SKRIPSI
PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN
TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI
(ANALISIS WACANA)
Disusun oleh:
IBNUAFAN108024000008
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014M/1435H
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli sayaatau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 September 2014
Ibnu Afan
PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN
TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI (ANALISIS WACANA)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
IbnuafanNIM: 108024000008
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. DR. Sukron Kamil M.A Drs. Ikhwan Azizi, M.AgNIP: 19690415199701004 NIP: 1957081 1994031001
Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI
No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
tertanggal 22 Januari 1988
a. Konsonan Tunggal
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf, dalam pedoman ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan
sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan
huruf dan tanda sekaligus.
HurufArab
Nama Huruf Latin Keterangan
ا alif - tidak dilambangkan
ب bā’ b -
ت tā’ t -
ث ṡā’ ṡ s dengan satu titik di atas
ج jīm j -
ح ḥā’ ḥ h dengan satu titik di bawah
خ khā’ kh -
د dāl d -
ذ żāl ż z dengan satu titik di atas
ر rā’ r -
ز zāi z -
س sīn s -
ش syīn sy -
ص ṣād ṣ s dengan satu titik di bawah
ض ḍād ḍ d dengan satu titik di bawah
ط ṭā’ ṭ t dengan satu titik di bawah
ظ ẓā’ ẓ z dengan satu titik di bawah
ع ʿain ʿ koma terbalik
غ gain g -
ف fā’ f -
ق qāf q -
ك kāf k -
ل lām l -
م mīm m -
ن nūn n -
ه hā’ h -
و wāwu w -
ء hamzahtidak dilambangkan
atau ’
apostrof, tetapi lambang initidak dipergunakan untuk
hamzah di awal kata
ي yā’ y -
b. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap.
Contoh : ربـنا ditulis rabbanâ
قـرب ditulis qarraba
احلد ditulis al-ḥaddu
c. Tā’ marbūṭah di akhir kata
Transliterasinya menggunakan :
a. Tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa
Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.
Contoh : طلحة ditulis ṭalhah
وبةالت ditulis al-taubah
فاطمة ditulis Fātimah
b. Pada kata yang terakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka
tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh : روضة االطفال ditulis rauḍah al-aṭfāl
c. Bila dihidupkan ditulis t.
Contoh : روضة االطفال ditulis rauḍatul aṭfāl
Huruf ta marbuthah di akhir kata dapat dialihaksarakan sebagai t atau
dialihbunyikan sebagai h (pada pembacaan waqaf/berhenti). Bahasa
Indonesia dapat menyerap salah satu atau kedua kata tersebut.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli sayaatau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersediamenerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 September 2014
Ibnu Afan
ABSTRAK
Judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURANTERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA (ANALISIS WACANA)
Terorisme saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang menarik di duniainternasional maupun di Indonesia. Teror dan kekerasan yang ditampilkannyaacap kali membuat kengerian di di dalamnya.
Terorisme sendiri seringkali dikaitkan dengan Islam. Seperti halnya padakasus Osama Bin Laden atau di Indonesia lebih terkenal dengan Bom Bali yangdilakukan oleh kelompok Imam Samudra dan kawan-kawannya. KepolisianRepublik Indonesia mengungkap bahwa para pengebom yang masih hidup kali itumengakui kalau aksi yang mereka lakukan itu sebagai bentuk jihad menghadapiAmerika dan sekutu-sekutunya. Polisi pun membongkar jaringan teror yangumumnya mereka adalah kelompok Islam garis keras. Lantas apa yangmemberikan keberanian begitu dahsyat dalam melakukan setiap aksinya?
Dalam hal ini persoalan ideologis mejadi jawabannya. Keyakinanideologis dengan balutan spiritual menjadikan keberanian mereka tidak terhingga.Karena menurut mereka aksi yang dilakukannya itu untuk membela kehormatanIslam. Seperti halnya dalam terjemahan surat al-Baqarah: 191 “Dan bunuhlahmereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat merekatelah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika merekamemerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasanbagi orang-orang kafir.
Atas dasar ayat ini timbul wacana bahwa ada terjemahan Alquran yangmengajak orang untuk berbuat radikal bahkan terorisme. Kasus terorisme yang takkunjung usai seringkali memunculkan term jihad. Jihad semakin populer dalamkaitannya dengan terorisme. Alquran menjadi sarana dalam mendoktrinasi paracalon teroris.
Majelis Mujahidin Indonesia menuding, terdapat banyak kesalahanterjemahan Alquran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Dan dari sekianbanyak kesalahan diduga memicu orang untuk bertindak radikal. Kemenag punmembantah tudingan miring tersebut. Ini membuktikan terjemahan Kemenagmengundang perdebatan dan menjadikan diskursus menarik dalam mengungkapwacana terjemahan yang berkaitan dengan isu-isu terorisme.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah penulis ucapkan, hanya kepada-Nya ucapan itu
pantas disematkan. Maha Segala yang telah memberikan kemampuan cipta, rasa,
dan karsa kepada makhluknya. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi
Besar Muhammad SAW. Pembawa risalah dan rahmat bagi alam semesta.
Ada hal yang patut penulis jelaskan di sini. Seandainya penulis mampu
menggunakan daya upaya yang dimiliki dengan maksimal untuk menyelesaikan
skripsi, mungkin tidak akan ada kata pengantar yang selesai. Namun itu tidak
akan mungkin. Penulis megetahui bahwa kemapuan diri ini terbatas tanpa adanya
bantuan dari orang lain.
Oleh karena itu, meskipun telah banyak hal yang diupayakan, tentunya
terlalu sombong kiranya untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada mereka
yang telah memberi banyak bantuan, inspirasi, edukasi dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini. Dengan senang hati tentunya nama mereka saya abadikan
di kertas ini:
Bapak Dr. Saehudin M.Ag, Kajur Tarjamah atas dedikasinya kepada
mahasiswanya dalam memberikan motivasinya, Bapak Dr. Moch Syarif
Hidayatullah M.Hum Sekjur Tarjamah dan Bapak Drs.H. Ahmad Syatibi M.Ag
yang juga memberikan arahan untuk menuntaskan studi akhir saya.
Bapak Prof. Dr Sukron Kamil M.Ag, dan Bapak Drs. Ikhwan Azizi M.A,
Pembimbing yang sangat sabar menunggu selesainya skripsi saya ini, dan telah
memberi banyak masukan, motivasi juga arahan yang tepat sampai skripsi ini
selesai.
Yang tercinta kepada orang tua saya, Ibu Rohani karena telah memberikan
segala daya upayanya dalam mengurusi saya hingga sekarang ini. Tanpa kasih
sayang dan doanya setiap waktu mungkin tidak akan pernah ada tulisan ini.
Almarhum Bapak saya, Muchtar berpesan “raih cita-citamu, jadilah anak
yang soleh dan selalu perbaiki akhlak”. Almarhumah Siti Humairoh yang telah
memberi banyak pelajaran kesabaran.
Keluarga Saya yang lain Ncing Lani dan Bu Le, Zani, Baba Molan, Om
Ncup dan Bi Marti, Mamah Neneng, Umi Juju, Nenek Siti Hanah, Ibu Marsih, Ibu
Hj Eti dan Bapak H Priyo Utomo, Pak Ustadz Miftah dan Pak Ustadz Afif, Emak
Fatmah dan guru ngaji saya Kak Nunung yang telah mengajarkan saya membaca
Alquran.
Keluarga-keluarga lain yang telah membesarkan saya, LPM INSTITUT,
Legosodotco, Jurusan Tarjamah, Karang Taruna Rt 05, Kelompok KKN, The Rest
Area KMM RIAK, Marawis Al-Amanah.
Teman-teman saya, Polem Fajar Ismail, Umar Mukhtar buat pinjaman
referensinya, M Gustar Umam, Adnan Syafii, Nurshofa, Nine Gustriani, Siti
Suryani dan teman-teman Tarjamah lainnya, Dika Irawan, Iswahyudi, Hilman
Fauzi, Lilis Khalisotussurur dan Mas Doni Dole Purwanto, Mas Bowo, M
Fanshoby, Iswahyudi, Egi Fajar, Abdul Kharis, Noor Rachmah Julia, Rina
Dwihana, Amelia Fitriani, Iit Septi, Dyah Citra Wardhani, Adhie Satya, Isnen
Hadi, Faris Bimantara, Mozza Dewi, Cimot Zulkifly, Nauli, Rian Bachtera,
Halim, Komeng Jimbe, Ipan, Gustia, dan Mbak Sisi yang udah ngasi hadiah ke
Rinjani, Didik, Wahyu, Bayu, Mpok Nia dan Erni, Bang Maul, Setyarini
Faradilla, Rachmat Fauzi, Janwar. Terimakasih banyak untuk Isnawati dan Gita
Nawangsari yang sudah menyuruh cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini.
Wassalam
Jakarta, 25 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iLEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................... iiPEDOMAN TRANSLITERASI ARAB- INDONESIA ....................... iiiKATA PENGANTAR ....................................................................... ivABSTRAK ............................................................................................... vDAFTAR ISI ............................................................................................... viBAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 10C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 10D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 11E. Metodologi Penelitian ................................................................ 11F. Riset Terdahulu ............................................................................. 13G. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II PIJAKAN TEORI ....................................................................... 15A. Analisis Wacana ............................................................................ 15
1. Pengertian Analisis wacana .................................................. 162. Analisis Wacana Teun Van Dijk .................................... 183. Kerangka Wacana Van Dijk .................................... 19
a. Dimensi Teks ............................................................... 21b. Kognisi Sosial ............................................................... 27c. Konteks Sosial ............................................................... 28
B. Teori Penerjemahan Alquran .................................................. 281. Pengertian Terjemah ............................................................... 292. Unsur Teori Menerjemah .................................................. 323. Metode Terjemahan Alquran ................................... 33
a. Terjemahan Harfiyah ............................................... 33b. Terjemahan Tafsiriyah atau Maknawiyah ........... 34
BAB III WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYATJIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHANKEMENTERIAN AGAMA .................................................................... 39
A. Pengertian Terorisme .......................................................... 39B. Terorisme dan Warisan Pencerahan .................................. 40C. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia .......... 43D. Hubungan Terjemahan Ayat Alquran
Kementerian Agama dengan Terorisme .................................. 46.
BAB IV ANALISIS WACANA TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIANAGAMA ............................................................................................... 50
A. Kekeliruan Pemahaman Mendasar dalam Terjemahan Ayat-ayatAlquran tentang Jihad dan Perang .................................. 50
B. Analisis Wacana ...................................................................... 521. Struktur Makro .......................................................... 522. Struktur Supra .......................................................... 543. Struktur Mikro .......................................................... 584. Analisis Kognisi Sosial ............................................... 705. Analisis Konteks Sosial ............................................... 74
BAB V PENUTUP ................................................................................... 79A. Kesimpulan ....................................................................... 76B. Saran ................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur dalam balutan
multikultural dan multireligius kini berubah menjadi masayarakat yang saling
memangsa jenisnya (homo homini lupus). Bangsa Indonesia kian hari makin akrab
dengan berbagai bentuk perilaku neo-barbarian, yakni sosok dan komunitas yang
berprofil dan berstatus masyarakat modern, namun perilaku yang ditunjukkan
tergolong barbar.
Pandangan itu menjadi sulit dibantah ketika bangsa ini banyak mencatatkan
peristiwa kelam seputar kekerasan terorisme. Kasus peledakan bom seperti tragedi
Bali dan hotel JW Marriot Jakarta. Peristiwa ini berdampak bahwa Indonesia
dipopulerkan melakukan support to terrorism dan state of terrorism. Karena
(asumsi dan hipotesisnya) di negara ini telah memberi kebebasan bagi masing-
masing pemeluk agama untuk mengimplementasikan dan mengembangkan ajaran
agamanya, termasuk fundamentalisme beragama.1
Selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut
fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama yang kemudian disebut
sebagai anak kandung Islam. Artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa
1 Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme,Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004) h., v
2
yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk
perjuangan. Apalagi sejak Amerika menuduh Osama bin Laden sebagai satu-
satunya dalang teroris penghancuran gedung kembar WTC dan Pentagon, Islam
makin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan fundamentalis
dan ekstremis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama atau jihad atas nama
Tuhan.
Di dalam kata pengantar buku Kejahatan Terorisme, Persepektif Agama, Ham
dan Hukum, Hasyim Muzadi berpendapat jika mengikuti asumsi atau tuduhan di
atas, tentu saja jika benar bahwa pelaku terorisme adalah gerakan
fundamentalisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman keagamaan yang
eksklusif, skriptualis dan miskinnya pemahaman realitas historis dalam
menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga mewariskan sikap-sikap
yang fanatik, dogmatik, eksklusif dan intoleran dalam menyikapi realitas
perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Bahkan
termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam mengimplementasikan prinsip
“menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran” (amar ma’ruf nahi munkar).
2
Dampak dari sikap negatif di atas tadi tidak menutup kemungkinan bahwa hal
tersebut dapat mengarah ke tindakan terorisme. Teror mengandung arti
penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim
ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Publikasi massa adalah
2 Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme,Perspektif Agama, HAM dan Hukum,. h., vi
3
salah satu tujuan dari aksi kekerasan dari suatu aksi teror, sehingga pelaku merasa
sukses jika kekerasan dalam terorisme serta akibatnya dipublikasikan secara luas
di media massa.3
Jadi dampak berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi selalu saja dikaitkan
dengan Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana
pemahaman ke-Islaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama
yang memiliki penganut terbanyak di Indonesia mempunyai andil besar dalam
pembentukan lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang
dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia mempunyai implikasi yang kuat
terhadap cara berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam
memegang teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.
Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis dalam
menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya maupun dengan
makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk tentu saja lahir dengan
sendirinya berbagai penafsiran. Mengenai hal itu objek kajian terhadap teks ini
tidak mengacu kepada realitas yang berada di luar teks, melainkan kepada realitas
yang digambarkan oleh teks itu sendiri.
Mengacu pada teks yang multitafsir itu, Alquran bukan hanya sebagai
pedoman hidup, namun di satu sisi juga menimbulkan polemik kebahasaan dan
3Mengutip Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: RealitasKebudayaan dalam era Posmetafisika. AM Hendropriyono mengatakan dalam perkembangannyaitu muncul suatu konsep yang memberi pengertian, bahwa terorisme adalah cara atau teknikintimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu. A MHendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2009) h., 25
4
berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman, contohnya adalah pada kasus
ayat-ayat jihad yang katanya menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan aksi-
aksi kekerasan maupun terorisme. Berikut ini adalah beberapa contoh ayat-ayat
jihad dalam Alquran terjemahan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran
Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2007. Contoh dalam QS al-
Anfal 8:39.4
ین ویكون فتنةتكونالحتىتلوھموقا بماهللا انتھوافإن فإن كلھالد
بصیر یعملون
Dan perangilah mereka, sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi
Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Masih terdapat beberapa ayat Alquran terjemahan Kementerian Agama yang
diterjemahkan dalam memahami teks yang terkait dengan jihad dan perang.
Berikut beberapa kutipan ayat lainnya dalam QS. 2:191:
واقتلوھم حیث ثقفتموھم وأخرجوھم من حیث أخرجوكم والفتنة أشد من القتل
وال تقاتلوھم عند المسجد الحرام حتى یقاتلوكم فیھ فإن قاتلوكم فاقتلوھم كذلك
جزاء الكافرین
4 Kemenag, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia (Bandung:Sigma Eksa Media, 2009). Alquran ini diterbitkan dan mengacu pada rekomendai sidang plenoLajnah Pentashihan Mushaf Alquran tahun 2007 di Wisma Haji Tugu Bogor.
5
Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka
perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.5
Simak pula QS.9:123 versi Kemenag:
وا یا أیھا الذین آمنوا قاتلوا الذین یلونكم من الكفار ولیجدوا فیكم غلظة واعلم
أن هللا مع المتقین
“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah,
bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” 6
Menurut asumsi penulis, dalam pandangan masyarakat awam terhadap agama
maka rentan sekali disusupkan doktrin-doktrin mengenai ayat tersebut oleh kaum
radikalis untuk menggerakan aksi teror. Karena Islam adalah suatu keyakinan,
kalau tidak membaca Alquran bagaimana bisa mengetahui ajaran Islam itu sendiri.
Bila saja pemahaman ke-Islaman yang mendasar sebagai agama pembawa
rahmat kepada alam semesta rapuh maka bisa saja menciptakan manusia nihilistis
haus jihad karena merasa harus memerangi agama lain. Tak ada heroisme yang
5 Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS. 2:191
6 Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS.9:123
6
lebih membanggakan dan memuliakan manusia nihilis yang mengalami defisit
nilai-nilai dalam jiwanya selain dari pada menghabisi nyawa manusia lain atas
nilai-nilai luhur, entah itu hak asasi manusia ataupun nilai-nilai agama.
Dari sebab di atas, sangat mungkin terjadi penodaan agama melalui aksi jihad
bila kaum muslimin tidak memahami petunjuk dalam Alquran. Di dunia, Alquran
tertulis dalam bahasa Arab yang kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai
implikasi. Pertama, bahasa Arab merupakan bahasa yang mewakili unsur budaya
Arab, sebab bahasa adalah sistem tanda dalam masyarakat yang mewakili hampir
seluruh (kalau tidak malah seluruhnya) aspek kehidupan masyarakat pemakainya7.
Kedua proses pemahaman Alquran oleh umat Islam Indonesia haruslah
melalui penerjemahan yang dalam prosesnya subyektifitas seorang penerjemah
menjadi mustahil untuk diikutsertakan. Ketiga, setiap pembaca Alquran saat ini
tidak memiliki akses langsung kepada pembuat teks akibat adanya perbedaan
ruang, waktu, tradisi, sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran.8
Sebagaimana yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat, proses pemahaman,
penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga
subyek yang terlibat, yaitu; dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca yang
masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga jika memahami yang satu
7 E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), cet.ke-2, h. 57-58
8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ,2003), h. 74-75
7
tanpa mempertimbangkan yang lain maka pemahaman kita atas teks menjadi
miskin.9
Tiga subyek ini yang kemudian dikenal dalam dunia hermeneutika dengan
unsur triadik (the Author, text, the reader)10. Karena itu, pemahaman dan
penafsiran terhadap semua teks, termasuk teks-teks Alquran harus melibatkan
ketiganya. Selain itu, analisis konteks juga sangat diperlukan dalam memahami
peristiwa pewahyuan, sebab ayat Alquran tidak akan dapat dimengerti kecuali
dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan.
Namun di satu sisi pula perlu adanya pertimbangan bahwa persoalan bahasa
juga menyangkut masalah komunikasi yang mempunyai keterbatasan fungsi
deskriptif dan hanya berkutat dengan sistem penandaan. Sistem penandaan ini
memungkinkan keterlibatan banyak unsur yang berpengaruh terhadap kesan
pemahaman seseorang terhadap sebuah teks secara subjektif.
Kembali ke persoalan keterkaitan antara pembaca terjemahan Alquran dengan
aksi teror, penulis mengasumsikan bahwa pemahaman yang tidak kontekstual
meyebabkan sempitnya pemikiran seorang pembaca terjemahan. Seperti
pernyataan Umaruddin Masdar, pembacaan Alquran secara tekstual telah
9 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik,(Jakarta: Paramadina,1996)
10 Ahmad Muzakky, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UIN-Malang Press, 2007)
8
menyebabkan dunia pemikiran Islam baik fundamentalis, tradisonalis maupun
yang liberalis tidak pernah simetris dengan kenyataan yang dihadapi umat.11
Dari pernyataan Umar Masdar ini, bila dikaitkan dengan aksi jihad maka
kecenderungan pembaca Alquran dengan tekstual akan berpengaruh terhadap
tingkah laku dalam memahami ayat tanpa mengindahkan kontekstualitas yang
sedang terjadi dalam masyarakat. Di sisi lain pembacaan terjemahan secara
tekstual juga menimbulkan polemik dalam tubuh tim penerjemah Kemenag,
seperti pada mulanya, gagasan mengoreksi terjemah Alquran terbitan
Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib,
lahir dari perspektif liberalis yang mendiskreditkan kitab suci umat Islam. Mereka
mengopinikan, bahwa aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh
kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada Alquran.
Sejumlah ayat Alquran dinilai berpotensi menumbuhkan radikalisme dan
mengajak orang beraliran keras. Pernyataan Dirjen Bimas Islam Depag, Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, dalam simposium Nasional bertema: ‘Memutus Mata Rantai
Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, adalah contoh
aktualnya. Nasaruddin Umar menyatakan: “Ada terjemahan harfiyah Alquran
yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras. Dia mencontohkan, “Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka…(Qs. 2:191). 12
11 Umaruddin Masdar, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran IslamLiberal (Yogyakarta: Klik.R, 2003), h. 15-16.
12 Simposium Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme diadakan pada Rabu 28Juli 2010, merupakan sebuah usaha perspektif dan semangat baru atas isu-isu radikalisme dan
9
Selain itu pula ada faktor lain yang menyebabkan timbulnya aksi jihad di luar
pemahaman teks, yaitu, latar belakang sosial, politik, maupun ekonomi seperti
yang dikemukakan Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala
Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang
Kemenag,
Katanya, “pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap
antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka
jadi teroris. Faktanya, mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemahan
itu, tapi jumlah teroris tergolong minoritas bahkan bisa dihitung jari. Pada
umumnya mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang
diterbitkan pemerintah.”13
Dari pemaparan tersebut bisa diasumsikan adanya pengaruh ekstrinsik teks
kepada pembaca dan pembacaan teks secara harfiah melahirkan dampak dan
perang wacana bagaimana teks Alquran bisa mempengaruhi tindakan seseorang
untuk menjadi teroris. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi
ini dengan judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD ALQURAN
TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA (ANALISIS WACANA).
terorisme. Simposium ini melibatkan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan RepublikIndonesia,Kepolisian Negara Republik Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah, Lazuardi Birru dan Lembaga Survei Indonesia.
13 Abdul Jamil dan M Muchlis Hanafi,http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php Kemenag Bantah Terjemahan PicuAksi Terorisme. Akses pada 25 juni 2011.
10
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis
membatasi objek penelitiannya pada ayat-ayat yang sering dijadikan referensi
dalam memperdebatkan aksi jihad yang kerap terjadi di Indonesia. Yaitu QS al-
Anfal 8:39, QS at-Taubah 9:123, QS al-Baqarah 2:191 Sedangkan perumusan
masalah dalam skripsi ini akan didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana Lajnah Pentashihan menerjemahkan ayat-ayat jihad yang
memungkinkan munculnya gerakan radikalisme?
2. Bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat terhadap hasil
terjemahan ayat-ayat jihad Alquran oleh Kementerian Agama?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Skripsi ini ditulis untuk merumuskan ulang terjemah sebagai sebuah disiplin
ilmu yang melahirkan berbagai persepsi tentang dunia asing. Hal ini penting untuk
membuat paradigma baru tentang teks yang dikaitkan dengan konteks ke-
Indonesiaan.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah
1. Mengetahui metode terjemahan Alquran yang digunakan oleh
Kementerian Agama RI .
2. Mengetahui sejauh mana dampak yang terjadi ketika pembaca memahami
ayat yang sering digunakan kaum jihadis dari terjemahan Kemenag RI.
11
D. Manfaat penelitian
1. Penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan bagi penerjemah dalam
menerjemahkan ayat-ayat yang mengarah pada terorisme.
2. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan wacana terhadap
terorisme.
3. Diharapkan menjadi salah satu solusi rujukan mengatasi masalah terorisme
yang didasari pemahaman tekstual terhadap ayat Alquran yang mengarah pada
gerakan terorisme.
E. Metodologi Penelitian
Metode yang penulis pergunakan dalam membahas skripsi ini adalah
deskriptif analitis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan
mengumpulkan data, menyusun dan mengklarifikasinya, menganalisis dan
menginterpretasinya.
Data yang penulis dapatkan dalam skripsi ini diperoleh dari beberapa sumber,
baik primer maupun sekunder. Sumber primer dalam hal ini adalah Alquran.
Selain itu, penulis juga melakukan pendekatan pustaka melalui buku –buku,
artikel dalam koran dan bunga rampai.
Adapun mengenai metode analisis wacana, penulis gunakan dalam penelitian
ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis dalam buku Teun A van Dijk
yang berjudul Macrostructure an Interdisciplinary Study of Global Structures in
12
Discourses, Interaction and Cognition. Secara general analisis wacana dalam
buku ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi
dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang
terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana tidak hanya didasarkan pada
analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi.
Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa
teks bisa demikian. Van dijk juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi,
dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau
pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks
tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang
ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi
wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.
Secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Qulity Development and
Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Riset Terdahulu
Skripsi ini mengacu pada riset skripsi Nur’aini dalam Analisis semantik pada
kata ƸƲҸljdan pada Alquran Terjemaan Depag dengan H. B Jassin (Studiحكم
Kasus: Surat Al Maidah). Selain itu, Analisis Semantik Terhadap penerjemahan
13
ayat-ayat tentang pemberlakuan Syariat Islam dalam Alquran Terjemahan
Departeman Agama oleh Makyun Subuki.
Kedua Skripsi ini menjadi landasan penulis bahwa memang penggunaan
terjemahan ayat-ayat Alquran yang keliru bisa membuat pemahaman yang keliru
pula.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih dapat memberikan penjelasan secara sistematis dan komprehensif
dengan melihat persoalan secara objektif maka penulis menyusun skripsi ini
berdasarkan urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan: terdiri dari lima sub bab yaitu; Pertama, Latar belakang
masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan
penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam,
Sistematika penulisan.
Bab II Analisis Wacana dan teori terjemah, terdiri dari empat subbab yaitu:
pertama; pengertian wacana, kerangka analisis, dan ragam analisis wacana;
Kedua:, Terjemah; Sejarah; Pengertian; dan Ragamnya, dan; Ketiga, Relasi antara
Analisis Wacana dan Teori terjemah, berisi tentang hubungan wacana dengan
teori penerjemahan.
Bab III Analsis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” dalam
Alquran terjemahan Kemenag. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pertama,
Pengertian Terorisme, , identifikasi beberapa hal yang dapat mendorong aksi
teror, menganalisis ayat Alquran yang dijadikan landasan melakukan teror.
14
Kedua, wacana tentang teror, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, dan;
hubungan terjemahan ayat Alquran Kementerian Agama terhadap terorisme.
Bab IV Analisis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” Dalam
Alquran Terjemahan Kementerian Agama Bab ini terdiri dari tiga sub bab:
Pertama, Kekeliruan Pemahaman Mendasar Dalam Terjemahan Ayat-ayat
Alquran Tentang Jihad dan Perang. Kedua, Analisis Semantik Terjemahan Ayat
“teror” dalam Alquran. Ketiga, Pembentukan Wacana Terhadap Penerjemahan
Ayat-ayat “teror” QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123. Keempat, Bantahan Terjemahan
“Teror”. Kelima, Analisis Wacana Kritis.
Bab V penutup, terdiri dari dua sub bab; Kesimpulan dan kedua saran.
15
BAB II
PIJAKAN TEORI
A. Analisis Wacana
1. Pengertian Analisis Wacana
Wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata,
berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi
wacana.14Sedangkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam
hirarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau
terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel,
cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraf, kalimat,
frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit
linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa. 15
Istilah wacana dipakai dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan
(terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata
discourse itu berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse
itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan
dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’.16 Wacana atau discourse kemudian
14 Douglas dalam Mulyana, Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-PrinsipAnalisis Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 3.
15 Kridalaksana dalam Yoce Aliah. Analisis Wacana Kritis. (Bandung: Yrama, 2009)
16 Wabster dalam Baryadi Praptomo, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.(Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 1.
16
diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai
satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat. 17
Bagaimana teks dapat menciptakan suatu wacana, secara garis besar, dapat
disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem,
morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,
disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga
berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh
lebih dari sebuah kalimat.
Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, Aspek-aspek yang
terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Dalam
memahami wacana ada tiga hal yang paling penting yaitu, teks, konteks dan
wacana. Teks dalam pengertian umum, seperti yang diungkap oleh Rina Ratih
adalah dunia semesta, bukan hanya pada teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat,
kebudayaan, film dan drama juga termasuk teks.18 Dengan kata lain teks adalah
semua bentuk bahasa yang bukan hanya kata-kata baik dalam bentuk lisan
maupun tertulis. Teks adalah bentuk pelembagaan sebuah peristiwa dalam bentuk
tulisan bahkan teks juga dapat digambarkan sebagai setiap bentuk bahasa yang
tidak terbatas pada bahasa verbal lisan dan tulisan.19 Konteks adalah situasi di luar
17 Baryadi Praptomo, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta:Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 2.
18 Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual dalam pengkajian sastra,” dalam MetodologiPenelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), h. 137
19 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, AnalisisSemiotik, dan Analisis Framming, (Bandung: Rosdakarya, 2001) h. 53
17
teks yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Sedangkan wacana adalah apabila
konteks dan teks berada dan dimaknai secara bersama-sama.
Dalam konteks wacana, menurut J. D. Parera, harus terdiri dari tiga hal; (i)
setting, menyangkut waktu, tempat, dan situasi kejadian (ii) kegiatan, semua
kegiatan yang terjadi dalam interaksi berbahasa dan (iii) relasi, hubungan dan
jenis hubungan yang terjadi dalam interaksi tersebut.20
Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana
teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimasukkan dan sebagainya. Di sini wacana
kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari
analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama
dalam suatu proses komunikasi.
Di sini tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran
spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan
konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan
komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya.21
2. Analisis Wacana Teun van Dijk
Secara garis besar analisis wacana adalah tindakan dalam mengupas
ideologi yang tersirat dalam sebuah teks. Karena penelitian ini menggunakan
20 J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 120-121.
21 Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKIS, 2001)h. 9.
18
model teori Van Dijk maka perlu diketahui terminologi analisis wacana dari Van
Dijk sendiri yang dikutip dari buku “Aims of Critical Discourse Analysis”
Critical Discourse Analysis (CDA) has beome the general label forstudy of text and tal, emerging from critical linguistics, criticalsemiotics and in general rom socio-politically conscious andoppsitional way of investigating language, discourse andcommunication. As is the case many fields, approaches, andsubdiscipline in language and discourse studies, however it is noteasy precisely delimit the special principles, practice, aims, theoriesor methods of CDA. 22
Studi wacana ini berasal dari analisis linguitik kritis. Merambah pada ilmu
social lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa, wacana, komunikasi, dan
ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari bahasan wacana linguistic, tapi
tidak menutup kesempatan pada ilmu sosial lainnya.
Van Dijk memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam
proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu.
Salah satu elemen penting dalam proses ananlisi terhadap relasi kekuasaan atau
hegemoni dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang
tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan agar
relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat jelas, maka kita
membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu
pengetahuan, ideologi beragam representasi sosial lain yang terkait dengan pola
pikir sosial. Kaitannya adalah hubungan individu dengan masyarakat, serta
struktur sosial makro dengan mikro.
22 Teun Van Dijk, Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse, 1995) Vol. 1, h.17.
19
Menurut Van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah teoretis
sistematis dan deskriptif, yaitu struktur dan strategi di berbagai tingkatan wacana
lissan tertulis, dilihat baik sebagi objek tekstual dan sebagai bentuk praktik sosial
budaya antar tindakan dan hubungan. Sifat teks ini berbicara dengan relevan pada
struktur kognitif, sosial, budaya dan konteks sejarah. Dengan kata lain studi
analisis teks dalam konteks. Momentum penting dalam pendekatan tersebut
terletak pada fokus khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama
membuat eksplisist cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dan mengakibatkan
ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.23
3. Kerangka Wacana Van Dijk
Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial
dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggbungkan ketiga dimensi
tersebut dalam kesatuan analisis.
23 Teun Van Dijk, Discourse and society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and NewDelhi: Sage, 1993), h. 249.
20
Konteks Sosial
Kognisi Sosial
Teks
Gambar 1.24
Diagram Model Analisis Van Dijk
Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam
kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:
Tabel 125
Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
Struktur Metode
Teks
Menganalisis strategi wacana yangdigunakan untuk menggambarkanseseorang atau peristiwa tertentu.Bagaimana strategi tekstual yang
dipakai untuk memarjinalkan suatukelompok, gagasan atau peristiwa
tertentu.
Linguistik Kritis
Kognisi Soisial
Menganalisis bagaimana kognisipenulis dalam memahami seseorang
atau peristiwa tertentu yang akanditulis.
Wawancara
Konteks Sosial
Menganaisis bagaimana wacana yang
Studi Pustaka, penelusuran sejarah,dan wawancara.
24 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 22425 Ibid, h. 225
21
berkembang di masyarakat, prosesproduksi dan reproduksi seseorang
atau peristiwa digambarkan.
a. Dimensi Teks
Sebagai bagian dari model analisis wacana dalam pewacanaan yang lebih
kompleks, Teun Van Dijk membagi dimensi teks pada pendekatan pencermatan
atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: Struktur makro, strukutur supra, dan
struktur mikro (macrostructure, superstructure, and microstructure). Van Dijk
membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan untuk melihat suatu
wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks yaitu
Tabel 2
Struktur Teks Van Dijk26
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yangdiangkat suatu teks
Struktur Supra
Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalamteks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dangaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks.
26 Ibid, 227.
22
1) Struktur Makro
Struktur makro dalam teori wacana memiliki fungsi lebih terbatas. Hal ini
digunakan untuk menjelaskan berbagai pengertian tentang makna global, seperti
topik, tema, atau inti. Ini berarti bahwa struktur makro dalam wacana adalah objek
semantik. Menurut prinsip-prinsip semantik eksplisit, aturan yang harus
dirumuskan untuk menghubungkan makna kata dan kalimat (yaitu, struktur lokal)
dengan struktur makro semantik. Selanjutnya, struktur makro dalam teori wacana
diperlukan untuk menjelaskan gagasan intuitif koherensi: wacana A tidak hanya
koheren di tingkat lokal (misalnya, dengan koneksi berpasangan antara kalimat),
tetapi juga di tingkat global. 27
Van Dijk menggambarkan gagasan struktur global adalah relatif jika hal itu
dapat didefinisikan hanya berkenaan dengan beberapa gagasan seperti struktur
lokal. Hal yang sama harus berlaku untuk gagasan struktur makro. Struktur makro
pada akhirnya dibutuhkan dalam menentukan makna global. Dalam prosesnya,
teori umum interaksi berbagai jenis struktur sosial, seperti konteks sosial dan
frame interaksi, aturan, konvensi, norma, dan berbagai kategori peserta seperti
fungsi atau peran, mungkin terkait dengan tindakan global dan tidak selalu
tindakan lokal masing-masing.28
Maka dalam artian ini pewacanaan yang disajikan dalam suatu teks
interaksi tidak hanya memungkinkan perencanaan dan pengendalian urutan
27 Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures inDiscourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Publishers 1980), h. 10.
28 Ibid, h. 11
23
tindakan di masa depan dan global tetapi juga menjamin koherensi dan fungsi
yang tepat dalam konteks sosial. Van Dijk mengasumsikan bahwa struktur makro
adalah semantik, analisis ini dimaksudkan sebagai kontribusi terhadap struktur
semantik global dalam bahasa alami.
Struktur global pada makro struktur adalah bagian dari wacana. Hal yang
sama berlaku untuk hubungan antara macrostructures semantik dan pragmatis.
Wacana dalam bahasa alami bukan hanya objek gramatikal tapi ucapan pada saat
yang sama yang dapat berfungsi sebagai aksi sosial (tindak tutur). Urutan tindak
tutur, diungkapkan oleh ucapan-ucapan berikutnya kalimat dari wacana, juga
dapat diselenggarakan di tingkat global, sebagai tindakan macrospeech. Dengan
kata lain, wacana juga mungkin menunjukkan struktur global yang tidak boleh
diperhitungkan dalam semantik atau dalam istilah skema melainkan dalam hal
tindakan, interaksi, dan khususnya tindak tutur dan konteks pragmatis yang sesuai
atau tidak.
2) Struktur Supra
Struktur supra atau (suprastructure) menunjuk pada kerangka suatu wacana
atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari
pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri
dengan penutup.29 Jadi struktur supra adalah salah satu cara untuk lebih mengatur
29 Sakban Rosidi, Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana.Makalah pernah disajikan di Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa IslamKomisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.
24
urutan kalimat atau proposisi adalah untuk menetapkan berbagai fungsi untuk
kalimat-kalimat atau proposisi dalam urutan.
Dengan demikian, kita telah melihat bahwa kita dapat mengatakannya
'retoris', berfungsi sebagai 'penjelasan', 'spesifikasi,' 'perbandingan', atau
'kontradiksi. "Dalam hal ini Van Dijk memberikan kalimat atau proposisi untuk
kategori fungsional, yang menentukan jenis hubungan fungsional yang memiliki
hubungan dengan kalimat atau proposisi lainnya. Dengan demikian, B adalah
'spesifikasi' A, jika informasi dari B memerlukan informasi dari A, yang berarti
bahwa B harus memberikan keterangan lebih dari informasi umum bahwa A dan
B memiliki kesamaan.30 Berikut ini adalah jenis-jenis struktur supra
1. Narasi:, seperti novel, drama, cerita pendek, cerita rakyat, dan mitos,
Dijk menceritakan kisah-kisah dalam percakapan sehari-hari untuk
mengungkapkan pengalaman pribadi atau untuk mengesankan
pendengar dengan apa yang terjadi pada diri kita.
2. Argumen: merupakan struktur penalaran dan argumentasi Skema untuk
penalaran diterima di dalam silogisme, dengan demikian, merupakan
karakteristik untuk apa yang kita pahami dengan gagasan yang lebih
umum dari suprastruktur.
3. Makalah Ilmiah atau Laporan Eksperimental: karya ilmiah yang
memiliki jenis skema konvensional atau bahkan kelembagaan yang
lebih dikenal pembaca buku juga menentukan skema dalam wacana.
30 Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures inDiscourse, Interaction, and Cognition, h. 108.
25
4. Artikel Surat Kabar: artikel dari surat kabar juga memiliki skema
tertentu dalam menentukan wacana yang tersusun dari pendahuluan,
ringkasan, maupun spesifikasi di dalamnya.
3) Struktur Mikro
Istilah macrostructures diperkenalkan oleh Van Dijk didasarkan atas
kolektif praktis dan bukanlah sebagi istilah teoretis. Struktur mikro adalah nama
struktur yang terbangun dan berproses pada tingkat terpendek (Kata, frasa, klausa,
kalimat, dan hubungan antara kalimat), dengan kata lain mikro struktur
menjelaskan struktur wacana secara langsung.31
Istilah pertama terkenal dari tata bahasa klasik dan istilah kedua telah
diperkenalkan terutama yang disebut tata bahasa teks. Tata bahasa teks adalah tata
bahasa (apapun) yang tidak terbatas pada deskripsi kalimat yang terisolasi tetapi
juga memperhitungkan struktur di luar tingkat kalimat atau struktur karakteristik
wacana dan percakapan secara keseluruhan. Dengan teks kita memahami struktur
dasar abstrak wacana. Oleh karena itu, wacana merupakan gagasan observasional,
sedangkan teks adalah gagasan teoritis. Pada prinsipnya, wacana biasanya harus
menunjukkan struktur sentensial dan tekstual untuk dapat diterima dalam sebuah
komunitas bahasa, tapi ini tidak berarti bahwa teks dan wacana benar-benar selalu
memiliki struktur ini.
31 Ibid, h. 29. Diskursus kewacanaan yang dijelaskan oleh Van Dijk membuat suatuperbedaan signifikan antara penyebutan teks dan wacana 'wacana', bukan istilah 'teks', yang hanyadigunakan dalam rekonstruksi tata bahasa abstrak bahasa alami. Perbedaan serupa sebenarnyaakan berada di tempat untuk gagasan kalimat, yang juga digunakan ambigu baik sebagai istilahteoretis atau sebagai istilah observasional.
26
Jika dikaitkan dengan apa yang disebut dengan satuan mikro adalah wacana
struktur makro tidak akan terbentuk apabila tidak memiliki kelengkapan
komponen struktur mikro yang menyusunnya. Dengan kata lain microstructures
memegang peranan penting dalam pembentukan macrostructures yang saling
berkaitan dengan konteks yang ada.
Ini berarti bahwa wacana global ditentukan oleh hubungan antara struktur
makro di satu sisi dan struktur semantik kalimat dan urutan (yaitu, mikro) di sisi
lain. Dalam bab ini, maka, penulis mulai merumuskan berbagai aturan yang
berkaitan dengan struktur makro-mikro. Meskipun memberikan ringkasan singkat
dari 'microlevel' analisis wacana (Fenomena seperti koneksi linear dan koherensi),
penulis juga membatasi diri pada semantik makro seperti tata bahasa dan hanya
menentukan bagaimana mikro menentukan, dan ditentukan oleh, struktur makro.
32
Hipotesa dari bab ini, kemudian, adalah bahwa wacana tidak dapat cukup
diperhitungkan di level mikro saja. Tanpa tingkat struktur makro, semantik tidak
dapat menjelaskan berbagai sifatnya.
Makna global dari wacana pada saat yang sama terlihat bahwa interpretasi
makro juga merupakan kondisi yang diperlukan untuk interpretasi kalimat dan
pembentukan koherensi lokal di level mikro tersebut. Akhirnya, hal ini diklaim
32 Van Dijk dalam Macrostructures an Interdisciplinary Study of Global Structures inDiscourse, Interaction, and Cognition, menjelaskan bagaimana struktur makro dan mikro itusaling berkaitan. Pada ranah tertentu yang tingkatannya lebih tinggi untuk menunjukkan relevansilinguistik dan tata bahasa dari analisis macrostructures semantik, Van Dijk juga menganalisisberbagai cara di mana struktur makro mungkin lebih atau kurang langsung muncul dalam'permukaan struktur' kalimat masing-masing wacana.
27
bahwa komponen makro adalah bagian sah dari semantik linguistik wacana dan
bukan hanya sebuah komponen dari model psikologis pengolahan wacana. 33
b. Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis Van Dijk, pentingnya kognisi soial yaitu sebagai
model analisis pada kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut.
Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan,
prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.. Dijk menggambarkan
bahwa setiap penulis memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi
yang didapatkan dari kehidupannya,
Peristiwa dalam sebuah penulisan wacana dipahami berdasarkan skema atau
model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara
pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa liannya pada tiap penulis. Terdapat
beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial
penulis, digambarkan sebagai berikut:34
Tabel 3Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk
Skema Person (Person Schemas)Skema ini menjelaskan bagaimana seseorang menggambarkan dan
memandang orang lain.Skema Diri (Self Schemas)
Skema yang berhubungan dengan bagaimana diri sendiridipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.
Skema Peran (Role Schemas)Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang
dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalammasyarakat.
33 Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures inDiscourse, Interaction, and Cognition, h. 26.
34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 262.
28
Skema Peristiwa (Event Schemas)Skema yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditasirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
c. Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis Van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu
bagimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik tekannya
adalah untuk menunjukkan makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi
lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk, terdapat dua poin
penting, yakni praktik kekuasaan (power) dan akses (acces).
Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok
atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut
dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi letak atau konteks
sosial pemberitaan tersebut.
Kedua, akses dalam memengaruhi wacana. Akses ini menjelaskan
bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum
minoritas. Oleh karenanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media
dalam memengaruhi wacana.
B. Teori Penerjemahan Alquran
1. Pengertian Terjemah
Sebelum menganalisis wacana pada ayat-ayat jihad dalam Alquran, ada
baiknya penulis menyinggung teori penerjemahan Alquran yang telah menjadi
panduan sejak lama. Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diserap dari bahasa
29
Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap istilah tersebut dari bahsa
Armenia, turjuman35. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan turjuman
yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain36.
Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan
secara khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoretis yang bertalian dengan
metode dan prosedur penerjemahan. Karena itu penerjemahan nash keagamaan
berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nas sastra dan jenis nas lainnya.
Perbedaan perlakuan ini terkait erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang
mengungkapkan konteks wacana di dalamnya.
Penerjemahan Alquran memang memerlukan penanganan tersendiri
karena bagi umat Islam, Alquran memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu
dijaga. Di samping itu, cara pandang penerjemah nas-nas keagamaan tentu saja
berbeda dengan sudut pandang penerjemah lain.
Proses penerjemahan Alquran merupakan rangkaian tindakan yang
dilakukan penerjemah berdasarkan atas kualifikasinya dalam mengalihkan makna
dan maksud nas sumber ke dalam nas penerima untuk memperoleh terjemahan
yang berkualitas.
35 M. Didawi, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia. (Jakarta: Humaniora,
2005), h. 7
36 I. Manzhur, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, h. 7
30
Terjemah memiliki arti mengalihbahasakan, sedangkan secara
terminologis, begitu banyak definisi yang tersaji. J. Levy seperti dikutip
Nurachman Hanafi mendefinisikan terjemah sebagai “a creative process which
always leaves the translation of freedom of choice between several approximately
equivalent possibilities of relizing situational meaning”.37 Atau seperti dikutipnya
juga, Julian House menyebut terjemah sebagai “replacement of text in the source
language by semantically and pragmatically equivalent text in the target
language”.38 Singkat kata, terjemah merupakan aktifitas pemindahan pesan dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran, tanpa mengubah makna dan gaya bahasa yang
terkandung di dalamnya.
Meski secara pengertian terlihat sederhana, namun proses menerjemah
tidaklah mudah. Dalam proses penerjemahan, hal ihwal teks melewati serangkaian
interpretasi ulang tentang apa yang dipahami oleh seorang penerjemah pada
sebuah bahasa untuk diterjemahkan ke bahasa lainnya. Proses ini tetunya
melewati sebuah proses pencitraan, di mana gambaran tentang sebuah konsep,
baik itu sebagai sebuah peristiwa atau sebuah benda, direpresentasikan hanya
dengan satu atau beberapa kata. Hal ini dikarenakan bahasa merupakan simbol
dan sistem penandaan dari dunia nyata. Realitas adalah sebuah realitas yang
37 Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkaan, (Flores; Nusa Indah, 1986) h. 24
38 Ibid, h. 26
31
diketahui setelah dialihbahasakan, atau, realitas adalah realitas yang
terbahasakan.39
2. Unsur Teori Menerjemah
Dalam bidang linguistik, penerjemahan memang dikelompokkan dalam
bidang linguistik terapan karena sebagai teori yang yang telah dirumuskan dalam
linguistik teoretis diterapkan pada bidang penerjemahan. Linguistik teoretis
berfungsi sebagai pengembangan dan pemerkaya teori penerjemahan.
Lingusitik terapan atau linguistik interdisipliner merupakan sutu disiplin
ilmu karena dapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, yaitu bahwa ilmu ini
dikembangkan dengan metode ilmiah yang diakui kesahihannya di kalangan para
ahli bahasa secara objektif40.
Jadi tugas teori terjemah ialah (1) mengidentifikasi dan mendefinisikan
masah-masalah penerjemahan, (2) menunjukkan faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam memecahkan masalah tersebut, (3) menyenaraikan
prosedur penerjemahan yang dapat diterapkan, dan (4) merekomendasikan
prosedur penerjemahan yang paling sesuai. Oleh karena itu, teori penerjemahan
yang berguna ialah yang muncul dari praktik penerjemahan. Tidak ada praktik
berarti tidak ada penerjemahan41.
39 H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi; Suatu telaah filsafat postmodernisme, (Yoyakarta;Kanisius, 2001), h.27
40 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia h. 14.
41 P Newmark, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, h. 13
32
Unsur teori sangatlah penting bagi penerjemah yang berkedudukan sebagai
mediator antara penulis dan pembaca. Dia bertugas mengungkapkan ide penulis
kepada para pembaca dengan bahasa penerima yang ekuivalen dengan bahasa
sumber.42
3. Metode Terjemahan Alquran
Kualitas terjemahan Alquran sangat berkaitan erat dengan keterpahaman
terjemahan itu sendiri. Kualitas ini dapat bersifat intrinsik yaitu bertalian dengan
ketepatan, kejelasan, dan kewajaran nash. Namun, dapat pula bersifat ekstrinsik,
yaitu berkenan dengan tanggapan pembaca dan pemahamannya terhadap
terjemahan.
Dalam telaah tentang nash, kualitas intrinsik tersebut diistilahkan dengan
keterbacaan, keterpahaman, dan atau ketedasan. Ketiga istilah tersebut dipahami
secara bergantian dan didefinisikan sebagai derajat kemudahan sebuah nash untuk
dapat dipahami. Maka dalam hal ini, dari sudut tinjauan teoretis terdapat dua
metode utama dalam penerjemahan, yaitu metode hariah (literal) dan metode
maknawiah.43
a. Terjemahan Harfiah
Terjemahan harfiah adalah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-
urutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya memindahkan sejumlah
kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa
42 Ibid, h. 15.
43 A. Sakri dalam Syihabuddin Penerjemahan Arab Indonesia, h. 194
33
yang susuai dengan bahasa aslinya.44 Menurut Az-Zarqaniy, terjemahan seperti ini
tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan ini juga disebut
dengan terjemahan lafdziyah atau musawiah
Terjemahan jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata
yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam
bentuk bahasa penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa
sumber meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sejatinya
terjemahan harfiah dalam definisi urut-urutan kata dan cakupan makna persis
seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing bahasa
selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata dan makna yang
terkandung di dalamnya.
b. Terjemahan tafsiriyah atau maknawiah
Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan
kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam definisi lain adalah
menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang
lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat bahasa lainnya.
Terjemahan tafsiriyah mengutamakan ketepatan makna dan dimaksud secara
sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan
kalimat. Karena itu terjemahan ini juga dinamakan dengan
terjemahan maknawiah karena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan
44Miftah Faridl dan Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam (Bandung:Pustaka, 1989)h. 307
34
Manna’ al-Qattan sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan
terjemahan maknawiah, walaupun di antara keduanya memiliki perbedaan dalam
aspek lain.45 Az-Zarqaniy memberikan nama terjemahan tafsiriyah karena teknik
yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang
tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir.
Metode yang dipakai dalam terjemahan tafsiriyah adalah dengan
memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian maksud
tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan
kata atau kalimat bahasa sumber. Berikut ini adalah syarat-syarat kualifikasi
penerjemahan tafsiriyah kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat
diidentifikasi46:
a) Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks
bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus sesuai
dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar
sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. Contohnya
adalah tentang kata Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam .السیا رة
surat Yusuf ayat 10, kata السیا رة berbeda dengan kata السیا رة dalam
konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata السیارة dalam
kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna beberapa orang musafir.
45 Ibid, h. 307.
46 Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi
1990, Jogja: Tiara Wacana, 2001, hal. 62-63
35
b) Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya
bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah penerjemahan
benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa yang
dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq
dalam bahasa arab sama dengan gaya bahasa antitesis dalam (الطباق)
bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti berlawanan atau
bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa yang mesti
diketahui sebelum melakukan terjemahan, seperti:
(i) Gaya bahasa al-itnāb (االطنا ب) dalam bahasa Arab sepadan dengan
gaya bahasa pleonasme47 dalam bahasa Indonesia. Contohnya
dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan
mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : تنزل
.......المال ئكة والروح فیما (Pada malam itu turun malaikat-malaikat
dan malaikat Jibril...).
(ii) Dalam bahasa Indonesia terdapat gaya bahasa metonimia48 yang
sepadan dengan gaya bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab,
47 Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi
1990. Gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak
dari yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Namun, meskipun kata yang
berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.
48Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan
suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. ایاد yang memiliki arti tangan
bisa dimaksudkan dengan pemberian
36
contohnya: لھ ایاد علي yang memiliki arti dia banyak pemberiannya
terhadapku.
c) Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri
khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas tentang
ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat
dari peristiwa bahasa, contohnya adalah:
(i) Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata),
baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja),
maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti
terdapat dalam bahasa Arab.
Konjugasi Tasrif
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Saya pergi ke pasar انا اذھب الي السوق
Saya telah pergi ke pasar السوقذھبت الي
Pergilah ke pasar اذھب الي السوق
Deklinasi
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Mansur sudah datang جاء منصور Saya sudah melihat Mansur رایت منصوراSaya pergi dengan Mansur ذھبت مع منصور Ali kecil علي صغیر Ali lebih kecil dari Mansur من منصور علي أصغر
37
(ii) Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang
terdapat dalam bahasa Arab.
Bahasa
Indonesia
Bahasa Arab
Kamu kamu laki-laki:أنت
kamu perempuan:أنت
Ia ia laki-laki:ھو
ia perempuan:ھي
Mereka mereka laki-laki:ھم
mereka perempuan:ھن
Kamu sekalian kamu sekalian laki-laki:أنتم
kamu sekalian perempuan:أنتن
(iii) Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis dan
bentuk jamak pluralis (jam’u at-taksir/broken plural, jam’u al-
muzakkar as-salim/masculine sound plural, jam’u al-mu’annas as-
salim/feminime sound plural) seperti dalam bahasa Arab.
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Sebuah buku كتاب Dua buah buku كتابان Beberapa buah buku كتب
38
BAB III
WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYAT JIHAD
DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENAG
A. Pengertian Terorisme
Dalam masyarakat Indonesia term terorisme akan selalu menjadi momok
perdebatan dan seolah-olah kerap kali dikaitkan dengan penganut Islam radikal.
Padahal kenyataanya gerakan terorisme tidak diajarkan oleh agama manapun.
Para ahli kontraterorisme mengatakan, teroris adalah para pelaku yang tidak
tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan
"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,
pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Kata
teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata Latin terrere yang berarti
membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan
kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang
memiliki konotasi sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan
dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. 49
49 Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,(Bandung: Refika Aditama, 2004) h., 22.
39
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European
Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi
perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes Against
Humanity. Crimes Againts Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan
suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada
dalam suasana teror.50
Sedangkan Menurut Loebby Loqman, terorisme sebagai senjata psikologis
untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau
kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Kegiatan terorisme
umumnya di lakukan dengan sasaran acak, bukan langsung kepada
lawan,sehingga dengan dilakukan teror tersebut diharapkan akan mendapatkan
perhatian pihak yang dituju.51
B. Terorisme dan Warisan Pencerahan
Ideologi eksplisit para teroris yang menyerang Twin Towers dan Pentagon
pada 11/9 ialah penolakan atas jenis modernitas dan sekularisasi yang di dalam
tradisi filsafat diasosiasikan dengan konsep Pencerahan. Dalam filsafat,
Pencerahan menggambarkan bukan hanya sebuah periode spesifik, yang secara
historis bertepatan dengan abad ke-18 melainkan juga afirmasi atas demokrasi dan
50ibid, h., 23.
51 Loqman Loebby, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan TerhadapKeamanan Negara Indonesia,(Jakarta: Universitas Indonesia,1990) h. 98
40
pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan fokus
oleh revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.52
Dalam tulisannya, Kant menyatakan bahwa pencerahan ialah kebangkitan
manusia dari ketidakdewasaanya yang ditimpakan pada dirinya sendiri.
Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan menggunakan pemahamannya
sendir tanpa bimbingan orang lain. Lebih sekadar segugus kepercayaan.
Pencerahan menandai putusnya hubungan masa lalu, yang dimungkinkan hanya
atas ketidaktergantungan individu di hadapan otoritas. Tepatnya
ketidaktergantungan inilah merupakan ciri modernitas.53
Lalu apa kaitan terorisme dengan Pencerahan? Di sini Habermas berpaling
dari modernitas dan menganggap bahwa fundamentalisme merupakan
inkarnasinya. Habermas berpendapat bahwa fundamentalisme sebagai suatu
fenomen yang secara eksklusif bersifat modern. Sebagaimana Kant, Habermas
memahami modernitas lebih merupakan suatu perubahan dalam sikap
kepercayaan dari pada sebuah korpus kepercayaan-kepercayaan yang koheren.54
Suatu sikap kepercayaan lebih menunjukkan jalan di mana kita percaya
ketimbang apa yang kita percaya. Jadi, fundamentalisme kurang berurusan dengan
suatu teks atau dogma keagamaan yang spesifik dan lebih berurusan dengan
modaitas kepercayaan. Apakah kita mendiskusikan kepercayaan fundamentalisme
52 Borradori Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermasdan Jacques Derrida, Pnrj. St Sunardi (Jakarta: Kompas, 2005), h. 22
53 Ibid, h. 22
54 Ibid, h. 22
41
Islam, Kristiani, atau Hindu, kita bicara tentang reaksi dalam bentuk kekerasan
terhadap cara modern memahami dan mempraktikkan agama. Dalam perspektif
ini, fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara
pra-modern dalam berhubungan dengan agama: itu suatu respon panik kepada
modernitas yang dipersepsikan lebih sebagai ancaman daripada peluang.55
Selain hal tadi Habermas pun menyetujui bahwa setiap doktrin agama
didasarkan pada sebuah inti kepercayaan dogmatis; jika tidak, tidak akan ada iman
yang dimunculkannya. Namun dengan serbuan modernitas, agama-agama harus
“melepaskan diri dari doktrin mereka yang bersifat mengikat secara universal dan
penerimaannya secara politis,” agar sama-sama menjalani eksistensi di dalam
masyarakat majemuk. Transisi kepercayaan dari pra-modern ke yang modern
telah menjadi tantangan monumental bagi agama-agama dunia. Terdapat agama-
agama yang klaimnya pada kebenaran ditunjang dan diteguhkan oleh situasi-
situasi politik “yang periferinya tampak kabur meremang di luar batas-batasnya.”
Modernitas menghasilkan suatu pluralitas bangsa-bangsa dan suatu pertumbuhan
begitu rupa di dalam kompleksitas sosial dan politik. Sehingga eksklusifitas
klaim-klaim yang mutlak menjadi begitu saja tidak dapat dipertahankan. 56
55 Borradori Giovanna dalam terjemahan St Sunardi, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialogdengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, h. 23
56 Ibid, h. 28-29
42
C. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia
Terorisme memang menjadi momok tersendiri bagi masyarakat di
Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa terorisme selalu
diidentikkan dengan Islam? Padahal tidak menutup kemungkinan oknum agama
lainpun juga melakukan hal serupa. Memang semua aksi tersebut tidak mungkin
berlatar hanya dari sekadar aksi jihad saja, namun faktor dasar yang
mempengaruhi aksi terorisme adalah kemiskinan. Mahfudz Siddiq, Ketua komisi I
DPR (Kompas, 14/09/2011) mengatakan bahwa faktor utama terorisme dan
konflik agama di Indonesia dan mengambil konflik Ambon sebagai contohnya
adalah Kemiskinan di Ambon, sensitivitas kelompok pasca konflik dan akibat
konflik masa lalu berdasarkan etnis dan agama.
Namun Kapolri Jendral Timur Pradopo (Lampung Pos, 21/03/2012)
Mengatakan bahwa permasalahan yang menjadi akar kekerasan, radikalisasi dan
terorisme adalah; Pertama, persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian
umat. Kemiskinan seringkali memaksa seseorang untuk menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kehidupan. Kedua, ketidakpercayaan terhadap Negara dan
tidak memiliki perasaan takut terhadap penyelenggara negara. Ketiga, kurangnya
pendidikan dan keterbelakangan dalam memahami wacana bermasyarakat.
Ketika melihat term “terorisme” hal ini bukanlah sekadar persoalan
semantik. Apakah orang menggunakan kata “teroris” ataupun tidak untuk
menggambarkan aksi-aksi kekerasan bergantung pada apakah aksi-aksinya dapat
dibenarkan. Pada tataran yang lebih luas, penggunaan istilah terebut bergantung
43
pada pandangan orang yang bersangkutan: jika dunia dipandang damai, aksi-aksi
kekerasan akan sebagai suatu bentuk terrorisme. Jika dunia dianggap dalam
keadaan perang, aksi-aksi kekerasan bisa jadi diakui sebagai tindakan absah.57
Hal ini mengantarkan kembali pada pertanyaan lain, ketika agama
membenarkan kekerasan, apakah dengan demikian hal itu digunakan untuk
tujuan-tujuan politis? Ini bukanlah pertanyaan yang sederhana, sebagaimana ia
pertama kali mengemuka. Kejadian ini benar-benar pelik karena agama tidak
dapat disalahkan. Tapi tidak selalu mengarah pada kekerasan. Kasus-kasus
`seperti ini akan terjadi bila terdapat perpaduan dari sederetan situasi tertentu yang
bersifat politis, sosial dan ideologis58
Dari pemaparan tadi kita bisa mengambil hipotesa bahwa banyak orang
yang hanya mengutuk, atau paling banter memerangi terorisme. Namun mereka
lupa mengutuk dan tidak berupaya melenyapkan pemicu yang menyebabkan aksi
anarkistis tersebut. Senyatanya, kehadiran aksi-aksi semacam teroris, salah
satunya diakibatkan oleh semacam keangkuhan suatu atau sekelompok bangsa
tertentu dalam menyikapi kehidupan global. Dalam kondisi seperti itu, kelompok
yang memiliki power sering dan mudah menindas kelompok yang lebih lemah
dengan menggunakan alasan yang terkadang terlalu dicari-cari.59
57Mark Jurgensmeyer, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama,Pnrj M. Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002), h. 12.
58 Ibid., h.13
59 Abd, A’la, Melampaui Dialog Agama (Jakarta, Kompas: 2002), h. 65-66.
44
Sementara kelompok yang lemah – dengan melakukan berbagai justifikasi
- mencoba melawan kekuasaan dan tekanan yang membelenggu mereka dengan
cara mereka sendiri. Oleh karena itu inti persoalan sebenarnya yang perlu
diselesaikan adalah bagaimana melenyapkan keangkuhan kekuasaan, dan
menggantinya dengan penciptaan dan pengembangan suatu sistem kehidupan
yang lebih manusiawi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin jelas menolak dan
melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan al-ghayat ,(الغایة)
termasuk tujuan yang baik sekalipun.60 Dalam hal ini Azyumardi Azra
berpendapat, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan
dengan etos kemanusiaan. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang
mewujudkan perdamaian keadilan dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu
haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Islam
menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang
harb dan menggunakan kekerasan (حرب) qitâl terhadap para penindas musuh (قتال)
Islam dan pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam kaum muslimin.61 Selanjutnya, Azra
pun menambahkan bahwa dalam kaidah ushul dalam Islam menegaskan الغایة التبرر
الوصیلة (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa
pembasmian suatu kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula.
60 Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,(Bandung: Refika Aditama, 2004) h., 42
61 Azyumardi Azra, Terorisme dalam perspektif Agama, dalam Kejahatan Terorisme,Perspektif Agama, HAM dan Hukum komentar diterbitkan dalam harian Kompas 2 November2002.
45
D. Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan
Terorisme
Dari semua hal tadi ada satu faktor yang menjadi perhatian penulis dalam
menyikapi fenomena yang terjadi. Faktor itu adalah ayat Alquran yang dijadikan
landasan “mereka” (teroris) dalam melakukan aksinya. Salah satunya adalah
ل وال تقاتلوھم عند واقتلوھم حیث ثقفتموھم وأخرجوھم من حیث أخرجوكم والفتنة أشد من القت
المسجد الحرام حتى یقاتلوكم فیھ فإن قاتلوكم فاقتلوھم كذلك جزاء الكافرین
Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),
maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.(QS. 2:191)
Selain itu dalam surat at-Taubah, ayat 123 versi Kemenag:
وا أن هللا مع المتقین یا أیھا الذین آمنوا قاتلوا الذین یلونكم من الكفار ولیجدوا فیكم غلظة واعلم
“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang
disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan
ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Kembali ke pembahasan sebelumnya, pada dasarnya, kemunculan
gerakan-gerakan keagamaan radikal itu dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya
46
dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Dalam Islam, pemahaman
yang literal dan parsial serta sepotong-sepotong terhadap Alquran dan Sunah Nabi
mengakibatkan seseorang terperangkap ke dalam wawasan sempit dan tidak
mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret.62
Umpamanya, mereka mengartikan jihad dalam Alquran sebatas arti harfiah
yang tersurat. Mereka tidak mencoba lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap
sebab-sebab historis yang terkait dengan konsep itu, lalu menangkap nilai-nilai
universal yang dikandungnya untuk diaplikasikan ke dalam situasi konkret saat
ini, yang jelas berbeda dengan situasi yang ada pada masa turunnya Alquran.
Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain, semisal politik
ekonomi, ikut masuk ke dalamnya. Suatu kelompok dengan pemahaman
keagamaan yang literalis akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala
kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok pemeluk
agama lain.
Selain itu, unsur lain yang membuat seseorang atau suatu kelompok
bersikap radikal adalah sikap curiga terhadap kelompok atau penganut agama lain.
Adanya kecurigaan semacam tuduhan bahwa suatu umat dari agama lain
melakukan kecurangan dalam menyebarkan misi agama, menjadi peluang pada
62 Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, h. 17.
47
kelompok yang memiliki kecurigaan itu untuk menanggapinya melalui cara-cara
reaksioner yang mengarah kepada bentuk kekerasan dan semacamnya.63
Dalam kondisi yang penuh kecurigaan ini, suatu kelompok radikal akan
melihat segala persoalan yang berkaitan dengan umat dari agama lain dalam
perspektif teologi eksklusif. Jika kelompok itu dari Islam, ia akan melihat
permusuhan yang kebetulan terjadi antara seorang muslim dan seorang Kristen
sebagai permusuhan agama. Meskipun sebenarnya persoalannya bersifat pribadi,
kultural atau tidak ada hubungan sedikitpun dengan persoalan akidah. 64
Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya dalam kancah pemikiran,
disebabkan oleh “ketidaktahuan” atau adanya proses “kekaburan” yang timbul
dari anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran” identik dengan “apa
yang ada dalam kenyataan”. Tingkat kerancuan ini – dan ketidakpahaman yang
ditimbulkannya serta penentangan dan permusuhan sebagai kelanjutannya – kian
bertambah kompleks ketika “apa yang ada dalam pikiran” tersebut merupakan
sesuatu yang kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah memberinya sifat
kepurbaan, suatu sifat yang membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotak-
atik atau didekati, karena merupakan otoritas suci.65
Abu Zaid juga mengatakan, salah satu pemikiran yang mengakar kuat dan
otoritatif tersebut – yang hampir merupakan akidah karena kepurbaan dan
63 Ibid , h. 1864 Ibid.,h. 19
65 Nasr Hamid Abu Zaid, , Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, as-Shulthah, al-Hakikah,Pnrj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 85.
48
dominasinya adalah pemikiran bahwa Alquran yang diturunkan melalui Jibril
kepada Muhammad adalah teks yang qadim dan azali dan ia merupakan salah satu
di antara sifat-sifat Dzat Tuhan. Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula
maka demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala yang berasal dari-
Nya. Alquran adalah firman Allah, dengan demikian, ia juga qadim karena
termasuk di antaranya sifat-sifat yang azali dan qadim tersebut.
49
BAB IV
ANALISIS WACANA TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT
JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN
AGAMA
A. Kekeliruan Pemahaman Mendasar dalam Terjemahan Ayat-ayat Alquran
tentang Jihad dan Perang
Seperti telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, skripsi ini bertujuan untuk
menelaah lebih lanjut tentang kajian wacana hasil terjemahan Alquran oleh
Kementerian Agama, lebih khusus kepada ayat-ayat yang sering dijadikan acuan
dalam gerakan radikalisme. Titik pembahasan penulis adalah pada QS. 2:191, QS.
8:39, QS.9:123.
Surat Al Baqarah : 191
واقتلوھم حیث ثقفتموھم وأخرجوھم من حیث أخرجوكم والفتنة أشد من القتل
ك وال تقا تلوھم عند المسجد الحرام حتى یقاتلوكم فیھ فإن قاتلوكم فاقتلوھم كذل
جزاء الكافرین
Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
50
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),
maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
Selanjutnya, QS al-Anfal 39
ن هللا بما
یعملون بصیر
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Simak pula at-Taubah : 123
وا یا أیھا الذین آمنوا قاتلوا الذین یلونكم من الكفار ولیجدوا فیكم غلظة واعلم
أن هللا مع المتقین
“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu dan ketahuilah,
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Dari pemaparan di atas bisa dikatakan bahwa semua ayat-ayat tadi
menerangkan tentang jihad dan perang. Jihad memang dipahami secara beragam
oleh umat Islam. Masing-masing golongan umat memiliki metodologi sendiri
dalam menjelaskan definisi jihad yang paling benar. Dalam tulisannnya
51
Mu’ammar Zayn Qadafy menjelaskan secara garis besar pemaknaan jihad oleh
para sarjana muslim dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu fundamentalisme dan
post-modernisme. Pada permasalah seputar jihad, keduanya sangat berbeda dalam
menyusun definisinya masing-masing. Kelompok Fundamentalis terkesan
literalis, eksklusif dan sederhana dalam mendefinisikan jihad. Bagi mereka, jihad
adalah perang fisik melawan musuh (orang kafir).66
Sedangkan kelompok modernis, memiliki konsep jihad yang lebih kompleks
dari sekadar perang. Pada umumnya kelompok ini membentuk jihad menjadi
sebuah perjuangan yang elegan, akomodatif, dan bersahabat bagi golongan lain.
Jihad tidak diilustrasikan perjuangan hidup mati memikul senjata ke medan
perang, tetapi ia adalah usaha-usaha serius yang dilakukan dalam menegakkan
ajaran Allah apapun bentuknya.67
B. Analisis Wacana
1. Struktur Makro
Sebagai salah satu bagian dari dimensi teks dan berangkat dari terjemahan
ayat-ayat jihad di atas, struktur makro adalah suatu makna global yang berisikan
topik atau tema yang diangkat di dalamnya. Sederhananya struktur makro
merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema
66 Mu’ammar Zayn Qadafy pada makalah Aplikasi Teori Interpretasi Nashr Hamid AbuZaid dalam Ayat-ayat Qitâl, salah satu tulisan dari bunga rampai Memutus Mata RantaiRadikalisme dan Terorisme, (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 118.
67 Mu’ammar Zayn, Aplikasi Teori Interpretasi Nashr Hamid Abu Zaid dalam Ayat-ayatQitâl, h. 119.
52
yang diangkat suatu teks Pada bab ini, menurut penulis struktur makro yang
tersaji di dalam fragmen-fragmen ayat-ayat jihad tadi adalah objek semantik.
Struktur makro yang penulis gunakan dalam wacana terjemahan ayat-ayat jihad
Kemenag untuk menjelaskan gagasan intuitif koherensi: wacana jihad pada ayat-
ayat tadi tidak hanya koheren di tingkat lokal (misalnya, dengan koneksi
berpasangan antara kalimat), tetapi juga di tingkat global.
Sebagai gambaran, struktur wacana dapat tersusun atas adanya elemen-
elemen dari struktur makro, struktur supra dan struktur mikro. Secara
sederhananya penyusunan struktur wacana tersusun seperti gambar berikut.
Tabel
Elemen Wacana Teks Van Dijk
StrukturWacana
Elemen Temuan
StrukturMakro
Tematik/ Topik Wacana hasil terjemahan Ayat-ayat JihadKementerian Agama
StrukturSupra Skema/ Alur
1. Pernyataan beragam olehkelompok-kelompok ideologismengenai ayat-ayat jihadterjemahan Kemenag.
2. Pemaparan kasus-kasus terorismedan argumen atas kekeliruandalam memahami ayat-ayat jihad.
StrukturMikro
Semantik,Sintaksis,
Stilistik, Retoris
Analisis terjemahan dari ketiga fragmen ayatjihad yang disebutkan, yaitu QS. 2:191, QS.8:39, QS.9:123.
2. Struktur Supra
Penulis menyepakati bahwa dalam setiap wacana juga terdapat ideologi di
dalamnya. Wacana akan selalu bersinggungan dengan ideologi. penulis ingin
53
mengemukakan bahwa penggunaan dan pemahaman teks agama secara sempit
berimplikasi menimbulkan suatu kerancuan keyakinan. Hal ini menurut penulis
adalah sebagai dasar pembentukan wacana mengenai adanya terjemahan harfiyah
ayat-ayat Alquran yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras.
Seperti dalam hal ini penulis mengutip hasil kajian dari Saifur Rohman dalam
studi kasus buku Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan Teroris (2004).
Imam Samudra mengatakan “Bom Bali adalah satu di antara perlawanan yang
ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya”.68 Di dalam kesimpulan
buku tersebut Imam Samudera menulis: Umat Islam harus bangkit melawan
mereka dengan segala daya dan upaya. Perlawanan yang disyariatkan oleh Islam
adalah dengan cara jihad. Maka, bom Bali adalah salah satu bentuk jawaban
yang dilakukan segelintir kaum Muslimin yang sadar dan mengerti arti sebuah
pembelaan dan harga dirii.69
Dari tulisan tadi Imam Samudera memperkenalkan kata bom yang dirangkai
dengan perlawanan, penjajah, syariat, jihad, dan sekutu. Konstruksi yang hendak
dihadirkan adalah legitimasi terhadap aksi pengeboman itu karena didasari oleh
gerakan perlawanan. Amerika adalah musuh yang selama ini dianggap sebagai
68 Dalam sebuah tulisan Memutus Mata Rantai Radikalisme DanTerorisme Di Indonesia: Analisis Psikologi, Filsafat, Dan Kultural,. SaifurRohman, mengatakan Terorisme pada mulanya adalah sebuah perwujudan dariendapan pemahaman mistis. Pemahaman itu diwadahi oleh produk keyakinanyang dimiliki oleh kaum Semit, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Masing-masingkeyakinan itu melahirkan identitas sebagai fundamentalis. Di dalam araskebudayaan, ia memanfaatkan teori konflik kebudayaan sebagaimana diwariskanoleh Huntington.Intinya, kebudayaan sebagai identitas eksklusif itu salingberhadap-hadapan untuk melancarkan pembenaran.
69 Imam Samudera, Aku Melawan Teroris., h. 114.
54
penjajah yang harus diserang. Bila membaca lebih jauh, dasar penyerangan itu
adalah ayat-ayat suci yang diyakini sebagai benar. Sebab, menurutnya, ayat itu
memberikan jaminan surga kepada mereka yang melakukan jihad di jalan Tuhan.
Dengan kata lain, konstruksi wacana yang berkembang di masyarakat adalah
telah terjadi penyalahgunaan terjemahan Alquran yang dilakukan oleh Imam
Samudra. Terjemahan telah dijadikan alat propaganda dalam menebarkan
hegemoni terorisme dan menyebabkan kekusutan situasi dalam pemikiran
masyarakat. Hendropriyono juga berpendapat dengan memanfaatkan Ludwig
Wittgenstein sebagai titik tolak teoretisnya untuk mengkaji terorisme.
Bahwasanya tudingan-tudingan teror antara fundamentalisme Kristen dan Islam
tidak lebih sebagai permainan bahasa. Adapun rumusan penulisnya menyatakan
bahwa: Walau pelaku terorisme berangkat dari perbedaan sumber pengetahuan
dengan pembenaran masing-masing yang berbeda, tetapi keyakinan ontologis
mereka terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa bersifat jumbuh (identik). Artinya,
semua pihak sama-sama mengacu kepada sesuatu keyakinan yang sama, yang
identik, yaitu kepada “yang ada”, yang berada di atas segala-galanya.70
Selain hal tadi terdapat temuan penulis mengenai pernyataan dari Ketua
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat, Irfan S. Awwas
mengenai kualitas terjemahan dari kementerian Agama yang dimuat di
tempo.co pada Senin, 25 April 2011. Irfan mengatakan, bom bunuh diri di masjid
Kepolisian Resor Kota Cirebon pada medio April 2011 lalu adalah tanggung
70 AM Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: PenerbitBukuKompas, 2009)
55
jawab Kementerian Agama. Ia menilai pemerintah salah menerjemahkan Alquran
selama puluhan tahun. Kesalahan terjemahan pada sekitar 3.400 ayat itu diduga
memicu tindakan radikalisme.71 Selain itu Irfan juga menyebutkan secara spesifik
salah satu terjemahan surat at-Taubah, ayat 123 versi Depag (sekarang Kemenag):
“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah,
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Irfan pun mengatakan,
Apabila muncul ideologi permusuhan terhadap orang kafir, lalu terjadi konflik
horizontal, bahkan pembunuhan disebabkan membaca teks terjemahan di atas.
Maka bukan salah pembaca, karena kalimat dalam terjemahan memang salah,
yang menyimpang dari sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut.72
Meskipun begitu fragmen bantahan dari Abdul Jamil dan Muchlis M
Hanafi, masing-masing Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang
Pengkajian Alquran Puslitbang Kemenag pun tak kalah menarik. Menurut mereka,
asumsi MMI tentang terjemahan Alquran terbitan Kemenag sebagai pemicu aksi
terorisme, sangat bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di
antaranya, mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam
memahami Alquran. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih
71 Artikel diakses dari situs http://www.tempo.co/read/news/2011/04/24/078329688/ padatanggal 29 Nopember 2013.
72 Artikel diakses melalui situshttp://www.arrahmah.com/read/2011/05/12/12463-apologi-tim-terjemah-alquran-depag.html pada tanggal 29 Nopember 2013.
56
banyak. Sedangkan faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka
umumnya anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang diterbitkan
oleh pemerintah.”
Dari berbagai rangkaian fragmen tadi, penulis melihat terdapat skema
yang menunjukkan kesesuaian alur. Penulis melihat bahwa terdapat ungkapan
'retoris', yang berfungsi sebagai 'penjelasan', 'spesifikasi,' 'perbandingan', atau
'kontradiksi. "Dalam hal ini penulis sejalan dengan Van Dijk memberikan kalimat
atau proposisi untuk kategori fungsional, yang memiliki hubungan dengan kalimat
atau proposisi lainnya. Dengan demikian, skema kontradiksi dari fragmen
argumen di atas menjelaskan bahwa argumen adalah salah satu jenis struktur
supra. Argumen merupakan struktur penalaran dan argumentasi skema untuk
penalaran diterima di dalam silogisme, dengan demikian, merupakan karakteristik
untuk apa yang kita pahami dengan gagasan yang lebih umum dari
suprastruktur.73
3. Struktur Mikro
Pada BAB II sebelumnya dijelaskan struktur mikro (microstructures)
memegang peranan penting dalam pembentukan (macrostructures) yang saling
berkaitan dengan konteks yang ada. Seperti diketahui wacana global ditentukan
oleh hubungan antara struktur makro di satu sisi dan struktur semantik kalimat
dan urutan (yaitu, mikro) di sisi lain. Dalam bagian ini, penulis akan menyajikan
73 Lihat kembali Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of GlobalStructures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 108.
57
aspek semantik, stilistik dan retorik yang tertuang dalam analisis ayat qitâl dan
jihad.
a. Penerjemahan Ayat Qitâl
Sebelum melangkah ke pembahasan wacana, terlebih dahulu penulis akan
menganalisis penerjemahan kata qitâl. Lantas apa hubungan antara jihad dengan
qitâl? Kata jihad dan qitâl meski memiliki bentuk/mabna yang sama, belum tentu
memiliki makna yang sama pula. Lalu apa saja derivasi dari kata qitâl yang
terdapat di dalam al-Qur’an, dan digunakan untuk makna apa saja kata-kata
tersebut? Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur memaparkan bahwa kata القتـال (al-
qitâl) adalah bentuk masdar dari kata ل یقـات -قاتـل (qâtala-yuqâtilu) -tepatnya
tsulatsi mazid satu huruf bab fi’âl dari kata قتل yang mengandung tiga pengertian
yaitu (1) ‘berkelahi melawan seseorang’, (2) عاداه (‘âdâhu/memusuhi), dan (3)
74.(hâraba al-a‘dâ’/memerangi musuh)حارب األعداء
Kata قتال (qitâl) merupakan salah satu bentuk kata turunan dari kata -قتـل
قتـال-یقتل (qatala – yaqtulu – qatlan). Kata قتـل menurut Ibnu Faris mengandung
dua pengertian, yaitu إذالل (idzlal= merendahkan, menghina, melecehkan) dan ـاتة إم
(imâtah = membunuh, mematikan).75 Pendapat ini sama dengan apa yang
diungkapkan oleh Ibn Manzhur. Ibn Manzhur menulis ...قتلھ إذا أماتھ بضرب أو حجر
(qatalahu yaitu jika ia membunuhnya dengan memukul, dengan batu…).
74 Al-Imam al-‘Alamah Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Qahirah: Dar al-Ma’ârif, [t.th]),Jilid.V, h. 3531.
75 Abiy al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, tahqiq‘abd al-Salam Muhammad Harun (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), Juz. V, h. 56
58
Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah menerangkan bahwa makna qâtala
di dalam ayat adalah berperang. Beliau menambahkan, bahwa ada juga yang
membaca dengan qutila (terbunuh). Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ayat-
ayat Alquran-baik ayat ini maupun ayat lain- tidak ada yang menjelaskan berapa
orang di antara para Nabi tersebut yang berperang atau yang terbunuh.76
Selanjutnya, untuk dapat menangkap tema dan wacana yang terkandung di
dalam Alquran terjemahan Kementerian Agama, penulis akan menyajikannya
berdasarkan tema yang terkandung pada setiap kalimat dalam ayat yang telah
disebutkan.
Baik QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123 ini bercerita tentang kapan
peperangan tersebut dimulai dan harus dihentikan yaitu ketika tidak ada lagi
fitnah. Adapun yang dimaksud dengan fitnah adalah syirik dan penganiayaan.
Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, dalam
tafsirnya menjelaskan tentang surat al-Baqarah ayat 191 bahwa penggunaan kata
(Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menjumpai mereka, serta usirlah
mereka di mana mereka mengusir kamu) artinya di Mekah, dan ini telah dilakukan
oleh nabi terhadap mereka pada tahun pembebasan. Sedangkan fitnah itu, artinya
kesyirikan mereka (lebih berat), maksudnya lebih berbahaya (dari pembunuhan)
terhadap mereka, yakni di tanah suci atau sewaktu ihram yang mereka hormati itu.
(Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram), maksudnya di
tanah suci, (sebelum mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
76 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta:Lentera Hati, 2008), Cet. X, Vol. 2, h. 237
59
memerangi kamu) di sana, (maka bunuhlah mereka). Menurut satu qiraat tanpa
alif pada kata kerja yang tiga, 'wala taqtuluuhum, hatta yaqtuluukum fiih, dan fa-
in qataluukum'. (Demikianlah), maksudnya pembunuhan dan pengusiran (menjadi
balasan bagi orang-orang kafir).77
Kata qâtala, baik fi’il madhi maupun fi’l mudhâri’ di dalam surat al-
Baqarah ayat 191 dan al-Anfal:39 adalah bermakna perang. Di dalam ayat
sebelumnya Allah melarang untuk melampaui batas, maka di dalam ayat ini
dijelaskan apabila orang-orang kafir tersebut melampaui batas, maka
diperbolehkan untuk membunuh mereka. Maka dengan menggunakan fi’il amr,
Allah berfirman bahwa mereka (orang kafir yang memerangi Islam) boleh
dibunuh jika akan membunuh orang Islam, dan diusir, jika mengusir umat Islam.
Bahkan di Masjid al-Haram sekalipun, jika orang kafir memerangi di tempat itu,
maka diperbolehkan, bahkan Allah menyuruh untuk memerangi mereka.
Berangkat dari pemaparan tadi ada yang perlu diketahui yakni konteks
historis turunnya ayat ini dan kaitannya dengan perjanjain Hudaybiyyah. Setelah
Rasullah saw dan para sahabat menjaga Masjidil Haram, kemudian mereka
menyembelih hewan kurban di Hudaybiyyah dan berekonsiliasi dengan orang-
orang musyrik untuk kembali ke Masjidil Haram pada musim haji tahun
depannya. Pada tahun berikutnya, Nabi hendak melaksanakan “Umrah al-Qadha”
dan beliau khawatir tidak bisa memasuki Masjid al-Haram. Kemudian Allah
77 Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, TafsirJalalain, Pnrj. Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar, (Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1990)terjemahan dalam Alquran bahasa Indonesia oleh Lajnah Pentashih Alquran Kementerian AgamaRI.
60
menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memerangi mereka yang
memerangi Islam tapi jangan sampai melampaui batas.78
Penulis berpendapat, Allah memang tidak menyuruh umat Islam untuk
melakukan peperangan kecuali orang-orang yang memeranginya. Perintah ini
sudah jelas dan dijelaskan kembali pada ayat 192, “Tetapi jika mereka berhenti,
maka sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Kaitan
diturunkannya ayat ini juga saat bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah,
Muharram dan Rajab) di mana pada bulan ini umat Islam tidak diperbolehkan
berperang. Tapi kalau umat islam diserang maka diperbolehkan membalas
serangan itu di bulan itu juga.
Dari penjelasan tadi penulis melihat, walaupun peperangan itu suatu
kewajiban, pada waktu-waktu tertentu, seperti pada bulan haram (, kewajiban itu
tidak boleh dilakukan. Bahkan, Alquran menyatakan bahwa berperang pada bulan
itu termasuk kategori dosa besar. Mengenai perang, Alquran menggariskan
beberapa ketentuan, antara lain mengenai kapan perang dibolehkan, etika
peperangan seperti perlakuan terhadap tawanan perang- pemanfaatan harta
rampasan perang, dan kapan suatu peperangan harus diakhiri.
Tentang kapan perang dibolehkan, antara lain disebutkan sebagai berikut:
Pertama, perang boleh dilakukan untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh, seperti dinyatakan di dalam Surat al-Baqarah: 190. kedua, untuk
membalas serangan musuh, antara lain diungkap di dalam Surat al-Hajj: 39;
78 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, danMultikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 394.
61
ketiga, untuk menentang penindasan dikemukakan di dalam Surat al-Nisâ’: 75;
keempat, untuk mempertahankan kemerdekaan beragama, seperti tersurat di
dalam Surat al-Baqarah: 191; kelima, untuk menghilangkan penganiayaan,
dinyatakan pada Surat al-Baqarah: 193; Keenam, untuk menegakkan kebenaran,
misalnya pada Surat al-Taubah: 12.79
Allah swt juga telah berfirman untuk menghentikan perang apabila oaring-
orang kafir sudah tidak lagi memerangi kamu muslim dan hal ini tertuang dalm
surat an-Nisa: 90
نھم میثاق أو جاءوكم حصرت صدورھم أن یقاتلوكم أو إال الذین یصلون إلى قوم بینكم وبی
لسلطھم علیكم فلقاتلوكم فإن اعتزلوكم فلم یقاتلو كم وألقوا إلیكم یقاتلوا قومھم ولو شاء هللا
لم فما جعل هللا لكم علیھم سبیال الس
Terjemahan : Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada
sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu Telah ada perjanjian (damai) atau
orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. kalau Allah menghendaki, tentu
dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu Pastilah mereka
memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu
serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan
bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
79 Shihab, Vol. I, h. 460
62
Di dalam ayat ini pun kata yuqâtilu juga bermakna memerangi. Di sini
dijelaskan mereka-mereka yang tidak boleh diperangi diantaranya yaitu: orang-
orang kafir yang lari dari wilayah Islam sehingga mereka sampai pada suatu kaum
untuk meminta perlindungan dari kaum tersebut, yang antara kaum tersebut
dengan umat Islam telah ada perjanjian untuk tidak saling berperang/menyerang,
atau terhadap mereka yang merasa keberatan untuk memerangi umat Islam dan
dalam saat yang sama merekapun juga enggan memerangi kaumnya.80
b. Relasi kata Jihad dan Qitâl
Dari pemaparan akar kata qitâl tadi pada pembahasan kali ini ada perlunya
kita memahami akar kata dari jihad. Mengutip dari Ibnu Manzur dalam Lisan Al-
Arab, h. 239-241 akar kata jihad adalah al-juhd yang berarti daya, (al-thaqah),
kerja keras (al-masyaqqah), usaha (al-wus’u). Lalu kata tersebut bermetamorfosa
menjadi kata al-jihad yang berarti menghimpun upaya dan kekuasaan untuk
melawan musuh di medan perang. Tetapi di samping itu, jihad dalam arti fisik
juga berupaya menghimpun kekuatan untuk menjaga lisan dari hal-hal yang tidak
baik. Sedangkan bagi kalangan sufi, istilah jihad dikenal dengan upaya
membersihkan jiwa guna menghadapi Sang Pencipta, yaitu mujahadah wa
riyadhat al-nafs.81
80 Shihab, Vol. II, h. 546
81 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, danMultikulturalisme h. 390
63
Pada masa jahiliyah, kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki
konteks sosial sendiri. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata jihad lebih
mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al-
jihad fi al-‘amal (berkemampuan untuk bekerja), al-jihad fi al-mal
(berkemampuan harta benda), al-jihad fi al-fikr (berkemampuan berfikir).
Sedangkan penyandingan kata sabilillah pada jihad biasanya digunakan dalam
bentuk fi’il amr yaitu jaahadu fi sabilillah yang artinya adalah berjuang di jalan
Allah. Kata jaahada memiliki arti lil-musyarakah (bermakna saling). Beberapa
kata jihad yang memiliki makan berjuang atau atau berperang, adalah murni dari
kepentingan sosiologis zaman Rasul untuk saling memberikan ketenteraman dan
kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh kelompok lain (kafir Quraisy)82.
Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar
jahada yang kemudian menjadi kata “jihad”.83 Pengertian jihad juga akan berubah
bila melibatkan pembentukan kata yang masih berkaitan dengan jahada misalnya
istajhada dan ijtihad.
Jihad dalam Islam bukan bertujuan merampas harta, atau lainnya. Pada
hakikatnya, perang merupakan alternatif terakhir dalam dakwah. Perang dalam
Islam bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh dan menangkis tindakan yang melampaui batas dari musuh.84 Untuk
memperjelas subtansi jihad agar tidak diidentikan dengan aksi mengangkat
82 Muhammad Halaby Hamdy, Menyambut panggilan Jihad, (Yogyakarta: MadaniPustaka, 2000), h. 11
83 Muhammad Chirzin, Jihad dalam Alquran, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997), h. 19.
84 Muhammad Faiz al-Math, Keistimewaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.127
64
senjata, Alquran membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan
konsep jihad seperti pada pembahasan qital sebelumnya.
Jihad jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang lebih komprehensif, di
mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan
senjata. Namun, jihad dengan pengertian sempit ini, oleh Alquran dibatasi pada
saat-saat tertentu khususnya sebagai upaya dalam mempertahankan diri.85
Agaknya karena pengertian sisi sempit inilah yang secara keliru dianggap sebagai
ciri utama jihad yang mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat. Seperti
pandangan dunia Barat yang memandang Islam sebagai teroris, penuh dengan
kekerasan dan mengartikan jihad sebagai holy war (perang suci).86 Seperti halnya
berkaitan dengan Imam Samudra. Dalam buku “Aku Melawan Teroris”, jihad
merupakan terminologi Islam yang sering banyak dizhalimi. Ia sering
dipersepsikan sebagai perang, padahal konsep jihad lebih luas daripada sekadar
perang. Persepsi inilah yang menjadi kiblat oleh Imam Samudra dan kawan-
kawannya yang mengartikan jihad secara sempit sebagai perang atau qital untuk
menegakkan dan menyebarkan Islam kepada kaum kafir87
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menulis, bahwa perintah jihad kepaada
Nabi telah turun sejak periode Makkah. Jihad periode Makkah diwarnai dengan
jihad dakwah. Sedangkan jihad pada periode Madinah diwarnai dengan perang.88
85 Lihat kembali QS 2: 190-191
86 Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet. 2, h. 1087 Imam Samudera, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004) h. 108
88 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, al-Jihad Fil Islam Kaif Nafhamuh wa KaifNumarisuh ((Beirut, Darul-Fikr al-Mu’ashir, 1993), h.19. Dalam versi terjemahan Indonesiaberjudul Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001)
65
Kata jihad sendiri dalam Alquran telah disebutkan sebanyak 41 kali.89 Ayat-ayat
jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28 sebagai berikut; al-Baqarah/2: 218,
ali-Imran/3:142, an-Nisa/4: 95, al-Maidah/5: 35,54, al-Anfal/8: 72,74,75, at-
Taubah/9: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81 ,86,88, an-Nahl/16:110, al-Hajj/22:78, al-
Furqan/25 :52, al-Ankabut/29: 6,69, Muhammad/47:31, al-Hujurat/49:15, al-
Mumtahanah/60 :1, ash-Shaff/61:11, at-Tahrim/66:9.
Dalam rangka memanusiakan jihad, kajian fikih juga mempunyai beberapa
pandangan yang patut diperhatikan. Seperti pendapat Ibnu Rushd, pertama,
hukum jihad adalah fardl kifayah, artinya kewajiban jihad bukanlah kewajiban
individual, tetapi kewajiban yang bersifat kolektif. Kalau sebagian orang atau
kelompok sudah melakukan jihad, maka kelompok yang lain tidak wajib
melaksanakannya. Karena itu, dalam melaksanakan jihad harus menggunakan
konsensus.90
Pada hal ini, penjelasan Majelis Ulama Indonesia menjadi penting. Fatwa
MUI untuk mengharamkan bom bunuh diri dan terorisme merupakan sikap yang
tepat untuk memecahkan persoalan yang masuk dalam kategori fardl kifayah.
Sayang, fatwa MUI itu baru tersosialisasikan kepada publik pasca tewasnya
Azhari, yang diduga sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia. Fatwa semacam ini perlu disampaikan kepada publik, sehingga publik
89 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mujamul Mufahras li Alfazhil Quranil Karim (Kairo: Darul Hadist,1991), h. 232-233.
90 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, danMultikulturalisme h. 387. Zuhairi mengutip kembali, kitab Ibnu Rushd yang berjudul Biddyat Al-Mujtahid wa Nihayat Al-Muqtahsid, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, (Beirut: Cetakan II, 2004), h.347
66
bisa menentukan sikap, apakah sebuah kasus bisa dimasukkan dalam kategori
jihad?91
Kedua, jihad meniscayakan izin dari orang tua karena restu dari orang tua
merupakan prasyarat mutlak untuk bisa melakukannya. Artinya bila jihad
dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, maka dalam kaca mata hukum Islam,
hal tersebut tidak bisa disebut jihad. Rasullullah sendiri selalu menanyakan
kepada umatnya yang mau ikut berperang, “Apakah orang tuamu masih hidup?”
Jika orang tuanya masih hidup, Rasullulah berpesan, “Mintalah izin para
orangtuamu”.
Ketiga, jihad mempunyai sasaran yang ketat. Dalam perang, kalangan
perempuan, anak-anak, orang-orang usia lanjut dan pendeta tidak diperkenankan
untuk dibunuh. Maka jelas sudah ketika Islam menjelaskan konsep jihad
berdasarkan ayat dan hadis.
Dalam kaitannya dengan ayat-ayat qitâl tampaknya hal ini tidak terlepas dari
latar belakang sejarah dan perkembangan Islam itu sendiri. Jihad muncul ketika
Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas muslim dan non-
muslim. 92 Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam Alquran
juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan
bersenjata, utamanya terhadap orang-orang "kafir". Dengan demikian, menurut
pendapatnya Nur Khalik Ridwan bahwa jihad diperbolehkan untuk melawan
dengan fisik bila terjadi sebuah kekuatan luar yang mengganggu territorial
91 Ibid, h.38792 Jamal Albana, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj Kamran A
Insyadi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 91
67
Muslim atau territorial yang disepakati Muslim sebagai negeri perjanjian dengan
komunitas lain.93
Sementara penulis Indonesia lain yang membahas tentang jihad juga
berpandangan ke arah yang lebih konstruktif, seperti H.A.R Sutan Mansur yang
menekankan makna jihad di masa damai dalam konteks Indonesia merdeka, yakni
bekerja dengan sepenuh hati dilengkapi semangat yang dapat ditimbulkan oleh
ilmu dan tenaga benda.94Azra pun memiliki pandangan serupa bahwa kekerasan
atas nama jihad pada zaman sekarang ini sudah semakin tidak efektif dan
kontraproduktif.95
Hal senada juga dituturkan oleh Samsurizal Pangabean tentang konsep jihad
dalm Alquran yang berkorelasi dengan perang. Ia mencatat, ayat-ayat jihad yang
lebih awal diwahyukan mengiisyaratkan makna pengorbanan dan perjuangan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan yang tidak selalu berarti konfrontasi
fisik dengan musuh.96
Quraish Shihab pun berpendapat hal yang serupa bahwa jihad merupakan
salah satu persoalan umat. Demikianlah persoalan jihad memang memiliki
pengertian beragam. Jihad memberantas kebodohan, kemiskinan dan penyakit
merupakan perbuatan yang tak kalash pentingnya daripada mengangkat senjata.
93 Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003,h. 209.
94 H.A.R Sutan Mansur, Jihad (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982)
95 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996).
96 Samsurizal Pangabean, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika Nomor 4,1994, h. 93-99
68
Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan baik,
guru berjuang dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan
keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya dan seterusnya.97
4. Analisis Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis Van Dijk,pentingnya kognisi sosial yaitu adanya
kesadaran mental penulis yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada
dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan
tertentu atas suatu peristiwa. Namun dalam hal ini penulis membatasi analisis
kognisi berdasarkan pendekatan psikologis penerjemah. Penulis mempertanyakan
kembali kognisi lajnah pentashih Alquran Kementerian Agama, karena pada
dasarnya tim penerjemah memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh
ideologi yang didapatkan dari kehidupannya, layaknya seorang wartawan seperti
yang diungkapkan oleh Van Dijk.
Peristiwa dalam nash-nash Alquran mesti dipahami berdasarkan skema atau
model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara
pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Dalam hal ini Lajnah pentashih
memiliki kaidah dan prosedur dalam menyebarluaskan pemahaman Alquran yang
mudah dibaca dan dipahami dengan baik oleh masyarakat. Tentunya sebagai
institusi di bawah naungan Kementerian Agama, Lajnah Pentashih Mushaf
Alquran adalah lembaga pembantu Menteri Agama dalam bidang pentashihan
mushaf Alquran. Dasar hukum dibentuknya Lajnah adalah Peraturan Menteri
97 Ibid, h. 100
69
Muda Agama nomor 11 tahun 1959 tentang Lajnah.98. Namun yang menjadi
perhatian penulis adalah Alquran itu sendiri sebagai suatu nash yang memiliki
eksklusivitas.Eksklusivitas dalam hal ini dikatakan sebagai sebuah teks yang
diyakini memiliki kebenaran mutlak. Meskipun begitu, sebagai sebuah
terjemahan, nash keagamaan dalam pembahasan wacana jihad adalah hasil
reproduksi Lajnah Pentashih. Dalam kasus ini menurut pandangan penulis,
terjemahan Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih menghegemoni
konsumen terjemah Alquran Kemenag. Hegemoni yang dimaksud di sini adalah
Lajnah Pentashih memiliki aturan baku untuk mengontrol opini masyarakat
bahwa terjemahan Kemenag adalah yang paling mendekati kebenaran. Seperti
diungkapkan oleh Muchlis Hanafi, ia mengatakan asumsi MMI tentang
terjemahan Alquranterbitan Kemenag sebagai pemicu aksi terorisme, sangat
bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di antaranya,
mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam memahami
Alquran. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih banyak. Sedangkan
faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka umumnya anti
pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquranyang diterbitkan oleh pemerintah”.
Muchlis juga menambahkan bahwa Alquran memiliki dua makna, yaitu
makna primer dan makna sekunder. Makna primer Alquran adalah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa manapun, sedangkan makna sekunder adalah
makna tambahan yang dibangun karena karakteristik bahasa Arab dan bahasa
98 Lajnah Pentashih dari situs http://lajnah.kemenag.go.id/buku/unduh/category/14-pentashihan, artikel diakses pada tanggal 12 september 2014.
70
Alquran yang sulit diterjemahkan. Hal ini menimbulkan fakta bahwa tidak ada
terjemahan Alquran yang murni harfiyah. Oleh karena itu tim penyusun
terjemahan Alquran Kementerian Agama menggabungkan antara metode terjemah
harfiyah dengan terjemah tafsiriyah, yang dapat dilihat dari banyaknya kalimat di
dalam kurung dan footnote yang jumlahnya mencapai 930 buah.99
Sedangkan Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah
al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah
ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru
muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang
disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak
rasional”.100
Dari pendapat ini penulis melihat kognisi sosial yang memunculkan
terbentuknya eksklusivitas pada Lajnah Pentashih Alquran Kemenag.
Eksklusivitas di sini merupakan proses yang bergerak simultan antara produsen
teks (Lajnah Pentashih) dengan konsumennya (pembaca terjemahan Alquran).
Lajnah Pentashih menurut penulis telah membangun jalan legitimasi seperti
sakralisasi duplikat (terjemahan).
Peraturan Lajnah Pentashih (pemerintah) menuntut kepatuhan masyarakat
yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat dalam
99 Kemenag RI http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.phpKemenag Bantah Terjemahan Alquran Picu Aksi Terorisme Akses pada tanggal 3Agustus 2013.
100 Ibid
71
mempertanyakan makna-makna Alquran. Jadi terjemahan Alquran yang
transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian
masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi
Kemenag ditangkap dengan beberapa alasan pendukung; pertama, terjemahan
Alquran versi Kemenag merupakan versi resmi yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Kedua, peraturan negara menuntut kepatuhan, dan kontrol terhadap
terjemahan, seperti halnya sebelum penerbit melakukan cetak ulang Alquran
wajib mengajukan pentashihan ulang dan mendapatkan izin dari Lajnah
Pentashihan Mushaf Alquran. Ketiga, produk terjemahan ikut menjadi sakral
karena teks yang diterjemahkannya merupakan ‘kebenaran mutlak’. Inilah yang
kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran menjadi bernilai mitis dan sakral.
Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan qadim dari teks Alquran berbahasa
Arab di lauh mahfuz, senantiasa hidup dalam budaya kita. Hal ini terjadi karena
wacana keagamaan direproduksi terus-menerus melalui media informasi seperti di
masjid-masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio dan televisi, simposium
dan seminar-seminar. Disamping itu buku-buku dan karya-karya terbitan individu
maupun kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan berpikir ideologis
dalam setiap momen keagamaan ataupun lainnya.101
Selanjutnya dalam pemahaman Nasr Hamid, dikatakan bahwa gagasan mitis
pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan dan kemanusiaan, saksral dan
profan di dalam struktur teks. Ini membuka lebar kemungkinan penyelewengan
101 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, as-Shulthah, al-Hakikah,Pnrj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 139.
72
penakwilan teks dengan melompati sebagian konteks atau keseluruhannya.
Dengan begitu teks menjadi suaka (payung pelindung) untuk memproduksi
berbagai ideologi. Karena dalam setiap situasi, teks keagamaan menjadi objek
(maf’ul bih) dan ideologi menjadi subjek (fa’il). Artinya, pembentukan ideologi
terjadi melalui bahasa teks, sehingga menyandang watak agama. Hal ini memberi
arti bahwa metode penakwilan tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan
berbagai konteksnya, tetapi juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya
dengan kedok agama itu sendiri.102
Dengan kata lain kognisi Lajnah Pentashih yang dimunculkan dari berbagai
peraturan yang dibuat adalah sebuah bentuk otorisasi nash-nash kegamaan.
Meskipun satu-satunya otoritas yang mengatur perihal Alquran, dibentuknya
Lajnah Pentashis dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam memelihara kitab
suci yang shahih dan dapat dipahami oleh masyarakat.103
5. Analisis Konteks Sosial Terjemahan Ayat-ayat Jihad
Analisis sosial (konteks sosial) berkitan dengan hal-hal yang memengaruhi
pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial
tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti.
102 Abu Zaid, Teks, Otoritas Kebenaran, h. 139-140.
103 Lihat kembali Visi Misi Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kemenag RI pada situshttp://lajnah.kemenag.go.id/
73
Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan
komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam
situasi bagaimana, apa mediumnya dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam
analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada
konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat
memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana.
Dalam konteks peristiwa terjemahan ayat-ayat Jihad Kemenag ini yang
menjadi komunikator dan komunikannya adalah Lajnah Pentashih Mushaf
Alquran Kemenag RI dan masyarakat (pembaca ayat-ayat jihad). Di dalam
masyarakat sendiri terdapat berbagai kelompok ideologis yang masing-masing
memiliki cara pandang berbeda terhadap teks Alquran (fundamentalis dan
rasionalis). Kedua elemen komunikasi ini masing-masing memiliki latarbelakang
keilmuan dalam memahami wacana kekinian tentang kasus-kasus terorisme.
Lajnah Pentashih dan Mushaf Alquran menjadi medium terciptanya wacana di
samping pemberitaan seputar terorisme yang selalu menjadi perbincangan hangat
di media massa.
Penulis menganalisis konteks sosial ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Praktik Kekuasaan
Konstruksi praktik kekuasaan dalam terjemahan ayat-ayat jihad ini adalah
Lajnah Pentashih Alquran yang memiliki otoritas lebih besar dalam melegalkan
terjemahan Mushaf Alquran yang diterbitkan oleh tiap penerbit buku. Tentunya
74
sebagai masyarakat pembaca, kelompok-kelompok ideologis secara tidak
langsung terpengaruh oleh konstruksi terjemahan Alquran yang disajikan oleh
Lajnah Pentashih. Seperti yang dikatakan oleh Mustafa Ya’kub:
Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an
berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak
tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar
tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan
sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”.
Dari pernyataan paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik otorisasi teks
terjemahan menjadi suatu kebenaran absolut mengenai kualitas terjemahan
mushaf Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih. Karena sebagai
otoritas yang berwenang mengatur terbitnya terjemahan Alquran, Lajnah
Pentashih dapat saja menghentikan peredaran Alquran terjemahan sebuah penerbit
bila tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Lajnah Pentashih Kemenag
RI.
b. Akses Memengaruhi Wacana
Dalam hal memengaruhi wacana, tentu saja Lajnah Pentashih memiliki
dominasi besar di dalamnya. Sebuah terjemahan mushaf Alquran yang dibaca oleh
pembaca tentunya memiliki metode tersendiri dalam penyusunan terjemahannya.
Metode terjemahan secara harfiah dan tafsiriyah yang dipakai turut memberikan
pemahaman kepada pembaca mengenai cara berpikir dan bersikap. Hal ini yang
75
kemudian mempengaruhi pembaca menjadi kritis, eksklusif, diskriminatif, bahkan
intimidatif seperti halnya kasus Imam Samudra.
Ketersajian informasi pada media pembawa terjemahan seperti dalam buku-
buku, televisi, internet maupun dialog publik terhadap terjemahan semakin
menguatkan wacana ayat-ayat jihad yang memiliki signifikansi terorisme. Dari
proses ini terjadi dialektika terjemahan Alquran yang bersifat ideologis dan
propagandis. Di sinilah teks propagandis (ayat-ayat jihad) mengandalkan
eksploitasi sebagian besar aspek pengetahuan positif dari sistem bahasa.
Sementara di sisi lain dalam pembentukan pemahaman pembaca diperlukan suatu
kejernihan pesan dan kejernihan makna agar maksud dalam terjemahan tersebut
tersampaikan. Sedangkan pada teks-teks yang propagandis telah membungkam
pihak pembaca dari segala bentuk kritisisme. Dan di antara kedua tipe teks-teks
yang berlawanan itu terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang
sebenarnya, di mana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi
yang mencerminkan aspek epistemologi sementara aspek ideologinya muncul
melalui sistem teks.104
Nasr Hamid mengatakan pula bahwa perbedaan antara sistem bahasa dengan
sistem teks inilah yang menetukan pesan. Perbedaan tersebut pada dasarnya
muncul dari ideologi pengirim. Sedangkan dari pihak penerima sistem bahasa
mencerminkan kerangka penafsiran pesan, sementara sistem teks (makna)
mencerminkan fokus penilaian karena ideologi penerima turut terlibat untuk
104 Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, Penerjemah Khoiron Nahdiyyin(Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 25-26
76
menilai dan memutuskan.105 Kesimpulannya sebuah pesan teks merupakan
perpaduan dan hasil negosiasi kedua pihak, pengirim dan penerima. Sementara
hasil pesannya ditentukan oleh kualitas hubungan komunikasi keduanya, yakni
tergantung apakah komunikasi berlangsung dengan sehat atau tidak. Dialog yang
seimbang atau tidak untuk menghasilkan titik temu.
105 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan dan menganalisis hasil terjemahan ayat-ayat jihad
oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kementerian Agama RI, penulis
menyimpulkan bahwa ternyata jelas ayat-ayat qital sering disalahpahami
sebagai ayat-ayat jihad. Pengertian jihad yang sesungguhnya mengalami
pergeseran makna akibat persepsi ideologis pembaca dalam memahami
ayat-ayat perang (qital). Ditambah lagi adanya kasus-kasus terorisme
semakin membawa terminologi jihad ke arah negatif seperti pada kasus
Imam Samudra.
Sebagai sebuah ilmu yang berkaitan dengan linguistik dan terjemah,
analisis wacana dan terjemah merupakan disiplin lmu yang dapat dijadikan
pegangan untuk mendapatkan makna dan penyelesaian masalah di dalam
tataran sosial masyarakat. Pemahaman terhadap wacana akan menjadi
sebuah pengetahuan baru dalam memahami terjemahan yang disajikan
oleh Lajnah Pentashih Alquran Kemenag RI. Dengan menggunakan
analisis Van Dijk maka:
1. Struktur makro, dapat menyajikan gambaran global tentang suatu
wacana yang berkembang di masyarakat. Ditinjau dari fragmen ayat-
78
ayat jihad tidak hanya koheren pada tingkat lokal teks, tetapi juga pada
tingkat global (wacana).
2. Struktur Supra, sebagai sebuah skema telah memberikan pijakan dalam
memahami pergulatan wacana terjemahan ayat-ayat jihad dari masing-
masing kelompok ideologis.
3. Strutur mikro telah memberikan jawaban dari ketiga fragmen ayat-ayat
jihad yang disajikan melalui telaah semantik historis. Hasilnya adalah
terdapat perbedaan makna antara jihad dan perang (qital).
4. Kognisi Sosial dan konteks sosial yang tersaji pada hasil terjemahan
Lajnah Pentashih memberikan kesadaran bahwa terdapat suatu sistem
kuasa yang mengatur peredaran terjemahan Alquran di masyarakat.
Sebagai lembaga otoritas, Lajnah Pentashih menyajikan terjemahannya
sebagai satu-satunya terjemahan yang paling mendekati kebenaran dan
bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Sedangkan wacana yang
berkembang (konteks sosial) dalam analisis ini adalah tudingan
Majelis Mujahidin Indonesia terhadap buruknya kualitas terjemahan
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kementerian Agama RI.
B. Saran
Mencermati wacana jihad dan terorisme tersebut, penulis ingin
memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada
suatu cita-cita agar kualitas keterpahaman pada ayat-ayat jihad dan qital bisa
dipahami dengan mudah oleh pembacanya.
79
1. Baca kembali Alquran, hadis dan berbagai pengetahuan sosial lainnya.
Karena memahami Islam tidak bisa secara dogmatis, khususny tentang
pemahaman agama yang menjelaskan ayat-ayat jihad dan wacana
terorisme di masyarakat.
2. Penerjemah tidak cukup sekadar pengalih bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Penerjemah pula dalam hal ini dituntut untuk memainkan
peran dalam mengetahui berbagai wawasan artinya sebagai subjek
sosiologis, politis, filosofis, ekonomis maupun beragam ilmu lainnya.
Artinya, penerjemah dituntut untuk melek pengetahuan. Terlebih lagi
era akses keterbukaan informasi semakin mudah. Hal ini adalah
peluang dalam memahami kembali berbagai kebudayaan lain melalui
terjemahan.
3. Adakan kembali dialog antara Lajnah Petashih Alquran Kemenag RI
dengan masyarakat untuk membahas kualitas terjemahan. Semakin
sering diadakan dialog maka akan semakin baik pula kualitas
terjemahan Alquran dan tentunya tingkat keterpahaman dalam
membaca Alquran akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
A’la Abd, Melampaui Dialog Agama (Jakarta, Kompas: 2002).
Abas, Nasir, Membongkar Jamaah Islamiyyah (Jakarta: Grafindo, 2005).
Abu Zaid, Nasr Hamid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, as-
Shulthah, al-Hakikah Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS,
2012).
Albana, Jamal, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj
Kamran A Insyadi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar,
(Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001).
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996).
Borradori, Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen
Habermas dan Jacques Derrida, Penerjemah St Sunanrdi (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2005).
Chirzin, Muhammad, Jihad dalam Alqur.an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997).
Choiri Fauzi, Arifatul, Kabar-kabar Kekerasan Dari Bali, (Yogyakarta: Lkis),
2007.
Dijk, Teun Adrianus Van, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global
Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 1980).
____________________. Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse,
1995) Vol. 1
_____________________. Discourse and society: Vol 4 (2). (London: Newbury
Park and New Delhi: Sage, 1993)
_____________________. Text and Context. Explorations in the semantics and
pragmatics of discourse ( Published in the United States of America by
Longman Inc., New York) cetakan ke-6.
E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), cet. ke-2.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta:
LKIS).
Faiz al-Math, Muhammad, Keistimewaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
1995).
Halaby Hamdy, Muhammad, Menyambut panggilan Jihad, (Yogyakarta: Madani
Pustaka, 2000).
Hendropriyono AM, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Jakarta: Paramadina,1996).
Homaidi, Hamid, dalam jurnal Memutus Mata Rantai Radikalisme dan
Terorisme. (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010).
Jurgensmeyer, Mark, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global KekerasanAgama, Penerjemah M Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002).
Kemenag RI, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia
(Bandung: Sigma Eksa Media, 2009).
Khalik Ridwan, Nur, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2003.
Kridalaksana Harimurti, Kamus Linguistik. (Jakarta: Gramedia, 1984).
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta:
eLSAQ), 2003.
Loqman, Loebby, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara Indonesia,(Jakarta: universitas Indonesia,1990).
Masdar, Umaruddin, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam
Liberal (Yogyakarta; Klik.R, 2003).
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007).
Moeliono A. M. (1989) Kembara Bahasa. Jakarta, Gramedia.
Muzakky Ahmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UIN-
Malang Press, 2007).
Pangabean, Samsurizal, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika
Nomor 4, 1994.
Praptomo, Baryadi, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.(Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002).
Ratih Rina, “Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra,” dalam
Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia,2001).
Rosidi, Sakban Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian
Wacana, Universitas Islam Negeri Malang 2007.
Samudera Imam, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004).
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,(Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. X, Vol. 2.
Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framming, (Bandung: Rosdakarya, 2001).
Suhendra, Yusuf, Teori Terjemah, (Bandung: Mandar Maju, 1999)
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia. (Jakarta: Humaniora, 2005).
Tedjoworo H., Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodernisme,
(Yoyakarta; Kanisius, 2001).
Wahid, Abdul dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
(Bandung: Refika Aditama, 2004).
Wahid, Abdurrahman, Islam Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Internet:
Kemenag RI, http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php Apologi
Terjemah, Kementerian Agama RI.
Lajnah Pentashih, http://lajnah.kemenag.go.id/buku/unduh/category/14-pentashihan pada tanggal 12 september 2014.