STRATEGI NASIONALMEWUJUDKAN
SISTEM EKONOMI PANCASILA
BPIPBadan Pembinaan Ideologi Pancasila
KEINKomite Ekonomi dan Industri Nasional
DRAFT
Mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila
Strategi Nasional
BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA KOMITE EKONOMI DAN INDUSTRI NASIONAL
i
IKHTISAR
Mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila
Indonesia kerap dipandang sebagai negara dengan potensi ekonomi yang sangat besar
dan diperkirakan untuk dapat tumbuh lebih pesat lagi (fast growing emerging economy).
Pandangan ini tak keliru. Pemerintah terus mendorong pembangunan fisik maupun
nonfisik hingga saat ini, membuat perekonomian terus tumbuh dan menjadi daya tarik
bagi para penanam modal.
Tentu kita tidak terlena dengan anggapan positif tersebut. Kita perlu bersikap kritis
dalam melihat upaya-upaya pembangunan nasional. Dalam hal ini, aspek-aspek
kesenjangan dan pemerataan pembangunan perlu menjadi perhatian. Pembangunan
yang timpang dapat berakibat buruk terhadap perwujudan keadilan sosial.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) koefisien Gini pendapatan di perkotaan
dan perdesaan adalah 0,39 di tahun 2017. Secara kasar, angka tersebut menunjukkan
bahwa pendapatan total di tahun 2017 hanya didistribusikan (dengan merata) kepada 61
persen dari seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia, sementara 39 persen sisanya
tidak mendapatkan apa-apa. Walaupun tidak sepenuhnya seperti itu, namun ilustrasi
tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan yang cukup mengkhawatirkan.
Distribusi pendapatan yang tidak merata serta arena permainan yang tidak imbang sejak
awal pada akhirnya terakumulasi menjadi distribusi kekayaan yang cenderung lebih
timpang dibandingkan distribusi pendapatan. Menurut Credit Suisse dalam Global
Wealth Databook 2017, di tahun 2014 sebanyak 20 persen rumah tangga terkaya di
Indonesia menguasai 64 persen total kekayaan saat itu sementara 20 persen rumah
tangga termiskin hanya menguasai 0,3 persen.
Memang benar terdapat aspek-aspek lain di samping kekayaan dan pendapatan yang
dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan seseorang atau sebuah keluarga,
misalnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Walaupun demikian, pendapatan yang
layak dan kepemilikan aset kekayaan akan memberikan ruang gerak bagi individu dan
keluarga dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, mulai dari pilihan untuk bersekolah
hingga pilihan untuk mendapatkan pekerjaan yang bermartabat.
Bagi kaum yang lemah, ruang gerak tersebut menjadi kecil. Akibatnya, menjadi sulit bagi
mereka untuk menjadi manusia Indonesia yang merdeka, yakni merdeka dari rasa takut
dan bebas dari kesengsaraan hidup.
ii
Seperti itulah semangat yang dilahirkan dari Pancasila, walaupun Indonesia telah
memasuki fase sebagai negara demokrasi. Salah satu manifestasi demokrasi bagi
Indonesia diwujudkan dalam demokrasi politik yang berlandaskan pada musyawarah
dalam mencapai mufakat. Saat ini, demokrasi politik di Indonesia diwujudkan dalam
bentuk kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai hajatan demokrasi dan kebebasan
berpendapat bagi setiap warga negara.
Namun bagi Bung Hatta, demokrasi politik saja tidak cukup. Begini argumennya:
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah
demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak manusia belum merdeka,
persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi ekonomi Indonesia ialah
demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia.”
(Mohammad Hatta, “Demokrasi Kita”, 1960)
Ketika masih banyak rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan atau dalam keadaan
rentan miskin, sulit dikatakan bahwa kedaulatan ekonomi bagi rakyat telah terwujud.
Dengan lain kata, demokrasi ekonomi di Indonesia yang dijiwai oleh semangat
persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan hingga kini belum terwujud seperti yang
diharapkan.
Di sinilah pentingnya mengembalikan pengelolaan ekonomi melalui Sistem Ekonomi
Pancasila. Yakni suatu tatanan hubungan antara negara dan warga negara serta
antarwarga negara dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur
yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan melalui kebijakan
yang sejalan dengan nilai dan prinsip Pancasila.
Buku putih strategi nasional ini tidak hanya berhenti hingga pentingnya Sistem Ekonomi
Pancasila, tetapi juga mengelaborasi upaya pencapaiannya yang dilandasi oleh visi:
Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penerapan Sistem
Ekonomi Pancasila.
Visi tersebut juga dijabarkan melalui misi dan tujuan, yang setidaknya mencakup lima
hal:
1. Terciptanya kehidupan perekonomian yang berasaskan kekeluargaan dan gotong
royong.
2. Semakin menguatnya posisi usaha rakyat dalam kehidupan perekonomian.
3. Terciptanya ekosistem usaha yang adil.
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan energi sebagai pokok-pokok kemakmuran
rakyat.
iii
5. Terpenuhinya hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Penentuan sasaran dan indikator serta inisiatif strategis dalam pelaksanaan Sistem
Ekonomi Pancasila didasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan, baik jangka pendek,
menengah maupun panjang yang bermuara pada upaya mencapai visi dari penerapan
Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu “Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Apabila keadilan sosial dapat diwujudkan, niscaya masyarakat yang
makmur, sejahtera, bahagia, damai, dan merdeka juga dapat tercipta.
Mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara membutuhkan strategi
yang komprehensif secara nasional dan terintegrasi. Ideologi Pancasila harus
menginternalisasi dalam setiap kehidupan bangsa, khususnya lingkungan pemerintah.
Dengan demikian, setiap kebijakan yang dilahirkan memiliki warna yang jelas, yaitu
semangat dari nilai-nilai Pancasila.
Karena itulah perlu dibangun strategi nasional yang terukur dan tidak hanya berdimensi
jangka pendek. Sebab pada prinsipnya, cita-cita yang terkandung dalam Pancasila yang
menjadi ideologi negara bersifat tak lekang oleh ruang dan waktu. Menciptakan
keadilan, kesejahteraan serta kebahagiaan harus menjadi cita-cita abadi.
Penyusunan buku putih strategi nasional ini bertujuan agar upaya mewujudkan cita-cita
mulia Pancasila berjalan secara berkesinambungan dan tepat sasaran. Untuk
mewujudkan hal itu, landasan yang digunakan dalam merealisasikan pelaksanaan
Sistem Ekonomi Pancasila adalah sebagai berikut: strategi regulasi, strategi pengawasan
dan evaluasi.
iv
Kerangka Kerja Buku Putih Sistem Ekonomi Pancasila
v
PENGANTAR
Ikhtiar Mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila
Pancasila, ideologi yang dirumuskan para pendiri bangsa ini dengan susah payah,
sejatinya menjadi panutan dalam segala aspek kehidupan bernegara. Ia menjadi arah
perjalanan bangsa, sehingga tidak tersesat dalam dinamika yang berkembang, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Dengan begitu, tidak ada alasan menolak realitas
sejarah yang telah menjadi konsensus bangsa tersebut.
Kendati ideologi dan arah perjalanan bangsa ini sudah digariskan sejak awal Indonesia
mencecap kemerdekaan, sejatinya kemerdekaan itu sendiri merupakan kerja yang belum
selesai. Sukarno, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia dan presiden pertama,
mengingatkan bahwa “... di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan
terus, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya ...”
Pesan yang disampaikan pada pidato 1 Juni 1945 terkait dengan lahirnya Pancasila itu
memberikan pesan kuat kepada para penerusnya. Semangat dan nilai-nilai yang ada
dalam Pancasila harus diupayakan terus-menerus agar terwujud dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Antusiasme yang ditekankan oleh Bung Karno dalam pidatonya itu, terutama Pancasila
akan membimbing bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang hakiki. Hidup menjadi
satu bangsa sebagai anggota dunia yang merdeka, penuh perikemanusiaan, menjunjung
tinggi permusyawaratan sehingga melahirkan kesejahteraan dan rasa aman dengan
berketuhanan yang luas serta sempurna.
Mohammad Hatta, proklamator yang menjadi wakil presiden pertama
mengejawantahkan pesan dan semangat Bung Karno melalui sistem kehidupan
perekonomian. Karyanya dikenal dengan istilah “Ekonomi Terpimpin” dan telah
dibukukan.
Dalam penjelasannya, Bung Hatta menyampaikan bahwa ekonomi terpimpin, terutama
merupakan reaksi terhadap paham liberalisme yang dominan di abad ke-19 di negara-
negara Barat. Kemerdekaan individu dalam bertindak dan berbuat yang menjadi napas
dalam liberalisme adalah bukan Indonesia.
Model pemahaman yang bebas tak terkendali seperti itu memberikan ekses negatif di
lingkungan masyarakat. Harmoni dalam perekonomian seakan menjadi utopia. Sekadar
menjadi harapan yang tak mungkin terwujud, karena kemakmuran adalah milik kaum
vi
sejahtera. Sementara dalam istilah Bung Hatta, kehidupan yang miskin justru makin
tertekan.
Karena itulah, paham liberalisme yang memberikan kebebasan tanpa batas kepada
individu tidak tepat menjadi panduan kehidupan di Indonesia. Perlu dikoreksi dengan
semangat yang lahir dari kearifan lokal bangsa ini, yaitu kebersamaan.
Posisi sistem perekonomian yang berpegang pada nilai-nilai dan cita-cita seperti
termaktub maupun tersirat dalam Pancasila sangat jelas. Bukan seperti istilah satire yang
dikutip ekonom Mubyarto, “ekonomi yang bukan-bukan” atau sistem ekonomi “abu-
abu” di antara kapitalisme dan sosialisme.
Pancasila memiliki wujudnya sendiri. Begitu pun dalam Sistem Ekonomi Pancasila yang
menjadi turunan nilai dari ideologi Pancasila. Semangat keadilan dan kesejahteraan
bersama yang dilandasi prinsip-prinsip ketuhanan menjadi dasar penting dalam
kehidupan ekonomi Bangsa Indonesia.
Begitu pentingnya membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan ekonomi, tidak
boleh berhenti pada pidato maupun dokumen: risalah rapat dan pidato maupun buku
para pendiri bangsa yang kemudian diinterpretasikan oleh para ahli.
Wujud dari nilai-nilai Pancasila harus nyata mewarnai seluruh aspek aturan dan norma
dalam kehidupan ekonomi. Karena itulah, pesan moral yang terkandung dalam
Pancasila harus menjadi ruh dalam setiap kebijakan demi menciptakan masyarakat yang
adil dan makmur.
Terkait dengan konteks inilah pentingnya Sistem Ekonomi Pancasila sebagai nilai dasar
dalam kehidupan bernegara diwujudkan dalam kelembagaan. Bentuknya yang nyata
sudah sepantasnya memandu arah kebijakan nasional dalam kehidupan ekonomi.
Dalam perjalanan mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai “Jalan Lurus”
kehidupan berbangsa di Tanah Air, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)
bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) telah melakukan serangkaian urun
rembug dengan para ahli, baik dari dalam dan luar kampus maupun masyarakat umum,
dari tingkat pedagang eceran hingga pengusaha dan tokoh masyarakat.
Agenda urun rembug tersebut awalnya dibuka oleh Prof. Dr. Syafii Maarif, anggota
Dewan Pengarah BPIP, pada Februari 2018. Selanjutnya, ditutup oleh Jenderal (Pur) Try
Soetrisno, anggota Dewan Pengarah BPIP. Dalam rangkaian kegiatan, perwakilan dari
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
media, serta sejumlah perwakilan dari Kementerian/Lembaga.
vii
Sementara akademisi yang terlibat dalam urun rembug, antara lain Revrisond Baswir
dari Universitas Gadjah Mada, Didin S. Damanhuri dari Institut Pertanian Bogor, Kasturi
Sukiadi dari Universitas Airlangga, Munawar dari Universitas Brawijaya, Yetty
Rochwulaningsih dari Universitas Diponegoro, Syafruddin Karimi, Nursyirwan Effendy
dan Werry Darta Taifur dari Universitas Andalas, Mukhaer Pakkana dari STIE Ahmad
Dahlan, M. Firmansyah dan Dwi Setiawan Chaniago dari Universitas Mataram, Tulus
Tambunan dari Universitas Trisakti, Acuviarta Kartabi, Hawe Setiawan dan Budi Rajab
dari Universitas Padjajajaran, serta Bambang Rudito dari Institut Teknologi Bandung.
Pertemuan dengan para ahli dari perguruan tinggi tersebut dilaksanakan di sejumlah
daerah. Dari Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, serta DKI Jakarta.
Selain para akademisi, dalam pertemuan-pertemuan tersebut turut pula hadir beberapa
narasumber yang merepresentasikan perwakilan dari berbagai kelembagaan untuk
memberikan masukan dan pandangan di antaranya adalah K.H. Haedar Nasir (Ketua PP
Muhammadiyah), Jimly Asshiddiqie (Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia - ICMI), Miyasto (Tenaga Pengkaji Bidang Ekonomi Lemhanas),
Latif Adam (Pembina Utama Muda Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia - LIPI), Syarkawi Rauf (Ketua Komisi Pengawas Persaingan
Usaha—KPPU), Chandra Setiawan (Komisioner KPPU), Andreas Maryoto (perwakilan
wartawan), KH. Maswar (Ketua PWNU Sumatera Barat), Shofwan Karim Elhussein
(Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat), Rahmadhaniati (Direktur LP2M Sumatera
Barat), Endy Tjahja Wijaya (Kepala KPw Bank Indonesia Sumatera Barat), Darwisman
(Kepala KPw OJK Sumatera Barat), Rais (perwakilan Koperasi Syariah Sumatera Barat),
Sukri Alhamda dan Mustafa Kemal (perwakilan pedagang Kota Padang), Heri Faishal
(Jurnalis Bisnis Indonesia), Rosiadi Sayuti (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan),
Falahuddin (perwakilan Muhammadiyah NTB), TGH. Achmad Taqiuddin Mansyur
(perwakilan PWNU NTB), Lalu Ari Irawan dan Suyono (LSM NTB), Syawaluddin
(perwakilan HIPMI NTB), Sumarlan (perwakilan pedagang NTB), Zainul Wardi (Dinas
Koperasi Provinsi NTB), Zulkipli dan Nasir Jaelani (pengurus koperasi), Zakaria (Serikat
Petani Indonesia NTB), Farid Faletehan (Kepala KPw OJK NTB), Wahyu Yuwana
(perwakilan BI NTB), Ahmad Mansyur Suyanto (Ketua Lembaga Perekonomian PWNU
Jawa Barat), Latif Awaludin (Ketua Bidang Ekonomi Persatuan Islam - Persis), Jodi
Janitra (Ketua HIPMI Jawa Barat), Dwi Purnomo (Founder the Local Enablers), Iim dan
Endang (perwakilan Asosiasi Pedagang Jawa Barat), perwakilan Institut Koperasi
Indonesia, perwakilan ISEI Jabar, perwakilan Bank Indonesia Bandung, perwakilan OJK
Bandung, Budiyanto EP (Kepala Biro Perekonomian Provinsi Jawa Tengah), H. Tafsir
(Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah), Khoiridin (perwakilan Koperasi Syariah),
Purwanto (perwakilan Gapoktan), Billya Dahlan (Ketua HIPMI Jawa Tengah), Pratomo
viii
(Yayasan Obor Tani), Gunawan Permadi (Pimred Suara Merdeka), Hamid Ponco
Wibowo (Kepala KPw Bank Indonesia Jateng), Bambang Kiswono (Kepala KPw OJK
Jawa Tengah), Fretdy Purba (Bank Indonesia) serta Sulistyanto Soejoso sebagai
budayawan dan pegiat pendidikan.
Pada urun rembug, secara aktif terlibat pula Dewan Pengarah BPIP Sudhamek, Kepala
BPIP Yudi Latief (hingga Juni 2018), Wakil Kepala BPIP Haryono dan Deputi BPIP
Silverius Yoseph Soeharso, Penasihat Khusus BPIP Benny Susetyo, serta Ketua KEIN
Soetrisno Bachir, Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta, Sekretaris KEIN Putri Wardhani
dan anggota KEIN Aries Mufti.
Pada akhirnya tentu saja kami mengucapkan terima kasih kepada Herry Gunawan, Ade
Holis, Marhamah Muthohharoh, Awalil Rizky, Hardy Hermawan, Nadia Rayhanna,
Dimas Novita Sari, Reno Ranggi Koconegoro, Faishal Rahman, Firdha Anisa Najiya,
Muhammad Islam, Arif Amin, Muhammad Nalar, Andi Fitriana Saudi, Viranny Mutiara,
Vita Fatimatuzzahra yang telah membantu proses penyusunan naskah ini sampai dengan
akhir.
Segala yang kami lakukan ini merupakan sebuah ikhtiar untuk mengukuhkan kembali
fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti diamanatkan pendiri bangsa,
Bung Karno dan Bung Hatta. Sebuah upaya mengingatkan dan terus berupaya
mewujudkan nilai-nilai luhur yang tercantum dalam Pancasila sebagai jalan lurus yang
mengatur kehidupan antara negara dengan warga negara, maupun antarwarga negara.
Jakarta, September 2018
ix
DAFTAR ISI
IKHTISAR ........................................................................................................................................ i
PENGANTAR ................................................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ix
I. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
1.1 Refleksi Atas Realitas ......................................................................................................... 1
1.2 Pancasila Sebagai Jalan Lurus ........................................................................................... 4
1.3 Indonesia Kini dan Kelak ................................................................................................... 9
II. KERANGKA KONSEPTUAL ................................................................................................ 11
2.1 Definisi ............................................................................................................................... 11
2.2 Nilai-nilai Dasar ................................................................................................................ 11
2.3 Prinsip Dasar dan Pemandu ............................................................................................ 17
2.3.1 Prinsip Dasar ........................................................................................................... 17
2.3.2 Prinsip Pemandu..................................................................................................... 19
III. VISI, MISI DAN TUJUAN ..................................................................................................... 24
3.1 Visi ...................................................................................................................................... 24
3.2 Misi ..................................................................................................................................... 24
3.3 Tujuan ................................................................................................................................. 24
IV. SASARAN, INDIKATOR DAN INISIATIF STRATEGIS ................................................. 25
4.1 Tujuan 1: Terciptanya Kehidupan Perekonomian yang Berasaskan
Kekeluargaan dan Gotong Royong ............................................................................... 26
4.1.1 Sasaran ..................................................................................................................... 26
4.1.2 Indikator ................................................................................................................... 27
4.1.3 Inisiatif Strategis...................................................................................................... 28
4.2 Tujuan 2: Semakin Menguatnya Posisi Usaha Rakyat dalam Kehidupan
Perekonomian .................................................................................................................. 29
4.2.1 Sasaran ..................................................................................................................... 29
4.2.2 Indikator ................................................................................................................... 30
4.2.3 Inisiatif Strategis...................................................................................................... 31
4.3 Tujuan 3: Terciptanya Ekosistem Usaha yang Adil ..................................................... 32
x
4.3.1 Sasaran ..................................................................................................................... 33
4.3.2 Indikator ................................................................................................................... 34
4.3.3 Inisiatif Strategis...................................................................................................... 35
4.4 Tujuan 4: Pemanfaatan Sumber Daya Alam Sebagai Pokok-Pokok
Kemakmuran Rakyat ...................................................................................................... 37
4.4.1 Sasaran ..................................................................................................................... 37
4.4.2 Indikator ................................................................................................................... 38
4.4.3 Inisiatif Strategis...................................................................................................... 39
4.5 Tujuan 5: Terpenuhinya Hak Setiap Warga Negara Atas Pekerjaan dan
Penghidupan yang Layak Bagi Kemanusiaan ............................................................. 41
4.5.1 Sasaran ..................................................................................................................... 42
4.5.2 Indikator ................................................................................................................... 43
4.5.3 Inisiatif Strategis...................................................................................................... 44
V. STRATEGI NASIONAL ......................................................................................................... 47
5.1 Strategi Regulasi ................................................................................................................ 47
5.2 Strategi Pengawasan dan Evaluasi ................................................................................. 48
VI. ROADMAP SISTEM EKONOMI PANCASILA ................................................................. 50
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 52
Kronologis Penyusunan Buku Putih .................................................................................... 52
Rangkuman Sasaran, Indikator, dan Inisiatif Strategis ..................................................... 56
1
I. LATAR BELAKANG
Inti dari kedaulatan rakyat sesungguhnya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama RI bahkan telah menyampaikan hal
ini sejak Indonesia belum merdeka.
“Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunya kedaulatan, kekuasaan.
Karena rakyat itu jantung-hati bangsa. Dan rakyat itulah menjadi ukuran tinggi rendah
derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup
atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu bergantung kepada semangat rakyat.”
(Mohammad Hatta, 20 September 1931)
Melalui pernyataan tersebut, Hatta ingin mengingatkan bahwa kedaulatan rakyat
merupakan prasyarat penting dalam upaya mewujudkan keadilan sosial. Rakyat harus
berdaya sekaligus saling memberdayakan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Inilah yang sejatinya menjadi fondasi dalam tatanan kehidupan bernegara. Semangat
persatuan demi menciptakan masyarakat adil dan makmur, yang hanya tercipta melalui
keadilan sosial.
Namun ada kalanya, cita-cita mulia yang telah ditetapkan tidak berjalan beriringan
dengan realitasnya. Banyak hal yang menyebabkan kemungkinan tersebut dapat terjadi.
Dari negara yang alpa terhadap kontrol, bergesernya kehendak akibat intervensi
dinamika sosial termasuk di tingkat global, hingga menguatnya interes pribadi.
Karena itulah nilai dasar Pancasila adalah tempat berpulang. Kepadanya kita berkaca, ke
mana arah bangsa ini bergerak?
1.1 Refleksi Atas Realitas
Keadilan Bagi Rakyat
Harus diakui, secara fisik Indonesia kini telah mengalami perubahan sangat besar
dibandingkan awal kemerdekaan. Pendapatan nasional yang diukur melalui Produk
Domestik Bruto (PDB) tumbuh melesat. Hal serupa juga terjadi pada besaran PDB per
kapita yang telah tumbuh sekitar hampir lima kali lipat sejak 1960. Tentu hal ini
merupakan keniscayaan dalam setiap negara yang sedang membangun.
2
Begitu pun dengan pembangunan infrastruktur, fasilitas publik makin modern, serta
kualitas sumber daya manusia yang kian baik. Bahkan oleh dunia internasional,
Indonesia kerap dipandang sebagai negara dengan potensi ekonomi yang sangat besar
dan diperkirakan untuk dapat tumbuh lebih pesat lagi (fast growing emerging economy).
Keberhasilan ini, tentu saja tidak dapat dinegasikan. Namun tetap menyisakan
pertanyaan mendasar: Masih tersisakah semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan
persatuan dalam kehidupan berbangsa?
Meningkatnya pertumbuhan pendapatan, pembangunan infrastruktur dan sarana
penopang perekonomian dalam negeri adalah sebuah fakta. Secara umum, aspek-aspek
penunjang seperti transportasi, telekomunikasi, energi, keuangan dan lain sebagainya
telah berkembang dengan baik, terutama di wilayah perkotaan yang menjadi sentra
aktivitas ekonomi. Tentunya hal ini menjadi modal yang penting untuk terus
menggerakkan roda perekonomian.
Pembangunan yang baik tentunya akan memberikan dampak positif terhadap kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya. Walaupun demikian, kita
perlu bersikap kritis dalam melihat upaya-upaya pembangunan nasional. Dalam hal ini,
aspek-aspek kesenjangan dan pemerataan pembangunan perlu menjadi perhatian.
Pembangunan yang timpang dapat berakibat buruk terhadap perwujudan keadilan
sosial di negeri ini.
Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang umumnya positif dari tahun ke tahun belum
dapat menjadi alat yang efektif dalam menanggulangi persoalan kesenjangan di
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) koefisien Gini pendapatan di
perkotaan dan perdesaan adalah 0,39 di tahun 2017. Secara kasar, angka tersebut
menunjukkan bahwa pendapatan total di tahun 2017 hanya didistribusikan (dengan
merata) kepada 61 persen dari seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia, sementara
39 persen sisanya tidak mendapatkan apa-apa. Walaupun kenyataannya tidak demikian,
ilustrasi tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan yang cukup mengkhawatirkan.
Distribusi pendapatan yang tidak merata serta arena permainan yang tidak imbang sejak
awal pada akhirnya terakumulasi menjadi distribusi kekayaan yang cenderung lebih
timpang dibandingkan dengan distribusi pendapatan. Menurut Credit Suisse dalam
Global Wealth Databook 2017, di tahun 2014 sebanyak 20 persen rumah tangga terkaya di
Indonesia menguasai 64 persen total kekayaan saat itu sementara 20 persen rumah
tangga termiskin hanya menguasai 0,3 persen.
Memang benar terdapat aspek-aspek lain di samping kekayaan dan pendapatan yang
dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan seseorang atau sebuah keluarga,
misalnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Walaupun demikian, pendapatan yang
3
layak dan kepemilikan aset kekayaan akan memberikan ruang gerak bagi individu dan
keluarga dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, mulai dari pilihan untuk bersekolah
hingga pilihan untuk mendapatkan pekerjaan yang bermartabat.
Bagi kaum yang lemah, ruang gerak tersebut menjadi kecil. Akibatnya, menjadi sulit bagi
mereka untuk menjadi manusia Indonesia yang merdeka, yakni merdeka dari rasa takut
dan bebas dari kesengsaraan hidup seperti yang disampaikan oleh Bung Hatta.
Ketimpangan tidak hanya dilihat dalam konteks pendapatan dan kekayaan. Di sisi lain,
masih terdapat isu pemerataan pembangunan yang mengakibatkan ketimpangan
antardaerah dan antarwilayah. Kenyataannya, kegiatan ekonomi masih banyak yang
terpusat di Pulau Jawa. Sesuai data BPS, kontribusi seluruh provinsi di Jawa terhadap
total PDB nasional adalah sekitar 58,5 persen di tahun 2017.
Pembangunan yang tidak merata juga dapat dilihat dari kondisi infrastruktur.
Berdasarkan data dalam RUPTL 2018-2027, kapasitas listrik terpasang di Pulau Jawa dan
Bali adalah sekitar 67 persen dari total kapasitas terpasang di seluruh Indonesia.
Sementara di Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku hanya memiliki kapasitas sekitar 3
persen.
Ketimpangan aktivitas ekonomi berdampak langsung terhadap kondisi pertumbuhan
perekonomian masyarakat, misalnya yang tercermin pada tingkat pengeluaran atau
konsumsi. Berdasarkan SUSENAS 2012 dan 2017, pertumbuhan tahunan atas rata-rata
pengeluaran per kapita di Jawa adalah 3,17 persen, sementara di luar Jawa hanya 1,12
persen.
Hal yang serupa juga terjadi pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung timpang
antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Tentunya, aktivitas ekonomi berjalan dengan
skala yang lebih besar dan lebih dinamis di wilayah perkotaan. Walaupun demikian,
kelumrahan ini tidak seharusnya dibiarkan sehingga pertumbuhan di desa menjadi
sangat lamban, mengakibatkan ketertinggalan yang semakin jauh dari waktu ke waktu.
Inilah fakta yang masih terjadi, realitas yang harus dibayar dari pembangunan yang
cenderung terserabut akarnya dari nilai-nilai Pancasila.
Kesenjangan dan Dampak Sosialnya
Refleksi pembangunan bangsa tidak cukup hanya dengan penyajian data-data statistik
seperti tingkat kemiskinan dan kesenjangan. Kita perlu melihat bagaimana kondisi
perekonomian saat ini berdampak pada kehidupan masyarakat dalam aspek-aspek
lainnya, misalnya politik.
4
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi. Salah satu manifestasi demokrasi bagi
Indonesia diwujudkan dalam demokrasi politik yang berlandaskan pada musyawarah
dalam mencapai mufakat. Saat ini, demokrasi politik di Indonesia diwujudkan dalam
bentuk kebebasan untuk berpartisipasi dalam berbagai hajatan demokrasi dan kebebasan
berpendapat bagi setiap warga negara.
Namun bagi Bung Hatta, demokrasi politik saja tidak cukup. Begini argumennya:
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di
sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak manusia
belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi
ekonomi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang
menentukan nasib manusia.” (Mohammad Hatta, “Demokrasi Kita”, 1960)
Ketika masih banyak rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan atau dalam keadaan
rentan miskin, sulit dikatakan bahwa kedaulatan ekonomi bagi rakyat telah terwujud.
Dengan lain kata, demokrasi ekonomi di Indonesia yang dijiwai oleh semangat
persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan belum terwujud seperti yang diharapkan.
Dalam kondisi yang tidak ideal ini, tanpa kemerdekaan ekonomi, dalam memenuhi
kebutuhan hidup, dependensi terhadap sumber-sumber pendapatan di luar pekerjaan
utama dapat menjadi begitu tinggi. Di sinilah persinggungan antara uang dan politik
menjadi nyata. Preferensi politik bisa jadi dibiaskan oleh kekuatan uang.
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi saling memengaruhi satu sama lain. Oleh
karena itu, pembenahan demokrasi ekonomi harus dilaksanakan seiring dengan
perkembangan demokrasi politik yang ada saat ini. Integrasi di antara keduanya menjadi
sangat penting.
1.2 Pancasila Sebagai Jalan Lurus
Ketidakadilan yang terwujud dalam kesenjangan atau ketimpangan ekonomi merupakan
sebuah fenomena global. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh World Inequality Lab
pada tahun 2018, dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan telah meningkat pada
hampir seluruh negara, tetapi dalam kecepatan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan
bahwa institusi dan kebijakan memiliki peran yang signifikan dalam membentuk
ketimpangan di sebuah negara.
Berbagai inisiatif kebijakan telah dicetuskan sebagai bagian dari upaya pemerataan
ekonomi. Contoh-contoh kebijakan dapat berupa redistribusi pendapatan melalui
5
peraturan upah minimum, transformasi perpajakan, penyediaan bantuan sosial bagi
orang-orang yang menganggur, pengaturan jaminan sosial yang lebih baik, dan lain
sebagainya.
Dengan penyesuaian yang tepat, Indonesia mungkin dapat mentransplantasi setidaknya
satu dari contoh-contoh kebijakan tersebut dalam rangka menanggulangi masalah
kesenjangan ekonomi. Walaupun demikian, kebijakan ekonomi kerap kali berubah,
sesuai dengan kondisi sosial dan politik yang berkembang. Kejadian yang tidak
diinginkan adalah ketika pembuat kebijakan membuat keputusan berdasarkan tujuan
politik (political whim) masing-masing. Konsekuensinya adalah inkonsistensi kebijakan
yang justru dapat memperkeruh keadaan.
Untuk mengatasi masalah inkonsistensi tersebut, dibutuhkan sistem ekonomi yang ajek
sebagai landasan atau acuan bersama (common platform) dalam pembuatan seluruh
kebijakan ekonomi ke depannya. Sistem ini hendaknya mengacu pada norma-norma dan
prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan konstitusionalnya. Sistem inilah yang disebut sebagai Sistem Ekonomi
Pancasila. Seperti apa wujud dari sistem ekonomi tersebut?
Mubyarto menceritakan (2004), ekonomi Pancasila kerap ditasbihkan sebagai ekonomi
yang “bukan-bukan”: bukan kapitalis dan bukan sosialis.
Sistem Ekonomi Pancasila dikatakan sebagai sistem ekonomi campuran yang mengambil
kelebihan-kelebihan dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, yang kemudian disebut
sebagai sistem ekonomi jalan ketiga (Rahardjo, 2004). Walaupun demikian, perlu diingat
bahwa Dawam Rahardjo memberi catatan tambahan bahwa tidak ada satu negara pun
yang secara murni menganut sistem kapitalis ataupun sosialis.
Jika seluruh negara menganut sistem ekonomi campuran, apa kelebihan Sistem Ekonomi
Pancasila dan mengapa kita harus menggunakan sistem ini?
Sebuah sistem ekonomi tentu saja tidak lahir dari ruang kosong. Ia terlahir sebagai
bentuk reaksi atas fenomena yang tumbuh di masyarakat serta nilai dan norma yang
mendasari tatanan sosial kehidupan masyarakat. Begitu halnya dengan konsep ekonomi
Pancasila.
Ekonomi Pancasila dijiwai oleh asas kekeluargaan, kegotongroyongan dan kerja sama
(Rahardjo, 2004). Di sinilah nilai-nilai tradisional yang terjelma melalui berbagai budaya
di seluruh Indonesia tercermin dalam ekonomi Pancasila. Dalam hal ini, budaya gotong
royong, dengan berbagai nama dan sebutannya di seluruh penjuru negeri, merupakan
modal sosial atau kekuatan bangsa yang harus dipertahankan.
6
Walaupun begitu, masih ada pandangan yang cenderung tidak bersahabat dengan
ekonomi Pancasila dengan alasan tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Ekonomi
pasar yang bergerak secara individual dinilai sebagai keniscayaan zaman. Tentu saja
pandangan ini bertentangan dengan Sistem Ekonomi Pancasila yang memiliki
kepentingan menjaga harmoni.
Sementara itu, sistem ekonomi pasar bebas memiliki kecenderungan menciptakan
ketidakharmonisan. Pihak yang kuat, baik dari sisi modal maupun akses produksi
menjadi ancaman serius bagi dunia usaha kecil maupun menengah, termasuk kegiatan
usaha koperasi.
Kondisi inilah, seperti ditegaskan Bung Hatta yang dikoreksi oleh ekonomi berbasis
nilai-nilai Pancasila. Kendati demikian, tidak tepat jika harus memahami bahwa Sistem
Ekonomi Pancasila adalah antipasar. Kemerdekaan dalam pergaulan ekonomi, termasuk
di pasar, merupakan fitrah yang dijaga, namun tetap tidak terlepas dari kontrol negara,
dalam hal ini pemerintah.
Harus diakui bahwa sistem yang berlangsung melalui mekanisme pasar dibentuk untuk
mencapai efisiensi ekonomi melalui konsep persaingan pasar yang sempurna. Namun
demikian, telah diketahui bahwa pasar yang sempurna tidak akan pernah terbentuk.
Dalam kondisi ini, tanpa pengaturan yang baik, efisiensi justru tidak akan terwujud.
Dengan demikian, konsep pengaturan merupakan kata kunci dalam Sistem Ekonomi
Pancasila. Dalam hal ini, pemerintah yang harus berperan sebagai pengatur. Sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi pada 1998
dalam “Development as Freedom”, peran yang dipegang oleh pasar seharusnya tidak
hanya bergantung pada hal-hal yang dapat mereka lakukan, tetapi juga bergantung pada
ranah-ranah yang diizinkan bagi mereka (pasar). Diperlukan pembatasan atas kebebasan
pelaku-pelaku pasar dalam mengambil keputusan agar tidak terjadi inefisiensi ekonomi,
terutama dari perspektif masyarakat secara umum.
Pengaturan menjadi semakin krusial ketika mekanisme pasar yang ada justru
memfasilitasi kepentingan segelintir orang atau kelompok, tetapi mengorbankan
kepentingan rakyat banyak.
Keadilan sosial tidak akan tercipta tanpa intervensi yang tepat sasaran oleh pemerintah.
Intervensi yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk pengaturan mekanisme pasar.
Peran pemerintah dalam mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia jauh lebih besar,
terutama dalam konteks pemenuhan hak-hak sosial yang mendasar, seperti pendidikan,
kesehatan dan keamanan. Harapannya, keadilan sosial akan terwujud seiring dengan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
7
Pengamalan Nilai Pancasila dalam Sistem Ekonomi
Perwujudan keadilan sosial, yang saat ini jauh dari kondisi ideal, merupakan titik tolak
yang menciptakan sebuah urgensi untuk melandaskan nilai-nilai Pancasila dalam
pengambilan berbagai jenis kebijakan oleh pemerintah. Dalam konteks ekonomi,
keadilan dapat terwujud melalui sistem distribusi yang baik.
Operasionalisasi asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ruh Sistem
Ekonomi Pancasila dilaksanakan melalui pengaturan kembali distribusi terhadap faktor
produksi dan hasil produksi. Praktiknya saat ini, dari sisi faktor produksi, misalnya,
terdapat ketimpangan yang begitu signifikan antara segelintir pemilik modal (atas modal
material seperti tanah, uang dan mesin) dengan mayoritas masyarakat pada umumnya.
Sistem Ekonomi Pancasila mengatur bagaimana redistribusi aset material sebagai salah
satu faktor produksi menjadi lebih adil demi menyokong pertumbuhan ekonomi yang
merata dan berkeadilan. Sejatinya, pertumbuhan ekonomi nasional didorong oleh
kekuatan ekonomi lokal, sehingga tidak tercipta sentralisasi dalam pembangunan.
Sedangkan dari sisi hasil produksi, ada fenomena terjadinya kesenjangan dalam
pemanfaatan nilai tambah yang dihasilkan di sepanjang rantai ekonomi. Kondisinya
tidak terdistribusi secara adil. Kerap kali, kenaikan harga di tingkat konsumen tidak
memberikan manfaat kepada produsen semacam petani (produsen) yang tingkat
harganya cenderung stagnan atau turun.
Kebijakan yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila tentunya akan mengatur bagaimana
hasil produksi dinikmati lebih adil oleh aktor-aktor ekonomi, dari tingkat hulu
(produsen), antara (distribusi), hingga hilir (pedagang eceran). Dengan demikian,
kesenjangan/ketimpangan pendapatan dapat diatasi dengan lebih baik.
Dokumen ini disusun sebagai langkah awal dalam mewujudkan sebuah tatanan untuk
kembali kepada kesepakatan bersama yang telah menjadi konsensus bangsa, yaitu
Pancasila yang prinsip dan normanya menjadi nilai-nilai dalam penerapan Sistem
Ekonomi Pancasila. Dengan demikian, Sistem Ekonomi Pancasila dapat menjadi (1)
acuan nilai dalam merumuskan kebijakan di bidang ekonomi, (2) landasan dalam
merumuskan rencana kerja nasional untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berwarga negara, dan (3) standar ukuran dalam menilai kualitas serta arah
kebijakan Indonesia.
8
Tantangan dalam Mewujudkan Sistem Ekonomi Pancasila
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam sistem ekonomi Indonesia tentunya, tidak
semudah membalikkan tangan. Ada tantangan yang harus dihadapi, sehingga perlu
diatasi agar dampak negatifnya dapat diminimalkan. Beberapa tantangan yang telah
teridentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Semangat Pancasila yang meredup dalam kehidupan berbangsa
Kehidupan berekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila memerlukan
kesadaran dari seluruh warga Indonesia untuk bergotong royong dalam
menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial di negeri ini. Semangat gotong
royong ini akan sulit terwujudkan dalam lingkungan masyarakat yang
cenderung konsumtif dan individualistis. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan
terhadap fenomena sosial, seperti kemiskinan dan kesenjangan, cenderung
terabaikan.
2. Tidak adanya peraturan acuan yang mengikat sebagai panduan dalam
kebijakan di bidang perekonomian untuk kembali pada nilai-nilai Pancasila
Kehadiran negara untuk mewujudkan cita-cita Ekonomi Pancasila merupakan
suatu keniscayaan. Oleh karena itu, peran aktif negara dalam mengarahkan
perekonomian dalam mencapai cita-cita luhur Pancasila menjadi sangat
penting. Hal ini diperlukan agar berbagai kebijakan, khususnya dalam bidang
ekonomi, menjadi sesuai dengan peraturan acuan tersebut.
3. Penguasaan pasar oleh sekelompok pemodal
Pada kenyataannya, kondisi pasar kita berjalan dengan tidak sempurna.
Terdapat kecenderungan pasar kita dikuasai oleh pemilik sumber daya yang
berlebih, baik dari modal maupun pengaruh, yang menjadi hambatan dalam
implementasi Sistem Ekonomi Pancasila. Penerapan Sistem Ekonomi Pancasila
tentunya akan berpotensi mengubah tatanan yang sudah dikuasai oleh
segelintir kelompok tersebut.
4. Kualitas sumber daya manusia masih tertinggal
Sistem Ekonomi Pancasila membuka kesempatan yang berkeadilan bagi
seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam perekonomian bangsa.
Dengan demikian, demokrasi ekonomi dapat dicapai. Namun, keberhasilan
demokrasi bergantung pada kualitas manusianya. Kualitas sumber daya
manusia, terutama dari segi pendidikan, menjadi sangat krusial untuk
mendukung pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam perekonomian bangsa.
Dengan demikian, semangat gotong royong di mana setiap orang dapat
9
berdaya dan saling memberdayakan akan terwujud dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
5. Sinkronisasi antarkementerian dan lembaga
Setiap Kementerian dan Lembaga (K/L) memiliki fokus kebijakan sesuai sektor
yang ditanganinya. Oleh karena itu, tampak beralasan seandainya masing-
masing K/L memiliki interes sektoral. Kondisi tersebut berdampak pada
peluang terjadinya kebijakan yang tumpang-tindih, sehingga menyebabkan
terganggunya ketidakselarasan dan harmoni dalam kehidupan perekonomian.
Selain itu, tidak adanya satu kesamaan visi merupakan alasan lainnya.
Kesamaan visi inilah yang seharusnya dilandaskan pada semangat Pancasila
dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
6. Literasi nilai-nilai Pancasila
Banyaknya paham yang berkembang di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara menciptakan keberagaman cara pandang dan berpikir. Kondisi ini
juga membuat literasi soal Pancasila mulai menurun di masyarakat, terutama
kalangan muda. Rendahnya antusiasme menyebabkan proses internalisasi
nilai-nilai Pancasila mengalami hambatan serius. Sejatinya, pemerintah, dunia
usaha, serta individu memiliki kesadaran yang sama mengenai pentingnya
Pancasila, tujuan dan cita-cita bangsa, serta terwujudnya keadilan sosial yang
berlandaskan kebersamaan.
7. Tidak ada lembaga khusus yang mengupayakan dan menjaga pengamalan
prinsip-prinsip Pancasila dalam pembuatan kebijakan ekonomi
Meskipun Pancasila merupakan ideologi bangsa, penerapannya dalam
perekonomian masih sangat terbatas. Masih banyak kebijakan yang tidak
sejalan dengan nafas dan ruh Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu,
dibutuhkan lembaga khusus yang mampu mewujudkan dan melaksanakan
kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai Pancasila dalam perekonomian.
1.3 Indonesia Kini dan Kelak
Pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
telah menginisiasi berbagai kebijakan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Hal ini
tercermin dalam janji politik Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawa Cita.
Pemerintah fokus dalam melakukan pemerataan ekonomi, sehingga rakyat Indonesia
yang berada di pinggiran, kawasan perbatasan, pulau-pulau terluar, kawasan terisolir
merasakan hadirnya negara melalui pembangunan. Mereka merasa bangga menjadi
10
warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, pemerintah juga
berupaya meningkatkan keadilan sosial melalui program-program redistribusi, seperti
halnya kebijakan reforma agraria, yang terdiri atas reforma aset dan akses, bagi mereka
yang selama ini termarjinalkan.
Namun, kita menyadari bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum
sepenuhnya bisa diwujudkan. Padahal, keadilan sosial harus mampu diwujudkan secara
nyata dalam kehidupan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Karena
dengan pemerataan ekonomi yang berkeadilan, maka persatuan Indonesia dapat
terwujud.
Berkeadilan tidak hanya dalam pemerataan ekonomi, akan tetapi juga dalam
pembangunan ideologi, politik, sosial dan budaya. Dalam bidang ideologi, bangsa ini
harus terus memperkuat konsensus kebangsaan untuk menjaga Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kendati demikian, harus diakui bahwa tantangan dalam mewujudkan Sistem Ekonomi
Pancasila adalah sebuah keniscayaan. Perwujudannya hanya dapat terealisasi dengan
baik jika ada rencana yang komprehensif dari pemerintah.
Sebab tak mudah bagi Sistem Ekonomi Pancasila dalam mempertemukan antara norma
yang ingin dicapai dengan fakta. Selalu ada jarak antara kondisi ideal dengan realita.
Namun, seperti yang dipesankan oleh Mohammad Hatta (1960), tugas kita sebagai
manusia yang memiliki idealisme dan mampu berpikir praktis adalah mencari jalan yang
sebaik-baiknya untuk mendekatkan jarak antara realita yang ada dengan kondisi ideal.
Oleh karena itu, perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila merupakan ikhtiar bersama yang
patut didukung dan dijaga keberlanjutannya.
11
II. KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 Definisi
Sistem Ekonomi Pancasila adalah suatu tatanan hubungan antara negara dan warga
negara serta antarwarga negara dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan
makmur yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan melalui
kebijakan yang sejalan dengan nilai dan prinsip Pancasila.
2.2 Nilai-Nilai Dasar
(1) Ketuhanan
Indonesia didirikan sebagai sebuah negara merdeka dan merupakan satu negara semua
untuk semua. Bukan untuk satu orang, satu kelompok atau pun satu golongan saja.
Negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa.
Segenap rakyatnya, oleh Bung Karno ditegaskan sebagai warga yang bertuhan tanpa
egoisme dalam beragama. Tanpa egoisme dalam beragama adalah bertuhan secara
kebudayaan yang saling hormat menghormati, sehingga tercipta satu bangsa yang kuat
dan bersatu. Bangunan ini ada di dalam kerangka negara yang bertuhan melalui
kehidupan beragama yang tulus dan autentik, karena ia adalah satu hal yang telah
berakar dalam kehidupan masyarakat.
Ketuhanan ini merupakan fondasi yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Inilah nilai, yang disebut oleh Bung Hatta sebagai nilai yang memimpin menuju jalan
kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
Para pendiri bangsa pun menyandarkan perekonomian nasional yang berdasarkan
Pancasila merupakan sistem perekonomian yang berlandaskan ketuhanan dan agama.
Dengan demikian, kepemilikan terhadap harta dalam perekonomian memiliki dimensi
ketuhanan. Artinya perolehan, penguasaan dan pemanfaatan atas harta atau pendapatan,
harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan agama.
Untuk itulah, Sistem Ekonomi Pancasila merupakan perekonomian yang memiliki
landasan etis dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. Sehingga, perwujudan dari
Sistem Ekonomi Pancasila meniscayakan adanya kebaikan dan kedermawanan dalam
setiap relasi yang tercipta.
12
(2) Kemandirian (Kepentingan Nasional)
Pancasila adalah ideologi sekaligus identitas bangsa Indonesia yang merupakan
manifestasi dari sikap kemandirian. Ia terlahir dari kearifan lokal masyarakat Indonesia,
yang pada masa awal kemerdekaan menjadi identitas perlawanan terhadap ideologi dari
Barat maupun Timur yang ingin dilekatkan dan menjadi warna dalam perjalanan bangsa
ini.
Walaupun begitu, Pancasila bukanlah satu ideologi yang tertutup. Ia membuka ruang
untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Bahkan Bung Karno meyakini bahwa
Pancasila merupakan sumbangan Indonesia untuk dunia dalam rangka menyelesaikan
berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan.
Identitas Pancasila ini mewujud menjadi kemandirian, yaitu sikap berdikari untuk tegak
berdiri di atas kaki sendiri. Kepentingan nasional menjadi hal yang dikedepankan di
setiap gerak bangsa. Sebab kemandirian adalah pola pikir dan sikap tidak tunduk,
karena mampu memutuskan sendiri arah nasib bangsa. Sikap mandiri merupakan harga
diri, mengubah sikap menghamba (servile) dan minderwaardig menjadi kegagahan dan
kedigdayaan.
Tidak berlebihan jika para pendiri bangsa mentasbihkan kemandirian sebagai doktrin
nasional untuk merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu, perekonomian nasional yang
mandiri harus dipahami sebagai wujud memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Segala
tindakan dan kebijakan, sejatinya memiliki warna kemandirian, bukan aroma
ketergantungan apalagi sikap menyerahkan diri kepada realitas global. Hal ini sekaligus
menegaskan bahwa dalam Sistem Ekonomi Pancasila, sikap subordinasi atau inferior
tidak memiliki tempat karena tidak sesuai dengan jiwa dari Pancasila, yaitu ideologi
yang justru menjadi sumbangan dari Indonesia untuk dunia.
(3) Keterbukaan dan Dinamis
Keterbukaan merujuk pada sikap yang terbuka atau tidak menutup diri dalam
kehidupan bernegara, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi. Pancasila adalah
dasar yang terbuka, tidak menutup diri dari pergaulan dunia, tidak anti terhadap
kenyataan sosial serta tidak anti terhadap perkembangan zaman.
Ia merupakan dasar statis yang mempersatukan dan dinamis dalam dinamika pergaulan
dunia yang kemudian menjadi bagian dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pancasila juga
merupakan dasar yang terbuka bagi seluruh golongan di Indonesia yang beragam.
Atas nilai ini, maka Sistem Ekonomi Pancasila tidak antipasar. Ia bukan sistem yang
menolak kenyataan sosial, ekonomi Pancasila justru menekankan bahwa pasar harus
13
diatur agar tercipta lingkungan kegiatan ekonomi yang adil dan harmoni. Dengan
demikian, kemerdekaan dalam pasar menghajatkan keterlibatan pemerintah untuk
menjaga keseimbangan demi terciptanya kesejahteraan bagi semua warga.
Sebagai dasar satu bangsa yang merdeka, Pancasila juga hadir di tengah semangat
kemerdekaan yang kuat. Bung Karno menamsilkan, jika kemerdekaan adalah sebuah
jembatan emas yang di seberangnya terdapat segala urusan dan persoalan yang belum
selesai dapat diselesaikan secara bersama dan bergotong royong. Semangatnya terletak
pada kemauan untuk bergerak dahulu, merdeka dahulu, barulah kemudian membangun
dan berjuang. Dari sini dapat disarikan makna jika Pancasila adalah kemajuan, satu
semangat untuk maju ke depan dan siap menghadapi segala tantangan yang muncul.
(4) Keadilan
Tujuan bernegara Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Hal
ini bermakna bahwa adil merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran. Tanpa
keadilan, kemakmuran tidak akan tercapai. Sebagaimana para pendiri bangsa nyatakan
bahwa demokrasi di lapangan politik dan ekonomi harus berisikan keadilan agar tercipta
kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Bung Karno pun telah menegaskan, cita-cita keadilan sosial dalam Pancasila adalah
terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Artinya, tiap-tiap insan Indonesia
haruslah hidup dalam keadilan dan kemakmuran. Dalam keadilan sosial, industrialisme
sekadar alat, bukan tujuan. Sebab keadilan sosial bukan mengenai kembali ke masa
lampau, hidup hanya dari ternak atau pertanian saja dan bukan pula soal kembali ke
masa sekadar membuat yang kecil-kecil di rumah. Keadilan sosial adalah
mempergunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi modern untuk cita-cita bersama.
Keadilan sosial bukanlah penolakan terhadap industrialisme, bukan penolakan terhadap
mesin. Keadilan sosial adalah penolakan terhadap industrialisme yang penguasaannya
berdasar sistem kapitalisme dan hanya membawa keuntungan bagi segolongan kecil saja.
Maka, segala usaha dan daya yang dilakukan adalah demi kepentingan umum.
Keadilan merupakan nilai universal kemanusiaan, sehingga Sistem Ekonomi Pancasila
harus memberikan rasa adil dalam setiap hati rakyat Indonesia. Setiap warga harus
mendapatkan kesempatan yang adil untuk menuju kesejahteraan bersama. Artinya, tidak
ada kecemburuan yang muncul di antara sesama rakyat Indonesia. Hal ini dapat
terwujud jika penggunaan terhadap kepemilikan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
14
Selain itu, keadilan juga meniscayakan satu pembagian yang merata. Maka, pemerataan
setidaknya merujuk pada dua hal: distribusi sumber daya dan pembagian hasil yang
merata. Sedangkan, tujuannya adalah menciptakan kesejahteraan di setiap jengkal bumi
Indonesia, tanpa terkecuali.
Karena itulah, pembangunan, sebagaimana Bung Hatta jelaskan, harus menyeluruh. Ia
harus menyentuh seluruh wilayah Indonesia yang luas. Ketidakseimbangan
antarwilayah di Indonesia harus diatasi sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan bagi
tiap-tiap daerah di bumi Indonesia. Pemerataan kesejahteraan adalah soal yang akan
menentukan kuat lemahnya tali persatuan nasional. Jika kesejahteraan tidak terbagi
secara merata, kecemburuan akan muncul sehingga persatuan nasional akan melemah.
(5) Gotong Royong dan Kekeluargaan
Gotong royong adalah paham kebersamaan yang dinamis. Istilah ini menggambarkan
tentang usaha, pekerjaan, atau karya yang diselesaikan bersama. Kegiatan yang
dilaksanakan secara bahu-membahu demi menciptakan kebahagiaan bersama. Tidak ada
lagi perbedaan, baik warna maupun skala, karena melebur dalam wujud kekeluargaan.
Inilah yang menjadi dasar prinsip kolektivisme dalam Sistem Ekonomi Pancasila. Sikap
tersebut merupakan antitesis dari individualisme yang meletakkan baik maupun
buruknya nasib masyarakat dalam genggaman tangan orang per orang di dalam
aktivitas ekonomi. Semangat kolektivisme adalah semangat yang mengutamakan kerja
sama dalam suasana kekeluargaan antarmanusia yang bebas dari penindasan dan
paksaan. Sehingga, kolektivisme mendahulukan kepentingan masyarakat daripada
orang per orang.
Adapun di dalam masyarakat yang kolektivis, tiap orang atau individu merasa bahwa
dalam segala tindakannya ke luar, ia merupakan bagian dari suatu golongan yang besar.
Di situlah dirinya berkedudukan. Dengan demikian, dalam setiap perbuatan,
pemanfaatan sumber daya ekonomi, ia merasa perlu mendapat persetujuan dari
kaumnya.
(6) Kerakyatan dan Perwakilan
Bung Karno menyatakan bahwa kita tidak bisa menciptakan sebuah masyarakat yang
adil dan makmur hanya dengan demokrasi parlementer, namun kita juga harus
menciptakan demokrasi ekonomi. Tidak hanya persamaan di bidang politik, tetapi juga
persamaan di bidang ekonomi.
Demokrasi ekonomi politik adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang
berjalan seiring. Menurut Bung Hatta, jika demokrasi politik saja tidak dapat
15
melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula
berlaku demokrasi ekonomi. Jika tidak, manusia belum merdeka. Persamaan dan
persaudaraan pun belum terlahir.
Oleh karena itu, badan perwakilan haruslah berisikan seluruh elemen bangsa, tidak
terbatas pada golongan atau kelompok tertentu saja. Asas kerakyatan mengandung
makna bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum (perundang-undangan)
haruslah bersandar pada rasa keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat
banyak.
Dengan demikian, tidak ada alasan membiarkan demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi berjalan pada dua alur yang berbeda. Keduanya mesti beriringan, tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Hanya dengan jalan itulah maka masyarakat yang adil dan
makmur dapat tercipta.
(7) Persatuan
Persatuan dan kehendak bersatu merupakan nilai yang menyertai kemerdekaan. Tidak
ada kemerdekaan tanpa persatuan. Persatuan adalah juga mengenai le desir d’etre
ensemble atau kehendak untuk bersatu dalam jiwa, sifat, corak yang sama dan hidup di
atas wilayah yang nyata-nyata satu unit atau satu kesatuan. Ia merupakan satu akibat
objektif dari keadaan.
Persatuan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia, mengingat Indonesia terdiri
dari banyak suku bangsa beserta etnis, ras, bahasa dan agama. Kemerdekaan Indonesia
yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pun tidak akan tercapai tanpa persatuan
antarsemua kekuatan bangsa dan golongan yang hidup di bumi Indonesia.
Proklamator kemerdekaan, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta, menyatakan dengan tegas
jika persatuan adalah hal pokok dalam perjuangan kemerdekaan. Bung Karno
menulisnya dalam “Indonesia Menggugat” sebagai bentuk penentangan pengadilan
Belanda di Bandung. Sedangkan Bung Hatta menyatakannya dalam manifesto politik
dari Perhimpunan Indonesia yang merupakan perkumpulan pelajar Indonesia di
Belanda.
Karena itulah, Sistem Ekonomi Pancasila harus diselenggarakan dalam rangka untuk
menjaga dan memperkuat persatuan nasional dari Sabang hingga Merauke. Indonesia
yang terdiri dari pulau-pulau ini bukan dipisahkan oleh laut, melainkan disatukan oleh
laut. Pembangunan ekonomi harus memberikan ruang agar seluruh rakyat dapat
berpartisipasi, sekaligus menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata bagi
seluruh wilayah Indonesia.
16
Tentu saja persatuan juga tidak terbatas pada demografi wilayah, tetapi juga antarkelas
sosial di dalam masyarakat. Bung Hatta menjelaskan, jika dalam usaha mencapai cita-cita
bersama, perlu ada persatuan antarkelas sosial di Indonesia. Perlu ada tolong-menolong,
saudagar yang besar menolong yang kecil. Jadi, saudagar di dalam Sistem Ekonomi
Pancasila bukanlah satu saudagar yang memiliki mental kapitalis.
Indonesia sebagai sebuah bangsa juga terdiri dari berbagai macam suku: Minangkabau,
Batak, Jawa, Sunda, Bugis dan yang lainnya. Inilah yang menjadi kenyataan sosial bahwa
bangsa Indonesia bersifat multikultur dan multietnis.
Masing-masing suku bangsa ini telah memiliki sistem sosial, politik dan ekonomi
masing-masing yang telah berlangsung turun-temurun. Oleh karena itu, kehidupan
bernegara harus bersendikan atas kenyataan sosial tersebut. Indonesia sebagai negara
kesatuan harus dilihat sebagai resultante kehidupan dari daerah-daerah yang bersatu.
Selamatnya Indonesia tergantung dari bagaimana keadaan di daerah. Dengan demikian,
pembangunan yang dijalankan harus memiliki paradigma pembangunan wilayah
dengan rujukan perencanaan tata ruang yang multisektoral, sehingga ekonomi lokal
memegang peranan penting.
Pola pembangunan yang sentralistik harus diubah menjadi pola pembangunan yang
bersumber dari kekuatan lokal. Keunggulan-keunggulan yang khas dari masing-masing
daerah di Indonesia perlu didorong dan didukung agar maju, sehingga derap dari
daerah ini akan menjadi paduan pembangunan yang membangun Indonesia secara
nasional.
(8) Perikemanusiaan
Sila kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini
dilambangkan dengan rantai yang terdiri dari gelang persegi dan bundar serta
bersambung satu sama lain dengan sambungan yang tidak terputus.
Simbol tersebut bermakna bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang terdiri sendiri,
tetapi suatu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa. Artinya, suatu bangsa tidak dapat
hidup tanpa hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Karena itu, pergaulan atau interaksi
sosial merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditolak.
Bagi bangsa Indonesia, dalam pergaulan tersebut, unsur perikemanusiaan merupakan
norma yang harus dijaga. Tidak boleh ada ruang saling eksploitasi antarmanusia,
begitupun antarbangsa. Dengan demikian, nasionalisme yang hidup dalam suasana
perikemanusiaan, selalu mencari usaha agar seluruh umat manusia akhirnya hidup
dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya.
17
Perikemanusiaan bersifat universal, termasuk dalam ajaran agama-agama yang memiliki
norma mencintai sesama manusia. Selain itu, Bung Karno juga mengingatkan bahwa
perikemanusiaan bukan sekadar hubungan antarmanusia, tetapi juga antara manusia
dengan alam semesta.
Karena itulah, dalam Sistem Ekonomi Pancasila, manusia diperlakukan sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk terbaik ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, dalam relasi produksi, manusia harus ditempatkan tidak sebatas sebagai
faktor produksi, melainkan juga sebagai tujuan akhir yang harus disejahterakan. Selain
itu, ekonomi Pancasila dibangun dengan berperikemanusiaan yang berarti ia
memperhatikan relasinya dengan alam semesta, bukan sekadar antarmanusia.
2.3 Prinsip Dasar dan Pemandu
2.3.1 Prinsip Dasar
Penetapan visi, misi serta sasaran dalam Sistem Ekonomi Pancasila didasarkan pada
tujuan untuk mencapai keadilan sosial di tengah masyarakat, sehingga memberikan
dampak positif terhadap kemakmuran. Hal ini sejalan nilai-nilai dasar Pancasila dan
amanat konstitusi seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945.
Isi Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa, salah satu tujuan negara Indonesia adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum yang berorientasi atau berwawasan pada sila-
sila Pancasila yakni:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) persatuan Indonesia;
(4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
(5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam batang tubuhnya, UUD 1945 juga memberikan corak dan tolok ukur yang
menyata terkait dengan tujuan penerapan kebijakan perekonomian dalam kehidupan
berbangsa. Sejatinya, inilah yang menjadi panduan dalam menentukan arah kebijakan,
khususnya di bidang ekonomi.
Pasal 33 ayat 1, 2, 3 dan 4 menyebutkan bahwa:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
18
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional
Kandungan yang terdapat pada Pasal 33 UUD 1945 yang disebutkan di atas menjelaskan
bahwa susunan perekonomian Indonesia harus merupakan “usaha bersama” berdasar
atas asas “kekeluargaan”. Hal ini mengindikasikan adanya nilai kebersamaan dalam
kehidupan ekonomi nasional.
Nilai kebersamaan ini menjadi norma dalam relasi antarindividu maupun individu
dengan lingkungan dalam kegiatan perekonomian. Kegiatan kolektif dibangun dengan
asas kekeluargaan untuk tujuan dan manfaat bersama. Dengan konteks kenegaraan,
dapat dipahami bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang seorang.
Pada pasal tersebut juga dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Di sini lah ditekankan asas ekonomi kerakyatan, yang mengandung
arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat.
Kekuatan rakyat menjadi modal utama dalam mengelola sumber daya ekonomi. Hal ini
bertujuan sebagai upaya memindahkan kedaulatan ekonomi dari para pemilik modal ke
seluruh anggota masyarakat (people driven).
Pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa:
“Setiap warga negara (WNI) berhak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak.”
Pasal 34 menetapkan bahwa:
“Kaum masyarakat miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara.”
Dari uraian norma-norma konstitusi di atas menunjukkan bahwa keadilan sosial dan
kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia adalah tujuan yang mendasar dalam penerapan
Sistem Ekonomi Pancasila. Tujuan ini, sejatinya diupayakan secara aktif oleh negara.
Berdasarkan landasan UUD 1945 serta Pancasila, setidaknya ada empat tujuan utama
Sistem Ekonomi Pancasila, yakni tercapainya kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian
dan kemerdekaan. Manfaat tersebut dicapai melalui penerapan sistem ekonomi yang
mendukung, terpenuhinya hak sosial warga negara serta keterlibatan aktif dari
19
pemerintah/negara dalam setiap sisi kehidupan perekonomian demi menciptakan
harmoni.
Pancasila pada hakikatnya adalah alat pemersatu dalam perjuangan melawan
imperialisme dan perjuangan kemerdekaan untuk selanjutnya menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur. Pancasila sekaligus merupakan panduan untuk mencapai cita-
cita yang belum selesai diwujudkan. Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Bung Karno
juga merupakan ideologi asli Indonesia yang digali dari bumi Indonesia.
Di dalam Pancasila, terdapat nilai-nilai yang mendalam serta melekat dan menjadi
panduan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai dalam Sistem
Ekonomi Pancasila dirumuskan dari nilai-nilai dasar Pancasila tersebut.
2.3.2 Prinsip Pemandu
Mewujudkan nilai mulia dari ideologi Pancasila ini tentu bukan tanpa syarat. Perlu ada
sejumlah pengondisian yang mesti diciptakan agar upaya melahirkan masyarakat yang
adil dan makmur seperti tertuang dalam amanat Pancasila terlaksana dengan baik.
Sejumlah prasyarat yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya mewujudkan prinsip
Pancasila adalah sebagai berikut:
(1) Pemerintah yang aktif
Pemerintah harus terlibat secara aktif dalam kehidupan perekonomian guna
menciptakan pasar yang adil dan harmoni. Maksud tersebut dilaksanakan melalui
keberpihakan: melindungi dan menopang masyarakat yang lemah dan terlemahkan.
Sebagaimana Bung Hatta nyatakan bahwa kemerdekaan pasar hanya akan menghasilkan
kebebasan bagi segolongan kecil, yang beruntung dalam kedudukannya, tidak kepada
rakyat yang banyak.
Akibat dari kondisi pasar yang bebas dan merdeka, dominasi ekonomi golongan tertentu
terhadap ekonomi golongan lainnya merupakan ekses negatif yang ada di depan mata.
Korporasi besar bergerak cepat untuk maju, sambil meninggalkan korporasi kecil yang
tertatih bahkan pelan-pelan ada yang lunglai akibat tak kuasa terhadap modal dan akses
terhadap input produksi.
Padahal fakta yang tidak dapat ditolak dalam perjalanan perekonomian nasional, bahwa
korporasi kecil justru menjadi penyokong yang loyal, terutama terkait dengan dominasi
penyerapan tenaga kerja. Karena itulah, tidak ada alasan bagi negara untuk tidak hadir
20
dan mendukung mereka yang kecil yang telah memberikan sumbangan banyak terhadap
cita-cita besar untuk menyejahterakan warga.
(2) Pemenuhan hak sosial
Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini bermakna bahwa
seluruh warga negara, tidak peduli suku, ras maupun agamanya tanpa terkecuali berhak
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya, kerja
bukan sekadar kerja, melainkan juga harus mendapat penghidupan yang layak
Prinsip tersebut juga berarti bahwa Indonesia bukan saja negara hukum, melainkan juga
negara sosial. Karena itulah, negara harus mampu memenuhi hak sosial masyarakat,
terutama yang lemah. Termasuk, negara harus hadir di tengah situasi sulit yang
dihadapi oleh rakyat.
Sebab pada dasarnya, kehadiran negara adalah untuk melayani dan membawa cita-cita
kesejahteraan masyarakat sebagai arah perjalanannya. Sungguh menjadi ironi, ketika
negara sekadar menjadi saksi di tengah kesulitan rakyat.
(3) Pembangunan yang berorientasi kemandirian bangsa
Posisi politik yang kuat dalam negosiasi, baik di dunia internasional maupun di dalam
negeri (domestik – relasi dengan dunia usaha), harus mengedepankan kepentingan
nasional. Setiap perundingan yang diselenggarakan oleh negara dengan pihak lain harus
mengutamakan kepentingan nasional.
Untuk mewujudkan hal itu, daya tawar yang dimiliki oleh negara harus berada dalam
posisi yang kuat. Posisi yang kuat dalam negosiasi akan menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan yang baik bagi usaha mencapai cita-cita nasional.
Tanpa prinsip bahwa negara hadir untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, hanya
menciptakan pemerintahan yang berjalan tanpa orientasi. Hal itu menyebabkan
kemandirian menjadi barang yang sangat mahal, sementara para pendiri bangsa maupun
konstitusi mengamanatkan agar pembangunan termasuk di bidang ekonomi bertujuan
menjadikan bangsa Indonesia kuat.
Bangsa yang semakin kuat akan melahirkan kemandirian yang semakin kokoh. Dari
sinilah, upaya mewujudkan cita-cita bangsa semakin memiliki peluang untuk terwujud.
21
(4) Pembangunan yang berorientasi keadilan atas prinsip kebersamaan
Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen bahwa:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, kelompok usaha harus dibangun dan dikelola
berlandaskan asas kekeluargaan, yaitu berupa koperasi. Prinsip kekeluargaan memiliki
makna egaliter, yang tidak hanya terbatas pada soal material semata, tetapi juga ilmu
dan pengetahuan.
Maka dalam Sistem Ekonomi Pancasila, asas kekeluargaan adalah mengenai knowledge
sharing, skill sharing dan learning society, atau dalam bahasa Bung Karno, kembali lagi
pada gotong royong yang tidak selalu mengenai materi. Oleh karena itu, usaha bersama
yang berasas kekeluargaan adalah usaha bersama antar makhluk yang setara, tidak
seperti dalam kapitalisme yang tersusun atas relasi yang tidak setara, yaitu antara
majikan dan buruh.
(5) Koperasi yang kuat dan bermartabat
Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan kultural mereka melalui badan usaha
milik bersama yang dikendalikan secara demokratis. Kelebihan koperasi dibandingkan
badan usaha lain terletak pada soal perpisahan antara majikan dan buruh.
Dalam struktur koperasi tidak ada majikan dan buruh. Semuanya bekerja sama untuk
menyelenggarakan keperluan bersama, sehingga menimbulkan tanggung jawab
bersama. Koperasi sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,
didamaikan dalam keadaan harmonis antara kepentingan orang seorang dengan
kepentingan umum.
Kehadiran koperasi juga secara fundamental menentang individualisme dan kapitalisme.
Melalui koperasi, sejatinya Indonesia ingin menciptakan masyarakat yang kolektif,
berakar pada adat istiadat, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai
dengan tuntutan zaman modern.
Mengingat koperasi sebagai pembela kepentingan umum, ia harus mempunyai rasa
tanggung jawab moril dan sosial. Jika dua tanggung jawab yang pokok ini tidak ada,
22
sesungguhnya koperasi tidak akan dapat tumbuh sesuai kodratnya: kebersamaan dalam
kepemilikan, pengelolaan, serta hasil produksi.
(6) Hukum yang tegak dan kuat
Regulasi yang detail dan menyeluruh diperlukan sebagai prinsip yang harus dan wajib
untuk dilaksanakan dengan baik. Hukum harus mengatur bagaimana mekanisme
ekonomi berjalan agar sesuai dengan cita-cita Indonesia yang berdasarkan Pancasila
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Untuk mewujudkannya, hukum harus mengatur hal-hal yang memang secara hakikat
mesti dikelola dalam sebuah kerangka kebijakan yang terlembaga. Selanjutnya, di saat
hukum telah terlembaga atau diundangkan, maka setiap pelanggaran yang muncul
harus ditindak secara tegas. Terutama jika dalam jangka panjang semakin menjauhkan
Indonesia dari cita-cita memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warganya.
Ekonomi yang adil tidak akan dapat tercipta dan berjalan jika hukum yang berlaku tidak
dapat berdiri tegak dan kuat. Oleh karena itu, dalam Sistem Ekonomi Pancasila
diperlukan juga sistem hukum yang tegak dan kuat.
(7) Sektor usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak 100 persen
dikuasai oleh negara
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, cabang-cabang yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Jika tidak, tampuk
produksi jatuh ke tangan orang per orang atau kelompok, sehingga daya jangkau
masyarakat terhadap komoditas dasar yang sangat penting tersebut makin terbatas.
Pemerintah membangun yang besar-besar, seperti tenaga listrik, produksi air, serta
komoditas dasar lainnya yang penting bagi kehidupan masyarakat, mesti memiliki
kontrol penuh terhadap pengelolaannya. Tidak boleh terjadi keterbatasan masyarakat
dalam mengakses komoditas tersebut, sehingga mengarah pada kemiskinan dan
kesenjangan yang semakin dalam.
Penting untuk diingat bahwa pemerintah adalah pemegang mandat kedaulatan rakyat.
Pada intinya, rakyat adalah awal dan akhir dalam kehidupan bernegara, sehingga
melayani kebutuhan dasarnya merupakan keniscayaan yang terlahir sejak Indonesia
merdeka.
Manakala bidang usaha yang vital bagi kebutuhan hajat hidup rakyat dikuasai oleh
swasta, kemampuan kontrol pemerintah terhadap pengelolaan dan produksi tidak
23
maksimal. Pada akhirnya, rakyat akan menjadi korban, padahal kedaulatan seharusnya
ada di tangannya.
24
III. VISI, MISI DAN TUJUAN
3.1 Visi
Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penerapan Sistem
Ekonomi Pancasila.
3.2 Misi
Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penerapan Sistem
Ekonomi Pancasila.
3.3 Tujuan
Mengacu pada landasan pikir serta visi dan misi, sasaran atau tujuan dalam penerapan
Sistem Ekonomi Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Terciptanya kehidupan perekonomian yang berasaskan kekeluargaan dan
gotong royong.
2. Semakin menguatnya posisi usaha rakyat dalam kehidupan perekonomian.
3. Terciptanya ekosistem usaha yang adil.
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan energi sebagai pokok-pokok kemakmuran
rakyat.
5. Terpenuhinya hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
25
IV. SASARAN, INDIKATOR DAN INISIATIF STRATEGIS
Penentuan sasaran dan indikator serta inisiatif strategis dalam pelaksanaan Sistem
Ekonomi Pancasila didasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan (pada bab
sebelumnya), baik jangka pendek, menengah maupun panjang yang bermuara pada
upaya mencapai visi dari penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu “Terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Apabila keadilan sosial dapat
diwujudkan, niscaya masyarakat yang makmur, sejahtera, bahagia, damai, dan merdeka
juga dapat tercipta.
Untuk mengukur pencapaian dari tujuan penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, perlu
ditetapkan indikator pencapaian Sistem Ekonomi Pancasila sebagai pedoman untuk:
1. Menetapkan tolok ukur pencapaian dari pengejawantahan prinsip-prinsip
Pancasila dalam sistem ekonomi nasional.
2. Mengidentifikasi hambatan dan merumuskan solusi yang efisien dan efektif
terkait implementasi Sistem Ekonomi Pancasila dalam perekonomian.
3. Melakukan pengawasan dan evaluasi pencapaian dari pengejawantahan prinsip-
prinsip Pancasila dalam sistem perekonomian secara berkelanjutan.
Adapun indikator pencapaian tersebut diselaraskan dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh Sistem Ekonomi Pancasila sebagai berikut:
1. Tujuan 1: Terciptanya kehidupan perekonomian yang berasaskan kekeluargaan dan
gotong royong.
2. Tujuan 2: Semakin menguatnya posisi usaha rakyat dalam kehidupan
perekonomian.
3. Tujuan 3: Terciptanya ekosistem usaha yang adil.
4. Tujuan 4: Pemanfaatan sumber daya alam dan energi sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat.
5. Tujuan 5: Terpenuhinya hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
26
4.1 Tujuan 1: Terciptanya Kehidupan Perekonomian yang Berasaskan
Kekeluargaan dan Gotong Royong
Sistem perekonomian yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong merupakan
suatu prinsip kebersamaan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1
yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Kekeluargaan dan gotong royong merupakan prinsip kebersamaan yang
dinamis. Istilah kekeluargaan lebih menggambarkan tentang bagaimana hasil produksi
dinikmati secara bersama-sama dengan mengedepankan prinsip keadilan. Adapun
gotong royong lebih menekankan pada suatu proses usaha, pekerjaan, atau karya yang
diselesaikan bersama. Kegiatan yang dilaksanakan secara bahu-membahu demi
menciptakan kebahagiaan bersama.
Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa, “Dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di
bawah pimpinan atau penilikan anggauta-anggauta masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.” Hal ini menunjukkan bahwa
dalam Sistem Ekonomi Pancasila, sasaran utama dari kegiatan ekonomi adalah
menciptakan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan yang dilandasi oleh asas
kekeluargaan dan gotong royong.
4.1.1 Sasaran
Berdasarkan penjelasan di atas, sasaran strategis dari tujuan ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Asas kekeluargaan dan gotong royong diterapkan oleh setiap bentuk badan
usaha
Penerapan asas kekeluargaan dan gotong royong oleh setiap bentuk badan usaha
merupakan prasyarat untuk dapat mewujudkan kemakmuran masyarakat.
Badan usaha yang dimaksud bisa berupa badan usaha milik negara/daerah,
badan usaha milik swasta yang bersifat korporasi ataupun badan usaha yang
dimiliki oleh rakyat kecil. Dengan diterapkannya prinsip ini, tidak akan ada lagi
eksploitasi terhadap pekerja. Setiap yang terlibat dalam proses produksi akan
menikmati hasil sesuai proporsinya dengan memperhatikan prinsip keadilan.
27
2. Tersedianya regulasi yang mendorong penerapan asas kekeluargaan dan
gotong royong
Untuk bisa menerapkan asas kekeluargaan dan gotong royong dalam sistem
perekonomian, diperlukan suatu pengaturan yang bersifat memaksa bagi setiap
badan usaha yang ada di Indonesia. Regulasi yang dibuat setidaknya harus
mencantumkan beberapa hal di antaranya: kewajiban dari setiap badan usaha
dalam menerapkan prinsip kekeluargaan dan gotong royong; pengaturan jika
terjadi pelanggaran terhadap penerapan asas kekeluargaan dan gotong royong.
3. Terciptanya pemahaman dan kesadaran bersama akan pentingnya penerapan
Sistem Ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong
Perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan
gotong royong dapat dicapai apabila seluruh lapisan masyarakat Indonesia
paham dan sadar akan pentingnya hal tersebut. Kondisi masyarakat yang
individualistis dan mengagungkan konsep kapitalisme dan materialisme akan
menjadi tantangan terbesar. Diperlukan suatu upaya yang sistematik dan
komprehensif untuk membangun pola pikir seluruh elemen bangsa akan
pentingnya perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila.
4.1.2 Indikator
Tercapainya sasaran dimaksud dapat diukur dengan melihat beberapa indikator strategis
yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Tingkat kepemilikan pekerja dalam badan usaha
Prinsip kekeluargaan dan gotong royong dalam suatu badan usaha salah satunya
diindikasikan dengan adanya kebersamaan dalam hal kepemilikan yang bersifat
proporsional. Adanya keterlibatan kepemilikan dari semua pihak (termasuk di
dalamnya pekerja) yang ada di dalam suatu badan usaha akan menciptakan rasa
memiliki. Mereka tidak akan melakukan suatu kegiatan yang abai dan
merugikan perusahaannya. Selain itu, adanya keterlibatan kepemilikan akan
meningkatkan posisi tawar dari para pekerja dalam menentukan kebijakan
dalam internal perusahaan.
2. Pembagian hasil yang adil terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam suatu
badan usaha
Tujuan utama dari adanya asas gotong royong dan kekeluargaan adalah
menciptakan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang per orang.
28
Prinsip kekeluargaan mengisyaratkan bahwa setiap yang terlibat dalam suatu
badan usaha harus menikmati hasil sesuai dengan porsi dan kontribusinya.
Tidak boleh ada eksploitasi, dan tidak pula ada pihak yang menikmati
keuntungan yang berlebihan.
3. Setiap regulasi harus mencerminkan dan sesuai dengan asas kekeluargaan dan
gotong royong
Adanya pengaturan yang mengikat dan menyeluruh merupakan prasyarat
terciptanya prinsip kekeluargaan dan gotong royong dalam perekonomian.
Untuk itu, setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan prinsip
kekeluargaan dan gotong royong. Ketidakkonsistenan antarperaturan menjadi
pemicu tidak tercapainya tujuan dan cita-cita yang sudah ditetapkan.
4. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia paham dan sadar akan pentingnya
pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila
Pemahaman dan kesadaran seluruh elemen bangsa akan pentingnya perwujudan
Sistem Ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong
menjadi modal utama untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Apabila ada sebagian masyarakat yang masih mementingkan
keuntungan pribadi, maka praktik-praktik usaha yang mengeksploitasi dan
mendominasi suatu golongan masyarakat akan terjadi. Praktik-praktik seperti ini
akan menciptakan kemakmuran orang seorang, bukan masyarakat secara
keseluruhan.
4.1.3 Inisiatif Strategis
Sasaran dan indikator strategis dapat dicapai melalui inisiatif strategis yang akan
menjadi program untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Inisiatif
strategis untuk tujuan ini di antaranya terdiri dari:
1. Melakukan inisiasi redistribusi kepemilikan perusahaan kepada karyawan oleh
perusahaan-perusahaan BUMN/BUMD yang tidak menyangkut hajat hidup
rakyat banyak.
2. Menumbuhkembangkan berbagai badan usaha yang mencerminkan asas
kekeluargaan dan gotong royong.
3. Mewajibkan setiap badan usaha untuk melepaskan sebagian hak kepemilikan
badan usahanya kepada karyawan.
4. Melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap seluruh peraturan yang ada
terkait kesesuaiannya dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.
29
5. Memasukkan unsur kekeluargaan dan gotong royong ke dalam setiap
peraturan yang akan disusun oleh pemerintah atau badan usaha.
6. Mengembangkan indeks kekeluargaan dan gotong royong sebagai suatu alat
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaannya.
7. Strategi komunikasi untuk membudayakan Sistem Ekonomi Pancasila.
8. Memasukkan konsep Sistem Ekonomi Pancasila ke dalam kurikulum
pendidikan Indonesia dari mulai tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi.
4.2 Tujuan 2: Semakin Menguatnya Posisi Usaha Rakyat dalam
Kehidupan Perekonomian
Pancasila memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Sayangnya, keadilan sosial
masih belum dapat tercipta, yang mana salah satunya dapat diukur dari seberapa besar
keterlibatan usaha rakyat. Keterlibatan usaha rakyat dalam rantai ekonomi masih minim
karena adanya penguasaan pasar oleh orang per orang. Usaha rakyat cenderung kalah
dalam bersaing karena minimnya aset dan akses yang dimiliki oleh mereka, sehingga
dalam perekonomian, usaha rakyat cenderung kalah dan menjadi pihak yang lemah dan
terlemahkan.
Berasaskan kekeluargaan dan gotong royong, Sistem Ekonomi Pancasila diharapkan
mampu mendorong posisi usaha rakyat dalam perekonomian. Tidak hanya semakin
banyak, akan tetapi juga kuat dan berkelanjutan. Rakyat perlu memiliki posisi yang besar
dalam perekonomian. Usahanya harus menjadi bagian penting dalam siklus ekonomi.
Rakyat berpartisipasi dalam perekonomian dan terus menguat dan tumbuh menjadi
besar, tidak hanya sebagai pelengkap ataupun bagian kecil, sisa dari ceruk pasar yang
telah diambil oleh para pemodal besar.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan peran pemerintah yang aktif untuk
menciptakan mekanisme pasar yang melahirkan kebersamaan terhadap akses barang
produksi. Dengan demikian, pasar yang adil sebagai salah satu tujuan dari Sistem
Ekonomi Pancasila dapat tercapai dengan semakin menguatnya posisi usaha rakyat
dalam kehidupan perekonomian.
4.2.1 Sasaran
Untuk dapat mewujudkan tujuan memperkuat posisi usaha rakyat dalam kehidupan
perekonomian diperlukan strategi yang jelas dan terukur. Strategi tersebut dituangkan
30
dalam sasaran strategis yang merupakan manifestasi dari apa saja yang dibutuhkan
usaha rakyat untuk menjadikannya kuat dalam perekonomian.
1. Peningkatan akses usaha rakyat terhadap sumber daya ekonomi
Akses merupakan hal paling esensial untuk memperkuat suatu usaha. Jika akses
terbatas, maka tentunya jalan masuk untuk bisa berkembang akan semakin
sempit. Begitu pun dalam penguatan usaha rakyat. Peningkatan akses usaha
rakyat terhadap sumber daya ekonomi harus diwujudkan. Diharapkan, dengan
semakin tingginya akses tersebut maka usaha rakyat dapat berkembang
layaknya usaha para pemodal besar yang memiliki aksesibilitas lebih besar.
2. Peningkatan daya saing usaha rakyat yang berkelanjutan
Setelah meningkatnya akses, daya saing usaha rakyat diharapkan terdorong
sehingga mampu bertahan di pasar secara berkelanjutan. Usaha rakyat tidak
mati di tengah jalan akan tetapi mampu berekspansi dan naik kelas dengan
kemampuan dan kualitas yang semakin baik.
3. Peningkatan akses pasar usaha rakyat
Meningkatnya daya saing tentunya harus didukung dengan akses pasar yang
luas. Peningkatan kualitas yang semakin baik tentunya membuat usaha rakyat
memiliki kemampuan untuk masuk ke pasar yang lebih luas.
4.2.2 Indikator
Setelah ditentukannya sasaran strategis, maka diperlukan suatu acuan untuk mengukur
implementasi strategi tersebut yang disebut dengan indikator strategis. Adapun
indikator strategis untuk sasaran strategis yang sudah disebutkan di atas, yakni:
1. Indeks aksesibilitas sumber daya ekonomi
Indeks ini akan mengukur sejauh mana usaha rakyat dapat mengakses sumber
daya ekonomi dalam rangka memperkuat posisinya dalam perekonomian.
2. Indeks daya saing usaha rakyat
Terjadinya peningkatan daya saing usaha rakyat akan terlihat dari indikator-
indikator yang ada dalam indeks daya saing usaha rakyat.
3. Indeks akses pasar
Indeksasi akses pasar akan memberikan acuan sejauh mana akses pasar terbuka
bagi usaha rakyat sehingga aksesibilitas dan daya saing yang telah dimiliki
mampu mendongkrak akses pasar bagi usaha-usaha tersebut.
31
4.2.3 Inisiatif Strategis
Untuk dapat mencapai sasaran strategis yang telah disusun, diperlukan inisiatif strategis.
Inisiatif strategis ini diharapkan mampu mewujudkan sasaran-sasaran untuk dapat
memperkuat usaha rakyat dalam kehidupan perekonomian. Adapun inisiatif
strategisnya antara lain sebagai berikut:
1. Redistribusi aset produktif
Redistribusi aset menjadi sangat penting bagi rakyat, terutama untuk dapat
memperkuat posisinya dalam perekonomian. Aset produktif menjadi modal
utama bagi rakyat untuk bisa mengembangkan usahanya. Dengan adanya
penguasaan aset yang terkonsentrasi oleh beberapa individu/kelompok, maka
redistribusi aset produktif, seperti tanah, menjadi penting untuk mencapai
keadilan sosial. Pemerintah juga perlu mendorong pembangunan infrastruktur
untuk mengoptimalkan pemanfaatan redistribusi aset.
2. Pengadaan akses finansial yang mudah dan terjangkau
Selain kepemilikan aset produktif, usaha rakyat juga harus didukung oleh
aksesibilitas terhadap akses finansial. Ketersediaan modal finansial yang dapat
diperoleh dengan mudah menjadi sangat penting bagi masyarakat, baik untuk
memulai usaha baru atau meningkatkan skala usaha yang ada. Akses finansial
yang baik dapat terwujud ketika sarana yang tersedia dapat mencakup seluruh
lapisan masyarakat secara merata. Keterbukaan dan ketersebaran informasi akan
sarana dan fasilitas tersebut juga penting untuk menjamin iklim usaha yang adil
dan inklusif.
3. Pendampingan pengembangan usaha
Pengembangan usaha sangat penting agar usaha rakyat dapat berkelanjutan.
Dikarenakan minimnya pengetahuan dan informasi mengenai hal tersebut, maka
pendampingan pengembangan usaha merupakan kewajiban yang harus
dilakukan oleh pemerintah tentunya dibantu oleh pemangku kepentingan
lainnya. Usaha rakyat perlu diarahkan dan didampingi untuk bisa meningkatkan
posisinya dalam perekonomian. Dalam hal ini, usaha rakyat harus mampu
mengadopsi potensi lokal.
4. Insentif pajak rendah
Untuk meningkatkan posisi dalam perekonomian, insentif fiskal berupa pajak
yang rendah bagi usaha rakyat juga merupakan cara yang ampuh. Dengan pajak
rendah yang dikenakan, maka ada peluang bagi usaha rakyat untuk bisa
berkembang dan naik kelas karena alokasi biaya untuk pajak dapat digunakan
32
untuk kegiatan-kegiatan yang mampu mendongkrak kapabilitas dan kualitas
usahanya. Hal ini menjadi salah satu bentuk keberpihakan pemerintah kepada
usaha rakyat sekaligus usaha menciptakan keadilan sosial.
5. Adopsi teknologi untuk menciptakan efisiensi
Penggunaan teknologi tidak dapat dikesampingkan di era modern seperti saat
ini. Masifnya inovasi teknologi membawa kegiatan ekonomi menjadi lebih
efisien bagi mereka yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi. Dengan
demikian, usaha rakyat tidak boleh tertinggal dalam mengadopsi teknologi yang
relevan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dan dapat dilakukan baik
melalui pendampingan, sosialisasi, maupun kemitraan.
6. Pengupayaan penyediaan pasar bagi usaha rakyat
Pemasaran merupakan salah satu tantangan terbesar bagi banyak UMKM di
Indonesia. Dalam hal ini, ketersediaan pasar di mana produk-produk usaha
rakyat dapat termanfaatkan dengan baik. Salah satu masalah terbesar dalam
kegiatan usaha rakyat adalah offtaker. Produk yang dihasilkan usaha rakyat
kadang tidak terserap oleh pasar sehingga rakyat tidak memiliki kepastian
dalam usahanya. Oleh karena itu, dibutuhkan penyediaan offtaker bagi usaha
rakyat sehingga tercipta rantai pasok yang kokoh, yang melibatkan usaha rakyat
di dalamnya. Offtaker tersebut dapat berupa kemitraan yang berasas
kekeluargaan antara perusahan-perusahaan besar dengan usaha rakyat.
4.3 Tujuan 3: Terciptanya Ekosistem Usaha yang Adil
Ekosistem usaha dapat diartikan sebagai sebuah komunitas ekonomi yang dibangun atas
interaksi antarorganisasi dan individu. Organisasi dan individu tersebut memegang
peran-peran tertentu di dalam komunitas, sebagai produsen, penyalur, dan konsumen.
Tindakan dan keputusan yang dibuat dalam komunitas ini diatur sesuai dengan tatanan
institusional yang berlaku di dalamnya. Secara ringkas, ekosistem usaha terdiri atas
pelaku, interaksi antarpelaku yang ada di dalam sistem, serta peraturan yang mengatur
interaksi tersebut. Dalam hal ini, peran pengaturan dipegang oleh pemerintah.
Dalam sebuah arena perekonomian di mana setiap pelaku yang berperan sebagai
penyedia barang dan jasa bertemu, persaingan di antara pelaku-pelaku ini merupakan
sebuah kelumrahan. Efisiensi di pasar tercipta akibat dorongan untuk menjadi yang
terbaik dalam rangka menciptakan keuntungan yang lebih besar. Ketika arena
persaingan tidak lagi dikuasai oleh para pelaku secara adil, ketimpangan akan terjadi
dengan porsi yang semakin besar dari waktu ke waktu. Akibatnya, pasar dikuasai oleh
33
segelintir kelompok dengan berbagai macam implikasi yang dapat menghalangi atau
bahkan merugikan pelaku-pelaku lain di dalam ekosistem tersebut.
Ekosistem usaha yang adil dapat tercipta apabila setiap orang memiliki kesempatan yang
sama untuk berkembang. Dalam hal ini, keberpihakan terhadap usaha-usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) dalam sektor produksi menjadi sangat krusial. Masing-
masing harus didorong untuk tumbuh agar roda perekonomian bergerak untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat banyak.
Di sisi lain, penguasaan suatu industri oleh sedikit badan usaha juga perlu menjadi
perhatian bersama. Konsentrasi dan konsolidasi industri tidak hanya mempersulit entri
pasar bagi usaha-usaha baru, tetapi meletakkan masyarakat sebagai konsumen, dalam
posisi yang rentan dan tidak terlindungi. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau
kembali koridor-koridor institusional yang mengatur iklim persaingan usaha, agar
menjadi terhindar dari pemusatan ekonomi pada perorangan atau kelompok.
4.3.1 Sasaran
Dalam rangka perwujudan ekosistem yang usaha yang adil, terdapat beberapa sasaran
strategis yang perlu dicapai, seperti yang dijabarkan sebagai berikut.
1. Terciptanya iklim usaha yang memberdayakan kemandirian ekonomi rakyat
sehingga ikut berperan dalam pembangunan nasional
Pemberdayaan kemandirian ekonomi rakyat berarti menjadikan usaha-usaha
yang dibentuk oleh rakyat menjadi kuat sehingga dapat bertahan dan tumbuh
dalam arena perekonomian. Untuk itu, usaha-usaha rakyat perlu diberikan
kekuatan dan ruang untuk berkembang. Hal yang tidak dikehendaki adalah
apabila kelompok-kelompok usaha yang lebih besar justru mematikan kelompok
yang lebih kecil. Kondisi tersebut dapat terjadi baik ketika kelompok usaha yang
lebih kecil tidak dapat bertahan karena iklim persaingan yang tidak sehat,
maupun ketika terdapat tindakan sengaja untuk menghentikan keberjalanan
usaha-usaha kecil dalam rangka mengendalikan produksi dan/atau pemasaran.
2. Terciptanya iklim usaha yang mengutamakan potensi lokal
Usaha-usaha oleh masyarakat dapat tumbuh melalui kerjasama antara satu sama
lain. Pasar perlu dijadikan arena di mana para pelaku usaha dapat bersama-sama
mengambil manfaat atau keuntungan sewajarnya di dalamnya. Maka, perlu ada
upaya nyata dari pemerintah dalam mendorong usaha-usaha besar agar
bekerjasama yang berasas kekeluargaan dengan usaha-usaha lokal yang lebih
kecil sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian,
34
keberadaan badan usaha di suatu wilayah dapat memberikan manfaat ekonomi
yang lebih besar.
3. Terciptanya iklim usaha yang terhindar dari pemusatan sumber daya oleh
perseorangan/kelompok
Pasar yang dikuasai oleh satu atau sedikit pelaku (monopoli/oligopoli), baik dari
sisi produksi maupun pemasaran, dapat mengakibatkan ketidaksimetrisan
informasi yang dapat merugikan masyarakat luas. Kekuatan yang diakumulasi
oleh kelompok-kelompok yang sedikit tersebut dapat disalahgunakan, terutama
untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa pasar. Keadaan tersebut
dapat diperparah melalui berbagai tindakan konglomerasi bisnis yang tidak
didukung oleh semangat kewirausahaan yang baik. Dengan demikian,
pemerataan kepemilikan sumber daya dapat mendorong peran setiap
masyarakat dalam proses pembangunan perekonomian.
Pada akhirnya, pemusataan pendapatan dan kekayaan tidak hanya
mengakibatkan ketidakseimbangan dalam konteks ekonomi, tetapi juga sosial
dan politik. Luasnya hajat hidup masyarakat yang dikuasai oleh segelintir
pelaku usaha dan konglomerat ini juga dapat menempatkan masyarakat pada
posisi yang rentan. Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih kuat dalam aspek
ekonomi maupun politik untuk mengendalikan pemusatan kekuasaan yang
dimaksud. Salah satunya, fungsi-fungsi pengawasan atas persaingan usaha yang
sehat juga perlu dipertegas.
4.3.2 Indikator
Setelah ditentukannya sasaran strategis, maka diperlukan suatu acuan untuk mengukur
implementasi strategi tersebut yang disebut dengan indikator strategis. Adapun
indikator strategis untuk sasaran strategis yang sudah disebutkan di atas, yakni:
1. Indeks kemandirian usaha rakyat
Indeks ini mengukur daya tahan dan daya saing usaha rakyat, yang terdiri atas
koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan adanya indeks ini,
dapat dilihat seberapa baik iklim usaha yang telah diciptakan dalam mendorong
pertumbuhan usaha baru di masyarakat serta bagaimana usaha tersebut dapat
tumbuh dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian
nasional. Beberapa indikator yang dapat digunakan misalnya tingkat
produktivitas dan efisiensi, kualitas sumber daya manusia, serta ukuran pasar
usaha-usaha rakyat tersebut.
35
2. Tingkat inklusi usaha lokal
Indikator ini mengukur seberapa besar keterlibatan usaha lokal dalam
penyediaan barang dan jasa bagi usaha lain yang lebih besar. Oleh karena itu,
pengadaan barang dan jasa setiap badan usaha, terutama yang termasuk dalam
kategori usaha besar, harus diatur sedemikian sehingga terdapat kontribusi oleh
usaha lokal. Besaran kontribusi ini harus tumbuh dari waktu ke waktu.
3. Rasio konsentrasi pasar
Rasio konsentrasi pasar merupakan ukuran paling sederhana untuk melihat
seberapa besar penguasaan pangsa pasar oleh setiap produsen di dalam suatu
pasar. Semakin besar rasio konsentrasi pada satu atau dua produsen, maka
semakin tidak sehat pasar tersebut. Ada beberapa parameter untuk mengukur
apakah konsentrasi pasar terpusat pada sekelompok produsen, yakni dengan
mengukur pangsa pasar empat produsen terbesar dan indeks Herfindahl-
Hirschman.
4.3.3 Inisiatif Strategis
Adapun inisiatif strategis yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan Sistem
Ekonomi Pancasila dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemberian bantuan/insentif ekspansi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) – UMKM naik kelas
Pertumbuhan usaha menjadi lebih besar dapat memberikan dampak yang positif
tidak hanya bagi badan usaha tersebut, tetapi juga bagi masyarakat secara
umum, misalnya melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu,
setiap badan usaha perlu didorong untuk dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Bantuan dapat berupa akses yang lebih mudah terhadap aset-aset produktif yang
diperuntukkan bagi badan usaha yang mampu menunjukkan kebermanfaatan
ekspansi usahanya bagi perekonomian secara luas.
2. Pendampingan dan pengembangan local champion
Tidak semua lapisan masyarakat dengan semangat wirausaha memiliki
kapabilitas yang dibutuhkan untuk dapat bersaing di pasar. Oleh karena itu,
semangat kekeluargaan dan gotong royong Pancasila harus tercermin dalam
upaya-upaya pendampingan usaha lokal dengan potensi yang besar. Peran
pendampingan dan pengembangan local champion harus dilakukan oleh badan
usaha besar, baik milik swasta maupun milik negara. Pendampingan dan
pengembangan dapat dilakukan dengan mengarahkan berbagai inisiatif
36
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) ke bentuk-
bentuk yang lebih produktif sehingga mampu mendorong terciptanya
pertumbuhan yang lebih pesat bagi usaha-usaha lokal. Hal ini dapat terwujud
dengan adanya spillover pengetahuan, khususnya terkait pengembangan bisnis,
serta bantuan modal yang diberikan kepada usaha-usaha kecil tersebut.
3. Kemitraan UMKM lokal dengan usaha besar dan pengaturan penyerapan
konten lokal
Berbeda dengan konsep pendampingan dan pengembangan local champion,
kemitraan UMKM lokal dengan usaha besar berada pada domain operasional
perusahaan. Kemitraan ini harus menjunjung tinggi asas kekeluargaan dan
gotong royong pada setiap prosesnya yang berlandaskan pada nilai-nilai lokal.
Sebagai contoh, pemenuhan kebutuhan barang dan jasa usaha besar harus
dilakukan dengan cara-cara yang adil dan terbuka bagi UMKM lokal agar
seluruh pelaku dapat berkontribusi sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya
masing-masing.
Sebagai dorongan tambahan bagi badan usaha besar dalam melaksanakan
inisiatif kemitraan ini, diperlukan pengaturan terhadap tingkat penyerapan
konten lokal atas barang dan jasa. Dalam kemitraan yang terbentuk, usaha besar
harus mendorong mitra UMKM untuk memenuhi standar-standar kinerja yang
lebih baik dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kualitas usaha lokal yang
lebih kecil dapat ditingkatkan melalui pengalaman kerja sama dengan usaha
besar yang memiliki tata kelola perusahaan yang lebih baik.
4. Pengawasan terhadap penguasaan pasar
Ekosistem usaha yang ada harus bersifat adil. Dalam hal ini, upaya-upaya
penetrasi pasar yang dilakukan oleh badan usaha, terutama yang baru, harus
dapat dilakukan dengan baik, yakni melalui pasar yang terbebas dari berbagai
bentuk manipulasi oleh satu atau segelintir badan usaha. Berbagai badan usaha
yang muncul harus memiliki keleluasaan dalam mengembangkan usahanya. Hal
ini dapat dicapai melalui pengawasan yang terukur terhadap penguasaan pasar.
Dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang memberikan dampak negatif
bagi pasar perlu ditangani melalui kerangka institusional yang komprehensif,
dimulai dari pengaturan hingga penegakan hukum atas praktik-praktik
pelebaran kekuasaan yang tidak menimbulkan efek positif bagi masyarakat.
37
4.4 Tujuan 4: Pemanfaatan Sumber Daya Alam Sebagai Pokok-Pokok
Kemakmuran Rakyat
Tujuan ini merupakan perwujudan dari Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Bahkan pasal
ini sebelumnya telah dijelaskan sebagaimana dapat ditemukan melalui penjelasan Pasal
33 UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945, terdapat tiga penekanan yang maknanya dalam.
Penekanan pertama ada pada kata “harus” sebagai kata imperatif bahwa negara harus
menguasai bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, kata
“dikuasai”. Ini bermakna jika negara harus menjadi penguasa, yang artinya negara
bukan sekadar menjadi pemilik mayoritas. Penekanan ketiga ada pada kata-kata “pokok-
pokok kemakmuran rakyat” yang berarti segala kekayaan tadi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat akan sulit tercapai jika pokok-pokoknya
(sumber daya alam) tidak dikelola dan dikuasai dengan baik.
4.4.1 Sasaran
Berdasarkan penjelasan di atas, sasaran strategis dari tujuan ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Penguasaan sumber daya alam oleh negara dan tidak boleh dialihkan
Hal ini menegaskan jika sumber daya alam yang dikuasai oleh negara sama
sekali tidak diperkenankan untuk dialihkan ke pihak lain, baik kepada orang
seorang di dalam negeri, terlebih kepada orang seorang di luar negeri. Larangan
untuk pengalihan ini merupakan konsekuensi logis dari kata imperatif “harus”
yang terkandung dalam UUD 1945.
2. Peningkatan akses rakyat dalam pemanfaatan sumber daya alam
Indonesia didirikan oleh semua dan untuk semua. Perjuangan pergerakan
kemerdekaan, khususnya digerakkan oleh semangat rakyat, oleh perjuangan
rakyat melalui kehendak untuk merdeka. Rakyat lah yang berjuang dan
bergotong royong untuk mendirikan bangunan Indonesia merdeka yang kuat
dan kokoh. Oleh karena itu, Indonesia merdeka memberikan kedaulatan kepada
38
rakyat, bukan kepada pihak-pihak lain. Maka segala proses kehidupan
berbangsa dan bernegara harus berlandaskan atas kehendak rakyat. Begitu pula
dengan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kekayaan bangsa
Indonesia harus bermanfaat bagi rakyat. Akses rakyat kepada kekayaan
bangsanya harus dibuka selebar mungkin agar dapat memberikan keadilan dan
kemakmuran sebagaimana tujuan daripada didirikannya Indonesia merdeka.
3. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan
Bung Karno menjelaskan bahwa Pancasila adalah peri kemanusiaan yang berarti
mengatur tidak hanya sekadar relasi manusia antarmanusia saja, tetapi juga
relasi manusia dengan alam semesta. Oleh karena itu, pembangunan yang
berdasarkan Pancasila adalah pembangunan yang memperhatikan alam semesta,
yaitu suatu pembangunan yang berkelanjutan dan memiliki komitmen yang kuat
bagi terpeliharanya lingkungan. Ini menjadi penting mengingat Indonesia
didirikan bukan hanya untuk sementara waktu saja, Indonesia didirikan sebagai
sebuah negara merdeka untuk seribu tahun lamanya, untuk selama-lamanya.
4.4.2 Indikator
Tercapainya sasaran dimaksud dapat diukur dengan melihat beberapa indikator strategis
yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Tingkat kepemilikan negara atas usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak sebesar 100 persen
Negara harus memiliki tingkat kepemilikan 100 persen sebagai makna dari
“penguasa” terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia. Penguasaan
kepemilikan 100 persen terhadap usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak telah sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Pendiri bangsa juga
telah menjelaskan masalah ini dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen
bahwa negara harus menguasai usaha yang menyangkut hajat hidup orang
banyak agar tidak jatuh ke tangan orang seorang
2. Tingkat penerimaan negara dari sektor sumber daya alam dan terdapat
kepemilikan rakyat dalam usaha pengelolaan sumber daya alam
Akses rakyat terhadap kekayaan sumber daya alam dapat dilihat dari tingkat
penerimaan negara pada sektor sumber daya alam. Seberapa besar negara
mampu menghasilkan penerimaan dari operasinya dalam mengelola kekayaan
negara. Akses rakyat yang meningkat juga dapat dilihat melalui tingkat
39
kepemilikan rakyat dalam usaha tersebut. Seberapa besar rakyat diberikan porsi
kepemilikan dalam bisnis yang mengelola kekayaan yang sejatinya milik rakyat
itu.
3. Tingkat kerusakan lingkungan
Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
dapat dilihat melalui tingkat kerusakan lingkungan yang ada di Indonesia.
Seberapa jauh kerusakan yang muncul di bumi Indonesia akan menjadi indikator
sejauh mana negara memiliki komitmen dalam melaksanakan pembangunan,
yang sebagaimana Bung Karno nyatakan, berperikemanusiaan.
4.4.3 Inisiatif Strategis
Sasaran dan indikator strategis dapat dicapai melalui inisiatif strategis yang akan
menjadi program untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Inisiatif
strategis dari tujuan ini di antaranya terdiri dari:
1. Lobi politik, kajian dan naskah akademik untuk menyusun UU BUMN dan
UU Kekayaan Negara
UU BUMN dan UU Kekayaan Negara menjadi aturan yang paling strategis
dalam mendukung adanya 100 persen penguasaan negara atas sektor usaha yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, diperlukan lobi politik
di eksekutif dan legislatif dalam rangka revisi serta penyusunan UU BUMN dan
UU Kekayaan Negara yang lebih komprehensif sehingga sesuai dengan UUD
1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Ketika proses ini dapat berjalan,
maka kajian dan naskah akademik juga harus berjalan untuk dapat menjadi
dasar yang kuat mengenai urgensi dari penyusunan UU BUMN dan UU
Kekayaan Negara yang mengutamakan penguasaan negara.
2. Menyusun daftar badan usaha yang harus dikuasai oleh negara
Penyusunan daftar badan usaha yang harus dikuasai oleh negara akan menjadi
peta dasar untuk upaya melakukan 100 persen penguasaan oleh negara. Daftar
ini akan memandu badan usaha mana saja yang harus dikuasai oleh negara dan
jangka waktu pelaksanaannya.
3. Menyiapkan tim negosiasi yang fokus menangani hukum arbitrase
Upaya menguasai badan usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak
bukanlah satu pekerjaan sederhana. Usaha ini tentu akan melewati proses
negosiasi yang panjang dan rumit. Oleh karena itu, diperlukan tim khusus yang
kuat dan fokus untuk menjalankan proses negosiasi dan proses arbitrase dengan
40
pihak-pihak yang tidak menginginkan negara menguasai badan-badan usaha
strategis.
4. Membentuk koperasi yang anggotanya berasal dari masyarakat sekitar dan
koperasi tersebut memiliki porsi kepemilikan
Pengelolaan sumber daya alam sering menghasilkan kecemburuan dari
masyarakat sekitar akibat tidak adanya manfaat yang diperoleh oleh mereka
sebagai rakyat yang menerima ekses negatif dari pengelolaan tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan koperasi yang ikut memiliki porsi kepemilikan dalam
usaha pengelolaan sumber daya alam. Anggota koperasi ini juga harus berasal
dari masyarakat sekitar sehingga akses mereka terhadap sumber daya alam di
sekitarnya dapat terwujud dan memberikan manfaat secara nyata.
5. Menyebarluaskan laporan terbuka yang sederhana mengenai pengelolaan
sumber daya alam kepada publik
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus menjadi tuan di negerinya sendiri.
Oleh karena itu, rakyat sudah seharusnya mengetahui segala proses dalam
pengelolaan sumber daya alam. Maka, seluruh badan usaha yang mengelola
sumber daya alam harus memberikan laporan sederhana kepada publik agar
rakyat mengetahui bagaimana status (pendapatan, kerugian, dst.) pengelolaan
kekayaan miliknya. Laporan sederhana ini menjadi penting karena akan
memudahkan publik dalam membaca data yang tersaji.
6. Penyempurnaan regulasi terkait K3L
Regulasi yang terkait dengan K3L perlu disempurnakan agar lebih berkelanjutan
dan memiliki komitmen yang kuat dalam memelihara lingkungan.
Penyempurnaan regulasi ini menjadi penting karena ia akan menghasilkan
regulasi-regulasi yang dapat lebih tegas dalam mengatur pihak-pihak yang
berurusan dengan potensi kerusakan lingkungan.
7. Sistem informasi kondisi lingkungan yang terpadu dan andal
Sistem informasi kondisi lingkungan yang terpadu dan andal diperlukan sebagai
data terpadu dalam mengetahui status kerusakan lingkungan yang ada di
Indonesia. Sistem informasi ini juga dapat menjadi sistem peringatan dini untuk
upaya konservasi terhadap lingkungan.
8. Peningkatan peran masyarakat adat sekitar dalam setiap pengambilan
keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam
Pengelolaan sumber daya alam sering meghasilkan konflik dengan masyarakat
adat sekitar di berbagai tempat di Indonesia. Untuk mencegah ini, harus ada
pelibatan masyarakat adat sekitar dalam setiap pengambilan keputusan penting
41
dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan ini, keputusan-keputusan
strategis akan muncul sebagai kesepakatan yang harmonis bersama dengan
masyarakat adat.
9. Penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar aturan lingkungan
Setiap pelanggaran hukum terhadap aturan lingkungan harus ditindak secara
tegas tanpa pandang bulu sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Merosotnya wibawa hukum akan membawa bencana
lingkungan yang artinya mengancam kekayaan negara yang seharusnya dapat
dimanfaatkan dan dapat mengancam keselamatan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan.
10. Pengklasifikasian wilayah yang memiliki tingkat kerusakan lingkungan
menengah ke atas
Pengklasifikasian ini menjadi penting karena akan menentukan langkah apa
yang harus diambil dalam menangani kerusakan lingkungan. Klasifikasi ini juga
menjadi skala prioritas bagi negara untuk memetakan wilayah mana yang harus
menjadi perhatian utama. Status tingkat kerusakan menengah ke atas adalah
kerusakan yang harus segera mendapat perhatian yang besar dari negara.
4.5 Tujuan 5: Terpenuhinya Hak Setiap Warga Negara atas Pekerjaan
dan Penghidupan yang Layak Bagi Kemanusiaan
Tujuan ini selaras dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ayat tersebut memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan
pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Yang perlu
ditekankan dari ayat ini adalah pernyataan ‘layak bagi kemanusiaan’.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak penting untuk dijamin
pemenuhannya disebabkan setiap individu berhak untuk menjadi sejahtera. Dengan
mendapat suatu pekerjaan, maka setiap individu dapat memiliki sumber penghidupan
untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan terpenuhinya semua kebutuhan, baik
kebutuhan lahir maupun batin, maka kesejahteraan dapat tercapai. Oleh karena itu,
pemenuhan terkait hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak menjadi tujuan
strategis dari Sistem Ekonomi Pancasila sehingga tujuan untuk mewujudkan manusia
Indonesia yang mandiri dan berkeadilan sosial dapat diwujudkan demi kesejahteraan
bersama seluruh warga negara Indonesia.
42
4.5.1 Sasaran
Berkaitan dengan tujuan dimaksud, maka sasaran strategis yang harus dicapai, yaitu:
1. Peningkatan kesempatan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan
Kerja merupakan perwujudan diri manusia. Melalui kerja, manusia
merealisasikan dirinya sebagai manusia sekaligus membangun hidup dan
lingkungannya yang lebih manusiawi. Melalui bekerja manusia juga dapat
menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri. Oleh karena itu,
hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja
berkaitan dengan hak atas hidup yang layak.
Tidak berhenti sampai pada pemenuhan kesempatan bekerja, setiap pekerja juga
berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar. Tidak
hanya berhak memperoleh upah, setiap pekerja berhak memperoleh upah yang
adil, yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya;
dan upah yang layak, yaitu upah yang dapat mencukupi tidak hanya
kebutuhannya, tetapi juga menjamin kehidupannya bersama dengan keluarga,
sepadan dengan martabat manusia disertai dengan jaminan perlindungan sosial
lainnya. Namun demikian, jumlah upah demi penghidupan yang layak itu juga
harus memperhatikan dampak terhadap keberlangsungan pemberi kerja.
Pemerintah juga harus terus memantau standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
di dalam penentuan kebijakan upah minimum melalui mekanisme tripartit,
antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja.
2. Peningkatan jaminan sosial yang layak
Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan
dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan
yang diadakan oleh suatu perusahaan. Setiap pekerja berhak mengetahui
kemungkinan risiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya
dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut.
Manfaat jaminan kesejahteraan sosial yang ada saat ini dirasakan belum optimal
dalam menjamin kesejahteraan masyarakat, terutama dalam hal kualitas layanan.
Selain itu, jaminan kesejahteraan sosial juga belum dirasakan menyeluruh oleh
tenaga kerja Indonesia, terutama mereka yang bekerja di sektor informal.
3. Peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan
Tentunya, untuk dapat mencapai tujuan pemenuhan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, kebutuhan dasar atas pendidikan dan kesehatan harus
terlebih dahulu terpenuhi. Lemahnya kemampuan pekerja Indonesia dirasakan
43
sebagai kendala utama bagi pemberi kerja. Belum optimalnya penyerapan tenaga
kerja juga ditengarai disebabkan adanya ketidaksinkronan antara penawaran
tenaga kerja yang ada, terutama dari aspek pendidikan, dengan adopsi industri
yang tidak relevan.
Kualitas tenaga kerja Indonesia yang masih rendah ditambah dengan adopsi
industri yang terlalu cepat menyebabkan terjadinya mismatch antara kemampuan
tenaga kerja yang dibutuhkan dengan yang tersedia di pasar tenaga kerja.
Akibatnya, mereka tidak mampu terserap di sektor formal dan terkonsentrasi di
sektor informal. Oleh karena itu, kualitas tenaga kerja Indonesia perlu
ditingkatkan, baik melalui peningkatan aspek kesehatan maupun pendidikan.
4.5.2 Indikator
Indikator strategis berikut dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pencapaian
dari tujuan SEP dimaksud, antara lain yaitu:
1. Penyerapan jumlah angkatan kerja yang tersedia
Terpenuhinya hak setiap warga negara atas kesempatan lapangan kerja yang
layak dan berkelanjutan dapat diukur dengan melihat seberapa banyak angkatan
kerja yang terserap oleh lapangan pekerjaan yang tersedia, baik lapangan
pekerjaan baru maupun yang sudah tersedia sebelumnya.
2. Perbaikan tingkat upah yang selaras dengan pemenuhan kebutuhan hidup
yang layak (KHL)
Tingkat upah yang sudah selaras dengan hasil kesepakatan tripartit terkait
kebutuhan hidup yang layak dapat menjadi indikator untuk mengukur
pemenuhan hak setiap warga negara atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
3. Persentase jumlah pekerja yang tercakup dalam sistem jaminan sosial nasional
Banyaknya jumlah pekerja yang tercakup dalam sistem jaminan sosial nasional
dibandingkan dengan total jumlah pekerja yang ada dapat menjadi indikator
keberhasilan dari program jaminan sosial yang dilakukan.
4. Indeks kualitas jaminan sosial
Indeks kualitas jaminan sosial dapat digunakan untuk mengukur kualitas
program jaminan sosial yang dirasakan oleh masyarakat, salah satu indikatornya
dapat berupa tingkat kemudahan dan kepuasan masyarakat terhadap program
jaminan sosial yang tersedia.
44
5. Kuantitas dan kualitas diklat yang diikuti pekerja dan calon pekerja
Peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia juga dapat diukur dari seberapa
banyak pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diikuti, baik yang diadakan oleh
perusahaan tempatnya bekerja ataupun pihak lain. Selain itu, bisa juga diukur
melalui biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan atau pemberi kerja untuk
mengadakan diklat dan dari jumlah peserta magang di perusahaan dimaksud.
6. Indikator tingkat pendidikan dan kesehatan
Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dapat dilihat dari beberapa
indikator pendidikan, seperti (i) angka melek aksara dan melek huruf; (ii) angka
partisipasi sekolah, baik kasar maupun murni; (iii) angka rata-rata lama sekolah;
dan (iv) jumlah fasilitas pendidikan. Di era kemajuan teknologi, adopsi teknologi
juga dapat dilihat dari angka proporsi remaja dan dewasa usia 15-24 tahun
dengan keterampilan teknologi informasi dan komputer (TIK).
Sementara, indikator tingkat kesehatan dapat dilihat dari seberapa besar angka
harapan hidup masyarakat, angka kematian ibu dan anak, angka stunting pada
anak, angka kepemilikan atau partisipasi dalam asuransi kesehatan, banyaknya
rumah sakit atau fasilitas kesehatan di suatu wilayah, banyaknya tenaga
kesehatan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, dan lain
sebagainya.
4.5.3 Inisiatif Strategis
Adapun inisiatif strategis yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan Sistem
Ekonomi Pancasila yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap angkatan kerja
Indonesia yang tersedia
Target pencapaian pertumbuhan ekonomi di Indonesia harus difokuskan pada
sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak, yang pro terhadap
masyarakat miskin serta mampu membantu proses konvergensi ekonomi, baik
antarpenduduk maupun antarwilayah. Selain itu, peran UMKM juga sangat
penting dalam menyerap tenaga kerja informal yang tak tertampung di bursa
kerja formal, mengingat masih tingginya tenaga kerja Indonesia yang
berpendidikan rendah. Apalagi, sebagian besar angkatan kerja yang ada terserap
di sektor usaha kecil dan menengah. Menginstitusionalisasi sektor-sektor yang
informal tersebut sehingga menjadi lapangan pekerjaan formal perlu dilakukan
45
dengan harapan, kondisi tersebut mampu mendorong penyerapan tenaga kerja
dan perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
2. Reforma program jaminan kesejahteraan sosial
Reforma dalam program jaminan sosial perlu dilakukan untuk menjamin
kesejahteraan, tidak hanya bagi pekerja itu sendiri, tetapi juga keluarganya, dan
tentunya masyarakat secara umum. Perlu adanya penyusunan indeks jaminan
sosial sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan dari suatu program jaminan
sosial.
3. Review terkait peraturan ketenagakerjaan untuk mencari formulasi kebijakan
yang tepat dan berimbang yang dapat meningkatkan martabat tenaga kerja
Indonesia
Menyelesaikan pelaksanaan perundang-undangan tenaga kerja dan
berkonsentrasi pada dua isu utama yang mendapat perhatian para pemberi
kerja, yaitu: i) keleluasaan dalam mempekerjakan pekerja kontrak; dan ii)
keleluasaan dalam melakukan outsourcing, dengan menekankan para sub-
kontraktor atau penyedia jasa tenaga kerja untuk memenuhi hak-hak pekerja
mereka.
4. Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran
peraturan ketenagakerjaan
Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran peraturan
ketenagakerjaan perlu dilakukan, yaitu dengan penyediaan peradilan tenaga
kerja. Kualitas dan kuantitas petugas pengawas ketenagakerjaan juga perlu
ditingkatkan. Banyak kasus pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang sifatnya
normatif yang tidak dapat diselesaikan disebabkan petugas pengawas yang tidak
tegas dan adil.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan mutu dan pengawasan terhadap
tenaga kerja asing, terutama dalam hal perpanjangan izin, baik izin kerja
maupun tinggal, dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan-pekerjaan yang
dapat dijalankan oleh tenaga kerja asing dengan pembatasan-pembatasannya
juga penyediaan kesempatan kerja tersebut bagi warga negara Indonesia (WNI)
sendiri perlu diatur. Selain itu, pengaturan jabatan-jabatan tertentu yang dapat
dan yang dilarang diduduki oleh tenaga kerja asing juga perlu ditetapkan. Hal
tersebut ditujukan agar pasar tenaga kerja domestik tidak mengalami ancaman
dari serbuan tenaga kerja asing.
46
Kemudian, pengawasan terhadap PJTKI/PPTKIS juga harus dilakukan, termasuk
pengawasan terhadap buruh migran Indonesia, seperti rekrutmen, pelatihan,
dokumen, asuransi dan biaya untuk penempatan.
5. Peningkatan akses dan kualitas aspek kesehatan dan pendidikan
Peningkatan aspek kesehatan dapat dilakukan dengan penyediaan sistem
jaminan kesehatan yang murah dan menyeluruh bagi seluruh masyarakat.
Infrastruktur atau fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan juga perlu
ditingkatkan dan tersebar hingga ke pelosok terpencil sekalipun.
Pemerintah perlu mereformasi sistem pendidikan sehingga berorientasi pada
kesesuaian dengan permintaan industri, terutama pada era di mana kemajuan
teknologi merupakan suatu keniscayaan. Di sisi lain, pemerintah perlu
mewajibkan pengadaan diklat oleh pemberi kerja, tidak hanya bagi pekerjanya,
tetapi juga calon pekerja (magang) dalam rangka meningkatkan kualitas pekerja
tersebut.
Upaya peningkatan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan yang
juga harus dilaksanakan secara terencana dan terprogram dengan sistem yang
jelas dan disesuaikan dengan kebutuhan anak didik.
47
V. STRATEGI NASIONAL
Mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara membutuhkan strategi
yang komprehensif secara nasional dan terintegrasi. Ideologi Pancasila harus
menginternalisasi dalam setiap kehidupan bangsa, khususnya lingkungan pemerintah.
Dengan demikian, setiap kebijakan yang dilahirkan memiliki warna yang jelas, yaitu
semangat dari nilai-nilai Pancasila.
Karena itulah perlu dibangun strategi nasional yang terukur dan tidak hanya berdimensi
jangka pendek. Sebab pada prinsipnya, cita-cita yang terkandung dalam Pancasila yang
menjadi ideologi negara bersifat tak lekang oleh ruang dan waktu. Menciptakan
keadilan, kesejahteraan serta kebahagiaan harus menjadi cita-cita abadi.
Penyusunan strategi nasional ini bertujuan agar upaya mewujudkan cita-cita mulia
Pancasila berjalan secara berkesinambungan dan tepat sasaran. Untuk mewujudkan hal
itu, landasan yang digunakan dalam merealisasikan pelaksanaan Sistem Ekonomi
Pancasila adalah sebagai berikut:
5.1 Strategi Regulasi
Untuk menjadikan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai pedoman pemerintah dalam
mewujudkan ekonomi yang berkeadilan maka perlu dibentuk suatu aturan yang
mengikat. Aturan tersebut dapat berbentuk Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan
Presiden (Keppres), dan Instruksi Presiden (Inpres) atau bisa juga dalam bentuk undang-
undang serta aturan lainnya.
Mengingat urgensi penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, maka dibutuhkan peraturan
yang mengikat dan dapat segera diimplementasikan. Dari berbagai macam alternatif
bentuk peraturan, maka yang paling mungkin adalah Peraturan Presiden, Keputusan
Presiden, dan Instruksi Presiden.
Ketiga aturan tersebut dibedakan melalui pendefinisian norma hukum. Tap MPRS No.
XX Tahun 1966 menjelaskan bahwa ”Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat
khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang
bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah.”
Mengenai terminologi einmalig yang tercantum pada Tap MPRS No. XX Tahun 1966, sifat
dari Keputusan Presiden mempunyai arti khusus. Dari beberapa definisi hukum, einmalig
adalah tindakan yang dilakukan hanya sekali saja oleh pihak berwenang atau organ-
48
organ pusat berdasarkan konstitusi (pemerintah atau parlemen). Dalam konteks ini
adalah Presiden.
Oleh karena itu, Keputusan Presiden dapat dikatakan sebagai norma hukum yang
bersifat konkret, individual dan sekali selesai. Namun, ada pula Keputusan Presiden
yang bersifat umum dan masih berlaku hingga sekarang. Di sisi lain, Peraturan Presiden
bersifat umum, abstrak dan terus-menerus.
Sedangkan, Instruksi Presiden (Inpres) adalah perintah atasan kepada bawahan yang
bersifat individual, konkret dan sekali selesai. Inpres hanya dapat mengikat menteri,
pejabat-pejabat pemerintah yang berkedudukan di bawah Presiden yang berisi petunjuk
yang diberikan Presiden kepada bawahannya dengan memerintahkan sesuai tugas
pokok dan fungsi masing-masing.
Menimbang urgensi implementasi Sistem Ekonomi Pancasila, maka Peraturan Presiden
merupakan instrumen yang cocok untuk menginstitusionalisasi Sistem Ekonomi
Pancasila.
Matriks Perbedaan Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden
Keputusan Presiden Peraturan Presiden Instruksi Presiden
Sifat dan isi Konkret, individual
(beschikking), dan sekali
selesai (einmalig).
Namun, Keputusan
Presiden bisa bersifat
sebagai pengaturan
(regelling).
Pengaturan, umum,
dan abstrak (regelling).
Petunjuk yang
diberikan (Presiden)
kepada bawahannya.
Memerintahkan
sesuai tupoksi
masing-masing.
5.2 Strategi Pengawasan dan Evaluasi
Sebuah konsep kebijakan hanya dapat berjalan dengan baik apabila adanya mekanisme
yang terencana dan teratur. Mekanisme diperlukan dalam menciptakan sistem untuk
mengatur pelaksanaan dan tata kelola konsep kebijakan atau standar acuan yang selaras,
yang diarahkan untuk mewujudkan cita-cita yang termuat dalam nilai-nilai Pancasila.
Dua hal penting yang dibutuhkan dalam mekanisme kerja tersebut, yakni pengawasan
dan evaluasi terhadap implementasi Sistem Ekonomi Pancasila, karena bagaimana pun,
suatu sistem dapat dipastikan berjalan dengan baik apabila terdapat kontrol di
dalamnya. Oleh karena itu, dalam perjalanannya, Sistem Ekonomi Pancasila memerlukan
kedua fungsi tersebut. Terlebih, banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam
49
sistem tersebut. Selain itu, Sistem Ekonomi Pancasila juga diharapkan mampu menjadi
kesadaran bersama, di setiap elemen bangsa.
50
VI. ROADMAP SISTEM EKONOMI PANCASILA
Dalam menjalankan suatu sistem, diperlukan landasan acuan yang menjadi dasar dalam
menerapkan sistem tersebut. Landasan acuan yang menjadi strategi nasional dalam
implementasi Sistem Ekonomi Pancasila berupa “cetak biru” bermuatkan visi, misi,
tujuan, sasaran serta rencana kerja yang terpapar secara detail dan jelas. Rencana kerja
yang diterjemahkan dalam sebuah peta jalan (roadmap) akan dilaksanakan dalam
beberapa tahap, antara lain jangka pendek hingga tahun 2024, jangka menengah hingga
tahun 2045 dan jangka panjang hingga 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dalam peta jalan Sistem Ekonomi Pancasila tergambarkan empat dimensi strategi
nasional yang menjadi acuan. Yang pertama adalah strategi regulasi di mana
perwujudan awal dari Sistem Ekonomi Pancasila akan lahir dalam bentuk Peraturan
Presiden (Perpres). Yang kedua adalah strategi kelembagaan, dimana setelah
terumuskannya Peraturan Presiden, akan dibentuk kelembagaan yang bertanggung
jawab atas terlaksananya Sistem Ekonomi Pancasila dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Yang ketiga, strategi sistem dan tata kelola pelaksanaan yang merupakan kunci dan
landasan dalam implementasi Sistem Ekonomi Pancasila berupa “cetak biru”. Dalam
cetak biru akan terperinci secara detail terkait program dan rencana kerja Sistem
Ekonomi Pancasila. Sejalan dengan program dan rencana kerja tersebut, maka kemudian
sinkronisasi dan harmonisasi akan dilaksanakan dengan Kementerian/Lembaga terkait
kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada semangat dan nilai-nilai Pancasila.
Yang keempat, strategi internalisasi dengan tujuan menjadikan Sistem Ekonomi
Pancasila sebagai kesadaran dan tujuan utama bagi seluruh komponen bangsa, baik itu
para pemangku kepentingan maupun masyarakat luas demi tercapainya keadilan sosial
bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mampu memberikan pengaruh yang positif
terhadap kemakmuran bangsa.
Berbagai strategi yang tergambar dalam Peta Jalan Sistem Ekonomi Pancasila berikut
diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari Sistem Ekonomi Pancasila, yakni tercapainya
kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
51
52
LAMPIRAN
Kronologis Penyusunan Buku Putih
Penyusunan buku putih ini didahului oleh serangkaian proses panjang yang telah
melibatkan banyak pihak di luar Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). Berikut
ini adalah penjabaran rangkaian kegiatan yang telah dilalui.
Pertemuan awal (kick-off meeting)
Lokasi : Gedung Kemenko Perekonomian, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat
Waktu : 13 Februari 2018
Pertemuan awal yang menginisiasi penyusunan buku putih ini dilakukan di Jakarta,
pada 13 Februari 2018. Pihak-pihak yang hadir untuk menyampaikan pandangan terkait
ekonomi berbasis Pancasila adalah, sebagai berikut:
1. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila—BPIP (sebelumnya Unit Kerja Presiden
Pembinaan Ideologi Pancasila—UKP-PIP)
a. Anggota Dewan Pengarah (Ahmad Syafii Maarif)
b. Kepala UKP-PIP (Yudi Latif)
c. Deputi Pengendalian dan Evaluasi (Silverius Yoseph Soeharso)
d. Penasihat Khusus (Benny Susetyo)
2. Lembaga Ketahanan Nasional—Lemhanas
a. Tenaga Ahli Pengajar Bidang Ekonomi (Didin S. Damanhuri)
b. Tenaga Pengkaji Bidang Ekonomi (Miyasto)
3. Pembina Utama Muda Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia—LIPI (Latif Adam)
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha—KPPU
a. Ketua KPPU (Syarkawi Rauf)
b. Komisioner (Chandra Setiawan)
5. Akademisi (Revrisond Baswir)
6. Wartawan Senior Kompas (Andreas Maryoto).
Hasil dari kick-off meeting ini adalah sebuah rencana untuk menyusun buku putih yang
akan menjadi strategi nasional perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila di Indonesia.
53
Rangkaian Focus Group Discussions (FGD)
Bagi Indonesia, sistem ekonomi yang berbasis Pancasila masih merupakan sebuah
konsep yang lebih bersifat normatif. Terkadang, konsep dan praktik kebijakan ekonomi
yang diklaim berdasar Pancasila justru tidak sesuai dengan nilai normatif yang
dimaksud.
Atas dasar itu, serangkaian diskusi dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia dengan
tujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
di daerah, terutama masyarakat lapisan bawah. Dalam hal ini, berbagai isu dan
tantangan yang ditemui di tingkat masyarakat digali langsung dari berbagai jenis pelaku
ekonomi di dalamnya.
Pemilihan lokasi yang terdiri atas wilayah barat, tengah dan timur Indonesia diharapkan
dapat meningkatkan keterwakilan informasi-informasi krusial terkait kondisi masyarakat
Indonesia secara umum. Beberapa wilayah yang menjadi tempat pelaksanaan FGD
adalah sebagai berikut:
1. Padang, Sumatera Barat: 17 Mei 2018
2. Mataram, Nusa Tenggara Barat: 24 Mei 2018
3. Bandung, Jawa Barat: 31 Mei 2018
4. Semarang, Jawa Tengah: 12 Juli 2018
5. Surabaya, Jawa Timur: 19-21 Agustus 2018
Dalam setiap FGD tersebut, berbagai pemangku kepentingan yang dilibatkan terdiri atas:
1. Akademisi: bidang ekonomi, kebudayaan, sosiologi, dan antropologi
2. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas): Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,
Nahdlatul Wathan (NTB), Persatuan Islam (Jawa Barat)
3. Koperasi
4. Pedagang
5. Petani
6. Jurnalis
7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat (LP2M) Sumatera Barat, Transform Nusa Tenggara Barat,
The Local Enablers Jawa Barat, Yayasan Obor Tani Jawa Tengah
8. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
9. Bank Indonesia
10. Otoritas Jasa Keuangan
Hasil dari serangkaian kegiatan FGD tersebut telah mampu memberikan gambaran yang
baik mengenai kondisi perekonomian rakyat, khususnya terkait usaha rakyat (terutama
dalam bidang perdagangan dan pertanian) dan tantangan yang dihadapi untuk dapat
bertahan dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
54
Di samping itu, pandangan peserta diskusi mengenai implementasi nilai-nilai Pancasila
dalam berbagai kebijakan ekonomi turut diungkapkan dalam rangkaian FGD ini. Dalam
hal ini, sistem ekonomi yang berdasarkan pada Pancasila hendaknya mengedepankan
keadilan sosial sehingga dampak pembangunan dapat dirasakan secara adil oleh seluruh
lapisan masyarakat. Hasil diskusi menunjukkan bahwa kondisi perekonomian saat ini
belum sepenuhnya mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial
masyarakat sehingga dapat menjadi lebih kuat dan mandiri.
Ide-ide pengembangan masyarakat yang dirasa relevan dan sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila juga menjadi pembahasan dalam diskusi-diskusi tersebut. Tidak hanya
tantangan, berbagai potensi perbaikan dan pemberdayaan menjadi hal yang penting
untuk menguatkan posisi usaha rakyat dalam perekonomian nasional.
Penyusunan Buku Strategi Nasional Pelembagaan Ekonomi Pancasila
Lokasi : Ancol, Jakarta
Waktu : 18-21 Juli 2018
Menindaklanjuti pertemuan awal (kick-off) dan diskusi-diskusi yang telah dilakukan di
berbagai wilayah di Indonesia, kegiatan loka karya Penyusunan Buku Strategi Nasional
Pelembagaan Sistem Ekonomi Pancasila dilaksanakan pada pekan ketiga Juli 2018.
Kegiatan ini mengundang narasumber dan peserta, sebagai berikut:
1. Anggota Dewan Pengarah BPIP: Try Sutrisno
2. Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008: Jimly Asshiddiqie
3. Ketua PP Muhammadiyah: Muhammadiyah Haedar Nashir
4. Dosen Universitas Airlangga: Kasturi Sukiadi
5. Guru Besar FEB Universitas Brawijaya: Munawar
6. Guru Besar FE Universitas Andalas: Syafruddin Karimi
7. Guru Besar Institut Pertanian Bogor: Didin S. Damanhuri
8. Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM: Revrisond Baswir
9. Staf Khusus Menko Bidang PMK: Prasetijono Widjojo Malang Joedo
10. Direktur Center for Industry, SME and Business Competition Studies Universitas
Trisakti: Tulus H. Tambunan
11. Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta: Mukhaer Pakkana
12. Lektor Kepala Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB: Bambang Rudito
13. Deputi Direktur Akademisi Leadership dan General Management Bank Indonesia
Institute: Fretdy Purba
14. Anggota Dewan Badan Sertifikasi Manajemen Risiko & Chief Researcher Strategic
Development Group: Jerry Marmen
55
Beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam loka karya ini, di antaranya adalah
nilai-nilai Pancasila yang harus diterapkan dalam sistem ekonomi di Indonesia,
perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila dalam contoh kebijakan-kebijakan ekonomi,
permasalahan yang ditemui dalam sistem ekonomi saat ini (kesesuaian kebijakan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar), upaya-upaya penguatan usaha rakyat yang
mengedepankan nilai gotong royong dan kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Loka karya ini menghasilkan sebuah keputusan untuk menyusun buku putih yang harus
dilembagakan agar memiliki kekuatan hukum. Tujuannya adalah agar buku putih
tersebut dapat berperan sebagai pemandu yang berkekuatan hukum atas berbagai
kebijakan ekonomi yang akan dibuat.
Penyusunan Buku Putih Sistem Ekonomi Pancasila oleh KEIN
Lokasi : Bogor, Jawa Barat
Waktu : 24-27 Juli 2018
Sebagai tindak lanjut dari rangkaian kegiatan yang telah dilalui, penyusunan buku putih
yang bersifat intensif dilaksanakan selama empat hari. Buku putih ini disusun
berdasarkan kerangka awal yang didiskusikan pada kegiatan loka karya sebelumnya (18-
21 Juli 2018). Penyusunan buku putih dikawal oleh Senior Researcher & Consultant pada
Strategic Development Group, Jerry Marmen. Hasil dari kegiatan ini adalah draf awal
buku putih Sistem Ekonomi Pancasila yang kemudian disampaikan kepada beberapa
pihak terkait guna memperoleh masukan terhadap konten buku putih tersebut.
Review dan Evaluasi Hasil Penyusunan Buku Putih oleh KEIN
Lokasi : Surabaya, Jawa Timur
Waktu : 19-21 Agustus 2018
Pada kegiatan ini, dilakukan reviu dan evaluasi buku putih Sistem Ekonomi Pancasila
yang telah disusun oleh KEIN dengan mengundang kembali narasumber yang pernah
hadir pada FGD sebelumnya, yaitu Dr. Kasturi Sukiadi, dosen Universitas Airlangga;
Prof. Munawar, dosen Universitas Brawijaya; dan Sulistijanto Soejoso dari Dewan
Pendidikan Jawa Timur. Harapannya, buku putih yang telah disusun sudah sesuai
dengan apa yang telah didiskusikan pada rangkaian acara sebelumnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
56
Rangkuman Sasaran, Indikator, dan Inisiatif Strategis
TUJUAN SASARAN INDIKATOR INISIATIF STRATEGIS
Tujuan 1:
Terciptanya
kehidupan
perekonomian yang
berasaskan
kekeluargaan dan
gotong royong
1. Asas kekeluargaan dan
gotong royong diterapkan
oleh setiap bentuk badan
usaha
2. Tersedianya regulasi yang
mendorong penerapan asas
kekeluargaan dan gotong
royong
3. Terciptanya pemahaman
dan kesadaran bersama akan
pentingnya penerapan
Sistem Ekonomi Pancasila
yang berasaskan
kekeluargaan dan gotong
royong
1. Tingkat kepemilikan pekerja
dalam badan usaha
2. Pembagian hasil yang adil
terhadap seluruh pihak yang
terlibat dalam suatu badan
usaha
3. Setiap regulasi harus
mencerminkan dan sesuai
dengan asas kekeluargaan dan
gotong royong
4. Seluruh lapisan masyarakat
Indonesia paham dan sadar
akan pentingnya pelaksanaan
Sistem Ekonomi Pancasila
1. Melakukan inisiasi redistribusi kepemilikan
perusahaan kepada karyawan oleh
perusahaan-perusahaan BUMN/BUMD yang
tidak menyangkut hajat hidup rakyat banyak
2. Menumbuhkembangkan berbagai badan usaha
yang mencerminkan asas kekeluargaan dan
gotong royong
3. Mewajibkan setiap badan usaha untuk
melepaskan sebagian hak kepemilikan badan
usahanya kepada karyawan
4. Melakukan evaluasi secara komprehensif
terhadap seluruh peraturan yang ada terkait
kesesuaiannya dengan asas kekeluargaan dan
gotong royong
5. Memasukkan unsur kekeluargaan dan gotong
royong kedalam setiap peraturan yang akan
disusun oleh pemerintah/badan usaha.
6. Mengembangkan indeks kekeluargaan dan
gotong royong sebagai suatu alat monitoring
dan evaluasi terhadap pelaksanaannya
7. Strategi komunikasi untuk membudayakan
Sistem Ekonomi Pancasila
8. Memasukkan konsep Sistem Ekonomi
Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan
Indonesia mulai dari tingkat pendidikan dasar
57
sampai pendidikan tinggi.
Tujuan 2:
Semakin menguatnya
posisi usaha rakyat
dalam kehidupan
perekonomian
1. Peningkatan akses usaha
rakyat terhadap sumber
daya ekonomi
2. Peningkatan daya saing
usaha rakyat yang
berkelanjutan
3. Peningkatan akses pasar
usaha rakyat
1. Indeks aksesibilitas sumber
daya ekonomi
2. Indeks daya saing usaha
rakyat
3. Indeks akses pasar
1. Redistribusi aset produktif
2. Pengadaan akses finansial yang mudah dan
terjangkau
3. Pendampingan pengembangan usaha
4. Insentif pajak yang rendah
5. Adopsi teknologi untuk menciptakan efisiensi
6. Pengupayaan penyediaan pasar bagi usaha
rakyat
Tujuan 3:
Terciptanya
ekosistem usaha yang
adil
1. Terciptanya iklim usaha
yang memberdayakan
kemandirian ekonomi
rakyat sehingga ikut
berperan dalam
pembangunan nasional
2. Terciptanya iklim usaha
yang mengutamakan
potensi lokal
3. Terciptanya iklim usaha
yang terhindar dari
pemusatan sumber daya
oleh perseorangan/
kelompok
1. Indeks kemandirian usaha
rakyat
2. Tingkat inklusi usaha lokal
3. Rasio konsentrasi pasar
1. Pemberian bantuan/insentif ekspansi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) –
UMKM naik kelas
2. Pendampingan dan pengembangan Local
Champion
3. Kemitraan UMKM lokal dengan usaha besar
dan pengaturan penyerapan konten lokal
4. Pengawasan terhadap penguasaan pasar
58
Tujuan 4:
Pemanfaatan sumber
daya alam sebagai
pokok-pokok
kemakmuran rakyat
1. Penguasaan sumber daya
alam oleh negara dan tidak
boleh dialihkan
2. Peningkatan akses rakyat
dalam pemanfaatan sumber
daya alam
3. Pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan
dan berwawasan
lingkungan
1. Tingkat kepemilikan negara
atas usaha yang menyangkut
hajat hidup orang banyak
sebesar 100 persen
2. Tingkat penerimaan negara
dari sektor sumber daya alam
dan terdapat kepemilikan
rakyat dalam usaha yang
mengelola sumber daya alam
3. Tingkat kerusakan lingkungan
1. Lobi politik, kajian dan naskah akademik
untuk menyusun UU BUMN dan UU
Kekayaan Negara
2. Menyusun daftar badan usaha yang harus
dikuasai oleh negara
3. Menyiapkan tim negosiasi yang fokus
menangani hukum arbitrase
4. Membentuk koperasi yang anggotanya berasal
dari masyarakat sekitar dan koperasi tersebut
memiliki porsi kepemilikan
5. Menyebarluaskan laporan terbuka yang
sederhana mengenai pengelolaan sumber daya
alam kepada publik
6. Penyempurnaan regulasi terkait K3L
7. Sistem informasi kondisi lingkungan yang
terpadu dan andal
8. Peningkatan peran masyarakat adat sekitar
dalam setiap pengambilan keputusan terkait
pengelolaan sumber daya alam
9. Penegakkan hukum secara tegas terhadap
pelanggar aturan lingkungan
10. Pengklasifikasian wilayah yang memiliki
tingkat kerusakan lingkungan menengah ke
atas
59
Tujuan 5:
Terpenuhinya hak
setiap warga negara
atas pekerjaan dan
penghidupan yang
layak bagi
kemanusiaan
1. Peningkatan kesempatan
lapangan kerja yang layak
dan berkelanjutan
2. Peningkatan jaminan sosial
yang layak
3. Peningkatan tingkat
pendidikan dan kesehatan
1. Penyerapan jumlah angkatan
kerja yang tersedia
2. Perbaikan tingkat upah yang
selaras dengan pemenuhan
kebutuhan hidup yang layak
(KHL)
3. Persentase jumlah pekerja
yang tercakup dalam sistem
jaminan sosial nasional
4. Indeks kualitas jaminan sosial
5. Kuantitas dan kualitas diklat
yang diikuti pekerja dan calon
pekerja
6. Indikator tingkat pendidikan
dan kesehatan
1. Penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat
menyerap angkatan kerja Indonesia yang
tersedia
2. Reforma program jaminan kesejahteraan sosial
3. Review terkait peraturan ketenagakerjaan untuk
mencari formulasi kebijakan yang tepat dan
berimbang yang dapat meningkatkan martabat
tenaga kerja Indonesia
4. Pengawasan dan penegakan hukum yang tegas
terhadap pelanggaran peraturan
ketenagakerjaan
5. Peningkatan akses dan kualitas aspek
kesehatan dan pendidikan
60
DRAFT