ICASERD WORKING PAPER No.61
STUDI AGRIBISNIS ITIK INTENSIFIKASI DI NUSA TENGGARA BARAT
Bambang Rahmanto Agustus 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 61
STUDI AGRIBISNIS ITIK INTENSIFIKASI DI NUSA TENGGARA BARAT
BAMBANG RAHMANTO Agustus 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496 E-mail : [email protected]
No. Dok.063.61.8.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
STUDI AGRIBISNIS ITIK INTENSIFIKASI DI NUSA TENGGARA BARAT
Bambang Rahmanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. Ahmad Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan kembali pertumbuhan populasi, produksi telur dan daging ternak itik di Nusa Tenggara Barat telah dilakukan introduksi teknologi budidaya itik sistem terkurung melalui program SPAKU dan KUBA di Kabupaten Lombok Barat. Penerapan teknologi intensifikasi tersebut dalam agribisnis itik memiliki potensi sebagai upaya pemberdayaan masyarakat berpendapatan rendah yang berlahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sawah/tegalan, karena dengan sistem budidaya itu peternak dapat memanfaatkan lahan pekarangan. Pada kondisi harga-harga pakan normal, hasil analisis finansial menun-jukkan indikasi kelayakan usaha. Permasalahannya adalah sering terjadinya kelangkaan pakan yang mengakibatkan harga dan biaya usahatani melonjak. KUBA itik merupakan salah satu KUBA yang menunjukkan kinerja yang baik dan memiliki potensi untuk berkembang. Hal ini disebabkan oleh adanya dukungan kondisi lingkungan faktor internal dan eksternal yang kondusif. Strategi yang perlu ditempuh dalam pengembangan KUBA adalah mempertahankan stabilitas yang mencakup tiga unsur kegiatan: (1) menjaga terjaminnya kontinyuitas jumlah pasokan bahan baku pakan; (2) menjaga stabilitas harga pakan; dan (3) mengembangkan formulasi pakan yang lebih banyak menggunakan komponen lokal. Sementara itu dalam kaitan dengan diversifikasi produk yang perlu dilakukan KUBA adalah: (1) pengembangan usaha pembibitan; dan (2) pengelolaan pemasaran itik jantan dan itik afkir. Untuk mendorong kinerja KUBA menuju badan usaha yang mandiri diperlukan pembinaan kelembagaan yang lebih intensif dan sistematis.
Kata Kunci : agribisnis; itik; intensifikasi.
PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Pertanian dalam rangka
pembinaan dan pengembangan agribisnis di Indonesia adalah melalui pendekatan
sistem pengembangan komoditas unggulan dalam satuan wilayah kerja agribisnis yang
dikenal dengan sebutan SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditias
Unggulan), yang di dalamnya tercakup unsur pengembangan teknologi, sarana dan
prasarana, pengolahan, pemasaran, dan pembinaan.
Dalam menindaklanjuti program penumbuhan SPAKU tersebut, pada tahun
anggaran 1996/1997 telah ditetapkan tiga komoditas unggulan Provinsi Nusa Tenggara
Barat, yaitu komoditas itik, rumput laut, dan kedelai. Itik ditetapkan sebagai komoditas
unggulan di Kabupaten Lombok Barat, sedangkan rumput laut dan kedelai masing-
masing ditetapkan sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Lombok Timur dan
Kabupaten Bima. Komoditas unggulan tersebut merupakan komoditas yang telah
dikembangkan pada Proyek Pembangunan Rakyat Terpadu (P2RT) yang diharapkan
2
dapat berperan di antaranya dalam meningkatkan sumbangan Produk Domestik
Regional Bruto sektor peternakan, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
pendapatan per kapita.
Berdasarkan hasil analisis AHP (Analytical Hierarcy Process) yang dilakukan oleh
Tim IPB (1997), menunjukkan bahwa komoditas itik menduduki peringkat ketiga sebagai
komoditas unggulan ternak di Provinsi Nusa Tenggara Barat setelah ternak sapi dan
ayam buras. Program pengembangan komoditas itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat
pada umumnya dan Kabupaten Lombok Barat pada khususnya, tampaknya didasarkan
pada pertimbangan yang salah satunya berkaitan dengan upaya mengantisipasi
kecenderungan penurunan tingkat pertumbuhan populasi, produksi telur, dan daging itik
di wilayah itu. Sementara itu, permintaan terhadap hasil ternak itik cukup prospektif
dalam mendukung perekonomian daerah maupun peningkatan pendapatan rumahtangga
masyarakat pedesaan.
Usaha pembudidayaan ternak itik telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat
pedesaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tetapi, berdasarkan data sensus pertanian
yang dikutip Dirjen Peternakan (1996) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga
peternak itik di Provinsi tersebut terus mengalami penurunan dari 32.535 rumah tangga
pada tahun 1973 menurun drastis menjadi 7.672 rumah tangga pada tahun 1983, dan
pada tahun 1993 tinggal 5.000 rumahtangga. Semakin terbatasnya lahan
penggembalaan itik sebagai akibat dari penerapan program intensifikasi padi di lahan
sawah berdampak pada semakin berkurangnya jumlah rumahtangga yang
mengusahakan ternak itik dengan sistem pemeliharaan secara tradisional.
Introduksi teknologi pemeliharaan itik dengan sistem terkurung dapat
menghindarkan adanya hambatan keterbatasan lahan penggembalaan tersebut di atas.
Pemanfaatan bibit unggul itik petelur yang tidak memerlukan kondisi keberadaan air yang
melimpah pada sistem pemeliharaan secara intensif (terkurung) memiliki potensi untuk
meningkatkan kembali pertumbuhan jumlah peternak itik di Provinsi Nusa Tenggara
Barat pada umumnya dan Kabupaten Lombok Barat pada khususnya, karena dengan
sistem ini pemeliharaan itik dapat dilakukan di lahan pekarangan dan penyediaan air
hanya diperlukan untuk kebutuhan pemberian air minum itik. Keuntungan lainnya adalah:
(1) Skala usaha dapat ditingkatkan hingga mencapai kondisi optimal. Laporan Kanwil Deptan Nusa Tenggara Barat (1998) menyebutkan bahwa jumlah ternak yang dipelihara secara terkurung (intensif) rata-rata mampu mencapai 146 ekor dengan kisaran 20-800 ekor, sedangkan kemampuan pemeliharaan oleh
3
peternak tradisional rata-rata hanya mencapai 24 ekor dengan kisaran 10-55 ekor.
(2) Produktivitas dapat dioptimalkan selaras dengan jumlah dan kualitas ransum yang diberikan. Penelitian IPTP Mataram (1997) membuktikan bahwa itik yang dipelihara secara terkurung mampu berproduksi lebih awal (138 hari vs 153 hari) dan produksi telur lebih tinggi dibandingkan dengan cara digembala (1.827 vs 1.294 butir/100 ekor pada umur 32 minggu).
(3) Tingkat kematian itik lebih rendah karena pemeliharaan dengan sistem terkurung lebih mudah melakukan pengontrolan, baik melalui sanitasi maupun pemberian obat yang teratur. Hasil penelitian IPTP Mataram (1997) menunjukkan bahwa tingkat kematian ternak pada sistem terkurung lebih rendah (14,89% vs 27,56% hingga umur 32 minggu).
Manfaat dari segi pendapatan dalam usaha peternakan itik antara lain dapat
memberikan pendapatan tunai yang kontinyu setiap hari kepada peternak pada masa
umur itik produktif melalui penjualan hasil telur, sehingga peternak dapat memenuhi
kebutuhan hariannya, seperti pengeluaran untuk konsumsi pangan, pengeluaran untuk
kebutuhan anak sekolah, dan lain sebagainya. Hasil kotoran ternak dan itik afkir
merupakan hasil sampingan yang merupakan bagian dari sumber pendapatan peternak
yang memiliki nilai ekonomi yang cukup berarti. Hasil laporan Kanwil Deptan NTB (1997)
menyebutkan bahwa pendapatan rata-rata peternak itik dengan sistem terkurung
mencapai Rp 225.270 per bulan pada tingkat skala usaha 145 ekor, sedangkan untuk
sistem pemeliharaan digembala diperoleh pendapatan rata-rata Rp 53.615 per bulan
pada tingkat skala usaha 24 ekor.
Kelemahan sistem pemeliharaan itik secara terkurung bagi peternak dengan
modal kecil adalah pembiayaan pakan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
sistem pemeliharaan dengan cara digembalakan. Meskipun demikian, biaya pakan
tersebut dapat ditekan dengan cara memanfaatkan bahan pakan lokal yang potensial
dan mudah diperoleh dengan harga murah, seperti dedak padi dan tepung katak atau
siput sebagai pakan alternatif pengganti konsentrat. Selain itu dapat pula dicari solusi
dengan mengatur komposisi ransum sedemikian rupa sehingga dapat dicapai tingkat
biaya yang minimum atau tingkat keuntungan yang maksimum.
Pada saat ini porsi peternakan itik secara intensif di Kabupaten Lombok Barat
baru mencapai sekitar 7,0 persen dimana jenis itik yang dipelihara sebagian besar
(92,86%) terdiri dari itik Kheki Cambell, dan sisanya adalah itik lokal Lombok (7,14%).
Sementara itu, jenis itik yang dipelihara secara tradisional (digembala) sebagian besar
4
(87,84%) terdiri dari itik lokal Lombok, dan sisanya berupa itik Bali, Mojosari, dan Kheki
Cambell (Kanwil Deptan Nusa Tenggara Barat, 1997 dan 1998b).
Studi ini bertujuan untuk mempelajari keragaan agribisnis itik di Kabupaten
Lombok Barat, terutama di daerah pengembangan program SPAKU yang menerapkan
teknologi intensif. Studi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kinerja Kelompok Usaha
Bersama Agribisnis (KUBA) itik dalam upayanya memberdayakan ekonomi rumahtangga
peternak itik melalui aktivitas usaha bersama yang terkoordinasi.
METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei di lokasi pengembangan
KUBA itik di Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Barat pada bulan Juli – Agustus 1999. Sumber data diperoleh dari petani anggota dan
non anggota KUBA sebanyak 25 responden, pengurus KUBA, dan informan kunci
lainnya yang terdiri dari tokoh masyarakat, pembina dan pejabat dari instansi terkait serta
data sekunder sebagai pendukung dalam memahami kondisi daerah penelitian dan
identifikasi kondisi organisasi/managemen KUBA. Petani contoh dipilih secara acak.
Metode Analisis Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan model agribisnis yang berlaku
secara umum di lokasi contoh maupun yang dilaksanakan oleh organisasi KUBA guna
memberikan gambaran kinerja KUBA sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai
lemba-ga ekonomi rakyat. Analisis kelayakan finansial digunakan untuk melihat tingkat
kemampuan usahatani itik dalam memberikan profitabilitas, pendapatan dan nilai tambah
kepada peternak. Analisis SWOT dipergunakan untuk memformulasikan strategi
pengem-bangan KUBA. Berdasarkan identifikasi peubah-peubah internal (SW) dan
eksternal (OT) dibuat tabel analisis internal faktor (IFAS) dan tabel analisis eksternal
faktor (EFAS) dengan memberi bobot dan rating. Pemberian bobot didasarkan atas
keunggulan-keunggulan relatif terhadap faktor lainnya, sedangkan pemberian rating
didasarkan atas kondisi aktual atau prediksi kemampuan KUBA untuk masa datang.
Berbagai alternatif strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis SWOT Matrik
(Diagram 1).
5
Total skor faktor internal Kuat Rata-rata Lemah 4,0 3,0 2,0 1,0
Kuat
3,0
I: Pertumbuhan Strategi
konsentrasi melalui integrasi
vertikal
II: Pertumbuhan Strategi konsentrasi
melalui integrasi horizontal
III: PenciutanStrategi
turn around
Menengah
2,0
IV: Stabilitas Strategi stabilitas
V: Pertumbuhan/stabilitas Strategi integrasi
horizontal/ stabilitas
VI: Penciutan Strategi divestasi
Rendah
1,0
VII: PertumbuhanStrategi
diversifikasi konsentrik
VIII: Pertumbuhan Strategi diversifikasi
konglomerat
IX: LikuidasiStrategi likuidasi/ bangkrut
Sumber: Rangkuti (1999)
Diagram 1. Alternatif strategi SWOT matrik
Indikator faktor internal yang mempengaruhi kinerja organisasi KUBA
diasumsikan mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
(1) Manajemen: struktur organisasi; pembagian tugas; dan kualitas kelengkapan pengurus.
(2) Produksi: kapasitas; kualitas produk; skala ekonomi; diversifikasi produk; biaya produksi; efisiensi biaya; ketersediaan bahan baku; dan integrasi vertikal.
(3) Pemasaran: harga jual; penguasaan pasar; akses terhadap informasi pasar; image, reputasi, dan kualitas; saluran distribusi; efektivitas promosi; dan pembentukan harga.
(4) Sumberdaya fisik: lahan usaha; gudang; bangunan kantor; dan peralatan.
(5) Sumberdaya manusia: personil managemen; efektivitas sistem intensive; spesialisasi keterampilan; dan pengalaman.
(6) Sumberdaya finansial: kemampuan peningkatan kapital jangka pendek; kemampuan peningkatan kapital jangka panjang; labor relation cost vs pesaing; consistency and barier to entry; dan ability to reduce cost.
Indikator faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja KUBA diasumsikan
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
(1) Kebijakan pemerintah: prioritas pengembangan pemerintah; pembinaan pasar oleh petugas; adanya perkembangan teknologi; perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing; pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan; dan peningkatan infrastruktur perhubung-an dan telekomunikasi
Tota
l sko
r fak
tor e
kste
rnal
6
(2) Kondisi pasar input/output: kondisi konsumen; harga input; peningkatan posisi tawar pembeli; dan segmen pasar yang terabaikan.
(3) Kondisi sosial/kemasyarakatan: kependudukan; dan peningkatan hubungan baik dengan konsumen.
(4) Kondisi perekonomian: kondisi ekonomi; dan keberadaan sumber modal dari luar.
(5) Perkembangan sektor swasta: perusahaan mitra; perusahaan pesaing; dan masuknya kompetitor baru.
(6) Kondisi politik dan keamanan.
(7) Cekaman hama/penyakit dan perubahan cuaca.
Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan KUBA dilakukan evaluasi
dengan mengidentifikasi unsur-unsur mana yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari
aspek internal KUBA serta unsur-unsur mana yang menjadi peluang dan tantangan/
ancaman dari aspek eksternal KUBA. Selanjutnya dilakukan inventarisir terhadap unsur-
unsur kekuatan dan kelemahan maupun unsur-unsur peluang dan ancaman, masing-
masing dalam sebuah tabel analisis faktor internal dan tabel analisis faktor eksternal dan
memberikan nilai skor untuk setiap unsur. Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian bobot
dan skala. Pemberian bobot didasarkan atas keunggulan relatif terhadap faktor lain,
sedangkan pemberian skala didasarkan didasarkan atas kondisi aktual atau prediksi
kemampuan organisasi di masa yang akan datang. Nilai bobot berkisar antara 0,0 (tidak
penting) sampai 1,0 (paling penting), sedangkan nilai skala berkisar antara 1 (sangat
buruk) sampai 4 (sangat baik). Hasil total nilai skor unsur kekuatan dan kelemahan pada
faktor internal dan total nilai skor unsur peluang dan ancaman pada faktor eksternal
memberikan indikasi alternatif strategi pengembangan KUBA dengan mengacu pada
kriteria seperti tersaji pada Diagram 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Agribisnis Itik
Pengadaan Sarana Produksi dan Modal Usaha
Adanya bantuan ternak itik dari P2RT telah mendorong motivasi anggota
kelompok untuk mengadakan ternak itik secara swadana. Jumlah ternak itik hasil
swadana hingga bulan Desember 1998 mencapai sekitar 30 persen dari jumlah bantuan
itik yang hidup. Sekitar 42 persen dari anggota kelompok melakukan penambahan
jumlah ternak secara swadana antara 20 - 140 ekor atau rata-rata 69 ekor per anggota
dengan cara membeli dari penangkar (60%) atau menetaskan sendiri (40%).
7
Sumber pakan dan obat-obatan, selain diperoleh dari paket bantuan, peternak
juga melakukan pembelian di toko. Pada kondisi harga pakan mahal, peternak meramu
sendiri dengan menggunakan bahan-bahan lokal, seperti dedak dan siput. Modal usaha
diperoleh dari paket bantuan P2RT, swadana, atau pinjaman dari KUBA.
Produktivitas
Tingkat produktivitas itik dari anggota kelompok KUBA mencapai sebesar 10,1 -
38,2 persen pada umur itik 6 – 20 bulan (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan tingkat
produktivitas dari petani sample binaan IPPTP Mataram (1997) di Desa Dasan Tereng,
maka tingkat produktivitas rata-rata dari anggota kelompok KUBA tersebut relatif masih
rendah, karena produksi dari sample IPPTP Mataram bisa mencapai sekitar 12,0 - 42,1
persen pada umur itik sekitar 5-8 bulan (Tabel 2). Hasil penelitian Yuwanta et al., (1979)
juga menunjukkan adanya indikasi tingkat produktivitas telur yang rendah dari
pengelolaan peternak penerima bantuan pemerintah di enam rukun kampung Kodya
Yoyakarta, yaitu sekitar 25,53 - 30,24 persen pada umur itik sekitar 6 -12 bulan (Tabel 3).
Faktor penyebab rendahnya tingkat produktivitas telur yang dicapai sebagian
besar anggota KUBA antara lain disebabkan oleh: (1) Penguasaan teknologi dan
pengalaman yang belum cukup; (2) penerapan formulasi pakan yang menyimpang dari
ransum pakan anjuran, yang disebabkan oleh peningkatan harga pakan yang tajam pada
masa krisis moneter hingga mencapai sekitar 45-100 persen; (3) Perubahan ransum
pakan secara mendadak, dimana komponen konsentrat digantikan dengan siput pada
saat terjadinya kelangkaan ketersediaan konsentrat di pasaran yang menyebabkan
terjadinya stagnasi atau bahkan penurunan produksi. Berdasarkan penuturan peternak
yang berhasil, teknik untuk menghindarkan terjadinya stagnasi atau penurunan produksi
adalah dengan melakukan perubahan ransum secara berangsur-angsur dengan
memperhatikan proporsi antara komponen konsentrat dengan siput. Menurut
Suriapermana et al., (1993), itik sangat peka terhadap perubahan jenis makanan.
Dari rata-rata produksi peternak yang berhasil (sample terpilih) menunjukkan
bahwa tingkat produktivitas telur yang diperoleh cukup tinggi, yaitu dari itik umur 7 bulan
rata-rata mencapai 21,0 persen, dan terus terjadi peningkatan hingga mencapai 40,8 -
61,1 persen pada itik umur 18-22 bulan (Tabel 1). Fakta ini mengindikasikan bahwa
penerapan teknologi budidaya itik dengan sistem terkurung memiliki potensi untuk
memberikan tingkat hasil yang tinggi dan sesuai untuk dikembangkan di lokasi
setempat apabila
8
Tabel 1. Produksi dan produktivitas telur per 100 ekor itik dari seluruh sample anggota peternak dan sample terpilih
Seluruh sample anggota peternak yang telah berproduksi Sample terpilih
Produksi (butir) Produktivitas (%) Produksi (butir) Produktivitas (%) Umur
Itik (bulan) Rata-rata Estimasi
regresi1) Rata-rata Estimasi
regresi1) Rata-rata Estimasi
regresi2) Rata-rata Estimasi
regresi2)
6 303 352 10,1 11,7 300 448 10,0 14,9
7 498 458 16,6 15,3 630 539 21,0 18,0
8 514 555 17,1 18,5 803 627 26,8 20,9
9 633 643 21,1 21,4 764 712 25,5 23,7
10 732 723 24,4 24,1 925 793 30,8 26,4
11 895 794 29,8 26,5 905 871 30,2 29,0
12 829 857 27,6 28,6 908 945 30,3 31,5
13 944 911 31,5 30,4 988 1.015 32,9 33,8
14 1.073 956 35,8 31,9 983 1.083 32,8 36,1
15 922 993 30,7 33,1 1.005 1.146 33,5 38,2
16 905 1.021 30,2 34,0 1.025 1.206 34,2 40,2
17 1.011 1.040 33,7 34,7 1.174 1.263 39,1 42,1
18 1.077 1.051 35,9 35,0 1.224 1.316 40,8 43,9
19 1.130 1.054 37,7 35,1 1.550 1.366 51,7 45,5
20 1.147 1.047 38,2 34,9 1.547 1.413 51,6 47,1
21 - - - - 1.519 1.455 50,6 48,5
22 - - - - 1.832 1.495 61,1 49,8 SUMBER DATA : KOPERASI ITIK SEJAHTERA (HASIL CATATAN PRODUKSI TELUR DARI PARA ANGGOTA KELOMPOK) KETERANGAN : 1) PERSAMAAN REGRESI: Y = 237,89 + 118,5054 X - 4,3023 X2; R = 0,7654 2) PERSAMAAN REGRESI: Y = 353,06 + 96,6910 X - 1,7370 X2; R = 0,7510
9
Tabel 2. Produksi dan produktivitas telur itik sample peternak binaan IPTP Mataram pada skala usaha 100 ekor di Desa Dasan Tereng, Narmada
Produksi (butir) Produktivitas (%) Umur itik (minggu)
Digembala Terkurung Digembala Terkurung
17 - 20 0 51 0 1,7
21 - 24 131 361 4,4 12,0
25 - 28 745 1.142 24,8 38,1
29 - 32 864 1.264 28,8 42,1
Sumber: IPTP Mataram (1997)
Tabel 3. Produksi dan produktivitas telur itik dari peternak penerima bantuan itik Alabio di enam rukun kampung Kodya Yogyakarta tahun 1979
Bulan produksi
Umur itik (bulan)
Produksi (butir)
Produktivitas (%)
Februari 6 8.241 25,53
Maret 7 9.937 30,78
April 8 9.545 29,57
Mei 9 8.247 25,55
Juni 10 8.319 25,77
Juli 11 8.819 27,32
Agustus 12 9.761 30,24 Sumber: Yuwanta et al (1979) Keterangan : - Populasi itik sebanyak 1086 ekor, termasuk jantan 10 ekor. - Pemeliharaan dimulai dengan induk itik produktif umur 6 bulan
dibarengi dengan keterampilan peternak dalam meramu komposisi pakan secara
optimal. Pengetahuan mengenai kesehatan hewan juga sangat penting, baik dari aspek
keterampilan pengobatan maupun sanitasi lingkungan. Itik peka terhadap kondisi
lingkungan dan kotorannya sangat berbau (Scot and Heuser, 1951). Hasil wawancara
dengan pengurus Kelompok Tani di Narmada mengindikasikan adanya peluang
terjadinya kematian ternak yang cukup tinggi, hingga mencapai di atas 20 persen
10
sebagai akibat kurang diperhatikannya sanitasi lingkungan. Kematian ternak terjadi
secara tiba-tiba dan menyebar cepat kepada peternak lainnya.
Kelayakan Usahatani Hasil simulasi analisis kelayakan usahatani ternak itik sistem terkurung pada
Tabel 4 memberikan gambaran sebagai berikut:
(1) Pada tingkat harga pakan proporsional terhadap harga jual telur (harga dedak sebesar Rp 250/kg, konsentrat Rp 2.400/kg, dan harga telur Rp 650/butir), maka tingkat produktivitas telur yang dihasilkan berdasarkan rata-rata produksi telur dari keseluruhan sample anggota (model I) masih memberikan kelayakan usaha dengan NPV2%/bulan sebesar Rp 1.017.054, Net B/C ratio sebesar 1,34 dan IRR sebesar 3,74 persen. Keuntungan produksi mulai diperoleh pada tingkat produksi 643 butir/100 ekor/bulan atau 21,4 persen pada saat 8 bulan pemeliharaan, yaitu sebesar Rp 33.550/bulan.
(2) Pada saat harga dedak dan konsentrat masing-masing meningkat menjadi Rp 500/kg dan Rp 3.500/kg, sedangkan harga telur dan pola produksi tetap (Model II), maka usahatani tidak layak untuk dilakukan, karena NPV bernilai negatif.
(3) Pada kondisi harga pakan dan harga telur sama seperti pada model II, tetapi pola produksi mengikuti model sample terpilih (model III), maka kelayakan usahatani masih dapat dicapai, dimana NPV2%/bulan mencapai sebesar Rp 1.209.786, Net B/C ratio sebesar 1,27, dan IRR sebesar 3,19 persen (Tabel 4). Keuntungan produksi mulai diperoleh pada tingkat produksi 945 butir/100 ekor/bulan atau 31,5 persen pada saat 12 bulan pemeliharaan, yaitu sebesar Rp 2.250/100 ekor/bulan.
(4) Pada model IV disimulasikan terjadi kenaikan harga konsentrat dari Rp 2.400 menjadi Rp 3.500 pada saat pemeliharaan anak itik umur 2-5 bulan. Kemudian terjadi kelangkaan konsentrat pada saat itik umur produktif, sehingga petani mengganti dengan pakan alternatif, yaitu berupa siput. Harga dedak stabil sebesar Rp 250 dan pola produksi mengikuti model I. Hasil analisis model IV ini memberikan gambaran bahwa usahatani masih layak untuk dilakukan, meskipun besar-nya NPV2%/bulan hanya mencapai sekitar Rp 231.901 dan Net B/C ratio sebesar 1,07. Model IV ini menghasilkan IRR sebesar 2,44 persen (Tabel 4). Keuntungan produksi mulai diperoleh pada tingkat produksi 643 butir/100 ekor/bulan atau 21,4 persen pada saat 8 bulan pemeliharaan, yaitu sebesar Rp 9.950/100 ekor/bulan.
Hasil analisis simulasi pada Tabel 4 tersebut mengisyaratkan bahwa pemberian
bantuan bibit seyogyanya berupa induk produktif, sehingga peternak penerima bantuan
tidak harus menanggung beban biaya pemeliharaan anak itik yang relatif cukup besar.
Pengetahuan yang diperoleh dari kursus dan pelatihan belum menjamin tercapainya
tingkat kemampuan dan keterampilan yang profesional. Artinya, masih diperlukan waktu
atau proses adaptasi melalui praktek berusahatani sendiri, sehingga diperoleh
11
pengalaman dan keterampilan untuk mencapai hasil yang optimal. Pengendalian mutu,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas hasil perlu dilakukan secara kontinyu. Fungsi
pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui unit kepengurusan kelompok yang
didampingi oleh PPL, dengan tugas mengidentifikasi para peternak yang masih kurang
terampil untuk diberikan bimbingan secara lebih intensif dan sekaligus mencari dan
`menggali informasi teknologi alternatif yang lebih efisien untuk dikaji dan disebarluaskan
kepada anggota.
Tabel 4. Analisis kelayakan usaha ternak itik sistem terkurung dari anggota KUBA Sejahtera di Desa Babakan, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NTB, 1999
Deskripsi Model I Model II Model III Model IV
1. Lama pemeliharaan (bulan) 28 22 36 28
2. Biaya investasi (Rp)1) 1.150.000 1.150.000 1.150.000 1.150.000
3. Biaya Produksi (Rp) a. Pemeliharaan 1-4 bulan b. Pemeliharaan 5-28 bulan
1.669.400 9.585.600
2.561.000
11.286.000
2.561.000
20.064.000
2.061.000
10.152.000
4. Pakan (kg/100 ekor/bulan) - Dedak (anak itik : itik produktif) - Konsentrat (anak : itik produktif) - Ganggang (itik produktif) 2) - Siput (Itik produktif) - Vitamin (itik produktif - Rp/100 ekor)
500 : 686
89 : 51 - -
18.000
500 : 686
89 : 51 - -
18.000
500 : 686
89 : 51 - -
18.000
500 : 686
89 : 0 1
0 : 480 18.000
5. Harga pakan (Rp/kg) - Dedak - Konsentrat - Ganggang (Rp/karung) - Siput
250
2400 - -
500
3.500 - -
500
3.500 - -
250
3.500 2.000 300
6. Tenaga kerja (Rp/100 ekor/bulan) - Pemeliharaan 1-4 bulan - Pemeliharaan 5-28 bulan
78.750 87.500
78.750 87.500
78.750 87.500
78.750 87.500
7. Produksi 3) Estimasi regresi I
Estimasi regresi I
Estimasi regresi II
Estimasi regresi I
8. Indikator kelayakan usaha - NPV (2%/bulan) - Net B/C Ratio (2%/bulan) - IRR (%)
1.017.054
1,34 3,74
- 3.317.404
0,25 -
1.209.786
1,27 3,19
231.901
1,07 2,44
Sumber: Data primer Keterangan: 1) Biaya investasi terdiri dari biaya kandang Rp 400.000 dan pembelian anak itik umur 2 bulan sebanyak 100 ekor @ Rp 3.500 2) Dalam satuan karung/100 ekor/bulan 3) Estimasi regresi I : Y = 237,89 + 118,5054 X - 4,3023 X2; R = 0,7654 Estimasi regresi II: Y = 353,06 + 96,6910 X - 1,7370 X2; R = 0,7510 Pendapatan diperoleh dari hasil telur dengan harga @ Rp 650, Kotoran ternak @ Rp 50 dan itik afkir @ Rp 18.000
12
Kenaikan harga pakan yang selalu terjadi di musim kemarau, baik itu yang
berupa dedak, konsentrat, maupun siput perlu diantisipasi dengan melakukan stock
pakan menjelang hal itu terjadi. Pembangunan gudang pakan sangat penting dalam
mendukung keberlanjutan pengembangan sistem usahatani ternak itik terkurung pada
khususnya dan KUBA pada umumnya, karena kegiatan kepengurusan seksi pakan dapat
difungsikan secara optimal dan keberadaannya dapat dirasakan manfaatnya bagi
anggota kelompok.
Pemasaran Hasil
Berdasarkan kesepakatan anggota KUBA, pemasaran telur itik dilakukan secara
kolektif, yaitu dijual kepada pedagang pengumpul yang ditunjuk oleh koperasi, yang saat
ini dikoordinir oleh petugas PPL, sedangkan penjualan itik afkir dilakukan oleh pengurus
seksi pemasaran, yang telah berpengalaman sebagai pedagang ternak unggas.
Meskipun kesepakatan dalam penjualan telur telah dituangkan dalam aturan
koperasi, tetapi masih ada sebagian anggota kelompok yang tidak mentaatinya secara
penuh. Ada sekitar 30 persen dari sample anggota yang hanya menjual sekitar 50 persen
kepada pedagang pengumpul yang ditunjuk koperasi, sedangkan yang taat mengikuti
aturan mencapai 40 persen, dan 30 persen lainnya menjual sekitar 80 persen dari hasil
produksinya kepada pedagang yang ditunjuk koperasi. Penjualan di luar dari yang di
tunjuk koperasi dilakukan kepada pedagang pengumpul dari dalam atau luar desa dan
kepada tetangga yang memerlukannya (Gambar 1). Bagi non anggota KUBA, penjualan
telur umumnya dilakukan kepada pedagang pengumpul atau pedagang eceran di pasar.
Insentif yang diberikan oleh pedagang pengumpul yang ditunjuk koperasi kepada
anggota KUBA adalah pemberian uang muka maksimal Rp 500.000 bagi yang
memerlukannya, sedangkan pada kondisi transaksi normal dilakukan secara tunai sesuai
dengan harga pasar yang berlaku saat transaksi. Pada saat survei, koperasi belum
memperoleh fee atau uang jasa dari pedagang pengumpul yang bersangkutan. Dalam
hal ini yang dipentingkan adalah kelancaran pemasaran dan harga yang stabil serta
terpercaya, karena PPL melakukan pemantauan harga pasar secara kontinyu dan
menyebarluaskan kepada peternak, baik melalui komunikasi pribadi maupun
disampaikan dalam pertemuan kelompok.
13
Tabel 5. Analisis input-output usaha pengolahan telur asin KUBA itik Sejahtera
No. Rincian Nilai (Rp)
I Biaya Pengolahan 311.500
1. Pembelian telur 500 butir @ Rp 600 300.000
2. Garam 2 kg 3.000
3. Tanah liat/tepung bata 2.000
4. Asam sendawa 1.500
5. Tenaga kerja 5.000
II Pendapatan (penjualan telur asin 500 butir @ Rp 800) 400.000
III Keuntungan 88.500
IV Marjin Keuntungan (Rp/butir) 177
Sumber: Informasi dari Penyuluh Pertanian
6%
Pedagang Pengumpul yang ditunjuk Koperasi
Volume: 10.000 bt/bulan
20 - 50% 50 - 100%
5-20%
20%
Pedagang Pengecer di pasar
Pedagang Pengumpul dari dalam/luar desa
Konsumen Lembaga: (a) Pelabuhan; (b) Perusahaan
pengasin
Konsumen Rumahtangga
80%
24% 50% 10%
Non Anggota (sistem gembala)
Anggota KUBA (Sistem terkurung)
Keterangan : - Telur asin - Telur belum diasinkan Sumber : Data Primer
Gambar 1. Alur pemasaran telur dari anggota dan non anggota KUBA
14
Telur yang dihasilkan oleh oleh pedagang pengumpul yang ditunjuk koperasi
berupa telur yang belum diasinkan dan telur asin. Marjin yang diperoleh dari pengolahan
telur asin mencapai Rp 177/butir (Tabel 5), sedangkan marjin dari penjualan telur yang
belum diasinkan mencapai Rp 50/butir. Penjualan telur asin mencapai sekitar 4.000
butir/bulan, yang disalurkan kepada pihak pelabuhan 1.000 butir, pedagang pengumpul
termasuk perusahaan pemasok produk pertanian ke swalayan di Bali 2.400 butir dan
konsumen rumahtangga 600 butir. Sementara itu, penjualan telur yang belum diasinkan
mencapai 6.000 butir/bulan, yang disalurkan kepada pengusaha pengasin telur (home
industri) mencapai 5.000 butir (3 pedagang) dan kepada konsumen rumahtangga 1.000
butir (Gambar 1). Permasalahan penjualan kepada perusahaan besar seperti PD.
Garuda Emas dan UD. Hemat pada umumnya terkait dengan persyaratan-persyaratan
yang ditentukan oleh perusahaan, di antaranya adalah: (i) Ukuran telur harus seragam
dan memenuhi ukuran baku yang ditentukan oleh pihak perusahaan, (ii) Warna telur
harus seragam, sesuai dengan permintaan pihak perusahaan (biasanya yang diminta
yang warnanya biru); (iii) Pasokan harus kontinyu dalam jumlah besar, yaitu sekitar
2.000 - 5.000 butir/minggu.
Kinerja Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA)
Latar Belakang Pembentukan
Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) itik di Kabupaten Lombok Barat
pada awalnya merupakan kelompok tani peternak itik yang dibentuk dalam rangka
penumbuhan Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan (SPAKU) itik melalui kegiatan
Proyek Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu (P2RT). Lokasi pengembangan komo-
ditas itik tersebut berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Narmada untuk RMC dan
Kecamatan Gerung untuk DMC. Jumlah kelompok tani peternak itik di Kecamatan
Narmada dan Kecamatan Gerung masing-masing ada sebanyak 5 dan 4 buah
Salah satu dari kelompok tani di Kecamatan Gerung, yaitu Kelompok Tani
Sejahtera yang dibentuk pada bulan Mei 1997 selanjutnya ditumbuhkembangkan
menjadi KUBA. Pada tanggal 5 Oktober 1998, kelompok ini dikukuhkan menjadi Koperasi
Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan (KOPAKU) itik melalui surat akte
pendirian koperasi berbadan hukum nomor 11/BH/KCK.23.1/X/1998.
15
Struktur Organisasi, Aturan Kelompok, dan Sumber Permodalan
KUBA itik Sejahtera memiliki struktur organisasi yang terdiri dari ketua, pengu-
rus dan pengawas. Pengurus meliputi sekretaris, bendahara dan 5 seksi, yaitu seksi
bibit, kandang, pakan, kesehatan hewan, dan pemasaran. Kelompok ini juga telah
menetapkan aturan-aturan yang wajib ditaati seluruh anggota, yaitu:
(1) Setiap anggota baru dikenakan iuran pokok disesuaikan dengan jumlah uang koperasi. Iuran wajib Rp 2.000/anggota
(2) Setiap anggota menyetor telur 10 butir/minggu, bila itiknya sudah bertelur ± 40 persen.
(3) Bila anggota menjual itik yang sudah afkir supaya dibelikan bibit yang baru. Wajib menyetor Rp 15.000 sebagai angsuran setoran telur.
(4) Setiap anggota yang meminjam uang kas dikenakan bunga 2 persen dan pengembaliannya 10 kali cicilan pokok dan bunga.
(5) Setiap anggota yang meminjam uang kas koperasi pengembaliannya disesuaikan dengan peminjaman. Kalau lewat waktu dikenakan denda.
(6) Semua anggota supaya menjual telur kepada pengumpul yang telah ditentukan koperasi.
Menilik dari usia KUBA yang relatif masih muda, wajar jika aturan-aturan yang
ditetapkan sebagai kewajiban setiap anggota terhadap kelompok masih diprioritaskan
pada hal-hal yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan pemupukan modal
koperasi maupun upaya untuk memperlancar kewajiban pengembalian bantuan modal
dari P2RT dan sumber permodalan lainnya.
Salah satu usaha KUBA dalam memperoleh modal kelompok adalah melalui
pengumpulan iuran pokok dan iuran wajib dari para anggotanya. Besarnya iuran pokok
bagi setiap anggota ditetapkan sebesar Rp 20.000. Sedangkan iuran wajib sebesar Rp
2.000 per bulan. Pemupukan modal secara swadaya ini telah mencapai jumlah sebesar
Rp 1.382.000 selama periode bulan September 1998 - Juli 1999, dimana jumlah anggota
pada saat itu ada sebanyak 36 peternak.
Selain dari upaya swadaya tersebut, KUBA juga memperoleh dukungan modal
usaha dari berbagai sumber, di antaranya dari: (1) Paket bantuan P2RT dari Departemen
Pertanian melalui Kanwil Deptan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Dinas Peternakan
Kabupaten Lombok Barat, (2) Bantuan pinjaman modal dari Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) berupa Kredit Pembinaan Kemitraan Usaha (KPKU)
sebesar Rp 5.000.000, (3) Pinjaman modal dari Departemen Pertanian berupa bantuan
16
kredit Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K) sebesar Rp 9.000.000;
dan (4) Bantuan desa dari Dana Inpress/Jaring Pengaman Sosial (JPS) TA. 1998/1999
sebesar Rp 2.000.000.
Kegiatan P2RT dengan paket bantuannya merupakan cikal bakal tumbuhnya
KUBA itik di Kabupaten Lombok Barat, Bantuan yang diberikan P2RT kepada anggota-
anggota kelompok tani peternak itik untuk setiap satu paket terdiri dari : (1) anak itik
berumur 2 bulan sebanyak 55 ekor, (2) Pakan berupa dedak dan konsentrat masing-
masing sebanyak 200 dan 50 kilogram, dan (3) biaya pembuatan kandang serta tempat
pakan dan minum sebesar Rp 50.000. Nilai bantuan itu jika ditaksir berdasarkan harga
saat awal pemberian mencapai Rp 412.500. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa
terdapat 17 persen responden yang mengambil 3 paket, sedangkan 33 persen lainnya
mengambil 2 paket, dan selebihnya sekitar 50 persen mengambil 1 paket. Tabel 6. Modal tunai koperasi KUBA itik Sejahtera hingga periode Juli 1999
Nomer Sumber modal Volume (Rp)
1. Iuran pokok dan Iuran wajib 1.382.000 2. KPKU 5.000.000 3. P4K 9.000.000 4. Dana INPRES 2.000.000
Modal pokok 17.382.000
5. Fee dari kredit P4K 300.000 6. Bunga pinjaman anggota 178.450
Total 17.860.450
Secara keseluruhan, dana koperasi yang terkumpul dalam bentuk tunai dari
usaha swadaya maupun bantuan pinjaman sampai dengan periode Juli 1999 telah
mencapai Rp 17.860.450 (Tabel 6). Modal sebesar itu merupakan asset awal koperasi
yang perlu dimanfaatkan secara optimal untuk melakukan diversifikasi usaha, baik di
bidang usaha simpan-pinjam, pengadaan sarana produksi peternakan, penyediaan
bahan pokok kon-sumsi bagi rumah tangga anggota, dan berbagai usaha lainnya.
Menyimak dari besarnya penyaluran kredit yang baru mencapai Rp 2.595.000 atau
sekitar 15 persen dari modal pokok, mengisyaratkan bahwa koperasi masih perlu
mengintensifkan berbagai usaha di luar usaha simpan-pinjam, sehingga koperasi
berkemampuan untuk membayar bunga pinjaman dan sekaligus meningkatkan
akumulasi permodalannya secara lebih progresif.
17
Prasarana dan Sarana
Dalam pengembangan suatu organisasi, ketersediaan sarana dan prasarana
untuk mendukung kegiatan organisasi mutlak diperlukan. Dalam kaitan itu, mengingat
usia koperasi KUBA itik Sejahtera yang relatif masih muda, maka dapat dimaklumi
apabila sarana dan prasarana yang tersedia masih sangat terbatas. Yang tersedia baru
tempat pertemuan kelompok, sedangkan kantor koperasi dan gudang penyimpanan
pakan sedang direncanakan akan dibangun dimana dananya masih menunggu kucuran
bantuan dari pemerintah. Pembangunan gudang ini mempunyai arti penting bagi
koperasi dalam penyediaaan pakan ternak secara kolektif, terutama menjelang musim
kemarau dimana pada saat itu biasanya ketersediaan pakan di pasaran cenderung
semakin terbatas, dan dalam kondisi yang demikian harga pakan menjadi semakin
mahal. Dalam pengem-bangan selanjutnya masih sangat diperlukan pembangunan
sarana-sarana usaha maupun penyediaan perangkat-perangkat keadministrasian yang
sangat penting guna menunjang kelancaran dan tertib administrasi koperasi.
Ketersediaan alsintan juga masih sangat terbatas, yaitu baru berupa alat tetas
yang berjumlah dua buah. Alat ini masing-masing merupakan bantuan dari P2RT dan
BPP (Balai Penyuluhan Pertanian). Pengadaan alsintan seperti antara lain alat tetas dan
alat pembuat pakan seyogyanya perlu dipikirkan dalam pengembangan koperasi guna
mem-buka peluang meningkatkan diversifikasi usaha dengan memperhitungkan secara
cermat tingkat kebutuhan bibit dan pakan jangka panjang, sehingga jumlah dan
kapasitas allsintan yang perlu disediakan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pengadaan
alsintan tersebut dapat dilakukan melalui dukungan penyediaan kredit jangka panjang.
Pembinaan
Sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dari para pengurus koperasi
maupun anggota kelompok KUBA, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan maupun
wawasan dan tingkat pengetahuannya dalam pengelolaan organisasi dan manajemen
usahanya sangat membutuhkan bimbingan, penyuluhan, dan pembinaan dari instansi
dan institusi terkait secara intensif dan berkesinambungan. Bimbingan, penyuluhan, dan
pembinaan tersebut tidak saja terbatas pada aspek teknis saja, tetapi yang terpenting
adalah membuka wacana berfikir dari para pengurus dan anggota dalam meraih
peluang-peluang bisnis, cara-cara memperoleh akses informasi teknologi dan
pemasaran termasuk promosi produk yang dihasilkan, cara-cara memperoleh akses
permodalan, serta pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan organisasi, yang
18
mencakup manajemen administrasi dan pengelolaan sumberdaya. Pada gilirannya,
upaya-upaya bimbingan, penyuluhan dan pembinaan tersebut seyogyanya juga dapat
menumbuhkan sumberdaya manusia yang mampu menjadi pioner dan motor penggerak
organisasi dalam meningkatkan usaha, dinamika kelompok dan kemandirian organisasi.
Upaya pembinaan yang telah dilakukan oleh beberapa instansi terkait terhadap
anggota kelompok KUBA dan kepengurusan koperasinya mencakup: (1) Kursus dan
pelatihan; (2) Pemagangan; (3) Temu usaha; (4) Studi banding, dan (5) Pengadaan
lomba antar kelompok. Pada umumnya kegiatan pembinaan ini masih bersifat introduksi
atau sosialisasi dari penerapan teknologi ternak itik sistem terkurung dan beberapa
aspek teknik pengolahan itik dan pembuatan telur asin. Kegiatan temu usaha belum
menghasilkan suatu transaksi atau suatu kesepakatan ikatan kerjasama kemitraan
antara pengusaha dengan kelompok-kelompok tani peternak itik. Meskipun demikian,
ada harapan bahwa kesulitan dari para peternak dalam pemasaran itik jantan
kemungkinan dapat teratasi dengan adanya tawaran dari INKUD Jakarta (melalui
PUSKUD Jawa Timur yang disampaikan kepada Kanwil Dep. Koperasi dan PPK) yang
siap menampung itik jantan berumur 5-6 bulan, dimana untuk sekali kirim jumlahnya
mencapai 2.000 ekor (Kanwil Departemen Pertanian NTB, 1998b). Tawaran ini belum
dapat terwujud dalam bentuk ikatan kerjasama, mengingat belum jelasnya mengenai
informasi harga itik, interval pengiriman dan kemampuan kelompok-kelompok dalam
penyediaan pasokan secara kontinyu sesuai dengan yang dipersyaratkan.
Peran nyata Badan Agribisnis beserta Kanwil Departemen pertanian dan Kanwil
Departemen Koperasi dan Pembina Pengusaha Kecil Menengah adalah dalam
mendorong terwujudnya wadah koperasi KUBA itik Sejahtera yang berbadan hukum.
Melalui koperasi yang berbadan hukum, maka akses terhadap kredit perbankan relatif
lebih mudah. Selain itu, dengan adanya wadah koperasi yang berbadan hukum juga
membuka peluang lebih besar untuk menjalin hubungan kerjasama dengan mitra usaha.
Pembinaan lebih lanjut masih sangat diperlukan terutama yang bersifat
bimbingan manajemen, di antaranya dalam hal pengelolaan administrasi perkoperasian,
pengelolaan usaha koperasi, dan pengelolaan sumberdaya. Tugas pembinaan
manajemen itu seyogyanya tidak dibebankan kepada Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL), tetapi kepada aparat atau pihak lainnya, seperti misalnya petugas Penyuluh
Koperasi (Petugas Konsultasi Lapangan-PKL), tenaga sarjana pendamping atau tenaga-
tenaga dari LSM yang memiliki kemampuan profesional. Hal ini mengingat beban tugas
19
PPL yang sudah cukup banyak, yang mencakup tugas penyuluhan, administrasi dan
pelaporan data, penyaluran dan pengembalian kredit/bantuan proyek, dan mengikuti
rapat-rapat koordinasi.
Peluang dan Strategi Pengembangan KUBA
Hasil analisis terhadap indikator-indikator faktor internal dan eksternal KUBA,
menunjukkan bahwa upaya pengembangan KUBA itik di Kabupaten Lombok Barat
didukung oleh kondisi lingkungan internal dan eksternal yang cukup kondusif, yaitu
masing-masing diperoleh nilai skor sebesar 3,2963 dan 2,8865 (Tabel 7 dan Tabel 8).
Tabel 7. Analisis faktor internal KUBA itik di Kabupaten Lombok Barat, NTB
Faktor diskriminan Bobot Skala Skor Kekuatan 1. Struktur organisasi 0,0529 3 0,1587 2. Pembagian tugas 0,0529 3 0,1587 3. Kualitas kelengkapan pengurus 0,0265 4 0,1060 4. Kapasitas 0,0212 4 0,0848 5. Kualitas produk 0,0423 4 0,1692 6. Skala ekonomi 0,0423 4 0,1692 7. Harga jual 0,0529 4 0,2116 8. Penguasaan pasar 0,0423 4 0,1692 9. Akses informasi pasar 0,0423 4 0,1692 10. Saluran distribusi 0,0423 4 0,1692 11. Image, reputasi, dan kualitas 0,0423 4 0,1692 12. Lahan usaha 0,0265 3 0,0795 13. Gudang 0,0212 4 0,0848 14. Bangunan kantor 0,0212 3 0,0636 15. Peralatan 0,0265 4 0,1060 16. Personal management 0,0265 4 0,1060 17. Efektivitas sistem insentive 0,0212 3 0,0636 18. Spesialisasi keterampilan 0,0212 3 0,0636 19. Pengalaman 0,0212 3 0,0636 20. Kemampuan peningkatan kapital jangka pendek 0,0423 4 0,1692 21. Kemampuan peningkatan kapital jangka panjang 0,0423 4 0,1692 22. Labor relation cost vs pesaing 0.0265 3 0,0795 23. Consistency & barier to entry 0,0265 3 0,0795 24. Ability to reduce cost/efisiensi biaya 0,0265 4 0,1060
Sub total 0,8095 2,9691 Kelemahan 25. Diversifikasi produk 0,0265 1 0,0265 26. Biaya produksi 0,0265 2 0,0529 27. Ketersediaan bahan baku 0,0265 2 0,0529 28. Integrasi vertikal 0,0423 2 0,0847 29. Efektivitas promosi 0,0265 1 0,0265 30. Pembentukan harga 0,0423 2 0,0847
Sub total 0,1905 0,3280 Total 1,000 3,2963
20
Tabel 8. Analisis faktor eksternal KUBA itik di Kabupaten Lombok Barat, NTB
Faktor diskriminan Bobot Skala Skor
Peluang 1. Kondisi politik dan keamanan 0,0709 3 0,2127 2. Kependudukan 0,0709 3 0,2127 3. Perusahaan mitra 0,0709 4 0,2836 4. Kondisi konsumen 0,0709 4 0,2836 5. Keberadaan sumber modal luar 0,0709 4 0,2836 6. Pembinaan pasar oleh petugas 0,0355 3 0,1420 7. Segmen pasar terabaikan yang dapat dilayani 0,0567 4 0,1701 8. Adanya perkembangan teknologi 0,0567 4 0,2268 9. Peningkatan hubungan baik dengan konsumen/mitra 0,0567 3 0,1702 10. Peningkatan infrastruktur perhubungan dan telekom. 0,0567 3 0,1702 11. Prioritas pengembangan pemerintah 0,0567 3 0,1702
Sub total 0,6738 2,3475
Tantangan/ancaman 12. Kondisi ekonomi 0,0709 2 0,1418 13. Perusahaan pesaing 0,0213 1 0,0213 14. Perubahan regulasi yang meningkatkan daya saing 0,0213 1 0,0213 15. Masuknya kompetitor baru 0,0213 1 0,0213 16. Peningkatan posisi tawar pembeli 0,0284 1 0,0284 17. Harga input 0,0709 2 0,1418 18. Serangan hama/penyakit 0,0709 2 0,1418 19. Pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan 0,0213 1 0,0213
Sub total 0,3262 0,5390
Total 1,000 2,8865
Besarnya nilai skor tersebut mencerminkan bahwa strategi pengembangan KUBA berada
pada tahap mempertahankan stabilitas. Untuk tujuan itu, kegiatan yang perlu dilakukan
KUBA mencakup tiga unsur, yaitu (1) menjaga terjaminnya kontinyuitas jumlah pasokan
bahan baku pakan, yang meliputi konsentrat, dedak dan siput; (2) menjaga stabilitas
harga pakan; dan (3) mengembangkan formulasi pakan yang lebih banyak menggunakan
komponen lokal. Sementara itu dalam kaitan dengan diversifikasi produk, yang perlu
dilakukan KUBA adalah: (1) pengembangan usaha pembibitan; dan (2) pengelolaan
pemasaran itik jantan dan itik afkir. Peningkatan kualitas produk terutama perlu ditujukan
untuk memenuhi permintaan perusahaan besar, yang meliputi keseragaman ukuran dan
warna telur sesuai dengan persyaratan baku mutu yang diminta.
21
KESIMPULAN
Penerapan teknologi usahatani itik sistem terkurung berpotensi besar untuk: (1)
meningkatkan kembali produksi telur, daging dan populasi itik guna mencukupi
kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi protein hewani; (2) sebagai alternatif upaya
pemberdayaan masyarakat berpendapatan rendah yang tidak memiliki lahan
sawah/tegalan atau berlahan sempit melalui pemanfaataan lahan pekarangan; dan (3)
sebagai alternatif upaya peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian.
KUBA itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu KUBA yang
menunjukkan kinerja yang baik dan memiliki potensi untuk berkembang sebagai badan
usaha yang dikelola dengan menggunakan prinsip koperasi. Kunci keberhasilan KUBA
adalah adanya dukungan kondisi lingkungan faktor internal dan faktor eksternal yang
kondusif, dimana indikator unsur kekuatan dan peluangnya lebih menonjol dibandingkan
dengan unsur kelemahan dan ancamannya.
Kekuatan internal KUBA dilihat dari segi organisasi antara lain terlihat dari (1)
terbentuknya struktur organisasi yang telah mencerminkan kebutuhan operasional
koperasi; (2) adanya pembagian tugas, aturan main, dan musyawarah anggota yang
dilakukan dalam pertemuan rutin kelompok; (3) pemilihan kepengurusan dilakukan
secara demokratis dan terbuka; serta (d) tingkat pendidikan pengurus yang sebagian
besar telah mencapai jenjang di atas sekolah dasar. Menilik dari usia KUBA yang relatif
sangat muda, maka wajar apabila kinerja organisasi masih banyak yang perlu
disempurnakan, terutama dalam hal pemberdayaan fungsi kepengurusan seksi-seksi
agar mampu bekerja secara optimal dalam mendukung kegiatan organisasi.
Faktor-faktor eksternal yang memberikan peluang bagi KUBA untuk mengem-
bangkan usahanya antara lain adalah: (1) kondisi politik dan keamanan yang kondusif;
(2) adanya niat yang kuat dari pemerintah untuk mengembangkan sektor agribisnis
memberikan peluang terjadinya peningkatan infrastruktur perhubungan, kemudahan-
kemudahan memperoleh bantuan modal maupun pembinaan pasar; (3) keberadaan
instalasi pengkajian teknologi pertanian-IP2TP memberikan peluang besar bagi KUBA
untuk melakukan pengembangan teknologi guna meningkatkan produktivitas, efisiensi
biaya, dan kendali mutu; (4) potensi penyerapan produk itik, baik itu berupa telur, daging,
dan bibit itik masih terbuka luas. Penyerapan hasil telur masih terbuka bagi perusahaan-
perusahaan produsen telur asin maupun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik
22
itu untuk keperluan upacara adat bagi warga NTB dan Bali maupun untuk suvenir bagi
wisatawan yang berkunjung ke NTB. Kecenderungan daging itik semakin digemari
masyarakat tampak dari semakin menjamurnya warung makan kaki lima yang
menyediakan menu daging itik.
Faktor internal yang menjadi kelemahan KUBA antara lain adalah: (1) masalah
diversifikasi produk, dimana output produksi KUBA masih bertumpu pada telur; (2) biaya
produksi relatif masih tinggi; (3) ketersediaan bahan baku yang sering mengalami
kelangkaan, sedangkan KUBA belum bisa menjamin ketersediaannya secara cukup dan
kontinyu kepada anggota; (4) Integrasi vertikal belum dilakukan; (5) efektivitas promosi
masih kurang; dan (6) pembentukan harga yang masih banyak ditentukan oleh
pengusaha besar.
Faktor eksternal yang menjadi tantangan/ancaman KUBA itik antara lain adalah:
(1) kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih mengancam terjadinya ketidakstabilan
nilai tukar rupiah, yang secara langsung berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga
pakan konsentrat yang komponennya banyak bersumber dari bahan impor; (2)
perusahaan/produsen pesaing; (3) masuknya kompetitor baru; (4) perubahan regulasi
yang meningkatkan daya saing; (5) peningkatan posisi tawar pembeli; (6) harga input; (7)
serangan hama/penyakit; dan (8) pencabutan tarif/liberalisasi perdagangan.
Strategi yang perlu ditempuh dalam pengembangan KUBA itik adalah
mempertahankan stabilitas yang mencakup tiga unsur kegiatan sebagai berikut: (1)
menjaga terjaminnya kontinyuitas jumlah pasokan bahan baku pakan, yang meliputi
konsentrat, dedak dan siput; (2) menjaga stabilitas harga pakan; dan (3)
mengembangkan formulasi pakan yang lebih banyak menggunakan komponen lokal.
Sementara itu dalam kaitan dengan diversifikasi produk, yang perlu dilakukan KUBA
adalah: (1) pengembangan usaha pembibitan; dan (2) pengelolaan pemasaran itik jantan
dan itik afkir. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk perlu ditujukan untuk memenuhi
permintaan perusahaan besar, yang meliputi volume dan kontinyuitas pasokan, serta
keseragaman produk yang mencakup ukuran dan warna telur.
Mengingat berbagai kelemahan dan permasalahan yang dihadapi KUBA, maka
untuk mendorong kinerjanya diperlukan pembinaan kelembagaan yang lebih intensif dan
sistematis.
23
DAFTAR PUSTAKA
Badan Agribisnis. 1999. Pedoman Penumbuhan SPAKU dan KUBA sebagai cikal bakal dari KOPAKU. Badan Agribisnis. Depaertemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1996. Buku Statistik Peternakan 1995.
Djauhari, A., R. Hendayana, K.M. Noekman, dan B. Rahmanto. 2000. Studi prospek dan kendala pengembangan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA). Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hanafiah, T. Konsep dan Aplikasi Pengembangan Wilayah Agribisnis. 1997. Bahan kuliah matrikulasi Sistem Agribisnis program studi Magister Manajemen Agribisnis, program pasca sarjana - IPB, Angkatan XIV tahun 1997.
Kanwil Deptan NTB. 1997. Profil agribisnis ternak itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bagian Proyek Pengembangan Agribisnis Provinsi NTB T.A. 1997/1998. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Kanwil Deptan NTB. 1998a. Statitistik Pertanian Nusa Tenggara Barat tahun 1997. Proyek Pengembangan Sumberdaya Sarana dan Prasarana pertanian SETJEN. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kanwil Deptan NTB. 1998b. Laporan usaha pertanian dan identifikasi masalah agribisnis. Bagian Proyek Pengembangan Agribisnis Provinsi NTB T.A. 1997/1998. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Kanwil Deptan NTB. 1999. Laporan Penumbuhan dan Pengembangan Kewirausahaan agribisnis di Nusa Tenggara Barat. Bagian Proyek Pengembangan Agribisnis Provinsi NTB T.A. 1998/1999. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Scott, M.L., and G.F. Heuser. 1951. Studies of protein and unidentified vitamin requirement. Poultry Sci. 31(2).
Setioko, A., Syamsudin, Rangkuti, H. Budiman, dan A. Gunawan. 1994. Budi daya ternak itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Suriapermana, S., I. Syamsiah, P. Wardana, Z. Arifin, dan A.M. Fagi. 1993. Petunjuk Praktis Sistem usahatani padi-ikan dan parlabek di lahan sawah. Hermanto dan A. Musadad (eds). Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Tim IPB. 1997. Laporan akhir pemantapan konsep dasar sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan. Kerjasama Biro Perencanaan Departemen Pertanian dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
IIPTP Mataram. 1997. Laporan pengkajian sistem usaha pertanian berbasis itik di Desa Dasan Tereng, Lombok Barat. Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram.
Yuwanta, T., S. Harimurti, dan M.A. Wiguna. 1979. Pengaruh pemeliharaan itik Alabio secara backyard terhadap sosial ekonomi masyarakat perkotaan. P. Sitorus et al (eds). Proceedings Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan.