i
SKRIPSI
NOVEMBER 2017
KARAKTERISTIK ANTIBIOTIK UNTUK TERAPI PADA PASIEN INFEKSI
SALURAN KEMIH DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN PERIODE JANUARI 2016 – JULI 2017
Oleh
M. Shulfie Asadul J.
C 111 14504
Pembimbing
dr. Yanti Leman, Sp.KK, M.Kes.
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Kedokteran
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis diberi kesempatan dan kemudahan untuk
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Antibiotik untuk Terapi pada
Pasien Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
Periode Januari 2016 – Juli 2017”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah atas
junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW, sebagai suri tauladan dalam kehidupan
ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari tentu masih banyak kekurangan
dan kelemahan, hal tersebut karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki, namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan memberikan yang
terbaik. Diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin
terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, Tuhan yang memberikan kekuatan dan kemudahan kepada
penulis.
2. Ayah dan Ibu penulis, yang tiada henti mendukung dan mendoakan yang
terbaik untuk penulis.
vii
3. dr. Yanti Leman, Sp.KK, M.Kes., selaku pembimbing, yang senantiasa
memberikan arahan dan bantuan kepada penulis, mulai dari penentuan judul
proposal hingga penyusunan skripsi ini.
4. Dosen dan Staff Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin atas bantuan dan arahannya.
5. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, para wakil dekan, staf
pengajar dan seluruh pegawai yang telah memberikan bantuan kepada penulis
selama mengikuti pendidikan preklinik.
6. Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin, para wakil
direktur, dan seluruh staff khususnya Bagian Penyimpanan Rekam Medik atas
bantuannya untuk meneliti dan mengumpulkan data yang dibutuhkan.
7. Rekan-rekan mahasiswa sejawat yang telah banyak memberi bantuan selama
penulis berada di tingkat preklinik, serta semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang telah terlibat dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran maupun masukan yang bersifat membangun
dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Makassar, November 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ ....i
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN .................................................... ...ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ..iii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ..vi
DAFTAR ISI ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................ ..xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ .xii
ABSTRAK ............................................................................................ xiii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................ 4
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................ 4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................ 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) ............................................... 6
2.1.1. Definisi ....................................................................... 6
2.1.2. Etiologi ....................................................................... 6
2.1.3. Patogenesis ................................................................. 7
2.1.4. Klasifikasi ................................................................... 10
2.1.5. Manifestasi Klinis ....................................................... 12
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis .............................. 12
2.1.7. Terapi ......................................................................... 14
2.1.8. Komplikasi ................................................................. 15
ix
2.1.9. Prognosis .................................................................... 16
2.2. Antibiotik ........................................................................... 17
2.2.1. Definisi ...................................................................... 17
2.2.2. Penggolongan Antibiotik............................................ 17
2.2.3. Resistensi Antibiotik .................................................. 23
2.2.4. Penggunaan Antibiotik yang Rasional ........................ 23
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL
3.1. Dasar-Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ................. 25
3.2. Kerangka Konsep ............................................................ 26
3.3. Definisi Operasional ........................................................ 26
3.3.1. Jenis Obat Antibiotik.................................................. 26
3.3.2. Golongan Antibiotik................................................... 26
3.3.3. Pasien Infeksi Saluran Kemih ..................................... 26
BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian............................................................. 28
4.2. Lokasi Penelitian ............................................................. 28
4.3. Waktu Penelitian ............................................................. 28
4.4. Populasi dan Sampel Penelitian ....................................... 29
4.4.1. Populasi Penelitian................................................... 29
4.4.2. Sampel Penelitian .................................................... 29
4.4.3. Cara Pengambilan Sampel ....................................... 29
4.5. Kriteria Seleksi................................................................ 29
4.5.1. Kriteria Inklusi......................................................... 29
4.5.2. Kriteria Eksklusi ...................................................... 30
4.6. Jenis Data dan Instrumen Penelitian ................................ 30
4.6.1. Jenis Data ................................................................ 30
4.6.2. Instrumen Penelitian ................................................ 30
4.7. Manajemen Penelitian ..................................................... 30
x
4.7.1. Pengumpulan Data ................................................... 30
4.7.2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................... 31
4.7.3. Penyajian Data ......................................................... 31
4.8. Etika Penelitian ............................................................... 31
BAB 5. HASIL PENELITIAN
5.1 Distribusi jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK .... 32
5.2 Distribusi golongan antibiotik untuk terapi ISK ................ 34
BAB 6. PEMBAHASAN
6.1 Distribusi jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK .... 36
6.2 Distribusi golongan antibiotik untuk terapi ISK ................ 38
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ...................................................................... 40
7.2 Saran ................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 42
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 5.1 Distribusi Penggunaan Jenis Obat Antibiotik
untuk Terapi ISK .................................................................... 32
Tabel 5.2 Distribusi Penggunaan Golongan Antibiotik
untuk Terapi ISK .................................................................... 34
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Data Penelitian
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data Kepada
Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
Lampiran 3 Rekomendasi Persetujuan Etik
Lampiran 4 Surat Pengantar untuk Melakukan Pengambilan Data dari Bagian Diklit
untuk Bagian Penyimpanan Rekam Medik Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin
Lampiran 5 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Pengambilan Data di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
Lampiran 6 Berita Acara Pelaksanaan Kegiatan Ujian Mata Kuliah Skripsi
Lampiran 7 Riwayat Hidup Penulis
xiii
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN, UNIVERSITAS HASANUDDIN
November 2017
M. Shulfie Asadul J. (C11114504)
dr. Yanti Leman, Sp.KK, M.Kes.
KARAKTERISTIK ANTIBIOTIK UNTUK TERAPI PADA PASIEN INFEKSI
SALURAN KEMIH DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN PERIODE JANUARI 2016 – JULI 2017.
(xvi + 44 Halaman + 7 Lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel
urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena
masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin.
ISK yang terjadi di rumah sakit sebagian besar disebabkan oleh Escherichia coli, di
samping itu juga disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter,
Acinobacter, dan Staphylococcus aureus. Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama
dalam pengobatan infeksi saluran kemih. Pemilihan antibiotik berdasarkan indikasi
yang tepat, menentukan dosis, cara pemberian, lama pemberian, maupun evaluasi efek
antibiotik. Pemakaian dalam klinik yang menyimpang dari prinsip dan pemakaian
antibiotik secara tidak rasional akan membawa dampak negatif dalam bentuk
meningkatnya resistensi, efek samping dan pemborosan.
Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik antibiotik untuk terapi pada pasien infeksi
saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari
2016 - Juli 2017.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, dilakukan di Bagian Penyimpanan Rekam
Medik Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada Bulan Oktober 2017. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien infeksi saluran kemih yang dirawat di Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin dari Januari 2016 – Juli 2017, baik rawat jalan
maupun rawat inap. Dengan menggunakan teknik total sampling kemudian meneliti
variabel berupa jenis obat dan golongan antibiotik yang digunakan untuk terapi pasien
ISK. Hasil penelitian diolah menggunakan program Microsoft Excel 2013 serta
disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi disertai penjelasan.
Hasil: Penggunaan jenis obat antibiotik terbanyak untuk terapi ISK yaitu ciprofloxacin
sebanyak 91 sampel (49.46%), diikuti levofloxacin sebanyak 33 sampel (17.94%).
Sedangkan penggunaan golongan antibiotik terbanyak untuk terapi ISK yaitu golongan
kuinolon sebanyak 124 sampel (67.40%), diikuti golongan sefalosporin sebanyak 42
sampel (22.82%).
xiv
Kesimpulan: Untuk terapi pasien ISK di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin, penggunaan jenis obat antibiotik terbanyak yaitu ciprofloxacin,
sedangkan penggunaan golongan antibiotik yang terbanyak yaitu golongan kuinolon.
Kata Kunci: Infeksi saluran kemih, antibiotik.
Daftar Bacaaan: 21 (1982 – 2016)
xv
THESIS
Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
FACULTY OF MEDICINE, UNIVERSITY HASANUDDIN
November 2017
M. Shulfie Asadul J. (C11114504)
dr. Yanti Leman, Sp.KK, M.Kes.
ANTIBIOTIC CHARACTERISTICS FOR THERAPY IN PATIENTS WITH
URINARY TRACT INFECTIONS AT RUMAH SAKIT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN FROM JANUARY 2016 - JULY 2017.
(xvi + 44 Page + 7 Attachments)
ABSTRACT
Background: Urinary tract infection (UTI) is an inflammatory reaction of urothelium
cells lining the urinary tract, as a form of defense caused by the entry of bacteria into
the urinary tract and multiplies in the urine. Most hospital UTIs are caused by
Escherichia coli, as well as Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter, Acinobacter, and
Staphylococcus aureus. Use of antibiotics is the primary choice in the treatment of
urinary tract infections. Selection of antibiotics based on appropriate indications,
determining the dosage, mode of administration, duration of administration, or
evaluation of antibiotic effects. Use in clinics that deviate from the principle and use
of antibiotics irrationally will bring a negative impact in the form of increased antibiotic
resistance, side effects and drug wastage.
Objective: The purpose of this study is to know the characteristics of antibiotics for
therapy in patients with urinary tract infections at Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin from January 2016 - July 2017.
Method: This study is descriptive, conducted at Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin in October 2017. The population in this study were all urinary tract
infection patients treated at Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin from
January 2016 - July 2017, both outpatient as well as hospitalization. Using the total
sampling technique then examined the variables in the form of antibiotic drug and
antibiotic groups used for UTI therapy. The results are processed using Microsoft Excel
2013 program and presented in the form of distribution tables with explanations.
Result: The most use of antibiotic drug for UTI therapy was ciprofloxacin with 91
samples (49.46%), followed by levofloxacin with 33 samples (17.94%). While the most
use of antibiotic groups for UTI therapy was quinolone groups with 142 samples
(67.40%), followed by cephalosporin group with 42 samples (22.82%).
xvi
Conclusion: For UTI therapy at Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin, the
most use of antibiotic drugs is ciprofloxacin, while the most use of antibiotic groups is
quinolone groups.
Keywords: Urinary tract infections, antibiotics.
Reading List: 21 (1982 - 2016)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang permasalahan
Di Indonesia kasus-kasus penyakit yang disebabkan oleh infeksi sering
diderita oleh masyarakat, salah satu infeksi yang diketahui adalah infeksi organ
urogenitalia. Infeksi organ urogenitalia terdiri dari infeksi ringan yang baru
diketahui pada saat pemeriksaan urin maupun infeksi berat yang dapat
mengancam jiwa. Adapun penyebab terjadinya infeksi organ urogenitalia
adalah mikroorganisme, faktor higienitas, perilaku masyarakat yang kurang
baik terhadap kesehatan diri. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu
infeksi organ urogenitalia (Basuki, 2003).
ISK adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih,
sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam
saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin. Infeksi pada saluran
kemih dapat menjalar sampai ke organ-organ genitalia bahkan sampai ke ginjal.
ISK juga merupakan salah satu jenis infeksi nosokomial yang paling sering
terjadi sekitar 40% dari seluruh infeksi pada rumah sakit setiap tahunnya. Lebih
dari 25% perempuan akan mengalami paling tidak satu kejadian ISK selama
masa kehidupannya (Tietjen, 2004).
ISK dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga
orang tua. Pada masa neonatus ISK banyak terjadi pada bayi laki-laki sebesar
1-2% daripada bayi perempuan. Pada anak remaja usia 5-18 tahun, ISK dapat
2
terjadi pada perempuan sebesar 1,2% sedangkan pada laki-laki sebesar 0,03%.
Pada laki-laki usia diatas 60 tahun terjadinya ISK sering disertai dengan
kelainan struktur maupun fungsi dari organ-organ saluran kemihnya.
Terjadinya ISK di rumah sakit sebagian besar disebabkan oleh penggunaan
kateter. Kebanyakan kasus ISK dapat meningkatkan resiko kerusakan ginjal
yang irreversibel dan juga peningkatan resiko bakteremia akan terjadi ketika
ISK mengenai ginjal (Hvidberg, 2000).
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, terbanyak adalah bakteri. Penyebab lain meskipun jarang
ditemukan adalah, virus, klamidia, parasit, mikobakterium. Didasari hasil
pemeriksaan biakan air kemih kebanyakan ISK disebabkan oleh bakteri gram
negatif aerob yang biasa ditemukan di saluran pencernaan
(Enterobacteriaceae), dan jarang disebabkan oleh bakteri anaerob (Carson,
1982).
Bakteri patogen penyebab ISK kurang lebih sebanyak 80-90% adalah
Escherichia coli, dan 5-20% adalah Staphyloccocus saprophyticus yang sering
ditemukan juga pada wanita muda, serta Proteus mirabilis, Klebsiella, dan
Enterococcus faecalis. ISK yang terjadi di rumah sakit sebagian besar
disebabkan oleh Escherichia coli, di samping itu juga disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter, Acinobacter, dan Staphylococcus
aureus (Douglas, 1995).
Penggunaan antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi
saluran kemih. Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal memerlukan
pengertian dan pemahaman mengenai bagaimana memilih dan memakai
3
antibiotik secara benar. Pemilihan berdasarkan indikasi yang tepat, menentukan
dosis, cara pemberian, lama pemberian, maupun evaluasi efek antibiotik.
Pemakaian dalam klinik yang menyimpang dari prinsip dan pemakaian
antibiotik secara tidak rasional akan membawa dampak negatif dalam bentuk
meningkatnya resistensi, efek samping dan pemborosan (Kristin, 1990).
Idealnya antibiotik yang dipilih untuk pengobatan infeksi saluran kemih
harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: dapat diabsorpsi dengan baik,
ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta
memiliki spektrum terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai. Secara
keseluruhan, patogen penyebab infeksi saluran kemih masih sensitif terhadap
kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) walaupun kejadian
resistensi di berbagai tempat telah mencapai 22%. Pemilihan antibiotik harus
disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan
riwayat antibiotik yang digunakan pasien (Coyle, 2005).
Berdasarkan uraian diatas, disebutkan bahwa pemilihan antibiotik
merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian
untuk mengetahui karakteristik antibiotik untuk terapi pada pasien infeksi
saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka penulis berniat
mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah karakteristik
antibiotik untuk terapi pada pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016-Juli 2017”.
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik antibiotik untuk
terapi pada pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 - Juli 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Mengetahui distribusi jenis obat dan golongan antibiotik yang
digunakan untuk terapi ISK pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017.
b. Mengetahui distribusi jumlah pasien ISK yang dirawat di Rumah
Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli
2017.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Diperolehnya informasi mengenai karakteristik antibiotik untuk terapi pada
pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin periode Januari 2016 - Juli 2017.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, khususnya
untuk instansi kesehatan demi meningkatkan mutu kesehatan. Diharapkan
pula berkurangnya kasus infeksi saluran kemih pada masyarakat.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dan
dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bacaan serta acuan rujukan bagi
5
penelitian mendatang mengenai antibiotik untuk terapi infeksi saluran
kemih.
4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai
prevalensi kejadian infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Kemih (ISK)
2.1.1 Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel urotelium
melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang disebabkan karena
masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan berkembang biak di dalam
media urin. ISK merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan
mikroorganisme dalam urin. Adanya bakteri dalam urin disebut bakteriuria.
Bakteriuria bermakna meunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih
dari 105 colony forming units (CFU) pada biakan urin (Basuki, 2003).
2.1.2 Etiologi
Escherichia coli (E. Coli) merupakan penyebab tersering ISK (80-90%).
Pada bayi baru lahir (0-28 hari), infeksi diperantarai oleh aliran darah.
Sedangkan setelah usia itu, ISK umumnya terjadi akibat naiknya bakteri ke
saluran kemih. Selain E. Coli kuman lain yang ditemukan sebagai penyebab
ISK adalah Klebsiella, Proteus mirabilis, Pseudomonas, Enterococcus,
Staphylococcus saprophyticus, dan lain-lain. Proteus mirabilis selain
menyebabkan infeksi, bakteri ini juga mengeluarkan zat yang dapat
memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih (Macfarlane, 2006).
Selain bakteri, mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah
jamur seperti Candida albicans yang umumnya menginfeksi pasien melalui
kateter. Sebagian besar ISK tidak dihubungkan dengan faktor risiko tertentu
(Tjay, 2007).
7
Namun pada ISK berulang, perlu dipikirkan kemungkinan faktor risiko
seperti kelainan fungsi atau kelainan anatomi saluran kemih, gangguan
pengosongan kandung kemih (incomplete bladder emptying), konstipasi, serta
gangguan sistem imun (Neal, 2006).
2.1.3 Patogenesis
Penyebab terbanyak infeksi saluran kemih adalah Escherichia Coli.
Biasanya, E. Coli bersimbosis saling menguntungkan dengan host dan
memainkan peran yang penting dalam menjaga kestabilan flora normal usus
dan mempertahankan homeostatis saluran cerna. Namun beberapa jenis E. Coli
dapat menimbulkan infeksi saluran kemih, terutama Uropatogenic E. Coli
(UPEC). UPEC dapat menyebabkan sistitis dan pielonefritis. Faktor virulensi
dari E. Coli yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih
terbagi menjadi 2 kelompok.
Faktor virulensi yang berhubungan dengan permukaan sel bakteri
Faktor permukaan virulensi UPEC mencakup tipe-tipe fimbrae yang
bersifat adhesi yang berbeda untuk merangsang perlekatan bakteri ke epitel
di saluran kemih. Gambaran molekul yang beradhesi ini sangat penting
dalam menentukan patogenisitas. Adhesi UPEC ini dalam cara yang
berbeda.
a. Jalur yang merangsang langsung host melalui sel bakteri.
b. Memfasilitasi pengiriman produk bakteri ke epitel saluran kemih.
c. Merangsang invasi bakteri.
Fimbrae tipe 1 termasuk faktor virulen pada infeksi saluran kemih hewan
percobaan. Namun, fungsinya dalam patologi manusia masih belum jelas
8
karena tidak ada perbedaan signifikan jumlah gen Fim diantara strain
virulen didalam saluran kemih.
Fimbrae P merupakan faktor virulen kedua tersering dari UPEC yang
memiliki peran penting dalam patogenesis infeksi saluran kemih atas dan
pielonefritis. Ini bertanggungjawab terhadap perlekatan ke mukosa dan
matriks jaringan dan terhadap produksi sitokin. Perlekatan fimbrae P ke
reseptor di epitel akan merangsang pengeluaran ceramide, yang berperan
sebagai agonis toll-like receptor 4 (TLR-4), terlibat dalam aktivasi dari
respon sel imun. Hal ini akan merangsang perkembangan dari inflamasi
lokal dan nyeri yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Pada
pasien dengan transplantasi ginjal, fimbrae P lebih banyak muncul sebagai
faktor virulen.
Fimbrae S dan F1C fimbrae juga terlibat dalam proses infeksi saluran
kemih. Kedua tipe fimbrae ini muncul melekat pada epitel dan sel endotelial
berasal dari saluran kemih bawah dan ginjal. Fimbrae S juga memfasilitasi
penyebaran pada jaringan host dan sering dihubungkan dengan strain E.
Coli yang menyebabkan sepsis, meningitis dan infeksi saluran kemih atas.
Faktor virulensi terdapat pada permukaan bakteri, kapsul dan
lipopolisakarida. Kapsul melindungi bakteri dari fagosit dan reaksi
komplement di didalam tubuh host akibat adanya bakteri. Lipopolisakarida
(LPS) merupakan salah satu komponen di dinding sel bakteri gram negatif.
LPS berfungsi untuk mengaktivasi respon host dan untuk merangsang
pengeluaran nitrit oksida dan sitokin. Flagella adalah organel yang
bertanggung jawab terhadap motilitas bakteri, terlibat dalam interaksi
9
berbagai jenis stain E. Coli yang patogenik dengan sel epitelial. UPEC yang
memiliki flagella menyebabkan 70-90% infeksi saluran kemih.
Faktor sekresi virulen
Toksin penting untuk menentukan keparahan virulensi penyakit.
Produksi toksin oleh kolonisasi E. Coli dapat menyebabkan respon
inflamasi, jalur yang mungkin untuk keluhan infeksi saluran kemih. Hal
yang paling penting dari faktor sekresi virulen pada E. Coli yang
uropatogenik adalah lipoprotein yaitu alfahaemolysin (HlyA), yang
dihubngkan dengan infeksi saluran kemih atas seperti pielonefritis. HlyA
adalah toxin yang membentuk pori (pore-forming) yang menyebar diantara
bakteri gram negatif.
Faktor pertahanan host
Faktor pertahanan tubuh secara normal akan mencegah terjadinya infeksi
saluran kemih. Aliran urin merupaka pertahanan pertama, berfungsi sebagai
pembilas atau pembersih saluran kemih. Urin memiliki fungsi mencegah
perlengketan bakteri pada epitel saluran kemih. Urin dengan pH yang
rendah, kandungan garam, urea, dan asam organik akan menurunkan jumlah
bakteri yang ada pada saluran kemih hingga tidak ada populasi bakteri.
UPEC memiliki kemampuan yang khas. UPEC memiliki fimbrae P dan
menghasilkan beberapa toksin seperti hemolisin, sitotoksik, dan faktor
nekrosis. Dengan adanya perubahan sekresi IgA dan faktor pertahanan
tubuh maka substrat dari bakteri yaitu UPEC, dengan bantuan fimbrae P
akan melekat ke epitel saluran kemih. Selanjutnya UPEC akan melakukan
kolonisasi. UPEC yang berkontak dengan epitel saluran kemih akan memicu
10
respon tubuh untuk melawan kolonisasi dengan mekanisme apoptosis dan
eksfoliasi dari epitel saluran kemih.
Apoptosis dari epitel saluran kemih akan mengirimkan IL-6 untuk respon
kerusakan jaringan dan memulai respon inflamasi. Selama berkoloni, UPEC
yang mampu bertahan terhadap eksfoliasi dan serbuan PMN akan
melakukan migrasi ke bagian vesika urinaria yang lebih tinggi dan memulai
infeksi pada bagian atas. Ketika di ginjal UPEC akan menghasilkan
hemolisin dan cytotoxic necroting factor. Kedua toksin ini akan
menyebabkan kerusakan jaringan di ginjal. Ginjal dan vesika urinaria
merupakan sumber utama dari IL-6 dan IL-8 selama infeksi saluran kemih
berlangsung (Stringer, 2006) (Kee, 1996).
2.1.4 Klasifikasi
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan
kelainan saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK
asimtomatik dan simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan
menjadi ISK atas dan ISK bawah, berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK
dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK kompleks.
ISK asimtomatik adalah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK simtomatik
yaitu terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik. Sekitar
10-20% ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik
berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang disebut dengan ISK
nonspesifik.
11
Membedakan ISK atas atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis dan
urethritis) sangat perlu karena risiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna
pada pielonefritis dan tidak pada sistitis, sehingga tata laksananya
(pemeriksaan, pemberian antibiotik, dan lama terapi) berbeda.
Untuk kepentingan klinik dan tata laksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK
simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK kompleks (complicated UTI). ISK
kompleks adalah ISK yang disertai kelainan anatomik dan atau fungsional
saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran baik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa refluks vesikoureter, batu saluran kemih,
obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli, neurogenik, benda asing, dan
sebagainya. ISK simpleks ialah ISK tanpa kelainan struktural maupun
fungsional saluran kemih.
National Institute for health and Clinical Excellence (NICE) membedakan
ISK menjadi ISK atipikal dan ISK berulang. Kriteria ISK atipikal adalah
keadaan pasien yang sakit berat, dieresis sedikit, terdapat massa abdomen atau
kandung kemih, peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak memberikan
respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta disebabkan oleh kuman non E.
Coli. ISK berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut
atau ISK atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu
atau lebih episode sistitis atau ISK bawah, atau 3 atau lebih episode sistitis atau
ISK bawah (Hadi, 2006).
12
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi. Pada
ISK bagian bawah, demam jarang melebihi 380C, biasanya ditandai dengan
nyeri pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frekuensi,
nyeri waktu berkemih, rasa tidak nyaman di suprapubik, urgensi, kesulitan
berkemih, retensio urin, dan enuresis. Pada ISK bagian atas dapat dijumpai
demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah,
diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri
pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial
fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan nefritis
bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar (Hadi, 2006).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
a. Analisis urin rutin
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria
(albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik urin.
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3 - 8,0. Bila bahan urin
masih segar dan pH > 8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran
kemih yang berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea
(ureasplitting organism). Albuminuria yang ditemukan pada ISK, sifatnya
ringan dan kurang dari 1 gram per 24 jam.
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar
(100x) dan sedimen urin dengan putar 2500x/menit selama 5 menit.
Pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria
13
>105 CFU per ml. Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-
85% dari pasien-pasien dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >105).
Kadang-kadang masih ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40%
pasien-pasien dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml
>101. Analisa ini menunjukkan bahwa piuria mempunyai nilai lemah untuk
prediksi ISK.
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas
100% untuk >50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk
12-20 leukosit, 44 % untuk 6-12 leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin
yang tidak disentrifuge dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara
langsung untuk melihat bakteri gram negatif dan gram positif. Sensitivitas
sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau
mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan
hasil positif palsu sebesar 10%.
b. Uji Biokimia
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat
menjadi nitrit dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji
biokimia ini hanya sebagai uji saring (skrining) karena tidak sensitif, tidak
spesifik dan tidak dapat menentukan tipe bakteriuria.
c. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU)
ml urin. Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK,
tindak lanjut selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi,
uji saring bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi.
14
Bahan contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau
disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin
tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml
>105 (2x) berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai
lekositouria > 10 per ml tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK
disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >105 dari aspirasi supra pubik.
Menurut kriteria Kunin yakni CFU per ml >105 (3x) berturut-turut dari
UTK (Sukandar, 2009).
d. Renal Imaging Procedures
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor
predisposisi ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen,
pielografi intravena, micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi
lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK
kambuh, pasien laki-laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria),
hematuria persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus
spp), serta ISK berulang dengan interval ≤ 6 minggu (Macfarlane, 2006)
2.1.7 Terapi
a. Infeksi saluran kemih atas (ISKA)
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan
rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral
minimal 48 jam. Indikasi rawat inap pada PNA antara lain kegagalan dalam
mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotik oral,
pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan, diperlukan
15
investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta
komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga
alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum
adanya hasil kepekaan biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan
atau tanpa ampisilin dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.
b. Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)
Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan,
pemberian antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk
alkanisasi urin dengan natrium bikarbonat 16-20 gram per hari.
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin,
ampisilin, penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid
cukup efektif tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan
nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum
diketahui hasil bakteriogram (Sukandar, 2009) (Macfarlane, 2006).
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana
(uncomplicated) dan ISK tipe berkomplikasi (complicated).
a. ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan
hamil pada umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan
tidak menyebablan akibat lanjut jangka lama.
16
b. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan
pasien dengan diabetes mellitus. Selain itu basiluria asimtomatik (BAS)
merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti penurun laju filtrasi glomerulus
(LFG).
Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies
kandida dan infeksi gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM.
Pielonefritis emfisematosa disebabkan oleh MO pembentuk gas seperti
E.coli, Candida spp, dan klostridium tidak jarang dijumpai pada pasien DM.
Pembentukan gas sangat intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis
disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering disertai syok
septik dan nefropati akut vasomotor. Abses perinefritik merupakan
komplikasi ISK pada pasien DM (47%), nefrolitiasis (41%), dan obstruksi
ureter (20%) (Sukandar, 2009).
2.1.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan
penyembuhan 100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika
yang diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui
atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK.
Pada pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat dan kedua
ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk
mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan
transplantasi dapat merupakan pilihan utama.
17
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna,
kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan.
Bila terdapat infeksi yang sering kambuh, harus dicari faktor-faktor
predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila diberikan antibiotik yang
intensif dan tepat serta faktor predisposisi mudah dikenal dan diberantas
(Macfarlane, 2006).
2.2 Antibiotik
2.2.1 Definisi
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan
atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (Sanjoyo, 2003).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat tersebut,
yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok antibiotik
(Sukandar, 2009).
2.2.2 Penggolongan Antibiotik
Penggolongan antibiotik secara umum dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Berdasarkan struktur kimia antibiotik
18
Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin,
sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik,
dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu
agen antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium
chrysognum.
Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh
jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa
dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di
dalam molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum
kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini
juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram-positif.
Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus
dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya
streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.
Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya
melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid
lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein
kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram
positif dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif
Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus
Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit
kelamin), dan beberapa protozoa (amoeba) lainnya. Contohnya
tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.
19
Antibiotik golongan sulfonamid dan trimethoprim, merupakan obat yang
mekanisme kerjanya menghambat sintesis asam folat bakteri yang
akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin dan DNA pada
bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoxazole (TMP-SMX)
merupakan pengobatan yang sangat efektif terhadap infeksi salmonela
sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi
mikobakterium non tuberculosis.
Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama
bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G.
Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau
sering dapat menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak
sering menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya
singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari.
Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces
lincolnensis. Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih
sempit daripada makrolida, terutama terhadap kuman gram positif dan
anaerob. Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila
terdapat resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.
Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat
bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap
enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan.
Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK)
tanpa komplikasi.
20
Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum
luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram
positif dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya
berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya
kloramfenikol. (Tjay, 2007).
b. Berdasarkan sifat toksisitas selektif
Ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan ada yang bersifat
bakterisid. Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri.
Sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Perbedaan ini biasanya
tidak penting secara klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat
dalam eliminasi akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi
infeksi pada pasien immunocompromised dimana menggunakan agen-agen
bakterisida.
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu
aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila
kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Neal, 2006).
c. Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik
dikelompokkan sebagai berikut :
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan
cara memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis
dinding sel. Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin,
21
sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding
sel lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau
bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa
mengganggu sel-sel normal dan menghambat tahap-tahap sintesis
protein. Obat- obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein
bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin,
klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan
bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh
karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat-
obat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B,
gramisidin, nistatin, kolistin.
Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat
seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi
asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para
amino benzoat), dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat
merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini
menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa-senyawa
antimikroba.
Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat
seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat
asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis
DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang
22
menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA
sehingga menghambat replikasi DNA (Stringer, 2006).
d. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut :
Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) contohnya seperti tetrasiklin
dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun
gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk
mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan
pembiakan dan sensitifitas.
Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama
efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan
eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat
selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal
tersebut daripada antibiotik berspektrum luas.
e. Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik
terhadap kuman yaitu :
Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya
bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar
Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin,
sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.
Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan
menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau
dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini
23
dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida,
fluorokuinolon, dan ketolid (Kee, 1996).
2.2.3 Resistensi Antibiotik
Hasil penelitian pada tahun 2003, Kejadian resistensi terhadap penicilin dan
tetrasiklin oleh bakteri patogen diare dan Neisseria gonorrhoeae telah hampir
mencapai 100% di seluruh area di Indonesia.
Resistensi terhadap antibiotik bisa di dapat atau bawaan. Pada resistensi
bawaan, gen yang mengkode mekanisme resistensi ditransfer dari satu
organisme ke organisme lain. Secara klinis resistensi yang di dapat, adalah
dimana bakteri yang pernah sensitif terhadap suatu obat menjadi resisten (Hadi,
2006).
2.2.4 Penggunaan Antibiotik yang Rasional
Kunci untuk mengontrol penyebaran bakteri yang resisten adalah dengan
menggunakan antibiotika secara tepat dan rasional. Pengobatan rasional
dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individunya,
untuk waktu yang cukup dan dengan biaya yang paling terjangkau bagi diri dan
komunitasnya. Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain :
a. Sesuai dengan indikasi penyakit Pengobatan didasarkan atas keluhan
individual dan hasil pemeriksaan fisik.
b. Diberikan dengan dosis yang tepat Pemberian obat memperhitungkan umur,
berat badan dan kronologis penyakit.
24
c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat. Jarak minum
obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.
d. Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian
obat dalam jangka waktu tertentu.
e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin. Hindari pemberian
obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit.
f. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah
didapatkan dengan harganya relatif murah.
g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat.
(Darmansyah, 2000).
25
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Dasar-Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu reaksi inflamasi sel-sel
urotelium melapisi saluran kemih, sebagai bentuk pertahanan yang
disebabkan karena masuknya bakteri ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak di dalam media urin. Meskipun ISK juga bisa disebabkan
oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus, dan parasit, namun sebagian
besar penyebab utamanya adalah bakteri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu obat yang dapat
melemahkan ataupun membunuh bakteri penyebab penyakit. Penggunaan
antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
Pemakaian antibiotik secara efektif dan optimal memerlukan pengertian dan
pemahaman mengenai bagaimana memilih dan memakai antibiotik secara
benar.
Pemilihan antibiotik didasari oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
indikasi, dosis, cara pemberian, lama pemberian, dan efek antibiotik. Idealnya
antibiotik yang digunakan untuk terapi ISK dapat diabsorpsi dengan baik,
ditoleransi pasien, mencapai kadar tinggi dalam urin, dan memiliki spectrum
terbatas untuk mikroba penyebab penyakit.
Diantara berbagai faktor yang terlibat, maka variabel yang akan diteliti
dalam kaitan karakteristik antibiotik untuk terapi ISK adalah pemilihan
golongan antibiotik yang digunakan sebagai terapi.
26
3.2 Kerangka Konsep
Skema pola pikir variabel penelitian
3.3 Definisi Operasional
3.3.1 Jenis Obat Antibiotik
Jenis obat antibiotik yang dimaksud adalah nama satuan obat antibiotik
yang diberikan oleh dokter kepada pasien untuk terapi penyakit infeksi
saluran kemih. Contoh : Ciprofloxacin, ceftriaxone, cotrimoxazole,
cefixime, doxycycline.
3.3.2 Golongan Antibiotik
Golongan antibiotik yang dimaksud adalah kelompok antibiotik
berdasarkan struktur kimianya, dan diberikan oleh dokter kepada pasien
untuk terapi penyakit infeksi saluran kemih. Contoh : Golongan kuinolon,
golongan sefalosporin, golongan penisilin, golongan aminoglikosida,
golongan sulfonamid dan trimetoprim, golongan makrolida.
3.3.3 Pasien Infeksi Saluran Kemih
Pasien infeksi saluran kemih yang dimaksud adalah penderita yang
telah terdiagnosis penyakit infeksi saluran kemih (ISK) yang dirawat di
JENIS OBAT
ANTIBIOTIK
Terapi
Variabel Independen Variabel Dependen
PASIEN INFEKSI
SALURAN KEMIH
PASIEN
RAWAT JALAN
PASIEN
RAWAT INAP
GOLONGAN
ANTIBIOTIK
27
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin pada periode Januari
2016 – Juli 2017, baik pasien rawat jalan maupun rawat inap.
28
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif, yang mana pengukuran variabel dilakukan pada
saat tertentu untuk mengetahui karakteristik antibiotik untuk terapi pada pasien
infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
periode Januari 2016 - Juli 2017 dengan menggunakan data rekam medik
sebagai data penelitian.
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan diadakan di Bagian Rekam Medik Rumah
Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin.
4.3 Waktu Penelitian
Data Penelitian ini direncanakan diambil mulai tanggal 2 Oktober 2017
hingga 21 Oktober 2017. Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan September
sampai bulan November 2017.
29
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian
4.4.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh pasien infeksi saluran kemih yang
dirawat di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dari Januari 2016
– Juli 2017, baik rawat jalan maupun rawat inap.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah seluruh pasien infeksi saluran kemih yang
dirawat di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dari Januari 2016
– Juli 2017, baik rawat jalan maupun rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.
4.4.3 Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total
sampling yaitu semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan
sebagai sampel.
4.5 Kriteria Seleksi
4.5.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien infeksi saluran kemih dengan catatan medik lengkap dari
variabel yang dibutuhkan serta jelas terbaca.
2. Pasien infeksi saluran kemih yang dirawat di poli Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli
2017, baik rawat jalan maupun rawat inap.
30
4.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien infeksi saluran kemih dengan catatan medik yang tidak
lengkap dari variabel yang dibutuhkan atau tidak jelas terbaca.
2. Pasien infeksi saluran kemih yang dirawat di poli kulit Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin selain periode Januari 2016 –
Juli 2017.
4.6 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.6.1 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
melalui rekam medik subjek penelitian.
4.6.2 Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data dan instrumen penelitian yang dipergunakan dalan
penelitian ini yaitu tabel-tabel tertentu untuk merekam atau mencatat data yang
dibutuhkan dari rekam medik.
4.7 Manajemen Penelitian
4.7.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengakumulasi
seluruh jumlah status pasien infeksi saluran kemih yang dirawat di poli kulit
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli
2017.
31
4.7.2 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah melalui komputer dengan bantuan program Microsoft Excel
2013 untuk memperoleh hasil statistik deskriptif yang diharapkan.
4.7.3 Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel
distribusi disertai dengan penjelasan dalam bentuk narasi.
4.8 Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait dengan etika dalam penelitian ini adalah:
1. Menyertakan surat ke Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
untuk permintaan data rekam medik dan permohonan izin penelitian.
2. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada rekam
medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas
penelitian yang dilakukan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telak disebutkan
sebelumnya.
32
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9 hingga 18 Oktober dengan
mengambil data sekunder berupa rekam medik dari pasien infeksi saluran kemih
(ISK), baik rawat jalan maupun rawat inap, periode Januari 2016 – Juli 2017. Data
tersebut diambil di ruang penyimpanan rekam medik Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin. Pada penelitian ini, banyaknya total populasi yang
diperoleh adalah 275 sampel, sedangkan yang masuk dalam kriteria inklusi dan
eksklusi yaitu sebanyak 184 sampel.
Data yang telah diperoleh, kemudian diolah dan disusun untuk mengetahui
distribusi jenis obat dan golongan antibiotik yang terbanyak digunakan untuk terapi
pasien ISK di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari
2016 – Juli 2017.
Data tersebut selengkapnya disajikan sebagai berikut.
5.1 Distribusi penggunaan jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK
Berdasarkan data sekunder yang diambil melalui rekam medik pasien, maka
diperoleh hasil yang disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 5.1 Distribusi penggunaan jenis obat antibiotik untuk terapi ISK
Jenis Obat n %
Ciprofloxacin 91 49.46
Cotrimoxazole 9 4.89
Levofloxacin 33 17.94
33
Cefixime 32 17.39
Ceftriaxone 4 2.17
Azithromycin 2 1.08
Cefotaxime 2 1.08
Ampicillin 1 0.55
Gentamicin 1 0.55
Doxycycline 4 2.17
Cefadroxil 4 2.17
Amoxicillin 1 0.55
Total 184 100
Sumber : Rekam Medik
Data yang ditampilkan pada tabel 5.1 menunjukkan distribusi penggunaan
jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017. Berdasarkan tabel
5.1, diperoleh data bahwa penggunaan jenis obat antibiotik terbanyak yaitu
ciprofloxacin sebanyak 91 sampel (49.46%). Kemudian berturut-turut
levofloxacin sebanyak 33 sampel (17.94%), cefixime sebanyak 32 sampel
(17.39%), cotrimoxazole sebanyak 9 sampel (4.89%), ceftriaxione,
doxycycline dan cefadroxil masing-masing sebanyak 4 sampel (2.17%),
Azithromycin dan cefotaxime masing-masing sebanyak 2 sampel (1.08%),
serta yang terendah adalah jenis obat antibiotik ampicillin, gentamicin, dan
amoxicillin masing-masing sebanyak 1 sampel (0.55%).
34
5.2 Distribusi golongan antibiotik untuk terapi ISK
Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.1, maka tiap-tiap jenis obat
antibiotik dapat dikelompokkan kedalam beberapa golongan berdasarkan
struktur kimia antibiotik, yaitu : golongan kuinolon (ciprofloxacin dan
levofloxacin), golongan sulfonamid & trimetoprim (cotrimoxazole), golongan
sefalosporin (cefixime, ceftriaxone, cefotaxime, cefadroxil), golongan
makrolida (azithromycin), golongan penisilin (ampicillin, amoxicillin),
golongan aminoglikosida (gentamicin), golongan tetrasiklin (doxycycline).
Sehingga diperoleh hasil yang disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 5.2 Distribusi penggunaan golongan antibiotik untuk terapi ISK
Golongan antibiotik n %
Kuinolon 124 67.40
Sulfonamid & Trimetoprim 9 4.90
Sefalosporin 42 22.82
Makrolida 2 1.08
Penisilin 2 1.08
Aminoglikosida 1 0.55
Tetrasiklin 4 2.17
Total 184 100
Sumber : Rekam Medik
Data yang ditampilkan pada tabel 5.2 menunjukkan distribusi penggunaan
golongan antibiotik untuk terapi pasien ISK di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017. Berdasarkan tabel
5.2, diperoleh data bahwa penggunaan golongan antibiotik terbanyak yaitu
35
golongan kuinolon sebanyak 124 sampel (67.40%). Kemudian berturut-turut
golongan sefalosporin sebanyak 42 sampel (22.82%), golongan sulfonamid &
trimetoprim sebanyak 9 sampel (4.90%), golongan tetrasiklin sebanyak 4
sampel (2.17%), golongan makrolid dan penisilin masing-masing sebanyak 2
sampel (1.08%), serta yang terendah adalah golongan aminoglikosida
sebanyak 1 sampel (0.55%).
36
BAB 6
PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian mengenai karakteristik antibiotik untuk terapi pada
pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
periode Januari 2016-Juli 2017. Penelitian ini dilakukan di ruang penyimpanan
rekam medik Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin, dan telah selesai
pada tanggal 18 Oktober 2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi jenis obat dan golongan
antibiotik yang terbanyak digunakan untuk terapi pasien ISK di Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017.
Setelah semua data yang diperlukan telah diolah dan disajikan dalam bentuk
hasil penelitian sesuai yang tertera pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan
dibahas lebih dalam mengenai variabel yang telah diteliti.
6.1 Distribusi jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK
Pada variabel penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 5.1 mengenai hasil
distribusi penggunaan jenis obat antibiotik untuk terapi pasien ISK. Diperoleh
data bahwa penggunaan jenis obat antibiotik terbanyak yaitu ciprofloxacin
sebanyak 91 sampel (49.46%) diikuti oleh levofloxacin sebanyak 33 sampel
(17.94%). Hal ini sesuai dengan ketentuan “Terapi Antibiotik untuk
Pengobatan Infeksi Saluran Kemih” oleh Blok dkk yang menentukan
ciprofloxacin sebagai obat lini pertama pada pengobatan sistitis, pielonefritis,
dan prostatitis, meskipun dengan dosis dan durasi pemberian yang berbeda-
beda. Sedangkan ketentuan pada “Terapi Empirik untuk Pengobatan Sistitis
37
dan Prostatitis pada Pasien Dewasa” oleh Grabe dkk, menempatkan
ciprofloxacin sebagai obat alternatif setelah cotrimoxazole sebagai lini pertama
(Nofriaty, 2010) (Sari, 2012).
Berdasarkan Formularium Nasional 2016, ciprofloxacin dan levofloxacin
tersedia pada fasilitas kesehatan tingkat 2 dan 3, sehingga mudah diperoleh di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin. Fomularium juga
menentukan bahwa ciprofloxacin dan levofloxacin tidak boleh diberikan untuk
pasien usia < 18 tahun dan ibu hamil, hal ini sesuai dengan data yang diperoleh,
dimana umur minimal sampel yang pernah diberikan terapi ciprofloxacin atau
levofloxacin yaitu 19 tahun (MENKES RI, 2015).
Dalam “Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia
Pria” yang disusun oleh Ikatan Ahli Urologi Indonesia pada Tahun 2015, pada
uji sensitivitas antibiotik yang dilaksanakan di RSUD Dr. Soetomo,
menyatakan bahwa ciprofloxacin tergolong kurang sensitif (sensitivitas 25.9 %
terhadap semua bakteri) dan levofloxacin tergolong sensitif (sensitivitas 31.6
% terhadap semua bakteri) (Seputra, 2015).
Secara keseluruhan, data sekunder yang diperoleh sebagian besar berasal
dari pasien ISK rawat jalan dan selesai dengan satu kali peresepan obat. Hal ini
dapat membangun kredibilitas bahwa terapi menggunakan ciprofloxacin dan
levofloxacin pada pasien ISK di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin masih tergolong efektif.
38
6.2 Distribusi golongan antibiotik untuk terapi pasien ISK
Berdasarkan tabel 5.2 pada bab hasil penelitian, diperoleh data bahwa
penggunaan golongan antibiotik sebagai terapi ISK terbanyak adalah golongan
kuinolon sebanyak 124 sampel (67.40%), diikuti oleh golongan sefalosporin
sebanyak 42 sampel (22.82%) dan golongan sulfonamid & trimetoprim
sebanyak 9 sampel (4.90%). Data ini sejalan dengan ketentuan “Terapi Empirik
untuk Pengobatan Infeksi Saluran Kemih” yang disusun oleh Coyle dan Prince
Tahun 2015, menyebutkan bahwa antibiotik golongan kuinolon dan
trimetoprim-sulfometoksazol digunakan sebagai pilihan terapi pada sistitis
akut tanpa komplikasi, pyelonefritis akut, ISK pada ibu hamil, dan prostatitis
(Nofriaty, 2010).
Sedangkan efektivitas terapi menggunakan golongan antibiotik kuinolon
dibandingkan dengan sefalosporin tertuang pada penelitian yang dilakukan
oleh Aviv Triono dan Akhmad Edy Purwoko dalam “Efektifitas Antibiotik
Golongan Sefalosporin dan Kuinolon terhadap Infeksi Saluran Kemih”.
Penelitian tersebut dilakukan pada 84 pasien ISK, kemudian sesuai dengan
terapi, baik itu menggunakan golongan antibiotik kuinolon maupun
sefalosporin, dihitung durasi dari mulai pengobatan hingga mencapai
kesembuhan pada masing-masing sampel dan direratakan. Setelah diperoleh
hasilnya, dapat disimpulkan bahwa golongan kuinolon memiliki waktu sembuh
lebih cepat yaitu 3.95 hari, sedangkan golongan sefalosporin memiliki waktu
sembuh lebih lama yaitu 4.57 hari (Triono, 2016).
Sehingga penggunaan golongan antibiotik kuinolon untuk terapi ISK pada
pasien di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin, yang dalam tabel
39
distribusi menempati urutan tertinggi, merupakan hal yang wajar dan pilihan
yang tepat.
40
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian karakteristik antibiotik untuk terapi pada
pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan distribusi penggunaan jenis obat antibiotik, diperoleh hasil
yang tertinggi yaitu ciprofloxacin dengan 91 sampel (49.46%) untuk terapi
pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017.
2. Berdasarkan distribusi penggunaan golongan antibiotik, diperoleh hasil
yang tertinggi yaitu golongan kuinolon dengan 124 sampel (67.40%)
untuk terapi pasien infeksi saluran kemih di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin periode Januari 2016 – Juli 2017.
7.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai antibiotik dan kaitannya
dalam terapi infeksi saluran kemih. Seperti diketahui bersama, bahwa
seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas dan resistensi antibiotik
selalu berubah-ubah sesuai dengan pola pengobatan yang dilakukan, oleh
karena itu penelitian secara berkala sangat menunjang data yang
diperlukan.
41
2. Bagi masyarakat, agar lebih meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan
untuk menggunakan antibiotik sebagai terapi secara rasional. Kemudian
jika mengalami gejala penyakit ISK, tidak dianjurkan untuk swamedikasi,
melainkan segera mengunjungi fasilitas kesehatan, agar lebih cepat
sembuh dan tidak berkomplikasi.
3. Bagi tenaga kesehatan, agar selalu mengikuti perkembangan penelitian
mengenai antibiotik, sehingga bisa menentukan pola terapi antibiotik
secara tepat.
4. Bagi instansi kesehatan, khususnya bagian yang menangani rekam medik
pasien, diharapkan agar pengisian rekam medik lebih lengkap dan lebih
jelas, serta penyimpanan yang rapi dan teratur, sehingga mudah untuk
diperoleh ketika data dibutuhkan.
5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan lebih spesifik dalam menelit i
variabel lainnya atau dilakukan pada tempat yang lain kemudian
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini.
42
Daftar Pustaka
Basuki B. Purnomo. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang : Fakultas Kedokteran.
Universitas Brawijaya.
Carson C.C. 1982. Urinary Tract Infection. In: Resnict, M.L., (Ed.), Diagnosis of
Genito Urinary Disease. 2nd ed. Thieme-Stratton Inc. New York.
Coyle, E. A., Prince, R. A. 2005. Urinary Tract Infection, in Dipiro J.T., et al.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 6th edition. Stamford :
Appleton & Lange.
Darmansyah, I. 2000. Pemakaian Antibiotik pada Anak, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran UI. Hal. 59.
Douglas, A.E. 1995. The ecology of symbiotic microorganisms. Adv. Ecol.
Hadi, U. 2006. Resistensi Antibiotik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.
Hvidberg, H., C. Struve, K.A. Krogfelt, N. Christensen, S.N. Rasmussen and N.
Frimodt-Moller. 2000. Development of a long-term ascending urinary tract
infection mouse model for antibiotic treatment studies. Antimicrob. Agents
Chemother.
Kee, J. L. dan Evelyn, R. H. 1996. Farmakologi : Pendekatan proses Keperawatan.
Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 305
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02 / Menkes / 523
/ 2015 Tentang Formularium Nasional. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kristin, E., Mustofa, Santoso, B., Suryawati, S. 1990. Pemilihan dan Pemakaian
Antibiotik dalam Klinik, Yogyakarta, Yayasan Melati Nusantara.
43
Macfarlane, M.T. 2006. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th
Urology. California: Lippincott Williams & Wilkins.
Neal M. J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga.
Nofriaty, Reni. 2010. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
Surakarta Tahun 2009. Surakarta : Fakultas Farmasi UMS.
Sanjoyo, Raden. 2003. Obat (Biomedik Farmakologi). D3 Rekam Medis FMIPA
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sari, EK. 2012. Pemilihan Antibiotik untuk Terapi Infeksi Saluran Kemih.
Surakarta : Eprints UMS.
Seputra, Kurnia Penta dkk. 2015. Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih dan Genitalia Pria. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI).
Stringer, J. L. 2006. Basic Concepts in Pharmacology. New York: McGraw Hill.
Sukandar, E. 2009. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. Hal 1008-
1014.
Tietjen, Linda dkk. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, Jakarta.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo:
hal.193.
44
Triono, Aviv dan Akhmad Edy Purwoko. 2016. Efektifitas Antibiotik Golongan
Sefalosporin dan Kuinolon terhadap Infeksi Saluran Kemih. Yogyakarta :
Bagian Farmakologi FKIK UMY.
45
DAFTAR DATA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH
RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
PERIODE JANUARI 2016 - JULI 2017
NO NAMA PASIEN
(INISIAL) JENIS KELAMIN UMUR PERAWATAN
TERAPI
ANTIBIOTIK
(GOLONGAN)
1 AH Perempuan 58 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
2 RS Perempuan 25 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
3 DA Perempuan 34 Rawat Jalan
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
4 HK Laki-Laki 48 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
5 RM Perempuan 47 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
6 FZ Perempuan 54 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
7 NS Perempuan 43 Rawat Jalan
Ceftriaxone (Sefalosporin)
8
AM Perempuan 68 Rawat Inap Cotrimoxazole (Sulfonamid &
Trimetoprim)
9 MB Laki-Laki 70 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
10 AN Perempuan 27 Rawat Jalan
Azithromycin (Makrolida)
11 MK Perempuan 45 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
12 NM Perempuan 24 Rawat Jalan
Ciprofloxacin
(Kuinolon)
13 SD Perempuan 55 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
14 NF Perempuan 39 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
15 FD Perempuan 79 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
16 NM Perempuan 57 Rawat Inap
Cefixime
(Sefalosporin)
17 AR Laki-Laki 34 Rawat Jalan
Ceftriaxone (Sefalosporin)
18 AT Perempuan 23 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
19 MP Perempuan 64 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
20 SS Perempuan 57 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
21 FN Perempuan 63 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
22 KM Perempuan 62 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
23 DS Perempuan 82 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
24 AZ Perempuan 17 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
25 MT Laki-Laki 26 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
26 LN Perempuan 34 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
27 MM Perempuan 49 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
46
28 AL Perempuan 69 Rawat Inap
Ceftriaxone (Sefalosporin)
29 RS Laki-Laki 25 Rawat Jalan
Ceftriaxone (Sefalosporin)
30 AW Perempuan 50 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
31 SH Perempuan 53 Rawat Inap
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
32 WT Perempuan 34 Rawat Jalan
Levofloxacin
(Kuinolon)
33 AS Perempuan 38 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
34 MY Perempuan 25 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
35 MG Perempuan 25 Rawat Jalan
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
36 AH Laki-Laki 60 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
37 MP Perempuan 70 Rawat Inap
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
38 SW Perempuan 34 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
39 EV Perempuan 27 Rawat Jalan
Cefotaxime
(Sefalosporin)
40 MD Perempuan 68 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
41 HJ Perempuan 49 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
42 AP Perempuan 59 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
43 AC Perempuan 20 Rawat Jalan
Cotrimoxazole
(Sulfonamid & Trimetoprim)
44 HN Perempuan 31 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
45 TN Perempuan 36 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
46 CT Perempuan 5 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
47 HS Perempuan 47 Rawat Jalan
Levofloxacin
(Kuinolon)
48 SR Perempuan 45 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
49 NG Perempuan 38 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
50 SM Perempuan 60 Rawat Inap
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
51 LT Perempuan 64 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
52 AD Laki-Laki 2 Rawat Jalan
Gentamycin (Aminoglikosida)
53 NV Perempuan 43 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
54 ID Laki-Laki 3 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
55 DR Perempuan 36 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
56 SY Laki-Laki 75 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
47
57
JN Perempuan 26 Rawat Jalan Cotrimoxazole (Sulfonamid &
Trimetoprim)
58 AZ Perempuan 15 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
59 DH Laki-Laki 56 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
60 SD Laki-Laki 33 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
61 SL Laki-Laki 40 Rawat Jalan
Cefixime
(Sefalosporin)
62 NR Perempuan 40 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
63 NS Perempuan 66 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
64 HA Perempuan 17 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
65 MT Perempuan 54 Rawat Inap
Levofloxacin
(Kuinolon)
66 MW Laki-Laki 52 Rawat Inap
Doxycycline (Tetrasiklin)
67 ET Perempuan 55 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
68 HW Perempuan 49 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
69 DW Laki-Laki 51 Rawat Jalan
Levofloxacin
(Kuinolon)
70 AM Perempuan 63 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
71 AY Perempuan 19 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
72 PS Laki-Laki 72 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
73 WD Perempuan 22 Rawat Jalan
Cefixime
(Sefalosporin)
74 DJ Laki-Laki 44 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
75 DG Laki-Laki 35 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
76 AT Perempuan 14 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
77 NN Perempuan 59 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
78 HM Laki-Laki 48 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
79 LS Perempuan 60 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
80 MR Perempuan 56 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
81 IR Perempuan 54 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
82 DL Perempuan 22 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
83 AK Laki-Laki 63 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
84 AS Perempuan 86 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
85 IJ Laki-Laki 74 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
86 DD Laki-Laki 13 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
87 KT Perempuan 22 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
48
88 DT Perempuan 57 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
89 SG Perempuan 39 Rawat Jalan
Doxycycline (Tetrasiklin)
90 HL Perempuan 21 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
91 NP Perempuan 24 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
92 MM Perempuan 51 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
93 NH Perempuan 30 Rawat Jalan
Azithromycin (Makrolida)
94 AB Laki-Laki 25 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
95 AE Perempuan 56 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
96 SN Laki-Laki 64 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
97 GT Laki-Laki 26 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
98 WD Perempuan 47 Rawat Jalan
Cefadroxil (Sefalosporin)
99 NI Laki-Laki 40 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
100 AR Laki-Laki 43 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
101 AJ Perempuan 34 Rawat Jalan
Cefadroxil (Sefalosporin)
102 RA Perempuan 45 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
103 KS Laki-Laki 26 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
104 EN Perempuan 36 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
105 AR Perempuan 30 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
106 AH Laki-Laki 30 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
107 NS Perempuan 55 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
108 MS Perempuan 44 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
109 WS Perempuan 37 Rawat Jalan
Levofloxacin
(Kuinolon)
110 HR Perempuan 35 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
111 NN Perempuan 54 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
112 DJ Perempuan 70 Rawat Inap
Cefixime (Sefalosporin)
113 HJ Perempuan 37 Rawat Jalan
Doxycycline
(Tetrasiklin)
114 MM Laki-Laki 55 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
115 AM Laki-Laki 39 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
116 RH Perempuan 40 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
117 DY Laki-Laki 68 Rawat Inap
Ciprofloxacin
(Kuinolon)
118 SB Perempuan 52 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
119 ER Laki-Laki 27 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
49
120 YN Perempuan 22 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
121 ST Perempuan 55 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
122 MA Laki-Laki 24 Rawat Jalan
Doxycycline (Tetrasiklin)
123 FT Laki-Laki 53 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
124 MY Perempuan 23 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
125 DS Perempuan 22 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
126 RF Laki-Laki 8 Rawat Jalan
Cotrimoxazole (Sulfonamid & Trimetoprim)
127 IR Perempuan 19 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
128 WD Perempuan 57 Rawat Inap
Ciprofloxacin
(Kuinolon)
129 YD Laki-Laki 40 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
130 MS Perempuan 49 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
131 AN Perempuan 48 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
132 LR Perempuan 70 Rawat Inap
Ciprofloxacin
(Kuinolon)
133 SM Laki-Laki 80 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
134 AS Perempuan 22 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
135 YN Perempuan 30 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
136 MK Perempuan 56 Rawat Inap
Ciprofloxacin
(Kuinolon)
137 MD Perempuan 22 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
138 HW Perempuan 24 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
139 RS Perempuan 53 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
140 RZ Laki-Laki 27 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
141 BR Laki-Laki 32 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
142 FR Laki-Laki 8 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
143 RH Perempuan 48 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
144 MS Perempuan 28 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
145 ER Perempuan 24 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
146 SW Perempuan 65 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
147 JN Perempuan 19 Rawat Jalan
Cefadroxil (Sefalosporin)
148 HB Perempuan 47 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
149 FD Laki-Laki 26 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
150 HN Perempuan 35 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
50
151 AL Perempuan 10 Rawat Jalan
Cefadroxil (Sefalosporin)
152 LD Laki-Laki 42 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
153 UM Perempuan 21 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
154 ND Perempuan 13 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
155 SM Perempuan 30 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
156 HD Perempuan 69 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
157 LF Perempuan 52 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
158 UA Perempuan 19 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
159 RS Perempuan 32 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
160 KZ Perempuan 11 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
161 ID Perempuan 51 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
162 MD Perempuan 36 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
163 ST Perempuan 37 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
164 SL Perempuan 61 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
165 DS Laki-Laki 45 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
166 LM Laki-Laki 56 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
167 NR Perempuan 27 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
168 SB Perempuan 61 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
169 KM Perempuan 50 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
170 FT Perempuan 26 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
171 KS Laki-Laki 47 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
172 AW Perempuan 53 Rawat Inap
Levofloxacin
(Kuinolon)
173 RM Perempuan 32 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
174 FK Laki-Laki 1 Rawat Jalan
Cefixime (Sefalosporin)
175 HR Laki-Laki 49 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
176 NM Perempuan 32 Rawat Jalan
Cefotaxime
(Sefalosporin)
177 ST Perempuan 53 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
178 SB Perempuan 69 Rawat Inap
Levofloxacin (Kuinolon)
179 NK Perempuan 37 Rawat Jalan
Ciprofloxacin (Kuinolon)
180 RM Perempuan 27 Rawat Jalan
Amoxicillin
(Penisilin)
181 AR Perempuan 53 Rawat Inap
Ciprofloxacin (Kuinolon)
182 AA Laki-Laki 2 Rawat Jalan
Ampicillin (Penisilin)
51
183 WR Perempuan 45 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
184 NM Perempuan 42 Rawat Jalan
Levofloxacin (Kuinolon)
52
53
54
55
56
57
58
59
RIWAYAT HIDUP PENULIS
I. Data Pribadi
Nama : Muhammad Shulfie Asadul Jaili
Stambuk / NIM : C11114504
Tempat, Tanggal Lahir : Baubau, 25 April 1996
Alamat : Rusunawa Unhas A408, Tamalanrea, Makassar
Telepon : 085756863280
Email : [email protected]
Agama : Islam
Orangtua
Ayah : DR. Sulhan Manaf, M.Si.
Ibu : dr. Luthfiah Bani
II. Riwayat Pendidikan
SD Negeri 2 Baubau
SMP Negeri 1 Baubau
SMA Negeri 1 Baubau
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,
Universitas Hasanuddin (Strata 1)