mengatakan bahwa karya Schutz sangat
penting bagi teori komunikasi karena menempatkan komunikasi sebagai
faktor penting bagi realitas yang dialami seseorang. Realitas bagi kita
tergantung pada apa yang kita pelajari dari orang lain dalam komunitas
sosial budaya kita yang terbentuk suatu situasi historis. Seseorang dalam
berbagi waktu dan tempat mengalami realitas yang berbeda.
Bagi Schutz pengetahuan sosial mengandung formula yang
merupakan cara-cara yang sudah dikenal untuk melakukan sesuatu.
Memungkinkan seseorang untuk mengelompokan sesuatu menurut logika
yang sama-sama dipahami dalam menyelesaikan masalah, melakukan
peranan, berkomunikasi dan untuk menyesuaikan perilaku dalam perilaku
yang berbeda. Sebagai fenomenologi sosial, filsafat Schutz memberikan
dukungan bagi aliran pemikiran konstruksi sosial yang mengarahkan
16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2007. Jakarta: Kencana. Hal
94.
18
pengamatan pada makna-makna yang dibawa oleh orang yang berbeda
dalam suatu komunikasi.
Schutz tidak menjelaskan adanya suatu kesamaan dalam semua
kehidupan manusia yang melewati umur penciptanya. Dalam setiap situasi
fenomenologis yakni konteks, ruang, waktu dan historis yang secara unik
menempatkan individu memiliki dan menerapkan persediaan pengetahuan
yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan
aturan, yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap
pakai yang tersedia bagi kita di dunia yempat kita lahir dan eksis. Sehingga
konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep
yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan
bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat
saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai
macam hubungan dengan orang lain.
Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat
pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan
orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan
akal sehat. Maka tujuan utama analisis fenomenologis adalah
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang
mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam
arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia
19
yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan
melakukan interaksi.
Derajat kedua bagi Schutz, yaitu mengkonseptualisasikan
pengamatan yang berhasil diamati oleh panca indera atas sebuah realitas
yang ada, kemudian dikonfirmasikan realitas pengamatan tersebut kepada
pelaku dalam realitas tersebut. Schutz menyetujui pemikiran Weber tentang
penggalan dari perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian sebagai
realitas yang bermakna secara social.
Cuff dan Payne dalam (Kuswarno, 2004:47) menjelaskan bahwa
Schutz menyebutkan manusia yang berperilaku sebagai “aktor”. Ketika
seseorang melihat perbuatan aktor atau mendengar apa yang dikatakan, ia
akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal
demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.17 Maka (Mulyana,
2002: 62) menjelaskan bahwa penelitian sosial adalah usaha untuk
mengembangkan model-model sistem konsep dan relevansi subjek untuk
penelitian oleh karena hal-hal tersebut dapat diamati dalam kehidupan
sehari-hari. Kaum fenomenologis menolak prediksi sebagai tujuan ilmu
sosial, eksplanasi tidak identik dengan prediksi. Karena prediksi dapat
menjadi tujuan hanya bagi fenomena yang memungkinkan penjelasan
kausalitas. Sehingga dengan kata lain fenomenologi adalah mengkonstruksi
17 Engkus Kuswarno. 2004. Dunia Simbolik Pengemis: Konstruksi Realitas Sosial dan Management
Komunikasi Pengemis Kota Bandung. Bandung. Disertasi Doktor Ilmu Komunikasi Program
Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
20
dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami
sendiri.18
Kemudian menurut Schutz, bahwa orang-orang begitu saja
menerima dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas
ciri-ciri penting dunia ini. Selain makna “intersubjektif”, dunia sosial
menurut Schutz harus dilihat secara historis. Karenanya Schutz
menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi
pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu baik sekarang ataupun
akan datang.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam intersubjektivitas atau
pemahaman kebermaknaan atas tindakan, ucapan, dan interaksi sebagai
anggota masyarakat, yakni situasi pengkhasan. Karena menurut Schutz
tindakan intersubjektif para aktor itu tidak muncul begitu saja, tetapi harus
melalui proses panjang, artinya sebelum masuk pada tataran in order
motive, menurut Schutz ada tahapan because motive yang mendahuluinya.
Sehingga fenomenologi hadir untuk memahami makna subjektif manusia
yang diatributkan pada tindakan-tindakan dan sebab-sebab serta
konsekwensi dari tindakannya. (Basrowi dan Sudikin, 2002: 42).
Penjelasan lain, bahwa Schutz melihat ke depan pada masa yang
akan datang (looking-forward into the future) merupakan hal yang esensial
bagi konsep tindakan atau action (handeln). Tindakan adalah perilaku yang
diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah
18 Deddy Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
21
ditetapkan (determinate). Kalimat tersebut sebenarnya mengandung makna
juga bahwa seseorang memiliki masa lalu (pastness). Dengan demikian
tujuan tindakan memiliki elemen ke masa depan (futurity) dan elemen ke
masa lalu (pastness).
Dalam menggambarkan bahwa tujuan suatu tindakan sosial
seseorang cukup kompleks, Schutz meminjam istilah tata bahasa dengan
menyebut in the future perfect tense. Sementara itu, suatu tindakan dapat
berupa “tindakan yang sedang berlangsung” (the action in progress), dan
“tindakan yang telah lengkap” (the completed act). Dengan meminjam
istilah dari Heidegger, Schutz menyebutkan bahwa “the complected act thus
pictured in the future perfect tense as the project (Entwurf) of the action”.
Apa yang disebut sebagai suatu “tindakan”, Schutz menjelaskan: “is the act
which is the goal of the action and which is brought into being by the
action”.
Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang
kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan
seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama
tindakan in-order-to motivate, yang merujuk pada masa yang akan datang;
dan tindakan because-motive yang merujuk pada masa lalu. Dia
mencontohkan, jika seseorang membuka payung ketika hujan turun, maka
motif pertama (“motif untuk”) akan berupa pernyataan “menjaga baju tetap
kering”; sedangkan motif kedua (“motif-sebab) dengan melihat pengalam
dan pengetahuan sebelumnya tentang bagaimana akibatnya pada baju jika
22
hujan tanpa payung, misalnya digambarkan sebagai pernyataan “agar baju
tidak basah”. (Kuswarno, 2004: 48).
Para fenomenolog percaya bahwa mahluk hidup tersedia berbagai
cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang
lain, dan bahwa pengertian pengalaman kisah kitalah yang membentuk
kenyataan. Tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya dari segi
pandangan mereka. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandangan
mereka” menjadi persoalan. Persoalan pokoknya ialah “dari segi pandangan
mereka” merupakan konstruk penelitian. Melihat subjek dari segi ide ini
hasilnya barangkali akan memaksa subjek mengalami dunia asing baginya.
(Moleong, 2006: 9).19
2.1.5 Culture Shock
Culture shock mendapat perhatian ilmiah pada awal 1950-an dan
awal 1960-an. Lysgaard, Oberg dan Gullahorn adalah yang pertama untuk
menyajikan fenomena kualitatif sebagai penyesuaian antarbudaya. Definisi
culture shock berkembang seiring berjalannya waktu, dan di sini definisi
Adler disajikan20:
"Culture shock adalah seperangkat reaksi emosional terhadap
hilangnya persepsi dari budaya sendiri terhadap rangsangan
19 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006. 20 Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in
China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology.
2014. Hal 9.
23
budaya baru yang memiliki sedikit atau tidak ada artinya, dan
kesalahpahaman dari pengalaman baru dan beragam. Ini dapat
mencakup perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan
ditipu, terkontaminasi, terluka atau diabaikan "
Culture shock juga dapat diartikan sebagai gegar budaya dan kejutan
budaya. Kalvero Oberg dalam (Mulyana dan Rakhmat, 2005) memberikan
definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut:
“Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari
hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam
hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di
mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan
sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli
sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini
dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau
norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan
menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang
kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua
menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk
tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.”21
21 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 174.
24
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gegar budaya adalah
rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda
dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah
melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak
efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana dan
Rakhmat (2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-
lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-
petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam
mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.22
Mulyana dan Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa pada dasarnya
gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan
persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah
dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai
budayanya berbeda dan belum ia pahami.23 Individu pada umumnya
menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang
juga dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Beda halnya ketika
individu memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang
membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsi tersebut, tentang apa
yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan,
kebijakan, dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian
22 Ibid. Hal 174 23 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007.
Hal 247-249.
25
menimbulkan konflik dalam diri individu serta menyebabkannya individu
merasa tertekan dan menderita. Efek inilah yang disebut gegar budaya.
Taft (dalam Mulyana, 2007: 251) meringkas berbagai reaksi
psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi:
Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit
tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya. Perasaan kehilangan karena
tercerabut dari lingkungan yang dikenal. Penolakan individu terhadap
anggota-anggota lingkungan baru dan perasaan tak berdaya karena tidak
mampu menghadapi lingkungan asing.24 Gegar budaya dalam berbagai
bentuknya merupakan suatu fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yakni
faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) dan faktor
eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki). Tidak
ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu
memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya
yang ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif
untuk mengatasi gegar budaya tersebut.
Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai
kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan
mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya
bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri,
kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian
24 Ibid. Hal 247-249
26
empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik
pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita,
sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam
bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus
mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.
Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang
memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Seperti yang
dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474),
perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda,
maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat
komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada
dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan bervariasi, seperti turis
dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. 25
Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Mulyana dan Rakhmat
(2005) mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang
dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan
suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik
penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-
situasi problematik, melainkan suatu problematik tersendiri yang sulit
dikuasai.26 Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak
25 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 474. 26 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 143.
27
interpersonal yang secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar
belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu biasanya
merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari
lingkungan budaya baru yang ia masuki.
Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara individu yang
satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat
muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi,
antara lain27: permusuhan terhadap lingkungan yang baru, perasaan
disorientasi, perasaan tertolak, sakit perut dan sakit kepala, rindu kampung
halaman, merindukan teman dan keluarga, perasaan kehilangan status dan
pengaruh, menyendiri, menganggap anggota budaya yang lain tidak sensitif.
Selama gegar budaya terjadi, terdapat konsekuensi yang
diidentifikasi dan membentuk pola kurva-U. Pada tahun 1955, Lysgaard
adalah yang pertama mengusulkannya28:
"Penyesuaian sebagai proses dari waktu ke waktu tampaknya
mengikuti bentuk kurva -U: penyesuaian dirasakan menjadi mudah
dan sukses saat memulai; kemudian mengikuti 'krisis' di mana
seseorang merasa kurang disesuaikan dengan baik, agak kesepian
dan tidak bahagia; akhirnya orang mulai merasa lebih baik dengan
penyesuaian kembali, menjadi lebih terintegrasi di luar negeri. "
27 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 476-477. 28 Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in
China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology.
2014. Hal 9.
28
Berdasarkan hipotesis Lysgaard ini, model U-kurva ilustratif
diperpanjang oleh Oberg dan menjadi populer sejak tahun 1960-an dan terus
berada di masa percobaan selama lebih dari 50 tahun. Oberg
menggambarkan empat tahap:29 (1) honeymoon, yang ditandai dengan daya
tarik, kegembiraan, dan optimisme yang berlangsung dari beberapa hari
sampai 6 bulan tergantung pada seberapa cepat seseorang menghadapinya
dan komunikasi dengan budaya baru harus dimulai; (2) kesedihan, yang
ditandai dengan sikap bermusuhan dan emosional stereotip terhadap negara
tuan rumah dan meningkatkan hubungan dengan sesama pendatang; (3)
pemulihan, yang ditandai dengan peningkatan pengetahuan bahasa dan
kemampuan untuk berkeliling di negara tuan rumah, sikap superior terhadap
warga negara tuan rumah, dan meningkatnya rasa humor; (4) penguasaan,
yang berarti penyesuaian diri sudah selengkap mungkin, kecemasan
sebagian besar pergi, dan konvensi baru diterima dan dinikmati.
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur
menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock.
Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat
digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve:30 Fase
Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi
dengan Efektif.
29 Ibid. Hal 9-10.
30 Ibid. Hal 477-488
29
Gambar 2.1
Kurva-U Fase Culture Shock
Fase Kegembiraan merupakan fase pertama yang digambarkan
sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan,
harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya
baru. Kemudian, Fase Kekecewaan, fase kedua dimana masalah dengan
lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa,
kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya
ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya
mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya
dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan,
mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock.
Selanjutnya, Fase Awal Resolusi, fase ketiga dimana individu mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap
membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi
budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat
terprediksi dan tidak terlalu menekan. Fase terakhir adalah Fase Berfungsi
30
dengan Efektif yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U.
Individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola
komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua
budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan
menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup
dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali
dengan budayanya terdahulu.
31
2.2 Kerangka Berpikir
Gambar 2.2
Bagan Kerangka Berpikir
Ilustrasi Gambar; Olahan Peneliti
Fenomena Gegar Budaya
Teori Fenomenologi
(Alfred Schutz)
1. Paradigma Konstruktivisme
2. Tradisi Fenomenologi
3. Pendekatan Kualitatif
4. Metode Phenomenology Research
5. Teknik Penelitian: wawancara dan
observasi
6. Proses Pencarian Data
7. Proses Analisis Data
Konstruksi Gegar Budaya
Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta
Konsep Culture Shock
(Kalvero Oberg)
1. Fase Kegembiraan
2. Fase Kekecewaan
3. Fase Awal Resolusi
4. Fase Berfungsi dengan Efektif
(Samovar, Porter & McDaniel, 2010)
32
2.3 Penelitian Terdahulu
No. Item Emma Violita Pinem Indah Maulidia Muhammad Hyqal
Kevinzky
1 Judul Culture Shock dalam Interaksi
Komunikasi Antarbudaya Pada
Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi
Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di
Universitas Sumatera Utara)
Culture Shock dalam Interaksi
Komunikasi Antarbudaya pada
Mahasiswa Asal Papua di USU
Proses dan Dinamika
Komunikasi Dalam
Menghadapi Culture shock
Pada Adaptasi Mahasiswa
Perantauan (Kasus Adaptasi
Mahasiswa Perantau di
UNPAD Bandung)
2 Tahun 2011 2014 2011
3 Tujuan
Penelitian
Untuk mengetahui culture shock dalam
interaksi komunikasi antarbudaya pada
mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal
ini juga mengenai reaksi dan upaya
mengatasi culture shock tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proses komunikasi
yang berlangsung antara
mahasiswa Papua dan mahasiswa
USU lainnya dan tahapan-tahapan
culture shock dalam interaksi
komunikasi antarbudaya pada
mahasiswa Papua di USU serta
upaya mengatasi culture shock
tersebut.
Untuk melihat bagaimana
proses dan dinamika
komunikasi mahasiswa
perantauan di UNPAD
Bandung dalam beradaptasi,
ketika menghadapi culture
shock.
4 Teori Teori Interaksionisme Simbolik Teori Interaksionisme Simbolik Teori Akomodasi
Komunikasi
33
5 Metode/
Paradigma
Kuantitatif/Deskriptif Kualitatif/Interpretif Kualitatif/Interpretif
6 Hasil
Penelitian/
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
para mahasiswa asal Malaysia memiliki
kecenderungan culture shock tergolong
sedang. Hal ini berarti mereka sudah
bisa menyesuaikan diri, namun untuk
beberapa informan masih mengalami
beberapa masalah adaptasi seperti
merasa diperlakukan berbeda dalam
berinteraksi dengan penduduk lokal,
tidak menguasai bahasa Indonesia
dengan baik, dan masih kurang nyaman
dengan perbedaan budaya yang ada.
Dalam hal terpaan dan upaya
mengatasinya dipengaruhi oleh 33ias33r
jenis kelamin, asal fakultas dan lama
menetap. Perempuan lebih tinggi
culture shocknya dan cenderung lebih
lambat dalam beradaptasi, sedangkan
laki-laki lebih ringan terpaan culture
shock dan lebih cepat dalam
beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas
Kedokteran cenderung lebih
berkelompok dan tidak akrab dengan
mahasiswa Indonesia, sedangkan di
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa para mahasiswa asal Papua
memiliki kecenderungan culture
shock yang tergolong sedang. Hal
ini berarti mereka sudah 33ias
menyesuaikan diri dan merasa
nyaman tinggal di Medan. Bahkan
beberapa informan mengaku lebih
nyaman tinggal di Medan
daripada daerahnya sendiri yaitu
Papua. Fakultas dan motivasi diri
ikut mempengaruhi proses
komunikasi yang terjalin antara
mahasiswa Papua dan mahasiswa
USU lainnya. Mahasiswa asal
Papua tidak selalu berteman
dengan sesamanya tetapi mereka
juga berbaur dengan mahasiswa
lainnya agar dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya
dan merasa nyaman kuliah di
USU.
Dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa terdapat
sejumlah kecenderungan
seseorang dalam beradaptasi
dengan budaya asing di
sekitarnya, yang kemudian
menentukan pemilihan tipe
adaptasinya agar bisa
bertahan di perantau.
34
Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa
Malaysia lebih berbaur dengan
mahasiswa Indonesia, meskipun ada
yang juga masih sering berkumpul
dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan
intensitas interaksi dengan mahasiswa
Indonesia baik untuk urusan kampus
atau di luar kampus lebih sering terjadi
pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi
mereka. Selain itu, lama menetap juga
turut mempengaruhi. Mahasiswa yang
lebih lama menetap di Medan memiliki
penyesuaian yang lebih menyeluruh.
7 Persamaan Meneliti tentang culture shock
Objek penelitian pada mahasiswa
Meneliti tentang culture shock
Objek penelitian pada
mahasiswa
Metode penelitian yang
digunakan
Meneliti tentang culture
shock
Objek penelitian pada
mahasiswa
Metode penelitian yang
digunakan
8 Perbedaan Teori yang digunakan
Metode penelitian yang digunakan
Paradigma Penelitian
Teori yang digunakan
Paradigma Penelitian
Teori yang digunakan
Paradigma Penelitian
9 Sumber http://repository.usu.ac.id/ http://repository.usu.ac.id/ http://digilib.ui.ac.id/
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN
Soehartono (2008:9) mendefinisikan metode penelitian adalah cara atau
strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Metode
penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang
lebih spesifik untuk memperoleh data.1 Mengacu pada permasalahan penelitian yaitu
tentang studi fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta,
maka penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis.
Mulyana, (2001: 145-146) menjelaskan bahwa metodologi adalah proses,
prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati suatu masalah dan
mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum
untuk mengkaji topik penelitian.2 Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan
perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara
perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi
yang memungkinkan penulis memahami data dan menghubungkan data yang rumit
1 Irawan Soehartono. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan
Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal 9. 2 Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Hal
145-146.
36
dengan peristiwa dan situasi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu
rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif, maka metodologi pun
sebenarnya merupakan suatu rentang juga, dari yang sangat kuantitatif (objektif)
hingga yang sangat kualitatif (subjektif).
Menurut Kriyantono (2006: 56-57), riset kualitatif bertujuan untuk
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data
sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling,
bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah
mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya.3 Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada persoalan
kedalaman (kualitas) bukan pada banyaknya (kuantitas) data. Selain itu, penulis
juga ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan karena dalam riset
kualitatif, periset adalah bagian integral dari data. Dengan demikian, periset
menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini
bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan
Untuk mengetahui fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera,
penulis menggunakan pendekatan fenomenologi, dimana dalam pendekatan ini
penulis langsung meneliti sebuah kesadaran dari pengalaman (awareness of
experience), yaitu keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang
pertama. Jadi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penulis meneliti
secara langsung pada mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA sebagai key informan
penelitian ini.
3 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 56-57.
37
Little John (2011:65) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis
berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-
pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya.
Pendekatan fenomenologi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui dunia
dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan
dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang dilekatkan
padanya.4
Tidak hanya itu, untuk melengkapi penelitian yang dilakukan, penulis juga
akan melakukan wawancara kepada ahli di bidangnya berkaitan dengan fenomena
gegar budaya dari aspek komunikasi budaya. Wawancara dilakukan kepada Guru
Besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA sebagai informan
pendukung untuk memperkuat dan melengkapi penelitian mengenai studi
fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta.
3.2. PARADIGMA PENELITIAN
Penelitian ini sendiri menggunakan paradigma kontruktivisme dikarenakan
sesuai dengan sifat dan karakter permasalahan data yang diangkat dalam penelitian
ini. Hidayat (2003:3) menjelaskan bahwa paradigma konstruktivisme memandang
bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action
melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang
bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.5
4 Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Theories of Human Comunication),
(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), Hal. 65. 5 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik (Jakarta:
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), Hal. 3.
38
Penulis menggunakan paradigma konstruktivis untuk mengetahui
bagaimanakah fenomena gegar budaya pada mahasiswa asal Sumatera di
UNTIRTA, dengan paradigma konstruktivis ini penulis bisa mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dari individu yang diteliti. Dalam penelitian ini,
penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali sedalam mungkin
ingatan dan pengalaman informan berdasarkan fakta selama menempuh studi di
Kampus UNTIRTA yang memiliki latar belakang budaya dan lingkungan yang
berbeda. Hasil wawancara yang berdasarkan pengalaman informan inilah yang
nanti akan dianalisis dan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis
ataupun tidak. Apakah informan mengalami gegar budaya dan dapat melakukan
interaksi antarbudaya atau malah sebaliknya.
3.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis akan mencantumkan batasan-batasan masalah
sehingga tidak adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi, sekaligus
memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Adapun batasan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penulis memfokuskan
penelitian pada faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera di
UNTIRTA melakukan perantauan. Kedua, bagaimana tahapan-tahapan gegar
budaya yang dialami mahasiswa asal Sumatera. Ketiga, bagaimana proses interaksi
yang terjadi ketika mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan terakhir,
apa saja upaya yang dilakukan mahasiswa asal Sumatera dalam mengatasi gegar
budaya.
39
3.4 INSTRUMEN PENELITIAN
3.4.1 SUMBER DATA
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dikumpulkan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer menurut Ruslan (2004:29)
adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan
perorangan, kelompok dan organisasi.6 Adapun data yang menjadi sumber
data primer adalah melalui wawancara kepada mahasiswa rantau asal
Sumatera yang sesuai dengan kriteria dalam informan penelitian.
Sedangkan menurut Bungin (2009:122) data sekunder adalah data yang
diperoleh dari sumber kedua atas data yang kita butuhkan7, maka dari itu
data sekunder didapat dari informan pendukung. Selain itu, penulis
melakukan observasi dengan jenis observer as participant, sehingga penulis
akan mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan
bergabung dalam setting kesehariannya.
3.4.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, karena teknik pengumpulan data merupakan faktor yang
sangat penting dalam setiap melakukan penelitian agar berjalan sesuai
6 Rosady Ruslan. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004). Hal
29. 7 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Kencana Predana Grup, 2009). Hal
122.
40
dengan apa yang diinginkan. Adapun teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Berger dalam Kriyantono (2006: 100) mengatakan bahwa
wawancara adalah percakapan antara periset (seseorang yang berharap
mendapatkan informasi) dan informan (seseorang yang diasumsikan
mempunyai informasi penting tentang suatu objek. Wawancara merupakan
metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya.8 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan
teknik wawancara untuk mendapatkan data. Ada dua jenis informan pada
penelitian ini, yaitu key informan, yang dimana penulis akan meneliti
tentang fenomena gegar budaya dan yang kedua adalah informan tambahan,
dimana penulis akan menggunakan data hasil wawancara sebagai
triangulasi sumber atas data yang penulis peroleh dari key informan.
Penelitian ini menggunakan wawancara semistruktur yang dimana
penulis mempunyai daftar pertanyaan tertulis tapi memungkinkan juga
untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bebas, yang terkait
dengan permasalahan gegar budaya dalam fase kegembiraan, fase
kekecewaan, fase awal resolusi, fase berfungsi dengan efektif, motif
merantau, proses interaksi dan upaya apa saja yang dilakukan untuk
mengatasi gegar budaya.
8 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 100
41
2. Observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan
pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan
yang terjadi di antara subjek yang diriset. Sehingga keunggulan metode ini
adalah data yang dikumpulkan dalam dua bentuk: interaksi dan
percakapan.9 Dalam penelitian ini, perilaku non-verbal juga mencakup
perilaku verbal dari orang-orang yang diamati. Ini mencakup antara lain apa
saja yang dilakukan, perbincangan apa saja yang dilakukan termasuk
bahasa-bahasa gaul serta benda-benda apa yang mereka buat atau gunakan
dalam interaksi sehari-hari. Dalam riset dikenal juga metode observasi
partisipan dan observasi non-partisipan. Selain melakukan wawancara,
peneliti juga akan melakukan observer as participant dimana peneliti akan
mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan bergabung
dalam setting kesehariannya.
3.5 INFORMAN PENELITIAN
3.5.1 Metode Pemilihan Informan
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat subjektif
karena metode pemilihan informan dalam penelitian kualitatif memberikan
kebebasan bagi penulis untuk menentukan siapa informannya. Namun
dikarenakan keterbatasan akses penulis dalam pemilihan informan, maka
penulis menggunakan teknik snowball sampling.
9 Ibid. Hal 111
42
Sugiyono (2010: 61) menjelaskan bahwa Snowball Sampling adalah
teknik penentuan subjek penelitian yang pada awalnya berjumlah kecil,
kemudian subjek penelitian diminta untuk menunjukan kenalannya untuk
dijadikan sampel.10 Namun, pemilihan informan juga didasari oleh beberapa
kriteria yang ditetapkan oleh penulis (purposive sampling) guna menjaga
kesesuaian data yang diperoleh dengan arah penelitian. Purposive sampling
adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
3.5.2 Karakteristik Informan
Informan kunci (key informan) dipilih berdasarkan fenomena yang
diteliti yaitu mengenai fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera,
oleh karena itu agar data objektif dapat diperoleh, maka penulis menetapkan
bahwa informan utama (key informan) dalam penelitian ini yaitu mahasiswa
asal Sumatera. Adapun mahasiswa tersebut memiliki kriteria sebagai
berikut:
a) Mahasiswa yang sedang menempuh studi di Kampus UNTIRTA
b) Mahasiswa yang lahir dan besar di Pulau Sumatera
c) Mahasiswa angkatan 2011-2015
Adapun informan kedua dalam penelitian ini yaitu informan pendukung
yaitu ditentukan berdasarkan fokus penelitian mengenai komunikasi
antarbudaya. Untuk itu, penulis akan melakukan penelitian tentang
fenomena gegar budaya dilihat dari komunikasi antarbudaya, oeh karena itu
10 Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 2010. Hal 61.
43
yang akan menjadi informan pendukung yaitu Guru Besar bidang
Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA.
3.6. TEKNIK ANALISIS DATA
Penulis akan melakukan analisis data yang dimana merupakan kegiatan
mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponenya dan kemudian menelaah
hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai
sudut pandang, kemudian data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.
Patton dalam Moleong (2007:103) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan
uraian dasar.11 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya
kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian
kualitatif adalah menemukan teori dari data. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang
dikemukakan oleh Burhan Bungin (2009:70) yaitu sebagai berikut:12
1) Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis
data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan wawancara.
11 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2007. Hal. 103. 12 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Grup. 2009. Hal 70.
44
2) Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode,
menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya
dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
3) Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun
yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks
naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan
bagan.
4) Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and
Verification)
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan
berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah
disajikan antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas
analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif
merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi
gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis
45
yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai
dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan,
pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian
diambil intisarinya saja.
3.7. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA
Pada penelitian ini penulis menggunakan salah satu teknik pemeriksaan
triangulasi dari empat kriteria yaitu kepercayaan (credibility) untuk memeriksa
keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin dalam Moleong (2007) membedakan
empat macam trangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan
penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.13
Penulis menggunakan triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data
dalam penelitian ini. Traingulasi sumber yang akan penulis gunakan yaitu dari hasil
wawancara pada informan tambahan, yaitu dari penulis buku Komunikasi
Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Patton dalam Moleong (2007:330)
menjelaskan bahwa triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif.14 Menurut Moleong (2007:331) hal itu dapat
dicapai dengan jalan:15 (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data
13 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
2007. Hal. 330. 14 Ibid. Hal 330 15 Ibid. Hal. 331.
46
hasil wawancara. (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. (3) Membandingkan apa yang
dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya
sepanjang waktu. (4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. (5)
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
3.8 JADWAL PENELITIAN
No Kegiatan
Penelitian
Mar
2015
Apr
2015
Mei
2015
Juni
2015
July
2015
Aug
2015
Sept
2015
Okt
2015
Nov
2015
Des
2015
Jan
2016
Feb
2016
1. Bimbingan Bab
1, 2 dan 3.
2. Sidang Outline
3. Penyempurnaan
Bab 1,2 dan 3.
4. Observasi
(Pengambilan
Data di
Lapangan)
5. Bimbingan Bab
4 & 5
6. Sidang Skripsi
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada fenomena gegar budaya
mahasiswa asal Sumatera yang menempuh studi di Kampus Untirta. Mahasiswa
Sumatera sebelumnya memiliki faktor-faktor tertentu yang mendorong mereka
melakukan perantauan, di antaranya adalah untuk melanjutkan studi ke jenjang
yang lebih tinggi agar dapat meraih cita-cita juga memiliki masa depan yang lebih
cerah.
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah dikarenakan
mahasiswa Sumatera diharuskan hidup mandiri tanpa ada keluarga yang
mendampingi, apalagi perantauan dilakukan ke luar pulau yang jaraknya cukup
jauh. Ketika datang ke kota perantauan, mahasiswa rantau mengalami kekagetan
dengan lingkungan baru yang ditemuinya. Reaksi ini biasanya disebut dengan
culture shock atau gegar budaya.
Gegar budaya merupakan salah satu reaksi pada umumnya dimana perantau
merasa kaget atas perbedaan yang terjadi mulai dari budaya, bahasa, makanan,
kehidupan sosial, cuaca dan sebagainya. Mau tak mau hal ini menyebabkan
mahasiswa rantau dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru
yang ada di sekitar. Contohnya ketika mahasiswa asal Sumatera harus melakukan
komunikasi dengan masyarakat sekitar ataupun mahasiswa non Sumatera, mereka
48
tidak bisa menggunakan bahasa daerah asalnya tetapi mereka harus menyesuaikan
diri dengan bahasa di Kota Serang dan Cilegon yang notabene menggunakan bahasa
Sunda ataupun Jawa Serang. Walaupun tinggal di satu negara yang sama, dialek
ataupun makna suatu kata akan memiliki arti yang berbeda di setiap daerahnya.
Gaya bicara mahasiswa Sumatera pun menjadi kendala dalam berkomunikasi
karena dianggap memiliki intonasi yang terlalu tinggi bagi masyarakat Serang dan
Cilegon.
Selain itu makanan juga menjadi masalah di perantauan, apalagi dengan
budaya Indonesia yang begitu kaya membuat makanan di Indonesia memiliki
berbagai macam jenis dan rasanya. Terlebih makanan di Pulau Sumatera dan Pulau
Jawa yang sangat berbeda, pada umumnya makanan di Pulau Sumatera lebih pedas
dan kaya akan bumbu sementara di Pulau Jawa lebih manis dan tidak terlalu pedas.
Kendala lainnya bagi mahasiswa Sumatera adalah cuaca di Serang dan Cilegon
yang lebih terik dan berdebu dari Pulau Sumatera karena letaknya yang tidak begitu
jauh dengan pantai maupun pabrik-pabrik kimia.
Ketika seseorang mengalami gegar budaya, hal ini dapat menjadi suatu hal
baik ataupun buruk tergantung indiviu memperlakukannya karena reaksi terhadap
gegar budaya pada masing-masing individu berbeda. Hal baik akan terjadi jika
mahasiswa rantau bisa dengan cepat menyesuaikan diri di lingkungan baru dan
berbaur namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka gegar budaya bisa
mempengaruhi keadaan fisik maupun psikis. Maka dari itu mahasiswa Sumatera
memilih untuk mengikuti kegiatan di dalam maupun di luar kampus seperti
49
organisasi maupun komunitas untuk mengisi waktu luang serta beradaptasi dengan
lingkungan baru.
Fenomena gegar budaya semakin banyak terjadi saat ini karena sudah
banyaknya masyarakat yang menempuh studi di luar daerahnya masing-masing,
sehingga memacu penulis melakukan penelitian ini yang merupakan bagian dari
komunikasi antarbudaya. Selain itu, ilmu komunikasi juga mempunyai peranan
penting berkaitan dengan penelitian ini. Objek penelitian berkaitan erat dengan
komunikasi antarbudaya. Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya di BAB
II, komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu
budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain. Komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya (baik
dalam arti ras, etnik ataupun perbedaan sosioekonomi), hal inilah yang menjadi
latar belakang dalam penelitian ini.
4.2. Deskripsi Informan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan cara
mendatangi dan menanyai langsung kepada para informan mengenai hal-hal yang
menjadi kepentingan dalam penelitian. Dari pengumpulan data yang diperoleh
penulis, informan pada penelitian ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari 5
(lima) orang key informan yang sesuai dengan kriteria informan dan 1 (satu)
informan pendukung atau narasumber yang merupakan Guru Besar Komunikasi
Lintas Budaya FISIP UNTIRTA.
Dalam pencarian key informan, penulis memerlukan waktu yang tidak
sebentar dikarenakan mahasiswa rantau dari Sumatera tidak sebanyak mahasiswa
50
dari pulau Jawa dan tidak mudah untuk meminta kesediaan melakukan wawancara
pada informan dikarenakan kesibukan mereka yang tengah melakukan ujian akhir
semester. Dalam penelitian ini, data diri key informan menggunakan identitas asli.
Penelitian dilakukan melalui kegiatan wawancara yang dimulai dari awal
bulan Desember 2015 sampai akhir bulan Januari 2016. Penulis melakukan
pendekatan terlebih dahulu pada key informan setelah itu penulis melakukan
wawancara secara langsung pada key informan. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan alat bantu penelitian yaitu perekam suara handphone untuk
mempermudah penulis dalam pengelolaan data.
Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu melakukan
pendekatan kepada para key informan melalui Line Messenger dan Whatsapp
Messenger. Pada bulan November, penulis sudah mulai mencari dan melakukan
pendekatan terlebih dahulu pada key informan, setelah itu barulah penulis
melakukan wawancara. Wawancara dengan key informan pertama yaitu dilakukan
pada tanggal 10 Desember 2015 bertempat di Kantin Belakang Untirta Serang
dimulai pukul 16:49 s.d 17:43 WIB. Kemudian wawancara key informan kedua
pada tanggal 14 Desember 2015 di tempat yang sama seperti key informan pertama
yang dimulai dari pukul 17.10 s.d 18.05 WIB. Wawancara dengan key informan
ketiga dan keempat dilakukan bersama di Laboratorium Teknik Industri Untirta
Cilegon pada tanggal 24 Desember 2015 dimulai pukul 13:55 s.d 15.10 WIB dan
wawancara key informan terakhir dilakukan di halaman PKM B Untirta Serang
pada tanggal 28 Desember 2015 mulai pukul 17:30 s.d 18.20 WIB. Untuk informan
pendukung, wawancara dilakukan setelah peneliti selesai melakukan wawancara
51
pada key informan. Wawancara dengan Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya
FISIP UNTIRTA dilakukan pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul 13:55 WIB
s.d 14:37 WIB di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang.
Tabel 4.1
Identitas Key Informan
NO Nama Asal Status
1 Fauziah Nur Utami Pematang Siantar Informan 1
2 Risda Sinaga Pematang Siantar Informan 2
3 Rienny Yurike Sianipar Bengkulu Informan 3
4 Aslam Daniel Lampung Informan 4
5 Ferdinand Putra Riau Informan 5
1. Key Informan 1 Tami
Fauziah Nur Utami atau yang biasa dipanggil Tami ini lahir pada tanggal 14
Maret 1994 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Perempuan yang mempunyai
darah Batak dari ibunya ini pernah tinggal di Bengkulu ketika duduk di Sekolah
Dasar, selebihnya ia tinggal di Pematang Siantar. Tami merupakan teman satu
angkatan dan jurusan dengan penulis, juga pernah berada di suatu organisasi
internal kampus yang sama. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2011
ini sangat aktif mengikuti organisasi internal maupun eksternal. Oleh karena Tami
lahir dan besar di Pulau Sumatera dan sedang menempuh studi di Kampus Untirta
maka penulis memilih Tami sebagai key informan penelitian.
52
Ketika penulis meminta Tami untuk menjadi informan penelitian,
perempuan beerhijab ini sedikit malu pada awalnya, namun karena penulis
memberikan penjelasan yang lebih detail akhirnya Tami bersedia melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan di Kantin Belakang Kampus Untirta Serang
pada sore hari. Menurut penulis, anak pertama dari 3 bersaudara ini memiliki sifat
yang ramah, open minded dan termasuk orang yang menyukai tantangan.
2. Key Informan 2 Risda
Metode snowball sampling digunakan dalam penarikan informan penelitian
ini, dimana penentuan informan diawali dengan pemilihan yang sesuai dengan
kriteria informan, kemudian informan tersebut diminta untuk menunjuk kenalannya
untuk dijadikan informan yang selanjutnya (Sugiyono, 2001:61), Risda terpilih.
Pemilik nama lengkap Risda Sinaga ini merupakan teman satu kost Tami juga
teman satu kampung halamannya. Perempuan yang bersuku Batak Simalungun ini
lahir pada tanggal 26 November 1992 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Anak
pertama dari 2 bersaudara ini merupakan mahasiswa jurusan Administrasi Negara
angkatan 2011 yang sedang menunggu panggilan sidang. Oleh karena Risda lahir
dan besar di Pulau Sumatera dan masih menjadi mahasiswa Untirta, penulis
menjadikannya sebagai key informan.
Sebelumnya Risda pernah berkuliah di Medan namun hanya 1 tahun
pertama saja. Sebagai anak yang merantau jauh dari rumah, Risda memiliki materi
yang lebih dari cukup dilihat dari penampilannya saat pertama kali bertemu dengan
penulis. Risda juga cukup ramah dan terbuka ketika bercerita tentang
pengalamannya merantau, tapi karena tidak pernah tinggal jauh sebelumnya ia
53
terkesan lebih selektif dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kenyamanan
selama tinggal di Serang. Risda juga aktif dalam organisasi di kampus baik internal
maupun eksternal. Suasana ketika wawancara sebenarnya tidak begitu kondusif
dikarenakan dilakukan di Kantin Belakang Kampus UNTIRTA Serang yang
dimana banyak mahasiswa lain yang sedang berada di sana, namun Risda cukup
kooperatif sehingga wawancara berjalan dengan lancar.
3. Key Informan 3 Rienny
Rienny Yurike Sianipar atau yang biasa dipanggil Rienny ini lahir di
Bengkulu, 2 April 1993. Anak ke-3 dari 4 bersaudara ini memiliki kedua orang tua
yang berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun karena adanya faktor
pekerjaan yang mengharuskan orang tua Rienny untuk pindah ke Bengkulu jauh
sebelum Rienny lahir. Perempuan berkacamata dan berbehel ini merupakan
mahasiswa jurusan Teknik Industri UNTIRTA angkatan 2012. Penulis menjadikan
Rienny sebagai key informan dikarenakan Rienny lahir dan besar di Pulau Sumatera
dan merupakan mahasiswa Untirta.
Rienny merupakan mahasiswa yang aktif dalam organisasi baik internal
maupun eksternal, bahkan ia merupakan salah satau mahasiswa yang mendapatkan
beasiswa dari Beswan Djarum. Rienny merupakan junior dari teman penulis.
Rienny memiliki sifat yang ramah, percaya diri dan menyambut baik ketika penulis
memintanya untuk menjadi informan, namun karena kesibukannya sebagai
assistant laboratorium membuat penulis harus menunggu waktu luang yang
dimiliki Rienny. Wawancara berlangsung di Laboratorium Teknik Industri dan
berjalan sangat kondusif karena pada hari itu perkuliahan sedang libur.
54
4. Key Informan 4 Aslam
Pemilik nama lengkap Aslam Daniel atau biasa dipanggil Aslam ini
merupakan teman dekat dari Rienny yang juga teman satu angkatan dari jurusan
yang sama yaitu Teknik Industri 2012. Aslam dikenalkan Rienny kepada penulis
karena sebelumnya penulis meminta Rienny untuk mencarikan temannya yang
berasal dari Sumatera dan bersedia dijadikan informan penelitian ini. Kebetulan
pada hari penulis ingin mewawancarai Rienny, Aslam sedang berada di
Laboratorium Teknik Industri. Terpilihnya Aslam sebagai key informan juga
didasari dari tempat lahir dan tinggal Aslam yang berada di Pulau Sumatera serta ia
merupakan mahasiswa Untirta.
Aslam lahir pada tanggal 1 Januari 1994 di Lampung, walaupun terlihat
lebih pendiam dan lugu tapi ia cukup ramah ketika pertama kali bertemu dengan
penulis dan sangat kooperatif ketika melakukan wawancara. Anak ke-2 dari 3
bersaudara ini juga aktif dalam organisasi baik internal maupun eksternal, selain itu
Aslam juga disibukan oleh tugasnya menjadi assistant laboratorium. Saat SMA,
Aslam pernah hidup mandiri dengan menge-kost karena jarak rumah dan
sekolahnya yang cukup jauh namun masih di daerah Lampung. Wawancara
terhadap Aslam berlangsung di Laboratorium Teknik Industri Untirta.
5. Key Informan 5 Ferdi
Ferdinand Putra atau yang biasa dipanggil Ferdi ini lahir di Perawang-Riau
pada tangga l 7 Oktober 1993. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2013
ini merupakan teman dari teman penulis yang juga merupakan junior penulis di
kampus. Orang tua Ferdi berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun
55
sejak muda mereka merantau ke Riau sehingga Ferdi lahir dan besar di Riau. Oleh
karena itu, penulis memilih Ferdi sebagai key informan. Anak ke-2 dari 7
bersaudara ini aktif dalam kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Ferdi
tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) dan UKM
Olahraga UNTIRTA. Selain itu juga Ferdi turut bergabung di sebuah komunitas
sepeda fixie yang berada di Serang karena kegemarannya terhadap olahraga sepeda.
Butuh waktu cukup lama untuk penulis bisa melakukan wawancara dengan
Ferdi dikarenakan kesibukannya dalam mengerjakan tugas perkuliahan dan
kegiatan organisasinya. Wawancara dengan Ferdi dilakukan di halaman depan
PKM B Untirta Serang karena saat itu Ferdi sedang ada kegiatan bersama teman
organisasinya. Wawancara berlangsung dengan baik walaupun suasana tidak begitu
kondusif dikarenakan sangat ramai. Pada awal melakukan wawancara, Ferdi terilhat
kaku dan menutup diri namun seiring berjalannya waktu ia tidak sungkan untuk
berbagi ceritanya selama merantau ke Serang.
6. Deskripsi Identitas Informan Pendukung
Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si.
Informan pendukung dalam penelitian ini yakni seorang Guru Besar Bidang
Ilmu Komunikasi Lintas Budaya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNTIRTA.
Prof. Dr. Ahmad Sihabudin dipilih penulis sebagai informan pendukung
dikarenakan merupakan seorang ahli di bidangnya terutama komunikasi
antarbudaya yang juga merupakan fokus dalam penelitian ini. Prof. Sihab lahir di
Serang Banten pada tanggal 4 Juli 1965, ia menyelesaikan pendidikan di SD Negeri
4, SMPN 1, dan SMAN 1 Kota Tangerang. Meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
(Drs) di FIKOM IISIP Jakarta pada tahun 1989, Magister Sains bidang Ilmu
56
Komunikasi (M.Si) di Universitas Padjajaran pada tahun 1994, dan Doktor bidang
Ilmu Penyuluhan Pembangunan (Dr) 2009 di Institut Pertanian Bogor.
Saat ini Prof. Sihab mengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, profesi
sebagai dosen ia tekuni sejak tahun 1992. Hingga saat ini Prof. Sihab telah banyak
menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang dipublikasikan maupun tidak. Di
antaranya, yaitu buku “Saatnya Baduy Bicara” diterbitkan oleh PT Bumi Aksara
(2010). “Implikasi Era Informasi Terhadap Gaya Hidup dan Budaya Massa” dimuat
majalah ilmiah “Social Polites” di FISIP Universitas Kristen Indonesia. “Pendapat-
Pendapat Antaretnik di Kalangan Mahasiswa” karya ilmiah finalis PPMI 1999 Biro
Pemasaran IPTEK LIPI 1999, “Prasangka Sosial KAT Baduy dimuat majalah
ilmiah Mediator Jurnal Komunikasi Vol.9/No.1 Juni 2008, dan masih banyak lagi
karya-karya lainnya. Dalam penelitian ini Prof Sihab berperan sebagai informan
yang memberikan informasi terkait fenomena gegar budaya dalam komunikasi
antarbudaya. Wawancara dengan informan pendukung berlangsung secara kondusif
di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul
13:55 WIB s.d 14:37 WIB.
4.3 Analisa Hasil Penelitian
Penelitian yang membahas tentang fenomena gegar budaya mahasiswa asal
Sumatera ini menggunakan analisis teori Fenomenologi yang dikemukakan oleh
Alfred Schutz. Fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutuk
mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2)
menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana
manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
57
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita
dengan orang lain).1
Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep
yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan bekal
karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat saling berbagi
perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai macam hubungan dengan
orang lain. Lalu tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang
kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan
seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama tindakan
in-order-to motivate, yang diartikan sebagai motif ada masa yang akan datang; dan
tindakan because-motive yang merupakan motif sebab pada masa lalu. Motif-motif
inilah yang merupakan faktor yang mendorong key informan melakukan
perantauan.
Selain itu dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep culture shock.
Culture shock yang dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya atau kejutan
budaya diartikan sebagai rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya
baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang
sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak
efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri.
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan
jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang
1 Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya
Padjadjaran. Hal 2.
58
biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Samovar dkk (2010)
menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva
U sehingga disebut U-curve, yaitu:2 Fase Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase
Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi dengan Efektif. Dalam penelitian ini, penulis
berusaha mencari tau bagaimana tahapan-tahapan dari culture shock ini terjadi saat
key informan melakukan perantauan.
Berdasarkan hasil wawancara, keempat key informan yaitu Tami, Risda,
Rienny, Aslam dan Ferdi memiliki sifat yang berbeda-beda. Dengan melihat
langsung melalui observasi dan wawancara yang dilakukan penulis, penulis dapat
melihat karakteristik kepribadian mereka masing-masing. Tami yang merupakan
anak sulung dari tiga bersaudara ini merupakan wanita yang haus akan tantangan
dan hal-hal baru. Key informan kedua yaitu Risda, anak pertama dari dua bersaudara
ini cenderung melihat sesuatu dengan lebih detail dan selektif. Key informan ketiga
yaitu Rienny merupakan wanita yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi
dan tidak terlalu mengambil pusing jika ada hal-hal yang tidak disukainya. Key
informan keempat yaitu Aslam yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara ini
cenderung pendiam dan lugu dari yang lain dan key informan kelima yaitu Ferdi
cenderung memiliki pemikiran tersendiri terhadap suatu hal dan cukup memiliki
kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut informan pendukung, gegar budaya bisa dikatakan kaget.
Contohnya saja ketika seseorang dari perdesaan melakukan perantauan, ia bisa
2 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 477-488.
59
kaget karena banyaknya mobil ataupun kendaraan yang berlalu lalang di perantauan
tidak seperti daerah asalnya yang masih terbilang sepi atau ketika ia biasa tidur
pukul 8 dan 9 malam, tetapi di perantauan ternyata sampai pukul 12 malam pun
masih ramai dengan aktivitas sehingga ia merasa terganggu baik fisik maupun
psikis. Hal ini membuat seseorang melakukan penyesuaian dengan waktu yang
cukup lama. Gegar budaya juga bisa disebut sebagai proses penyesuaian supaya
seseorang tidak kaget dengan lingkungan baru, karena disebut gegar budaya ketika
melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan.
“Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang
di sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi
kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di
rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama
kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga
sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan
itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar
budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia,
kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai
malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari
kurang beradaptasi”.3
4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan
Perantauan
Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang
kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan
seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama
tindakan in-order-to motivate atau “motif untuk” yang merujuk pada masa
yang akan datang; dan tindakan because-motive atau “motif sebab” yang
3 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.
60
merujuk pada masa lalu. Motif inilah yang dapat menjadi faktor pendorong
seseorang melakukan perantauan.
Berdasarkan hasil wawancara, key informan 1 yaitu Tami
mengungkapkan bahwa ia sangat senang ketika mengetahui dirinya akan
melakukan perantauan, karena ia teringat pengalaman masa kecilnya ketika
sering berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya karena tuntutan
pekerjaan orangtuanya. Walaupun waktu pertama kali orangtua Tami tidak
mengizinkan dirinya melakukan perantauan mengingat ia merupakan
seorang anak perempuan, namun hal tersebut tidak menurunkan tekad Tami
untuk merantau karena keinginannya yang besar untuk mengetahui
bagaimana situasi dan kondisi di Serang.
“Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindah-
pindah kayak gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah
gitu kan rumahnya, tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di
Serang itu kayak apa, excited lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini,
tapi waktu itu nggak dibolehin kan sama orang tua pertama-
pertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi guenya emang
keukeuh pengen ke sini aja.”4
Tami menjelaskan rasa senang saat ingin merantau dikarenakan ia
akan mendapatkan teman-teman dan lingkungan yang baru, terlebih ia dapat
melanjutkan studi dengan jurusan yang diinginkan yaitu Ilmu Komunikasi,
sehingga hal inilah yang dapat mendekatkan dan memudahkan Tami dalam
mewujudkan cita-citanya menjadi seorang jurnalis.
4 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113.
61
Dipilihnya kampus Untirta oleh Tami dikarenakan Untirta memiliki
passing grade yang lebih rendah yang sekiranya dapat dijangkau ketika ia
melakukan test SNMPTN. Sebelumnya Tami sama sekali tidak mempunyai
gambaran tentang situasi dan kondisi Kampus Untirta maupun Serang,
tetapi karena faktor cita-citanya menjadi jurnalis itu yang membuatnya
menjadi nekat melakukan perantauan. Hal ini menjelaskan jika Tami
mempunyai tujuan ataupun “motif untuk” dalam melakukan perantauan
karena Tami melihat dirinya di masa depan.
“Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen
kuliahnya kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang
paling rendahnya nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue
lah. Gue taro dah tuh pilihan ketiganya di untirta sebenernya gue
gatau nih untirta itu di mana, gue cuma taunya di Banten doang tapi
lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena jurusan komunikasi itu yang
bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis.”5
Keinginan Tami menjadi jurnalis ini dilatarbelakangi atau “motif
sebab” dari masa kecilnya yang sempat menonton berita tentang wartawan
yang sedang meliput perang lalu dijadikan tawanan karena dikira penyusup.
Hal ini membuat Tami tertarik menjadi jurnalis, ia membayangkan jika
suatu saat ia akan melaporkan berita dari daerah konflik dengan latar
belakang situasi baku tembak ataupun kerusuhan.
“Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah
nonton berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah
dijadiin tawanan karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja
bisa ngeliput terus ngelaporin dari daerah konflik pas live report
terus dibelakang gue lagi ada baku tembak atau kerusuhan
hahaha.”6
5 Ibid. Hal 112-113. 6 Ibid. Hal 113.
62
Sama seperti Tami, key informan kedua, Risda. Anak dari seorang
guru ini merasa senang ketika mengetahui akan merantau jauh dari
kampung halaman, terutama ke pulau Jawa yang dianggapnya memiliki
pendidikan yang lebih baik dari pada pulau Sumatera. Hal inilah yang
menjadi “motif sebab” yang mendorong Risda melakukan perantauan.
“Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau
merantau keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih
seneng pastinya waktu tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama
kayak sekelas sama UI lah, UI, UNPAD yang di Jawa-Jawa yang
bagus-bagus kedengerannya gitu.”7
Merantaunya Risda ke Serang didukung oleh sang ibu dimana
ibunya yang merupakan seorang guru merasa pendidikan di Pulau Jawa jauh
lebih memadai dan bergengsi dari pada Pulau Sumatera, oleh karena itu
ibunya meminta Risda untuk mengikuti test SNMPTN kembali walaupun
Risda saat itu sudah berkuliah di Medan. Dipilihnya Untirta sebagai kampus
tujuan juga dikarenakan saran dari ibu Risda yang sebelumnya mengetahui
tentang Kampus Untirta dari mantan muridnya yang berkuliah di Untirta.
Dalam hal ini, Risda memiliki “motif untuk” melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
“Kuliah, buat kuliah. Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya
murid, nah muridnya tuh udah kuliah duluan di Untirta terus
kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku karena kuliah di Jawa
itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera. Sebelumnya
pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena dibilang
Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh
nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.”8
7 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118. 8 Ibid. Hal 117.
63
Sedangkan key informan ketiga yang bernama Rienny mengaku
sempat merasa sedih sebelumnya ketika mengetahui akan berkuliah di
UNTIRTA karena ia tidak diterima di Universitas pilihan pertamanya,
namun kesedihan tersebut dialihkan oleh Rienny dimana ia percaya akan
mendapat seseuatu hal yang berarti di Untirta seperi teman, pengalaman dan
suasana baru. Selain itu Rienny juga ingin sekali merasakan hal yang
sebelumnya dirasakan oleh kakak laki-lakinya yang sudah merantau terlebih
dahulu ke Bandung, hal inilah yang menjadi faktor penyebab Rienny
melakukan perantauan.
“Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima,
kak. Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen
baru, pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak
abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja.”9
Individu melakukan suatu tindakan disebabkan oleh motif-motif
tertentu yang dimana memiliki tujuan dan sebabnya tersendiri. Sama halnya
dengan Informan 3 yaitu Rienny yang melakukan perantauan dikarenakan
memiliki tujuan untuk berkuliah. Hal tersebut didasari oleh pandangan
Rienny yang melihat peluang dalam mencari kerja di masa depan karena
pendidikan tinggi merupakan suatu modal untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik, selain itu dipilihnya jurusan Teknik Industri juga karena
menurut Rienny, jurusan inilah yang lebih banyak memiliki peluang
pekerjaan dari pada jurusan lainnya.
9 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124.
64
Sayangnya, di kampung halaman Rienny yaitu Bengkulu tidak
memiliki fasilitas pendidikan yang diinginkan oleh Rienny sehingga ia
memilih Kampus Untirta sebagai tempat untuk menempuh pendidikan
karena didasari oleh beberapa hal yaitu, Untirta merupakan Universitas
Negeri, memiliki jurusan Teknik Industri yang berkareditasi B dan memiliki
passing grade yang lebih rendah sehingga dapat dijangkau oleh Rienny
ketika mengikuti test SNMPTN.
“Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe. Waktu milih sih
sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang dipengenin
banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima walaupun
mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya.
Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum
terlalu terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih.
Pokoknya jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik
awalnya, di Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus
nyari-nyari, sebenarnya mau di ITS awalnya, cuma karena waktu
tes juga nyari kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta,
lagian Untirta TInya udah B juga, lumayan kak. Milih teknik
industri juga karena ngeliat peluang kerja nantinya. Jadi yah nekat
aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi.10
Sama seperti Rienny, Aslam sebagai key informan 4 pada awalnya
merasa sedih dan minder karena saat itu ia belum diterima di Universitas
manapun terlebih lagi sebelumnya ia sudah mengikut SNMPTN Undangan
dan SIMAK UI yang berujung kegagalan, tetapi ketika mengetahui dirinya
diterima di Untirta, Aslam merasa senang karena setidaknya hal itu dapat
membuat ibunya tidak lagi khawatir.
“Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di mana-
mana, kan pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga
10 Ibid. Hal 123-124.
65
ditolak. Jadi pas tau bahwa saya keterima di Untirta seneng karena
ya udah lah nyokap udah lega saya udah keterima. Dulu belum
pernah mikir bahwa Untirta gimana-gimana, seneng aja. Terus
H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang.”11
Selain itu Aslam merasa senang karena ia menganggap kota Cilegon
menurutnya jauh lebih maju dari kampung halamannya yang notabene
masih kental dengan perdesaannya. Bahkan mini market yang dapat dengan
mudah kita jumpai di Cilegon, belum tersedia di daerah tempat tinggalnya
yang tidak jauh dari pantai itu.
“Karena rumah saya itu di desa yah, bahkan sampai sekarang pun
belum ada Alfamart atau Indomaret. Bayangannya yah seneng aja
gitu bisa kuliah di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan
kota gitu kan.”12
Aslam juga memiliki tujuan yang sama dengan informan lainnya
yaitu ia melakukan perantauan dikarenakan ingin melanjutkan studinya ke
jenjang yang lebih tinggi. Sebelumnya Aslam menjadikan salah satu
Universitas di Surabaya untuk pilihan pertama pada test SNMPTN dan
Untirta di pilihan kedua, namun karena tidak diterima di pilihan pertama,
otomatis Aslam melanjutkan kuliah di Untirta dengan jurusan Teknik
Industri.
Pada awalnya Aslam ingin sekali melanjutkan studi dengan jurusan
Arsitektur di Universitas Gunadarma, namun karena tidak mendapat izin
orang tua maka Aslam mencari alternatif jurusan lain. Aslam mengambil
jurusan Teknik Industri Untirta dikarenakan akreditasinya yang sudah baik,
11 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. 12 Ibid. Hal 129.
66
selain itu juga ia melihat kekurangan dalam dirinya yaitu ia memiliki
kelemahan dalam perhitungan. Aslam juga memiliki pandangan bahwa
teknik industri memiliki cakupan yang luas dalam pekerjaan, ia ingin sekali
bekerja di bagian pemasaran suatu perusahaan. Faktor lain yang
menyebabkan Aslam melakukan perantauan karena di lingkungan
keluarganya belum ada yang mengambil jurusan teknik, namun lebih
banyak di bidang kesehatan. Selain itu, Aslam terbiasa hidup mandiri sejak
SMA dan menurutnya faktor adat juga turut mempengaruhi dirinya yang
dimana anak laki-laki diharuskan merantau menurut adat Lampung.
“Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini.
Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan
pertamanya itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima,
keterimanya di pilihan keduanya industri untirta. Sebenernya waktu
dulu mau masuk arsitektur di Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi
cari alternatif lain dan kenapa ambil Teknik Industri Untirta karena
akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena ngeliat kekurangan gua
juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan, jadi ya TI jadi
alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian pemasaran
perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam
pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik
dan lebih banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan
juga karena udah biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih.
Kalau adat Lampung, laki-laki orang Lampung itu diharuskan
merantau. Gitu.”13
Sedangkan key informan 5 yaitu Ferdi yang walaupun tidak
mengetahui situasi dan kondisi kampus perantauannya, ia tetap memiliki
keinginan yang besar untuk berkuliah di pulau Jawa dan mengambil jurusan
Ilmu Komunikasi karena menganggap bahwa Universitas di Pulau Jawa
13 Ibid. Hal 128-129.
67
jauh lebih baik daripada di pulau Sumatera, namun hal ini dimentahkan oleh
kenyataan yang menurut Ferdi ketika datang ke Untirta dimana jika
dibandingkan dengan Universitas Riau yang jauh lebih besar, Untirta kalah
telak.
“Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama
kali pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan
nggak tau kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih
kirain Universitas di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata
sampai di sini..kalau dibandingin sih sama Universitas Riau di
Pekanbaru jauh lebih besar, kalau kayak gini itungannya TK
doang.”14
Ketika ditanya apakah Ferdi setidaknya memiliki bayangan hal-hal
kesenangan yang akan didapatkan di Untirta saat pertama kali datang pun ia
menjawab tidak terbayang apa-apa sama sekali, karena image yang buruk
saat pertama kali ia datang. Hal ini membuat Ferdi merasa kaget dan aneh
karena diluar harapannya yang menganggap semua Universitas di Pulau
Jawa lebih baik daripada di Sumatera.
“Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej
pertama masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi.”15
Sama dengan informan lainnya, Ferdi juga memiliki tujuan untuk
menempuh studi ketika melakukan perantauan. Hal yang mendorong Ferdi
berani untuk merantau adalah karena jurusan kuliah yang ia idamkan yaitu
Ilmu Komunikasi yang dimana merupakan jurusan kuliah yang dapat
mendekatkan Ferdi dengan cita-citanya yaitu bekerja di sebuah stasiun
televisi.
14 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134. 15 Ibid. Hal 134.
68
Selain itu, Ferdi juga sangat ingin berkuliah di Pulau Jawa karena
menurutnya Pulau Jawa memiliki pendidikan yang lebih baik daripada
Pulau Sumatera. Anggapan tersebut merupakan faktor terbesar Ferdi
melakukan perantauan. Walaupun Ferdi tidak tahu sama sekali tentang
keadaan Untirta sebelumnya dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari
internet, ia tetap melakukan perantauan dan melanjutkan studinya karena
faktor tersebut.
“Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau
Untirta di mana juga sebelumnya. Milih Untirta juga karena asal
pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan ngambil jurusan ikom.
Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah ikom karena
pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang menjurus
ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya
tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto
gedung B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom
dan di Jawa karena Jawa kayanya lebih keren.16
Dari hasil pembahasan di atas dapat dilihat bahwa Tami, Risda,
Rienny dan Aslam merasa senang ketika mengetahui akan melakukan
perantauan karena akan memiliki pengalaman, teman juga suasana baru.
Walaupun Rienny dan Aslam sempat merasa sedih dan minder sebelumnya
karena tidak diterima di Universitas pilihan utamanya. Sedangkan Ferdi
memiliki perasaan yang berbeda dari yang lain yaitu ia sudah merasa
kecewa di tahap awal karena sebelumnya Ferdi memiliki ekspektasi yang
tinggi, terutama karena daerah asalnya yaitu Pekanbaru dapat dibilang
sebagai daerah perkotaan yang lebih maju dari pada Serang. Hal ini jauh
berbeda dengan Aslam yang datang dari daerah perdesaan yang masih sepi,
16 Ibid. Hal 133-134.
69
sehingga ia merasa senang melakukan perantauan ke Cilegon karena sudah
jauh lebih maju dibandingkan kampung halamannya. Harapan,
kegembiraan, optimisme dan euforia seseorang ketika akan melakukan
perantauan ini dapat termasuk ke dalam fase kegembiraan dalam gegar
budaya karena sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya baru.
Hal ini berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung
pada seberapa cepat seseorang menghadapinya dan melakukan komunikasi
dengan budaya baru.
Menurut Kevinzky (2011:7), perantau memiliki sejumlah ekspektasi
yang membuat mereka mau mencoba untuk menjalani aktivitas di wilayah
yang baru. Ekspektasi tersebut bisa dikategorikan dalam beberapa aspek
antara lain:17 (a) Aspek Hiburan yang meliputi keinginan informan untuk
rekreasi dan keunikan khas daerah lain. (b) Aspek Sosial yang meliputi
keinginan informan menambah teman dan memperluas pergaulan. (c)
Aspek Tanggung Jawab yang merupakan aspek yang dimiliki informan
untuk bersikap mandiri karena tanggung jawabnya sebagai mahasiswa dan
karena sudah dewasa. (d) Aspek Masa Lalu yang merupakan aspek
pengalaman masa lalu yang tidak begitu baik semasa sekolah dan berharap
dengan kuliah di perantauan akan memiliki pengalaman yang lebih baik.18
Aspek-aspek inilah yang membuat kelima key informan memiliki
ekspektasinya tersendiri ketika akan melakukan perantauan.
17 Muhammad Haiqal Kevinzky. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture
Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD
Bandung). Depok: FISIP UI. 2011. BAB IV Hal 7.
70
Selain itu, dari hasil pembahasan di atas ditemukan bahwa kelima
key informan pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama dalam
melakukan perantauan yaitu untuk menempuh studi.. Namun, salah satu key
informan yaitu Aslam selain memiliki faktor untuk menempuh studi, ia juga
memiliki faktor pendorong lain yaitu adat dimana menurutnya jika seorang
anak laki-laki asal Lampung diharuskan untuk melakukan perantauan saat
dewasa.
Kelima key informan sebelum melakukan perantauan sama sekali
tidak memiliki gambaran tentang Kampus Untirta ataupun daerah
perantauannya, sebagian besar key informan hanya mendapatkan informasi
sedikit dari internet, namun salah satu key informan yaitu Risda
mendapatkan informasi lebih tentang Untirta dari mantan murid ibunya
yang juga menempuh studi di Untirta.
Salah satu faktor pendorong Tami, Rienny, Aslam dan Ferdi
melakukan perantauan yaitu dikarenakan jurusan kuliah yang diidamkan
dan juga cita-cita mereka yang sekiranya dapat diwujudkan dengan
mengambil jurusan kuliah tersebut, sedangkan faktor pendorong Risda
melakukan perantauan dikarenakan anggapannya tentang pendidikan di
Pulau Jawa yang jauh lebih baik dan bergengsi dari Pulau Sumatera, hal
tersebut juga sama dengan anggapan Ferdi.
Faktor-faktor pendorong tersebut juga dipertegas oleh informan
pendukung yaitu Prof. Sihab yang dimana menurutnya ada beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan. Pertama, faktor
71
pendidikan dapat mendorong seseorang mempunyai motivasi yang tinggi
untuk belajar, hal ini juga bisa mendorong seseorang untuk menggapai cita-
citanya. Kelima key informan memiliki motif untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi, hal ini sesuai dengan faktor pendorong pendidikan. Motif
melanjutkan studi ini juga menjadikan dasar key informan memasuki fase
kegembiraan dimana mereka mendapatkan Universitas negeri. Kedua,
faktor ekonomi dimana seseorang melakukan perantauan yang disebabkan
karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal juga dipengaruhi
anggapan masyarakat bahwa jika di daerah lain misalnya ibukota Jakarta
lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam penelitian ini, kelima
key informan belum memperlihatkan motif ekonomi dalam melakukan
perantauan, walaupun salah satu keinginan seseorang memasuki perguruan
tinggi negeri dikarenakan biaya pendidikan yang relatif lebih murah
dibandingkan perguruan tinggi swasta. Asumsi ini besar kemungkinan
mendorong mereka memiliki faktor ekonomi. Ketiga, faktor budaya dimana
suatu daerah memiliki filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit
dijunjung” yang berarti setiap individu sebaiknya selalu mengikuti
kebiasaan dan adat istiadat di tempat ia berada. Hal tersebut merupakan
nilai-nilai leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalkan saja
suku Batak dan Minang yang terkenal dengan jiwa perantaunya. Salah satu
key informan memiliki faktor budaya dalam melakukan perantauan karena
menurutnya pemikiran tersebut sudah menjadi warisan dan harus
dilaksanakan. Faktor keempat yaitu faktor perkawinan, misalnya seorang
72
wanita Sumatera menikah dengan pria Jawa, hal ini membuat wanita
tersebut mengikuti suaminya untuk tinggal di Jawa ataupun sebaliknya dan
terakhir adalah faktor tugas dimana seseorang ditugaskan untuk merantau
oleh atasan terkait pekerjaannya. Kedua faktor terakhir belum diperlihatkan
oleh kelima key informan dikarenakan mereka belum menikah dan juga
bekerja.
“Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti mau nggak mau
kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin itu
salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin nambah
penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari
tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Katanya kalau
dari Sumatera baik Minang maupun Batak memang ada jiwa
perantau yang dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di
sana langit dijunjung”, ada nilai-nilai yang diwariskan oleh
leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat penghasilan lebih, dia kan
harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar, pendidikan. Karena kawin
juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa kan wanitanya bisa
pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa.19
4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA
Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan
konsep yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi.
Dengan bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka
dapat saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan
berbagai macam hubungan dengan orang lain.
Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat
pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan
orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
19 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.
73
semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan
akal sehat. Maka tujuan utama analisis fenomenologis adalah
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang
mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam
arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia
yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan
melakukan interaksi.
Dalam penelitian ini, pemahaman baru yang tercipta ketika
seseorang sedang melakukan perantauan terbentuk dari interaksi atau
hubungan yang dilakukan dengan orang lain. Ketika seseorang berusaha
melakukan penyesuaian dikarekana adanya perbedaan-perbedaan antara
kampung halaman dan kota perantauan.
Key informan 1 yaitu Tami mengungkapkan ada beberapa hal yang
berbeda antara Serang dan Pematang Siantar dimana terdapat perbedaan
bahasa, adat, kebiasaan, dan juga makanan. Pada awal datang ia belum
terbiasa dengan makanan-makanan di Serang yang menurutnya banyak
yang diolah dengan cara digoreng, sementara Tami terbiasa makan makanan
yang pedas dan bersantan. Dalam hal bahasa pun ia harus menghilangkan
logat khas daerahnya dari yang campuran Melayu dan Batak menjadi lebih
Sunda.
“Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus
kalau misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus
yang bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda
banyaknya kayak yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan
kan terus cara berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak
74
banget terus agak ke melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini
harus menyesuaikan agak kesunda-sundaan.”20
Pada awal merantau, Tami mempunyai ketakutan maupun
kecemasan yang tinggi ketika ingin berkomunikasi dengan mahasiswa non
Sumatera dikarenakan ia memiliki logat Medan yang sangat kental dan
khas.
“Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong
gue takut soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang
Medan nih ketauan banget kan.”21
Walaupun masih dalam satu negara yang sama, setiap daerah di
Indonesia memiliki cara berkomunikasi yang berbeda sehingga hal ini
menjadi kendala buat Tami, sedangkan budaya yang berbeda tidak terlalu
menjadi kendala baginya.
“Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo
budaya sih beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga
terlalu jadi hambatan gitu ga jadi kesulitan paling cuma di
komunikasi aja sih.”22
Tami sempat mengalami miskomunikasi atau kesalah pahaman
ketika berbicara dengan mahasiswa non Sumatera, oleh karena itu Tami
tidak malu untuk bertanya ke teman-temannya jika ada kata ataupun kalimat
yang tidak ia mengerti.
“Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu
artinya apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo
miskomunikasi pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering
aja ada aja waktu awal-awal tuh pada ngomong kan, dia
20 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113. 21 Ibid. Hal 114. 22 Ibid. Hal 114.
75
nyampeinnya apa gue nangkepnya apa. Pokonya ada lah waktu
awal-awal banyak yang beda aja.”23
Tami mengaku bahwa ia sering dilanda rindu orang tua dan
kampung halaman, namun bukan diakibatkan oleh hal-hal yang dibenci atau
dirasa tidak cocok di perantauan. Tetapi ketika melihat teman-temannya
pulang ke rumah masing-masing saat akhir pekan, hal ini yang biasanya
membuat Tami ingin pulang. Tami merasa bahwa orang-orang di
perantauan sangat ramah kepadanya dan tidak membeda-bedakan walaupun
ia seorang pendatang, bahkan tak jarang Tami sering diajak untuk menginap
di rumah temannya. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan karena
Tami tergolong wanita yang berjiwa petualang tinggi sehingga ia terlihat
lebih santai dalam menghadapi hal-hal yang baru dan berbeda sekalipun,
sehingga lebih mudah beradaptasi.
“Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan
sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang
nih, ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan
pada balik tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang
Serangnya tuh kayak yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue
aja. Mau ke mana hayu gue temenin. Kalau misalnya gue mau balik
ke Medan bukan karena alesan-alesan yang gue nggak betah di
Serang karena lingkungannya, cuma kangen aja.24”
Sedangkan Risda sebagai key informan 2 mempunyai berbagai
macam kekecewaan selama tinggal di Serang yaitu karena kampusnya jauh
lebih kecil dari yang ia harapkan bahkan dari kampus sebelumnya di Medan.
Selain itu ketika Risda pertama kali datang pada tahun 2011, lingkungan di
23 Ibid. Hal 114. 24 Ibid. Hal 114.
76
sekitar kampus pun dianggapnya masih terlihat sepi. Selain itu Risda juga
mengeluhkan tentang makanan yang menurutnya terlalu banyak
mengandung MSG dan sempat membuat fisiknya lemah dan sakit
dikarenakan tubuhnya masih merasa kaget dan belum terbiasa dengan
makanan tersebut. Terbiasa tinggal di kampung halaman yang dekat dengan
area pegunungan juga membuat Risda merasa tidak nyaman tinggal di
Serang dikarenakan kondisi air yang keruh yang membuat kulitnya menjadi
lebih gelap. Banyaknya hal-hal yang dikeluhkan Risda kemungkinan besar
karena ia belum pernah hidup mandiri sehingga lebih selektif dengan hal-
hal baru.
“Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget
kan, lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan
juga kan sama mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok
kampusnya begini jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di
kampung?”. Biasanya namanya kampus pasti kan di kota kan di
kota-kota besar. Pas baru-baru masuk yah rada sedikit kecewa sih
sebenernya, kecewa lah.Yah makanan juga pertama-pertama di sini
sempet sakit, sakit perut gitu kan. Penyesuaian makanan pertama
kali tuh mungkin karena beda kali yah. Di Medan makananya pedes
pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecin-
mecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus
yah sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitu-
gitu karena pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini
cuma yah ke sini-sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa
sih. Terus airnya juga yang bikin kurang nyaman itu air. Keruh gitu
kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari pegunungan
itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan airnya
bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.”25
Selain itu, Risda juga tidak terlalu menyukai kehidupan sosial di kampus
yang menurutnya terlalu membeda-bedakan dan membuat kelompok-
25 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118.
77
kelompok tertentu, seperti misalnya orang-orang Serang yang hanya
bergaul dengan orang-orang Serang lainnya.
“Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok
yang orang sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu
membeda-bedakan orang itu paling.”26
Sedangkan interaksi yang dilakukan oleh Risda saat pertama kali
merantau kurang lebih sama seperti Tami, karena mereka berasal dari
Sumatera Utara maka mereka memiliki logat yang kental dan khas sendiri.
Ketika Risda berbicara pun, mahasiswa non Sumatera menganggapnya
terlalu kencang dan seperti orang yang sedang marah, padahal menurut
Risda cara ia berbicara sudah sewajar mungkin.
“Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak
kelas pada ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak
marah, oh orang Batak pada begitu yah”. Padahal itu ngomong
biasa cuma nanya “eh namamu siapa?”, mungkin kedengerannya
kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu. Jadi ngerasanya mereka kan
“oh ini orang marah-marah sambil ngomong” kayak gitu.”27
Risda juga sering melakukan miskomunikasi tanpa disadari saat
berinteraksi dengan mahasiswa lain, misalnya saja tercetus bahasa-bahasa
dari daerah asalnya seperti “mentel” yang orang Serang lebih mengenalnya
dengan arti “centil”.
“Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya
kurang ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di
rumah. Merekanya suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang
mereka ngerti, misalnya kayak “mentel” gitu. Itu kan mentel (centil)
mereka nggak tau tuh yah.”28
26 Ibid. Hal 119. 27 Ibid. Hal 119. 28 Ibid. Hal 119-120.
78
Karena adanya perbedaan makna inilah yang membuat Risda sempat
merasa minder. Di kelasnya ada satu orang Tangerang yang juga bersuku
Batak, namun menurut Risda hal itu tetap saja berbeda dengan dirinya
karena ia sama sekali belum pernah tinggal di luar Sumatera sehingga gaya
bahasa dan bicaranya masih kental dan jauh berbeda dari teman-teman
kelasnya. Uniknya, seiring berjalannya waktu, teman-teman non Sumatera
di kelas Risda merasa tertarik dengan cara berbicara Risda dan ingin
mengetahui lebih dalam tentang budaya Batak.
“Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2
orang tapi yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah
lahir di Tangerang kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama
anak-anaknya, kalau misalnya aku kan masih beda gitu jadi
pertama-tama sempet mikir ah rada susah kali berteman, cuma ke
sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu sama cara ngomong
jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak.”29
Informan ketiga yaitu Rienny menganggap Serang dan Bengkulu
tidak terlalu beda, juga pada dasarnya ia lebih bersikap santai dengan
keadaan di tempat perantauan namun ada beberapa hal yang berbeda,
misalnya dalam hal tempat ibadah. Sebagai penganut Kristen Protestan,
Rienny sangat menyayangkan tidak adanya Gereja di daerah Cilegon
sehingga ia harus pergi ke Serang untuk melakukan ibadah yang dimana
dibutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam. Selain itu, keramaian di
pusat Kota seperti Mall dan pertokoan menurutnya lebih cepat tutup
dibandingkan di tempat tinggalnya yaitu Bengkulu.
29 Ibid. Hal 120.
79
“Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi
kemudahan buat gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada
gereja, nggak tau kenapa yah dari dulu sampai sekarang. Terus
Cilegon itu cepet banget tutup pusat kota jam 8 jam 9 udah tutup
jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu mah yah jam 10
masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame tapi di
sini udah tutup jam 9, cepet banget.”30
Rienny juga sering dilanda rindu dan ingin pulang ke Bengkulu
dikarenakan ia tidak memiliki sanak saudara di Cilegon. Ketika musim
liburan tiba dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing, Rienny
merasa sangat kesepian terlebih dia tidak pernah merayakan Natal di
kampung halaman selama 4 tahun terakhir ini.
“Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada
siapa-siapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang.
Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus
kalau kayak sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah
jadinya hampir 4 tahun terakhir.”31
Ketika ditanya apa hal yang tidak disukai tentang Cilegon, Rienny
menjawab dengan sigap yaitu cuaca Cilegon yang jauh lebih panas dan
berdebu, selain itu orang-orang Cilegon yang menurutnya bersikap lebih
individual, tidak peduli dengan orang lain sehingga tidak saling respect dan
kurang taat aturan. Hal ini yang membuat Rienny merasa lebih nyaman
tinggal di Bengkulu.
“Cilegon panas, banyak debu. Mungkin karena saya besar di
Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada di sini. Kalau di Jawa
itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda, individualnya
susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja sama
orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga
30 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124. 31 Ibid. Hal 125.
80
kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan orang sini
juga kurang taat aturan.”32
Lain halnya dengan Tami dan Risda, dalam berinteraksi selama di
perantauan, key informan 3 yaitu Rienny tidak terlalu butuh usaha yang
keras untuk menyesuaikan diri karena pada dasarnya di Bengkulu tidak
menggunakan logat yang kental maupun khas seperti di Sumatera Utara.
Selain itu Rienny hanya membiasakan diri menggunakan kata ganti “gue-
lo” karena “saya-kamu” dianggap terlalu formal oleh teman-temannya.
“Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara
ngomong yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan,
saya kamu-saya kamu tapi karena emang menurut mereka saya
kamu itu terlalu formal jadi diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah
apa adanya aja.”33
Ketika ditanya apakah Rienny memiliki kesulitan dalam berinteraksi
dengan mahasiswa lain, ia tidak merasa ada kesulitan karena mayoritas
teman satu angkatannya di Teknik Industri juga berasal dari luar daerah
Serang dan Cilegon, walaupun hanya dari Tangerang, Bekasi dan sekitarnya
tapi karena sama-sama pendatang itulah yang membuat mereka menjadi
berbaur.
“Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak
yang dari luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi,
Tangerang jadi kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin
soalnya orang Cilegon Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan
kita, jadi sama-sama pendatang yah sama-sama berbaur aja.”34
Rienny juga sempat mengalami miskomunikasi saat berinteraksi
dengan teman-temannya, misalnya saja ada beberapa kata yang sehari-hari
32 Ibid. Hal 125. 33 Ibid. Hal 125-126. 34 Ibid. Hal 126.
81
yang biasa diucap oleh Rienny sebelumnya, tapi ternyata jika di Cilegon
kata-kata itu dianggap terlalu formal dan jarang sekali diucapkan,
contohnya seperti “pena” dan “pipet” yang terkesan terlalu baku di kalangan
teman-temannya, sehingga ia menyesuaikan dengan menggantinya menjadi
“pulpen” dan “sedotan”.
“Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya
pulpen. Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa
nggak pulpen. Terus sedotan, saya bilangnya pipet karena di
Bengkulu ngomongnya pipet. Itu sih paling ada beberapa kata
doang.”35
Selebihnya dia berinteraksi dengan apa adanya saja. Mahasiswa non
Sumatera tidak pernah bersikap rasis kepada Rienny, namun sempat merasa
kaget dan heran karena Rienny berasal dari Bengkulu yang dianggap terlalu
jauh dari Cilegon.
“Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini,
ngapain lo?” gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih
nggak, biasa aja.”36
Hal itu juga sempat membuat Rienny merasa minder karena
kebanyakan teman-temannya berasal dari Provinsi Banten tapi seiring
berjalannya waktu semua menjadi terbiasa.
“Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari
Jawa, saya dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja”37
35 Ibid. Hal 126. 36 Ibid. Hal 126. 37 Ibid. Hal 126.
82
Sedangkan Aslam sebagai key informan 4 yang sebelumnya pernah
hidup mandiri dengan tinggal kost-kost-an saat SMA, membuat dirinya
tidak terlalu kaget untuk hidup sendiri. Dalam hal cuaca, Aslam mengamini
pendapat Rienny yang mengatakan bahwa cuaca di Cilegon jauh lebih
panas, bahkan rumah Aslam yang dekat dengan pantai pun tidak sepanas
itu.
“Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya
kan deket pantai tapi nggak panas. Hal yang nggak cocok sih
alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah nge-kost.”38
Aslam juga menjelaskan ada hal yang tidak disukai dengan
kehidupan sosial di kampusnya, ia mengatakan bahwa orang-orang di
Cilegon terkesan kurang sopan, individual dan tidak ramah. Nada
berbicaranya pun menurut Aslam terlalu tinggi dan kasar. Berbeda dengan
orang Lampung yang walaupun memiliki watak keras tetapi masih terkesan
sopan bahkan dengan orang yang tidak dikenal sekalipun. Menurut Aslam,
hal ini mungkin disebabkan karena di Lampung ia lebih banyak mengenal
orang-orang sehingga adanya kebersamaan daripada di Cilegon.
“Tapi di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh
walaupun keras tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun
masih sopan, tapi kalau di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat
gitu kayak sedikit nggak sopan menurut saya. Kurang ramah lah,
agak sedikit keras. Nadanya juga kalau ngomong terlalu tinggi,
nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung banyak kenal
yah jadi kebersamaannya ada. Kalau di Cilegon engga begitu.39
38 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. 39 Ibid. Hal 130.
83
Sama halnya dengan key informan lain, Aslam selama di perantauan
juga mendapatkan pemahaman-pemahaman baru ketika berinteraksi dengan
mahasiswa non Sumatera. Walaupun Lampung tidak terlalu jauh dari
Cilegon tetapi ada beberapa hal yang berbeda terutama bahasa. Aslam
sering mempunyai kesalahpahaman dengan temannya dikarenakan
perbedaan makna tersebut.
“Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadang-
kadang dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu
nggak sama karena beda nangkepnya. Bahasanya juga ada
beberapa yang beda.”40
Sikap mahasiswa non Sumatera terhadap Aslam bermacam-macam,
ada yang senang karena ketika mengenal Aslam berarti ia memiliki teman
dari daerah yang jauh yaitu Lampung sehingga suatu hari bisa berkunjung.
Selain itu ada juga yang menganggap Aslam aneh karena adanya perbedaan
budaya di antara mereka.
“Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh
di Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang
bilang juga sedikit aneh freak gitu kan karena kita kan beda budaya
yah.”41
Hal itu membuat Aslam merasa minder, apalagi Aslam berasal dari
perdesaan dimana banyak hal-hal yang sebelumnya tidak ada di sana tetapi
ada di Cilegon, terlebih lagi melihat banyak temannya yang berasal dari
kota-kota yang lebih maju seperti Jakarta dan Tangerang, oleh karena itu
pada awalnya Aslam takut untuk pergi ke tempat-tempat yang baru,
40 Ibid. Hal 130. 41 Ibid. Hal 130.
84
contohnya saja ke tempat makan siap saji yang belum ada di kampung
halamannya karena ia tidak tau tata cara pembayarannya.
Sedangkan Ferdi yang tergolong cukup banyak merasa kecewa
ketika merantau karena banyaknya perbedaan yang terjadi. Ferdi merasa
jika pola pikir orang-orang Jawa lebih individualis dan jiwa sosialisnya
kurang atau lebih mempedulikan kepentingan masing-masing. Menurut
Ferdi, kalau di Pekanbaru, jika ada orang yang jatuh maka orang di
sekitarnya akan peka dan membantu.
“Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak
misalnya udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus
masih berpikir sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat
orang yang jatuh aja kayaknya peka banget teru bantuin. Itu sih
bedanya.”42
Selain itu bahasa yang berbeda juga menjadi kendala bagi Ferdi,
dialek daerah asal yang sudah melekat di dirinya mau tak mau harus
dihilangkan dan mengikuti dialek dan bahasa di perantauan yang mayoritas
menggunakan bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng). Makanan juga salah
satu yang menjadi masalah bagi Ferdi karena menurutnya makanan yang
ada di Serang teras hambar di lidahnya tidak seperti di daerah asalnya yang
kaya akan bumbu, contohnya saja ia pernah mencicipi sayur asam yang
menurutnya memiliki rasa yang terlalu hambar dan tidak cocok di lidah
karena Ferdi terbiasa dengan makanan di Sumatera yang didominasi oleh
makanan pedas, hal ini membuat Ferdi harus menambahkan sambal dan
garam di makanannya.
42 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134.
85
“Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga,
pada mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit
banyaknya jadi belajar. Terus makanan juga wah beda banget,
kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu hambar
banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh
kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini
hambar, harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja.
Mau makan kayak gimana juga tetep nggak puas.”43
Ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, Ferdi
mengaku kesulitan karena ia sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda
ataupun Jaseng (Jawa-Serang) sehingga ketika teman-temannya sedang
kumpul dan mengobrol, Ferdi sendiri yang tidak mengerti dan terkadang
merasa diabaikan.
“Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu.
Misalnya kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa
mereka masing-masing terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri
terus mereka yang ngerti sendiri, ngerasa kayak dicuekin.”44
Selain itu, menurut Ferdi tanggapan orang-orang Jawa yang ia temui
dan berinteraksi dengannya selalu bisa menebak terlebih dahulu jika Ferdi
bukan orang Jawa karena logat dan cara berbicaranya yang berbeda. Namun
sejauh ini Ferdi merasa semua tanggapan dari mahasiswa non Sumatera
lebih banyak positif, walaupun ada hal seperti intonasi Ferdi saat berbicara
masih dianggap seperti orang yang sedang marah-marah.
“Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu
sama orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong
tuh kayak “lo bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau
logat gue beda, cara ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue
tuh orang yang beda. Tapi yah kebanyakan sih respon mereka sama
gue itu positif. Nggak terlalu negatif. Paling mereka berpikirnya gue
43 Ibid. Hal 134-135. 44 Ibid. Hal 136.
86
kan orang Sumatera yah, ngomongnya terlalu keras kayak gitu yang
mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya.
Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah.”45
Untungnya Ferdi bukan termasuk orang yang tidak mudah minder.
Saat Ferdi merasa berbeda sendiri dari teman-temannya, ia tetap merasa
percaya diri dan mau belajar tentang lingkungan barunya. Walaupun pada
awalnya Ferdi mengatakan bahwa ia lebih dulu bergaul dengan mahasiswa
Sumatera yang ia kenal dari seniornya, tapi setelah itu ia menyesuaikan diri
untuk bergaul dengan mahasiswa lainnya, terlebih tidak adanya mahasiswa
yang berasal dari Pekanbaru.
“Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep
percaya diri aja. Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada
senior ngenalin gue sama orang Medan juga jadi gue nyambung
sama orang Medan. Setelah itu baru menyesuaikan mulai dapet
temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga. Kebetulan mahasiswa
dari Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang
yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai
2015 nggak ada yang dari Riau.”46
Selama Ferdi menempuh studi di tahun ketiga, ia mengaku bahwa
belum pernah sekalipun pulang ke rumahnya semenjak pertama kali
merantau dikarenakan Ferdi merasakan kecewa berat terhadap situasi di
perantauan yang menurutnya sangat jauh di luar ekspektasinya. Oleh karena
itu Ferdi lebih memilih untuk tidak pulang ke kampung halamannya dengan
alasan untuk menghindari rasa nyaman dan tidak mau kembali ke
perantauan, walaupun ia tidak mengelak jika tetap merasakan rindu.
“Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum
pernah pulang udah hampir 3 tahun. Sebenernya disuruh pulang
45 Ibid. Hal 136. 46 Ibid. Hal 136-137.
87
tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester 1 pas libur itu disuruh
pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya pulang nggak
balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya. Jadi males
pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah.
Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak
gitu mulu. Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja,
kalau bisa sampai sukses dulu baru balik.”47
Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan mengakui jika
terdapat perbedaan-perbedaan antara kota perantauan dan daerah asal
seperti bahasa, budaya, cuaca, makanan dan kehidupan sosial yang sempat
membuat mereka kecewa. Namun reaksi kelima key informan berbeda-
berbeda dalam mengahadapinya. Tami yang mengeluhkan sulitnya
berinteraksi dengan perbedaan bahasa maupun dialek, namun tetap mau
bergaul dengan mahasiswa non Sumatera, bahkan ia menganggap bahwa
orang Serang di sekitarnya sangat ramah. Hal ini mungkin disebabkan
karena sikap Tami yang lebih open minded atau terbuka pikirannya terhadap
perbedaan dan memiliki jiwa berpetualang sehingga hidup mandiri bukan
menjadi masalah baginya. Hal tersebut berbeda dengan keempat key
informan lainnya yang menganggap bahwa mahasiswa non Sumatera dan
orang-orang di sekitar terkesan individual, mengkotak-kotakan pergaulan,
berwatak keras, tidak sopan dan sebagainya.
Selain itu, dalam hal makanan, Tami, Risda dan Ferdi sempat
memiliki kendala dalam menyesuaikannya. Makanan di perantauan
dianggap lebih berminyak, mengandung banyak MSG dan hambar. Risda
sempat merasakan sakit karena tidak terbiasa dengan makanan tersebut,
47 Ibid. Hal 135.
88
sedangkan Ferdi yang sampai saat ini masih harus menambahkan sambal
dan garam pada makanannya dikarenakan memiliki rasa yang terlalu
hambar. Sedangkan Risda, Rienny dan Aslam sempat mengeluhkan
keadaan cuaca di Serang dan Cilegon yang lebih panas dan berdebu
sehingga membuat kulit menjadi lebih gelap. Hal ini termasuk ke dalam fase
kekecewaan yang dimana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan
dan segala sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan
tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan
menjadi tidak kompeten. Ini adalah periode krisis dalam gegar budaya.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi membuat kelima key informan
melakukan interkasi dan penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Key
informan 1 yaitu Tami sudah mulai terbiasa dengan segala situasi dan
kondisi di Serang, terutama dalam hal komunikasi. Ketika pertama datang,
logat daerah asalnya masih kental namun setelah 4 tahun berlalu, Tami
sudah bisa berkomunikasi tanpa logat tersebut. Penulis pun melihat dengan
jelas hal tersebut. Tami termasuk orang yang pintar menyesuaikan diri, dia
menyesuaikan cara berkomunikasinya mengikuti daerah tersebut, ketika ia
pulang ke Medan pun ia akan kembali berlogat Medan.
“Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu, makannya gue
logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di sini gue
nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi pake
logat gue di Medan.”48
48 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 115.
89
Tami tak mengelakan jika ia pernah mempunyai masalah dengan
orang lain saat merantau, namun hal ini dapat diatasinya dengan lebih
bersikap dewasa, tanpa harus membuat terlarut dalam masalah ataupun
menjadikannya lebih rumit dan besar.
“Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let
it flow lah.”49
Sedangkan, ketika penulis melakukan wawancara dengan key
informan 2 yaitu Risda, terkadang masih dapat terdengar logat khas Batak
yang tercetus, namun selebihnya dia sudah dapat menyesuaikan diri dengan
segala hal yang sebelumnya menjadi masalah untuk dirinya. Terutama
ketika makanan sempat menjadi kendala bagi Risda namun sekarang ia
sudah dapat menyesuaikan diri dengan makanan di Serang.
“Iya dulu kan sempet BAB darah yang gitu-gitu karena pertama kali
penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sini-sini
udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih.”50
Selain itu dalam hal berbicara pun Risda sudah bisa menurunkan
intonasinya sehingga menjadi lebih lembut dan tidak dianggap seperti orang
yang sedang marah lagi oleh teman-temannya, walaupun hal itu cukup sulit
karena memang bawaan dari daerah asalnya.
“Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang kayak
gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah
belajar udah bisa lebih lembut lah ngomong.”51
Untuk kehidupan sosial di sekitar yang sebelumnya tidak disukai
oleh Risda karena terbilang lebih membeda-bedakan dan berkelompok pun
49 Ibid. Hal 113. 50 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 117. 51 Ibid. Hal 119.
90
sudah tidak mau diambil pusing olehnya, namun Risda tetap berteman baik
dengan mereka walaupun diakui tidak begitu dekat.
“Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompok-
kelompoknya mereka tapi tetap berteman sama mereka mah
berteman cuma nggak mau ikut geng-gengan kayak gitu.”52
Sama dengan Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny juga
sudah bisa membiasakan dirinya dengan situasi dan kondisi di lingkungan
sekitar. Sikap orang-orang di sekitarnya yang dianggap Rienny tidak terlalu
ramah itu tidak dijadikan masalah lagi, karena dirinya juga tidak dapat
bertindak apa-apa dan hal tersebut di luar jangkauannya.
“Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang
lain itu di luar jangkuan kita, nggak bisa kita ubah kayak apapun.
Yah mereka kayak gitu ya udah.”53
Selain itu, key informan 4 yaitu Aslam juga sependapat dengan
Rienny ketika harus menghadapi kehidupan sosial yang tidak mereka suka,
ia lebih memilih untuk sabar dan tidak terlalu mempermasalahkan, namun
Aslam juga tetap mencari teman yang memiliki satu pemikiran dengannya
sehingga mengurangi perdebatan atau selisih paham.
“Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen
yang sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang
yang kayak gitu yah nyabarin diri aja sih.”54
Sama halnya dengan key informan lain, ketika menghadapi hal-hal
yang tidak disukai selama di perantauan. Key informan 5 yaitu Ferdi
memilih untuk tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya dan
52 Ibid. Hal 119. 53 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 125. 54 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 130.
91
berusaha untuk tidak memikirkan orang yang menurutnya tidak pernah juga
memikirkannya. Sehingga yang pada awalnya Ferdi lebih bersikap sosialis,
terkadang ia juga harus bersikap individualis mengikuti pemikiran orang-
orang di sekitarnya.
“Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang
nggak mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri
kayak gitu. Ketika gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal
berpikiran kayak lo jangan terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin
permainan orang juga.”55
Dari pembahasan di atas, kelima key informan mendapatkan makna
atau pengertian yang baru saat berinteraksi dengan mahasiswa non
Sumatera karena mahasiswa asal Sumatera tidak bisa menggunakan bahasa
daerahnya, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan bahasa di
perantauan. Reaksi mahasiswa Sumatera saat melakukan interaksi pertama
kali dengan mahasiswa non Sumatera berbeda-beda. Tami, Risda, Rienny
dan Aslam sempat merasa minder. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
seperti bahasa, logat, gaya bicara dan latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Sedangkan Ferdi yang walaupun memiliki perbedaan dalam
bahasa, logat, gaya bicara, dan latar belakang kebudayaan yang berbeda,
namun ia tetap percaya diri ketika berinteraksi dengan mahasiswa non
Sumatera.
Interaksi antara mahasiswa Sumatera dan non Sumatera dapat
dikategorikan sebagai komunikasi antarbudaya. Menurut informan
pendukung, jika merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi
55 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 135.
92
antarbudaya terjadi ketika orang berberbeda budaya berkomunikasi, namun
dilihat dari entitasnya terlebih dahulu. Seperti mahasiswa berkomunikasi
dengan Dosen, maka mahasiswa tidak bisa berbicara selayaknya dengan
mahasiswa lainnya. Sederhananya, komunikasi antarbudaya dapat terjadi
kapanpun dan dimanapun, bahkan antara anak dan orang tua sekalipun.
Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi
antarbudaya sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam
pengertian apa dulu, entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda
dengan saya, saya dosen anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan
posisi yah, pekerjaan atau status. Itu juga bisa dikatakan
komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara nanyanya,
nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang
entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi
antarbudaya bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan
orang tua anda juga bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai
komunikasi antarbudaya. Anda bisa praktikan bagaimana anda
berkomunikasi dengan teman anda dan bagaimana anda
berkomunikasi dengan orang tua anda.56
Hal ini juga dipertegas oleh Liliweri (2011:26) yang dimana
komunikasi antarpribadi yang terjadi di antara dua orang yang berbeda jenis
kelamin (gender), berbeda status dan kelas sosial, misalnya antara atasan
dengan bawahan, antara dosen dengan mahasiswa, antara dokter dengan
pasien, antara pedagang dengan pembeli, antara orang Timor dengan
Flores, antara orang Banyuwangi dengan Solo, antara orang Makassar
dengan Bugis, antara orang Indonesia dengan orang Australia dapat
digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.57
56 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 139. 57 Alo Liliweri. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal
26
93
Selain itu dari hasil pembahasan di atas, Risda, Rienny, Aslam dan
Ferdi menganggap mahasiswa non Sumatera dirasa lebih bersikap
individual, kurang sopan, membeda-bedakan orang lain dan sebagainya,
sedangkan mahasiswa non Sumatera juga menganggap kelima key informan
ketika berbicara seperti orang yang sedang marah sehingga dianggap
berwatak keras. Namun menurut informan pendukung, tidak ada ukurannya
jika orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera mempunyai watak
keras. Hal ini tergantung dari diri individu masing-masing dan bisa juga
dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. Itulah
uniknya budaya, kita tidak bisa mengatakan suatu budaya lebih sopan atau
tidak sopan karena hal itu tergantung dari nilai budaya tersebut. Misalnya
saja cara makan orang Sumatera dan Sunda, cara berpakain orang
pedalaman Papua, kita tidak bisa mengatakan hal itu sopan atau tidak sopan
karena memang budaya mereka yang mengajarkan seperti itu.
Kata siapa orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera lebih
keras. Saya punya kawan orang Sumatera baik-baik, lembut-lembut
bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya juga dengan
lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik, kasat
mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka
seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya
budaya, kita tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya
B kurang sopan karena ukurannya lain tergantung nilai budaya
tersebut. Apakah makan pakai tangan mengepal buat orang
Sumatera itu sopan atau tidak sopan, menurut mereka memang
budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara makan pakai tangan
itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut kan orang
Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam
berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa
dikatakan tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.58
58 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 142.
94
Sihabudin (2011:9) juga menjelaskan bahwa budaya secara pasti
mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah
mati. Kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga berubah
ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya.59
Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan yang tadinya
memiliki permasalahan dan kekecewaan tertentu saat merantau, seiring
berjalannya waktu mereka turut menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar karena hanya cara itulah yang membuat mereka bertahan untuk tetap
melanjutkan studinya agar tujuan melakukan perantauan dapat
terealisasikan.
Hal di atas juga dipertegas oleh informan pendukung yang
menyatakan bahwa ketika ada hal baru dimanapun itu pasti akan ada
kekagetan baik di pihak pendatang maupun orang yang didatangi. Hal ini
merupakan bagian dari dinamika akulturasi yang dimana merupakan suatu
proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu pula yang lambat laun akan diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur
kebudayaan kelompok itu sendiri.
59 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT Bumi
Aksara. Hal 19-20.
95
Pada akhirnya, perbedaan budaya tersebut akan berasimilasi atau
menyatu dengan proses penyesuaian diri atau adaptasi. Pendatang memang
sudah sewajarnya harus banyak mengalah, dalam pengertian mereka harus
banyak beradaptasi untuk bisa diterima di lingkungan barunya. Hal tersebut
juga wajar terjadi di setiap kelompok dan lapisan masyarakat manapun
kecuali memang sudah berada di level yang sama dan tidak ada yang harus
dipersoalkan.
“Di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka jumpai pasti
ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang didatangi.
Itu bagian dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama
mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses
penyesuaian, adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah
memang dari yang datang, harus banyak beradaptasi karena
mereka kan pendatang dalam pengertian untuk bisa diterima di
lingkungan baru tentunya harus banyak penyesuaian kepada
lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya kalau orang
Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan adat
di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok
masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali
memang sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada
yang dipersoalkan.”60
Dari hasil pembahasan di atas, dapat dilihat jika kelima key informan
sudah mulai memaklumi dan terbiasa dengan situasi dan kondisi di sekitar.
Hal ini dapat digolongkan dalam fase awal resolusi pada culture shock
dimana rasa kekecewaan sebelumnya perihal bahasa, kehidupan sosial,
makanan, cuaca dan sebagainya sudah bukan menjadi kendala lagi, karena
key informan sudah mulai mengerti mengenai budaya di tempat perantauan.
Individu secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi
60 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 141-142.
96
untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam
lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal
Sumatera
Ketika mengalami gegar budaya, perantau tentu saja tidak ingin
berlarut-larut dalam kekecewaan karena hal tersebut dapat menghambat
keberlangsungan hidupnya selama di perantauan. Oleh karena itu, perantau
melakukan proses interaksi untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
baru. Dalam mengatasi gegar budaya, kelima key informan memiliki
caranya masing-masing. Setelah melakukan penyesuaian, biasanya perantau
menjadi maklum dan terbiasa.
Selama di perantauan, Tami mempunyai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi rasa rindu kepada kampung halamannya dan
juga dapat menambah teman serta pengalaman bagi dirinya. Tami aktif
dalam berbagai organisasi internal maupun eksternal seperti DPM FISIP,
UNTIRTA TV, UKM Jurnalistik, BEM FISIP dan Kemangteer.
“Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta
tv, baru ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue
ikut kemangteer. Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang
nggak ada rumah buat pulang, yah mau nggak mau banyak-
banyakin organisasi biar banyak-banyak kegiatan dan banyak-
banyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di sininya, jadi ada aja
kegiatan.”61
61 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 116.
97
Tami juga mengaku sudah merasa nyaman tinggal di Serang
dikarenakan sudah tinggal selama 4 tahun dan menurutnya ia sudah
melakukan penyesuaian dengan baik terutama dalam hal berkomunikasi.
“Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga kan udah
penyesuaian”62
Tami membutuhkan waktu sekitar sebulan sampai dua bulan dari
masa Ospek untuk menyesuaikan diri dan leluasa berbicara ke teman-teman
yang lain karena ketika teman-temannya pada awal semester sedang
bersemangat untuk bertanya segala macam hal kepada Dosen, Tami
memilih diam karena merasa takut jika ia berbicara dengan logat khasnya
itu maka ia akan di-bully .
“Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa
leluasa ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu
kan waktu maba kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya
segala macem, gue mah udah diem aja, gue takut di-bully gue takut
beda aja kan. kalo gue sih ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga
berani, gue malu aja yaudah gue menyesuaikan.”63
Informan 2 yaitu Risda juga mengisi hari-harinya dengan mengikuti
berbagai macam kegiatan di Kampus seperti organisasi DPM FISIP, BEM
FISIP dan GMKI. Diakui Risda jika kegiatan ini dilakukan untuk mengisi
waktu luang agar tidak bosan jika hanya kuliah dan langsung pulang ke kost
saja, juga menambah teman dan pengetahuan.
“Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP
sama GMKI. Ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan
kalau cuma pulang kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup
banget. Ikut organisasi kan lebih banyak teman juga banyak
pengetahuan lah.”64
62 Ibid. Hal 115. 63 Ibid. Hal 116. 64 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 121.
98
Risda juga sudah merasa nyaman tinggal di Serang karena
menurutnya memang harus seperti itu mengingat ia masih harus menempuh
studinya, tapi dari keinginan sebenarnya, ia masih ingin tinggal di Medan
karena menurutnya rumah sendiri akan selalu lebih nyaman, bahkan ia
ingin menghabiskan masa tuanya di sana.
“Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang
harus kan tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai
keinginan mah kalau bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya
lah balik lagi ke Medan ke rumah sendiri kayaknya lebih enak.”65
Selain itu Risda sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik, seperti
Tami yang mempunyai kendala dalam hal komunikasi sebelumnya, Risda
pun mempunyai kendala yang sama. Butuh waktu sekitar sebulan sampai
dua bulan untuk Risda menyesuaikan diri di lingkungan baru, menurutnya
menyesuaikan diri cukup mudah dilakukan namun menyesuaikan hati yang
cukup sulit untuk dilalukan.
“Iya sekarang udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan
semuanya. Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya,
nyesuain diri mah gampang cuma buat yang sama kayak hati itu
yang susah kan berteman sesuai dengan keinginan hati.”66
Sama halnya seperti Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny
juga termasuk orang yang aktif baik di lingkungan internal maupun
eksternal. Rienny mengikuti oraganisasi-organisasi seperti Himpunan
Mahasiswa, perkumpulan Mahasiswa Kristen, menjadi assistant
laboratorium bahkan karena prestasinya ia menjadi penerima beasiswa dari
Beswan Dajrum.
65 Ibid. Hal 120. 66 Ibid. Hal 120-121.
99
“Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang
Cilegon dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling
ikut-ikut acara beswan Djarum.”67
Sama halnya seperti Risda, Rienny juga mau tak mau harus bisa
senyaman mungkin di perantauan. Walaupun ada beberapa hal yang tidak
terfasilitasi seperi Gereja, tetapi Rienny harus tetap membiasakan diri
dengan pergi beribadah ke Serang, bukan malah membuatnya menjadi
semakin malas untuk beribadah. Sehingga Rienny lebih memilih berdamai
dan menerima dengan segala perbedaan yang ada di perantauan.
“Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan
mesti ke Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak
ada ini nggak usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterima-
terima aja.”68
Rienny membutuhkan waktu 1 semester untuk dapat menyesuaikan
diri di lingkungan baru, karena di semester pertama itulah Rienny
menghadapi hal-hal yang baru seperti teman-teman dan metode belajar.
Pada semester berikutnya ia sudah mulai disibukan dengan adanya
praktikum sehingga membuatnya menjadi berbaur dengan mahasiswa lain.
Selain itu proses adaptasi Rienny pun dibantu dengan adanya Industrial
Friendly Camp (IFC) yang diadakan untuk saling mengenal teman-teman
satu angkatan.
“Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk
kuliah pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar
baru pertama, lingkungannya baru jadi paling semester awal.
Semester 2 mah karena udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke
merekanya. Kita kan biasanya ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin
67 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 127. 68 Ibid. Hal 126.
100
kita ke satu angkatan jadi setelah IFC itu paling udah deket, jadi
satu semester awal aja.”69
Sama seperti informan lainnya, Aslam juga aktif dalam organisasi
seperti Himpunan Mahasiswa, IMTI dan juga ia disibukan oleh tugasnya
menjadi assistant laboratorium.
“Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan
Mahasiswa Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul
sama angkatan sama jadi asistant lab juga.”70
Seperti key informan lainnya, Aslam juga sudah merasa nyaman
tinggal di Cilegon. Kendala-kendala yang sebelumnya sudah dapat dilewati
dengan melakukan penyesuaian dengan baik di lingkungan sekitarnya.
“Kalau sekarang udah nyaman tinggal di sini, udah banyak temen
juga kan. Saya rasa juga saya udah melakukan penyesuaian dengan
baik”71
Butuh waktu yang cukup lama yaitu 2 semester untuk Aslam
menyesuaikan diri. Sama halnya dengan Rienny, Aslam pun sangat terbantu
dengan adanya Industrial Friendly Camp (IFC) yang merupakan kegiatan
pengenalan jurusan Teknik Industri dimana kegiatan ini mendekatkan
mahasiswa Teknik Industri terutama mahasiswa barunya, sehingga setelah
IFC berlangsung, Aslam mempunyai lebih banyak teman.
“2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp
semacem ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni,
senior dan himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi
case gitu sama games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan
69 Ibid. Hal 127. 70 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 131. 71 Ibid. Hal 131.
101
seangkatan saling ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak
temen”72
Seperti key informan yang lain, Ferdi juga memilih untuk memiliki
aktivitas lain selain berkuliah yaitu mengikuti organisasi Himpunan
Mahasiswa Komunikasi, bergabung dalam UKM Olahraga Untirta dan ikut
bergabung dalam komunitas sepeda Fixie di Serang.
“Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut
komunitas fixie gitu di luar kampus.”73
Ferdi merasa setelah melakukan perantauan, ia terkadang merasakan
senang dan juga susah. Kadang ketika Ferdi masih berhubungan dengan
teman semasa SMA, ada sedikit rasa penyesalan yang muncul karena ia
tidak berhasil menempuh studi di kampus impiannya. Namun ketika Ferdi
sudah bertemu teman-temannya di kampus dan menghabiskan waktu
bersama, ia sudah bisa menikmati dan tidak memikirkan hal-hal yang
membuat ia merasa menyesal.
“Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau
dibilang susah mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen
kan pada tembusnya di Undip, kadang kalau masih berhubungan
sama yang di sana kayak masih ada nyesel, tapi kalau ketemu
temen-temen lagi yang di Untirtanya terus nongkrong bareng seru-
seruan, jadi nggak kepikiran lagi.”74
Ferdi masih merasa bahwa menyesuaikan bahasa ketika
berkomunikasi dengan mahasiswa non Sumatera masih tergolong sulit
walaupun sudah hampir 3 tahun ia tinggal di Serang, terutama dengan
bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng).
72 Ibid. Hal 131. 73 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 137. 74 Ibid. Hal 137.
102
“Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak
bahasa sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga.”75
Diakui Ferdi, ia baru bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang sangat berbeda dari daerah asalnya ini sekitar 2 semester.
“Penyesuain dirinya lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali
yah.”76
Dalam hasil pembahasan di atas, kelima key informan pada
umumnya mengikuti berbagai macam kegiatan baik di dalam maupun luar
kampus, namun tetap sesuai dengan hobi maupun passion masing-masing.
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir gegar budaya yang terjadi
sehingga mahasiswa Sumatera menjadi lupa dengan kekecewaan mereka
tentang hal-hal yang sebelumnya sempat menjadi sebuah kendala.
Kegiatan-kegiatan tersebut juga membuat mahasiswa Sumatera lebih
banyak berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera sehingga mempunyai
kenalan dan bisa menjalin persahabatan serta bisa membiasakan diri dengan
lingkungan yang baru. Hal tersebut dapat digolongkan dalam fase berfungsi
efektif pada culture shock yang dimana individu telah mengerti elemen
kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan
lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda,
biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa
ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda,
seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.
75 Ibid. Hal 137. 76 Ibid. Hal 137.
103
Seperti apa yang dikatakan informan pendukung yaitu jika individu
ingin mengatasi gegar budaya maka ia harus banyak membaca situasi
ataupun kebiasaan di lingkungan baru. Menurut informan pendukung,
dalam gegar budaya seseorang memiliki tahapannya masing-masing.
Informan pendukung berhipotesis jika seseorang semakin banyak membaca
sebuah kebiasaan di tempat baru, maka ia akan semakin meminimalkan
gegar budaya tersebut. Fase gegar budaya pada dasarnya ketika individu
kurang siap masuk ke tempat baru, gegar budaya pasti akan terjadi tak
peduli sehebat apapun individu tersebut.
Misalnya ketika seseorang belum pernah datang ke jamuan makan
malam lengkap, maka kemungkinan besar seseorang itu akan bingung
dalam memilih pakaian apa yang pantas. Hal ini juga termasuk ke dalam
gegar budaya karena sebenarnya gegar budaya tidak mesti terjadi antar
tempat ke tempat lain atau dalam pengertian pindahnya satu kultur ke kultur
lain, dalam satu kota juga akan ada gejala ketidaksiapan dalam menghadapi
sebuah kultur atau tradisi baru. Menurut informan pendukung, ketika ada
seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan yang baru bisa
dikatakan terjadi shock culture.
“Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang beda-
beda, tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini,
semakin dia banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia
akan semakin meminimalkan gegar budaya itu. Yah fasenya
sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti
ada gegar budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum
terbiasa dapat jamuan makan malam lengkap, mungkin juga anda
bingung pakai baju apa. Kan itu juga termasuk gegar budaya, tidak
mesti terjadi antar tempat ke tempat lain. Ketika kita masuk ke
dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan kita, itu biasanya
104
juga akan terjadi gegar budaya. Sebenarnya gegar budaya itu tidak
mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur
lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak
siapan kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu.
Menurut pandangan saya, ketika ada seseorang yang kurang siap
menghadapi satu keadaan yang baru bisa dikatakan terjadi shock
culture. Misalnya saya menerapkan kebijakan mahasiswa yang
masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti kan banyak yang
protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan mengubah
tradisi yang ada.”77
Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan sudah merasa
nyaman tinggal di kota perantauan, walaupun level kenyamanan tersebut
berbeda-beda. Ada yang sepenuhnya nyaman adapula yang mau tak mau
harus merasa nyaman. Namun sejauh ini, kelima key informan sudah
melakukan penyesuaian dengan cukup baik terhadap lingkungan di
sekitarnya. Jangka waktu penyesuaian diri key informan cukup berbeda-
beda. Tami dan Risda hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 bulan untuk
beradaptasi, Rienny membutuhkan waktu 1 semester atau 6 bulan,
sedangkan Aslam dan Ferdi membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 2
semester atau 1 tahun. Hal ini menjelaskan jika setiap individu memiliki
reaksi yang berbeda saat menghadapi culture shock.
77 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140-141.
105
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan dalam fenomena
gegar budaya yaitu sebagai berikut:
1) Faktor yang mendorong mahasiswa untuk merantau adalah: faktor
pendidikan, faktor ekonomi, dan faktor budaya. Kelima key informan
memiliki harapan atau ekspektasi ketika akan melakukan perantauan serta
motif untuk berkuliah dan menggapai cita-cita, hal ini juga termasuk ke
dalam fase kegembiraan.
2) Proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa Sumatera di perantauan
diakibatkan adanya fase kekecewaan yang dimana terlihat banyaknya
perbedaan antara kampung halaman dan kota perantauan sehingga memicu
terjadinya penyesuaian terhadap hal-hal yang baru di perantauan sehingga
adanya pertukaran makna, persepsi dan perspektif, sehingga hal ini
termasuk ke dalam fase awal resolusi.
3) Untuk mengatasi gegar budaya, kelima key informan mengisi kegiatan
sehari-hari dengan mengikuti organisasi maupun komunitas di dalam dan
luar kampus. Sehingga hal ini membuat key informan lebih banyak
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera juga lebih mengenal situasi
106
dan kondisi di lingkungan sekitar, selain itu masalah-masalah yang menjadi
kendala sebelumnya dapat teratasi karena adanya keterbiasaan dan hal ini
termasuk ke dalam fase berfungsi dengan efektif.
5.2 Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah:
1) Untuk setiap individu yang akan melakukan perantauan, diharapkan sebisa
mungkin sebelumnya mencari tahu informasi yang banyak tentang situasi
dan keadaan di tempat perantauan agar tidak adanya kebingungan atau
kekecewaan yang amat mendalam ketika datang ke perantauan. Selain itu,
diusahakan untuk dapat menerima dan bersikap terbuka terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada perantauan, karena hal tersebut merupakan
suatu identitas budaya.
2) Untuk penelitian tentang fenomena yang sama yaitu fenomena gegar
budaya pada perantau, penulis menyarankan, agar peneliti selanjutnya dapat
memperluas dan menambah jumlah informan yang diteliti karena setiap
individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Selain itu, disarankan
agar peneliti menggunakan paradigma kritis dan memakai teori komunikasi
lainnya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana
Grup.
Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
simbiosa rekatama Media.
Goodman, Douglas J dan George Ritzer. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana.
Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik
Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Kevinzky, Muhammad Haiqal. 2011. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam
Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus
Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Depok: FISIP UI.
Kriyantono, Rachmat. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi:
Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya
Padjadjaran.
Liliweri, Alo. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Littlejohn, Stephen W. & Karen A.Foss. 2005. Theories Of Human
Communication. 8 ed. Canada: Wadsworth.
Lubis, Lusiana Andriana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara
Perbedaan Budaya. Medan: Digitalized by USU digital library.
MAO, Yingjuan. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish
adjustment in China. 2014. Gothenburg: University of Gothenburg
Department of Applied Information Technology.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Dedy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
. .. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
108
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya
Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Nazir, Moch. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Salemba Empat
Neuman, W. L. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches-6.ed. USA: Pearson Education. Inc.
Patton, M. Q. 2006. Social Research and Evaluation Methods (3rd ed). Thousand
Oaks, CA: Sage.
Poerwandari, Kristi. 2013. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Depok: LPSP3 UI.
Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Samovar, dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika
Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sudikin, dan Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro.
Surabaya: Insan Cendikia.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
West, Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi; Analisis
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Sumber Internet:
Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/
diakses pada 25 Desember 2015 pukul 21:40 WIB
109
LAMPIRAN
110
LAMPIRAN 1
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Lengkap :
TTL :
Asal Daerah :
Suku :
Agama :
Jurusan :
1. Apakah anda lahir dan besar di Sumatera?
2. Apakah orang tua anda asli dari Sumatera?
3. Apakah anda pernah tinggal di daerah lain selain di Sumatera sebelumnya?
4. Apakah anda pernah berkunjung ke Serang/Cilegon sebelumnya?
5. Apakah anda memiliki saudara di Serang/Cilegon?
6. Apa tujuan anda melakukan perantauan ke Serang-Banten?
7. Apa yang mendorong anda melakukan perantauan ke Serang-Banten dan
berkuliah di UNTIRTA?
8. Di mana anda tinggal saat ini?
9. Bagaimana perasaan anda ketika mengetahui akan berkuliah di Untirta
Serang?
10. Bayangan kesenangan apa saja yang anda pikir akan anda dapatkan ketika
pindah ke Serang?
11. Hal-hal apa saja yang sangat berbeda dengan daerah asal anda?
12. Adakah hal-hal yang membuat anda merasa tidak cocok untuk tinggal di
Serang/Cilegon?
13. Apakah anda pernah berpikir untuk pulang kembali ke Sumatera karena
merasa tidak nyaman tinggal di Serang/Cilegon?
14. Hal-hal apa saja yang tidak anda sukai dari kehidupan sosial yang ada di
kampus atau lingkungan sekitar anda ketika awal anda pindah ke sini
15. Apa saja yang anda lakukan untuk mengatasi hal-hal yang anda tidak sukai
tersebut?
16. Apa yang anda lakukan ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera
pada awal anda datang ke UNTIRTA?
17. Kesulitan-kesulitan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan
mahasiswa non Sumatera?
18. Apakah pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi ketika
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Jika iya, contohnya seperti
apa?
19. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali berinteraksi
dengan anda?
20. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika anda cukup
berbeda dari yang lain?
21. Ketika anda tiba di UNTIRTA, anda bergaul dengan mahasiswa dari daerah
mana?
22. Apakah ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera? Jika iya,
apakah anda turut bergabung di dalamnya?
23. Bagaimana perasaan anda setelah selama ini tinggal di Serang/Cilegon?
24. Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dengan lingkungan?
25. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri ketika
pertama kali datang ke Serang/Cilegon?
26. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama tinggal di Serang? Apakah
anda ikut bergabung ke dalam organisasi internal ataupun eksternal? Jika
iya, tolong sebutkan.
27. Bagaimana sikap dan kepribadian anda setelah melakukan perantauan?
28. Berapa waktu sekali anda pulang ke Sumatera?
LAMPIRAN 2
HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 1
Nama Lengkap : Fauziah Nur Utami
TTL : Pematang Siantar, 14 Maret 1994
Asal Daerah : Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku : Jawa
Agama : Islam
Jurusan : Ilmu Komunikasi angkatan 2011
1. Sebelumnya lo lahir di Sumatera Utara kan, terus sampai SMA juga?
Sampai SMA di Sumatera utara, sebenernya waktu sd gue sempet tinggal di
Bengkulu juga soalnya kan orang tua gue tugasnya tuh keluar kota terus
jadi emang udah sering pindah-pindah gitulah tapi itu cuma sampai SD
doang nah terakhir itu yang paling jauh yang keluar dari provinsi sumatera
utara itu ke bengkulu. Sebelumnya yang di sumatera utaranya juga udah
pindah-pindah terus bukan di satu kota tapi udah mulai SMP SMA nya gue
netep di kota gue di pematang siantar.
2. Terus kalau orang tua sendiri asli sendiri asli mana?
Orang tua dua-duanya asli sumatera utara.
3. Ada turunan bataknya nggak?
Kalau ibu batak, kalau bapak jawa tapi keluarga bapak itu dari embahnya
gue itu udah tinggal di sana dan bokap gue juga lahirnya udah di sana udah
di sumatera utara udah di siantar.
4. Lo pernah berkunjung ke Serang nggak sebelumnya?
Belum pernah tuh.
5. Apa lo punya saudara di Serang?
Nggak punya
6. Apa tujuan lo merantau ke Serang?
Tujuannya yah kuliah sih pastinya.
7. Apa yang menyebabkan lo memilih Serang atau UNTIRTA lah sebagai
tujuan?
Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen kuliahnya
kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang paling rendahnya
nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue lah. Gue taro dah tuh pilihan
ketiganya di untirta sebenernya gue gatau nih untirta itu di mana, gue cuma
taunya di Banten doang tapi lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena
jurusan itu yang bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis.
8. Kenapa lo pengen jadi jurnalis?
Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah nonton
berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah dijadiin tawanan
karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja bisa ngeliput terus
ngelaporin dari daerah konflik pas live report terus di belakang gue lagi
ada baku tembak atau kerusuhan hahaha.
9. Emang pilihan pertama sama keduanya di mana?
Pilihan pertama sama keduanya di USU di sumatera utara kan tapi ga
keterima, keterimanya di pilihan ketiga ya udah gue ke sini. Trus ada juga
kakak kelas gue yang kuliah di sini yaudah gue nanya-nanya ke dia gimana
gue bisa sampe ke serang, naek apa aja ke sininya terus waktu gue daftar
ulang di sini ditemenin sama dia.
10. Jadi pas lo kuliah itu pertama kalinya lo keluar sendirian dari
Sumatera Utara ke Jawa?
Iya ke Serang.
11. Gimana perasaan lo pas pertama kali keterima di untirta?
Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindah-pindah kayak
gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah gitu kan rumahnya,
tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di Serang itu kayak apa, excited
lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini, tapi waktu itu nggak dibolehin kan
sama orang tua pertama-pertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi
guenya emang keukeuh pengen ke sini aja.
12. Bayangan kesenangan apa aja yang lo pikir akan didapatkan ketika
pindah ke sini?
Kesenangnnya dapat teman-teman baru, dapet lingkungan baru, terus
kesenangannya gue bisa kuliah di jurusan ilmu komunikasi dan bisa
mewujudkan mimpi gue menjadi jurnalis.
13. Apa aja yang beda antara Serang dan Sumatera Utara?
Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus kalau
misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus yang
bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda banyaknya kayak
yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan kan terus cara
berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak banget terus agak ke
melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini harus menyesuaikan agak
kesunda-sundaan.
14. Ada nggak hal-hal yang ngebuat lo ngerasa nggak cocok tinggal di sini
dan bikin lo pengen pulang?
Kalau buat itunya sih nggak ada, tapi kalau pengen pulang bukan gara-
gara itu sih sebenernya, cuma karena kangen terus nggak biasa pisah sama
orang tua. Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan
sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang nih,
ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan pada balik
tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang Serangnya tuh kayak
yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue aja. Mau ke mana hayu gue
temenin. Kalau misalnya gue mau balik ke Medan bukan karena alesan-
alesan yang gue nggak betah di Serang karena lingkungannya, cuma
kangen aja.
15. Terus ada yang lo nggak suka nggak dari kehidupan sosial di kampus
atau lingkungan sekitar?
Pernah sih ada masalah soal itu tapi yah nggak gimana-gimana.
16. Terus apa yang lo lakuin untuk mengatasi hal itu?
Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let it flow
lah.
17. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu pertama datang ke
sini?
Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong gue takut
soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang Medan nih ketauan
banget kan.
18. Apakah ada kesulitan berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?
Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo budaya sih
beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga terlalu jadi hambatan
gitu ga jadi kesulitan paling cuma di komunikasi aja sih.
19. Pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi nggak waktu
ngomong?
Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu artinya
apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo miskomunikasi
pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering aja ada aja waktu awal-
awla tuh pada ngomong kan, dia nyampeinnya apa gue nangkepnya apa.
Pokonya ada lah waktu awal-awal banyak yang beda aja.
20. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera waktu pertama kali
berinteraksi sama lo?
Pernah tuh gue pas lagi ospek kan kita nulis nama gitu yah sama asal
sekolah, gue bikin SMA 1 Medan tuh udah tuh jadi pada nanya “lu dari
Medan? Asli dari Medan?” “Iya aku dari Medan”. Ketauan kan logatnya
wah anjir di-bully gue. “lu ngapain jauh-jauh kuliah ke sini?” “yah gatau,
emang keterimanya di sini”. Udah tuh gue pokoknya kalau ngomong tuh
jadi bahan pengeliatan orang aja. Udah tuh awal-awal kuliah tuh ga
banyak ngomong, udah diem aja, gue dengerin orang aja ngomong. Gue
pengen ngomong cuma udahlah dari pada di-bully kan gue nyesuaikan dulu
kan, ya udah gue diem aja. Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu,
makannya gue logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di
sini gue nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi
pake logat gue di medan.
21. Pernah ngerasa minder nggak sebelumnya karena lo beda dari yang
lain?
Sering banget yah itu karena logat gue yang beda sendiri.
22. Waktu lo ke sini bergaulnya sama yang dari Sumatera aja apa udah
berbaur sama yang lain?
Waktu itu kan gue dianterin nyokap ke sini kan terus daftar ulang balik lagi
ke sana baru pas ospek tuh gue berangkat dari Siantar itu sendirian ke sini.
Gue nyampe di bandara dijemput sama sepupu gue yang di Jakarta baru
dianterin ke sini tuh nyari kostan, ketemu sama si Risda pas lagi sama-sama
nyari kostan. Terus biasalah logat-logat Sumatera banget kan ngomong,
“dari Medan juga yah?” “Iya dari Medan, kau dari mana?” “dari Medan
juga” “oh iya Medannya di mana?” “di Siantar”. Satu kota kan ternyata,
yaudah kenalan dah tuh mulai dari situ baru bareng terus. Mulai dari situ
kita sekamar berdua, kemana-mana bareng pokoknya, soalnya kan kita di
Serang itu nggak ada keluarga. Adanya di Jakarta sama di Bekasi. Yaudah
kita berdua aja, lama-lama kenal temen-temen pas ospek udah makin
banyak makin banyak yaudah biasa aja. Kan waktu awal-awal semuanya
masih baru pada kenal kan, yaudah gue ikut-ikutan aja. Terus di kelas gue
dulu ga ada sih yang dari sumatera utaranya. Adanya orang batak tapi
bukan dari sumatera utara tapi dia kelas A, si ucok tuh. Nah gue dulu
deketnya sama dia tuh sama ucok sama si sarah cuma beda kelas. Udah tuh
lama-lama menyesuaikan diri sendiri.
23. Di sini ada komunitas mahasiswa Sumatera nggak terus lo ikutan
nggak?
Kayaknya ada tapi gue nggak tau sih nggak ikutan, kayaknya si Risda tau
tuh.
24. Apa lo sekarang udah ngerasa nyaman tinggal di sini?
Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga.
25. Jadi lo udah ngelakuin penyesuaian dengan baik yah?
Iya udah.
26. Butuh waktu berapa lama buat menyesuaikan diri sama kondisi di
sini?
Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa leluasa
ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu kan waktu maba
kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya segala macem, gue mah
udah diem aja, gue takut di-bully gue takut beda aja kan. kalo gue sih
ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga berani, gue malu aja yaudah gue
menyesuaikan.
27. Lo ikut organisasi apa aja?
Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta tv, baru
ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue ikut kemangteer.
Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang nggak ada rumah buat
pulang, yah mau nggak mau banyak-banyakin organisasi biar banyak-
banyak kegiatan dan banyak-banyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di
sininya, jadi ada aja kegiatan.
28. Apakah merantau jauh dari keluarga mengubah sikap dan
kepribadian lo?
Iya mengubah sikap dan kepribadian. Kalau sama keluarga gue jadi lebih
care lebih peduli karena emang jauh kan tinggalnya. Terus kalau untuk
kepribadian, gue jadi lebih terbuka sama orang-orang dengan latar
belakang yang berbeda, gue lebih toleransi lagi sama orang-orang. Belajar
gimana caranya biar bisa diterima di lingkungan orang lain.
29. Pernah ngerasa homesick nggak terus kalau lagi homesick biasanya
ngapain?
Sering sih yah paling nelpon atau sms keluarga sih.
30. Lo pulangnya berapa kali setahun?
Per semester, jadi setahun dua kali. Pas semesteran aja gue baliknya.
31. Menurut lo, Risda ngalamin hal yang sama nggak sih kayak lo, ada rasa
yang waktu pas awal datang ke sini?
Kalau awal-awal dia kayaknya sempat deh pengen pulang, sempet kayak
nggak betah gitu tapi gatau sih yah nanti coba deh tanya dia langsung.
Soalnya kan setiap orang kan beda-beda yah inian pola adaptasinya. Kalau
gue sih orangnya mau dimana aja juga yah hayu aja selama orangnya
welcome. Cuma tapi kalo misalnya emang udah bermasalah dari awal ya
iyalah yah siapa yang betah juga. Tapi kan sejauh ini ya udah sih sama-
sama kuliah ini kan sama-sama nuntut ilmu, yaudah ga ada masalah sih
gue mah.
LAMPIRAN 3
HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 2
Nama Lengkap : Risdayanti Sinaga
TTL : Pematang Siantar, 26 November 1992
Asal Daerah : Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku : Batak Simalungun
Agama : Kristen
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara angkatan 2011
1. Lo lahir dan besar di Sumatera Utara?
Iya
2. Terus orang tua aslinya mana?
Dari Sumatera.
3. Dua-duanya?
He’eh dua-duanya.
4. Terus pernah tinggal di daerah lain nggak selain di Sumatera Utara?
Oh, nggak pernah. Dari lahir sampai besar di Sumatera Utara
5. Sebelumnya pernah berkunjung ke Serang?
Belum.
6. Terus punya saudara di Serang?
Nggak
7. Tujuan ngelakuin perantauan ke Serang ini buat apa?
Kuliah, buat kuliah.
8. Kenapa kok bisa milih Serang sih buat tujuan kuliahnya?
Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya murid, nah muridnya tuh udah
kuliah duluan di Untirta terus kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku
karena kuliah di Jawa itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera.
Sebelumnya pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena
dibilang Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh
nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.
9. Sekarang tinggalnya di mana?
Di Pondok Indah Estate, nge-kost.
10. Terus perasaan lo waktu pertama tahu bakal kuliah di Untirta gimana?
Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau merantau
keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih seneng pastinya waktu
tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama kayak sekelas sama UI lah, UI,
UNPAD yang di Jawa-Jawa yang bagus-bagus kedengerannya gitu.
11. Taunya?
Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget kan,
lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan juga kan sama
mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok kampusnya begini
jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di kampung?”. Biasanya
namanya kampus pasti kan di kota kan di kota-kota besar. Pas baru-baru
masuk yah rada sedikit kecewa sih sebenernya, kecewa lah.
12. Hal-hal apa aja sih yang beda banget dari daerah asal?
Mungkin lingkungannya yah kalau di sana kan secara dari komunikasi lah
misalnya, kalau di sana kan ngomongnya pake “kali kali” gitu, kalau di sini
pakenya “banget”. Terus kayak ada tata bahasanya tuh pasti rada beda
lah, mereka suka nggak mngerti gitu kan sama omongan, namanya juga
belum pernah tinggal di Jawa. Jadi namanya yang bahasa asli itu masih
kebawa-bawa ke sini.
13. Terus kalau misalnya makanan?
Yah makanan juga pertama-pertama di sini sempet sakit, sakit perut gitu
kan. Penyesuaian makanan pertama kali tuh mungkin karena beda kali yah.
14. Kalu di sana makanannya kayak gimana?
Yah pedes pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecin-
mecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus yah
sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitu-gitu karena
pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sini-
sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih.
15. Terus kalau budayanya sendiri beda banget nggak?
Iya kalau budaya sih beda, cuma yah ngeliat suku baduy sih tertarik sih
cuma tetep lah lebih nyaman sama budaya sendiri kan. Terus airnya juga
yang bikin kurang nyaman itu air.
16. Airnya kenapa?
Keruh gitu kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari
pegunungan itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan
airnya bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.
17. Terus setelah selama ini ada nggak sih hal-hal yang ngerasa nggak
cocok tinggal di Serang?
Yah paling air-air itu doang terus yang apa sih, yang panas cuacanya panas
banget itu kan bikin kulit hitam jadi ngerasa ah nggak enak nih, enakan
tinggal di Jakarta daripada di sini. Sepi juga kan di sini.
18. Terus sempet nggak sih waktu awal-awal pernah berpikir untuk
pulang lah udah nggak mau di sini?
Iya pasti adalah awal-awal karena ngeliat yang yah kampusnya begitu
misalnya kan, terus ngeliat daerahnya. Dulu kan di sini masih sepi gitu kan,
masih kayak apa yah pokonya masih sepi lah. Makanan juga belum
sebanyak sekarang kan tempat-tempat makan, masih sepi cari makan juga
harus ke depan gitu ngerasa kayaknya susah banget. Kuranglah kurang
nyaman pokonya.
19. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak lo sukai dari kehidupan sosial
di kampus atau lingkungan sekitar?
Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok yang orang
sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu membeda-bedakan orang
itu paling.
20. Terus ngatasin hal itu lo gimana?
Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompok-kelompoknya
mereka tapi tetap berteman sama mereka mah berteman cuma nggak mau
ikut geng-gengan kayak gitu.
21. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu awal jadi mahasiswa
sama mahasiswa non Sumatera Utara?
Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak kelas pada
ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak marah, oh orang Batak
pada begitu yah”. Padahal itu ngomong biasa cuma nanya “eh namamu
siapa?”, mungkin kedengerannya kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu.
Jadi ngerasanya mereka kan “oh ini orang marah-marah sambil ngomong”
kayak gitu. Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang
kayak gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah belajar
udah bisa lebih lembut lah ngomong.
22. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya?
Pas pertama-tama sih iya gitu cuma ke sini-sini sih udah nggak yah. Cara
bahasa yang beda itu kali yah.
23. Pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi nggak pas
ngomong?
Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya kurang
ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di rumah. Merekanya
suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang mereka ngerti, misalnya kayak
“mentel” gitu. Itu kan mentel mereka nggak tau tuh yah.
24. Artinya apa?
Centil, kan taunya centil. Kalu di sana kan ngomongnya ih mentel banget,
mentel kali lah anak itu. Kalu di sini ih centil yah. Gitu.
25. Terus waktu awal pernah merasa minder nggak sih gara-gara yang
dari Sumatera Utara kan dikit?
Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2 orang tapi
yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah lahir di Tangerang
kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama anak-anaknya, kalau
misalnya aku kan masih beda gitu jadi pertama-tama sempet mikir ah rada
susah kali berteman, cuma ke sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu
sama cara ngomong jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak.
26. Terus waktu awal ke sini mainnya sama orang-orang yang dari
Sumatera Utara aja apa langsung berbaur?
Berbaur kok ke semua soalnya waktu pertama kali kuliah itu nggak tau
nggak terlalu banyak kenal orang-orang Batak,belum tau banget di mana-
mana orang Batak paling satu dua senior doang, kalau di kelas gabung
sama semuanya.
27. Kalau di sini ada komunitasnya nggak?
Di sini sih kayaknya nggak ada deh kalau di Serang yah, tapi kalau di
Cilegon ada dari kampus untirta juga namanya itu GEROBAK
(Gerombolan Orang Batak).
28. Itu yang dari sana asli semua?
Nggak asli dari Sumatera Utara sih cuma yah orang-orang Batak cuma
yang mendiriin mah emang dari rantau langsung sana.
29. Ikutan gabung nggak?
Nggak soalnya tuh cuma buat anak-anak teknik doang.
30. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Serang?
Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang harus kan
tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai keinginan mah kalau
bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya lah balik lagi ke Medan ke
rumah sendiri kayaknya lebih enak.
31. Apa lo udah merasa melakukan penyesuaian dengan baik dengan
lingkungan saat ini?
Iya udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan semuanya.
32. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri dari
waktu awal ke sini?
Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya, nyesuain diri mah
gampang cuma buat yang sama kayak hati itu yang susah kan berteman
sesuai dengan keinginan hati.
33. Kalau di sini kegiatan apa aja yang lo lakuin? Lo ikut organisasi?
Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP sama
GMKI.
34. Itu buat ngisi waktu luang?
Iya ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan kalau cuma pulang
kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup banget. Ikut organisasi kan
lebih banyak teman juga banyak pengetahuan lah.
35. Setelah merantau sikap lo jadi berubah nggak sih dari sebelumnya?
Setelah merantau jadi lebih mandiri atau lebih apa?
Iya sih karena merantau emang lebih mandiri, cara bahasa kadang agak
beda gitu kalau pulang ke rumah kan sehari dua hari lah bahasa masih
kebawa bahasa sini cuma lama-lama udah balik lagi bahasa ke sono,
pulang ke sini lagi gitu juga cuma kalau perubahan-perubahan besar itu
nggak sih.
36. Selama di sini pernah ngerasa “homesick” nggak?
Sering, sering banget malah.
37. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu?
Paling nelpon orang tua terus kalau nggak video call gitu ngeliat keadaan-
keadaan yang di sana karena kangen rumah, orang tua, sama suasana yang
di sana.
38. Berapa kali pulang ke sana?
Dulu sih sekali setahun cuma tahun ini belum pulang setahun lebih belum
pulang, hampir satu setengah tahun belum pulang.
39. Rencananya mau pulang kapan?
Habis sidang lah paling sidang skripsi.
40. Di sini ada juga kan mahasiswa dari Sumatera Utara, kenal banyak
nggak sih atau beberapa doang?
Oh banyak, cukup banyak lah apalagi di organisasi GMKI itu kan rata-rata
orang Batak semua itu, jadi yah semua yang dari Sumatera Utara juga jadi
pada kenal semua.
41. Terus menurut lo mereka juga ngalamin nggak sih hal-hal yang sama
kayak lo?
Iya mereka juga pada cerita yah pada ngomong iya susah yah ngomong
gini-gini. Cuma kayaknya di UNTIRTA udah banyak orang Batak yah jadi
anak-anak yang lain juga yang non Sumatera Utara gitu yah ngerasa yah
oh emang mereka adatnya begitu. Kalau tahun kita waktu 2011 kan emang
masih sedikit banget orang Batak dari Sumatera jadi mereka kayak kaget
gitu ngeliat oh ada orang dari jauh banget mau kuliah di UNTIRTA, cuma
ke sini-sini sekarang udah banyak seniornya mah udah nggak terlalu wah
banget.
42. Kalau kumpul sama mereka ngomongnya pakai bahasa Batak semua?
Nggak sih kadang pakai bahasa Indonesia, cuma kalau yang bisa bahasa
Batak pasti bahasa Batak. Soalnya nggak semua orang Batak itu bisa pakai
bahasanya mereka, paling yang emang betul-betul dari daerah sana.
107
LAMPIRAN 4
HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 3
Nama Lengkap : Rienny Yurike Sianipar
TTL : Bengkulu, 2 April 1993
Asal Daerah : Bengkulu
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Jurusan : Teknik Industri angkatan 2012
1. Lo lahir dan besar di Sumatera apa gimana?
Lahir dan besar di Bengkulu.
2. Terus kalau orang tua sendiri aslinya mana?
Kalau orang tua dari Sumatera Utara cuma karena kerjanya di Bengkulu
jadi move ke Bengkulu.
3. Itu pindahnya waktu kapan?
Udah dari tahun 80-an lah.
4. Pernah tinggal nggak di daerah lain selain di Bengkulu?
Kalau tinggal nggak paling jalan-jalan visit-visit seminggu-seminggu.
5. Terus sebelumnya pernah datang ke Cilegon?
Nggak pernah.
6. Punya saudara di sini?
Nggak
7. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa?
Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe.
8. Apa nyebabin lo milih Untirta sebagai kampus?
Waktu milih sih sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang
dipengenin banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima
walaupun mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya.
9. Emang pilihan 1 sama 2-nya apa?
ITS, USU.
108
10. Terus tau adanya UNTIRTA dari mana?
Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum terlalu
terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih. Pokoknya
jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik awalnya, di
Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus nyari-nyari,
sebenarnya mau di ITS awalnya, Cuma karena wajtu tes juga nyari
kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta, lagian Untirta TInya udah
B juga, lumayan kak. Milih teknik industri juga karena ngeliat peluang kerja
nantinya. Jadi yah nekat aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi.
11. Sekarang tinggalnya di mana?
Di DAMKAR Cilegon.
12. Kost?
Iya.
13. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta?
Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima, kak.
Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen baru,
pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak abang aja
yang udah rantau duluan jadi pengen aja.
14. Kalau ke Pulau Jawa sendiri sebelumnya udah pernah?
Udah tapi paling ke Jakarta doang.
15. Ada nggak sih bayangan kesenangan pas mau pindah ke Cilegon?
Yah paling kayak bikin hidup baru aja, teman baru, pengalaman baru kayak
abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja.
16. Kalau abangnya rantau ke mana?
Ke Bandung tapi sekarang di Jakarta.
17. Apa sih yang berbeda antara Cilegon dan Bengkulu?
Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi kemudahan buat
gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada gereja, nggak tau kenapa
yah dari dulu sampai sekarang. Terus Cilegon itu cepet banget tutup pusat
kota jam 8 jam 9 udah tutup jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu
mah yah jam 10 masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame
tapi di sini udah tutup jam 9, cepet banget.
18. Kalau bahasa ada nggak bedanya?
Bahasa yah paling cuma kayak lo gue-nya aja sih karena di Bengkulu nggak
pakai lo gue.
109
19. Kalau di Bengkulu bahasanya apa yah?
Tetep bahasa Indonesia.
20. Tapi logatnya?
Dari awal nggak berlogat sih emang udah nggak logat. Nggak kayak
Sumatera Utara yang logatnya kental gitu, Bengkulu nggak.
21. Kalau misalnya makanan?
Makanan biasa aja.
22. Nggak ada bedanya?
Nggak sih paling makanan khas sini yang nggak ada di sana, kalau rasa sih
biasa aja.
23. Terus ada nggak sih hal yang ngebuat lo nggak cocok tinggal di sini?
Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada siapa-
siapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang.
24. Terus pernah berpikir untuk pulang?
Berpikir dong hehe.
25. Waktu awal-awal apa gimana?
Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus kalau kayak
sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah jadinya hampir 4 tahun
terakhir.
26. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain tinggal di sini?
Cilegon panas, banyak debu.
27. Terus kalau orang-orangnya ramah-ramah apa gimana? Kehidupan
sosialnya lah.
Mungkin karena saya besar di Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada
di sini. Kalau di Jawa itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda,
individualnya susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja
sama orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga
kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan kurang taat aturan
aja.
28. Terus apa yang lo lakuin buat ngatasin hal yang nggak lo suka itu?
Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang lain itu di
luar jangkuan kita, nggak bisa kitaubah kayak apapun. Yah mereka kayak
gitu ya udah.
29. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non
Sumatera?
Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara ngomong
yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan, saya kamu-saya
110
kamu tapi karena emang menurut mereka saya kamu itu terlalu formal jadi
diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah apa adanya aja.
30. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya?
Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak yang dari
luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi, Tangerang jadi
kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin soalnya orang Cilegon
Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan kita, jadi sama-sama
pendatang yah sama-sama berbaur aja.
31. Terus pernah miskomunikasi nggak waktu lagi ngomong? Atau ada
arti-arti yang nggak ngerti?
Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya pulpen.
Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa nggak pulpen. Terus
sedotan, saya bilangnya pipet karena di Bengkulu ngomongnya pipet. Itu
sih paling ada beberapa kata doang.
32. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali
berinteraksi sama lo?
Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini, ngapain lo?”
gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih nggak, biasa aja.
33. Pernah ngerasa minder nggak?
Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari Jawa, saya
dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja.
34. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya pertama sama mahasiswa
yang dari Sumatera doang atau langsung berbaur sama semua?
Waktu pertama kali datang itu kan nge-kost. Kita udah kenalan duluan di
twitter sama anak-anak yang teknik industri, nah dia anak Bekasi terus
ketemuan di kost. Sebenernya bukan karena sama daerahnya tapi karena
emang udah kenalan duluan di twitter waktu itu.
35. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan mahasiswa asal
Sumatera?
Sebenernya kalau perkumpulan resmi Bengkulu nggak ada, yang ada itu
Padang setahu saya cuma kalau kita biasanya awal semester baru kalau
ada anak baru nih dia anak Bengkulu, kita kumpul gitu kenalan-kenalan
doang tapi bukan komunitas resmi. Kalau Bengkulu yah, kalau Padang
mereka punya komunitas resmi.
36. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon?
Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan mesti ke
Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak ada ini nggak
usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterima-terima aja.
111
37. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah?
Iya.
38. Jadi berapa lama waktu yang diperlukan untuk adaptasi?
Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk kuliah
pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar baru pertama,
lingkungannya baru jadi paling semester awal. Semester 2 mah karena
udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke merekanya. Kita kan biasanya
ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin kita ke satu angkatan jadi setelah IFC
itu paling udah deket, jadi satu semester awal aja.
39. Kegiatan apa aja yang lo lakuin di Cilegon selama ini? Ikut organisasi
apa aja?
Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang Cilegon
dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling ikut-ikut acara
beswan Djarum.
40. Terus apa merantau jauh dari keluarga itu mengubah sikap lo atau
kepribadian lo nggak?
Paling ngerubahnya jadi bisa manajemen waktu, uang.
41. Ke arah yang baik yah?
Tapi yah paling masalahnya kalau misalkan kuliahnya pulang malem,
nggak selalu cerita ke orang tua karena paling ibu pasti ngomongnya
“ngapain kuliah pulang malem-malem sampai jam 12”, padahal mah
emang ngerjain tugas, laporan gitu-gitu.
42. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak?
Pernah, sekarang. Pokoknya ketika orang-orang pada libur, nggak ada
apa-apa. Pengen pulang pasti kayak gitu.
43. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu?
Paling main ke Jakarta ketemu kakak sama abang, kalau nggak telpon
nyokap.
44. Terus kalau pulang ke Bengkulu berapa kali setahun?
Satu semester sekali biasanya setelah ujian semester pulang.
45. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka
punya kendala yang sama nggak kayak lo?
Paling sama mereka pulangnya 1 semester sekali, rata-rata nggak punya
keluarga di sini jadi cari kesibukan aja sendiri-sendiri, butuh adaptasi juga.
112
LAMPIRAN 5
HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 4
Nama Lengkap : Aslam Daniel
TTL : Lampung, 1 Januari 1994
Asal Daerah : Lampung Selatan
Suku : Lampung
Agama : Islam
Jurusan : Teknik Industri angkatan 2012
1. Lo lahir dan besar di Lampung?
Iya lahir dan besar di Lampung
2. Orang tua asli mana?
Kalau nyokap orang Jawa cuma lahirnya di Lampung, kalau bapak baru
asli Lampung.
3. Pernah tinggal di daerah lain nggak sebelumnya?
Sebelumnya belum pernah, baru kali ini.
4. Sebelumnya pernah berkunjung ke Cilegon?
Pernah waktu itu berkunjung ke Cilegon, kan kakak kuliah di sini dulu,
sebelum lulus pernah ngunjungin tuh kakak sekali.
5. Punya saudara di sini nggak?
Saudara nggak ada, cuma kalau temen ibu tuh ada.
6. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa?
Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini.
7. Jadi yang nyebabin lo melakukan perantauan gara-gara diterima di
sini? Emang milih apa SNMPTN-nya?
Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan pertamanya
itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima, keterimanya di pilihan
keduanya industri untirta. Sebenernya waktu dulu mau masuk arsitektur di
Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi cari alternatif lain dan kenapa ambil
Teknik Industri Untirta karena akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena
ngeliat kekurangan gua juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan,
jadi ya TI jadi alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian
pemasaran perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam
113
pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik dan lebih
banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan juga karena udah
biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih. Kalau adat Lampung, laki-laki
orang Lampung itu diharuskan merantau. Gitu.
8. Jadi udah tau duluan UNTIRTA dari kakak yah?
Kalau untirta taunya dari guru di sekolah.
9. Sekarang tinggal di mana?
Di Perumahan Palm nge-kost.
10. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta?
Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di mana-mana, kan
pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga ditolak. Jadi pas tau
bahwa saya keterima di Untirta seneng karena ya udah lah nyokap udah
lega saya udah keterima. Dulu belum pernah mikir bahwa Untirta gimana-
gimana, seneng aja. Terus H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang.
11. Terus bayangan kesenangannya pas bakal pindah ke sini apa aja?
Karena rumah saya itu di Desa yah, bahkan sampai sekarang pun belum
ada alfamart atau indomaret. Bayangannya yah seneng aja gitu bisa kuliah
di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan kota gitu kan.
12. Hal-hal apa aja yang beda dari daerah asal?
Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya kan deket
pantai tapi nggak panas.
13. Terus kalau makanan?
Makanan sama.
14. Kalau bahasa?
Iya kalau bahasa waktu awal-awal semester 1 dan 2. Saya suka dibilang
agak sedikit aneh, kalau ngomong kayak marah-marah dulu kata temen
saya. Katanya intonasinya agak tinggi mungkin karena saya dari Sumatera.
15. Terus ada nggak sih hal-hal yang ngebuat ngerasa nggak cocok tinggal
di sini?
Nggak cocok sih alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah nge-
kost.
16. Tapi masih di Lampung?
Iya masih di Lampung.
17. Terus pernah berpikir untuk pulang nggak karena nggak nyaman
tinggal di sini?
Nggak, tapi awal-awal pernah dulu kalau temen-temen pada pulang.
114
18. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain dari kehidupan sosial di
kampus atau lingkunga sekitar?
Kalau di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh walaupun keras
tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun masih sopan, tapi kalau
di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat gitu kayak sedikit nggak sopan
menurut saya. Kurang ramah lah, agak sedikit keras. Nadanya juga kalau
ngomong terlalu tinggi, nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung
banyak kenal yah jadi kebersamaannya ada, kalau di Cilegon engga begitu.
19. Untuk mengatasi hal yang kayak gitu biasanya apa yang lo lakuin?
Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen yang
sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang yang kayak gitu
yah nyabarin diri aja sih.
20. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non
Sumatera?
Kalau dulu saya nggak tau kalau di sini ada Sumatera lain yah, jadi saya
paling nyari temen. Saya dulu pikirannya saya harus punya temen deket nih
biar saya punya kostan di sini, akhirnya dapet lah temen. Dari satu temen
itu baru kita nyabang kan, temen saya ngenalin saya ke temen-temennya.
Akhirnya tadi ada camp nah dari camp itu disatuin, jadi tau.
21. Terus ada kesulitan nggak sih dalam interaksi sama mahasiswa lain?
Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadang-kadang
dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu nggak sama karena
beda nangkepnya. Bahasanya juga ada beberapa yang beda.
22. Jadi pernah ada miskomunikasi gitu yah?
Iya pernah, sering.
23. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali
berinteraksi sama lo?
Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh di
Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang bilang juga
sedikit aneh freka gitu kan karena kita kan beda budaya yah.
24. Pernah ngerasa minder nggak?
Minder pernah karena saya datang dari desa kan, terus di sini temen-
temennya dari Jakarta Tangerang udah kota-kota maju. Bahkan saya juga
dulu kayak minder diajak ke mana karena saya belum pernah, takut. Kayak
dulu saya juga pernah, kan di sini KFC yah, kalau di sana nggak ada KFC
yah. Mau ke KFC kayak cara bayarnya gitu-gitu kan masih kepikiran. Gitu
sih yang minder dulu.
115
25. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya sama tadi temennya asal
mana?
Asal Bayah.
26. Jadi berbaurnya langsung sama mahasiswa daerah lain yah karena
belum tau ada yang dari Sumatera?
Iya nggak tau.
27. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan dari Lampung?
Kalau dulu ada pernah semester satu dikenalin sama abang panitia
pengenalan kampus, dia orang Lampung. Dia nyariin kostan saya, dia juga
ngenalin temen-temennya yang dari Lampung. Juga ada komunitasnya
dulu, ketuanya ada di Serang jadi kita sering bolak-balik Serang waktu
semester satu.
28. Komunitasnya namanya apa?
Komunitasnya ini perkumpulan, apa yah, pokoknya orang Lampung aja.
29. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon?
Kalau sekarang udah nyaman.
30. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah?
Iya udah melakukan penyesuaian dengan baik
31. Butuh waktu berapa lama untuk adaptasi?
2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp semacem
ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni, senior dan
himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi case gitu sama
games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan seangkatan saling
ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak temen.
32. Kegiatan apa aja yang dilakuin di sini? Ikutan organisasi?
Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan Mahasiswa
Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul sama angkatan sama
jadi asistant lab juga.
33. Terus gara-gara merantau itu mengubah sikap atau kepribadian lo
nggak?
Iya mengubah. Di sana juga sih ngomongnya selalu gue-lo, tapi di sini
berubahnya paling pola pikir. Nggak tau yah karena teman-temannya
sekarang pada heboh gitu saya jadi kebawa. Dulu kan saya orangnya
pendiem.
34. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak?
Pernah, kalau puasa.
116
35. Bedanya puasa di sini sama di sana apa?
Kalau di sana tuh bisa ngaji malem-malem tapi kalau di sini nggak bisa
karena saya nggak kenal sama lingkungannya.
36. Terus kalau lagi homesick gitu biasanya ngapain?
Paling nelpon kalau nggak SMS. Paling nyibukin diri sama temen-temen
biasanya maen ke mana. Tapi kadang kalau saya udah lama nggak pulang,
ibu ke sini.
37. Terus kalau pulang berapa kali setahun?
Sebulan dua kali tapi kalau dulu jarang pulang dari semester 1 sampai
semester 5 lah paling satu semester dua kali pulang. Gara-gara sibuk terus
ongkos mahal, kalau dari sini ke Tangerang kan murah. Kalau dari sini ke
Lampung tuh deket cuma mahal, saya kan bawa motor jadi 50 ribu, PP kan
100.
38. Kalau dari Bakahuni itu masih jauh lagi?
Iya sekitar 1 jam.
39. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka
punya kendala yang sama nggak kayak lo?
Kendala tuh paling tempatnya di sini kita nggak tau daerahnya, kalu mau
cari apa-apa susah karena di sini kan kotanya kecil yah. Terus yang kedua
paling kadang jadi bahan buat ketawa-ketawa gitu karena di Sumatera kan
masih banyaknya perdesaan dari pada kotanya. Terus yang ketiga bahasa,
dulu saya bisa bahasa Lampung tapi sekarang agak lupa karena jarang
dipakai. Waktu awal sih masih tau masih keceplosan juga tapi sekarang
kalau pulang jadi kayak aneh. Jadi kadang saya kalau ngomong bahasa
Lampung malah jadi kecampur bahasa Inggris.
117
LAMPIRAN 6
HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 5
Nama Lengkap : Ferdinand Putra
TTL : Perawang, 7 Oktober 1993
Asal Daerah : Pekanbaru
Suku : Batak
Agama : Kristen
Jurusan : Ilmu Komunikasi angkatan 2013
1. Lahir dan besar di mana?
Lahir dan besarnya di Perawang
2. Kalau orang tua asli mana?
Asli orang tua dari Medan, dua-duanya merantau ke Pekanbaru dari pas
muda.
3. Sebelumnya pernah tinggal di daerah lain nggak?
Pernah tapi paling cuma sebulan kayak gitu doang, ke Jambi pernah.
4. Sebelumnya pernah ke Serang?
Belum, ini pertama kali pas kuliah doang.
5. Punya saudara di Serang?
Di Cilegon ada
6. Kalau ke Cilegon pernah?
Pernah
7. Terus tujuannya melakukan perantauan ke sini apa?
Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau Untirta di
mana juga sebelumnya.
118
8. Terus hal-hal apa aja yang mendorong untuk milih kuliah di
UNTIRTA?
Milih Untirta juga karena asal pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan
ngambil jurusan ikom. Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah
ikom karena pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang
menjurus ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya
tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto gedung
B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom dan di Jawa
karena Jawa kayanya lebih keren.
9. Jadi ikutan SNMPTN?
Nggak, ikut UMB. Pilihan terakhir.
10. Sekarang tinggal di mana?
Tinggal di Serang nge-kost, di BMS.
11. Bagaimana perasaannya waktu tau bakal kuliah di Untirta?
Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama kali
pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan nggak tau
kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih kirain Universitas
di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata sampai di sini..kalau
dibandingin sih sama Universitas Riau di Pekanbaru jauh lebih besar,
kalau kayak gini itungannya TK doang.
12. Ada nggak sih bayangan kesenangan yang sekiranya bakal didapetin
di Untirta waktu pas pertama datang?
Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej pertama
masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi.
13. Hal-hal apa saja yang berbeda antara Riau dan Serang?
Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak misalnya
udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus masih berpikir
sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat orang yang jatuh aja
kayaknya peka banget. Itu sih bedanya.
14. Kalau bahasa gimana?
Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga, pada
mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit banyaknya jadi
belajar.
15. Kalau makanan?
Pernah nyoba sih tapi nggak semuanya, kayak bandeng pernah nyoba.
119
16. Tapi kalau misalnya makanan sehari-hari gimana?
Wah beda banget, kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu
hambar banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh
kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini hambar,
harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja. Mau makan
kayak gimana juga tetep nggak puas.
17. Terus ada hal-hal yang dirasa nggak cocok untuk tinggal di Serang?
Yang nggak cocok makannya sih emang agak susah, penyesuaian diri sama
bahasa. Kalau nongkrong ke mana tuh kadang temen pake bahasa sunda
atau jasengmya jadi belajar nyesuain diri aja.
18. Terus pernah kepikiran untuk pulang nggak?
Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum pernah
pulang udah hampir 3 tahun.
19. Kok nggak pulang?
Sebenernya disuruh pulang tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester
1 pas libur itu disuruh pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya
pulang nggak balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya.
Jadi males pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah.
Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak gitu
mulu.
20. Tapi kangen nggak sih?
Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja, kalau bisa
sampai sukses dulu baru balik.
21. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak disukai dari kehidupan sosial
di kampus atau lingkungan sekitar?
Gue ngerasa kalau pas di kampus nih gue ngeliat jenis-jenis orang tuh jadi
banyak banget. Kalau dulu kan waktu sekolah SMK kayaknya hidup orang
tuh monoton, jadi yang satu berpikiran pulang yah pulang semua. Kalau
sekarang di kampus nih kayak di Jawa nih orang udah berpikiran kayak
“lo-lo gue-gue”. Udah berpikir sendiri ngerasa udah punya masa depan
sendiri. Yah lo ngurusin diri lo sendiri kayak gitu tapi tetep ada sih orang-
orang yang masih berpikiran sosialis.
22. Apa yang lo lakukan untuk mengatasi hal-hal tersebut?
Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang nggak
mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri kayak gitu. Ketika
gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal berpikiran kayak lo jangan
terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin permainan orang juga.
120
23. Terus waktu pas awal datang ke sini gimana sih interaksinya sama
mahasiswa yang dari non Sumatera?
Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu. Misalnya
kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa mereka masing-masing
terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri terus mereka yang ngerti sendiri,
ngerasa kayak dicuekin.
24. Terus ada kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami ketika
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?
Kesulitan myesuain diri supaya gue bisa ngerti mereka ngomong apa.
25. Apa pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi ketika
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?
Pernah sih yang kayak gue kira ini bahasa Sunda eh ternyata ini bahasa
Jasengnya. Jadi kayak salah pake gitu kalau ngobrol suka nggak
nyambung. Masih proses belajar sih.
26. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali
berinteraksi dengan lo?
Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu sama
orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong tuh kayak “lo
bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau logat gue beda, cara
ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue tuh orang yang beda.
27. Tapi menurut lo respon dari mereka lebih ke arah positif atau negatif?
Kalau menurut gue sih kebanyakan positif. Nggak terlalu negatif. Paling
mereka berpikirnya gue kan orang Sumater yah, ngomongnya terlalu keras
kayak gitu yang mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya.
Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah.
28. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika lo
cukup berbeda dari yang lain?
Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep percaya diri
aja.
29. Terus waktu pertama kali datang ke sini, bergaul dengan mahasiswa
dari daerah mana?
Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada senior ngenalin gue sama
orang Medan juga jadi gue nyambung sama orang Medan. Setelah itu baru
menyesuaikan mulai dapet temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga.
121
30. Ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera atau Riau
nggak di sini?
Kebetulan Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang
yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai 2015
nggak ada yang dari Riau.
31. Terus bagaimana perasaan setelah selama ini tinggal di Serang?
Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau dibilang susah
mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen kan pada tembusnya di
Undip, kadang kalau masih berhubungan sama yang di sana kayak masih
ada nyesel, tapi kalau ketemu temen-temen lagi yang di Untirtanya terus
nongkrong bareng seru-seruan, jadi nggak kepikiran lagi.
32. Terus berarti sekarang proses penyesuaian dirinya masih berjalan atau
sudah selesai?
Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak bahasa
sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga.
33. Tapi waktu awal butuh penyesuaian diri berapa lama?
Lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali yah.
34. Sekarang ikutan kegiatan apa aja di kampus atau di luar kampus?
Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut komunitas fixie
gitu di luar kampus.
35. Bagaimana sikap dan kepribadian lo setelah melakukan perantauan?
Iya, kayak kemarin telponan sama orang tua itu ada respon, gue nggak tau
ini positif atau negatif, “Bang, kayaknya logatnya agak berubah dikit”. Jadi
kayak ada kombinasi dari logat gue dari yang Pekanbaru kecampur sama
logat yang dari Jawa gitu yang kayak orang-orang di sini deh.
36. Emang kalau di Pekanbaru logatnya apa sih? Melayu?
Melayu-Minang. Jadi di sono tuh mayoritas orang tuh kalau nggak
bahasanya Minang yah Melayu sama kayak yang Padang tapi Minangnya
kasar, tapi Minang Padang ada 2 juga, Minang kasar sama lembut.
37. Bisa contohin logat Pekanbaru nggak?
Kalau misalnya bahasa Minangnya itu kalau di Padang kan “Ambo”
pakenya, “Ambo itu saya, kalau di Pekanbaru itu “Aden”. “Aden nio payi”
– aku mau pergi. Kalau di bahasa Padang halusnya kan “Ambo nio ka
payi”.
122
38. Jadi kalau di sini kan pakainya “gue-lo” sekarang, susah nggak?
Gue dulu pertama kali sampai di sini kan gue bahasanya “aku-kau” sama
“aku-kamu”. Jadi gue belajar juga nyesuain pake “lo-gue” itu gue
nyesuainnya hampir 1 sampai 2 semester pakai bahasa “lo-gue”.
39. Pernah denger istilah “homesick” nggak?
“Homesick?”
40. Iya kangen rumah gitu. Lo kan nggak pernah pulang yah, terus gimana
kangen nggak?
Sebenernya kangen-kangennya kalau liat temen tiap hari Sabtu kan balik,
itu suka kepikiran temen gue bisa balik. Kadang dimotivasi juga sama
temen kan, “lo nggak balik?” “yakin lo nyuruh gue balik?” gue bilang
kayak gitu. Seolah-olah dia nyuruh gue balik tapi kalau gue balik, gue
nggak akan balik.
41. Terus kalau udah kangen begitu ngatasinya gimana?
Paling telponan sih.
42. Terus kan ada mahasiswa rantau dari Sumatera juga yah.
Sepengetahuan lo, bagaimana pengalaman teman-teman mahasiswa
rantau yang lain? Apa memiliki kendala yang sama dengan lo?
Pasti. Waktu pertama kali sampe kan orang Sumatera ngomongnya “aku-
kau” “aku-kamu” yah jadi harus menyesuaikan bahasanya sama cara
bergaul sih kayaknya beda. Bisa dibilang sedikit lebih bebas sih, soalnya
gue liat tuh di Untirta lebih banyak pendatang dibandingkan orang
pribuminya, jadi ada percampuran budaya kayak ada orang-orang Jakarta
yang bebas gitu terus dicampur sama orang pribumi terus ada lagi dari
orang pulau jawa sananya terus dicampur lagi jadi macem-macem gitu.
123
LAMPIRAN 7
HASIL WAWANCARA INFORMAN PENDUKUNG
Nama Informan: Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si.
1. Apakah yang dimaksud dengan pengertian komunikasi?
Kalau pengertian komunikasi yang sudah kita sama-sama pahami yah,
ketika ada orang saling mengoper sebuah pesan, sebuah simbol juga itu
komunikasi yah. Kalau pengertian lebih jauh kan, kalau kata Prof Onong
atau Devito, ketika ada saling sama-sama paham baru disebut komunikasi,
kalau tidak paham berarti miskomunikasi. Itu secara umum komunikasi.
Jadi kegiatan orang menyampaikan pesan itu dalam arti luas bisa gambar,
bisa benda, seperti saya ngasih hadiah ke sesorang yang saya sukai, itu kan
juga komunikasi.
2. Apakah yang dimaksud dengan budaya?
Budaya itu kan luas yah pengertiannya. Cara berpikir juga budaya,
makanan juga bisa berarti suatu kebudayaan, bahasa sendiri kan budaya,
cara berpakaian juga budaya, sikap juga budaya. Kenapa kita harus
bersikap berbeda ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau
lebih senior dari kita kan itu juga menandakan. Budaya itu punya
pengertian yang sangat luas, kalau anda tanya saya budaya itu apa sih,
cara ngomong juga budaya kan. Kenapa kita harus “assalamualaikum”
atau mengucapkan salam lah ketika kita berjumpa seseorang yang kita
kenal. Mungkin karena itu budaya yang mengajarkan pada kita melalui
pemahaman oleh orang tua kita kan, kita diajarkan. Karena budaya kan
sesuatu yang bisa dipelajari, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke
generasi bisa lewat komunikasi seperti ini, bisa lewat belajar.
3. Apakah yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya?
Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi antarbudaya
sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam pengertian apa dulu,
entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda dengan saya, saya dosen
anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan posisi yah, pekerjaan atau status.
Itu juga bisa dikatakan komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara
nanyanya, nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang
entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi antarbudaya
bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan orang tua anda juga
bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya.
Anda bisa praktikan bagaimana anda berkomunikasi dengan teman anda
dan bagaimana anda berkomunikasi dengan orang tua anda.
124
4. Apa yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan? Apakah
ada faktor-faktor tertentu?
Yah banyak hal. Misalnya kalau kita pilah-pilah yah, saya juga nggak bisa
spesifik faktornya apa. Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti
mau nggak mau kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Mungkin itu salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin
nambah penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari
tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Jadi faktor
pendorongnya, motivasi dia belajar. Katanya kalau dari Sumatera baik
Minang maupun Batak memang ada jiwa perantau, tapi faktor spesifiknya
mungkin anda bisa baca yah kenapa sih orang Minang merantau. Mungkin
dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.
Kita harus bisa menyesuaikan sehingga dia ada ketekadan untuk itu, ada
nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat
penghasilan lebih, dia kan harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar,
pendidikan. Karena kawin juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa
kan wanitanya bisa pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa.
Tapi kalau spesifiknya tuh saya juga nggak bisa ngejelasin, sebetulnya
kenapa karena belum pasti ngadain riset. Mungkin sudah ada itu penelitian-
penelitian tentang orang Minang suka merantau atau kalau di Sunda itu
orang Tasik, banyak yang merantau laki-lakinya.
5. Apa yang dimaksud dengan culture shock?
Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang di
sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi
kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di
rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama
kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga
sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan
itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar
budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia,
kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai
malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari
kurang beradaptasi.
6. Apakah culture shock memiliki fase atau tahapan?
Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang beda-beda,
tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini, semakin dia
banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia akan semakin
meminimalkan gegar budaya itu. Misalnya saya mau ke Papua, paling
nggak saya sedikit banyak kan tahu tentang Papua. Kalau saya tidak bisa
mengatakan tahap-tahap yah bagaimana sih fasenya. Yah fasenya
sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti ada gegar
budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum terbiasa dapat jamuan
makan malam lengkap, mungkin juga anda bingung pakai baju apa. Kan itu
juga termasuk gegar budaya, tidak mesti terjadi antar tempat ke tempat
125
lain. Ketika kita masuk ke dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan
kita, itu biasanya juga akan terjadi gegar budaya. Misalnya anda komunitas
mahasiswa Untirta, anda masuk ke komunitas IAIN, mungkin juga anda
agak merasa “kok beda yah suasananya”. Sebenarnya gegar budaya itu
tidak mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur
lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak siapan
kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu. Menurut pandangan
saya, ketika ada seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan
yang baru bisa dikatakan terjadi shock culture. Misalnya saya menerapkan
kebijakan mahasiswa yang masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti
kan banyak yang protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan
mengubah tradisi yang ada.
7. Saya kan sudah wawancara sebelumnya dengan mahasiswa asal
Sumatera, Pak. Waktu awal mereka mau merantau mereka memiliki
semangat dan ekspektasi tersendiri. Apakah benar orang yang mau
merantau memiliki ekspektasi?
Iya harapan, ternyata nggak?
8. Kebanyakan sih bener, Pak, harapannya tingi-tinggi tapi pas datang
kok gini yah. Kebanyakan yang dari Sumatera nganggepnya Jawa itu
lebih baik, Pak.
Kotanya asalnya mana?
9. Medan, Pekanbaru, Lampung dan Bengkulu.
Kalau Bengkulu kita masih bersaing lah, saya kan pernah ke sana. Kalau
kayak orang Palembang, orang Medan, orang Bandar Lampung pasti
kecewa karena nggak sesuai dengan harapan mereka, pas masuk ke Serang
di Serang nggak ada apa-apa. Kayak di Medan, Medan kan kota besar ke-
4 atau ke-5 di Indonesia. Jauh. Palembang juga.
10. Waktu pertama kali berinteraksi dengan orang-orang non Sumatera,
mereka mengalami perbedaan sehingga adanya celetukan atau
sindiran. Hal itu dikarenakan oleh apa?
Itu mah biasa yah, di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka
jumpai pasti ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang
didatangi. Itu bagain dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama
mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses penyesuaian,
adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah memang dari yang
datang, harus banyak beradaptasi karena mereka kan pendatang dalam
pengertian untuk bisa diterima di lingkungan baru tentunya harus banyak
penyesuaian kepada lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya
kalau orang Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan
adat di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok
masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali memang
126
sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada yang
dipersoalkan.
11. Terus ada stereotype kalau orang Jawa itu nganggep orang Sumatera
lebih keras, pak. Nah ternyata setelah wawancara, orang Sumatera ini
yang lebih banyak menganggap orang Jawa lebih individual. Menurut
bapak gimana?
Saya nggak tau persis yah datanya, kata siapa orang Jawa lebih individual
atau orang Sumatera lebih keras. Saya punya kawan orang Sumatera baik-
baik, lembut-lembut bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya
juga dengan lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik,
kasat mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka
seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya budaya, kita
tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya B kurang sopan
karena ukurannya lain tergantung nilai budaya tersebut. Apakah makan
pakai tangan mengepal buat orang Sumatera itu sopan atau tidak sopan,
menurut mereka memang budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara
makan pakai tangan itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut
kan orang Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam
berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa dikatakan
tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.
127
128
129
130
131
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ayu Siti Rachma
Tempat Lahir : Serang
Tanggal Lahir : 03 November 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Komp. Pasir Indah, Jl. Sarikaya B.21 Serang - Banten
No. Telp : 089-66-5484-333
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1998 – 1999 : TK KWPK Serang - Banten
1999 – 2005 : SD Negeri Cinanggung Serang - Banten
2005 – 2008 : SMP Negeri 1 Kota Serang – Banten
2008 – 2011 : SMA Prisma Serang Banten
2011 – 2016 : S1- Jurusan Ilmu Komunikasi -
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pengalaman Organisasi :
2012 : UKM Jurnalistik UNTIRTA
Kursus :
2010 : LIA Serang
Pengalaman Kerja :
Sep 2014 – Okt 2014 : Job Training di Humas Setda Kabupaten Serang