Download - Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
1/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
2/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
3/118
TSUNAMIHabis Bencana Terbitlah Terang
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
4/118
Pengarah : Kuntoro Mangkusubroto
Penggagas : Hanief Arie
Editor : M Agus Susanto
Bambang Bujono
Rayagung Hidayat
Margaret Agusta (Kepala)
Cendrawati Suhar tono (Koordinator)
Editor Bahasa : Suhardi Soedjono
Penulis : (alm.) Budi Syahbudin
Cendrawati Suhartono
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodj o
Happy Soelistio
Ondy A Saputra
Rusdi Mathari
Alih bahasa ke Inggris
Editor : Harumi Supit
Editor Bahasa : Margaret Agusta
Penerjemah : Tjandra Kerton
Narottama Notosusanto
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS(BRR NAD–NIAS)
16 April 2005 - 16 April 2009
Kantor Pusat
Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20
Lueng Bata, Banda Aceh
Indonesia, 23247
Telp. +62-651-636666
Fax. +62-651-637777
Kantor Perwakilan Nias
Jl. Pelud Binaka KM. 6,6
Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli
Nias, Indonesia, 22815
Telp. +62-639-22848
Fax. +62-639-22035
www.e-aceh-nias.org
know.brr.go.id
Kantor Perwakilan Jakarta
Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru
Jakarta Selatan
Indonesia, 12110
Telp. +62-21-7254750
Fax. +62-21-7221570
Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF)
melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project
ISBN 978-602-8199-31-5
Fotografi : Arif Ariadi
Bodi Chandra Yusnirsyah Sirin
Desain Grafis : Bobby Haryanto (Kepala)
Em Samudra
Edi Wahyono
Jennier Purba
Mistono
Wasito
Penyelaras Akhir : Aichida Ul–Aflaha
Heru Prasetyo
Intan Kencana Dewi
Maggy Horhoruw
Ricky Sugiarto (Kepala)
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
5/118
Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak
menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari
seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember
2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005.
Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porak–poranda kini ramai kembali seiring
dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah
komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan
internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang
selamat meski telah kehilangan hampir segalanya.
Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali
permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para
penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan
mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan
Nias.
Berdasarkan hal tersebut, melalui halaman–halaman yang ada di dalam buku ini,BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah
sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan
dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik
dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang
menyatukan dunia.
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
6/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
7/118
Saya bangga,kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran
dengan negara-negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukandapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya-upaya serupa,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonopada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009
tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learneddi Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
8/118
Pemandangan salah satu pesisir Meulaboh, Aceh Barat di bulan Januari 2005, memasuki pekan
kedua pascatsunami, kehidupan masih terasa lumpuh. Foto: Paulus Tirta
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
9/118
Daftar IsiPendahuluan viiiBagian 1. Dari Tsunami ke Rehabilitasi dan Rekonstruksi 1
Bagian 2. Bergegas ke Tanah Bencana 11
Bagian 3. Episentrum di Serambi Mekkah 29
Bagian 4. Liku-liku Operasi Tanggap Darurat 43
Bagian 5. Membangun Tano Niha 59
Bagian 6. Jalan Damai Pascatsunami 71
Bagian 7. Mewujudkan Harapan 83
Bagian 8. Akhirulkalam: Belajar dari Tsunami 95Catatan 100
Daftar Istilah 101
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
10/118
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan
sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga
dunia tercengang, pilu.
Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa
jiwa dan sarana-prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib
terseret ombak.
Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat
sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng
tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun.
Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara
perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600-an kilometer patahan
dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda.
Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah
melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong
dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan
serangkaian ombak dahsyat.
Pendahuluanviii
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
11/118
Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung
menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer
ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285
orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-an
orang mendadak berstatus tunakarya.
Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195
rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya.
Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau
dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung
pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek
berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan
pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.
Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala
Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa
melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempayang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin
meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue.
Dunia semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk
membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi
politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional
dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar.
Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar
membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah
cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upayamembangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai-taulan
dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program
pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik.
Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan
pertumbuhan daerah pada masa depan.
Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk
mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan pada
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
12/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
13/118
Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi
104.500usaha kecil menengah (UKM) lumpuh
155.182tenaga kerja dilatih
195.726
UKM menerima bantuan
635.384orang kehilangan tempat tinggal
127.720orang meninggal dan 93.285 orang hilang
139.195rumah rusak atau hancur
73.869hektare lahan pertanian hancur
1.927guru meninggal
13.828kapal nelayan hancur
1.089
sarana ibadah rusak2.618
kilometer jalan rusak
3.415sekolah rusak
517sarana kesehatan rusak
669bangunan pemerintah rusak
119 jembatan rusak
22pelabuhan rusak
8bandara atau airstrip rusak
140.304rumah permanen dibangun
69.979hektare lahan pertanian direhabilitasi
39.663guru dilatih
7.109kapal nelayan dibangun atau dibagikan
3.781
sarana ibadah dibangun atau diperbaiki3.696kilometer jalan dibangun
1.759sekolah dibangun
1.115sarana kesehatan dibangun
996bangunan pemerintah dibangun
363 jembatan dibangun
23pelabuhan dibangun
13bandara atau airstrip dibangun
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
14/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
15/118
Dari Tsunami keRehabilitasi danRekonstruksi
BENCANA tak bisa ditolak, anugerah tak bisa diharap, begitu kata pepatah.Suatu pagi di hari Ahad, 26 Desember 2004, bencana mahadahsyat, gempa yang disusul
tsunami, meluluhlantakkan sebagian Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Wilayah
itu seluas tiga kali DKI Jakarta, dan sudah barang tentu ini bukan wilayah tak bertuan. Di
wilayah seluas itu, selain penduduk, juga banyak prasarana—dari jalan sampai pasar, dari
jembatan sampai gedung sekolah.
Angka–angka yang diperoleh kemudian membuktikan betapa dahsyat bencana itu.
Sebelum tsunami, tercatat penduduk Aceh sekitar 4.297.485. Berdasarkan sensus 2005,
warga Aceh adalah 4.031.589 orang, atau berkurang sekitar 265.896. Sedangkan jumlah
korban total, termasuk yang bukan warga Aceh, mendekati 127.000 orang, ditambah
93.285 yang dinyatakan hilang. Adapun prasarana, seperempat jumlah jembatan di
provinsi ini, atau total 150 kilometer (lebih panjang daripada jalan darat Jakarta–Bandung
lewat jalan tol Cipularang), rusak berat tak bisa dilewati. Panjang jalan total yang
mengalami kerusakan baik ringan hingga berat mencapai 2.618 km. Rumah yang rusak
mendekati angka 140.000 rumah (di Aceh dan Nias). Sementara itu, 3.415 gedung sekolah
serta lebih dari 200 puskesmas dan rumah sakit tak mungkin digunakan tanpa rehabilitasi
dan rekonstruksi.
Yang tertulis dalam berlembar–lembar halaman buku inimerupakan kisah yang berujung pada harapan tumbuhnya
hidup yang lebih baik di Tanah Bencana.
Sebagian Banda Aceh hancur
pertokoan menjelma bak samp
raksasa, jenazah terserak di ma
mana, akibat tsunami, 26 Dese
2004. Foto: Donang Wahyu
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
16/118
Singkat kata, bencana gempa dan tsunami di Aceh dan beberapa wilayah di Kepulauan
Nias, Sumatera Utara, mengguratkan kenangan tak terperikan. Inilah bencana alam
terbesar di dunia dalam jangka 100 tahun terakhir. Sebagian Banda Aceh, ibu kota Aceh,
hancur total, pertokoan menjelma bak sampah raksasa, jenazah terserak di mana–mana.
Tsunami itu bergerak dengan kecepatan 600-800 kilometer per jam dari arah laut, yang
kemudian masuk ke daratan sampai sejauh 6 kilometer, melemparkan kapal–kapal
dari pelabuhan ke atap pertokoan, menggulung dan mencabik–cabik tubuh manusia,
menghantam dan menghanyutkan rumah dan jembatan, menggerus dan membalikkan
jalan. Halaman sekitar Masjid Baiturrahman di Banda Aceh, masjid yang menjadi pengenal
ibu kota Serambi Mekkah, berubah bak tempat pembuangan sampah raksasa: berserakan
dan bertumpuk berbagai sisa rumah, bangunan, pohon, juga jenazah. MDF’s tsunami
recovery waste management project sempat menghitung bahwa tumpukan sampah
tsunami dapat menutupi sekitar 45 lapangan bola dengan dimensi masing-masing
88.000 m2. Jadi total volume sampah tsunami mencapai sekitar 400.000 m3.
Bagaimana pemerintah yang baru berusia sekitar dua bulan harus menangani dampak
bencana ini? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf
Kalla merupakan pemimpin Indonesia yang pertama kali terpilih lewat pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung. Mereka baru dilantik pada 20 Oktober 2004,
dan bencana itu menimpa pada 26 Desember 2004. Buku ini berisi rekaman dari berbagai
proses yang terjadi sesaat setelah bencana yang diikuti dengan tindakan pemerintah.
Itu sebabnya semua tokoh dan posisi yang dijabatnya ditulis sesuai dengan waktu
terjadinya peristiwa. Penerbitan buku ini diniatkan menggambarkan bagaimana kerja
keras dan kerja sama pemerintah dan segenap warga negara Indonesia serta warga dunia
menangani tanggap darurat setelah bencana terjadi hingga korban tak bertambah besar.
Dan kemudian pemulihan kehidupan dan lingkungan di Tanah Bencana ini.
Buku ini diawali dengan kisah bagaimana kabar bencana itu sampai ke Presiden, Wakil
Presiden, dan para pejabat yang lain beserta reaksi mereka hingga terbentuknya tim
tanggap darurat sementara di pendapa gubernuran Aceh. Digambarkan dahsyatnya
bencana itu melalui laporan dari para pejabat, baik sipil maupun militer, baik pusat
maupun daerah. Mayat di mana–mana, sampah sisa rumah, gedung, mebel, dan
potongan pohon menumpuk menutup jalan. Kawasan yang terkena tsunami lumpuh
total: listrik dan peralatan komunikasi mati, makanan dan air minum tiada, rumah pun
misalkan masih ada tak mungkin lagi ditempati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
yang ketika itu tengah berkunjung ke Jayapura, Papua, segera mengadakan rapat kabinet
terbatas dengan rombongan yang terdiri atas sembilan menteri. Selain memberikanarahan garis kebijakan secara umum, Presiden menyampaikan belasungkawa serta
menetapkan gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional.
2
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
17/118
Sementara itu, di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi melakukan langkah koordinasi
dengan instansi terkait. Wapres memerintahkan dua menteri dan sejumlah pejabat Aceh
agar segera berangkat ke daerah bencana.
Gambaran betapa dahsyatnya tsunami itu juga diangkat antara lain melalui kesaksian
korban bencana yang, alhamdulillah, masih hidup. Mereka menceritakan bagaimana
melihat dan kemudian terseret dan terlambungkan oleh air laut yang naik dengan
kecepatan 30 kilometer per jam di darat, dengan deru bagaikan pesawat jet, menyapu
segalanya. Di daerah yang diempas tsunami, dua kilometer dari garis pantai rata dengan
tanah. Di bagian ini disertakan sebuah kisah “Membuka Meulaboh”. Kota pelabuhan
penting di bagian barat Aceh ini sempat putus total hubungan dengan dunia sekitarnya.
Lalu, cerita kesibukan dari menyelamatkan korban hingga mendirikan dapur umum,
dari mengadakan air bersih sampai mendirikan rumah sakit darurat pun mengikuti.
Tujuan utama kegiatan ini adalah menyelamatkan mereka yang masih hidup secepat
Warga desa di sekitar Lhok Nga
selamat menerima bantuan bamakanan yang dijatuhkan dar
helikopter tentara Amerika Ser
Foto: AFP/Jewel Samad
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
18/118
mungkin agar tak menambah jumlah korban meninggal. Lalu kerja mengevakuasi
jenazah dan membersihkan sampah tsunami agar penyakit tak berjangkit. Keterlibatan
relawan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) serta
militer asing mendominasi aktivitas tersebut. Inilah bukti sejarah kemanusiaan yangoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato mengenang satu tahun tsunami
disebutkan sebagai “melintasi batas–batas agama, suku, ras, dan kebudayaan”. Aceh ketika
itu menjadi semacam tempat pertemuan segala bangsa. Yang hitam, cokelat, kuning, dan
putih semuanya terlibat dalam kerja sama untuk satu tujuan: menyelamatkan korban,
memulihkan lingkungan nan porak–poranda itu.
Dan itu dimungkinkan karena SBY dan JK (demikian panggilan populer Presiden
dan Wapres) menyepakati untuk membuka isolasi Aceh dari dunia luar. Beberapa hari
setelah bencana, SBY mengumumkan bahwa angkasa Republik Indonesia terbuka bagi
penerbangan asing yang membawa bantuan untuk Aceh dan Nias. Wapres menghubungi
sebuah badan Perserikatan Bangsa–Bangsa agar mereka mengoordinasi bantuaninternasional. Sedangkan Panglima Tentara Nasional Indonesia langsung menyetujui
tawaran bantuan militer dari negara–negara sahabat. Besarnya bencana menyebabkan
helikopter, alat–alat berat, bahkan peranti pembersih dan penjernih air untuk minum,
semua yang mutlak diperlukan setelah bencana gempa dan tsunami terjadi, yang kita
miliki tak lagi mencukupi. Namun tantagan dahsyat tidak berhenti di situ. Di penghujung
Maret 2008 Nias bergoncang kuat. Kerusakan yang ditimbulkan kembali menyita perhatian
serius.
Banda Aceh dari udara sebelum
bencana besar itu: luas daratan
sekitar 70 km2, dihuni sekitar
300.000 warga. Foto: Koleksi Lapan
4
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
19/118
Di Aceh tsunami ternyata menjadi “berkah tersembunyi”. Gelombang pasang raksasa
ini membuat baik pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
memikirkan kembali konflik yang telah berjalan hampir 30 tahun, konflik bersenjata yang
membawa korban ribuan orang. Tiba–tiba ada tugas yang jauh lebih utama daripadaberbaku hantam: membantu warga yang terkena bencana. Bukankah GAM, misalnya,
mengaku mengangkat senjata untuk memperjuangkan rakyat Aceh? Bila mereka tak lalu
membuktikan kata–katanya itu, ketika rakyat benar–benar menunggu uluran tangan dari
siapa pun, tidakkah GAM akan kehilangan dukungan?
Yang kita saksikan selanjutnya adalah perundingan demi perundingan di masa tanggap
darurat dan sesudahnya, dan akhirnya kesepakatan damai ditandatangani oleh kedua
belah pihak, 15 Agustus 2005. Proses itu bisa berlangsung cepat karena seorang fasilitator
bernama Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, begitu tegas dan adil dalam
menjembatani perundingan ke perundingan.
Tentulah tak mungkin Aceh dan Nias terus–menerus dibiarkan dalam kondisi
tanggap darurat, terus–menerus para korban dibantu hidupnya. Korban bencana perlu
dikembalikan hidupnya seperti semula, bahkan kalau mungkin dengan lebih baik. Maka
dibentuklah satu badan untuk menangani pemulihan kembali di Tanah Bencana—bukan
hanya pemulihan fisik, tapi juga yang nonfisik, misalnya penyembuhan mereka yang
Banda Aceh dua hari setelah ts
menghantam daratan sampai
sejauh 6 km, lebih dari 93.000
warga hilang dan lebih dari 12
meninggal. Foto: Koleksi Lapan
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
20/118
KETERANGANLEGENDA
Pusat Gempa
Batas Provinsi
Batas Kabupaten
Laut
Sumber peta: data BPS, Peta Rupabumi
Bakosurtanal skala 50.000, geospasial
perumahan, pemetaan aset. Datum WGS
1984, proyeksi UTM. Peta dibuat pada bulan
Januari 2009 oleh Tim Teknis Buku Peta BRR
PETA PUSAT GEMPA BUMI
26 DESEMBERTAHUN 2004
6
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
21/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
22/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
23/118
menderita trauma. Bencana begitu dahsyat, sehingga diperlukan suatu badan yang
memiliki kewenangan yang cukup untuk sebuah kerja yang cepat, terhindarkan dari
birokrasi.
Pada 16 April 2005, turunlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu)
tentang Pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalamdan Nias (BRR NAD–Nias), badan yang diberi tugas membangun kembali Aceh dan Nias,
yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden untuk menghindarkan birokrasi yang
sering lamban. Di bagian ini dikisahkan ihwal pembentukan BRR NAD–Nias, termasuk
kebijakan off dan on-budget , suatu mekanisme pengelolaan dana yang bersih dan bebas
korupsi. Juga strategi membangun kembali Tanah Bencana yang bukan saja melibatkan
masyarakat, melainkan sedapat mungkin memenuhi keinginan para korban bencana.
Ternyata, dari keporakporandaan yang hampir membuat putus asa, Indonesia
bisa membangun kembali semuanya, bahkan lebih daripada sebelum Aceh dan NIas
terkena bencana. Dan ini tak hanya berkaitan dengan yang fisik, misalnya permukiman
dan prasarana lalu lintas yang membaik. Kondisi keamanan di Aceh juga terpulihkanoleh banyak faktor, tapi awalnya adalah bencana itu. Dan berkat perdamaianlah hasil
pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh bisa memunculkan seorang gubernur
mantan pemimpin GAM tanpa gejolak. Gubernur baru ini pun ternyata bisa segera
bekerja sama dengan semua pihak—termasuk dengan BRR NAD-Nias, yang dikritiknya
semasa ia berkampanye untuk pemilihan kepala daerah. Aceh secara nyata memang
menuju masa depan yang damai.
Kita kutip pidato Presiden SBY pada peringatan setahun gempa dan tsunami: “Mulai
saat ini dan selanjutnya masa depan Aceh bukan lagi masa depan penuh darah dan air
mata, melainkan masa depan yang penuh kerja keras dan harapan.” Dan sesungguhnya
masa depan penuh kerja keras dan harapan itu bukan hanya untuk Aceh, melainkan
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku ini semoga
menjadi rujukan bahwa tidak ada persoalan betapapun rumit dan kompleksnya yang tak
mungkin diatasi di negeri ini.
Beberapa saat setelah tsunam
mereka yang selamat berupay
mencari tempat mengungsi. Sa
satu keluarga di Banda Aceh ya
selamat. Foto: Serambi Indone
Bedu Saini
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
24/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
25/118
TELEPON seluler Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat AlwiShihab berbunyi. Masuk pesan singkat (Short Message Service/SMS). Ketua Harian Badan
Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi itu,
antara percaya dan tak percaya, membaca pesan tersebut: “Ada gempa dahsyat di Aceh.”
Hari itu Ahad, 26 Desember 2004, sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Timur. Alwi
Shihab berada dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandara
Nabire, Papua. Mereka baru saja mengunjungi korban gempa yang terjadi beberapa hari
sebelumnya. Saat itu rombongan bersiap masuk ke pesawat untuk terbang ke Jayapura.
Biarpun meragukan kebenaran SMS itu, Alwi Shihab memperlihatkan juga telepon
selulernya kepada rekan di sampingnya, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo
A.S. “Jangan–jangan SMS ini tidak benar,” kata Alwi.
Rupanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengar percakapan kedua menko
yang memang berada di dekatnya itu. “Ada apa?” tanya Presiden. Langsung Menko
Widodo A.S., yang sudah memegang telepon seluler Alwi Shihab, membacakan pesan itu.
Reaksi Presiden spontan, minta kabar itu dicek ulang, segera.
Bergegaske Tanah Bencana
“Inilah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia.Pemerintah daerah lumpuh, prasarana hancur, listrik padam,
bahan bakar tak ada, komunikasi dan transportasi mati.”
— Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Foto–foto rekaman di awal ben
yang memperlihatkan orang–
berupaya menyelamatkan diri
belakangan menjadi rujukan u
merencanakan operasi tangga
darurat. Salah satu fotografer y
sempat memotret saat–saat a
bencana adalah Bedu Saini da
harian Serambi Indonesia, Ban
Aceh. Ia kehilangan dua anakn
Salah satu hasil jepretan Bedu:
Simpang Lima, Banda Aceh, M
pagi, 26 Desember 2004, beber
menit setelah air laut naik.
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
26/118
Pada hari yang sama di Jakarta, sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Barat, Wapres
Jusuf Kalla baru saja duduk di jok mobilnya. Salah seorang anggota stafnya tergopoh–
gopoh mendekat ke mobil yang siap meluncur ke Istora Senayan. Pagi itu acara Wapres
menghadiri halalbihalal keluarga besar Aceh.
Anggota staf itu menyampaikan pesan singkat yang masuk ke telepon selulernya: “Pak,di Aceh ada gempa, dahsyat sekali.” Wapres tertegun. Sebagai Ketua Badan Koordinasi
Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, bencana
adalah urusannya. Lalu ia meminta stafnya mengecek tayangan CNN —saluran berita
televisi Amerika Serikat yang biasanya meliput peristiwa–peristiwa penting dunia dengan
cepat—kalau–kalau ada berita tentang Aceh. Untuk mendapatkan keterangan lebih jauh,
Wapres menelepon pejabat–pejabat pemerintah daerah di Banda Aceh. Namun tak satu
pun telepon bisa dihubungi.
Ketua Bakornas ini mulai syak, jangan–jangan bencana di Aceh memang besar. Segera
ia mengirim pesan singkat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengabarkan soal
gempa di Aceh. Jawab Presiden: “Saya sudah tahu. Tolong koordinasikan.”
Sementara itu, salah seorang anggota staf Wapres menelepon Budi Atmadi Adiputro,
Deputi Bakornas yang selama ini menjadi tangan kanan Jusuf Kalla dalam urusan
bencana. Pada masa pemerintahan sebelumnya pun keduanya sudah bekerja sama
menangani berbagai bencana nasional. Waktu itu Jusuf Kalla adalah Menko Kesejahteraan
Rakyat, ex–officio atau yang secara otomatis menjabat pula sebagai Wakil Ketua Bakornas,
sedangkan Budi sudah menjabat sebagai Deputi Bakornas. Ternyata Budi, yang sedang
berlibur bersama keluarga di Ciwidei, Bandung Selatan, belum mendengar kabar itu.
Segera ia menelepon teman–temannya di Banda Aceh. Telepon tak kunjung tersambung.
Gagal memperoleh keterangan dari Banda Aceh, ia pun menghubungi Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Keterangan BMG sungguh mengejutkan: benar, ada
gempa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan jarum alat pengukur gempa di BMG
sampai mentok . Jadi, menurut alat yang disebut seismograf itu, skala gempa tersebut
besar sekali.
Syahdan, acara halalbihalal masyarakat Aceh di Istora Senayan pagi itu, yang dihadiri
Wapres Jusuf Kalla, yang semula santai dan meriah, mendadak berubah. Wakil Gubernur
Aceh Azwar Abubakar, yang mendapat kesempatan pertama memberikan sambutan,
mengatakan hatinya tengah terbelah karena di Aceh ada gempa besar. Rupanya, sebelum
Azwar berpidato, mereka yang berhalalbihalal itu belum banyak yang tahu, atau masih
bertanya–tanya, soal gempa di Aceh. Segera orang–orang sibuk dengan telepon selulermasing–masing. Pidato sambutan Wapres singkat, lalu acara bubar. Wapres tak segera
beranjak, malah mengadakan rapat mendadak di Istora Senayan itu juga, mungkin karena
beberapa pejabat hadir dalam halalbihalal tersebut.
12
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
27/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
28/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
29/118
“Air naik! Air naik!”
Orang–orang
berteriak, panik, k
gelombang pertam
tsunami masih
hanya menggenan
Simpang Lima, pusat Kota Banda
Aceh, setinggi mat
kaki. Beberapa
menit kemudian,
gelombang kedua
menghanyutkan
segalanya. Foto:
Serambi Indonesia
Bedu Saini
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
30/118
Di sudut lain Jakarta, Ahad pagi itu juga. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto
sedang berbaring di kolong mobil Impala tuanya, di rumah dinasnya di Jalan Denpasar.
Tiba–tiba pengawal menghampirinya. Ada kabar dari Dinas Siaga Markas Besar (Mabes)
TNI di Cilangkap tentang gempa besar di Aceh.
Dalam organisasi Bakornas, Panglima TNI terdaftar sebagai salah satu anggota.
Keanggotaan itu memberinya wewenang untuk segera bertindak kalau terjadi bencana
dan tindakan memang diperlukan. Namun pagi itu Panglima tak langsung mengambil
suatu keputusan penanggulangan bencana apa pun karena informasi dari Cilangkap
yang baru saja disampaikan kepadanya belum cukup jelas. Lalu Panglima TNI mencoba
menghubungi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda Mayjen
Endang Suwarya untuk menanyakan ihwal bencana di Nanggroe Aceh Darussalam itu.
Gagal, meski berkali–kali upaya dilakukan. Hubungan telepon Jakarta–Banda Aceh putus.
Baru di tengah hari masuk telepon dari Presiden yang telah berada di Jayapura. Presiden
menanyakan apakah Panglima sudah tahu tentang gempa di Aceh. Panglima menjawab
iya, tapi dia masih mencari informasi lebih jauh.
Informasi dari Banda Aceh terhambat oleh putusnya komunikasi. Untunglah militer
memiliki radio komunikasi single–sideband (SSB). Dengan SSB itulah Pangdam Mayjen
Endang Suwarya mengumpulkan informasi dari semua komando distrik militer (kodim)
di kabupaten yang terkena bencana, lalu melaporkannya ke Dinas Siaga Mabes TNI di
Cilangkap. Informasi yang terkumpul di Mabes TNI itu oleh Perwira Dinas Siaga Brigjen
Darmawi Chaidir dilaporkan ke Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Asisten
Operasi Kepala Staf Umum (Kasum) Mayjen Adam Damiri.
Saat itu juga Mayjen Adam Damiri meminta Perwira Dinas Siaga menelepon balik
Pangdam Mayjen Endang Suwarya, agar Pangdam segera membantu masyarakat dan
tetap waspada. Untuk menguatkan perintah lisan itu, Asisten Operasi Kasum pun mintadituliskan telegram yang isinya langkah–langkah yang harus diambil Pangdam Iskandar
Muda. Telegram itu kemudian dikirimkan atas nama Panglima TNI, ditembuskan kepada
tiga kepala staf dan Kasum, serta kepada Panglima sebagai laporan. Langkah yang
harus diambil itu, antara lain, semua satuan TNI yang tak sedang menjalankan tugas
operasional keamanan segera mengevakuasi korban, menggelar rumah sakit lapangan,
dan menyelenggarakan dapur umum. Setiap perkembangan harus langsung dilaporkan,
kapan saja. Tapi proses ini memerlukan waktu sebelum dilaporkan kepada Panglima TNI.
Syahdan, begitu mendengar laporan dari Perwira Dinas Siaga Brigjen Darmawi Chaidir,
Jenderal Endriartono segera membayangkan jalan–jalan darat sulit ditempuh karena
air laut naik ke darat dan kemungkinan besar prasarana lalu lintas darat rusak. Tak ada jalan untuk menolong para korban selain dari udara. Langsung Jenderal Endriartono
menelepon Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Cheppy Hakim dan Asisten Operasi
Kasum TNI Mayjen Adam Damiri. Panglima menanyakan alat angkut udara yang tersedia
guna mengirimkan bantuan ke daerah bencana. Jawaban yang diperoleh bikin kecut:
16
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
31/118
“Pesawat Hercules yang kita miliki saat ini yang bisa terbang hanya enam. Itu pun jam
terbangnya sudah hampir habis. Helikopter TNI jumlahnya juga terbatas.” Tak ada jalan
lain, pikir Panglima TNI, untuk menyelamatkan korban yang masih hidup, harus minta
bantuan militer negara sahabat. Kebetulan, Panglima mengenal baik mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba. Sebelum Jenderal Endriartono menelepon rekan–rekannya,telepon berdering. Di seberang, Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter
Cosgrove berbicara. Rupanya, para panglima militer di negara sahabat, begitu mendengar
berita bencana di Aceh, segera proaktif menghubungi Panglima TNI. Jenderal Cosgrove
menawarkan bantuan obat–obatan dan tenaga medis. Sebelum menjawab tawaran itu,
Panglima TNI terlebih dahulu menceritakan keadaan Aceh menurut laporan Pangdam
Iskandar Muda. Bencana ini luar biasa, sehingga bantuan obat–obatan dan tenaga medis,
“It’s not enough,” kata Panglima TNI. Ia memerlukan banyak pesawat guna mengangkut
bantuan ke daerah–daerah karena diperkirakan banyak jalan darat yang rusak parah dan
tak mungkin dilalui kendaraan. Kalau bisa, kata Panglima TNI, Australia juga mengirimkan
Herculesnya. Tak berpanjang–panjang, Cosgrove langsung menjanjikan empat Hercules.
Melalui telepon itu juga Panglima Tentara Singapura Letjen Ng Yat Chung menjanjikan
Seolah tidak ada berita lain, se
beberapa pekan sebagian besa
halaman media massa nasion
hanya menyajikan kedahsyata
bencana tsunami di Aceh dan
Sumatera Utara, bencana terb
dalam 100 tahun terakhir.
Foto: Yusnirsyah Sirin
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
32/118
LHOKSEUMAWEANDA ACEH
MAKASAR
JAKARTA
JAYAPU
Antara Tsunami di Aceh hingga MoU Damai di Helsink
26 Di Jayapura,Papua, Presidenmenetapkan bencana
gempa bumi dan
tsunami di NAD–
Sumatera Utara sebagai
“bencana nasional”,
dan membatalkan
kunjungan ke Ambon.
Di Jakarta, Ketua
Bakornas PBP Jusuf Kalla
mengirim tim pertama
pemerintah ke Aceh.
Di Jakarta, PanglimaTNI menginstruksikan
Pangdam Iskandar
Muda menggelar
operasi kemanusiaan.
27 Saat transitdi Makassar dalamperjalanan Jayapura–
Lhokseumawe, Presiden
menyatakan hari
berkabung nasional pada
27–29 Desember 2004.
Di Banda Aceh, malam
hari, Tim Penanggulangan
Bencana Sementara
dibentuk, dan Deputi
Bakornas PBP Budi
Atmadi Adiputro
menjadi ketua tim.
28 Di Banda Aceh,Presiden menyarankanempat prioritas
penanganan bencana:
perbaikan komunikasi,
distribusi bahan logistik
dan obat–obatan,
relokasi pengungsi,
serta pencarian orang
hilang dan jenazah.
Ketua Bakornas
mengundang UNOCHA
atau badan PBB untuk
urusan kemanusiaan agar
mengoordinasi bantuan
internasional dan para
pekerja kemanusiaan.
Segera berbagai bantuan
asing masuk ke Aceh.
30 Presiden memintaMenko Kesra Alwi Shihab
berkantor di Aceh.
Ketua Bakornas
mengeluarkan SK
Nomor 01/2004 tentang
Pembentukan Tim
Nasional Penanganan
Bencana Aceh.
29 Presiden melaluiMenteri Sosial BachtiarChamsyah memberikan
12 arahan langkah
tanggap darurat.
Pemerintah menetapkan
penerimaan semua
bantuan melalui Menko
Kesejahteraan Rakyat.
DESEMBER 2004
18
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
33/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
34/118
tiga Hercules. Tawaran bantuan juga datang dari Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia
Jenderal Tan Sri Dato’ Seri Mohd. Zahidi bin H. Zainuddin. Sementara itu, Komandan
Komando Pasifik Amerika Serikat Admiral Fargo dan kapal induknya, USS Abraham
Lincoln, yang sedang menuju Hong Kong, langsung berbelok arah menuju Aceh untuk
memberikan bantuan. Kapal induk ini antara lain membawa 17 helikopter.
Sesungguhnya, sampai hari itu, mereka yang berada di luar daerah bencana baru
menduga–duga bahwa gempa di Aceh sangatlah besar. Tentang “air laut” yang naik ke
darat, pada umumnya mereka pun belum sepenuhnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Putusnya hubungan telepon ke Aceh menutup informasi tentang Aceh. Baru di kalangan
militer—ini pun terbatas pada beberapa orang, termasuk Panglima TNI—dengan radio
komunikasi SSB, informasi tentang bencana terkabarkan. Tapi ini pun belum sepenuhnya
menggambarkan dahsyatnya gempa 9,1 skala Richter pada pukul 08.50 itu, yang
sekitar 15 menit kemudian disusul tsunami, gelombang setinggi belasan meter yang
mengempas ke darat sampai sekitar 6 kilometer, dengan kecepatan 30 kilometer per
jam, yang meratakan apa pun yang dilewatinya—sebagaimana sudah disebutkan di
bagian terdahulu. Baru kemudian, sesuai dengan jalannya jarum jam dan beredarnya hari,
gambaran tentang gempa dan tsunami makin lengkap dan menyebar ke seluruh penjuru.
Jenderal Endriartono Sutarto pun baru yakin benar besarnya bencana di Aceh setelah
Senin esok harinya mendapat laporan langsung dari Pangdam Iskandar Muda Mayjen
Endang Suwarya. Pangdam melaporkan, ketika gempa terjadi, ia berada di Aceh Tengah,
menghadiri acara menanam 800.000 pohon di sekitar Danau Laut Tawar. Ia mengetahui
soal gempa itu begitu dahsyat dan disusul naiknya air laut dari anak buahnya, antara lain
Komandan Kodim Pidie dan Komandan Kodim Lhokseumawe. Di Lhokseumawe, air laut
menghantam ke darat sampai alun–alun dengan ketinggian hingga dua meter. Banyak
korban meninggal, termasuk anggota TNI. Acara penanaman pohon pun dipercepat.Setelah itu, Pangdam bersama Komandan Resor Militer (Danrem) Liliwangsa dan anggota
rombongan yang lain terbang ke Pidie dengan helikopter. Dalam perjalanan ke Pidie,
masuk informasi bahwa Banda Aceh tergenang air laut sampai dua meter. Pangdam
memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh. Pidie ia serahkan kepada Danrem Liliwangsa.
Di Banda Aceh, helikopter yang ditumpangi Pangdam tak mungkin mendarat di
Lapangan Blang Padang, lapangan terdekat dengan Kodam. Lapangan itu tergenang air.
Sampah dan sisa–sisa bangunan pun menumpuk. Tak ada tempat mendarat di sekitar
Kodam, helikopter lalu menuju Pangkalan Udara Blang Bintang, yang—karena begitu
jauh dari pantai—tak tersentuh air laut. Dari Blang Bintang, dengan bus pinjaman dari
komandan pangkalan udara itu, Pangdam memasuki Banda Aceh.
Tiang–tiang listrik tumbang, lumpur di mana–mana, bangkai binatang berserakan.
Orang–orang berlarian panik. Jalan masuk ke Banda Aceh dipenuhi sampah yang terdiri
atas berbagai macam benda, dan mayat terserak di mana–mana. Dengan susah payah
bus yang membawa Pangdam Iskandar Muda itu akhirnya sampai juga di Rumah Sakit
Kesdam (Kesehatan Kodam). Meski dalam perjalanan Pangdam sudah membayangkan
20
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
35/118
betapa besar bencana ini, sesampai di rumah sakit tetap saja ia kaget: ratusan mayat
bergelimpangan di halaman, puluhan korban luka dirawat di dalam. Waktu itu jam
menunjukkan pukul 12.30 WIB.
Dari Rumah Sakit Kesdam, Pangdam langsung ke Markas Batalyon 112. Soalnya,
ia memperoleh informasi bahwa banyak warga, termasuk istri dan anaknya sendiri,
mengungsi ke markas batalyon tersebut. Benar, setiba di Markas Batalyon 112, Pangdam
bertemu dengan anak dan istrinya. Ia pun sempat menengok sejumlah korban, termasuk
Kepala Staf Kodam yang terluka parah. Sesudah itu, tanpa membuang–buang waktu,
Pangdam langsung memberikan komando: keluarkan semua bahan makanan, buat dapurumum untuk warga sipil dan militer. Anggota Kodam dipersilakan mencari anggota
keluarganya yang hilang, sedangkan yang mempunyai anak kecil diharap tetap menjaga
markas. Selebihnya diperintahkan mengikuti Pangdam ke kota, memberikan pertolongan
kepada korban yang masih hidup dan mengevakuasi korban yang meninggal. Inilah
pasukan penolong dan pengevakuasi mayat pertama yang terkoordinasi, terdiri atas 500
siswa Sekolah Calon Perwira dan hampir seribu anggota Kodam.
Pengungsi dari Meulaboh berja
kaki menuju Banda Aceh. Jalan
dan jembatan tak mungkin dil
kendaraan setelah dihantam a
yang lari dengan kecepatan pe
jet. Foto: Arie Basuki
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
36/118
Meskipun Panglima TNI sudah membayangkan besarnya bencana berdasarkan laporan
dari Mabes TNI, laporan Pangdam yang lebih detail memberikan gambaran bahwa
bencana di Aceh mahadahsyat dan tak pernah terjadi sebelumnya. Maka siang hari itu
juga Panglima terbang ke Lhokseumawe, antara lain untuk memberikan laporan kepada
Presiden, yang hari itu terbang dari Jayapura ke Aceh.
Penerbangan Nabire–Jayapura ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Presiden dan
rombongan mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, sekitar pukul 13.00 Waktu Indonesia
Timur—sekitar pukul 11.00 Waktu Indonesia Barat. Malam harinya, Presiden dijadwalkan
menghadiri perayaan Natal bersama masyarakat Papua di Gelora Cenderawasih. Sejak
mendarat, di tengah suasana peringatan Natal, Presiden sibuk mencari informasi tentang
gempa di Aceh dan Sumatera Utara.
Malamnya, sekitar 5.000 orang hadir dalam perayaan Natal yang berjalan sesuai dengan
rencana. Dalam sambutannya, meski tidak secara khusus, Presiden menyinggung bencana
di Aceh. “Damai, kasih, dan sukacita itu hendaknya diamalkan bagi saudara–saudara kita
sesama bangsa yang benar–benar membutuhkan, terutama mereka yang mengalami
musibah gempa di Alor, Nabire, dan terakhir di Aceh dan Sumatera Utara.”
Sehabis perayaan Natal, informasi makin jelas: gempa di Aceh adalah gempa besar,
jauh lebih besar dibandingkan dengan gempa Nabire yang menewaskan sekitar 130
orang. Malam itu juga diselenggarakan jumpa pers di Gedung Negara Jayapura. Presiden
bercerita tentang gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara sebagaimana yang
dilaporkan kepadanya. Hingga malam itu, korban meninggal sudah lebih dari 800
orang. Angka ini, kata Presiden, akan terus bergerak naik karena belum semua korban
dievakuasi. Jelas, ini sebuah gempa besar. Malam itu juga Presiden menyatakan gempa
di Aceh sebagai bencana nasional. Presiden membatalkan rencana kunjungan ke Ambon
karena esok harinya dia dan rombongan akan langsung terbang ke Aceh.
Pemerintahan Yudhoyono–Jusuf Kalla pada hari itu baru berusia dua bulan lebih
sepekan. Pada usia semuda itu, pemerintah ini harus menanggulangi bencana yang oleh
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell, yang pernah memimpin Operasi Gurun
di Irak, dikatakan sebagai bencana yang dahsyatnya belum pernah ia saksikan. Menurut
David Nabarro, direktur urusan bantuan kesehatan dalam krisis di Badan Kesehatan
Perserikatan Bangsa–Bangsa, skala bencana di Aceh ini sangatlah besar, suatu skala yang
belum pernah dihadapinya.
Dugaan Powell dan Nabarro tidak berlebihan. Kemudian kita tahu, sepanjang pantai
Banda Aceh sejauh enam kilometer ke daratan tersapu tsunami. Total di seluruh NanggroeAceh Darussalam, daratan yang “rata dengan tanah” ini 28.485 hektare atau hampir 40
persen luas DKI Jakarta. Sebagian besar daerah tersebut adalah kawasan permukiman
dan kegiatan ekonomi seperti pasar dan pertokoan. Jadi, meski luas daratan yang
porak–poranda kurang dari setengah persen, korban meninggal sekitar 7,5 persen dari
total penduduk Nanggroe Aceh Darussalam atau 126.741 orang.
22
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
37/118
Angka–angka dalam bencana tersebut baru bisa diketahui beberapa hari setelah
bencana. Andai saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera menyatakan
bencana di Aceh sebagai bencana nasional, kemungkinan besar angka–angka itu
jauh lebih tinggi. Sebab, penetapan bencana di Aceh sebagai bencana nasional
dengan sendirinya menggerakkan semua departemen dan kementerian untuk
segera memberikan bantuan ke sana. Lantas, esoknya, setelah malamnya Presiden
mengumumkan bencana nasional itu, ketika singgah di Makassar dalam perjalanan
Jayapura–Lhokseumawe, dinyatakanlah hari berkabung nasional tiga hari. Pernyataan
ini sekaligus sebagai imbauan agar seluruh rakyat Indonesia ikut berdukacita dan
memberikan bantuan semampunya—kalaulah bukan materiil, ya, moril. Dengan dua
pernyataan tersebut, Presiden tak hanya menggerakkan birokrasi, tapi juga seluruh
bangsa, untuk ikut menangani bencana di Aceh dan Sumatera Utara itu.
Sementara itu, Wakil Presiden sebagai Ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi bergerak cepat. Ia mengirimkan tim ke Aceh untuk langsung
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar perencanaan penanganan bencana
bisa dilakukan sebaik mungkin. Wapres, selain membekali Menteri Komunikasi dan
Informatika Sofyan Djalil uang Rp 200 juta, juga meminjaminya telepon satelit. Wapres
Kawasan pusat pertokoan Ban
Aceh luluh–lantak; Bappenas
menghitung, bencana gempa
tsunami mengakibatkan hilanharta benda senilai Rp 41,4 tril
Foto: Antara/Zarqoni Maksum
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
38/118
minta, begitu sampai di Aceh, Menteri segera melaporkan segera seperti apa sebenarnya
bencana ini. Ternyata kemudian, telepon satelit pun tak berfungsi. Menteri bisa
menghubungi Wapres lewat komunikasi SSB milik TNI di Banda Aceh, malam hari.
Dari tim yang dikirimkan inilah Wapres Jusuf Kalla mendapatkan informasi yang
membuat dia langsung meminta Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyediakan uang
kontan Rp 10 miliar untuk dibawa ke Aceh esoknya. Wapres tak mau tahu dari mana
Menteri mendapat uang sebanyak itu. Pokoknya, esok harinya uang itu sudah harus
dibawa untuk dana penanganan bencana.
Lalu apa yang disaksikan Menteri Sofyan Djalil di hari Ahad itu? Menteri itu mendarat diMedan sekitar pukul 16.00. Sedianya, di Bandara Polonia itu pesawat hanya akan mengisi
bahan bakar sebelum melanjutkan penerbangan ke Aceh. Namun mereka mendapat
kabar bahwa Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh, tak bisa didarati. Pesawat Garuda
yang terbang ke Banda Aceh pagi itu kembali ke Medan. Ceritanya, pesawat itu tak berani
mendarat karena tak ada pemandu pendaratan di menara pengendali lalu lintas udara di
Kapal terdampar di tengah
Kota Banda Aceh; saksi mata
mengatakan, gelombang air
setinggi dua kali pohon kelapa
itu tak menyisakan apa pun dan
melambungkan kapal–kapal yang
tengah berlabuh di pantai ke tengah
kota. Foto: AFP/Kazuhiro Nogi
24
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
39/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
40/118
DI Thailand, wisatawan berlarianmenghindari kejaran air bah. Ada yang
selamat, tapi lebih banyak yang tertelanair laut. Kekuatan mereka tak sepadan,
memang. Bangunan resor saja banyak
yang hancur. Apalagi manusia. Tayangan
di televisi itu menjerat mata siapa pun.
Pemandangan lain lebih mengenaskan.
Masyarakat miskin di Sri Lanka juga tak
luput dari terjangan gelombang besar itu.
Nun jauh di New York, sepasang
mata menangkap pemandangan yang
menyedihkan itu. Malam itu, setelah
menyaksikan tayangan tersebut, Paryono
Atianto, Kuasa Usaha Indonesia di New York, langsung terhuyung. Jantungnya
kian berdegup keras saat dia mengetahui
episentrum atau pusat gempa itu ternyata
tak jauh dari pantai Aceh. Bergegas dia
menghidupkan komputer, menunggu kabar
dari Internet.
Namun dia tetap gundah. Tak banyak
informasi yang dia dapatkan. Praktis
malam itu Paryono tidak tidur. Frustrasi
memenuhi kepalanya. Dia mengontak
Deputi Wakil Tetap Republik Indonesia di
PBB, Adiyatwidi Adiwoso Asmady—yang
biasa dipanggil Wieke—yang malam
itu berada di Florida. Wieke, yang juga
terenyak menyaksikan tayangan yang
sama di televisi Aljazeera, membesarkan
hati koleganya itu, “Bertahanlah, saya
kembali dengan pesawat pertama yang
memungkinkan.”
Mafhum bahwa bencana yang terjadi
teramat besar, Wieke segera memutuskan
untuk mengakhiri cuti akhir tahunnya. Ia
menghubungi atasannya, Rezlan I. Jenie—
Wakil Tetap RI di PBB—yang tengah berada
di Tokyo, Jepang. Mereka sepakat berbagitugas. Rezlan ke Jakarta, sedangkan
Wieke kembali ke New York, ke kantornya.
Langkah cepat memang harus
dilakukan. Liburan akhir tahun harus
segera diakhiri. Kantor yang hanya dihuni
karyawan dengan jumlah sekadarnya—
kebanyakan tengah menghabiskan libur
akhir tahun—harus segera dihidupkan.
Sesuatu yang mengerikan tengah terjadi diTanah Air, ribuan kilometer dari New York.
Benar saja, di 38th Street, kantor
Perwakilan Tetap Republik Indonesia
(PTRI) di PBB, ledakan kegiatan segera
terjadi. Telepon terus berdering sesudah
United States Geological Survey (USGS)
mengidentifikasi gempa besar dan lokasi
episentrumnya terletak di pantai barat
Pulau Sumatera. Kabar ini menjadi
pembuka badai yang berlangsung dalam
beberapa hari kemudian. Kesibukan
langsung terjadi.
Esok paginya, kantor UN Office for the
Coordination of Humanitarian Affairs
(UNOCHA) mengadakan rapat koordinasi
dengan negara–negara yang terkena
tsunami dan beberapa negara donor.
Rapat yang dipimpin Jan Egeland, Direktur
OCHA, dan wakilnya, Margareta Wahlstrom,
mengumpulkan data dari negara–negara
yang menjadi korban gelombang raksasa
ini.
Paryono, dengan hati–hati, melaporkan
bahwa korban di Indonesia yang terdata
saat itu berjumlah 300 orang. Sri
Lanka masih berada di urutan teratas,
diikuti India. Dalam pertemuan itu pula
dilaporkan bencana juga mengakibatkan
kerusakan dan merenggut korban di
beberapa negara lain, seperti Thailand,
Maladewa, dan Seychelles. Rapat ini
memutuskan untuk memonitor terus
perkembangannya.
Di Indonesia sendiri, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengumumkan
bahwa Aceh—yang masih dirundung
konflik—terbuka untuk para pekerjakemanusiaan, bahkan beberapa pesawat
militer negara tetangga, seperti Singapura
dan Australia. Hal ini membuat semua
orang di New York lega. Egeland seperti
mendapat suntikan darah. Saat tampil
di CNN, dia menyerukan agar dunia
bersatu untuk mengatasi dampak
Jalan Panjang untuk Sebuah Resolusi
26
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
41/118
bencana yang belum pernah dialami ini.
Dia juga meminta negara maju segera
mengucurkan bantuan.Kesibukan Wieke tak jua surut.
Perempuan ini mengikuti pertemuan
koordinasi berikutnya dengan Sekretaris
Jenderal PBB untuk membahas apa yang
harus dikerjakan negara–negara yang
menjadi korban tsunami itu. Gambar–
gambar dari Aceh yang memberitakan
kehancuran yang luar biasa membuat
Indonesia ditetapkan sebagai koordinator
negara korban tsunami.
Hampir bersamaan dengan itu, Presiden
Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesiaakan mengadakan Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN khusus membahas bencana
tsunami. Presiden pun mengundang
Sekjen PBB Kofi Annan untuk hadir. Sore
itu pula Wieke menemui Sekjen PBB.
Syukurlah, Kofi Annan menyatakan akan
hadir pada pertemuan itu.
Mengantisipasi hasil KTT ASEAN di
Jakarta, PTRI menggalang suara di PBB.
Kesiapan PBB sangat dibutuhkan dan
perlu ada payung hukumnya: Resolusi
Majelis Umum Perserikatan Bangsa–
Bangsa tentang Tsunami 2004. Namun itu
tidaklah mudah. Wieke harus melakukan
lobi panjang dan berpacu dengan waktu
karena draf resolusi ini harus sudah
selesai dalam enam hari. Termasuk
mengadopsi hasil KTT ASEAN di Jakarta.
Bila tidak, negosiasi dengan negara donor
akan sangat alot karena mereka memiliki
syarat–syarat yang biasa dipakai dalam
memberikan bantuan. Sebaliknya, negara–
negara korban teramat membutuhkan
bantuan dengan segera.
Kesibukan lain pun terjadi di Jenewa,Swiss, kantor PBB yang lain. Mereka
mempersiapkan Imbauan Kilat (Flash
Appeal) PBB untuk menggalang bantuan
bagi negara–negara yang terkena tsunami.
Indonesia sendiri dipimpin Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan/
Ketua Bappenas Sri Mulyani Indrawati
dalam Pertemuan Tingkat Menteri
tentang Dukungan Kemanusiaan
kepada Komunitas Terdampak Tsunami(Ministerial–level Meeting on Humanitarian
Assistance to Tsunami–Affected
Communities) pada 11 Januari 2005, yang
menjadi ajang diluncurkannya flash appeal
tersebut. Luar biasa, flash appeal kali ini
menghasilkan janji bantuan sebesar US$
6,3 miliar untuk seluruh wilayah yang
terdampak tsunami.
Kembali ke New York. Kerja keras
Wieke berbuah hasil. Draf resolusi pun
rampung dan kemudian disahkan dalam
Sidang Khusus Majelis Umum PBB, 19
Januari 2005. Resolusi ini menekankan
tata cara kerja PBB membantu pemulihan
pascabencana tsunami, mengimbau
negara–negara untuk memberikan
bantuan, mendukung pelaksanaan
Konferensi Pengurangan Risiko Bencana
di Kobe, menghargai kesepakatan Paris
Club untuk memberikan moratorium
buat pembayaran utang bagi negara
yang terkena bencana, serta mendorong
dibentuknya kemitraan atas permintaan
dan dipimpin oleh negara tuan rumah—
dengan negara donor, lembaga keuangan
internasional dan regional, serta pihak–
pihak lain.
Untuk menggalang dan menjaga
komitmen negara donor, PBB lalu
membentuk sebuah konsorsium global
(Global Consortium for Tsunami–Affected
Countries) dan menunjuk seorang utusan
khusus. Setelah proses pemilihan yang
intensif dan melibatkan calon–calon dari
Jepang dan Thailand, posisi ini kemudian
diisi mantan Presiden Amerika Serikat,
William Jefferson (Bill) Clinton, yang diberi
mandat untuk bekerja selama dua tahun.Sebuah landasan hukum dan prinsip
kerja sama di tingkat internasional bagi
berlanjutnya perhatian dan bantuan dunia
telah terbentuk. Hasil yang pantas dari
sebuah perjuangan diplomasi antarbenua.
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
42/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
43/118
KETIKA tsunami itu menggulung daratan Aceh, mereka yang selamat sempatberpikir: kiamatkah hari ini? Lalu mereka pun teringat hadis bahwa kiamat terjadi
pada Jumat. Hari itu, 26 Desember 2004, adalah hari Ahad, jadi petaka ini bukanlah
akhir zaman. Maka orang–orang yang dikaruniai panjang umur itu pun menjadi saksi
kedahsyatan bencana tersebut.
Kesan itulah yang dirasakan Mar’ie Muhammad, Ketua PMI. Mar’ie termasuk dalam
rombongan yang pada hari bencana tiba di Banda Aceh, petang hari, dengan pesawat
pribadi Wapres Jusuf Kalla. “Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat
lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan,” tutur mantan Menteri Keuangan itu.
“Anak–anak kecil di jalanan berteriak sambil menangis memanggil–manggil ibunya;
orang–orang dewasa dengan pandangan kosong, kadang berteriak, stres kehilangan
keluarganya; makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti
latihan kiamat, kiamat kecil.” Ia sendiri selama seminggu setelah pulang dari Aceh
menderita stres berat, kadang spontan berteriak begitu terbayang kiamat kecil itu.
Mula–mula adalah gempa yang membuat orang pun tak bisa bertahan berdiri.
(Kemudian diketahui gempa tersebut berkekuatan 9,1 skala Richter—hanya kurang
0.9 skala untuk mencapai angka 10, skala terbesar pada seismograf, alat pengukur
gempa.) Suami–istri Usman Ahmady, 55 tahun, dan Dina Astina, 35 tahun, sedang
Episentrumdi Serambi Mekkah
“Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergimembawa ribuan nyawa dalam waktu singkat.”
—Ismail Sarong, empu serunai kale
Selalu ada “keajaiban” dalambencana; banyak masjid tetap
berdiri meski dihantam tsunam
Pemandangan di Masjid
Baiturrahman, Banda Aceh, sa
satu tempat pengungsi berlind
sekitar masjid menjadi tempat
sampah raksasa. Foto: Ilham A
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
44/118
dalam perjalanan dari Calang, Aceh Jaya, menuju Banda Aceh untuk menghadiri pesta
pernikahan kerabatnya. Namun, sesampai di Simpang Lima, Banda Aceh, tiba–tiba mobil
yang mereka tumpangi oleng. Karyawan Pemda Aceh Jaya dan istrinya itu mengira ban
mobil pecah. Mereka turun, tapi langsung terjatuh karena bumi bergoyang; mencoba
duduk pun susah. Begitu melihat orang–orang di sekitar juga terjatuh, sadarlah mereka
bahwa ada gempa besar. Setelah gempa berhenti, mereka melanjutkan perjalanan ke
Lhong Raya untuk menghadiri acara pernikahan.
Inilah cerita suami–istri yang meninggalkan ketiga anaknya di rumah karena berpikir
mereka bisa segera pulang ke Calang, 150 kilometer dari Banda Aceh. Ternyata suami–istri
ini harus menerima kenyataan bahwa mereka tak lagi bisa bertemu dengan ketiga
anaknya, untuk selamanya.
”Setelah akad nikah di Baiturrahman dibatalkan karena gempa, upacara dilangsungkan
di rumah. Sehabis acara, kami mencemaskan anak–anak di rumah. Kami pamit pulang.
Dari Lhong Raya menuju Calang harus kembali melewati Kota Banda Aceh. Begitu
memasuki kota, kami kaget luar biasa. Lumpur hitam di mana–mana, mobil–mobilterjungkal. Dan astagfirullah, mayat–mayat masih segar bergelimpangan di Jalan Teuku
Umar. Mobil harus berjalan zigzag mencari celah. Saya menjadi histeris, teringat ketiga
anak kami.”
Kecemasan dan keputusasaan Dina sangat beralasan. Calang, ibu kota Kabupaten
Aceh Jaya, kota pantai barat, langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Bila air
laut sampai ke tengah Kota Banda Aceh, kota di pantai utara yang boleh dikata punya
bumper Pulau Sabang, lalu apa yang terjadi dengan Calang? Beberapa hari kemudian,
Dina mendengar kabar bahwa Calang rata dengan tanah, dan sekitar 80 persen dari
warganya tewas atau hilang. Dina berharap ketiga anaknya termasuk yang 20 persen.
Namun, setelah mencari dari kamp pengungsian satu ke yang lain, akhirnya mereka
pasrah. Barangkali Usman dan Dina masih bisa bertahan karena mereka tak sendiri.
Atasan Usman, Bupati Aceh Jaya, yang ketika tsunami melanda sedang berada di Jakarta,
kembali ke Calang dengan stres berat: istri dan ketiga anaknya yang tak ikut ke Jakarta
hilang tanpa jejak. Satu–satunya anggota keluarga yang selamat adalah seorang anaknya
yang kuliah di Banda Aceh.
Usman dan Dina tak mengalami sendiri tergulung gelombang dahsyat bernama
tsunami itu. Banyak di antara mereka yang bertahan hidup menderita trauma karena
merasakan sendiri tergulung ombak, berada di ambang kematian. Salah satunya adalah
Ismail Sarong, ketika itu berusia 60 tahun, empu peniup serunai kale, seruling khas Aceh.
Di Ahad pagi itu, di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, tengah dilangsungkan
lomba maraton 10K Banda Aceh. Sekitar 3.000 orang, peserta dan penonton, memenuhi
lapangan dan sekitarnya. Ismail Sarong diundang panitia lomba untuk memeriahkan
pesta lari ini. Dan ia menyaksikan orang–orang tersapu gelombang laut sebelum ia sendiri
tergulung di dalamnya. “Hidup berhenti hanya dalam lima menit. Air datang lalu pergi
membawa ribuan nyawa dalam waktu singkat,” kenang sang peniup serunai.
30
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
45/118
Pagi, sebelum pukul tujuh, Ismail mengawali tugasnya dengan duduk di mobil bak
terbuka sembari meniupkan lantunan nada–nada dari alat musiknya, diiringi entakan
gendang yang ditabuh Rusdiansyah, anak lelakinya. Mobil itu mengikuti para pelari. Baru
puluhan meter dari Blang Padang, tiba–tiba tanah bergoyang. Gempa besar. Orang–orang
berlarian. “Pikiran saya tak enak. Saya segera turun dari mobil, melihat sekeliling. Banyak
bangunan rontok. Orang–orang menjerit, takut, dan bingung.” Lomba lari pun bubar.
Karena acara bubar, Ismail bersama Rusdiansyah berboncengan skuter pulang ke
rumah di Gampong Pande. Mereka mampir sebentar ke rumah seorang sahabat di dekat
lapangan, sekadar menengok apakah sahabat itu ikut terkena musibah gempa atau tidak.
Ternyata tidak. “Saya sempat duduk sebentar, berbincang tentang gempa yang baru
terjadi. Tapi perasaan tak tenang, ingat istri dan anak–anak di rumah. Saya lalu pamit,”tutur Ismail.
Beberapa ruas jalan ternyata ditutup. Banyak puing berserakan dan bertumpuk di
jalan itu. Ismail menyusuri jalan tikus bermaksud mengambil jalan di depan Masjid Raya
Baiturrahman. Dari depan Masjid Baiturrahman—masjid ini tak begitu parah terguncang
gempa—Ismail pun terus melaju ke arah pantai. Gampong Pande, kampungnya, memang
Salah satu sudut Kota Banda A
beberapa kota di NAD menjadlumpuh total dalam beberapa
komunikasi terputus, listrik ma
makanan dan minuman musn
Foto: Arie Basuki
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
46/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
47/118
Saksi bisu kedahsya
alam di kawasan wi
pantai Lhok Nga, se
gelombang laut seti
belasan meter deng
kecepatan puluhan
kilometer per jammenyapu segala yan
termasuk memangk
pohon–pohon kelap
Foto: Antara/Maha E
Swasta
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
48/118
dekat dengan pantai. Namun, saat mereka baru melintas sekitar 10 meter, terdengar
seseorang berteriak dari lantai dua masjid. “Pak, Pak, balik Pak, air laut naik,” seru orang itu
seraya menunjuk ke arah datangnya air, arah yang dituju Ismail dan anaknya.
Ketika itulah Ismail baru menyadari suara gemuruh bagaikan deru pesawat jet. Lelaki
tinggi kurus ini kebingungan. Ia mengerem mendadak skuternya dan berteriak kepadaRusdiansyah, pemuda 24 tahun itu. “Cepat kau lari! Gendang taruh di mana saja. Kau
lari, jangan menoleh ke belakang!” (Jauh hari kemudian, ia baru menyadari keanehan
perintahnya itu; bukankah seharusnya dengan membonceng skuter bisa lebih cepat
menjauhi gelombang air yang mengejar? Tapi Ismail bersyukur karena justru dengan lari
anaknya selamat sampai di pendapa gubernuran yang hanya tergenang, tidak tersapu
tsunami.)
Ketika Rusdiansyah lari secepatnya, Ismail yang panik membelokkan arah kendaraannya.
Rupanya, kepanikan menghambat geraknya dan gelombang itu keburu menyapu dia dan
skuternya. Inilah pengalaman yang masih diingat peniup serunai kale itu:
Dari 126.000 lebih korban meninggal
di Aceh, sekitar 30.000 di antaranya
anak–anak; dan anak–anak yang
selamat banyak menderita cacat
tubuh. Foto: Yusnirsyah Sirin
34
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
49/118
“Gelombang air hitam yang membawa bongkahan kayu menghantam. Saya terseret,
timbul–tenggelam. Saya rasakan badan saya menghantam tembok. Napas terasa sesak.
Saya masih duduk di Vespa rupanya. Kaki terjepit Vespa, dan kami teronggok di gunungan
sampah dan balok kayu. Saya meronta, melepaskan jepitan itu. Saya tak merasakan sakit
waktu itu. Pikiran saya hanya ke rumah. Terbayang anak–anak.
“Tiba–tiba air surut, lebih kencang dibanding ketika menghantam saya sebelumnya.
Mendadak serunai kale yang tadi saya sangkutkan di setang Vespa muncul di permukaan,
tepat di hadapan saya. Dalam hati saya berkata, serunai ini dalam keadaan macam begini
masih mau ikut. Jadi untuk seterusnya saya tidak boleh lepas dari serunai.
“Segera saya raih serunai dari kayu jati itu, saya selempangkan ke punggung. Saya
bisa menggerakkan tangan, tapi rasanya tak ada tenaga untuk menggerakkan kaki.
Saya lihat seseorang mendekat dari balik tembok. Orang itu lalu membopong saya. Saya
sepenuhnya sadar, ingat semua kejadian, namun saya tak bisa berkata apa pun. Tubuh
saya menggigil, mulut terasa terkunci. Saya dibaringkan di lantai. Saya mendengar
pembacaan ayat–ayat Al–Quran bercampur tangis dan jeritan.”
Syahdan, Rusdiansyah yang selamat itu menemukan bapaknya di masjid sekitar pukul
sebelas siang, sekitar tiga jam setelah bencana terjadi. Mereka berdua malam itu tidur di
masjid, tak bisa pulang. Orang–orang bilang, jalan menuju Gampong Pande belum bisa
dilewati, masih tergenang air dan tertutup tumpukan puing–puing. Lagi pula kaki Ismail
ternyata luka. Ismail kemudian diinapkan di rumah salah seorang keponakannya di Ulee
Kareng yang tak terkena tsunami.
Lebih dari sebulan Ismail harus tinggal di rumah keponakannya. Selama itu, bila
ayahnya berniat menjenguk rumah, Rusdiansyah selalu melarang. Ketika akhirnya
pulang kampung, Ismail terenyak seolah napasnya berhenti. Di hadapannya hanyahamparan lahan, kering, dengan beberapa pohon tinggi masih berdiri dan nisan–nisan di
makam bersejarah berserakan. Peniup serunai ini menemukan sisa tembok dan fondasi
rumahnya. Rumahnya lenyap beserta seluruh penghuninya ketika itu: ibu, istri, dan kelima
anak perempuannya. Gampong Pande seperti tak pernah ada. “Sedih betul kala itu.
Rasanya ingin mati. Tapi saya coba kuatkan hati. Banyak pula orang yang mengalami nasib
seperti kami, bahkan ada yang lebih menderita,” katanya.
Adalah Basariyah, 45 tahun, yang biasa dipanggil Neneh, warga Lampaseh,
Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Ketika gempa terjadi, seisi rumah janda sembilan
anak ini sempat menghambur ke luar rumah. Gempa berhenti, mereka kembali masuk
ke rumah, dan Neneh menyuapi si bungsu yang baru berusia satu setengah tahun. Anaksulungnya berniat ke Sabang hendak melihat keadaan setelah gempa. Baru seratus meter
melangkah ke arah kota, ia segera balik ke rumah dan berteriak, “Air laut naik…. Lari! Lari!”
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
50/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
51/118
Kisah Neneh menyadarkan kita betapa pentingnya memasyarakatkan kemungkinan
berbagai bencana yang mengancam dan cara menyelamatkan diri. Mereka yang tak
menyadari bencana ini, bukannya lari menjauh, justru berlindung di dalam rumah.
Padahal gelombang laut tersebut pasti menggulung rumah itu. Inilah kisah ibu yang
kehilangan tujuh anaknya dalam bencana Ahad pagi itu.
”Saya bingung dan tak tahu harus berbuat apa mendengar teriakan anak lelaki saya
itu. Keenam anak dan seorang cucu naik ke lantai dua. Salah seorang anak berteriak,
minta saya mengunci pintu rumah. Saya mengunci pintu sambil masih menggendong si
bungsu.
“Belum sempat saya memutar anak kunci, air bah menghantam pintu. Anak dalam
gendongan saya terlepas. Saya tak mampu menyelamatkannya. Gelombang kedua lebih
kuat. Saya masih sempat melihat semua isi rumah hanyut, termasuk anak–anak, tapi saya
tak bisa berbuat apa–apa. Saya merasa tergulung air. Saya ingat, saya digulung–gulung
air sampai ke tengah kota. Kaki saya tersangkut di tumpukan reruntuhan rumah. Saya naik
ke tumpukan puing–puing itu. Kepala saya terhantam lemari besar. Saya pingsan.
“Waktu sadar kembali, saya memandang langit; ini kiamat bukan? Ternyata matahari
masih bersinar. Saya melihat ke sekeliling. Oh, saya berada dekat sekolah. Baru kemudian
saya merasa kaki saya sakit, selembar seng menancap. Kepala saya memar. Saya raih
sebatang kayu, saya jadikan tongkat untuk berjalan. Selembar kain yang tersangkut saya
ambil untuk membungkus tubuh. Saya tak tahu kenapa seluruh pakaian saya lenyap.
Tiba–tiba saya melihat salah satu anak saya terjepit batang pohon asam yang roboh. Ia tak
bergerak. Saya melangkah menuju anak itu….”
Ketika sadar, Neneh mendapati dirinya terbungkus dari kaki hingga kepala—itulah
kantong mayat. Ia pun berteriak sekuat tenaga, “Saya masih hidup. Tolong dibuka….”Ternyata Neneh ditemukan para pekerja sukarela dan dibawa ke pendapa gubernuran. Ia
disangka telah tak bernyawa, maka dimasukkan ke kantong mayat.
Malam itu juga Neneh dibawa ke Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda.
Usman, Dina, Ismail, dan Neneh hanyalah sekadar contoh. Melihat keluasan wilayah
yang dilanda tsunami, bisa dibayangkan betapa banyak yang menjadi korban. Menyadari
dahsyatnya air bah itu—sampai setinggi belasan meter dan dengan kecepatan 30
kilometer per jam di daratan—bisa dikatakan tak ada apa pun yang mampu bertahan.
Akhirnya, angka–angka memang menggambarkan secara tak langsung luar biasanya
gempa yang disusul tsunami yang melanda wilayah barat dan utara Aceh. Wilayah itu
lumpuh, terisolasi, tanpa alat komunikasi dan listrik, juga tanpa makanan dan air minum.
Gempa, tentu saja, terasa di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi tsunami “hanya”
menerjang 11 kabupaten dan dua kota, menewaskan lebih dari 126.000 orang, dan
lebih dari 93.000 orang dinyatakan hilang. Gelombang raksasa yang mendera daratan
sampai enam kilometer itu meninggalkan kawasan dua kilometer dari pantai ke darat
Bencana tak mengenal korban
sebuah sedan mewah terdamp
di sebuah pintu gudang
bersama tumpukan sampah.
Foto: Yusnirsyah Sirin
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
52/118
rata dengan tanah; pohon–pohon kelapa tinggal pokok setinggi semeter. Panjang
pantai barat Aceh yang digulung tsunami mencapai 240 kilometer. Total pantai yangtersapu tsunami 800 kilometer, kira–kira sama dengan jarak Jakarta–Surabaya. Adapun
luas daratan yang digerus tsunami, menurut perhitungan Bappenas, mendekati
180.600 hektare atau sama sekitar 28.485 hektare dapat dikatakan rata dengan tanah.
Panjang jalan yang rusak tak bisa dilewati mencapai 2.618 k ilometer. Akibatnya, banyak
sekali daerah yang tak bisa dijangkau lewat darat setelah tsunami, terutama wilayah di
pantai barat.
Di Lampu’uk, kota pantai di ujung barat laut Aceh, boleh dikata lebih dari 80 persen
kota hancur. Sebuah masjid yang bertahan menjadi tempat mengungsi sekitar 10 persen
warganya yang selamat. Ke sinilah, antara lain, dua mantan Presiden Amerika Serikat, BillClinton dan George W. Bush Sr., berkunjung.
Lebih dahsyat adalah Calang, ibu kota Aceh Jaya. Hampir di seluruh kota itu tak ada
bangunan yang berdiri lagi. Kota ini pun terisolasi dari daerah lain karena jalan darat
mustahil ditempuh, dan pantainya pun dipenuhi sampah. Hanya sekitar 2.500 dari
Warga Calang yang selamat
menerima bantuan kemanusiaandari helikopter Seahawk Angkatan
Laut Amerika Serikat, 4 Januari 2005.
Kota di pantai barat Aceh ini hancur
total. Foto: Jefri Aries
38
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
53/118
12.000 penduduk Calang yang selamat. Sedangkan Meulaboh, ibu kota Aceh Barat,
bisa dikata hancur total. Di pusat Kota Meulaboh hanya beberapa bangunan beton dan
sebuah menara radio yang masih berdiri setelah tsunami. Meulaboh merupakan kota
pelabuhan penting di pantai barat yang berada dalam wilayah kabupaten Aceh Barat,
sebelum tsunami terdata berpenduduk sekitar 190.000 jiwa, dan setelah tsunami menjadi
181.939 jiwa.
Tak berlebihan orang menyebut 26 Desember 2004 sebagai “kiamat kecil”. Di sebagian
besar wilayah yang terisolasi, mereka yang selamat harus mengalami kelaparan dan
kehausan lebih dari 24 jam sebelum bantuan dikirimkan, tepatnya dijatuhkan, dari
udara. Wilayah–wilayah yang disapu tsunami menjelma bak daerah tak bertuan. Yang
membedakan daerah tak bertuan dengan wilayah yang terkena tsunami hanya satu: di
tempat bekas tsunami mengamuk, mayat berserakan.
Pemandangan itulah yang membuat para pemimpin yang mengunjungi daerah
bencana langsung meningkatkan besarnya bantuan yang dijanjikan. Presiden George
W. Bush Sr. semula menjanjikan bantuan US$ 15 juta. Kritik dari Perserikatan Bangsa–Bangsa membuat George W. Bush Sr. menambah bantuan dari Amerika Serikat menjadi
US$ 20 juta. Setelah ia menyaksikan daerah bencana, ia naikkan lagi bantuan itu menjadi
US$ 35 juta. Angka ini ternyata masih diubah lagi setelah Colin Powell menyaksikan
sendiri Aceh yang hancur. Powell, Menteri Luar Negeri AS kala itu, setelah berunding
dengan Presiden Bush, meningkatkan angka bantuan negaranya sepuluh kali lipat:
menjadi US$ 350 juta.
Bappenas, bekerja sama dengan Bank Dunia, mendokumentasikan kerusakan ini
dalam “Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara”. Pada dokumen yang tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 itu, yang kemudian menjadi kerangka
acuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias dalam melaksanakan
tugasnya, tergambar kerusakan serta kerugian di Aceh dan Nias mencapai nilai lebih
dari Rp 41,4 triliun atau sekitar 2,7 persen dari produk domestik bruto nasional. Inilah
bencana terdahsyat kedua dalam waktu satu abad belakangan, yang hanya tertandingi
oleh bencana dua hari angin topan di Bangladesh pada 12–13 November 1970. Topan di
Bangladesh itu juga membuat air laut naik sampai tujuh meter, lebih dari 300.000 jiwa
tewas, serta ratusan ribu rumah dan bangunan lain hancur.
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
54/118
Putusnya transportasi dan komunikasi
itulah yang membuat keadaan semakin
sulit. Jalur transportasi ke Aceh Barat
dan Takengon tak bisa digunakan. Ke
arah selatan sama saja. Tiga buah
jembatan putus. Praktis daerah ini
terisolasi. Bantuan teramat sulit datang
ke Meulaboh. Lumpuhnya transportasi
dan komunikasi membuat Meulaboh
seperti daerah yang terlupakan. “Tolong
sampaikan bahwa Meulaboh juga sama
parahnya seperti daerah yang lain,”
ujar Kolonel Infanteri Geerhan Lantara,
Komandan Korem 012 Teuku Umar,
kepada wartawan.
MEULABOH terbilang parah akibat
tsunami menyapu Aceh, Desember
2004. Kota di sisi pantai barat Aceh yang
letaknya berdekatan dengan pusat gempa
ini diserang ombak dari tiga sisi yang
berbeda secara bertubi–tubi.
Gelombang tsunami menyeret bangunan
dan hanya meninggalkan fondasi–fondasi
dan material bangunan yang berserakan
di sepanjang radius dua sampai lima
kilometer dari pantai. Kerusakan ini
juga membuat jalur transportasi dan
komunikasi—baik dari utara (Banda Aceh)
maupun dari selatan (Medan)—terputus.
Aliran listrik dan jaringan komunikasi
telepon, termasuk telepon seluler, mati.
Membuka Meulaboh
Pusat Kota Meulaboh hancur. Berita
terisolasinya Meulaboh langsung
ditanggapi oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono: menghubungi
Komandan Korem Meulaboh,
Kolonel Geerhan Lantara. Presiden
meminta agar akses laut dan darat
ke dan dari Meulaboh diupayakan
segera dibuka. Foto: Jefri Aries40
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
55/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
56/118
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
57/118
BELUM pernah terjadi dalam sejarah dunia, penanganan bencana sebesar danseluas akibat gempa dan tsunami seperti di Aceh ini. Dalam keadaan pemerintah daerah
mati suri dan telekomunikasi putus, tim penanggulangan bencana harus bekerja. Ketika
itu, mereka semua bekerja bagaikan orang buta: belum ada peta bencana, belum ada
sistem kerja. Toh, Budi Atmadi Adiputro, Deputi Bakornas, harus menjalankan tugasnya.
Ia pun malam itu juga, setiba di pendapa gubernuran Nanggroe Aceh Darussalam,
langsung membagi tugas di antara tenaga yang ada. Ia mencocok–cocokkan agar antara
orang dan tugasnya sesuai, setidaknya bersinggungan. Ketua Palang Merah Indonesia
Mar’ie Muhammad diserahi tugas mengoordinasi evakuasi mayat. Muhammad Syafwan,
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial, bertanggung jawab mengatur
masalah makanan. Dokter Ferdinand Laihad, salah seorang anggota staf ahli Departemen
Kesehatan, ditugasi mengoordinasi masalah kesehatan. Ketua Fraksi Partai Amanat
Nasional yang juga tokoh Aceh, Farhan Hamid, mendapat tugas menyiapkan tenda
darurat atau shelter , karena tak ada orang dari Departemen Pekerjaan Umum. Budi Atmadimengaku memimpin dengan gaya komando: “Salah sekalipun saya putuskan, karena saya
pikir harus ada keputusan agar ada kemajuan setiap harinya.”
Liku-liku OperasiTanggap Darurat
Dua hal dilakukan pemerintah dengan tepat dalam kerja di masatanggap darurat. Memberdayakan Bakornas dan membuka pintu
Serambi Mekkah kepada dunia internasional yang ingin membantu Aceh dan Nias.
Siang–malam tanpa henti, s
bergiliran anggota TNI, Polri
relawan dalam dan luar neg
serta anggota organisasi ma
dan politik mengevakuasi je
Alhamdulillah, daerah benc
terbebas dari berjangkitnya
penyakit. Foto: Ali Reza
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
58/118
Apa pun usaha yang dilakukan tim penanggulangan bencana di hari–hari pertama
sesudah bencana, karena minimnya informasi, tim itu hanya bisa menangani kawasanyang mungkin dicapai. Tenaga yang ada di masyarakat belum terkoordinasi. Juga, ketika
bantuan dari Angkatan Bersenjata Australia dengan Hercules C–130–nya mendarat di
Bandara Iskandar Muda, 28 Desember siang, tim penanggulangan bencana belum bisa
memanfaatkannya dengan baik. Padahal pasukan ini berangkat dari Australia dengan
informasi hampir nol. “Yang kami tahu, pengungsi dan korban meninggal sangat banyak
dan akan terus bertambah dari jam ke jam di hari–hari pertama,” tulis Brigjen Dave
Chalmers, Komandan Operation Sumatra Assist, nama satuan tugas yang dikirim ke Aceh
ini. Chalmers menuliskan pengalamannya di majalah resmi militer Australia, Defence.
Sebenarnya, pasukan Australia ini tidak sama sekali nol dalam pengalaman menangani
bencana. Beberapa tahun sebelumnya, militer Australia ikut menolong korban tsunamidi Papua Nugini. Jadi, dari pengalaman di Papua Nugini tersebut, mereka mengantisipasi
apa saja yang paling diperlukan dalam bencana seperti itu. Menurut Chalmers dalam
tulisan itu, yang terpenting untuk menangani bencana adalah tim kesehatan yang
menyediakan obat–obatan, termasuk air minum, dan tenaga medis untuk merawat
korban yang luka–luka. Selain itu, diperlukan alat–alat berat untuk membongkar
Gajah pun membantu
membersihkan sampah tsunami;kerajaan Aceh di masa jayanya
pernah memiliki pasukan gajah
yang menggentarkan musuh.
Foto: AFP/Philippe Desmazes
44
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
59/118
reruntuhan mencari korban yang meninggal atau masih hidup. (Itulah mengapa
Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter Cosgrove menawarkan bantuanobat–obatan dan tim medis kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.) Karena
belum jelas prioritas kerja penanggulangan bencana, pada hari pertama ini tim Operation
Sumatra Assist langsung mengoperasikan alat penyaring air yang mereka bawa. Dan
dengan cepat warga Banda Aceh antre panjang untuk mendapatkan air minum. Di
kawasan yang terendam air laut, semua sumur tercemar.
Empat hari kemudian, 30 Desember, Wapres Jusuf Kalla membentuk Tim Nasional
Penanganan Bencana Aceh. Wapres mengetuai tim ini karena dia Ketua Bakornas. Ketua
hariannya Menko Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, sedangkan Budi Atmadi ditunjuk
sebagai kepala staf operasi. Toh, setelah ada surat keputusan resmi pun, rapat tim setiap
malam di pendapa gubernuran yang dijadikan pos komando itu masih seperti semula:
belum bisa mengoordinasi semua tenaga yang ada dan belum mencakup seluruh daerah
bencana. Di mata Mayjen Bambang Darmono, anggota staf ahli Panglima TNI yang
bergabung dalam rapat tim tersebut sejak 28 Desember malam, koordinasi penanganan
bencana masih kacau. Pendayagunaan tenaga yang ada belum efektif. Sebagai tentara
yang terlatih dalam “standar prosedur operasi”, ia merasa lebih bisa menjalankan
Tumpukan sampah setinggi
dua lantai bangunan di JalanSisingamangaraja, Banda Ac
Pada mulanya adalah kebing
bagaimana harus memulai
pembersihan sampah tsunam
akhirnya kerja keras, gotong–
di antara masyarakat Aceh,
Indonesia, dan dunia memus
sampah itu. Foto: Serambi
Indonesia/Bedu Saini
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
60/118
Nasional Jumlah
Relawan 5.645 orang
Tim Medis 124 tim
Personel Paramedis 11.800 orang
Alat berat 493 unit
Personel Militer 6.000 personel
Internasional Jumlah
Negara yang Terlibat 34 negara
Personel 16.000 orang
Tim Medis 117 tim
Kapal Induk 9 unit
Rumah Sakit Apung 1 unit
Kapal Perang 14 unit
Pesawat 31 unit
Helikopter 82 unit
46
T S U N A M I : H a b i s B e n c a n a T e r b i t l a h
T e r a n g
-
8/18/2019 Seri Buku BRR - Buku 0 - Tsunami
61/118
Dua Belas Tata CaraPenanggulangan Bencana
TIGA hari setelah bencana tsunami menyapu Aceh,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri
Sosial Bachtiar Chamsyah mengeluarkan 12 arahan
penanggulangan bencana.
Laksanakan evakuasi secara intensif.1.
Laksanakan pengelolaan pengungsi.2.
Terus lakukan pencarian orang hilang dan3.
pengumpulan jenazah.
Buka jalur logistik serta lakukan resupply dan4.
pendistribusian logistik yang diperlukan.
Buka dan pulihkan jaringan komunikasi antardaerah5.
atau kota.
Lakukan pembersihan kota yang hancur, yang penuh6.
puing dan lumpur.
Lakukan pengelolaan bantuan, baik dari dalam7.
maupun luar negeri, dengan sebaik–baiknya.
Gunakan dana pemerintah untuk penanggulangan8.
bencana, dan gunakan pula dengan tepat
sumbangan dana, baik dari dalam maupun luarnegeri.
Meskipun kegiatan di Aceh berkonsentrasi pada9.
kegiatan pena