PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK MANDIRI PETANI SEBAGAI
SALAH SATU USAHA PETANI BERKELANJUTAN
Maria Immaculata Afra Lamatokan
Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma
Keterbatasan sumber daya manusia khususnya sumber daya petani di
Indonesia, dicirikan oleh ketergantungannya pada perusahaan-perusahaan
produsen pupuk baik pupuk organik dan pupuk buatan. Ketergantungan yang
dijumpai berbanding terbalik dengan hasil yang dikelola. Tingginya harga pupuk
tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Keprihatinan ini tidak cukup
membangkitkan pola pikir petani untuk lepas dari resiko resisten ketergantungan
terhadap produsen pupuk. Tidak hanya terbatas pada ketergantungan yang
berdampak buruk pada ekonomi petani, tetapi juga berakibat buruk pada sasaran
kerja (tanah) dan komponennya (air dan udara) yang saling terikat satu sama lain.
Untuk mengurangi permasalahan ekonomi di atas, pemerintah Indonesia
sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk
sektor pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat), dengan tujuan untuk
membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang
lebih murah, dengan harapan produktivitas petani dan pendapatan petani
meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida,2004). Kebijakan tersebut masih
berjalan dan kinerjanya akan terus dievaluasi sebagai pertimbangan pada
penerapan di tahun selanjutnya. Tapi ternyata upaya pemerintah selama ini untuk
melindungi petani melalui kebijakan subsidi pupuk tampakya tidak efektif,
terbukti masih adanya lonjakan harga dan langka pasok di tingkat petani. Artinya,
hak subsidi yang dirancang untuk petani lebih banyak dinikmati oleh pabrikan
pupuk dan pelakunya.
Petani pra sejarah mungkin telah memupuk ladangnya setelah memperhatikan
bahwa rumput tumbuh lebih cepat dan lebih hijau di tempat di mana hewan
membuang kotorannya. Orang Romawi menggunakan kotoran hewan untuk
memupuk tanamannya, dan penduduk asli Amerika mengubur ikan bersama-sama
dengan benih ketika mereka menanam jagung. Masyarakat petani di beberapa
daerah di Indonesia, juga mengkondisikan lahan pertanian mereka dengan
kompos. Misalnya di daerah pantai selatan Kecamatan sanden, banyak petani
yang membiarkan kototoran sapi dan kambing membusuk dan nantinya dijadikan
pupuk. Di negara-negara yang sudah berkembang saat ini, sebagian besar petani
memakai pupuk yang diproduksi secara komersial yang mengandung mineral
tambang atau yang disiapkan oleh proses industri. Pupuk ini umumnya diperkaya
dengan nitrogen, fosfor, dan kalium. Ketiga unsur mineral yang paling umum ini
kurang ketersediaannya pada tanah ladang dan kebun. Pupuk komersil seperti
pupuk yang dapat anda beli di toko, biasanya dilabel dengan tiga angka yang
menandakan kandungan mineralnya. Pupuk yang ditandai dengan 10-12-8,
misalnya adalah 10% nitrogen (dalam bentuk amonium atau nitrat), 12% fosfor
(dalam bentuk asam fosfat), dan 8% kalium (dalam bentuk mineral kalium).
tabel 1. Perbandingan standar kebutuhan dan Kandungan unsur pupuk
Data empiris menyajikan perbedaan besar pada penggunaan pupuk anorganik
sebelum dan sesudah adanya pemakaian pupuk organik pada usaha petani padi.
Sebelum adanya pemakaian pupuk organik, total pemakaian pupuk anorganik
(KCL, urea, TSP) di tingkat petani berkisar 1,8- 5,6 kwintal per ha. Khusus untuk
pupuk urea harga tiap kilogramnya adalah Rp 1.600 (harga tetap tahun 2011
menurut okezone.com). Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan
petani untuk menjalankan proses produksi karena masih membutuhkan pupuk lain
yang harganya jauh lebih mahal, belum lagi pengadaan bibit unggul, sarana
produksi, dan insektisida. Ini tidak sebanding dengan pendapatan petani yang
minimum. Penggunaan pupuk tertinggi ditemukan pada petani contoh di
Kabupaten Wonogiri-Jateng dan terendah pada petani contoh di Kabupaten
Bangli-Bali. Sedangkan sesudah adanya pemakaian pupuk organik, jumlah
pemakaian pupuk tersebut hanya tinggal 1,0- 3,4 kwintal per ha. Dengan
demikian pemakaian pupuk organik telah mampu menghemat penggunaan pupuk
anorganik sebesar 21-63%. Jika dirinci menurut jenisnya, tampak bahwa secara
umum pengurangan penggunaan pupuk TSP dan KCL relatif lebih besar
dibanding pupuk jenis urea. Hal ini terjadi karena harga pupuk KCL dan TSL
lebih mahal dibanding urea. Selain itu adanya anggapan bahwa kedua jenis pupuk
di atas hanya sebagai pelengkap sementara urea adalah pupuk pokok dalam usaha
tani.
Dari aspek permintaan pasar, ada kecenderungan konsumen lebih memilih
produk-produk pertanian organik yaitu yang menggunakan pupuk organik dan
bebas pestisida sekalipun dengan harga yang jauh lebih tinggi. Sebagai contoh
sekarang telah dipasarkan beras organik dengan harga yang cukup tinggi (Rp
18.000 – Rp 20.000/kg), sementara beras rojolele dan pandan wangi yang
diproduksi secara anorganik baru dihargai sekitar Rp 5.000/kg. Maka pendapatan
petani bisa meningkat 2-3 kali lipat sesuai asumsi produktivitas dan biaya
produksi relatif (sistem integrasi tanaman ternak dan perspektif reorientasi
kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan pendapatan petani, Ketut
Kariyasa. 2005)
grafik 1. Perbandingan Produktivitas dan Konsumsi pupuk
Kotoran hewan, tepung ikan, dan kompos merupakan pupuk organik karena
mereka berasal dari bahan biologis yang mengandung bahan organik dalam proses
pembusukan. Namun demikian, sebelum unsur dalam kompos itu dapat digunakan
oleh tumbuhan, bahan organik tersebut harus terurai menjadi nutrien anorganik
yang dapat diserap oleh akar. Pada akhirnya, mineral yang diekstraksi oleh
tumbuhan dari tanah adalah dalam bentuk yang sama, terlepas dari apakah itu
pupuk organik atau dari pabrik kimia. Namun demikian, karena pembebasan
mineral oleh kompos terjadi secara perlahan-lahan sementara tanah tidak dapat
mempertahankan keberadaan kompos dalam jangka waktu yang cukup lama,
maka akan terjadi penumpukan mineral di tanah. Kelebihan mineral yang tidak
diambil oleh tumbuhan adalah suatu pemborosan karena kemungkinan akan
terkikis oleh air hujan atau irigasi. Aliran mineral ini bisa memasuki air tanah dan
akhirnya mencemari sungai dan danau (eutrofikasi). Hal itu membuat masalah
menjadi lebih buruk.
Selain itu, untuk memupuk secara cermat dan bijaksana, seorang petani harus
memberikan perhatian yang lebih mengenai pH tanah. pH tanah tidak hanya
mempengaruhi pertukaran ion-ion, tetapi juga mempengaruhi bentuk kimia semua
mineral. Meskipun suatu unsur esensial melimpah di tanah, tumbuhan bisa
mengalami kekurangan unsur karena unsur tersebut terikat terlalu kuat dengan
tanah atau berada dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tumbuhan. Menata
pH tanah adalah pekerjaan serius karena suatu perubahan dalam konsentrasi ion
hidrogen, bisa membuat satu mineral menjadi lebih mudah tersedia bagi
tumbuhan sementara itu membuat mineral lain kurang tersedia. Pada pH 8,
misalnya, tumbuhan dapat menyerap kalsium akan tetapi besi hampir tidak
tersedia sama sekali. Maka dari itu pH tanah harus disesuaikan dengan kebutuhan
mineral spesifik tanaman. Jika tanah terlalu basa, petani bisa menambahkan sulfat
untuk menurunkan pH. Jika tanah terlalu asam, petani bisa menambahkan kapur
(kalsium karbonat atau kalsium hidroksida) untuk menaikan pH tanah. pH tanah
adalah salah satu indikator efektivitas pemupukan.
(a) (b)
gambar 1. a. Kerusakan lahan akibat penggunaan bahan kimia,
b. kekeringan lahan di darah Garut, Jawa Barat
Pada kasus kedua yaitu petani secara tidak langsung merusak tanah yang menjadi
sasaran kerjanya, juga komponen terkait seperti air dan udara. Kandungan bahan
kimia yang terdapat di dalam pupuk buatan bisa menyebakan pencemaran tanah
dan air di bawahnya. Misalnya petani yang menggunakan pupuk nitrogen kimiawi
telah menyumbang sejumlah nitorgen di luar jalur biogeokimia. Artinya nitrogen
yang ada di dalam pupuk kimiawi tersebut adalah bukan hasil siklus biogeokimia.
Bahwa sintesis nitrogen tidak membutuhkan faktor alam (geological proscess).
Kelimpahan nitrogen di alam ini (eutrofikasi) akan mengganggu kesetimbangan
setiap komponen ekosistem baik organisme, komponen biotik seperti tanah, air,
udara dan unsur-unsurnya. Di teluk meksiko dan daerah perairan sekitarnya
(Sabina L., L. Calcasieu, Atchafalaya R., Terrebone Bay, Mississipi R.) pada
rentang tahun 1985-1999 tingkat kematian kematian sistem telah mencapai >
75%. Berawal dari dua masalah umum di atas, sudah seharusnya para petani
diperkenalkan dengan suatu konsep keberlanjutan yaitu sustainable agriculture.
PERTANIAN BERKELANJUTAN
Jika melihat kondisi petani di Indonesia saat ini, petani harus lebih cermat untuk
mengusahakan usahanya agar tetap bertahan dan tidak berhenti di tangan mereka.
Salah satu solusinya adalah menerapkan konsep pertanian berkelanjutan. Defenisi
komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen fisik, biologi, dan
sosioekonomi. Faktor-faktor di atas saling berhubungan satu sama lain. Untuk itu
dalam membangun paradigma yang mengangkat masyarakat petani dari kondisi
yang mengharuskan produktivitas tinggi menuju pada kondisi masyarakat yang
peduli pada berkelanjutan adalah wajib memperhatikan ketiga komponen tersebut.
Untuk pengertian sederhana, pertanian berkelanjutan adalah sebuah upaya
regenerasi dalam menggunakan sumber daya internal. Konsep ini dikemukakan
oleh Franklin H. King dalam bukunya yang berjudul Farmers of Forty Centuries
yang berisi tentang input minimal (low input) yang merupakan salah satu
pendekatan pertanian berkelanjutan. Pada tahun 2009, UU Produktivitas Amerika
yang merupakan bagian dari UU Keamanan Pangan 1985 meyediakan
kewenangan untuk melakukan program riset dan pendidikan pada sistem
pertanian alternatif yang kemudian dikenal dengan pertanian berkelanjutan
dengan input minimal (Low Input Sustainable Agriculture). Undang-undang
tersebut memberikan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah pada:
1. Peningkatan produktivitas pertanian
2. Produktivitas lahan sentra produksi
3. Mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi
4. Melakukan konvervasi sumber daya natural dan energi
Sebagai contoh bentuk usaha berkelanjutan itu adalah dengan memakai pupuk
alternatif yang ramah lingkungan misalnya pupuk organik (kompos, pupuk hijau,
kotoran hewan), insektisida alternatif misalnya dengan penggunaan serangga
pemangsa hama tanaman, kemudian pemilihan tanaman yang cocok dengan jenis
tanah, curah hujan dan kondisi iklim lokal. Ini bertujuan untuk memperbaiki
struktur fisik dan kandungan mineral tanah agar nantinya tetap bisa dijadikan
lahan pertanian yang baik untuk waktu yang akan datang. Bentuk usaha seperti
yang dijelaskan di atas telah dilakukan oleh segelintir orang yang tergabung
dalam APPKMI (Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia) yang
berpusat di Bandung.
gambar 2. Daerah-daerah yang mengusung pertanian berkelanjutan (Jawa Tengah)
Sayangnya di Indonesia sendiri yang merupakan negara agraris, pihak pemerintah
tidak mempunyai perhatian khusus untuk sektor pertanian. Upaya berkelanjutan
ini dilakukan petani tanpa campur tangan pihak pemerintah. Untuk mengusahakan
upaya yang berkelanjutan petani harus memenuhi tiga syarat, yaitu yang pertama
adalah modal. Modal petani secara individu adalah minimum, untuk itu petani
harus saling bekerja sama dengan petani lain, untuk mengadakan bahan baku
pembuatan pupuk organik, di tingkatan ini fungsi koordinasi harus dijalankan
petani. Fungsi koordinasi ini juga tidak bisa terlepas dari dua aspek berikutnya
yakni pengetahuan/wawasan, keterampilan, seperti yang dilakukan di oleh SPI
(Serikat Petani Indonesia).
Dengan kata lain, koordinasi adalah media untuk konsolidasi modal, pengetahuan,
dan keterampilan. Dan yang lebih penting adalah orientasi petani itu sendiri.
Orientasi konsep pertanian berkelanjutan adalah untuk tujuan konservasi,
pelestarian lingkungan, dan tentu saja menguntungkan secara ekonomi.
Pengadaan pupuk dan saprodi alternatif yang ramah lingkungan bisa dilakukan
jika petani saling bekerja sama dengan dihimpun oleh wadah yang bertanggung
jawab khusus misalnya koperasi khusus petani. Beberapa hal yang perlu
dijalankan dalam fungsi koordinasi adalah sebagai berikut :
a. Modal
Misalnya untuk mendatangkan sekian banyak bahan baku pupuk,
petani-petani bisa menginvestasikan sejumlah modal sesuai
kesepakatan dengan petani lain. Jika pengadaannya dilakukan per
individu, kemungkinan akan terjadi kesulitan dan tidak maksimal
dalam pembelian bahan baku pupuk.
b. Pengetahuan/wawasan
Jika pengadaan sudah terlaksana, petani setidaknya memerlukan
tambahan wawasan baik dari ekonomi, tumbuhan, pupuk dan saprodi
itu sendiri misalnya mengenai cara pengolahan baku secara tepat,
penggunaanya, kebutuhan nutrisi tanaman, ketahanan tanaman
terhadap ancaman lingkungan dan penyakit dan langkah antisipasinya,
capital management (manajemen modal), pangsa pasar, dan lain-lain.
Petani diharapkan antisipatoris (antisipatif preparatoris).
Gambar 3. Rapat dan diskusi sesama petani
c. Keterampilan
Petani tidak akan cukup terampil dalam bertani, tetapi petani harus
terampil dalam mengolah semua wawasan yang ada untuk aplikasinya.
Melalui koordinasi di dalam koperasi petani saling bekerja sama,
membagi informasi dan melakukan eksperimen bersama sesuai jatah
adalah langkah yang tepat sekaligus meringankan beban petani.
Misalnya petani A menguji teknik A, petani B menguji teknik B,
petani C menguji teknik C, hasilnya bisa dilaporkan dan diamati oleh
sesama petani. Pengujian teknik ini dilakukan agar petani bisa
membandingkan teknik mana yang paling efektif dan efisien. Hasilnya
bisa diterapkan bersama.
Gambar 4. Latihan pembuatan kompos
Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, penggunaan pupuk
anorganik secara terus menerus dan berlebih menyebabkan banyak lahan
pertanian Indonesia berada dalam kondisi sakit. Di sisi lain kebijakan subsidi
pupuk yang kembali diberlakukan sejak tahun 2003 tampaknya kurang efektif di
tingkat petani. Fenomena ini ditunjukan dengan masih adanya lonjakan harga
pupuk dan kelangkaan pupuk secara berkala pada saat musim tanam.
Penggunaan pupuk organik telah mampu meningkatkan produktivitas dan
pendapatan petani serta mengurangi biaya produksi. Di samping itu, produk
pertanian organik memiliki prospek pasar yang lebih cerah dibanding produk
pertanian yang sarat dengan bahan anorganik.
Dampak yang ditimbulkan sudah jelas, bahwa secara sosial, paradigma yang
dibangun masyarakat akan semakin positif dengan kerja petani bahwa petani tidak
lagi menyumbang kerusakan tanah tetapi juga ikut melestarikan sasaran kerja
tersebut. Dalam hal ekonomi kesejahteraan petani menjadi diangkat karena dalam
melakukan proses produksi, petani hanya sedikit mengeluarkan biaya produksi
untuk mencapai produktivitas tinggi. Secara tidak langsung dengan produktivitas
tinggi petani bisa mendapatkan sejumlah keuntungan yang lebih dari sebelumnya.
Ini tidak terlepas dari permintaan pasar terhadap produk-produk organik
pertanian. Belajar pada kondisi di atas, petani sudah seharusnya mengubah sistem
pertanian konvensional yang telah lama mereka jalani dengan sistem pertanian
berkelanjutan. Bahwa selain mengusahakan peningkatan produktivitas,
mengurangi biaya produksi, petani juga melakukan konservasi terhadap lahan
pertanian.
Sumber :
University of Wyoming, Agroecology 1000, T.J. Drommond, Stacy Dysart, Andy
Olson
Sistem Integrasi Tanaman Ternak dan Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi
Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Pendapatan Petani, Ketut Kariyasa. 2005
Analisa Kebijakan Pupuk. Direktorat Pupuk dan Pestisida,2004